Pendekar Romantis 9 - Ratu Cadar Jenazah(3)


LIMA
REPOT juga kalau udah begini. Perempuan itu nggak mau
tidur. Wah, kacau! Pandu Puber akhirnya nggak kuat lagi menahan
iman yang imut-imut itu. Semakin Pandu memberi, semakin sang
Ratu meminta. Itulah hukum yang berlangsung di dalam kamar
tersebut. Padahal maksud Pandu merelakan memberi kemesraan
supaya sang Ratu cepat tidur dan ia bisa cepat mencuri 'Cincin Daki
Dewa' dari dalam almari. Nyatanya si cantik bergairah tinggi itu
nggak mau tidur-tidur sampai pagi.
"Aku sudah biasa melek tujuh hari tujuh maiam! Kalau
cuma begadang sampai pagi sih, keciiil...!" kata sang Ratu ketika
Pandu membujuk agar sang Ratu segera tidur. Bisa dibayangkan,
apa jadinya jika dua manusia berlainan jenis berada dalam satu
ranjang tanpa tidur sedikit pun. Tentu saja nggak perlu diceritakan
deh, ya? Daripada kena sensor. Rugi.

"Ada tiga orang yang kena racun 'Pemikat Surga'. Pertama si
Ratu Geladak Hitam; Dardanila. Tapi dia kini sudah tiada, kembali
ke alam sana. Dibunuh oleh Ratu Cadar Jenazah. Perempuan kedua
yang jadi korban racun 'Pemikat Surga'-nya Pandu Puber adalah
Hapsari, atau si Janda Keramat yang matinya gara-gara sang Ratu
kelamaan buka kitab 'Pawang Racun'. Yang ketiga adalah
perempuan di dalam gua yang dulunya bekas pelacur tapi sekarang
sudah menjadi pelayan Bidadari Dian Ayu Dayen, tugasnya
menjaga kolam keringat bidadari. Dia adalah Dewi Selimut Maiam.
Cuma, karena Dewi Selimut Malam nggak boleh ka mana-mana,
maka ia nggak bisa keluar mencari Pandu untuk lampiaskan
kerinduan cintanya. Sekarang yang keempat adalah Ratu Cadar
Jenazah sendiri. Dia nggak tahu kalau dalam darah kemesraan
Pandu terdapat racun 'Pemikat Surga' yang akan membuat dirinya
tergila-giia dengan kemesraan Pandu. Kalau bukan Pandu orangnya,
nggak bakalan mau. Itu nanti jadi prinsip sang Ratu.
Makanya nggak heran kalau sang Ratu nggak mau tidur.
Nggak heran juga kalau sang pendekar tampan itu kebingungan dan
akhirnya jengkel sendiri, karena kesempatan mencuri cincin itu
nggak pernah ada. Hanya saja, ketika matahari muiai merayap lebih
tinggi lagi, Pandu Puber punya keberuntungan lain yang di luar
dugaan.
Wulandita mau keluar kamar, maklum kamar mandi waktu
itu nggak ada yang di dalam ruang tidur. Jadi harus keluar ruangan
kalau mau ke kamar mandi. Pada saat sang Ratu buka pintu dan
menutupnya kembali, tiba-tiba Rembulan Pantai menghampirinya
dengan sedikit tegang. Pandu Puber sengaja mencuri dengar di
dekat pintu, untuk meyakinkan apakah sang Ratu sudah melangkah
ke kamar mandi atau belum. Ternyata yang ia dengar adalah
percakapan antara sang Ratu dengan Rembulan Pantai.
"Ki Parma Tumpeng dan Payung Cendana datang, Gusti
Ratu!"
Yang kaget bukan sang Ratu, tapi malah Pandu sendiri. Ia
baru ingat bahwa keberadaannya di dalam almari itu telah membuat
kedua tokoh golongan putih itu mencemaskan dirinya. Itu wajar saja
terjadi, karena Payung Cendana punya kesan indah sendiri sebelum
Pandu berangkat ke Bukit Gulana. Tentunya perempuan tua yang
masih tampak muda dan cantik itu mencemaskan keadaan Pandu
dan perlu menyelidik dengan datang ke istana Ratu Cadar Jenazah.
"Apa maksud kedatangan mereka?"
"Ada yang ingin mereka bicarakan dengan Gusti Ratu. Tapi
mereka datang dengan baik-baik dan tidak bikin keonaran."
"Bilang saja pada mereka, aku sedang slbuk!"
"Mereka minta waktu sebentar saja, Gusti! Saya rasa kalau
Gusti tidak mau menemuinya, mereka bisa penasaran dan bikin
masalah di sini!"
"Apakah mereka singgung-singgung soal Pandu Puber?"
"Tidak, Gusti. Mereka cuma ingin bicara tentang sesuatu
yang katanya sih amat penting diketahui oleh Gusti Ratu!"
"Hmmm... kalau begitu, suruh mereka menunggu di bangsal
paseban!"
"Baik, Gusti!"
Rembulan Pantai bergegas pergi ke gerbang depan.
Wulandita bergegas pergi ke kamar mandi. Pandu Puber berpikir,
"Kalau kulakukan sekarang, waktunya pendek. Sebaiknya tunggu
sang Ratu menemui Payung Cendana dulu. Pasti waktunya agak
lama dan aku bisa bebas menggeledah almari itu untuk mencari
cincin tersebut.
Sudah diduga oleh Pandu sebelumnya, bahwa Wulandita
nggak akan mau bilang apa adanya. Bahkan Pandu juga menduga
bahwa ia nggak bakalan diizinkan keluar dari kamar. Ternyata
dugaan itu benar.
"Ada sesuatu yang harus kukerjakan," kata sang Ratu sambil
mengenakan pakaian kebesarannya lengkap dengan cadarnya.
"Ada apa sebenarnya?"
"Nggak ada apa-apa. Cuma ada tamu yang ingin bicara
padaku. Tamu baik-baik kok."
"Cowok, ya?"
"Idih, cemburu amat sih kamu!" sambil sang Ratu mencubit
pipi Pandu. Pandu sendiri sengaja berpura-pura cemburu supaya
rencananya tidak mencurigakan hati kecil sang Ratu.
"Tamunya sudah tua, lagian mereka sepasang lelaki-
perempuan. Jangan cemburu dulu, Yang."
"Aku ikut menemuinya, ya?"
"Nggak usah. Nanti skandal kita ketahuan orang banyak!
Yayang di sini aja, ya? Aku cuma sebentar kok."
"Benar lho, jangan lama-lama!"
"Nggak deh, nggak...! Yayang bobo'an aja dulu, ya? Istirahat
biar tenaganya pulih kembaii. Hi, hi, hi...!"
Pandu Puber tersenyum geli, padahal di hatlnya tertawa
ngakak. Kepura-puraannya membuat dirinya merasa lucu sendiri.
Sebelum keluar, Ratu Cadar Jenazah rapatkan badan kepada
Pandu, melingkarkan kedua tangannya di pinggang si pemuda
kekar Itu. Wajahnya sedikit mendongak pertanda minta dicium.
Pandu menyingkapkan cadar hitam, dan bibir sensual yang
menggairahkan itu pun dikecupnya lagi. Pelan dan agak lama,
sampai sang Ratu ngos-ngosan, wajahnya jadi merah karena
menahan gejolak yang nggak boleh dilepaskan saat itu. Kalau ia
belum rapi sih mungkin cuek aja, pelayaran dimulai lagi. Tapi kare-
na dia sudah rapi, maka yang perlu dipaksakan untuk dicuekin
adalah gairahnya itu.
"Jangan keluar ke mana-mana lho!" pesan sang Ratu dengan
langkah berat. Pandu mengangguk dengan senyum menawan. Sang
Ratu berkata lagi begitu mau buka pintu,
"Yayang nggak marah kan kalau kutinggal sebentar?"
Pandu menggeleng. "Asal jangan lama-lama, aku nggak
marah!" ujarnya dengan nada lembut yang menyentuh kalbu,
membuat suasana lebih romantis lagi.
Setelah sang Ratu keluar, Pandu Puber tertawa cekikikan,
geli dan hampir terpingkal-pingkal.
"Hi, hi, hi... dia memanggilku Yayang, wow... keren!
Romantis juga tuh orang. Baru sekarang ada cewek yang panggil
aku Yayang. Jangan-jangan dia lupa kalau namaku Pandu Puber,
ya?"
Pandu segera ingat rencananya. Ia nggak mau buang-buang
waktu. Maka 'Cincin Daki Dewa' pun segera dicarinya. Untuk
mendapatkan kepastian bentuk cincin itu, Pandu terpaksa
memanggil kakeknya kembali. Pedang siluman dicabut sedikit dari
kakinya.
"Kek, cincin itu bentuknya kayak apa?"
"Bulat, tengahnya bolong," jawab suara kakeknya.
"Iya, aku tahu kalau cincin itu bulat tengahnya bolong.
Maksudku, yang dinamakan cincin 'Daki Dewa' itu yang kayak apa?
Batunya warna apa? Aku lupa!"
"Warnanya hitam, seperti buah duwet atau jamblang, agak
bening sedikit."
"Letaknya di mana, Kek?"
"Di dalam 'cempuk', Cucuku!"
"Cempuk itu apa, Kek? Kaleng kerupuk?"
"Husy! Cempuk itu wadah perhiasan. Carilah di ruang
almari samping. Cempuk itu ada di sana! Cari cincin yang berbatu
hitam agak bening, dililit emas kusam. Itulah cincin 'Daki Dewa'."
Untung Pendekar Romantis punya kakek yang amat sayang
kepadanya, sampai-sampai walau sang Kakek sudah nggak bisa
menjelma dalam sosok aslinya, tapi masih mau dampingi sang cucu
tersayang. Coba kalau nggak ada pedang yang bisa ngomong, wah...
kacau sekali. Pandu belum tentu tahu ada cincin berkhasiat sesakti
itu.
Sebenarnya sang Ratu Cadar Jenazah sendiri sudah mulai
punya perasaan nggak enak. Cuma dia nggak mau mengikuti
perasaan nggak enaknya itu. Dia juga sibuk menghadapi dua
tamunya yang sudah dikenal dan perlu diwaspadai. Sebab Ki Parma
Tumpeng adalah orang yang pernah dikalahkan saat merebut Bukit
Gulana itu. Wajar kalau sang Ratu penuh curiga atas kedatangan
kakak-beradik itu.
"Kalau maksudmu kemari untuk merampas tempat ini lagi,
jelas itu suatu hal yang mustahil, Parma Tumpeng!" kata sang Ratu
dengan seenaknya, karena ia menganggap usianya sebenarnya sama
dengan Ki Parma Tumpeng.
"Aku kemari bukan untuk membicarakan tempat ini!" ujar
Ki Parma Tumpeng. "Ada masalah yang lebih penting lagi dari itu.
Perlu kau ketahui, muridku Balak Lima ada di luar menunggu
kemunculanku, dan muridnya Payung Cendana yang bernama Bu-
nga Taring Liar juga menunggu di luar gerbang. Dalam waktu
seratus hitungan aku nggak muncul, mereka akan menyerang
masuk dan mengobrak-abrik tempat ini!"
Ratu Cadar Jenazah sunggingkan senyum sinis. "Kamu pikir
aku takut dengar ancamanmu? Nggak usah pakai mengancam
segala deh! Jelaskan dulu persoalannya!"
Payung Cendana yang menjawab dengan tegas, "Pandu
Puber ada di sini! Sekarang kuminta kau keluarkan dia! Pasti dia
sudah tertangkap olehmu!"
"Eh, jangan menuduh sembarangan, ya?!" sang Ratu mulai
berang, sebab di situ ada Rembulan Pantai, Widyarukmi, dan Cawan
Serumpi. Tiga pengawal kuatnya terkesiap mendengar ucapan Pa-
yung Cendana. Hal itu bikin sang Ratu jadi nggak enak hati
terhadap mereka, karena itu sang Ratu ngotot keras. Sengaja
dikeraskan ngototnya supaya ketiga pengawalnya nggak curiga.
"Kalian boleh tanyakan kepada semua orang di sini, bahwa
belum ada seorang pun yang datang dengan membawa Pandu
Puber! Kamu kalau ngomong jangan sembarangan, Payung
Cendana! Bisa kurobek mulutmu sekarang juga!"
"Memang nggak ada orang yang menangkap Pandu Puber.
Tapi Pendekar Romantis datang sendiri kemari dan pasti sudah
tertangkap olehmu. Lepaskan sekarang juga!"
"Waaahh..,. kamu ini datang cari penyakit, Payung Cendana!
Apa alasanmu menyangka begitu? Apakah kau tahu Pandu Puber
datang kemari?"
"Teropong batinku mengatakan demikian!"
"Teropongmu rusak kali!", ujar sang Ratu dengan tertawa
sinis.

Ki Parma Tumpeng berkata, "Kami meminta dengan baik-
baik. Jangan sampai di antara kita terjadi pertikaian lagi,
Wulandita!"
"Apa yang kalian minta memang nggak ada padaku! Jangan
mengada-ada, ya?!"
"Kami akan menggeledah istanamu!" ujar Payung Cendana
dengan berani.
"Enak saja menggeledah! Emangnya situ pihak yang
berwajib mau cari barang bukti?!" sang Ratu bersungut-sungut.
"Istanaku nggak boleh diacak-acak oleh siapa pun, tahu?! Barang
siapa berani mengacak-acak Istanaku, berarti dia berani pulang
tanpa nyawa!"
"Pulang tanpa nyawa sudah merupakan rencanaku!" ujar
Payung Cendana dengan tegas sekali. Kini ketiga pengawal sang
Ratu muiai bergerak ke tiga arah, sikapnya mengepung kedua tokoh
kakak-beradik itu.
Ratu Cadar Jenazah nggak mau duduk di kursi
kebesarannya. Ia berdiri dengan menahan emosi. Matanya
memandang tajam dari balik cadar hitamnya.
"Payung Cendana, sekarang apa maumu sebenarnya, hah?!
Kalau kau memang maunya duel sama aku, baik! Kuturuti
kemauanmu!"
"Kalau kau berani mengusik adikku, aku terpaksa turun
tangan lagi, Wulandita!" kata Ki Parma Tumpeng, tenang tapi agak
konyol juga orang ini. Kepalanya yang berbentuk lancip atas itu
memang mirip tumpeng kekurangan telur. Rambutnya tipis, botak
tengah. Jenggotnya putih, panjang sedada. Tapi sikapnya masih
seperti anak muda, gemar tawuran juga kelihatannya.
"Kalian mau mengeroyokku? Hmm...! Kalian baru dua
orang. Mestinya dua puluh orang dong, baru aku akan keteter!"
"Kurobek mulut besarmu, Wulandita! Hilh.,.!" Payung
Cendana mau lepaskan pukulan tenaga dalamnya, tapi tangannya
ditahan oleh Ki Parma Tumpeng.
Tebb...!
"Biar aku dulu yang maju deh! Aku kan lebih tua darimu!"
kemudian Ki Parma Tumpeng berkata kepada sang Ratu,
"Wulandita, apakah kau punya tempat yang enak buat adu
kesaktian?"
"O, kau benar-benar nggak jera melawanku, ya? Boleh aja
kalau memang itu maumu! Kita ke halaman depan saja. Kita
buktikan, berapa jurus aku bisa mencabut nyawa tuamu itu, Parma
Tumpeng!"
"Baik, kita keluar dari bangsai ini!"
Zlappp...!
"Lho... hllang? Ke mana si orang tua tadi?!" pikir Rembulan
Pantai yang kebingungan me;ihat Ki Parma Tumpeng lenyap. Heran
lagi melihat Payung Cendana ikut lenyap Juga. Ternyata kedua
orang itu sudah berada di halaman depan bangsal pertemuan itu.
Mereka menunggu sang Ratu di sana, berdiri bersebelahan di bawah
pohon beringin tinggi yang ada di tengah halaman, yang membuat
tempat itu menjadi teduh.
Blarrr...!
Belum-belum sudah terdengar ledakan kuat di luar gerbang.
Kedua tokoh kakak-beradik itu merasa heran, saling berkerut dahi.
Sang Ratu dan tiga pengawalnya juga ikut heran.
"Ada apa di luar itu? Coba periksa, Widyalukmi!" perintah
sang Ratu sambil berjalan ke halaman. Yang bernama Widyalukmi
segera memeriksa. Saat ia kembaii lagi, Ratu Cadar Jenazah sedang
berhadapan dengan kedua tamunya. Jarak mereka sekitar enam
langkah.
Widyalukmi melapor, "Gusti, di luar terrjadi pertarungan
antara Balak Lima dengan Panji Gosip!"
Ki Parma Tumpeng dan Payung Cendana saling pandang.
Ki Parma Tumpeng berbisik, "Muridku itu memang sok berani. Tapi
kurasa ia berani begitu karena ada muridmu, Bunga Taring Liar!"
"Biar si Bunga yang bereskan sisa pengikut Dalang Setan
itu!" ujar Payung Cendana dengan pelan juga.
Sang Ratu bertanya kepada Widyalukmi, "Apa sejak
kemarin malam Panji Gosip belum pulang juga?"
"Belum, Gusti! Dia masih tunjukkan kesetiaannya kepada
Gusti dengan ikut berjaga-jaga di luar sana."
"Biar mampus tuh anak! Dia pikir aku masih sudi
menemuinya. Hmm...!" Lalu batin sang Ratu berkata, "Dia nggak
tahu kalau aku punya sesuatu yang baru, yang lebih hebat dan lebih
mewah dari dirinya! Mudah-mudahan Pandu Puber nggak keluar
dari kamar, jadi aku nggak malu sama anak buahku!"
Ki Parma Tumpeng maju dua tindak. Tongkatnya masih
digenggam dengan tangan kiri. Bukan karena dia tokoh tua yang
kidal, tapi karena dia punya rencana melepaskan pukulannya
menggunakan tangan kanan.
"Bersiaplah untuk merangkak ke alam kubur, Parma
Tumpeng! Heeah...!"
Clapp...!
Sinar biru sejengkal keluar dari ujung telunjuk Ratu Cadar
Jenazah. Sinar itu kecil dan gerakannya cepat. Tapi agaknya Ki
Parma Tumpeng nggak kalah siap. Dari tangan kanannya yang
bertelapak membuka keluar sinar agak besar warna merah lebar.
Clapp...!
Tangan itu tak digerakkan ke depan, hanya membuka di
samping, tapi gerakan sinarnya tergolong cepat dan menghantam
sinar birunya Wulandita.
Blarrr...!
Asap mengepul tebai akibat ledakan di pertengahan jarak
itu. Tebalnya asap mengganggu pandangan Ki Parma Tumpeng,
sehingga ia nggak bisa lihat apa yang dilakukan oleh lawannya.
Tahu-tahu seberkas cahaya biru mirip bola berduri itu melesat
menerobos ketebalan asap, mengarah kepada Ki Parma Tumpeng.
Wusss ...
"Eit...! Gawat!" Ki Parma Tumpeng sentakkan tongkat ke
tanah.
Dug...! Wuttt...!
Tubuhnya melesat ke atas dalam keadaan masih tegak
berdiri tegak lurus. Dari atas sana barulah dia melihat Wulandita
sedang rapatkan kedua telapak tangannya di dada.
Ki Parma Tumpeng sentakkan tangan yang memegang
tongkat ke depan. Sentakan itu pendek saja, bahkan nyaris seperti
nggak bergerak karena c-patnya sentakan. Tapi dari kepala
tongkatnya keluar sinar merah lurus mirip sinar laser.
Class...! Suttt...!
Sinar birunya Wulandita tadi menghantam pohon beringin
di belakang Ki Parma Tumpeng.
Blegarrr...!
Daun pohon rontok seketika, namun tidak semua. Hanya
saja bagian batang pohon menjadi hitam sampai di pertengahan
ketinggian pohon itu. Sedangkan sinar merahnya Ki Parma
Tumpeng segera dihadapi dengan hembusan asap kuning dari
telapak tangan Ratu Cadar Jenazah.
Wusss...!
Drubbb...!
Bunyi ledakan bagai diredam oleh asap kuning itu. Ki
Parma Tumpeng sedang bergerak turun dengan gerakan lamban
dan tetap tegak seperti orang berdiri. Ini menandakan ilmu Ki
Parma Tumpeng cukup tinggi dan layak melawan Ratu Cadar
Jenazah.
Karena setalah Ratu Cadar Jenazah meredam sinar
merahnya Ki Parma Tumpeng, tiba-tiba tubuhnya melesat dalam
keadaan berdiri tegak.
Wuttt...!
Tinggi kaki dengan tanah sekitar satu lutut. Gerakannya
begitu cepat, sehingga Ki Parma Tumpeng sedikit kaget, lalu segera
hadangkan tongkatnya ke depan. Tubuh tegak itu pun melayang
maju menyambutgerakan terbang sang Ratu.
Plak, plak, blarr...! Duhgg…!
"Uhg...!" terdengar suara pekik sang Ratu. Rupanya setelah
berhasil menangkis kibasan tongkat yang bergerak di luar dugaan
itu, ujung tongkat berhasil menyodok pertengahan dadanya. Tentu
saja kekuatan yang tersalur di dalam tongkat itu adalah kekuatan
tenaga dalam cukup tinggi. Nyatanya sang Ratu bisa tersentak
mundur dalam keadaan masih berdiri tegak tak menginjak tanah. Ia
bagaikan membentur sesuatu yang punya daya pantul balik, se-
hingga ketika tiba di tempat semula sikap berdirinya sempat
limbung sebentar.
"Gusti...!" Rembulan Pantai terkejut meiihat sang Ratu
limbung, dengan gerakan cepat segera menopang tubuh sang Ratu.
"Nggak apa-apa... nggak apa-apa!" kata sang Ratu sambil
tarik napas. "Kayaknya aku perlu hadapi orang ini dengan 'Aji Baja
Geni'-ku"
"Ya, itu lebih baik, Gusti Ratu! Habisi saja dia! Kalau perlu
adiknya biar saya yang habisi!"
"Jangan. Adiknya juga biar berurusan denganku! Aku tahu
perempuan itu cemburu dan naksir Pandu Puber."
"Kalau benar begitu, kenapa Gusti Ratu agaknya dendam
sekali kepadanya? Bukankah...."
"Sudah, diam! Aku sedang tarung, jangan diajak ngobrol!"
potong sang Ratu yang segera sadar bahwa ia tak boleh tampakkan
sikap mempertahankan Pandu Puber.
"Minggirlah, biar kuhadapi dia. Agaknya dia mau gunakan
'Aji Baja Geni'," bisik Payung Cendana kepada kakaknya. Tapi sang
Kakak masih ngotot ingin hadapi sendiri kekuatan sang Ratu.
"Nanti dulu! Aku belum selesai melawan dia, kamu sudah
mau main geser aja. Mundur sana! Biar kubuat babak belur dulu dia,
baru kau kerjain deh sana!"
Payung Cendana sempat berseru, "Wulandita! Serahkan saja
pemuda itu pada kami! Jika kau masih ngotot, kau akan celaka.
Karena kami tahu kelemahanmu ada di mana. Walau kau
pergunakan 'Aji Baja Geni', aku tahu persis bagian mana dalam
tubuhmu yang harus kuserang! Hati-hati dengan perutmu,
Wulandita!"
Seruan itu semacam gertakan juga dari Payung Cendana.
Ternyata gertakan itu mampu membuat Ratu Cadar Jenazah berpikir
beberapa kali saat sebelum lakukan penyerangan.
"Gila! Rupanya dia berani melabrak kemari karena dia
sudah tahu di mana letak kelemahanku?! Wah, gawat nihi Aku
harus lebih melindungi pusarku nih! Kalau kecolongan bisa
mampus aku! Sebaiknya kugunakan cara kalem aja, jangan asal
serang dulu!" pikir Wulandita sambil mencari posisi enak untuk
menyerang kembaii. Matanya tertuju pada Payung Cendana, karena
ia tahu mata payung itu dapat melesat sendiri dan salah-salah bisa
menembus bagian pusarnya. Sekalipun nggak terlalu berbahaya jika
tergores atau tertusuk senjata itu, namun bisa menjadikan borok
yang menyebalkan pada bagian pusar. Itulah sebabnya Wulandita
selalu mewaspadai ujung payung perak itu.
"Memang nggak semua senjata bisa mempan menembus
pusarku, tapi siapa tahu senjatanya si Payung Cendana atau
tongkatnya si Parma Tumpeng adalah pusaka yang cocok untuk
menembus pusarku?!" pikirsang Ratu iagi. "Bagaimanapun juga aku
harus berusaha menghindari serangan di bagian perutku. Kalau
begitu, aku harus menyerang mereka dengan jurus 'Kilat
Menyambar Petir", artinya bergerak cepat sambil main pelintir!"
Di luar gerbang pun terjadi pertarungan antara Panji Gosip
melawan Balak Lima. Tapi Balak Lima dibuat nungging oleh Panji
Gosip, sehingga ia mengerang-erang kesakitan. Wajahnya memar
karena pukulan beruntun yang diiancarkan oleh Panji Gosip. Mau
tak mau Bunga Taring Liar mengambii alih posisi Balak Lima. Gadis
yang mengenakan pakaian biru dengan rambut disanggul agak
tinggi, sisanya jatuh seperti ekor kuda setengkuk itu mempunyai
pedang yang berbahaya, karena pedang dipunggungnya itu
mengandung racun ganas juga. Ia mencabut pedang itu ketika Panji
Gosip nggak mau hentikan serangannya. Pada prinsipnya, Panji
Gosip tetap melarang mereka berdua masuk ke benteng istana.
"Kalau kau masih nekat ingin masuk menemui sang Ratu,
kau harus melangkahi mayatku tujuh kali! Perlu kau ketahui, siapa
pun tak kuinginkan bertemu dengan Wulandita, karena dia calon
istriku!"
"Mulut besarmu itu memang perlu dirobek pakai ujung
pedangku, Panji Gosip! Dari dulu tak pernah ada jeranya menyebar
gosip dan membual di sana-sini" geram Bunga Taring Liar. Gadis ini
belum keluar taringnya. Kalau sudah keluar taringnya, naah...
bahaya sekali tuh. Malaikat Bisu yang jadi guru dan ketua dari
Perguruan Tanduk Singa saja mati di ujung pedangnya, apalagi
cuma Panji Gosip yang belum banyak pengalamannya di rimba
persiiatan.
Tapi agaknya Panji Gosip nggak takut sedikit pun
menghadapi Bunga Taring Liar, ia menerjang maju dengan pisau
kembarnya yang masing-masing panjangnya dua jengkal itu.
Wut, wut, wut...!
Panji Gosip kibaskan pisaunya dengan cepat. Kedua tangan
yang masing-masing memegang pisau itu bergerak terus tiada
hentinya. Sepertinya gerakan itu serabutan, asal gerak saja. Tapi
sebenarnya mempunyai jurus tertentu yang dapat mengecoh
gerakan menghindar dari lawannya.
Bunga Taring Liar nggak mau langsung serang. Ia malah
melompat mundur dua kali. Panji Gosip maju terus seraya gerakkan
kedua tangannya simpang siur ke mana-mana sambil keluarkan
suara hentakan-hentakan yang menipu konsentrasi lawan.
"Heeah...! Huaah...! Hillat... haaah...! Huaaah, heaah...!"
Ada prajurit penjaga gerbang berbisik kepada temannya,
"Panji Gosip itu sedang berantem apa sedang kepedasan cabe sin?!
Kok jurusnya aneh. Berisik amat?!"
Temannya menyahut, "Itu namanya jurus 'Cabe Tanpa
Tahu', ya begitu itu gerakan dan suaranya!"
Terdengar seruan Balak Lima yang merasakan lemas sekujur
tubuhnya karena pukulan Panji Gosip tadi, "Sikat dia, Bunga! Tebas
lehernya! Belah kepalanya!"
Si penjaga gerbang berseru, "Memangnya semangka! Main
tebas aja!"

Balak Lima mau lepaskan pukulan kepada penjaga gerbang,
tapi ia terkesima melihat tubuh Bunga Taring Liar memutar dalam
keadaan berdiri tegak bagaikan gangsing di atas tanah. Jempol
kakinya yang dipakai berdiri tegak dan tubuhnya memutar begitu
cepat, sampai akhirnya pedangnya berkelebat me nyabet punggung
Panji Gosip yang masih menggunakan jurus awut-awutan itu.
Wuuut! Crass..!
"Aauh...!" Panji Gosip memekik dengan tubuh berhenti dan
mengejang. Punggungnya berdarah. Sabetan itu memang nggak
banyak, artinya nggak sepanjang tulang punggung. Hanya sekitar
satu jengkal dan letaknya di belakang pundak. Tapi darah yang
keluar adalah darah merah kehitam-hitaman. Tandanya darah itu
sudah bercampur dengan racun dari mata pedang lawannya.
"Penggal kepalanya! Cepat penggali" seru Balak Lima nggak
sabar. Ia dendam sekali kepada Panji Gosip. Namun agaknya Bunga
Taring Liar yang cantik dan membuat para penjaga gerbang senang
memperhatikannya itu nggak mau sekejam Balak Lima. Bunga
Taring Liar justru menjauhi lawannya yang sedang menggeliat
sempoyongan itu, laiu jatuh berlutut dan membungkuk.
"Heaaat...!" tiba-tiba Panji Gosip berteriak panjang dan keras.
Suaranya sampai pecah. Sambil berteriak begitu ia bangkit dan
menyentakkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Tubuhnya segera
mengejang, gerakan tangannya lamban saat menuju ke depan dada.
Semua ototnya mengencang dan saiing bertonjolan. Rupanya ia
kerahkan kekuatan intinya untuk atasi luka di punggung.
"Hati-hati, Bunga! Dia mau serang kamu dengan jurus
andalannya!" seru Balak Lima.
Dugaan itu ternyata meleset. Panji Gosip bukan menyerang,
namun justru pergunakan sisa tenaganya untuk melesat melarikan
diri dengan kecepatan tinggi.
Wuttt...!
"Kejar dia! Ayo, kejar dia, Bunga! Dia nggak akan bisa lari
jauh, tenaganya akan habis! Kejar terus...!"
Bunga Taring Liar mendekati Balak Lima yang berpakaian
serba merah itu. Dengan mata memandang tajam dalam kecantikan
yang memukau itu, Bunga Taring Liar berkata ketus,
"Aku bukan babumu! Kalau kau mau, kejarlah sana!"
"Dia akan datang lagi di suatu saat dan membalas
kekalahannya. Makanya harus dihabisi sekalian!"
"Kau pikir dia kacang rebus yang mudah dihabisi?!" gerutu
Bunga Taring Liar sambil memasukkan pedangnya ke sarung
pedang. "Tanpa kukejar dia juga akan kehabisan tenaga sendiri,
lama-lama akan kehabisan napas dan nyawa. Racun yang kutitipkan
dalam darahnya nggak mudah dicarikan obatpenawarnya!"
"Siapa tahu dia ditolong seorang tabib yang pandai
mengobati luka racun!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang aku mau tengok
Nyai Guru, bagaimana keadaannya."
"Tapi para penjaga gerbang itu sudah membentuk barisan
pagar betis. Kita pasti nggak diizinkan untuk masuk."
"Pagar betis apaan?! Persetan dengan mereka. Kalau mereka
masih menghalangi kita, kutebas sekalian dengan pedangku!" geram
Bunga Taring Liar dengan mata memandang angker. Biar angker,
kata orang, masih tetap cantik.
Langkah kedua murid tokoh tua kakak-beradik itu terhenti
ketika mendengar suara ledakan dan kegaduhan yang mengejutkan.
Blarrrr...! Gubrakkk...!
Pintu gerbang setebal itu jebol dari dalam. Dua sosok
melayang menerobos pintu gerbang tersebut. Salah satu prajurit
penjaga pintu gerbang jatuh tengkurap dan tertindih jebolan pintu.
Ia hanya bisa mendelik, tak bisa berteriak, karena di atasnya ada dua
sosok yang terkapar sulit bangun. Mereka adalah Ki Parma
Tumpeng dan Payung Cendana. Rupanya mereka terpental oleh
jurus maut Ratu Cadar Jenazah yang dilepaskan dan diadu dengan
dua jurus mereka.
Apakah kedua tokoh kakak-beradik itu mati? Oh, belum.
Masih awet. Mereka hanya mengalami luka memar dan sekujur
tubuh mereka bagaikan dilolosi tulangnya. Namun Payung Cendana
segera kuasai diri dan dapat berdiri dengan sempoyongan. Ia
bahkan sempat membantu kakaknya yang merangkak kebingungan
mau turun dari jebolan pintu tebal itu. Sedangkan prajurit yang
jatuh ketindih pintu hanya bisa cengap-cengap nggak ada yang
menolongnya.
Seru juga pertarungan mereka. Tapi apakah Pandu Puber di
dalam kamar masih belum menemukan 'Cincin Daki Dewa' yang
sakti itu? Mengapa ia nggak keluar-keluar dari kamar? Mestinya ia
keluar dan segera menolong Payung Cendana dong. Biar suasana
lebih romantis Iagi. Tapi kayaknya kemauan sang nasib nggak
begitu sih. Nggak tahu ngapain aja Pandu di kamar sang Ratu. Kita
tengok aja ke sana.


ENAM
MERASA waktunya pendek, Pendekar Romantis terpaksa
harus bisa menemukan cincin itu dengan cepat, jangan sampai saat
ia menggeledah almari ketahuan Ratu Cadar Jenazah. Udah nggak
asyik aja deh kalau sampai ketahuan begitu. Malunya nggak
ketulungan. Tapi rupanya mencari 'Cincin Daki Dewa' itu bukan
semudah mencari meja di antara para kursi,
Cempuk, tempat menyimpan perhiasan dari logam
kuningan memang sudah ditemukan Pandu. Tapi isinya bermacam-
macam perhiasan. Repotnya lagi Pandu harus bisa memilih cincin
yang tepat. Repotnya lagi di dalam cempuk itu ternyata Ratu Cadar
Jenazah mempunyai tiga puluh empat cincin. Busyet! Bisa
dibayangkan bagaimana repotnya memilih satu cincin di antara tiga
puluh empat cincin?
"Batunya berwarna hitam bening!" ingat Pandu. "Ya,
memang sih, cirinya dari 'Cincin Daki Dewa' adalah berbatu hitam.
Tapi sang Ratu ternyata mempunyai delapan beias cincin berbatu
hitam. Mau nggak mau Pandu Puber agak gugup juga saat
mengobrak-abrik kedelapan belas cincin itu.
Saking gugupnya dan ingin cepat selesai, cempuk itu malah
jatuh ke lantai.
Prangng...! Zrrakkk...!
Perhiasan itu mawut semua di lantai. Ada yang
menggelinding ke kolong ranjang, ada yang sampai di depan pintu
keluar, ada yang mental ke bawah meja, wah... kacau banget deh
pokoknya. Pandu sempat bingung sendiri dan makin panik.
"Sial! Kenapa aku jadi gugup begini sih? Wah, kalau sampai
sang Ratu saat ini muncul, habis deh riwayatku. Setidaknya
malunya bukan main. Pasti dia tahu kalau aku mau curi
perhiasannya. Uuuh... dasar tangan suka nyari keusilan di tubuh
perempuan ya begini ini! Pegang apa-apa jadi grogi!" Pandu
mengecam dirinya sendiri sambil menggeragap memunguti
perhiasan itu.
Pada saat memunguti perhiasan yang kocar-kacir itulah,
Pandu Puber menemukan sebuah cincin emas kusam dan hampir
berjamur hijau pada lekuk ukirannya. Cincin itu berbatu hitam
bening seperti agar-agar buat campuran es cendol. Wajah Pandu jadi
ceria karena yakin cincin itulah yang dinamakan 'Cincin Daki Dewa',
sesuai keterangan dari suara kakeknya.
Cincin itu segera diselipkan pada ikat pinggangnya. Sisa
perhiasan buru-buru dimasukkan dalam cempuk, dan cempuk itu
segera ditaruh pada tempat semula.
Namun baru saja Pandu berdiri dari jongkoknya, matanya
terbelalak kaget melihat seorang perempuan ternyata sudah berdiri
di depan pintu masuk dalam keadaan pintu terbuka.
"Yaah...?!" Pandu mengeluh kecewa dalam hatinya. Tapi ia
buru-buru berlagak cengar-cengir setelah tahu perempuan itu bukan
Ratu Cadar Jenazah melainkan seorang perempuan pendek,
berkebaya longgar warna abu-abu, memakai pinjung dan kain
warna hitam. Dilihat dari bentuk jidatnya yang jenong,
rambutnyayang dikonde asal jadi, jelas sosok penampilan itu adalah
sosok seorang pembantu. Hidungnya pesek, matanya belok, giginya
maju mirip bemper mobil.
Perempuan pendek itu segera masuk dan menutup pintu
dengan mata masih memandang curiga kepada Pandu. Pandangan
matanya itu jelas menampakkan perasaan heran, aneh, curiga, dan
bingung.
"Siapa kamu? Mau apa di kamar Gusti Ratu? Apa yang
kamu kerjakan di sini? Mengapa bisa ada di sini? Sejak kapan ada di
sini? Dari mana bisa masuk ke sini? Berapa...."
"Ssstt...!" potong Pandu sambil masih pegangi cempuk itu
dengan satu tangan, dan tangan yang satu menempeikan jari di
mulut.
"Aku bertanya padamu!" hardik perempuan itu.
"Tanya ya tanya, tapi satu persatu dong. Jangan
memberondong kayak ayam bertelur kembar tujuh gitu!" kata
Pandu Puber sambil berpikir cari alasan.
Mata perempuan itu memandang pada benda yang
dipegang Pandu. Mata lebar itu melebar lagi mirip mata sapi. Itu
tandanya si perempuan pendek sedang terkejut melihat benda yang
dipegang Pandu.
"Kau pencuri, ya?"
"Belum. Eh, tadi... eh, anu... bukan!" jawab Pandu agak
gugup. Laiu ia pergunakan senyuman yang mengandung kekuatan
gaib dari Jurus 'Mata Dewata', agar perempuan itu nggak securiga
sekarang. Ternyata ada hasilnya juga. Dahi jenong itu nggak begitu
berkerut iagi. Sikap memandangnya pun lebih bertitik berat pada
rasa heran dan kagum.
"Siapa kamu, Kang? Seingatku, Gusti Ratu nggak bilang
kalau di sini ada tamu pribadinya. Aku nggak disuruh bikin
minuman buat tamu. Jadi... sekali lagi kutanya, siapa dirimu, Kang?"
"Namaku Pandu Puber, dan...."
"Ooh...?!" perempuan itu terpekik, segera menutup
mulutnya karena takut terlalu keras suara pekiknya tadi. Ja... jadi,
kau yang ditulis dalam sayembara itu?"
"Betul. Tapi nyatanya kehendak sang Ratu berbeda. Dia
bukan mau bunuh aku. Dia nggak jahat sama aku kok. Malahan dari
semalam aku sudah diajak bercanda sama sang Ratu. Lalu sekarang
sang Ratu sedang terima tamu dan aku nggak boleh keluar ke mana-
mana."
"Oooh...? Ternyata benar apa kata mereka."
"Apanya yang benar?"
"Mereka biiang, yang namanya Pandu Puber alias Pendekar
Romantis itu orangnya tampan, gagah, dan perkasa. Mulut mereka
nggak salah ucap rupanya!"
Pandu Puber kikuk, malu hati sendiri menerima pujian
secara nggak langsung. Tambah nggak enak hati lagi setelah
perempuan pendek berbadan agak kurus itu berkata dalam senyum
kemanjaannya.
"Cuma sayang sekali, ya...? Ganteng-ganteng kok kerjanya
jadi maling?!"
"Ah, kamu bisa aja!"
"Iya. Nyatanya sekarang kau masih memegang tempat
perhiasan sang Ratu! Pasti mau kau bawa kabur kan?"
"Oh, nggak gitu...! Hmm... ceritanya begini," Pandu segera
mengarang cerita. "Tadi malam sang Ratu memamerkan
perhiasannya ini padaku. Lalu tempat perhiasan ini ditaruh di meja
kecil dekat ranjang itu. Begitu kudengar sang Ratu terima tamu, aku
ingin merapikan tempat ini. Cempuk ini akan kukembaiikan ke
dalam almari. Tapi jatuh, mawut semua. Dan... dan sekarang
kukembalikan ke dalam almari. Nih, lihat... nih...!" cempuk
dikembalikan ke pada tempatnya. "Tuh, kutaruh di tempat semula,
kan?" sambil Pandu tersenyum kaku.
Perempuan itu manggut-manggut. Wajahnya menjadi agak
sinis. Pandu manaruh curiga dalam hatinya.
"Kenapa kau memandangku dengan begitu?"
"Karena kau pemuda tampan tapi curang dan licik."
"Maksudmu bagaimana?"
Tangan si perempuan terulur dalam posisi telapak tangan
tengadah, tanda meminta sesuatu. Pandu berkerut dahi, berlagak
bingung melihat sikap si peiayan pendek itu.
"Apa maksudmu sih?"
"Cempuk itu memang kau pulangkan pada tempatnya, tapi
yang kau selipkan di ikat pinggangmu itu mana? Harus
dipulangkan juga!"
"Ah, nggak ada kok!"
"Jangan bohong! Kalau aku keluar dan teriak maling, kau
pasti dikepung prajurit dan digebuki sambil diarak keliling alun-
alun!"
"Ah, kamu ini apa-apaan sih? Aku kan sudah bilang,
bahwa...."
"Serahkan kembali yang kau selipkan di ikat pinggangmu
itu, Pandu ganteng!" tangannya masih tengadah meminta.
"Berani sumpah serapah deh, aku nggak sembunyiin apa-
apa di ikat pinggangku."
"Aku keluar nih...! Aku teriak maling, ya?!" Pelayan itu mau
keluar, tapi buru-buru ditarik Pandu,
"Eeeh... jangan dong!"
Pelayan itu segera ditarik menjauhi pintu. Rupanya pelayan
itu tadi sempat melihat saat cincin diseliipkan ke dalam ikat
pinggang. Pandu berpikir begitu. Mau tak mau dia mesti cari cara
untuk bisa pertahankan cincin itu.
"Begini, hmmm... o, ya... kamu pelayan untuk kamar ini?"
"Ya. Kamarku ada di samping."
"Namamu siapa?"
"Dewi Punggawa Nagari."
"Wah, kebagusan! Pelayan kok namanya kayak gitu. Ganti
aja deh!"
"Bagaimana kalau………. Genduk Saliyem?"
"Nah, pakai nama itu saja deh, lebih cocok."
"Memang itu nama asliku. Yang tadi nama samaran aja, biar
keren di mata lelaki!" ujarnya sambil melirik ganjen
"Begini, Saliyem... terus terang aja, aku memang mencuri
salah satu cincin milik sang Ratu, karena aku sangat membutuhkan
untuk menolong orang banyak. Bukan untuk kepentingan
pribadiku. Sebagai pendekar. Aku harus menyelamatkan orang ba-
nyak dan menjaga perdamaian di bumi. Cincin yang kucuri ini
adalah cincin pusaka yahg dapat membahayakan masyarakat. Jadi
kumobon bantuanmu, jangan halangi niatku mencuri cincin ini!
Jangan biliang sama sang Ratu, biar nggak terjadi keributan. Tolong,
diam-diam saja, ya? Mau kan bantu aku?" sambil dagu Saliyem
dicubit pelan oleh Pandi maksudnya kasih 'bonus' pada pelayan itu
biar hatinya girang dan nggak mendesak minta cincin itu.
''Perlu kau ketahui, aku orang yang bertanggung jawab di
dalam kamar pribadi Gusti Ratu. Kalau ada apa-apa yang hilang,
pasti akulah yang jadi korban tuduhan pertama kali. Aku bisa
digantung, Pandu."
"Aaah… totonglah. Ini penting sekali."
''Lalu siapa yang akan menolongku jika sampai aku
digantung karena ada barang yang hilang?"
"Yah, bagaimana caramulah supaya kau pun jangan
digantung. Yang jelas cincin ini kuperlukan bukan untuk
kepentingan pribadi! "
''Apa yang kuperoleh kalau aku mau menolongmu?"
''Hmmm… kau mau minta apa? Sebutkan permintaanmu,
nanti akan kuberikan sepagai upah pertolonganmu.''
''Hmmm… hmmm… bagaimana kalau aku minta dicium?''
"Ah itu terlalu berlebihan. Lagi pula, aku kan parac ratumu.
Masa’ aku cium-cium pelayannya. Itu sama saja kau merendahkan
ratumu!" Pandu berkilah untuk hindari tuntutan itu.
Saliyem memandang dengan mata berbinar-binar. "Aku
nggak akan bilang-bilang sama Gusti Ratu. Ciumlah aku tiga kali
saja. Bibir, pipi, dan kening. Nih…!" Saliyem sodorkan bibirnya yang
bergigi mancung.
Pandu malah geli sendiri dan membatin. "Wah, ini gigi apa
kapal keruk?"
"Ayo, dong…!" desis Saliyem sambil masih menyodorkan
bibirnya yang setebal kue cucur. Mekar bak kembang matahari.
Pandu makin geli. Hatinya berkata,
"Wah, nggak tega benar aku! Bisa muntah dua minggu kalau
aku harus cium bibir kayak gitu. Mana merahnya karena merah sirih
lagi. Bau sisik tembakau. Ya, ampuun... nasib apa yang kualami ini
sebenarnya? Masa' mau dapatkan 'Cincin Daki Dewa' saja harus
nyium kuda nil dulu sih?" gerutu Pandu dalam hatinya, sambil
berpikir cari cara menghindari desakan itu.
"Ayo...!" desak Saliyem. "Kalau nggak mau, aku teriak
maling nih!"
"Eh, jangan dong! Kamu ini ngancamnya kok teriak maling
melulu!" pundak Saliyem digebuk. Perempuan pendek itu tergucang
kasar. Hampir saja jatuh tersungkur karena gebukan basa-basi itu.
"Atau, kecup dulu keningku deh! Yang mesra, ya? Nih...!"
Saliyem sodorkan jldatnya yang mancung juga. Jidat itu mengkilap
karena berminyak. Rambutnya memakai minyak kelapa yang
mungkin sudah tiga hari, sehingga baunya tengik. "Ayo, dong...!"
Saliyem nekat maju, memeluk Pandu. Tapi karena tingginya hanya
sebatas dada Pandu, maka ia hanya bisa melingkarkan kedua
tangannya ke pinggang. Tubuhnya dirapatkan sekali, hingga Pandu
rasakan sesuatu yang mengganjal di bagian ulu hatinya. Sesuatu
yang mengganjal itu ternyata gigi Saliyem.
Bulu kuduk Pandu langsung merinding. Pandu berusaha
melepaskan diri, tapi Saliyem minta dikecup dulu. Pandu beralasan
macam-macam-macam sampai akhirnya ia berhasil lepas dari
pelukan Saliyem.
"Aku teriak maling nih!" ancam Saliyem.
"Masa bodohlah!" sentak Pandu dengan dongkol. Dan saat
itu terdengarlah ledakan dahsyat mengguntur, membuat lantai
kamar berguncang. Ledakan dahsyat itu adalah ledakan yang
membuat pintu gerbang Jebol. Pandu Jadi tegang dan pikirannya
segera terarah pada kehadiran Ki Parma Tumpeng serta Payung
Cendana.
"Pasti ada yang nggak beres di depan sana!" pikir Pandu.
"Pandu, mau ke mana kau?!"
Pandu nggak mau peduli lagi dengan seruan itu. Dia nekat
keluar dari kamar ifu untuk melihat kekhawatiran tentang Payung
Cendana dan Ki Parma Tumpeng. Saliyem sempat berseru,
"Kau sial, Pandu! Sial!"
Wuttt...! Pandu keluar dari kamar. Beberapa prajurit yang
sibuk dalam rangka pertarungan sang Ratu dengan tamunya itu
terkejut melihat Pandu keluar dari kamar Ratu. Salah seorang
berteriak,
"Tangkap orang itu! Tangkap...!"
Pandu Puber segera berlari menyusuri serambi. Dari arah
depan muncul dua orang bersenjatakan tombak. Keduanya
menyerang Pandu secara berbarengan. Pandu menghindar dengan
satu lompatan bersalto hingga tangannya menyentuh langit-langit
serambi.
Plak, plak, plak, plak...!
Semua orang terbengong kagum melihat Pandu berjalan
pakai telapak tangan yang menempel di langit-langit serambi.
Rupanya tangannya punya daya hisap seperti cecak hingga dapat
berjalan di langit-langit serambi. Pandu sendiri heran mengapa tiba-
tiba tangannya bisa bergerak begitu? Mungkin karena ia dilahirkan
sebagai bayi yang nggak punya garis tangan sedikit pun, sehingga
telapak tangannya mempunyai daya hisap cukup kuat. Atau,
mungkin ayahnya mempunyai ilmu rayap seperti itu, tapi Pandu
nggak sempat dapat penjelasan, sehingga tahu-tahu ia bisa berjalan
dengan tangan menyerap di plafon! Pada saat itu batin Pandu
sampai berkata,
"Kayak tokek panik kalau gini?" Maka ia pun menamakan
ilmu itu sebagai jurus ‘Tokek Panik’. Memang begitulah Pandu,
kasih nama jurus milik ayahnya yang menitis dalam dirinya dengan
seenaknya saja.
Lolos dari kepungan para prajurit, Pandu segera melesat ke
atas tembok benteng. Dari sana ia seperti seekor harimau kumbang
yang melompat dan bersalto beberapa kali di udara. Dalam sekejap
sudah berada di stamping Payung Cendana.
Jlegg...!
"Pandu…?!" Payung Cendana terkejut dengan suara pelan,
karena ia sedang menahan sakit di bagian dadanya yang ingin
memuntahkan darah untuk yang kedua kalinya. Ki Parma Tumpeng
pun terbatuk-batuk walau ia sadar bahwa Pandu sudah ada di situ.
Bunga Taring Liar menarik napas begitu melihat Pandu, merasa
lega. Tapi matanya segera mengarah kepada Ratu Cadar Jenazah
penuh waspada. Pedangnya masih di tangan dan siap serang jika
sang Ratu Membahayakan keselamatan gurunya. Kecurigaan mulai
membakar murka sang Ratu. Suaranya terlepas lantang kepada
Pandu Puber.
"Pandu, kembali ke kamar."
"Untuk apa?" ujar Pandu dengan seenaknya. Ia berplkir,
'Cincin Daki Dewa' sudah ada padanya. Berarti dia tak perlu takut
kepada segala macam jurusnya Wulandita. Toh jurus-jurus itu nggak
bakalan mampu melukainya karena ia dalam pengaruh gaib 'Cincin
Daki Dewa' itu. Penampilan Pandu semakin tenang, semakin cuek
dengan kemurkaan Ratu Cadar Jenazah.
Pandu berkata kepada Payung Cendana dan Ki Parma
Tumpeng, "Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri orang itu!"
"Hati-hati, dia Sudah pergunakan 'Aji Baja Geni’. Jangan
Sampai tersentuh olehnya" bisik Payung Cendana.
"Ah, kecil itu...," ujar Pandu sambil melangkah lebih
mendekati sang Ratu.
"Kuperintahkan sekali lagi padamu, Pandu... masuklah ke
kamar dan jangan ikut campur urusan ini!"
"Nggak mau!" jawabnya tegas-tegas.
"Kau makin membuatku murka, Pandu! Minggirlah agar,
kau tak jadi korban tambahan! Mereka harus kubunuh karena sudah
membuat emosiku meluap tak terbendung!"
"Aku akan melindungi mereka!"
"Jadi kau ada di pihak mereka?!"
"Benar!" jawab Pandu kalem tapi merupakan pernyataan
yang tegas sekali.
"Kalau begitu aku terpaksa beri pelajaran padamu agar tahu
siapa orang yang layak kau pihak! Hiaaat...!"
Ratu Cadar Jenazah melesat dalam satu lompatan maju
bagaikan terbang. Pandu Puber menyambutnya dengan lompatan
yang sama, sehingga mereka segara beradu pukulan telapak tangan
begitu sampai di pertengahan jarak.
Plak, plak, plak...! Duhgg!
"Aaaow...!" Pandu memekik, ia segera bersalto ke belakang
tiga kali begitu kaki mendarat ke bumi. Kedua tangan Pandu
melepuh dan hangus bagaikan habis memegang bara api. Ia
menyeringai kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Lengannya pun ikut hangus karena terkena sentakan kaki sang Ratu.
"Itu pelajaran pertamaku, Pandu!" seru Wulandita.
"Minggirlah dan jangan ikut campur supaya kau tak celaka!"
"Pandu...!" sergah Payung Cendana dengan nada cemas. Ia
menghampiri dan memapah Pendekar Romantis penuh perhatian.
"Sudah kubilang jangan sampai menyentuhnya, mengapa
kau masih menyentuh tangannya! Semua tubuhnya mengandung
panas api yang tinggi, Pandu!"
Pandu diam saja hanya menarlk napas panjang dan
menahannya. Kedua tangan itu segera bergetar karena mendapat
penyaluran hawa dingin dari dalam tubuhnya sendiri. Hawa murni
pun segera disalurkan agar lukanya lekas pulih dan tak terasa sakit.
Hati Pandu Puber sempat membatin,
"Sial! Kenapa aku masih bisa tertuka? Padahal, kata Kakek,
siapa yang membawa atau memakai cincin 'Daki Dewa' maka ia
akan berada dalam gelombang gaib cincin tersebut, tak akan mampu
digores atau dilukai dengan senjata apa pun. Tapi kenapa tanganku
masih bisa melepuh?"
Di lain pihak, Ratu Cadar Jenazah sendiri punya kecemasan.
Melihat gelagatnya sang Pendekar Romantis nggak mau mundur,
Ratu Cadar Jenazah membatin sendiri,
"Kalau lawan dia, agak berat juga jika hanya mengandalkan'
Aji Baja Geni', soalnya dia punya Pedang Siluman. Tentunya ia juga
sudah diberi tahu oleh Payung Cendana tentang kelemahanku.
Hmmm... rupanya dia dan Payung Cendana sudah sekongkol untuk
menyerangku. Buktinya Payung Cendana yakin betul kalau pemuda
itu ada bersamaku. Sebaiknya aku harus memakal cincin 'Daki
Dewa' untuk menghadapi Pedang Sllumannya itu."
Lalu sang Ratu berseru keras kepada Rembulan Pantai yang
ada di dekat gerbang.
"Rembulan! Ambil cincin 'Daki Dewa' di almariku! Suruh
Saliyem mengambilkannya!"
Terhitung ceroboh juga ratu yang satu ini, menurut
penilaian batin Pandu. Pusaka seperti itu dipercayakan kepada
pelayan atau pengawalnya untuk mengambil. Kalau dibawa kabur
nggak salah yang disuruh. Ternyata sang Ratu memang perempuan
yang pintar-pintar bodoh. Buktinya ia tidak lanjutkan serangannya,
padahal saat itu Pandu sedang kehilangan konsentrasi ke arah
lawan. Konsentrasinya ada pada kedua tangannya yang melepuh
dan sekarang sedang membaik berkat hawa murninya. Kalau saja ia
segera menyerang, pasti Pandu bisa keteter. Rupanya ia menunggu
cincin itu diambil oleh Rembulan Pantai. Pandu hanya tersenyum
membayangkan sang Ratu akan kelabakan mendengar cincin sudah
tidak ada di tempatnya.
"Lho...?!" Pandu sendiri malah jadi bingung setelah meraba
ikat pinggangnya, ternyata cincin itu nggak ada di tempat
penyimpanannya. Pandu Puber meraba-raba sekeliling ikat
pinggang, namun tak dirasakan ada benda yang mengganjal kecuali
uang lembaran beberapa sikal, (sikal: jenis mata uang).
"Rembulaaan...!! Cepaaat...!" teriaknya liar sekali, antara
dongkol dan cemas.
"Harus segera kudului pakai Pedang Siluman!" pikir Pandu,
maka dengan satu sentakan khusus pedang itu pun segera dicabut
dari tempat penyimpanannya yang fantastis sekali itu.
Zlubb...!
Kini Pandu menggenggam sebilah pedang yang
memancarkan sinar pijar warna ungu. Ratu Cadar Jenazah menjadi
gusar sendiri.
Sebelum bergerak, Pandu sempat memandang munculnya
Saliyem dari atas tembok benteng. Perempuan pendek itu segera
bersalto beberapa kali turun dari atas benteng.
Jlegg...! Dan hal itu membuat sang Ratu maupun Pandu
sama-sama terkejut, ternyata Saliyem punya ilmu yang boleh juga
untuk diandalkan. Mereka menjadi lebih terkejut ketika Saliyem
mengembangkan kelima jari tangan kirinya di depan dagu dan
berkata,
"Cincin inikah yang Gusti Ratu inginkan?!"
"Celaka! Cincin itu sudah ada di tangan Saliyem?!" pikir
Pandu penuh keheranan. "Kapan ia mengambilnya dariku? Oh,
mungkin... mungkin pada saat ia berlagak memelukku, ia
sempatkan diri untuk mencopet cincin itu dari pinggangku?! Kurang
ajar babu satu itu! Pantas dia tadi bilang aku akan sial. Rupanya ia
sudah berhasil mencopet cincin itu dari pinggangku! Benar-benar
sialan pelayan bergigi mancung itu."
"Saliyem, serahkan cincin itu! Lekas serahkan!"
Wuttt...!
Saliyem melompat dalam gerakan salto mundur. Lincah
sekali babu bergigi keriting duren itu. Dengan senyum yang nggak
pernah bisa dibilang manis itu, Saliyem berkata keras,
"Kalahkan Pendekar Romantis itu, baru saya serahkan cincin
ini!"
"Kau jangan main-main, Saliyem!" bentak sang Ratu.
Rembulan Pantai muncul langsung berseru, "Gusti,
cincinnya sedang dicari oleh Saliyem dan... dan... lho, kok dia sudah
ada di sini?!" Rembulan Pantai menatap Saliyem dengan heran dan
terperanjat bingung.
"Gusti Ratu!" seru Saliyem. "Kalau memang Gusti Ratu
berilmu tinggi dan berani menobatkan diri sebagai penguasa dunia
hitam, lawanlah Pendekar Romantis tanpa pergunakan 'Cincin Daki
Dewa' ini! Kalau memang bisa unggul, saya salut dan menaruh
hormat tinggi-tinggi pada Gusti Ratu. Kalau memang Gusti Ratu
menang melawan Pandu, saya nggak bakalan ngomong-ngomong
sama siapa-siapa-siapa tentang skandal Gusti Ratu dengan pemuda
itu tadi malam!"
"Kurang ajar! Kupecahkan gigi centongmu itu, Saiiyem!
Hiaaat...!"
Sang Ratu melesat ke arah Saliyem. Tapi Pandu Puber
segera melesat pula ke depan Saiiyem.
Wuttt...!
Ia menghadang gerakan sang Ratu. Melihat Pandu
menghadang, sang Ratu segera lepaskan pukulan sinar birunya.
Slappp...!
Pandu menghadang sinar itu dengan pedang ditegakkan di
depan wajah.
Trangng...! Wusss...!
Sinar itu memantul balik ke arah Ratu Cadar Jenazah.
Keadaan yang nggak disangka-sangka itu membuat sang Ratu
terkejut. Ia buru-buru menghindar, tapi terlambat. Sinar itu
menghantam pundaknya. Jrabb...!
"Oohg...!" Ratu Cadar Jenazah terhuyung-huyung saat
kakinya mendarat di tanah. Tubuhnya melengkung ke depan,
membungkuk karena sinar biru mengenai dada bawah pundak.
"Habis riwayatmu, Sayangl" ujar Pandu menggeram, lalu
pedang menyala ungu itu disentakkan lurus ke depan. Dari ujung
pedang keluar sinar ungu lurus sebesar lidi. Clappp...! Sinar itu tepat
menembus bagian pusar sang Ratu yang kelihatan dari balik
pakaian transparannya itu.
Jrabbb...!
"Aaahg...!" sang Ratu berteriak keras, namun tak bisa
memanjang. Ia mendongak dan diam tak bergerak. Tubuhnya
berasap. Makin lama makin tebal. Semua orang memandang dengan
tegang.
Ketika asap itu lenyap, semua orang memandang dengan
terbengong melompong. Sang Ratu hilang. Tapi di tempatnya
berdiri terdapat setumpuk abu putih lembut seperti tepung. Namun
pakaian sang Ratu nggak ikut menjadi debu. Masih kelihatan utuh
di atas tumpukan debu itu.
"Gusti...! Gusti Ratuuu...!" Rembulan Pantai berlari
menghamburkan tangis sambil meraup debu itu. Pandu Puber tak
berani melihat perempuan menangis, ia langsung buang muka dan
menjauh.
Pendekar Romantis melangkah dengan gagahnya. Langkah
itu adalah langkah kemenangan atas keberhasilannya mengalahkan
sang Ratu. Namun sayang, kematian sang Ratu dalam keadaan
tanpa jenazah karena menjadi debu, sehingga nggak bisa
dimakamkan seperti layaknya jenazah para ratu.
"Kau berhasil, Pandu...," ujar Payung Cendana dengan
berseri dalam memar lukanya.
Pandu nggak peduli karena ia melihat Saliyem sedang
melarikan diri. Sedangkan dari arah gerbang juga muncul sosok
perempuan pendek yang bergigi tonggos dan berjidat jenong.
"Lho, itu Saliyem? Yang lari itu juga Saliyem? Kok ada
dua?!" pikir Pandu.
Kemudian ia mengejar Saliyem yang melarikan diri seperti
anak kijang itu. Karena di tangan Saliyem yang itulah 'Cincin Dakl
Dewa' dikenakan di jari tangan kiri. Pandu ingin merebut cincin itu
karena takut disalahgunakan. Namun langkahnya terhenti ketika
Saliyem tahu-tahu melompat dan berdiri di atas kerimbunan daun
dari pohon yang menjulang tinggi. Ia mampu berdiri di sana tanpa
membuat daun itu berjatuhan atau rusak, berarti ia berilmu cukup
tinggi.
"Kuingatkan sekali lagi padamu, Pandu.... Bersihkan
jiwamu, sucikan hatimu dari gairah kencanmu, baru kau bisa
menangkapku!"
"Apa maksudmu berkata begitu, Saliyem!"
Saliyem nggak mau menjawab, namun tiba-tiba tangannya
menyentak ke atas. Seberkas sinar merah melesat ke langit. Di
angkasa sinar itu pecah membentuk hiasan sinar bunga api dalam
bentuk sekuntum mawar merah. Pandu terperanjat kaget, sebab ia
tahu itulah tanda yang dimiliki oleh Bidadari Penguasa Kecantikan
yang bernama Dian Ayu Dayen, calon istrinya yang harus dikejar
dan dikalahkan. Hanya dian Ayu Dayen yang punya sinar mampu
membentuk bunga mawar di angkasa.
"Diaan...!" teriak Pandu dengan jengkel kepada Saliyem.
Wuttt...! Pandu melompat naik ke atas pohon menyusul
Saliyem palsu. Tapi perempuan itu lenyap seketika. Muncul lagi di
pohon yang jauh dalam wujud putri cantik yang berpakaian serba
putih dengan belahan dadanya menyembulkan sekuntum bunga
mawar asli. Itulah sosok bidadari Dian Ayu Dayen yang
kecantikannya nggak ada yang menyamai.
Dari kejauhan sana Pandu bisa mendengar suara batin Dian
Ayu Dayen,
"Cincin ini akan kuselamatkan, Pandu. Kalau jatuh ke
tanganmu juga berbahaya, karena kau masih mata keranjang, nggak
bisa menahan emosi cinta. Luruskan dulu hatimu, sucikan dulu
cintamu, baru kejarlah daku dan kau kutangkap dalam pelukan se-
panjang masa!"
"Brengsek! Kalau tahu begitu kau kucium saat di kamar sang
Ratu! Dasar bidadari brengsek!" serunya dengan jengkel sendiri.
Kejengkelannya itu membuat keseimbangan dan konsentrasinya
terganggu, sehingga ia kehilangan ilmu peringan tubuhnya sesaat.
Akibatnya ia jatuh dari ketinggian pohon dan pinggangnya
menghantam batu sebesar kepalanya sendiri.
Guzrakkk...! Bruss! Blugg...!
"Aooowww...!" pekiknya sambil menyeringai lucu.
SELESAI
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu :Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com