Pendekar Romantis 9 - Ratu Cadar Jenazah(2)


TIGA
SUARA ketukan pintu kamar lebih dulu terdengar sebelum
Ratu Cadar Jenazah membuka pintu almari. Ketukan pintu itu
tampak memburu. Berarti ada sesuatu yang penting. Suara Rem-
bulan Pantai pun terdengar lantang. Biasanya gadis itu nggak berani
bersuara seseru itu.
"Ada apa, ya?" gumam sang Ratu, kemudian kunci almari
dikunci kembali. Klik...! Ia buru-buru mengenakan pakaian dan
menyambut tamunya yang gugup itu.
Di dalam almari Pandu Puber mengeluh jengkel sekali, "Sial
betul sih aku ini?! Sudah mau lepas, eeh... terkunci lagi! Kalau tahu
begitu, tadi waktu pintu diputar membuka, aku langsung
mendobraknya kuat-kuat. Ah, pakai ada yang menggedor-gedor
pintu kamar segala sih, jadi batal keluar deh! Kupret benar!"
gerutunya penuh makian kedongkolan. Tapi batinnya segera diam
dari gerutuan karena ia perlu menyimak suara percakapan di luar
almari.
Pandu Puber cuma bisa membayangkan bahwa suara itu
adalah suara berwajah cantik galak milik Rembulan Pantai. Ia juga
bisa membayangkan wajah itu sekarang sedang tegang. Karena kata-
kata yang meluncur dari mulut Rembulan Pantai menandakan
ketegangan wajahnya sih. Mau nggak mau Pandu pun berkerut
dahi.
"Ada apa sampai kau berani gedor-gedor pintu kamarku,
Rembulan Pantai?!"
"Gusti Ratu, orang-orang kesultanan Sangir datang di bawah
pimpinan Rani Adinda!"
"Aku nggak punya urusan sama Sultan Danuwija ! Mau apa
mereka datang? Berapa jumlahnya?"
"Yang Jelas lebih dari dua puluh pasukan berkuda, Gusti.
Mereka menuntut agar sayembara menangkap Pandu Puber
dibatalkan! Mereka siap perang dengan pihak kita, Gusti! Rani
Adinda telah mengumumkan tekadnya dan sebagian dari prajurit
kita sudah ada yang dilumpuhkan, Gusti!"
"Kurang ajar! Rani Adinda itu kan muridnya Resi Pancal
Sukma dari Perguruan Naga Jilu?! Berani-beraninya dia bertingkah
di depanku, hah?! Kurajang habis tubuhnya! Kalau perlu seluruh
orang kesultanan Sangir dan orang Perguruan Naga Jilu suruh
bersatu melawanku! Kubabat habis mereka!"
"Ya, babat saja, Gustil"
"Ambil pedang 'Tangan Maut' di ruang pusaka!"
"Baik, Gusti!"
Brakkk...!
Pintu kamar dibanting. Pasti sang Ratu yang
membantingnya sambil bergegas keluar. Nggak mungkin Rembulan
Pantai yang membanting pintu. Bisa ditampar tujuh puluh empat
kali oleh sang Guru yang menjadi berang itu.
Makhluk di dalam almari Itu juga ikut-ikutan tegang. Si
tampan berbaju ungu bintik-bintik putih bening kayak tetesan
embun itu menjadi cemas kebingungan.
"Rani Adinda...?! Gadis bodoh dia itu! Apa dia nggak tahu
kalau Ratu Cadar Jenazah itu ilmunya tinggi? Nggak bakalan ia
menang melawan sang Ratu. Ah, bodoh benar! Bapaknya sendiri
gimana sih? Masa' anaknya diizinkan bawa pasukan berkuda
sampai berjumlah dua puluh orang lebih? Apa Sultan Danuwija
nggak tahu kalau Ratu Cadar Jenazah itu punya 'Aji Baja Geni' yang
terkenal ampuh itu?! Uuuh... konyol! Konyol semua! Gadis itu
konyol, bapaknya juga konyol, sang Ratu pun konyol, dan almari
ini... ah, almari ini sebenarnya yang layak mendapat julukan si 'Raja
Konyoi'. Masa' didobrak nggak bisa sih?"
Pada dasarnya Pendekar Romantis nggak ingin ada korban
atas tersebarnya sayembara berburu dirinya. Ia sangat khawatir
akan keselamatan Rani Adinda, gadis putri sultan yang punya dada
pabrik susu itu. Kalau saja Pandu bisa keluar dari almari itu, maka ia
tak begitu mengkhawatirkan keselamatan Rani Adinda. Soalnya dia
bisa ikut campur dalam bentrokan tersebut, dan dapat selamatkan
Rani Adinda. Tapi sekarang dalam keadaan seperti ini ia nggak bisa
apa-apa. Ini sangat menjengkelkan hati Pandu Puber yang
membuatnya mencoba mendobrak almari iagi sampai tangan dan
kakinya sakit sendiri.


Kejap berikutnya Pandu Puber ingat dengan pusaka
andalannya; Pedang Siluman. Pedang itu menjadi satu dengan kulit
dan daging kaki kanannya. Pedang itu adalah jelmaan dari
kakeknya yang bernama Kala Bopak, raja jin yang ngetop karena
kawin dengan manusia dan melahirkan seorang gadis bernama
Murti Kumala. Perempuan cantik anak jin inilah yang akhirnya
menjadi ibunya Pandu Puber, (Sejarah pedang ada dalam serlai
Pendekar Romantis episode: "Pedang Siluman" baca deh, asal jangan
robek aja).
Pedang itu selain bisa masuk ke dalam kaki kanan Pandu,
bisa memancarkan cahaya ungu, juga bisa diajak ngomong.
Maklum, namanya saja pedang jelmaan raja Jin, tentu saja bisa diajak
ngomong asal nggak pakai bahasa inggris aja.
Tetapi maksud Pandu Puber bukan mau mengajaknya
ngomong, tapi mau gunakan pedang itu untuk membelah pintu
almari. Dengan cara khusus yang sudah dijelaskan dalam cerita
"Pedang Siluman", Pandu pun segera keluarkan pedang tersebut.
Tapi baru ditarik separoh bagian, malah belum sampai separohnya,
tiba-tiba terdengar suara raja jin bicara dengan tenangnya,
"Mau ngapain, Cucuku?"
Pandu agak kaget, karena baru pertama kaii ini ia bicara
dengan pedangnya. Ia sangat kenal dengan suara kakeknya, karena
ia cucu kesayangan sang kakek. Maka Pandu Puber pun menjawab,
"Kek, apa kau bisa dengar suaraku?"
"Emangnya gue tuli! He, he, he...!" jawab suara kakeknya.
Dari dulu memang sang Kakek ini suka bercanda dengan cucunya,
nggak heran kalau meski sudah jadi pedang pun masih suka
bercanda dengan sang cucu.
"Kek, aku terkurung di dalam almari nih!"
"Lha kok bisa?"
"Ceritanya panjang deh, Kek. Tolongin dong, aku mau
keluar nih!"
"Ini almarinya siapa?"
"Ratu Cadar Jenazah!"
"Lagian kamu pendekar kok macam-macam aja tingkahnya.
Masuk almari cewek segala. Kamu jangan playboy banget kayak
bapakmu, ah! Itu nggak baik."
"Idilih... Kakek! Dimintai tolong sama cucunya kok malah
kasih nasihat! Aku kegerahan nih, Kek. Aku mau pakai Kakek buat
mecahin pintu almari ini, ya?"
"Kamu ini anak dewa kok kerjanya ngerusak barang orang?
Jadi anak dewa itu yang anteng, kalem, tenang, jangan setiap
perempuan naksir dilayani. Huuh... kecil-kecil sudah playboy,
gedenya mau jadi playgroup kali lu, ya?"
"Kakek ini kok melantur sih?! Kalau Kakek nggak mau
tolong aku, Kakek mau kubuang ke tong sampah, biar digondol
anjing iho!"
"Jangan, jangan...!" terdengar nada cemas dari suara sang
Kakek yang tampak dalam wujud pedang bercahaya ungu itu. Kata
sang Kakek lagi,
"Kalau aku dibuang ke tong sampah, ya kalau digondol
anjing, kalau diambil orang, repot sendiri lu! Nggak akan menang
melawan kekuatanku di tangan orang lain!"
"Habis Kakek jengkelin banget sih. Dimintai tolong malah
ceramah!'
"Sudah, sudah... jangan marah. Nanti nggak Kakek kasih
permen karet lho!"
"Bodo, ah!" Pandu sewot. Dia memang manja kalau sama
kakeknya. Habis sang Kakek memang senang memanjakan sang
cucu sih, jadinya ya kolokan gitu.
"Sebenarnya aku sudah tahu semuanya, Pandu. Kau dalam
rangka ingin mengalahkan Ratu Cadar Jenazah, bukan?"
"Udah tahu kok tanya?" ucap Pandu bernada ketus.
Terdengar tawa sang Kakek samar-samar dan ucapan yang
menggoda dalam kemanjaan kasih sayang,
"Jangan marah dulu, Cah Bagus! Dengar penjelasan Kakek
ini. Ratu Cadar Jenazah itu pernah jadi istri panglimaku. Panglima
negeri jin di alam gaib sana, namanya Gadrawowo Silobahutang."
"Panjang amatnamanya?"
"Silobahutang itu cuma nama marga saja. Aslinya ia
bernama Gadrawowo," tutur suara sang Kakek dengan nada sabar.
"Nah, Gadrawowo ini pernah menemukan batu gaib yang bernama
batu 'Daki Dewa', yaitu kumpulan dakinya Sang Hyang Guru Dewa
yang jatuh di alam jin. Batu lalu dibentuk sedemikian rupa dan
dijadikan cincin pusaka yang bernama 'Cincin Daki Dewa'."
"Apa hubungannya dengan keadaanku yang terperangkap
di dalam almari ini, Kek?"
"Dengar dulu dong, jangan main potong seenaknya!" sergah
suara sang Kakek. "Perlu kau ketahui, Wulandita itu pernah mati
tujuh kali. Tapi selalu bisa hidup kembali karena dibantu oleh
kekuatan gaib panglimaku; si Gadrawowo itu!"
"Mengapa panglima Kakek mau membantunya?"
"Karena Gadrawowo naksir sama Wulandita. Akhirnya
pada kematian yang ketujuh itulah, Gadrawowo kukawinkan
dengan Wulandita. Jadilah si Wulandita istri Jin Gadrawowo itu.
Beberapa saat kemudian, Gadrawowo mati."
"Lho, jin kok bisa mati, Kek?"
"Hmmm... penjelasannya terlalu panjang sih ya? Pokoknya
kau anggap mati sajalah, walau sebenarnya ia hanya tak berfungsi
sebagai jin yang punya kekuatan gaib. Itu menurut istilah kami
dinamakan mati."
"Ooo... terus?"
"Wulandita hidup kembali dari kematiannya yang ketujuh
dan bergelar Ratu Cadar Jenazah, sebab ia sudah langganan menjadi
jenazah. Cadar yang dipakainya berguna menutupi pancaran gaib
yang bisa bikin tiap lelaki tergila-gila padanya. Jadi cadar itu
semacam filter yang...."
"Filter itu apa, Kek?"
"Wah, kamu itu jadi manusia kok goblok sih? Filter aja
nggak tahu. Filter itu artinya penyaring, Peradaban manusia yang
akan datang pasti akan mengenal istilah filter. Tapi kami para jin
sudah tahu lebih dulu istilah itu."
"Ya, sudah. Teruskan aja ceritamu itu, Kek."
"Nah, pada waktu Wulandita ingin pergi, Gadrawowo yang
sudah nggak berfungsi sebagai jin maupun sebagai seorang suami
karena sudah mati itu memberi Wulandita satu cindera mata, yaitu
'Cincin Daki Dewa'. Sampai sekarang 'Cincin Daki Dewa' masih ada
pada Wulandita dan disimpan di almari sebelah ruangan kita ini."
"Lho, memangnya kehebatan 'Cincin Daki Dewa' itu apa,
kok Kakek ceritakan padaku? Apa hubungannya dengan keadaanku
yang terkurung di sini?"
"Begini...," kata sang Kakek dengan sabar lagi. 'Cincin Daki
Dewa' mempunyai kekuatan sakti. Ia memancarkan gelombang gaib
yang mengandung lapisan inti baja delapan lapis. Di mana cincin itu
berada, maka tempat itu tak bisa dirusak atau ditembus dengan
benda apa pun, tak bisa dihancurkan dengan kekuatan tenaga dalam
apa pun. Siapa saja yang memakai cincin itu, maka ia akan menjadi
manusia inti baja delapan lapis. Jangankan dihujam pakai tombak,
dicubit saja nggak bakalan terasa!"
"Ooo...," Pandu manggut-manggut dengan masygul.
"Ruang sebelah ini adalah almari penyimpan pakaian lipat.
Nah, di dalam ruangan sebelah inilah cincin itu disimpan oleh
Wulandita. Memang semua pusaka disimpan di ruang pusaka. Tapi
untuk pusaka yang satu ini sengaja nggak ditaruh di sana, karena
'Cincin Daki Dewa' adalah pusaka yang terampuh dari semua
pusaka milik Ratu Cadar Jenazah. Nah, karena cincin itu ada di
dalam almari ini, maka almari ini nggak bisa dirusak dengan cara
apa pun dan dengan senjata apa pun. Aku sendiri nggak bakal
mampu merusak almari ini. Kalau aku kau hujamkan ke pintu, maka
aku hanya bisa menembus pintu saja, tapi keadaan pintu nggak bisa
rusak, karena aku sudah berbentuk Pedang Siluman. Bisa menembus
almari ini, tapi nggak bisa merusaknya."
"Apakah cincin itu yang dinamakan 'Aji Baja Geni' Kek?"
"O, bukan! 'Aji Baja Geni' lain lagi, itu kekuatan tenaga
dalam yang mengalir dalam darah Wulandita dan melapisi seluruh
tubuhnya. Sebenarnya 'Aji Baja Geni' itu tercipta berkat
percampuran darah Gadrawowo dengan darahnya Wulandita."
"Memangnya darah mereka sudah dicampur, Kek?"
"Sudah dong. Kan mereka sudah pernah kawin. Kalau
kawin kan pasti saling bertukar cinta, bertukar rasa, bertukar
kemesraan, dan saat itulah darah mereka tercampur, membentuk
satu kekuatan tenaga dalam pelapis yang punya hawa sakti
tersendiri. Tetapi punya cara pengendalian tersendiri. Kalau ke-
kuatan itu nggak dikendalikan oleh Wulandita, kekuatan 'Aji Baja
Geni' nggak berfungsi. Dan suaminya sudah mengajarkan
bagaimana cara mengendalikan 'Aji Baja Geni'. Makanya kalau
Wulandita sedang menggunakan ajian itu, tubuhnya nggak boleh
disentuh apa pun. Tangannya memegang pohon saja, pohon itu bisa
langsung terbakar dan kering menjadi arang."
"Katanya ada kelemahannya ya, Kek?"
"Ada. Kelemahannya di pusar, karena darah campuran itu
nggak bisa sampai di pusar. Sebab di pusar ada ruang kosong yang
hanya terisi cairan pada saat manusia belum lahir dari rahim sang
Ibu. Kalau sudah lahir, cairan itu habis dan ruang itu jadi kosong,
tak bisa ditembus cairan apa pun."
"Lalu, bagaimana dengan kelemahan 'Cincin Daki Dewa' itu,
Kek?" tanya Pandu semakin asyik, semakin ingin tahu.
"Nah, bisa kamu bayangkan, tanpa cincin itu saja Wulandita
sudah kebal, apalagi kalau cincin itu dipakainya. Dalam keadaan
nggak pakai cincin aku masih bisa menembus pusarnya, tapi kalau
dia udah pakai cincin itu, wah, aku nggak bisa menembusnya. Bisa
sih bisa, tapi nggak ada artinya, seperti bayangan saja. Jadi kalau
kau mau melawan dia, usahakan pada saat dia belum memakai
cincin itu. Kalau sudah memakai cincin itu, kurasa kau nggak bisa
mengalahkannya!"
"Seandainya sudah telanjur mengenakan cincin itu, lalu
bagaimana caraku mengalahkannya, Kek?"
"Hmmm... hm...," suara Jin Kala Bopak tampak menggumam
memikirkan jawaban atas pertanyaan sang cucu tersayang itu.
Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suaranya yang mirip orang
berbisik itu,
"Kayaknya nggak bisa! Nggak ada jalan untuk kalahkan dia
kalau dia sudah pakai cincin itu. Satu-satunya jalan ialah dengan
cara membujuk dia, entah bagaimana caranya, supaya ia lepaskan
cincin itu, lalu kau tusuk pusarnya dengan kekuatanku ini!"
"Repotnya kalau dia nggak mau lepaskan cincin itu ya,
Kek?"

"Iya sih! Tapi begini, Cucuku... kau bisa tanyakan kepada
eyangmu, ayah dari bapakmu itu."
"Siapa ayah dari bapakku itu, Kek?"
"Begawan Dewa Gesang! Dulu waktu Ibumu dilamar, beliau
sempat turun ke bumi dan menemuiku! Kurasa Begawan Dewa
Gesang tahu rahasia melawan 'Cincin Daki Dewa', sebab dia punya
hubungan dekatdengan Sang Hyang Dewa Guru!"
"Lha, cara memanggil Eyang Begawan Dewa Gesang
bagaimana, Kek?"
"Itu dia yang repot. Soalnya aku bukan dewa sih. Aku raja
Jin. Kalau cara memanggil jin, aku tahu. Tapi kalau cara memanggll
dewa, aku nggak tahu."
Pandu diam sebentar, mengingat sesuatu yang sulit
didapatkan. "Kayaknya dulu aku pernah diajari Ayah cara
memanggil mereka, gimana ya?"
"Begini saja," suara sang Kakek masih terdengar kalem,
"Kalau kau mau kalahkan dia, kau harus bisa curi cincin itu lebih
dulu. Jangan bertarung dengannya sebelum kau berhasil mencuri
cincin itu!"
"Kakek ini kok malah ngajarin cucunya untuk mencuri sih?"
"Lhooo... semua ini kan demi kebaikan toh? Kalau cincin itu
ada di tangan Wulandita, siapa pun nggak bakalan bisa
mengalahkannya."
"Tapi kok dia masih ingin pelajari isi Kitab Panca Longok,
dan bahkan bernafsu ingin dapatkan pusaka 'Cemeti Mayat', Kek?"
"Itulah keserakahan manusia. Sudah punya satu ingin dua,
sudah punya dua ingin tiga, begitulah seterusnya! Atau... tunggu,
tunggu!" suara sang Kakek lebih bersemangat lagi. "Jangan-jangan
Wulandita nggak tahu kalau 'Cincin Daki Dewa' itu punya kekuatan
dahsyat?! Soalnya, waktu ia diberi cincin itu oleh Gadrawowo, aku
sempat dengar si Gadrawowo berkata: 'Pakailah cincin ini sebagai
tanda kenang-kenangan dariku, bekas suamimu yang sudah mati
ini'. Nah, berarti Wulandita menganggap cincin itu hanya cincin
kenang-kenangan saja, makanya nggak diletakkan di tempat pusaka,
tapi di dalam almari ini."
"Kalau gitu, aku bisa membujuk Wulandita untuk nggak
memakal cincin itu sebelum harus bertarung denganku, Kek?"
"Bisa! Bisa saja begitu. Tapi coba selidiki dulu lebih seksama.
Jangan sampai kau terkecoh dengan anggapanmu sendiri."
"Gimana mau menyelidiki kalau aku sendiri masih
terkurung di sini?! Makanya, tolongin dong, Kek, biar aku bisa
keluar dari almari ini. Kaslhan Rani Adinda tuh. Bisa mati seribu
potong dia kalau lawan Ratu Cadar Jenazah."
"Gimana caranya, Kakek sendiri merasa nggak mampu
merusak almari ini, tapi kalau menolong Rani Adinda, mungkin
Kakek bisa."
"Caranya bagaimana, Kek?" Pandu bersemangat.
"Lepaskan Kakek, biar Kakek terbang sendiri dan
melindungi Rani Adinda."
"Baiklah kalau begitu, itu ide yang bagus sekali!"
"Kakekmu ini kan orang jenius, makanya jadi raja jin. Asal
kata dari 'jinius'!" ujar sang kakek lalu segera terkekeh saat dicabut
dari kaki Pandu Puber.
Pedang yang memancarkan cahaya ungu itu segera
ditusukkan ke pintu almari. Ternyata pedang itu mampu menembus
pintu almari seperti menembus bayangan. Bahkan satu sentakan
terjadi yang membuat pedang itu lepas dari tangan Pandu Puber,
kemudian melesat keluar dari dalam almari dengan menembus
pintu tersebut, tapi tanpa merusak pintu sedikit pun.
Jlusss...! Zlabbb...!
Pedang pun terbang dengan cepat, melesat kuat keluar dari
kamar pribadi sang Ratu. Tinggal Pandu sendirian lagi di dalam
almari itu. Hatinya sempat berkecamuk,
"Iya, ya...! Kayaknya Ratu Cadar Jenazah belum tahu kalau
cincin itu punya kekuatan gaib delapan lapisan inti baja. Buktinya
sudah tahu kedatangan lawan yang jumlahnya banyak, tapi dia
nggak mau pakai cincin itu! Pasti dia mengandalkan ilmu 'Aji Baja
Geni'-nya! Tapi ngomong-ngomong, sampai kapan aku terkurung di
sini nih?!"
Sesaat setelah bengong dengan bermandi keringat, Pandu
menemukan gagasan baru.
"O, iya... aku kan punya jurus 'Mata Dewata'? Kekuatannya
bisa meluluhkan kekerasan hati orang yang sedang marah. Mungkin
dengan menggunakan jurus itu kekuatan yang ada di sini pun bisa
kulumpuhkan! Coba, ah! Siapa tahu bisa? Kan ada pepatah yang
mengatakan 'lebih baik mencoba daripada mencopet'!"

EMPAT
USAHA meloloskan diri dari almari merupakan usaha yang
amat melelahkan, juga sangat menjengkelkan. Karena kecapekan,
Pandu Puber tertidur di dalam almari. Mudah-mudahan kisah ini
nggak akan terulang dan nggak akan menyebar ke mana-mana.
Sangat memalukan seorang pendekar tampan dan perkasa kok
tertidur dalam almari gara-gara nggak bisa keluar dari dalam almari
itu. Ini kan memalukan rimba persilatan. Mana tidurnya sampai
mendengkur, lagi! Amit-amit deh.
Orang yang lagi sial aja nggak gitu-gitu amat sialnya.
Kayaknya ada dosa yang dilakukan Pandu tanpa sadar
menghadirkan kesialan seperti itu. Apakah mungkin karena
sebelum berangkat ke situ Pandu sempat mencium bibir Nyai Guru
Payung Cendana? Mungkin yang bikin sial karena ia hanya menci-
um bibir saja. Coba kalau ia ikut mencium tangan si guru yang
cantik itu, mungkin nggak sebegitu apesnya nasib seorang pendekar
dalam almari pakaian.
Ketika Pandu terbangun dari tidurnya, hari sudah malam,
gelap sudah datang sejak tadi. Pandu memang nggak bisa lihat
apakah di luar sudah gelap atau belum, tapi suasana sepi dan suara
derik jangkrik yang samar-samar membuatnya yakin bahwa saat itu
hari sudah malam
"Celaka! Pingin buang air kecil, lagi! Ke mana buangnya,
ya?" gumam Pandu dalam hatinya. "Ampun deh! Nggak lagi-lagi
aku ngumpet dalam almari, ah! Menderita sekali. Mana di almari ini
nggak ada toiletnya? Kalau mau buang air repot sekali?!"
Segala macam cara sudah dicoba, tapi Pandu Puber belum
bisa keluar dari kurungan gelombang gaib 'Cincin Daki Dewa'. Hal
yang bisa berhasil dicoba adalah mengusir rasa ingin buang air.
Hawa murninya diolah dan disalurkan ke seluruh tubuh membuat
ia kehilangan minat buang air. Memang cukup melegakan, tapi
masih terbelenggu oleh kejengkelan sang nasib.
Pandu segera menyadari bahwa 'kakek'-nya sudah pulang
dari tugas. Pedang Siluman ternyata sudah ada di sampingnya.
Pandu mengambil pedang itu lalu diajak bicara lagi,
"Sudah lama pulangnya, Kek?".
Suara sang Kakek terdengar, "Sudah dari tadi."
"Kok nggak bangunkan aku?"
"Kulihat kau sangat kecapekan. Jadi kubiarkan dulu kau
tidur sampai puas."
"Puas nggak puas sih. O, ya... bagaimana dengan
pertempuran itu, Kek?"
"Berkat doa restumu, Rani Adinda terluka."
"Lho...?! Kok bisa sampai terluka?!"
"Waktu aku sampai sana, dia sudah terluka oleh Wulandita!
Kena racun 'Pendek Umur'."
"Aduh... kasihan amat?! Terus bagaimana nasibnya?"
"Aku hanya membayang-bayanginya saja. Membuat
Wulandita nggak bisa menghabisi rlwayat Rani Adinda. Lalu,
kugerakkan hati salah satu orangnya agar segera membawanya lari.
Rani Adinda berhasil dilarikan oleh orang tersebut, sementara yang
lain meneruskan pertarungan."
"Hasilnya bagaimana?"
"Berkat doa restumu, delapan belas orang kesultanan Sangir
terbunuh habis oleh Ratu Cadar Jenazah. Sisanya kusuruh melarikan
diri dengan menggerakkan batinnya dari jauh."
"Kenapa nggak dari tadi mereka kau suruh mundur, Kek?"
"Habis, aku keasyikan nonton tawuran itu sih."
"Uuh... Kakek!" Pandu kecewa. "Kalau begitu nanti kalau
aku lolos dari almari ini, akan kubalas kekejaman Ratu Cadar
Jenazah itu."
"Yang melakukan pembantalan itu sebenarnya bukan Ratu
Cadar Jenazah sendiri. Ia hanya sebagai komandannya saja."
"Lalu siapa yang membunuh delapan belas orang
kesultanan Sangir itu?"
"Panji Gosip dan Rembulan Pantai."
"Panji Gosip?! Siapa Itu Panji Gosip?"
"Orangnya Dalang Setan yang menjadi penjaga makam Nyai
Titah Bumi. Dia kepingin dapat pujian, kepingin dapat perhatian
dari Wulandita, karena dia kepingin dapat cumbuan lagi dari
Wulandita, makanya beraksi habis-habisan. Tapi setelah itu, Wulan-
dita ternyata nggak mau menggubrisnya. Malah sekarang Panji
Gosip tetap nggak boleh masuk Istana."
"Kok gitu, Kek?"
"Soalnya Ratu Cadar Jenazah bosan sama kemesraan Panji
Gosip yang gitu-gitu aja. Pada dasarnya memang Ratu nggak suka
sama anak muda itu. Cuma iseng-iseng aja menjalin cinta murahan,
tapi ditanggapi Panji Gosip dengan serius. Memang bocah goblok
sih si Panji Gosip itu!"
"Terus bagaimana dengan sang Ratu sendiri?"
"Sekarang sedang mengobati orang-orangnya yang terluka.
Mungkin sebentar lagi dia akan masuk kemari."
"Terus bagaimana dengan diriku, Kek?"
"Pasrah aja deh!"
"Pasrah gimana?! Aku kan seorang pendekar, masa' harus
pasrah aja melawan perempuan sekejam dia?"
"Maksudku, biar kau ditemukan dia dulu. Kalau kau sudah
ditemukan dia, baru kau bisa berbuat sesuatu. Entah dengan cara
menyerangnya atau dengan cara membujuknya, kau sendiri nanti
yang tahu. Sekarang kau nggak perlu banyak tingkah lagi. Diam
saja, menunggu dia buka almari ini."
"Kalau nggak dibuka-buka gimana?"
"Pasti dibuka. Sebab ini sudah malam, dia butuh pakaian
untuk tidur. Dan pakaian itu kulihat ada di sini!"
Semakin yakin Pandu bahwa hari sudah malam. Ia tidur
cukup lama. Soal tidurnya nggak dipikirkan. Tapi soal menghadapi
sang Ratu nanti yang kini jadi bahan renungan Pandu. Pedang
Siluman segera dikembalikan pada tempatnya, ke dalam kaki
kanannya. Ia masih duduk dengan mata berkedip-kedip bagai
tawanan menunggu ransum datang.
Ratu Cadar Jenazah sempatkan diri bersih-bersih badan. Ia
mandi di kolam keputrian. Selesai mandi, ia baru kembali ke kamar
pribadinya. Rembulan Pantai mengikuti atas perintahnya, karena
gadis itu masih dibutuhkan untuk teman bicara. Sebenarnya ia
punya tiga pengawal pribadi, tapi hanya Rembulan Pantai yang
paling akrab dan menurutnya enak diajak bicara.
Di dalam kamar, Ratu Cadar Jenazah sempat bicara kepada
Rembulan Pantai yang membawakan jubahnya,
"Malam ini suruh si Ranting Kumis siagakan semua prajurit.
Penjagaan diperketat, terutama di perbatasan. Suruh si Ranting
Kumis menambahkan kekuatan di sana dengan enam atau delapan
orang tiap pos!"


"Baik, Gusti Ratu," jawab Rembulan Pantai dengan sikap
patuhnya. "Tapi... menurut Gusti Ratu, apakah pihak kesultanan
Sangir akan menyerang kembali pada malam ini juga?"
"Aku kenal betul dengan Sultan Danuwija! Secara prinsip,
dia nggak akan berani menyerang kemari karena dia tahu
kesaktianku. Tapi barangkali saja ada gosokan dari pihak lain yang
membuat Sultan Danuwija keluarkan perlntah serang kepada para
prajuritnya. Terutama jika Rani Adinda sampai mati karena racunku
itu, jelas Danuwija akan balas dendam padaku!"
"Kalau begitu, bagaimana kalau Gusti keluarkan larangan
tidur bagi para prajurit untuk malam ini? Supaya mereka senantiasa
berjaga-jaga dan nggak lengah?"
"Itu gagasan yang bagus! Cuma yang kuherankan, kenapa
pedangnya Pendekar Romantis tadi ikut berkeliaran sendirian?
Terbang ke sana-sini menangkis seranganku terhadap Rani Adinda?
Mestinya Rani Adinda sudah mati bersama delapan belas orangnya
itu. Cuma karena ada pedang bercahaya ungu itu jadi dia bisa
dilarikan oleh pengawalnya!"
"Apakah Gusti Ratu yakin kalau itu pedangnya Pendekar
Romantis?"
"Lho, bukannya kau dan beberapa orang yang melihat
pertarungan Pandu Puber dengan Dalang Setah pernah bercerita
tentang ciri-ciri pedangnya Pendekar Romantis? Bukankah menurut
kalian ciri-cirinya kayak gitu?"
"Memang sih, cuma saya masih sangsi, apa benar itu
pedangnya Pendekar Romantis, sebab orangnya sendiri nggak
kelihatan!"
"Nah, itu yang perlu dipelajari! Berarti Pandu Puber itu bisa
menghilang. Buktinya ia bisa muncul dengan hanya tampak
pedangnya saja!"
"Oo... begitu, ya? Wah, kalau gitu Pandu Puber itu sakti
sekali ya, Gusti?"
"Kayaknya sih begitu. Cuma, ah... ngapain aku harus ngeper
sama dia?! Aku malah jadi penasaran sekali, ingin cepat berhadapan
dengan orang itu!"
Diam-diam Pandu Puber mengikik sendiri di dalam hatinya
mendengar percakapan itu. "Hi, hi, hi... aku disangka bisa
menghilang, keluar dari almari saja nggak bisa! Tapi biarlah ia
beranggapan begitu. Setidaknya mengurangi keberaniannya jika
berhadapan denganku."
Lalu, Pandu Puber mendengar sang Ratu memerintahkan
Rembulan Pantai untuk keluar dari kamar. Salah satu kalimat yang
jelas didengar adalah, "Aku mau istirahat. Capek sekali. Kuharap
jangan ada yang menggangguku, jangan ada yang mengetuk pintu
kamarku kalau nggak ada sesuatu yang amat penting! Kuberi
wewenang padamu untuk mengatasi semua masalah yang terjadi
malam ini. Kalau kau merasa nggak mampu lagi, baru kau
menghubungiku. Paham?"
"Paham sekali, Gusti!"
Rembulan Pantai pergi. Tentunya sang Ratu sendirian.
Pandu Puber mendengar suara sang Ratu mendendangkan sebuah
tembang. Arahnya ada di seberang sana. Menurut dugaan Pandu
sang Ratu berdendang sambil menghadap cermin rias. Pasti
cadarnya dibuka. Pandu makin penasaran ingin segera melihat
wajah tanpa cadar. Namun apalah daya jika badan terkurung,
khayalan melayang tanpa tujuan yang pasti.
Klik... tiba-tiba Pandu mendengar kunci almari diputar.
Dengar juga sih, tapi Pandu berusaha untuk tetap tenang. Ia
menunggu pintu almari dibuka dengan keadaan berdiri di depan
pintu itu. Almari itu cukup tinggi, walau kepala Pandu sudah
hampir menyentuh bagian atas almari.
Ternyata yang dibuka almari samping. Pandu agak kecewa.
Rasanya ingin cepat menjebol pintu di depannya saja. Tapi
kegeraman hatinya menjadi reda ketika ia mendengar sang Ratu
bicara sendiri, "Malam ini sebenarnya aku butuh hiburan sebagai
pelepas lelah. Apa enaknya Panji Gosip kusuruh masuk saja, buat
menghiburku malam ini? Hmmm... ah, jangan! Nanti dia tambah
ngelunjak. Tidur sajalah! O, ya... tapi aku harus pakai baju tidur
dulu, biar tubuh terasa santai tanpa ikatan apa pun yang
menghalang peredaran darah. Sebenarnya sih... lebih enak tidur
dalam keadaan begini, bebas tanpa kain penutup sedikit pun.
Peredaran darah bisa lebih lancar lagi. Tapi kalau tahu-tahu ada
maling masuk, gimana? Malu sama maling kan? Beruntung sekali
maling itu kalau lihat aku dalam keadaan seperti ini. Hi, hi, hi... elok
sekali tubuhku ini sebenarnya? Apalagi ditambah wewangian yang
harum begini, hmmm... pria mana yang nggak nyungsep lihat aku
dalam keadaan begini? Hi, hi, hi...!"
Saat itu Pandu sedang membayangkan keadaan sang Ratu.
Ucapan yang didengar bagaikan menggoda alam pikirannya, seakan
menuntun benaknya untuk berkhayal nakal.
Dan tiba-tiba Pandu terkejut, kunci pintu almari itu diputar.
Klik...! Pasti Ratu Cadar Jenazah ingin mengambil baju tidurnya.
Pandu malah kebingungan. Panik juga sih. Dan ketika pintu almari
dibuka, wuut...! Pandu terpekik kaget melihat sang Ratu dalam
keadaan polos, sang Ratu juga kaget melihat ada orang di dalam
almari. Maka keduanya sama-sama berteriak bersamaan.
"Haaah...?!"
"Setaaan...!" sang Ratu berbalik arah dan berlari ke ranjang
secara spontan, Pandu Puber pun jadi ikut-ikutan berbalik arah dan
berlari. Tapi ia lupa bahwa ia ada di dalam almari, sehingga baru
satu langkah sudah menabrak dinding belakang almari itu.
Gubrakkk...!
"Aaoow...!" Pandu memekik kesakitan, tubuhnya terpental
balik, jatuh di luar almari yang terbuka lebar.
Ratu Cadar Jenazah buru-buru kenakan jubah kuningnya
asal-asalan, sampai makainya saja terbalik. Ia menjadi panik setelah
menyadari apa yang dilihat bukan hantu atau setan tapi manusia
muda yang tampan dan rupawan. Sang Ratu buru-buru
mengenakan cadar penutup muka secara asal-asalan juga. Saking
gugupnya, yang dipakai untuk menutup wajahnya bukan cadar
melainkan serbet makan yang ada di meja samping ranjang, dekat
bokor tempat buah-buahan.
"Sial! Pantas gelap sekali, nggak tahunya serbet makan yang
kupakai menutupi wajahkul" pikirnya penuh gerutu kejengkelan.
Pandu bangkit dengan menggeliat nyengir, pinggangnya
sakit akibat jatuh terhempas tadi. Sang Ratu masih kebingungan
mencari cadarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pandu Puber
tahu apa yang dicari sang Ratu. Kain cadar hitam itu ada di
dekatnya. Pandu segera menyambar kain cadar hitam itu, wuttt...!
Sang Ratu sadar kalau cadarnya sudah diambil, ia menjadi
tegang dan tambah bingung lagi. Nggak setiap orang boleh
memandang kecantikannya, sebab itu ia selalu memakai cadar. Tapi
sekarang, orang asing yang ada di kamarnya itu sudah berhasil
menahan cadarnya. Cadar yang lain ada di dalam almari. Almari itu
jauh dari jangkauannya, dan orang asing itu ada di depan almari,
sang Ratu jadi tak berani mendekat ke sana. Saking bingungnya ia
mengambil bantai dan menutupi wajahnya dengan bantal. Pandu
tertawa dalam nada menggumam. Sang Ratu makin salah tingkah.
Naik ke atas ranjang dan mojok dalam keadaan berdiri. Pandu Puber
berkata dengan nada tawa,
"Bagian atasmu kau tutup rapat, tapi bagaimana dengan
bagian bawahmu...?!"
"Setan kau! Keluar! Cepat keluar!" bentaknya dalam keadaan
mulut terbungkam bantal. Kakinya segera merapat. Bahkan saling
lilit. Saking kuatnya kaki saling lilit akhirnya ia terpelanting jatuh.
Buhkk...! Makin menyingkap semuanya, makin kelabakan
sang Ratu.
"Hiaaahh...!" teriaknya jengkel sendiri. Wuutt...! Dalam
sekejap tubuhnya yang mampu melenting ke udara itu sudah berdiri
di depan Pandu Puber. Jlegg...! Itulah pelampiasan kejengkelan sang
Ratu terhadap tingkahnya sendiri.
Bantal masih menutup wajah, mata ditongolkan sedikit.
Pandu memandangi dengan tenang, badannya malah sedikit
bersandar di tepi almari. Kain cadar hitam ada di tangannya. Kain
itu segera diulurkan dengan pandangan mata dan senyum yang se-
ring bikin para gadis melayang-layang bagaikan mabuk gadung.
"Astaga...! Ternyata dia yang ada dalam almariku?l" pikir
Ratu Cadar Jenazah setelah muiai tenang dan bisa memandang
dengan terang.
"Ambillah cadarmu... tapi perlu kau ketahui, semuanya
sudah telanjur kulihat dengan jelas," kata Pandu dengan suara
lembutnya yang sering bikin hati para gadis dag-dig-dug-deg-dog
itu. Sang Ratu diam terpaku sesaat. Tangan Pandu dibiarkan terulur
menyodorkan cadar.
Sang Ratu membatin, "Setan alas! Dia menggodaku dengan
senyuman! Benci aku! Benci!"
Ratu Cadar Jenazah gemas sendiri. Dadanya gundah, tentu
saja begitu. Sebab Pandu diam-diam lepaskan jurus 'Mata Dewata'
yang mampu tundukkan hati orang marah, sombong, benci dan
yang bersikap permusuhan menjadi perdamaian. Itulah sebabnya
sang Ratu jengkel pada dirinya sendiri, mengapa ia nggak mau
serang sang buronan yang sedang disayembarakan itu.
Karena jengkeinya, bantal pun dibuang sembarangan.
Wuttt...! Buhkk...!
Dalam hatinya membatin, "Percuma kututup-tutupi
wajahku. Biarlah dipandanginya wajahku. Biar dia sendiri
merasakan getaran menjengkelkan seperti yang kurasakan saat ini.
Monyet burik benar orang ini!"
Sirr, sirrr, sirr...! Begitu kira-kira rasa hati Pandu Puber
begitu wajah itu lepas tanpa penutup apa pun. Mata yang
digunakan untuk memandang sepertinya tak berkelopak lagi
sehingga tak bisa dipakai untuk berkedip. Terpukau wajah itu
memandang seraut wajah cantik berhidung mancung indah, berbibir
sedikit lebar tapi penuh daya sensual, bermata lebar tapi sayu
menantang, berbulu mata lentik seindah alis lebatnya, berkulit
kuning mulus tanpa jerawat sebutir pun, woww...! Belum lagi
ditambah bagian tubuhnya yang lain, terutama bagian dadanya
yang super wow itu, pinggulnya yang ramping dan berpaha sekal
seindah betisnya. Sungguh merupakan tontonan mahal yang baru
kali ini dijumpai Pandu. Semuanya terasa serba mendebarkan.
Rambutnya yang belum sempat ditata itu meriap ke sana-sini
menampakkan kesan menantang.


Pendekar Romantis guncang. Pikirannya serba nakal. Ini
akibat pancaran gelombang gaib yang ada pada wajah dan tubuh
Ratu Cadar Jenazah. Pancaran gelombang gaib itu membuat jantung
Pandu Puber berdetak kuat sekali, menyentak-nyentak seakan ingin
pecah, karena gejoiak darah mudanya ditentang mati-matian,
ditahan kuat-kuat agar nggak bikin ulah ugal-ugalan di atas tubuh
dan wajah itu. Rupanya kekuatan inilah yang ditakutkan Payung
Cendana. Memang dahsyat. Pandu seperti tersedot magnit kutub
utara. Sukar sekali dipertahankan, walau nyatanya memang masih
berhasil dikekang kuat-kuat. Tapi Pandu cemas sendiri,
keimanannya bisa hancur jika terus-terusan memandangi Ratu
Cadar Jenazah yang punya kecantikan super imajiner itu.
Perempuan itu mendekat dengan mata nggak mau lepas
memandang ke wajah Pandu Puber. Kain cadar diraihnya dengan
gerakan cepat. Wuttt...! Wajah cantik itu menampakkan keketusan
yang dibuat-buat karena rasa siiir dalam dadanya bergolak terus.
Sebentuk keindahan, sebentuk kebahagiaan, sebentuk kegembiraan,
bercampur baur dalam hati Ratu Cadar Jenazah, sampai-sampai
lidahnya kelu sesaat kala ia sadari, betapa gagah dan kekarnya pria
muda itu. Dadanya bidang, kokoh, bertato bunga mawar, lengannya
berotot menandakan keperkasaan dirinya, hidungnya mancung
kecil, matanya sedikit kebiru-biruan. Rambutnya berpotongan antik,
mengenakan anting sebelah kiri. Bibirnya ranum, sebagai bibir bebas
nikotin. Menggemaskan sekali bagi sang Ratu.
"Luar biasa menariknya," gumam Ratu Cadar Jenazah dalam
hati. Sang mata masih belum lepas dari pandangan wajah Pandu.
Jaraknya hanya dua langkah. Bahkan sekarang sang Ratu sedikit
maju lagi, ternyata tingginya sedikit rendah dibanding tinggi tubuh
Pandu Puber.
Suara sang Ratu yang agak serak itu terdengar bagai
membisik,
"Pantas kalau setiap wanita mengatakan kau adalah
pangeran hati, karena kau punya kelebihan tersendiri."
Pandu Puber sengaja lebarkan senyum. Suaranya begitu
lembut didengar, merasuk dalam jiwa dan sanubari setiap wanita
saat berkata,
"Buronanmu sudah ada di depan mata. Tidakkah kau ingin
menangkapnya, Ratu?"
Sang Ratu jadi kikuk mau menjawab. Ia menelan ludah satu
kali, kemudian berkata dengan suara lirih, seakan ragu-ragu untuk
diucapkannya,
"Kamu nggak pantas jadi buronan."
"Bukankah kamu sudah sebarkan pengumuman dan
membuka sayembara? Siapa bisa menangkapku dan menyerahkan
diriku, dia boleh menjadi suamimu. Sekarang bagaimana jika aku
menyerahkan diri? Apakah itu berarti aku boleh menjadi suamimu?"
Wulandita tarik napas, kini ia tersenyum manis, nggak
kentara karakter premannya. Dengan mata tetap tertuju ke bola
mata Pandu yang jernih dan meneduhkan hati itu, sang Ratu berkata
lirih,
"Aku nggak tahu harus bilang apa. Karena aku nggak
sangka kalau buronanku setampan ini."
"Kalau kamu nggak jadi menangkapku, aku harus segera
keluar dari sini! Permisi!"
Pandu pura-pura bergegas pergi, mau membuka pintu dan
keluar dari kamar. Tapi sampai di depan pintu langkahnya terhenti
oleh seruan sang Ratu.
"Tunggu...!" sang Ratu pun bergegas mendekatinya. Sengaja
mengambil jarak sangat dekat supaya suara lirihnya bisa didengar.
"Jangan keluar dari kamar ini."
"Kenapa?"
"Aku malu ketahuan para bawahanku!"
"Mengapa malu?"
"Mereka akan mengecamku, mengapa aku nggak mau
tangkap buronan sementara kubuka sayembara untuk menangkap
buronan itu. Nanti aku dikecam sebagai ratu yang plin-plan."
Pendekar Romantis tertawa tanpa suara.
"Kumohon, jangan keluar dari kamar ini," pinta sang Ratu,
"Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."
"Tentang apa?" Pandu Puber bergerak mengikuti langkah
kaki sang Ratu yang menuju ke ranjang. Sampai di sana sang Ratu
duduk di tepi ranjang. Tentu saja ranjang itu empuk sekali, kasurnya
bagaikan kasur berisi air. Sang Ratu menepukkan tangan ke kasur
sampingnya, itu sebuah isyarat agar Pandu duduk di sampingnya.
Pandu Puber pun menuruti perintah itu, bagai terhipnotis dari
kekuatan gaib yang terpancar dari mata sang Ratu.
"Apa maksudmu masuk ke kamar pribadiku ini, Pandu?"
"Untuk melawanmu!" jawab Pandu dengan tegas tapi
berkesan enak didengar. Sang Ratu hanya melebarkan senyum.
"Haruskah kita bermusuhan, Pandu?"
"Sayembaramu telah membuat suatu tantangan tersendiri
bagiku!"
"Kubatalkan syembara itu!"
"Tetap saja kau menantangku!"
"Demi dewa apa saja, aku nggak berani menantangmu
sekarang."
"Buktinya kau biarkan jubahmu terbuka begitu?"
Sang Ratu tersipu malu sambil merapikan jubah. Pandu
Puber melengos sambil tertawa dengan suara gumam.
"Rasa-rasanya kita perlu berdamai, Pandu."
"Kalau kau mau menjadi baik, aku mau berdamai
denganmu."
"Menjadi baik? Kau pikir aku sakit?"
"Ya. Jiwamu sakit sehingga kau berada di jalur sesat selama
ini. Kau harus kembali ke jalur yang putih, jangan melintasi jalur
hitam terus, Wulandita!"
"Oh, kau tahu nama asliku juga?"
"Aku pun tahu lebih banyak dari nama aslimu!"
"Kau benar-benar mengagumkan, Pendekar Romantis,"
ucapnya dalam nada membisik. "Dari mana kau masuk ke kamar
ini?"
"Dari... yah, anggap saja dari genteng!" jawab Pandu
bercanda. Sang Ratu suka, karena itu ia tak segan-segan tertawa
dalam gaya manja. Tangannya malah berani mencubitlengan Pandu
Puber.
"Baiklah. Agaknya aku nggak perlu tahu dari mana
masukmu dan sejak kapan. Yang jelas aku hanya ingin berdamai
denganmu, mungkin dengan cara memenuhi syaratmu tadi. Tapi
kau pun harus memenuhi permintaanku."
"Apa permintaanmu?" tanyanya dalam senyum makin
menggoda.
"Hmmm... apa ya? Hmmm... ah, aku malu jadinya!"
"Sebutkan saja, aku nggak akan menertawakan
permintaanmu."
"Hmmm... cuma anu... cuma.... O, ya, apakah kau bisa
memijat?"
"Kau yakin kalau aku punya potongan jadi tukang pijat?"
Sang Ratu ketawa geii sambil menepak lengan Pandu.
Bahkan ia makin berani merapat dan menyandarkan kepalanya di
pundak Pandu. Lalu, dengan mata menutup ia berkata iagi,
"Aku capek. Aku butuh dipijat. Kalau kau mau menuruti
permintaanku, aku mau menuruti permintaanmu."
Pandu tertawa pendek. "Bagian mana yang perlu dipijat?"
"Hmmm... yah, semuanyalah!" jawabnya penuh harap.
"Berbaringlah, akan kuurut punggungmu biar capekmu
hilang."
"Oh, kau romantis sekali, Pandu...!"
Ratu Cadar Jenazah tertawa dengan suara seraknya. Jelas
sekali dia kegirangan dan merasa malam itu adalah malam yang
penuh kebahagiaan. Ia segera membaringkan tubuh ketika Pandu
menggosok-gosokkan telapak tangannya sendiri sebagai tanda siap-
siap akan mengurut badan sang Ratu. Tetapi ketika perempuan itu
berbaring, Pandu jadi geleng-geleng kepala sambil tersenyum
sendiri.
"Tengkurap dong! Masa' mau dipijat kok gitu?"
"O, maksudmu punggungnya dulu? Baiklah!" kata sang
Ratu. "Perlu kulepaskan jubahku, ya? Biar nggak mengganggu
gerakan mengurutmu!"
Pandu ingin bilang, 'jangan' tapi sang Ratu sudah lebih dulu
berbuat apa yang dikatakan tadi. Punggungnya terbuka polos. Halus
dan kuning langsat. Bulu-bulu romanya agak lebat, tapi nggak
sampai mengurangi kehalusan kulit tubuhnya. Pandu sempat
gemetar, dan ia terpaksa diam untuk redakan getaran tangan dan
kakinya.
"Kalau perlu balsem pengurut ambillah di almari obat itu!"
kata sang Ratu.
Almari obat merupakan sebuah kotak jati berpintu satu
memakai kaca bagian depannya. Di sana tersimpan ramuan rempah-
rempah. Saat dibuka, aroma rempah-rempah menyebar ruangan.
Pandu segera mengambil mangkok keramik hitam berisi cream
pengurut badan. Dengan kream itu Pandu mulai mengurut
punggung sang Ratu. Debar-debar jantung Pandu semakin kuat dan
cepat. Pandu hanya berdoa semoga debaran jantungnya nggak sam-
pai putus dari tempatnya.
Pikiran Pandu dialihkan sejenak ke cincin 'Daki Dewa'.
Hatinya berkata, "Barangkali dengan cara begini aku bisa mencuri
cincin 'Daki Dewa', supaya sewaktu-waktu aku harus melawannya,
ia nggak akan sempat memakai cincin itu. Tapi, bagaimana cara
mengambil cincin itu dari dalam almari, ya? Tunggu dia tertidur,
atau tunggu dia keluar dari kamar? Kayaknya kalau keluar dari

kamar nggak mungkin deh. Sebab biasanya perempuan kalau sudah
berada dalam satu kamar denganku, ia enggan keluar dari kamar
walau sampai esok siang. Hmm... kalau begitu harus tunggu dia
tertidur dong. Sebaiknya kusalurkan kekuatanku secara perlahan-
lahan, dan kutotok beberapa urat yang membuatnya lekas tertidur."
Perlahan tapi mantap, Pandu mengurut punggung itu. Sang
Ratu mendesis-desis bagai merasakan kenikmatan pada urat-urat
tubuhnya. Tapi hawa hangat terasa meresap di kulit tubuh itu. Sang
Ratu bertanya dalam posisi wajah terbaring miring,
"Hangat sekali. Kau ambil obat pengurut yang mana,
Pandu?"
"Nih, yang ada tutupnya!"
"Astaga! Itu balsem pengawet jenazah!" kata sang Ratu
sambil tersentak bangun, dan Pandu Puber pun terperanjat bengong.