Pendekar Romantis 8 - Buronan Darah Dewa(2)


TIGA 
BARU saja Balak Lima ingin me-
lompat menghantamkan cangkulnya ke 
pundak Pandu Puber, tiba-tiba seberkas 
sinar merah mirip meteor siang hari, 
melesat dari arah timur dan menghantam 
rusuk kanan Balak Lima yang mengangkat 
tangan memegangi cangkul. Clapp...! 
Dess...! 
"Aaahg...!" pekik Balak Lima 
dengan mata mendelik. Ada asap putih 
mengepul dari rusuk kanannya. Pakaian 
merahnya terbakar hangus tapi tak ke-
tahuan nyala apinya. Yang jelas, Balak 
Lima jatuh berlutut dengan tubuh geme-
tar dan wajah berkeringat seperti me-
nahan mules. 
Duda Dadu terkejut, demikian pu-
la Pendekar Romantis. Mata mereka sa-
ma-sama memandang ke arah munculnya 
sinar merah tadi. Ternyata sinar Itu 
dilepaskan dari tangan berjari lentik 
milik seorang gadis berusia muda, se-
kitar dua puluh dua tahun, sama dengan 
usia Pandu Puber. Tapi Pandu masih as-
ing dengan wajah cantik berhidung ban-
gir dengan kulit kuning mulus itu. 
"Sudah kuduga sejak kau meron-
tokkan dedaunan, kau pasti yang berna-
ma Pandu Puber itu. Kukenali tato dan 
anting-antingmu, dan kutahan rasa ge-
liku untuk menertawakan kebodohan si 
orang tua itu. Tapi aku terpaksa mun-
cul dari persembunyian karena kau ber-
maksud diam saja menerima serangan 
orang konyol itu!" 
Suara gadis berpakaian biru muda 
itu enak sekali. Empuk dan bening. 
Pandu Puber terkesima sesaat memandan-
gi kecantikan si gadis. Apalagi gadis 
itu mengenakan pakaian aneh; kain ti-
pis mirip selendang menyilang di dada, 
menutupi dua gugusan tabu yang tampak 
montok dan kencang itu. Sisa bagian 
dadanya terbuka, hingga tampak kulit 
punggungnya dan perutnya yang kuning 
mulus berkesan halus lembut itu. Tak 
ada tahi lalat satu pun di sana, pa-
dahal Pandu sudah memandanginya dengan 
teliti. Walaupun gadis itu mengenakan 
kain rangkapan berbentuk jubah warna 
biru tua yang tak dikancingkan dan 
panjangnya sebatas lutut, tapi kemulu-
san kulit tubuhnya masih kelihatan. 
Celana biru tuanya yang tipis transpa-
ran itu pun menampakkan kain penutup 
lain yang hanya secuil itu demi menye-
lamatkan 'mahkota'-nya dari pandangan 
lelaki nakal. 
Gadis itu berambut panjang, tapi 
disanggul sebagian, sehingga sisanya 
seperti ekor kuda yang berjuntai ke 
belakang sampai tengkuk. Lehernya tam-
pak jenjang, diberi kalung emas seder-
hana dengan hiasan liontin batu merah 
segar. Matanya bundar, indah, dan ben-
ing, bulu matanya lentik dan lebat. 
Bibirnya bagus sekali. Tidak berkesan 
jalang, namun menantang untuk digigit 
pelan-pelan. Bentuk wajahnya yang semi 
oval membuat kecantikannya tampak ma-
tang dan penuh daya pesona. Ia menyan-
dang pedang di punggung dengan gagang 
pedang berukir dari gading. Keren deh 
pokoknya. Nggak norak. 
"Sebentar lagi darahmu akan pe-
cah menyembur keluar karena mendidih, 
Balak Lima!" kata si gadis tanpa se-
nyum sedikit pun, tapi lagaknya tetap 
tenang, kalem, seakan penuh wibawa. 
"Kau ikut campur... ikut campur 
urusanku, Bunga Taring Liar!" kata Ba-
lak Lima dengan tersendat dan berat. 
Ia masih gemetar dan keringatnya makin 
membanjir di sekujur tubuh. 
"Terpaksa kulakukan daripada kau 
akan mati bunuh diri, Balak Lima!" 
"Aku mau tangkap Pendekar Roman-
tis itu! Buk... bukan... bukan mau bu-
nuh diri, Setan!" 
"Buat dirimu yang punya ilmu 
pas-pasan, melawan Pandu Puber sama 
saja bunuh diri! Kau pikir dia anak 
kemarin sore yang bisa kau cangkul ke-
palanya dengan mudah?!" 
"Uuhg...! Aku... aku tidak kuat, 
Bunga!" Balak Lima merintih. 
"Tentu saja, sebab jurus 'Duta 
Brama'-ku membuat darahmu mendidih dan 
makin lama makin panas." 
"Tolonglah aku...," ucapnya den-
gan suara berat dan gemetar. 
"Mudah saja menolongmu. Tapi kau 
harus berjanji tak akan coba-coba me-
nangkap Pandu Puber lagi. Kalau kau 
nggak mau janji, aku nggak mau tolong 
kamu, Balak Lima!" 
"Bbba... baik! Baik aku janji 
nggak akan ganggu dia lagi!" 
"Clapp...! Tiba-tiba Pandu Puber 
lebih dulu sentakkan tangannya ke de-
pan. Jari tangan itu mengejang keras, 
dan dari ujung jari itu melesat sinar 
putih bening. Itulah jurus 'Hawa Ben-
ing' yang hanya dimiliki oleh manusia 
berdarah campuran dewa dengan jin. 
Hanya Pandu yang memiliki jurus 'Hawa 
Bening'. Jurus itu dapat untuk sembuh-
kan luka dalam waktu singkat. 
Buktinya setelah sinar putih 
bening seperti kaca itu melesat dan 
menghantam dada Balak Lima, maka pemu-
da berpakaian merah itu mulai dapat 
bernapas lancar. Wajahnya yang pucat 
berangsur-angsur normal kembali. Bunga 
Taring Liar sedikit terkejut melihat 
sinar bening itu dapat membuat Balak 
Lima tampak mulai segar. 
"Sinar penyembuh yang luar biasa 
ampuhnya," gumam Bunga Taring Liar da-
lam hati. "Balak Lima cepat menjadi 
segar, padahal jika aku yang menangga-
ninya membutuhkan waktu agak lama un-
tuk menjadi segar kembali. Benar-benar 
si tampan itu punya ilmu tinggi yang 
jarang dimiliki manusia!" 
Balak Lima terengah-engah, lalu 
engahan napasnya mereda setelah bebe-
rapa saat. Ia bangkit berdiri dengan 
hempasan napas panjang. Badannya tidak 
lesu lagi, keringatnya berhenti, warna 
hangus di bagian rusuk kanannya le-
nyap. Tak ada asap lagi di bagian ru-
suk kanannya itu. Kain yang berwarna 
hangus menjadi noda hitam dengan kea-
daan bolong, tapi kulit tubuhnya tam-
pak normal kembali. Hal inilah yang 
mengagumkan Bunga Taring dan Duda Da-
du. Bahkan mantan bandar dadu itu ber-
bisik kepada Pandu, 
"Kamu apakan anak itu kok jadi 
segar kembali?" 
"Dia kukutuk jadi orang sehat!" 
jawab Pandu sekenanya, karena ia kebu-
ru ingin bicara dengan Bunga Taring 
Liar. 
Namun sebelum Pandu Puber bica-
ra, tiba-tiba dari arah samping kanan-
nya muncul sesosok tubuh tua berjeng-
got panjang. Ki Parma Tumpeng melompat 
dari balik semak-semak dan dengan ge-
rakan cepatnya tahu-tahu sudah berada 
di samping Balak Lima. 
"Guru..., saya tadi di...." 
Plokk...! Balak Lima ditabok gu-
runya. Melintir separo lingkaran sam-
bil menyeringai sakit. Rupanya Ki Par-
ma Tumpeng kesal sama muridnya, se-
hingga ia terpaksa bertindak sedikit 
kasar. 
"Bocah otak lele!" geramnya ke-
pada Balak Lima. "Ngapain kamu bawa-
bawa cangkul itu? Itu bukan cangkul 
pusaka! Itu cangkul biasa, tahu?! Yang 
pusaka sudah kusimpan di tempat ter-
sendiri, biar kalau ada maling salah 
ambil! Eh, malah muridku sendiri yang 
salah ambil!" 
Plakk...! Kepala Balak Lima di-
tampar lagi, "Pulang sana! Jangan sok 
jago kamu, ya? Mau coba-coba melawan 
Pandu Puber sama saja coba-coba makan 
ikan hiu hidup-hidup, ngerti?!" 
"Maaf, Guru!" 
"Pulang, dan bawa kembali cang-
kul itu. Kalau aku mati nanti kamu mau 
gali liang kubur pakai apa? Pakai gi-
gimu?!" 
Pandu Puber dan Duda Dadu hanya 
cengar-cengir dengan saling lirik. Ba-
lak Lima segera pulang karena takut 
kena tampar gurunya lagi. Dua kali 
tamparan sang Guru sudah cukup bikin 
kepala Balak Lima seperti mau pecah 
mirip telur menetas. 
"Kau yang bernama Pandu Puber, 
si Pendekar Romantis itu, bukan?" sapa 
Ki Parma Tumpeng, dan Pandu Puber 
hanya anggukkan kepala dengan sopan 
penuh senyum menawan. Senyumnya itu 
sejak tadi dipandangi oleh Bunga Tar-
ing Liar secara diam-diam. Lalu, Ki 
Parma Tumpeng berkata lagi, 
"Maafkan kelancangan muridku ta-
di. Dia memang murid songong! Resek 
banget tuh anak, kayak gurunya aja!" 
"Lho, gurunya kan situ?" celetuk 
Duda dadu. 
"O, iya. Maksudku, reseknya mi-
rip guru tetangganya!" 
Pandu Puber tersenyum tipis, 
berwibawa dan menampakkan kerennya, 
soalnya sejak tadi mata bundar bening 
itu memandanginya terus dengan maksud 
amat pribadi. Bahkan gadis bermata 
bundar bening itu tak terasa kalau dia 
sudah didekati Ki Parma Tumpeng dan 
dipandanginya dari samping. Ketika ia 
mendengar Ki Parma Tumpeng menyapanya, 
ia baru terkejut dan sadar bahwa ma-
tanya tadi tak selayaknya menatap se-
demikian nanapnya. Malu juga sih, tapi 
dia berlagak cuek. 
"Bunga Taring Liar, apakah kau 
juga punya maksud seperti Balak Lima, 
yaitu menangkap Pandu Puber ini?!" 
"Paman Guru, sebenarnya saya in-
gin datang ke pondok Paman Guru, tapi 
saya tertarik dengan suara-suara dari 
sini, lalu saya sempatkan datang kema-
ri. Ternyata di sini ada Pendekar Ro-
mantis, dan...." 
Duda Dadu menyambar, "Dan dia 
tadi pukul muridmu. Eh, berasap lho... 
kayak singkong bakar. Tapi muridku ini 
mengobatinya dengan jurus ampuhnya. 
Situ nggak tahu sih. Terlambat datang. 
Kalau muridku ini terlambat mengobati 
muridmu, maka kau akan kehilangan mu-
rid bodohmu itu!" 
"Kau keroco dari mana sih kok 
ngomongnya nyerocos aja?" tanya Ki 
Parma Tumpeng menunjukkan sikap tak 
sukanya dengan kata-kata Duda Dadu. 
"Apa benar Pendekar Romantis ini 
muridmu?" 
"Iya. Benar kok! Tanya aja sen-
diri padanya. Tadi habis kuajari jurus 
'Paruh Bebek' dan...." 
"'Paruh Bebek' apa 'Paruh Ban-
gau'?!" sahut Bunga Taring Liar. 
"O, iya... 'Paruh Bangau' yang 
benar!" ujar Duda Dadu sambil nyengir 
karena malu salah sebutkan jurus bua-
tannya sendiri. Rupanya gadis cantik 
itu lebih ingat dengan nama jurus itu 
walau hasil dari mencuri percakapan 
Pandu dengan Duda Dadu. 
"Pendekar Romantis, benarkah dia 
gurumu?" 
Pandu hanya tersenyum. "Aku tak 
pernah punya guru!" 
"Lho, perjanjiannya tadi dari 
kedai kau kubawa kemari kan untuk kua-
jarkan jurus-jurusku. Kok sekarang 
nggak mau ngakuin kalau aku gurumu?" 
protes Duda Dadu dengan bersungut-
sungut cemberut. 
"Kalau Paman Duda Dadu bisa ka-
lahkan ilmuku, Paman baru bisa jadi 
guruku!" kata Pandu. 
"Ya sulit dong! Ah, nggak masuk 
akal omonganmu itu!" Duda Dadu makin 
bersungut-sungut. "Mau jadi gurunya 
kok suruh ngalahkan ilmunya, sedangkan 
Ilmunya sendiri ampuhnya kayak gitu, 
mana bisa!" mulutnya maju dua meter. 
"Bunga," sapa Ki Parma Tumpeng 
setelah tersenyum menertawakan kebodo-
han Duda Dadu, "Apakah niatmu datang 
ke pondokku diutus oleh gurumu atau 
inisiatifmu sendiri?" 
"Saya diutus Nyai Guru Payung 
Cendana untuk menemui Paman Guru Parma 
Tumpeng, guna membicarakan persoalan 
munculnya sayembara dari Ratu Cadar 
Jenazah itu. Pada mulanya saya disuruh 
untuk menanyakan pada Paman Guru men-
genai perkiraan di mana tempat tinggal 
Pandu Puber, tapi...." 
"Lha, ini malah sudah ketemu 
sendiri kok!" 
"Benar, Paman. Karena itu kayak-
nya saya nggak perlu menanyakan kepada 
Paman Guru. Saya akan bicara sendiri 
kepada yang bersangkutan, Paman." 
"Ya, sudah. Mau bicara di pon-
dokku atau di sini saja?" 
Bunga Taring Liar pandangi Pandu 
sebentar. Ia berharap timbul reaksi 
dari Pandu dan usul mengenai tempat, 
tapi agaknya Pandu sengaja berlagak 
tidak tahu-menahu masalah itu, ia pu-
ra-pura bicara dengan Duda Dadu dalam 
suara pelan. Maka si gadis pun lan-
jutkan kata dengan pelan juga, 
"Rasa-rasanya cukup di sini sa-
ja, Paman Guru." 
"Baiklah. Kalau begitu kuting-
galkan kalian di sini. Aku harus sege-
ra ke pondok. Balak Lima pasti sewot 
karena habis kumarahi. Gigi palsuku 
bisa dibuang ke laut kalau dia sedang 
sewot begitu!" 
Kemudian tokoh tua yang beralis 
putih itu berkata kepada Pandu, "Per-
kenalkan, aku Ki Parma Tumpeng, dan 
ini murid dari adikku si Payung Cenda-
na. Gadis ini namanya Bunga Taring 
Liar." 
"Aku sudah dengar namanya, Ki 
Parma Tumpeng. Malahan sudah kucatat 
dalam hatiku." 
"Namaku juga dicatat nggak?" 
tanya Ki Parma Tumpeng. 
"Ya, sudah kucatat tapi bukan di 
hati, melainkan di tepi paru-paruku." 
Ki Parma Tumpeng terkekeh tipis, 
Bunga Taring Liar buang muka karena 
tersenyum. Lalu Ki Parma Tumpeng ber-
kata, 
"Pantas kalau pemuda setampan 
kamu mencatat nama gadis secantik Bun-
ga Taring Liar. Kurasa dia juga menca-
tat nama Pandu Puber. Tapi perlu kau 
ketahui, biar namanya Bunga Taring 
Liar, namun  ia bukan gadis bertaring 
seperti iblis. Cuma kalau sudah marah, 
memang bisa keluar taring di giginya 
dan...." 
"Paman Guru," sahut Bunga Taring 
Liar sengaja memutus kata-kata kakak 
dari gurunya itu. "Sebaiknya Paman se-
gera atasi Balak Lima supaya nggak me-
rusak pondok karena kesewotannya. Bi-
arkan kami bicara di sini, Paman." 
"Iya, iya...! Aku tahu kok. Me-
mangnya aku nggak pernah muda?" ujar 
Ki Parma Tumpeng, lalu ia mohon diri 
dengan baik-baik kepada Pandu Puber, 
setelah itu melesat pergi meninggalkan 
tempat itu. 
"Paman Duda Dadu," kata Pandu 
Puber, "Maukah Paman menolongku?"  
"Boleh aja! Demi menjadi pengi-
kut pendekar sakti, aku bersedia dis-
uruh apa saja." 
"Paman, tolong belikan aku ketan 
bakar di kedai tempat kita bertemu 
itu. Mau kan?" 
"Hmmm... eeh... ya mau saja. Ta-
pi... tapi kedai tadi kan jauh dari 
tempat ini, Pandu!" 
"Paman mau nggak?" 
"Iya deh!" Duda Dadu akhirnya 
pergi dengan suara gerutu yang lirih, 
"Bilang aja aku diusir, takut meng-
ganggu  kemesraanmu, gitu! Pakai dis-
uruh ke kedai alasan beli ketan bakar 
segala. Huuh...! mentang-mentang anak 
muda kalau lagi dapat 'gondolan' main 
singkirkan orang tua aja!" 
Sekalipun mendengar gerutuan 
itu, Pandu Puber berlagak tuli. Yang 
penting Duda Dadu cepat pergi dari 
tempat itu, sehingga ia bisa ngomong 
bebas sama si cantik berbibir mirip 
kuncup mawar itu. Apalagi si cantik 
sudah sejak tadi memandanginya penuh 
makna, Pandu Puber tak sabar untuk le-
bih mengakrabkan diri lagi. 
"Kudengar kau tadi diutus oleh 
gurumu untuk membicarakan diriku den-
gan Ki Parma Tumpeng, apa benar?" 
"Memang benar!" jawab Bunga Tar-
ing Liar berkesan tegas. 
"Tapi kupikir karena sudah kete-
mu kau sendiri di sini, lebih baik aku 
bicara langsung saja padamu." 
"Sampaikan pesan gurumu itu, wa-
lau sebenarnya aku belum mengenal ka-
lian." 
"Guruku salah satu  tokoh tua 
yang mengagumi kependekaranmu. Banyak 
cerita yang telah didengarnya dari se-
sama tokoh tua seangkatan, termasuk Ki 
Parma Tumpeng sendiri." Bunga Taring 
Liar melangkah dekati tanaman rendah 
yang berbunga ungu seperti terompet. 
Bunga kecil itu dipetik sambil melan-
jutkan kata-katanya. 
"Sayembara yang dikeluarkan Ratu 
Cadar Jenazah membuat kami menjadi ce-
mas. Sebab kami tahu siapa Ratu Cadar 
Jenazah itu; tokoh sesat yang cantik 
jelita namun kejam dan berdarah din-
gin. Agaknya kau punya masalah dengan 
Ratu Cadar Jenazah. Dia pasti ingin 
bunuh kamu. Karena itu dibuka sayemba-
ra dengan hadiah menjadi suaminya bagi 
laki-laki yang berhasil membawamu hi-
dup-hidup. Pasti perkara yang kalian 
hadapi cukup penting bagi sang Ratu." 
Gadis itu sempatkan diri menatap 
Pandu sambil pegangi bunga ungu yang 
dipetik bersama tangkainya. Pandu Pu-
ber memandang dengan wajah memancarkan 
pesona yang menggetarkan hati si ga-
dis. Tapi si gadis berlagak cuek dan 
tetap bicara pokok persoalan yang se-
benarnya. 
"Mengingat sayembara itu merang-
sang minat cukup banyak, Nyai Guru ya-
kin kau dalam pengejaran orang-orang 
yang bernafsu ingin menjadi suami si 
cantik keji itu. Karenanya, Nyai Guru 
tugaskan aku untuk mencarimu dan mem-
bawamu bersembunyi di tempat kami." 
"Di mana?" tanya Pandu setelah 
biarkan Bunga Taring Liar diam sesaat. 
"Kami tinggal di Tebing Galah." 
Pandu kerutkan dahi karena mera-
sa belum pernah mendengar nama itu dan 
belum  pernah  tahu tempat tersebut. 
Sambil merenungkan tempat itu, Pandu 
Puber juga pertimbangkan keputusan ha-
tinya. Sebab tawaran Bunga Taring Liar 
punya unsur lain yang membuat hati 
Pandu Puber tertarik. Unsur lain itu 
kini dikecamukkan dalam batin Pandu, 
"Gadis ini kecantikannya sangat 
menarik hati. Ah, bibirnya itu benar-
benar menggoda. Kalau saja aku mau me-
nuruti tawarannya, pasti aku akan le-
bih akrab dan lebih dekat lagi dengan-
nya. Tapi haruskah aku bersembunyi 
hanya karena takut dikejar-kejar orang 
banyak? Haruskah aku bersembunyi hanya 
karena takut menghadapi ulah si Ratu 
Cadar Jenazah itu? Tapi... tapi gadis 
ini  agaknya sangat berharap sekali 
agar aku mau ikut dengannya. Hmm... 
bagaimana kalau kuturuti keinginannya 
untuk kali ini saja? Maksudku, biarlah 
aku ikut dengannya ke Tebing Galah, 
kalau sudah bisa mengecup bibirnya, 
baru kutinggal pergi menyelesaikan 
urusanku dengan Ratu Cadar Jenazah. 
Tapi... kalau kutinggal pergi nanti 
dia nangis. Jangan, ah. Kasihan kalau 
dia nangis. Cantik-cantik kok nangis? 
Nanti malah tulang-tulangku rapuh se-
mua jika lihat ia menangis. Lalu, ba-
gaimana dong? Ikut dia atau menolak, 
atau  bagaimana? Ah, kok jadi bingung 
sendiri sih aku ini? Kayak orang pikun 
aja?!"   
Lamunan batin terhenti setelah 
suara empuk yang enak didengar itu 
kembali berucap kata, "Guru menawarkan 
tempat berlindung, sekaligus ada yang 
ingin dibicarakan tentang Ratu Cadar 
Jenazah itu. Kalau kau bersedia, seka-
rang juga kita berangkat ke Tebing Ga-
lah."  
Mata si gadis memandang penuh 
kesabaran. Ia sangat berharap menden-
gar jawaban Pandu. Tapi yang ditunggu-
tunggu hanya cengar-cengir salah ting-
kah dan menggumam. 
"Bagaimana, ya?" sambil garuk-
garuk kepala yang berambut panjang di 
belakang itu. 
"Kalau kau nggak bersedia, kami 
nggak memaksa kok. Cuma perlu kau ke-
tahui, di Tebing Galah aku tinggal 
hanya berdua dengan guruku. Guruku 
sendiri lebih sering lakukan semadi 
ketimbang  ngobrol  bersamaku. Kadang 
aku merasa kesepian, bingung mencari 
teman bicara"  
"Kesepian? Oh, kasihan sekali 
dia?" pikir Pandu. "Tapi... tapi kalau 
sudah kesepian apa berarti ada kesem-
patan buat menciumnya? Aih, gila! Aku 
cuma ingin menciumnya saja kok, masa' 
harus ragu-ragu sih? Lagi pula; gu-
runya dia kan mau bicara soal Si Ratu 
keji itu, ada untungnya juga lho kalau 
aku mau diajak ke Tebing Galah. Lalu, 
bagaimana dengan Paman Duda Dadu? Per-
lu ditunggu atau ditinggalkan 
saja?" 
"Selagi sore belum berubah pe-
tang, masih cukup sinar untuk berjalan 
menuju ke Tebing Gairah. Tentukan pi-
lihanmu, Pandu. Kalau kau bertele-tele 
kuputuskan kau menolak dan aku akan 
pulang." 
"Apa kau senang tinggal dalam 
kesepian?" 
"Memang tidak, tapi...." 
"Kau pernah punya kekasih?" 
"Belum, tapi berharap untuk 
punya." 
"Apakah... apakah kau suka dite-
mani pemuda kayak aku begini?" 
"Jawabannya akan kau dengar jika 
kau berada di Tebing Galah." 
"Wah berarti aku harus ke sana 
dong?" 
Bunga Taring Liar angkat pundak 
dan berkata, "Terserah...!" 
Pandu segera membatin, "Ah, 
nggak usahlah! Aku seorang pendekar, 
nggak boleh punya pikiran nakal terus-
terusan. Aku harus bisa jaga diri dan 
tahan harga. Biar dia cantik dan ber-
dada 'wow' tapi aku nggak boleh ter-
giur oleh keadaan seperti itu. Apalagi 
aku punya calon istri yang harus kubu-
ru; Dian Ayu Dayen. Kalau aku hanya 
menuruti keinginan batinku yang menun-
tut kecupan hangat gadis itu, wah... 
harga diriku sebagai seorang pendekar 
bisa jatuh sih! Cuma... nah, cumanya 
ini yang bikin aku bingung. Kalau ke-
sempatan ini nggak kumanfaatkan, kira-
kira aku bakal menyesal tujuh turunan 
nggak, ya?" 
EMPAT 
PERJALANAN dari Pantai Buaya 
Dampar menuju Tebing Galah memakan 
waktu separo hari lebih. Itu bagi ma-
nusia biasa. Tapi bagi para tokoh si-
lat yang memiliki ilmu peringan tubuh 
dan dapat berlari seperti angin, ten-
tunya perjalanan tersebut dapat ditem-
puh dalam waktu lebih singkat lagi. 
Jarak itu bisa lebih pendek jika di-
tempuh lewat utara, dan itu berarti 
harus melewati kaki Bukit Guiana. Se-
dangkan kaki Bukit  Guiana merupakan 
wilayah kekuasaan Ratu Cadar Jenazah. 
"Jangan lewat utara. Berbahaya 
bagi dirimu jika lewat utara. Sebaik-
nya kita lewat selatan saja. Agak 
jauh, tapi aman bagimu!" ujar Bunga 
Taring Liar. Gadis ini bersifat melin-
dungi Pandu Puber, seolah-olah ia me-
rasa keselamatan Pandu Puber adalah 
tanggung jawabnya. Sebegitu tanggung 
jawabnya si gadis sampai-sampai Pandu 
merasa heran dan menanyakan alasannya. 
Gadis itu hanya menjawab, 
"Tugasku hanya menyelamatkan di-
rimu sampai di Tebing Galah, karena 
nyawamu merupakan nyawaku yang paling 
depan. Begitu pesan Nyai Guru saat aku 
ditugaskan mencarimu, Pandu!" 
"Apa alasan gurumu sampai membe-
bani tanggung jawab begitu berat pada 
muridnya?" 
"Kau bisa tanyakan sendiri pada 
Guru setibanya di Tebing Galah!" jawab 
Bunga Taring Liar yang selalu berkesan 
tegas, jarang tersenyum, sekali terse-
nyum bikin jantung nyaris rontok. 
"Aku ingin segera bertemu dengan 
gurumu. Jadi kita lewat arah utara sa-
ja!" kata Pandu sambil menguji kebole-
han si gadis cantik itu. ternyata ga-
dis itu nggak mau banyak berdebat, ia 
menurut saja apa kata Pandu walau da-
lam hatinya segera meningkatkan kewas-
padaan karena yakin akan ada bahaya 
yang merintanginya.  
Keyakinan itu terbukti ketika 
mereka berada di sebuah lembah, tak 
jauh dari kaki Bukit Guiana sebelah 
utara. Hambatan pertama datang dari 
tokoh yang sudah tidak asing lagi bagi 
Bunga Taring Liar. Tokoh yang muncul 
di hadapan Pandu Puber adalah seorang 
lelaki berbadan gemuk namun berwajah 
angker. Kulit wajahnya hitam dan teb-
al, mirip kulit badak.  
"Pucuk dicinta ulam tiba," ujar 
orang bergelang bahar besar itu dengan 
suaranya yang besar pula. 
"Mundurlah, biar kuhadapi dia!" 
bisik Bunga Taring Liar. 
"Siapa orang ini, Bunga?" 
"Badak Gemulai, mantan nakhoda 
kapal bajak laut yang dipensiun karena 
sering memotong jatah pembagian awak 
kapalnya. Kerjanya sekarang jadi pem-
bunuh bayaran." 
"Mau apa dia menghadang kita?"  
"Mau apa lagi kalau bukan me-
nangkapmu dan menyerahkannya kepada 
Ratu Cadar Jenazah?" jawab Bunga Tar-
ing Liar dengan suara bisik. "Tetaplah 
di tempatmu, aku akan maju menghada-
pinya." 
Badak Gemulai memakai pakaian 
serba hitam dengan ikat kepala merah 
dan sabuk merah. Di pinggangnya terse-
lip sebilah golok besar, sesuai dengan 
potongan tubuhnya yang tinggi dan ge-
muk itu. Ketika matanya menatap Pandu, 
sepasang mata lebarnya itu tampak be-
ringas dan ganas. Kumisnya yang lebat 
diusap dengan mantap, seakan yakin be-
tul bahwa ia telah menemukan mang-
sanya. Ia memang tampak angker, mena-
kutkan bagi orang bernyali ciut. Len-
gannya yang tampak besar dan tidak 
mengenakan kain baju berlengan itu 
tampak besar, ada tato gambar rantang 
susun yang melambangkan keserakahan 
jiwanya. 
Namun gadis secantik Bunga Tar-
ing Liar tampak tegar dan tenang meng-
hadapi orang angker itu. Bahkan dengan 
lantangnya Bunga Taring Liar menyapa 
Badak Gemulai dalam jarak lima langkah 
dari tempat Pandu berdiri. 
"Matamu memancarkan kebuasan, 
Badak Gemulai. Aku tahu kau menyimpan 
harapan besar untuk menjadi suami Ratu 
Cadar Jenazah!" 
"Tepat sekali dugaanmu, murid 
Payung Cendana! Baru saja aku bertemu 
dengan sang Ratu dan meyakinkan sayem-
baranya itu. Harapanku sangat besar 
untuk mempunyai istri secantik dia. 
Sebab itu, tak peduli apa hubunganmu 
dengan pemuda bertato mawar di dadanya 
itu, yang jelas aku harus menangkapnya 
hidup-hidup dan menyerahkan kepada ca-
lon istriku!" 
"Kau harus melangkahi mayatku 
dulu, Badak Gemulai!" 
"Ha, ha, ha, ha...!" tawanya 
menggelegar bagai ingin memecah beba-
tuan yang ada di sekitar situ. "Pihak-
mu nggak ada masalah apa-apa dengan 
pribadiku, Bunga! Tapi jika kau memang 
ingin membuka masalah dengan menjadi 
penghalang niatku, maka aku pun nggak 
bakalan mundur darimu! Majulah kalau 
kau ingin segera menjadi mayat!" 
"Aku hanya ingin mengingatkan 
kebodohanmu, Badak Gemulai. Sebaiknya 
urungkan niatmu menangkap Pandu Puber 
karena ia dalam tanggung jawabku! Tapi 
jika kau nggak mau dengar peringatanku 
ini, maka jangan salahkan aku kalau 
sampai kehilangan masa depanmu, Badak 
Gemulai!" 
Badak Gemulai merasa ditantang 
terang-terangan. Ia menggeram dalam 
ucapan, "Perempuan bermulut besar kau, 
Bunga! Kau perlu dapat pelajaran dari-
ku biar tahu betul siapa Badak Gemulai 
ini! Heeaat...!" 
Badak Gemulai menerjang dengan 
kecepatan tinggi. Wuusss...! Gerakan-
nya seperti hembusan angin topan yang 
membuat orang biasa akan terpental 
hanya karena hembusan angin gerakannya 
saja. Tapi Bunga Taring Liar nggak mau 
terpental, sebab ia segera kerahkan 
tenaga dalamnya yang tersalur melalui 
tangan dan kaki. Terjangan orang ber-
tubuh gemuk dengan perut mirip beduk 
itu dihadapinya menggunakan jurus pu-
kulan jarak jauh. Sebelum terjangan 
itu sampai, kedua tangan Bunga Taring 
Liar menghentak ke depan bersamaan. 
Wuttt...! Buhhkk... Blammm...! 
Badak Gemulai bagai dihantam 
dengan sebongkah batu gunung sebesar 
kerbau. Tenaga dalam yang dilepaskan 
Bunga Taring Liar membuat tubuhnya 
membalik arah dan jatuh berguling-
guling di tanah. Wajahnya menghantam 
akar pohon pipih dengan keras. 
"Aaow...!" pekiknya ketika wajah 
mencium akar pohon yang mirip lempen-
gan baja itu. "Bangsat kau, Bunga! Ku-
remukkan wajah cantikmu biar nggak la-
ku kawin seumur hidup! Heaat...!" 
Tiba-tiba tubuh gemuk itu mampu 
melenting tinggi ke udara dalam kea-
daan bertumpu dengan kedua tangan. 
Hentakan tangan yang menapak di tanah 
itu membuat tubuh gemuknya seperti se-
lembar daun ringan yang melayang di 
udara dan bersalto dua kali menuju ke 
arah Bunga Taring Liar. Wutt, 
wuttt...! 
Tendangan kakinya beruntun ke 
arah kepala Bunga Taring Liar. Gerakan 
tendangan kaki beruntun termasuk ce-
pat, sukar dilihat arah gerakannya. 
Tetapi mata gadis cantik itu ternyata 
setajam mata kucing. Tendangan itu 
berhasil ditangkis semua. Plak, plak, 
plak, plak...! 
Jleng...! Badak Gemulai yang 
ternyata bertubuh elastis itu mampu 
mendaratkan kakinya dengan tegak di 
belakang Bunga Taring Liar. Mereka 
saling beradu punggung, namun sebelum 
Bunga Taring Liar berpaling, kaki Ba-
dak Gemulai yang bertelapak lebar dan 
jeber itu menendang ke belakang, 
wuttt.,.! Buhkk! 
Lengan kiri gadis itu terkena 
tendangan. Ternyata tendangan tersebut 
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi. 
Tubuh gadis cantik itu terlempar enam 
langkah jauhnya seperti kapas dihempas 
badai. Brruk...! Tubuh sexy yang sekal 
itu membentur pohon dan jatuh terpuruk 
sambil menahan rasa sakit.     
"Tulangku terasa ngilu semua. 
Tendangannya mengandung hawa pembeku 
darah!" pikir si gadis sambil kerahkan 
hawa murninya 
"Ajalmu telah tiba sekarang ju-
ga, Bunga! Heeaaah...!" 
Srett...! Badak Gemulai mencabut 
golok besarnya. Ia menerjang si gadis 
dengan mengibaskan goloknya dari atas 
ke samping bawah. Sasarannya adalah 
merobek dada Bunga Taring Liar yang 
menonjol bagai penuh tantangan untuk 
dirobek dengan golok itu. Tetapi ter-
nyata gadis itu lebih cepat menyambar 
gagang pedang di punggungnya, sehingga 
dalam gerakan yang hampir tak terli-
hat, pedang itu sudah di tangannya dan 
berkelebat menangkis senjata lawan. 
Trangng...! 
Wuttt...! Bunga Taring Liar ber-
guling ke depan, menerobos gerakan la-
wan. Pedangnya sempat berkelebat dalam 
gerakan kedua tangan membuka. Ia ber-
lutut satu kaki pada saat pedang me-
nyambar ke samping. Brett...! 
"Uuhg...!" Badak Gemulai terpe-
kik kaget. Ia bu-ru-buru mendekap 
pinggang kirinya dengan tangan kiri. 
Pinggang itu robek karena sabetan pe-
dang Bunga Taring Liar. Bekas lukanya 
menyemburkan darah, darah itu  bukan 
merah segar melainkan kehitam-hitaman. 
Pandu Puber berkerut dahi dan berkata 
dalam hati, 
"Pedangnya beracun! Kurasa racun 
itu berbahaya bagi si Geladak Gemulai. 
Tuh!, wajahnya mulai tampak pucat kan? 
Pasti darahnya sudah dicemari oleh ra-
cun yang ada di pedang Bunga! Hmmm... 
hebat juga jurus pedang si Bunga itu. 
Kusangka ia hanya akan menghindari se-
rangan lawan, nggak tahunya punya ge-
rak tipuan yang membuat lawan nggak 
menduga akan dirobek punggungnya. Bo-
leh, boleh...!" Pandu manggut-manggut 
sendiri. 
Badak Gemulai makin terbakar 
emosinya. Dengan teriakan buas ia maju 
menyerang menebaskan goloknya tanpa 
peduli akan luka lebarnya yang mengu-
curkan darah terus itu. 
"Modar kau, Bungaaa...! 
Heeaaahh...! 
Trang, trang, wuttt, trang, 
wuss...! Crasss...! 
"Aahg...!" suara Badak Gemulai 
memekik tertahan jelas sekali. Perta-
rungan golok dengan pedang membuat da-
danya robek dari kanan bawah ke kiri 
atas dekat pundak. Sabetan pedang Bun-
ga Taring Liar hanya kenai ujungnya, 
tapi justru di ujung pedang itulah 
terdapat racun yang paling berbahaya 
dari racun bagian tepian pedang. 
"Jahanam kau!" geram Badak Gemu-
lai dengan mata mendelik menyeramkan. 
Napasnya terengah-engah, wajahnya yang 
hitam menjadi pucat pasi. Lukanya sih 
nggak dalam, cuma menggores saja. Tapi 
kekuatan racun pedang Bunga yang mem-
buat sekujur tubuh Badak Gemulai ba-
gaikan dirajang ratusan mata pisau ta-
jam. 
"Kalau nggak cepat-cepat cari 
obat penawar, aku bisa mampus dimakan 
racun pedangnya itu! Bangsat betul itu 
anak! Terpaksa kabur deh, daripada ma-
ti di ujung pedangnya!" pikir Badak 
Gemulai sambil pandangi Bunga Taring 
Liar yang diam bagaikan patung dengan 
kedua tangan masih menggenggam gagang 
pedang yang diangkat ke samping atas 
kanan, siap tebas kembali. 
"Tunggu pembalasanku, Iblis be-
tina! Tunggu pembalasanku, itu pun ka-
lau aku selamat!" lanjutnya dalam ha-
ti, lalu Badak Gemulai melesat pergi 
tinggalkan mangsanya."       
"Hebat sekali jurus pedangmu. 
Aku mengaguminya, Bunga!" ujar Pandu 
memberi pujian supaya si gadis terse-
nyum bangga. Tapi gadis itu nggak mau 
senyum. Ia membersihkan pedangnya yang 
terkena darah lawan memakai dedaunan, 
lalu memasukkan ke sarungnya yang ada 
di punggung, sambil berkata, 
"Tak sampai petang tiba, Badak 
Gemulai akan kehilangan nyawanya jika 
ia nggak berhasil mencari obat penawar 
racun pedangku!" 
Pandu manggut-manggut sambil 
sunggingkan senyum menawan. Matanya 
nggak  mau berkedip memandangi Bunga 
Taring Liar. Mata itu memancarkan ke-
lembutan, dan kelembutan tersebut me-
nembus ke hati Bunga Taring Liar. Si 
gadis jadi gelisah, lalu menutup kege-
lisahan itu dengan sebuah kata, "Kita 
lanjutkan perjalanan!" Menurut peni-
laian Pendekar Romantis, gadis cantik 
berpantat sekal menonjol itu memang 
pantas menjadi seorang pengawal. Rasa 
tanggung jawabnya terhadap tugas yang 
dibebankan cukup tinggi. Sampai-sampai 
Pandu Puber merasa malu sendiri dikaw-
al oleh gadis secantik Bunga Taring 
Liar yang siap mati demi tugas penga-
walannya. Padahal tanpa gadis itu pun 
Pandu merasa cukup aman walau harus 
berhadapan dengan para 'pemburu' ha-
diah sayembara itu. Dalam perhitungan 
Pandu, menghadapi Badak Gemulai seper-
ti tadi cukup dengan satu jurus saja. 
Satu gebrakan si gendut berkumis tebal 
itu dapat ditumbangkan dengan mudah. 
Tapi, Pandu nggak mau kecewakan hati 
si cantik berbibir menggemaskan itu. 
Pandu memberi kesempatan pada si can-
tik untuk menunjukkan kebolehannya, 
dan Pandu memberi upah dengan sebaris 
pujian yang membanggakan hati Bunga 
Taring Liar. 
Namun kali ini, ketika mereka 
melintasi kaki Bukit Guiana, Pandu Pu-
ber sempat rasakan kecemasan dalam ha-
tinya. Kecemasan itu timbul karena 
munculnya seorang penghadang yang su-
dah dikenalnya. 
"Malaikat  Bisu...?" gumam Pandu 
yang didengar Bunga Taring Liar. 
"Kau kenal dengannya?" bisik 
Bunga Taring Liar. 
"Ya. Dia ketua Perguruan Musang 
Terbang. Aku pernah berurusan dengan 
anak buahnya yang bernama Raga Paksa 
dalam kasus rebutan patung pusaka. Dia 
sendiri sebenarnya juga ingin merebut 
patung itu, tapi nggak sempat berhada-
pan denganku, patungnya sudah kuhan-
curkan." Pandu Puber segera mengenang 
masa rebutan patung pusaka yang muncul 
dari dalam makam tokoh sakti, (Muncul-
nya dalam serial Pendekar Romantis ep-
isode: "Patung Iblis Banci"-kalau 
nggak percaya, baca aja sendiri). 
Orang berusia sekitar enam puluh 
tahun itu masih tampak gagah dan se-
gar. Rambutnya abu-abu diikat kain me-
rah. Pakaian dalamnya coklat muda, ta-
pi jubahnya ungu tua. Ia membawa tong-
kat setinggi dada berkepala tengkorak. 
Matanya yang sedikit kecil memandang 
dengan dingin. 
Pandu Puber memandangnya bebera-
pa saat, dan bisa menangkap maksud ha-
ti si Malaikat Bisu itu. Namun sebagai 
basa-basinya, Pandu tetap mengajukan 
tanya kepada orang berwajah kaku itu, 
"Apa maksudmu menghadangku, Ma-
laikat Bisu?" 
"Menangkapmu!" jawabnya dalam 
satu kata. "Kau ingin ikut sayembara 
itu?"  
"Ya!" jawabnya lagi dengan suara 
dingin.  
"Apakah kau tertarik dengan ha-
diah dari sang Ratu itu?" 
"Tertarik!" 
"Batalkan saja niatmu. Sayembara 
itu hanya bikin kita saling musuhan 
saja, Malaikat Bisu!" 
"Biarin!" 
Bunga Taring Liar menggumam kes-
al, "Konyol juga orang tua ini. Ming-
gir, Pandu... biar kuhadapi dia!" 
"Yang ini berat lho!" 
"Aaah... persetan dengannya. Bi-
ar dia pakai nama julukan malaikat 
atau iblis, aku nggak takut menghada-
pinya!" sambil Bunga Taring Liar maju 
satu langkah di depan Pandu Puber. La-
lu menyapa Malaikat Bisu dengan sua-
ranya yang tegas. 
"Kau harus berhadapan denganku 
jika masih nekat mau tangkap dia, Ma-
laikat Bisu!" 
"Baik!" jawabnya, dan tiba-tiba 
tangan kirinya menyentak ke depan. 
Wuttt...! 
Gelombang hawa panas dilepaskan 
dari tangan itu. Bunga Taring Liar 
nggak sangka sama sekali kalau lawan-
nya lepaskan serangan secepat itu. Ia 
pikir si Malaikat Bisu akan tantang-
tantangan dulu. Nggak tahunya langsung 
serang, dan gelombang panas yang ber-
kekuatan tinggi itu menghantam tubuh 
Bunga Taring Liar. 
Bahgg...! 
"Heghh...!" 
Bunga Taring Liar terpental ke 
belakang menabrak Pandu. Keduanya ja-
tuh bersama. Tapi Bunga Taring Liar 
segera berguling ke samping, bermaksud 
bangkit untuk membalas serangan lawan. 
Sayangnya ia jatuh tersungkur lagi. 
Tubuhnya terasa lemas karena dicekam 
rasa panas yang luar biasa. Kulitnya 
yang berwarna kuning mulus itu menjadi 
merah dan memar membiru di beberapa 
tempat. Darah pun keluar dari mulut si 
centil bermata bening itu. 
"Hoekk…!" 
"Bunga...?!" Pandu menegang ce-
mas melihat darah dimuntahkan dari mu-
lut Bunga Taring Liar. Napas gadis itu 
tampak berat, sorot matanya pun mulai 
sayu bagaikan pelita kehabisan minyak. 
"Celaka! Ia terluka parah!" ucap 
Pandu Puber dalam hatinya. 
Tanpa berkata apa pun Malaikat 
Bisu segera kirimkan pukulan jarak 
jauhnya. Kali ini pukulan itu berupa 
sinar merah memanjang bagaikan sinar 
laser yang menghantam tubuh Bunga Tar-
ing Liar. Clappp...! 
Pendekar Romantis yang ada di 
dekat gadis itu segera lepaskan puku-
lan bersinar biru dari pergelangan 
tangannya. Jurus 'Cakram Biru' mele-
sat. Wuttt...! Sinarnya yang biru ber-
bentuk cakram itu menghantam sinar me-
rahnya lawan. 
Blarrr...! 
Ledakan yang timbul seakan ingin 
memecah bumi. Pandu Puber sempat ter-
dorong ke belakang namun tak sampai 
jatuh terguling. Sedangkan Malaikat 
Bisu terlempar membentur pohon dengan 
keras. 
Buhgg...! 
Pandu Puber membatin, "Gadis ini 
akan mati dalam waktu singkat. Harus 
kusembuhkan dulu untuk menyelamatkan 
jiwanya!" 
Clapp...! Sinar putih bening se-
perti kaca keluar dari ujung jari ten-
gah Pandu, menghantam perut Bunga Tar-
ing Liar. Sinar itu memancar beberapa 
saat, seperti selang bensin mengisi 
bahan bakar pada sebuah mobil. Tapi 
mata Pandu sesekali pandangi Malaikat 
Bisu yang sedang berusaha bangkit den-
gan merayap berpegangan pohon dan me-
nopang diri dengan tongkatnya. Agaknya 
gelombang ledakan tadi mempunyai daya 
sentak yang amat kuat, hingga sekujur 
tubuhnya terasa ngilu, bagai habis di-
hantam dengan kayu balok besar. 
Curahan jurus 'Hawa Bening' di-
hentikan oleh Pandu dan dirasakan su-
dah cukup mengobati luka parahnya Bun-
ga Taring Liar. Saat itu si Malaikat 
Bisu sudah berdiri tegak, sudah mena-
rik napas dalam-dalam untuk mengatasi 
rasa sakit di tubuhnya. Kini ia ber-
siap-siap melepaskan jurus berikutnya. 
Tapi Pandu Puber maju dua langkah dan 
mendului menyerang dengan penuh ke-
dongkolan. 
Clapp...! Sepasang sinar merah 
menyambar tubuh Malaikat Bisu. Jurus 
yang digunakan Pandu adalah jurus 
'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar da-
ri dua jari tangan kanan-kirinya. Ju-
rus itu mampu menghancurkan baja men-
jadi berkeping-keping. Tapi oleh Ma-
laikat Bisu dilawan menggunakan tong-
katnya yang berkepala tengkorak. 
Tongkat itu hanya dikibaskan da-
ri kanan ke kiri, maka memancarlah si-
nar bergelombang kelok-kelok setengah 
lingkaran yang memagari bagian depan 
tubuhnya. Sinar hijau itu dihantam 
dengan dua sinar merahnya Pandu, se-
hingga ledakan dahsyat terdengar kem-
bali menggetarkan bumi. 
Blegarrr...! 
Malaikat  Bisu terlempar dalam 
keadaan berputar seperti gangsing. 
Pandu sendiri hanya tersentak mundur 
satu langkah karena hentakan gelombang 
ledak itu. Tapi dedaunan pohon di ka-
nan-kiri mereka menjadi gugur dan ber-
hamburan. Dua pohon tak jauh dari me-
reka rubuh dalam keadaan akarnya ter-
dongkel keluar dari tanah. Malaikat 
Bisu sendiri tak bisa kendalikan diri, 
hingga membiarkan tubuhnya terpelant-
ing jauh dan masuk ke sela-sela dua 
pohon yang tumbuhnya berjajar rapat. 
Bruskk...! 
Bunga Taring Loar yang segera 
sehat kembali setelah beberapa saat 
menerima 'Hawa Bening' dari Pandu, se-
gera bangkit dan menampakkan keberan-
gannya. Saat itu Malaikat Bisu sedang 
berusaha melepaskan diri dari dua po-
hon yang menjepitnya. 
"Kubalas kau, Setaaan...!" geram 
Bunga Taring Liar sambil menggeram, 
lalu dari mulutnya tumbuh sepasang gi-
gi runcing memanjang. Itulah taring 
kemarahan yang hanya keluar bila gadis 
itu menjadi murka oleh suatu hal. Mata 
Pandu sedikit terkesiap melihat mun-
culnya taring tersebut. Kecantikan si 
gadis menjadi berkurang  dan berubah 
seram hanya karena tumbuhnya sepasang 
taring kemarahan tersebut. 
"Mengerikan sekali wajahnya ka-
lau sudah marah begitu, ya?" pikir 
Pandu sambil memperhatikan langkah 
Bunga Taring Liar yang mendekati Ma-
laikat Bisu. 
Orang yang didekati itu kebin-
gungan meloloskan diri dari jepitan 
dua pohon. Akhirnya ia sentakkan kedua 
lengannya ke kanan-kiri dan tenaga da-
lam yang disalurkan membuat kedua po-
hon itu retak, lalu tumbang dalam kea-
daan pecah bagian tengahnya. 
"Kraak...! Brrruuk...! Bruss...! 
Malaikat Bisu berhasil lolos da-
ri jepitan pohon. Tapi begitu ia ber-
balik ingin menghadap lawannya, tiba-
tiba sekelebat benda putih mengkilat 
menyambar dadanya dengan cepat. 
Wuuttt...! Crass...! 
Bunga Taring Liar menebaskan pe-
dangnya. Kehadiran pedang itu sangat 
di luar dugaan Malaikat Bisu, sehingga 
ia tak sempat menghindar atau menang-
kisnya. Walau ia sudah mencoba menang-
kis dengan tongkatnya, tapi gerakan 
tangkisnya terlambat, sehingga pedang 
lawan lebih dulu berhasil menggores 
dadanya. 
Darah merah kehitam-hitaman men-
galir dari dada Malaikat Bisu. Wajah 
tua tersebut mulai tampak pucat. Racun 
di ujung pedang telah menyebar ke se-
luruh tubuh dengan cepatnya. Malaikat 
Bisu berusaha keraskan semua urat un-
tuk keluarkan tenaga intinya. Tenaga 
Inti itu disalurkan ke tongkat, se-
hingga ujung tongkatnya mempunyai ke-
kuatan dahsyat untuk menghantam atau 
menyodok lawan dari jarak jauh. Tapi 
sayangnya sebelum hal itu dilakukan, 
Bunga Taring Liar sudah jauh lebih du-
lu menghujamkan pedangnya ke ulu hati 
Malaikat Bisu. Jrrubb...! 
"Bhheeerrg...! Bunga Taring Liar 
menggerang dengan mata mendelik liar, 
tampak ganas dan lebih buas dari Ma-
laikat Bisu. Pedang yang menancap di 
ulu hati itu sampai tembus ke bela-
kang, membuat Malaikat Bisu tak bisa 
memekik kecuali hanya membuka mulutnya 
dengan mata mendelik. 
Saat Malaikat Bisu meregang den-
gan sekarat, tiba-tiba Pandu Puber 
mendapat serangan dari belakang berupa 
sinar hijau bening yang bergerak lu-
rus. Slappp...! Dess...! 
"Oohg...!" Pandu jatuh berlutut. 
Tubuhnya menjadi lemas bagai tak ber-
tulang. Tapi ia masih punya kekuatan 
untuk menegakkan kepala dan memandang 
si penyerang yang datang dengan gerak 
berkelebat bagaikan kilat. 
"Janda Keramat...?!" ucap Pandu 
dengan suara lemah, tapi sempat diden-
gar oleh Bunga Taring Liar. 
Gadis itu terkejut melihat Pandu 
terkulai lemas di samping seorang wa-
nita berusia sekitar tiga puluh dua 
tahun, berambut perak sepunggung tanpa 
diikat apa-apa. Bunga Taring Liar se-
gera mencabut pedangnya dari tubuh Ma-
laikat Bisu. 
Tapi gerakan itu terlambat, ka-
rena pada saat pedang dicabut, perem-
puan berambut putih perak itu sudah 
lebih dulu menyambar Pandu dan memba-
wanya lari dari tempat tersebut. Bunga 
Taring Liar menjadi berang lagi. Ta-
ringnya yang sudah mulai hendak hilang 
itu terpaksa muncul kembali. Ia berse-
ru dengan suara serak,  tak sebening 
biasanya. 
"Tinggalkan dia, Setan! Kubunuh 
 kau kalau mencurinya!"