Siluman Ular Putih 3 - Sumur Kematian(1)


Hari telah menjelang pagi. Puncak Gunung 
Sumbing masih diselimuti kabut tipis, bagai tirai 
yang terus bergerak. Dan seiring munculnya sinar 
keemasan di ufuk timur sana, kabut tipis ini pun 
mulai tersingkap perlahan tertiup angin dingin 
pegunungan, lalu hilang entah ke mana. 
Tong! Tong! 
Pagi yang hening dipecahkan oleh suara 
kentongan yang dipukul dua kali. Asalnya, dari 
sebuah perguruan silat yang terletak di lereng ba-
rat Gunung Sumbing. Hanya ada satu perguruan 
silat di kawasan gunung itu, yakni Perguruan Ke-
lelawar Putih. 
Bunyi kentongan barusan merupakan isya-
rat agar semua orang yang ada di tempat ini ber-
kumpul. Konon beberapa hari ini, Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih yang dikenal bergelar Kele-
lawar Hutan telah mengundang beberapa tokoh 
persilatan  untuk datang ke perguruannya. Dari 
kabar yang tersiar di lunran, Kelelawar Hutan 
tengah mengadakan sayembara. 
Sayembara apa? 
Sementara itu, baik para murid perguruan 
ini maupun para tokoh persilatan yang diundang, 
sudah memenuhi ruang utama perguruan. Mere-
ka ada yang tiba sejak beberapa hari yang lalu, 
dan ada pula yang pagi buta tadi tiba di pergu-
ruan ini.  
Tong! Tong! Tong! 
Pada saat semua telah berkumpul, kenton-
gan kembali dipukul untuk yang kedua kalinya. 
Namun bunyinya kali ini sedikit berbeda dari 
yang pertama. Iramanya terdengar satu-satu, dan 
dibiarkan menggema di angkasa. Seolah-olah 
iramanya mengandung perasaan duka, sehingga 
membuat para tamu seperti terbawa arus kesedi-
han. 
Dan kini suasana dalam ruang utama itu 
terlihat makin mencekam. Paras wajah para tamu 
mendadak berubah tegang. Dada mereka berde-
bar lebih cepat dari biasa. Dan kasak-kusukpun 
makin sulit dikendalikan.  
"Jangan-jangan, Sumur Kematian mulai 
meminta korban lagi?" duga salah seorang un-
dangan seperti berkata pada diri sendiri. 
"Benar! Kalau tak salah, ada empat orang 
yang sudah menjadi korbannya," sahut tamu 
yang lain.  
"Benarkah? Siapa?" 
Sewaktu para undangan membicarakan 
siapa keempat orang yang menjadi korban, men-
dadak... 
"Saudara-saudara sekalian harap berdiri! 
Yang Mulia Kelelawar Hutan telah tiba!" teriak sa-
lah seorang murid. 
Para undangan langsung memasang wajah 
meremehkan seruan itu. 
"Keparat! Mentang-mentang di kandang 
sendiri! Huh! Jangan dikira kami harus taati pe-
rintah kalian!" desis seorang tamu seraya berka-
cak pinggang. 
Orang itu berusia kira-kira lima puluh lima 
tahun. Rambutnya panjang digelung ke atas. Di 
kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna 
kuning. Kumisnya lebat. Demikian pula jambang 
dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam dengan 
alis tebal hitam. Tubuhnya yang kekar terbung-
kus jubah besar warna hitam. 
"He he he...! Aku setuju sekali dengan pen-
dapatmu, Bayangan Malaikat. Mentang-mentang 
di kandang sendiri, apa dipikir mereka bisa see-
nak udelnya menyuruh-nyuruh  kita?!" sahut ta-
mu lain. 
Dia adalah seorang lelaki tua bertubuh 
pendek, terbalut jubah kuning yang kedodoran 
hingga ke tanah. Rambutnya awut-awutan. Pi-
pinya cekung. Dua batang giginya yang berwarna 
kuning bertonjolan ke depan. Namun yang mem-
buat aneh lelaki berusia enam puluh tahun itu 
adalah kumisnya. Bukannya terlalu tebal atau 
terlalu tipis, melainkan mirip kumis kucing!  
Maka tak heran kalau orang tua ini men-
dapat julukan Lelaki Berkumis Kucing. Yang me-
rupakan salah seorang dari Sepasang Manusia 
Aneh dari Gunung Kelud. Kepandaian lelaki ini 
sebenarnya tinggi sekali. Jurus-jurus sakti 'Cakar 
Kucing'-nya sangat ditakuti tokoh-tokoh golongan 
sesat di wilayah timur. Hanya karena sudah terla-
lu lama menyembunyikan diri dari dunia persila-
tan sajalah yang membuatnya tidak begitu diken-
al. Dan orang tua itu kini terus menuding-
nudingkan tongkatnya ke arah murid Perguruan 
Kelelawar Putih yang tadi pertama kali membuka 
suara. 
Murid  Perguruan Kelelawar Putin dengan 
kepala diikat pita merah itu maju selangkah. Ma-
tanya memandang tajam kakek pendek itu. Na-
mun belum sempat dia bersuara.... 
"Dua cecurut tua! Beraninya kalian cuma 
menjual  lagak di hadapan bocah kemarin sore! 
Memalukan sekali!" 
Terdengar bentakan lain yang begitu keras 
menggelegar, yang pasti dialiri tenaga dalam ting-
kat tinggi. Malah beberapa orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih langsung gemetaran dengan 
wajah pucat pasi. Gendang telinga mereka terasa 
mau robek. Maka seketika itu kedua telapak tan-
gan mereka menutup lubang telinga. 
"Elang Setan! Di hadapanmu pun aku akan 
mengobral lagak!" sahut Lelaki Berkumis Kucing 
penuh tenaga dalam, seraya menatap lelaki ber-
wajah lonjong berjubah merah. 
"Benar apa yang dikatakan sobatku orang 
tua pendek ini. Justru kaulah yang menjual lagak 
di hadapan kami. Apa kau belum pernah merasa-
kan tajamnya pedangku, he?!" bentak lelaki tua 
berjubah hitam yang dikenal sebagai Bayangan 
Malaikat, disertai pengerahan tenaga dalam. Tan-
gan kanannya cepat melolos pedang dari ping-
gang. 
Lelaki berjubah merah yang dikenal seba-
gai Elang Setan menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat, menahan amarah luar biasa. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak. Dan dengan tanpa banyak 
cakap lagi dia segera bersalto ke hadapan Bayan-
gan Malaikat dan Lelaki Berkumis Kucing, se-
hingga jubahnya berkibar-kibar. Lalu mantap dan 
ringan sekali kedua kakinya mendarat manis di 
lantai tanpa menimbulkan suara sedikit pun! 
Wajah lonjong tokoh yang konon dari Lem-
bah Serayu ini kelam membesi. Rambutnya pan-
jang riap-riapan. Matanya besar-dengan hidung 
besar. Kedua bibirnya tebal kehitaman. Dan kini 
tokoh dari golongan hitam yang terkenal dengan 
jurus-jurus 'Elang Hitam' itu melotot lebar-lebar. 
Kuku-kuku  jarinya yang berwarna hitam mulai 
bertonjolan keluar, siap mencabik-cabik kedua 
musuhnya.  
"Jahanam! Siapa yang berani bersilat lidah 
di depan Elang Setan, berarti mampus!" dengus 
Elang Setan penuh kemarahan. Tangan kanannya 
yang berkuku panjang dan runcing siap mengibas 
ke arah Bayangan Malaikat. 
Tentu saja Bayangan Malaikat tak ingin 
kehilangan muka. Maka tangan kanannya yang 
sudah melolos pedangnya pun siap bergerak me-
mapak. Namun belum sempat masing-masing 
bergerak mendadak.... 
"Tahan!" 
Elang Setan dan Bayangan Malaikat seke-
tika itu juga mengurungkan niat. Dan kini semua 
orang yang berada di ruangan ini berpaling ke 
arah datangnya suara. Ternyata orang yang 
membentak barusan adalah seorang lelaki beru-
sia setengah baya dengan pakaian ketat serba pu-
tih. Dia tak lain dari Kelelawar Hutan. 
Dan tanpa menghiraukan sapaan murid-
murid  yang  menyambutnya gembira, Kelelawar 
Hutan terus meneruskan langkah angkuhnya. 
Perawakan si Kelelawar Hutan yang tinggi 
besar tampak begitu gagah dengan sorot mata 
memancarkan perbawa kuat. Rambutnya pan-
jang. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala 
yang juga berwarna putih. Kumisnya lebat. Demi-
kian pula cambang dan jenggotnya. 
Dan begitu Ketua Perguruan Kelelawar Pu-
tih ini sampai di mimbar. Sambil sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus menatap 
Bayangan Malaikat, Elang Setan, dan Lelaki Ber-
kumis Kucing. 
"Kenapa kalian membuat keonaran di sini, 
he?!" tegur Kelelawar Hutan angkuh. Sepasang 
matanya yang tajam semakin mencorong aneh. 
Baik Bayangan Malaikat, Elang Setan, 
maupun Lelaki Berkumis Kucing seketika tersen-
tak kaget. Entah mengapa begitu balas meman-
dang sepasang mata Kelelawar Hutan yang men-
corong aneh, mendadak saja sekujur tubuh me-
reka jadi gemetar. Tulang-tulang terasa dilolosi 
satu persatu oleh kekuatan aneh yang tersem-
bunyi di batik sepasang mata mencorong milik 
Kelelawar Hutan. Menyadari hal itu, bukan main 
kagetnya ketiga orang yang ditatap. Seketika itu 
juga wajah mereka pucat pasi dengan kedua bola 
mata membelalak liar. Malah tubuh Elang Setan 
dan Bayangan Malaikat mulai limbung dan ter-
duduk di lantai. Hanya Lelaki Berkumis Kucing 
sajalah yang masih bertahan. 
Namun kali ini orang tua pendek itu tidak 
berani lagi balas memandang sepasang mata Ke-
lelawar Hutan yang mencorong. Dan pandangan 
matanya kini sedikit dinaikkan ke  pusat kening 
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu. Sehingga 
dia terhindar dari pengaruh aneh yang semula 
mengguncangkan dadanya. 
"Hm...! Rupanya orang ini memiliki sema-
cam ilmu sihir," gumam Lelaki Berkumis Kucing 
dalam hati. Lalu, "Meooong...!" 
Sebuah suara kucing terdengar menyentak 
semua orang yang ada di tempat ini. Itulah 
'Raungan Maut Kucing Hutan' yang menjadi ilmu 
andalan Lelaki Berkumis Kucing untuk melum-
puhkan musuh-musuhnya. Dan suaranya yang 
melengking tinggi penuh tenaga dalam itu mampu 
menggetarkan dinding ruangan ini. Bahkan bebe-
rapa orang murid Perguruan Kelelawar Putih dan 
beberapa tamu undangan langsung memekik ter-
tahan dengan wajah pucat pasi. Gendang telinga 
mereka terasa mau robek. Malah ada beberapa 
orang murid yang langsung menggeletak  tak sa-
darkan diri! 
Sementara Kelelawar Hutan sendiri pun 
sempat menyurutkan langkahnya ke belakang. 
Seketika itu juga pengaruh sihirnya yang dike-
rahkan lewat matanya pun pudar.  
"Ha ha ha...!" 
Lelaki Berkumis Kucing tertawa bergelak-
gelak. 
"Nama besar Kelelawar Hutan memang ti-
dak percuma. Aku Lelaki Berkumis Kucing patut 
mengacungkan jempol untukmu. Tapi, jangan ha-
rap aku takut menghadapi permainan anak-
anakmu ini!" 
Dahi Kelelawar Hutan berkernyit dalam. 
Kemarin, Kelelawar Hutan tak melihat kehadiran 
lelaki pendek itu. Berarti, Lelaki Berkumis Kucing 
baru tiba pagi buta tadi. Dia memang pernah 
mendengar tokoh berkumis mirip kucing ini. Na-
mun untuk bertemu baru kali ini. 
Dan sebelum Kelelawar Hutan buka suara, 
salah seorang undangan yang masih berusia mu-
da melompat ke hadapan Lelaki Berkumis Kucing. 
Langsung dia berlutut di hadapan kakek pendek 
ini. 
"Paman...! Paman guru! Perkenalkanlah 
aku, Kumbara yang rendah ini adalah murid 
tunggal Orang Tua Aneh Penjaga Pintu. Maafkan 
atas ketidak mengertianku ini, Paman!" ucap pe-
muda bernama Kumbara memperkenalkan diri. 
Sebenarnya pemuda berpakaian ringkas 
warna hitam-hitam ini sudah menduga begitu me-
lihat kemunculan orang tua bertubuh pendek itu. 
Namun hatinya masih ragu kalau orang di hada-
pannya adalah paman seperguruannya yang su-
dah lama sekali menghilang dari dunia persilatan, 
setelah dikalahkan seorang tokoh bergelar Can-
trik Tudung Pandan. Dan menurut keterangan 
dari gurunya, begitu Lelaki Berkumis Kucing jadi 
pecundang langsung menyembunyikan diri di Pu-
lau Nusa Kambangan. Konon untuk memperda-
lam kepandaiannya. 
"Bangunlah! Aku paling benci dengan sega-
la macam tetek bengek peradatan. Sekarang ka-
takan, bagaimana kabar Kakang Penjaga Pintu? 
Apakah baik-baik saja?" ujar orang tua bertubuh 
pendek itu kasar, seraya mengangkat pundak 
Kumbara. 
"Sayang sekali guru sedang menderita sakit 
parah, Paman. Aku diperkenankan turun gunung 
untuk meminta bantuannya Tabib Agung," jelas 
Kumbara. 
Orang tua bertubuh pendek itu sempat 
terkejut. Namun buru-buru dapat mengendalikan 
perasaannya. 
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Nanti kubantu 
kau mencari Tabib Agung. Sekarang, cepat kem-
bali ke tempatmu. Dan, dengarkan orang tua itu 
melanjutkan ceritanya!" kata lelaki bertubuh pen-
dek itu seraya menudingkan tongkatnya ke arah 
Kelelawar Hutan. 
Jidat Kelelawar Hutan makin berkernyit. 
Nampak sekali kalau kedatangan orang tua ber-
tubuh pendek itu tidak disukainya. 
"Hem...! Rupanya aku sedang berhadapan 
dengan Lelaki Berkumis Kucing yang sangat ter-
kenal di wilayah timur itu. Benar-benar tak ku-
sangka kalau kau dapat meloloskan diri dari ge-
bukan Cantrik Tudung Pandan. Sebab terus te-
rang, aku menyangka kau sudah mati di tangan 
tokoh sakti dari Gunung Anjasmoro itu." 
Lelaki tua bertubuh pendek itu tertawa 
sumbang.  
"Ah...! Bicaramu terdengar sengak Kelela-
war Hutan. Kulihat dari sorot matamu, kau nam-
paknya mulai mencurigai kedatanganku. Ketahui-
lah! Sebenarnya kedatanganku kemari hanyalah 
untuk mencari keparat Cantrik Tudung Pandan. 
Tapi berhubung aku sudah kepalang basah nya-
sar kemari, apa boleh buat? Aku pun juga merasa 
penasaran sekali dengan rahasia Sumur Kema-
tianmu. Apa kau pikir aku takut masuk ke dalam 
Sumur Kematian itu?" 
Kelelawar Hutan tersenyum sinis. 
"Jangan terlalu gegabah, Lelaki Berkumis 
Kucing! Biarpun ada juga yang dapat keluar kem-
bali, namun toh tetap saja tidak dapat memperta-
hankan nyawanya!" 
Sampai di sini, Kelelawar Hutan mendehem 
sebentar untuk membetulkan suaranya. 
"Buktinya, keempat orang murid utamaku 
yang berkepandaian cukup tinggi pun menjadi 
korbannya! Mereka sudah lama mengabdi untuk 
kepentinganku. Namun, toh akhirnya harus me-
nerima kematian dengan sangat mengenaskan. 
Bagaimana aku tidak menjadi sedih karenanya?" 
lanjut Kelelawar Hutan, setelah sedikit menurun-
kan nada bicaranya. 
Kelelawar Hutan kembali  hentikan bica-
ranya sebentar. Pandangan matanya menyapu ke 
arah semua yang hadir di ruangan ini. 
"Maka kepada siapa saja yang berani ma-
suk ke dalam Sumur Kematian dan menganggap 
mempunyai kepandaian yang dapat melebihi ke-
pandaian keempat orang murid utamaku, dipersi-
lakan masuk ke dalam Sumur Kematian untuk 
melihatnya," tambah Ketua Perguruan Kelelawar 
Putih. Suaranya ditinggikan tiba-tiba. 
"Ah...! Ah...! Bagaimana, ya? Jika ceritamu 
tadi betul semua, aku... aku mulai menjadi takut 
juga...," ledek lelaki tua pendek itu sambil cengar-
cengir. 
Mendengar kata-kata Lelaki Berkumis Kuc-
ing, semua orang yang hadir di ruangan itu jadi 
tidak dapat menahan tawanya. Wajah Kelelawar 
Hutan yang tadinya kaku, kini sedikit mulai me-
lunak. Tapi baru saja mau membuka mulutnya, 
tiba-tiba saja,... 
"Tapi, jangan khawatir. Aku si tua pendek 
ini masih ada satu cara untuk memaksa orang 
berani memasukinya!" lanjut Lelaki Berkumis 
Kucing sambil menggerakkan kedua tangannya, 
mirip orang menari. 
"Dengan cara apa saudara dapat memaksa 
orang masuk ke dalam Sumur Kematian, he?! Le-
kas katakan!" bentak salah seorang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih. 
Kelelawar Hutan membuka lebar sepasang 
matanya. Sinar matanya yang tajam terus meng-
hunjam ke arah Lelaki Berkumis Kucing. Tapi 
kemarahannya tidak ditunjukkan. Ia hanya sedi-
kit menggerak-gerakkan gerahamnya yang terka-
tup rapat. 
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya 
tersenyum-senyum saja, lantas mendehem-dehem 
beberapa kali seperti sedang mempermainkan Ke-
lelawar Hutan dan muridnya yang bicara tadi.    
"Mengapa kau tidak cepat-cepat membuka 
mulutmu, Orang Tua?!" teriak murid itu. 
Lelaki Berkumis Kucing masih Saja terse-
nyum-senyum jenaka sembari menggerak-
gerakkan kedua pundaknya. 
"Gampang saja untuk mengatakannya. Ta-
pi, aku harus mendapat persetujuan dari Kelela-
war Hutan dulu," katanya seraya mengerjap-
ngerjapkan matanya. 
"Lekas katakan! Apa kau pikir, guruku ti-
dak ingin cepat-cepat membongkar rahasia Su-
mur Kematian ini, heh?! Asal saja kau tidak me-
minta yang bukan-bukan, guruku tentu dapat 
menyetujui nya," bentak murid itu lagi tidak sa-
bar. 
"Kelelawar Hutan! Benarkah apa yang dika-
takan muridmu yang galak ini?" tanya Lelaki Ber-
kumis Kucing seolah ingin menegaskan. 
Kelelawar Hutan mengangguk. Matanya 
yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik lela-
ki tua pendek aneh ini. 
"Hanya hadiah besar saja yang dapat me-
maksa orang mengadu jiwa," lanjut lelaki tua ber-
tubuh pendek itu. 
Semua orang yang ada di ruangan ini 
menggumam tak jelas mendengar kata-kata orang 
tua pendek itu. Suara mereka bagaikan sekawa-
nan lebah saja. 
"Kelelawar Hutan!" kata Lelaki Berkumis 
Kucing, seraya merobah nada suaranya, lantang. 
"Banyak tokoh sakti dunia persilatan tahu kalau 
kau mempunyai Pedang Kelelawar Putih yang 
pernah menggetarkan dunia persilatan. Jika 
menggunakan Pedang Kelelawar Putih dicem-
plungkan ke dalam Sumur Kematian sebagai ha-
diah tambahan kepada siapa saja yang berani 
memasukinya, aku yakin masih ada orang yang 
berani mengadu jiwa seperti aku ini." 
Paras Kelelawar Hutan sudah menjadi be-
rubah. Hatinya tergetar juga mendengarkan 
omongan Lelaki Berkumis Kucing. 
"Kau terlalu memojokkanku, Sobat. Aku 
memang mempunyai Pedang Kelelawar Putih. Ta-
pi, bagaimana aku dapat menjadikannya sebagai 
taruhan? Itu satu-satunya senjata andalanku un-
tuk menghadapi musuh. Tapi, baiklah. Sebagai 
gantinya, aku akan mencemplungkan daun Lon-
tar Merah yang sangat ampuh untuk obat segala 
macam penyakit. Kalian tahu semua, seberapa 
ampuhnya khasiat daun itu, bukan?" 
Mendengar disebut-sebutnya daun Lontar 
Merah sebagai taruhan, Kumbara yang memang 
sedang mencari obat untuk gurunya segera maju 
ke depan.  Namun sayangnya, Lelaki Berkumis 
Kucing buru-buru memegangi lengannya. Sehing-
ga terpaksa sekali pemuda itu menahan langkah-
nya. 
"Betul! Khasiat daun Lontar Merah me-
mang sangat ampuh. Di samping dapat menyem-
buhkan berbagai macam penyakit, konon dapat 
pula membuat orang berumur panjang, walau 
hanya memakan seiris saja," sela Lelaki Berkumis 
Kucing. Kelelawar Hutan tertawa dingin.  
"Justru karena keampuhannya yang tidak 
dapat dinilai harganya itulah, aku jadi ragu-ragu 
untuk memasukkan daun Lontar Merah ke dalam 
Sumur Kematian. Coba pikir! Jika tidak ada 
orang yang berani mengambilnya, bukankah itu 
tindakan sia-sia?"  
"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Kele-
lawar Hutan! Setelah kau memasukkan daun 
Lontar Merah ke dalam lubang Sumur Kematian, 
aku akan memberi kesempatan pada yang lain 
untuk memasukinya. Tapi bila sampai tiga hari 
tak ada yang berani, biarpun bakal tidak bernya-
wa lagi aku akan memasukinya," kata Lelaki Ber-
kumis Kucing, mantap. 
"Bagus! Bagus! Sekali lagi aku patut men-
gagumi keberanianmu, Lelaki Berkumis Kucing. 
Dan sekarang juga, Saudara-saudara dipersilakan 
menunggu Pekarangan Terlarang," ujar Kelelawar 
Hutan seraya bertepuk tangan. 
Kemudian dengan tanpa banyak kata lagi, 
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu pun segera 
turun dari mimbar, langsung masuk ke ruangan. 
Sebuah alunan suara suling terdengar 
merdu, kendati kadang terputus-putus. Suaranya 
menggema, memenuhi Lembah Batu Sudung. 
Alunan suling itu dimainkan oleh seorang pemu-
da berparas tampan, berompi dan bercelana putih 
penuh sisik. Jari-jari tangannya menari-nari di 
atas lubang suling yang berbentuk seperti anak 
panah. 
Mendengar hasil tiupan sulingnya, mata si 
pemuda yang agak kebiru-biruan mengerjap-
ngerjap nakal. Bibirnya berkemik-kemik. Sejenak 
dipandanginya suling yang juga sebagai senjata 
pusaka itu penuh kagum. Kepalanya menggeleng-
gelengkan lucu. Lalu ia duduk bersila di bawah 
batu gunung sebesar rumput joglo, dan kembali 
meniup sulingnya. 
Wajah si pemuda yang berkulit putih ber-
sih tampak tampan sekali. Alis matanya tebal, 
manis sekali dengan bentuk hidung yang man-
cung. Rambutnya gondrong dibiarkan tergerai di 
bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Dan dari rompi pu-
tih keperakan yang terbuka tanpa kancing, tam-
paklah rajahan bergambar ular putih di dada ber-
sisik warnanya. 
Siapa lagi pemuda  tampan yang mempu-
nyai ciri-ciri demikian kalau bukan Soma, murid 
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman 
Ular Putih dari Gunung Bucu. Dan kini pemuda 
tampan itu terus saja meniup suling yang juga 
senjata anehnya. Dan diam-diam, dia mulai men-
gerahkan kekuatan batinnya yang baru saja dipe-
lajari dari orang tua bercaping pandan yang ber-
gelar Raja Penyihir! (Untuk lebih jelasnya menge-
nai pertemuan Soma dengan Raja Penyihir ini, 
dapat dibaca pada serial Siluman Ular Putih da-
lam episode kedua berjudul: "Manusia Rambut 
Merah"). 
Suara tiupan suling Soma kali ini aneh se-
kali. Terkadang terdengar melengking tinggi, ter-
kadang lirih hampir tidak terdengar. Dan dari ha-
sil tiupan suling pemuda murid Eyang Begawan 
Kamasetyo ini, mendadak hamparan tanah re-
rumputan di hadapan Soma telah dipenuhi ber-
bagai macam jenis ular. Dari yang besar, sampai 
yang kecil. Dari yang bercorak, sampai yang po-
los. Entah dari mana datangnya. 
Melihat ini, Siluman Ular Putih pun terse-
nyum girang. Tiupan suling kali ini dirubah da-
lam irama tertentu. Sejenak, ular-ular itu terke-
sima. Tiupan-tiupan suling Soma seperti mengge-
litik binatang-binatang melata itu untuk menari. 
Dan benar saja. Bersamaan dengan tiupan-tiupan 
suling Soma yang melantun lembut, ular-ular itu 
mulai menggeliat-geliatkan tubuhnya, mengang-
kat kepala tinggi-tinggi mengikuti alunan suling. 
Soma tertawa gembira. Senjata aneh di 
tangannya diketuk-ketukkan ke tangan sebelah-
nya. Dan entah kecewa karena alunan suling ter-
henti, atau memang Soma tidak mengerahkan 
kekuatan batinnya lagi, mendadak ular-ular itu 
berhenti menari. 
"Mengapa kalian berhenti menari, heh?! 
Ayo, lekas menari lagi!" 
Puluhan ular-ular itu malah celingukkan, 
tak mengerti maksud si pemuda. 
"Hehe he...! Maaf, teman-teman! Aku lupa 
tidak meniup sulingku. Nah, sekarang kalian ber-
siap-siaplah menari lagi," celoteh Soma, mirip 
orang sinting. 
Kemudian sembari duduk bersila begitu, 
Soma pun mulai meniup sulingnya. Namun baru 
beberapa alunan, tiba-tiba saja Siluman Ular Pu-
tih dikejutkan oleh melesatnya sesosok bayangan 
dari batu besar di belakang. Dan tahu-tahu, so-
sok itu telah mendarat manis persis di depan So-
ma. 
Sosok orang itu bertubuh tinggi kurus. 
Usianya kira-kira tujuh puluh tahun. Mukanya ti-
rus. Matanya sipit. Hidungnya pun kecil dengan 
kedua bibir menghitam. Kepalanya  bercaping 
pandan. Pakaiannya tambal-tambalan. Siapa lagi 
kalau bukan Raja Penyihir! 
"Ah...! Kau mengagetkanku saja, Orang 
Tua! Pakai permisi dong, kalau mau kemari?!" 
omel Siluman Ular Putih bersungut-sungut. 
Orang tua bercaping pandan ini kontan 
melotot lebar-lebar. Meski sebenarnya kagum me-
lihat kepandaian Soma dalam menangkap pelaja-
ran yang diberikan namun tetap saja tak dapat 
menyembunyikan kemangkelannya. Memang 
hanya dalam beberapa hari saja, Soma sudah da-
pat menyihir puluhan ular jejadian. Bahkan da-
lam sekali lihat tadi, Raja Penyihir tahu ular-ular 
yang berserakan di tanah rerumputan itu bukan 
saja ular jadian, melainkan juga benar-benar ular 
benar! Inilah yang membuatnya terkagum-kagum. 
Malah lelaki tua ini belum tentu sanggup menda-
tangkan puluhan ular benaran dalam jumlah se-
banyak itu. 
"Kau sungguh tidak sopan, Orang tua! Su-
dah mengagetkan aku, pakai melotot lagi. Me-
mangnya aku salah apa?!" gerutu Soma. 
Raja Penyihir makin melotot. Tongkat hi-
tamnya diketuk-ketukkan ke tanah. 
"Berapa kali aku harus  menyuruhmu me-
manggil aku Guru, Bocah?!" tukas lelaki tua itu 
membentak. 
Siluman Ular Putih memajukan  bibir ba-
wahnya. Kepalanya dipalingkan ke tanah rerum-
putan. Dan ia kontan terkejut. Ternyata sebagian 
ular yang dikumpulkan di tanah rerumputan mu-
lai bergerak ke balik semak. Buru-buru senjata 
pusakanya ditiup, bermaksud mengumpulkan 
ular-ular itu kembali. 
Tuk! Tuk! 
Raja Penyihir kembali mengetukkan tong-
kat hitamnya ke tanah. Hidungnya kembali kem-
pis saking gusarnya. 
"Bocah Edan! Bukannya menjawab serua-
nku, malah bertingkah macam-macam! Ayo, lekas 
suruh ular-ularmu itu pergi!" 
"Tidak bisa! Tidak bisa! Malah, aku ingin 
membalas perbuatanmu tempo hari, Orang Tua," 
sahut Soma kalem. 
"Apa?" sentak Raja Penyihir gusar. 
Soma tidak menyahut. Dan ia sudah kem-
bali tenggelam dengan permainan sulingnya.  
"Kau... kau...!" 
Raja Penyihir membelalakkan matanya le-
bar-lebar saat melihat ular-ular yang semula ber-
hamburan, kini mulai berkumpul. Kepalanya te-
rangkat tinggi-tinggi, memandang lelaki tua ini. 
Dan dengan sorot mata yang mencorong beringas, 
ular-ular itu bergerak cepat menyerang Raja Pe-
nyihir! 
"Sontoloyo!" maki Raja Penyihir. 
Kedua tangannya cepat bergerak menam-
par kepala ular-ular yang berani menyerangnya. 
Plakkk! 
Plakkk! 
Aneh! Tubuh ular-ular yang berani menye-
rang Raja  Penyihir langsung musnah tak berbe-
kas. Namun, ada sebagian ular lain yang memun-
cratkan darah segar begitu terkena tamparan 
tangan Raja Penyihir pada bagian kepala Raja Pe-
nyihir menggeleng-geleng. Diam-diam kepandaian 
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo makin 
dikagumi. Melihat darah yang muncrat berham-
buran ke sana kemari, lelaki tua bercaping pan-
dan ini tahu kalau ular-ular itu asli, bukan jeja-
dian. 
Prakkk! 
Prakkk! 
Dan ketika pandangan matanya yang tajam 
melihat berkelebatnya dua ekor ular betulan, Raja 
Penyihir pun kembali menggerakkan tangannya, 
menampar kepala ular-ular itu hingga mati. 
Sial sekali nasib Raja Penyihir pagi itu 
memang. Darah kepala ular yang terkena tampa-
ran tangannya barusan, malah muncrat mengenai 
mukanya. Lelaki tua itu jadi uring-uringan. 
"Ular-ular kurang ajar, enyahlah kalian 
semua!" bentak Raja Penyihir garang. Suaranya 
terdengar menggema memenuhi Lembah Batu 
Sudung. 
Seketika itu juga ular-ular buatan Soma 
pun lenyap tak berbekas. Sedang ular-ular betu-
lan yang tadi dikumpulkan Soma pun buru-buru 
menghilang di balik semak belukar. 
Siluman Ular Putih tertawa bergelak-gelak. 
Dilihatnya Raja Penyihir tengah sibuk member-
sihkan noda-noda darah ular menggunakan 
ujung baju tambal-tambalannya. 
"Hik hik hik...! Aku paling senang kalau 
melihat wajahmu celemongan begitu, Orang Tua. 
Mengapa dihapus? Kau makin tampan kok, kalau 
celemongan begitu," celoteh Siluman Ular Putih, 
seenaknya. Lantas ia berdiri. 
"Keparat! Kau harus bertanggung jawab 
atas perbuatanmu ini, Bocah!" bentak Raja Penyi-
hir geram. 
"Makanya jadi orang itu jangan usil. Itulah 
hasilnya!" 
Raja Penyihir mengatupkan gerahamnya 
rapat-rapat. Diam-diam ia telah mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Sementara kedua bibirnya yang 
menghitam pun mulai berkemik-kemik membaca 
mantera. 
Siluman Ular Putih mundur selangkah ke 
belakang. 
"Eh eh eh...! Kau mau apa, Orang Tua? 
Mengapa bibir hitammu berkemik-kemik seperti 
itu? Kau akan mengerahkan ilmu sulapmu, ya?" 
Raja Penyihir tidak menggubris ocehan 
Soma. Kedua bibirnya terus saja berkemik-kemik 
membacakan  mantera. Beberapa saat lamanya 
berselang, perlahan-lahan tubuh lelaki tua ber-
caping pandan itu mulai membesar-membesar. 
Dan jadilah ia raksasa hitam yang teramat men-
gerikan. Kedua taringnya yang sebesar tanduk 
kerbau hutan berkilauan kala tertimpa sinar ma-
tahari. 
Soma tertawa terpingkal-pingkal. Sama se-
kali hatinya tidak ngeri melihat raksasa hitam di-
hadapannya. 
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! 
Persis topeng monyet di pasar. Untung saja kau di 
sini. Kalau di pasar, sudah pasti akan jadi tonto-
nan orang banyak, Orang Tua!" 
Raja Penyihir yang telah menjelma menjadi 
raksasa hitam tinggi besar menggeram penuh 
kemarahan. Matanya yang memerah berkilat-kilat 
beringas. Dan kini ia mulai berjalan mendekati 
Soma.... 
Sekali lagi Soma yang bergelar Siluman 
Ular  Putih menarik kakinya selangkah ke bela-
kang. Diam-diam ia pun sudah mengeluarkan ke-
kuatan batinnya. 
"Tunggu dulu, Orang Tua! Kau tidak boleh 
menakut-nakutiku seperti itu!" bentak Soma den-
gan suara bergetar. 
Aneh sekali. Raksasa hitam tinggi besar itu 
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tubuhnya 
bergetar-getar hebat. Nampak sekali kalau uca-
pan Soma tadi sangat berpengaruh baginya. Na-
mun itu hanya sebentar. Kini raksasa hitam itu 
kembali berjalan mendekati si pemuda. Malah ke-
dua tangannya yang sebesar pohon kelapa dige-
rakkan ke bawah, bermaksud menangkap tubuh 
Siluman Ular Putih. 
"Uts...!" 
Soma cepat meloncat jauh ke belakang. 
Raksasa hitam tinggi besar itu gusar bukan main. 
Mulutnya yang memerah mengerikan telah men-
geluarkan gerengannya yang menggetarkan tanah 
di sekitarnya. 
"Ah...! Jelek sekali kalau kau seperti ini, 
Orang Tua. Aku malah bisa takut nanti. Buruan 
kembali berubah seperti wujudmu semula!" oceh 
Soma dengan suara bergetar, membawa penga-
ruh. 
Akibatnya sungguh hebat bukan main. Tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu bergetar-getar 
hebat. Selang beberapa saat, tubuh itu mulai me-
nyusut. Dan kini kembali menjelma menjadi wu-
judnya semula. Raja Penyihir! 
"Hebat! Hebat! Aku harus mengakui kehe-
batanmu, Bocah!" puji Raja Penyihir dengan raut 
wajah sungguh-sungguh. 
Sementara Soma mengipas-ngipaskan tan-
gannya bangga. 
"Siapa dulu dong gurunya?" katanya seraya 
mengumbar senyum. 
Raja Penyihir mau tak mau tersenyum ju-
ga. Tongkat hitamnya diketuk-ketukkan ke tanah 
dengan perasaan bangga. 
"Bagaimana, Orang Tua? Apa kau juga se-
nang melihat kehebatanku ini?" tanya Soma, nyi-
nyir. 
"Terus terang aku bangga melihat kepan-
daianmu ini, Bocah. Kau berbakat sekali. Tapi, 
ketahuilah! Aku sudah tidak ingin bertemu den-
ganmu lagi. Cepatlah enyah dari hadapanku se-
karang juga!" 
"Ha...?!  Siluman Ular Putih tersentak he-
ran. "Mengapa demikian, Orang Tua? Apa kau 
marah padaku?" 
"Tidak! Sama sekali tidak. Aku hanya ingin 
kau cepat enyah dari hadapanku. Dan amalkan-
lah semua kepandaianmu ini ke jalan yang benar. 
Itu saja!" 
"Ah...! Kau curang, Orang Tua! Kau pelit! 
Mengapa tidak mengajarkan semua kepandaian-
mu kepadaku?" tukas Soma. 
"Kau tidak mungkin sanggup, karena ma-
sih terlalu muda!" jelas lelaki tua itu. 
Soma memberenggut.  
"Kau meremehkan aku, Orang Tua! Apa 
kau pikir, aku tidak sanggup mempelajari semua 
kepandaianmu?" cibir si pemuda. 
"Aku menyangsikannya, Bocah. Selama 
kau masih suka melihat wajah cantik, dada mon-
tok dan paha mulus. Tak mungkin kau dapat 
menguasai ilmuku. Apa kau sanggup?" tukas Raja 
Penyihir. 
Soma menggaruk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal. Hidungnya kembang kempis seperti ti-
kus kena cuka. Jelas, mana mungkin pemuda ini 
menyanggupi syarat seberat itu. 
"Mengapa syaratnya demikian berat? Ada-
kah syarat lain yang lebih mudah?" tanya Soma. 
"Ada. Tapi, waktunya bukan sekarang. 
Nanti kalau sudah masuk liang kubur, baru kau 
sanggup menguasai semua ilmuku," sahut lelaki 
tua ini, enteng. 
"Ah...! Kau mempermainkanku saja, Orang 
Tua! Lantas, buat apa kau mengejar-ngejar aku 
untuk dijadikan murid?" 
Raja Penyihir mengangguk-angguk. 
"Semula aku memang sangat menyukaimu, 
Bocah. Tapi ketika sadar kalau kau tidak mung-
kin mampu menguasai semua ilmuku, aku jadi 
berpikir lain. Aku memang tidak sanggup menu-
runkan semua ilmuku padamu. Tapi, setidak-
tidaknya aku telah menurunkan sedikit kepan-
daianku padamu. Itu sudah cukup membuat ha-
tiku senang," jelas Raja Penyihir. 
"Baiklah kalau begitu, Orang Tua. Terima 
kasih atas segala petunjukmu. Selamat tinggal!" 
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih 
langsung menutulkan kedua kakinya ke tanah. 
Seketika ia sudah berkelebat cepat meninggalkan 
Lembah Batu Sudung. Dalam sekejap saja bayan-
gan tubuhnya telah berubah menjadi titik kecil di 
kejauhan sana. 
Raja Penyihir mengangguk-anggukkan ke-
palanya penuh kagum. Kemudian sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh 
tinggi kurusnya telah melayang tinggi ke udara, 
dan menghilang di balik batu gunung di bela-
kangnya. 
Matahari pagi sudah mulai merayap tinggi 
dari peraduannya di bentangan kaki langit sebe-
lah timur. Angkasa raya yang membiru tampak 
cerah, karena tak ada awan mengembang. Dan 
angin yang bertiup semilir seolah-olah mati ter-
bawa suasana sunyi. 
Jauh di belakang bangunan Perguruan Ke-
lelawar Putih, tepatnya pada sebuah hamparan 
tanah rerumputan berpagar tembok memutar, 
terlihat dua sosok bayangan tengah berloncatan 
ke tembok pagar. Yang satu bertubuh pendek 
dengan jubah kuning kedodoran sampai ke lutut. 
Di sebelahnya seorang pemuda bertubuh tinggi 
kurus berpakaian ringkas warna hitam-hitam. 
Kedua orang itu tak lain Lelaki Berkumis 
Kucing  dan Kumbara. Rupanya karena saking 
penasarannya, mereka telah menempuh jalan pin-
tas melewati pintu belakang Pekarangan Terla-
rang. Dan kini kedua orang itu tengah mengedar-
kan pandangan ke hamparan tanah kosong yang 
hanya terdapat sebuah sumur tua dan dua buah 
pohon asem tua. 
Agaknya Lelaki Berkumis Kucing dan 
Kumbara sudah tidak sabar lagi untuk segera 
berkelebat ke hamparan tanah kosong. Maka da-
lam beberapa loncatan saja, mereka telah sampai 
di pinggiran Sumur Kematian yang terkenal ang-
ker itu. 
Namun belum  sempat mendekati lubang 
sumur, mendadak mereka dikejutkan oleh alunan 
suling yang sangat menyayat hati. Bersamaan 
dengan itu, bertiup pula angin yang menebarkan 
bau amis bukan alang kepalang. 
Lelaki Berkumis Kucing buru-buru  me-
mencet hidungnya. 
"Aduh....!  Mengapa amis begini, Kelelawar 
Hutan? Ah..., kau hampir saja berhasil memba-
talkan perjanjian kita!" 
Lelaki Berkumis Kucing masih memencet 
hidungnya rapat-rapat. Lalu kembali kedua ka-
kinya ditutulkan ke tanah, dan mendarat ringan 
di bibir Sumur Kematian. Sejenak kepalanya me-
longok-longokkan ke dalam lubang sumur. 
"Aduh dalamnya. Kalau aku sudah telanjur 
masuk, bagaimana dapat keluar lagi?" gumam Le-
laki Berkumis Kucing. 
Saat itu Kumbara yang sudah berada di 
sampingnya hanya bisa memandang heran. 
"Paman. Apakah suara tiupan suling itu 
datangnya dari dalam Sumur Kematian ini?" 
tanya si pemuda, heran. 
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk. Na-
mun tiba-tiba saja orang tua bertubuh pendek itu 
seperti teringat sesuatu. 
"Ah...! Rasa-rasanya aku pernah menden-
gar lagu ini. Kalau tidak salah, kira-kira dua pu-
luh tahun yang lalu, sewaktu sedang lewat di 
pinggiran Hutan Cemoro Grimpil. Dari kejauhan 
aku dapat melihat dua sosok berpakaian hitam 
dan putih sedang duduk berhadap-hadapan. Satu 
di antara kedua orang itu sedang meniup suling 
yang lagunya mirip benar dengan yang kudengar 
kali ini. Ya ya ya...! Lagunya memang persis se-
perti yang kudengar kali ini. Tapi..., tapi mung-
kinkah orang itu lagi berada di dalam Sumur Ke-
matian?" gumam lelaki tua bertubuh pendek itu 
lagi, kebingungan sendiri. 
"Paman! Apakah Paman tahu asal usulnya 
dua orang itu?" tanya Kumbara. 
Lelaki Berkumis Kucing itu menggeleng le-
mah. 
"Aku sudah berlari mengejarnya. Namun 
hanya dalam sekejapan mata saja telah kehilan-
gan jejak mereka. Kedua orang itu seperti lenyap 
ditelan bumi" 
Kumbara menggeleng-geleng heran. 
"Dengan kepandaian yang sudah mencapai 
tingkat tinggi, apakah Paman tidak dapat juga 
menduga siapa orang yang di dalam Sumur Ke-
matian ini?" 
Kening Kumbara berkernyit dalam. Kata-
katanya tadi sama sekali tidak digubris lelaki tua 
bertubuh pendek itu. Hanya dilihatnya paman 
gurunya itu sudah membungkuk ke dalam mulut 
Sumur Kematian. 
"Auuung...!" 
Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Le-
laki Berkumis Kucing memekik panjang. Inilah 
pekikan maut 'Raungan Maut Kucing Hutan' sa-
lah satu ilmu andalan orang tua bertubuh pendek 
itu. 
Kumbara yang mendengarnya dalam jarak 
demikian dekat langsung menggigil. Gendang te-
linganya seperti terobek! Namun lebih anehnya 
lagi, suara pekikan Lelaki Berkumis Kucing terus 
amblas ke dalam Sumur Kematian dan tidak ber-
gema! 
Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara sal-
ing berpandangan saking herannya. Terlihat Lela-
ki Berkumis Kucing itu melongo dengan mata 
mendelik. 
"Ah...! Jangan-jangan sumur ini tidak ada 
dasarnya?" desah lelaki tua itu. 
Kumbara  yang sudah bersiap-siap mema-
suki Sumur Kematian jadi meragu. Dalam hatinya 
bertanya-tanya. Mungkinkah Sumur Kematian ti-
dak mempunyai dasar sama sekali? Mustahil. Ta-
pi, mengapa suara pekikan barusan tidak berge-
ma? 
Sementara Lelaki Berkumis Kucing me-
mandang  Kumbara sebentar. Namun menda-
dak.... 
"Auuung...!" 
Dari dalam lubang Sumur Kematian ter-
dengar suara pekikan orang tua bertubuh pendek 
tadi. 
Lelaki Berkumis Kucing ini tertawa berka-
kakan. Kumbara sendiri pun menunjukkan muka 
girang. Pada saat yang sama para undangan dan 
murid Perguruan Kelelawar Hutan baru saja tiba 
di Pekarangan Terlarang mereka merasa heran 
sekali melihat tingkah kedua orang itu. 
Tidak lama kemudian muncul Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Kali ini Kelelawar Hutan 
muncul sambil membawa sebuah kotak besi di 
tangan kanannya. 
Setelah sampai di hadapan Lelaki Berku-
mis Kucing dan Kumbara, lelaki setengah baya itu 
segera membuka kotak kecil di tangannya. Seben-
tar saja sudah terlihat isinya, sebuah pohon lon-
tar kecil yang mempunyai beberapa daun berwar-
na merah darah. Sedang akar-akarnya berwarna 
putih bersih, mirip tulang manusia. Dan begitu 
kotak besi itu dibuka lebar, seketika bau harum 
menebar ke udara di sekitarnya. 
Tanpa sadar Lelaki Berkumis Kucing dan 
Kumbara terbelalak lebar. Sekedip pun mereka ti-
dak mengalihkan perhatian pada isi dalam kotak 
kecil itu. 
Perlahan-lahan Kelelawar Hutan kembali 
menutup kotak kecil di tangannya. 
"Apa kalian berdua sudah melihat isi kotak 
ini?" tanya Kelelawar Hutan kepada Lelaki Ber-
kumis Kucing dan Kumbara 
"Sudah. Aku yakin barang ini asli," sahut 
Lelaki Berkumis Kucing seperti masih terpana. 
"Bagus! Kalau begitu, sekarang saksikan-
lah! Aku akan mencemplungkan kotak kecil ini ke 
dalam Sumur Kematian sebagai hadiah bagi siapa 
saja yang dapat keluar dengan selamat dari su-
mur ini," 
Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan Ke-
lelawar Hutan mulai berjalan mendekati lubang 
Sumur Kematian. Begitu dekat, kotak kecil itu di-
angkat tinggi-tinggi. Sambil tersenyum-senyum, 
pandangan matanya beredar kepada semua yang 
berada di Pekarangan Terlarang. Kemudian segera 
dicemplungkannya kotak kecil itu ke dalam mulut 
Sumur Kematian. 
Wsss... 
Kotak kecil itu terus meluncur ke bawah.  
Plung!  
Beberapa saat, baru terdengar bunyi benda 
menghantam air di dasar Sumur Kematian. Sua-
ranya lirih sekali, hampir tidak terdengar telinga. 
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya 
menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa ti-
ba-tiba saja ia ingin sekali menggaruk-garuk ke-
palanya. 
Sedangkan Kelelawar Hutan kembali men-
gedarkan pandangan ke arah para undangan. 
"Saudara-saudara sekalian! Bukankah te-
lah menyaksikan betapa besarnya perhatianku, 
sampai-sampai rela mengorbankan pusaka turu-
nan Perguruan Kelelawar Putih? Nah! Sekarang, 
harap-Saudara-saudara sekalian sudi menjadi 
saksi kejadian ini!" 
Sambil membetulkan pakaiannya, Kumba-
ra segera mencabut keluar belati kecilnya. Seje-
nak ia menjura ke arah Lelaki Berkumis Kucing. 
"Paman! Aku sudah tidak sabar untuk se-
gera masuk ke dalam Sumur Kematian. Izinkan 
aku mendahuluimu. Ini semata-mata hanya demi 
kesembuhan guruku, Orang Tua Aneh Penjaga 
Pintu," ucap Kumbara, masih menjura. 
"Tetapkan hatimu, Kumbara" tegas Lelaki 
Berkumis Kucing, mantap. 
Kumbara menengadah sebentar. Sambil 
menunjukkan ketabahan hatinya, tahu-tahu ka-
kinya telah menjejak tanah, dan mendarat ia di 
pinggir  lubang Sumur Kematian. Kepalanya me-
longok sebentar. Kemudian dengan begitu bera-
ninya, murid Orang Tua Aneh Penjaga Pintu ini 
telah menuruni Sumur Kematian. Tangan kanan-
nya tetap memegang erat-erat belati kecilnya, se-
dang tangan kirinya menggapai-gapai dinding 
sumur. Hal itu dilakukan untuk menahan tubuh-
nya yang terus meluncur ke dalam lubang Sumur 
Kematian. 
Hampir kurang lebih seratus orang di Pe-
karangan Terlarang menyambut keberanian 
Kumbara dengan perasaan tegang. Semua dice-
kam perasaan gelisah yang sama. Jangankan un-
tuk berbicara. Untuk menarik napas panjang saja 
tidak berani! 
Sementara orang yang paling gelisah ada-
lah Lelaki Berkumis Kucing. Entah sudah berapa 
kali lelaki tua bertubuh pendek itu mondar-
mandir di bibir sumur. Sebentar kepalanya me-
longok ke dalam Sumur Kematian. Bayangan tu-
buh Kumbara kini sudah tidak nampak lagi di ke-
gelapan dasar Sumur Kematian. 
Kini Lelaki Berkumis Kucing terus mem-
perhatikan ke dalam lubang Sumur Kematian. 
Dengan segenap kemampuan dicobanya menge-
rahkan pendengaran yang sudah terlatih, ke da-
lam lubang Sumur Kematian. Ia ingin tahu, keja-
dian apa yang tengah dialami murid tunggal ka-
kak seperguruannya. 
Pagi ini, perjalanan sang waktu benar-
benar terasakan sangat lamban. Para undangan 
dan murid-murid Perguruan Kelelawar Putih ma-
kin dicekam perasaan tegang. Dua belas orang 
murid penjaga pintu dan delapan orang murid 
penjaga perguruan berdiri laksana patung. Se-
dangkan Kelelawar Hutan sendiri pun kini sedang 
mengusap-usapkan kedua tangannya. 
Tak terasa satu penanakan nasi terlewat 
sudah. 
Keadaan di Sumur Kematian tetap 
mengkhawatirkan. Semua orang yang berada di 
atas terlihat makin dicekam perasaan gelisah. 
Malah sudah ada beberapa orang mengeluarkan 
suara keluhan. 
Satu penanakan nasi kembali berlalu. Kali 
ini Kelelawar Hutan sudah  mulai mengalihkan 
perhatian pada Lelaki Berkumis Kucing. 
"Sobatku Lelaki Berkumis Kucing...," pang-
gilnya dengan suara perlahan. 
"Tutup mulutmu, Kelelawar Hutan!" 
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan ka-
ta-katanya, saat lelaki tua pendek itu seperti tak 
ingin diganggu. Malah Lelaki Berkumis Kucing 
kini mengangkat kepalanya, memandang tajam 
Kelelawar Hutan. Kedua bibirnya yang bergetar-
getar dengan napas mendengus-dengus dari lu-
bang hidung. Dan sebelum perhatian Lelaki Ber-
kumis Kucing kembali ke sumur, mendadak....  
"Aaakh...!"  
Tiba-tiba saja dari dalam lubang Sumur 
Kematian terdengar satu pekikan yang teramat 
menyayat hati. 
Buru-buru Lelaki Berkumis Kucing melon-
gokkan kepalanya lagi ke dalam lubang Sumur 
Kematian. Dan ia melihat satu bayangan hitam 
tengah  berkelebat naik ke atas dengan susah 
payah. Lelaki tua pendek ini tahu kalau Kumbara 
sudah sampai di dasar, dan sedang berusaha 
naik. 
"Kelelawar Hutan! Lihat! Kumbara sedang 
berusaha naik ke atas dengan membawa kotak 
daun Lontar Merahmu!" teriak Lelaki Berkumis 
Kucing kegirangan.  
Paras Kelelawar Hutan kontan berubah 
menyeramkan sekali  
"Ia akan tergolong tokoh papan atas jika 
benar-benar dapat naik kembali ke atas di Peka-
rangan Terlarang ini!"  
Lelaki Berkumis Kucing tidak membantah 
ucapan Kelelawar Hutan.  Ia hanya tertawa-tawa 
saja untuk menenangkan hatinya. Namun tiba-
tiba saja dari lubang Sumur Kematian telah me-
lompat satu bayangan hitam di atas pinggiran 
Sumur Kematian. Itulah Kumbara!  
Begitu pemuda murid tunggal Orang Tua 
Aneh Penjaga Pintu itu menjejakkan kedua ka-
kinya di pinggiran Sumur Kematian, langsung 
memandang Kelelawar Hutan beringas. Wajahnya 
pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Tangan 
kirinya memegang kotak kecil berisi daun Lontar 
Merah yang tadi dilemparkan ke dalam Sumur. 
Sedang tangan kanannya masih tetap memegang 
erat belati kecilnya yang ditudingkan ke arah Ke-
lelawar Hutan. 
"Kelelawar Hutan! Kau... kau.... Aaakh...!" 
Baru saja Kumbara mengucapkan kata-kata itu, 
tiba-tiba saja sudah disusul jeritan keras disertai 
memuntahan darah segar. Seketika itu juga ba-
dannya limbung dan tanpa ampun lagi, Kumbara 
jatuh terpelanting ke dalam Sumur Kematian 
sambil masih memegang erat kotak kecil berisi 
daun Lontar Merah tadi.  
Bukan main kagetnya semua orang yang 
berada di Pekarangan Terlarang begitu melihat 
perubahan yang teramat mendadak ini. Termasuk 
juga, Lelaki Berkumis Kucing yang tadi sempat 
juga merasa kegirangan. 
Melihat hal itu, buru-buru lelaki tua bertu-
buh pendek ini segera mengulurkan kedua tan-
gannya, bermaksud menyambar tubuh Kumbara. 
Namun sayangnya, ia hanya menangkap angin 
kosong saja. Sementara tanpa ampun lagi, tubuh 
Kumbara pun terus meluncur ke dasar dengan 
kecepatan luar biasa! 
Lelaki Berkumis Kucing hanya bisa berdiri 
melompong di mulut Sumur Kematian. Matanya 
terbelalak lebar, seolah tidak percaya dengan ke-
jadian yang baru saja dilihat. Dan tidak kurang 
dari seratus orang yang berada di Pekarangan 
Terlarang hanya bisa diam menundukkan kepala. 
Seolah-olah mereka ingin mengucapkan kata be-
lasungkawa atas kejadian barusan. 
"Keparat!" 
Lelaki Berkumis Kucing yang telah menjadi 
kalap, mendadak saja telah membentak keras 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. 
"Ada permusuhan apa antara kau dengan 
Kumbara, Kelelawar Hutan?!" Begitu kata-
katanya habis, Lelaki Berkumis Kucing meluruk 
menyerang Kelelawar Hutan. Namun dengan 
tangkasnya, Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu 
meloncat ke samping kiri, menghindari serangan. 
"Apa maksudmu, Orang Tua Pendek? Jan-
gan seenak perutmu menuduhku yang bukan-
bukan! Semua orang tahu, pemuda itu telah ter-
luka parah. Itulah yang menyebabkannya terjatuh 
lagi ke dalam Sumur Kematian. Jadi mana aku 
tahu? Apalagi sebelumnya telah ada perjanjian di 
antara kita...," tangkis Kelelawar Hutan. 
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan bi-
caranya. Karena saat itu, Lelaki Berkumis Kucing 
telah mengeluarkan tawa sumbangnya. Beberapa 
orang yang berada di atas Pekarangan Terlarang 
sampai bergidik ngeri dibuatnya. Namun ada se-
bagian orang yang mengira kalau lelaki tua ber-
tubuh pendek ini telah menjadi gila, saking tidak 
kuat menahan guncangan batinnya. 
Saat itu Kelelawar Hutan pun tidak lagi 
berlaku ramah seperti tadi. Wajahnya mendadak 
berubah penuh ejekan. Hidungnya kembang 
kempis saking gusarnya. 
Sedang Lelaki Berkumis Kucing kini tidak 
lagi mengumbar tawanya. Rupanya hatinya telah 
dapat ditenangkan. Bahkan kini dadanya dite-
gakkan. 
"Baiklah! Tulang tuaku pun akan segera 
kupendam dalam dasar Sumur Kematian ini!" ka-
ta Lelaki Berkumis Kucing, tegas. 
Sehabis berkata begitu, lelaki bertubuh 
pendek itu menutulkan kedua kakinya ke tanah, 
lalu mendarat manis di atas pinggiran Sumur 
Kematian. Sejenak kepalanya melongok ke bawah.  
"Hup!" 
Dan dengan sekali loncat saja, tahu-tahu 
tubuh orang tua pendek itu telah meluncur deras 
ke dalam Sumur Kematian. 
Kini suasana di atas Pekarangan Terlarang 
kembali dicekam ketegangan. Beberapa orang 
murid Perguruan Kelelawar Putih sudah ada yang 
menggigil dengan sekujur tubuh dibasahi keringat 
dingin. Matahari yang bersinar garang di cakra-
wala pun perlahan tertutup awan. Seolah tak ku-
asa melihat suasana mencekam. Semua terdiam 
dalam kebisuan. Semua menanti kabar maut dari 
dalam Sumur Kematian. 
Dan tak terasa satu penanakan nasi terle-
wat sudah. Namun bayangan orang tua bertubuh 
pendek pun belum muncul dari dalam Sumur 
Kematian. Para undangan dan murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih mulai gelisah. Dari pan-
dangan mata mereka dapat terlihat kekecewaan 
dan penyesalan. 
Beberapa Saat berselang, dari dalam lu-
bang Sumur Kematian muncul sesosok bayangan 
kuning. Begitu hinggap di atas bibir sumur, sosok 
itu telah menjinjing mayat Kumbara dan kotak 
kecil berisi daun Lontar Merah. Sosok yang me-
mang Lelaki Berkumis Kucing berusaha tetap ko-
koh di tempatnya berpijak. Namun wajahnya ter-
lihat pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. 
Sepasang matanya yang tajam memandang berin-
gas Kelelawar Hutan. 
Beberapa orang yang berada di Pekarangan 
Terlarang sudah mulai dapat menghela napas le-
ga. Namun mereka semua tetap masih mengkha-
watirkan keselamatan orang tua bertubuh pendek 
itu. 
Lelaki Berkumis Kucing masih memandang 
beringas Kelelawar Hutan. Namun entah menga-
pa, tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan aneh 
terpancar dari sepasang mata Ketua Perguruan 
Kelelawar Putih. 
Lelaki Berkumis Kucing mengeluh. Kekua-
tan gaib dari sepasang mata Kelelawar Hutan be-
gitu kuatnya mempengaruhi batinnya. Dan tanpa 
sadar, dadanya makin bergetar-getar hebat. Wa-
jahnya makin pias seperti mayat. Dan dari kedua 
bibirnya yang bergetar-getar... 
"Kelelawar Hutan! Kau... kau...!"    
Lelaki Berkumis Kucing tak dapat lagi me-
neruskan ucapannya. Kedua lututnya goyah pe-
gangan pada sosok mayat yang dikepit dan kotak 
kecil berisi daun Lontar Merah itu melemah. Dan 
akhirnya, kedua benda itu kembali terjatuh ke 
dalam Sumur Kematian. Sepasang mata Kelela-
war Hutan begitu kuatnya mempengaruhi batin-
nya. Sehingga, membuat sukmanya seolah me-
layang entah ke mana. 
Namun biar bagaimanapun juga, Lelaki 
Berkumis Kucing bukanlah tokoh sembarangan. 
Meski dalam keadaan sangat berbahaya, kedua 
lututnya yang goyang masih dapat dikendalikan. 
Kemudian tanpa banyak pikir lagi segera kedua 
kakinya ditutulkan, lalu meloncat keluar dari lu-
bang Sumur Kematian. 
Sembari meloncat demikian, sebelah tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing berputaran cepat ke 
depan. Maka seketika itu juga serangkum angin 
dingin dari telapak tangan kanannya meluncur, 
menyerang tubuh Kelelawar Hutan.  
Wesss! 
Kelelawar Hutan kaget bukan main. Sung-
guh tidak disangka Lelaki Berkumis Kucing akan 
menyerang dirinya dalam jarak demikian dekat. 
Tanpa berpikir lebih panjang lagi ia segera melon-
cat ke samping kiri. Maka selamatlah dirinya dari 
serangan Lelaki Berkumis Kucing. 
Ketua Perguruan Kelelawar Putih mengge-
ram penuh kemarahan. Kedua tangannya siap 
melayangkan pukulan mautnya. Namun sayang-
nya, Lelaki Berkumis Kucing sudah merambat 
naik ke atas pohon asem dengan kecepatan men-
gagumkan. Dan dalam sekejapan saja, lelaki ber-
tubuh pendek itu telah menutulkan kakinya di 
atas tembok Pekarangan Terlarang. Lalu sekali 
genjot lagi, tubuhnya pun lenyap dari pandangan 
mata. 
Maka, makin gemparlah kabar maut ten-
tang Sumur Kematian di Pekarangan Terlarang 
itu. Dan pada siang hari itu pula, para undangan 
mulai meninggalkan Perguruan Kelelawar Putih. 
Ada apa sebenarnya di dalam Sumur Ke-
matian? 
Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu 
di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, me-
nyentak perhatian seorang gadis cantik berpa-
kaian putih-putih yang tengah melatih jurus-
jurusnya, di depan sebuah jurang kecil berair jer-
nih. Kepalanya menengadah sebentar, setelah 
menghentikan gerakannya. 
Memang betapa cantiknya gadis itu. Kulit-
nya kuning langsat. Rambutnya panjang dibiar-
kan tergerai di bahu. Matanya agak lebar, dihiasi 
bulu mata lentik. Alis matanya tebal dengan mata 
bak bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya 
merah tipis. Manis sekali dengan dua lesung pipit 
di kanan kirinya. 
Suara kentongan yang masih bertalu di 
angkasa, membuat gadis cantik berpakaian putih-
putih ini bertanya-tanya dalam hati. Keningnya 
berkerut dalam menduga apa yang tengah terjadi. 
Tiba-tiba saja gadis berpakaian putih-putih 
ini mendengar percakapan beberapa orang, tak 
jauh dari tempatnya  berlatih. Dan sekali kedua 
kakinya menutul di batu hitam, tahu-tahu tu-
buhnya yang tinggi ramping telah hinggap di se-
buah ranting pohon di atasnya. 
Dari atas ranting pohon, si gadis kembali 
mengarahkan pandangan ke arah datangnya sua-
ra tadi. Dan matanya menangkap empat orang 
bertubuh tegap yang tengah berlari kencang me-
nuruni lereng barat Gunung Sumbing. Mereka 
sama-sama berpakaian putih-putih dengan ikat 
kepala warna kuning. Di bahu masing-masing 
bersandar sebuah peti mayat berwarna merah.  
Sekali lagi si gadis kerutkan keningnya da-
lam-dalam. 
"Hei? Bukankah mereka murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih? Apa yang dilakukan mu-
rid-murid ayahku ini? Apa yang mereka bawa di 
dalam peti itu?" gumam si gadis yang ternyata pu-
tri dari Ketua Perguruan Kelelawar Putih. 
Si gadis terus memperhatikan keempat 
orang yang ternyata murid-murid ayahnya. Me-
mang beberapa hari ini, gadis yang dikenal ber-
nama Aryani ini mendengar kalau ayahnya tengah 
mengadakan sayembara yang terbuka bagi siapa 
saja untuk memasuki Sumur Kematian. Bagi 
yang keluar dalam keadaan selamat, hadiah besar 
akan menanti. Maka tak urung lagi, murid-murid 
Perguruan Kelelawar Putih bertekad baja ikut pu-
la dalam sayembara. Namun sampai saat ini tak 
seorang pun yang berhasil selamat. Demikian pu-
la yang terjadi dengan tokoh-tokoh persilatan 
yang diundang. Hanya Lelaki Berkumis Kucing 
saja yang berhasil selamat, tapi itu pun dalam 
keadaan terluka. Sehingga ia tak sempat menda-
patkan hadiah 
Putri Kelelawar Hutan itu selama ini me-
mang penasaran sekali. Siapakah sebenarnya bi-
ang kerok di balik semua kejadian ini? Mungkin-
kah hanya karena keberadaan Sumur Kematian 
di Pekarangan Terlarang itu?  
Itulah dua pertanyaan besar yang selalu 
menghantui Aryani. Dan kali ini rasa penasaran-
nya tidak dapat lagi ditahan. Maka dengan ber-
loncatan dari ranting pohon yang satu ke ranting 
pohon lain, ia pun mengikuti keempat orang itu 
pergi. 
Keempat orang murid Perguruan Kelelawar 
Putih telah berlari kencang menuju tebing sebelah 
barat Perguruan Kelelawar Putih. Karena tak 
jauh, sebentar saja mereka tiba di tepi barat teb-
ing. Sebentar keempat orang murid itu celingu-
kan, seperti takut dilihat orang. Merasa aman, sa-
lah seorang yang berada paling depan segera 
mengulurkan tangan kanan ke sebuah tonjolan 
batu kecil. Sekali tarik, mendadak batu besar itu 
bergeser ke kiri. Dan kini nampaklah sebuah gua 
yang menganga lebar. Tanpa banyak membuang 
waktu lagi, mereka segera masuk ke dalamnya. 
Sementara dari tempat persembunyiannya, 
Aryani mengangguk-angguk, namun belum juga 
beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia ingin 
mengetahui lebih lanjut, rahasia apa pula yang 
tersembunyi di dalam gua itu. 
Selang beberapa saat keempat orang murid 
Perguruan Kelelawar Putih telah kembali keluar 
dari dalam mulut gua. Namun kali ini mereka ti-
dak lagi memanggul peti mati.  Sementara salah 
seorang yang berada paling belakang menarik 
tonjolan batu kecil di samping mulut gua. Dan 
perlahan-lahan pula batu sebesar kerbau itu, 
menutupi mulut gua. 
Setelah mulut gua tertutup, mereka segera 
berkelebat cepat menuju markas Perguruan Kele-
lawar Putin. 
Aryani masih dapat menangkap keempat 
sosok bayangan putih yang makin menjauh, dan 
akhirnya menghilang di antara kerimbunan hutan 
pinus depart sana. Setelah dirasanya aman, baru 
gadis cantik berpakaian putih-putih itu segera ke-
luar dari tempat persembunyiannya. 
*** 
"Hup!" 
Kedua kaki Aryani mendarat manis di jalan 
setapak tanpa menimbulkan suara sama sekali. 
Sekali menutulkan kedua kakinya ke tanah, tahu-
tahu tubuhnya melesat cepat menuju mulut gua 
yang tertutup. 
Begitu sampai, sejenak Aryani memperha-
tikan tonjolan batu kecil yang tadi digunakan oleh 
keempat orang murid Perguruan Kelelawar Putih. 
Tanpa ragu-ragu lagi segera diraih dan ditariknya 
tonjolan itu. Seketika itu juga, terdengar suara 
menggemuruh dari batu sebesar kerbau yang per-
lahan-lahan bergeser ke kiri, sehingga menam-
pakkan mulut gua yang menganga lebar. 
Begitu mulut gua terbuka, mendadak hawa 
anyir yang bukan alang kepalang menyeruak ke-
luar membuat perut si gadis terasa mual. Buru-
buru Aryani memencet hidungnya rapat-rapat. 
Hampir saja ia tidak kuat menahan gejolak dalam 
perutnya. Namun ia segera berkelebat masuk ke 
dalam mulut gua. 
Begitu sampai, Aryani kontan membelalak-
kan matanya. Dilihatnya di dalam gua itu banyak 
sekali dijumpai tumpukkan tengkorak manusia. 
Sedang di sampingnya terdapat empat peti mayat 
warna merah yang tadi dibawa keempat orang 
murid Perguruan Kelelawar Putih. 
Aryani menenangkan perasaannya seben-
tar. Selanjutnya ia mulai bergerak mendekati sa-
lah satu peti mayat dan membukanya. Seperti 
yang telah diduga sebelumnya, peti mayat itu ten-
tu berisi mayat. Dan gadis ini tidak begitu terke-
jut karenanya. Namun entah mengapa tiba-tiba 
saja keningnya mulai berkerut dalam. Sosok 
mayat itu memang sangat mengerikan. Raut wa-
jahnya penuh luka-luka cakaran yang mengelua-
rkan banyak darah sehingga sulit dikenali. Pa-
kaiannya yang putih-putih juga dipenuhi noda 
darah yang sudah mulai mengering. Yang lebih 
mengerikan lagi bagian dada kiri mayat itu berlu-
bang! 
Aryani terus memeriksa mayat itu dengan 
seksama. Di samping ingin mengetahui siapa na-
ma si korban, juga ingin mengenali sebab-sebab 
kematian si korban. Dan ketika gadis ini mene-
mukan sebentuk cincin putih di jari manis mayat 
itu, kontan saja terpekik. 
"Kakang Jalu...! Oh...! Mengapa jadi begini? 
Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?" 
Aryani mengguncang-guncangkan sosok 
mayat orang yang sangat dicintainya. Saat itu ju-
ga, air mata tidak dapat dibendung. Dan ketika 
menyadari kalau jantung orang yang dicintainya 
hilang, tangisnya pun jadi makin menggila. 
Lalu dengan kalap Aryani pun segera 
membuka ketiga peti mayat lainnya, Ternyata, ke-
tiga mayat itu pun mengalami nasib sama. Raut 
wajah mereka hancur dengan dada sebelah kiri 
berlubang. 
"Oh...! Kakang Permadi, Kang Suro, Dan 
kau Kakang Simo. Kasihan sekali nasib kalian. 
Aku bersumpah akan membalas sakit hati kalian 
semua, Kakang," keluh gadis ini dengan mata ber-
linang. 
Perlahan-lahan Aryani mulai dapat men-
gendalikan perasaannya. Dan kini ia pun mulai 
memeriksa luka keempat mayat kakak sepergu-
ruannya dengan seksama. Beberapa saat kemu-
dian matanya jadi terbelalak beringas. Seketika 
itu juga wajahnya jadi pucat pasi. Bibirnya berge-
tar-getar hebat. Matanya terus memperhatikan 
keempat sosok mayat di hadapannya.       
"Dari luka mereka, rasa-rasanya aku per-
nah mengenali jurus-jurus maut seperti ini. 
Hm.... Ya ya ya...! Pasti orang yang telah membu-
nuh mereka, adalah orang yang menguasai jurus 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus 
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'! Yah...! Pasti dialah 
orangnya!" 
Sampai di sini Aryani tidak melanjutkan 
ucapannya lagi, Hatinya mendadak gelisah sekali. 
Tiba-tiba matanya yang indah mengerjap-ngerjap. 
Kemudian sekali mengenjotkan kedua kakinya ke 
tanah, tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat 
keluar dari dalam gua tanpa menutup kembali 
pintunya. 
Aryani mendapati seorang wanita setengah 
baya sedang duduk mematung memandangi 
hamparan Pekarangan Terlarang dengan sinar 
mata aneh. Perlahan didekatinya perempuan ber-
pakaian longgar warna putih-putih. 
Mata si gadis tak berkedip memandangi so-
sok kurus di hadapannya. Wajah sosok itu me-
mang terlihat lebih tua dari usianya yang sebe-
narnya. Garis-garis wajahnya menyiratkan pende-
ritaan. Namun meski dibalut kemurungan, wa-
jahnya yang berkulit kuning langsat itu masih 
menampakkan sisa-sisa kecantikannya. 
Sejenak Aryani memandangi penuh haru. 
Entah penderitaan apa yang membuat wajah wa-
nita itu dibalut kemurungan. Aryani benar-benar 
tidak tahu. Hanya bibirnya yang bergetar-getar 
mulai bergerak-gerak memanggil, 
"Ibu...! Mengapa Ibu berada disini?" 
Wanita yang ternyata ibu dari Aryani terke-
siap. Saking terlena dengan lamunannya, ia sam-
pai tidak tahu putrinya telah berada di sisinya.  
Dan kini wanita berpakaian putih-putih itu 
hanya memandang heran putrinya. Namun ketika 
disadari ada aliran bening membasahi pipi, buru-
buru air matanya diseka dengan ujung sapu tan-
gannya. 
"Mengapa Ibu menangis?" tanya Aryani ti-
dak begitu heran. 
Memang si gadis sudah terbiasa melihat 
ibunya dibalut kemurungan seperti ini. Terutama 
sekali bila sedang duduk mematung memandangi 
Pekarangan Terlarang. Hanya yang diherankan 
mengapa ibunya harus bersedih bila sudah du-
duk menyendiri sambil terus memandangi Peka-
rangan Terlarang. 
"Tidak apa-apa, Anakku. Kau sendiri dari 
mana? Mengapa tidak ikut menonton di Pekaran-
gan Terlarang," tukas wanita itu buru-buru men-
galihkan pembicaraan. 
Si gadis semula lupa akan tujuannya. Na-
mun begitu melihat kesedihan ibunya, ia seperti 
diingatkan kembali. 
"Ibu...! Aku ingin bertanya pada Ibu. Sebe-
narnya, siapakah yang telah membunuh murid-
murid perguruan kita ini? Apakah Ibu tahu?" 
Kening wanita berpakaian putih-putih itu 
berkerut dalam. 
"Mengapa kau bertanya aneh seperti ini, 
Anakku? Kalau ibumu tahu, buat apa menyem-
bunyikannya?" jawab wanita itu seraya meman-
dangi putrinya seksama. 
Kini gantian Aryanilah yang mengerutkan 
kening. Jawaban ibunya dirasakan tidak lembut 
seperti biasanya. 
"Sudahlah, Anakku! Buat apa bertanya 
macam-macam begini? Sekarang, cepat tinggal-
kan ibumu! Ibu ingin menyendiri," sergah wanita 
itu mendahului putrinya. 
"Tidak, Ibu! Aku harus menanyakannya. 
Aku harus tahu, siapa orang yang keji membunuh 
murid-murid perguruan kita?" tegas gadis ini. 
"Percuma." 
"Tidak, Ibu. Aku sudah tahu siapa pembu-
nuh keji itu, Ibu." 
Sekali lagi wanita berpakaian putih-putih 
itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pu-
trinya seksama. 
"Siapa?" 
"Aku memang belum mengetahui sepenuh-
nya. Tapi, aku tahu. Pembunuh keji itu pasti 
orang-orang sekitar Perguruan Kelelawar Putih 
sendiri," jawab Aryani berapi-api. 
"Jangan sembarangan menuduh, Anakku!" 
desis wanita cantik berpakaian putih-putih itu. 
"Tidak,  Ibu. Tadi aku sudah memeriksa 
mayat Kakang Jalu, Kakang Permadi, Kakang Si-
mo dan Kakang Suro yang dibuang di gua ter-
sembunyi tak jauh dari Curug Kuripan di mana 
aku biasa berlatih!" 
Sampai di sini Aryani menghentikan bica-
ranya sebentar. Matanya kembali memerah begitu 
teringat mayat orang yang dicintainya. Namun 
buru-buru perasaannya dikendalikan. 
Diam-diam wanita cantik berpakaian pu-
tih-putih itu mengeluh dalam hati. Entah menga-
pa tiba-tiba hatinya jadi berdebar tidak karuan. 
Ada satu perasaan cemas menghantui pikirannya. 
"Tahukah Ibu? Me..., mereka semua mati 
karena terkena pukulan jurus-jurus sakti 
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus-
jurus sakti 'Cakar Maut Kelelawar Hutan'..." 
Bola mata sayu wanita cantik itu membela-
lak lebar. Namun hanya sebentar. Buru-buru ia 
berusaha mengendalikan perasaannya. 
Aryani yang sudah merasa curiga sempat 
menangkap bola mata ibunya yang membelalak 
tadi. 
"Mengapa Ibu terkejut? Apakah Ibu tahu 
siapakah orang yang kumaksudkan itu?" desak si 
gadis. 
"Tid..., tidak! Ah...! Ibu benar-benar tidak 
tahu, Anakku," jawab wanita berpakaian putih-
putih itu gelagapan. 
"Tidak mungkin! Tidak mungkin Ibu tidak 
tahu! Ibu sendiri dari Perguruan Kelelawar Putih 
dan dikenal sebagai Bidadari Putih. Mustahil ka-
lau Ibu tidak tahu siapa pembunuh keji itu. Apa-
lagi jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelela-
war Sakti' dan jurus-jurus 'Cakar Maut Kelelawar 
Hutan' hanya dapat dikuasai tokoh-tokoh paling 
atas Perguruan Kelelawar Putih, seperti Ibu sendi-
ri. Jadi mustahil kalau Ibu tidak tahu, Ibu." 
Wajah wanita cantik berjuluk Bidadari Pu-
tih itu menegang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya 
bergetar-getar. 
"Benar, Anakku. Ibu tidak tahu...," desah 
Bidadari Putih dengan suara memelas. 
"Baik! Aku akan bertanya pada Ayah," kata 
Aryani kesal. 
"Jangan. Anakku! Ayahmu mempunyai wa-
tak yang aneh sekali. Kau bisa celaka," cegah wa-
nita cantik berpakaian putih-putih itu cemas. 
"Jangan khawatir, Ibu! Tak mungkin Ayah 
tega membunuhku. Lagi pula, mana ada sih seo-
rang ayah tega membunuh anak kandungnya 
sendiri." 
Sehabis berkata begitu, si gadis segera me-
ninggalkan ibunya. Sekali menutulkan kedua ka-
kinya ke tanah, maka lenyaplah bayangan tubuh-
nya.  
Bidadari Putih cemas bukan main. Air ma-
tanya yang hendak jatuh membasahi pipi segera 
dihapus dengan sapu tangan. Setelah itu dalam 
sekali genjot saja, tubuhnya berkelebat cepat ke 
arah bangunan utama Perguruan Kelelawar Putih.