Siluman Ular Putih 6 - Lembah Kodok Perak(1)


1



Ribuan ular emas di dalam kubangan lo-
rong bawah tanah Istana Ular Emas semakin
mendekati Siluman Ular Putih dan Angkin Pem-
bawa Maut. Malah ada beberapa ekor ular emas
yang kembali menggigit kaki. Maka tanpa ampun
lagi darah segar kembali mengucur, membuat kaki
terasa nyeri bukan main.
Soma dan Angkin Pembawa Maut meringis
menahan sakit. Si gadis memejamkan matanya
rapat-rapat. Kedua bibirnya kembali berkemik-
kemik melantunkan tembang-tembang kesukaan-
nya sewaktu masih kecil. Seolah-olah tidak dipe-
dulikannya lagi gigitan-gigitan ular emas yang
mengerubungi tubuh mereka. (Untuk mengetahui,
mengapa Siluman Ular Putih dan Angkin Pembawa
Maut berada dalam kobakan bawah tanah di Ista-
na Ular Emas, baca episode: "Istana Ular Emas").
Kini perlahan-lahan pemuda gondrong ber-
pakaian rompi dan celana bersisik putih kepera-
kan itu mulai mengeluarkan anak panah bercakra
kembar yang merupakan senjata pusakanya un-
tuk menghadapi serangan ular-ular emas di hada-
pannya. Aneh sekali senjata andalan pemuda mu-
rid Eyang Begawan Kamasetyo dari Gunung Bucu
itu. Seperti namanya, senjata pusaka itu memang
berbentuk anak panah. Pada bagian ujungnya
yang melengkung ke atas berbentuk kepala ular.
Di kanan kiri kepala ular itu terdapat dua buah
cakra kembar terbuat dari lempengan baja murni.
Taringnya yang mencuat lurus ke depan, terbuat
dari besi baja putih murni. Mirip sebuah pisau.
Sedang pada bagian badan anak panah yang ber-
bentuk badan ular terdapat pula dua buah lubang
mirip lubang suling.

Dan hebatnya lagi, begitu senjata pusaka
itu tergenggam di tangan Soma, mendadak saja
hawa dingin yang bukan alang kepalang mulai
memenuhi sekitarnya. Gadis cantik dengan ram-
but terurai sebahu yang duduk di sampingnya
sempat pula membuka kedua kelopak matanya.
Sekujur tubuh seketika menggigil kedinginan!
"Senjata apakah itu, Soma?" tanya Angkin
Pembawa Maut dengan mata membelalak penuh
kagum.
Soma tidak menyahut. Malah didekatkan-
nya lubang-lubang senjata pusakanya yang mirip
lubang suling ke dekat bibir. Dan mulai ia me-
niupnya.
Tulit... tut... tut.... Tulit...!
Ternyata, ular-ular emas itu kontan diam
terpaku di tempatnya, tak lagi menyerang dua ca-
lon korbannya. Malah mereka menggoyang-
goyangkan kepala sambil melelet-leletkan lidah-
nya, mengikuti suara lembut dari alunan senjata
di tangan Soma!
Angkin Pembawa Maut yang tadinya sudah
pasrah dan putus asa terhadap serangan-
serangan ular-ular emas tadi, kini seolah menda-
pat semangat baru untuk menikmati hidup kem-
bali. Dengan perlahan-lahan dihampirinya ular-
ular emas itu. Kemudian satu persatu binatang
melata yang terdiam itu ditangkap dan dibeset pe-
rutnya untuk diambil hatinya yang berwarna hijau
tua, lalu dimakannya.
Gadis cantik itu tersenyum senang. Kepa-
lanya sedikit berpaling ke arah Soma yang tengah
asyik meniup senjata pusakanya. Setelah diperha-
tikan sekian lama, Angkin Pembawa Maut telah
mendapat satu cara untuk membagi sebagian dari
hati ular emas itu di tangannya.

Ternyata biar bagaimanapun pendeknya
alunan lagu yang dimainkan, tetap saja Soma ha-
rus menghela napasnya. Maka pas dalam keadaan
demikian, Angkin Pembawa Maut cepat meman-
faatkan waktu yang pendek itu untuk menjejalkan
hati ular-ular emas itu ke mulut Soma.
Dan untuk memakan hati ular emas yang
amis itu memang bukanlah sesuatu yang mudah.
Apalagi, Siluman Ular Putih tidak boleh menahan
alunan merdu dari senjata pusaka di tangannya
terlalu lama, agar ular-ular emas beringas itu ti-
dak lagi menyerang.
Begitu melihat Angkin Pembawa Maut me-
nyodorkan hati ular emas di tangannya ke dekat
mulutnya, Soma buru-buru menelannya. Sehing-
ga, ia hanya sebentar saja kehilangan waktu un-
tuk meniup senjata anehnya kembali.
Maka dalam waktu yang tidak lama, kedua
anak muda itu pun telah memakan banyak hati
ular emas. Dan dengan sendirinya tenaga dalam
Angkin Pembawa Maut mulai pulih seperti sedia-
kala. Malah tenaga dalamnya terasa bertambah
beberapa kali lipat. Sementara perlahan-lahan
Soma merasakan totokan Bunda Kurawa di pung-
gungnya pun mulai punah. Sehingga, tubuh  ba-
gian bawahnya dapat digerakkan dengan leluasa!
"Angkin! Aku mulai dapat menggerakkan
bagian bawah tubuhku!" sorak Soma, girang bu-
kan main.
"Benarkah?" sahut gadis cantik itu dengan
mata berbinar. "Aku..., aku sendiri rasa-rasanya
juga sudah dapat menggunakan kepandaianku la-
gi berkat hati ular emas ini, Soma."
"Ah...! Kalau begitu sebaiknya cepat ting-
galkan tempat terkutuk ini! Aku sudah muak me-
lihat bangkai-bangkai  ular ini. Hayo, lekas, Ang-

kin!" ajak Siluman Ular Putih.      
"Baik! Baik! Tapi, sebaiknya kau terus me-
niup senjata aneh mu  agar ular-ular emas itu ti-
dak lagi menyerang!" usul Angkin Pembawa Maut.
"Tapi... tapi, sebaiknya lewat sebelah mana,
Angkin? Jangan-jangan di luar sana Bunda Kura-
wa dan murid-muridnya sudah menunggu keda-
tangan kita?" tukas Soma cemas.
"Hm..., ya! Aku mengerti. Tapi, sebaiknya
cepat keluar dari kubangan maut ini terlebih da-
hulu, Soma!"
"Baik"
Tanpa banyak cakap lagi, Siluman Ular Pu-
tih dan Angkin Pembawa Maut segera menjejakkan
kedua kakinya dengan menggunakan ilmu merin-
gankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Tubuh mereka kontan melayang, dan ak-
hirnya mendarat di bibir kubangan.
Sejenak Soma melongokkan kepalanya ke
bawah.  Pemuda ini langsung bergidik ngeri. Dili-
hatnya di bawah kubangan sana berpuluh-puluh
ular emas yang mati terbeset perutnya kini tengah
menjadi santapan kawan-kawannya.
"Soma! Lekas kita tinggalkan tempat ini!"
ajak Angkin Pembawa Maut, sedikit berteriak.
Kepala Soma terangguk-angguk. Senjata
pusakanya yang masih tergenggam di tangan ka-
nan buru-buru diselipkan ke pinggang. Kemudian
dengan mengikuti langkah Angkin Pembawa Maut,
Siluman Ular Putih segera melangkah lebar.
Begitu Angkin Pembawa Maut membuka
pintu batu di hadapannya, maka tampaklah se-
buah lorong kecil yang entah menembus ke mana.
Namun gadis itu terus meneruskan langkahnya
masuk ke dalam lorong.
Keadaan lorong memang cukup gelap. Le-

barnya pun hanya cukup untuk seorang. Angkin
Pembawa Maut tahu kalau, itulah satu-satunya ja-
lan tembus menuju halaman belakang Istana Ular
Emas.
"Sebenarnya lorong ini akan tembus ke
mana, Angkin?" tanya Soma ingin tahu.
"Sebentar lagi kita akan sampai di halaman
belakang Istana Ular Emas ini."
"Hm..., begitu," sahut pemuda gondrong di
belakang Angkin Pembawa maut. 
Angkin Pembawa Maut terus saja menyu-
suri lorong. Dan akhirnya samar-samar mereka
melihat tampak seberkas cahaya dari balik sebuah
lubang di kejauhan sana. Dengan perasaan se-
nang bukan main, si gadis mempercepat langkah-
nya menuju cahaya samar-samar di depannya.
Selang beberapa saat, kedua anak muda
itu pun sampai di depan sebuah mulut lorong
yang tembus di halaman belakang Istana Ular
Emas. Tanpa banyak pikir panjang lagi mereka
pun bergegas keluar. Namun baru saja menjejak-
kan kakinya di luar lorong, mendadak....
"Hebat! Hebat! Tak kusangka kalian dapat
lolos dari Ular-Ular Emasku. Tapi, jangan harap
kalian dapat keluar dari Istana Ular Emas ini den-
gan selamat! Bersiaplah menerima kematian ka-
lian hari ini!"

***

Soma dan Angkin Pembawa Maut terkejut
bukan main ketika tahu-tahu telah berlompatan
beberapa sosok tubuh ramping berpakaian kuning
keemasan. Orang yang menegur barusan adalah
seorang perempuan cantik berusia kira-kira lima
puluh lima tahun. Meski demikian, wajahnya ma-

sih tetap kelihatan cantik seperti baru berusia tiga
puluh tahun saja. Kulit wajahnya putih bersih.
Sepasang matanya tajam. Hidungnya mancung.
Bibirnya tipis berwarna merah. Rambutnya yang
hitam panjang digelung ke atas. Sedang tubuh
tinggi semampainya dibalut dengan pakaian indah
terbuat dari sutera berwarna kuning keemasan.
Dan kini perempuan cantik yang tidak lain Bunda
Kurawa berdiri tegak di antara beberapa orang
muridnya. Lagaknya bak seorang ratu yang ingin
mengadili bawahannya.
"Bunda! Buat apa menghadang kami? Toh,
di antara kita sudah tidak ada hubungan guru dan
murid!" seru Angkin Pembawa Maut, bernada
khawatir.
Sehabis berkata begitu Angkin Pembawa
Maut pun segera mendekatkan kepalanya ke telin-
ga Soma.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Soma! Jan-
gan hiraukan aku!" ujar si gadis.
Soma tersenyum nakal seraya menggaruk-
garuk kepala.
"Mendengar gertak sambal cecurut tua itu,
mengapa mesti takut, Angkin? Justru seharusnya
kau bersyukur dapat keluar dari kubangan manu-
sia berhati ular macam nenek-nenek cantik itu,
Angkin!"
Merah padam wajah Bunda Kurawa men-
dengar ejekan si pemuda. Kedua pelipisnya berge-
rak-gerak pertanda wanita cantik pemilik Istana
Ular Emas itu tak dapat lagi mengendalikan ama-
rahnya.
"Kematian sudah di depan mata masih bisa
jual lagak di depanku!" dengus Bunda Kurawa sa-
rat ancaman.
Tangan kanan wanita ini segera memberi

isyarat pada beberapa orang muridnya untuk se-
gera menyerang Soma dan Angkin Pembawa Maut.
Maka seketika tidak kurang dari dua puluh orang
murid Istana Ular Emas segera melolos pedang di
pinggang, langsung menyerang Soma dan Angkin
Pembawa Maut.
"Dasar Manusia Pengecut! Manusia Berhati
Ular! Beraninya main keroyokan lewat tangan mu-
rid-muridnya. Memalukan sekali! Memalukan!
Tampangnya saja yang sok alim. Padahal hatinya
lebih busuk daripada perampok tengik sekalipun!"
rutuk Soma seraya berkelebat cepat di antara gu-
lungan-gulungan pedang yang menyerangnya.
Namun anehnya Bunda Kurawa yang licik
tidak ikut menyerang Soma. Ia malah menyerang
hebat pada Angkin Pembawa Maut. Tentu saja ga-
dis cantik yang mulai jatuh hati pada Siluman
Ular Putin kewalahan bukan main menghadapi se-
rangan-serangan bekas gurunya. Meski kesak-
tiannya telah pulih seperti sediakala, dan bahkan
tenaga dalamnya bertambah beberapa kali lipat,
tetap saja berada di bawah angin.
Melihat itu Soma geram bukan main. Na-
mun, ia sendiri juga tidak mudah untuk keluar
dari gempuran murid-murid Istana Ular Emas.
Maka segera dikeluarkannya jurus sakti
'Terjangan Maut Ular Putih'. Tangan kirinya yang
sudah menjadi putih terang siap pula melancar-
kan pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'. Sedang tan-
gan kanannya yang berwarna merah menyala su-
dah terangkum pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'.
"Menyingkir kalian semua! Aku tidak ada
urusan dengan kalian!" bentak Soma.
Beberapa orang murid Istana Ular Emas
yang mengeroyok Siluman Ular Putih mana mau
menuruti perintah itu? Malah mereka semakin

memperhebat serangan. Dan ini tentu saja mem-
buat Siluman Ular Putih jadi geram bukan main.
Padahal ia ingin secepatnya membantu Angkin
Pembawa Maut dalam menghadapi Bunda Kurawa!
"Baik! Baik! Kalau begitu kalian memang
tidak tahu diuntung. Nih, makanlah jari-jari tan-
ganku!"
Saat itu juga Soma mendorongkan telapak
tangan kirinya ke depan. Seketika itu juga berke-
lebat seleret sinar putih terang yang diiringi berke-
siurnya hawa dingin ke arah murid-murid Istana
Ular Emas.
"Hip!"
Beberapa orang murid Istana Ular Emas
cepat menggabungkan tenaga dalam. Dan bersa-
maan tangan mereka menghentak.      
Wesss!
Seleret sinar kuning berbau amis bukan
kepalang meluruk cepat, memapaki seleret sinar
putih terang dari telapak tangan kiri Siluman Ular
Putih. Lalu.... 
Blaaarrr...! 
Terdengar letusan hebat di udara saat ter-
jadi benturan dua buah kekuatan. Siluman Ular
Putih terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Darah segar langsung membasahi sudut-sudut bi-
birnya. Sementara beberapa orang murid Istana
Ular Emas terpental laksana daun kering tertiup
angin.
Bunda Kurawa geram bukan main. Untuk
menjalankan rencana liciknya, tokoh dari Istana
Ular Emas ini segera mengeluarkan jurus-jurus
saktinya. Kedua tangannya yang telah berubah
menjadi kuning sampai ke pangkal, cepat bergerak
ke depan.
Splassh...!

Maka tampaklah sinar kuning keemasan
dari kedua telapak tangan Bunda Kurawa, melu-
ruk ke tubuh Angkin Pembawa Maut itulah puku-
lan sakti 'Ular Emas' yang telah dilatihnya selama
lebih dari dua puluh tahun.
Angkin Pembawa Maut cepat mengempos
tubuhnya, meloncat tinggi ke udara menghindari
serangan sehingga sinar kuning keemasan yang
menebarkan bau amis itu terus meluruk ke bela-
kang. Dan....
Blaarrr...!
Dinding-dinding batu cadas yang terkena
pukulan sakti 'Ular Emas' kontan hancur berkep-
ing-keping. Bumi bergetar bagai ada gempa. Po-
hon-pohon berkesiur, terkena angin sambarannya.
Sementara itu begitu serangannya hanya
mengenai dinding-dinding batu cadas, Bunda Ku-
rawa pun berkelebat cepat bukan main. Jari-jari
tangannya telah terkembang, siap menghantam
beberapa jalan darah di tubuh lawannya.
Angkin Pembawa Maut terkesiap dengan
paras pucat pasi. Ia sangat tahu jurus apa yang
tengah dikeluarkan bekas gurunya yang tidak lain
dari jurus sakti 'Ular Emas Menggusur Bulan'.
Dan belum sempat dia berbuat sesuatu tahu-tahu
totokan jari tangan Bunda Kurawa telah mendarat
telak di punggungnya.
Tukkk!
Seketika itu juga tubuh Angkin Pembawa
Maut limbung dan ambruk di tanah. Tubuhnya
yang terkena totokan tadi tak dapat digerakkan la-
gi!
Begitu mendarat, Bunda Kurawa cepat
menjambak rambut Angkin Pembawa Maut. Se-
hingga, tubuh gadis itu terangkat tinggi-tinggi
dengan mulut meringis kesakitan.

"Hentikan pertempuran!" bentak Bunda
Kurawa.
Siluman Ular Putih kaget bukan alang ke-
palang melihat Angkin Pembawa Maut tertawan
oleh Bunda Kurawa. Geram bukan main hatinya.
Tak mungkin ia dapat menolong Angkin Pembawa
Maut selain menggeram penuh kemarahan.
"Manusia culas! Lepaskan Angkin! Siapa
pun juga tidak boleh mengganggu Angkin!" bentak
Soma, sarat kemarahan.
"Keparat! Kedudukanmu saat ini tidak pan-
tas memerintah, Bocah! Akulah yang berkuasa di
tempat ini. Dan, aku pulalah yang berhak meng-
hukum murid bejat ku ini! Mau kubunuh sekali-
pun kamu mau apa?!" dengus Bunda Kurawa.
Memang, bagaimanapun, wanita ini merasa
jerih menghadapi pemuda sakti yang bergelar Si-
luman Ular Putih sehingga tidak berani mengang-
gap enteng. Apalagi ia dan muridnya pernah diha-
jar oleh pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu kemarin malam.
"Demi Tuhan! Kalau kau berani menyentuh
gadis itu seujung rambut pun, akan ku obrak-
abrik istanamu!" teriak Siluman Ular Putih penuh
kemarahan.
"Sebelum kau melaksanakan niatmu, kepa-
la gadismu ini akan kuhancurkan terlebih dahulu.
Apa kau tidak sayang melihat gadismu yang cantik
ini mati dalam usia muda?" tukas Bunda Kurawa,
tak kalah gertak. Tangan kanannya yang terkepal
erat-erat siap meremukkan batok kepala Angkin
Pembawa Maut. 
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Se sepasang mata birunya terus mencorong
memandangi Bunda Kurawa penuh kemarahan.
"Jangan hiraukan aku, Soma! Lekas ting-

galkan tempat ini! Aku..., aku pasti akan me...,
menyertaimu. Mungkin di hari penitisan kita nan-
ti. Lekas tinggalkan tempat ini, Soma! Aku..., aku
me... menyayangi mu...." 
Soma menggeleng-gelengkan kepala lemah.
Hatinya trenyuh mendengar ucapan gadis cantik
itu. Maka diam-diam pun mulai dikerahkannya
kekuatan batin! 
"Bunda Kurawa! Apa kau masih memban-
del tidak mau melepaskan Angkin Pembawa Maut?
Apa kau lupa kalau murid yang tengah kau ancam
adalah murid kesayangan mu?" bentak Soma den-
gan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan
pikiran Bunda Kurawa. 
Wanita setengah baya ini terkesiap kaget
dengan mata terbelalak liar. Sebentar dipandan-
ginya pemuda gondrong di hadapannya. Sebentar
kemudian pandangannya beralih pada Angkin
Pembawa Maut dalam cengkeraman tangannya.
Pegangan tangannya pun mulai mengendur. Ke-
dua lututnya goyah. Namun hal itu hanya seben-
tar. Karena ternyata, Bunda Kurawa pun memang
ahli dalam ilmu sihir. Maka buru-buru kekuatan
sihirnya dikerahkan.
"Kunyuk gondrong! Rupanya kau pintar ju-
ga bermain sulap! Jangan dikira aku tidak dapat
memunahkan ilmu sihir mu, Bocah?" bentak Bun-
da Kurawa berusaha mematahkan kekuatan sihir
Siluman Ular Putih. "Sekarang kalau ingin gadis-
mu yang cantik ini selamat, sebaiknya turuti saja
kata-kataku! Aku ada sedikit tawaran menarik un-
tukmu."
"Tawaran? Tawaran apa?!" tukas murid
Eyang Begawan Kamasetyo, sengit
"Mudah. Mudah sekali. Coba kau perhati-
kan lembah di balik bukit depan sana baik-baik!"

Soma menuruti apa yang diucapkan Bunda
Kurawa. Memang, di balik keremangan malam ter-
lihat sebuah lembah luas tertutup bukit kecil. Lalu
dengan perasaan bingung Siluman Ular Putih
kembali berpaling ke arah Bunda Kurawa.
"Itulah yang dinamakan Lembah Kodok Pe-
rak," tunjuk Bunda Kurawa, sebelum Soma angkat
bicara. "Salah satu penghalang utamaku untuk
menguasai dunia persilatan adalah Tiga Jenggot,
Empat Brewok dan Tujuh Kumis yang tinggal di
lembah itu. Terus terang, mereka adalah orang-
orang yang paling ditakuti golongan kami. Maka,
kalau belum mampu menundukkan orang-orang
Lembah Kodok Perak, kami golongan Ular Emas
belum merasa puas. Dan untuk menundukkan
mereka, tidak ada pilihan lain. Aku harus mencari
orang gagah untuk mencuri Kitab Kodok Perak
Sakti. Setelah kami dapat mempelajarinya baru
kami dapat menundukkan mereka."
Soma hanya tertawa dingin sambil mengga-
ruk-garuk kepalanya.
"Buat apa kau jelaskan hal itu padaku ka-
lau akhirnya aku tidak sudi menuruti tawaran gi-
lamu ini?" katanya kalem.
Bunda Kurawa tersenyum licik.
"Pemuda sontoloyo! Aku tidak yakin kalau
kau sebagai seorang pendekar gagah yang berotak
cerdas belum mengerti maksud kata-kataku tadi.
Terus terang saja kukatakan padamu. Kalau kau
masih menginginkan gadismu ini selamat, pergilah
ke Lembah Kodok Perak untuk mencuri Kitab Ko-
dok Perak Sakti. Kalau kau keberatan, jangan ha-
rap dapat melihat Angkin lagi. Kau paham, Bo-
cah?"
"Jangkrik buntung! Apa dari sekian banyak
muridmu yang cantik ini salah satu tidak ada yang

berani masuk ke dalam Lembah Kodok Perak?
Mengapa malah menyuruhku?"
"Jangan banyak tanya lagi, Bocah! Jika di
antara golongan kami ada yang mempunyai ke-
pandaian untuk mengambilnya, buat apa menyu-
ruhmu lagi? Aku hanya menginginkan jawabanmu
saja. Kau mau pergi ke Lembah Kodok Perak atau
tidak? Dan tentunya kau tahu, keselamatan ga-
dismu ini hanya tergantung dari jawabanmu kali
ini!"
Soma menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat. Hampir saja amarahnya, tidak dapat diken-
dalikan kalau tidak mengingat akan keselamatan
Angkin Pembawa Maut. Walau hatinya panas ingin
menghajar Bunda Kurawa dan murid-muridnya,
namun tetap saja tidak berdaya.
"Bocah tolol! Mengapa kau tidak lekas ting-
galkan tempat ini? Apa kau ingin melihat kepala
gadismu yang cantik ini hancur, he?!" bentak
Bunda Kurawa penuh kelicikan.
Tangan kanan Bunda Kurawa yang sudah
berubah menjadi kuning keemasan kembali me-
nodong di atas ubun-ubun kepala Angkin Pemba-
wa Maut. Sekali gerak saja, jangankan batok kepa-
la manusia, batu sebesar gajah pun akan hancur
berkeping-keping terkena pukulan 'Ular Emas'
Bunda Kurawa!
Siluman Ular Putih bingung bukan main.
Kalau menurutkan perasaan, pemuda ini ingin
mengamuk saja. Namun bila mengingat keselama-
tan Angkin Pembawa Maut, Soma harus berpikir
lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga, keselama-
tan gadis itu sangat dikhawatirkannya.
"Jangan kau turuti kata-kata manusia
sundal ini, Soma! Sebaiknya cepat tinggalkan
tempat ini! Jangan hiraukan aku lagi! Cepatlah,

Soma! Aku mohon! Demi Tuhan aku mohon, So-
ma! Aku... aku me... menyayangi  mu...," tangis
Angkin Pembawa Maut memelaskan.
Soma menggeleng-geleng. Hatinya trenyuh
bukan main
"Tidak, Angkin! Kau tenang-tenang sajalah
di sini Angkin. Doakan saja aku dapat mencuri ki-
tab yang diinginkan wanita itu!"  ujar Soma, lalu
kembali menatap Bunda Kurawa. "Hm.... Apa ja-
minan mu  kalau ternyata kau tidak menepati
omongan mu, Bunda Kurawa?"
"Maksudmu?"
"Kalau aku dapat mencuri Kitab Kodok Pe-
rak Sakti, apa kau masih menawan Angkin Pem-
bawa Maut?"
Bunda Kurawa tersenyum penuh keme-
nangan. Sepasang matanya yang jeli jelas menam-
pakkan kelicikannya. Soma mengeluh. Ia tahu,
apa arti sorot mala wanita cantik di hadapannya.
"Jangan khawatir! Aku pasti akan menepati
kata-kataku. Murid-muridkulah  saksinya,"  tegas
Bunda Kurawa.
"Baik. Kali ini terpaksa aku pegang omon-
gan mu, Bunda Kurawa. Tapi kalau sampai tidak
menepati janji, jangan salahkan kalau aku terpak-
sa mengobrak-abrik istanamu itu. Termasuk, se-
mua penghuninya. Selamat tinggal, Angkin! Jaga-
lah dirimu baik-baik!"
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat cepat. Angkin Pembawa Maut
yang melihat kesanggupan Soma mencuri Kitab
Kodok Perak Sakti hanya mencucurkan air ma-
tanya, tak kuasa berbuat apa-apa, kecuali mende-
sah lirih.
"Ba... Baik, Soma. Kudoakan agar kau ber-
hasil mencuri Kitab Kodok Perak Sakti...."

Dan karena saking tidak tahannya mena-
han perasaan hatinya, gadis cantik itu pun menu-
rut saja ketika salah seorang kakak seperguruan-
nya menyeretnya ke dalam kamar tahanan!

***
2

Langit angkasa raya masih kelam. Cahaya
bulan dan kerlip berjuta bintang tampak tertutup
awan tebal, membuat suasana makin dikuasai ke-
gelapan.
Dari balik kegelapan malam Siluman Ular
Putih terus berlari cepat keluar dari halaman Ista-
na Ular Emas. Hanya dalam beberapa jejakan ka-
ki,  pemuda gondrong murid Eyang Begawan Ka-
masetyo itu pun telah sampai di pinggir parit lebar
berisi ribuan ular emas. Sejenak kepalanya diga-
ruk-garuk. Matanya jelalatan mencari-cari akal
bagaimana cara melompat keluar dari parit di ha-
dapannya. Dan mendadak, pandang matanya ter-
tumbuk pada serumpun pohon bambu tak jauh
dari tempatnya berdiri.
"Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan
pohon bambu itu untuk menyeberang seperti yang
telah dilakukan orang tua pendek berkulit hitam
legam tempo hari?" desah Soma seraya menepuk
jidatnya sendiri.
Orang tua pendek berkulit hitam legam
yang dimaksudkan pemuda gondrong itu tidak
lain dari Ki Sorogompo yang telah diselamatkan
dari tiang gantungan kemarin siang.
Maka sehabis berkata begitu Soma lantas
berlari mendekati rumpun pohon bambu di de-
pannya. Dan dengan menggunakan telapak tangan
kanannya, segera dirobohkannya sebatang pohon

bambu di depannya.
Krakkk...!
Terdengar suara berderak dari batang po-
hon bambu yang terkena pukulan telapak tangan
Soma. Dan batang pohon bambu itu pun jatuh
meliuk ke seberang parit. Soma sedikit mendorong
ke samping agar batang pohon bambu jatuh tepat
di atas tanggul seberang parit.
Kemudian dengan sedikit mengerahkan il-
mu meringankan tubuhnya, Siluman Ular Putih
segera meniti batang pohon bambu itu.  Dan se-
bentar saja, kedua kakinya mendarat mulus di
tanggul seberang tanpa menimbulkan sedikit sua-
ra pun!
Sesampainya di tanggul seberang, Soma
bukannya langsung berkelebat meninggalkan
Lembah Kuripan melainkan memperhatikan seje-
nak gedung Istana Ular Emas dengan hati cemas.
"Jangan khawatir, Angkin! Tenang-
tenanglah di situ! Aku akan berusaha mengambil
Kitab Kodok Perak Sakti di Lembah Kodok Perak
dan kembali lagi ke Istana Ular Emas," bisiknya.
Baru kemudian, Soma kembali berkelebat
meninggalkan Lembah Kuripan. Gerakan kedua
kakinya tampak aneh sekali, seperti orang berjalan
biasa. Namun dalam beberapa kejapan mata saja,
bayangan tubuhnya telah lenyap di antara kegela-
pan malam!

***

Siang itu matahari terasa panas memang-
gang bumi. Tanah merah tampak pecah berpetak-
petak seperti tak kuasa menahan sinar matahari
di musim kemarau panjang. Rumput-rumput liar
meranggas mati. Ranting-ranting pohon jati gun-

dul. Daun-daunnya rontok berserakan di bawah-
nya.
Di bawah terik sinar matahari yang me-
manggang bumi, tampak dari arah barat seorang
pemuda berpakaian putih keperakan tengah berla-
ri kencang melalui jalan setapak di pinggiran hu-
tan jati. Gerakannya ringan sekali. Laksana seekor
capung, pemuda berambut gondrong yang tidak
lain Soma alias Siluman Ular Putih terus melesat
ke timur, menuju Lembah Kodok Perak. Dan
anehnya kala kedua kakinya menjejak tanah, de-
bu-debu di sepanjang jalan setapak tidak beter-
bangan! Demikian pula daun-daun jati kering yang
terpijak kakinya pun tidak menimbulkan suara
sedikit pun. Jelas, ilmu  meringankan tubuh pe-
muda murid Eyang Begawan Kamasetyo itu sudah
mencapai tingkat tinggi.
Trangng!
"Heaaa...!"
Namun ketika pemuda itu sampai di se-
buah pengkolan di luar hutan jati, mendadak te-
linganya yang tajam mendengar dentingan senjata
beradu dan bentakan garang beberapa orang. Se-
ketika lari cepatnya dihentikan. Telinganya sema-
kin dipertajam. Dan ternyata memang benar. Sua-
ra-suara bentakan dan berdentingannya senjata
beradu itu datangnya dari sebelah kanan, di luar
hutan pohon jati.
"Rupanya di luar hutan sana sedang ada
pertarungan. Coba kulihat sebentar," gumam So-
ma dalam hati.
Kedua kaki si pemuda pun kembali berge-
rak aneh, menuju luar hutan jati sebelah kanan.
Gerakan kedua kakinya memang seperti orang
berjalan biasa. Namun anehnya dalam waktu yang
tidak lama, ia telah sampai di sebuah tanggul di

luar hutan pohon jati.
Cring! Cring! 
Soma terkesiap kaget. Sepasang mata bi-
runya terbelalak lebar. Di bawah lampingan tem-
patnya berpijak tampak seorang gadis cantik ber-
pakaian putih-putih tengah bertarung melawan ti-
ga orang laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan
sepasang pedang putih tergenggam di tangan. Ju-
rus-jurus yang dimainkan gadis cantik itu aneh
sekali. Belum lagi gulungan-gulungan rambutnya
yang tak kalah ganas dibanding sepasang pedang
di tangannya. Namun meski telah mengeluarkan
jurus-jurus andalannya, tetap saja keadaannya
terdesak hebat. Bahkan beberapa kali ruyung baja
di tangan salah seorang pengeroyoknya hampir sa-
ja mengenai tubuhnya.
"Ah...! Bukankah gadis cantik itu Aryani,
Putri tunggal Lowo Kuru alias Pendekar Kelelawar
Putih?!" gumam Soma kaget bukan main ketika
mengenali gadis cantik itu. "Ah, iya?! Mengapa aku
jadi lupa begini? Dan sepasang pedang putih itu
pasti Pedang Kelelawar Putih. Yah! Aku tidak
mungkin pangling dengan sepasang pedang sakti
itu. Juga, gadis cantik pemiliknya itu!" 
Soma tidak sempat berpikir panjang lagi.
Melihat gadis cantik yang ternyata Aryani putri
Lowo Kuru dalam bahaya itu, tubuhnya segera
berkelebat turun. Kedua telapak tangannya yang
telah berubah menjadi putih terang hingga sampai
ke pangkal siap melancarkan pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi'!
"Sungguh tidak tahu malu! Cecurut-
cecurut tua bau tanah beraninya main keroyok.
Jangan khawatir, Aryani! Aku datang membantu-
mu!"
Kedua telapak tangan Soma yang sudah

berubah menjadi putih terang hingga sampai ke
pangkal cepat menghentak ke arah ketiga orang
pengeroyok Aryani. 
Wesss!
Sebelum pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'
Siluman Ular Putih mengenai sasaran didahului
pula oleh angin dingin yang meluruk cepat ke arah
tiga orang pengeroyok Aryani!
Ketiga orang itu terkesiap kaget. Buru-buru
mereka lemparkan tubuh ke kanan dan kiri,
menghindari serangan Soma. 
"Terima kasih, Siluman Ular Putih. Tak ku-
sangka kita akan bertemu di sini," ucap Aryani,
berbinar-binar matanya melihat kehadiran Silu-
man Ular Putih. Semangatnya yang semula ciut
menghadapi ketiga orang pengeroyoknya, kini
kembali berkobar-kobar.
"Aryani! Mengapa kau kelayapan sampai
kemari? Apa kau ini kurang kerjaan, he? Mengapa
kau tinggalkan perguruanmu yang masih kocar-
kacir?!" tegur Soma alis Siluman Ular Putih.
"Kau selalu begitu! Setiap bertemu aku
pasti marah-marah! Hayo, sekarang bantu aku
mencincang Tiga Setan Ruyung Baja ini dulu!
Awas, jangan sampai lolos! Nanti baru ku jelaskan,
mengapa aku bentrok dengan ketiga kecoak tua
ini," kata Aryani bersungut-sungut.
"Baik! Tapi harus ada imbalannya!" 
"Apa?"
"Kau harus mau mencarikan kutu ram-
butku!" seloroh Soma.
"Ah...! Kau ini...! Dalam keadaan seperti ini
saja masih sempat bercanda! Hayo, lekas bantu
aku menghajar tiga kecoak tua ini!"
"Baik"
Aryani langsung mengempos tenaganya.

Tubuhnya berkelebat cepat begitu melihat tiga la-
wannya yang berjuluk Tiga Setan Ruyung Baja te-
lah bangkit berdiri. Sepasang Pedang Kelelawar
Putih warisan Lowo Kuru telah pula diputar-putar
sedemikian rupa, seolah menciptakan pertahanan
yang kokoh.
Sementara Soma telah pula berkelebat,
membantu serangan.
"Hm...! Jadi, kalian tiga monyet tua yang
bergelar Tiga Setan Ruyung Baja? Ah.... Tapi aku
melihat kalian hanyalah sebagai tiga orang pemain
ketoprak kesasar," ejek Soma sambil menyerang.
"Setan Alas! Jaga bacotmu, Bocah Edan!
Huh! Rupanya kau belum tahu, sedang berhada-
pan dengan siapa, he?!" bentak satu dari Tiga Se-
tan Ruyung Baja yang berkumis melintang. "Aku,
Ki Gagak Ireng, tak segan-segan melenyapkan
orang yang sok usil. Dua temanku Ki Jlampring
dan Ki Suketpitu adalah dua orang beringas yang
haus darah!"
"Wah wah...! Gertakan mu boleh juga, mo-
nyet berkumis, Bocah Edan!" teriak lelaki berku-
mis itu penuh kemarahan.
Ruyung baja di tangan kanan si kumis pun
cepat menyerang murid Eyang Begawan Kama-
setyo. Bersamaan itu, kedua orang temannya
mengalihkan perhatian dari Aryani. Mereka lang-
sung menyerang ganas Siluman Ular Putih.
Sambil tersenyum nakal, Soma mulai men-
gerahkan jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular
Putih'. Telapak tangan kanannya pun mulai beru-
bah merah menyala penuh pukulan sakti 'Tenaga
Inti Api'. Sedang tangan kirinya yang telah beru-
bah menjadi putih terang telah disiapi pukulan
sakti 'Tenaga Inti Bumi'.
"Ciaaat...!"

Dalam sekejapan saja, Soma telah mener-
jang Tiga Setan Ruyung Baja. Belum lagi amukan
Aryani alias Bidadari Kecil. Dengan jurus-jurus
'Sumur Kematian' serta gulungan-gulungan ram-
butnya yang tak kalah hebat dengan sepasang pe-
dang putih di tangan, si gadis pun langsung bantu
menyerang ketiga orang musuhnya.
Kali ini Tiga Setan Ruyung Baja benar-
benar kewalahan. Apalagi ketika tadi mendengar
kalau pemuda gondrong yang membantu Aryani
adalah Siluman Ular Putih. Dari sini mereka tahu
kalau pemuda itu adalah seorang pendekar muda
yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia persi-
latan. Akibatnya, nyali ketiga orang tokoh sesat
dari Gunung Tidar itu mulai ciut. Sepasang mata
mereka mulai mencari-cari kesempatan untuk me-
larikan diri.
"Jangan biarkan ketiga kecoak tua ini ka-
bur, Soma! Mereka harus membayar kontan atas
nyawa lima orang murid Perguruan Kelelawar Pu-
tih yang mereka bantai!" teriak Aryani geram. 
"Oh begitu...," sahut Siluman Ular Putih
masih diiringi senyum nakalnya.
Kedua telapak tangan Soma yang memben-
tuk kepala ular  terus mendesak hebat musuh-
musuhnya. Beberapa kali patukan-patukan tan-
gannya hampir saja meremukkan tubuh Tiga Se-
tan Ruyung Baja.
Namun, rupanya kepandaian ketiga tokoh
sesat ini boleh juga. Dengan menggunakan ruyung
baja, berkali-kali mereka mampu mementahkan
serangan Siluman Ular Putih. Namun sayangnya,
mereka belum mampu balas serangan
Menyadari serangannya belum memperoleh
hasil, Aryani jadi geram sekali. Gerakan pedang-
nya semakin dipercepat. Gulungan-gulungan ram-

butnya yang mendadak berubah kaku laksana ba-
ja hitam tak henti-hentinya mendesak musuhnya.
Wesss! Wesss!
Bahkan tebasan-tebasan pedang di tangan
si gadis pun bagaikan tidak putus-putusnya men-
cari sasaran di tubuh lelaki yang dikenal sebagai
Ki Jlampring.
Wutt! Wuttt!
Ki Jlampring cepat memutar ruyung ba-
janya memapak serangan Aryani. Sekali ruyung
bajanya berkelit di antara gulungan-gulungan
rambut dan tebasan-tebasan pedang gadis cantik
itu.
Saat itu pula Aryani menambah tenaga da-
lamnya. Sekali menggerakkan pedang di tangan
kanannya....
Tak!
"Huk?!"
Ruyung baja di tangan Ki Jlampring pun
terpental! Lelaki ini terkejut bukan main. Bahkan
telapak tangan kanannya terasa panas, pertanda
tenaga dalamnya masih kalah satu tingkat di ba-
wah lawannya. Dan belum sempat ruyung bajanya
yang terpental digerakkan ke belakang, tahu-tahu
gulungan hitam rambut Aryani kembali mengan-
cam batok kepalanya!
Wuuttt...!
Paras Ki Jlampring jadi pucat pasi. Tak
mungkin serangan Aryani dihindari. Ia hanya
sempat melihat gulungan rambut Aryani yang ke-
ras laksana gulungan baja hitam sebelum akhir-
nya....
Prakkk!
"Aaakh...!"
Gulungan rambut hitam Aryani tepat men-
darat di batok kepala Ki Jlampring. Tanpa ampun

lagi kepala salah satu tokoh sesat dari Gunung Ti-
dar itu remuk. Darah merah beserta otaknya seke-
tika berhamburan. Sepasang matanya membeliak
liar, sebelum akhirnya jatuh berkelojotan ke tanah
dan tidak bergerak-gerak lagi!
"Heaaat...!"
Sehabis menghabisi nyawa salah seorang
Tiga Setan Ruyung Baja, Aryani kembali berkele-
bat menerjang salah seorang pengeroyok Siluman
Ular Putih. Sementara Soma tampak tidak begitu
bernafsu menghadapi kedua orang musuhnya. Ka-
lau saja pemuda gondrong itu mau bukan musta-
hil sudah dari tadi nyawa mereka melayang.
Melihat hal ini Aryani sangat geram. Ia
yang memang bermaksud menghabisi tiga orang
yang telah mengacau di perguruan Kelelawar Pu-
tih, jadi tidak dapat mengendalikan amarahnya la-
gi. Tebasan-tebasan pedangnya dan gulungan-
gulungan rambut hitamnya makin bergerak meng-
giriskan. Dan....
Cras! Prakkk!
"Aaa...!"
Hanya dalam waktu kurang dari tiga jurus,
dua orang dari Tiga Setan Ruyung Baja pun am-
bruk ke tanah dengan batok kepala remuk!

***

"Hei? Kau kesurupan setan sawah, ya?
Mengapa kejam sekali membantai mereka?" tegur
Siluman Ular Putih, kurang senang melihat kebe-
ringasan Aryani.
"Jangan banyak cincong, Soma! Hutang
nyawa harus dibayar nyawa! Ketiga kecoak tua ini
telah membantai lima orang murid Perguruan Ke-
lelawar Putih. Aku sebagai ketua Perguruan Kele-

lawar Putih merasa terhina sekali. Dan penghi-
naan itu harus ditebus!" bentak Aryani galak.
Soma berdecak-decak ngeri melihat kega-
nasan Aryani. Sebentar mata birunya memperha-
tikan ketiga mayat yang bergelimpangan di tanah,
lalu beralih pada Aryani dengan sinar mata heran.
"Aku heran, mengapa sedikit pun kau tidak
mempunyai rasa welas asih, Aryani?! Kalau saja
ayahmu tahu apa yang telah kau perbuat di sini,
tentu akan marah," cetus Siluman Ular Putih.
Aryani tidak mempedulikan ocehan Soma,
kecuali hanya membesut darah yang membasahi
sepasang pedangnya pada baju hitam salah seo-
rang musuhnya. Lalu dimasukkannya sepasang
Pedang Kelelawar Putih kembali ke sarungnya.
"Sebenarnya kenapa kau jadi demikian ke-
ji?" tegur Siluman Ular Putih lagi.
"Aku jengkel. Jengkel sekali! Juga padamu
yang cerewet! Kalau saja kau bukan temanku, su-
dah pasti kuremukkan batok kepalamu!" jawab
Aryani ketus.
Sekali lagi Soma berdecak-decak heran. La-
lu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimanapun juga kau tidak bol..." 
"Jangan cerewet!" potong Aryani, "Justru di
samping aku mengejar musuh-musuh Perguruan
Kelelawar Putih, aku ada sedikit kabar buruk un-
tukmu! Tapi, kau malah cerewet seperti nenek-
nenek kehilangan sirih!" 
"Hey...? Kabar buruk apa, Aryani?" tanya
Soma heran.
"Makanya jangan cerewet!" sentak Aryani
lagi, masih menampakkan kejengkelannya. "Du-
duklah dulu!"
"Hm...." 
Soma mengangkat kedua bahunya, seraya

tersenyum kecut. Lalu tanpa banyak cakap lagi,
pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu pun meletakkan pantatnya di rerumpu-
tan kering.
Aryani pun segera meletakkan pantatnya di
depan Soma. Wajahnya masih menampakkan ke-
kesalan hatinya.
"Kau sedang dikejar-kejar banyak tokoh
sakti dunia persilatan!" kata Aryani, membuat
Soma terbeliak kaget.
"Hey.... Ada urusan apa denganku? Menga-
pa mereka mengejar-ngejarku?" tukas si pemuda.
"Entahlah! Tapi yang pasti, Teratai Emas-
lah yang telah membujuk mereka sehingga mau
membantu. Meski Istana Ular Emas dimusuhi ba-
nyak tokoh sakti dunia persilatan, terutama sekali
dari golongan putih, namun diam-diam Teratai
Emas mempunyai hubungan yang baik dengan li-
ma ketua partai ternama. Bukan saja perguruan
Tengkorak Serigala dan Ular Merah yang sudah
dapat dibujuknya, bahkan tiga partai lainnya pun
juga sudah siap membantu. Hati-hatilah kalau
kau bertemu mereka nanti! Sekarang sampai di
sini dulu keteranganku. Karena masih ada urusan
lain, terpaksa aku tidak dapat membantu. Selamat
tinggal!" jelas Aryani.
Aryani cepat melompat bangun. Dan seke-
tika tubuhnya sudah berkelebat meninggalkan Si-
luman Ular Putih.
Soma menggaruk-garuk kepala. Sepasang
mata birunya tak henti-hentinya memperhatikan
bayangan putih di hadapannya hingga menghilang
di sebuah tikungan. Lalu dengan perasaan masih
dibalut kebingungan, pemuda berambut gondrong
itu cepat melompat bangun.
"Ah...! Aku sendiri juga menyesal tidak da-

pat membantumu, Aryani" gumam Soma dalam
hati, sebelum akhirnya berkelebat cepat menuju
Lembah Kodok Perak.


***
3

Di kaki langit sebelah timur, matahari me-
mantulkan sinar merah jingganya. Ayam jantan
liar mengumandangkan kokoknya yang gagah,
menyapa hari di pagi muda. Gumpalan awan putih
laksana kapas berarak-arak di cakrawala. Semen-
tara, tiupan angin bebukitan terasa semakin me-
nambah indahnya pagi ini.
Jauh di luar pinggiran hutan jati, tampak
berkelebat cepat sesosok bayangan merah darah
menuju sebuah gubuk yang terletak di pinggir ja-
lan. Gubuk yang ala kadarnya itu biasa dijadikan
tempat bersinggah para pencari kayu bakar mau-
pun para pemburu bila kemalaman. Ukurannya
tidak terlalu besar. Paling hanya pas untuk tidur
empat atau lima orang. Tiang-tiang penyangganya
terbuat dari batang-batang kayu. Atapnya terbuat
dari rumput-rumput kering yang ditata sedemi-
kian rupa.
Begitu berhenti berkelebat di depan gubuk,
bayangan merah yang ternyata seorang lelaki ting-
gi tegap berpakaian merah darah itu mengedarkan
pandangannya. Wajahnya menegang. Rahangnya
bertonjolan. Rambutnya gondrong sebatas bahu.
Keningnya diikat oleh kain berwarna merah.
Usianya kira-kira lima puluh tahun.
Dari sikapnya, lelaki setengah baya ini
tampak gelisah sekali. Lalu sepasang matanya
memperhatikan ke dalam gubuk.

"Jahanam! Rupanya mereka belum da-
tang!" desis orang bertubuh tinggi besar itu tak
sabar.
Lelaki itu masih berdiri tegak di depan gu-
buk. Keningnya berkerut-kerut. Lalu dengan ra-
hang menggembung penuh kemarahan, kakinya
melangkah mendekati gubuk, pantatnya langsung
dihenyakkan di depan, dan duduk menunggu. Ke-
palanya sesekali melongok ke kanan kiri jalan,
namun apa yang diharapkan belum juga nampak.
Selang beberapa saat, dari arah timur tam-
pak berkelebat sesosok bayangan hitam menuju
ke gubuk. Sementara jauh di sebelah selatan,
tampak pula dua sosok bayangan berpakaian kun-
ing tengah berkelebat melewati pematang sawah.
Arahnya juga menuju ke arah gubuk.
"Bedebah! Akhirnya mereka datang juga!"
dengus lelaki berpakaian merah darah di dekat
gubuk masih menunjukkan kejengkelan.
"Ha ha ha...! Rupanya Iblis Kelabang Merah
paling getol dengan urusan macam begini. Mana
teman-teman yang lain?"
Sebuah suara berisi tenaga dalam tinggi
terdengar kasar, memenuhi lataran tandus pinggi-
ran hutan jati. Dan belum hilang gaungnya, tahu-
tahu di depan lelaki  tua bertubuh tinggi besar
yang bergelar Iblis Kelabang Merah berdiri satu
sosok lelaki berpakaian serba hitam. Gerakan ke-
dua kakinya ringan sekali! Sama sekali tidak me-
nimbulkan suara saat menjejak tanah kering di
depan gubuk. Jelas ilmu meringankan tubuhnya
sudah mencapai tingkat tinggi!
Wajah lelaki berpakaian hitam-hitam yang
kini tegak di hadapan Iblis Kelabang Merah itu ti-
rus. Rambutnya gondrong awut-awutan. Sepasang
matanya mencorong tajam, pertanda tenaga da-

lamnya sudah mencapai tingkat tinggi! Usianya ki-
ra-kira empat puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi
kurus. Di tangan kanannya tergenggam senjata
toya berwarna hitam. Dan sesuai senjata di tan-
gan, ia adalah Ketua Perguruan Toya Hitam. Nama
aslinya jarang sekali diketahui orang. Tapi di du-
nia persilatan, siapa yang tak kenal dengan Raja
Toya?!
Mendengar ucapan Raja Toya yang berpe-
rangai kasar, Iblis Kelabang Merah hanya menge-
rutkan jidatnya. Sepasang matanya yang memerah
terus terpaku pada sosok tinggi kurus di hada-
pannya.
"Nada bicaramu sungguh memerahkan te-
lingaku, Raja Toya! Kalau saja kau bukan kawan-
ku, sudah pasti ular-ular merahku kusuruh
menggerogoti tubuh kurus keringmu!" desis Iblis
Kelabang Merah, sengit.
Entah kapan mengambilnya, tahu-tahu di
tangan kanan Iblis Kelabang Merah telah tergeng-
gam dua ekor ular merah sebesar ibu jari tangan
manusia dewasa!
"Ha ha ha...! Kau pikir aku takut mengha-
dapi ular-ular merahmu, he?!" dengus Raja Toya
tak kalah sengit. "Tapi, mengapa kau hanya sendi-
rian? Mana teman-teman lainnya?"
Iblis Kelabang Merah mendengus.
"Hm.... Rupanya telingamu sudah budek.
Sehingga kedatangan Julung Pucut dan Julung
Kencono tidak terdengar?"
Mata Raja Toya melotot gusar. Namun ke-
tika mendengar langkah-langkah halus di bela-
kangnya, kepalanya segera berpaling ke belakang.
Pada saat yang sama, di hadapan Raja
Toya dan Iblis Kelabang Merah telah berdiri dua
sosok laki-laki berjubah kuning. Baik bentuk tu-

buh, paras maupun rambut mereka yang gon-
drong dikuncir ke belakang benar-benar sulit di-
bedakan. Hanya nama sajalah yang membedakan
orang kembar ini. Mereka masing-masing bernama
Ki Julung Pucut dan Julung Kencono. Tapi mereka
lebih terkenal sebagai Sepasang Iblis Kembar Dari
Gunung Srandil!
"Apa kalian sudah lama di sini?" tanya
yang bernama Ki Julung Pucut, kalem saja.
"Pakai tanya segala!" jawab Iblis Kelabang
Merah geram. "Aku sudah hampir karatan, tahu?!"
"Lantas, mengapa si cantik Teratai Emas
tidak muncul kemari?" timpal Ki Julung Kencono
heran.
Raja Toya dan Iblis Kelabang Merah hanya
mendengus seraya mengangkat kedua bahu.
"Kalian ini cerewet amat! Apa kalian juga
ingin ikut-ikutan membantu Teratai Emas mem-
bantai pendekar muda yang bergelar Siluman Ular
Putih?!" sentak Iblis Kelabang Merah." 
"Apa kalian pikir, hanya kalian saja yang
mampu membantai Siluman Ular Putih?" sergah
Ki Julung Pucut ketus.
"Sudahlah! Mengapa kalian jadi bersitegang
begini?!" lerai Raja Toya.
"Pokoknya sekarang tunggu saja Teratai
Emas! Kalau misalnya wanita cantik itu tidak
muncul, terpaksa kita harus mencari pem... " 
"Auuungng...!" 
Belum sempat Raja Toya menyelesaikan
ucapannya, mendadak mereka dikejutkan oleh su-
ara auman serigala yang entah dari mana datang-
nya. Begitu keras sehingga memenuhi dataran
tandus di luar hutan jati. Agaknya suara auman
itu dialiri tenaga dalam tingkat tinggi! 
Tanpa diketahui mereka, tahu-tahu tak

jauh dari tempat itu telah berdiri seorang laki-laki
bertubuh kurus kering. Saking kurusnya, mem-
buat sosoknya yang berbalut kain putih menyeru-
pai tengkorak! Wajahnya tirus kepucatan dengan
tulang-tulang pipi bertonjolan. Hidungnya kecil
melesak ke dalam. Sepasang matanya mencorong,
menyembunyikan kekejaman luar biasa. Meski
demikian, sepasang matanya yang mencorong itu
jelas berisi tenaga dalam tinggi sekali! Lebih dari
itu, ilmu meringankan tubuhnya pun sudah men-
capai tingkat yang sulit sekali diukur! Buktinya
saja, kedatangannya sampai saat ini tidak diketa-
hui keempat orang yang sejak tadi ada di sini.
"Benar! Aku setuju dengan pendapat Raja
Toya. Kalau memang Teratai Emas tidak muncul
kemari, tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa harus
mencari pemuda itu," cetus sosok kurus kering
berbalut kain putih yang langsung menyerobot
pembicaraan.
Bukan main kagetnya keempat orang itu.
Mereka semua tidak menyangka kalau sang em-
punya suara   auman itu telah berada di bela-
kangnya. Sebab suara auman itu tadi seperti ter-
dengar jauh di depan sana! Maka seketika itu juga
keempat orang itu segera berpaling ke belakang.
"Te... Tengkorak Serigala!" sebut keempat
orang itu hampir berbarengan. Sepasang mata me-
reka pun terbelalak lebar, seolah tidak percaya
dengan apa yang dilihat.
Sosok bertubuh kurus kering itu memang
berjuluk Tengkorak Serigala. Ia adalah salah seo-
rang tokoh sesat yang sangat ditakuti di dunia
persilatan saat itu. Dan melihat kekagetan keem-
pat orang kawannya, Tengkorak Serigala hanya
mengangguk-anggukkan angkuh. Sedang tongkat
putih berkepala tengkorak serigala di tangan ka-

nannya diketuk-ketukkan ke tanah. Meski hanya
mengetuk-ngetuk perlahan seperti orang main-
main, namun akibatnya membuat tanah di seki-
tarnya bergetar hebat!
Lagi-lagi keempat orang itu terkesiap kaget.
Namun Iblis Kelabang Merah yang berperangai ka-
sar cepat dapat menyembunyikan kekagetannya.
"Setan alas! Kau terlalu berlagak di hada-
panku, Tengkorak Serigala?! Apa kau pikir aku ta-
kut dengan nama besarmu, he?! Orang lain boleh
takut padamu. Tapi aku, jangan dikira takut
menghadapimu!" bentaknya, garang.
Tengkorak Serigala tersenyum dingin. Se-
pasang matanya yang mencorong tampak semakin
mengerikan. Agaknya tokoh sesat yang konon be-
rasal dari Lembah Kematian itu tak dapat lagi
mengendalikan amarahnya.
"Rupanya kau mempunyai nyawa rangkap,
Iblis Kelabang Merah! Apa kau belum pernah me-
rasakan Tongkat Serigalaku?!" desis Tengkorak
Serigala. Tangan kanannya yang memegang tong-
kat putih berkepala tengkorak serigala siap dige-
rakkan untuk menyerang Iblis Kelabang Merah.
"Heh...?"
Namun belum sempat tokoh sesat dari
Lembah Kematian itu bertindak, mendadak tong-
kat putihnya tidak dapat digerakkan! Begitu ma-
tanya melirik, ternyata tongkat putihnya menem-
pel di toya milik Raja Toya!
"Edan!"
Tengkorak Serigala gusar bukan main. Se-
pasang matanya yang mencorong itu kini menatap
Raja Toya penuh kemarahan. Sedang tangan ki-
rinya siap pula melancarkan pukulan maut ke da-
da lelaki bersenjata toya itu.
"Sabar, Tengkorak Serigala! Coba perhati-

kan baik-baik pemuda gendeng di sana itu! Jan-
gan-jangan, pemuda itulah yang dimaksudkan Te-
ratai Emas," bisik Raja Toya seraya menunjukkan
ujung toyanya ke arah yang dimaksudkan.
"Hm..,," gumam Tengkorak Serigala, tak je-
las.
Tangan kirinya yang siap melancarkan pu-
kulan maut ke dada Raja Toya terhenti di udara.
Sedang matanya yang mencorong kini mengikuti
ke arah mana ujung toya itu ditujukan
Dan ternyata memang benar. Di ujung ja-
lan berdebu sana, tampak seorang pemuda gon-
drong berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan tengah jalan lenggang kangkung
seenaknya tanpa mempedulikan keadaan sekitar.
Dan sembari terus bersiul-siul kecil, pemuda yang
memiliki rajahan kecil bergambar ular putih di da-
danya itu terus melangkah di jalan berdebu, tepat
di depan kelima orang tokoh sesat ini.
"Hm...! Menilik ciri-ciri yang telah dicerita-
kan Teratai Emas, pasti pemuda sinting itulah
yang bergelar Siluman Ular Putih. Coba perhati-
kan baik-baik!" bisik Iblis Kelabang Merah.
"Heran! Apa dunia sekarang ini sudah ter-
balik? Biasanya hanya perempuan saja yang suka
kasak-kusuk. Tapi, kenapa sekarang laki-laki juga
ikut-ikutan latah seperti perempuan? Heran! He-
ran...," celoteh pemuda gondrong itu, entah ditu-
jukan pada siapa.
Kelima orang tokoh sesat itu terkesiap. Me-
reka tidak menyangka kalau kasak-kusuk barusan
terdengar pemuda gondrong di hadapannya. Lebih
dari itu, mereka itu merasa tersindir dengan apa
yang diucapkan si pemuda.
"Bocah sinting! Hentikan langkahmu!" ben-
tak Iblis Kelabang Merah gusar.

"Eh eh eh...! Ada apa ini? Mengapa kau
menyuruhku berhenti, Orang Tua?" sahut pemuda
gondrong yang tidak lain Soma alias Siluman Ular
Putih, pura-pura terkejut. Dan begitu langkahnya
terhenti, sepasang matanya terus memperhatikan
kelima orang tokoh sesat di hadapannya heran.
"Jangan berlagak pilon! Apa maksud uca-
panmu barusan, he?!" bentak Iblis Kelabang Me-
rah garang.
"Lho...? Kenapa kalian jadi uring-uringan
begini? Tadi samar-samar kudengar pada kasak-
kusuk beberapa ekor nyamuk hutan? Apakah sa-
lah kalau aku menanggapinya?" tukas Soma see-
nak dengkul.
Bukan main marahnya kelima orang tokoh
sesat itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa ter-
sindir dikatakan sebagai nyamuk hutan.
"Jaga mulutmu, Bocah Edan! Apa kau be-
lum tahu berhadapan dengan siapa, he?.'" bentak
Iblis Kelabang Merah garang. 
"Heh...!"
Disertai dengusan menggetarkan, Iblis Ke-
labang Merah menjejakkan kakinya ke tanah. Dan
tahu-tahu, tubuh tinggi besarnya telah mendarat
di hadapan Soma. Sementara keempat orang to-
koh sesat yang sebenarnya memang sedang men-
cari-cari Siluman Ular Putih tak mau ketinggalan.
Sebentar saja, mereka telah mengurung Soma?
Sedangkan Soma bersiul-siul kecil. Sebelah
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Setan Alas! Kau berani bertindak ayal-
ayalan di hadapan kami, he?! Apa kau sudah bo-
san hidup?!" Lagi-lagi Iblis Kelabang Merah yang
berperangi kasar itu membentak Soma garang.
"Sungguh aku tak mengerti. Sebenarnya
apa sih yang kalian inginkan? Apa kalian mengin-

ginkan harta? Kalau memang iya, sungguh sayang
kalian salah mengincar mangsa. Aku bukanlah
orang kaya. Memang, paman ku dulu juragan sa-
pi. Kaya lagi. Tapi sayang, semua hartanya ludes
diganyang perampok. Dan menurut keterangan
paman ku, wajah-wajah rampok itu mirip kalian!"
celoteh Soma makin jadi. 
"Kunyuk gondrong! Sebutkan namamu se-
belum aku mencabut nyawa busukmu!" bentak Ki
Julung Pucut, tak dapat lagi mengendalikan ama-
rahnya.
"Kau menanyakan siapa aku, Orang Tua?
Aku, ya aku. Mengapa kalian meributkan siapa
aku? Toh, aku sendiri juga tidak meributkan siapa
aku."
"Setan Alas! Makanlah kelabang-kelabang
merahku. Kunyuk Gondrong!" bentak Iblis Kela-
bang Merah gusar bukan main. Tangan kanannya
cepat menyusup ke saku bajunya mengambil dua
ekor kelabang merah. Namun belum sempat tan-
gannya bergerak kembali....
"Tunggu, Iblis Kelabang Merah!" cegah Raja
Toya. "Kunyuk gondrong ini memang layak menja-
di santapan kelabang-kelabang merahmu. Tapi
menilik ciri-cirinya, dialah yang bergelar Siluman
Ular Putih."
Raja Toya sejenak memalingkan kepalanya
ke arah Soma.
"Hey, Bocah! Kaukah Bocah gendeng yang
bergelar Siluman Ular Putih itu?"
"Ah...! Kalian ini selalu saja meributkan
aku. Sebenarnya, ada apa kalian mencari-cari Si-
luman Ular Putih?"
"Atas permintaan seseorang, kami berlima
memang ingin membalas sakit hati sahabat kami.
Bahkan kalau perlu, melenyapkan Siluman Ular

Putih dari muka bumi ini! Nah agar kami tak salah
menjatuhkan tangan, kau sendiri siapa sebenar-
nya? Mengapa tidak berani menyebutkan nama-
mu?"
Soma tertawa bergelak. Kepalanya men-
dongak ke atas dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Disebutkan juga tidak akan ada artinya.
Karena memang akulah orang yang kalian cari-
cari!"
"Sudah kuduga!" terabas Tengkorak Seriga-
la.
"Kalau sudah menduga, lantas mengapa
mesti buang-buang waktu?" timpal Iblis Kelabang
Merah. "Mari, kita cincang bocah edan ini ramai-
ramai! Heaa...!"
Disertai teriakan merobek angkasa, Iblis
Kelabang Merah pun mendahului kawan-
kawannya menyerang Siluman Ular Putih. Tangan
kanannya yang masih memegang dua ekor kela-
bang merah cepat bergerak ke depan. Paling tidak
agar kelabang-kelabang merah itu lebih leluasa
mematuk tubuh musuhnya. Sedang tangan ki-
rinya siap pula mencengkeram dada Siluman Ular
Putih.
"Hiaaattt...!" 
Melihat Iblis Kelabang Merah telah berge-
rak mendahului, keempat tokoh sesat lainnya pun
tidak mau ketinggalan. Seperti orang berlomba,
masing-masing segera menyerang hebat Siluman
Ular Putih. Meski belum bisa mengukur kepan-
daian si pemuda namun keempat tokoh sesat itu
sudah langsung menyerang dengan senjata! Teng-
korak Serigala menyerang dengan tongkat putih
berkepala tengkorak serigala. Raja Toya mengan-
dalkan senjatanya yang berupa toya hitam. Sedang

Sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Srandil me-
nyerang dari arah belakang dengan senjata ber-
bentuk cemeti panjang berekor sembilan!
Hebat bukan main serangan-serangan me-
reka. Laksana banjir bandang yang memporak-
porandakan apa saja, tubuh Siluman Ular Putih
seperti terhimpit lima kekuatan dahsyat dari lima
jurusan! Bukan mustahil kalau dalam satu gebra-
kan saja, tubuh pemuda gondrong murid Eyang
Begawan Kamasetyo itu akan jadi korban.
Tentu saja Siluman Ular Putih tidak meng-
hendaki hal demikian. Melihat serangan-serangan
kelima orang pengeroyoknya, tidak tanggung-
tanggung langsung dikeluarkan jurus-jurus sak-
tinya 'Terjangan Maut Ular Putih'. Tangan kanan-
nya telah berubah menjadi merah menyala penuh
pukulan sakti 'Tenaga Inti Api'. Sedang tangan ki-
rinya yang telah berubah menjadi putih terang
hingga ke pangkal lengan, penuh pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi'.
"Hyaaatt...!"
Siluman Ular Putih membentak nyaring,
sebelum kedua tangannya bergerak cepat di anta-
ra gulungan senjata-senjata lawannya. Namun ti-
dak seperti dugaan mereka, pemuda itu bukannya
menyerang ketiga pengeroyok yang ada di depan-
nya, melainkan menyerang Sepasang Iblis Kembar
Dari Gunung Srandil. Dengan sekali putar tubuh-
nya, tahu-tahu kedua telapak tangannya yang
membentuk kepala ular telah mengancam dada
kedua lelaki kembar di belakangnya.
"Heh...?!"
Sepasang Iblis Kembar Dari Gunung Sran-
dil terkesiap kaget, tidak menyangka akan menjadi
serangan pertama Siluman Ular Putih. Dan dalam
jarak yang demikian dekat, tentu saja cemeti pan-

jang di tangan mereka jadi kehilangan ruang ge-
rak! Dan belum sempat salah seorang memapak
serangan, patukan kedua telapak tangan Siluman
Ular Putih telah mendarat telak di dada kedua Ib-
lis Kembar Dari Gunung Srandil.
Tukkk! Tukkk!       
"Aaakhh...!"
Kedua lelaki kembar itu memekik nyaring.
Dada mereka yang terkena patukan tangan Silu-
man Ular Putih terasa mau jebol!
Meski demikian lelaki kembar yang berna-
ma Ki Julung Pucut tidak sampai terpental seperti
adiknya. Begitu tubuhnya tersentak ke belakang,
kontan cemeti berekor sembilannya digerakkan
dari atas ke bawah. Dia bermaksud menotok sem-
bilan jalan darah kematian di tubuh Siluman Ular
Putih.
"Uts...!Sial...! "
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Ia ti-
dak mengira akan mendapat serangan balik demi-
kian hebatnya. Belum lagi serangan-serangan ke-
tiga orang pengeroyok lain yang datang dari bela-
kang. Tanpa banyak membuang waktu pemuda ini
cepat membuang tubuhnya ke belakang. Na-
mun....
Ctarrr!
"Aaakh...!"
Sayang, meski Siluman Ular  Putih telah
melempar tubuhnya demikian rupa, tetap saja da-
danya terkena lecutan cemeti berekor sembilan di
tangan Ki Julung Pucut! Bahkan tongkat putih mi-
lik Tengkorak Serigala pun mendarat telak di da-
danya.
Bukk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Kembali Siluman Ular Putih memekik ter-

tahan. Tanpa ampun lagi, tubuhnya jatuh bergul-
ing-gulingan ke samping. Wajahnya pucat pasi.
Darah segar tampak membasahi sudut-sudut bi-
birnya. Sedang iganya yang terkena sodokan tong-
kat tadi terasa mau remuk! Belum lagi lecutan
cemeti berekor sembilan di tangan Ki Julung Pu-
cut yang terasa perih bukan main.
Siluman Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya penuh kemarahan. Dan karena tidak da-
pat mengendalikan amarahnya, mendadak rambut
kepalanya telah berubah menjadi ratusan ular pu-
tih liar dengan kepala terangkat tinggi-tinggi!
"Heh...?!"
Kelima orang tokoh sesat yang mengeroyok
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Sepasang ma-
ta mereka membeliak liar. Apa yang terlihat benar-
benar mengerikan. Dan sejenak pula, mereka
menghentikan serangan.
"Hup!"
Tentu saja kesempatan itu tidak disia-
siakan Siluman Ular Putih untuk segera meloncat
bangun. Sembari meloncat demikian, cepat senjata
andalannya yang berupa Anak Panah Bercakra
Kembar dikeluarkan. Maka seketika itu juga, hawa
dingin yang bukan kepalang telah memenuhi tem-
pat itu!
Lagi-lagi kelima orang pengeroyok Siluman
Ular Putih terkesiap kaget. Sepasang mata mereka
memandang penuh kagum pada senjata aneh di
tangan si pemuda. Segera mereka mengerahkan
tenaga dalam untuk mengusir hawa dingin yang
ditebarkan  senjata aneh di tangan Siluman Ular
Putih.
"Hebat! Kau memang pantas mendapat ju-
lukan Siluman Ular Putih, Bocah! Tapi sayang,
nama besarmu akan tamat hari ini!" kata Raja

Toya, membuyarkan kekagetan keempat teman-
nya.
"Ah...! Kalian selalu saja meributkan aku.
Sampai soal kematian pun, kalian tetap saja meri-
butkannya. Heran! Heran! Apa tidak ada kerjaan
lain selain meributkanku?!" kata Soma alias Silu-
man Ular Putin seenak perutnya.
"Jahanam! Buat apa bicara panjang lebar
dengan bocah sinting ini?! Mari, sebaiknya cincang
bocah sinting ini ramai-ramai!" geram Ki Julung
Kencono penuh kemarahan.
Sehabis berkata begitu, Ki Julung Kencono
yang tadi sempat merasakan kehebatan patukan
tangan Siluman Ular Putih cepat menggerakkan
cemeti berekor sembilannya. Arah serangannya
adalah beberapa jalan darah kematian di tubuh
pemuda gondrong murid Eyang Begawan Kama-
setyo!
Siluman Ular Putih tersenyum kecut. Ia
sadar, untuk mengatasi keroyokan kelima orang
tokoh sesat yang berkepandaian tinggi itu bukan-
lah satu hal yang mudah. Namun, bagaimanapun
juga pemuda ini tetap tidak mau lari meninggal-
kan arena pertarungan. Padahal, bahaya maut
menghadang di depan mata!
"Hip!"
Begitu melihat serangan Ki Julung Kenco-
no, Siluman Ular Putih yang cepat mengeluarkan
jurus-jurus sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Tangan kanannya yang memegang senjata pusaka
itu terlihat semakin berubah menjadi merah me-
nyala! Sedang tangan kirinya pun makin putih te-
rang menyilaukan mata. 
"Heaaa...!" 
Disertai teriakan garang, Soma mendo-
rongkan telapak tangan kanannya yang penuh

pukulan sakti 'Tenaga Inti Api' ke depan. Maka,
seketika itu senjata anak panah di tangan kanan-
nya melesat cepat ke depan. Bersamaan dengan
itu, seleret sinar merah menyala dari telapak tan-
gan kanannya, terus menerabas dada Ki Julung
Kencono. Sedang tangan kirinya yang telah meru-
bah menjadi putih terang menyilaukan mata, su-
dah menghentak ke depan. Dilepaskannya puku-
lan saktinya 'Tenaga Inti Bumi' ke arah Tengkorak
Serigala dan Raja Toya! 
Wesss! Wesss!
Hebat bukan main serangan-serangan Si-
luman Ular Putih kali ini! Ki Julung Kencono men-
geluarkan keringat dingin. Ia tidak sempat lagi
berpikir bagaimana harus menyerang musuh mu-
danya, kalau ingin selamat.
"Hup!"
Maka begitu melihat serangan-serangan Si-
luman Ular Putih yang demikian hebatnya, Ki Ju-
lung Kencono pun cepat melempar tubuhnya ke
samping. Sehingga, seleret sinar merah menyala
dari telapak tangan Siluman Ular Putih hanya
mengenai tempat kosong.
Namun, alangkah terkejutnya Ki Julung
Kencono ketika melihat senjata anak panah itu ti-
ba-tiba membelok cepat dan kembali menyerang
dirinya! Sama, sekali tidak disangka kalau senjata
pusaka itu akan melesat demikian rupa! Maka
tanpa ampun lagi.... 
Clep!
"Aughhh....!
Dada kanan Ki Julung Kencono kontan ter-
tancap mata pisau di ujung kepala senjata  aneh
itu, tanpa dapat berkelit sedikit pun. Ia memekik
setinggi langit. Matanya membeliak lebar. Tangan
kanannya mendekap senjata pusaka itu dan men-

cabutnya. Namun begitu senjata aneh itu tercabut
keluar dari dada, tubuh tinggi kekarnya ambruk
ke tanah, tak dapat bergerak-gerak lagi. Mati.
"Jahanam! Kau membunuh kembaran  ku,
Bocah!" pekik Ki Julung Pucut penuh kemarahan.
Sejenak matanya membeliak liar meman-
dangi saudara kembarnya. 
Kemudian dengan kemarahan meluap, Ki
Julung Pucut pun segera menerjang Siluman Ular
Putih garang!
Siluman Ular Putih yang tengah kewalahan
menghadapi serangan begitu pukulan sakti
'Tenaga Inti Bumi' dapat dimentahkan Tengkorak
Serigala dan Raja Toya dengan mudah, kini makin
kewalahan setelah Ki Julung Pucut ikut mener-
jang. Meski telah mengerahkan  jurus-jurus maut
'Terjangan Maut Ular Putih', tetap saja belum
mampu menghadapi gempuran-gempuran keem-
pat orang pengeroyoknya. Untung saja tadi senjata
pusakanya sempat dipungut kembali dari tangan
Ki Julung Kencono, sehingga dapat digunakan un-
tuk menghadapi gempuran-gempuran keempat
orang pengeroyoknya.
Namun, bagaimanapun juga keempat orang
pengeroyoknya itu bukanlah tokoh-tokoh semba-
rangan. Maka dalam sepuluh jurus kemudian, Si-
luman Ular Putih benar-benar berada di bawah
angin. Jangankan untuk membalas. Untuk meng-
hindar saja, rasanya tidak sanggup! Bahkan tak
jarang pula sekujur tubuhnya terkena hantaman-
hantaman senjata di tangan para pengeroyoknya!
Keadaan ini tentu saja sangat membahaya-
kan bagi keselamatan Siluman Ular Putih. Kalau
saja dibiarkan barang beberapa jurus lagi, bukan
mustahil pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu tewas. Namun di saat yang paling genting

bagi keselamatan Siluman Ular Putih, mendadak
berkelebat berpuluh-puluh sinar kuning keemasan
ke arah empat orang pengeroyok Siluman Ular Pu-
tih!
Bukan main kagetnya hati keempat orang
pengeroyok Siluman Ular Putih. Seketika itu juga
mereka menghentikan serangan, dan sibuk me-
nangkis sinar kuning keemasan yang menyerang
sekujur tubuh mereka.
Werrr! Werrr!
Cring! Cring!
Sekali lagi, keempat orang pengeroyok Si-
luman Ular Putih terpekik kaget. Ternyata sinar
kuning keemasan itu tidak lain adalah jarum-
jarum emas!
"Mengapa kalian memusuhi kami! Bukan-
kah kalian semua murid Istana Ular Emas?!"

***
4

Empat pasang mata para pengeroyok Silu-
man Ular Putih terbeliak liar. Kini di belakang pe-
muda sakti itu telah berdiri tegak lima orang gadis
cantik berpakaian kuning keemasan. Mereka itu-
lah yang tadi menyerang dengan jarum-jarum
emas ke arah empat tokoh sesat itu.
"Kami tidak bermaksud  memusuhi kalian
tapi hanya ingin melindungi pemuda itu untuk
beberapa saat," jelas salah seorang gadis yang pal-
ing cantik, dingin
Gadis cantik itu kira-kira berusia dua pu-
luh dua tahun. Rambutnya panjang dibiarkan ter-
gerai di bahu. Sepasang matanya jeli. Hidungnya
tipis. Bibirnya pun tipis dengan bentuk dagu runc-
ing. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping terbalut

pakaian ketat warna kuning keemasan
"Setan Cantik! Kau bicara terlalu berbelit-
belit. Bukankah kalian berlima terhitung masih
saudara seperguruan dengan Teratai Emas? Lan-
tas, mengapa kalian menghalang-halangi kami un-
tuk membunuh pemuda sinting itu. Padahal, kami
sedang menjalankan permintaan Teratai Emas?"
sergah Iblis Kelabang Merah.
"Sudah kukatakan, kami tidak bermaksud
menghalang-halangi maksud kalian. Namun ber-
hubung kami masih punya sedikit urusan dengan
pemuda itu, maka kali ini terpaksa kami harus
melindunginya," kilah Setan Cantik, lalu berpaling
ke arah Siluman Ular Putih. "Siluman Ular Putih!
Mengapa kau masih belum berangkat ke Lembah
Kodok Perak? Bahkan malah bentrok dengan
keempat orang tua ini segala!"
Siluman Ular Putih tersenyum tipis. Sepa-
sang mata birunya terus memandangi kelima
orang gadis cantik di hadapannya tanpa berkedip.
"Hm...! Mau bentrok dengan lima ekor
nyamuk hutan ini kek, mau ribut dengan Setan
Langit kek, apa pedulimu?" cibir Siluman Ular Pu-
tih, kesal. "Dan, ingat! Hanya karena Angkin ma-
sih berada dalam cengkeraman tangan nenek-
nenek peot Bunda Kurawa itulah terpaksa aku
menuruti kemauan kalian. Oh, iya mengapa kalian
mengikutiku? Apa kalian pikir, aku sudi menerima
pertolonganmu."
"Sudah kuduga, kau pasti akan berkata
demikian! Tapi, apa kau masih ingat perjanjian ki-
ta?"
Soma mendengus kesal. Bagaimanapun, ia
tidak ingin berhutang budi dengan murid-murid
Istana Ular Emas  yang hanya akan menjerat di-
rinya dalam permainan licik Bunda Kurawa!

"Setan Cantik! Cepat enyahkan empat ga-
dis temanmu itu dari hadapanku! Aku sebagai
seorang laki-laki sejati mana sudi menerima ban-
tuan maupun perlindungan kalian?!" bentak Silu-
man Ular Putih.
"Hm...! Kalau saja Bunda Kurawa tidak se-
dang membutuhkan tenagamu, sudah pasti kuro-
bek-robek mulut lancang  mu  itu, Kunyuk Gon-
drong!" dengus Setan Cantik.
"Sudahlah, Mbakyu Setan Cantik! Tidak
ada gunanya bicara panjang lebar dengan pemuda
sinting itu.  Mungkin saja ia sudah lupa kalau
Angkin Pembawa Maut masih berada dalam ceng-
keraman kita," ujar salah seorang gadis cantik
murid Istana Ular Emas, kesal.
Pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu menyunggingkan senyum. "Aku le-
bih suka mati daripada menerima bantuan ka-
lian."
"Lantas, bagaimana dengan Kitab Kodok
Perak Sakti yang telah kau janjikan pada kami?"
tukas Setan Cantik lagi.
"Ya, tergantung dari kesudahan pertempu-
ranku di sini nanti," sahut Soma seenaknya.
"Apa kau sudah tidak memperhatikan  ke-
selamatan Angkin Pembawa Maut lagi, Kunyuk
Gondrong?"
"Dalam keadaan seperti ini, kukira aku
hanya dapat memasrahkan keselamatan Angkin
Pembawa Maut pada kebijaksanaan Bunda Kura-
wa. Lantas, mengapa aku harus repot-repot memi-
kirkan kejadian yang belum tentu terjadi? Toh,
Angkin Pembawa Maut sendiri juga sudah memak-
lumi keadaanku."
"Siluman Ular Putih....!" panggil Setan Can-
tik, agak mereda nada suaranya. "Sebenarnya ka-

mi golongan Ular Emas belum pernah mengalah
pada siapa pun. Tapi kali ini dengan sangat ter-
paksa kami harus mengalah juga padamu. Baik-
lah.... Meski kau tidak menginginkan bantuan, ta-
pi kami tetap akan terus menolongmu."
"Setan Cantik! Meski nama besar Istana
Ular Emas sangat ditakuti di dunia persilatan, tapi
jangan harap aku takut dengan golongan mu. Jika
kalian masih bersikeras ingin mencampuri uru-
sanku di sini, jangan salahkan kalau aku terpaksa
harus bertarung dengan kalian!"
"Siluman Ular Putih! Lihatlah keadaanmu
sekarang! Apa kau pikir dengan kepandaianmu
sekarang akan mampu mengatasi keempat orang
pengeroyok mu?" cibir Setan Cantik.
"Dasar manusia-manusia sontoloyo! Pakai
berkhotbah lagi! Lekas, enyah kalian dari hada-
panku! Atau harapan kalian untuk mendapatkan
Kitab Kodok Perak Sakti dari Lembah Kodok Perak
akan hilang he?!" bentak murid Eyang Begawan
Kamasetyo kesal.
"Baiklah! Jika memang betul nasibmu akan
tewas di tempat ini, siapa pun juga tidak akan da-
pat menolongmu. Tapi jika memang peruntungan
mu  masih bagus jangan lupa Kitab Kodok Perak
Sakti yang telah dijanjikan pada kami harus kau
dapatkan!"
Sehabis berkata begitu, Setan Cantik pun
kembali menyimpan pedang ular emasnya ke da-
lam warangka seraya mengibaskan lengan ba-
junya. Melihat isyarat itu, maka tanpa banyak ca-
kap lagi keempat orang adik seperguruan Setan
Cantik pun segera menyimpan pedang ular kem-
bali. Dan mereka segera berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu, mengikuti Setan Cantik yang
telah lebih dulu berkelebat.

Soma hanya menggeleng-geleng. Sepasang
mata birunya terus memperhatikan kelima sosok
gadis berpakaian kuning keemasan di kejauhan
sana. Ketika akhirnya bayangan mereka menghi-
lang di sebuah tikungan depan sana, baru pan-
dangan si pemuda beralih pada empat lelaki yang
tadi mengeroyoknya.

***

"Ha ha ha...! Sungguh tolol! Baru kali ini
kulihat pemuda ada setolol ini.  Kalau saja mau
menerima bantuan kelima orang murid Istana Ular
Emas tadi, mungkin kau masih dapat meninggal-
kan tempat ini dengan selamat. Tapi sekarang,
jangan harap kau dapat selamat dari lubang ke-
matian, Bocah!" ejek Raja Toya dengan tawa berge-
lak.
Soma tersenyum tipis. Meski sadar bahaya
maut masih menghadang di depan mata, tapi si-
kapnya masih ugal-ugalan. Malah kini mulai ber-
siul-siul kecil seenaknya.
"Kalian jangan terlalu jumawa dulu, Orang
Tua! Pemenang dari pertarungan kita belum jelas.
Sebetulnya aku masih ada sedikit urusan di Lem-
bah Kodok Perak. Dan aku pun sudah siap me-
nantikan kedatangan kalian di sana. Tapi seka-
rang ini, lain persoalannya. Hanya gara-gara ka-
lian urusanku jadi kacau. Jika saja aku dapat lo-
los dari kepungan ini, awas! Tunggulah pembala-
sanku nanti!"
"Jangan bermimpi, Bocah! Hari ini adalah
hari kematianmu. Bersiap-siaplah menemui Raja
Akhirat," ancam Iblis Kelabang Merah, angkuh.
Sehabis berkata begitu, Iblis Kelabang Me-
rah cepat menerjang Siluman Ular Putih ganas.

Dua ekor ular merah di tangan kanannya meliuk-
liuk, berusaha mematuk tubuh Soma. Pada saat
yang sama, ketiga orang pengeroyok Siluman Ular
Putih ikut pula menerjang. Bahkan serangan-
serangan mereka kali ini melebihi kehebatan se-
rangan yang pertama. Hebatnya lagi sebelum sem-
pat senjata-senjata di tangan mereka mengenai
sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur angin ke-
ras menyerang tubuh Siluman Ular Putih!
Wesss! Wesss!
Siluman Ular Putih menggerutkan gera-
hamnya kuat-kuat. Disadari betul, sekali saja len-
gah nyawanya lah taruhannya! Maka saat itu pula
Soma mengerahkan segenap kepandaiannya. Sen-
jata pusaka di tangan kanannya bergerak-gerak
menggiriskan. Malah bak sebuah rencong senjata
itu sesekali melesat cepat menyerang para penge-
royoknya. Dan begitu luput dari sasaran, Siluman
Ular Putih pun cepat menangkap kembali senjata
pusakanya yang bisa memutar balik ke tempat
asalnya!
Di samping itu, kedua telapak tangan So-
ma yang telah berubah menjadi putih terang dan
merah menyala hingga ke pangkal, sesekali mele-
paskan pukulan sakti  'Tenaga Inti Bumi' dan
'Tenaga Inti Api'-nya. Namun sayang, berkali-kali
pula serangan balik Siluman Ular Putih dapat di-
mentahkan para pengeroyoknya.
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Bo-
cah! Biar tidak menyesal sebelum bertemu Raja
Akhirat!" ejek Raja Toya.
Siluman Ular Putih menggerutu dalam ha-
ti. Keadaannya kali ini benar-benar sangat
mengkhawatirkan. Gempuran-gempuran keempat
orang pengeroyoknya bukan saja teramat memba-
hayakan bagi keselamatan jiwanya, melainkan ju-

ga cukup menggetar-getaran tanah di sekitar are-
na pertempuran! Daun-daun jati rontok terkena
sambaran angin pukulan! Malah ada beberapa ba-
tang pohon jati yang tumbang, terkena pukulan
nyasar.
Lebih dari itu, pakaian Siluman Ular Putih
pun sudah tampak compang-camping tidak ka-
ruan terkena gebukan-gebukan toya di tangan Ra-
ja Toya maupun tongkat putih di tangan Tengko-
rak Serigala. Belum lagi cemeti ekor sembilan mi-
lik Ki Julung Pucut, dan juga dua ekor ular merah
peliharaan Iblis Kelabang Merah yang tak mungkin
dapat dipandang sebelah mata. Soma yang biasa
bersikap ugal-ugalan kini tampak demikian tegang
menghadapi gempuran-gempuran empat penge-
royoknya.
Sulit rasanya si pemuda keluar dari ke-
pungan keempat orang pengeroyoknya yang telah
mengurung di segenap penjuru angin! Diam-diam
Siluman Ular Putih mengeluh dalam hati. 
Wesss! Wesss!
Namun dalam keadaan terdesak seperti itu,
Siluman Ular Putih jadi nekat. Tak ada pilihan
lain, sehingga terpaksa harus keluar dari kepun-
gan. Dan begitu salah satu serangan hampir me-
nyentuh tubuhnya, cepat dilontarkan nya pukulan
sakti 'Tenaga Inti Bumi' ke arah Raja Toya. Kare-
na, hanya tokoh sesat itu sajalah yang keadaan-
nya kurang menguntungkan.
Seleret sinar putih terang dari telapak tan-
gan kiri Siluman Ular Putih meluruk ke arah tu-
buh tinggi kekar Raja Toya. Dan seperti yang telah
diperhitungkan, Raja Toya pasti akan berkelit
menghindar.
Bersamaan itu, serangan-serangan ketiga
orang tokoh sesat lainnya bertubi-tubi berdatan-

gan. Angin dingin berkesiuran menerpa sekujur
tubuh Siluman Ular Putih, sebelum serangan-
serangan itu mengenai sasaran!
Tanpa banyak pikir panjang lagi, Siluman
Ular Putih segera meloncat tinggi. Begitu di udara,
dilontarkan nya  pukulan sakti 'Tenaga Inti Bumi'
ke arah tiga orang pengeroyok di belakangnya.
Bed! Bed!
Siluman Ular Putih berputaran beberapa
kali di udara. Begitu tubuhnya meluruk, tangan
kanan cepat diraihnya ujung toya di tangan Raja
Toya!
Wuttt...!
Raja Toya terkesiap bukan main. Sungguh
tidak disangka kalau Siluman Ular Putih akan ber-
tindak demikian nekat. Tentu saja toyanya tidak
ingin direbut. Maka dengan gerakan yang sulit di-
terka,  Raja  Toya cepat memutar toyanya sedemi-
kian rupa.
Wettt!
Siluman Ular Putih tersenyum senang.
Memang, itulah yang diinginkannya! Begitu toya di
tangan Raja Toya terlihat berkelebat cepat mema-
pak tubuhnya, kedua lututnya segera ditekuk.
Tap!
"Hup!" 
Wesss! 
Mengagumkan sekali! Dengan gerakan luar
biasa cepat, kedua telapak kaki Soma mampu
mendarat di pangkal toya! Lalu seketika itu pula
Siluman Ular Putih cepat menutulkan kedua tela-
pak kakinya untuk melesat ke belakang.
Sebenarnya apa yang dilakukan Siluman
Ular Putih itu terlalu berbahaya bagi keselama-
tannya. Salah perhitungan sedikit saja, bukan ti-
dak mustahil nyawa akan lenyap.

Manis sekali Siluman Ular Putih mendarat
di tanah. Kedua matanya menatap tajam para
pengeroyoknya yang hanya berdecak kagum.
Semula mereka mengira kalau tubuh Silu-
man Ular Putih bakal terkena gebukan toya di
tangan Raja Toya. Namun, rupanya apa yang di-
perkirakan tidak menjadi kenyataan.
Senyum nakal kini menghias di bibir pe-
muda gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo
itu. Namun, meski demikian diam-diam, ajian pa-
mungkasnya mulai dikerahkan 'Titisan Siluman
Ular Putih'!
Sejenak Siluman Ular Putih mendongak ke
atas. Kedua bibirnya berkemik-kemik, merapal
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'! Selang beberapa
saat, tampak tubuh tinggi kekarnya mulai dipenu-
hi uap putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan
tubuh pemuda gondrong murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu tidak kelihatan sama sekali tertu-
tup uap putih!
Sementara di tempatnya, keempat orang
pengeroyok Siluman Ular Putih masih terpaku.
Sepasang mata mereka tak berkedip melihat apa
yang tengah dilakukan musuh mudanya. Dan be-
lum sempat hilang rasa heran keempat orang pen-
geroyok Siluman Ular Putih itu, mendadak.... 
Ggggeeerrr...!
Bukan main terkejutnya hati keempat to-
koh sesat itu. Apa yang dilihatnya benar-benar
membuat sepasang mata mereka kontan terbeliak.
Tampak dari balik asap putih tipis di hadapan me-
reka terlihat sesosok tubuh panjang berwarna pu-
tih sebesar pohon kelapa! Sepasang matanya ber-
warna merah saga! Kedua taringnya mengerikan.
"Si... Siluman Ular Putih!" desis keempat
tokoh sesat itu penuh kagum.

Sepasang mata merah saga Siluman Ular
Putih memandangi keempat orang musuhnya, seo-
lah-olah sebagai jawaban atas keterkejutan mere-
ka.
Wuttt!
Dan belum sempat ada yang bertindak, ti-
ba-tiba sosok panjang sebesar kelapa itu telah me-
lesat cepat menyerang keempat orang musuhnya!
Kecepatan lesatannya sungguh mengagumkan.
Belum sempat taring-taring Siluman Ular Putih
mengenai sasaran, terlebih dahulu telah berkesiur
angin yang bukan main kencangnya!
Gggeeerrr...! 
"Hup!"
"Hiaaah...!"
Buru-buru keempat orang pengeroyok Si-
luman Ular Putih melempar tubuh masing-masing
ke kanan dan kiri, sehingga, selamatlah mereka
dari terkaman ular raksasa itu.
Begitu serangan pertama tidak membawa
hasil, Siluman Ular Putih cepat mengibaskan
ekornya ketika keempat pengeroyoknya baru saja
bangkit. Sekali lagi, tanpa banyak pikir panjang
para tokoh sesat itu kembali melempar tubuh
masing-masing ke kanan dan kiri.
Buk!
Terdengar suara yang keras bukan main
sewaktu tubuh sosok panjang Siluman Ular Putih
mendarat di tanah. Dan seketika itu juga di seki-
tar arena pertempuran bergetar hebat! Debu-debu
beterbangan memenuhi tempat itu.
Untuk sementara waktu, keempat orang
tokoh sesat itu cukup aman dari bahaya maut.
Dan kini mereka saling berpandangan, seolah ten-
gah menyusun rencana lewat tatapan mata untuk
dapat menundukkan Siluman Ular Putih.

"Hiaaa...!" 
"Shaaa...!"
Begitu mendapat kata sepakat, maka
Tengkorak Serigala dan Ki Julung Pucut menye-
rang dari arah depan. Sedang Raja Toya dan Iblis
Kelabang Merah segera menyerang dari belakang.
Bahkan untuk mempertajam serangan, Iblis Kela-
bang Merah telah menyimpan kembali kedua ekor
ular merahnya ke balik saku jubahnya, dan cepat
mengeluarkan pedang merah dari balik punggung.
Lalu seketika itu pula pedangnya digerakkan bebe-
rapa kali ke tubuh Siluman Ular Putih! Sementara
pada saat yang sama toya milik Raja Toya pun
menderu dahsyat. Dan 
Crakk! Crakkk!
Bukkk! Bukkk!
Dua kali pedang Iblis Kelabang Merah dan
toya Raja Toya tepat mengenai tubuh Siluman
Ular Putih. Namun anehnya senjata mereka seper-
ti membentur lempengan baja yang kuat bukan
main! Bahkan telapak tangan kedua orang itu te-
rasa kesemutan!
"Setan Alas! Ternyata ular jahanam ini
kebal senjata tajam!" gerutu Iblis Kelabang Merah
penuh keterkejutan.
"Heaaa...!
Crak! Crak!
Sehabis berkata begitu, Iblis Kelabang Me-
rah pun kembali membacokkan pedangnya bebe-
rapa kali ke tubuh Siluman Ular Putih, hasilnya
tetap sama saja. Jangankan dapat membabat bun-
tung, untuk melukai kulit tubuh Siluman Ular Pu-
tih saja tak mampu.
"Jahanam! Benar-benar jahanam! Ternyata
tubuhnya kebal senjata tajam. Ah...! Bagaimana
ini?" keluh Iblis Kelabang Merah, nyaris putus asa.

"Coba kalian serang dengan pukulan-
pukulan maut! Sementara itu, aku dan Tengkorak
Serigala akan mencoba mencari letak kelemahan-
nya!" teriak Ki Julung Pucut lantang.
"Baik!" sahut Raja Toya dan Iblis Kelabang
Merah hampir bersamaan.
Maka tanpa banyak cakap lagi, kedua
orang itu pun segera mengerahkan pukulan-
pukulan maut. Kini, kedua tangan Raja Toya mu-
lai berubah menjadi hitam legam sampai ke pang-
kal. Sedang kedua telapak tangan Iblis Kelabang
Merah telah berubah menjadi merah darah penuh
racun-racun keji kelabang merah!
"Nih, makanlah pukulan maut  ku  Racun
Kelabang Merah! Heaaa...!" teriak Iblis Kelabang
Merah garang, sambil menghentakkan kedua tan-
gannya.
Seketika itu, seleret sinar merah menyala
dari kedua telapak tangan Iblis Kelabang Merah
melabrak sosok tubuh memanjang Siluman Ular
Putih. Bersamaan itu, Raja Toya pun telah melon-
tarkan pukulan mautnya 'Gelap Sekati'!
Wesss! Wesss!
Bukkk! Bukkk!
"Grrhhh...!"
Siluman Ular Putih meraung hebat. Tu-
buhnya terpental beberapa tombak ke samping.
Debu-debu beterbangan menutupi sosok panjang-
nya. Ditempatnya Raja Toya dan Iblis Kelabang
Merah tertawa-tawa senang melihat hasil pukulan
mereka tadi.
"Graghhh...!"
"Heh?"
Namun mendadak terdengar gerengan he-
bat Siluman Ular Putih. Seketika itu juga Raja
Toya dan Iblis Kelabang Merah menghentikan sua-

ra tawa, melihat sosok Siluman Ular Putih masih
utuh seperti semula! Sedikit pun kulit tubuhnya
tidak mengalami kekurangan satu apa.
"Ah...! Tak mungkin! Tak mungkin tubuh-
nya kebal terhadap pukulan 'Gelap Sekati'-ku!" te-
riak Raja Toya tak percaya. Padahal tadi telah di-
bayangkan kalau tubuh Siluman Ular Putih akan
hancur berkeping-keping. Tapi, apa yang dilihat-
nya kali ini benar-benar membuat matanya terbe-
lalak lebar! Seketika itu juga nyali Raja Toya lu-
mer!
"Ah...! Bagaimana ini? Sungguh aku tidak
mengerti, mengapa pukulan 'Racun Kelabang Me-
rah' tidak berpengaruh sama sekali! Padahal tadi
aku telah kerahkan sepenuhnya tenaga dalamku!"
desis Iblis Kelabang Merah, tak kalah herannya
dengan Raja Toya.
Walaupun belum sempat mengerahkan
ajian, namun tak urung Ki Julung Pucut dan
Tengkorak Serigala sampai terlonjak dari tempat-
nya berdiri saking herannya. Apalagi ketika meli-
hat sepasang mata Siluman Ular Putih mencorong
beringasan ke arah empat orang pengeroyoknya.
Mereka benar-benar tak habis pikir.
"Hm...! Tak mungkin sekujur tubuh Silu-
man Ular Putih ini kebal terhadap senjata tajam
maupun pukulan maut. Pasti ada kelemahannya!"
gumam Tengkorak Serigala seraya dengan kening
berkerut dalam. "Hm...! Mungkin letak kelemahan
Siluman Ular Putih adalah sepasang matanya."
Sehabis berpikir demikian, Tengkorak Seri-
gala menoleh ke arah teman-temannya.     
"Mari kita serang matanya, Kawan-kawan!
Barangkali itulah letak kelemahannya!"
"Hm...! Bisa jadi! Sebab, orang yang paling
sakti sekalipun tak mungkin bisa melindungi ba-

gian matanya," sahut Ki Julung Pucut.
"Ya..., itu kalau manusia. Tapi yang sedang
kita hadapi ini kan ular!" sergah Ki Julung Pucut,
kurang sependapat.
"Meski demikian, bagaimanapun juga Si-
luman Ular Putih adalah jelmaan kunyuk gon-
drong itu tadi!" sahut Ki Julung Pucut tidak mau
kalah.
"Sudahlah! Aku kira tidak ada jeleknya ka-
lau mencoba menyerang bagian mata. Hayo lekas
bertindak! Mumpung ular jejadian itu belum me-
nyerang!" kata Raja Toya melerai.
Mendengar perdebatan, Siluman Ular Putih
hanya menggereng beberapa kali. Suaranya cukup
membuat nyali keempat orang musuhnya tergetar.
Juga membuat tanah di sekitar pertempuran ber-
getar! Dan layaknya seorang manusia saja ular
raksasa itu tiba-tiba mendahului menyerang. Ke-
dua taringnya tampak demikian menggiriskan.
Sementara kibasan-kibasan ekor pun makin cepat
luar biasa.
Keempat orang tokoh sesat itu kontan ko-
car-kacir. Namun hal itu berlangsung tidak lama.
Kini dengan senjata di tangan, keempat penge-
royok itu mulai melancarkan serangan. Raja Toya
dan Iblis Kelabang Merah masih menyerang bagian
belakang. Sedang Tengkorak Serigala dan Ki Ju-
lung Pucut tetap menyerang bagian depan. Namun
mereka sama-sama mengincar sepasang mata Si-
luman Ular Putih.
Weesss! Weesss! 
Cemeti panjang berekor sembilan di tangan
Ki Julung Pucut meliuk-liuk mengerikan di depan
mata Siluman Ular Putih. Beberapa kali ular rak-
sasa jelmaan Soma itu mengeluarkan gerengan se-
raya menangkis dengan bagian belakang kepa-

lanya.
Wesss!
Kali ini cemeti panjang berekor sembilan di
tangan Ki Julung Pucut bergerak meliuk demikian
cepat, begitu salah satu ujungnya tertangkis kepa-
la bagian belakang Siluman Ular Putih. Sasaran-
nya adalah sepasang mata Siluman Ular Putih!
"Graghhrr...!"
Siluman Ular Putih menggereng setinggi
langit, membuat tanah di sekitar arena pertempu-
ran bergetar hebat!
Namun belum sempat dua ujung cemeti di
tangan Ki Julung Pucut mengenai sasaran, tiba-
tiba....
Wesss! Pletak!
Uap putih tebal tahu-tahu menutupi seku-
jur tubuh Siluman Ular Putih. Bersamaan dengan
itu dua ujung cemeti di tangan Ki Julung Pucut
terpental ke belakang, begitu membentur uap pu-
tih tebal yang menyelimuti Siluman Ular Putih!
"Heh...?!"
Ki Julung Pucut melongo, heran dengan
kejadian di depan matanya. Sementara itu uap pu-
tih tebal semakin menyelimuti tubuh Siluman Ular
Putih. Di lain tempat ketiga orang tokoh sesat
lainnya hanya berdiri terkesima.
"Ah...! Ilmu apa lagi yang akan dikeluarkan
Kunyuk Gondrong itu?" desis Ki Julung Pucut.
Sepasang mata lelaki ini tak berkedip me-
mandangi uap putih tebal di depannya. Dan belum
sempat hilang keterkejutannya, mendadak samar-
samar sepasang matanya melihat sesosok pemuda
berambut gondrong dengan pakaian rompi dan ce-
lana bersisik warna putih keperakan tengah men-
gurut-urut belakang kepalanya. Mungkin akibat
terkena cambukan cemeti di tangan Ki Julung Pu-

cut tadi! Wajahnya pun tampak pucat pasi. Di su-
dut-sudut bibirnya tampak darah segar mengalir
keluar! Sosok yang tak lain Soma ini tampak mulai
kepayahan.
Diam-diam Ki Julung Pucut dan ketiga
orang temannya merasa girang, karena kemenan-
gan hampir di depan mata.
"Heaaa...!"
Maka disertai teriakan menggelegar keem-
pat orang itu serentak menyerang Siluman Ular
Putih.
Siluman Ular Putih melihat serangan
keempat pengeroyoknya dengan sepasang mata
membelalak lebar. Parasnya terlihat makin pias!
Pemuda ini telah benar-benar parah. Segalanya
kini diserahkan pada Yang Maha Tunggal. Apalagi,
memang sulit rasanya menghindar.
Slap!
Tras! Trak! Trang! Plak! 
Namun di saat yang mengkhawatirkan bagi
Soma, seleret sinar putih yang entah datang dari
mana tahu-tahu telah menangkis keempat senjata
di tangan para tokoh sesat itu.
Empat senjata di tangan para pengeroyok
Siluman Ular Putih berpentalan ke belakang den-
gan tubuh tergetar hebat! Namun untungnya me-
reka masih dapat mempertahankan senjata mas-
ing-masing. Sehingga, tidak sampai  terlepas dari
genggamannya.
"Manusia-manusia Laknat! Tiada jemu juga
kalian menebar dosa di muka bumi ini!"
"Kau...! Siapa kau? Mengapa berani main
gila di hadapan kami?!" bentak Iblis Kelabang Me-
rah.
Sepasang mata lelaki ini menatap liar so-
sok tinggi kurus yang kini telah berdiri tegak tak

jauh dari tempat pertempuran! Ketiga temannya
pun terkesiap kaget dengan mata terbelalak.

***