roro centil 2 - 3 Paderi Pemetik Bunga(2)







laut, yang meminta perlindungan pada
Wira Pati. Tentu saja Wira Pati yang
masih menjabat Tumenggung itu, tak
menolaknya. Karena di samping Daeng
punya banyak harta benda hasil
rampokan, juga seorang yang royal.
Bagi Wira Pati, menyembunyikan seorang
penjahat, yang banyak menguntungkan
adalah kesempatan baik yang tak boleh
disia-siakan. Demikianlah... hingga
beberapa tahun kemudian, ketika Wira
Pati naik pangkat menjadi Senapati,
Daeng telah diangkat menjadi Bupati
dengan izinnya, yaitu untuk mengisi
kekosongan Gedung Bupati lama di
daerah wilayah Kadipaten Karang
Sembung. Karena dengan kematian
mendadak sang bupati lama itu.
Hubungan baik sang Bupati yang
bergelar Ki Ageng Panuluh itu dengan
si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis,
ternyata berkisar antara perampokan

dan pemerkosaan. Yang dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Karena si Tiga
Paderi itu adalah sebenarnya paderi
samaran yang dalam pelarian. Ternyata
Kuti telah berhasil merebut sebuah
kitab Pusaka dari Biara Welas Asih di
lereng Gunung Wilis.
Kitab pusaka itu adalah kitab
titipan seseorang bernama Gurnamh
Singh, seorang dari Nepal. Kuti
sendiri adalah seorang keturunan
Nepal.
Setelah merampas kitab itu dari
tangan paderi-paderi Biara Welas Asih,
mereka melarikan diri, hingga tiba di
kawasan Kadipaten Karang Sembung. Di
sini ia menyamar sebagai tiga orang
paderi.
Demikianlah... kedatangan mereka
menemui Daeng Panuluh beberapa hari
yang lalu, adalah untuk merundingkan
sesuatu dengan pekerjaan jahat yang
mereka lakukan dengan sembunyi-
sembunyi. Sekalian melaporkan tentang
munculnya tokoh persilatan Pendekar
Wanita Roro Centil pada sang Bupati
Daeng Panuluh. Ternyata di sana
mereka, telah mendengar kericuhan
dengan munculnya seorang pemuda
berbaju putih, yang diam-diam telah
menyelidiki ulah tingkah sang Bupati.
Pemuda itu cuma memberikan ancaman
saja, lalu menghilang.
Oleh sebab itu kedua paderi Kebo

Ireng dan Lembu Alas sengaja
diperintahkan sang bupati Daeng untuk
menjaga Gedungnya. Dikhawatirkan ada
sesuatu yang bakal terjadi di luar
dugaan. Sementara Kuti kembali
beroperasi.
Ternyata Kuti mengambil
keuntungan lain dari pekarjaan jahat,
atas kerja sama dengan Daeng. Yaitu
memperkosa wanita untuk kepentingan
kepuasan nafsu bejatnya. Juga karena
ia mempelajari suatu ilmu aneh dari
Kitab Pusaka yang dicurinya. Rambut
aslinya memang telah dicukur gundul,
dalam rangka penyamarannya. Tapi ia
mempergunakan rambut palsu, dan
menggunakan topeng, ketika melakukan
kejahatan.
Demikianlah... dua hari yang
lalu ketika ia beroperasi sendiri, ia
berhasil menculik seorang gadis dari
satu keluarga yang cukup berada.
Terpaksa ia membunuh ayah gadis itu,
serta beberapa orang pengawal gedung.
Dan melarikan diri di tengah malam
buta. Tentu saja tak lupa menguras
harta benda si pemilik gedung.
Namun ia telah dikejar oleh
seseorang, hingga terjadi pertarungan.
Dengan menggunakan kelicikannya
menyandra gadis itu, ia berhasil
melarikan diri.
Lalu sembunyi di sebuah makam
kuno. Di sana ia bebas berbuat

semuanya. Karena makam kuno itu adalah
peninggalan dari Kerajaan, yang banyak
terdapat lubang rahasia. Di bawah
makam ternyata ada sebuah lubang yang
menuju ke ruangan rahasia di bawah
tanah. Di sanalah ia melampiaskan
nafsu bejatnya. Di samping mempelajari
ilmu sesat dari Kitab Ular yang
dirampasnya.
Sementara si laki-laki berbaju
putih yang mengejarnya, telah
kehilangan jejak. Ternyata laki-laki
berbaju putih itu Ginanjar adanya.
Yaitu murid si Pendekar Bayangan Ki
Bayu Seta. Tanpa sengaja Ginanjar
dapat berjumpa dengan Roro Centil,
yang menyamar sebagai seorang pemuda
berwajah pucat. Tentu saja hal itu
membuat mereka jadi amat bergirang
hati. Terlebih-lebih pemuda itu.
Karena memang Ginanjar telah memenuhi
undangan Roro Centil untuk datang pada
tahun ini, sejak pertemuannya setahun
belakangan. Tujuannya ke Pantai
Selatan, jadi tertunda, karena ia
terlibat dalam penyelidikan kejadian-
kejadian di wilayah Kadipaten Karang
Sembung.
Lenyapnya si paderi palsu di
makam kuno, membuat Roro Centil
berhasrat untuk menyelidiki. Hingga ia
berhasil menjebak Kuti keluar dari
tempat persebunyiannya. Roro memang
berotak cerdas, walaupun terkadang

suka kumat penyakit ugal-ugalannya,
yang disebabkan ia pernah cidera pada
bagian kepalanya terkena terjangan
kaki-kaki kuda pada usia kanak-
kanaknya. Dan ditambah gemblengan
keras dari Gurunya si Manusia Aneh
Pantai Selatan alias si manusia Banci.
Sehingga Roro berwatak aneh. Yang
terkadang orang sulit menerkanya.
Suara-suara rintihan di malam
gelap, di dalam makam yang banyak
berjajar kuburan-kuburan lama itu,
bukannya membuat Roro jadi takut.
Bahkan semakin penasaran untuk
mengetahui setan apakah yang berada di
situ, untuk menakut-nakuti orang.
Terpaksa ia mendekam di sisi makam,
dengan memandang tajam ke arah setiap
tempat. Kembali terdengar suara
rintihan yang terkadang samar-samar,
namun terkadang agak keras. Walaupun
bulu kuduk Roro Centil agak bergidik
seram, tetap penasaran. Dan mendekari
suara yang samar-samar itu, dengan
beringsut perlahan. Akhirnya ia
mengetahui suara itu berasal dari
dalam gundukan kuburan yang cungkupnya
terbuat dari batu.
"Tak mungkin orang yang sudah
mati masih bisa menangis, atau
merintih...! Pasti ada orang di dalam.
Atau mungkin juga di sinilah sarang
tempat sembunyi si paderi gila
itu...!". Desis Roro dengan suara

perlahan. Entah mengapa Roro amat
yakin akan adanya lubang rahasia di
makam itu. Segera ia meraba-raba.
Seperti mencari sesuatu yang dapat
memungkinkan adanya lubang pintu masuk
ke dalam kuburan.
Namun tak dijumpainya. Akhirnya
Roro dapat akal. Segera saja ia
tempelkan telapak tangannya pada batu
sungkup kuburan  itu. Dan alirkan
tenaga dalamnya yang berhawa panas.
Hingga batu sungkup kuburan itu tampak
kepulkan asap tipis.
Sementara itu di dalam ruangan
bawah tanah, Kuti mengumbar nafsu
buasnya... Ternyata di samping
mempraktekkan ilmu sesatnya, Kuti juga
seorang yang amat sadis. Wanita
korbannya telah disiksanya terlebih
dulu. Yaitu dengan mengigiti sekujur
tubuh sang korban hingga luka-luka.
Tentu saja bagaikan seekor kambing
yang mau disembelih, sang korban
merintih kesakitan. Tubuh yang telah
ditotoknya itu cuma bisa menggeliat-
geliat menahan sakit yang amat sangat.
Hal mana ternyata ia turuti dari dalam
Kitab Ular itu. Wanita itu ternyata
bukan wanita biasa, karena ia juga
memiliki kepandaian ilmu silat, dan
bertenaga dalam cukup baik. Hal itulah
yang membuat  Kuti gembira. Karena
menurut Kitab Ular yang akan menambah
tenaga dalam orang yang mempraktek-

kannya, adalah diutamakan wanita itu
gadis yang memiliki tenaga dalam.
Selesai menyiksanya dengan gigitan-
gigitan di sekujur tubuh gadis itu,
Kuti segera mencekoknya dengan pel
ramuan yang dibawanya dari Nepal. Pel
perangsang, yang punya pengaruh luar
biasa. Hingga tak lama berselang,
terjadilah perubahan-perubahan pada
sikap sang korban.
Di malam yang lengang dan
menyeramkan itu, seperti ada hawa aneh
yang membuat  seekor serigala buas,
harus tunduk pada seekor kambing... Di
mana sang kambing seperti kerasukan
setan menerkam sang serigala dan
melumatnya dengan lahap.... Napasnya
tampak tinggal satu-satu. Sepasang
matanya kian meredup. Akhirnya tubuh
yang telah tak bertenaga itu, diam tak
bergeming lagi.
Sementara cuaca malam semakin
mencekam. Beberapa ekor kelelawar yang
lewat membuat Roro cukup terkejut.
Batu sungkup kuburan itu telah berubah
menjadi panas. Dan rumput-rumput serta
lumut yang tumbuh di batu itu seketika
menjadi kering.
Sekonyong-konyong Kuti rasakan
udara di dalam ruangan bawah tanah itu
menjadi panas. Ia sudah balikkan
tubuhnya yang rebah tertelungkup.
Sementara ia menyeka peluhnya, laki-
laki bertubuh jangkung ini merasa

perlu membuka lubang hawa di atas
langit-langit ruangan. Segera ia sudah
sambar jubahnya, dan beranjak dari
pembaringan. Gerakannya telah berubah
menjadi ringan. Dan hal itu memang
selalu bertambah setiap ia
mempraktekkan ajaran pada Kitab Ular
itu. Ia sudah segera gerakkan kaki
menuju tangga batu ke atas. Hawa panas
itu membuat ia berkeringat, dan ia
perlukan hawa segar yang masuk. Sesaat
kemudian lengannya telah bergerak,
memutar sebuah batu persegi. Dan
segera saja sungkup batu di atasnya
terbuka. Ia melongok sejenak keluar
untuk  menghirup udara segar. Akan
tetapi Kuti jadi terkejut, karena di
samping batu kuburan telah tergolek
sesosok tubuh.
"Aih...!? Seorang wanita ...!".
Desisnya dengan suara tertahan. Dari
keremangan cahaya bulan yang sudah
tersembul di balik dedaunan, jelas
tidak salah apa yang telah dilihatnya.
Kuti berfikir cepat. Sebelah lengannya
telah bergerak cepat untuk menotoknya.
Hingga amanlah ia dari kekhawatiran.
Selanjutnya tanpa ayal lagi, ia
sudah pondong tubuh wanita itu
memasuki ruangan di bawah tanah,
dengan menuruni anak tangga dari batu.
Dan sekejap ia sudah baringkan
tubuh itu di pembaringan. Sepasang
matanya menatap tajam pada sosok tubuh

yang baru di bawanya itu, dan dengan
liar pandangannya merayapi sekujur
tubuh itu.
Wajahnya pun segera tampilkan
senyuman menyeringai. Terdengar desis
suaranya seperti berbisik...
"Bagus...! Pucuk dicinta, ulam
pun tiba...! He he he... tak susah-
susah aku mencarinya. Ternyata si
Pendekar Wanita itu telah antarkan
dirinya padaku ...!". Akan tetapi
memandang pada sosok tubuh wanita
korbannya di pembaringan itu, Kuti
jadi mendengus.
"Heh...! Gadis ini sudah tak
berguna. Biarlah ia berkubur di sini!
Aku perlu ganti suasana...!". Gumam
Kuti. Pada saat itu terdengar suara
teriakan dari atas ruangan.
"Heiii...! Paderi Palsu...!
Keluarlah kau ...!" Kiranya yang
berteriak adalah Ginanjar. Yang telah
mencari Roro, dan menduganya pergi ke
makam kuno ini.
Ginanjar memang belum mengetahui
adanya ruangan di bawah tanah itu. Ia
berteriak dari sisi makam. Apa lagi
pemuda ini memang seorang yang paling
takut dengan hantu. Hingga ia
berteriak dari sisi makam saja. Karena
ia tak melihat adanya Roro Centil,
sengaja ia mencoba berteriak. Dengan
harapan siapa tahu, si penculik gadis
itu dapat dijumpai, dan keluar dari

tempat persembunyiannya.
Tentu saja hal itu membuat Kuti
jadi terkesiap. Segera ia telah
pondong tubuh Roro. Dan dengan
kebingungan, ia mencari jalan lain
untuk keluar dari ruangan bawah tanah
itu. Beruntung ia menjumpainya. Dan
segera saja bergerak memasuki lorong
gelap, yang tersembunyi itu. Obor
kecil penerang kamar itu telah
dimatikannya terlebih dulu.
Demikianlah, Kuti berhasil
keluar dari makam kuno itu dengan
melalui jalan rahasia. Dan menyembul
di luar makam. Dari sana ia segera
berkelebat cepat untuk segera pergi
menuju ke arah Gedung kuno, tempat
tinggalnya selama ini.
Di kamar tertutup gedung kuno
itu, Kuti sudah segera akan lakukan
penyiksaan terhadap Roro. Akan tetapi
ia batalkan, karena ia amat menyayangi
kemontokan tubuh si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Sayang ia tak berhasil
mencapai maksudnya, karena Roro
memakai benda dari lapisan baja yang
sukar dibukanya. Sepasang kaki Roro
seperti sepasang kaki area batu, yang
sukar disingkirkan. Hingga terpaksa
Kuti kembali menotoknya. Dan diting-
galkannya tubuh gadis pendekar Wanita
itu. Ia bermaksud menghubungi kedua
adiknya. Pada saat Kuti pergi, ia
berpesan pada seorang kacung tua

bernama Tonga, agar menjaga kamarnya.
Kacung tua itu adalah seorang laki-
laki berperawakan kecil. Dengan muka
lancip, dan tulang pelipis menonjol
keluar. Berbicara dengan kacung itu,
Kuti hanya memakai bahasa isyarat,
karena si kacung itu seorang yang tuna
wicara alias gagu.
Selesai berpesan, Kuti beranjak
pergi dengan cepat. Namun pada saat
itu Roro Centil telah gerakkan
tubuhnya melepaskan totokan. Dan
sesuatu yang amat berharga, ternyata
telah tertinggal di bawah kasur
pembaringan Kuti. Yaitu Kitab Ular.
Roro Centil segera membenahi
pakaiannya, dan benahi pula kitab yang
ditemukannya itu. Lalu masukkan dalam
buntalannya. Selanjutnya ia telah
keluar dari kamar itu dengan melalui
jendela, dan berkelebat cepat
tinggalkan gedung itu.
Tapi di belakang gedung yang
dilewatinya, ia bertabrakan dengan si
Kacung tua Tonga yang gagu itu, hingga
buntalannya terlepas.
Terkejut Roro Centil ketika
tahu-tahu dengan gerakan cepat, si
kacung gagu itu telah menyambar
buntalan pakaiannya. Dan selanjutnya
dibawa kabur. Serentak Roro sudah
mengejarnya dengan keluarkan bentakan;
"He!? Kunyuk tua...! Kembalikan
buntalanku...!". Teriak Roro seraya

mengejar. Ternyata si kacung gagu itu
punya gerakan cepat dan lincah.
Larinya tidak menuju ke satu arah,
akan tetapi berkelebatan dengan
berputar-putar, seperti mengajak Roro
main kucing-kucingan. Pada sebuah
tikungan si laki-laki bertubuh kecil
kurus itu menghilang.

4

RORO Centil membentak keras
"Awas kau, monyet tua...! Kalau
berhasil kutangkap jangan salahkan aku
kalau kuberbuat kejam ...!". Tiba-tiba
melayang sebuah benda ke arah Roro.
Dengan cepat si Pendekat Wanita ini
menyambuti. Ternyata adalah buntalan
pakaiannya.
Terlihat bayangan si kacung tua
itu kembali berkelebat dari balik
semak, lalu sekejap telah menghilang.
Roro Centil tak berusaha mengejarnya,
akan tetapi memeriksa isi buntalannya.
Terkejut Roro, karena Kitab Pusaka
berkulit ular yang diselipkan di dalam
buntalan itu telah lenyap.
"Setan alas...!" Memaki Roro.
Seraya berkelebat mengejar ke arah si
kacung tua itu melarikan diri. Sengaja
Roro Centil mengambil arah yang bukan
jurusannya, ternyata membawa hasil
memuaskan. Justru si pancuri kitab itu
telah kelihatan oleh Roro. Bagus...!

Biarlah! Ingin kutahu, ke mana
gerangan ia akan pergi... berkata
dalam hati. Segera dia sembunyi dan
mengintai 
Sementara kacung gagu itu tampak
tersenyum-senyum sendiri sambil ber-
siul-siul. Tiba-tiba terdengar
suaranya;
"He he he... akhirnya kudapatkan
juga Kitab Ular ini. Kalau aku tak
kebetulan mengintip ke dalam kamar,
tak kuketahui kalau si paderi palsu
bernama Kuti itu meninggalkan Kitab
rampasannya yang sedang dibenahi si
wanita tawanannya. Akhirnya kesaba-
ranku membawa hasil memuaskan...!".
Seraya berkata laki-laki itu sudah
kembali bersiul-siul dengan senang.
Dan melangkah seenaknya. Namun selang
tak lama, ia telah berkelebat cepat.
Dan yang dituju adalah arah makam
Kuno.
Terkejut Roro Centil mengetahui
kalau si kacung gagu itu  ternyata
dapat berbicara. Ternyata manusia itu
hanya berpura-pura gagu saja, dan
telah lama mengincar Kitab di tangan
Kuti. Entah dengan akal bagaimana
hingga ia bisa menjadi kacung di
Gedung Kuno itu. Dan berpura-pura
menjadi seorang kacung tua yang gagu
dan kelihatan tolol.
Roro cepat mengejar, dan terus
membuntuti. Akhirnya ia mengetahui

kalau si kacung bernama Tonga itu
mempunyai tempat sembunyi di lubang
rahasia di dalam kuburan ...
Ternyata Roro tidak terus
mengejar. Tapi setelah mengingatkan
tempat  itu, ia segera berkelebat
pergi. Biarlah…! Kelak kita merebutnya
lagi. Yang penting aku telah
mengetahui tempat pesembunyiannya.
Berfikir Roro dalam benaknya, seraya
meneruskan berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Demikianlah hingga Roro muncul
lagi di saat  terjadi pertarungan
antara kedua wanita, si wanita
bertongkat Naga dan muridnya yang
berbaju merah, dengan si ketiga paderi
palsu.
Ternyata Roro Centil telah
bersahabat dengan gadis baju merah
itu. Bahkan sudah beberapa hari mereka
tidur di penginapan satu kamar.
Demikianlah kisah belakangan
ini, hingga ketika Kuti kembali ke
Gedung Kuno itu, Roro Centil telah
bebas kembali.
"Kita harus cari tempat sembunyi
yang aman. Dan mengenai Kitab itu,
biarlah urusanku untuk merampasnya
kembali...!" Berkata Kuti pada  kedua
adiknya.
Kebo Ireng dan Lembu Alas cuma
bisa mengangguk. Akan tetapi diam-diam
mereka agak mendongkol pada sang

kakak, yang mempelajari isi kitab
pusaka itu tanpa mengikutsertakan
mereka. Bahkan menjamahpun mereka
tidak pernah.
Sementara itu Roro Centil
dipenginapan telah menceritakan pada
si Tongkat Seribu Racun mengenai Kitab
Ular itu. Tentu saja membuat si wanita
tua itu menjadi kecewa. Akan tetapi
juga bergirang hati, karena benda itu
sudah berpindah tangan dari si tiga
manusia yang dibencinya. Walau ia
tetap berniat untuk merebut kembali
kitab itu. Sayang si wanita tak mau
menceritakan tentang isi kitab itu
pada Roro, sehingga Roro Centil tak
banyak bertanya apa-apa.
Memang Roro pernah membuka isi
kitab itu, tapi tak mengerti akan
tulisannya. Karena huruf-hurufnya amat
asing baginya.
Menjelang pagi, Roro Centil
mohon diri untuk menemui Sentanu, si
laki-laki penunggang kuda. Ternyata
gadis berbaju merah yang bernama Roro
Dampit itu, ingin turut serta. Roro
tak dapat menolaknya. Sementara sang
guru si gadis baju merah cuma
mengangguk memberi izin.
Tak berapa lama keduanya segera
berangkat. Tampaknya kedua gadis itu
amat akrab. Memang Roro Dampit merasa
simpati pada Roro Centil. Di samping
nama depan mereka yang sama ...

Keadaan di rumah kediaman
Sentanu ternyata tengah berduka cita.
Karena sang wanita tua yang malang itu
telah meninggal dunia. Akibat tekanan
perasaan yang luar biasa. Penguburan
jenazah ibunya baru saja selesai pagi
tadi.
Beberapa orang yang telah
berdatangan menyampaikan rasa duka
cita, telah kembali pulang. Kini
tinggal Sentanu seorang diri di rumah
tua peninggalan orang tuanya. Saat
itulah Roro Centil dan si gadis baju
merah memasuki halaman rumah laki-laki
itu. Tentu saja membuat Sentanu jadi
melengak. Segera ia telah mengenali si
wanita Pendekar Pantai Selatan ini,
dan berdiri menyambutnya. Roro Centil
segera memperkenalkan laki-laki itu
pada si gadis baju merah, Roro Dampit.
Lama mereka berbincang-bincang. Roro
pun mengisahkan tentang penyelidik-
kannya. Yang sudah menemui titik-titik
terang, yaitu adanya tiga orang paderi
yang pernah mau membunuh Sentanu itu,
telah dicurigai Roro Centil. Namun ia
masih perlu mencari data-data lain
yang lebih kuat.
"Aku turut berduka cita atas
meninggalnya ibumu, sobat Sentanu...!
Semoga kau dapat menguatkan imanmu,
karena semua manusia toh pada akhirnya
akan mati. Dan kematian itu adalah
wajar, karena semua manusia sebenarnya

telah ditakdirkan hidup-matinya..."
Berkata Roro Centil, menghibur laki-
laki itu dari kesedihannya. Laki-laki
tampak berkumis kecil itu cuma
tersenyum tawar, walau sebenarnya
hatinya remuk redam. Karena kematian
ibunya justru akibat tekanan perasaan
karena orang tua itu tak kuat
mendengar cemooh kiri dan kanan. Apa
lagi tuduhan demi tuduhan pada
Sentanu. Membuat wanita tua itu
semakin menderita korban perasaan,
walaupun ia mengetahui tak mungkin
anak laki-lakinya berbuat sekeji itu.
Segala perasaan itu dipendam orang tua
yang malang itu, hingga ia jatuh
sakit.
Dan wafat dalam keadaan
menderita kepedihan hati yang terus-
menerus. Semua kematian itu memang
takdir, akan tetapi siapa yang tak
akan berduka melihat penderitaan orang
tua yang amat dicintainya? Semua itu
adalah akibat fitnahan keji!
Sementara diam-diam Roro Dampit
agak memperhatikan laki-laki gagah
itu. Entah mengapa di hati gadis itu
ada timbul semacam perasaan aneh.
Seolah ia turut merasakan kesedihan
Sentanu...
Selang tak berapa lama Roro
Centil pun mohon diri. Sejenak si
gadis baju merah melirik pada laki-
laki itu yang kebetulan Sentanu pun

tengah melihat padanya. Kedua  pasang
mata pun saling beradu menatap. Namun
cepat-cepat Roro Dampit menundukkan
wajah. Dan tiba-tiba saja hatinya jadi
berdebaran secara aneh. Ketika tubuh
kedua gadis itu telah tak kelihatan
lagi, Sentanu mengeluarkan kudanya.
Dan sekejap telah melompat ke punggung
kuda. Untuk selanjutnya memacunya
pergi entah menuju ke mana ...
Matahari telah semakin tinggi,
dengan panasnya yang amat terik,
membuat setiap tubuh akan merasa
kegerahan, dan keluarkan keringat.
Penginapan yang di bagian bawahnya
adalah sebuah restoran kecil, tampak
hari itu ramai dikunjungi orang. Akan
tetapi tanpa menoleh ke kiri dan ke
kanan, seorang wanita tua, telah
keluar dari rumah penginapan itu. Dan
berjalan dengan cepat, seperti ada
suatu keperluan yang amat penting.
Kepergian wanita tua itu
ternyata telah dibuntuti oleh tiga
orang laki-laki yang memakai tudung.
Yang tadi terlihat duduk di meja rumah
makan. Tentu saja tak ada yang curiga,
karena masing-masing sibuk dengan
urusannya. Namun seorang pemuda diam-
diam telah keluar pula dari penginapan
itu. Kiranya si wanita tua itu adalah
gurunya si wanita berbaju merah, yaitu
si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya
berkelebat cepat, ketika tiba di

tempat yang sepi. Yang ditujunya
adalah ke tempat penguburan jenazah
yang sudah tak pernah digunakan, yaitu
Makam Kuno. Tapi belum lagi ia tiba di
tempat tujuan, yang kira-kira pada
jarak dua puluh tombak lagi, tiga
sosok tubuh yang membuntutinya telah
menghadang. Kiranya ketiga orang
bertudung itu mengambil jalan memutar.
"Ha ha ha... berhenti dulu,
perempuan tua...! Kamu pasti telah
memiliki Kitab Ular itu dari si Roro
Centil. Serahkan kembali kitab pusaka
itu pada kami! Kalau kau berani
membangkang, tahu sendiri
akibatnya...!". Teriak salah seorang.
Sementara ia sudah melepas topi
tudungnya. Yang segera saja diikuti
oleh kedua orang kawannya. Ternyata
mereka adalah si Tiga Paderi Lereng
Gunung Wilis.
Wanita tua bertongkat Naga ini
cuma mendengus. Walau pun ia
mengetahui bahwa Kitab itu tak berada
di tangannya, mana mau si wanita tokoh
dari lereng Merapi ini membiarkan tiga
manusia jual lagak di depannya.
Memang sebenarnyalah si Tongkat
Naga Seribu Racun mempunyai watak
angkuh. Apa lagi sudah diketahuinya
seorang murid perempuannya tewas oleh
ketiga paderi palsu ini, menurut
penuturan muridnya.
"Kalian paderi-paderi palsu

jangan bertingkah tengik di hadapanku.
Sebelum mengurusi soal kitab, mengapa
tak kau urusi dulu kesalahanmu
membunuh muridku?". Bentak si wanita.
"Membunuh muridmu...?" Teriak
Kuti dengan mata melotot. Tapi ia
telah tertawa terbahak-bahak. Dan
lanjutnya;
"Mengapa kau bisa menuduh aku
yang membunuhnya? Dengan dalih apa kau
bisa katakan kami yang berbuat?" Tanya
Kuti.
"Heh! Belangmu sudah ketahuan,
paderi palsu! Kau tak usah memungkiri
lagi. Semua korban pemerkosaan di
beberapa desa ini sudah tak pelak lagi
adalah perbuatan kalian...! Kini kita
teruskan lagi pertarungan kemarin!
Kalian kira aku takut? Hi hi hi...si
Tongkat Naga Seribu Racun tak punya
kamus semacam itu...!". Berkata wanita
lereng Merapi ini. Dan ia sudah
memutarkan tongkatnya di udara. Tentu
saja ketiga paderi ini jadi naik
pitam. Dan serentak mengurung wanita
itu. Si paderi pendek bernama Lembu
Alas sudah segera keluarkan senjata
Kipas Baja dan tasbih hitam. Sementara
si paderi berkuiit hitam mencabut
keluar sebuah seruling besi, yang pada
salah satu ujungnya berbentuk kepala
burung, dengan paruh yang runcing.
Adapun Kuti cuma bertangan kosong.
Ternyata kedua paderi itu telah

lebih dulu menerjang si wanita
bertongkat Naga, dengan disertai
bentakan bentakan keras.
Kipas baja si paderi yang pendek
yang berujung tajam itu membersit
menyambar leher, sementara tasbih
hitamnya pun meluncur deras mengarah
kepala. Sedang si paderi berkuiit
hitam Kebo Ireng pergunakan seru-
lingnya menghantam dada. Wanita Tokoh
Rimba Hijau dari  lereng Merapi ini
cuma perdengarkan dengusan di hidung.
Sekonyong-konyong ia telah gerakkan
tongkatnya menyambar terjangan itu,
dengan diiringi gerakan menghindar ke
samping.
"WHUSSS...! Terpaksa si paderi
pendek gagalkan serangannya, agaknya
ia tak mau adakan benturan dengan
senjata lawan. Namun tasbihnya bagai
bermata, terus mengejar si wanita.
Terpaksa si wanita lereng Merapi
gerakkan gagang tongkatnya.
RRRTTT...! Tasbih hitam si
paderi itu ternyata telah menggubat
tongkat lawan. Sementara seruling besi
Kebo Ireng yang telah lolos dari
serangan pertama, telah kembali
merangkak dengan sengit. Terkejut juga
si Tongkat Naga Seribu Racun. Sebelah
lengannya segera menghantam lengan si
paderi pendek yang mencekal tasbih,
disertai bentakan keras.
WUTTT...! Terpaksa Lembu Alas

lepaskan jeratan tasbihnya, dan dengan
gerakan sebat ia telah lompat ke
samping. Sementara itu serangan dari
si paderi kulit hitam telah dihalau
dengan asap beracun yang keluar dari
kepala tongkat Naganya. Hingga
terpaksa Kebo Ireng melompat mundur
sambil tutup hidungnya. Demikianlah...
pertarungan berjalan dengan seru. Saat
itu Kuti, si paderi tertua belum
bereaksi apa-apa. Ia cuma perhatikan
jalannya pertarungan.
Tampaknya si wanita itu sudah
segera merobah gerakan tongkatnya.
Kini terlihat kehebatan tongkat
Naganya. Wanita ini telah mainkan
tongkatnya dengan gerakan-gerakan
cepat, untuk mengaburkan pandangan
lawan. Yang terlihat cuma kelebatan
tongkatnya saja bagaikan seekor naga
kecil yang tengah mengamuk mengibaskan
ekor. Sementara kepala tongkatnya
semburkan uap putih yang menerjang
kedua lawan. Paderi pendek terpaksa
gunakan kipasnya untuk mengusir uap
yang terus mencecarnya, walau ia
berhasil menghindar, tak urung ia
telah kena menghisap uap beracun itu.
Hingga ia agak ayal sesaat. Kesempatan
itu memang ditunggu si wanita hebat
ini. Tiba-tiba dari balik uap itu
telah meluncur deras ujung tongkatnya
ke arah leher Lembu Alas. Terkejut
paderi ini. Namun ia masih bisa

melihat serangan mendadak itu. Segera
ia jatuhkan diri menghindar.  Akan
tetapi ia tak dapat menghindari
hantaman telak dari lengan si wanita
tua yang mengandung tenaga dalam.
BLUK...! Si paderi pendek
perdengarkan teriakannya. Dan tubuhnya
terlempar lima enam tombak.
Kuti menggeram gusar. Ia sudah
lompat maju menerjang, seraya
membentak keras;
"Perempuan tua...! Terimalah
kematianmu...!". Bentakan hebat itu
dibarengi dengan pukulan telapak
tangannya seraya beruntun. Segera saja
segelombang tenaga yang tak kelihatan
menerjang si wanita itu. Asap beracun
seketika buyar kena terhantam,
sekaligus membuat tongkat si wanita
tokoh lereng Merapi itu terhantam
lepas. Dan pukulan kedua menghantam
telak pada punggung wanita itu.
Terdengar pekik tertahan si Tongkat
Naga Seribu Racun. Tubuhnya terlempar
delapan tombak bergulingan. Kuti tidak
berhenti sampai di situ saja, karena
telah melesat memburunya, seraya
hantamkan lagi telapak tangannya.
Akan tetapi si wanita tua itu
bukanlah tokoh kemarin sore, ia telah
balikkan tubuh dengan mendadak, ketika
rasakan sambaran angin di belakangnya.
Dan dengan tenaga dalam yang ia telah
salurkan di tangan, ia telah papaki

serangan si paderi jangkung itu.
DWERRR...! Dua tenaga dalam
segera beradu keras.
Akibatnya terdengar teriakan
dari dua orang itu yang hampir
berbareng. Tubuh si paderi Kuti
terhuyung empat tindak, dan jatuh
terduduk. Akan tetapi tubuh si wanita
lereng Merapi terlempar lagi ber-
gulingan tujuh-delapan tombak, ke arah
si paderi pendek. Kesempatan baik itu
tak disia-siakan Lembu Alas. Yang
segera mencobloskan Kipas Bajanya yang
runcing itu seketika menembus dada si
Tongkat Naga Seribu Racun. Darah segar
segera barmuncratan ketika Lembu Alas
mencabut senjatanya. Wanita ini
perdengarkan teriakan menyayat hati.
Namun ia masih dapat bangkit berdiri,
walau dengan tubuh terhuyung limbung.
Sepasang matanya terbeliak menatap
pada paderi Kuti. Sedang lengannya
tampak bergetar terangkat. Agaknya ia
mau menggunakan tenaga terakhirnya
untuk menyerang. Namun pada saat itu
berkelebat bayangan si paderi kulit
hitam, dari arah samping. Ujung
seruling besinya yang runcing telah
meluncur deras ke arah leher wanita
hebat ini, dengan keluarkan suara
membersit.
Indra si wanita Tongkat Naga
Seribu Racun agaknya sudah tidak
berfungsi lagi... sehingga ia tak

dapat mengelakkan serangan ganas itu.
JROS...! Ujung seruling besi
Kebo ireng telah amblas menembus
lehernya. Terdengar suara seperti
orang muntah. Darah kembali menyem-
burat, ketika si paderi kulit hitam
itu menarik keluar senjatanya.
Sesaat tubuh wanita kosen ini
masih berdiri... namun tiba-tiba
tampak oleh bergetaran, dan detik
berikutnya segera roboh ambruk ke
tanah, dengan berkelojotan mengerikan.
Lalu diam untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha... bagus...! Hayo,
kalian periksa tubuhnya. Cari Kitab
Ular itu...!". Teriak Kuti Segera saja
kedua paderi itu bergerak cepat untuk
memeriksanya. Akan tetapi sudah diraba
di sana-sini, tak ditemukan apa-apa.
"Sial...! Ia tak menyimpannya..!
Pasti berada pada murid wanitanya.
Atau masih di tangan si Wanita
Pendekar Roro Centil...!". Berkata
Kebo Ireng.
"Huh! Mengumbar tenaga percuma
saja...! Aku yang sial terkena
hantamannya...!". Berkata Lembu Alas
si paderi pendek menggerutu, dengan
wajah masih menyeringai menahan sakit
pada dadanya. 
"Sudahlah...! Ayo, kita pergi
dari sini...!" Teriak Kuti. Segera
saja ketiganya telah berkelebatan
meninggalkan tempat itu.

Sayang mereka tak mengetahui
kalau si pemegang Kitab Ular ada di
dalam Makam Kuno.
Makam Kuno itu memang makam yang
misterius. Karena  banyak  lubang-
lubang  rahasia berada di bawahnya.
Seperti tempat itu tempat memadu kasih
saja layaknya. Karena tampak ada dua
sejoli yang mirip suami istri, telah
memasuki juga sebuah kuburan yang
terbuka, dengan menggeser sebuah batu
di balik rumpun. Entah siapa mereka.
Kisahnya memang belum terungkap di
sini...! Akan tetapi pada serial Roro
Centil yang berjudul : "Rahasia Kitab
Ular". Pembaca akan mengetahui siapa
gerangan kedua suami istri itu.
Sementara itu di tempat kejadian
tadi, sepasang mata telah mengikuti
semua kejadian pertarungan itu hingga
akhirnya. Si pengintai itu adalah
Mandra. Ternyata Mandra telah pula
menguntit ketiga paderi itu sejak dari
rumah tempat penginapan. Pemuda ini
memang mencurigai akan tindak-tanduk
tiga orang bertudung itu. Karena ia
seperti pernah melihat wajah serta
potongan tubuhnya. Ternyata ketiga
orang itu benarlah orang yang hari
kemarin dilihatnya berada di rumah
gedung Bupati Daeng Panuluh.
Memang Mandra agak mencurigai
sang ayah. Yaitu Sengkuti alias Carik
Desa itu yang sering mengunjungi

Bupati Daeng Panuluh. Juga ia
mencurigai sikap sang ayah, ketika ia
akan mengajak adiknya pindah
sementara. Marni, adik kandung Mandra
terpaksa dibawa ke rumah majikannya.
Tempat ia bekerja. Pemuda ini
beranggapan bahwa adiknya akan aman
berada di sana. Karena di samping ia
memang jarang pulang, dan sering
menginap di tempat pekerjaannya,
Mandra bisa menjaga sang adik dalam
situasi yang sedang genting itu.
Entah berapa kali Mandra
mengorek keterangan dari mulut adiknya
untuk menceritakan siapa yang telah
berbuat nista padanya. Akan tetapi
Marni selalu membungkam. Memang sejak
kejadian itu, Marni tak pernah mau
bicara.
Hal mana membuat Mandra dapat
mengerti, karena Mandra beranggapan
sang adik mengalami gangguan perasaan,
akibat kejadian itu.
Mandra memang merasa bersalah
dalam hal ini, karena ia terlalu
mempercayakan adiknya pada sang ayah,
yang memang sebenarnya ayahnya
bukanlah ayah kandungnya.
Karena ayah sebenarnya telah
meninggal sejak Marni masih bayi.
Mereka berdua yang yatim piatu, telah
dipungut oleh Sengkuti yang tak
mempunyai anak seorang pun dari
istrinya. Gagalnya Mandra mendesak

Marni buka mulut, membuat Mandra
penasaran untuk menyelidiki sang ayah,
ia memang melihat tingkah laku ayahnya
yang aneh, ketika ia mengatakan Marni
akan dibawanya ke tempat majikannya
untuk tinggal sementara di sana.
Demikianlah, akhirnya Mandra dapat
menangkap pembicaraan sang ayah
angkatnya pada sang Bupati. Ternyata
mereka semua turut berkomplot dengan
si ketiga paderi. Bahkan ia melihat
sendiri ketika ketiga paderi itu
memasuki gedung sang bupati. Nyaris
saja ia ketahuan, kalau tidak ditolong
oleh seorang pemuda berbaju putih tak
dikenal, yang rupanya ada di
belakungnya turut mangutip pembicaraan
mereka. Ketika terdengar bentakan dari
dalam ruangan, si pemuda itu telah
menyambarnya, untuk dibawa berkelebat
dari tempat itu.
Pemuda itulah yang bernama
Ginanjar. Ketiga paderi segera
mengejar mereka. Namun beruntung
mereka berdua dapat tempat sembunyi
yang aman. Mereka pun berpisah. Dan
Mandra kembali ke rumah majikannya.
Tapi pemuda ini telah mengetahui kalau
ayahnya terlibat dalam penculikan para
gadis, juga perampokan, serta
pemerasan. Karena Mandra telah
mendengarnya dari penuturan si pemuda
bernama Ginanjar itu.
Di depan matanya tadi ia telah

melihat ketiga paderi palsu itu
membunuh dengan keji si wanita
bertongkat naga, dengan melalui
pertarungan yang tidak adil.
Setelah merenung sejenak, pemuda
ini segera tinggalkan tempat itu.
Ternyata ia kembali menuju ke
penginapan tadi.
Terkejut Mandra, ketika melihat
Sentanu berada di depan penginapan.
Yang ternyata tengah bercakap-cakap
dengan dua orang wanita.
Segera saja Mandra mengenali
akan si gadis baju merah. Karena
pemuda inilah yang membantu mengubur
jenazah adik gadis itu beberapa hari
yang lalu. Yaitu mayat wanita yang
ditemukan di pematang sawah. Sementara
Roro Centil sudah dapat mengenali
pemuda itu anak Carik Desa, yang
pernah ia melihatnya ketika sedang
bertarung bicara di dekat biara rusak
tempo hari.
Segera saja Mandra menghampiri,
dan menjura hormat pada ketiganya,
seraya berkata;
"Selamat berjumpa sobat Sentanu,
dan nona-nona cantik...! Eh! Bolehkah
aku mengetahui siapa adanya nona ini,
adik Roro Dampit ...!". Ujar Mandra
seraya melirik pada Roro Centil yang
ditanya segera tampilkan senyuman, dan
menyahuti, dengan dekatkan wajahnya
pada telinga Mandra.

"Eh, pemuda tolol! Apakah kau
tak mengetahui kalau nona ini adalah
nona Pendekar Wanita Pantai Selatan,
yang bernama Roro Centil...? Mengapa
kau berlaku kurang sopan?" Bisik si
wanita baju merah;
Tentu saja bisikan itu membuat
wajah Mandra jadi berubah kaget. Dan
segera saja ia menjura sekali lagi
pada Roro, seraya berkata;
"Oh! Maafkanlah aku yang bodoh
ini. Hingga tak mengetahui adanya nona
Pendekar Pantai Selatan di sini...!".
Roro Centil jadi tersenyum.
Namun sudah pura-pura cemberut
memarahi si gadis baju merah. Gadis
ini cuma tertawa saja. Sementara Roro
Centil sudah berkata;
"Ah, sahabatku ini terlalu
menyanjung aku...sobat Mandra. Senang
sekali kita dapat berkumpul...!
Bukankah begitu sobat Sentanu...?".
Ujar Roro Centil seraya palingkan
kepala menatap si laki-laki  berkumis
kecil itu.
Sentanu cuma manggut-manggut,
dan tersenyum hambar. Agaknya ia masih
mendongkol pada Mandra. Apalagi sampai
saat ini Sentanu belum bisa melacak
siapa sebenarnya yang telah menodai
Marni, adik kandungnya pemuda bernama
Mandra itu.
Akan tetapi wajah Mandra tiba-
tiba menampakkan perubahan mendadak.

Dan ia sudah segera berkata.
"Sobat Sentanu...! Sementara aku
mencabut dulu tuduhanku padamu,
mengenai kasus adikku Marni. Ada satu
berita yang perlu kusampaikan pada
kalian...!".
"Berita apakah...?". Roro Centil
sudah mendahului bertanya.
Tampak Mandra menghela napas.
Mandra memang telah mengetahui kalau
si wanita bertongkat yang tewas itu
ada hubungannya dengan kedua gadis
ini. Karena ia memang telah melihat
ketiga wanita tersebut menginap di
penginapan ini semalam. Segera saja ia
menceritakan apa yang telah terjadi
beberapa saat yang lalu. Terkejut Roro
Dampit, seketika wajahnya menjadi
pucat mendengar penuturan Mandra yang
mengatakan tentang pertarungan seorang
wanita tua bertongkat Naga dengan tiga
orang paderi. Segera saja ia telah
melompat masuk ke dalam penginapan.
Di sana ia telah memeriksa
keadaan di dalam kamar, yang ternyata
Gurunya si Tongkat Naga Seribu Racun
sudah tidak ada. Dan terkejut si gadis
baju merah ketika melihat sepucuk
surat singkat tergeletak di meja. Dari
surat itu segera ia mengetahui kalau
sang Guru pergi ke Makam Kuno, mencari
jejak si pencuri Kitab Ular.
Sesaat ia telah kembali keluar.
Dilihatnya ketiga orang sahabatnya itu

masih berada di tempat. Dan tengah
menatap padanya.
Tak banyak berkata, si gadis
baju merah telah segera menarik lengan
Mandra. Dengan suara terisak masih
sempat berkata;
"Cepat...! Tunjukkan aku di mana
beliau tewasnya...".
Mandra hanya bisa mengangguk,
dan segera beranjak pergi setengah
berlari diikuti si gadis baju merah.
Roro Centil dan Sentanu segera
mengikuti di belakang.
Beberapa pengunjung rumah makan,
yang kebetulan melihat, cuma bisa
bertanya-tanya karena tak mengetahui
mengapa keempat orang itu berlarian
dengan tergesa-gesa. Setelah melewati
ujung desa, dan mengambil jalan
terdekat menuju arah Makam Kuno itu,
segera telah terlihat sesosok tubuh
terkapar tak bergerak dengan tubuh
bersimbah darah. Si gadis baju merah
perdengarkan jeritan menyayat, dan
berlari mendahului untuk menubruk
mayat gurunya. Dan sekejap kemudian ia
telah tenggelam dalam ratap tangis
yang memilukan. Setelah kematian
adiknya, kini kematian sang Guru yang
dicintainya. Betapa tidak hancur hati
dan perasaan gadis itu ...
Suasana kesedihan itu amat
terasa sekali pada ketiga orang yang
mendengar dan menyaksikannya. Selang

sesaat, setelah tangis Roro Dampit
agak mereda, Roro Centil segera
mendakati gadis itu, dan menghiburnya.
Demikianlah... akhirnya jenazah
si Tongkat Naga Seribu Racun
dikebumikan di tempat itu juga dengan
upacara sederhana.
Saat itu hari telah menjelang
senja. Pelahan-lahan udara mulai
menjadi agak teduh, karena sang
mentari telah tinggal sedikit lagi
lenyap di balik bukit.
Keempat orang itu segera
tinggalkan tempat yang membawa
kesedihan itu ...
Mandra  mengambil kesempatan
untuk mengajak mereka bermalam di
rumah majikannya. Yang ternyata tak
ditolak oleh ketiga sahabat itu. Namun
dipersimpangan jalan Sentanu minta
izin untuk menjemput kudanya terlebih
dulu, dan berjanji akan menyusul
belakangan. Semuanya menyetujui.
Demikianlah, Sentanu segera bergegas
pergi dengan langkah cepat. Sementara
Mandra meneruskan perjalanannya dengan
ditemani kedua gadis yang cantik-
cantik itu.
Kira-kira menjelang malam baru
saja menyibak, mereka telah tiba ke
tempat yang dituju. Dan beberapa saat
antaranya Sentanu pun telah menyusul.
Yang ternyata laki-laki tampak
berkumis kecil itu telah mengetahui

tempat di mana Mandra menginap, di
rumah majikannya. Malam itu mereka
tampak duduk berbincang-bincang.
Ternyata ditemani dengan majikan
Mandra, yang juga duduk dan turut
serta terlibat dalam pembicaraan.
Akhirnya Marni mulai dikorek
keterangannya. Atas desakan dan
bujukan Roro Centil, akhirnya adik
perempuan Mandra mau juga buka suara.
Terkejutlah Mandra. Juga yang lainnya,
mengetahui pengakuan Marni adalah Sang
ayah angkatnya alias laki-laki bernama
Singkuti itulah, yang telah memberikan
Marni pada sang Bupati Daeng Panuluh
untuk dijadikan pemuas nafsunya.
Tentu saja dengan imbalan besar.
Dan yang membuat Mandra semakin berang
adalah sang ayah angkat yang sudah
dianggapnya ayahnya sendiri itu, juga
menggagahi anak angkat, atau anak
asuhnya sendiri. Dan memberikan
ancaman akan membunuhnya, bila berani
mengadukan hai itu pada siapa saja.
Terutama kakaknya, Mandra.
"Manusia keparat...! Aku memang
sudah mencurigainya...! Benar-benar
iblis yang bermuka manusia...!" Memaki
Mandra dengan geram.
Betapa marahnya Mandra sukarlah
dapat dibayangkan... Namun Roro Centil
dapat segera menahannya ketika malam
itu juga Mandra akan segera mencari
ayah angkatnya. Demikianlah... Akhir-

nya terbuka juga rahasia kemelut yang
hampir-hampir saja menjadikan Sentanu
korban dari fitnahan keji. Ternyata si
Carik Desa itulah yang telah membawa
Marni ke kamar Sentanu, yang memang
jarang ditiduri. 
Mandra membenamkan kepalanya
pada kedua lengannya. Tubuhnya tampak
tergetar hebat. Dengan nafasnya yang
terlihat memburu. Betapa susah
tampaknya ia menenangkan hatinya yang
bergemuruh. Namun selang sesaat,
Mandra sudah kembali tenang. Tak lama
ia sudah bangkit, dengan sepasang
matanya menatap pada Sentanu.
"Sentanu...! Maafkanlah semua
kesalahanku yang terlalu mempercayai
hasutan-hasutan keji ayah angkatku.
Sehingga aku telah menuduhmu dengan
serampangan...!". Berkata Mandra,
seraya mengajaknya berjabatan tangan.
Sentanu  tersenyum. Lengannya cepat
bergerak untuk menjawab tangan Mandra,
seraya ia berkata;
"Tak apalah Mandra...! Semua
manusia mempunyai kekhilapan dan
kesalahan. Semoga kita dapat terus
bersahabat sampai kapanpun ...!".
"Terima kasih, Sentanu...!".
Ujar pemuda pandai besi itu, seraya
mengepal erat lengan sahabatnya,
seperti enggan melepaskan lagi.
Isteri majikan Mandra yang ramah
tamah itu telah membawa lagi seteko

air kopi manis, seraya menuangkannya
lagi pada gelas-gelas yang kosong.
Tampaknya suasana malam itu amat
meriah. Ditambah persoalan yang selama
ini membeku, kini telah menjadi cair
dengan terbukanya tabir semua
persoalan yang hampir menemui jalan
buntu.
Malam pun semakin melarut juga.
Dan suasana di rumah majikan Mandra
itu mulai agak sunyi dari orang-orang
yang bicara.
Menjelang pagi telah terdengar
suara gaduh di sisi jalan desa. Dan
banyak orang berlari-lari ke arah
rumah bengkel tempat Mandra bekerja.
"Ada apakah...?" Berkata Mandra
dengan terkejut. Ia baru saja terjaga
dari tidurnya, karena sampai lewat
tengah malam, pemuda ini tak dapat
memicingkan matanya. Dan baru bisa
tidur setelah mau menjelang pagi.
Terkejut pemuda ini ketika mengetahui
tak ada orang di rumah. Dan suara
ribut-ribut di sisi jalan itu
mengundang pertanyaan. Segera saja ia
telah melompat untuk berlari memburu
ke arah bengkelnya. Terlihatlah banyak
orang berkerumun di sisi tembok
bengkelnya.
"Ada apa...!? Ada apa ...!?".
Teriak Mandra, seraya menyeruak masuk
di antara kerumuman orang. Betapa
terkejutnya pemuda ini melihat sesosok

tubuh yang terbujur tak bergerak
dengan sepasang mata membeliak keluar.
Dan terlihat pada bagian dadanya
sebuah lubang bekas tusukan senjata
tajam, dengan darah yang hampir
mengering. Sedang di atas perutnya
terlihat sebuah topeng muka berwarna
hitam, tergeletak. Yang membuat Mandra
amat terkejut adalah mayat laki-laki
itu tak lain dari mayat Carik Desa,
alias Sengkuti atau ayah angkatnya
sendiri.
Sementara di tembok bengkelnya
terdapat surat bertulisan :

Manusia tidak bermoral ini
memilih jalan hidupnya dengan
kematian!
Dia terlibat dengan enam kali
perampokan, sembilan kali pemerkosaan
dan delapan kali pemerkosaan, yang
mencemarkan nama baik kepemimpinan
Bupati Ki Ageng Panuluh.

Senapati Kerajaan Medang
Wi RAPATI

Tercenung Mandra membaca tulisan
dari surat yang bertanda tangan
Senapati Kerajaan itu. Sementara
seseorang telah menepuk pundaknya.
Ternyata Sentanu.
"Sudahlah Mandra, mari kita
segera urusi mayat ayah angkatmu

ini...!". Berkata Sentanu. Mandra
palingkan kepala ke beberapa arah,
ternyata Roro Centil, dan si gadis
baju merah Roro Dampit, serta adiknya
Marni telah berada di tempat itu. Juga
kedua suami istri majikannya.
Pemuda ini anggukkan kepala.
Walaupun ia amat membenci sang ayah
angkatnya ini, akan tetapi tetap saja
ia bersedih hati. Karena tak menyangka
sang ayah telah menjadi utusan orang-
orang Kerajaan. Dan telah menjadi
intaian yang berwajib selama ini.
Bahkan sampai senapati Wirapati turun
tangan.
Dilihatnya Marni, sang adik
tengah terisak dipeluk oleh si
Pendekar Wanita Roro Centil.  Setelah
menatap sejenak, segera ia menyuruh
semua orang yang berkerumun itu bubar.
Dan dengan cepat ia telah segera
pondong tubuh Carik Desa itu, dan
dibawanya bergegas dengan langkah
cepat menuju ke rumah majikannya. Roro
Centil dan yang lainnya segera
mengikuti dari belakang.
Keadaan yang ramai di sisi jalan
itu pun mulai kembali sepi. Cuma
tinggal beberapa orang yang masih
bercakap-cakap di seberang jalan desa,
memperbincangkan kejadian itu. Akan
tetapi penduduk desa telah menjadi
tahu kalau Carik Desanya ternyata
adalah seorang yang berkelakuan tidak

baik. Dan memuji tindakan Senapati
Kerajaan Medang yang turun tangan
menumpas kejahatan manusia yang bagai
musang berbulu ayam itu. Namun hanya
sebagian penduduk saja yang cuma
menganggap sang Carik Desanya yang
berbuat kesalahan dan menjadi biang
kerusuhan selama ini. Karena sebagian
lain dari penduduk telah mulai mencium
jejak adanya tiga orang paderi palsu,
yang juga bergentayangan menyebar
kejahatan.
Tentu saja mereka tetap kurang
puas, karena belum adanya berita
tentang ketiga paderi palsu itu. Di
antara desas-desus penduduk yang
kurang puas itu, ternyata Mandra
lebih-lebih kurang puas. Karena ia
merasa Bupati Daeng Panuluh terlibat
dalam urusan itu. Tapi mengapa sampai
saat ini tak ada berita mengenai
diambilnya tindakan pada sang Bupati
itu? Bahkan sampai beberapa hari ini
sang Bupati tampak mulai sering
kelihatan berkeliling desa-desa dengan
menunggang kuda. Dengan beberapa
pengawal Kerajaan di belakangnya.
Dengan sikap seperti seorang yang amat
berwibawa.
Tentu saja di setiap tempat,
penduduk mengangguk hormat. Apa lagi
ketika suatu hari berkeliling dengan
berkuda, bersama sang Senapati Wira
Pati. Pasar-pasar yang ramai penuh

dengan orang yang memenuhi jalan itu,
segera menjadi terkuak untuk mareka
segera menyingkir ke tepi, ketika
kedua pembesar Kerajaan ini akan
lewat.
Sementara dari kerumunan para
pedagang dan pembeli, sepasang mata
menatap tajam pada sang Senapati yang
berwajah angker dan tampak angkuh itu.
Itulah sepasang mata Sentanu.
Bekas seorang perwira Kerajaan Medang.
Laki-laki ini gerakkan topi tudungnya
untuk menutup wajahnya, ketika kedua
orang penting itu lewat di hadapannya.
Dan ia sudah membuka lagi topi
tudungnya, ketika mereka sudah
melewati tempat itu. Wajah laki-laki
ini tampak memerah padam memandang
punggung kedua manusia yang lewat itu.
Lalu tak lama kemudian, segera
berlalu meninggalkan pasar yang
kembali ramai itu.
Tentu saja Sentanu mengetahui
akan tingkah laku dan akhlak sang
Senapati Wirapati pamannya itu. Yang
sebenarnya Wira Pati adalah adik tiri
dari almarhum ibunya. Sejak Wira Pati
masih menjabat Tumenggung, Sentanu
sudah melihat akan watak-watak buruk
laki-laki itu. Entah mengapa tampaknya
Wira Pati seperti membencinya. Apakah
karena ayahnya semasa masih hidup, dan
masih menjabat sebagai Senapati
Kerajaan Medang sering menasihatinya.

Karena memang baik Sentanu maupun
ayahnya sering memergoki Tumenggung
Wira Pati di tempat-tempat pelacuran
dan perjudian.
Bahkan perbuatannya sudah tak
layak dilakukan oleh seorang
Tumenggung. Yang seharusnya memberi
pengarahan pada rakyat, tapi justru
dia sendiri tenggelam dalam arus
kemaksiatan. Untunglah sang ayah
seorang yang bijaksana, dan masih
memandang adanya tali persaudaraan,
hingga kelakuan-kelakuan buruk
Tumenggung Wira Pati tak dilaporkan
pada Raja.
Yang membuat Sentanu tak
mengerti adalah tugas menyerang
pemberontak di utara, yang menyebabkan
kematian sang ayah. Ternyata
belakangan baru diketahui oleh Sentanu
kelau tak ada surat perintah dari Raja
untuk ia memimpin anak buahnya
menyerang ke sana. Sayang orang yang
mengetahui rahasia surat perintah
palsu itu justru telah tewas oleh
segerombolan perampok, yang tiba-tiba
menyerang rumahnya. Di samping ludas
seluruh harta bendanya, juga keluarga
Perwira sahabat Sentanu itupun
dibantai habis. Sehingga Sentanu tak
punya bukti untuk menuduh sang paman.
Sejak diangkatnya Wira Pati
menjadi pengganti ayahnya sebagai
Senapati Kerajaan, Sentanu tak lama

segera mengundurkan diri dari
keprajuritan. Ia kembali ke desa, di
mana sang ibunya hidup dengan segala
kesederhanaan. Akan tetapi sangat
mendongkol Sentanu,  karena  ada
desas-desus dari penduduk bahwa
keluarnya ia dari keprajuritan adalah
karena dipecat. Bahkan tewasnya sang
ayah di medan pertampuran, justru yang
didengarnya dari penduduk malah karena
dianggap memberontak pada Raja. Dan
sang ayah diberitakan penduduk telah
mati di tiang gantungan.
Hal itulah yang membuat Sentanu
tak habis mengerti. Hingga ia jarang
berdiam di rumah, karena ia enggan
menghadapi wajah wajah sinis semua
tetangganya. Kasihan sang ibundanya,
yang tak kuat menahan perasaan
berlarut-larut, akhirnya jatuh sakit.
Apa lagi mendengar Sentanu terlihat
dengan kasus pemerkosaan.
Wanita malang itu kini telah
meninggal dunia. Dan Sentanu merasa
perlu untuk mengungkap kasus yang
telah menyeret dirinya. Kini kasus itu
sedikit demi sedikit telah mulai
terungkap. Cuma satu hal yang masih
menjadi teka-teki bagi Sentanu. Yaitu
siapakah manusianya yang telah
mencemarkan nama baik keluarganya
itu...? Ia memang mencurigai pamannya
sendiri yaitu Senapati Wira Pati.
Namun Sentanu memang tak dapat

berbuat apa-apa. Ia telah menjadi
rakyat jelata. Berurusan dengan Wira
Pati sama dengan berurusan dengan
pihak Kerajaan. Harga diri dan
martabatnya telah cemar di tempat
tinggal almarhum orang tuanya. Sentanu
merasakan hidupnya penuh dengan
kehambaran. Seolah tiada lagi gairah
untuk hidup. Akan tetapi tak sampai
membuat Sentanu putus asa. Cuma ia
bertekad untuk secepatnya pergi
tinggalkan desanya. Dan entah ke mana
tujuannya, ia sendiri tak mengetahui.
Demikianlah... laki-laki ini
berjalan dengan gontai. Topi tudungnya
ia benamkan dalam-dalam di kepalanya.
Cuma sepasang matanya saja yang
terlihat menatap tanah. Memandang
ujung-ujung kakinya yang menyusuri
jalan-jalan setapak ...
Mandra yang merasa kurang puas,
dengan tidak diambilnya tindakan pada
si Bupati Daeng Panuluh, telah
langkahkan kakinya menuju ke arah
gedung Kadipaten. Sengaja pemuda ini
mengambil arah memutar, melalui jalan
setapak.
Kira-kira separuh lagi perja-
lanan, ia mendengar derap suara kaki
kuda yang jauh di belakangnya. Cepat
sekali pemuda ini berkelebat untuk
sembunyi. Ingin sekali ia melihat
siapakah gerangan si penunggang kuda
di belakangnya itu, yang sebentar lagi

akan melewati jalan setapak ini.
Tak lama kemudian segera
terlihat seorang penunggang kuda,
dengan pakaian gemerlapan. Dari sutra
kuning dan hijau. Ikat kepalanya
memakai perhiasan berukir dibagian
depan. Tampak berkibaran mantel
berbulu, yang indah di belakang
punggungnya. Sekelebat saja Mandra
telah mengetahui laki-laki penunggang
kuda yang berusia 40 tahun itu adalah
Senapati Wira Pati.
Ternyata laki-laki itu
menjalankan kudanya tidak terlalu
cepat. Sebentar kemudian telah
melewati dimana Mandra bersembunyi.
Sepasang mata pemuda ini
memperhatikannya hingga jauh. Terlihat
di belakang punggung Senapati ini
terselip sebuah tombak pendek yang
digubat dengan kain sutera merah, yang
berkibaran tertiup angin.
"Hah...!? Mau ke mana Senapati
itu...?". Gumam Mandra. Seraya ia
sudah beranjak untuk diam-diam
membuntutinya.
Demikianlah, pemuda itu segera
menguntitnya dengan hati-hati. Karena
ia yakin sang Senapati itu pasti
seorang yang berilmu tinggi.
Ternyata tujuannya adalah rumah
gedung sang Bupati Daeng Panuluh.
Sebentar kemudian ia telah
memasuki pekarangan yang luas itu. Dua

orang penjaga segera menjura hormat.
Dan menuntun kuda sang Senapati untuk
segera ditambatkan. Di pintu masuk
kembali seorang penjaga menjura, dan
mempersilahkan Pembesar Kerajaan itu
memasuki ruangan pendopo.
Tampaknya ruangan depan itu
sunyi. Wira Pati terlihat mengerutkan
alisnya. Ketika tak lama muncul
seorang pembantu wanita dari dalam,
yang segera menghampiri dengan
membungkuk-bungkuk.
"Ke mana Ndoromu...!?". Bertanya
Wira Pati. Wanita tua itu menghaturkan
sembah seraya berkata;
"Ampun Ndoro Gusti  Senapati...
Anu...Ndoro Panuluh sedang tidak ada.
Beliau belum lama pergi berkuda...!
Silahkan duduk Ndoro Gusti Senapati.
Mungkin sebentar akan kembali...!".
Ujar si pembantu wanita tua itu,
seraya kemudian mengundurkan diri
kembali ke belakang.
Senapati  Wira Pati tak berkata
sepatahpun. Segera ia beranjak untuk
duduk di kursi tamu. Sepasang matanya
tampak memandang ke segala penjuru,
seperti meneliti ruangan yang besar
itu. Angin yang bertiup agak keras
telah masuk ke dalam ruangan,
menyingkapkan tirai-tirai kain
jendela. Udara tampak agak sejuk.
Laki-laki ini membuka belahan bajunya
sebatas pusar. Dan letakkan tombak

pendek yang selalu dibawanya itu di
atas meja. Lalu terdengar ia menghela
napas. Tapi sepasang matanya jadi
menatap tertegun, melihat sebuah betis
yang tersingkap dari sesosok tubuh
yang menggeletak di pembaringan.
Angin keras yang menyeruak masuk
dari jendela tadi telah menyingkapkan
kain tirai penutup kamar, yang
pintunya terbuka. Sehingga pemandangan
yang sekilas itu telah tidak luput
dari  tatapan Wira Pati. Tentu saja
sepasang matanya jadi berkilatan. Dan
segera saja ia sudah tampakkan
senyumnya. Seraya sudah beranjak
bangun berdiri. Lalu langkahkan kaki
menuju kamar. Kain tirai itu
disibakkan, lalu sekejap sudah
tertutup lagi. Tubuh Senapati itupun
lenyap di balik tirai kamar. Sementara
si pembantu wanita tua telah sembulkan
kepalanya di balik pintu ruangan
belakang. Dengan menatap pada tempat
duduk tamu yang kosong.
Lalu buru-buru kembali ke
belakang menemui kawan pembantunya.
Dan tampak ia berbisik-bisik pada
wanita kawannya.
Sang kawan cuma bisa belalakkan
matanya. Lalu terlihat ia
membentangkan lengannya, seperti
merasa tak mampu berbuat apa-apa.
Selanjutnya mereka sudah kembali
bekerja. Walau sesekali melirik ke

ruangan depan. Namun tempat duduk tamu
itu masih tetap saja kosong.
Wira Pati terpaku memandang
sesosok tubuh yang tergolek di
hadapannya. Ternyata seorang gadis
berparas cantik. Bagaikan sekuntum
bunga yang menunggu sang kumbang untuk
siap dihisap madunya. Sepasang mata
laki-laki ini sudah segera menelusuri
lekuk-liku sang tubuh yang terbungkus
selembar kain sutera tipis itu.
Seperti seekor serigala yang
melihat mangsa di hadapannya, sang
Senapati telah menelan air liurnya.
Lengan sang senapati telah terjulur
untuk menyibak kain selimut pembungkus
tubuh mulus itu. Tampak terdengar
gadis itu mengeluh, seperti mengerang.
Lalu terdengar mendesis. Agaknya
seperti baru tersadar dari tidurnya.
Kelopak matanya tampak mulai bergerak
untuk terbuka sedikit. Namun seperti
sukar ia membuka seluruhnya. Bahkan
tampak ia berusaha menggerakkan tubuh
dan lengannya. Terkejut juga sang
Senapati, yang kemudian baru sadar
kalau gadis itu dalam keadaan
tertotok.
Segera ia telah gerakkan lengan-
nya membuka totokan. Yang kemudian
barulah gadis itu mampu gerakkan
tangan dan kakinya. Pantas...!
Menggumam Wira Pati dalam hati. Gadis
ini pasti telah disediakan buatku.

Tapi ia sengaja telah menotoknya, agar
tak menyulitkan. Ha ha ha ... si Daeng
memang pandai memilihkan yang baik
untukku...! Berkata Wira Pati dalam
hati. Tiba-tiba ia telah beranjak
mendekati meja. Lengannya menyambar
sebuah mangkuk yang telah kosong.
Sekejap ia telah mencium pinggiran
atas cawan itu seperti tengah
memeriksa dengan penciumannya. Sesaat
ia telah letakkan lagi cawan itu, dan
beranjak mendekati sang gadis.
Selanjutnya tiba-tiba ia telah
bungkukkan tubuh. Kepalanya terjulur
ke dekat wajah gadis itu. Ternyata ia
tengah mengendus ke atas bibir sang
gadis. Lalu terlihat ia tersenyum.
"He he... pantas! Ia telah
dijejali ramuan hebat dari si paderi
bernama Kuti itu. Agaknya ia memang
telah menyiapkan segalanya untuk-
ku...!". Mendesis Wira Pati. Dan tiba-
tiba ia telah segera meniadakan apa
yang melekat di tubuhnya. Dan
membersihkannya sama sekali. Terdengar
suara merintih tatkala gadis ini
menggeliat. Sepasang matanya setengah
terkatup dan setengah terbuka.
Sementara desah angin telah
kembali menyibak tirai dengan keras,
hingga terlepas. Seekor laba-laba yang
tengah membuat sarang segera bergerak
cepat menangkap mangsanya, ketika
seekor lalat terjerat pada perangkap

yang telah dibuatnya.
Senapati Wira Pati meneguk arak
yang telah disediakan di atas meja.
Tampak ia bangkit berdiri dan
memanggil pembantu wanita tua itu,
yang tampak tongolkan kepalanya di
pintu ruangan belakang.
Bergegas dengan terbungkuk-
bungkuk wanita pelayan ini mengha-
turkan sembah pada sang Senapati, yang
segera berujar;
"Katakan  pada Ndoromu bahwa aku
datang. Agaknya aku harus segera
kembali, karena ada tugas lain senja
ini yang perlu kuselesaikan. Sampaikan
terima kasihku padanya!"
"Baik, Ndoro Gusti Senapati..!".
Menyahuti si wanita tua.
Selesai berkata, Wira Pati sudah
segera menyelipkan kembali Tombak
pendeknya ke belakang punggung. Dan
segera beranjak keluar.
Pembantu wanita ini mengantarnya
dari belakang. Lalu menutupkan kembali
pintu ruangan. Seorang penjaga yang
berdiri di muka pintu pendopo, telah
melihat keluarnya sang Senapati ini
segera cepat-cepat menjura hormat.
Wira Pati cuma anggukkan kepalanya.
Lalu bergegas menuju keluar. Seorang
penjaga telah membawakan ke hadapannya
kuda tunggangannya. Sementara seorang
lagi tetap berdiri di pintu masuk
halaman gedung. Selang sesaat sang

Senapati ini telah melompat ke atas
kuda. Dan selanjutnya memacunya dengan
cepat keluar dari halaman Kadipaten.
Dua penjaga itu memberinya jalan,
seraya lakukan penghormatan dengan
bungkukkan tubuh mereka.
Sekejap antaranya Wira Pati
telah memacu kudanya dengan cepat,
tanpa menoleh lagi ke belakang. Pada
wajahnya tampak tampilkan senyum
kepuasan. Senyum yang hanya bisa
terlihat kalau hati sang Pembesar
Kerajaan ini sedang mendapat angin
baik. Tanpa memikirkan bahwa di dalam
kesenangan dirinya itu, di pihak lain
tenggelam dalam kesedihan dan kesusa-
han. Bahkan jeritan yang menyayat
hati. Namun mana manusia yang tak
mengenai halusnya perasaan ini dapat
mendengarnya?
Karena telinga dan hatinya telah
tertutup rapat-rapat dengan dinding
nafsu angkara. Sehingga bathinnya pun
menjadi kotor. Agaknya memang telah
sulit untuk membasuh bathin manusia
yang telah sedemikian. Karena watak
manusia tak akan bisa berubah. Kalau
tak manusia itu sendiri yang meru-
bahnya.
Mandra yang berada di tempat
persembunyiannya, di sisi jalan dekat
gedung itu, kembali melihat kepula-
ngannya sang Senapati yang kudanya
mencongklang dengan cepat. Tentu saja

ia tak mengetahui  keadaan di dalam.
Tapi tiba-tiba terlihat dari arah yang
berlawanan seekor kuda mendatangi ke
arah gedung. Dan segera terdengar
ringkikan kuda sang Senapati, ketika
laki-laki Pembesar Kerajaan itu
menghentikan kudanya. Ternyata si
pendatang itu pun menghentikan pula
kudanya. Sehingga kuda-kuda perde-
ngarkan ringkikannya. Kiranya yang
datang adalah sang Bupati Daeng
Panuluh. Terdengar Wira Pati berkata
dengan tampilkan senyum di wajahnya,
melihat kedatangan sahabatnya.
"Aha...! Dari mana Daeng...?
Lama aku menunggumu. Sayang aku ada
tugas lagi senja ini. Jadi aku tak
dapat menemanimu berbincang-bincang.
Oh, ya...! Mengenai upeti untukku,
biarlah untuk pekan ini tak usah kau
setorkan. Asal kau harus berhati-hati
kali ini. Terutama tiga orang paderi
itu jangan  sampai ia menyusahkan
kita...!". Berkata sang Senapati.
Doting Panuluh tersenyum dan
manggut-manggut seraya berkata dengan
nafas agak tersengal. Agaknya ia tadi
melarikan kudanya dengan sekencang-
kencangnya, seperti memburu sesuatu.
"Te...terima kasih abang Wira
Pati...!". Ujar Daeng Panuluh yang
membahasakan sebutan abang, atau kakak
pada laki-laki sahabatnya itu, karena
sebenarnya Daeng adalah bukan orang

asli tanah Jawa. Ia perantau dari
seberang pulau, yang terletak jauh di
sebelah timur laut Pulau Jawa. Dan
hidup di pesisir laut. Boleh dikatakan
Daeng Panuluh besar dan dewasa di
tengah ombak lautan. Sayang Daeng
terjerat dalam kehidupan sesat. Dan
memilih beberapa tahun yang lalu,
sejak Wira Pati menjabat sebagai
Tumenggung. Dari sahabatnya inilah
Daeng dapat menduduki jabatan sebagai
Bupati.
"Tapi bagaimana mengenai ancaman
seorang pemuda misterius itu...?".
Daeng telah lanjutkan dengan perta-
nyaan.
"Tenanglah...! Kelak aku yang
mengurusinya. Bukankah kau tahu, si
Sengkuti itu dengan mudah dapat
kusingkirkan. Tak perduli ia seorang
Carik Desa. Kalau bakal membahayakan,
terpaksa harus disingkirkan. Walaupun
tadinya ia orang yang membantu
kita...!" Berkata Senapati Wira Pati
dengan wajah tenang, namun suaranya
terdengar tandas. Daeng Panuluh
manggut-manggut. Tapi tiba-tiba
wajahnya kembali berubah agak pucat.
Dan tampak dengan gugup ia berkata...
"Ng...te... terima kasih saha-
batku! Akan tetapi maaf...aku lelah
sekali, dan memerlukan istirahat. Oh,
ya...tentu abang Wira Pati jemu
menungguku tadi...!". Pembesar Kera-

jaan ini cuma tersenyum, seraya
ujarnya;
"Silahkan beristirahat, Daeng..!
Memang akupun ada tugas yang
menantiku...! Dan... ha ha ha...
Terima kasihku padamu atas hidangan
yang kau suguhkan itu. Tentu saja
kelak akan ada imbalan tersendiri yang
istimewa buatmu ...!"
Daeng Panuluh jadi melengak
mendengarnya. Akan tetapi sang
Senapati telah segera mengeprak
kudanya. Yang segera mencongklang lari
dengan cepat. Adapun Daeng Panuluh
setelah tercenung sesaat, tiba-tiba
telah berteriak keras, dan memacu
kudanya dengan cepat ke arah
gedungnya.
Baru saja sampai di halaman, ia
telah melompat dengan cepat, dan
berlari menuju pintu Pendopo. Dua
pengawal tak sempat lagi menjura,
karena sang Bupati bagaikan gila telah
menerobos masuk. Dan secepat itu pula
telah memasuki kamar, di mana tergolek
sesosok tubuh yang telah kehabisan
tenaga.
"Nurimah...! Nurimaaaah...!?".
Suara teriakannya tersendat seketika,
melihat ke hadapannya. Pembaringan itu
telah kusut masai. Bantal dan guling
telah berserakan tak keruan. Dan sang
gadis tengah mengerang seperti dalam
saat sekarat. Sekilas saja ia telah

tahu apa yang telah terjadi. Kenyataan
itu telah dibuktikan dengan jelas
melalui penglihatannya. Tiba-tiba
laki-laki ini telah berteriak dengan
suara parau. Dan menubruk tubuh gadis
itu serta memelukinya dengan suara
tangis meraung.
Tampak sepasang mata Daeng telah
bercucuran air mata. Dan terlontarlah
kata-kata yang sudah delapan tahun
lebih itu tak pernah terucapkan dari
bibirnya.
"Anakku... Nurimah...! Anakku...
Oh...". Selanjutnya cuma suara isak
tangis bagaikan anak kecil yang
terdengar. Tiba-tiba ia telah lepaskan
pelukannya pada wanita yang terbujur
itu. Wanita yang ternyata memanglah
anak gadisnya sendiri.
Dan terdengarlah suara teria-
kannya memanggil sang pembantu wanita.
Yang  dengan tergopoh-gopoh segera
berlari menghampiri.
"Bodoh...!". Teriaknya memaki.
"Mengapa kau biarkan semua itu
terjadi. Dia ... dia anakku, tahu...!
Keparrrat...!"
PLAK! Sebelah lengannya telah
bergerak menampar kepala sang pembantu
wanita tua itu. Yang segera saja
terpelanting dengan suara teriakan
menyayat hati. Namun Daeng kembali
sudah memburunya. Lengannya bergerak
menjambak rambut wanita yang bernasib

sial itu. Akan tetapi terkejut Daeng,
karena sudah tak terdengar lagi
jeritan kesakitan ketika dijambak
rambutnya. Kiranya sang pembantu yang
malang itu telah tewas. Dengan geram
Daeng menghempaskannya ke lantai.
Segera ia bergerak lagi melompat untuk
mencegat seorang pembantu wanita lagi,
yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Ndoro...! Jangan bunuh
hamba...! Hamba tidak bisa mencegah-
nya... Ja... jangan bunuh hamba Ndoro
..." Berkata wanita pembantu itu
dengan meratap tangis.
"Aku takkan membunuhmu, Mari-
yem...!" Membentak Daeng Panuluh.
Tiba-tiba laki-laki ini telah
keluarkan sesuatu dari saku bajunya.
"Berikan ini pada anakku.
Jejalkan di mulutnya. Ingat! Dua butir
pel ini harus benar-benar tertelan.
Kalau sampai gagal, nyawamu sebagai
gantinya, mengerti...?!".
"Ba...baik Ngoro...! Akan hamba
kerjakan...!". Menyahuti sang pembantu
wanita seraya menerima dua butir pel
itu dari tangan Daeng, dengan lengan
gemetar dan wajah pucat bagaikan
mayat. Namun ia telah bersyukur dalam
hati yang jiwanya selamat. Sekejap
kemudian, Daeng telah kembali melompat
ke dalam ruang tengah, dan menyambar
sebuah pedang yang tergantung di
dinding. Lalu berkelebat cepat menuju

kembali ke luar gedung.
Para penjaga cuma saling
pandang, ketika Daeng melompat keluar,
dan dengan cepat melompat ke atas
punggung kudanya. Kejap selanjutnya,
ia telah berteriak keras menghardik
sang kuda yang segera meringkik keras.
Beberapa kali sang kuda berputaran
seperti tak mau menurut perintah sang
majikan. Namun akhirnya lari
mencongklang dengan cepat keluar
halaman. Dan selanjutnya telah ter-
dengar derapnya semakin menjauh dari
halaman gedung. Lagi-lagi  Mandra
terkejut, melihat sang Bupati Daeng
Panuluh telah keluar lagi dari dalam
gedung. Dan  kini memacu  kudanya
bagai dikejar setan. Merasa ada
sesuatu yang tidak beres, Mandra
segera tancap kakinya untuk mengejar
melalui jalan semak. Ingin ia
mengetahui apa yang terjadi.
Lapat-lapat   terdengar   suara  
teriakan  Daeng.
"Senapati Keparaaat...! Tunggu
aku...!". Dan dengan derap langkah
kuda yang menggebu, Daeng Panuluh
memacu sang kuda sekencang-kencangnya.
Beruntung Wira Pati telah
jalankan kudanya dengan tidak terlalu
cepat, karena ia berfikir tak perlu
terburu-buru. Tugas adalah tugas. Tapi
rasa lelah di sekujur tubuhnya belum
lagi hilang. Tentu saja tak lama Daeng

dapat menyusulnya.
Terkejut Wira Pati mendengar
suara derap kuda di belakangnya, yang
seperti berlari dengan cepat. Segera
ia telah putar kudanya untuk melihat.
Akan tetapi terlambat, tahu-tahu...
DES...! perut kudanya telah kena
seruduk kuda Daeng Panuluh. Sebenarnya
hal itu tak akan terjadi seandainya
Wira Pati mengetahui Daeng datang
dengan kemarahan meluap. Sehingga tak
ampun lagi kedua kuda sudah terjungkal
jatuh. Termasuk kedua penunggangnya.
Namun Wira Pati dengan tangkas telah
dapat jatuh dengan berdiri.
Karena sebagai seorang senapati
yang sudah terlatih, Wira Pati
bukanlah Wira Pati kalau ia harus
jatuh ngusruk terguling-guling.
Lain halnya dengan Daeng, ia
telah jatuh bergulingan... Namun
segera sudah kembali bangun berdiri. 
Beruntung pedangnya tidak terlepas
dari genggamannya.
Segera saja ia telah membentak
seraya menerjang langsung menebas
batang tubuh si Senapati. "Manusia
keparat...! Kau telah nodai anakku...!
Dia anakku, manusia iblis! Kubunuh
kau...!".
TRANG! TRANG ...! TRANG...! Tiga
serangan beruntun telah segera dapat
ditangkis oleh Wira Pati. Laki-laki
ini terkesiap bukan main, karena tahu-

tahu Daeng menerjangnya bagaikan gila.
Namun ia sudah mencabut tombak
pendeknya, dan menangkis serangan-
serangan ganas itu.
"Daeng...! Aku mana mengetahui
dia anak gadismu...? Salahmu sendiri,
mengapa tak menitahkan orang untuk
menjaganya...?". Bentak Senapati ini
dengan melotot gusar. Akan tetapi
Daeng sudah tak perduli lagi. Ia tak
akan puas kalau belum melihat manusia
di hadapannya itu direncah lumat
dengan pedangnya.
Kembali ia menerjang. Pedangnya
berkelebatan dengan serabutan. Agaknya
ia sudah terlalu emosi. Kemarahannya
sudah melebihi takaran. Karena siapa
yang takkan sakit hati jika mengalami
nasib seperti si Bupati ini. Walaupun
yang dihadapannya itu mertuanya
sendiri pun, tentu akan dicincangnya
sampai lumat.
WUT! WUT! WUT...! Kembali pedang
di tangan Daeng berkelebatan, Namun
Wira Pati telah berhasil menghindar.
Tiba-tiba wajahnya tampak menyeringai
sinis.
Dan ia telah keluarkan bentakan
keras. 
"Baiklah Daeng, kalau kau meng-
hendaki kematian...! Aku tak akan
segan-segan untuk mencabut nya-
wamu...!".
Selesai berkata, tiba-tiba tubuh

Senapati Wira Pati telah berkelebat di
antara sinar pedang Daeng Panuluh yang
bagaikan tiada berhenti menerjangnya.
Tombak pendek di lengan laki-
laki itu tampak membersitkan sinar,
tatkala diputarkan dengan cepat
menghalau kilatan pedang Daeng.
TRANNG...! Terdengar suara
benturan senjata. Daeng tersentak,
karena tiba-tiba pedangnya terlepas
dari genggamannya. Belum lagi ia sadar
akan kelanjutannya, tahu-tahu...
JROSS...! Laki-laki bertubuh
agak gemuk ini telah perdengarkan
teriakannya ketika tombak pendek yang
terbelit kain sutera merah itu
membenam ke jantungnya. Bagai terpaku
Daeng berdiri terhuyung. Sepasang
matanya seperti menyala menatap sang
Senapati yang berdiri di hadapannya.
Dan tampakkan senyum dingin pada laki-
laki di hadapannya.
"Manusia keparatt...! Kau...kau
kejam! Kau...ib...iblisss...". Suara
Daeng seperti mendesis parau. Akan
tetapi Wira Pati telah sentakkan ujung
tombaknya yang membenam di jantung
Daeng. Terdengar keluhan Bupati yang
bernasib sial itu.
Darah segera memuncrat dan
memercik menyirami tubuhnya, disertai
robohnya tubuh laki-laki itu. Yang
selanjutnya telah berkelojotan bagai
ayam disembelih. Namun sekejap telah

terdiam, setelah menyentakkan tubuhnya
sekali lagi seperti gerakan terakhir
melepas nyawanya, untuk berpindah ke
alam Akhirat.
Sang Senapati perdengarkan suara
dengusan di hidung, lalu dekati tubuh
Daeng, dan bersihkan ujung tombaknya
di baju laki-laki yang telah tak
bernyawa itu. Selanjutnya telah
selipkan kembali senjatanya ke
belakang punggungnya. Saat berikutnya
ia telah putarkan tubuh dan palingkan
kepala untuk mencari kudanya. Ternyata
sang kuda tunggangannya tidak pergi
jauh. Tampak dengan sekali lompat,
Wira Pati telah berada di dekat
kudanya. Kejap berikutnya ia telah
melompat cepat ke atas pelana, dan
selanjutnya sudah terdengar teria-
kannya menghardik binatang itu. Seraya
hentakkan kaki ke perut kuda. Maka
sekejap kemudian binatang itu telah
mencongklang dengan cepat, tinggalkan
tempat itu...
Begitu tubuh Senapati itu lenyap
di balik tikungan jalan, sesosok tubuh
sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya. Ternyata Mandra
adanya.
Tercenung pemuda itu menatap
tubuh sang Bupati yang dibencinya.
Tuntutan hatinya telah terlaksana.
Akan tetapi Mandra jadi berfikir dalam
benaknya. Ternyata orang-orang besar

yang punya kedudukanpun punya
masalah... Bahkan berbagai masalah!
Dari masalah yang bersih dan murni,
sampai masalah yang paling kotor. Yang
kesemuanya juga meminta korban darah
dan nyawa!
Terdengar pemuda pandai besi ini
menghela napas. Namun tak lama ia
segera berlalu untuk tinggalkan tempat
itu.
Tubuh Daeng cuma diam membisu.
Dia sudah tak lagi dapat fikirkan
jabatannya. Tak dapat lagi mengetahui
mana jalan lurus, dan mana jalan
sesat. Karena semasa hidupnya pun dia
telah tak mau tahu ke mana arah
langkah perbuatannya
Yang dipentingkan hanyalah
melulu kepuasan duniawi. Kepuasan yang
tak pernah ada habisnya...!
Juga Daeng tak akan pernah tahu,
kalau dua butir pel yang ia berikan
untuk anak gadisnya itu, justru telah
membawa kematian sang anak yang
dicintainya itu secara cepat. Karena
dua butir pel pemberian paderi Kuti
itu, bukanlah pel obat penawar dari
ramuan yang telah ia berikan pada anak
gadisnya. Melainkan dua butir pel
racun. Karena tak ada obat penawar
bagi ramuan yang telah ia berikan atas
pesanan Bupati Daeng Panuluh itu.
Kiranya waktu itu Daeng yang
telah bagaikan seekor serigala yang

keranjingan daging mentah, telah
menerima datangnya seekor kelinci
mulus.
Pesanan itu adalah khusus untuk
dirinya. Mana mungkin Daeng sia-siakan
kesempatan baik itu dengan percuma.
Tiada nikmat menyantap seekor kelinci
tanpa bumbu masakan penyedap.
Sayang...di saat ia akan menyantap,
laki-laki keranjingan ini telah
terhenyak bagaikan disambar petir,
karena sang kelinci terlalu mustahil
untuk dijadikan santapannya. Seekor
harimau ganas pun tak akan menerkam
anaknya sendiri.
Pepatah itu memang benar. Satu
tanda tahi lalat di bawah pusar sang
kelinci itu membuat ia tak jadi
laksanakan maksudnya.
Terpaksa ia memanggil sang
pembantunya untuk menyediakan santapan
nasi hangat dan sayur, serta ikan rawa
yang disukainya. Dalam kepanikan itu
ia segera mengisi perut sekenyang-
kenyangnya.
Sementara ingatannya telah
terbayang pada seorang bocah berusia
10 tahun yang telah lenyap ditelan
gelombang, di saat perahunya diserang
badai. Ia terdampar dan selamat dari
maut. Namun sang bocah perempuannya
telah lenyap tanpa diketahui mati
hidupnya. Delapan tahun cukup lama
untuk ia melupakannya. Akan tetapi

pertemuan itu telah di luar dugaan.
Sang bocah perernpuan itu telah
menjelma jadi seorang dara rupawan.
Yang nyaris jadi korban perbuatan
aibnya.
Tergesa Daeng menjumpai ketiga
sahabatnya si Tiga Paderi. Namun
kedatangannya sudah terlambat. Karena
Senapati yang gagah perkasa itu telah
menghancur leburkan segala-galanya.
Bahkan nyawanya sendiri pun telah
melayang pergi.
Sungguh suatu kehancuran total
yang amat mengenaskan ...
Mandra melangkah pergi dengan
langkah gontai. Tapi kini ia sudah
merasa sedikit lega karena tak lagi
mengurusi kemelut yang menggebu-gebu
dalam jiwanya. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar bentakan keras yang
membuatnya terkejut.
"Hantikan langkahmu, pembunuh!".
Dan sekejap telah berkelebatan muncul
tiga sosok tubuh. Belum lagi ia sempat
menatap ketiga wajah sosok tubuh itu,
salah seorang telah menyerangnya.
BUK! Satu hantaman pukulan
dengan telak telah mengenai dadanya.
Tak ampun lagi Mandra terjungkal
bergulingan dengan perdengarkan
keluhannya. Ternyata ketiga sosok
tubuh itu tak lain dari si ketiga
Paderi Lereng Gunung  Wilis. Hantaman
keras itu dilakukan oleh Kuti. Hingga

si pemuda itu tampak muntahkan darah
segar yang menggelogok keluar dari
mulutnya.
"He he he... Biar aku yang
menambahi dengan belaian Kipas Maut
ku...!" Berkata Lembu Alas si paderi
pendek. Yang segera saja sudah melesat
untuk menghunjamkan ujung kipasnya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat
sebuah bayangan menyambar ujung kipas.
TRANG...! Lembu Sura berteriak
tertahan karena rasakan lengannya
kesemutan. Dan tanpa ia sadari Kipas
bajanya telah terlepas dari
genggamannya. Dengan gerak cepat ia
telah melompat mundur empat tindak.
Dan dengan sebat telah gerakkan lengan
untuk kembali menangkap senjatanya.
Terkejut ketiga paderi itu
melihat sosok tubuh di hadapannya.
Yang tak lain dari Roro Centil, si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sebelah lengannya tampak memegang
senjata yang mirip mainan itu. Yang
diayun-ayunkan di atas ujung kakinya.
Dengan senjata anehnya itulah Roro
Centil menggagalkan serangan maut si
paderi pendek Lembu Alas. Ketiga
paderi menatap dengan terpaku seperti
terkesima. Namun Kuti tiba-tiba telah
perdengarkan suara tertawanya.
Walaupun diam-diam hatinya agak
gentar. Namun gengsi juga kalau harus
jeri pada seorang gadis semua itu. Apa

lagi Kuti masih berharap dapat merebut
kembali Kitab Ularnya.
Ternyata suara tertawa Kuti
telah mengandung tenaga dalam yang
hebat, yang ditujukan pada gadis
Pendekar. Terasa juga getaran tenaga
suara tertawa itu yang seperti membawa
pengaruh hebat. Karena tampak tubuh
Roro seperti terhuyung mau jatuh.
Melihat  demikian si paderi berkulit
hitam alias Kebo Ireng, segera meniup
Seruling Hitamnya. Hingga membersit
keluar suara yang bagaikan menusuk-
nusuk lubang telinga. Semakin
terhuyunglah tubuh Roro Centil... Dan
pada saat itu dengan diam-diam, Kuti
telah keluarkan sabuk suteranya.
Sementara suara tertawanya seperti
terus menggema tiada henti. Roro
Centil tampak lagi-lagi terhuyung
lemah, dengan sepasang mata setengah
terkatup. Tertawa menyeringai si
paderi pendek. Segera ia telah siapkan
tasbih hitam dan kipasnya  untuk
menyerang. Ternyata Kuti telah memberi
isyarat. Maka dengan berbareng kedua
tubuh itu segera menerjang Roro.
Tasbih hitam bergerak ke arah lengan
untuk menggubat. Dan kipas baja
meluncur deras untuk menotok.
Sementara Kuti luncurkan sabuk
suteranya  merapas senjata, disertai
gerakan sebelah lengannya manghantam
ke arah paha. Kuti memang sengaja mau

melumpuhkannya. Karena walau
bagaimanapun tak tega ia membunuh
gadis secantik itu. Kegagalannya yang
dulu seperti membuat ia merawa kecewa.
Kini ia berharap dapat mengulangi
niatnya untuk yang kedua kalinya.
Tampaknya Roro akan segera terkena
beberapa serangan kilat itu. Akan
tetapi kedua paderi ini jadi
melengak,... karena tubuh sang
pendekar itu tahu-tahu seperti roboh
ke belakang. Aneh! Dalam keadaan
terhuyung demikian, ternyata serangan
berbareng mereka telah mengalami
kegagalan total.
Segera saja Kuti merobah
serangan. Sabuk Suteranya telah
meluncur lagi ke beberapa bagian tubuh
Roro. Namun lagi-lagi tubuh Roro
Centil terhuyung mau jatuh ke kiri dan
ke kanan. Justru gerakan demikian itu
telah pula membuat gagalnya serangan
paderi jangkung itu. Gila...! Teriak
Kuti dalam hati. Dan ia telah
sarangkan beberapa pukulan keras
bertenaga dalam secara beruntun. Kali
ini Kuti sadar kalau ia sudah kembali
terkecoh. Gadis Pendekar ini banyak
akal bulusnya! Berfikir Kuti.
DUK! DUK! DES...! Tiga hantaman
itu ternyata telah disambuti Roro,
seperti gerakan yang tak disengaja.
Akan tetapi hebat akibatnya. Paderi
Kuti ini telah perdengarkan teriakan

kaget. Tubuhnya terjengkang ke
belakang lima-enam tombak. Sedang
tubuh Roro Centil justru melambung ke
atas. Ketika turun lagi telah menukik
seperti burung alap-alap menyambar
mangsanya. Senjata anehnya telah
berputar mendesing menyambar kepala.
Sementara itu si paderi bernama
Kebo Ireng telah hentikan tiupan
serulingnya. Kini melihat kakaknya
dalam bahaya, ia segera hantamkan
Seruling Hitamnya untuk menangkis
senjata aneh itu. THINGNG...!
Terdengar beradunya dua senjata.
Kepala Kuti lolos dari serangan si
Rantai Genitnya Roro Centil. Akan
tetapi sebuah tendangan kilat telah
membuat Kuti kembali terlempar
beberapa tombak bergulingan. Menggeram
laki-laki berkumis tebal ini. Ia sudah
segera bangkit berdiri, walau terasa
dadanya sesak. Tiba-tiba Kuti telah
berikan isyarat untuk  menerjang
berbareng pada kedua adiknya. Segera
saja ketiga paderi palsu itu saling
berlompatan menerjang Roro. Berkele-
batanlah beberapa senjata ke arah
tubuh si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Namun Roro telah segera
pergunakan jurus Tarikan Bidadari
Mabuk Kepayang. Segera saja terlihat
tubuh gadis itu bagaikan tengah
menari-nari di antara kelebatannya
senjata. Namun hebatnya, setiap

serangan telah berhasil dihindarkan.
Bahkan Roro tidak cuma membisu saja,
melainkan sambil perdengarkan tertawa
mengikik, yang kedengarannya membuat
orang jadi meremang bulu tengkuknya.
Sementara itu Mandra dalam
keadaan yang amat parah. Karena Kuti
telah menyerangnya dengan serangan
pukulan bertenaga dalam penuh. Hingga
lagi-lagi Mandra harus muntahkan darah
segar. Pada saat itu telah
berkelebatan ke arahnya dua sosok
tubuh seraya diiringi teriakan
terkejut.
"Mandra...!? Oh! Kau kenapa-
kah...?". Teriakan itu ternyata dari
suara seorang gadis berbaju merah.
Yang tak lain dari Roro Dampit.
Sementara yang seorang lagi adalah
Sentanu. Segera mereka lakukan
pertolongan pada pemuda itu. Dengan
menggotongnya ke tempat yang aman.
Sesaat kemudian Roro Dampit telah
balikkan tubuh dan berdiri memandang
pada tempat pertarungan. Sepasang
matanya tampak seperti menyala melihat
ketiga paderi yang tengah mengerubuti
Roro Centil. Segera saja ia telah
gerakkan lengan mencabut senjatanya,
sepasang ruyung dari kedua belah
pinggangnya. Seraya berkata;
"Aku harus bantu menggempur tiga
manusia durjana itu. Kau bantulah
menolongnya sobat Sentanu...!".

Sekejap ia telah melompat ke arah
pertempuran. Dan selanjutnya sudah
perdengarkan bentakan nyaring.
Sepasang ruyungnya yang terdiri dari
tiga ruas besi yang terikat rantai
segera berkelebatan menerjang deras ke
arah dua orang paderi.
Kuti mendelik gusar. Nyaris saja
dadanya kena terhantam. Sementara si
paderi bernama Kebo Ireng telah
menangkis dengan Seruling besinya.
Lengan Kuti bergerak menghantam.
THAK...! Paderi ini menjerit
parau ketika sebuah kerikil terlebih
dulu menghantam telak lengannya.
Hingga pukulannya telah ia tarik
kembali.
Sementara Roro Dampit melengak
heran, telah terdengar suara tertawa
di atas pohon. Ternyata seorang pemuda
berbaju putih. Siapa lagi pemuda itu
kalau bukan Ginanjar, murid mendiang
si Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta.
Mendengar suara tertawa gelak-
gelak itu membuat Kuti jadi mendongak
ke atas. Akan tetapi justru bandulan
si Rantai Genit hinggap telak di
kepalanya.
THOK...! Lagi-lagi Kuti ber-
teriak kesakitan. Tampak kepalanya
kebulkan asap seperti uap putih.
Tak ampun lagi si  Paderi
jangkung ini sudah berjingkrakan
memegangi kepalanya, sambil berteriak-

teriak.
Ginanjar di atas pohon semakin
gelak terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha... Hebat kau
Roro...! Kepala orang kau buat benjol
sebesar telur angsa! Ha ha ha...lucu!
Lucu...! Ada monyet gundul sedang
menari...!". Ginanjar terpingkal-
pingkal melihat Kuti yang berjing-
krakan. Akan tetapi suara tertawa si
pemuda itu jadi terhenti, karena
sekonyong-konyong si paderi jangkung
telah bergerak melompat menyerudukkan
kepalanya ke batang pohon yang
dinaikinya.
KRAAKKK...! Batang pohon ber-
derak patah yang kemudian roboh dengan
suara bergemuruh. Namun Ginanjar telah
segera melompat turun, dan jejakkan
kaki ke tanah. Terlihat tubuh Kuti
terhuyung-huyung. Kepalanya telah
mengalirkan darah. Akan tetapi
aneh...! Ternyata Kuti kembali
menyerudukkan kepalanya ke batang
pohon lainnya.
Bahkan ke sebuah batu besar yang
tak jauh berada di tomput itu.
Berulang kali ia menumbukkan
kepalanya, hingga darah bercucuran
kian banyak. Entah apa yang terjadi
sehingga Kuti berlaku demikian. Hingga
kemudian yang terlihat adalah batok
kepala Kuti yang remuk, ketika ia
menghantamkan sekali lagi pada batu.

Tampak tubuh laki-laki itu berkelo-
jotan mengerikan. Lalu sesaat kemudian
telah diam untuk tak berkutik lagi.
Terkejut Ginanjar, juga si
wanita baju merah. Yang segera lompat
ke belakang. Sementara itu Roro Centil
tetap sibuk bertarung. Tiba-tiba
terdengar teriakan Roro yang meleng-
king tinggi. Suara lengkingan yang
mengandung tenaga dalam hebat. Membuat
Lembu Alas dan Kebo Ireng jadi terpaku
terkesima. Pada saat itulah tubuh Roro
melesat ke atas tujuh-delapan tombak.
Ketika menukik lagi telah meluncur
deras senjata si Rantai Genitnya.
Segera saja terdengar suara batok
kepala yang pecah. 
PROK...! PROK...! Tak ampun lagi
robohlah tubuh kedua paderi palsu itu
dengan berkelojotan, tanpa bisa
mengeluarkan teriakan lagi. Sekejap
antaranya kedua manusia durjana itu
telah tewas.
Kejadian itu berlalu dengan
cepat. Hingga ketika semua orang
tengah terkesiap, tubuh si Pandekar
Wanita Pantai Selatan tahu-tahu telah
berkelebat cepat... dan sekejap telah
lenyap.
Tapi di kejauhan sudah terdengar
suara tertawanya yang mengikik
panjang.
Ginanjar baru tersentak dari
terkesimanya. Segera ia sudah berke-

lebat mengejar seraya berteriak;
"ROROOOOOO...! ROROOOOO...!".
Dan tubuh pemuda berbaju putih itu pun
sekejap kemudian segera lenyap.
Keadaan di tempat itu kembali
sunyi. Si gadis baju merah segera
tersadar dari terpakunya, ketika
mendengar suara keluhan Mandra. Tampak
sepasang lengan pemuda itu mencekal
erat lengan Sentanu. Keadaan Mandra
semakin parah. Roro Dampit segera
memburunya. Terlihat Sentanu mendekat-
kan sebelah telinganya pada bibir
Mandra yang tampak semakin hilang
suaranya. Entah apa yang dibisikkan
pemuda itu pada Sentanu. Cuma yang
terlihat laki-laki tampan berkumis
kecil itu manggut-manggut dengan
terharu.
Selang sesaat setelah pemuda itu
tampakkan senyumannya, segera kepala-
nya terkulai... Sentanu terkejut, dan
mengguncang-guncangkan tubuh sahabat-
nya itu.
Akan tetapi Mandra telah wafat.
Nyawanya telah melayang, kembali
menghadap Tuhan. Tinggalkan jasadnya
yang telah remuk isi dadanya akibat
pukulan keji si paderi palsu bernama
Kuti.
Roro Dampit mengusap air matanya
yang telah mengalir di kedua pipinya.
Betapa ia merasa kehilangan. Seolah
sahabatnya itu sudah bukan orang lain

lagi. Karena mereka sudah sangat
akrab.
Tampak Sentanu pun menatap
sedih. Lengannya sudah lantas bergerak
mengusap wajah pemuda itu. Yang segera
sepasang matanya terpejam.
Tak lama kemudian laki-laki
bekas  perwira Kerajaan Medang itu
sudah bangkit berdiri dengan memondong
tubuh sahabatnya yang sudah menjadi
mayat. Dan tindakkan kaki untuk segera
tinggalkan tempat itu.
Di belakangnya mengikuti si
gadis baju merah yang menundukkan
kepala dengan melangkah gontai...
Senja semakin temaram. Cahaya
merah yang membersit di ujung iangit,
sebentar lagi akan sirna. Timbulkan
bayang-bayang yang memanjang, dari
dahan-dahan pohon dan dua sosok tubuh
itu... yang terus melangkah menuju
arah pedesaan.
Pada sebuah persimpangan  jalan,
terdengar ringkik seekor kuda yang
segera berlari menghampiri ke arah
laki-laki itu. Si gadis baju merah
meraih tali kendalinya yang terjuntai
di leher binatang itu. Lalu
menuntunnya di belakang tubuhnya.
Cahaya mentari sebentar lagi akan
lenyap ...
Akan tetapi mereka yakin akan
adanya cahaya yang membersit lagi esok
pagi. Seperti juga harapan semua
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

makhiuk di atas bumi. Makhluk-makhluk
yang rindukan kedamaian. Rindukan
kesejahteraan. Walau Dunia terus
berubah dengan tingkah polah dari
makhluk-makhluk isinya. Namun keda-
maian akan tetap didambakan, sebagai
perlambang cinta kasih yang hakiki.



TAMAT