Pengemis Binal 26 - Sepasang Racun Api(2)






Mendadak, terdengar suara tawa panjang
bergelak-gelak. Hantu Jangkung merayap bangkit
dari atas tubuh Hantu Bongkok. Begitu tubuhnya
terbebas dari beban yang cukup berat, Hantu
Bongkok pun tertawa mengikik....
"Hi hi hi...! Hebat! Hebat sekali kau, sua-
miku Hantu Jangkung. Kekuatan yang kau dapat
dari Pesanggrahan Pelangi benar-benar luar bi-
asa!"
"Ha ha ha...! Kau jangan mengejek, istriku
Hantu Bongkok! Kaulah yang hebat! Andai saja
aku tidak mengempos tenaga sampai ke puncak,
mana aku dapat menahan geliatan tubuhmu yang
begitu ganas. Ha ha ha...!"
Tiba-tiba, Hantu Bongkok menepuk pung-
gung suaminya yang tengah tertawa puas. Den-
gan kening berkerut, dia memberi isyarat mata.
"Berani datang ke tempat kediaman Sepa-
sang Racun Api berarti telah bosan hidup!" teriak
Hantu Jangkung yang dapat menangkap isyarat
istrinya. "Keluar! Atau, kulumatkan tubuh kalian
di tempat ini juga!"
Peramal Buntung dan Dewa Peramal terke-
jut karena telah ketahuan. Untuk beberapa saat
kedua kakek cacat itu tak tahu apa yang harus
diperbuat.
"Bagaimana ini?" tanya Peramal Buntung.
"Kita pergi!"
Mengingat nama Pesanggrahan Pelangi dan
Siluman Ragakaca, Peramal Buntung langsung
menyetujui gagasan Dewa Peramal. Bertepatan
dengan tubuh mereka yang berkelebat pergi, Han-

tu Jangkung mengibaskan telapak tangan kanan-
nya. Segumpal api biru mengandung racun ganas
melesat!
Blarrr...!

4

Pengemis Binal yang tengah tidur di teras
kuil tersentak kaget merasakan hembusan angin
kencang yang memperdengarkan suara bersiut
keras. Bergegas pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini meloncat bangun seraya mem-
buka mata lebar-lebar. Ditatapnya dua orang ka-
kek cacat yang telah berdiri di halaman kuil. Pe-
ramal Buntung dan Dewa Peramal!
"Kulihat wajah kakek berdua pucat. Ku-
dengar tarikan napas kakek berdua memburu pu-
la. Apakah ada sesuatu yang amat menakutkan?"
ujar Suropati sambil  mengucak-ucak matanya
yang masih terasa berat.
"Aku baru saja melihat Sepasang Racun
Api...," beri tahu Peramal Buntung.
"Kenapa dengan mereka?"
"Telah terbukti bila mereka menjadi kaki
tangan Siluman Ragakaca!"
Walau Peramal Buntung berkata setengah
berteriak dan penuh kesungguhan, Pengemis Bi-
nal tak menjadi terkejut. Karena, remaja tampan
ini belum mengenal siapa Siluman Ragakaca.65
"Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Dewa
Peramal, mengalihkan pembicaraan. Maksudnya

menanyakan Putri Ayu Jelita.
"Dia telah pergi," jawab Pengemis Binal,
singkat.
"Hmmm.... Kalau begitu, dia telah sembuh.
Memang, aku percaya betul pada khasiat 'Akar
Kayangan'," ujar Dewa Peramal, lirih. Lalu, kakek
buta ini memalingkan muka ke arah Peramal
Buntung seperti dapat melihat, seraya berkata,
"Tidak ada lagi yang dapat kuperbuat di sini. Soal
Sepasang Racun Api bisa kita rundingkan lain
waktu, sahabatku Peramal Buntung."
Usai berkata, Dewa Peramal menjejakkan
kaki kanannya tiga kali. Tempurung kelapa mem-
bentur tanah keras. Tok! Tok! Tok! Di lain kejap,
sosok Dewa Peramal telah hilang dari pandangan.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung melepaskan
kepergiannya tanpa berkata apa-apa.
"Kau katakan tadi bahwa Sepasang Racun
Api telah menjadi kaki-tangan Siluman Ragakaca.
Siapa itu Siluman Ragakaca?" tanya Pengemis Bi-
nal kemudian.
"Dia penguasa Pesanggrahan Pelangi," ja-
wab Peramal Buntung.
"Pesanggrahan Pelangi? Tempat macam
apa itu? Dan, di mana letaknya?"
"Maaf, Tuan Muda.... Aku tak tahu."  
Suropati garuk-garuk kepala dengan alis
bertaut.
"Banyak tokoh di Negeri Pasir Luhur ini
membicarakan Pesanggrahan Pelangi. Namun, di
antara mereka sama sekali tak ada yang tahu di
mana pesanggrahan itu berada. Yang jelas, Silu-

man Ragakaca adalah seorang tokoh sakti yang
baru-baru ini muncul dan membuat gempar den-
gan menarik banyak tokoh tua untuk dijadikan
kaki-tangannya. Semua kaki-tangannya akan di-
beri sebuah tugas...."
"Apa?"
"Setiap orang berbeda. Tugas apa itu, aku
tak tahu, Tuan Muda. Tapi menilik dari orang-
orang yang bersedia jadi kaki-tangan Siluman Ra-
gakaca, tugas yang diberikan itu pastilah men-
gandung unsur kejahatan...."
"Sebentar...," seru Suropati. "Kenapa kau
selalu menyebutku dengan 'tuan muda', Kek?"
Peramal Buntung tersenyum. "Apakah
Tuan Muda lupa pada kejadian kemarin?"
"Kejadian apa?"
"Aku kalah bertaruh dengan Dewa Peramal.
Akibatnya, aku harus menepati janjiku untuk
menjadi budak pengiring Tuan Muda seumur hi-
dup."
"Ah! Itu terlalu berat bagimu, Kek. Lagi pu-
la aku tak butuh budak pengiring. Jika Kakek
mau bersahabat denganku saja, itu sudah meru-
pakan kebahagiaan bagiku."
"Tapi... orang tua seperti aku pantang men-
jilat ludah yang sudah ditumpahkan. Bila Tuan
Muda menolak, aku malah akan merasa terhina."
Pengemis Binal geleng-geleng kepala men-
dengar ucapan Peramal Buntung. Remaja tampan
ini jadi serba salah.
"Ketika bertempur kemarin itu, Tuan Muda
menggunakan ilmu apa? Sambil tidur, kenapa bi-

sa mengirim serangan begitu hebat?" tanya Pe-
ramal Buntung kemudian.
"Arhat Tidur," jawab Pengemis Binal, sing-
kat. Mendadak, remaja tampan ini teringat pada
Putri Ayu Jelita yang tampaknya menyimpan ma-
salah berat. Kenapa gadis itu bertempur dengan
Sepasang Racun Api?
"Kau pergilah sesuka hatimu, Kek...," kata
Pengemis Binal kemudian. "Kalau aku memang
membutuhkan bantuanmu, aku pasti mencari-
mu."
"Tapi...."
Peramal Buntung tak melanjutkan kali-
matnya karena Pengemis Binal keburu berkelebat
meninggalkan tempat. Tinggallah kakek berompi
kuning ini terlongong bengong.

* * *

"Ada-ada saja kakek buntung itu!" gerutu
Suropati. "Kenapa dia mau menjadi budak pengi-
ringku, padahal dia belum kenal siapa aku.
Hmmm.... Aku lupakan saja dia. Lebih baik aku
mencari Putri Ayu Jelita. Ada kesempatan bagus,
mana mau aku melepas begitu saja...."
Pengemis Binal menghentikan kelebatan
tubuhnya. Untuk beberapa lama remaja konyol
ini cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Ke mana aku mencari gadis itu?" tanya
Suropati kepada dirinya sendiri. "Hmmm.... Dia
pernah berurusan dengan Sepasang Racun Api.

Akan kupaksa mereka untuk memberi keteran-
gan. Kakek Peramal Buntung mengatakan bahwa
mereka telah menjadi kaki-tangan Siluman Raga-
kaca. Sambil menyelam minum air. Akan kukorek
keterangan dari mereka tentang Pesanggrahan Pe-
langi dan Siluman Ragakaca. Kalau mereka me-
nolak, hmmm…"
Terbawa pikiran di benaknya, Pengemis Bi-
nal berlari cepat untuk segera sampai di tempat
kediaman Sepasang Racun Api. Namun baru saja
sampai di kaki gunung yang dituju, di sebuah ja-
lan yang cukup lebar, sebuah teriakan membuat
langkahnya terhenti.
"Tunggu dulu!"
Pengemis Binal menoleh ke belakang. Kon-
tan remaja konyol ini tersenyum senang ketika
tahu yang meneriakinya seorang gadis cantik ber-
pakaian serba putih.
"Putri Ayu Jelita...," desis Pengemis Binal.
"Bukan," si gadis menggeleng. "Aku bukan
Putri Ayu Jelita. Aku salah seorang temannya."
Mendengar ucapan itu, Suropati nyengir
kuda menyimpan rasa malu. Dia telah salah lihat.
"Bukankah Tuan Muda yang bernama si
Pengemis Binal Suropati?" ujar gadis berpakaian
serba putih.
"Ya..., ya!"
"Ratu Istana Dalam sudah lama mendengar
kebesaran nama Tuan Muda. Kini, beliau berke-
nan untuk mengundang."
"Aku diundang Ratu Istana Dalam? Diun-
dang untuk apa? Dan, siapa pula Ratu Istana Da-

lam?" cerocos Pengemis Binal, konyol.
"Nanti Tuan Muda juga akan tahu sendiri."
Pengemis Binal garuk-garuk kepala seben-
tar,  lalu berkata, "Hmmm.... Kau katakan tadi
bahwa kau adalah salah seorang teman Putri Ayu
Jelita. Bila aku memenuhi undangan orang yang
kau sebut Ratu Istana Dalam itu, apakah aku
akan berjumpa dengan Putri Ayu Jelita?"
"Tuan Muda tak perlu khawatir."
"Baiklah kalau begitu," ujar Pengemis Binal
tanpa curiga. Remaja konyol ini memang sering
jadi linglung bila berhadapan dengan gadis can-
tik. Sambil tersenyum-senyum, dia melanjutkan
kalimatnya, "Yang mengundang aku seorang ratu.
Aku tentu akan masuk ke istana. Ya..., ya aku se-
tuju. Tapi, kita naik apa?" 
"Lihatlah itu!"
Pengemis Binal mengarahkan pandangan
ke tempat yang ditunjukkan si gadis. Remaja ko-
nyol ini geleng-geleng kepala sewaktu melihat se-
buah kereta yang berbentuk burung merpati
emas. Empat kuda penariknya berbulu kuning
berkilat, tampak gagah dan kuat. Sementara, di
kanan kiri kereta terlihat enam kuda putih yang
ditunggangi gadis-gadis cantik. Semuanya berpa-
kaian serba putih dan memakai ikat pinggang se-
lendang sutera kuning.
"Aku naik kereta itu?" tanya Suropati, se-
tengah tak percaya.
"Ya. Kita berangkat sekarang."
Tak lama kemudian, Suropati telah berada
di dalam kereta kuda yang melaju ke utara. Se-

makin lama semakin cepat. Angin yang berhem-
bus semilir sejuk membuat Suropati terlena, lalu
terlelap dalam buaian mimpi....

* * *

Suropati tak tahu sudah berapa lama di-
rinya tertidur. Manakala bangun, keterkejutan
menghantam. Dari balik jendela kereta, Suropati
mengedarkan pandangan. Tak ada lagi jajaran
pohon yang semula dia lihat banyak tumbuh di
pinggir jalan-jalan yang terlewati. Sebagai gan-
tinya, ke mana pun Suropati memandang, yang
terlihat hanya gumpalan-gumpalan kabut! Suro-
pati merasakan udara jadi amat dingin. Sunyi se-
nyap! Tak terdengar lagi derap langkah kuda! Pa-
dahal, kereta yang ditumpangi Suropati terus me-
laju!
"Hei! Kalian membawa aku ke mana?!" te-
riak Pengemis Binal dengan bulu kuduk merind-
ing.
Enam gadis cantik yang berkuda di kanan
kiri kereta diam membisu, tak memberikan jawa-
ban. Demikian pula gadis cantik yang menjadi
kusir kereta.
"Hei! Kalau kalian diam saja, aku akan me-
loncat pergi!"
Pengemis Binal berteriak lebih keras. Kare-
na tetap tak mendapat jawaban, remaja tampan
ini membuka pintu kereta dengan kasar. Dan,
mendeliklah mata Pengemis Binal. Sewaktu men-
garahkan pandangan ke bawah, hanya gumpalan-

gumpalan kabut yang terlihat!
"Kita sudah sampai...," ujar gadis kusir
kemudian.
Dengan membawa perasaan bingung dan
kalut, Suropati melongok ke depan. Sekitar lima
tombak dari hadapan kereta kuda yang telah ber-
henti, terlihat sebuah kapal tanpa layar. Belasan
gadis cantik berpakaian serba putih berdiri berja-
jar di atas geladak. Sikap mereka seperti tengah
menunggu seorang tamu agung.
"Sekarang, kita melanjutkan perjalanan
dengan naik kapal itu," ujar gadis kusir seraya
meloncat dari kereta.
Pengemis Binal hanya garuk-garuk kepala
ketika lengannya digamit dan dibawa meloncat.
Begitu kaki remaja yang tengah kebingungan ini
menginjak geladak kapal, belasan gadis cantik
yang telah menunggu langsung membungkuk
hormat kepadanya.
"Apa arti semua ini?" tanya Suropati, tak
mengerti.
"Bukankah Tuan Muda akan memenuhi
undangan Ratu Istana Dalam?" ujar gadis kusir.
"Ya. Tapi..., aku ini sekarang berada di
mana?"
"Tuan Muda masih berada dalam perjala-
nan menuju Istana Langit."
"Istana Langit? Jadi, sekarang aku ini be-
rada di angkasa?"
Gadis kusir tak menjawab. Sementara,
kapal telah melaju, menembus gumpalan kabut.
Suropati terus nyerocos mengajukan pertanyaan,

tapi tak satu pun pertanyaannya yang dijawab.
Semua gadis yang di kapal diam membisu. Akhir-
nya, Suropati turut membisu juga.
Beberapa saat kemudian, Suropati melihat
kapal lain di depan. Kapal itu lebih besar dan le-
bih indah pula. Badan kapal membentuk burung
merpati dan dilaburi warna emas.
"Sekarang, Tuan Muda silakan pindah ke
kapal itu...," ujar gadis kusir.
Pengemis Binal menatap wajah gadis-gadis
di sekitarnya beberapa saat. Semuanya diam.
Sementara, di atas Kapal Merpati Emas telah me-
nanti seorang gadis yang telah dikenal oleh Suro-
pati. Putri Ayu Jelita!
Merasa mendapat seorang teman, bergegas
Suropati mengayunkan langkah menuju anjun-
gan. Tapi mendadak, pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini merasakan hembusan
angin kencang dari belakang. Rambut dan pa-
kaiannya berkibar-kibar. Tak mau tubuhnya ter-
lontar, segera dia mengerahkan tenaga dalam un-
tuk menambah berat tubuhnya.
"Hmmm.... Gadis-gadis di belakangku ini
sengaja menjajal kepandaianku. Kalian boleh li-
hat...," kata Suropati dalam hati.
Ketika angin ciptaan belasan gadis berpa-
kaian serba putih berhembus lebih kencang, Pen-
gemis Binal menggerendeng. Terlihat kemudian,
sekujur tubuh Pengemis Binal terbungkus cahaya
kebiruan. Tiupan angin tak kuasa lagi mengibar-
kan rambut dan pakaian remaja konyol ini. Apa-
lagi melontarkan tubuhnya!

Kini, tenang-tenang saja Pengemis Binal
mengayunkan langkah. Sesampai di anjungan,
ternyata jarak kapal yang ditumpanginya dengan
Kapal Merpati Emas masih tiga puluh tombak.
"Tuan Muda begitu hebat. Pastilah Tuan
Muda dapat meloncat ke Kapal Merpati Emas
dengan mudah!" seru salah seorang gadis di bela-
kang Suropati.
Merasa mendapat tantangan, Pengemis Bi-
nal menggerendeng lagi. Kalau hanya jarak tiga
puluh tombak, Pengemis Binal memang dapat
menempuhnya hanya dengan sekali loncatan. Ta-
pi, dia tak mau mempertontonkan ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah lazim dilihat orang. La-
gi pula, remaja konyol ini tengah menyimpan rasa
jengkel. Maka, dia ingin menunjukkan kemam-
puannya yang lebih besar.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Suro-
pati mengangkat kedua telapak tangannya hingga
menghadap Kapal Merpati Emas. Belasan gadis
berpakaian serba putih berdecak kagum ketika
melihat Kapal Merpati Emas tersedot oleh telapak
tangan Suropati!
Saat jarak di antara dua kapal tinggal satu
jengkal, Pengemis Binal meloncat ke geladak Kap-
al Merpati Emas seraya berseru, "Putri Ayu Jeli-
ta!"
Putri Ayu Jelita menyambut dengan se-
nyum manis. Sesaat jiwa Pengemis Binal terasa
terbang. Paras Putri Ayu Jelita memang cantik
luar biasa. Lebih cantik dari gadis-gadis yang
pernah dijumpai Pengemis Binal sebelumnya.

Suropati pun menyangka Putri Ayu Jelita-
lah yang disebut sebagai Ratu Istana Dalam, yang
telah mengundangnya. Namun, remaja konyol ini
kecele manakala....
"Ratu Istana Dalam telah lama mengagumi
kepandaian Tuan Muda...," ujar Putri Ayu Jelita.
"Suatu kehormatan besar bagi kami-kami peng-
huni Istana Langit. Tuan Muda telah berkenan
memenuhi undangan junjungan kami...."
"Kau bukan Ratu Istana Dalam?" tanya Su-
ropati sambil garuk-garuk kepala.
"Bukan. Saya hanyalah Ratu Istana Luar
yang tak punya kepandaian apa-apa. Kedudukan
saya di bawah Ratu Istana Dalam."
Mendengar penjelasan Putri Ayu Jelita,
Pengemis Binal mengangguk-angguk walau belum
mengerti. Istana Langit? Ratu Istana Dalam? Ratu
Istana Luar? Semua itu membuat otak Suropati
jadi bebal. Belum lagi bila mengingat Pesanggra-
han Pelangi dan Siluman Ragakaca. Apakah Ista-
na Langit ada hubungannya dengan Pesanggra-
han Pelangi?
Sementara Pengemis Binal larut dalam pi-
kiran di benaknya, Kapal Merpati Emas melaju
cepat. Setelah menembus gumpalan-gumpalan
kabut, sampailah Pengemis Binal di depan istana,
besar megah. Istana itu terselubungi cahaya kee-
masan yang membuat gumpalan kabut di seki-
tarnya menjadi berwarna keemasan pula.
Suropati lalu dibawa masuk ke istana. Dia
mengikuti langkah Putri Ayu Jelita dengan hati
ragu. Namun, dalam diri remaja konyol ini segera

timbul keinginan untuk mengetahui rupa orang
yang disebut Ratu Istana Dalam. Kedudukan Ra-
tu Istana Dalam lebih tinggi dari Putri Ayu Jelita,
dia tentu lebih cantik pula. Suropati jadi tak sa-
baran lagi untuk segera berjumpa dengan Ratu
Istana Dalam.
Mengikuti langkah Putri Ayu Jelita, Suro-
pati melangkah menapaki jalan-jalan  berliku  di
dalam istana. Semakin lama Suropati merasa te-
lah memasuki sarang tikus yang amat membin-
gungkan. Sulit menentukan arah mata angin. Ke-
pala Suropati jadi pening.
Untunglah perjalanan ini tidak memakan
waktu banyak. Kini, Suropati telah berada di se-
buah ruangan besar yang indah luar biasa. Di sa-
na sini dipenuhi hiasan gemerlap. Lebih indah da-
ri hiasan istana Prabu Arya Dewantara ataupun
istana Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
pernah Suropati masuki.
Namun..., Suropati jadi heran tak habis
mengerti. Di dalam ruangan indah itu bukan seo-
rang gadis cantik yang dia temui, melainkan seo-
rang wanita setengah baya bertubuh gemuk bun-
dar. Pipinya tembam, hidungnya pesek, dan bi-
birnya tebal berwarna hitam. Lebih buruk lagi,
kepala wanita itu halus licin tak ditumbuhi sehe-
lai rambut pun!
"Si Pengemis Binal Suropati telah saya ha-
dapkan, Yang Mulia Ratu Istana Dalam...," ujar
Putri Ayu Jelita. Gadis cantik ini membungkuk
hormat ke arah wanita gemuk yang duduk di be-
lakang meja besar.

"Walah... walah...! Inikah yang disebut Ra-
tu Istana Dalam?" kata hati Pengemis Binal. "Tak
kusangka dia begitu buruk rupa. Bagai bumi dan
langit bila dibandingkan dengan Putri Ayu Jelita!"
"Terima kasih, Putri. Kau boleh pergi," ujar
wanita gemuk yang memang Ratu Istana Dalam.
Selagi Putri Ayu Jelita beranjak keluar
ruangan, Pengemis Binal garuk-garuk kepala.
"Kenapa berdiri saja? Duduklah, Tuan Mu-
da...," ujar Ratu Istana Dalam.
Suropati mengambil tempat di kursi, ber-
hadapan dengan Ratu Istana Dalam. Dia jadi jen-
gah melihat tatapan Ratu Istana Dalam yang se-
perti hendak menelanjanginya. Kontan kepalanya
menunduk terus.
"Hmmm.... Rupanya pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti adalah orang yang
sangat pemalu," ujar Ratu Istana Dalam, tak tahu
sifat dan watak Suropati sebenarnya. "Telah lama
kami, orang-orang Istana Langit, mendengar na-
ma dan mengagumi ilmu kesaktian Tuan Muda
Suropati. Maka, aku yang rendah dan amat bodoh
ini memberanikan diri untuk meminta beberapa
petunjuk istimewa dari Tuan Muda...."
Sambil melempar senyum dan kerlingan,
Ratu Istana Dalam menekan pinggiran meja di
hadapannya. Suropati merasakan sebuah getaran
aneh yang memaksanya mengangkat wajah. Ter-
kesiap remaja tampan tapi konyol ini melihat poci
arak besar yang semula berada di atas meja telah
melayang setinggi satu depa!
"Jangan tertawakan kepandaian yang tak

seberapa ini. Harap Tuan Muda memberi petun-
juk istimewa nantinya."
Usai berkata, Ratu Istana Dalam mengang-
kat tangan kirinya, sementara tangan  kanannya
tetap menekan pinggiran meja. Mau tak mau Su-
ropati mesti berdecak kagum manakala melihat
anggur merah di dalam poci menyembur ke atas
seperti mata air yang baru dibuka. Anggur merah
yang keluar dari poci tidak menjadi buyar atau
tumpah ke permukaan meja dan lantai, tapi ber-
kumpul menjadi gumpalan bulat seperti bola!
Mendadak, tangan kiri Ratu Istana Dalam
mengibas pelan. Bola anggur merah pecah men-
jadi titik-titik halus yang menebar ke seluruh
ruangan. Aroma harum anggur pun tercium ke
mana-mana.  Suropati terkesiap ketika titik-titik
anggur itu sebagian hendak menghujani tubuh-
nya. Namun sebelum remaja konyol ini bergerak
menghindar, Ratu Istana Dalam menengadahkan
telapak tangan kirinya. Dan..., titik-titik anggur
yang mirip air hujan berwarna merah tidak mau
turun. Semuanya melayang seperti ditahan oleh
sebuah kekuatan yang tak tampak oleh mata! 
"Kembali...!"
Diawali perintah demikian, titik-titik ang-
gur yang melayang di dalam ruangan menyerbu
masuk lagi ke dalam poci. Tanpa ada setitik pun
yang tertinggal ataupun jatuh ke lantai!
Poci yang telah dipenuhi anggur merah lalu
turun kembali di atas meja. Melihat Ratu Istana
Dalam yang sengaja menunjukkan ilmu kepan-
daian itu Suropati cuma nyengir kuda sambil ga-

ruk-garuk kepala.
"Tuan Muda jangan mentertawakan kepan-
daianku yang tidak ada artinya ini...," ujar Ratu
Istana Dalam. Walau merendah, tapi nadanya je-
las menunjukkan sebuah tantangan.
Pengemis Binal menatap wajah Ratu Istana
Dalam sekilas. Lalu, diam-diam remaja konyol ini
menjepit pinggiran meja dengan sepuluh jari tan-
gannya. Tanpa diketahui oleh Ratu Istana Dalam,
kekuatan tenaga dalam yang panas luar biasa
mengalir menuju poci anggur yang terletak di ten-
gah meja. Di lain kejap, terdengar suara mende-
sis. Namun Ratu Istana Dalam tidak menaruh cu-
riga apa-apa.
"Pada saatnya nanti kami, orang-orang Is-
tana Langit, meminta dengan penuh pengharapan
kepada Tuan Muda untuk memberikan petunjuk
yang benar-benar istimewa...," kata Ratu Istana
Dalam kemudian. "Namun, saat ini kami tidak pa-
tut mengharap terlalu banyak. Tuan Muda kami
undang sebagai tamu terhormat. Kami wajib me-
nyambut kedatangan Tuan Muda terlebih dulu.
Marilah kita minum secawan dua cawan anggur
yang telah tersedia...."
Setelah berkata, Ratu Istana Dalam meraih
sebuah cawan yang terletak di samping poci. Na-
mun, betapa terkejutnya wanita gemuk berkepala
gundul ini. Sewaktu meraih poci, dia tidak meli-
hat setetes pun anggur di dalamnya!
Sadarlah Ratu Istana Dalam bila Suropati
telah membuat anggur merah dalam poci men-
guap habis, yang tentunya dengan  mengalirkan

kekuatan tenaga dalam yang mengandung hawa
panas luar biasa!
"Bagus! Bagus!" seru Ratu Istana Dalam.
"Diam-diam Tuan Muda telah memberi petunjuk
kepada diriku yang bodoh dan sangat kurang
pengalaman ini."
"Ratu mengundangku kemari apakah
hanya  untuk diajak bermain-main seperti ini?"
ujar Pengemis Binal.
"Oh! Tentu saja tidak," sahut Ratu Istana
Dalam. "Tapi kalau aku berterus terang, aku ta-
kut Tuan Muda akan tersinggung dan marah...."
"Hmmm.... Kenapa mesti tersinggung? Ke-
napa pula mesti marah bila Ratu tidak bermak-
sud buruk terhadapku?"
'Ya..., ya! Memang lebih baik aku berterus
terang. Bertambah keyakinanku bila Tuan Muda
memang seorang tokoh yang sangat berbudi...."
"Jangan terlalu memuji, Ratu!" potong Pen-
gemis Binal. "Bila salah aku menerima, kepalaku
akan membengkak, aku akan jadi sombong.'"
"Ya, ya, ya!" Ratu Istana Dalam mengang-
guk-anggukkan kepala. "Kukatakan saja bila ka-
mi, orang-orang Istana Langit, sangat mengharap
uluran tangan Tuan Muda."
"Uluran tangan? Maksud Ratu, meminta
bantuanku?"
"Ya. Sebenarnya aku, Putri Ayu Jelita, dan
gadis-gadis lainnya penghuni Istana Langit ini te-
lah kehilangan seorang ratu junjungan...."
"Jadi, pemegang kekuasaan tertinggi di is-
tana ini bukan kau, Ratu Istana Dalam?"

"Bukan. Seperti sebuah kerajaan, peme-
gang kekuasaan di Istana Langit juga dibagi-bagi
menjadi beberapa tingkatan. Gadis-gadis yang
Tuan Muda lihat sebelum masuk ke istana ini
adalah warga biasa. Mereka semua mengenakan
ikat pinggang selendang sutera berwarna kuning.
Mereka dipimpin oleh Ratu Istana Luar yang
mengenakan ikat pinggang selendang sutera me-
rah. Ratu Istana Luar itu adalah Putri Ayu Jelita.
Dan, kepemimpinan Ratu Istana Luar harus di-
pertanggungjawabkan kepada Ratu Istana Da-
lam..." 
"Kepadamu?"
"Ya. Sebutanku di sini memang Ratu Istana
Dalam. Namaku sebenarnya adalah Putri Impian."
"Nama yang begitu bagus...," kata Pengemis
Binal dalam hati. "Sayang, yang punya nama ti-
dak begitu cocok untuk kujadikan putri impian
yang sebenarnya."
"Sebagai Ratu Istana Dalam, aku bertang-
gung jawab kepada Ratu Tertinggi," lanjut Ratu
Istana Dalam atau Putri Impian. "Dan, bantuan
yang kami harap dari Tuan Muda adalah berke-
naan dengan beliau Ratu Tertinggi, yang saat ini
disekap oleh Siluman Ragakaca di Pesanggrahan
Pelangi...."
Terkejut Pengemis Binal mendengar penje-
lasan Putri Impian. Jadi, benar dugaannya bila Is-
tana Langit dan Pesanggrahan Pelangi mempu-
nyai hubungan.
"Siapakah Ratu Tertinggi itu? Dan, bagai-
mana bisa sampai disekap oleh Siluman Ragaka-

ca?" tanya Suropati, penasaran.
"Tentang cerita bagaimana Ratu Tertinggi
bisa sampai disekap oleh Siluman Ragakaca, aku
tak bisa menjelaskan. Karena, menyangkut uru-
san pribadi sang ratu. Tapi, kalau Tuan Muda
menanyakan siapa Ratu Tertinggi itu, aku bisa
menjelaskan. Beliau telah Tuan Muda kenal. Dia
adalah...."
Belum selesai ucapan Putri Impian, men-
dadak segumpal asap mengepul di sudut ruan-
gan. Begitu asap itu lenyap, muncul sesosok tu-
buh berwujud mengerikan!

5

Sosok tubuh yang tiba-tiba muncul ini
berwajah rata. Hidungnya hanya berupa dua lu-
bang sebesar kacang tanah. Matanya satu, na-
mun besar berwarna merah darah, terletak di
tengah-tengah jidat. Kepalanya yang berambut
gimbal ditumbuhi dua tanduk yang mempunyai
ujung bercabang seperti tanduk rusa. Sekujur tu-
buhnya ditumbuhi bulu lebat berwarna kuning
kemerahan. Sikap berdirinya berjongkok, hingga
ujung ekor yang mencuat dari pantatnya menyen-
tuh permukaan lantai.
"Iblis Mata Satu...!" desis Putri Impian se-
raya bangkit dari tempat duduknya.
Pengemis Binal meloncat dan merapat ke
dinding karena terhantam keterkejutan. Kemun-
culan si makhluk mengerikan yang begitu men-

dadak telah membuat Pengemis Binal berkeringat
dingin. Tanpa terasa bulu kuduknya pun telah
berdiri.
Makhluk yang disebut Iblis Mata Satu me-
nyeringai. Menampakkan dua taringnya yang
runcing berkilat. Giginya yang lain kecil-kecil na-
mun kelihatan tajam seperti mata gergaji. Sambil
mengangkat tangannya yang berbulu lebat, dia
berkata dengan suara keras membentak. "Hari ini
kau belum mengirimkan barang! Kenapa?!"
Putri Impian yang dituding menarik napas
panjang. "Bukan maksud kami tidak mau mengi-
rimkan barang permintaan Siluman Ragakaca. Ini
karena warga kami yang telah menyusut. Lagi pu-
la, ratu junjungan kami sampai saat ini belum
ada kabar bcritanya. Bagaimana kami harus
mengirimkan barang, sementara kami belum tahu
keselamatan Ratu Tertinggi?"
"Hmmm.... Hal itu tak perlu kau khawatir,
Putri Impian!" sentak Iblis Mata Satu, bernada
marah. "Ratu junjunganmu bukan anak kecil
yang masih memerlukan perawatan orang lain.
Siluman Ragakaca menjamin keselamatan Ratu
Tertinggi selama kau melaksanakan kewajiban
dengan baik!"
Mendengar kata-kata Iblis Mata Satu yang
sangat kasar dan amat meremehkan, merah pa-
dam muka Putri Impian. Walau dalam diri wanita
gemuk ini menyimpan rasa gentar, tapi dari mu-
lutnya keluar kata-kata yang menunjukkan ke-
marahan.
"Iblis Mata Satu keparat! Bawahan Siluman

Ragakaca yang busuk dan culas! Tak usah me-
mutar lidah di sini! Aku tahu akal bulusmu. Jan-
ganlah kau memandang sebelah mata kepada
kami orang-orang Istana Langit! Jika Siluman Ra-
gakaca berani mengganggu selembar rambut Ratu
Tertinggi saja, kami akan...."
"Ha ha ha...!" Iblis Mata Satu memotong
ucapan Putri Impian dengan tawa bergelak. "Ratu
Tertinggi yang begitu sakti pun dapat dilumpuh-
kan, apalagi kau yang gembrot dan masih sering
ngompol itu, Putri Impian!"
Mendidih naik darah Putri Impian menden-
gar ejekan pedas Iblis Mata Satu. Namun, wanita
berkepala gundul ini tak dapat berbuat apa-apa.
Dia sadar bila keselamatan ratu junjungannya
ada di tangan Siluman Ragakaca yang merupakan
tuan dari Iblis Mata Satu.
"Kau tidak mengirim barang hari ini tidak
jadi apa. Tapi, besok kau harus mengirimkannya
berlipat dua!" ujar Iblis Mata Satu sambil menu-
dingkan telunjuk jari tangannya yang berkuku
runcing hitam.
Mendadak..., muncul tiupan angin ken-
cang. Sebuah bayangan putih berkelebat. Tahu-
tahu Iblis Mata Satu telah berdiri kaku tanpa da-
pat bergerak sama sekali!
"Lewat bicaramu tadi, aku tahu kau orang
bawahan Siluman Ragakaca yang jahat! Penghuni
Pesanggrahan Pelangi tak lebih dari perampok hi-
na-dina yang suka merampas barang orang lain
dengan licik!" bentak Pengemis Binal. Remaja ko-
nyol inilah yang telah menotok jalan darah di tu-

buh Iblis Mata Satu.
Tidak ada lagi rasa giris dan ngeri dalam
diri Pengemis Binal. Yang ada hanyalah keinginan
menyingkirkan keangkaramurkaan. Dari pembi-
caraan Iblis Mata Satu dan Putri Impian tadi,
Pengemis Binal tahu duduk persoalan yang me-
nyangkut Istana Langit dan Pesanggrahan Pelan-
gi. Maka, dia mengambil keputusan untuk me-
lumpuhkan Iblis Mata Satu.
"Harap Ratu memaafkan kelancanganku
ini...," ujar Suropati kepada Putri Impian. Remaja
konyol ini lalu mendelikkan mata ke arah Iblis
Mata Satu. "Jika kau masih sayang pada nyawa-
mu, lekas beritahukan siapa itu Siluman Ragaka-
ca! Dan, di mana letak Pesanggrahan Pelangi!"
Walau dalam keadaan ditotok kaku, Iblis
Mata Satu tidak menjadi takut akan ancaman Su-
ropati. Makhluk berbulu lebat seperti monyet ini
malah tertawa bergelak. "Ha ha ha...! Apa kau ki-
ra aku ini bocah ingusan yang gampang ditakut-
takuti?! Jika kau mengharap keterangan dariku,
sama halnya dengan mengharap pohon kelapa
bercabang!"
Pengemis Binal mendengus gusar. Melihat
nyali Iblis Mata Satu yang begitu besar, remaja
konyol ini tak dapat menahan hawa amarah.
Hendak diujinya ketahanan Iblis Mata Satu. Maka
dengan mengerahkan seperempat bagian ilmu to-
tokan 'Delapan Belas Tapak Dewa', dia menotok
beberapa jalan darah terpenting di tubuh Iblis
Mata Satu! 
"Wuah...!"

Mulut Iblis Mata Satu terbuka lebar, mem-
perdengarkan pekik kesakitan keras. Tubuhnya
yang kaku kejang terlihat bergetar. Dari sudut
matanya yang besar, mengalir cairan bening. Dia
tengah merasakan siksaan hebat!
Putri Impian yang melihat perlakuan Suro-
pati tampak terkejut. Wajah wanita gemuk ini jadi
pucat. Putri Impian khawatir bila perlakuan Su-
ropati pada Iblis Mata Satu akan mengundang
amarah Siluman Ragakaca. Dan, itu berarti kese-
lamatan Ratu Tertinggi terancam!
Pengemis Binal dapat membaca kekhawati-
ran Putri Impian. Dengan tenang ia berkata, "Per-
buatanku ini tak ada sangkut-pautnya dengan Is-
tana Langit. Segala akibatnya akan kutanggung
sendiri!"
Sengaja Pengemis Binal mengeraskan sua-
ranya agar Iblis Mata Satu dapat mendengar pula.
"Peredaran darah di tubuhmu telah kubuat
kacau. Seluruh kepandaianmu telah lenyap. Hen-
dak kulihat sampai di mana kekuatanmu untuk
menyimpan rahasia!" ujar Pengemis Binal kemu-
dian.
Iblis Mata Satu tak berkata apa-apa. Dia
merasakan sekujur tubuhnya panas, pedih, dan
gatal, bagai ada ribuan semut yang tengah meng-
gigit-gigit. Hawa murninya terpecah-belah, tak
dapat dikumpulkan lagi. Dia mencoba menghim-
pun kekuatan untuk melawan totokan Suropati,
tapi tak mampu. Rasa sakit malah menyiksa he-
bat. Kepalanya pening luar biasa, bagai dipukuli
palu godam. Sementara, keringat dingin bertete-

san dari balik bulu lebat di tubuhnya.
"Di antara kita tidak ada dendam permu-
suhan. Kenapa kau sampai hati berbuat kejam
seperti ini...?" ujar Iblis Mata Satu, memelas.
Pengemis Binal menatap si makhluk berbu-
lu lebat yang tampak menangis karena tak kuasa
menahan rasa sakit. Dalam hati Pengemis Binal
timbul belas kasihan juga. Tanpa pikir panjang
lagi, dilepaskannya totokan di tubuh Iblis Mata
Satu.
Namun... begitu terbebas, Iblis Mata Satu
tertawa bergelak. "Ha ha ha...! Jahanam kau, Bo-
cah Gemblung! Berani mengganggu penghuni Pe-
sanggrahan Pelangi, berarti menanam bibit per-
musuhan dengan Siluman Ragakaca!"
Usai berkata, Iblis Mata Satu yang hanya
mengenakan cawat menyambar kepala Pengemis
Binal untuk dibuat tanggal! Gerakannya cepat se-
kali. Lima jari tangannya yang berkuku runcing
hitam tahu-tahu telah berada di depan mata Pen-
gemis Binal!
"Hiah...!"
Wuttt...!
Untunglah Pengemis Binal selalu menjaga
kewaspadaan. Dia membuang tubuhnya ke bela-
kang, hingga sambaran Iblis Mata Satu hanya
mengenai tempat kosong.
"Tunggu saja! Hari kematianmu akan sege-
ra tiba!" ujar  Iblis Mata Satu seraya mengelua-
rkan sekeping batu tipis hijau dari balik cawat-
nya.
Batu tipis sebesar uang logam itu lalu di-

tempelkan di lidahnya. Begitu makhluk itu men-
gatupkan mulut, Pengemis Binal dan Putri Impian
tersentak kaget Sosok Iblis Mata Satu tiba-tiba
lenyap meninggalkan segumpal asap, yang kemu-
dian lenyap pula!
"Celaka!" seru Putri Impian, kalut dan pe-
nuh rasa khawatir.
"Kau kenapa, Ratu?" tanya Pengemis Binal
sambil garuk-garuk kepala.
"Jika peristiwa ini diketahui Siluman Raga-
kaca, Ratu Tertinggi akan dibunuh. Istana Langit
akan dihancurkan!"
"Jangan khawatir, Ratu!" sentak Pengemis
Binal. "Sudah kukatakan bila perbuatanku tadi
adalah tanggung jawabku sendiri. Iblis Mata Satu
pun telah mendengar apa yang kukatakan ini. Ti-
dak bakalan dia melaporkan hal yang bukan-
bukan kepada Siluman Ragakaca."
"Tapi..., bukan tidak mungkin Siluman Ra-
gakaca akan berbuat di luar perhitungan Tuan
Muda...."
"Ratu jangan terlalu menyimpan prasangka
buruk!" sentak Suropati lagi. "Aku akan datang ke
Pesanggrahan Pelangi. Kalau Ratu tahu, katakan
saja di mana tempat itu berada...."
"Jangan! Tuan Muda jangan datang ke sa-
na!"
"Kenapa?"
"Ah! Sudahlah!"
Putri Impian mendesah panjang beberapa
kali. Keningnya berkerut rapat. Hati Pengemis Bi-
nal jadi tak enak. Dia telah telanjur mencampuri

urusan orang lain. Tapi, bukankah Putri Impian
mengatakan bila dia ingin minta bantuannya?
"Apa yang Ratu pikirkan? Bila Ratu jadi
meminta bantuanku, kuulurkan kedua tanganku
sekarang juga," tegas Pengemis Binal.
"Benarkah itu?" Putri Impian menatap wa-
jah Suropati dengan mata berbinar.
"Ya."
"Tapi...." Sinar mata Putri Impian meredup
lagi.
"Sepertinya masih ada sesuatu yang meng-
ganjal perasaan Ratu. Katakan saja apa yang ha-
rus kulakukan," tawar Pengemis Binal.
"Untuk saat ini belum ada yang dapat Tuan
Muda lakukan untuk kepentingan Istana Langit
Namun, aku akan memberikan sesuatu kepada
Tuan Muda...."
Putri Impian mengambil sesuatu dari balik
bajunya yang berwarna putih. Pengemis Binal
menatap tak mengerti ketika disodori lempengan
batu sebesar uang logam berwarna hijau. Batu itu
persis yang dibawa Iblis Mata Satu.
"Ambillah!" 
"Apa itu?"
"Ini sebuah batu mustika yang hanya ada
dua di dunia ini. Yang satu dibawa oleh Iblis Mata
Satu tadi."
"Kenapa diberikan kepadaku?"
"Karena Tuan Muda telah menyanggupi un-
tuk membantu mengatasi kemelut di Istana Lan-
git ini. Terimalah!"
Dengan hati berdebar-debar, Pengemis Bi-

nal menerima batu yang disodorkan Putri Impian.
Sewaktu mengamati, Pengemis Binal melihat
gambar dua pasang merpati emas di dalam batu.
Sepasang merpati itu seperti sedang terbang di
angkasa yang dipenuhi kabut berwarna hijau.
"Batu itu bernama Mustika Batu Merpati,"
beri tahu Putri Impian. "Kegunaannya telah Tuan
Muda lihat sendiri. Bila Tuan Muda menempelkan
batu itu ke lidah, maka Tuan Muda akan dapat
menghilang."
"Menghilang? Menghilang ke mana?" tanya
Pengemis Binal yang seperti mendengar dongeng
anak-anak.
"Menghilang ke tempat yang Tuan Muda
inginkan," jelas Putri Impian.
"Seperti yang dilakukan oleh Iblis Mata Sa-
tu tadi?"
"Ya."
"Berarti dengan batu ini aku akan dapat
mendatangi Pesanggrahan Pelangi?"
Putri Impian menggelengkan kepala. "Pe-
sanggrahan Pelangi telah dilindungi kekuatan
gaib yang sulit ditembus. Aku telah mencoba be-
berapa kali dengan menggunakan Mustika Batu
Merpati yang Tuan Muda bawa itu, tapi tubuhku
terlontar balik dan kembali ke Istana Langit."
"Lalu, apa yang bisa kuperbuat untuk ke-
pentingan Istana Langit?"
"Pada saatnya nanti, Tuan Muda akan tahu
sendiri. Sekarang, Tuan Muda boleh kembali.
Tuan Muda tak perlu lagi menempuh perjalanan
dengan Kapal Merpati Emas ataupun Kereta Mer-

pati Emas. Tuan Muda cukup menentukan tujuan
dalam hati, lalu menempelkan Mustika Batu Mer-
pati ke lidah."
"Ya..., ya! Terima kasih, Ratu!"
Pengemis Binal mengamati lagi batu mus-
tika di tangannya.  Seperti teringat sesuatu yang
penting, remaja konyol ini menatap wajah Putri
Impian lekat-lekat.
"Tadi, Iblis Mata Satu datang kemari untuk
meminta barang. Kalau boleh aku tahu, barang
apakah itu?" tanya Suropati penuh kesungguhan.
"Sejak Ratu Tertinggi disekap oleh Siluman
Ragakaca, kami harus mengirimkan barang upeti
setiap hari, yaitu lima gadis warga Istana Langit!"
Terkejut Suropati mendengar penjelasan
Putri Impian. "Untuk apa?" desisnya, setengah tak
percaya.
"Aku tak tahu. Mungkin untuk dijadikan
budak atau orang semacamnya."
"Biadab!" geram Pengemis Binal.
"Ya..., ya! Siluman Ragakaca memang bi-
adab! Tapi, kami tidak mampu menghentikan ke-
biadaban itu!"
"Hmmm.... Walau aku belum bisa menda-
tangi Pesanggrahan Pelangi, tapi aku tentu bisa
membasmi kaki-tangan Siluman Ragakaca," kata
hati Suropati. Murid Periang Bertangan Lembut
ini teringat pada Sepasang Racun Api yang dika-
takan Peramal Buntung sebagai kaki-tangan Si-
luman Ragakaca. Sepasang Racun Api pernah
meracuni Putri Ayu Jelita. Itu sudah cukup dija-
dikan alasan untuk membuat perhitungan den-

gan mereka.
"Kukira sudah sampai waktunya aku mo-
hon diri, Ratu...," pinta Pengemis Binal kemudian.
"Aku mewakili seluruh warga Istana Langit
untuk melepas kepergian Tuan Muda dengan se-
nang hati. Terima kasih atas kesediaan Tuan Mu-
da untuk membantu kami."
Selagi Putri Impian membungkuk hormat,
Pengemis Binal membayangkan tempat kediaman
Sepasang Racun Api yang terletak di sebuah lem-
bah di lereng gunung. Sedikit ragu Pengemis Bi-
nal menempelkan Mustika Batu Merpati ke lidah.
Namun, begitu mulutnya dikatupkan, dia mera-
sakan tubuhnya diangkat tangan raksasa lalu di-
lemparkan dengan tenaga amat dahsyat!

* * *

Krosakkk...!
Kepala Pengemis Binal terasa pening. Se-
mua yang dilihatnya dalam keadaan terbalik. Re-
maja konyol ini merasa tubuhnya terayun-ayun.
Sementara, hembusan angin memainkan anak-
anak rambutnya yang terburai tak karuan. Se-
waktu memperhatikan keadaan di sekitarnya, ta-
hulah dia bila dirinya tersangkut di cabang pohon
yang cukup tinggi. Kain celananya tersangkut di
patahan ranting kering!
"Uh! Celaka tiga belas!" rutuk Pengemis Bi-
nal.
Remaja konyol ini terkejut melihat ada se-
suatu yang jatuh dari mulutnya. Lempengan batu

hijau sebesar uang logam yang tak lain dari....
"Mustika Batu Merpati...!" desis Pengemis
Binal.
Bergegas remaja konyol ini menekuk tubuh
untuk melepas kain celananya yang tersangkut di
patahan ranting kering. Pada saat inilah sesosok
bayangan berkelebat, dan menyambar Mustika
Batu Merpati yang tergeletak di atas tanah!
"Hei...!" hardik Suropati yang tahu ada
orang mencuri batu mustika pemberian Putri Im-
pian.
Belum selesai Pengemis Binal melepaskan
kain celananya yang tersangkut, bayangan pencu-
ri telah hilang di balik pepohonan.
"Pencuri busuk!" maki Suropati.
Serta-merta dia mengetrapkan ilmu 'Mata
Awas' untuk mengetahui ke mana menghilangnya
bayangan si pencuri. Begitu remaja berpakaian
putih penuh tambalan ini membuka mata lebar-
lebar, terlihat olehnya bila pencuri Mustika Batu
Merpati adalah seorang wanita berpakaian ketat
merah kuning. Rambutnya telah memutih semua.
Mengenakan penutup kepala dari emas yang mi-
rip mahkota seorang raja.
"Haram jadah! Kuntilanak bunting!"
Sambil mengumpat-umpat, Suropati beru-
saha melepaskan kain celananya yang masih ter-
sangkut di patahan ranting kering. Belum juga
dapat dirinya terbebas, sebuah teriakan keras te-
lah menggetarkan isi dadanya.
"Berani datang ke tempat kediaman Sepa-
sang Racun Api, berarti telah bosan hidup!"

Pengemis Binal sadar bila teriakan itu be-
rasal dari salah seorang Sepasang Racun Api. Ba-
haya tengah mengintai! Tanpa pikir panjang lagi,
Pengemis Binal menghentakkan kaki kanannya.
Di lain kejap, kain celananya telah robek. Dan,
tubuh remaja konyol ini meluncur jatuh dengan
kepala berada di bawah! 
"Haya!"
Tangan kanan Pengemis Binal mengibas.
Tiupan angin kencang membuat tubuhnya me-
lenting. Setelah berjumpalitan, dia mendarat den-
gan mulus tanpa kurang suatu apa. Hanya kain
celananya yang robek sepanjang satu jengkal.
Sekitar dua puluh tombak dari hadapan
remaja konyol ini terpampang sebuah pemandan-
gan yang cukup menggidikkan. Tulang belulang
manusia menumpuk dan bertebaran menutupi
permukaan tanah. Sementara, dua sosok manu-
sia berjubah hitam berdiri tegak menantang den-
gan pandangan tajam penuh nafsu membunuh.
Yang satu seorang kakek tinggi jangkung, berwa-
jah buruk, dan berambut riap-riapan. Yang seo-
rang lagi berupa nenek bongkok keriputan, ber-
wajah buruk pula. Hantu Jangkung dan Hantu
Bongkok!
"Hmmm.... Sepasang Racun Api! Kaki-
tangan Siluman Ragakaca!" dengus Suropati se-
raya meloncat mendekati. "Melihat tulang belu-
lang yang menumpuk begitu banyak, kalian pasti
suka membunuh orang. Hmmm.... Hari ini akan
kubalaskan dendam orang-orang yang telah ka-
lian bunuh itu. Akan kutaboki pantat kalian. Se-

telah terkencing-kencing, mulut kalian akan ku-
cekoki dengan kencing kalian sendiri!"
Mendengus gusar Sepasang Racun Api
mendengar ancaman konyol Pengemis Binal. Se-
cara bersamaan, mereka menggedrukkan kaki.
Diiringi suara berderak-derak, tumpukan tulang
berhamburan ke arah Suropati!
"Aku tak sudi menerima pemberianmu ini!"
Sambil berteriak demikian, Suropati men-
gibaskan telapak tangan kanannya. Timbul ti-
upan angin kencang menderu-deru. Tulang belu-
lang menghambur balik ke arah Sepasang Racun
Api!
Terdengar teriakan gusar Sepasang Racun
Api. Mereka sama-sama menegakkan tubuh  se-
raya meniup bersamaan. Timbul ledakan keras.
Tulang belulang hancur-lebur menjadi serbuk ha-
lus berwarna putih yang segera lenyap diterbang-
kan angin gunung!
"Hmmm.... Wujudmu tak lebih dari seorang
bocah yang masih bau kencur! Tapi, kata-katamu
begitu pedas dan amat menyakitkan hati. Kalau-
pun kau punya kepandaian, jangan kira kau da-
pat melihat mentari sampai esok hari! Terimalah
kematianmu!"
Di ujung kalimatnya, Hantu Jangkung
menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Dua gumpal api biru melesat ke arah Suro-
pati!
Mengetahui Hantu Jangkung telah menge-
luarkan ilmu 'Racun Pencair Raga' yang amat ga-
nas, Suropati mengalirkan seluruh kekuatan te-

naga dalamnya ke tangan kanan. Begitu perge-
langan tangannya berubah merah membara, uda-
ra di sekitar lembah terasa  dingin menusuk tu-
lang. Sambil memekik nyaring, Suropati melepas
pukulan 'Salju Merah'!
"Hiah...!"
Blarrr...!
Dua gumpal api biru yang melesat dari te-
lapak Hantu Jangkung lenyap tertelan sinar me-
rah yang menebarkan hawa dingin luar biasa.
Hantu Jangkung menjerit parau ketika tubuhnya
yang terbungkus salju berwarna merah jatuh ter-
jengkang di atas tumpukan tulang. Dalam kea-
daan kaku kejang, nyawa kakek buruk rupa ini
melayang ke alam baka!

6

Hantu Bongkok terkejut bagai disambar pe-
tir. Bersama dirinya, Hantu Bongkok melatih ilmu
'Racun Pencair Raga' selama puluhan tahun.
Bahkan, telah mendapat tambahan kekuatan dari
Siluman Ragakaca. Tapi, bagaimana mungkin su-
aminya itu bisa mati di tangan seorang remaja
yang berlagak ketolol-tololan?
Dasar pengecut, Hantu Bongkok yang il-
munya tak lebih tinggi dari Hantu Jangkung men-
jadi ketakutan setengah mati. Sosok Pengemis
Binal yang tengah tertawa terkekeh-kekeh dili-
hatnya sebagai malaikat kematian yang akan

mencabut nyawanya. Tanpa pikir panjang dan tak
mengindahkan harga dirinya sebagai seorang to-
koh tua, Hantu Bongkok mengambil langkah seri-
bu. Ngiprit pergi sambil terkencing-kencing!
Pengemis Binal yang tak ingin melihat Han-
tu Bongkok membunuh orang lagi, cepat menge-
jar. Tak memberi kesempatan bagi Hantu Bong-
kok untuk meloloskan diri.
"Hei, Nek! Rupanya kau istri yang tak setia!
Suamimu sudah menunggu di pintu neraka. Ke-
napa kau malah lari?!"
Ucapan Suropati terdengar begitu dekat
dengan telinganya. Kontan nenek ini menggigil
kedinginan. Bau pesing semakin menebar dari
kain jubahnya yang telah basah. Terbawa rasa
takut, dia mengempos tenaga. Berlari cepat men-
gandalkan seluruh kemampuan ilmu meringan-
kan tubuhnya.
"Hei, Nek! Sebelum mati tadi, suamimu
berpesan bahwa dia ingin secepatnya kau menyu-
sul ka neraka. Di sana dia akan menyiapkan pes-
ta perkawinan yang kedua!"
Ejekan Pengemis Binal semakin dekat saja
dengan telinga si nenek. Hati Hantu Bongkok se-
makin kalut tak terkendalikan. Dia lari membabi
buta tak menentukan arah lagi. Hingga suatu
saat, tubuhnya melayang dan terasa sangat rin-
gan. Dia terperosok jatuh ke dalam jurang!
"He he he.... Dasar pengecut! Ditunggu su-
aminya malah lari terbirit-birit!" ujar Pengemis
Binal, berdiri di bibir jurang. "Hmmm.... Jangan-
jangan jurang ini tidak dalam. Dan, nenek jelek

itu bisa menyelamatkan diri...."
Pengemis Binal berjongkok untuk melihat
kedalaman jurang. Mendadak, dari dasar jurang
terdengar teriakan.
"Kau jangan turun! Nenek bau pesing ini
kukembalikan padamu...!"
Bersamaan dengan lenyapnya teriakan, itu,
tubuh Hantu Bongkok melesat naik. Tak mau ke-
palanya tertimpa, Pengemis Binal mengibaskan
telapak tangan kanannya. Serangkum angin pu-
kulan tepat menimpa dada Hantu Bongkok yang
telah kaku kejang karena pengaruh totokan.
Terdengar jerit kematian Hantu Bongkok.
Tubuh nenek naas ini meluncur turun lagi ke da-
lam jurang.
"Bagaimana kau ini? Barang rongsokan be-
gini kenapa dilempar balik lagi? Aku tak tahan
bau pesingnya!"
Dari dasar jurang terdengar lagi sebuah te-
riakan. Suaranya polos nyaring, tampaknya ke-
luar dari mulut seorang bocah perempuan. Begitu
teriakan itu lenyap, tubuh Hantu Bongkok kem-
bali melesat naik. Kali ini jauh di atas kepala Su-
ropati, dan jatuh berdebam sekitar satu tombak
dari bibir jurang.
Sambil menggaruk kepalanya yang tak gat-
al, Pengemis Binal menatap tubuh Hantu  Bong-
kok yang tak berkutik lagi. Kemudian, remaja ko-
nyol ini melongok ke dalam jurang untuk melihat
siapa yang telah melemparkan tubuh Hantu
Bongkok.
"Hei! Kau jangan turun! Segeralah pergi!"

usir suara bocah perempuan.
Suropati yang konyol dan ugal-ugalan ma-
na mau menuruti perintah itu. Dia malah tertarik
untuk turun ke dalam jurang. Siapa tahu dia bisa
menemukan orang yang telah melarikan Mustika
Batu Merpati.
Walau belum tahu sampai seberapa jauh
kedalaman jurang, Pengemis Binal mengatur ja-
lan napas, lalu meloncat... terjun dengan kedua
tangan terpentang lebar!
Sambil terus mengatur jalan napasnya se-
demikian rupa, Pengemis Binal berusaha mem-
perlambat luncuran tubuh. Dalam keadaan masih
melayang di udara, remaja konyol ini mengedar-
kan pandangan ke dasar jurang. Matanya yang
tajam segera mendapat sebuah tempat pijakan
yang tepat. Bagai segumpal kapas, remaja konyol
ini melentingkan tubuh, lalu mendarat di atas
lempengan batu besar berwarna putih.
"Kau ini betul-betul kepala batu! Apa kau
tak mendengar peringatan orang?!"
Sebuah teriakan membarengi kelebatan se-
sosok tubuh kecil ramping. Suropati membelalak-
kan mata melihat seorang bocah perempuan dua
belas tahunan telah berdiri tegak sambil menud-
ing ke batang hidungnya.
"Bocah inikah yang telah menotok dan me-
lemparkan tubuh Hantu Bongkok sampai dua kali
ke bibir jurang?" tanya Pengemis Binal dalam ha-
ti. "Kedalaman jurang tak kurang dari tiga puluh
tombak, kenapa tubuh Hantu Bongkok bisa den-
gan mudah dilemparkan seperti melemparkan se-

butir kerikil saja?"
Selagi Suropati terjerat dalam rasa heran,
bocah perempuan yang rambutnya dihiasi dua pi-
ta kupu-kupu berkata, "Kulihat kau ini orang
baik juga, karena sudah membinasakan dua se-
tan yang selalu bermain-main dengan bangkai
manusia. Tapi sayang sekali, sifat keras kepalamu
akan segera menjadi bencana."
Pengemis Binal terkesiap mendengar uca-
pan si bocah. Dengan kening berkerut, dia mena-
tap sosok bocah yang berdiri dua tombak dari ha-
dapannya itu. Si bocah mengenakan pakaian ser-
ba hijau yang dihiasi renda-renda sulaman beru-
pa bunga aneka warna. Di wajahnya yang bulat
telur terdapat sepasang mata bersinar terang.
Dua biji hitamnya bergerak-gerak lucu. Sikapnya
seperti anak-anak pada umumnya yang masih po-
los dan lugu.
"Kaukah yang telah menotok dan melem-
parkan tubuh Hantu Bongkok?" tanya Suropati
yang masih diliputi rasa heran.
"Memangnya kenapa?!" sentak si bocah.
"Nenek bau pesing itu sangat menjemukan. Dia
dan orang tua satunya lagi tiap hari kerjanya cu-
ma bermain-main dengan tulang manusia dan
membuat api setan. Bahkan, masih sering mem-
bunuh orang. Jika aku boleh keluar dari tempat
ini, sudah dari dulu-dulu kutendang pantat me-
reka!"
Lewat ucapan yang nyerocos panjang itu,
Suropati tahu bila memang si bocahlah yang telah
menotok dan melemparkan tubuh Hantu Bong-

kok. Rasa heran dalam diri remaja konyol ini ber-
ganti rasa penasaran. Segera dia mengajukan per-
tanyaan.
"Adik kecil yang manis, siapa namamu?
Dan, kenapa kau tidak boleh keluar dari tempat
ini?"
"Kau tidak perlu bertanya segala macam!
Segeralah pergi dari tempat ini!"
Tahu sifat anak-anak yang selalu mau me-
nang sendiri, Suropati tersenyum-senyum. Den-
gan lembut, dia berkata, "Aku cuma bertanya, ke-
napa tidak boleh? Kenapa pula kau mengusir
aku? Apakah lembah ini milikmu?"
Si bocah mengerjapkan mata, lalu berte-
riak, "Mari kau lihat!"
Pengemis Binal hanya berdiri terpaku me-
lihat si bocah berkelebat. Timbul rasa kagum ber-
campur heran dan penasaran dalam diri remaja
konyol ini melihat kecepatan gerak si bocah.
"Bagaimana sih kau ini?! Kenapa tidak
mau datang melihat?!" hardik bocah perempuan
berpita kupu-kupu, menghentikan kelebatan tu-
buhnya.
Terdesak rasa ingin tahu apa yang hendak
ditunjukkan si bocah, bergegas Pengemis Binal
mengempos tenaga, berlari dengan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh. Sementara, si bocah te-
lah berkelebat lagi. Sesaat Pengemis Binal melen-
gak heran. Dia telah mengerahkan seluruh ke-
mampuan ilmu meringankan tubuh, tapi keleba-
tan si bocah tak dapat dikejarnya. Bahkan, Pen-
gemis Binal merasa tertinggal!

"Cepatlah...!" teriak si bocah perempuan
berpita kupu-kupu dari kejauhan.
Untunglah si bocah segera menghentikan
kelebatan tubuhnya, hingga Suropati tidak makin
tenggelam dalam rasa heran akibat ilmu merin-
gankan tubuhnya yang kalah satu tingkat.
Setelah menunggu beberapa lama sampai
Pengemis Binal berada di sampingnya, si bocah
menunjuk sesuatu yang membuat Suropati terke-
jut.
Terlihat sebuah makam berbentuk aneh. Di
kanan kiri batu nisan yang terbuat dari batu pua-
lam yang dipahat menyerupai undak-undakan,
berjajar puluhan batu kecil beraneka warna. Ter-
timpa sinar matahari, batu-batu itu memancar-
kan bermacam-macam cahaya yang sangat terang
gemerlapan. Cahaya gemerlapan itu membuat se-
buah bidang menyerupai atap rumah.
Di batu nisan terdapat tulisan yang terukir
indah. Dengan pandangan mata kagum, Suropati
membaca.
"Makam Pelangi."
Suropati segera ingat akan tempat kedia-
man Siluman Ragakaca yang bernama Pe-
sanggrahan Pelangi. Adakah hubungan antara
Makam Pelangi dan Pesanggrahan Pelangi? Bila
ada, apakah bocah perempuan yang ditemui Su-
ropati itu juga salah seorang penghuni Pe-
sanggrahan Pelangi?
"Hei! Kenapa melamun?!" tegur bocah pe-
rempuan berpita kupu-kupu. "Kau belum selesai
membaca!"

Pengemis Binal terperanjat merasakan te-
pukan di pinggangnya. Jari-jari tangan si bocah
yang kecil lentik mengalirkan hawa aneh yang
membuat Pengemis Binal memekik parau.
"Hi hi hi...! Disenggol begitu saja sudah ka-
get setengah mati. Ayo cepat baca terus tulisan
itu!" perintah si bocah.
Sambil nyengir kuda, Pengemis Binal me-
nuruti perintah si bocah. Di bawah tulisan Ma-
kam Pelangi terdapat tulisan lagi yang berhuruf
lebih kecil. Pengemis Binal membaca dengan jan-
tung berdebar kencang.
"Kematian bagi yang berani masuk ke lem-
bah ini."
Walau Suropati bukanlah orang yang takut
mati, tapi melihat tulisan itu, dia bergidik ngeri
juga. Badannya menggigil dengan bulu kuduk te-
gak berdiri. Seluruh kekuatannya bagai tersedot
oleh hawa aneh yang keluar dari Makam Pelangi.
Begitu menyadari keadaan, Pengemis Binal
menatap lekat wajah bocah perempuan yang ten-
gah  tertawa cekikikan. Sementara, yang ditatap
langsung menghentikan tawanya seraya menud-
ing.
"Kenapa kau menatapku dengan mata me-
lotot?! Tidak salah, kata Ayah. Di dunia ini tidak
ada lelaki yang baik. Semuanya kotor dan busuk!"
Mendengar bentakan itu, tiba-tiba sifat
gendeng Suropati muncul. Sejenak dia lupa pada
Makam Pelangi yang tampak angker. Sambil men-
gerjap-ngerjapkan mata, dia menggoda.
"Kalau semua lelaki kotor dan busuk,

ayahmu tentu juga kotor dan busuk!"
"Tidak!" tolak si bocah. "Ayahku baik. Ta-
pi...."
Bocah perempuan ini tak melanjutkan
ucapannya. Air mukanya berubah keruh. Bibir
yang tipis mungil terlihat mewek seperti hendak
menangis.
"Lekaslah kau meninggalkan tempat ini!
Aku tidak jadi membunuhmu!"
Suropati garuk-garuk kepala melihat sikap
aneh si bocah. "Di antara kita tidak ada silang
sengketa, kenapa kau hendak membunuhku?"
Si bocah tidak jadi menangis. Dia tertawa
manis sekali. Lagak lagunya amat polos, tidak di-
buat-buat. Lalu dengan jari telunjuknya, dia me-
nuding Pengemis Binal sampai menyentuh dada.
"Kau memang tolol sekali! Bukankah kau
sudah membaca tulisan 'kematian bagi yang be-
rani masuk ke lembah ini?' Kalau ayahku tidak
ada, akulah yang akan melaksanakan! Akulah
yang akan membunuh siapa pun yang masuk ke
lembah ini, termasuk kau!"
Si bocah mengucapkan kata 'membunuh'
dengan tegas dan tanpa beban sama sekali. Se-
pertinya, perbuatan itu merupakan suatu hal
yang biasa. Tentu saja hati Pengemis Binal jadi
panas. Lupa bila yang sedang dihadapinya adalah
seorang anak kecil, Pengemis Binal membentak.
"Meskipun lembah ini telah menjadi milik
keluargamu, tidak seharusnya kau berbuat sede-
mikian kejam! Aku tidak mau pergi dari tempat
ini! Aku ingin melihat rupa ayahmu yang tak ken-

al aturan! Bisa tidak dia mendidik anak?!"
Tiba-tiba, tangan kanan si bocah berkele-
bat amat cepat. Suropati pun tak dapat menghin-
dar lagi manakala telapak tangan si bocah men-
darat di pipi kirinya!
Plakkk...!
"Oughhh...!"
Suropati terpelanting dan hampir terpeleset
jatuh ke tanah. Kalau saja semua anggota badan
Suropati tidak dibentengi dengan tenaga dalam
tingkat tinggi, kepala remaja konyol ini tentu te-
lah remuk!
"Berani benar kau memaki ayahku!" hardik
si bocah dengan mata melotot dan bibir cemberut.
Namun, suaranya seperti orang mau menangis.
Suropati yang baru kena tampar cuma
berdiri membisu sambil mengusap pipinya yang
merah bergambar lima jari. Remaja konyol ini ti-
dak tahu bagaimana harus meladeni sikap si bo-
cah.
Sebenarnya, Suropati tidaklah mudah di-
pukul orang. Hanya karena tak menduga, lagi pu-
la gerakan si bocah amat cepat luar biasa, dia ha-
rus merelakan pipinya kena tampar. Tapi, hal ini
tidak membuat Suropati marah ataupun sakit ha-
ti. Dia tahu ada rasa sesal yang terpancar dari so-
rot mata si bocah.
"Sakitkah tamparanku tadi?" tanya si bo-
cah.
Suropati menggeleng.
"Kau marah?"
Suropati menggeleng lagi.

Si bocah menundukkan kepala. Dengan
mata berkaca-kaca, dia menggumam. "Aku telah
terlepas tangan. Tidak seharusnya aku menampar
orang baik. Aku salah..."
Lalu, ditariknya tangan Suropati. Setelah
mengayun-ayunkannya beberapa lama, dia mena-
tap dengan air mata berlinang.
"Kau menangis?" kesiap Pengemis Binal.
"Kau orang baik. Jika tidak khawatir akan
ayahku, ingin aku menahanmu di tempat ini, me-
nemaniku bermain...," ujar si bocah. "Pergilah!
Kalau Ayah datang, aku takut dia...."
"Jangan khawatir!" potong Pengemis Binal.
"Kalau ayahmu datang, aku akan membujuknya.
Bukankah dia tahu bila kau butuh teman?"
"Ya. Aku memang butuh teman. Sejak bayi,
aku telah tinggal di tempat ini. Ayah melarangku
pergi...."
Keluhan si bocah membuat iba hati Pen-
gemis Binal. Dibelainya rambut si bocah dengan
lembut. "Jangan khawatir dan tak usah kau me-
nangis. Aku akan bujuk ayahmu agar...."
"Tidak!" sela si bocah. "Ayahku tidak gam-
pang dibujuk! Pergilah selagi masih ada kesempa-
tan!"
Pengemis Binal yang sudah menjadi suka
dan sayang pada si bocah mendesah panjang.
"Keterlaluan sekali ayah bocah perempuan ini!"
rutuknya dalam hati. "Tidak seharusnya dia
membelenggu kebebasan anaknya. Tinggal di
lembah sunyi tanpa seorang pun teman adalah
siksaan bagi seorang bocah yang butuh kegembi-

raan."
Suropati tidak berani mengeluarkan piki-
ran di benaknya. Dia takut si bocah kembali ma-
rah dan kelepasan tangan lagi. Suropati terus
membelai rambut si bocah penuh kasih sayang.
"Kau jangan khawatir, Adikku. Tidak baka-
lan ayahmu membunuhku. Aku datang tidak
dengan maksud buruk. Bukankah ayahmu seo-
rang manusia, yang tentunya punya rasa belas
kasihan juga?" ujar Pengemis Binal. "Kau jangan
kesal dan bersedih pula. Mungkin ayahmu sedang
mendalami suatu ilmu. Setelah selesai, dia pasti
akan mengajakmu keluar dari lembah ini."
Mendengar kata-kata yang begitu tulus, si
bocah bukannya terhibur, tapi malah menangis
sesenggukan. Air matanya makin deras mengalir.
Seperti menemukan orang yang sangat dicin-
tainya, bocah perempuan ini lantas memeluk
pinggang Suropati erat-erat. Dia pun menumpah-
kan segala kedukaannya.
"Ayah benar-benar orang yang keras kepala
dan sangat teguh memegang aturan yang telah di-
buatnya...," kata si bocah di antara sedu sedan
tangis. "Sampai langit runtuh, tidak akan Ayah
mengizinkan aku keluar lembah. Aku dan Ayah
harus menemani Ibu yang telah meninggal..."
Melihat si bocah yang menangis makin ke-
ras, Pengemis Binal jadi bingung, bagaimana ha-
rus menghibur. Pengemis Binal yakin bila ayah si
bocah adalah orang yang kejam, maka dia memu-
tuskan untuk menjumpainya. Tapi, dia masih in-
gin menguji kesungguhan si bocah yang ingin

bersahabat dengannya.
"Kau tak baik menangis terus. Lekaslah
kembali ke rumah. Mungkin ayahmu sedang me-
nunggu. Kau jangan buat dia jadi marah. Lekas-
lah pulang. Aku juga akan pergi dari tempat
ini...."
Begitu selesai Suropati berkata, si bocah
mengangkat wajah. Serta-merta dipeluknya erat
pinggang Suropati.
"Tidak! Kau tidak boleh pergi! Ayahku tidak
menjadi soal. Dia sangat sayang kepadaku. Aku
pun akan membujuk agar kau tidak dibunuh-
nya...."
Bibir Suropati menyunggingkan senyum.
Ditepuk-tepuknya bahu si bocah seraya berkata,
"Terus terang kukatakan kepadamu, aku tidak
takut kepada siapa pun. Juga, kepada ayahmu.
Jangankan ayahmu seorang, seribu iblis pun
akan kuterjang bila aku berada di pihak yang be-
nar!"
Mendadak....
"Bocah masih bau kencur sudah berani
omong besar! Apa kau tidak tahu peraturan Ma-
kam Pelangi?!"
Terkejut Suropati ketika mengarahkan
pandangan ke arah suara berasal. Tanpa menge-
luarkan suara berisik sedikit pun, seorang kakek
berjubah merah telah berdiri tiga tombak di
samping kanannya. Telinga Suropati yang tajam
tak mampu mendengar kedatangan kakek itu. Se-
gera Suropati bersiap siaga untuk menghadapi
segala kemungkinan buruk.

"Kematian bagi yang berani masuk ke lem-
bah ini...!"  ujar kakek berjubah merah, mengu-
lang bunyi tulisan yang tertera di Makam Pelangi.

7

"Ayah! Dia datang dari atas tebing! Dia ti-
dak tahu batu peringatan itu!"
Bocah perempuan berpita kupu-kupu
mengeluarkan teriakan lantang. Dia menghambur
ke arah kakek berjubah merah. Namun, si kakek
mendengus gusar seraya mengibaskan telapak
tangan kanannya. Hembusan angin kencang
membuat tubuh mungil si bocah terpelanting. Un-
tung dia bisa mengendalikan gerak tubuhnya,
hingga tidak sampai jatuh tersungkur ke tanah.
"Tak perlu kau membela bocah lelaki ber-
mulut besar itu, Narita!" bentak kakek berjubah
merah. "Karena berani lancang memasuki lembah
ini, akan ku adili dia dengan aturan yang berlaku
di Makam Pelangi!"
Mendengar kata-kata keras ayahnya, bocah
perempuan bernama Narita kontan menangis lagi.
Sementara, kakek berjubah merah tak mempedu-
likannya sama sekali. Matanya berkilat menatap
wajah Suropati.
"Siapa namamu? Dari mana kau berasal?
Dan, untuk apa kau datang kemari?"
Ingin rasanya Pengemis Binal menonjok
muka si kakek yang telah berlaku kejam terhadap

anaknya itu. Mendengar pertanyaannya yang ke-
ras menyelidik itu pun gigi Pengemis Binal sudah
berkerot-kerot. Namun mengingat si kakek adalah
ayah Narita yang telah mengundang rasa suka
dan belas kasihannya, Pengemis Binal mencoba
bersabar.
"Saya bernama Suropati, Pak Tua," kenal
Pengemis Binal. Walau membungkuk hormat, tapi
suara remaja konyol ini terdengar menggeram.
"Saya berasal dari Negeri Anggarapura. Saya da-
tang ke tempat ini bukan dengan maksud bu-
ruk...."
"Dia sudah mewakili kita membunuh Sepa-
sang Racun Api yang teramat kejam itu, Ayah!"
sahut Narita.
Mendengar penjelasan anaknya, kakek ber-
jubah merah bukannya senang, tapi malah melo-
totkan mata. Mulutnya mengeluarkan suara
menggerendeng. Narita yang sudah tahu benar
adat kelakuan ayahnya, bergegas meloncat seraya
memegangi lengan lelaki tua ini. Narita hafal bila
suara menggerendeng ayahnya adalah sikap awal
untuk segera melakukan pembunuhan. Maka
dengan air mata berlinang, Narita terus meme-
gangi lengan ayahnya.
"Ayah jangan membunuh.... Dia orang
baik...," iba Narita di antara sedu sedan tangis-
nya.
"Anakku Narita..., janganlah kau percaya
pada ucapan pemuda itu. Telah berkali-kali kuka-
takan padamu bahwa semua lelaki di dunia ini
jahat. Mereka kotor dan busuk. Tak satu pun

yang punya hati baik."
Mendengar kata-kata kakek berjubah me-
rah, Suropati geleng-geleng kepala. Benarkah se-
mua lelaki di dunia ini kotor dan busuk? Sung-
guh sempit pandangan lelaki tua itu! Dia telah
memberikan pengertian yang salah kepada anak-
nya. Ada salah, ada benar. Ada kejahatan, ada
kebaikan. Sangat tidak tepat bila dikatakan tak
satu pun lelaki punya hati baik!
"Hmmm.... Ayah Narita itu mengatakan bila
semua lelaki kotor dan busuk. Apakah dia bukan
lelaki? Kalau dia tak mau dikatakan kotor dan
busuk juga, dia pasti banci! Ya..., ya! Dia banci!"
pikir Suropati. Tanpa terasa remaja konyol ini ter-
senyum-senyum seorang diri.
Mendadak, kakek berjubah merah mendo-
rong tubuh Narita. "Minggirlah...!" usirnya dengan
suara keras menggelegar.
Ingin rasanya Narita mengajak pergi Suro-
pati. Ingin rasanya dia melepaskan Suropati dari
tangan maut yang akan segera dijatuhkan ayah-
nya. Tapi..., Narita pun tidak mampu melawan
kehendak ayahnya. Dia tak sanggup membuat
kecewa dan menyakiti hati orang yang telah men-
gukir jiwa raganya. Karena bingung serta tak tahu
apa yang harus diperbuatnya, Narita cuma bisa
menangis..., dan menangis....
"Pak Tua!" seru Suropati. "Bukan aku hen-
dak mengajar adat atau memberi petuah kepa-
damu. Apakah semua perbuatanmu sudah kau
pikirkan terlebih dulu? Kau bisa saja membunuh
aku. Tapi, tidakkah kau sadar perbuatanmu itu

akan membuat susah dan sedih anakmu. Tidak-
kah dia akan merasa kehilangan? Bila dia me-
mendam rasa kecewa berat, suatu saat kelak dia
bisa melawanmu, melarikan diri darimu, dan
yang lebih parah dia tak akan menganggapmu se-
bagai ayahnya lagi...."
"Bocah gemblung!" sentak kakek berjubah
merah. "Pandai benar kau mengucap kata-kata.
Tapi aku. Raja Angin Barat, tak butuh nasihat da-
ri seorang bocah gembel macam kau! Aku bisa
mendidik anakku sendiri! Aku tahu apa yang ter-
baik bagi Narita!"
Mendengar ucapan yang menunjukkan si-
fat keras seperti batu itu, Pengemis Binal menge-
rutkan kening. Tanpa sadar tangan kanannya te-
rangkat, lalu menggaruk-garuk kepala yang tak
gatal.
"Kematian bagi yang berani masuk ke lem-
bah ini...," ujar Raja Angin Barat, mengulang lagi
bunyi peringatan di Makam Pelangi.
Usai berkata, Raja Angin Barat menggeren-
deng seraya memutar-mutar kedua telapak tan-
gannya di depan dada. Timbul tiupan angin ken-
cang yang menerbangkan  dedaunan dan batu-
batu kecil yang berserakan di permukaan tanah.
Terkejut tiada terkira Pengemis Binal. Ke-
dua tangan Raja Angin Barat terlihat membesar...,
membesar..., dan terus membesar! Hingga di lain
kejap, Pengemis Binal melihat kedua tangan Raja
Angin Barat sudah cukup besar untuk dapat
menggenggam seekor kerbau!
"Ya Tuhan...," sebut Pengemis Binal dalam

keterkejutannya.
"Ilmu 'Tangan Langit'!" seru Raja Angin Ba-
rat.
Sesaat kemudian, Pengemis Binal melihat
sepasang tangan yang sangat panjang dan besar
meluncur ke arahnya. Tak mau tubuhnya terjepit
jari-jari sebesar batang pohon kelapa, bergegas
Pengemis Binal meloncat. Namun..., sepasang
tangan raksasa milik Raja Angin Barat terus
mengejar ke mana pun dia pergi!
"Sihir...! Sihir...!" teriak Pengemis Binal
sambil terus berloncatan.
Susah payah pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ini menghimpun kekuatan
batin. Begitu dapat, keterkejutan menghantam le-
bih telak, hingga mata Pengemis Binal melotot be-
sar karena terjerat rasa heran.
Sejak kecil, Suropati mempunyai kekuatan
batin yang hebat. Setelah bertemu dengan Periang
Bertangan Lembut yang kemudian menjadi gu-
runya, kekuatan batin Suropati terus digembleng
dan dilatih. Hingga, kekuatan batin Suropati su-
dah sedemikian kuatnya. Tak bakalan ada orang
yang mampu mempengaruhinya dengan ilmu si-
hir. Tapi..., kini Suropati telah menghimpun selu-
ruh kekuatan batinnya. Kedua tangan Raja Angin
Barat tetap saja kelihatan sangat panjang dan be-
sar, berlipat dua puluh kali ukuran normal! Be-
rarti kedua tangan Raja Angin Barat memang ber-
tambah ukuran secara nyata, bukan karena pen-
garuh ilmu sihir! 
"Ya, Tuhan..."

Pengemis Binal terus menyebut kebesaran
nama Sang Penguasa Tunggal berkali-kali. Karena
ruang geraknya telah terkepung oleh dua tangan
raksasa, Pengemis Binal tak punya kesempatan
lagi untuk meloloskan diri. Maka sebelum tubuh-
nya remuk kena remas, Pengemis Binal mengalir-
kan kekuatan tenaga dalamnya ke telapak tangan
kanan. Sekejap mata kemudian, pergelangan tan-
gan kanan Pengemis Binal telah merah membara,
namun menebarkan hawa dingin.
"'Pukulan Salju Merah'!" seru Pengemis Bi-
nal.
Remaja konyol ini memutar tubuh seraya
mengibaskan telapak tangannya beberapa kali. Ti-
tik-titik salju berwarna merah menebar ke mana-
mana. Hawa di sekitar Makam Pelangi jadi dingin
luar biasa!
Raja Angin Barat terkejut setengah mati.
Kedua tangannya tiba-tiba kempes dan menjadi
kecil seperti semula. Untuk beberapa saat, tokoh
tua ini berdiri terpaku di tempatnya. Dia tak me-
nyangka bila Suropati yang lagaknya seperti
orang tolol mempunyai ilmu pukulan sedemikian
hebat.
"Rupanya kau punya ilmu kepandaian
yang bisa diandalkan, hingga kau berani masuk
ke Makam Pelangi...," ujar Raja Angin Barat. "Ta-
pi... dengan ilmu kepandaianmu itu, yang bisa di-
katakan lumayan, jangan kira kau akan dapat lo-
los dari tanganku!"
Raja Angin Barat menggerendeng lagi. Ke-
dua tangannya kembali berputar-putar di depan

dada. Setelah timbul tiupan angin kencang, ke-
dua tangan tokoh tua ini membesar untuk kedua
kalinya. Tapi kini, sekujur pergelangan tangannya
dilapisi cahaya putih berkilat-kilat!
Kontan mata Pengemis Binal menyipit ka-
rena silau. Tahu ada bahaya lebih besar yang
mengancam jiwanya, cepat disiapkan lagi puku-
lan 'Salju Merah' yang didapatkannya dari Nyai
Catur Asta, ratu Kerajaan Siluman.
Saat kedua tangan raksasa Raja Angin Ba-
rat meluncur hendak meremukkan tubuhnya,
Pengemis Binal memekik parau seraya menghen-
takkan tangan kanannya ke depan!
"Hiah...!"
Blarrr...!
Gumpalan salju merah yang amat dingin
dan mengandung kekuatan luar biasa tepat
menghantam kedua telapak tangan raksasa Raja
Angin Barat. Namun, alangkah terkejutnya Pen-
gemis Binal. Gumpalan salju merah lenyap terte-
lan cahaya putih berkilat yang menyelubungi ke-
dua pergelangan tangan Raja Angin Barat!
Selagi Pengemis Binal terpaku dalam ke-
terkejutan, mendadak remaja konyol ini tak dapat
menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Da-
danya sesak karena jalan napasnya telah buntu.
Tubuhnya terasa dijepit balok-balok baja yang
amat kuat!
"Ayah...!"
Narita yang sedari tadi larut dalam sedih
dan menangis mengguguk, meloncat sebat. Me-
meluk pinggang Raja Angin Barat dari belakang!

Dia meratap, mengiba, dan terus menangis....
"Jangan, Ayah! Jangan bunuh dia! Dia
orang baik! Ayah...! Jangan...!"
Raja Angin Barat cuma mendengus-
dengus. Sementara, Pengemis Binal megap-megap
karena kehabisan napas. Bergerak sedikit pun dia
tak lagi mampu. Tubuhnya telah tercengkeram
tangan raksasa Raja Angin Barat!
"Ayah...! Kalau Ayah membunuhnya, aku
juga tak mau hidup lagi...!"
Melihat Pengemis Binal yang sudah di am-
bang pintu maut, Narita menekan kepalanya sen-
diri dengan sepuluh jari tangannya. Dengan air
mata terus berlelehan, bocah perempuan ini me-
nekan kepalanya lebih keras dan semakin keras.
Hingga, sepuluh jari tangannya terlihat bergetar
dan mengepulkan asap!
Raja Angin Barat mendesah panjang. Dia
juga tahu benar akan sifat dan watak anaknya.
Persis seperti dirinya, keras dan amat teguh. Apa
yang dikatakan, betul-betul akan dilakukannya.
Narita benar-benar akan bunuh diri!
Sesaat Raja Angin Barat jadi bingung. Dia
harus melaksanakan aturan yang berlaku di Ma-
kam Pelangi, tapi dia juga tak ingin kehilangan
anak satu-satunya yang sangat dicintainya.
Dalam keadaan bingung untuk segera me-
nentukan pilihan, tiba-tiba Raja Angin Barat
menggembor keras. Kepalanya menggeleng-
geleng. Pada saat inilah Pengemis Binal menden-
gar suara gemeretak yang timbul dari dalam tu-
buhnya. Tulang belulangnya segera akan remuk.

Kematian sudah lekat di pelupuk matanya!
"Enyah kau, Jahanam!" seru Raja Angin
Barat 
Diiringi suara menggembor amat keras. Ra-
ja Angin Barat melemparkan tubuh Pengemis Bi-
nal sekuat tenaga. Tak ayal lagi, tubuh Pengemis
Binal melesat ke angkasa dengan kecepatan me-
lebihi lesatan anak panah lepas dari busur! Bu-
rung-burung yang melihat kejadian ini mencicit
ngeri. Mereka terbang pergi, seperti tak sampai
hati melihat kekejaman manusia....
"Kakakkk...!"
Narita menjerit panjang. Tak mempeduli-
kan lagi ayahnya yang tengah menggeram-geram
bagai orang kesetanan, Narita menjejak tanah.
Tubuhnya melesat cepat. Setelah melompati teb-
ing setinggi tiga puluh tombak, tubuhnya lenyap
dari pandangan....
"Naritaaa...!"
Raja Angin Barat turut menjerit panjang.
Dia menjejak tanah pula. Tubuhnya melayang,
melewati tebing, lalu melesat dan hilang entah ke
mana....
* * *

Pengemis Binal tak tahu berapa ratus tom-
bak tubuhnya terlontar. Hembusan angin terasa
memukul-mukul. Suara gemuruh keras mene-
puk-nepuk gendang telinganya. Mata jadi pedih
dan tak dapat dibuka. Dalam keadaan meluncur
cepat di angkasa luas, Pengemis Binal merasakan
siksaan hebat. Tak kuasa menahan rasa sakit,

kesadaran Pengemis Binal lenyap. Dan, tentu saja
keadaan ini menjadi lebih berbahaya....
Tubuh Pengemis Binal terus meluncur!
Sementara, di depan sana terlihat bongkahan-
bongkahan batu besar. Apakah Pengemis Binal
akan menemui malaikat kematian dengan tubuh
hancur berantakan?
Rupanya Tuhan berkehendak lain. Sebe-
lum tubuh Pengemis Binal membentur bongka-
han batu, berkelebat sesosok bayangan. Tubuh
Pengemis Binal dijepit dua pergelangan kaki yang
kokoh. Namun karena luncuran tubuh Pengemis
Binal terlampau kuat, tubuh sang penolong ter-
bawa meluncur!
Bresss...!
Punggung sang penolong membentur
bongkahan batu. Sementara, tubuh Pengemis Bi-
nal lepas dari jepitan kakinya, lalu terlontar dan
bergulingan di tempat lain....
Dalam keadaan hampir pingsan, orang
yang berusaha menyelamatkan jiwa Pengemis Bi-
nal menarik napas panjang beberapa kali. Untung
orang ini melindungi tubuhnya dengan tenaga da-
lam, hingga tak sampai remuk membentur batu.
"Segala puji bagi Tuhan penguasa semesta
alam...."
Orang ini menyebut kebesaran Sang Pen-
guasa Tunggal. Kepalanya menggeleng-geleng un-
tuk mengusir kekaburan yang menyelimuti pan-
dangannya. Penolong Pengemis Binal ini ternyata
seorang kakek berkumis dan berjenggot panjang.
Mengenakan celana dan rompi kuning. Di kepa-

lanya melingkar ikat kepala yang terbuat dari be-
setan kulit pohon kasar berduri. Kedua bahunya
rata karena tak punya tangan. Siapa lagi dia ka-
lau bukan Peramal Buntung!
"Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang....
Tuhan Maha Pemurah...."
Sambil terus menyebut kebesaran-Nya, Pe-
ramal Buntung bangkit. Tampak bongkahan batu
yang terbentur punggungnya telah retak-retak.
Dengan rasa khawatir, kakek berompi kuning ini
meloncat mendekati tubuh Pengemis Binal yang
tergeletak di atas tanah.
Jari-jari kaki Peramal Buntung segera me-
nekan-nekan beberapa tempat di tubuh Pengemis
Binal. Setelah meletakkan telinga di dada kiri
Pengemis Binal, Peramal Buntung menarik napas
lega.
"Tuhan benar-benar Maha Pengasih dan
Penyayang. ..."
Usai mengucap puji syukur, Peramal Bun-
tung menotok beberapa jalan darah Pengemis Bi-
nal dengan jari-jari kakinya. Sebentar kemudian,
Pengemis Binal menggeliat dan tersadar dari
pingsannya.
"Uh...!" keluh Pengemis Binal, mencoba
bangkit
"Jangan dulu! Tetaplah berbaring di situ!"
cegah Peramal Buntung.
Pengemis Binal mengerjap-ngerjapkan ma-
tanya. Melihat seraut wajah yang telah dikenal-
nya, remaja konyol ini menarik napas panjang se-
raya mendesis, "Kakek Peramal Buntung...."

"Ya. Aku memang Peramal Buntung, Tuan
Muda...," sambut Peramal Buntung. "Tuan Muda
jangan bergerak dulu. Tarik napas dalam-dalam.
Atur hawa murni Tuan Muda yang terpecah-
pecah...."
Pengemis Binal segera mengikuti petunjuk
Peramal Buntung. Tak seberapa lama kemudian,
rasa sakit yang merejam sekujur tubuhnya sudah
banyak berkurang.
"Raja Angin Barat...," desis Pengemis Binal
dengan mata terpejam.
"Heh?! Apa? Tuan Muda berkata apa?" ke-
jut Peramal Buntung.
Perlahan Pengemis Binal membuka kelopak
matanya. "Raja Angin Barat. Tangannya yang
panjang dan besar mencengkeram kuat. Tubuhku
dilemparkan...."
Mendengar ucapan  Pengemis Binal yang
seperti mengigau, Peramal Buntung mengerutkan
kening, lalu geleng-geleng kepala. Sementara, pu-
taran waktu terus berlalu. Mentari bergeser ke
barat. Sinarnya melemah. Angin berhembus
membawa kesejukan....


SELESAI


Segera terbit!!! 
BIDADARI PULAU PENYU


txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com