Pengemis Binal 27 - Bidadari Pulau Penyu(1)





BIDADARI PULAU PENYU



Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo


Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Bidadari Pulau Penyu
128 hal.


/DuniaAbuKeisel



1

Bocah perempuan dua belas tahunan ini
berjalan dengan langkah gontai. Seperti sumber
air yang tak pernah kering, butiran mutiara ben-
ing terus bergulir dari kedua sudut matanya. Ha-
wa amarah, kesal, rasa kehilangan, dan duka lara
bercampur aduk membuat sesak jalan napasnya.
Hatinya terasa pedih perih teriris-iris.
"Kak  Suro... Kak Suro...,"' desis si bocah
yang tak lain Narita, putri Raja Angin Barat. 
Narita amat marah dan kesal kepada ayah-
nya yang telah tega melemparkan tubuh si Pen-
gemis Binal Suropati dengan ilmu -Tangan Lan-
git'. Hanya amarah dan kesal itu membuat Narita
nekat melanggar  larangan ayahnya. Dia keluar
dari Lembah Makam Pelangi. Tak peduli ayahnya
akan menjadi murka. Tak peduli ayahnya akan
menjatuhkan hukuman berat. Yang ada dalam
ingatan Narita hanyalah Suropati. Suropati yang
telah membinasakan Sepasang Racun Api. Suro-
pati yang tak marah manakala dia tampar. Suro-
pati yang bisa mengerti segala kesedihan yang
tengah dirasakannya.
Dalam pandangan Narita, Suropati adalah
sosok pemuda yang amat baik. Walau baru ber-
jumpa, Suropati telah menjadi bagian yang begitu
dekat di hatinya. Wajar. Karena selama bertahun-
tahun tinggal di Lembah Makam Pelangi yang sepi
sunyi, Narita tak pernah berjumpa dengan orang
yang bisa mengerti perasaannya. Perasaan seo-

rang bocah yang masih membutuhkan banyak
perhatian dan kasih sayang.
Namun..., Suropati yang baik hati harus
bernasib malang. Seperti orang-orang lainnya
yang berani masuk ke Lembah Makam Pelangi,
dia juga diadili dengan peraturan yang dibuat
sendiri oleh Raja Angin Barat. Suropati harus ma-
ti. Dan, Suropati pun sama sekali tak berdaya
melawan kehebatan ilmu 'Tangan Langit'. Dalam
jepitan jemari tangan Raja Angin Barat yang telah
membesar puluhan kali dari ukuran normal, tu-
buhnya dilemparkan tanpa mampu berbuat apa-
apa. (Agar lebih jelas, silakan baca serial Penge-
mis Binal dalam episode: "Sepasang Racun Api").
Melihat tubuh Suropati yang terlontar ba-
gai sebutir kerikil melayang di angkasa luas, Nari-
ta tak mampu menahan gejolak perasaannya. Ke-
sedihan menghantam, dan sungguh-sungguh
membuatnya merasa sangat kehilangan. Hingga
tanpa mempedulikan ayahnya lagi, Narita berlari-
lari menyusuri lereng gunung, memasuki jurang
dan lembah, membuka dan menyibak semak be-
lukar. Namun karena tenaga lemparan Raja Angin
Barat begitu kuat luar biasa tubuh Suropati tak
dapat ditemukannya.
Gelap malam telah mengguyur seluruh
permukaan tanah manakala Narita menghentikan
langkah di depan sebuah kuil bobrok. Wajahnya
pucat pasi seperti tak berdarah lagi. Bocah pe-
rempuan itu nyaris pingsan karena terlalu banyak
mengeluarkan tenaga.
Dengan langkah terseok-seok, Narita  me-

masuki kuil. Beberapa kali mulutnya mendesis,
menyebut nama Pengemis Binal. Namun, hanya
desau angin malam yang menyahuti.
Narita terus melangkah seraya menajam-
kan penglihatan. Suasana di dalam kuil sunyi se-
nyap. Walau sudah tidak terurus lagi, keadaan
kuil masih cukup layak untuk dijadikan tempat
bermalam. Mengingat dirinya yang sudah sedemi-
kian payah, segera Narita mencari tempat untuk
berbaring. Tanpa pikir panjang lagi, dia memilih
sebuah tempat di kolong meja pemujaan.
Teringat akan ajaran ayahnya, Narita tidak
langsung membaringkan tubuh untuk tidur. Dia
duduk bersila dengan sikap semadi. Diaturnya ja-
lan napas sedemikian rupa untuk memulihkan
tenaganya yang terkuras
Sementara, di luar sang candra dalam bu-
latan penuh bagai melempar senyum ke arah bin-
tang-bintang yang terus mengedipinya. Cahaya
kuning tembaga menyiram, membuat temaram
wajah malam. Kesunyian terusik tatkala dua so-
sok tubuh berjalan mendekati kuil sambil berca-
kap-cakap. Yang satu seorang lelaki berperawa-
kan sedang. Rambutnya dikuncir dan diikat den-
gan sehelai saputangan merah. Pakaian yang di-
kenakannya ketat ringkas hijau. Satunya lagi seo-
rang wanita berparas cantik. Rambutnya digelung
ke atas dengan hiasan beberapa tusuk konde
emas. Tubuhnya yang sintal terbungkus pakaian
kuning-merah mencolok mata.
"Kita telah diperintah oleh sang pemimpin
agar datang ke pesanggrahan tengah malam nan-

ti. Kira-kira ada urusan apa itu, Kekasihku?" ujar
si wanita ketika kakinya melewati pintu kuil.
"Sebenarnya, yang diperintah itu bukan
hanya kita. Tapi semuanya. Semua anggota pe-
sanggrahan. Termasuk empat duta yang menge-
palai wilayah selatan, utara, barat, dan timur,"
sambut si lelaki.
"Kelihatannya memang ada sesuatu yang
penting, yang harus dirundingkan bersama...."
"Ya, begitulah...."
"Kau tahu urusan apa itu, Kekasihku?"
Lelaki berkuncir tidak segera menjawab.
Dia sibuk mengumpulkan ranting kering yang
berserakan di lantai kuil. Setelah membuat pera-
pian, lelaki ini memeluk erat tubuh kekasihnya
seraya mendaratkan ciuman. Si wanita mengge-
linjang manakala merasakan sentuhan hangat di
bibirnya. Karena ada sesuatu, yang mengganggu
pikirannya, dia berusaha menghindar dari ciuman
berikutnya.  
"Kenapa?" tanya lelaki berkuncir yang me-
rasa sang kekasih tak mau melayani hasrat ha-
tinya.
"Tengah malam nanti kita harus  ke pe-
sanggrahan. Pikiranku jadi tidak enak. Jangan-
jangan di antara kita ada yang berbuat salah…,"
kilah si wanita. 
"Kekhawatiranmu sama sekali tak berala-
san, Manisku. Sang pemimpin memanggil kita
semua bukan karena kita berbuat salah. Tapi ka-
rena...."     
Mendengar ucapan kekasihnya yang meng-

gantung, si wanita mengerutkan kening. Terdo-
rong rasa tak sabar, wanita cantik bertubuh sin-
tal ini mendesak
"Karena apa? Segeralah kau jelaskan agar
aku tak penasaran,"
Si lelaki tersenyum. Dikecupnya kening si
wanita, lalu berkata, "Yang akan dibicarakan oleh
sang pemimpin ada hubungannya dengan seorang
pemuda gembel bernama Suropati."
"Bocah konyol bergelar Pengemis Binal
itu?"
"Ya."
"Kau yakin?"
Si lelaki kembali tersenyum. "Kau tak perlu
khawatir, Manisku. Kita semua tidak ada yang
berbuat salah. Sang pemimpin tak akan menja-
tuhkan hukuman kepada siapa pun. Oleh karena
itu, hilangkan segala pikiran buruk di benakmu.
Kita bisa menggunakan sisa waktu ini untuk..."
Tangan kiri lelaki berkuncir meraih ping-
gang kekasihnya. Sementara, tangan kanannya
langsung meraba-raba daerah di sekitar dada.
Kembali si wanita menggelinjang, Apalagi setelah
bibirnya dilumat dengan ciuman panas. Tapi ke-
tika ciuman lelaki berkuncir pindah ke lehernya
yang jenjang, si wanita berkelit
"Jangan...," tolaknya.
"Kenapa?" tanya si lelaki, heran. Tidak bi-
asanya si wanita berlaku seperti ini. Biasanya si
wanitalah yang merengek-rengek meminta si lela-
ki untuk menuruti hasrat hatinya yang selalu
bergelora bagai kuda binal yang tak pernah puas.

Si wanita diam. Keningnya berkerut rapat.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Manisku Dewi
Asmara? Bila kita sudah berada di Pesanggrahan
Pelangi, mana sang pemimpin mau memberi ke-
sempatan kepada kita untuk berdua-duaan?"
"Aku tahu itu. Tapi cobalah kau jelaskan
dulu,  kenapa sang pemimpin harus membicara-
kan seorang bocah konyol macam Suropati?"
Narita yang berada di ruangan sebelah da-
lam tersentak mendengar nama Pengemis Binal
disebut beberapa kali. Karena tertarik untuk
mengikuti arah pembicaraan dua orang yang be-
rada di ruangan depan, Narita menggagalkan se-
madinya. Dia pasang telinga lebar-lebar. Tetap
duduk diam di kolong meja pemujaan. 
"Manisku Dewi Asmara..., " sebut lelaki
berkuncir, penuh kemesraan. "Kemungkinan be-
sar kehadiran Suropati di Negeri Pasir Luhur ini
dianggap berbahaya oleh sang pemimpin. Bukan-
kah kita telah tahu bila pemuda gembel itu diun-
dang Putri Impian ke Istana Langit. Apa lagi mak-
sud Putri Impian kalau tidak untuk meminta ban-
tuan. Lagi pula, Suropati pun telah berani meno-
tok dan menyiksa Iblis Mata-Satu. Oleh karena
itulah sang pemimpin memandang perlu untuk
membicarakan urusan ini...."  
"Kekasihku Dewa Cinta...," sebut Dewi As-
mara. Suaranya terdengar bergetar karena terba-
wa perasaannya yang tak enak. "Tadi siang, kita
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Suro-
pati sama sekali tak berdaya menghadapi Raja
Angin Barat. Tubuhnya dilemparkan tanpa mam-

pu berbuat apa-apa. Dia pasti sudah mati dengan
tubuh hancur lebur.... Kecuali, kalau dia punya
kesaktian yang bisa disejajarkan dengan dewa.
Tapi, kukira itu tidak mungkin. Kalau dia punya
kesaktian sejajar dengan dewa, bagaimana dia bi-
sa begitu mudah dilumpuhkan oleh Raja Angin
Barat?"
"Kau tidak salah, Manisku...," sambut De-
wa Cinta. "Suropati memang tidak sehebat dewa,
tapi nasib baik masih setia mengikutinya. Seseo-
rang telah menyelamatkan jiwa pemuda gembel
itu."
"Dari mana kau tahu?"
"Apakah kau lupa bila aku punya ilmu
'Pelacak Jejak', Manisku? Dengan ilmu itu aku bi-
sa mendengar getaran tubuh seseorang dari jarak
ratusan bahkan ribuan tombak. Sampai saat ini,
aku masih mendengar getaran tubuh Suropati.
Berarti dia masih, hidup."
Dewi Asmara mengangguk-angguk, tanda
mengerti. Tapi, segera wanita cantik ini mengaju-
kan pertanyaan lagi.
"Kekasihku, tahukah kau siapa yang telah
menyelamatkan bocah konyol itu?"
"Dari getaran yang kudengar dan kurasa-
kan, sang penolong itu bertubuh cacat. Kedua
tangannya buntung dan dia sudah berusia lan-
jut."
"Peramal Buntung?" tebak Dewi Asmara.
"Tepat! Aku juga menduga dia," tegas Dewa
Cinta.
"Bila kita melaporkan kejadian  ini kepada

sang pemimpin, kita bisa mendapat nama baik.
Dan, ada kemungkinan kita juga akan menda-
patkan sesuatu sebagai hadiah,..."
"Tidak," kepala Dewa Cinta menggeleng.
"Sang pemimpin mengundang seluruh anak
buahnya untuk membicarakan Suropati, tentu
karena dia sudah tahu bila Suropati masih hi-
dup."
"Hmmm..... Kenapa sang pemimpin begitu
takut kepada Suropati? Apakah karena bocah ko-
nyol itu memiliki sesuatu yang bias membahaya-
kan sang pemimpin dalam meraih cita-citanya?"        
Dewa Cinta mengangkat bahu. "Aku tak
tahu," katanya. "Tapi, kita tak perlu mengha-
biskan waktu dengan membicarakan pemuda
gembel yang sok jago itu. Ada baiknya bila kita....
Hmmm...."
Dewi Asmara dapat menangkap isyarat ma-
ta yang dilempar kekasihnya. Berlainan dengan
tadi, wanita cantik ini tampak pasrah manakala
Dewa Cinta memeluk tubuhnya seraya menda-
ratkan ciuman ganas. Dia pun menurut saja keti-
ka dibaringkan ke lantai kuil yang dingin.
"Malam ini kau kelihatan cantik sekali,
Manisku...," ujar Dewa Cinta.
"Hmmm...."                          
Dewa Cinta mendaratkan ciuman-ciuman
panas menggelora. Tak sabaran jemari tangannya  
membuka kancing baju sang kekasih. Lalu, dia
benamkan wajahnya ke belahan dada yang diapit
dua bulatan kenyal halus mulus. Dewi Asmara
menggelinjang merasakan urat-urat darahnya

yang menggeletar.                                                   
Di ruangan sebelah dalam, Narita tak men-
dengar lagi percakapan Dewa Cinta dan Dewi As-
mara. Yang dapat didengarnya kini hanyalah den-
gus napas memburu dan suara merintih-rintih.
Narita tak tahu apa yang tengah diperbuat oleh
Dewa Cinta dan Dewi Asmara. Dia pun tak berani
menebak. Otaknya sedang sibuk memikirkan
makna percakapan yang baru saja dia dengar.
"Aku senang karena Kak Suro masih hi-
dup," kata Narita dalam hati. "Tapi, kenapa kedua
orang itu sepertinya tak suka terhadap Kak Suro?
Dari, siapa orang yang mereka sebut sebagai sang
pemimpin? Sudah jelas bila mereka adalah orang-
orang Pesanggrahan Pelangi. Kalau begitu, yang
mereka sebut sebagai sang pemimpin itu pasti Si-
luman Ragakaca...." 
Kening Narita berkerut rapat. Bocah pe-
rempuan ini tengah berpikir keras.
"Aku tahu Pesanggrahan Pelangi adalah
tempat bernaung orang-orang jahat. Beberapa
kali Lembah Makam Pelangi didatangi orang-
orang yang mengaku utusan Siluman Ragakaca.
Mereka membujuk Ayah agar mau menjadi pengi-
kutnya. Tapi, Ayah selalu menolak. Ayah yang ke-
ras kepala dan sangat teguh memegang pendirian
tak mungkin bergabung dengan orang jahat. Se-
mua utusan Siluman Ragakaca yang berani ma-
suk ke Lembah Makam Pelangi pasti mati dibu-
nuh Ayah. Tapi...."
Kerut di kening Narita makin rapat. Dia
memeras otaknya untuk berpikir lebih keras. Tak

dia pedulikan lagi suara-suara aneh yang terden-
gar dari ruangan depan.
"Bagaimana dua orang yang berada di
ruangan depan itu tahu Ayah telah melemparkan
tubuh Kak Suro keluar dari Lembah Makam Pe-
langi? Mungkinkah mereka memang ditugaskan
Siluman Raga kaca untuk mengintai segala gerak-
gerik Ayah? Mereka pasti punya tujuan tak baik.
Orang-orang Pesanggrahan Pelangi memang pan-
tas dibinasakan!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Narita be-
ranjak dari kolong meja pemujaan. Didikan keras
ayahnya, Raja Angin Barat, telah membuat Narita
tak mengenal rasa takut. Walau usia Narita be-
lum lewat dua belas tahun, tapi dia telah sering
membunuh orang.    
Semua orang yang berani masuk ke Lem-
bah Makam Pelangi harus dibunuh. Dan, Narita
telah melaksanakan aturan yang dibuat ayahnya
itu dengan baik, kecuali pada Suropati. Karena
didikan ayahnya juga, Narita jadi sangat benci
terhadap orang-orang Pesanggrahan Pelangi. Ma-
ka tanpa pikir panjang lagi, Narita bermaksud
membunuh Dewa Cinta dan Dewi Asmara. Tapi
sebelum dia bangkit berdiri, terdengar suara wa-
nita mengeluh dari ruangan depan. Karena masih
ingin tahu apa yang hendak diperbincangkan, Na-
rita menunda keinginannya.
"Uh...! Sudahlah!" sentak Dewi Asmara, be-
rusaha merenggangkan tubuhnya dari pelukan
Dewa Cinta.
"Kau kenapa? Aku belum selesai!"

"Sudahlah! Pikiranku tak enak lagi!"
Dewi Asmara mendorong tubuh Dewa Cinta
yang masih berusaha untuk dapat melepas hasrat
hatinya yang bergelora. Mendapat tolakan yang
sedikit kasar dari sang kekasih, Dewa Cinta men-
delikkan mata. Tapi melihat sorot mata Dewi As-
mara yang benar-benar menyiratkan kekhawati-
ran, Dewa Cinta berusaha meredam hasrat ha-
tinya yang menyentak-nyentak.
"Ada apa, Manisku...?"' tanya Dewa Cinta,
merangkak bangkit dari atas tubuh kekasihnya.
Dewi Asmara menarik napas panjang. Je-
mari tangannya yang lentik cepat membenahi pa-
kaian yang dia kenakan. Sementara, Dewa Cinta
menatapnya dengan bola mata melotot besar. Le-
laki berkuncir ini sadar bila tak mungkin lagi
mendaki sampai ke puncak kenikmatan. Dewi
Asmara telah menyudahi permainan.
"Kau kenapa, Manisku?" Dewa Cinta ber-
tanya lagi. Suaranya dingin bergetar karena me-
mendam rasa kecewa. 
"Aku khawatir akan terjadi sesuatu yang
tidak kita inginkan. Jangan-jangan...," Dewi As-
mara tak melanjutkan kalimatnya. Wanita cantik
ini menatap wajah Dewa Cinta lekat-lekat, seperti
meminta perlindungan.
"Apa lagi yang mengusik pikiranmu, Ma-
nisku?"
"Bocah konyol itu." 
"Suropati?" 
Kepala Dewi Asmara mengangguk lemah.
Dewa Cinta menatap dengan alis bertaut.

"Jangan-jangan kehadiran bocah konyol itu
adalah awal malapetaka… " ujar Dewi Asmara li-
rih, seperti menggumam. 
"Kenapa kau takut, Manisku?" sahut Dewa
Cinta, heran. "Bukankah kita sudah dapat men-
gukur sampai di mana ketinggian ilmunya?"
"Aku tahu, tapi.... Kau ingat-bagaimana dia
dengan mudah membinasakan Sepasang Racun
Api?"
"Dia memang punya ilmu pukulan hebat.
Tapi, itu bukan jaminan bahwa dia akan dapat
menciptakan malapetaka bagi kita. Kau tahu sen-
diri bukan ilmu pukulan pemuda gembel itu tak
mampu melawan ilmu 'Tangan Langit' Raja Angin
Barat?"
''Bukan itu yang mengganggu pikiranku...."
"Lalu, apa?"  
"Ketika Suropati membinasakan Sepasang
Racun Api, kita melihatnya dengan jelas dan sa-
dar. Kita tahu bila Sepasang Racun Api juga
orang bawahan sang pemimpin seperti kita. Tapi,
kenapa kita tidak turun tangan untuk membantu
mereka? Kenapa kita cuma diam melihat dua
orang teman dibunuh orang? Tidakkah ini akan
membuat murka sang pemimpin?"
Dewa Cinta menghela napas panjang. Lela-
ki berkuncir ini bisa mengerti jalan pikiran Dewi
Asmara. Benaknya turut kusut kini. Getar kek-
hawatiran terasa pula di lubuk hati.
"Ya..., kita memang telah berlaku tidak be-
nar. Tapi, kita tidak bisa disalahkan begitu sa-
ja...," ujar Dewa Cinta kemudian.

"Maksudmu?" tanya Dewi Asmara, tak
mengerti.
"Setiap orang yang menjadi anggota Pe-
sanggrahan Pelangi mendapat tugas yang berbeda
dari sang pemimpin. Tugas kita hanyalah mengin-
tai gerak-gerik Raja Angin Barat di Lembah Ma-
kam Pelangi. Kalau sampai Sepasang Racun Api
mendapat celaka dalam melaksanakan tugasnya,
itu bukan urusan kita."
"Tapi..., Sepasang Racun Api mati dibunuh
orang di depan mata kita. Sementara, kita tak
berbuat apa-apa. Bagaimana kalau sang pemim-
pin meminta penjelasan?"
Dewa Cinta diam. Pikirannya kusut. Ha-
tinya kalut. Apa yang dikhawatirkan oleh Dewi
Asmara kini dirasakannya juga. Sementara, Dewi
Asmara pun semakin digeluti rasa takut. Apalagi
setelah melihat wajah kekasihnya yang turut me-
mucat,
"Kenapa baru sekarang kau katakan hal
ini?" sentak Dewa Cinta, seperti menyalahkan
Dewi Asmara.
"Pada mulanya aku juga berpikiran sama
denganmu. Setiap anggota Pesanggrahan Pelangi
mempunyai tugas berbeda. Kenapa mesti men-
campuri urusan orang lain? Tapi, aku punya piki-
ran lain setelah memasuki kuil ini. Rasa khawatir
dan takut itu muncul setelah aku berada di kuil
ini. Kau jangan salahkan aku!" ujar Dewi Asmara,
setengah membentak.
Paras Dewa Cinta mengelam tiba-tiba. Dia
mengepal jemari tangan dengan gigi bertaut rapat.

Matanya nanar memandang perapian yang ham-
pir padam. Dia tahu bila waktu tengah malam
hampir tiba. Itu berarti dia harus segera mengha-
dap Siluman Ragakaca di Pesanggrahan Pelangi.
"Kalau tahu begini, tak akan kubiarkan
ada orang menolong pemuda gembel itu!" geram
Dewa Cinta.  "Mestinya kucabik-cabik tubuh Su-
ropati! Selain untuk membalas kematian Sepa-
sang Racun Api, juga untuk menyelamatkan diri-
ku sendiri."
Mendadak, dari ruangan kuil sebelah da-
lam berkelebat sesosok bayangan dibarengi teria-
kan, 
''Kau tak akan pernah mampu mencabik-
cabik tubuh Kak Suro! Karena, riwayatmu akan
kututup sampai di sini!"
Dewa Cinta dan Dewi Asmara melonjak ka-
get. Mereka sama-sama tak menduga bila di da-
lam kuil ada orang lain. Lebih kaget lagi Dewa
Cinta. Bagaimana mungkin dia bisa tak menden-
gar getaran tubuh orang lain di dalam kuil?
Sosok yang baru muncul hanyalah seorang
bocah perempuan dua belas tahunan. Mengena-
kan pakaian hijau yang dihiasi renda-renda su-
laman berupa bunga aneka warna. Di kepalanya
terdapat dua pita kupu-kupu, mengikat rambut-
nya yang hitam panjang. 
"Narita...!" desis Dewi Asmara.
"Ya! Aku memang Narita. Aku mewakili
ayahku untuk menghukum mati orang-orang ja-
hat macam kalian!" ujar si bocah yang tak lain
Narita, putri Raja Angin Barat. 

Melihat keberanian si bocah, Dewi Asmara
terkesiap. Demikian pula Dewa Cinta. Mereka ta-
hu benar bila ancaman Narita bukanlah bualan
kosong. Dewa Cinta dan Dewi Asmara pernah me-
lihat Narita membunuh orang beberapa kali di
Lembah Makam Pelangi. Dari situlah mereka da-
pat mengukur ketinggian ilmu putri Raja Angin
Barat ini.
"Hmmm.... Bocah ini mempunyai ilmu me-
ringankan tubuh yang hebat. Ilmu 'Tangan Lan-
git'-nya pun hampir mencapai taraf sempurna.
Ada baiknya bila aku serang terlebih dahulu...,''
pikir Dewa Cinta
"Kalian adalah orang-orang Pesanggrahan
Pelangi yang sangat kejam dan berhati busuk! Ka-
lian harus menyusul kematian Sepasang Racun
Api!" ancam Narita.
Bocah perempuan ini benar-benar ingin
melaksanakan ancamannya. Karena tahu orang-
orang Pesanggrahan Pelangi berilmu tinggi, dia
segera mengeluarkan ilmu ajaran ayahnya yang
terhebat. Ilmu 'Tangan Langit'! Namun, kebera-
nian Narita tanpa disertai perhitungan yang ma-
tang. Sampai di mana pun ketinggian ilmunya,
dia tentu kalah pengalaman dengan Dewa Cinta
dan Dewi Asmara.
Selagi dia memutar-mutar kedua tangan-
nya di depan dada untuk mengetrapkan ilmu
'Tangan Langit', Dewa Cinta telah mengirim se-
rangan dengan menghentakkan telapak tangan-
nya yang telah dialiri tenaga dalam. 
"Heah..,!"

Wesss...!
Narita terkejut mendengar suara menderu
ganas menuju ke arahnya. Tahu ada serangkum
angin pukulan yang cukup berbahaya, Narita
mempercepat putaran kedua tangannya. Putaran
yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi menimbulkan tiupan angin kencang. Aki-
batnya, dua kekuatan bentrok. Timbul suara le-
dakan keras. Sebagian atap kuil runtuh. Dinding
kuil pun retak di sana sini.
Dewa Cinta mendelikkan mata melihat ke-
kuatan tenaga dalam Narita. Sebelum perapian
padam, dia pun masih sempat melihat kedua tan-
gan Narita yang membesar beberapa kali dari
ukuran normal.
Seperti dapat membaca pikiran Dewa Cin-
ta, tiba-tiba Dewi Asmara memekik parau. Kedua
tangannya menghentak ke depan. Sekali lagi se-
rangkum angin pukulan meluruk. Narita men-
dengus dingin. Kedua tangannya yang telah
membesar dikibaskan. Kembali ledakan keras
terdengar memekakkan gendang telinga. Sebagian
atap kuil runtuh lagi. Dinding yang telah retak-
retak kini turut runtuh. Suara hiruk-pikuk yang
sangat gaduh memecah belah kesunyian malam.
Pada saat inilah, di mana pandangan ma-
sih tertutup reruntuhan kuil, Dewa Cinta berke-
lebat. 
Narita yang tak lagi melindungi dirinya
dengan ilmu 'Penghilang Tanda Kehidupan' dapat
diketahui dengan mudah di mana dia berada. Se-
kejap mata kemudian, Narita tak mampu berge-

rak. Kedua tangannya mengecil lagi. Tubuhnya
kaku kejang akibat totokan yang dilancarkan oleh
Dewa Cinta.
"Ha  ha  ha...!" Dewa Cinta tertawa puas.
"Bocah ingusan macam kau mana dapat membu-
nuh Dewa-Dewi Kayangan!"
"Apakah aku harus membunuh dia, Keka-
sihku?" tanya Dewi Asmara dengan sikap manja
merayu. Wanita ini bangga melihat kehebatan
sang kekasih,
"Uts! Kita tidak boleh mengulang perbuatan
bodoh. Kita telah salah karena membiarkan Sepa-
sang Racun Api dibunuh Suropati. Tapi. kini kita
akan menebus kesalahan itu. Sang pemimpin
akan senang melihat putri Raja Angin Barat kita
hadapkan ke Pesanggrahan Pelangi."
"Sebuah gagasan yang jitu!"
Terbawa luapan rasa gembira, Dewi Asma-
ra memeluk tubuh Dewa Cinta. Dilumatnya bibir
sang kekasih dengan hasrat menggebu-gebu. Se-
mentara, Dewa Cinta membalasnya dengan ra-
baan-rabaan yang mampu membuat seluruh urat
darah Dewi Asmara bergeletar tak karuan. Untuk
beberapa lama, jiwa Dewa-Dewi Kayangan ini me-
layang-layang di surga kenikmatan.
"Jahanam! Lepaskan aku!" hardik Narita
Namun, suaranya segera lenyap tertindih dengus
napas dan rintihan panjang penuh nafsu.

***


2

Manakala mentari pagi menyapa hangat,
bunga-bunga bakung mekar tersenyum dalam be-
laian sang bayu. Butiran embun bergulir dari pu-
cuk-pucuk daun, teriring gemulai halimun yang
membubung untuk segera lenyap dari pandan-
gan. Terusik kicau burung yang menyambut ber-
gantinya hari, seorang remaja tampan membuka
mata dan menyelesaikan semadinya. Butiran em-
bun bercampur keringat membasahi pakaiannya
yang penuh tambalan. Dia si Pengemis Binal Su-
ropati.
"Cukup lama Tuan Muda bersemadi. Kuki-
ra Tuan Muda telah dapat mengatasi luka dalam.
Untung lemparan 'Tangan Langit' Raja Angin Ba-
rat tidak sampai membuat pecah urat-urat darah
Tuan  Muda...," ujar seorang kakek buntung be-
rompi dan bercelana kuning yang setia menung-
gui Suropati bersemadi. Kakek berkumis dan ber-
jenggot panjang ini mengenakan ikat kepala yang
terbuat dari besetan kulit pohon kasar berduri. 
"Terima kasih, Kek...," ucap Pengemis Bi-
nal, tulus. "Entah akan jadi apa tubuhku ini
seandainya  Kakek tidak memberikan pertolon-
gan."
"Ah! Tuan Muda jangan membesar-
besarkan pertolonganku yang tidak ada ar-
tinya...," sambut kakek berompi kuning yang tak
lain Peramal Buntung. "Bukankah yang kulaku-
kan sudah menjadi kewajibanku?"

"Kakek, jangan memanggilku dengan sebu-
tan 'tuan muda'. Aku yang miskin papa ini jadi
tak enak hati." ,
"Itu tak menjadi apa, Tuan Muda. Karena,
aku harus menepati janji untuk menjadi budak
pengiring Tuan Muda seumur hidup."
Suropati menatap sejenak wajah Peramal
Buntung, lalu menggaruk kepalanya yang tak
gatal. Ada yang tak bisa dia mengerti dari sikap
Peramal Buntung. Tempo hari, waktu Peramal
Buntung bertaruh dengan Dewa Peramal yang
mengunggulkan dirinya, dia tak bermaksud me-
layani dengan sungguh-sungguh. Tapi, Peramal
Buntung yang kalah bertaruh benar-benar mene-
pati janjinya. Tentu saja Suropati jadi tak enak
hati karena Peramal Buntung, seorang tokoh tua
yang cukup punya nama di Negeri Pasir Luhur,
harus menjadi budak pengiringnya seumur hidup.
(Tentang pertaruhan antara Peramal Buntung
dengan Dewa Peramal bisa disimak pada serial
Pengemis Binal dalam episode: "Sepasang Racun
Api").
"Aku heran dan sungguh tak habis menger-
ti, kenapa Raja Angin Barat membuat aturan se-
pihak di Lembah Makam Pelangi? Kenapa pula
dia mendidik putrinya dengan pengertian yang sa-
lah?" ujar Pengemis Binal kemudian, lirih dan
hampir tak terdengar. 
"Raja Angin Barat adalah salah satu tokoh
pilih tanding di Negeri Pasir Luhur ini. Dia ter-
kenal dengan ilmu 'Tangan Langit'-nya yang dah-
syat luar biasa. Dia juga terkenal sebagai tokoh

yang amat teguh dalam pendirian, keras kepala
namun arif bijaksana," tutur Peramal Buntung
tanpa diminta.
"Aneh!" seru Suropati. "Kalau Raja Angin
Barat adalah orang yang arif bijaksana, kenapa
dia membuat aturan gila? Apa untungnya bagi dia
dengan membunuh semua orang yang berani ma-
suk ke Lembah Makam Pelangi? Narita putrinya
pun telah dijejali pengertian-pengertian yang sa-
lah. Hingga, dalam diri Narita timbul satu angga-
pan bahwa membunuh orang adalah perbuatan
yang biasa. Tak sedikit pun terkandung dalam pi-
kiran Narita bila membunuh adalah perbuatan
dosa..."
"Raja Angin Barat menanamkan pengertian
seperti itu kepada putrinya bukan tak ada sebab-
nya. Rasa sedih yang dalam bisa membuat batin
terpukul. Dan, itu  bisa mengguncangkan jiwa.
Akibat keguncangan jiwa, terkadang pikiran dan
perilaku jadi tak terkendali lagi...."
"Maksud Kakek, Raja Angin Barat menga-
lami keguncangan jiwa yang menyebabkan dirinya
tak sadar terhadap apa-apa yang telah diperbuat-
nya?"
"Begitulah. Sekitar dua puluh tahun yang
lalu, Raja Angin Barat mempunyai seorang murid
perempuan bernama Maharani. Tuhan menakdir-
kan mereka untuk menjadi sepasang suami-istri.
Dalam diri mereka tumbuh benih-benih cinta, wa-
lau ketika itu usia Raja Angin Barat telah mengin-
jak kepala lima, sementara Maharani baru beru-
sia tujuh belas tahun. Ibarat sekuntum bunga,

Maharani baru mekar berkembang...." 
"Lalu, kenapa Jiwa Raja Angin Barat jadi
terguncang? Apakah karena ditinggal mati Maha-
rani yang sangat dicintainya?"
"Ya. Kejadiannya sekitar dua belas tahun
yang lalu. Waktu itu Maharani tengah mengan-
dung delapan bulan. Seorang wanita yang sedang
mengandung sebenarnya tak baik melatih tenaga
dalam. Raja Angin Barat tahu benar akan hal itu.
Tapi, Maharani punya sifat keras kepala. Peringa-
tan Raja Angin Barat sama sekali tak dia peduli-
kan. Hingga, terjadilah peristiwa yang amat me-
nyedihkan hati Raja Angin Barat itu. Di sebuah
lembah, yang kemudian disebut sebagai Lembah
Makam Pelangi, saat Maharani bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga dalam, datang se-
seorang yang mempunyai dendam kesumat ter-
hadap Raja Angin Barat..."
"Siapa nama orang itu?"
"Namanya aku tak tahu. Dia terkenal den-
gan julukan Hakim Neraka."
"Hakim Neraka? Sungguh sebuah julukan
yang sangat menggidikkan...."       
"Kedatangan  Hakim Neraka adalah untuk
melampiaskan dendam kesumatnya terhadap Ra-
ja. Angin Barat. Tapi, waktu itu Raja Angin Barat
tidak berada di lembah. Hakim Neraka yang be-
ringasan gampang naik darah. Tak berjumpa
dengan Raja Angin Barat, dia punya pikiran un-
tuk menjadikan Maharani sebagai sandera. Maha-
rani yang tengah bersemadi ditotoknya. Hakim
Neraka sebenarnya sama sekali tak menduga bila

totokannya akan mengakibatkan kematian Maha-
rani. Kalau saja Maharani tak bersemadi untuk
meningkatkan kekuatan tenaga dalam, totokan
Hakim Neraka hanya akan membuat lumpuh se-
mentara. Tapi karena dia tengah mengandung, di
mana dalam perutnya terdapat janin yang ber-
nyawa, totokan Hakim Neraka membuat Mahara-
ni 'Salah Api'. Beberapa urat darahnya pecah, dan
mengakibatkan kematian...."
Pengemis Binal mengangguk-angguk men-
dengar cerita Peramal Buntung. Dari gurunya,
mendiang Periang Bertangan Lembut, remaja
tampan ini juga pernah mendengar istilah 'Salah
Api'. Bila seseorang yang tengah bersemadi men-
galami 'Salah Api', dia bisa mati, atau paling ti-
dak, kedua tangan dan kakinya menjadi lumpuh.
"Setelah menotok Maharani, Hakim Neraka
terkejut luar biasa. Apalagi setelah mengetahui
Maharani tengah hamil tua. Timbul rasa sesal da-
lam diri Hakim Neraka. Mungkin karena penyesa-
lannya itulah dia mengundurkan diri dari rimba
persilatan. Sampai sekarang, Hakim Neraka tak
terdengar kabar beritanya lagi."
"Lalu, apa yang dilakukan Raja Angin Barat
setelah mengetahui istrinya mati dibunuh orang?"
"Dari jejak-jejak di lembah dan bekas toto-
kan di tubuh Maharani, Raja Angin Barat yang
berpengalaman luas tahu bila si pembunuh ada-
lah Hakim Neraka. Namun, Raja Angin Barat ha-
rus melupakan dulu urusannya dengan Hakim
Neraka. Nyawa bayi yang berada di kandungan
Maharani lebih penting. Dengan susah payah,

dan mencurahkan segenap tenaga. Raja Angin
Barat dapat menyelamatkan nyawa anaknya. Se-
telah membangun Makam Pelangi untuk menge-
nang Maharani, Raja Angin Barat ke luar lembah.
Dengan membawa bayinya, dia berusaha mene-
mukan Hakim Neraka. Tapi, hanya rasa kecewa
yang didapatkannya. Hakim Neraka tak dapat di-
temukan. Pembunuh Maharani itu benar-benar
lenyap bagai ditelan bumi. Lalu, Raja Angin Barat
kembali ke Lembah Makam Pelangi, dan hilanglah
dia dari percaturan rimba persilatan...."
"Anak Raja Angin Barat itu pasti Narita"
"Tepat. Tokoh-tokoh tua di Negeri Pasir Lu-
hur ini sebagian besar tahu cerita tentang perja-
lanan hidup Raja Angin Barat....''
"Kasihan sekali Narita...," desah Pengemis
Binal. "Dia harus hidup bersama seorang ayah
yang kurang waras...."
"Jangan salah mengerti, Tuan Muda," sa-
hut Peramal Buntung. "Raja Angin Barat tidak gi-
la. Hanya karena desakan rasa benci terhadap
Hakim Neraka, dia sampai membuat aturan sepi-
hak di Lembah Makam Pelangi."
"Tapi, Narita yang masih lugu pun harus
menanggung akibatnya. Otaknya telah dijejali
pengertian yang salah. Sungguh patut disayang-
kan. Sebenarnya, Narita adalah seorang anak
yang baik. Mudah-mudahan ketika dewasa nanti,
dia bisa membenahi pengertian-pengertian yang
salah dalam dirinya...."
"Ya..., ya! Kalau membantu tenaga tak da-
pat, kita memang cuma bisa membantu dengan

doa."
Pengemis Binal menarik napas panjang.
Badannya terasa segar, sesegar udara pagi yang
cerah. Ditatapnya bongkahan batu yang berteba-
ran. Ditatapnya langit biru yang memayungi men-
tari. Mendadak, ingatan pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini melayang ke Istana
Langit. Di sanalah Ratu Istana Dalam yang ber-
nama Putri Impian memberikan Mustika Batu
Merpati. Tapi, batu mustika itu lenyap dilarikan
orang ketika jatuh dari mulut Suropati usai digu-
nakan untuk mendatangi tempat kediaman Sepa-
sang Racun Api.
"Kek, apakah kau kenal dengan seorang
wanita berambut putih dan mengenakan penutup
kepala dari emas mirip mahkota raja?" tanya Pen-
gemis Binal, menyebut ciri-ciri orang yang telah
melarikan Mustika Batu Merpati.
Kening Peramal Buntung berkerut. Setelah
memutar otak beberapa saat, dia berkata, "Mung-
kin yang Tuan Muda maksud adalah Bidadari Pu-
lau Penyu."
"Apakah dia biasa mengenakan pakaian ke-
tat warna merah kuning?"
"Ya. Dia kakak kandung Dewi Asmara. Me-
reka sama-sama menyukai warna merah dan
kuning."
"Dewi Asmara..,?" gumam Suropati. "Aku
banyak mendengar nama tokoh di Negeri Pasir
Luhur ini, tapi tak satu pun yang kukenal"
"Kenapa Tuan Muda menanyakan Bidadari
Pulau Penyu?" tanya Peramal Buntung. "Apakah

Tuan Muda punya urusan dengannya?" 
"Hanya urusan kecil yang tak seberapa
penting," ujar Pengemis Binal tak berterus terang.
"Tapi, aku harus menjumpai Bidadari Pulau
Penyu secepat mungkin. Bisakah Kakek memberi-
tahukan di mana wanita itu berdiam diri?"
"Pulau Penyu. Bidadari Pulau Penyu men-
jadi seorang ratu kecil di pulau itu," sahut Peram-
al Buntung. "Kalau Tuan Muda bermaksud men-
datanginya, dengan senang hati aku akan mene-
mani. Namun sebelumnya Tuan Muda kuin-
gatkan, Bidadari Pulau Penyu punya sifat jahat
dan kejam. Yang lebih penting lagi, dia suka
mempermainkan pemuda-pemuda tampan. Tuan
Muda harus hati-hati..."
"Jangan khawatir, Kek. Aku cukup dewasa
untuk dapat menjaga diri sendiri," sambut Pen-
gemis Binal sambil menyungging senyum. Menge-
tahui Bidadari Pulau Penyu suka mempermain-
kan pemuda-pemuda tampan, semakin besar ha-
srat hatinya untuk segera menemui wanita itu.
"Dari sini, untuk menuju ke Pulau Penyu
akan memakan waktu setengah hari perjalanan
kuda. Apakah kita akan berangkat sekarang,
Tuan Muda?" ujar Peramal Buntung, berlaku se-
bagai seorang budak pengiring yang baik. Tak
mau menanyakan tujuan Suropati yang sebenar-
nya.
Namun sebelum dua anak manusia ini be-
ranjak dari tempat masing-masing, lamat-lamat
terdengar suara tempurung kelapa membentur
benda keras.

Tok! Tok! Tok!
Kemudian, disusul kelebatan sesosok
bayangan yang menimbulkan tiupan angin ken-
cang. Di lain kejap, Pengemis Binal dan Peramal
Buntung melihat seorang kakek tak punya mata
telah berdiri di hadapan mereka. Kakek yang baru
muncul bertubuh kurus kering, mengenakan pa-
kaian dekil compang-camping. Dua buah belahan
tempurung kelapa hitam mengkilat melekat di ke-
dua telapak kakinya.
"Kakek Dewa Peramal...," sapa Pengemis
Binal.
"Ya. Aku memang Dewa Peramal...," sam-
but kakek buta, Dewa Peramal. "Kalau tak salah
aku menerka, yang berdiri di hadapanku bukan-
kah bocah bagus si Pengemis Binal Suropati dan
sahabat baikku Peramal Buntung?"
"Tak salah kau menerka, sahabatku Dewa
Peramal," sahut Peramal Buntung. "Aku memang
Peramal Buntung dan yang berdiri di sebelah ka-
nanku adalah Suropati.... Kau datang dengan ber-
lari secepat angin. Kau datang dengan alis ber-
taut. Apakah kau tengah mengkhawatirkan sesu-
atu, sahabatku Dewa Peramal?"
"Hmmm.... Aku tahu kalian telah membuat
kesepakatan. Aku tahu kalian telah bersiap diri
untuk pergi ke suatu tempat. Bukan aku ingin
mencampuri urusan kalian. Tapi, tidaklah salah
kalau aku bertanya karena aku tak punya mak-
sud buruk. Ke manakah kalian hendak pergi?"
Mendengar nada bicara Peramal Buntung
dan Dewa Peramal, perut Suropati jadi sakit ka-

rena menahan tawa. Nada ucapan mereka seperti
melantunkan sebuah syair saja. Karena tak mau
menyinggung perasaan kedua tokoh tua ini, Su-
ropati menahan tawa sebisa mungkin.    
"Sungguh tajam kau punya naluri, saha-
batku Dewa Peramal," puji Peramal Buntung.
"Kami memang hendak pergi ke suatu tempat.
Tempat yang cukup berbahaya. Tapi, kau tak per-
lu khawatir. Aku dan Tuan Muda Suropati cukup
bisa menjaga diri."
"Hmmm...," Dewa Peramal memalingkan
kepala ke kanan. Kerut di keningnya makin me-
rapat. 
"Sahabatku Peramal Buntung, kalau boleh
aku yang buruk rupa ini tahu, ke manakah kau
dan tuan mudamu ini hendak pergi?"
"Aku dan Kakek Peramal Buntung hendak
pergi ke Pulau Penyu, Kek," Suropati yang men-
jawab.
"Pulau Penyu?" kejut Dewa Peramal "Bu-
kankah itu tempat kediaman Bidadari Pulau
Penyu?"
"Ya. Memangnya ada apa?" tanya Peramal
Buntung. 
"Tak ada apa-apa. Aku hanya sekadar ber-
tanya," jawab Dewa Peramal 
Setelah memalingkan kepala ke kiri dan ke
kanan, kakek buta ini mengeluarkan sebuah
bonggol akar berwarna putih berkilat dari balik
bajunya.
"Akar Kayangan...," desis Peramal Bun-
tung. Melihat benda di tangan Dewa Peramal yang

bernama Akar Kayangan, Pengemis Binal geleng-
geleng kepala. Namun, remaja tampan ini segera
sadar bila benda yang dipegang Dewa Peramal
memang pantas diberi nama Akar Kayangan.
Bonggol akar itu pernah menyelamatkan jiwa Pu-
tri Ayu Jelita dari serangan 'Racun Pencair Raga'
yang sangat mematikan.
"Untuk apa kau tunjukkan akar ajaib itu,
sahabatku Dewa Peramal?" tanya Peramal Bun-
tung yang melihat Dewa Peramal menimang-
nimang Akar Kayangan.
Dewa Peramal tak menjawab. Wajahnya di-
luruskan ke depan seraya menyodorkan Akar
Kayangan ke hadapan Suropati. Tentu saja Suro-
pati tak tahu maksud Dewa Peramal. Untuk bebe-
rapa lama, remaja tampan ini hanya menatap wu-
jud Akar Kayangan tanpa berbuat apa-apa.
"Terimalah...," kata Dewa Peramal tiba-tiba.
"Apa? Akar ajaib itu kau berikan kepadaku? Kau
sadar apa yang kau lakukan, Kek?" ujar Pengemis
Binal, tak percaya. 
"Jangan salah mengerti, Bocah Bagus," sa-
hut Dewa Peramal sambil menyungging senyum.
"Akar yang berkhasiat ampuh untuk melawan se-
gala jenis racun ini bukan kuberikan kepadamu.
Aku hanya meminjamkannya." 
"Untuk apa?"     
"Sudahlah. Kau terima saja. Pada saatnya
nanti, kau pasti mengerti."
Melihat kesungguhan Dewa Peramal, ak-
hirnya Pengemis Binal menerima Akar Kayangan
yang kemudian disimpannya di balik baju. Se-

mentara, Peramal Buntung terlihat mengangguk-
anggukkan kepala. Firasat kakek berompi kuning
ini mengatakan bila Akar Kayangan kelak benar-
benar akan dibutuhkan oleh Pengemis Binal.
"Bocah bagus...," sebut Dewa Peramal "Aku
tahu di balik ketampanan wajahmu, juga me-
nyimpan kehalusan budi.... Aku yang buruk rupa
ini mempunyai beberapa perkataan yang mungkin
kurang enak didengar, tapi alangkah baiknya bila
kau mau mendengarnya, Bocah Bagus...."
"Saya yang bodoh dan kurang pengalaman
tentu saja bersedia mendengar semua perkataan
Kakek Dewa Peramal yang bijaksana...," sambut
Pengemis Binal, membungkuk hormat.
Dewa Peramal memalingkan wajah ke ka-
nan. Perlahan kaki kanannya terangkat, lalu di-
hentakkan ke tanah tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
"Walau usiamu belum seberapa, tapi kau
punya wawasan cukup luas. Sulit mencari orang
seperti dirimu, Bocah Bagus," ujar Dewa Peramal,
wajahnya tetap berpaling ke kanan. "Kau mem-
punyai bayangan rontok kembang yang mengan-
dung banyak pertalian asmara, cinta, dan sifat
welas asih. Tapi..., getaran tubuhmu menyiratkan
pertumpahan darah. Seumur hidupmu, kau akan
banyak melakukan pembunuhan. Kuharap apa
pun yang kau lakukan berada di jalan kebenaran
dengan menjunjung tinggi nilai keadilan...."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya
mendengar ucapan Dewa Peramal. Sementara,
Peramal Buntung bungkam seribu bahasa. Dia

tahu bila ucapan Dewa Peramal sama dengan apa
yang dirasakannya.
"Pada saat ini, getaran tubuhmu menyi-
ratkan begitu banyak kesulitan. Aku merasakan
getaran lain, yang terus berputar di atas kepala-
mu. Mungkin... getaran itu banyak mengandung
marabahaya," lanjut Dewa Peramal. "Namun,
dengan kehalusan budi dan sifat welas asih yang
kau miliki, akan banyak orang yang menawarkan
persahabatan. Pada saatnya nanti, mereka akan
memberikan pertolongan kepadamu. Tapi, sung-
guh suatu hal yang bijaksana apabila kau selalu
berhati-hati dalam berpikir untuk mengambil ke-
putusan,  terlebih lagi dalam berlaku dan bertin-
dak."
Di ujung kalimatnya, Dewa Peramal meng-
gedrukkan lagi kaki kanannya yang diberi alas
tempurung kelapa. Tok! Tok! Tok! Di lain kejap,
Dewa Peramal membalikkan badan, lalu berkele-
bat lenyap dari pandangan Pengemis Binal dan
Peramal Buntung.
"Terima kasih, Kek...!" seru Pengemis Binal
Peramal Buntung menarik napas panjang.
Ditatapnya mentari yang telah beranjak naik. "Ki-
ta berangkat sekarang, Tuan Muda?" tawarnya
kepada Pengemis Binal. 
"Berangkat? Berangkat ke mana?" tanya
Pengemis Binal sambil nyengir kuda.
"Lho, katanya Tuan Muda mau ke Pulau
Penyu. "
"Ooo.... Ya, ya! Aku harus menemui Bida-
dari Pulau Penyu secepatnya!"


* * *

Kakek kate berperut gendut ini menyelinap
dari balik bongkahan-bongkahan batu besar
mengikuti langkah kaki Suropati dan Peramal
Buntung. Gerakan tubuhnya segesit burung walet
walau dia memanggul sebuah genderang yang le-
bih besar dari tubuhnya sendiri. Kakek kate yang
tinggi tubuhnya menyamai anak-anak sepuluh
tahunan ini mengenakan pakaian ketat merah hi-
tam. Kepalanya yang gundul dikait dengan sehelai
kain berwarna kuning. Kakinya diberi alas sepatu
yang terbuat dari kulit kerbau.
"Tepat dugaanku! Mereka menuju ke sela-
tan. Kalau mereka sudah menginjakkan kaki di
tanah berbatu-batu, barulah aku bertindak...,"
kata hati si kakek kate.
Kakek yang wajahnya tak ditumbuhi kumis
ataupun jenggot ini terus berkelebat dari balik
bongkahan batu yang satu ke bongkahan batu
yang lain. Genderang besar yang dipanggulnya
sama sekali tak mengganggu gerakannya.
Mata kakek kate ini berkilat aneh ketika
melihat Suropati dan Peramal Buntung berlari di
atas tanah yang tertutup bebatuan. "Saatnya aku
bertindak," katanya dalam hati.
Sigap sekali dia meloncat dari balik batu
besar. Setelah bersalto tiga kali di udara, dia
mendarat di atas lempengan batu besar. Gende-
rang yang telah diletakkan di depan kaki segera
disentilnya. Walau pelan tapi sanggup menimbul-

kan suara menggeletar keras. Suropati dan Pe-
ramal Buntung yang berada sekitar tiga puluh
tombak di depan tampak terkejut dan menghenti-
kan langkah kaki mereka.
"Hakim Neraka yang menjatuhkan huku-
man mati bagi si Pengemis Binal Suropati!" pekik
si kakek kate. Kedua tangannya mencabut tong-
kat pemukul yang terselip di ikat pinggangnya.
Dan, genderang segera bergetar keras karena di-
pukul berkali-kali.
Dung! Blang! Dung! Blang! 
"Seseorang telah menyerang kita, Kek...,"
cetus Pengemis Binal ketika merasakan telin-
ganya pekak akibat mendengar irama aneh yang
ditimbulkan oleh pukulan genderang si kakek
kate.
Peramal Buntung tak menyahuti. Dia me-
rasakan hal yang sama dengan Pengemis Binal.
Satu tarikan napas kemudian, Pengemis Binal
dan Peramal Buntung menggembor keras. Seku-
jur tubuh mereka terasa sakit bagai dipukul-
pukul puluhan tangan yang tak tampak. Jantung
mereka pun berdegup  lebih kencang, membuat
dada sesak. Akibatnya, jalan darah jadi kacau! 
"Hiahhh...!"                      
Pengemis Binal dan Peramal Buntung me-
mekik bersamaan. Segera mereka mengerahkan
hawa sakti untuk membentengi diri dari serangan
irama genderang. Sambil bersedekap dan terus
mengerahkan hawa sakti, mereka memutar tubuh
untuk mengetahui siapa yang telah menyerang.
Namun... bersamaan dengan irama gende-

rang yang bertambah cepat, batu-batu yang ber-
serakan di tanah tampak terangkat, lalu berham-
buran ke arah Pengemis Binal dan Peramal Bun-
tung!
Terpaksa Pengemis Binal dan Peramal
Buntung berloncatan ke sana sini untuk meng-
hindari serbuan batu. Karena hujan batu bertam-
bah banyak, kedua orang ini jadi kerepotan. Be-
berapa kali Pengemis Binal terlihat memukul
hancur bongkahan batu yang menyerbu. Semen-
tara, Peramal Buntung menggeram-geram bagai
harimau di puncak kemarahan. Peramal Buntung
benar-benar kerepotan karena memiliki keterba-
tasan sebagai orang cacat yang tak punya tangan.
Tapi sebagai manusia yang dikaruniai akal budi,
tentu saja Peramal Buntung tak mau pasrah me-
nerima kematian. Kedua kakinya menyambar-
nyambar. Rentetan ledakan terus membahana di
angkasa manakala bongkahan bongkahan batu
pecah berkeping-keping tertimpa tendangan Pe-
ramal Buntung. Namun karena hujan batu tidak
juga habis, Peramal Buntung jadi kewalahan. Se-
mentara, irama pukulan genderang terus berku-
mandang, hingga benar-benar dapat mengacau-
kan detak jantung dan aliran darah Peramal Bun-
tung.
Keadaan Suropati tak berbeda jauh. Butir-
butir peluh bertetesan dari kening remaja tampan
ini. Bajunya pun telah basah kuyup karena ke-
ringat. Serangan irama genderang saja sudah cu-
kup merepotkan, apalagi ditambah hujan batu
yang seperti tak ada habisnya.

Merasa bila jiwanya sendiri berikut jiwa Pe-
ramal Buntung telah berada di ambang pintu ak-
hirat, Pengemis Binal mengalirkan seluruh kekua-
tan tenaga dalamnya ke tangan kanan, Tanpa pi-
kir panjang, pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini berkelebat ke arah Peramal
Buntung untuk memberikan perlindungan.
"Diam  di tempatmu, Kek!" Mendengar se-
ruan Suropati, Peramal Buntung kontan terpaku.
Pada saat inilah, tubuh Peramal Buntung disam-
bar oleh Suropati. Setelah meruntuhkan beberapa
bongkahan batu, sambil memeluk tubuh Peramal
Buntung dengan tangan kiri, Suropati berkelebat
memutar cepat sekali. Hingga, tubuhnya berubah
jadi bayang-bayang yang hampir tak dapat dilihat
Dan... 
Blarrr...! Blarrr...! Blarrr...! 
Terdengar ledakan keras susul menyusul. 
Bongkahan batu berpentalan ke berbagai
penjuru dalam keadaan hancur berkeping-keping,
dan selapis salju merah menebar ke mana-mana.
Hawa jadi dingin menusuk tulang. Hujan batu
terhenti. Irama pukulan genderang berhenti pula.
Agaknya ketika berkelebat memutar tadi, Penge-
mis Binal telah mengeluarkan ilmu pukulan 'Salju
Merah' yang didapat dari Nyai Catur Asta.
"Ha ha ha...!" kakek kate pemukul gende-
rang tertawa bergelak. "Hebat! Sungguh hebat
kau, Anak Muda! Umurmu belum seberapa, tapi
kau memiliki ilmu pukulan yang sanggup mela-
wan serangan 'Genderang Maut'-ku! Tapi, kau
jangan keburu senang karena aku... ha ha ha...

aku akan... ha ha ha...!"       
Suropati dan Peramal Buntung sama-sama
mengerutkan kening melihat si kakek kate yang
sedang tertawa panjang mirip orang gila. Tiba-
tiba, mata Peramal Buntung terbelalak ketika
mengenali siapa kakek kate itu sebenarnya.
"Hakim Neraka...!" desis Peramal Buntung.
"Hakim Neraka?" kejut Pengemis Binal.
Hati Suropati diliputi rasa heran karena
baru saja Peramal Buntung bercerita bahwa Ha-
kim Neraka telah lama menghilang dari rimba
persilatan, tapi karena tiba-tiba tokoh itu muncul,
bahkan hendak menjatuhkan tangan maut.
Tanpa berkedip Suropati menatap sosok
Hakim Neraka yang berdiri sekitar tiga puluh
tombak dari hadapannya. "Hei, Kek! Benarkah
kau orang yang bergelar Hakim Neraka?" serunya
untuk mendapat kepastian. "Dan, kenapa kau
hendak membunuh kami berdua? Padahal, kami
tak punya urusan sama sekali denganmu!"
"Ha ha ha...!" si kakek kate tertawa berge-
lak lagi. "Ya! Aku memang Hakim Neraka! Jangan
terkejut melihat aku datang dengan tujuan mem-
bunuhmu, Anak Muda! Jika sahabat tuamu yang
bergelar Peramal Buntung itu turut mati, hatiku
akan bertambah senang! Ha ha ha...!" Usai terta-
wa. Hakim Neraka menyentil genderangnya. Keti-
ka timbul suara menggelegar keras, dia berteriak
lantang, "Hakim Neraka menjatuhkan hukuman
mati bagi si Pengemis Binal Suropati!"
Tongkat pemukul di tangan Hakim Neraka
berkelebatan. Irama pukulan genderang yang

sanggup mengacaukan aliran darah pun muncul
lagi. Bahkan, kali ini terdengar lebih keras karena
Hakim Neraka benar-benar mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu pukulan 'Genderang Maut'-nya!
Dung! Blang! Dung! Blang! 
Menyadari bila bahaya yang lebih hebat
akan segera mengancam jiwanya, Pengemis Binal
berkelebat ke depan, berusaha menghentikan pu-
kulan genderang Hakim Neraka!
"Jangan...!" cegah Peramal Buntung den-
gan sebuah teriakan keras.
Terlambat! Tubuh Pengemis Binal telah
melesat cepat ke arah Hakim Neraka dengan satu
tendangan yang dimaksudkan untuk membuat
hancur badan genderang. Bersamaan dengan ini.
Hakim Neraka  tertawa bergelak. Tangan kanan-
nya memukul genderang lebih keras!
Blangngng...! 
"Aaa...!"
Gema suara genderang sanggup melontar-
kan tiga bongkah batu besar yang tergeletak di
kanan kiri Hakim Neraka. Sementara, tubuh Pen-
gemis Binal terpental balik seperti membentur
dinding baja yang amat kuat. Ketika masih me-
layang di udara, tiga bongkahan batu besar melu-
ruk deras ke arahnya!
"Celaka!" seru Peramal Buntung.
Bergegas kakek berompi kuning ini berke-
lebat ke depan, memapaki tiga bongkah batu yang
hendak meremukkan tubuh Suropati!
Blar! Blar! Blar!
Terdengar ledakan keras tiga kali. Dengan

satu tendangan melingkar, Peramal Buntung ber-
hasil menghancurkan tiga bongkah batu yang
masih melayang di udara. Namun kakek cacat ini
terkesiap ketika melihat tubuh Pengemis Binal ja-
tuh berdebam di tanah dan terguling-guling lebih
dari sepuluh tombak jauhnya!    
"Tuan Muda! Kau jangan mati dulu! Raja
Angin Barat akan segera datang!" teriak Peramal
Buntung yang tiba-tiba mendapat gagasan bagus
untuk menghentikan kebiadaban Hakim Neraka.
Usaha Peramal Buntung agaknya berhasil.
Di tempat lain, wajah Hakim Neraka tampak me-
mucat. Tubuhnya menggigil dengan bola mata
berputar-putar seperti sedang dilanda rasa takut
hebat. Serta-merta kedua tangannya berhenti
memukul genderang.
"Hukuman mati ditangguhkan dulu!" seru
Hakim Neraka seraya menyambar genderangnya,
lalu berkelebat lenyap membawa perasaan giris.

* * *

"Kau tak apa-apa, Tuan Muda?" tanya Pe-
ramal Buntung melihat Suropati duduk bersim-
puh sambil memegangi punggungnya.
"Tak apa-apa, hanya punggungku terasa
agak nyeri," sahut Suropati.
Terbawa rasa khawatir, Peramal Buntung
memperhatikan keadaan Pengemis Binal lebih
seksama. Dan, dia pun menarik napas lega sete-
lah dapat memastikan bila Pengemis Binal me-
mang tak menderita cedera parah. Ketika mem-

bentur gema genderang Hakim Neraka tadi, Suro-
pati membentengi tubuhnya dengan tenaga da-
lam. Walau terpental dan jatuh bergulingan, dia
tak mendapat luka yang berarti.     
"Kenapa kakek kate itu lari terbirit-birit se-
telah mendengar teriakanmu, Kek?" tanya Suro-
pati yang sempat melihat kepergian Hakim Nera-
ka.
"Sengaja aku menyerukan Raja Angin Ba-
rat akan datang ke tempat ini karena aku mendu-
ga Hakim Neraka punya dosa besar yang mem-
buatnya takut bertemu dengan pemilik Lembah
Makam Pelangi itu," jawab Peramal Buntung.
"Ya..., ya! Aku bisa mengerti. Hakim Neraka
telah membunuh istri Raja Angin Barat yang ber-
nama Maharani. Karena memendam rasa bersa-
lah, Hakim Neraka menyembunyikan diri selama
bertahun-tahun!" tegas Pengemis Binal. "Tapi...,
aku jadi heran. Kenapa tiba-tiba dia muncul dan
menginginkan kematianku?" 
Peramal Buntung diam, tak dapat menja-
wab pertanyaan Suropati. Sementara, Suropati
tampak garuk-garuk kepala seraya berkata, "Ah!
Kenapa memikirkan orang tak waras macam ka-
kek kate itu! Aku punya urusan yang lebih pent-
ing. Aku harus menemui Bidadari Pulau Penyu
hari ini juga!"     

***


3

Pulau Penyu terletak di ujung selatan Ne-
geri Pasir Luhur. Tak lebih dari sebuah pulau ke-
cil yang dipenuhi semak belukar, berada di ten-
gah-tengah telaga berair keruh namun cukup le-
bar. Dari pinggir telaga, untuk mencapai Pulau
Penyu harus menempuh jarak sekitar tiga ratus
tombak. Ketika Suropati dan Peramal Buntung
sampai di tempat ini, mentari tepat memayung di
atas kepala. Tidak ada perahu atau orang lain
yang mereka lihat. Hanya kesunyian yang me-
nyambut mereka.
"Kenapa diam saja, Kek?" tanya Pengemis
Binal yang melihat Peramal Buntung hanya berdi-
ri diam tanpa berbuat apa-apa.
"Kita menunggu Pengantar Tamu," jawab
Peramal Buntung, tetap memandang lurus ke
arah Pulau Penyu.
''Kenapa mesti menunggu? Kita bisa me-
nyeberang sendiri, bukan"
"Tak mungkin...," desis Peramal Buntung,
kepalanya menggeleng-geleng.
Dengan kening berkerut, Suropati menatap
wajah Peramal Buntung yang berdiri di sisi ki-
rinya. "Kukira kita bisa menyeberangi telaga ini
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh."
Peramal Buntung balas menatap. Bibirnya
menyungging senyum. "Ilmu meringankan tubuh?
Bagaimana caranya?"
Mendengar ucapan Peramal Buntung, Su-

ropati jadi heran. Bagi seorang tokoh silat jajaran
atas, menyeberangi telaga ataupun sungai dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh bukanlah
sesuatu yang aneh. Kenapa Peramal Buntung
masih bertanya? Suropati sudah dapat mengukur
kemampuan Peramal Buntung. Kalau cuma me-
nyeberangi telaga selebar tiga ratus tombak bu-
kan pekerjaan yang sulit baginya. Apakah Peram-
al Buntung meragukan kemampuan Suropati?
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa
bergelak melihat Pengemis Binal terus menge-
rutkan kening sambil garuk-garuk kepala. "Aku
dapat membaca jalan pikiranmu, Tuan Muda...,"
katanya, penuh keyakinan. "Hanya burung dan
binatang lainnya yang mampu terbang saja, yang
sanggup menyeberangi telaga ini. Atau mungkin,
manusia setengah dewa yang dapat menempuh
jarak tiga ratus tombak dengan satu kali lonca-
tan."
"Kita memang tak dapat menempuh jarak
tiga ratus tombak dengan satu kali loncatan. Ta-
pi, kita bisa melemparkan ranting-ranting kering
ke permukaan telaga untuk digunakan sebagai pi-
jakan," sahut Pengemis Binal, mengutarakan ga-
gasannya. 
"Tak mungkin." 
"Kenapa?"
Peramal Buntung tak menjawab. Dia me-
mungut selembar daun kering yang tergeletak di
tanah dengan menggunakan jari-jari kakinya. La-
lu dengan disertai sedikit pengerahan tenaga da-
lam, daun kering itu dilemparkan ke tengah tela-

ga.
Pengemis Binal melihat perbuatan Peramal
Buntung dengan alis bertaut. Remaja tampan ini
tak tahu apa maksud perbuatan Peramal Bun-
tung. Namun tiba-tiba, Pengemis Binal melonjak
kaget. Daun kering yang dilemparkan Peramal
Buntung hanya sanggup mengambang di permu-
kaan telaga selama satu kejap mata. Seperti ada
tenaga yang menyedot dari bawah, daun kering
itu tenggelam dan lenyap di dalam air telaga yang
keruh!
"Selembar daun kering tentu lebih ringan
dari sebatang ranting kering. Kalau daun kering
saja tenggelam, apalagi ranting kering," ujar Pe-
ramal Buntung.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Pengemis Binal
yang mulai mengerti bila air telaga mempunyai
satu keanehan 
"Air telaga yang mengitari Pulau Penyu ini
mempunyai sebuah daya hisap yang timbul dari
dasar telaga. Orang-orang di sini menyebutnya
sebagai Tenaga Ganda Bumi. Sampai di mana
pun ketinggian ilmu meringankan tubuh seseo-
rang, bila orang itu meloncat dengan ketinggian
kurang dari satu depa dari permukaan telaga,
maka seluruh kemampuan ilmu meringankan tu-
buhnya akan lenyap. Dia akan tenggelam tanpa
dapat berbuat apa-apa lagi."
Mendengar penjelasan Peramal Buntung,
Pengemis Binal garuk-garuk kepala. Tentu saja
remaja tampan yang kadang suka berperilaku
aneh-aneh ini tak mau percaya begitu saja. Untuk

menguji kebenaran Peramal Buntung, dia ber-
jongkok seraya mengacungkan telapak tangan
kanannya ke permukaan telaga. Dan..., remaja
tampan ini terkejut setengah mati ketika tangan-
nya terhisap, lalu masuk ke dalam air sampai se-
batas siku!
Hampir saja Suropati tercebur kalau saja
dia tidak cepat mengatur keseimbangan tubuh-
nya. Dengan mengerahkan tenaga dalam, barulah
pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
ini dapat menarik pergelangan tangannya kemba-
li.
"Luar biasa...! Luar biasa...!" desis Penge-
mis Binal sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Selagi remaja tampan ini terjerat dalam.
rasa heran bercampur kagum, tiba-tiba Peramal
Buntung berseru, "Awas...!"
Dari pinggir telaga di Pulau Penyu, Suropa-
ti melihat sebuah benda putih berkilat meluncur
deras ke arahnya. Senjata rahasia! Maka secepat
kilat, Suropati meloncat untuk menghindar dari
ancaman maut.
Zing...!
Tep...!
Pengemis Binal menoleh ke samping kiri.
Dilihatnya Peramal Buntung yang tengah men-
gangkat telapak kaki kanannya sejajar dengan
kepala. Sebuah belati tipis tampak terjepit di sela-
sela jari kaki Peramal Buntung. Rupanya, Peram-
al Buntung telah menangkap senjata rahasia yang
dilempar orang dari Pulau Penyu.
"Ambillah...," kata Peramal Buntung seraya

memutar kakinya ke hadapan Pengemis Binal.
Di lain kejap, Suropati telah membuka se-
carik kertas yang semula melekat di gagang belati.
Di kertas itu terdapat tulisan yang dibuat dengan
tinta merah. Berbunyi: Bidadari Pulau Penyu tidak
menerima tamu! Kalau masih sayang dengan
nyawa, segera tinggalkan tempat ini!
Setelah Peramal Buntung turut membaca
tulisan itu, dia menatap lurus ke arah Pulau
Penyu. Namun, tidak terlihat seorang pun manu-
sia di sana. Yang tampak hanyalah pohon-pohon
yang dikitari semak belukar
"Apakah Bidadari Pulau Penyu yang telah
menyambitkan belati ini, Kek?" tanya Pengemis
Binal. "Walau dia menolak untuk menerima tamu,
aku tetap akan mendatangi Pulau Penyu."
"Jangan sembrono! Kalau Bidadari Pulau
Penyu menolak kedatangan kita, maka sampai
kapan pun kita tak akan dapat menginjakkan ka-
ki di Pulau Penyu. Tapi..., Tuan Muda tak perlu
khawatir. Masih ada kemungkinan Bidadari Pulau
Penyu mau menerima kedatangan kita. Karena,
yang menyambitkan belati peringatan tadi bukan
dia sendiri." 
"Siapa?"
"Kalau tidak salah aku menduga, dia tentu
orang yang disebut sebagai Pengantar Tamu."
Usai berkata, tiba-tiba Peramal Buntung
mengangkat kaki kirinya. Berkelebat cepat sekali.
Secarik kertas yang berada di tangan Pengemis
Binal tahu-tahu telah berpindah ke jepitan jari-
jari kaki kiri Peramal Buntung.       

Pengemis Binal cuma menatap sambil ga-
ruk-garuk kepala ketika Peramal Buntung menja-
tuhkan diri ke tanah. Tampak kemudian, kuku
jempol kaki kanan Peramal Buntung yang beru-
jung lancip bergerak-gerak di atas kertas yang
masih terjepit di sela-sela jari kaki kirinya. Di lain
kejap, permukaan  kertas itu telah berlubang-
lubang. Dan, deretan lubang-lubang kecil itu me-
nyusun barisan huruf yang berbunyi: 

Yang datang berkunjung adalah Peramal
Buntung bersama seorang pemuda tampan. Sam-
paikan salam kami kepada Bidadari Pulau Penyu.

Kening Pengemis Binal berkerut rapat keti-
ka kertas itu diserahkan kepadanya. "Karena Bi-
dadari Pulau Penyu suka kepada pemuda tam-
pan, agaknya kau ingin menggunakan aku seba-
gai umpan, Kek...," tegurnya. "Tapi, tak jadi apa.
Memang aku yang bermaksud menemui orang itu.
Mudah-mudahan dia seorang gadis sintal berwa-
jah cantik. He he he...."
Sejalan dengan pikiran Peramal Buntung,
usai tertawa terkekeh-kekeh Suropati melekatkan
kertas di tangannya ke gagang belati. Lalu, dis-
ambitkannya dengan disertai beberapa bagian te-
naga dalam. Seperti anak panah lepas dari busur,
pisau itu melesat cepat menuju ke tempat asalnya
di Pulau Penyu.
Setelah menunggu beberapa tarikan napas,
sebuah perahu hitam tampak meluncur dari Pu-
lau Penyu. Anehnya, jalan perahu itu tidak lurus.

Berkelok-kelok. Bahkan terlihat menyimpang jauh
ke kanan, lalu ke kiri lagi, meluncur deras seben-
tar, kemudian menyimpang lagi.
"Luncuran perahu itu mengikuti jalan ra-
hasia. Hanya Bidadari Pulau Penyu dan beberapa
Orang kepercayaannya saja yang tahu jalan raha-
sia itu. Orang lain jangan harap dapat menyebe-
rangi telaga ini dengan selamat," jelas Peramal
Buntung.
Ketika jarak perahu hitam tinggal lima pu-
luh tombak dari hadapan Peramal Buntung dan
Pengemis Binal, dapat dilihat bila badan perahu
itu terbuat dari kulit kerbau yang telah dikering-
kan. Sementara, seorang pemuda tampan bertu-
buh kekar berada di dalamnya. Dia mengenakan
pakaian kuning bergaris coklat yang terbuat dari
bahan mahal. Di bahu kanannya bertengger see-
kor burung merpati berbulu kelabu.
Pengemis Binal nyengir kuda seraya garuk-
garuk kepala manakala perahu kulit kerbau di-
dayung membelok ke kanan. Lalu, menepi cukup
jauh dari tempatnya berdiri. Perahu itu tentu
mengikuti jalan rahasia, pikir Pengemis Binal.
"Kita ke sana!" ajak Peramal Buntung.
Bergegas Pengemis Binal mengikuti lang-
kah kaki Peramal Buntung. Namun, kehadiran
mereka hanya disambut tatap mata menyelidik
dari pemuda yang masih berada di dalam perahu.
"Kaukah Peramal Buntung itu?" tanya si
pemuda.
"Ya," jawab Peramal Buntung.
"Pulau Penyu jarang sekali dijamah orang.

Lagi pula, Bidadari Pulau Penyu tak suka mene-
rima kedatangan orang luar di Pulau Penyu. Un-
tuk apa kau datang kemari, Pak Tua?"
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa
bergelak. "Ucapanmu amat ketus dan kasar seka-
li, Anak Muda. Bolehlah aku menahan diri karena
kau hanya menjalankan tugas. Aku, Peramal
Buntung, adalah kenalan lama majikanmu. Aku
datang kemari untuk mengantar Tuan Muda-ku
ini. Tentu saja ada urusan penting yang akan di-
bicarakan dengan majikanmu itu."
Pemuda bertubuh kekar yang disebut se-
bagai Pengantar Tamu menatap lekat wajah Pen-
gemis Binal. Lalu dengan suara berat, dia ber-
tanya, "Siapa namamu? Kalau punya gelar, se-
butkan!"
"Hmmm.... Benar kata Kakek Peramal Bun-
tung. Ucapanmu memang ketus dan kasar sekali,
Sahabat," ujar Pengemis  Binal. "Kalau memang
untuk dapat bertemu dengan Bidadari Pulau
Penyu harus menyebut nama berikut gelar, tak
jadi apa. Aku bernama Suropati.  Teman-temanku
suka  memberi gelar Pengemis Binal."
Di ujung kalimat Pengemis Binal, si Pen-
gantar Tamu mengambil secarik kertas dan se-
buah alat tulis dari saku bajunya. Setelah kertas
itu ditulisi suatu pesan, pemuda kekar ini mengi-
katkannya di kaki merpati kelabu. Burung peliha-
raan yang tampak sudah sangat terlatih itu sege-
ra terbang ke Pulau Penyu. Tidak seberapa lama
kemudian, dia sudah kembali hinggap di bahu
kanan Pengantar Tamu. 

Setelah membaca jawaban pesan di kertas
yang terikat di kaki merpati kelabu, Pengantar
Tamu berkata, "Bidadari Pulau Penyu cukup me-
mandang muka kalian. Tapi, kalian jangan jadi
besar kepala, apalagi berbuat yang tidak-tidak.
Kalau mau selamat, turutilah aturan yang berla-
ku di Pulau Penyu."
Hati Peramal Buntung dan Pengemis Binal
mendongkol mendengar ucapan Pengantar Tamu
yang tampak sangat meremehkan. Tapi, mereka
menurut saja ketika Pengantar Tamu mengajak
untuk segera naik perahu.
Tanpa berkata apa-apa lagi Pengantar Ta-
mu mendayung perahu, menempuh jalan rahasia
yang berkelok-kelok, menyimpang ke kanan mau-
pun ke kiri.
"Anak Muda...," sebut Peramal Buntung ke-
tika perahu telah berada di tengah telaga. "Aku
tahu sebenarnya hatimu baik. Sayang sekali, kau
telah terperangkap dalam kubangan lumpur
yang...."
"Aku tak butuh nasihat!" potong Pengantar
Tamu, keras membentak.
"Hmmm.... Jangan salah mengerti, Anak
Muda. Aku bukan menasihatimu. Aku sekadar
mengutarakan isi hatiku. Tak ada buruknya jika
kau mau mendengarkan...."
Pengantar Tamu tak menyahuti, Kedua
tangannya terus bergerak mendayung. Luncuran
perahu terasa makin cepat.
"Aku melihat bayang-bayang aneh di atas
kepalamu, Anak Muda," lanjut Peramal Buntung.

"Bayang-bayang itu berupa nisan kubur. Ada
baiknya jika kau berhati-hati, Anak Muda. Ting-
galkan perbuatan yang kotor dan hina selagi ma-
sih punya kesempatan..."
Pengantar Tamu tetap diam. Namun, diam-
diam hati pemuda ini bergetar mendengar ucapan
Peramal Buntung. Walau tidak mengatakan seca-
ra langsung, tapi ucapan Peramal Buntung jelas
menyiratkan bahwa usia Pengantar Tamu tak
panjang lagi.
Sementara Pengantar Tamu terus men-
gayuh dayung dengan hati bergetar, Pengemis Bi-
nal memperhatikan permukaan telaga yang dile-
wati perahu.
Pengemis Binal tak memperhatikan ucapan
Peramal Buntung karena dia larut dengan piki-
rannya sendiri. 
"Perahu yang kutumpangi ini tidak terhisap
masuk ke dasar telaga karena mengikuti jalan ra-
hasia. Suatu rahasia pasti ada kunci pembu-
kanya. Aku harus tahu kunci pembuka jalan ra-
hasia di telaga ini."
Mengikuti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal mengatupkan kelopak matanya seraya
menghimpun kekuatan batin. Dengan menge-
trapkan ilmu 'Mata Awas', remaja tampan ini be-
rusaha melihat kedalaman telaga. Dan..., Penge-
mis Binal bersorak girang dalam hati. Pandangan
matanya mampu menembus air telaga yang ke-
ruh. Hingga, terlihat olehnya tonggak-tonggak
kayu yang berdiri menancap di dasar telaga. Dia
pun tahu bila jalan yang ditempuh perahu mengi-

kuti tonggak-tonggak kayu
"Hmmm.... Anak buah Bidadari Pulau
Penyu ini tentu memiliki ilmu 'Mata Awas' atau
ilmu semacamnya seperti yang kumiliki. Kalau ti-
dak, mana mungkin dia dapat melihat tonggak-
tonggak kayu di dalam air telaga yang keruh?" ka-
ta hati Pengemis Binal. "Tapi, siapa yang menan-
capkan tonggak-tonggak kayu itu? Sungguh sua-
tu pekerjaan yang amat sulit dan berbahaya
membuat jalan rahasia di air telaga yang mempu-
nyai daya isap cukup kuat ini. Kalau si pembuat
jalan rahasia ini adalah Bidadari Pulau Penyu
sendiri, dia pasti seorang tokoh sakti yang beril-
mu sangat tinggi. Hmmm..... Walau begitu, aku
akan tetap memaksanya untuk menyerahkan
Mustika Batu Merpati kepadaku. Dia seorang
pencuri! Akulah yang berhak memiliki batu mus-
tika pemberian Putri Impian itu."
Sewaktu Pengemis Binal berkata-kata den-
gan suara hatinya sendiri, perahu telah menepi.
Setelah bahunya disenggol Peramal Buntung, ba-
rulah Pengemis Binal sadar bila telah sampai di
Pulau Penyu.
Suropati jadi heran. Tanah yang dipijaknya
bernama Pulau Penyu, tapi tak seekor penyu pun
yang terlihat. Pinggiran pulau hanya diseraki
bongkahan batu yang separoh bagiannya menan-
cap di tanah. Bagian yang menyembul ke permu-
kaan tanah berwarna hitam kehijauan dan ber-
bentuk bundar sedikit lonjong. Dilihat sekilas
memang mirip penyu. Mungkin karena banyak
diseraki batu mirip penyu itulah pulau ini dina-

makan Pulau Penyu.
"Ha ha ha...!" Peramal Buntung tertawa ter-
pingkal-pingkal ketika melihat empat orang pe-
muda muncul dari balik pepohonan.
Penampilan empat  orang pemuda itu me-
mang cukup menggelikan. Tubuh mereka sama-
sama kekar, tapi hanya mengenakan cawat yang
terbuat dari kain berwarna merah mencolok. Di
dada mereka terdapat rajah yang menyatu dengan
kulit. Masing-masing berbunyi: Piaraan 1, Piaraan
2, Piaraan 3 dan Piaraan 4. Lebih lucu lagi, ram-
but mereka yang panjang digelung ke atas mirip
gelungan wanita. Bahkan dihiasi tiga batang tu-
suk konde emas!
"Ha ha ha...!" Suropati tak dapat menahan
tawa pula. "Sungguh malang nasibku hari ini. Da-
tang  ke Pulau Penyu dengan harapan  berjumpa
dengan seorang gadis cantik, eh, malah berjumpa
dengan empat lelaki banci..."
"Tutup mulutmu!" bentak Pengantar Ta-
mu., "Jangan menghina orang-orang penghuni
pulau ini. Sekali lagi kubilang, kalau ingin sela-
mat, jaga mulutmu dari  jangan berbuat yang ti-
dak-tidak!"   
"Ya..., ya! Aku memang harus menjaga mu-
lut. Biar tak ada lalat masuk! Aku juga tak akan
berbuat yang tidak-tidak. Tapi, akan berbuat ya...
ya... ya…!"
Kata 'ya' diucapkan Suropati dengan nada
melenggak-lenggok. Melihat sikap konyol Suropa-
ti, Peramal Buntung kontan tertawa lagi. Semen-
tara, Pengantar Tamu mendengus gusar seraya

melayangkan telapak tangan kanannya.
"Eit...!"
Wut...! 
Dengan merundukkan tubuh, Pengemis
Binal terhindar dari tamparan Pengantar Tamu
yang mengarah mulut. Namun, segera Pengemis
Binal menyadari kesalahannya ketika mendengar
geram kemarahan Pengantar Tamu.
"Ya..., ya! Aku memang salah, Sahabat.
Maafkan...," ucap Pengemis Binal, penuh kesan
kehormatan.
Pengantar Tamu menatap wajah Pengemis
Binal dengan sinar mata berkilat-kilat. Namun,
pemuda ini tidak berbuat apa-apa. Setelah mere-
dam hawa amarahnya, dia berkata, "Segera ikuti
Laskar Penyambut itu!"
Kontan perut Pengemis Binal terasa mual
karena menahan tawa. Laskar Penyambut? Yang
ditunjuk Pengantar Tamu hanya empat orang le-
laki, kenapa disebut laskar? Bukankah istilah
laskar hanya digunakan untuk menyebut seke-
lompok pasukan yang berjumlah puluhan atau
ratusan bahkan ribuan orang?
Ketika Pengemis Binal menoleh, dilihatnya
Peramal Buntung yang mengatupkan bibir kuat-
kuat dengan tulang rahang menonjol. Agaknya,
Peramal Buntung juga tengah menahan tawa.
"Silakan, naik ke tandu, Tuan...," ujar pe-
muda yang dadanya ditulisi Piaraan 1.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung sal-
ing pandang sejenak. Rasa geli sama-sama meng-
gelitik hati mereka. Tapi mengingat bahwa mereka

berada di tanah orang, mereka pun sadar bila ha-
rus mengikuti aturan yang berlaku walau terlihat
aneh dan menggelikan.
Setelah Pengemis Binal dan Peramal Bun-
tung duduk di dalam tandu yang dibawa oleh em-
pat pemuda bercawat, Pengantar Tamu tampak
mengangkat perahu kulit kerbaunya, lalu dibawa
berkelebat masuk ke tengah pulau yang penuh
semak belukar. Sementara, empat pemuda ber-
cawat langsung memanggul tandu yang ditempati
Pengemis Binal dati Peramal Buntung.

***