Pengemis Binal 21 - Muslihat Cinta Sang Pangeran(2)










3


Belum seberapa jauh Suropati melangkah-


kan kaki, di sebuah tanjakan dia menemukan gua

kecil. Di kanan-kiri gua itu ditumbuhi pohon cemara tua yang tinggi menjulang bagai mencakar

langit. Kening Suropati berkerut tajam. Cepat dia mendekap hidung, karena dari dalam gua tercium

bau busuk amat menyengat.

Bergegas Suropati berlari menjauh. Namun

tiba-tiba, di benaknya terbersit rasa heran ber-

campur curiga. Dia ingat cerita tentang suku pe-

dalaman yang masih memakan daging sesama

manusia. Terbawa keingintahuannya, Suropati

membalikkan badan, kembali berlari mendekati

gua. Sambil terus mendekap hidung, Suropati

berdiri di mulut gua kecil itu. Setelah memperhatikan dengan saksama, tahulah dia bila kedala-





man gua berupa pertapaan. Panjangnya sekitar

dua tombak, sedangkan lebarnya satu tombak

kurang sedikit. Bertambah rasa heran dalam diri

Suropati. Mungkinkah sebuah pertapaan dijadi-

kan tempat penyimpanan bangkai?

"Hmmm.... Apakah tokoh yang bergelar

Pangeran Sadis itu tinggal di tempat ini?" tanya Suropati kepada diri sendiri.

Tanpa mempedulikan bau busuk yang te-

rus menyengat, Suropati melangkah memasuki

gua yang remang-remang. Tak dia hiraukan juga

perutnya yang mulai mual dan kepalanya yang

pusing mendadak.

Dan... kaget tiada terkira Suropati. Baru

melangkah tiga tindak, dia melihat kepala manu-

sia yang sudah rusak! Kepala tanpa badan itu di-

tataki selembar kain putih kotor penuh noda da-

rah kering, tergeletak di atas meja pendek yang

berada di tengah-tengah ruangan.

Rasa mual dan pusing Suropati menghe-

bat. Tapi, dia malah berjalan mendekat. Remaja

tampan yang menyelipkan tongkat butut di ikat

pinggangnya itu seperti pernah mengenali kepala

tanpa badan yang tergeletak di atas meja.

Dengan mendekap hidung lebih kuat, Su-

ropati berjongkok. Diamatinya lebih teliti kepala tanpa badan itu. Dan, benarlah bila dia pernah

mengenali pemilik kepala itu. Tapi, siapa? Suro-

pati tak berani menebak. Namun, teringat cerita Palupi di Penginapan Mawar, Suropati dapat memastikan bila kepala itu adalah milik.... Dewi Ikata!

Mengelam paras Pengemis Binal seketika.

Dua bans giginya bertaut rapat memperdengar-

kan suara gemelutuk. Darahnya pun kontan

mendidih naik sampai ke ubun-ubun.

"Kejam...! Pangeran Keparat! Kubunuh

kau... Kubunuh kau...!" Suropati berteriak-teriak seperti orang kehilangan ingatan.

Tanpa sadar airmatanya menetes. Samar-

samar dilihatnya selembar sampul kuning di atas

meja. Dengan dengus napas memburu dipungut-

nya sampul kuning yang telah robek sedikit itu.

Dan, semakin meledaklah amarah Suropati sete-

lah membaca sepucuk surat yang tersimpan di

dalamnya.

Untuk kekasih Dewi Ikata,

Terpaksa aku memenggal kepala gadis can-

tik yang tak berdosa ini. Tak usah kau teruskan langkahmu ke puncak bukit. Karena, aku sudah tak ada. Aku percaya bila kau pasti akan dapat menemukan aku. Balaskan dendammu. Kutung-gu....

Pangeran Sadis

Tak kuasa menahan amarah, Suropati

menggeram keras seraya menghentakkan kedua

tangannya ke depan. Dua larik sinar kebiruan

melesat, menimbulkan suara gemuruh dahsyat.

Dinding ruangan kontan jebol, berlubang dalam.

Sementara, dari atas berjatuhan tanah dan beba-





tuan, menimpa kepala dan badan Suropati. Na-

mun, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat

Sakti yang terluka hatinya itu tak mau beranjak

dari tempatnya. Dia biarkan gumpalan tanah dan

bebatuan menghajarnya.

"Ika.... Ika.... Ika...," sebut Pengemis Binal berulang kali.

Ketika gemuruh sudah reda dan gumpalan

tanah dan bebatuan tak lagi berjatuhan, Suropati mengangkat kepala tanpa badan yang masih tergeletak di atas meja. Tidak ada lagi rasa mual dan pusing, berikut perasaan jijik dalam dirinya. Dengan langkah terseok dan mata berkaca-kaca, ke-

pala tanpa badan itu dibawanya keluar gua.

Di terang sinar mentari, Suropati mene-

gaskan lagi kepala yang berada di atas telapak

tangannya. Setelah yakin bila kepala itu milik

Dewi Ikata, dia lalu menguburnya di bawah po-

hon cemara di sebelah kanan gua. Diberinya tan-

da kuburan itu dengan batu sebesar kambing.

Dengan mengalirkan tenaga dalam ke te-

lunjuk jari tangan kanannya, Suropati menu-

liskan nama Dewi Ikata di permukaan batu. Un-

tuk beberapa lama dia menatap batu itu, lalu di-

peluknya erat-erat. Karena kedukaannya begitu

dalam, tak kuasa dia menahan cucuran airmata.

Namun, segera Suropati sadar bila dia tak boleh

membiarkan kedukaan mencengkeram jiwanya.

Manusia pasti mati. Jadi, untuk apa mesti me-

nyesali kematian Dewi Ikata. Gadis itu telah kembali kepada Sang Pencipta. Dia telah berada di





tempat yang tenang. Airmata tak perlu dijatuhkan lagi. Sang Baskara telah condong ke barat. Pancaran sinarnya melemah. Desir angin mengusap

lembut, membuat lena. Di bawah langit biru ber-

baur warna perak awan, burung-burung beter-

bangan, seakan membalas lambaian pucuk-

pucuk cemara.

Suropati tersentak kaget merasakan tepu-

kan di bahu kanannya. Lebih kaget lagi dia tatka-la melihat seorang kakek berpakaian serba putih

tiba-tiba tergeletak pingsan di belakangnya.

"Kek...!" jerit Pengemis Binal setelah mengenali kakek yang datang tanpa sepengetahuan-

nya. Sesaat Suropati bergidik ngeri. Kedua per-

gelangan tangan kakek yang tiada lain dari Banjaranpati itu tampak berlubang-lubang. Dan men-

gucurkan darah kehitaman. Dari kedua pelipisnya

menetes keringat kehitaman pula. Persis luka

yang diderita Arumsari! Apakah kakek yang ber-

gelar Bayangan Putih Dari Selatan itu juga men-

jadi korban keganasan Pangeran Sadis?

Cepat Suropati menekan dada kiri Banja-

ranpati. Jantungnya masih berdetak normal. Ta-

pi, keadaan tubuhnya sudah cukup mengkhawa-

tirkan. Tanpa pikir panjang lagi, Suropati segera menotok beberapa jalan darah kakek berkuncir

itu. Dikeluarkannya seluruh ilmu pengobatannya

hasil ajaran si Wajah Merah.

Tak lama kemudian, keluar keluh pendek





dari mulut Banjaranpati. Tersadarlah dia dari

pingsannya.

"Aku Suropati, Kek.... Bagaimana keadaan-

mu? Haruskah kusalurkan hawa murni ke tu-

buhmu?" ujar Pengemis Binal, penuh kekhawatiran. Banjaranpati beringsut duduk bersandar di

batang cemara. Dikerjapkannya kelopak matanya

beberapa kali. "Suro...," desisnya sambil meringis kesakitan.

"Apa yang terjadi denganmu, Kek? Apakah

kau baru bertempur dengan Pangeran Sadis?"

"Kau sudah masuk ke gua?" Banjaranpati balik bertanya.

"Ya. Aku menemukan kepala Dewi Ikata,

dan sekarang sudah kukuburkan," beri tahu Suropati. "Akan kusalurkan hawa murni ke tubuh-mu, Kek...."

Kepala Banjaranpati menggeleng lemah.

"Tak perlu. Aku tak akan mati hanya karena luka-lukaku ini...."

"Tapi, kau tampak menderita sekali, Kek.

Apa yang harus kuperbuat?"

Banjaranpati menarik napas panjang, lalu

dihembuskannya dengan deras. "Pangeran Sa-

dis...," desahnya.

"Ada apa dengan dia? Benar kau dilu-

kainya, Kek?" kejar Suropati, penasaran.

"Dialah yang membunuh Dewi Ikata...."

"Aku sudah tahu. Ceritakan apa yang kau

ketahui, Kek. Bagaimana kau bisa bertempur





dengan tokoh jahat itu?"

Banjaranpati menatap wajah Pengemis Bi-

nal sejenak. Sambil menekan dada kirinya, dia

berkata, "Tiga hari yang lalu, aku datang ke pertapaan Arumsari. Gua yang baru saja kau masu-

ki...." "Lalu, kau bertemu dengan Pangeran Sadis?" "Jangan potong bicaraku!"

Mendengar nada ucapan Banjaranpati yang

tiba-tiba mengeras, Suropati tercekat. Segera dia menyadari kesalahannya yang terlalu mendesak.

"Tujuanku menemui Arumsari sebenarnya

hanya untuk mengikat lagi tali persahabatan yang telah lama terputus. Kau tahu bukan, Suro, bila

selama ini aku dan Arumsari tak pernah akur?"

"Ya. Ya, aku tahu, Kek...."

"Uh...!"

Banjaranpati mengeluh. Dia tekap dada ki-

rinya lebih kuat. Namun, rasa sakit di sekujur tubuhnya malah menghebat.

"Aku harus membawamu ke Bukit Rawan-

gun, Kek. Kau harus mendapat pertolongan Ka-

kek Wajah Merah!"

Suropati yang sangat mengkhawatirkan

keadaan kakek yang pernah menurunkan ilmu

'Kalbu Suci Penghempas Sukma' kepadanya itu,

mengulurkan tangan. Maksudnya untuk membo-

pong tubuh Banjaranpati guna dilarikan ke Bukit

Rawangun. Tapi, Banjaranpati menolak keras.

"Sudah kubilang, aku tak akan mati hanya





karena luka-luka ini!"

"Lalu, apa yang harus kuperbuat, Kek?"

Pengemis Binal garuk-garuk kepala.

"Duduklah yang enak, dan dengarkan ceri-

taku." Dengan gerakan sedikit konyol, Suropati duduk bersila di hadapan Banjaranpati. Walau

dia sangat mengkhawatirkan keadaan Banjaran-

pati, tapi dia percaya bila kakek itu tak akan mati cepat. Suropati bisa memetik pelajaran dari

Arumsari yang juga menderita luka serupa.

"Kasihan sekali Arumsari...," desah Banjaranpati. "Aku bisa merasakan jiwanya yang terpukul. Ketika itu, dia dan aku tengah membica-

rakan perjodohan Dewi Ikata...."

"Dewi Ikata dijodohkan? Dengan siapa,

Kek?" sela Pengemis Binal.

"Denganmu."

"Aku?"

"Ya. Jangan bohongi dirimu! Kau mencintai

Dewi Ikata, bukan? Aku tahu benar akan hal itu.

Tapi, aku tak setuju pada gagasan Arumsari. Soal jodoh, orangtua tak bisa memaksakan kehendak.

Namun karena aku tak mau Arumsari menjadi

murka, kukatakan padanya bila perjodohan Dewi

Ikata denganmu harus dirundingkan dengan Adi-

pati Danubraja dan Gede Panjalu. Arumsari bisa

menerima...."

"Lalu?"

"Selagi kami bercakap-cakap itulah tiba-

tiba obor di dalam gua padam. Kemudian, muncul





seorang pemuda tampan berpakaian kuning ge-

merlap mirip pembesar kerajaan...."

"Diakah yang mengaku sebagai Pangeran

Sadis?" Banjaranpati menjawab dengan anggukan kepala. "Karena penasaran, Arumsari melontarkan segenggam biji teratai merah. Kau tentu su-

dah tahu kehebatan senjata rahasia guru Dewi

Ikata itu. Tapi anehnya, biji-biji teratai itu lenyap tanpa bekas. Padahal, Pangeran Iblis yang menjadi sasaran sama sekali tak menggerakkan tubuh-

nya...." "Lalu?"

"Dia pergi meninggalkan kepala Dewi Ikata

dan dua sampul surat berwarna kuning. Salah

satu suratnya mengatakan bahwa kami harus

menyerahkan kepala Dewi Ikata dan surat lainnya

kepada seseorang yang beberapa hari lagi melalui tempat ini. Ternyata, orang itu adalah kau, Su-ro...," Banjaranpati menghentikan ceritanya untuk menarik napas panjang. Tak dia hiraukan ra-

sa sakit yang masih mendera di sekujur tubuh-

nya. "Tentu saja Arumsari sedih bukan main melihat murid yang hendak dijodohkan denganmu

tiba-tiba muncul di hadapannya hanya berupa

kepala tanpa badan. Rasa sedih membuat Arum-

sari lupa diri. Terdorong hawa amarah pula, dia

menyambar sampul kuning yang belum dibuka.

Aku berusaha, mencegahnya. Karena, kupikir

Arumsari tak berhak mengetahui isinya. Tapi,

Arumsari malah naik pitam. Dihantamnya aku





dengan ilmu 'Pukulan Api Neraka'. Aku berhasil

menghindari walau tak urung kain bajuku terba-

kar. Kemudian, Arumsari merobek sampul kun-

ing. Namun sebelum dia sempat mengeluarkan

isinya, tiba-tiba terdengar bentakan keras. Sam-

pul kuning di tangan Arumsari mendadak me-

layang jatuh ke atas meja. Lalu, terdengar kata-

kata yang menyuruh aku dan Arumsari keluar

gua. Di luar gua, ternyata Pangeran Sadis sudah

menunggu. Begitu melihat kami berdua, dia lang-

sung mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat

menyinggung perasaan...."

"Kemudian, terjadi pertempuran?"

"Dibilang pertempuran, bisa. Dibilang ti-

dak, juga bisa."

"Kenapa begitu?"

"Karena dengan mudah Pangeran Sadis

merobohkan kami. Kesaktiannya sungguh mem-

buat aku tak habis pikir. Dia itu manusia atau siluman. Semua biji teratai merah yang dilontarkan dilontarkan Arumsari lenyap tanpa bekas. Bahkan, dia tak mempan 'Pukulan Api Neraka'. Aku

sendiri terperanjat dan seperti mimpi saja layaknya. Dengan menggunakan ilmu 'Pukulan Tanpa

Bayangan', aku mencoba menggedor dadanya.

Namun ketika tanganku hampir menyentuh sasa-

ran, dia menghilang entah ke mana. Saat aku ke-

bingungan, aku merasakan seluruh anggota ba-

danku tak dapat digerakkan lagi. Tahu-tahu ke-

dua pergelangan tanganku mengucurkan darah

kehitaman. Dan, kedua pelipisku mengeluarkan





keringat kehitaman pula...."

"Nenek Arumsari juga mengalami hal seru-

pa?" "Ketika kulihat guru Dewi Ikata itu, begitu-lah yang terjadi?"

"Lalu?"

"Terdengar suara dingin yang mengatakan

bahwa kami berdua tak akan mati. Tapi, selama

tiga hari kami tak akan dapat berbuat apa-apa.

Kemudian, tanah tempat kami berpijak bergun-

cang keras. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang

terjadi. Mendadak, tubuhku terasa ringan. Ki-

ranya, aku terlontar ke lereng bukit. Selama tiga hari aku terkapar pingsan. Ketika siuman, ku-dengar ledakan di gua pertapaan Arumsari. Su-

sah-payah aku naik. Dan, kujumpai kau di tem-

pat ini, Suro...."

Banjaranpati menutup ceritanya dengan

dengus napas memburu. Setelah batuk-batuk be-

berapa saat, dia lalu bangkit berdiri. Ditatapnya lekat-lekat wajah Pengemis Binal yang masih terbengong mendengar ceritanya.

"Aku tahu dalam dirimu telah timbul den-

dam kesumat, Suro...," ujar Banjaranpati kemudian. "Tapi untuk membuat perhitungan dengan Pangeran Sadis, kau tidak boleh menjadikan dendam kesumat sebagai alasan. Hanya karena tun-

tutan jiwa pendekarlah kau bisa berhitungan

dengan pembunuh Dewi Ikata itu. Kejahatan mes-

ti dibasmi. Keadilan mesti ditegakkan. Itulah alasanmu. Tapi sebelum kau menemui Pangeran Sa-





dis, datanglah ke Bukit Hantu. Temui Datuk Ri-

sanwari. Mintalah petunjuk darinya."

Pengemis Binal makin terbengong, lalu ga-

ruk-garuk kepala ketika sosok Banjaranpati ber-

kelebat lenyap dari hadapannya.

"Pangeran Sadis...," desis remaja tampan berambut panjang tergerai itu. "Siapa dia sebenarnya? Dan, kenapa dia tega membunuh Dewi

Ikata? Dua pucuk suratnya yang disampaikan

kepadaku semua bermakna tantangan. Dia pasti

menyimpan bibit permusuhan denganku. Tapi,

oleh sebab apa? Sedangkan aku sendiri sama se-

kali tak tahu siapa dia...."

Pengemis Binal garuk-garuk kepala lagi.

Berbagai tanda tanya muncul di benaknya. Tapi,

tak satu pun yang dapat dia jawab. Ketika bangkit dari duduknya, tersadarlah Pengemis Binal bila

badannya amat lelah dan perutnya berkeruyukan

minta diisi. Maka, lupalah sejenak dia pada kese-dihannya. Dia harus turun bukit untuk mengisi

perut.



* * *



Sehari kemudian, langkah kaki Suropati

sampai di kota Ngadiluwih, masuk wilayah Kadi-

paten Tanah Loh. Tujuannya hendak ke Bukit

Hantu guna menemui Datuk Risanwari, seperti

yang dinasihatkan Arumsari dan Banjaranpati.

Namun melihat keramaian kota Ngadiluwih, dia

tertarik untuk melihat-lihat. Siapa tahu bisa





memperoleh keterangan perihal Pangeran Sadis.

Ngadiluwih adalah kota hidup yang meng-

hubungkan daerah barat dan timur. Berpendu-

duk padat. Perdagangan pun cukup ramai. Yang

diperdagangkan terutama rempah-rempah yang

didatangkan dari tempat lain. Ketika Pengemis

Binal memasuki keramaian kota, hari menjelang

senja. Namun, kesibukan para pedagang masih

bisa dilihat. Memang, kota Ngadiluwih tak pernah mati, siang ataupun malam. Ada saja yang diker-jakan oleh penduduk kota yang rata-rata bermata

pencaharian sebagai pedagang.

Tak bosan Suropati mengedarkan pandan-

gan ke kanan kiri. Kota Kadipaten Bumiraksa

tempat dia dibesarkan juga ramai. Tapi bila di-

bandingkan dengan kota Ngadiluwih, keramaian-

nya terpaut cukup jauh. Karena ingin merasakan

masakan penduduk kota Ngadiluwih, Suropati

memasuki sebuah kedai. Kebetulan di kantong

bajunya terdapat beberapa keping uang logam.

Pada mulanya kehadiran Suropati ditolak

oleh pelayan kedai. Namun setelah dia menun-

jukkan uang yang dibawanya, dia persilakan ma-

suk. Setelah mengambil tempat duduk, dia minta

sepiring nasi beserta lauknya dan segelas minu-

man. Tengah Suropati asyik menyantap maka-

nannya, di luar kedai terdengar ribut-ribut. Dari tempat duduknya, dia dapat melihat dua pelayan

sedang membentak-bentak seorang pemuda ku-

rus dan berpakaian compang-camping. Pemuda





itu kira-kira sebaya dengannya. Kepalanya ditu-

tup caping yang sudah pecah-pecah. Wajahnya

kotor dan tampak dekil sekali.

Tangan pemuda bercaping butut itu meng-

genggam sepotong ubi yang baru dipungutnya da-

ri meja di dalam kedai. Sementara, kedua pelayan tampak menuding-nudingnya.

"Pergilah cepat! Jangan kotori tempat ini!"

usir salah seorang pelayan.

Pemuda bercaping butut bukannya takut,

tapi malah tertawa. Dua baris giginya yang putih bersih terlihat. Sangat tak sepadan dengan pakaian yang dikenakannya.

"Kuhajar kau bila tak segera pergi!" ancam pelayan satunya.

"Baiklah.... Baiklah, aku pergi...," ucap pemuda bercaping butut seraya membalikkan ba-

dan. Namun, pelayan yang berperut gendut

mencegahnya. "Hei! Tinggalkan ubi itu!"

Pemuda bercaping butut membalikkan ba-

dan lagi. Ubi yang tergenggam di tangan kanan-

nya dia sodorkan ke pelayan berperut gendut. Ta-

pi karena tangannya kotor, pada ubi itu membe-

kas tanda tiga jari tangan berwarna hitam. Pe-

layan gendut naik pitam karena ubi itu tentu tak dapat dijual lagi.

Maka, ringan sekali tangannya melayang.

Pemuda bercaping butut cukup tangkas meng-

hindar. Sehingga, tamparan pelayan gendut lewat

di atas kepalanya.





"Jangan! Jangan!" teriak Suropati ketika melihat pelayan gendut hendak melanjutkan

tamparannya. "Aku yang membayar. Biarkan ubi itu dia makan!"

Saat kedua pelayan menoleh ke arah Suro-

pati, pemuda bercaping butut cepat menyantap

ubi di tangannya dengan lahap. Agaknya, dia be-

nar-benar menderita kelaparan.

"Masuklah...!" ajak Suropati sambil me-lambaikan tangan kepada pemuda bercaping bu-

tut. "Baik!" sambut pemuda itu sambil tertawa kecil. "Aku memang sedang mencari kawan. Hidup tanpa kawan, dunia terasa sunyi."

Pemuda bercaping butut melangkah ma-

suk. Dua pelayan yang tadi menghardiknya cuma

dapat saling pandang.

Pengemis Binal lalu minta tambah maka-

nan. Pelayan yang diperintah memenuhi pesa-

nannya dengan sikap acuh tak acuh. Mungkin

karena melihat pakaian Pengemis Binal yang pe-

nuh tambalan dan kawan barunya yang berpe-

nampilan lebih mengenaskan.

Sambil duduk berhadapan meja, pemuda

bercaping butut berbasa-basi mengucapkan kata

terima kasihnya. Nada bicara pemuda itu enak di

didengar, dan tampaknya dia terpelajar.

"Hmmm.... Benar dugaanku bila pemuda

ini bukan orang sembarangan," kata Suropati dalam hati.

Karena ingin memastikan dugaannya, Su-





ropati lalu mencekal lengan si pemuda keras-

keras. Heran dia ketika merasakan lengan yang

dicekalnya berkulit halus dan lembut. Sementara, pemuda bercaping butut cuma tersenyum malu-malu. Beberapa lama kemudian, si pemuda ber-

kata, "Sudah cukup lama kita berada di sini. Makanan pun sudah habis. Mari kita keluar."

Cepat Pengemis Binal membayar makanan

yang telah dihabiskan. Lalu, digandengnya lengan pemuda itu keluar kedai. Belum seberapa jauh

mereka berjalan, mendadak pemuda bercaping

butut menarik lengannya.

"Terima kasih atas kebaikanmu. Aku tak

mau berhutang budi lagi kepadamu. Maka, per-

kenankan aku minta diri...," ujar pemuda bercaping butut sambil membungkuk hormat.

"Uts! Tunggu dulu!" cegah Suropati. "Kau belum menyebutkan namamu. Barangkali kita

berjodoh untuk bertemu lagi."

"Oh ya. Aku lupa belum mengenalkan diri.

Namaku, Jatiwulung. Terserah dengan sebutan

apa kau memanggilku."

"Sekarang, kau hendak ke mana? Tidakkah

kau juga ingin tahu namaku?"

Pemuda yang mengaku bernama Jatiwu-

lung tersenyum tipis. "Aku hidup sebatang kara.

Tak ada tujuan dalam langkah kakiku," katanya.

"Aku tak perlu menanyakan namamu, karena aku sudah tahu siapa kau."

Kening Pengemis Binal berkerut. "Benarkah





kau sudah tahu siapa aku?"

Jatiwulung tertawa lebar, memperlihatkan

dua baris giginya yang putih bersih. "Hanya orang bodoh dan kurang pergaulan yang tak mengenal

nama Suropati alias Pengemis Binal."

Mendengar kalimat Jatiwulung, Pengemis

Binal makin penasaran. Maka, tak segan dia ber-

kata, "Bila benar kau tak mempunyai tujuan, ada baiknya kau ikut aku ke Bukit Hantu."

"Bukit Hantu? Di sana ada apa?"

"Sudahlah. Kau ikut saja. Barangkali da-

lam perjalanan nanti, kau mendapat banyak pen-

galaman berharga."

Jatiwulung tampak berpikir sebentar, lalu

dia menganggukkan kepala. Dan sedih di hati Su-

ropati dapat sedikit ditepis ketika dalam perjalanan ke Bukit Hantu, Jatiwulung menunjukkan

sikap yang sangat bersahabat. Namun saat pe-

muda itu menanyakan keperluannya ke Bukit

Hantu, Suropati masih berat untuk mengatakan-

nya. Sehari kemudian, sewaktu Pengemis Binal

berpikir tentang kehebatan Pangeran Sadis sambil berjalan menunduk, dia mendengar suara bersiut

yang dibarengi desir angin keras menyambar dari

belakang. Mengira ada senjata rahasia yang ditu-

jukan ke arahnya, cepat dia melentingkan tubuh

dengan gerakan 'Pengemis Menghiba Rembulan'.

Terkejut bagai disambar petir Suropati.

'Senjata rahasia' itu melesat melebihi kecepatan gerak tubuhnya. Hingga, batok kepalanya terhan-





tam tepat!

"Slompret!" maki Pengemis Binal, merasakan kepalanya lagi pusing. Tapi, dia jadi bernapas lega setelah meraba bagian belakang kepalanya.

Ternyata, barang yang disangkanya senjata raha-

sia itu tak lain dari sejumput tanah liat yang masih basah.

"Kadal bunting! Kambing congek! Kurang

ajaaarrr...!" maki Pengemis Binal, lebih keras. Kepalanya celingukan mencari pelempar 'senjata ra-

hasia' itu. Sementara, Jatiwulung tampak tertawa cekikikan.

Suropati menggedruk-gedrukkan kaki ke

tanah terbawa luapan rasa jengkelnya. Dia mera-

sa dipermainkan orang. Mendadak, remaja konyol

itu berdiri mematung. Sambil cengar-cengir, dia

menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dalam hati

dia mengagumi kehebatan orang yang telah ber-

hasil mempercundanginya. Dia tak dapat mem-

bayangkan apabila benda yang lontarkan ke kepa-

lanya tadi berupa senjata rahasia yang sebenar-

nya, tentu saat itu juga dia telah terkapar di tanah tanpa nyawa.

"Hmm.... Mungkinkah orang itu Pangeran

Sadis? Tapi, kenapa dia tak langsung saja mem-

bunuhku bila dia memang menyimpan bibit per-

musuhan kepadaku?" tanya Pengemis Binal da-

lam hati.

Tanpa sadar Suropati garuk-garuk kepala

lagi. Jatiwulung yang mengetahui bila Suropati

baru saja dipermainkan orang tampak tersenyum-





senyum.

"Ternyata kebesaran nama Pengemis Binal

tak seperti yang kukira," cibir Jatiwulung, meng-goda. Mendengar itu, Suropati yang sudah panas

hatinya kontan mencak-mencak. Dipelototinya

wajah Jatiwulung. "Kau jangan mengejek!" bentaknya dengan muka merah-padam.

"Kalau marah-marah begitu, kau persis

monyet kehilangan ekor, Suro!" tambah Jatiwulung, sedikit pun tak menyimpan rasa takut wa-

lau bola mata Pengemis Binal terus memeloto-

tinya. Jengkel di hati Suropati tiada dapat ditahan lagi. Serta merta dia menghentakkan kakinya

ke tanah. Terdengar suara berdebum. Permukaan

tanah berguncang sesaat. Bekas pijakan kaki Su-

ropati tampak berkubang dalam. Namun, Jatiwu-

lung malah tertawa keras.

"Setan dekil! Menyesal aku mengajakmu!"

Tahu Pengemis Binal meluap amarahnya,

Jatiwulung tetap saja tertawa-tawa. Hingga, pe-

muda itu sampai batuk-batuk karena tersedak.

Bola mata Pengemis Binal makin melotot

saja ketika tiba-tiba tubuh Jatiwulung terlontar tiga tombak, lalu jatuh bergulingan. Pemuda itu

memekik keras ketika tubuhnya membentur se-

bongkah batu sebesar kerbau.

"Keparat! Haram jadah!" umpat Jatiwulung seraya meloncat bangkit dengan raut muka amat

keruh.





Kini, ganti Pengemis Binal yang tertawa

bergelak. "Rasakan...!" ejeknya, yang segera dis-ahuti kata-kata kotor Jatiwulung.





4


Mendadak..., tiupan angin berubah arah.

Bertiup dari tenggara dengan kecepatan luar bi-

asa. Akibatnya, daun-daun berguguran dan rant-

ing-ranting meliuk untuk kemudian berpatahan.

Tak ayal lagi, burung-burung yang bertenggeran

di atasnya terlihat berpentalan ke udara. Kekua-

tan badai yang tiba-tiba muncul tidak hanya

sampai di situ. Beberapa pohon kecil mulai tercabut dari dalam tanah, lalu terlontar jauh seringan kapas! Terkejut tiada terkira Suropati dan Jatiwulung. Cepat mereka memasang kuda-kuda seraya

mengerahkan ilmu memperberat tubuh. Caping

butut Jatiwulung telah terlempar entah ke mana.

Sementara, rambutnya pun terburai tak karuan

bagai ditarik-tarik tangan yang tak tampak.

"Jahanam...!" umpat Jatiwulung, keras

membentak. Sekujur tubuhnya terasa pedih se-

perti sedang dicambuki.

Wajah pemuda itu kontan memucat ketika

tahu pohon sebesar dua rangkulan manusia de-

wasa yang berada tak jauh darinya, mengelua-

rkan suara berderak-derak. Sesaat kemudian po-

hon itu miring, lalu akar-akarnya berserabutan





keluar dari dalam tanah. Dan....

Brolll...!

Pohon trembesi yang baru berbuah itu be-

nar-benar tercabut. Melesat amat cepat di udara

dan menimbulkan suara bersiut keras. Salah satu

dahannya tepat menghantam bahu kiri Jatiwu-

lung! Desss...!

"Argh...!"

Kuda-kuda Jatiwulung goyah. Tak mau tu-

buhnya terlontar, cepat dia membungkuk seraya

menghentakkan kedua tangannya ke bawah. Hen-

takan yang disertai pengerahan tenaga dalam

membuat kedua tangan Jatiwulung amblas ke da-

lam tanah sampai sebatas siku. Merasakan ti-

upan angin yang makin dahsyat, pemuda itu se-

gera pula menghentakkan kedua kakinya, hingga

amblas ke dalam tanah hampir sebatas lutut.

Sekitar empat tombak dari tempat Jatiwu-

lung berada, Suropati tampak memasang kuda-

kuda dengan kedua tangan menekan lutut. Kare-

na tiupan angin makin kencang, pertahanan re-

maja tampan itu pun mulai goyah. Perlahan-

lahan kedudukannya bergeser ke belakang, mem-

buat tubuhnya terseret

"Saka Purdianta...," desis Pengemis Binal, teringat putra mendiang Tumenggung Sangga

Percona yang mempunyai ilmu 'Dewa Guntur Sa-

tukan Badai'.

Karena menduga yang membuat ulah ada-

lah Saka Purdianta, Pengemis Binal mengumpul-





kan seluruh kekuatannya untuk kemudian berte-

riak, "Jangan main-main, Saka! Jangan menodai persahabatan yang telah lata jalin!"

Tak ada yang menyahuti teriakan Pengemis

Binal. Saka Purdianta atau si Dewa Guntur pun

tak tampak batang hidungnya. Hanya gemuruh

angin yang terdengar memekakkan gendang telin-

ga.

Suropati mendengus gusar, lalu berteriak

lebih keras, "Saka! Bila kau hendak membuat permusuhan lagi denganku, segera tampakkan

dirimu. Hadapi aku secara jantan. Jangan menye-

rang sambil menyembunyikan diri!"

Tetap tak ada suara sahutan. Maka mele-

daklah amarah Suropati. Jiwanya yang terpukul

oleh kematian Dewi Ikata membuat remaja tam-

pan itu cepat naik darah.

"Aku bukan arca yang cuma dapat diam

saja ketika dipermainkan orang! Jangan salahkan

aku bila kubalas perbuatan usilmu ini!"

Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal mem-

buka pergelangan kakinya lebih lebar. Ditariknya napas dalam-dalam seraya menarik kedua tangannya ke belakang sejajar pinggang. Di lain ke-

jap, urat-urat tangannya menggembung dan ma-

tanya berkilat-kilat

"Waspadalah, kau orang usil! Hirup udara

sebanyak-banyaknya selagi mampu!"

Selama tiga tarikan napas, Pengemis Binal

memutar-mutar kedua telapak tangannya di de-

pan dada. Timbul suara gemuruh yang tak kalah





dahsyat.

Gelombang angin dari tenggara melemah.

Lalu, Pengemis Binal menggeram parau seraya

menghentakkan kedua telapak tangannya ke de-

pan! Blarrr...!

Sebuah ledakan dahsyat membahana. Be-

berapa pohon yang sudah berdiri miring kontan

tercabut akar-akarnya. Gumpalan tanah dan be-

batuan berhamburan ke angkasa, menutupi pan-

dangan mata.

Gelombang angin yang bertiup dari tengga-

ra lenyap seketika. Namun, hanya berlangsung

beberapa kejap mata. Gelombang angin yang lebih

dahsyat tiba-tiba muncul. Jatiwulung menjerit

keras ketika kedua tangan dan kakinya tercabut

dari dalam tanah. Wajah Suropati kontan memu-

cat melihat tubuh pemuda dekil itu terhempas ke-

ras. Tapi, dia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya sendiri mendadak terhempas pula!

Untuk beberapa lama tubuh kedua anak

manusia itu terbanting-banting. Mereka mencoba

bertahan dengan menghujam-hujamkan kedua

tangan ke tanah. Tapi, usaha mereka sia-sia ka-

rena gelombang angin semakin dahsyat!

"Ha ha ha...!" terdengar suara gelak tawa mendadak, lalu disambung dengan kata-kata,

"Kasihan betul kalian dua anak muda. Maafkan aku orang tua-bangka ini yang ingin menjajal kemampuan kalian. "

Begitu suara itu terhenti, gelombang angin





yang berhembus dari tenggara terhenti pula. Su-

sah-payah Suropati dan Jatiwulung mengendali-

kan gerak tubuh mereka yang masih terbanting-

banting. Terbawa rasa penasaran bercampur

amarah, mereka langsung meloncat menuju asal

suara. Sekali empos, tubuh mereka melayang se-

puluh tombak. Pada emposan ketiga, sampailah

mereka di sebuah tanah datar yang permukaan-

nya diseraki bebatuan.

"Kentut busuk!" maki Pengemis Binal ketika melihat seorang lelaki tua tengah berdiri tegak di atas lempengan batu besar.

"Bila kau ingin menjajal kepandaian orang,

bukan begini caranya, Pak Tua!" tambah Jatiwulung. "Rimba persilatan punya aturan! Kukira, umurmu sudah mendekati liang kubur, tapi kenapa perbuatanmu mirip bocah ingusan yang

sama sekali tak tahu tatakrama?!"

"Maaf.... Maaf...," seru lelaki tua yang berdiri di lempengan batu besar. "Aku yang tua dan sudah hampir pikun ini mengaku salah. Aku memang tak dapat menahan gatalnya tangan untuk

membuktikan sendiri kehebatan anak muda yang

bergelar Pengemis Binal."

Suropati dan Jatiwulung mendengus gu-

sar. Mata mereka berkilat tajam menatap lelaki

tua yang hampir mencelakakan mereka. Sementa-

ra, yang ditatap tampak tenang-tenang saja.

Lelaki tua yang berdiri tegak di atas lem-

pengan batu besar itu berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya sungguh tak sedap dipandang





mata. Selain keriputan, juga bopeng-bopeng be-

kas penyakit cacar. Lucunya, dia mengenakan

pakaian mahal yang tampak indah sekali. Ber-

warna kuning-merah, yang di beberapa tempat

terdapat sulaman bangau dari benang emas. Ke-

palanya tertutup topi hitam panjang persegi, yang biasa dipakai oleh tukang tenung. Sorot matanya

tajam menusuk, cukup untuk menciutkan nyali

siapa saja yang menatapnya.

Setelah puas lelaki tua itu memandang Ja-

tiwulung, ia tersenyum kecil seraya berkomat-

kamit. Dia mengangguk dua kali, lalu mengalih-

kan pandangannya ke wajah Pengemis Binal.

"Jangan pandangi aku seperti itu, Pak

Tua!" hardik Suropati. "Siapa suka dipelototi lelaki buruk rupa macam kau!"

"Ah! Kau jangan keburu naik darah, Suro!"

sahut lelaki tua, "Tak ada maksud buruk dalam hatiku. Aku melihat wajahmu karena parasmu

seperti orang yang sedang dirundung malang. Ka-

lau boleh aku yang memang buruk rupa ini tahu,

apakah gerangan yang kau susahkan?"

"Kau baru saja mempermainkan aku, ke-

napa sekarang bermanis mulut? Menanyakan ke-

susahan orang, apakah kau kira dirimu dapat

memberi kesenangan?" cibir Pengemis Binal.

Lelaki tua bertopi persegi mengerutkan

kening. Ditatapnya wajah Suropati yang berdiri ti-ga tombak dari hadapannya. Kali ini tatapannya

tampak aneh. Ditariknya napas panjang, lalu ka-

tanya, "Tak salah lagi! Tak salah lagi! Sorot ma-





tamu menunjukkan bila kau baru saja ditinggal

seseorang."

Terkejut Suropati mendengar kata-kata itu.

Terbersit rasa kagum dalam hatinya karena teba-

kan si lelaki tua tak meleset.

"Aku tak mengenal siapa kau. Tapi, terus

terang aku mengakui kehebatanmu. Selain beril-

mu tinggi, rupanya kau ada bakat untuk menjadi

peramal," ujar Pengemis Binal, menampakkan

kekagumannya.

"Aha! Apa kukatakan?! Tidak percuma aku

mendapat julukan Per.... Peramal.... Peramal Sak-ti," sahut lelaki tua bertopi persegi sambil berpikir-pikir. "Dari sorot matamu pula aku tahu bila orang yang membuat sedih hatimu itu adalah

seorang gadis cantik putri bangsawan."

Terperanjat Suropati mendengar tebakan

lelaki tua yang mengaku berjuluk Peramal Sakti.

Untuk sesaat dia lupa bila orang itu hampir saja mencelakakannya dengan gelombang angin cip-taannya tadi.

"Aku pun tahu bila dalam dadamu tersim-

pan api dendam yang berkobar-kobar," lanjut Peramal Sakti.

"Pak tua, semua yang kau katakan benar

adanya. Tapi, apakah tebakanmu ini menyimpan

maksud tersembunyi? Menilik perbuatanmu,

menciptakan gelombang angin, yang hampir saja

mencelakakan diriku, mau tak mau aku mesti

berhati-hati. Katakan terus terang apa makna di

balik ucapanmu bahwa kau ingin menjajal ke-





mampuan Pengemis Binal!" selidik Suropati.

"Kita hajar saja orang tua yang sok itu, Su-ro! Tidakkah kau merasa harga dirimu diinjak-

injak?!" sela Jatiwulung.

Kepala Pengemis Binal menoleh ke kanan.

Ditatapnya wajah Jatiwulung yang tampak uring-

uringan. Jatiwulung hendak menyambung uca-

pannya. Namun saat bersirobok pandang dengan

Pengemis Binal, dia jadi jengah. Cepat mukanya

dia palingkan.

"Ha ha ha...!" Peramal Sakti tertawa bergelak. "Apakah kau hendak menuruti permintaan kawan barumu itu, Suro? Bila kau berkeinginan

hendak menghajar diriku pula, sama saja dengan

membuat urusanmu makin ruwet. Bukankah kau

hendak ke suatu tempat untuk menemui seseo-

rang? Berpikirlah masak-masak terlebih dahulu

agar waktumu tidak tersita."

"Jangan dengarkan bualannya, Suro. Sam-

pai di mana pun kesaktiannya, bila kita keroyok, dia akan tahu rasa!" ujar Jatiwulung, tanpa men-garahkan pandangan ke Pengemis Binal. Dia bi-

arkan anak-anak rambutnya menutupi wajahnya.

Sepertinya, dia menyembunyikan sesuatu terha-

dap Pengemis Binal.

Suropati tak begitu memperhatikan sikap

Jatiwulung yang caping bututnya telah melayang

terbawa tiupan angin itu. Tak ditanggapinya pula kata-kata pemuda dekil itu. Suropati bisa menilai sikap Peramal Sakti yang tampaknya tak hendak

menanam benih permusuhan itu.





"Bila kau memang benar-benar datang

dengan maksud baik, apakah aku bisa meminta

sedikit bantuanmu. Karena beberapa ramalanmu

tepat, aku percaya bahwa kau akan dapat me-

nunjukkan tempat orang yang bergelar Pangeran

Sadis. Pemuda jahat itulah yang telah membuat

rasa sedih dalam hatiku."

Mendengar kalimat Pengemis Binal, Jati-

wulung tersenyum. Tapi, cepat dia menutup mu-

lutnya karena tak ingin Pengemis Binal mengeta-

hui. Sementara, Peramal Sakti malah tertawa ter-

bahak-bahak.

"Ha ha ha...! Bangga rasa hatiku dimintai

bantuan seorang tokoh terkenal macam Pengemis

Binal sang Pemimpin Perkumpulan Pengemis

Tongkat Sakti. Namun sebelum memberikan ban-

tuan, aku ingin mengajukan pertanyaan. Harap

kau jawab sejujurnya."

"Kalau hanya menjawab sebuah perta-

nyaan, apa susahnya? Tapi kukira, tanpa ber-

tanya pun kau tentu sudah tahu. Kenapa, aku

percaya kau bisa menebak dengan tepat."

"Benar apa yang kau katakan, Suro. Aku

memang bisa menebak tepat. Namun, yang aku

ingin kau mengucapkan sendiri apa yang hendak

kuketahui."

Setelah garuk-garuk kepala sebentar, Su-

ropati mengangguk setuju. Sementara, Jatiwu-

lung yang berdiri di kanannya tampak mendekap

mulut kuat-kuat. Sepertinya dia merasa geli melihat anggukan Suropati.





Peramal Sakti terdengar batuk-batuk, lalu

dia segera menyampaikan pertanyaannya. "Siapakah sebenarnya putri bangsawan, yang keper-

giannya membuat dirimu sangat kehilangan itu,

Suro?" "Dewi Ikata," jawab Pengemis Binal, tegas.

Bibir Peramal Sakti menyungging senyum

tipis. Sementara, Jatiwulung tampak mencuri

pandang ke wajah Pengemis Binal.

"Dewi Ikata...," desis Peramal Sakti. "Apakah kau mencintai gadis yang bergelar Pendekar

Wanita Gila itu?"

Mengelam paras Suropati seketika men-

dengar pertanyaan lelaki tua itu. Sesaat dia ragu untuk menjawab. Tapi, akhirnya terdengar juga

jawaban lirih dari mulutnya. "Ya. Aku mencintai Dewi Ikata."

"Sungguh?"

"Sungguh. Kalau aku berbohong, untuk

apa aku bertanya kepadamu di mana Pangeran

Sadis berada. Dialah pembunuh Dewi Ikata. Aku

akan membalas kekejamannya agar Dewi Ikata

bisa tenang di alam baka."

Mendengar kata-kata tegas Pengemis Binal,

mendadak Jatiwulung meloncat seperti orang

tengah merasakan kegembiraan yang sangat.

Pengemis Binal mengerutkan kening melihat ulah

aneh pemuda dekil itu. Tanpa sadar dia garuk-

garuk kepala, lalu merutuk, "Gila!"

Dari balik rambut riap-riapnya, mendadak

Jatiwulung menatap tajam wajah Pengemis Binal.





"Siapa yang kau katakan gila?!" bentaknya.

"Kau!" sahut Suropati, tak kalah keras.

"Aku? Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak, lalu meloncat-loncat lagi. "Karena luapan rasa gembira, orang memang bisa gila. Ha ha

ha...!" Suropati mendengus gusar. Tapi, dia tak mau melayani ulah Jatiwulung. Cepat dia alihkan

pandangan ke Peramal Sakti seraya berkata, "Aku telah menjawab pertanyaanmu dengan jujur. Sekarang, tunjukkan di mana Pangeran Sadis bera-

da." Peramal Sakti tersenyum tipis. Dibenarkannya letak topi perseginya. "Sebelum kukatakan di mana pembunuh Dewi Ikata itu berada,

ada baiknya bila kau turuti nasihatku. Jangan

cari dia sebelum kau datang ke Bukit Hantu."

"Hmmm.... Apakah kau juga mengkhawa-

tirkan keselamatanku? Apakah kau kira aku tak

akan mampu melawan kesaktian Pangeran Sa-

dis?" selidik Suropati.

"Bisa jadi begitu. Tapi, aku cuma dapat

memberi nasihat. Mau kau jalankan atau tidak,

terserah kau."

"Hmmm.... Ada baiknya juga kuturuti na-

sihat peramal itu," kata hati Pengemis Binal.

"Memang, aku tak boleh gegabah menghadapi

Pangeran Sadis. Tanpa petunjuk dari Datuk Ri-

sanwari, aku tak yakin akan dapat mengalahkan

pemuda jahat itu. Kekalahan Arumsari dan Ban-

jaranpati bisa dijadikan pengalaman."





"Hei! Apa yang kau pikirkan, Suro?" tegur Peramal Sakti melihat Pengemis Binal tampak

merenung.

"Tentu dia sedang memikirkan bagaimana

kau bisa tahu perihal Pangeran Sadis, Pak Tua,"

sela Jatiwulung sambil mengulum senyum.

"Aku tak butuh pendapatmu!" bentak Pengemis Binal, jengkel.

"Hei! Kau jangan marah-marah terhadap

kawan barumu itu, Suro. Pada saatnya nanti kau

pasti akan menyesal!" seru Peramal Sakti.

Kening Suropati berkerut tajam. Ditatap-

nya wajah Jatiwulung lekat-lekat. Tapi, pemuda

dekil itu cepat memalingkan muka.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Suropati, keras membentak.

"Saat ini, kau tak perlu tahu siapa dia," Peramal Sakti yang menyahuti. Sementara, Jatiwu-

lung terlihat melangkah beberapa tindak, lalu duduk di bongkahan batu.

"Kalau begitu, kau pasti tahu siapa sebe-

narnya pemuda jelek bernama Jatiwulung itu,

Pak Tua," ujar Pengemis Binal.

Untuk kesekian kalinya bibir Peramal Sakti

tersenyum tipis. Ditatapnya sebentar langit cerah sore hari. Lalu, dia mengangguk-angguk. "Kita tak perlu membicarakan kawan barumu itu. Aku tak

punya waktu banyak. Kupikir, kau juga segera

ingin tahu di mana Pangeran Sadis berada. Bu-

kankah begitu, Suro?"

"Ya," sahut Suropati, cepat. Hatinya masih





jengkel melihat ulah Jatiwulung.

"Hilangkan rasa jengkelmu. Segera datang

ke Bukit Hantu," ujar Peramal Sakti, dapat membaca isi hati Pengemis Binal. "Lalu, datanglah ke Lembah Sungai Bayangan tiga hari lagi, terhitung mulai hari ini. Temui Pangeran Sadis di sana."

Usai berkata, kaki kanan Peramal Sakti

menjejak lempengan batu. Tubuhnya melesat

amat cepat, laksana dapat menghilang. Suropati

memandang kepergiannya sambil garuk-garuk

kepala. Sementara, Jatiwulung terdengar tertawa

terbahak-bahak.





5


Sang Baskara tepat memayung di atas ke-

pala. Namun demikian, sinarnya tak mampu me-

nerobos rimbunan daun yang amat lebat. Hingga,

keadaan Bukit Hantu di siang hari senantiasa

remang-remang. Akar pepohonan besar yang ting-

gi mencuat ke atas mirip sekat-sekat penyimpa-

nan mayat cukup mengundang rasa ngeri bagi

orang yang menginjakkan kaki di tempat itu.

Untuk menuju ke puncak, orang mesti me-

lewati jalan yang amat berbahaya. Puncaknya

tinggi menjulang membentuk lembah-lembah cu-

ram di setiap lerengnya.

Namun, Suropati tak banyak mendapat ke-

sulitan ketika sampai di puncak, walau jalan yang ditempuhnya berliku-liku dan naik turun serta





melewati tanah berbatu-batu yang bisa membuat

tersesat. Selain berilmu tinggi, Suropati memang pernah datang ke Bukit Hantu. Sehingga, semua

kesulitan dapat teratasi.

Puncak Bukit Hantu ternyata berupa tanah

datar, yang di beberapa bagian ditumbuhi pohon

trembesi. Keringat mengucur deras di sekujur tubuh Suropati. Demikian pula dengan Jatiwulung

yang berlari-lari di belakangnya. Suropati sebenarnya meninggalkan pemuda dekil itu karena

merasa jengkel melihat ulahnya yang terkadang

mirip orang gila. Tapi tampaknya, Jatiwulung ne-

kat untuk mengikuti langkah Suropati. Karena

mempunyai kemampuan yang bisa diandalkan,

maka dia juga tak mendapat banyak kesulitan

untuk dapat sampai ke puncak bukit

Suropati menghentikan langkah ketika

sampai di depan gua pertapaan yang bagian atas-

nya berupa tanah keras yang sudah membatu.

Jatiwulung turut menghentikan langkah. Suropati

yang masih menyimpan rasa jengkel tak menghi-

raukan sama sekali. Pandangannya menuju ke

kedalaman gua yang sunyi-senyap.

Walau pernah memasuki gua itu, tak

urung hati Suropati berdebar keras ketika ka-

kinya menginjak mulut gua. Ditariknya napas

panjang berulang kali untuk menenangkan pera-

saan. Jatiwulung berbuat serupa. Namun hatinya

berdebar lebih keras, terlihat dari gerak tubuhnya yang seperti orang menggigil ketakutan. Karena

tak mau tertinggal, cepat dia ikuti ke mana kaki





Suropati melangkah.

Kedalaman gua ternyata datar dan tak ter-

lihat tonjolan batu kasar di lantainya. Semakin

jauh Suropati melangkah, keadaan gua semakin

terasa sunyi-senyap dan berhawa dingin

Setelah berputar-putar beberapa saat,

sampailah mereka di sebuah lorong lebar. Lorong

tersebut diapit oleh dinding batu yang ditumbuhi lumut tebal. Di sisi kanannya, mereka mendapatkan sebuah lubang, yang merupakan sebuah

kamar. Suropati dan Jatiwulung segera memasu-

kinya. Ternyata, kamar gua itu tidak terasa din-

gin. Sinar mentari menerobos masuk dari lubang-

lubang kecil yang terdapat di langit-langit. Hing-ga, kedua anak manusia itu leluasa mengedarkan

pandangan.

"Oh...!"

Tiba-tiba, Jatiwulung menjerit kaget. Wa-

jahnya terlihat pucat-pasi seketika. Dia menuding ke sudut kamar. Dan, Suropati pun turut terkejut luar biasa. Hingga, untuk beberapa lama dia cu-ma dapat berdiri mematung dengan jantung ber-

detak kencang.

Di tempat yang ditunjukkan oleh Jatiwu-

lung itu ternyata terdapat kerangka manusia yang tengah duduk bersila di atas lempengan batu. Sehelai kertas lusuh tampak terjepit di jari-jari tangan kanannya.

"Datuk Risanwari...!" jerit Suropati kemudian.





Mendadak, kerangka manusia yang sudah

lapuk itu ambruk terpisah-pisah. Sebagian tu-

langnya terpental ke dekat kaki Suropati dan Ja-

tiwulung.

Pemandangan yang cukup menyeramkan

itu membuat mereka bergidik ngeri. Semakin

memucat saja wajah kedua anak manusia itu. Ja-

tiwulung yang tak kuasa mengendalikan rasa ta-

kutnya segera menggerakkan kaki untuk lari.

Namun, cepat Suropati mencekal lengannya.

"Tetaplah di sini!" ujar remaja tampan itu.

"Uh... untuk apa, Suro?" Jatiwulung me-ronta, tapi Suropati tak mau melepaskan ceka-

lannya.

"Aku menduga kerangka itu adalah Datuk

Risanwari. Menurut dugaanku pula, Datuk Ri-

sanwari telah dibinasakan oleh seseorang yang

berilmu amat tinggi. Aku pernah mendengar se-

buah ilmu yang berasal dari daerah utara yang

bernama 'Pukulan Pelenyap Daging'. Kemungki-

nan besar Datuk Risanwari terkena ilmu sesat

itu, hingga tubuhnya tinggal tulang-belulang."

"Lalu, siapa kira-kira pemilik ilmu sesat

itu, Suro?" tanya Jatiwulung yang telah berhasil menghalau rasa takutnya.

"Aku menduga, orang itu bergelar Pangeran

Sadis." Mendengar jawaban Pengemis Binal, mendadak Jatiwulung mendekap mulut seperti mena-

han geli. Sedikit gelagapan dia lalu menyambung

pertanyaannya. "Ke... kenapa kau menduga demi-





kian?" "Datuk Risanwari adalah tokoh sakti yang sukar sekali dicari tandingannya. Belum pernah

aku berjumpa tokoh sakti yang melebihi ayah

kandung Gede Panjalu itu. Namun kemunculan

Pangeran Sadis, membuat aku berpikiran lain.

Kesaktian Datuk Risanwari berada di bawah Pan-

geran Sadis. Sehingga, dia berhasil membunuh

tokoh yang pernah berjaya dengan Perkumpulan

Pengemis Tongkat Naga-nya itu."

"Kau bisa berkata demikian, pernahkah

kau bertemu dengan Pangeran Sadis?"

"Belum. Tapi, aku bisa mengukur keting-

gian ilmunya. Dewi Tangan Api dan Bayangan Pu-

tih Dari Selatan pun dapat dikalahkan dengan

mudah, walau mereka tak sampai terbunuh.

Bahkan...."

"Bahkan apa, Suro...?" kejar Jatiwulung, bersemangat.

"Aku... aku teringat Dewi Ikata. Aku kasi-

han sekali padanya. Biadab sekali perbuatan

Pangeran Sadis itu. Dia membunuh Dewi Ikata

dengan... dengan memenggal kepalanya...."

Melihat raut muka Pengemis Binal yang

mengeruh terbawa rasa sedihnya, cepat Jatiwu-

lung mendekap mulutnya lagi. Namun kali ini, dia tak dapat menahan rasa gelinya. Dia pun tertawa

terbahak keras sekali, hingga suaranya mengge-

ma di seluruh gua.

"Tutup mulutmu!" bentak Suropati yang

timbul lagi kejengkelannya.





"Uts...!"

Wesss...!

Jatiwulung melempar tubuh ke kanan. Su-

ropati menyambung bentakannya dengan tampa-

ran, tapi hanya mengenai angin kosong. Karena,

gerakan tubuh Jatiwulung lebih cepat.

"Kenapa kau hendak menamparku, Suro?!"

tegur Jatiwulung. Walau suaranya keras mem-

bentak, tapi bibirnya menyungging senyum.

Jengkel hati Pengemis Binal tiada terkira.

Sambil bersungut-sungut, dia berjalan mengham-

piri. Mendadak, dia membalikkan badan. Terden-

gar suara mendesis. Jatiwulung mengerutkan

kening seketika. Sesaat pemuda dekil itu celingukan, lalu mendekap hidungnya rapat-rapat.

"Uh! Angsat au, Uro! Urang ajar!" maki Jatiwulung, tak jelas.

"He he he...!" Suropati tertawa terkekeh.

"Rasakan itu. Bila kau teruskan perbuatan gila-mu, tak segan aku mengeluarkan seluruh udara

di perutku!"

Mendengar ancaman Suropati, Jatiwulung

mundur selangkah, lalu menarik rambut panjang-

nya ke depan, hingga menutupi seluruh wajah-

nya. Kemudian, kedua tangannya mengibas-

ngibas. "Jangan! Jangan! Aku bisa mati kehabisan napas!"

Pengemis Binal tak menghiraukan ucapan

Jatiwulung. Matanya melihat kertas lusuh yang

tergeletak di antara tulang-belulang. Kertas itulah yang semula terjepit di jari-jari tangan kanan ke-





rangka manusia yang sudah lapuk.

Sambil garuk-garuk kepala, Suropati mem-

baca tulisan yang tertera di kertas yang telah dipungutnya. Dan... mengelamlah paras remaja

tampan itu seketika.

Untuk kekasih Dewi Ikata,

Tak usah kau hiraukan kematianku. Tuhan

yang Maha Adil menakdirkan usiaku cukup sam-

pai di sini. Hanya sebuah pesan yang dapat ku tinggalkan. Bila kau telah berjumpa dengan Pangeran Sadis, tahan hawa amarahmu. Sesungguhnya dia bermaksud baik. Berterima kasihlah kepadanya.

Datuk Risanwari

"Gila!" rutuk Pengemis Binal. "Bagaimana mungkin Datuk Risanwari bisa berpesan seperti

itu? Apakah dia tidak tahu bila Pangeran Sadis

adalah tokoh kejam yang layak dilemparkan ke

neraka jahanam?"

Sewaktu Pengemis Binal menggerutu tak

karuan, Jatiwulung menyambar kertas lurus di

tangannya. Setelah membaca tulisan yang tertera, mata pemuda dekil itu terlihat bersinar-sinar seperti tengah merasakan kegembiraan.

"Bila kau memang mencintai Dewi Ikata,

kau harus menuruti wasiat Datuk Risanwari ini,

Suro. Pesan orang yang sudah mati harus dilak-

sanakan," ujar Jatiwulung tiba-tiba.

Pengemis Binal menatap wajah Jatiwulung





yang tertutup rambut. "Gila!" rutuknya lagi. "Bagaimana aku harus membiarkan kekejaman Pan-

geran Sadis? Kematian Dewi Ikata harus kuba-

las!" "Hei! Kau lihat ini, Suro!" Jatiwulung menunjukkan kertas di tangannya. Kertas lusuh itu

ternyata dua lembar. Karena lengket, bagian yang kedua jadi tak terlihat.

Paras Pengemis Binal mengelam lagi ketika

membaca tulisan yang tertera di kertas lusuh ke-

dua. Sebaliknya, Jatiwulung malah tersenyum-

senyum waktu membacanya.

Seandainya Dewi Ikata hidup lagi, berse-

diakah kau menikah dengannya? Bila bersedia, berjanjilah. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha

Adil menunjukkan kuasa-Nya.

Pengemis Binal menarik napas panjang be-

rulang kali. Otaknya jadi buntu memikirkan per-

soalan yang tengah di hadapinya. Tanpa sadar,

dia menggaruk kepala keras-keras.

"Ada-ada saja pesan Datuk Risanwari

ini...," gumam remaja tampan itu. "Kalau aku melaksanakan pesannya, mungkinkah Dewi Ikata

hidup lagi? Sedangkan dua hari yang lalu aku te-

lah menguburkan kepalanya...."

"Laksanakan saja pesan Datuk Risanwari,

Suro...," usul Jatiwulung yang mendengar guma-man Pengemis Binal. "Siapa tahu Dewi Ikata benar-benar bisa hidup lagi."





"Orang mati tak akan hidup lagi!" bentak Suropati, menolak usulan Jatiwulung.

"Kekuasaan Tuhan tak ada batasnya, Suro.

Kalau Dia berkehendak, tak seorang pun dapat

menghalanginya. Berjanjilah.... Wasiat orang mati tak akan membuat celaka. Jangan buat roh Datuk Risanwari jadi penasaran."

Suropati garuk-garuk kepala lagi. Kedua

alisnya bertaut. Tampaknya, dia sedang berpikir

keras. Tak lama kemudian, dia memberi keputu-

san. "Baiklah. Mengingat budi baik Datuk Risanwari, aku menuruti pesannya yang kedua. Tidak

untuk pesannya yang pertama. Aku tetap akan

membuat perhitungan dengan Pangeran Sadis.

Kebenaran mesti dijunjung. Keadilan mesti dite-

gakkan. Aku harus menghentikan kebiadaban

Pangeran Sadis, walau nyawa taruhannya. Tak

menyesal badan berkalang tanah bila kematian

berada di jalan lurus."

"Kau benar, Suro," tegas Jatiwulung. "Tapi, aku tak sabar untuk segera mendengar janjimu."

Suropati menelan ludah, membasahi ke-

rongkongannya yang kering mendadak. Untuk

beberapa lama dia berdiri mematung. Masa-masa

indah yang pernah dilalui bersama Dewi Ikata

berkelebat di benaknya. Tanpa terasa, bibirnya

menyungging senyum manis. Lalu, katanya,

"Seandainya kau hidup lagi, aku berjanji akan menikahimu, Ika...."

Mendengar janji Suropati yang diucapkan

dengan penuh kesungguhan, tiba-tiba Jatiwulung

meloncat girang seraya menari-nari seperti anak

kecil yang baru mendapat mainan kesukaannya.

Melihat ulah konyol pemuda dekil itu,

bayangan indah di benaknya kontan lenyap. "Gi-la!" rutuknya.





* * *