Pengemis Binal 27 - Bidadari Pulau Penyu(2)








4

Begitu turun dari tandu, sebuah peman-
dangan menggelikan kembali menggelitik hati
Pengemis Binal dan Peramal Buntung. Di atas
pintu bangunan megah mirip istana terpampang
papan nama yang terbuat dari belahan batu hi-
tam yang dipahat rapi. Papan nama itu berbunyi:
Graha Kenikmatan.
"Silakan Tuan berdua mengikuti Laskar
Pemuas...," ujar salah seorang dari Laskar Pe-
nyambut yang dadanya ditulisi Piaraan 1.
Usai berkata, pemuda yang rambutnya di-
gelung ini menyelinap ke samping Graha Kenik-
matan. Ketiga temannya sesama penggotong tan-
du segera mengikuti. Pengemis Binal dan Peramal
Buntung tak begitu memperhatikan mereka lagi.

Kedua tamu ini tengah menatap heran bercampur
geli pada delapan pemuda yang berdiri di kanan
kiri pintu Graha Kenikmatan. Tubuh mereka sa-
ma-sama kekar dan berwajah tampan. Seperti
Laskar Penyambut, mereka juga hanya mengena-
kan cawat, tapi berwarna kuning. Rambut mereka
dikepang dua. Sementara, di dada mereka mas-
ing-masing terdapat rajah yang menyatu dengan
kulit pula. Berbunyi: Penghibur 1, Penghibur 2,
Penghibur 3, sampai dengan Penghibur 8.
"Apakah Bidadari Pulau Penyu berotak
sinting? Kenapa memberi nama tempat tinggal
dan anak buahnya dengan nama-nama yang
menggelikan?" kata hati Suropati dalam rasa he-
ran. "Sungguh nama-nama yang amat menggeli-
kan! Pengantar Tamu? Laskar Penyambut? Laskar
Pemuas? Dan, kukira aku pun akan segera dian-
tar untuk memasuki Graha Kenikmatan. Benar-
kah istana itu menjanjikan kenikmatan? Kenik-
matan macam apa?"
"Silakan Tuan berdua ikut kami...," ujar
pemuda yang dadanya ditulisi Penghibur 1 seraya
menyilakan Pengemis Binal dan Peramal Buntung
untuk segera memasuki Graha Kenikmatan.    
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Pengemis
Binal dan Peramal Buntung menurut saja ketika
digiring melewati lorong-lorong panjang di dalam
Graha Kenikmatan. Hawa di setiap lorong terasa
sejuk dan menyegarkan. Dinding-dindingnya se-
nantiasa dihiasi lukisan  pemuda-pemuda kekar
yang hanya menggunakan cawat merah atau kun-
ing. Di sepanjang perjalanan Pengemis Binal cu-

ma cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya
yang tak gatal. Sementara, kening Peramal Bun-
tung berkerut terus dan tak henti-hentinya mena-
rik napas panjang serta mendehem-dehem yang
tak karuan maknanya.
Setelah melewati lorong yang dihiasi lam-
pu-lampu berkerudung warna-warni,  sampailah
Pengemis Binal dan Peramal Buntung di sebuah
ruangan lebar yang dindingnya dipenuhi lukisan
dua orang anak manusia berlainan jenis yang se-
dang berkasih-kasihan. Tiga buah lampu gantung
memberikan cahaya biru remang-remang. Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung agak canggung
ketika menapakkan kaki di lantai ruangan yang
dilapisi permadani merah.
Pengemis Binal garuk-garuk  kepala  ketika
menoleh ke belakang. Delapan pemuda yang dis-
ebut sebagai Laskar Pemuas sudah tak tampak
lagi batang hidung mereka. Rupanya, tugas mere-
ka hanya mengantarkan Pengemis Binal dan Pe-
ramal Buntung sampai di ruangan remang-
remang ini.
"Selamat datang.... Selamat datang...," seru
seorang wanita yang duduk di tengah ruangan.
"Sungguh merupakan satu penghormatan yang
agung, sahabat lamaku Peramal Buntung berse-
dia datang ke Graha Kenikmatan ini. Hmmm....
Kedatangan Tuan Peramal rupanya bersama seo-
rang sahabat pula. Tak dapat digambarkan lagi
betapa gembira hati Bidadari Pulau Penyu mene-
rima kedatangan Tuan Muda Suropati yang berge-
lar Pengemis Binal. Silakan.... Silakan..."

"Jangan mengagungkan orang secara ber-
lebihan, Putih...," tegur Peramal Buntung. "Apala-
gi bila kata-kata yang kau ucapkan hanya manis
di bibir saja. Aku pribadi tak punya urusan den-
ganmu. Kedatanganku ini hanya untuk mengan-
tarkan Tuan Muda-ku ini." 
Mendengar ucapan Peramal Buntung yang
terdengar kaku, si wanita berusaha tersenyum.
Setelah berdiri dari tempat duduknya, dia mem-
bungkukkan badan seraya berkata, "Silakan....
Silakan duduk..... Amatlah tak enak berkata-kata
sambil berdiri, sementara tempat duduk telah ter-
sedia...."
Usai berkata, si wanita duduk kembali di
tempatnya. Pengemis Binal segera mengikuti
langkah kaki Peramal Buntung. Ketika telah men-
gambil tempat duduk, Pengemis Binal dapat meli-
hat lebih jelas bagaimana rupa si pemilik Graha
Kenikmatan yang tak lain Bidadari Pulau Penyu.
Berbeda dengan julukannya, Bidadari Pu-
lau Penyu mempunyai rambut berwarna putih,
padahal usianya belum seberapa tua. Sekitar tiga
puluh tahun. Di kepalanya bertengger sebuah
mahkota emas. Wajahnya cantik dan bibirnya
yang merah basah selalu menyungging senyum.
Tubuhnya padat berisi dengan buah dada montok
yang terlihat menonjol di balik baju merahnya.
"Tuan Suropati yang terhormat...," sebut
Bidadari Pulau Penyu. "Sebelum Tuan menyam-
paikan maksud kedatangan Tuan, tak ada jelek-
nya bila saya memperkenalkan diri. Semasa kecil
aku bernama Melati Putih tapi setelah aku men-

jadi dewasa, orang-orang menyebutku sebagai Bi-
dadari Pulau Penyu. Tentu Tuan bisa memaklu-
minya karena rambut saya memang berwarna pu-
tih... Tentu Tuan sudah tahu pula bila istana ini
bernama Graha Kenikmatan. Sepuluh tahun la-
manya saya bersusah payah mewujudkan sebuah
impian. Hingga, terbangunlah sebuah istana yang
dikelilingi pepohonan yang senantiasa menjadi-
kan hawa sejuk segar. Seorang pemuda tampan
seperti Tuan Suropati bolehlah datang ke Graha
Kenikmatan sesuka hati...."
"Tak perlu berkata banyak-banyak, Tuan
Putri Bidadari...," sahut Pengemis Binal dengan
sebutan konyol. "Aku tidak akan lama tinggal di
tempat ini. Ketika aku mendatangi tempat kedia-
man 'Sepasang Racun Api, aku kehilangan se-
buah batu berwarna hijau. Dan, aku melihat..." 
"Ya… ya! Saya tahu ke mana arah bicara
Tuan," potong Bidadari Pulau Penyu. "Saya tahu
kedatangan Tuan ke Graha Kenikmatan ini untuk
membicarakan sesuatu hal yang penting. Tapi ke-
tahuilah, Tuan Suropati, sudah menjadi aturan di
Graha Kenikmatan ini bila kedatangan seorang
tamu harus dijamu terlebih dahulu. Setelah itu,
barulah sang tamu mengutarakan maksud keda-
tangannya." 
Usai berkata, Bidadari Pulau Penyu mene-
pukkan telapak tangannya. Suropati hendak ber-
kata sesuatu, tapi senyum manis yang dilempar
Bidadari Pulau Penyu membuatnya mengurung-
kan niat. Sementara, Peramal Buntung tampak
duduk tenang di tempatnya. Tak lama kemudian,

seorang pemuda tampan yang hanya mengenakan
cawat masuk ke ruangan, membawa nampan be-
risi sebuah poci besar bergambar naga dan tiga
gelas yang terbuat dari emas berukir. Ketika si
pemuda meletakkan nampan yang dibawanya ke
meja, Suropati tertawa geli dalam hati melihat
dada si pemuda yang ditulisi Kekasih 1
"Apakah pemuda ini salah seorang kekasih
Bidadari Pulau Penyu?" tanya Suropati dalam ha-
ti. "Kalau pemuda ini disebut sebagai Kekasih 1,
tentu ada Kekasih 2, 3, dan seterusnya. Kalau di
sini ada yang disebut sebagai kekasih, lalu apa
tugas delapan pemuda yang dadanya ditulisi
Penghibur 1 sampai Penghibur 8 tadi? Apakah
mereka bertugas menghibur Bidadari Pulau
Penyu dalam melepas nafsu birahinya, tapi lewat
cara yang berlainan dengan pemuda yang disebut
sebagai kekasih? Hmmm.... Dari tatapan ma-
tanya, aku tahu bila Bidadari Pulau Penyu me-
mang seorang wanita yang punya nafsu besar
Jangan-jangan...."
Kata hati Pengemis Binal tak berlanjut ka-
rena Bidadari Pulau Penyu telah menyodorkan ge-
las berisi anggur kepadanya. Sementara, di bahu
kanan Peramal Buntung terdapat gelas berisi
anggur pula. Gelas itu seperti direkatkan dengan
perekat yang amat kuat. Hingga walau badan Pe-
ramal Buntung bergoyang-goyang, gelas di bahu
kanannya tak jatuh atau terguling.
"Mari... mari kita minum sebagai ungkapan
rasa gembira...." 
Bidadari Pulau Penyu menyulangi Penge-

mis Binal dan Peramal Buntung. Lalu, anggur di
gelasnya dia tenggak sampai tandas.
Karena tuan rumah telah mengawali, Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung tidak enak ka-
lau tidak ikut minum. Segelas anggur merah be-
raroma harum segera pindah ke lambung Penge-
mis Binal. Demikian pula Peramal Buntung. Usai
minum, kakek yang tak punya tangan ini mem-
bungkuk sedikit. Gelas yang melekat di bahu ka-
nannya, yang semula diletakkan oleh Bidadari
Pulau Penyu tiba-tiba melayang dan turun perla-
han-lahan di atas meja.
"Hebat..! Hebat..!" puji Bidadari Pulau
Penyu.
Anehnya, walau Bidadari Pulau Penyu
mengucap pujian kepada Peramal Buntung, tapi
matanya mengerling ke arah Pengemis Binal.
Sambil tersenyum wanita ini berkata, "Tuan Muda
Suropati… walau tidak seberapa bagus anggur
yang saya suguhkan, tapi Tuan menerimanya ju-
ga. Sungguh itu merupakan sebuah penghorma-
tan. Karena Tuan telah mengikuti aturan di Gra-
ha Kenikmatan ini, sekarang silakan Tuan me-
nyampaikan maksud kedatangan Tuan. Dengan
senang hati, saya akan mendengarkan. Bahkan
kalau bisa, saya akan membantu apabila Tuan
memang membutuhkan bantuan saya..."
Pengemis Binal garuk-garuk kepala seben-
tar, lalu berkata, "Di tempat kediaman Sepasang
Racun Api, aku telah kehilangan lempengan batu
sebesar uang logam berwarna hijau. Batu itu hi-
lang dilarikan orang yang punya ciri-ciri persis

seperti kau, Tuan Putri Bidadari..."
"Apakah batu itu bernama Mustika Batu
Merpati?" potong Bidadari Pulau Penyu.
"Ya. Tuan Putri Bidadari tahu persis nama
batu itu, apakah Tuan Putri Bidadari memang
yang mengambilnya?"
"Ya!"
"Kalau begitu, dengan penuh kerendahan
hati, aku mohon Tuan Putri Bidadari mau men-
gembalikannya. Karena, Tuan Putri Bidadari sa-
ma sekali tak berhak memiliki batu pemberian
Putri Impian itu...."  
Mendengar ucapan Pengemis Binal yang
begitu halus dan merendah, Bidadari Pulau
Penyu geleng-geleng kepala, lalu tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Kalau aku tidak mau men-
gembalikannya, apa yang akan Tuan Suropati
perbuat?"
"Aku akan memaksa!" seru Pengemis Binal
yang mengetahui Bidadari Pulau Penyu telah
memperlihatkan belangnya.
"Dengan cara apa kau akan memaksa?!"
Pengemis Binal mendengus gusar menden-
gar kata-kata Bidadari Pulau Penyu yang menyi-
ratkan tantangan. Tapi, betapa terkejutnya rema-
ja tampan ini. Tiba-tiba, tubuhnya terasa amat
lemas. Sewaktu mencoba mengumpulkan tenaga,
seluruh kekuatan tenaga dalamnya telah lenyap!
Sadarlah Pengemis Binal bila anggur yang dimi-
numnya tadi telah dicampuri racun. Sementara,
di  tempat duduknya, wajah Peramal Buntung
tampak pucat pasi. Keringat bercucuran dari se-

kujur tubuhnya. Namun, dia tak berkata apa-apa,
hanya mendesah-desah terus yang tak karuan
pangkal ujungnya
"Bidadari Pulau Penyu...!" seru Pengemis
Binal dalam kemarahannya. "Sungguh sama se-
kali tak kusangka. Orang terhormat seperti kau
bisa berbuat licik seperti ini. Betapa rendah mar-
tabatmu! Kau...."
Ucapan Pengemis Binal tak berlanjut kare-
na remaja tampan ini keburu pingsan. Tubuhnya
terkulai ke depan dan kepalanya jatuh di atas me-
ja. Peramal Buntung pun tak jauh berbeda.
Hanya saja, Peramal Buntung masih mendesah-
desah terus walau kepalanya telah tergeletak di
atas meja pula.
Plok! Plok! 
Bidadari Pulau Penyu menepukkan telapak
tangannya dua kali. Empat orang pemuda berca-
wat segera memasuki ruangan. Di dada mereka
masing-masing terdapat tulisan: Kekasih 1 sam-
pai Kekasih 4. Tanpa berkata apa-apa, keempat
pemuda itu lalu mengangkat tubuh Pengemis Bi-
nal dan Peramal Buntung. Namun, dua orang
pemuda yang mengangkat tubuh Peramal Bun-
tung tampak mengernyitkan hidung. Mereka tak
tahan mencium bau tak sedap yang menyebar da-
ri tubuh Peramal Buntung. Rupanya, rompi yang
dikenakan Peramal Buntung telah basah kuyup
oleh keringat. Sementara, celananya pun basah
pula. Malah menebarkan bau yang lebih menusuk
hidung.
"Sialan! Sudah tua masih suka ngompol!"

sungut salah seorang pemuda yang membopong
tubuh Peramal Buntung.

* * *

Hembusan angin yang semilir sejuk mam-
pu menepis udara panas siang hari. Gemericik
aliran sungai menambah kesejukan yang ada. Di
bawah naungan pepohonan rindang yang tumbuh
berjajar di tepi sungai, seorang kakek berjubah
merah tampak berjalan dengan raut wajah men-
gelam. Rahangnya mengembung karena dua baris
giginya saling bertaut rapat. Tatapan matanya
memancarkan hawa amarah. Namun, seringkali
mulutnya mendesah.
"Narita...," desis si kakek. "Ke mana Ayah
harus mencarimu, Anakku...? Terpaksa Ayah per-
gi dari Lembah Makam Pelangi. Terpaksa Ayah
meninggalkan ibumu seorang diri di sana. Ayah
terpaksa. Karena, Ayah harus mencarimu, Anak-
ku. Kembalilah.... Ayah tak akan menghukum-
mu."
Seperti orang kehilangan ingatan, kakek
berjubah merah ini terus berkata-kata seorang di-
ri. Mendadak, tatapan matanya memancarkan
hawa amarah lagi. 
"Suropati keparat!" umpatnya. "Kalau kau
tidak menginjakkan kaki di Lembah Makam Pe-
langi, Narita tak akan pergi. Dia akan senantiasa
setia bersamaku menemani Maharani yang ten-
gah tidur di Makam Pelangi. Ini semua gara-gara
kau, Bocah Gendeng!"

Sambil tiada henti merutuk dan memaki
nama Pengemis Binal, kakek yang rambutnya di-
kuncir ini terus berjalan mengikuti aliran sungai.
Namun, segera dia terhenyak langkahnya karena
terkejut manakala dua sosok bayangan berkelebat
dan berhenti tepat dua tombak di hadapannya.
"Raja Angin Barat...!" sebut salah seorang
penghadang, seorang lelaki berperawakan sedang.
Kakek berjubah merah yang memang Raja
Angin Barat mendengus gusar. Dengan tatapan
tajam menyelidik, dia memperhatikan dua sosok
manusia yang berani menghadang, langkahnya.
"Dewa-Dewi Kayangan...," desis Raja Angin
Barat setelah mengenali kedua orang yang berdiri
di hadapannya.
Lelaki berperawakan sedang dan mengena-
kan pakaian ketat hijau tampak mengerling ke
arah wanita cantik yang berdiri di sisi kirinya. Si
wanita tersenyum seraya melingkarkan lengannya
di  pinggang si lelaki. Melihat raut wajah kedua
orang ini, dapat dipastikan bila mereka adalah
Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang lebih dikenal
dengan sebutan Dewa-Dewi Kayangan.
"Hmmm.... Air mukamu tampak keruh se-
kali, Pak Tua. Kau berjalan dengan langkah gon-
tai pula. Agaknya, kau tengah dirundung duka la-
ra, hingga kau meninggalkan Lembah Makam Pe-
langi. Apakah kau sedang mencari putrimu yang
bernama Narita?" ujar Dewa Cinta sambil membe-
lai-belai rambut kekasihnya.
"Kalaupun aku pergi untuk mencari Narita,
apa pedulimu, Monyet Buduk?!" bentak Raja An-

gin Barat penuh rasa tak suka. Apalagi, Dewa-
Dewi Kayangan sengaja pamer kemesraan.
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak
"Rasa sedih di hatimu membuat kau cepat naik
darah, Pak Tua. Tapi, tahukah kau bila hawa
amarah hanya akan membuat otak jadi buntu
dan tak mampu berpikir jernih lagi? Bagaimana
kau akan dapat menemukan putrimu kalau
otakmu tak dapat berpikir jernih lagi?"
"Jangan banyak cakap! Segera enyah dari
hadapanku!"
Usai berkata. Raja Angin Barat mengi-
baskan lengan jubahnya. Terdengar suara berge-
muruh yang membarengi timbulnya tiupan angin
kencang. Tiupan angin kencang ciptaan Raja An-
gin Barat ini sudah mampu untuk melontarkan
batu sebesar kerbau, tapi Dewa-Dewi Kayangan
tampak tenang-tenang saja. Malah Dewa Cinta
tersenyum-senyum, lalu mencium bibir kekasih-
nya dengan mesra. Sementara, Dewi Asmara me-
mejamkan mata, begitu meresapi ciuman hangat
Dewa Cinta.
"Haram jadah!" umpat Raja Angin Barat.   
Sekali lagi, kakek berjubah merah ini men-
gibaskan lengan jubahnya. Tiupan angin yang le-
bih kencang muncul. Gumpalan tanah dan beba-
tuan turut berhamburan ke arah Dewa-Dewi
Kayangan!
Blarrrr...! 
Terdengar ledakan keras ketika Dewi-Dewi
Kayangan sama-sama mengibaskan telapak tan-
gan kanannya. Gumpalan tanah dan bebatuan

yang meluruk ke arah mereka berpentalan ke
berbagai penjuru. Beberapa ekor burung yang
tengah bertengger di dahan pohon tak sempat
menghindar. Akibatnya, tubuh mereka berpenta-
lan dalam keadaan remuk.
"Raja Angin Barat...," sebut Dewa Cinta.
"Aku datang bukan hendak mengajakmu berta-
rung. Aku datang karena ada sesuatu yang harus
kusampaikan kepadamu...."
"Keparat kau, kaki-tangan Siluman Raga-
kaca!" sela Raja Angin Barat. "Aku tahu kau dipe-
rintah siluman itu. Sayang... sayang sekali. Walau
langit runtuh dan bumi terbalik pun, aku tetap
pada pendirianku semula! Tak sudi aku mengin-
jakkan kaki di Pesanggrahan Pelangi!"
"Boleh... boleh saja kau berkata seperti itu,
Pak Tua. Tapi..., sebagai seorang ayah yang baik,
kau tentu tak mau melihat putrimu celaka."
"Jahanam! Apa maksudmu?!"
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa bergelak,
lalu melirik Dewi Asmara yang bergayut manja di
lengannya. "Kekasihku..., seandainya kau punya
seorang putri, dan putri yang sangat kau cintai
itu tiba-tiba menghilang, apa yang akan kau la-
kukan?"
"Hmmm...," Dewi Asmara mencium pipi ke-
kasihnya, lalu berkata, "Karena aku sangat men-
cintai putriku, di mana aku meletakkan segala
harapanku kepadanya, tentu saja aku akan mela-
kukan apa saja asal putriku dapat kembali ke
pangkuanku."
"Bagus! Berarti kau seorang ibu yang

baik...," puji Dewa Cinta, lalu mengalihkan pan-
dangan kepada Raja Angin Barat seraya berkata,
"Pak Tua..., agar Narita kembali kepadamu dalam
keadaan segar bugar tak kurang suatu apa, apa-
kah kau juga akan bersedia melakukan apa saja?"
"Keparat! Jangan berkata berbelit-belit! Se-
gera katakan apa maksudmu!" bentak Raja Angin
Barat. 
"Hmmm.... Rupanya, kau memang orang
yang tak bisa mengendalikan hawa amarah, Pak
Tua...," sahut Dewa Cinta. "Baiklah, aku katakan
terus terang. Kalau kau ingin melihat putrimu
yang semata wayang itu selamat, kau harus me-
nuruti perintah sang Pemimpin Siluman Ragaka-
ca!"
"Bedebah! Kalian apakan putriku? Apakah
dia berada di Pesanggrahan Pelangi?"   
Bayangan buruk segera berkelebatan di
benak Raja Angin Barat. Hawa amarah bercampur
aduk dengan rasa khawatir. Pikiran yang kalut
menjadikan kakek ini menggeram-geram. Bola
matanya melotot besar dengan air muka bertam-
bah keruh. Tanpa sadar kakinya menggedruk-
gedruk tanah. Hingga, batu-batu yang berserakan
di sekitarnya tampak berpentalan ke mana-mana.
"Cukup! Cukup, Pak Tua!" seru Dewa Cinta
yang, melihat Raja Angin Barat menggedruk ta-
nah makin keras. "Narita tak akan kau peroleh
kembali bila hanya ditebus dengan kemarahanmu
itu!"
"Katakan! Katakan di mana putriku berada!
Kalau aku melihat Narita celaka karena ulah ka-

lian, kaki-tangan Siluman Ragakaca, aku tak
akan tinggal diam! Akan  kulumatkan tubuh ka-
lian! Akan kuhancurkan Pesanggrahan Pelangi!
Akan kubuat perhitungan dengan siluman kepa-
rat itu!"
Sambil berkata, Raja Angin  Barat memu-
tar-mutar kedua tangannya di depan dada. Untuk
kesekian kalinya, timbul tiupan angin kencang.
Semakin lama semakin kencang, hingga di tempat
ini bagai tertimpa prahara.
Melihat Raja Angin Barat yang hendak
mengeluarkan ilmu 'Tangan Langit', cepat Dewa
Cinta berseru, "Tahan! Bila kau nekat mengum-
bar hawa amarahmu, maka kau akan segera me-
lihat tubuh putrimu yang tercacah-cacah menjadi
serpihan daging tak berguna!"
"Jahanam! Jahanam! Kaki-tangan Siluman
Ragakaca keparat! Ohhh...!"
Terbawa perasaan hatinya yang tak ka-
ruan, Raja Angin Barat menggeleng-geleng. Ka-
kinya tak tetap lagi berpijak. Sambil berdiri ter-
huyung-huyung, dia mendekap kepalanya yang
tiba-tiba terasa amat berat. Perlahan-lahan buti-
ran mutiara bening mulai menitik dari sudut ma-
tanya.
"Narita.... Narita...," keluh Raja Angin Barat
dengan suara serak, menyiratkan kesedihan yang
dalam. 
Dewa-Dewi Kayangan saling tatap, lalu sa-
ma-sama tersenyum. Sepasang kekasih ini seperti
tak peduli pada Raja Angin Barat. Mereka saling
dekap, kemudian berciuman...

"Haram jadah! Kembalikan Narita kepada-
ku!" bentak Raja Angin Barat tiba-tiba.
Dewa Cinta melepas ciumannya, lalu me-
natap Raja Angin Barat dengan senyum tersungg-
ing di bibir. "Putrimu akan selamat bila kau dapat
membunuh si Pengemis Binal Suropati!"
Usai berkata, Dewa Cinta mendekap lagi
tubuh Dewi Asmara. Setelah mendaratkan ci-
uman, dia berkelebat sambil membopong tubuh
sang kekasih. Tinggallah Raja Angin Barat dengan
segudang amarah di hati..... 

***

5

Suropati menggeliat bangun ketika mera-
sakan sentuhan-sentuhan aneh di sekujur tu-
buhnya, Dadanya sesak seperti ada sesuatu yang
menghimpit. Dan, ada sesuatu yang lunak basah
terus bermain-main di bibirnya.        
"Uh....!" 
Saat membuka mata, betapa terkejutnya
Suropati. Ternyata dirinya tengah didekap erat
oleh seseorang yang tiada bosan menciumi bibir-
nya...,    
"Jangan! Jangan!"
Dengan memalingkan muka ke kanan, Su-
ropati berusaha menghindari ciuman. Sementara,
kedua tangannya pun mendorong-dorong untuk
berontak lepas dari dekapan. Namun, usaha Su-

ropati tak membuahkan hasil apa-apa karena tu-
buhnya terasa amat lemas. Terlebih lagi, tenaga
dalamnya telah lenyap entah ke mana!
"Melati Putih!" seru Suropati setelah dapat
mengenali orang-yang tengah menggelutinya..
"Jangan! Jangan berbuat seperti ini! Aku..."
Ucapan Suropati tak berlanjut karena bi-
birnya keburu dilumat. Sementara, dia pun mera-
sakan dua buah benda lembut kenyal menekan
dadanya. Untuk sesaat, darah muda Suropati
berdesir aneh. Hasrat kelelakiannya bergejolak ti-
ba-tiba. Tapi ketika ingat bila Melati Putih atau
Bidadari Pulau Penyu adalah orang yang telah
meracuninya, Suropati berusaha melawan go-
daan. Dan dengan sekuat tenaga, dia mendorong
tubuh Bidadari Pulau Penyu.
"Hentikan!" 
Mendapat tolakan dari Suropati, Bidadari
Pulau Penyu mendengus gusar. Terbawa rasa
jengkel, tubuh Suropati dibantingnya. 
Brak…!
Tak dapat menahan rasa sakit, Suropati
mengaduh. Kepalanya terasa pening dan berde-
nyut-denyut. Untunglah, remaja tampan ini
hanya di banting di atas tempat tidur yang em-
puk. Jadi, dia tidak sampai mendapat cedera yang
berarti.
"Kenapa kau menolak keinginanku?!" ben-
tak Bidadari Pulau Penyu dengan penuh rasa ke-
cewa. 
"Kenapa kau meracuniku?" Suropati malah
bertanya.

"Ha ha ha...!" Bidadari Pulau Penyu tertawa
bergelak. "Kenapa aku meracunimu? Tentu saja
karena aku membutuhkan mu, sementara kau
adalah seorang pemuda nakal yang sulit ditak-
lukkan."
"Aku tak mengerti, bagaimana kau bisa
berbuat serendah ini, Melati Putih?" ujar Suropa-
ti, menyebut nama kecil Bidadari Pulau Penyu.
"Bukankah di tempat ini segalanya telah kau da-
patkan? Kau telah menjadi ratu yang selalu dike-
lilingi pemuda tampan. Kenapa kau masih mem-
butuhkan aku, sementara kau tahu bahwa aku
tak akan sanggup memenuhi keinginanmu?"
"Hmmm.... Kau jangan salah mengerti,
Tuan Suropati. .," sahut Bidadari Pulau Penyu.
Suaranya terdengar lebih tenang. "Sebenarnya,
tujuanku berlainan dengan apa yang tergambar di
benakmu. Kalau aku tadi berbuat itu, hmmm...
aku hanya coba-coba saja. Ketahuilah, aku punya
tujuan yang jauh lebih bagus dari sekadar berme-
sra-mesraan denganmu...." 
Suropati tak menyahuti. Matanya menatap
Bidadari Pulau Penyu yang duduk di tepi pemba-
ringan dengan penuh rasa curiga. Sementara, dia
sendiri duduk meringkuk di sudut pembaringan.
"Tuan Suropati...," sebut Bidadari Pulau
Penyu. "Sebenarnya, aku sungguh-sungguh me-
naruh hormat kepadamu. Aku tahu kau pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
perkasa. Aku ingin kau menjadi raja di Pulau
Penyu ini. Walah hanya raja kecil, tapi suatu saat
apa yang kau cita-citakan pasti tercapai karena

ada aku yang selalu setia mendampingimu."
Kepala Suropati menggeleng-geleng. "Kau
salah mengerti, Putih. Cita-cita yang kau mak-
sudkan itu pasti untuk menjadi orang nomor satu
di rimba persilatan...," kepala Suropati mengge-
leng lagi. "Tidak! Aku tidak ingin menjadi orang
nomor satu ataupun menjadi raja!"
Kening Bidadari Pulau Penyu kontan ber-
kerut rapat. Sementara, Suropati tak berani
membalas tatapan wanita cantik ini. Dia tak ingin
timbul keinginan aneh dalam dirinya. Tatapan
mata Bidadari Pulau Penyu memang penuh go-
daan. Apalagi, baju bagian depan wanita ini ter-
singkap, hingga buah dadanya yang halus montok
terlihat cukup jelas.
"Bila kau menolak untuk tinggal di sini,
kau akan mati!" seru Bidadari Pulau  Penyu ke-
mudian.
"Kalau Tuhan memang berkehendak, tak
seorang pun bisa menghindar dari takdir-Nya.
Asal masih di jalan kebenaran, kematian bukan-
lah suatu hal yang menakutkan bagiku. Kau bo-
leh membunuhku sekarang juga..."         
"Hmmm.... Seorang pendekar macam kau
memang patut diacungi jempol,  Tuan Suropati.
Terus terang, aku sangat menyayangkan bila ji-
wamu melayang sia-sia. Sungguh aku tak ingin
membunuhmu. Tapi ketahuilah, Tuan Suropati...,
begitu keluar dari Pulau Penyu ini, malaikat pen-
cabut nyawa akan segera mencatat namamu dari
daftar kematiannya. Karena, ada seseorang yang
menginginkan kematianmu!"

"Siapa?!"
"Raja Angin Barat!"
"Raja Angin Barat?" kejut Suropati. Bayan-
gan peristiwa di Lembah Makam Pelangi segera
berkelebatan di benak remaja tampan ini. Mung-
kinkah Raja Angin Barat telah keluar dari tempat
kediamannya? Dan, bagaimana dengan Narita?
"Saat ini putri Raja Angin Barat yang ber-
nama, Narita berada dalam sekapan Siluman Ra-
gakaca...," tutur Bidadari Pulau Penyu tanpa di-
minta.
"Apa? Bagaimana kau tahu?" kejut Suropa-
ti lagi. 
"Ketika melihat kau dilemparkan Raja An-
gin Barat dengan ilmu 'Tangan Langit', Narita ne-
kat keluar lembah. Susah payah dia mencarimu,
tapi kau tak berhasil ditemukannya. Malang seka-
li nasib bocah itu, Dia malah bertemu dengan
Dewa-Dewi Kayangan...."
"Dewa-Dewi Kayangan? Siapa itu?" 
"Mereka adalah sepasang kekasih. Yang le-
laki bergelar Dewa Cinta dan yang wanita bergelar
Dewi Asmara..." 
"Hmmm.... Kalau tidak salah, bukankah
Dewi Asmara adalah adik kandungmu?" ujar Su-
ropati, teringat cerita Peramal Buntung. 
"Ya. Dewi Asmara memang adik kandung-
ku. Kau pernah bertemu dengannya?"
Suropati menggeleng. "Lanjutkan ceritamu.
Bagaimana nasib Narita setelah bertemu dengan
Dewa-Dewi Kayangan?"
"Walau ilmu Narita cukup tinggi, tapi dia

kalah pengalaman dengan Dewa-Dewi Kayangan.
Setelah ditaklukkan dia dibawa ke Pesanggrahan
Pelangi...."       
"Kalau begitu, Dewa-Dewi Kayangan adalah
kaki-tangan Siluman Ragakaca." 
"Benar Sebenarnya, sudah beberapa kali
Siluman Ragakaca mengutus anak buahnya un-
tuk membujuk Raja Angin Barat agar bersedia
menjadi pengikutnya. Tapi, utusan yang datang
ke Lembah Makam Pelangi itu selalu dibunuh
oleh Raja Angin Barat. Karena sudah banyak ja-
tuh korban, Siluman Ragakaca mengutus Dewa-
Dewi Kayangan untuk memata-matai semua ge-
rak-gerik Raja Angin Barat. Selain untuk menge-
tahui kelemahan ilmunya, juga untuk mencari
kesempatan. Dan, kesempatan itu diperoleh keti-
ka Dewa-Dewi Kayangan menemukan Narita yang
telah keluar lembah. Bocah perempuan itu dis-
erahkan kepada Siluman Ragakaca untuk dijadi-
kan sandera. Dan, Raja Angin Barat mau tak mau
harus menuruti segala keinginan Siluman Raga-
kaca kalau tak ingin melihat putrinya celaka...."
"Siluman itu memberi perintah kepada Ra-
ja Angin Barat untuk membunuhku sebagai tu-
gasnya yang pertama, begitu?"
"Tepat! Karena, kau  dianggap duri yang
akan menghalangi Siluman Ragakaca dalam me-
raih cita-citanya. Bukankah kau telah membunuh
dua kaki-tangan siluman itu?"
"Ya. Aku memang telah membunuh Sepa-
sang Racun Api. Suami-istri itu manusia jahat
yang tak pantas menghirup udara dunia terlalu

lama."   
Usai berkata, tiba-tiba kening Pengemis
Binal berkerut rapat. Ada sesuatu yang telah
membuat remaja tampan ini jadi heran. Setelah
garuk-garuk kepala sebentar, dia berkata, "Melati
Putih..., kau dapat bercerita dengan jelas dan ga-
mang perihal Siluman Ragakaca serta sepak ter-
jangnya, dari mana kau bisa tahu?"
"Jangan heran, Tuan Suropati...," sahut
Bidadari Pulau Penyu sambil mengulum senyum.
"Aku dapat bercerita tentang Siluman Ragakaca
karena aku adalah anak buahnya....."
"Apa?" Suropati melonjak kaget Remaja
tampan ini hendak meloncat dari pembaringan,
tapi Bidadari Pulau Penyu keburu mencegah. Tu-
buhnya didorong, hingga dia jatuh terduduk lagi.
"Jangan berprasangka buruk dulu!" bentak
Bidadari Pulau Penyu.
"Bagaimana aku tidak berprasangka buruk
kalau tahu kau adalah anak buah Siluman Raga-
kaca?!" Pengemis Binal balas membentak. Tak se-
dikit pun rasa takut membayang di matanya.
Bidadari Pulau Penyu menarik napas pan-
jang beberapa kali, lalu berkata, "Dibandingkan
dengan Sepasang Racun Api ataupun Dewa-Dewi
Kayangan, aku mempunyai kedudukan lebih ting-
gi. Siluman Ragakaca memberikan kepercayaan
kepadaku untuk menjabat sebagai Duta Selatan.
Tapi ketahuilah, Tuan Suropati..., sejak aku meli-
hatmu di tempat kediaman Sepasang Racun Api,
aku ingin lari dari cengkeraman Siluman Ragaka-
ca. Walau siluman itu memberikan kedudukan

yang cukup tinggi, tapi batinku tersiksa. Karena,
aku harus melaksanakan segala perintahnya yang
seringkali bertentangan dengan hati nuraniku..." 
"Benarkah itu?" 
Kepala Bidadari Pulau Penyu mengangguk
lemah.
"Lalu, kenapa kau meracuniku?"
"Karena, aku tahu kau tak mungkin kubu-
juk agar bersedia membantuku untuk melawan
Siluman Ragakaca. Terpaksa aku menggunakan
cara yang licik ini. Kularikan 'Mustika Batu Mer-
pati' agar kau terpancing untuk datang ke Pulau
Penyu...."
"Kau telah mengikuti jalan pikiran yang sa-
lah, Melati Putih. Kalau kau katakan terus terang
keinginanmu itu, aku tentu bersedia membantu-
mu. Tapi, tak jadi apa karena semuanya telah te-
lanjur. Sekarang, berikan aku obat  penawar ra-
cun. Dan, biarkan aku pergi bersama Kakek Pe-
ramal Buntung."        
"Obat penawar racun akan kuberikan. Kau
dan Peramal Buntung akan pulih seperti sediaka-
la. Tapi kau jangan pergi dari sini,"   
"Kenapa?"
"Sudah kubilang. Raja Angin Barat men-
gincar kematianmu!" 
"Walau tempo hari aku pernah dipecun-
danginya, tapi aku tidak takut!"
"Jangan gegabah! Kau dan Raja Angin Ba-
rat sama-sama beraliran putih. Sungguh patut
disayangkan apabila nyawa salah satu di antara
kalian akan melayang sia-sia hanya karena siasat

busuk Siluman Ragakaca...," desah Bidadari Pu-
lau Penyu. "Ketahuilah, Tuan Suropati, tadi ma-
lam aku bersama orang-orang Pesanggrahan Pe-
langi lainnya telah dipanggil oleh Siluman Raga-
kaca. Di sana, siluman itu menuturkan segala
siasatnya. Dan yang perlu kau ketahui, yang
mengincar kematianmu bukan cuma Raja Angin
Barat, tapi juga Duta Utara, Duta Barat, dan Du-
ta Timur!"
"Siapa sebenarnya ketiga duta itu?"'
Belum sempat Bidadari Pulau Penyu men-
jawab pertanyaan Pengemis Binal, tiba-tiba ter-
dengar teriakan keras menggelegar.
"Melati Putih...!" 
Bidadari Pulau Penyu yang mendengar te-
riakan itu tampak terkesiap. "Iblis Mata Satu...,"
desisnya. "Tuan Suropati berdiamlah di sini dulu.
Aku akan menemui tangan-kanan Siluman Raga-
kaca itu!" 
Usai berkata, Bidadari Pulau Penyu berke-
lebat keluar ruangan. Pengemis Binal menatap
kepergiannya sambil garuk-garuk kepala. Bagai-
mana kalau keinginan Bidadari Pulau Penyu ke-
tahuan oleh Iblis Mata Satu? Kalau mereka ber-
tempur, apa yang bisa diperbuat oleh Suropati
yang tak mampu lagi mengerahkan tenaga dalam?
"Huh! Kenapa aku tak minta obat penawar
racun terlebih dulu? Kenapa aku tak meminta pu-
la Batu Mustika Merpati?" gumam Pengemis Bi-
nal. "Bagaimana kalau Bidadari Pulau Penyu
mendapat celaka? Maka, celaka pulalah aku!
Duh! Di mana Kakek Peramal Buntung?"


* * *

Sesosok tubuh penuh bulu seperti monyet
berdiri tegak menantang. Kepalanya yang beram-
but panjang gimbal ditumbuhi dua tanduk berca-
bang seperti rusa. Wajahnya terlihat sangat men-
gerikan karena hanya mempunyai satu mata be-
sar yang terletak di jidat. Hidungnya hanya beru-
pa dua lubang sebesar kacang tanah. Sementara,
mulutnya menyeringai, memperlihatkan barisan
gigi tajam seperti mata gergaji dan dua taringnya
yang setajam belati. Iblis Mata Satu!
"Ada keperluan apakah Tuan Mata Satu
datang ke tempat saya?" tanya Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat. 
Iblis Mata Satu menggerendeng. Tubuhnya
bergetar, hingga ekornya bergoyang-goyang. "Me-
lati Putih!" sentaknya. "Kenapa kau tak memberi
tahu pada sang pemimpin kalau kau membawa
Mustika Batu Merpati?!"
"Apa hubungannya sang pemimpin dengan
Mustika Batu Merpati?" Bidadari Pulau Penyu
malah bertanya.
"Sang pemimpin menginginkan batu itu!"
"Untuk apa? Mustika Batu Merpati bukan
milikku. Aku tak berhak menyerahkannya kepada
orang lain."
"Hmmm.... Berani benar kau berkata seper-
ti itu. Apakah kau ingin jabatanmu sebagai Duta
Selatan ditarik kembali oleh sang pemimpin?"
"Tuan Mata Satu yang terhormat...," sebut

Bidadari Pulau Penyu. "Ketahuilah..., tanpa di-
minta pun, aku akan melepaskan jabatanku! Apa
enaknya menjadi kaki-tangan Siluman Ragaka-
ca?!"
Mendengar kalimat Bidadari Pulau Penyu
yang dianggapnya terlalu berani, Iblis Mata Satu
mendengus gusar. Mata tunggalnya yang berwar-
na merah darah semakin memerah. Menatap ber-
kilat-kilat dibayangi hawa amarah yang meluap.
"Mulai hari ini, aku tak punya ikatan apa-
apa lagi dengan junjunganmu yang bernama Si-
luman Ragakaca itu! Aku bukan lagi anggota Pe-
sanggrahan Pelangi! Harap kau tahu itu, Tuan
Mata Satu!" tambah Bidadari Pulau Penyu.
Kontan Iblis Mata Satu menggembor keras.
Tubuhnya bergetar, membuat ekornya bergoyang-
goyang lebih cepat. Dengan geram kemarahan
memuncak makhluk ini berkata, "Hukuman mati
dijatuhkan!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu berkelit ke
kiri ketika mata Iblis Mata Satu memancarkan se-
larik sinar merah menggidikkan. Sinar itu melesat
cepat dan menebarkan hawa panas luar biasa!
Namun, hanya menerpa dinding ruangan di bela-
kang Bidadari Pulau Penyu. 
Blarrr...!
Dinding batu setebal dua jengkal jebol. Pe-
cahannya berhamburan ke mana-mana. Percikan
api turut bertebaran. Untuk beberapa saat, isi
ruangan dipenuhi asap bercampur debu tebal.
Mengetahui serangannya tak mengenai sa-
saran, Iblis Mata Satu memekik nyaring. Tiba-

tiba, dari kedua telapak tangannya mengepul
gumpalan api merah menyala-nyala! 
"Hukuman mati dijatuhkan!" pekik Iblis
Mata Satu seraya menerjang ganas.
"Kaulah yang harus mati, Iblis Laknat!" ba-
las Bidadari Pulau Penyu. Tubuh wanita cantik
ini melenting. Ketika melayang di udara, kedua
tangannya dikebutkan beberapa kali. Muncul
bayang-bayang telapak tangan yang tak terhitung
lagi jumlahnya, meluruk bersamaan ke arah Iblis
Mata Satu.
Blarrr...!

* * *

"Celaka! Mereka benar-benar bertempur!"
seru Pengemis Binal yang digeluti rasa khawatir
"Apa yang harus kuperbuat? Apakah aku harus
lari dari tempat ini? Tapi, bagaimana aku harus
pergi dengan keadaan seperti ini? Aku harus
mendapatkan obat penawar racun dulu! Duh! Di
mana, Kakek Peramal Buntung?" Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya meloncat dari pemba-
ringan. "Aku harus, mencari Kakek Peramal Bun-
tung! Apa pun yang terjadi dengan kakek itu, aku
harus tahu keadaannya!" 
Mengikuti pikiran di benaknya, Pengemis
Binal hendak ke luar ruangan. Tapi baru melang-
kah satu-tindak, tiba-tiba pintu ruangan dibuka
dengan paksa dari luar, hingga pecah berkeping-
keping.
"Kakek Peramal Buntung...!" seru Pengemis

Binal ketika tahu yang mendobrak pintu adalah
orang yang hendak dicarinya.    
"Tenang...!. Tenang, Tuan Muda!" sahut Pe-
ramal Buntung, meloncat ke hadapan Suropati.
Melihat keadaan  Peramal Buntung yang
segar bugar, bahkan mampu menghancurkan
daun pintu yang terbuat dari kayu jati, kening
Pengemis Binal berkerut rapat. Apakah tenaga da-
lam Peramal Buntung tidak lenyap? Bukankah
kakek itu turut meminum anggur yang berisi ra-
cun?
"Kenapa  Tuan Muda menatapku seperti
ini?" tanya Peramal Buntung, merasakan tatapan
aneh Suropati.
"Kau tidak keracunan?" 
"Tidak."
"Kau tidak ikut minum anggur racun itu,
Kek?"
"Aku ikut minum anggur itu. Tapi, racun-
nya telah kukeluarkan dengan ilmu 'Aliran Napas
Pemusnah Racun'," jelas Peramal Buntung. "Ra-
cun dalam anggur yang kuminum kukeluarkan
lewat keringat dan air kencing!"
"Kalau bisa begitu, kenapa kau tidak meno-
longku dari tadi?" tanya Suropati, sedikit men-
dongkol teringat dirinya hampir tenggelam dalam
dekapan birahi Bidadari Pulau Penyu. 
"Bagaimana aku bisa menolong Tuan Muda
kalau aku ditempatkan di ruangan lain. Setelah
mengikuti lorong-lorong yang sangat membin-
gungkan, barulah aku menemukan Tuan Muda di
tempat ini," tutur Peramal Buntung, tergesa-gesa.

"Kita harus cepat keluar dari tempat ini mum-
pung Bidadari Pulau Penyu tengah bertempur me-
lawan Iblis Mata Satu!"
"Sebenarnya, Bidadari Pulau Penyu tidak
bermaksud jahat kepada kita. Kita harus mem-
bantunya melawan makhluk dari Pesanggrahan
Pelangi itu! Tapi, tolonglah aku dulu, Kek! Kelua-
rkan racun yang bersarang dalam tubuhku!"
"Lho?! Kenapa mesti minta pertolonganku?
Bukankah Tuan Muda membawa Akar Kayan-
gan?"
Plok!
Pengemis Binal menggaplok kepalanya
sendiri. "Kenapa aku jadi bodoh seperti ini? Ke-
napa aku lupa bila membawa akar ajaib yang
mampu melawan segala jenis racun?" rutuk rema-
ja tampan ini kepada dirinya sendiri.
"Tuan Muda butuh arak?" tawar Peramal
Buntung ketika Pengemis Binal telah mengelua-
rkan Akar Kayangan dari balik lipatan bajunya
yang tersembunyi.
"Ya. Aku butuh arak!" sahut Suropati
Seperti ada yang memberi aba-aba, Penge-
mis Binal dan Peramal Buntung sama-sama men-
garahkan pandangan ke meja yang terletak di se-
belah pembaringan. Di atas meja itu terdapat se-
buah poci kecil berukir. Namun sewaktu men-
gambilnya, Pengemis Binal kecewa. Tak setetes
pun arak berada di dalam poci.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung
mengedarkan pandangan, namun di ruangan
yang mereka tempati ini memang tak terdapat

arak yang bisa digunakan sebagai ramuan obat
penawar racun.
"Aku ada akal! Tuan Muda tunggu di sini
saja!" cetus Peramal Buntung dengan mata bersi-
nar.
Suropati cuma garuk-garuk kepala ketika
Peramal Buntung berkelebat keluar ruangan.
Namun tak lebih dari sepuluh tarikan napas ke-
mudian, Peramal Buntung telah kembali. Di bahu
kanannya melekat sebuah gelas berisi cairan ke-
kuningan.
Cairan kuning di dalam gelas bergolak ke-
tika Peramal Buntung mengalirkan tenaga da-
lamnya. Ketika cairan kuning telah mengepulkan
asap tebal, Peramal Buntung berkata, "Ambil-
lah...."
Bergegas Pengemis Binal mengambil gelas
yang melekat di bahu kanan Peramal Buntung
yang telah menghentikan aliran tenaga dalamnya.
Walau cairan kuning di dalam gelas masih men-
gepulkan asap tebal, tapi Pengemis Binal tak me-
rasa panas ketika tangannya menyentuh badan
gelas.
Setelah Akar Kayangan dicelupkan bebera-
pa lama di dalam gelas, hidung Pengemis Binal
berkernyit. Dia mencium bau tak sedap yang me-
nebar dari cairan kuning di dalam gelas.
"Tunggu apa lagi? Segera minum obat pe-
nawar racun itu...," seru Peramal Buntung.
Dengan kening berkerut rapat dan hidung
tetap berkernyit, Pengemis Binal menatap cairan
kuning di dalam gelas: "Ini arak apa? Kenapa ber-

bau aneh?" tanyanya, heran.
"Sudahlah. Yang penting, Tuan Muda bisa
terbebas dari racun," desak Peramal Buntung.
Mendengar suara pertempuran di ruangan
lain yang semakin seru, tanpa pikir panjang lagi
Pengemis Binal menutup hidungnya dengan tan-
gan kiri, lalu tangan kanannya yang memegang
gelas didekatkan ke mulut. Di lain kejap, cairan
kuning di dalam gelas telah pindah ke lambung
Pengemis Binal.
"Uh! Kenapa rasanya aneh, Kek?" seru
Pengemis Binal. "Perutku jadi mual. Aku mau
muntah! Uk...! Uk...!"
"Tahan! Tahan, Tuan Muda!" cegah Peram-
al Buntung. "Obat penawar racun tadi tak akan
menghasilkan apa-apa kalau dimuntahkan lagi!"
Mendengar penjelasan Peramal Buntung,
sekuat tenaga Pengemis Binal menahan diri agar
tak muntah, walau isi perutnya bagai diaduk-
aduk dan terasa amat mual. Sementara, Peramal
Buntung cuma  tersenyum-senyum melihat air
muka Pengemis Bina! yang berubah  merah-
matang.
"Sekarang, cobalah mengumpulkan hawa
murni ke pusar...," nasihat Peramal Buntung ke-
mudian.
Pengemis Binal melonjak girang ketika ta-
hu tenaga dalamnya telah pulih kembali. Sejenak,
dia lupa pada rasa mual di perutnya.
"Hebat! Akar Kayangan memang hebat!" se-
ru Suropati. Menatap Akar Kayangan beberapa
saat, lalu disimpannya kembali ke lipatan ba-

junya yang tersembunyi.
Mendadak, angin kencang berhembus na-
suk ke ruangan. Pengemis Binal dan Peramal
Buntung terkesiap melihat sesosok bayangan
berkelebat dan berhenti di hadapan mereka.
"Bidadari Pulau Penyu...!" seru Pengemis
Binal setelah mengenali sosok yang baru muncul.
"Ini obat penawar racun! Segera pergi dari
tempat ini!" sahut Bidadari Pulau Penyu menyo-
dorkan botol kecil berisi obat.
"Aku dan Kakek Peramal Buntung telah
terbebas dari racun," beri tahu Suropati.
"Sungguhkah itu?" tanya Bidadari Pulau
Penyu, setengah tak percaya. 
"Aku punya ilmu 'Aliran Napas Pemusnah
Racun', Melati Putih," ujar Peramal Buntung.
"Dan, Tuan Muda Suropati membawa Akar
Kayangan." 
Sekilas, rasa gembira terpancar di mata Bi-
dadari Pulau Penyu. Tapi, kekhawatiran kembali
menggeluti hati wanita cantik ini. "Pergilah! Se-
bentar lagi Iblis Mata Satu tentu akan menyusul-
ku ke tempat ini!" perintahnya. Agaknya, Bidadari
Pulau Penyu lupa bila belum beberapa lama tadi
dia telah menahan kepergian Suropati.
"Kau sendiri bagaimana?", tanya Pengemis
Binal yang sudah tahu bila Bidadari Pulau Penyu
berada di pihaknya.   ,
"Aku akan menahan Iblis Mata Satu yang
hendak membakar istana ini!" sahut Bidadari Pu-
lau Penyu. "Pergilah cepat mumpung masih ada
kesempatan! Aku bukan meremehkan kemam-

puan kalian berdua, tapi cobalah kalian mengiku-
ti nasihatku kali ini!"  
Pengemis Binal dan Peramal Buntung sal-
ing pandang. Melihat kesungguhan Bidadari Pu-
lau Penyu, bergegas mereka berkelebat keluar
ruangan. Bidadari Pulau Penyu turut berkelebat,
namun berbeda arah. 

***

6

Wusss...!
"Wuahhh...!"  
Dua pemuda bercawat menjerit panjang ke-
tika api yang mengepul dari telapak tangan Iblis
Mata Satu menerpa tubuh mereka. Api merah
membara yang mengandung kekuatan dahsyat itu
mampu membuat tubuh mereka hancur luluh
menjadi setumpuk abu!
Pemuda-pemuda bercawat lainnya berdiri
kaku dalam rasa ngeri. Sementara, Iblis Mata Sa-
tu tertawa bergelak sambil terus mengibas-
ngibaskan telapak tangannya. Melihat serbuan
api yang panas luar biasa, para penghuni Graha
Kenikmatan jadi panik. Mereka berloncatan ke
sana sini, berusaha menyelamatkan diri. Namun,
keadaan terlihat makin tak menguntungkan ka-
rena beberapa bagian bangunan mulai terbakar.
Dan tampaknya, istana yang susah payah diban-
gun oleh Bidadari Pulau Penyu ini hanya akan

tinggal kenangan....
Beberapa pemuda bercawat berusaha me-
madamkan api, yang lainnya nekat menerjang Ib-
lis Mata Satu yang mereka anggap sebagai biang
onar. Dalam keadaan kalut di mana maut hampir
menjemput, tak ada lagi rasa takut di hati mere-
ka. Yang ada hanyalah kemarahan dan usaha un-
tuk segera dapat menjatuhkan si biang onar.
Tapi sebelum keganasan Iblis Mata Satu
memakan korban lebih banyak, tiba-tiba berkele-
bat sesosok bayangan yang dibarengi teriakan,
"Keluarlah kalian dari sini! Pergi dari Pulau Penyu
secepatnya!"
Para pemuda bercawat tampak ragu seje-
nak. Namun setelah melihat bila yang memberi
perintah adalah Bidadari Pulau Penyu, mereka
segera berpencar untuk mencari jalan hidup mas-
ing-masing.
"Jahanam kau, Melati Putih!" maki Iblis
Mata Satu, "Kalau saja kau tidak segera muncul
di hadapanku lagi, jangan harap pemuda-pemuda
piaraanmu itu masih bernyawa sampai esok hari!"
"Hmmm.... Aku pergi bukan karena aku
takut kepadamu, Tuan Mata Satu yang terhor-
mat.,.!" Bidadari Pulau Penyu mengucapkan sebu-
tan menghormat, tapi dengan nada keras mem-
bentak. Jelas hatinya diliputi rasa penasaran ber-
campur hawa amarah melihat istananya rusak
termakan api Iblis Mata Satu.
"Wuah! Tampaknya, kau semakin berani
saja, Melati Putih!" seru Iblis Mata Satu. "Tapi,
apakah kau pergi tadi untuk mengambil Mustika

Batu Merpati, dan sekarang akan menyerahkan-
nya kepadaku?"
"Aku memang akan menyerahkan sesuatu
kepadamu, Tuan Mata Satu! Tapi bukan Mustika
Batu Merpati, melainkan ini...,"
Di ujung kalimatnya, Bidadari Pulau Penyu
mengibaskan kedua telapak tangannya beberapa
kali. Di lain kejap, muncul puluhan bayang-
bayang tangan yang langsung menyerbu ke arah
Iblis Mata Satu. Jangan dikira bayang-bayang
tangan itu tidak berbahaya. Itulah wujud ilmu
andalan Bidadari Pulau Penyu yang bernama
'Tangan Ganda Pemakan Roh'! Balok baja pun
akan hancur luluh bila terkena serbuannya!
"Hiah...!"
Tahu ada bahaya tengah mengancam, Iblis
Mata Satu mengibaskan kedua tangannya. Dua
gumpal api besar melesat ke depan, memapaki
serbuan bayang-bayang tangan!
Blarrr...!       
Sebuah ledakan dahsyat membarengi li-
dah-lidah api yang berlesatan ke berbagai penju-
ru. Api yang sudah membakar bangunan  istana
semakin berkobar besar. Melihat itu, Iblis Mata
Satu tertawa bergelak. Namun..., sama sekali tak
dia duga. Ketika terjadi ledakan dahsyat tadi, ada
satu bayangan tangan yang tak turut musnah
terbakar api. Satu bayangan tangan itu terpental
ke atas, lalu secara tiba-tiba melesat ke arah Iblis
Mata Satu!
Blammm...!
"Wadouw...!"

Iblis Mata Satu tak mampu menghindar.
Dadanya tertimpa dengan telak, menimbulkan
suara menggelegar keras. Kontan tubuh makhluk
berbulu seperti monyet ini terlontar, dan mem-
bentur dinding tebal di belakangnya. Karena lon-
tarannya amat kuat, dinding istana tak mampu
bertahan. Hancur berkeping-keping, mengepulkan
asap tebal!
Terkejut setengah mati Bidadari Pulau
Penyu ketika melihat Iblis Mata Satu merangkak
bangun dari reruntuhan dinding. Saat tangan ka-
nan Iblis Mata Satu itu telah berdiri tegak dan
berjalan ke depan, tahulah Bidadari Pulau Penyu
bila ilmu 'Tangan Ganda Pemakan Roh' miliknya
tak berarti apa-apa bagi lawan.
Sementara, Iblis Mata Satu yang melihat
wajah Bidadari Pulau  Penyu memucat langsung
tertawa panjang penuh kemenangan. Dan begitu
tawanya terhenti, dia berseru nyaring.  
"Sinar Merah Penghancur Segala'!"
Bergegas Bidadari Pulau Penyu meloncat
ke kiri ketika mata Iblis Mata Satu mengeluarkan
selarik sinar merah menggidikkan. Namun... be-
lum sampai telapak kaki wanita bertubuh sintal
ini menginjak permukaan lantai, gumpalan api
merah menyala yang melesat dari telapak tangan
kanan Iblis Mata Satu telah memapaki.
Wusss...! 
"Ih....!"
Bidadari Pulau Penyu masih sempat men-
gibaskan kedua ujung lengan bajunya, hingga
timbul gelombang angin pukulan yang cukup

kuat. Gumpalan api merah berbelok arah dan
membentur dinding istana hingga jebol.
Namun... begitu Bidadari Pulau Penyu me-
napakkan kaki di permukaan lantai, jerit kesaki-
tan menyembur dari mulutnya. Pinggang kanan-
nya telah termakan sinar merah yang melesat dari
mata si makhluk berbulu!
"Ha ha ha...! Kau telah terluka, Melati Pu-
tih!" ujar Iblis Mata Satu, jumawa. "Tak ada yang
lebih tepat kau kerjakan kecuali menyerahkan
Mustika Batu Merpati, kemudian ikut aku ke Pe-
sanggrahan Pelangi untuk mendapat hukuman
langsung dari sang pemimpin! Atau, bila kau in-
gin mati di istana kesayanganmu ini, boleh-boleh
saja. Tapi, serahkan dulu Mustika Batu Merpati
kepadaku!" 
Sambil mendekap pinggang kanannya yang
terasa panas luar biasa, Bidadari Pulau Penyu
mengedarkan pandangan. Rasa kalut dan panik
jelas tergambar di mata wanita cantik ini. Ruan-
gan yang ditempatinya telah terkepung api. Tak
ada peluang lagi untuk dapat meloloskan diri.
Sementara, Iblis Mata Satu pun tampaknya telah
bersiap-siap untuk menjatuhkan tangan maut. 
"Baik! Baiklah, Tuan Mata Satu...," ujar Bi-
dadari Pulau Penyu di tengah rintih kesakitannya.
"Mengingat kebaikan sang pemimpin yang bebe-
rapa waktu lalu telah menambah kekuatan tena-
ga dalamku, memang ada baiknya bila aku me-
nyerahkan Mustika Batu Merpati kepadanya...."
"Bagus!" sambut Iblis Mata Satu. "Ru-
panya, kau telah menentukan pilihan terbaik, Me-

lati Putih. Serahkan batu mustika itu kepadaku
untuk kemudian kuserahkan lagi kepada sang
pemimpin. Dan, kau pun bisa ikut ke Pesanggra-
han Pelangi. Barangkali sang pemimpin berkenan
meringankan hukumanmu."
Bidadari Pulau Penyu mencoba tersenyum
walau rasa panas di pinggang kanannya terus
menjalar ke seluruh tubuh. Lalu, tenang saja wa-
nita cantik ini mengeluarkan lempengan batu se-
besar uang logam hijau dari lipatan bajunya. Se-
mentara, hatinya berkata, "Lebih baik kuakali sa-
ja makhluk buruk rupa itu, sekaligus menjajal
kehebatan Mustika Batu Merpati."
Mengikuti suara hatinya, Bidadari Pulau
Penyu membungkuk hormat dan berkata, "Kuse-
rahkan Mustika Batu Merpati ini kepadamu,
Tuan Mata Satu yang terhormat..."
Iblis Mata Satu tertawa bergelak-gelak me-
lihat Bidadari Pulau Penyu menyodorkan lempen-
gan batu hijau yang dipegangnya di tangan ka-
nan. Namun, betapa terkejutnya Iblis Mata Satu.
Ketika dia melangkah untuk menyambut batu hi-
jau yang tak lain Mustika Batu Merpati, tiba-tiba
tangan kiri Bidadari Pulau Penyu mengibas! 
Wesss...!
Sekali lagi, puluhan bayangan tangan me-
luruk deras ke arah Iblis Mata Satu. Kalau tadi
dia mampu menahan pukulan satu bayangan
tangan, sekarang keadaannya tentu sudah berlai-
nan. Karena, bayangan tangan yang meluruk ber-
lipat jumlahnya, sementara Iblis Mata Satu yang
menjadi sasaran pun berdiri lebih dekat.

"Hiahhh...!"
Susah payah Iblis Mata Satu berkelit den-
gan menjatuhkan diri ke lantai. Merasa dirinya te-
lah termakan tipu muslihat, segera dia mengelua-
rkan 'Sinar Merah Penghancur Segala'!
Namun bersamaan dengan melesatnya se-
larik sinar merah dari mata Iblis Mata Satu, Bi-
dadari Pulau Penyu membuka mulut dan me-
nempelkan Mustika Batu Merpati ke lidahnya!
Wusss...! 
Blarrr...!
Tiba-tiba, tubuh Bidadari Pulau Penyu le-
nyap dari pandangan. 'Sinar Merah Penghancur
Segala' lewat begitu saja, lalu menerpa dinding
ruangan hingga hancur berkeping-keping....
"Haram jadah! Kuntilanak bunting!" umpat
Iblis Mata Satu dengan darah mendidih naik
sampai ke ubun-ubun.
Melihat Bidadari Pulau Penyu telah lenyap
bersama Mustika Batu Merpati, tak dapat digam-
barkan lagi kemarahan makhluk berbulu hebat
ini. Dia mengamuk dan benar-benar lupa diri.
Kedua telapak tangannya yang dipenuhi gumpa-
lan api merah menyala-nyala dikibaskan ke ber-
bagai penjuru seraya berlari mengikuti lorong-
lorong istana. Hingga..., istana Bidadari Pulau
Penyu yang diberi nama Graha Kenikmatan diko-
bari api di sana sini!

* * *

Setelah berlari-lari mengempos tenaga, me-

lewati jalan-jalan sempit yang tersembunyi di ba-
lik pepohonan, sampailah Pengemis Binal dan Pe-
ramal Buntung di tepian Pulau Penyu. 
"Pengantar Tamu...!" teriak Peramal Bun-
tung.
Teriakan itu membahana di seantero pu-
lau. Dua tarikan napas kemudian, berkelebat se-
sosok bayangan menghampiri Pengemis Binal dan
Peramal Buntung. Bayangan itu seorang pemuda
kekar mengenakan pakaian kuning bergaris cok-
lat. Dia datang dengan memanggul perahu yang
terbuat dari kulit kerbau yang telah dikeringkan.
"Antarkan kami menyeberangi telaga," pe-
rintah Peramal Buntung.
Pemuda kekar yang tak lain si Pengantar
Tamu berdiri diam di tempat. Matanya menatap
Peramal Buntung dan Pengemis Binal bergantian.
"Hei! Kenapa kau tidak segera menjalankan
perintahku?!" tegur Peramal Buntung. "Apa kau
tidak tahu bila aku dan Tuan Muda Suropati ada-
lah tamu terhormat ratu junjunganmu Bidadari
Pulau Penyu?" 
"Ah! Bukan begitu, Pak Tua...," tangkis
Pengantar Tamu. "Kenapa Laskar Pelepas tidak
mengantarkan sampai di tepi pulau ini?"
"Alah! Aku muak dengan segala aturan di
tempat ini! Cepat antarkan aku!" desak Peramal
Buntung.
Kening Pengantar Tamu berkerut rapat.
Timbul rasa curiganya. Apalagi ketika melihat
asap tebal membubung dari tengah pulau. Se-
mentara, lamat-lamat juga terdengar suara hiruk-

pikuk yang diselingi ledakan beberapa kali. 
"Kalian telah membakar Graha Kenikma-
tan?!" desis Pengantar Tamu dengan bola mata
melotot besar.
"Hei! Hei! Jangan main  tuduh sembaran-
gan!" tegur Pengemis Binal. "Di sana tengah terja-
di pertempuran, tapi tak ada sangkut pautnya
dengan kami!" 
"Tidak! Kalian pasti telah membakarnya!
Kalian tidak boleh pergi!"
"Geblek! Justru kami hendak pergi ini ka-
rena mengikuti anjuran Bidadari Pulau Penyu!"
sentak Pengemis Binal yang mulai jengkel. "Kalau
kau tidak mau mengantarkan, tak jadi masalah.
Tapi, kupinjam dulu perahumu itu!"
Cepat Pengantar Tamu meloncat ke bela-
kang waktu melihat Pengemis Binal hendak me-
rampas perahu yang dibawanya. Rasa curiga di
hati pemuda kekar ini semakin besar. Perahu ku-
lit kerbau dia lempar ke tanah, ditatapnya Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung dengan sinar
mata berapi-api.
"Sejak melihat kedatangan kalian, aku su-
dah curiga. Kalian bukan orang baik-baik.  Dan,
sekarang terbukti. Kalian telah membakar Graha
Kenikmatan! Kalian harus menebus dosa dengan
kematian! Hiah...!"
Sambil menggembor keras, Pengantar Ta-
mu menghentakkan kedua telapak tangannya ke
depan. Dua larik sinar putih berkeredepan mele-
sat ke arah Pengemis Binal dan Peramal Buntung.
Namun hanya dengan melentingkan tubuh bebe-

rapa jengkal dari permukaan tanah, Pengemis Bi-
nal dan Peramal Buntung berhasil menghindari
pukulan jarak jauh itu. Hasilnya, dua larik sinar
putih yang melesat dari telapak tangan Pengantar
Tamu menghantam dua batang pohon sepelukan
orang dewasa. Timbul ledakan keras, yang dis-
usul suara gemuruh ketika dua batang pohon itu
hancur menjadi serpihan kayu yang berpentalan
ke berbagai penjuru.
"Geblek! Tahan hawa amarahmu! Kau sa-
lah mengerti!" seru Suropati.
Tapi, mana mau Pengantar Tamu yang su-
dah dikuasai nafsu membunuh mendengar kata-
kata Suropati. Ditambah lagi, sejak kedatangan
Suropati, hatinya jadi jengkel, dan ingin marah
saja. Selama tinggal di Pulau Penyu, dia tak per-
nah berjumpa orang bermulut ceriwis macam Su-
ropati yang sepertinya tak mau menaruh rasa
hormat sama sekali.
"Kaulah yang salah mengerti!" balas Pen-
gantar Tamu. "Aku bukan orang geblek seperti
yang kau kira! Matilah kau!"
Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh
ke kiri ketika Pengantar Tamu menerjang dengan
pukulan dan tendangan beruntun. Pertempuran
sengit pun tak bisa dihindari lagi. Pengantar Ta-
mu terus mencecar Pengemis Binal dengan seran-
gan-serangan mematikan. Sementara, Pengemis
Binal yang tahu bila Pengantar Tamu salah tu-
duh, tak mau meladeni dengan sungguh-
sungguh. Tapi melihat sikap Pengantar Tamu
yang tak mau mendengar penjelasannya, terpaksa

Pengemis Binal memberi pelajaran. 
Selagi Pengantar Tamu berusaha menya-
rangkan tendangan ke kepala, cepat sekali tangan
kanan Pengemis Binal berkelebat. Pergelangan
kaki kanan Pengantar Tamu berhasil ditangkap.
Setelah dipeluntir beberapa saat, lalu dilempar-
kan! 
Brruuk...!
"Uh...!"
Pengantar Tamu jatuh terjerembab men-
cium tanah. Sewaktu dia mengaduh-aduh kesaki-
tan karena batang hidungnya penyok dan menge-
luarkan darah, Pengemis Binal tampak garuk-
garuk kepala.
"Maaf.... Terpaksa ini kulakukan agar kau
bisa berpikir lebih jernih...," ujar Suropati seraya
melangkah untuk mengambil perahu kulit kerbau
yang tergeletak di tanah. 
"Kau boleh menyentuh perahu itu, tapi
makan dulu hadiahku ini!" hardik Pengantar Ta-
mu.
Terpaksa Pengemis Binal mengurungkan
niatnya karena selarik sinar putih berkeredepan
meluruknya dari samping kiri. Pengemis Binal
yang sudah diliputi rasa jengkel, cepat membalik-
kan badan. Lalu, kedua tangannya mengibas ber-
samaan!
Wesss...!
Blarrr...!
Gelombang angin pukulan ciptaan Penge-
mis Binal mampu menahan pukulan jarak jauh
Pengantar Tamu. Selarik sinar putih tampak me-

lesat lurus ke atas, dan berubah menjadi perci-
kan-percikan api yang segera jatuh ke air telaga
yang dingin.
"Tahan!" seru Peramal Buntung waktu me-
lihat Pengantar Tamu tengah mengambil ancang-
ancang untuk menerjang Pengemis Binal lagi.
"Berdiamlah dulu di tempatmu, Pak Tua!
Tunggulah giliran untuk kupecahkan batok kepa-
lamu!" bentak Pengantar Tamu
"Hus! Cobalah kendalikan hawa amarah-
mu, Anak Muda! Aku melihat... aku melihat...,"
ucapan Peramal Buntung menggantung. "Bayang-
bayang nisan kubur di atas kepalamu makin je-
las. Jangan-jangan kau...."
"Tua bangka  buntung! Kaulah yang akan
dijemput ajal!" sela Pengantar Tamu seraya meng-
gedruk tanah.
Tiba-tiba, gumpalan tanah dan bebatuan
berhamburan, dan menyerbu Peramal Buntung.
Karena tak mau mati konyol, cepat Peramal Bun-
tung meloncat jauh. Sementara, Pengantar Tamu
langsung menerjang Pengemis Binal. Diam-diam
dia mengeluarkan batang bambu sepanjang se-
tengah jengkal dari balik bajunya. Batang bambu
itu disembunyikannya di bawah telapak tangan.
Namun, mata Pengemis Binal yang jeli dapat me-
lihatnya. Sambil melayani serangan, mata Penge-
mis Binal tak pernah lepas memperhatikan tela-
pak tangan kiri Pengantar Tamu yang menyem-
bunyikan batang bambu.
"Hmmm.... Pemuda ini hendak berbuat li-
cik. Tentu ada sesuatu di dalam batang bambu

yang dibawanya. Aku harus berhati-hati," kata
hati Suropati.
Selagi remaja tampan ini berkelit ke kiri
untuk menghindari tendangan yang mengarah
ulu hati, mendadak tangan kiri Pengantar Tamu
berkelebat. Gerakannya seperti orang menampar,
tapi dari dalam batang bambu yang tersembunyi
di bawah telapak tangan menyembur serbuk ha-
lus berwarna hitam!
"Racun Pembuta Mata!" seru Peramal Bun-
tung yang melihat kelicikan Pengantar Tamu.
Suropati yang sudah menyangka adanya
tipuan, cepat membuang tubuh sejauh mungkin
ke belakang. Namun sesungguhnya, Suropati te-
lah ter-makan tipuan Pengantar Tamu. Karena,
apa yang dilakukan Pengantar Tamu tadi hanya-
lah gerak awal dari rangkaian gerak tipu yang te-
lah disusunnya dengan matang. 
Begitu tubuh Suropati melenting jauh,
mendekati batang pohon di belakangnya, Pengan-
tar Tamu mengibaskan ujung lengan bajunya ke
atas.  Gelombang angin pukulan menggoyahkan
ranting-ranting pohon. Tak ayal lagi, daun-daun
rontok dan menebar ke tanah. Dan..., di luar du-
gaan Suropati. Bersamaan dengan rontoknya
daun, serbuk berwarna hitam pekat berhamburan
ke mana-mana. Agaknya, ranting dan dedaunan
itu telah dilumuri serbuk racun!   
"Tuan Muda...!" pekik Peramal Buntung
yang melihat Pengemis Binal yang terkurung di
dalam tebaran serbuk racun.
Namun sebelum kakek ini berbuat sesuatu

untuk memberi pertolongan, tiba-tiba terdengar
suara menggembor keras. Dari tempat Suropati
berada, memancar cahaya merah. Bagai tertiup
angin topan dari dalam, serbuk racun berhambu-
ran ke empat penjuru!
Melihat dirinya turut terancam, bergegas
Peramal Buntung berkelebat menjauh. Namun,
malang bagi Pengantar Tamu yang berdiri lebih
dekat dengan kedudukan Suropati. Dia sama se-
kali tak menyangka bila Suropati akan dapat
menghalau serbuan racun. Lagi pula, dia pun su-
dah merasa senang karena menganggap tipuan-
nya telah berhasil, hingga membuat kewaspa-
daannya berkurang. Akibatnya, senjata makan
tuan!
Pengantar Tamu menjerit-jerit ketika ser-
buk racun menerpa tubuhnya. Wajahnya lang-
sung menghitam karena di bagian itulah serbuk
racun menerpa lebih banyak. Sementara, salju
merah tipis tampak menempel di dada dan perut-
nya. Rupanya, Suropati telah menggunakan ilmu
pukulan 'Salju Merah' untuk menghalau serbuan
serbuk racun.
Dari kejauhan Pengemis Binal dan Peramal
Buntung bergidik ngeri melihat Pengantar Tamu
menjerit-jerit sambil mendekap wajah. Karena tak
mampu menahan sakit, pikiran Pengantar Tamu
jadi terganggu. Bagai orang gila, dia melonjak-
lonjak, lalu meloncat jauh.,..
Malang sekali! Loncatan Pengantar Tamu
tepat menuju ke tengah telaga. Terdengar jeritan
sangat panjang sewaktu  tubuh Pengantar Tamu

terisap masuk ke dasar telaga yang mempunyai
Tenaga Ganda Bumi.
Untuk sesaat timbul pusaran di tempat
Pengantar Tamu jatuh. Pengemis Binal dan Pe-
ramal Buntung menarik napas panjang. Mereka
sama-sama menyesali kematian Pengantar Tamu
yang hanya karena telah salah pengertian. Tapi
sesungguhnya, riwayat Pengantar Tamu memang
ditakdirkan hanya cukup sampai di situ. Ramalan
Peramal Buntung telah menjadi kenyataan! 
"Kita tak mungkin pergi jika tak ada salah
seorang penghuni Graha Kenikmatan yang berse-
dia mengantar...," desah Peramal Buntung kemu-
dian.
"Itu persoalan gampang. Tanpa bantuan
anak buah Bidadari Pulau Penyu pun kita tetap
akan dapat menyeberangi telaga dengan selamat,"
sahut Pengemis Binal. "Aku telah mengetahui
kunci pembuka jalannya."
"Dari mana Tuan Muda tahu? Apakah Bi-
dadari Pulau Penyu telah mengatakannya?"
"Tidak. Waktu naik perahu pemuda naas
tadi, aku melihat bila dia mengikuti tonggak-
tonggak yang sengaja ditancapkan di dasar tela-
ga."
"Bagaimana Tuan Muda bisa melihat? Air-
nya begitu keruh...."
"Aku punya ilmu tembus pandang yang
bernama 'Mata Awas'...," beri tahu Suropati se-
raya menghampiri perahu kulit kerbau.
Peramal Buntung diam, tapi dalam hatinya
mengakui ketinggian ilmu si Pengemis Binal. Di

bagian lain, api terus berkobar-kobar membakar
istana Bidadari Pulau Penyu. Para pemuda ber-
cawat berlari-lari membawa perahu kulit kerbau
untuk segera meninggalkan Pulau Penyu yang ki-
ni bukan lagi sebuah tempat tinggal menyenang-
kan bagi mereka.....

***

7

Usai menyeberangi telaga....
Mentari hampir tenggelam di peraduannya.
Senja akan segera datang untuk menyambut sang
dewi malam. Di bawah siraman cahaya sore hari
yang mulai remang-remang, Pengemis Binal tam-
pak menyeringai masam sambil memegangi perut-
nya. Berkali-kali mendesah dengan keringat din-
gin yang terus bercucuran.
"Kau kenapa, Tuan Muda?" tanya Peramal
Buntung, khawatir.
"Perutku melilit-lilit... Mual! Mau mun-
tah...," seru Suropati yang kelihatan sangat ter-
siksa.
"Jangan-jangan Tuan Muda telah menghi-
rup serbuk racun yang ditebarkan oleh Pengantar
Tamu tadi..."
"Tidak! Aku yakin, tak ada racun yang ma-
suk ke tubuhku. Tapi..., kenapa perutku terasa
bagai diaduk-aduk?"
"Sejak kapan Tuan Muda merasakannya?"

"Sejak aku minum cairan kuning yang te-
lah dicelupi Akar Kayangan. Uh! Benarkah cairan
yang kau berikan itu arak, Kek?"
Peramal Buntung diam. Teringat peristiwa
di istana Bidadari Pulau Penyu, mendadak kakek
berompi kuning ini tertawa, tapi cepat ditahannya
karena melihat Pengemis Binal yang terus mende-
sah-desah.
"Uh! Jawab pertanyaanku, Kek.... Sebenar-
nya cairan kuning yang kuminum itu apa? Aku
yakin, cairan itu bukan arak! Baunya tak sedap
dan... rasanya berlainan sekali…" keluh Suropati.
Sinar matanya memohon jawaban.    
Kening Peramal Buntung berkerut. Setelah
berpikir beberapa saat, kakek ini berkata, "Kau
pernah mendengar pepatah yang berbunyi: Tak
ada rotan, akar pun jadi, Tuan Muda?"
"Uh! Memangnya ada apa dengan pepatah
itu?!" sentak Pengemis Binal.
"Cairan yang kau minum memang bukan
arak, Tuan Muda..." 
"Lalu, apa?"  sentak Pengemis Binal lebih
keras. Hatinya mulai diliputi rasa curiga.
"Maafkan aku, Tuan Muda...," sesal Peram-
al Buntung dengan air muka keruh. "Di dalam is-
tana Bidadari Pulau Penyu, aku tak menemukan
arak. Tapi mengingat Tuan Muda yang harus se-
gera mendapat pertolongan, aku berusaha keras
untuk mendapatkan arak. Nah, waktu mencari-
cari itulah, aku tak dapat menahan keinginanku
untuk kencing. Dan kupikir..., tak ada arak, air
ken...."

"Jadi, cairan yang kuminum itu adalah....
Hoek...!"
Tumpah sudah semua isi perut Pengemis
Binal. Warna mukanya langsung berubah merah
padam. Sementara, Peramal Buntung malah ter-
senyum-senyum, lalu menepuk bahu Pengemis
Binal yang masih berusaha menguras isi perut-
nya.
"Jangan salah sangka, Tuan Muda. Mana
berani aku memberi Tuan Muda air kencing. Aku
kan cuma bercanda. He he he...."
"Uh! Sebal! Lalu, cairan kuning itu sebe-
narnya apa?!" sungut Suropati, berusaha mena-
han kemarahan.
Peramal Buntung menekuk pergelangan
kaki kanannya. Lalu, sambil membungkuk, jari-
jari kakinya mengambil sesuatu dari saku cela-
nanya. Gerakannya tampak lemas dan tak sedikit
pun mendapat kesulitan. Karena, sejak kecil dia
telah melatih kedua kakinya sedemikian rupa,
hingga dapat menggantikan kedua tangannya
yang buntung.
"Ini kunyit," beri tahu Peramal Buntung,
menunjukkan barang yang terjepit di jari-jari kaki
kanannya. "Sebenarnya, ke mana-mana aku sela-
lu membawa kunyit...."
"Hmmm.... Kau jangan mencari-cari alasan,
Kek! Kau telah mempermainkan aku. Oleh karena
itu, aku akan...." 
"Uts! Dengar dulu penjelasanku, Tuan Mu-
da," potong Peramal Buntung yang melihat Pen-
gemis Binal naik darah. "Cairan kuning yang

Tuan Muda minum adalah air putih biasa yang
telah kucampur dengan air perasan kunyit!"
"Sungguhkah itu?"
"Ya!" 
"Tapi, kenapa rasanya kok seperti...."  
"He he he.... Aku memeras kunyit dengan
jari-jari kaki, sementara tak ada waktu untuk
mencuci kaki terlebih dahulu..."
"Uh! Pantasan! Uk...! Uk..!"  
Pengemis Binal membungkuk seraya mem-
buka mulut lebar-lebar, namun tak ada lagi yang
dapat dimuntahkan karena isi perutnya telah ter-
kuras habis. Sementara, dari tengah-tengah Pu-
lau Penyu yang baru saja ditinggalkan oleh Pen-
gemis Binal dan Peramal Buntung, terus menge-
pulkan asap tebal. Agaknya, istana Bidadari Pu-
lau Penyu yang diberi nama Graha Kenikmatan
akan segera musnah termakan si jago merah.
Pengemis Binal dan Peramal Buntung ter-
kesiap ketika telinga mereka menangkap suara lo-
longan serigala. Semakin lama semakin terdengar
jelas. Hingga, memaksa Pengemis Binal dan Pe-
ramal Buntung untuk meningkatkan kewaspa-
daan.
"Aneh! Kenapa di sore hari seperti ini ada
serigala melolong? Dan tampaknya, serigala itu
tengah menuju kemari...," kata hati Suropati.
Remaja tampan yang sering berperilaku
konyol ini membelalakkan mata lebar-lebar ketika
melihat seekor anjing hitam yang tampak sangat
buas dan memiliki keanehan. Tubuh anjing itu
hampir sebesar kuda. Sambil berjalan, moncong-

nya terus mengeluarkan suara lolongan. Lebih
aneh lagi, di punggung anjing besar itu duduk
seorang wanita gemuk bundar mengenakan pa-
kaian serba putih. Rupa si wanita tak seberapa
sedap dipandang mata. Pipinya tembam, hidung-
nya  pesek, dan bibirnya tebal berwarna hitam,
serta berkepala gundul tanpa sehelai rambut pun! 
"Putri Impian...," desis Pengemis Binal.
"Tuan Muda kenal dengan wanita itu?"
tanya Peramal Buntung.
Suropati mengangguk. "Dia salah seorang
penghuni Istana Langit yang mempunyai kedudu-
kan sebagai Ratu Istana Dalam."
Peramal Buntung tak melanjutkan perta-
nyaannya karena langkah kaki anjing besar yang
membawa wanita gundul telah mendekat.
"Hus! Diamlah Sona Langit!" seru wanita
gundul yang memang Putri Impian atau Ratu Is-
tana Dalam. Lolongan anjing yang ditungganginya
langsung berhenti.
"Ratu...," sapa Pengemis Binal.
Putri Impian tersenyum ramah. Tanpa tu-
run dari hewan tunggangannya yang bernama
Sona Langit, dia, berkata, "Sengaja aku datang
menemuimu, Tuan Muda. Karena, ada sesuatu
yang hendak kusampaikan...."
Bola mata Putri Impian bergerak ke kiri,
melirik ke arah Peramal Buntung. Pengemis Binal
dapat menangkap isyarat itu. Dengan badan sedi-
kit  dibungkukkan, Pengemis Binal berkata, "Ka-
kek ini adalah Peramal Buntung. Dia sahabat
baikku di Negeri Pasir Luhur ini."

"Oh! Syukurlah kalau dia memang sahabat
baik Tuan Suropati. Hingga, bolehlah dia turut
mendengar apa yang akan kusampaikan kepada-
mu, Tuan Muda Suropati...," sahut Putri Impian
yang tampaknya sangat berhati-hati.
"Bila memang keberadaanku hanya akan
mengganggu, aku yang buruk rupa ini memang
harus tahu diri...," sahut Peramal Buntung.
"Jangan! Kau jangan pergi, Pak Tua!" cegah
Putri  Impian waktu melihat Peramal Buntung
hendak meninggalkan tempat. "Tuan Suropati te-
lah mengatakan bila kau adalah sahabatnya. Be-
rarti, kita berada di pihak yang sama."
Usai berkata, Putri Impian menatap wajah
Suropati. Sementara, Peramal Buntung pun tak
jadi meninggalkan tempat.
"Tuan Suropati...," sebut Putri Impian.
"Masih ingatkan Tuan kepada kesanggupan Tuan
untuk membantu mengatasi kemelut di Istana
Langit?"
"Tentu saja aku masih ingat, Aku tak
mungkin melupakan janji yang pernah kuu-
capkan," sahut Pengemis Binal. 
Putri Impian tersenyum. Setelah menarik
napas panjang, dia berkata, "Saat ini, semua
penghuni Istana Langit telah kuungsikan di suatu
tempat yang aman. Mereka tak mungkin tinggal
terus di Istana Langit karena bahaya selalu da-
tang dari utusan Siluman Ragakaca yang memin-
ta gadis persembahan setiap hari...." 
"Lalu?" desak Suropati.
"Dari tempat persembunyian para penghu-

ni Istana Langit, diam-diam aku melakukan pe-
nyelidikan. Kekuatan gaib yang membentengi Pe-
sanggrahan Pelangi dapat ditembus oleh seseo-
rang yang mempunyai darah raja...."    
"Apa hubungannya dengan diriku?"
"Tuan Suropati jangan terlalu merendah.
Aku tahu bila Tuan Suropati adalah putra Prabu
Singgalang Manjunjung Langit..."
Terkejut Pengemis Binal mendengar kata-
kata Putri Impian. Jatidirinya telah ketahuan wa-
lau dia tak pernah mengatakan kepada siapa pun.
Yang tahu dirinya putra Prabu Singgalang Man-
junjung Langit hanyalah orang-orang tertentu
yang mempunyai jabatan tinggi di Negeri Pasir
Luhur.
Peramal Buntung terkejut pula. Tak pernah
dia sangka bila Suropati yang selalu mengenakan
pakaian putih penuh tambalan itu adalah putra
seorang raja. Tapi di balik keterkejutannya, segera
timbul rasa bangga dan berbesar hati. Tak salah
bila dirinya bersedia menjadi budak pengiring pu-
tra Prabu Singgalang Manjunjung Langit, raja Pa-
sir Luhur, penguasa negeri tempatnya berpijak
sekarang ini.
"Dari mana Ratu tahu kalau aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung Langit?" tanya
Pengemis Binal, terbawa rasa penasaran.
"Kakakmu, Anggraini Sulistya, yang men-
gatakan...," jawab Putri Impian, kalem.
"Anggraini Sulistya?"
"Ya. Gadis yang telah  dipersunting oleh si
Pendekar Kipas Terbang Raka Maruta itulah yang

mengatakan kepadaku bahwa kau adalah putra
penguasa Negeri Pasir Luhur ini, Tuan Suropati.
Ketahuilah, aku yang rendah ini bisa dikatakan
sahabat baik Anggraini Sulistya yang bergelar Pu-
tri Cahaya Sakti."
Pengemis Binal mengangguk-angguk se-
raya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Terlepas dari semua itu," lanjut Putri Im-
pian, "Aku mengharap dengan sepenuh hati agar
Tuan Suropati bersedia pergi ke Pesanggrahan Pe-
langi sekarang juga. Ambillah sebuah benda pu-
saka berupa Kodok Emas. Karena, di situlah letak
kelemahan Siluman Ragakaca."
Pengemis Binal menggaruk kepalanya ma-
kin keras. "Aku ke Pesanggrahan Pelangi? Seka-
rang?" tanyanya, ketolol-tololan.
"Ya. Selagi ada kesempatan bagus. Saat ini,
Siluman Ragakaca telah memerintahkan orang-
orangnya untuk menjalankan tugas masing-
masing...." 
"Tapi, bagaimana caraku untuk dapat pergi
ke sana, sementara letaknya saja aku tak tahu?"
"Lho, bukankah Tuan Suropati membawa
Mustika Batu Merpati? Dengan batu mustika itu,
Tuan Suropati dapat pergi ke mana saja."
Plok! Plok!
Mendadak, Suropati menggaplok kepalanya
sendiri dua kali. "Bebal benar otakku ini! Kenapa
aku jadi sangat pelupa begini?!" rutuknya kepada
diri sendiri karena teringat Mustika Batu Merpati
yang lupa dimintanya kembali dari tangan Bida-
dari Pulau Penyu.

Melihat perbuatan Pengemis Binal yang
tampak konyol, Putri Impian mengerutkan ken-
ing. "Ada apa, Tuan Suropati? Apakah Mustika
Batu Merpati hilang?"
Karena merasa bersalah, Suropati tak be-
rani membalas tatapan Putri Impian. Dengan sua-
ra berat dan bergetar, dia berkata, "Batu ajaib
pemberian Ratu itu tidak hilang, hanya saja...."
"Hanya saja apa?" desak Putri Impian yang
mulai digeluti rasa khawatir. Bagaimana tidak?
Mustika Batu Merpati adalah sarana satu-
satunya untuk dapat menembus Pesanggrahan
Pelangi. Kalau sampai batu ajaib itu hilang, maka
sampai kapan pun kemelut di Istana Langit tak
akan dapat diatasi. Dan, Siluman Ragakaca pun
akan seterusnya mengumbar nafsu jahat. 
"Sekarang ini, Mustika Batu Merpati diba-
wa oleh Bidadari Pulau Penyu," beri tahu Penge-
mis Binal kemudian.
Putri  Impian  melonjak kaget bagai disam-
bar geledak di siang bolong. Tanpa sadar dia me-
loncat dari punggung Sona Langit. "Bidadari Pu-
lau Penyu...," desisnya, setengah tak percaya. Pu-
tri Impian tahu, benar bila Bidadari Pulau Penyu
adalah salah seorang dari kaki-tangan Siluman
Ragakaca yang dipercaya untuk menduduki jaba-
tan sebagai Duta Selatan.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Ratu,"
ujar Pengemis Binal yang dapat menebak isi hati
Putri Impian. "Aku juga tahu bila Bidadari Pulau
Penyu punya kebiasaan dan perangai tak terpuji.
Tapi aku yakin..., sejahat-jahatnya Bidadari Pulau

Penyu, dia tak memiliki nafsu rendah untuk me-
miliki Mustika Batu Merpati."
"Bagaimana Tuan Suropati bisa berkata
seperti itu?" tanya Putri Impian, menyelidik.
Pengemis Binal menarik napas panjang, la-
lu menceritakan peristiwa hilangnya Mustika Ba-
tu Merpati di tempat kediaman  Sepasang Racun
Api.  (Baca dalam episode: "Sepasang Racun Api").
Tak lupa, Pengemis Binal juga menceritakan pe-
ristiwa di Graha Kenikmatan termasuk kedatan-
gan Iblis Mata Satu di istana milik Bidadari Pulau
Penyu itu. 
Putri Impian mendengarkan cerita Suropati
dengan kening berkerut rapat. Peramal Buntung
turut mendengarkan tanpa ada satu kata pun
yang lepas dari pendengarannya. Peramal Bun-
tung jadi tahu kenapa si Pengemis Binal Suropati
mengajaknya mencari Bidadari Pulau Penyu. Ki-
ranya, Suropati hendak meminta Mustika Batu
Merpati yang dilarikan wanita bertubuh sintal itu.
"Walau Iblis Mata Satu telah membakar
Graha Kenikmatan, tapi aku yakin bila Bidadari
Pulau Penyu akan dapat menyelamatkan diri. Ka-
lau sudah sampai waktunya, dia pasti mencariku
untuk mengembalikan Mustika Batu Merpati,"
ujar Pengemis Binal, menutup ceritanya.
"Tidak!" kepala Putri Impian menggeleng-
geleng. Air mukanya terlihat amat keruh. Semen-
tara, anjing besar tunggangannya, Sona Langit,
melolong panjang. Satwa berbulu hitam pekat itu
seakan dapat merasakan kegundahan hati tuan-
nya,

"Apanya yang tidak, Ratu?" tanya Pengemis
Binal, tak mengerti,
"Jalan pikiranmu terlalu sederhana Tuan
Suropati...," ujar Putri Impian, tanpa maksud me-
remehkan Pengemis Binal. 
"Maksud Ratu?"
"Aku menduga bila apa yang dilakukan Bi-
dadari Pulau Penyu hanyalah tipu muslihat bela-
ka. Dia pura-pura hendak menentang Siluman
Ragakaca, padahal dia tengah menjalankan se-
buah siasat yang sangat licik!"
"Aku tak mengerti apa yang Ratu kata-
kan...."
"Iblis Mata Satu datang dan membakar
Graha Kenikmatan adalah sudah satu dari renca-
na yang telah disusun oleh wanita bejat itu! Kalau
dia tidak punya akal bulus, kenapa Mustika Batu
Merpati tidak langsung diserahkan kepadamu,
Tuan Suropati?"
"Sudah kukatakan bila Bidadari Pulau
Penyu melarikan Mustika Batu Merpati adalah
sebagai usaha agar aku bersedia membantunya
untuk melawan Siluman Ragakaca."
"Tak masuk akal!" seru Putri Impian, pe-
nuh keyakinan. "Kalau dia bermaksud meminta
bantuanmu, kenapa dia tidak langsung mengata-
kannya? Kenapa mesti melakukan tindakan licik,
melarikan Mustika Batu Merpati untuk memanc-
ing kedatanganmu ke Pulau Penyu? Kenapa pula
dia mesti meracunimu? Padahal, jika dia lang-
sung mengatakan keinginannya, bukankah kau
pasti akan menyetujui, Tuan Suropati? Lagi pula,

Bidadari Pulau Penyu telah tahu bila Tuan Suro-
pati telah membunuh Sepasang Racun Api yang
tak lain kaki-tangan Siluman Ragakaca juga. Dia
pasti telah diberi tahu oleh Siluman Ragakaca bila
Tuan Suropati berpihak pada Istana Langit dan
memusuhi Pesanggrahan Pelangi. Dengan kedua
alasan itu, kenapa Bidadari Pulau Penyu mesti
memancing kedatangan Tuan Suropati ke Pulau
Penyu untuk sekadar menyampaikan sebuah
keinginan yang pasti Tuan Suropati setujui?"
Pengemis Binal diam membisu. Mendengar
penjelasan Putri Impian yang begitu panjang, re-
maja tampan ini semakin menyadari kesalahan-
nya. Tapi, hatinya masih diliputi tanda tanya ju-
ga. Benarkah Bidadari Pulau Penyu telah meni-
punya? Dan, apa maksud wanita itu sebenarnya?
Kenapa dia merelakan istananya dibakar habis
oleh Iblis Mata Satu?
Selagi Pengemis Binal larut dalam pikiran
di benaknya, Putri Impian meloncat ke punggung
Sona Langit. 
"Karena kesalahan ini tidak Tuan Suropati
sengaja, aku bisa memaklumi. Sekarang, aku
mohon diri. Aku harus mencari Bidadari Pulau
Penyu. Aku harus mendapatkan kembali Mustika
Batu Merpati. Kemelut di Istana Langit harus se-
gera diatasi. Ratu Tertinggi tidak boleh terlalu la-
ma berada dalam sekapan Siluman Ragakaca ke-
parat!"
Usai  mengucapkan  kalimat yang cukup
panjang, Putri Impian menepuk leher Sona Lan-
git. Anjing besar itu langsung melolong tinggi se-

raya menggeprak kaki untuk kemudian berkele-
bat lenyap.

* * *

Sementara, mentari telah tenggelam di kaki
langit barat. Senja pun telah pergi digantikan ge-
lap malam. Untunglah rembulan mampu membe-
rikan cahaya temaram, hingga gelap tak begitu
berkuasa...
"Suropati keparat! Hari ini kau akan segera
menerima kematianmu!"
Terdengar sebuah teriakan keras mengge-
legar. 
Pengemis Binal dan Peramal Buntung ter-
kejut tiada terkira. Ketika mengarahkan pandan-
gan ke asal suara, di bawah keremangan malam,
mereka melihat seorang kakek berjubah merah
tengah berdiri menantang dengan dengus napas
memburu.
"Raja Angin Barat...!" desis Pengemis Binal
dan Peramal Buntung bersamaan.
"Ya! Aku memang Raja Angin Barat!" sahut
kakek berjubah merah. "Kau minggirlah, Peramal
Buntung! Aku akan menyelesaikan urusanku
dengan bocah gemblung ini!"
"Sahabatku Raja Angin Barat...," sebut Pe-
ramal Buntung, merendah. "Ada apakah gerangan
hingga kau datang membawa luapan amarah se-
perti ini?" 
"Aku tak butuh bertutur kata denganmu!"
bentak kakek berjubah merah yang memang Raja

Angin Barat. "Memandang mukamu sebagai tokoh
tua yang pernah menjalin persahabatan dengan-
ku, aku sarankan agar kau menyingkir secepat-
nya!"
Peramal Buntung geleng-geleng kepala
mendengar ucapan kasar Raja Angin Barat. Se-
mentara, jantung Pengemis Binal berdegup lebih
kencang terbawa suasana hatinya yang tegang.
Pengemis Binal ingat cerita Bidadari Pulau Penyu.
Putri Raja Angin Barat yang bernama Narita bera-
da dalam sekapan Siluman Ragakaca. Dan demi
keselamatan Narita, Raja Angin Barat harus me-
nuruti kemauan penguasa Pesanggrahan Pelangi
itu. Pengemis Binal sadar bila kedatangan Raja
Angin Barat tentu untuk membunuhnya!
"Hmmm... Jika kau merasa sebagai tokoh
tua yang tentunya lebih malang pengalaman, se-
harusnya kau dapat menahan diri, sahabatku Ra-
ja Angin Barat...," ujar Peramal Buntung. "Aku
yakin, hati yang tidak terbakar hawa amarah dan
pikiran yang jernih akan dapat menyelesaikan
persoalan."
"Kau keliru, Peramal Buntung!" sahut Raja
Angin Barat, suaranya tetap keras membentak.
"Persoalanku dengan Suropati tidak cukup hanya
dipikirkan saja. Tindakanlah yang diperlukan.
Dan, persoalan itu akan selesai setelah Suropati
menyerahkan nyawanya!"
"Tahan amarahmu dulu!" cegah Peramal
Buntung waktu melihat Raja Angin Barat bersiap
diri untuk mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang
terdahsyat.

"Aku tak butuh kata-kata darimu! Kalau
kau tidak mau terkena getahnya, segeralah me-
nyingkir!" usir Raja Angin Barat.
"Pak Tua..., kau boleh membunuhku kalau
memang aku salah," sahut Pengemis Binal. "Tapi,
tidakkah kau berpikir dulu bila tindakanmu ini
hanya akan membuat Siluman Ragakaca berpesta
kemenangan? Apakah kau yakin setelah berhasil
membunuhku, Narita akan dibebaskan oleh Si-
luman Ragakaca? Apakah kau tidak merasa telah
menjadi alat untuk melakukan tindak kejahatan,
Pak Tua?" 
Mendengar kalimat Pengemis Binal, Raja
Angin Barat kontan terdiam. Keraguan meliputi
hatinya. Bagaimanapun, Siluman Ragakaca ada-
lah tokoh jahat yang sulit dipegang kata-katanya.
Andai Suropati telah terbunuh, tak ada jaminan
bila Narita akan dibebaskan! 
"Narita...," desah Raja Angin Barat kemu-
dian. Parasnya mengelam. Hawa amarahnya sirna
berganti duka. "Narita...," desahnya lagi, menye-
but nama putri tinggalnya
Pengemis Binal dan Peramal Buntung sa-
ma-sama menarik napas panjang. Mereka tahu
bila Raja Angin Barat menyimpan beban batin
yang amat berat, Mereka ingin membantu merin-
gankan beban batin itu, tapi bagaimana caranya?
Haruskah menunggu sampai Sang Penguasa
Tunggal menunjukkan jalan terang?
"Uh! Aku bisa gila memikirkan rentetan
masalah yang tak pernah ada habisnya ini!" sun-
gut Suropati sambil menggaplok kepalanya sendi-

ri beberapa kali.


SELESAI



Segera menyusul episode:
RAHASIA SILUMAN RAGAKACA




txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com