Pengemis Binal 21 - Muslihat Cinta Sang Pangeran(3)





Dua hari lamanya Arumsari melangkah

tanpa tujuan pasti. Dia tak tahu harus berbuat

apa untuk membalas kematian Dewi Ikata. Dia

merasa dirinya amat kecil dan bodoh sekali kare-

na dengan mudah dipecundangi Pangeran Sadis.

"Keparat kau, Setan Laknat!" umpat nenek bergelar Dewi Tangan Api itu. "Kalau berjumpa lagi, aku akan mengadu jiwa denganmu!"

Hati Arumsari dipenuhi rasa sedih menda-

lam. Sedih bercampur luapan amarah akibat

dendam yang bertumpuk-tumpuk. Langkah ne-

nek berpakaian serba ungu itu terlihat gontai.

Kedua tangannya yang terluka telah dibalut den-

gan selendang merah.

Ketika hendak memasuki keramaian kota

Ngadiluwih, mendadak sebuah teriakan menghen-

tikan langkahnya.

"Arum...! Arum...!"

Dewi Tangan Api menoleh ke belakang. Ter-

lihat olehnya seorang kakek berpakaian putih

longgar tengah berlari-lari. Kening Dewi Tangan

Api kontan berkerut setelah mengenali siapa ka-

kek itu.

"Kenapa kau mengikutiku, Banjaranpati?!"

bentak Arumsari, tak suka melihat kedatangan

Bayangan Putih Dari Selatan.
"Aku mengkhawatirkan keadaanmu,

Arum," ujar Banjaranpati di sela-sela dengus napasnya.

"Mengkhawatirkan keadaanku? Ha ha

ha...! Kau ini aneh, Banjaranpati. Sejak kapan

kau bersikap begitu bersahabat?"

"Sejak kita bicara di pertapaanmu. Aku te-

lah menawarkan untuk mengikat lagi tali persa-

habatan. Oleh karenanya, aku tak bisa melihatmu

pergi dalam keadaan terluka dan menyimpan rasa

sedih di hati."

"Terima kasih. Terima kasih. Kata-katamu

membuatku terharu, Banjaranpati. Jangan

mengkhawatirkan keadaanku. Luka di tanganku

sudah tak terasa sakit lagi. Esok hari tentu akan kembali seperti sediakala."

"Jangan berdusta, Arum. Luka yang kita

derita sama parah. Sekujur tubuhku masih terasa

sakit. Kedua tanganku sama sekali tak bisa dige-

rakkan."

Arumsari terdiam. Dia mengakui kebena-

ran ucapan Banjaranpati. Sekujur tubuhnya juga

terasa sakit. Kedua tangannya juga tak dapat di-

gerakkan.

"Agaknya, kita harus menemui si Wajah

Merah di Bukit Rawangun, Arum...," cetus Banjaranpati, dapat memastikan bila Arumsari juga

merasakan apa yang dirasakannya.





Belum sempat Dewi Tangan Api memberi

jawaban, mendadak sesosok bayangan berkelebat

"Tak perlu!"

Banjaranpati dan Arumsari terkesiap meli-

hat kehadiran seorang pemuda tampan berambut

hitam tergerai. Tubuh pemuda itu tinggi tegap,

terbungkus pakaian sederhana berwarna coklat

dengan garis-garis hitam.

"Aku yang bodoh ini bernama Saka Pur-

dianta. Orang-orang di Kerajaan Pasir Luhur bi-

asa menyebutku sebagai Dewa Guntur...," kenal si pemuda seraya membungkuk hormat

"Dewa Guntur...," desis Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.

Kedua tokoh tua itu tambah terkesiap. Me-

reka pernah mendengar kabar bila Dewa Guntur

adalah seorang pemuda jahat yang berilmu tinggi.

Dia pernah melukai Suropati dengan Jarum Mati

Sekejap. Apakah kehadiran pemuda jahat itu

hendak menanam benih permusuhan terhadap

mereka?

"Kalian berdua tak perlu berprasangka bu-

ruk. Dewa Guntur memang pernah tersesat dan

melakukan banyak kejahatan. Namun, apakah

orang jahat akan senantiasa berbuat jahat?"

"Kalau begitu, apa maksud kedatanganmu

itu, Anak Muda?" selidik Bayangan Putih Dari Selatan. Saka Purdianta mengulum senyum tipis.

Diperhatikannya kedua tangan Banjaranpati yang

kulitnya tampak berlubang-lubang. Lalu, katanya,





"Menilik luka di kedua tanganmu, tampaknya kau terkena penerapan ilmu 'Dewa Suci Meminta Darah', Kek."

Putra mendiang Tumenggung Sangga Per-

cona itu mengalihkan pandangan ke Arumsari, la-

lu melanjutkan kalimatnya, "Ada lubang kecil di kedua pelipismu. Nek. Sama dengan sahabat

baikmu yang bergelar Bayangan Putih Dari Sela-

tan itu. Walau kedua tanganmu terbalut, tapi aku bisa memastikan bila lukanya juga sama dengan

Kakek Bayangan Putih Dari Selatan."

Banjaranpati dan Arumsari kagum men-

dengar tebakan Saka Purdianta. Kalimatnya yang

terucap halus dan sopan menghilangkan pra-

sangka buruk di benak kedua tokoh tua itu.

"Aku yang bodoh ini pernah mendengar

kebesaran nama si Wajah Merah, seorang tabib

pandai yang berdiam di Bukit Rawangun. Namun

untuk menyembuhkan luka-luka kalian, tak perlu

bersusah-payah datang ke sana," lanjut Saka Purdianta. '"Dewa Suci Meminta Darah' adalah ilmu memasukkan racun melalui hembusan angin. Kalau racun itu hilang, maka kalian akan

kembali sehat seperti sediakala."

"Kau begitu lancar menjelaskan. Agaknya,

kau seorang pemuda yang berwawasan luas dan

cukup matang pengalaman. Aku jadi penasaran.

Apakah kau juga dapat menyembuhkan luka-luka

yang kami derita ini?" ujar Banjaranpati tanpa menaruh sak wasangka sedikit pun. Hatinya

mengatakan bahwa kehadiran Saka Purdianta





memang tak hendak membuat permusuhan.

Mendengar pertanyaan Bayangan Putih

Dari Selatan, Saka Purdianta mengulum senyum

tipis lagi. Setelah membungkuk hormat, dia ber-

kata, "Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan, Kek. Akan kucoba memberikan pertolongan...." Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta melangkah maju dua tindak. Banjaranpati dan

Arumsari menatap tanpa berkedip. Saka Purdian-

ta mengeluarkan obat berupa serbuk yang ter-

simpan dalam lipatan kertas. Obat itu lalu dis-

odorkannya pada Banjaranpati.

"Apa ini?" tanya Bayangan Putih Dari Selatan, ragu-ragu.

'"Puyer Pemusnah Racun'," beri tahu Saka Purdianta. "Setelah kau telan, aku akan memberikan totokan di beberapa jalan darahmu, Kek."

Banjaranpati mengamati serbuk halus

berwarna putih bersih yang berada di tangannya.

Setelah mencium dan menjilatnya sedikit, dia jadi yakin bila serbuk pemberian Saka Purdianta itu

bukan racun.

"Hati-hatilah, Banjaranpati...," Arumsari memperingatkan.

"Aku memang orang jahat. Nek. Tapi, aku

tak akan membunuh orang dengan cara licik se-

perti ini...," sahut Saka Purdianta dengan lembut dan sopan, agar tak menyinggung perasaan

Arumsari yang punya watak keras dan mudah

tersinggung.





Bayangan Putih Dari Selatan menatap seki-

las wajah Arumsari. Lalu, katanya kepada Saka

Purdianta, "Sungguhkah kau ingin menolong?"

Dewa Guntur membungkuk hormat. "Biar

bumi menelanku dan langit menimpaku bila aku

hendak berbuat jahat kepadamu, Kek...."

"Baik. Aku percaya kepadamu."

Usai berkata, Banjaranpati memasukkan

serbuk halus putih ke mulutnya. Segera matanya

menjadi mendelik dan mulutnya mendesis-desis

karena serbuk itu amat pahit.

"Kendorkan urat-uratmu, Kek," pinta Saka Purdianta.

Banjaranpati mengumpulkan seluruh ke-

kuatan tenaga dalamnya ke pusar. Setelah mena-

rik napas panjang dua kali, dia merasa tubuhnya

sangat ringan. Pada saat itulah Saka Purdianta

memberikan beberapa totokan di jalan darahnya.

Dua totokan di dada kiri. Empat totokan di pang-

kal lengan. Setelah itu, Saka Purdianta menceng-

keram erat kedua lengan Banjaranpati. Lalu, di-

urutnya dari atas ke bawah.

"Pertolongan telah usai," ujar Dewa Guntur sambil membungkuk hormat.

Bola mata Banjaranpati tampak membesar

melihat kedua lengannya yang kembali mengu-

curkan darah. Tapi, darah itu kini tidak lagi kehitaman. Merah sehat, menunjukkan bila racun da-

lam tubuhnya telah lenyap.

"Alirkan tenaga dalam ke tanganmu, Kek.

Jangan biarkan darahmu keluar terlalu banyak,"





ujar Dewa Guntur.

Segera Banjaranpati melaksanakan petun-

juk pemuda tampan itu. Begitu cairan darahnya

berhenti mengucur, kedua lengannya langsung

terasa ringan. Dan, tersenyum giranglah dia. Ke-

dua lengannya dapat digerakkan-gerakkan sesuka

hati. Dewi Tangan Api menatap Banjaranpati

dan Saka Purdianta bergantian. Menyesal dia ka-

rena telah menaruh kecurigaan yang berlebihan

kepada Dewa Guntur.

"Bila kau juga menaruh kepercayaan kepa-

daku, akan kucoba pula untuk menyembuhkan

luka-lukamu. Nek...," ujar Saka Purdianta, sopan, dan merendah.

Kening Arumsari berkerut tajam. Dia tak

tahu bagaimana harus menjawab. Untunglah

Banjaranpati mengetahui isi hati nenek itu. Cepat dia sahuti ucapan Saka Purdianta.

"Untuk melakukan kebaikan, tak perlu ber-

tanya dulu, Saka. Segeralah kau sembuhkan pula

luka Arumsari...."

"Baiklah, Kek...."

Hati-hati sekali Dewa Guntur membuka

balutan di kedua lengan Dewi Tangan Api. Melihat raut wajah Dewi Tangan Api yang masih saja

tampak ketus, Banjaranpati tersenyum. "Dasar keras kepala!" rutuknya dalam hati.

Tak lama kemudian, Saka Purdianta telah

selesai melakukan pengobatan terhadap Arumsa-

ri. Namun, raut muka nenek itu sama sekali tak





berubah. Tetap kaku-membesi walau luka-

lukanya berhasil disembuhkan oleh Saka Pur-

dianta. "Lubang-lubang di kedua lengan kalian akan menutup dua hari kemudian," beri tahu

Dewa Guntur.

"Terima kasih atas budi baikmu ini," ujar Arumsari dengan suara berat. "Kau begitu paham tentang ilmu 'Dewa Suci Meminta Darah', aku

menduga kau punya ilmu itu. Menilik dari cara-

mu menjelaskan dan begitu lancarnya kau mem-

beri pengobatan...."

Mendengar kalimat Dewi Tangan Api yang

bermakna curiga, Saka Purdianta tersenyum ti-

pis. Lalu, membungkuk hormat. "Aku yang bodoh ini kebetulan mengenal ilmu itu. Guruku pernah

memberi penjelasan. Dan kalau aku dapat mem-

beri pengobatan, kukira itu karena kebesaran

Yang Kuasa. Kebetulan juga, guruku telah menga-

jarkan ilmu pengobatan."

Arumsari terdiam mendengar penuturan

Dewa Guntur. Setelah berpikir sejenak, dia men-

gajukan pertanyaan. "Kenalkah kau dengan seorang pemuda tampan bergelar Pangeran Sadis?"

"Pangeran Sadis?" Dewa Guntur tampak

terkejut. "Sebuah julukan yang cukup menyeramkan.... Apakah kau pernah berurusan den-

gannya. Nek?" Dewa Guntur tidak menjawab, malah balik bertanya.

"Hmmm.... Agaknya, kau merasa berat un-

tuk menjawab. Kau pasti punya hubungan den-





gan Setan Laknat itu!" dengus Arumsari.

"Mukamu merah-padam. Nek. Dengus na-

pasmu menandakan bila kau tengah menahan

hawa amarah. Yang melukaimu dengan ilmu

'Dewa Suci Memintah Darah' pastilah orang yang

kau sebut sebagai Pangeran Sadis itu," tebak De-wa Guntur.

"Sengaja dia mempermainkan aku. Setelah

membunuh Dewi Ikata muridku, dia mencoreng-

moreng mukaku! Keparat! Haram jadah!" tanpa sadar, Dewi Tangan mengumpat-umpat.

Dewa Guntur tersurut mundur setindak.

Dipandanginya wajah Arumsari yang kaku-

membesi dengan bola mata melotot lebar. Dewa

Guntur terkejut waktu nenek itu membentak lagi.

"Kuucapkan terima kasih sekali lagi atas

pertolonganmu. Tapi, kau harus menjawab perta-

nyaanku tadi!"

"Pertanyaan apa, Nek?" tanya Saka Pur-

dianta dengan wajah sedikit memucat.

"Jangan berpura-pura! Kau pasti punya

hubungan dengan Pangeran Sadis!"

"Kalau ya, kenapa?"

Terperangah Dewi Tangan Api mendengar

jawaban Dewa Guntur. Hatinya yang panas se-

makin panas. Sesaat dia lupa bila pemuda tam-

pan itulah yang telah menyembuhkan lukanya.

"Bila benar kau punya hubungan dengan

Setan Laknat itu, menyesal aku menerima budi

baikmu...."

"Sudahlah, Arum...," tegur Bayangan Putih





Dari Selatan, menyela ucapan Arumsari.

Dewi Tangan Api menatap tajam wajah

Banjaranpati. "Kau tidak merasakan bagaimana sakitnya hati orang yang melihat muridnya mati

dibunuh dengan kejam!" bentaknya.

"Jangan keburu naik darah, Arum. Kau ha-

rus ingat bila yang kau hadapi bukan Pangeran

Sadis. Kalaupun Saka Purdianta punya hubun-

gan dengan Pangeran Sadis, apakah dia ikut me-

nanggung dosa-dosa tokoh jahat itu?"

Arumsari terdiam. Mulutnya terasa terkun-

ci. Ditatapnya wajah teduh Banjaranpati. Waktu

mengalihkan pandangan, terkejutlah dia. Saka

Purdianta telah lenyap dari tempatnya!

"Di mana dia?" tanya Dewi Tangan Api.

"Tentu saja dia pergi melihat kau hendak

memusuhinya," sahut Banjaranpati.

"Ke mana? Kenapa aku tak melihat keleba-

tan tubuhnya?"

"Aku pun tak melihat. Agaknya, dia memi-

liki ilmu meringankan tubuh yang amat hebat."

Sewaktu kedua tokoh tua itu mengedarkan

pandangan untuk mencari ke mana arah perginya

Saka Purdianta, mendadak di telinga mereka

menging suara yang dikirim dari jarak jauh.

"Bila kalian ingin tahu perihal Pangeran

Sadis, datanglah ke Sungai Bayangan besok saat

mentari berada tepat di atas kepala."

Banjaranpati dan Arumsari mengedarkan

pandangan lagi. Tapi, si pengirim suara tak dapat mereka temukan. Mereka lalu menarik napas





panjang bersamaan.... 6

Saka Purdianta membungkukkan badan di

mulut gua. Melihat bekas tapak-tapak kaki di lantai gua yang lembab, sorot matanya kontan berbi-

nar-binar. Dengan langkah ringan dia lalu mema-

suki lorong yang berkelok-kelok.

Sesampai di sebuah kamar yang bercahaya

remang-remang, Saka Purdianta menghentikan

langkah. Diamatinya tulang-belulang manusia

yang bertebaran di lantai. Dia lalu memungut dua lembar kertas lusuh yang terselip di antara tulang-belulang itu.

"Dua lembar kertas ini semula melekat. Bi-

la sekarang terpisah, pasti ada orang yang telah menyentuhnya...," kata hati Dewa Guntur. "Pasti Suropati telah memasuki tempat ini. Tapi menilik dari tapak-tapak kaki yang begitu banyak, dia tak datang seorang diri. Hmmm.... Rupanya, encer ju-ga otak orang itu. Suropati pun berhasil dikela-

buinya...."

Sewaktu Saka Purdianta tersenyum-

senyum seorang diri, mendadak salah satu dind-

ing kamar yang terbuat dari batu mengeluarkan

suara berderak-derak. Tampak kemudian, sebuah

lubang bundar bergaris tengah satu depa. Dari

dalam lubang itu, melesat sebuah bayangan, yang

kemudian mendarat di lempengan batu di pojok

kamar.





"Aku yang datang, Datuk," ujar Dewa Guntur seraya membungkuk dalam-dalam.

Di atas lempengan batu ternyata telah du-

duk bersila seorang kakek tua-renta berwujud

mengerikan. Rambutnya putih riap-riapan terjun-

tai panjang hingga menyentuh lantai kamar. Tu-

buhnya amat kurus, nyaris hanya berupa tulang

terbalut kulit tipis. Sementara, pakaian yang dikenakannya hanya berupa suwiran-suwiran kain

yang sudah tak pantas lagi disebut pakaian. Wa-

jah kakek itu tak dapat dikenali karena tertutup anak-anak rambutnya. Menilik dari keadaannya,

siapa lagi dia kalau bukan Datuk Risanwari, ayah kandung Gede Panjalu sesepuh Perkumpulan

Pengemis Tongkat Sakti.

"Untuk apa kau datang lagi ke tempat ini,

Saka?" terdengar sebuah pertanyaan, suaranya mirip rintihan orang sakit yang hampir dijemput

ajal. "Aku ingin membuktikan apakah benar Suropati telah datang ke tempat ini. Bagaimanapun

juga, rencana yang telah kususun ini tak boleh

gagal," sahut Dewa Guntur.

"Suropati memang telah datang. Dia datang

bersama seorang pemuda dekil yang berperangai

mirip orang gila," beri tahu Datuk Risanwari.

Saka Purdianta mengangguk-angguk.

"Apakah dia telah mengucap janji?" tanyanya.

"Ya. Semua telah berjalan sesuai rencana-

mu," jawab Datuk Risanwari. "Sekarang, pergilah.

Tak usah berlama-lama kau berada di tempat ini.





Aku hanya memberi bantuan. Bila ada akibat

yang tak kau inginkan, aku tak mau ikut campur.

Itu urusanmu sendiri. Dan harap kau ingat, ke-

baikan tak selamanya dibalas dengan kebaikan

pula." "Terima kasih, Datuk. Memang, tak ada gunanya lagi aku berlama-lama di tempat ini.

Dewa Guntur mohon diri...."

Usai membungkuk hormat tiga kali, Saka

Purdianta membalikkan badan. Lalu, dia keluar

kamar. Lorong-lorong lembab yang baru saja di-

lewati, kini dilewatinya lagi.

Sesampai di mulut gua, Saka Purdianta

berhenti sejenak. Diteriakannya sebuah kalimat

sambil membungkuk dalam.

"Terima kasih, Datuk. Tak hendak hati ini

membuat permusuhan dengan siapa pun. Kalau

maksud baik ini dibalas dengan tumpahan darah,

aku akan menerima dengan dada lapang. Mung-

kin itulah karma atas perbuatan jahatku di masa

lalu. Selamat tinggal, Datuk...."

Usai berkata, Saka Purdianta menjejak ta-

nah kuat-kuat. Tubuh pemuda tampan itu mele-

sat cepat melebihi lesatan anak panah yang lepas dari busur....





* * *

Pancaran sinar mentari panas menyengat.

Di atas permukaan tanah timbul bayang-bayang

hitam. Air tanah menguap. Hembusan angin tak





mampu menahannya. Hingga, keringat bercucu-

ran di sekujur tubuh Suropati dan Jatiwulung.

Rasa haus seperti mencekik kerongkongan.

Ketika hendak berteduh, mereka menden-

gar suara gemericik air. Berarti mereka telah dekat dengan aliran Sungai Bayangan. Maka, berso-

rak giranglah kedua anak manusia itu.

Pengemis Binal yang tak kuasa menahan

rasa hausnya segera berlari kencang. Matanya

bersinar-sinar melihat anak sungai berair bening.

Saking beningnya, dasar sungai sampai terlihat

jelas. Tanpa pikir panjang lagi, Pengemis Binal

menanggalkan baju dan celananya. Dan, mence-

burlah dia ke sungai kecil yang ternyata cukup

dalam itu.

Jatiwulung yang juga telah berada di tepi

aliran sungai hanya mencelupkan kedua tangan

dan kakinya. Karena sengatan hawa panas, dia

hendak membasuh muka. Tapi, niat itu segera

diurungkannya. Dia biarkan wajahnya tetap kotor

berdebu. Pemuda dekil itu lalu duduk di bawah

pohon besar yang akar-akarnya merambat ke da-

lam air Sebentar-sebentar dia melirik Suropati

yang tengah mandi sepuas-puasnya.

"Ough...! Goo...! Walah...!"

Mendadak, Suropati menjerit-jerit seraya

berenang cepat agar dapat segera menepi. Jatiwu-

lung bergidik ngeri melihat tubuh Suropati terbelit ular sebesar lengan manusia dewasa. Rupanya, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti

itu lupa bila Sungai Bayangan banyak dihuni





berbagai jenis ular.

Usaha Suropati untuk segera mencapai te-

pi sungai mendapat kesulitan. Karena, ular yang

membelit hendak menyeretnya ke kedalaman

sungai. Cepat Suropati menghalau rasa paniknya.

Dia biarkan tubuhnya terseret. Begitu kakinya

menginjak dasar sungai, segera kakinya menjejak.

Permukaan air sungai bergelombang besar ketika

tubuh remaja tampan itu melesat ke atas, lalu

mendarat di tepi sungai.

"Hih...!"

Pengemis Binal mencengkeram kepala ular

yang hendak mencaplok kepalanya. Mendadak,

belitan ular menguat. Akibatnya, tubuh Pengemis

Binal terguling ke permukaan tanah.

"Matilah kau...!"

Karena kesal dan menyimpan rasa ngeri,

Suropati mengalirkan seluruh kekuatan tenaga

dalamnya ke kedua tangannya. Hendak diremas-

nya kepala ular sampai remuk. Tapi......

"Tahan...!"

Terdengar sebuah bentakan keras. Benta-

kan itu begitu berpengaruh, hingga Suropati

mengurungkan niatnya untuk membunuh ular

yang tengah membelit tubuhnya.

Sementara, wajah Jatiwulung tampak me-

mucat. Tampaknya dia sangat mengkhawatirkan

keselamatan Suropati. Pemuda dekil itu terkesiap ketika mendengar tiupan seruling. Dia pun terkejut bercampur gembira melihat ular yang tengah

membelit Suropati tampak menggerakkan ekor-





nya, lalu melepaskan belitannya. Suropati mele-

pas cengkeramannya karena merasa ular itu su-

dah tak lagi membahayakan jiwanya.

"Maafkan perilaku buruk ular piaraanku

itu, Suro....," ujar seorang pemuda yang baru saja muncul.

Pemuda itu mengenakan pakaian yang ter-

buat dari kulit ular. Tubuhnya tegap-berisi, na-

mun berkulit kasar-bersisik. Kulit wajahnya juga bersisik. Matanya kecil. Berbibir monyong. Di jemari tangan kanannya terselip sebatang seruling

yang terbuat dari gading.

"Sawung Jenar...," sebut Pengemis Binal.

Remaja tampan itu menatap tak berkedip

sosok pemuda bersisik yang memang Sawung Je-

nar atau Iblis Selaksa Ular. Jatiwulung yang berdiri di bawah naungan pohon besar memekik li-

rih. Tak kuasa dia melihat Suropati yang berdiri tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya.

"Ular tadi hampir mencelakakan aku, Je-

nar. Untunglah kau datang cepat, hingga aku tak

sampai membunuhnya...," ujar Pengemis Binal.

Bibir monyong Sawung Jenar menyungging

senyum. Dengan ujung serulingnya, dia menud-

ing ke bagian tengah tubuh Suropati. Dan, sadar-

lah remaja tampan itu bila dirinya tengah berdiri polos. Segera Suropati menyambar pakaiannya

yang tergeletak di tepi sungai, lalu dikenakannya dengan tergesa-gesa. Sementara, Jatiwulung melangkah perlahan, menghampiri.





"Kau kenal dengan pemuda itu, Suro?" tanyanya, menunjuk Sawung Jenar yang berdiri tak

seberapa jauh dari hadapan Pengemis Binal.

"Tentu saja aku kenal. Sawung Jenar ada-

lah penguasa daerah di sekitar Sungai Bayangan

ini." Jatiwulung mengangguk-angguk. Sebenarnya dia telah tahu bila Suropati telah mengenal

Sawung Jenar. Maksud pertanyaannya tadi hanya

untuk menegaskan saja. Tokoh-tokoh yang berke-

cimpung di rimba persilatan, pasti mengenal atau paling tidak pernah mendengar nama Sawung Jenar yang berjuluk Iblis Selaksa Ular. Pemuda itu tak pernah ke luar dari daerah sekitar Sungai

Bayangan kalau tak ada urusan penting yang

menyangkut dirinya. Walau julukannya memakai

kata 'iblis', namun sesungguhnya dia berhati

baik. Hanya saja, dia amat benci pada orang yang mengganggu ular-ular piaraannya.

"Kau datang dengan seorang pemuda dekil,

yang dapat kupastikan memiliki ilmu kepandaian

cukup tinggi, tentu ada masalah yang tengah kau

hadapi, Suro," ujar Iblis Selaksa Ular. "Apakah kau sedang menanti kedatangan seseorang?"

"Tepat sekali dugaanmu, Jenar," sahut

Pengemis Binal. "Aku memang sedang menanti

kedatangan orang yang menyebut dirinya Pange-

ran Sadis. Dia seorang tokoh kejam yang telah

membunuh Dewi Ikata."

Terkejut Sawung Jenar mendengar penutu-

ran Pengemis Binal. "Dewi Ikata.... Putri tunggal





Adipati Danubraja itu?"

"Ya. Dia dibunuh dengan kejam oleh Pan-

geran Sadis. Bahkan, tokoh jahat itu juga melukai Banjaranpati dan Arumsari."

Sawung Jenar makin terkejut. Walau ma-

tanya membelalak, tapi masih saja terlihat sipit.

Tak dapat dia bayangkan sampai di mana kesak-

tian Pangeran Sadis. Banjaranpati dan Arumsari

adalah dua tokoh sakti yang sulit dicari tandingannya. Bagaimana mungkin Pangeran Sadis bisa

melukai kedua tokoh itu? Dan, begitu beraninya

dia membunuh Dewi Ikata putri seorang adipati.

"Aku turut berduka atas peristiwa itu...,"

desah Iblis Selaksa Ular. "Kau tentu sangat berduka, Suro. Aku tahu kau adalah kekasih Dewi

Ikata. Bila kau membutuhkan bantuanku, aku

bersedia menyumbangkan setiap tetes darah-

ku...." "Terima kasih, Jenar. Urusanku dengan Pangeran Sadis adalah urusan pribadi. Sama sekali tak ada sangkut-pautnya denganmu...."

"Tapi, aku tidak bisa berpangku tangan bi-

la melihat pertumpahan darah terjadi di Sungai

Bayangan ini," sela Sawung Jenar. "Bukan maksud hatiku mencampuri urusanmu. Namun, ter-

panggil hatiku mendengar berita yang begitu me-

nyedihkan."

Mendengar ucapan pemuda bersisik itu,

mendadak Jatiwulung mendengus. Ditudingnya

wajah Sawung Jenar seraya memasang wajah ke-

tus. "Lalu, apa yang akan kau lakukan, Setan





Muka Ular?!"

Berkerut kening Sawung Jenar melihat Ja-

tiwulung yang marah-marah. "Kau siapa? Aku tak kenal kau! Kenapa kau berkata kasar?! Tidakkah

kau tahu bila aku tak bermaksud buruk?!"

"Suropati tak butuh bantuanmu! Kau den-

gar sendiri kata-katanya!"

Mengelam paras Sawung Jenar mendengar

ucapan Jatiwulung yang menyiratkan rasa tak

senangnya. "Hmmm.... Selain kau berwajah kotor, ternyata hatimu kotor pula...," ujar Sawung Jenar, mencoba bersabar.

Sebelum Jatiwulung menyahuti, Pengemis

Binal mencekal lengan pemuda dekil ini. "Jangan buat masalah dengan Sawung Jenar. Ulahmu

hanya akan menambah urusan ini jadi makin ru-

wet," tegurnya.

"Aku tak suka dia memberi bantuan kepa-

damu, Suro!" ujar Jatiwulung, sungguh-sungguh.

"Kenapa?"

Jatiwulung terdiam. Tak dapat dia menja-

wab pertanyaan Suropati.

"Aku jadi menaruh curiga kepadamu, Wu-

lung...," ungkap Pengemis Binal. "Jangan-jangan kau bersekongkol dengan Pangeran Sadis...."

"Kalau ya, kau mau apa?!"

Terkejut tiada terkira Pengemis Binal. Dita-

tapnya wajah Jatiwulung dengan sinar mata be-

rapi-api. Sementara, Jatiwulung membalas tata-

pannya dengan sinar mata berapi-api pula.

"Kalau begitu gerak-gerikku...," tebak Su-





ropati. "Tidak kusangkal. Aku memang sedang mengawasi kau!" aku Jatiwulung dengan beraninya. Suropati mendengus gusar. "Siapa kau sebenarnya? Berterus teranglah sebelum kukirim

kau ke neraka!"

"Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak.

"Kalau sedang marah, wajahmu mirip kerbau di-tusuk pantatnya, Suro!"

"Setan alas!"

"Setan Jahanam! Tak tahu malu! Bila kau

terima uluran tangan Sawung Jenar, kaum rimba

persilatan akan menertawakanmu!"

"Siapa yang menerima uluran tangannya?!"

"O, jadi, kau menolak? Ha ha ha..,! Bagus!

Bagus! Urusan dengan Pangeran Sadis, memang

harus kau selesaikan sendiri!"

"Tanpa kau suruh pun, itu pasti kulaku-

kan! Tapi melihat ulahmu yang menyebalkan ini,

gatal tanganku untuk segera memotes kepalamu!"

"Silakan! Ha ha ha...! Silakan! Ha ha ha...!"

Jatiwulung tertawa terbahak-bahak sambil

mementangkan kedua tangannya lebar-lebar. Si-

kapnya seperti hendak menantang perkara. Maka,

menggeram keraslah Suropati. Cepat dia loloskan

tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya.

Lalu.... Wuttt...! Wuttt...!

"Aih...!"

Tongkat Suropati berkelebatan mengincar





batok kepala Jatiwulung. Namun, tubuh pemuda

dekil itu juga mampu berkelebat tak kalah cepat.

Hingga, hajaran tongkat Suropati senantiasa

membentur angin kosong belaka.

"Ayo! Ayo! Serang terus! Ha ha ha...! Aku

senang melihatmu marah-marah, Suro! Persis

monyet kebakaran ekor! Ha ha ha...!"

Semakin panas saja hati Pengemis Binal

mendengar ejekan Jatiwulung. Segera dia rubah

gerakan tongkatnya. Kali ini, dimainkannya jurus

'Tongkat Menghajar Maling'.

"Jangan menyesal bila kupesiangi tubuh-

mu, Anjing Kurap!"

Ujung tongkat Suropati menyambar-

nyambar, menimbulkan suara bergemuruh.

Daun-daun kering beterbangan ke angkasa. Me-

rasakan kehebatan serangan Pemimpin Perkum-

pulan Pengemis Tongkat Sakti itu, cepat Jatiwu-

lung mengimbanginya dengan memainkan jurus

tangan kosong yang disebut 'Ikan Terbang Melon-

tarkan Perahu'.

Wusss...! Wusss...!

"Haya...!"

Pengemis Binal terperangah. Jurus yang

dimainkannya buyar sesaat. Dia merasakan hem-

busan angin kencang setiap telapak tangan Jati-

wulung menyambar. Cepat dia lentingkan tubuh-

nya ke belakang ketika telapak tangan kiri Jati-

wulung menyambar dari samping.

"Uts..!"

Serangan Jatiwulung dapat dimentahkan.





Namun, dia tak dapat mendarat dengan sempur-

na karena hembusan angin yang muncul dari te-

lapak tangan kiri Jatiwulung membuatnya terjajar dua tindak.

Mengelamlah paras Pengemis Binal seketi-

ka. Heran tiada terkira dia. Sepertinya dia pernah mengenal jurus yang sedang dimainkan Jatiwulung itu.

'Tahan!" seru Suropati waktu melihat Jati-

wulung hendak memburunya.

"Hmmm.... Rupanya, kau berubah pikiran,

Suro. Apakah kau tidak jadi menyiangi tubuhku?"

cibir Jatiwulung sambil berdiri berkacak ping-

gang. "Itu akan tetap dilakukan. Aku tak suka melihat mulutmu yang ceriwis! Tapi katakan du-lu, siapa sebenarnya kau!"

"Ha ha ha...! Sudah kukatakan di awal per-

jumpaan kita, namaku Jatiwulung. Tapi kalau

kau mau mengganti namaku menjadi Bejo atau

Pamiin, terserah kau!"

Hampir saja meledak tawa Suropati men-

dengar kata-kata konyol Jatiwulung. Cepat dia

pasang wajah ketus. Dipelototinya Jatiwulung

yang juga memasang wajah ketus.

Seperti ingat akan sesuatu, cepat Jatiwu-

lung menutupi wajahnya dengan anak-anak ram-

butnya yang panjang tergerai. Ulahnya itu mem-

buat kening Suropati berkerut tajam. Sementara,

Sawung Jenar cuma menjadi penonton, tak tahu

apa yang harus dilakukannya.





"Hmmm.... Agaknya, kau memang sengaja

menyembunyikan jati dirimu. Jangan sebut Pen-

gemis Binal bila aku tak dapat memaksamu un-

tuk membuka mulut!" ancam Suropati.

"Hmmm.... Agaknya, rasa penasaran menu-

tupi akal sehatmu. Jangan sebut aku Jatiwulung

bila tak dapat menendang pantatmu!" balas Jatiwulung, menirukan nada ucapan Pengemis Binal.

"Mulutmu yang ceriwis hanya pantas dimi-

liki perempuan!"

"Aku memang per..., eh...." Jatiwulung menggeleng-gelengkan kepala sambil mendekap

mulut. Hampir saja dia kelepasan bicara. Semen-

tara, bibir Suropati tampak menyungging se-

nyum. Walau kata-kata Jatiwulung terucap tak

sampai selesai, tapi dia bisa menangkap mak-

nanya. "Perempuan murahan! Cepat katakan siapa dirimu! Haruskah kupenggal kepalamu seperti

Pangeran Sadis memenggal kepala Dewi Ikata!"

ancam Pengemis Binal lagi.

"Cih! Siapa takut mati?!" sahut Jatiwulung, tak sedikit pun menampakkan rasa takut.

"Mungkin kau bisa membunuhku. Tapi, seumur

hidup kau tak akan mampu menepis rasa sesal-

mu!" "Apa maksudmu?"

"Bertanyalah kepada dirimu sendiri!"

"Bangsat!"

"Keparat!"

"Jahanam!"





"Bedebah!"

Mendengar Suropati dan Jatiwulung saling

sahut mengeluarkan kata-kata kotor, Sawung Je-

nar tak dapat menahan rasa gelinya. Tertawalah

pemuda bersisik itu terbahak-bahak.

"Hei! Setan Muka Ular, apa yang kau ter-

tawakan?!" hardik Jatiwulung, menuding wajah Sawung Jenar.

Tawa Iblis Selaksa Ular terhenti seketika.

Melihat Jatiwulung yang menatap marah, diang-

katnya telapak tangan kanan ke depan. "Tidak!

Tidak! Aku tidak menertawakanmu! Aku mener-

tawakan diriku sendiri. Alangkah bodohnya aku

ini, yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat dua anak manusia baku-hantam menuruti hawa naf-sunya...."

"Tetaplah di situ dan tutuplah mulutmu

rapat-rapat. Kalau tidak, kupeluntir bibirmu yang memble itu!"

Ancaman Jatiwulung ditimpali Sawung Je-

nar dengan tawa panjang. Kontan Jatiwulung

mencak-mencak. Tapi sebelum dia berbuat sesua-

tu, Pengemis Binal menegur keras.

"Hadapi aku dulu, Perempuan Jalang! Gat-

al tanganku untuk segera membeset mukamu

yang kotor itu!"

Jatiwulung mendengus gusar. "Laksanakan

bila kau mampu. Tapi, aku tak mau melayani ju-

rus-jurus ketenganmu!"

"Baik! Agaknya, kau memang tak perlu di-

beri hati!"





Sigap sekali Suropati membuka kedua per-

gelangan kakinya. Dengan lutut menekuk, dita-

riknya kedua tangan ke belakang sejajar pinggang seraya menarik napas panjang. Begitu kekuatan

tenaga dalam mengalir ke kedua tangannya, hawa

dingin menyebar....

"Pukulan 'Salju Merah'...," desis Jatiwulung, gugup.

Terkesiap tokoh muda itu melihat kedua

tangan Suropati yang diselimuti kabut tipis ber-

warna merah. Hawa dingin makin terasa menu-

suk kulit

Bingunglah Jatiwulung. Haruskah dia

mengeluarkan ilmu simpanannya? Bila itu dila-

kukannya, tidak mustahil jati dirinya akan keta-

huan, sementara rencana yang sedang dijalan-

kannya belum selesai. Tapi bila dia tidak menge-

luarkan ilmu simpanannya, sama saja dengan

mengundang malaikat kematian!





7


"Suro...!"

Terdengar sebuah bentakan keras yang di-

barengi kelebatan dua sosok bayangan. Sekejap

mata kemudian, sekitar satu tombak dari hada-

pan Suropati telah berdiri seorang kakek berpa-

kaian putih longgar dan seorang nenek berpa-

kaian serba ungu. Mereka adalah Banjaranpati

dan Arumsari!





"Seorang pendekar tidak akan membunuh

orang yang tidak memberikan perlawanan!" tegur Banjaranpati atau Bayangan Putih Dari Selatan.

"Namamu akan tercemar. Dan, kaum rimba

persilatan pasti mengutuk perbuatanmu!" tambah Dewi Tangan Api, Arumsari.

Pengemis Binal menatap wajah kedua to-

koh tua itu bergantian. Tanpa melepas kekuatan

tenaga dalam yang telah mengalir penuh ke kedua

tangannya, dia berkata, "Justru orang akan me-nertawakanku bila aku membiarkan perempuan

edan itu tetap menghirup udara segar!"

"Perempuan edan? Siapa yang kau mak-

sud, Suro?" tanya Banjaranpati, tak mengerti.

"Pemuda dekil itu!" tunjuk Suropati kepada Jatiwulung. "Dia mengenalkan diri bernama Jatiwulung, tapi sesungguhnya dia perempuan. Dan,

tahukah kau, Kek, bila perempuan edan itu ter-

nyata suruhan Pangeran Sadis?"

Terkejut Banjaranpati mendengar penjela-

san Pengemis Binal. Segera dia membalikkan ba-

dan seraya menatap tajam wajah Jatiwulung.

Arumsari berlaku sama. Namun, mereka tak akan

mengenali tokoh muda itu karena wajahnya selain

kotor berdebu, juga tertutup rambut.

"Benarkah kau orang suruhan Pangeran

Sadis?" selidik Banjaranpati.

"Ya," jawab Jatiwulung, tegas.

"Kau sudah mendengar sendiri penga-

kuannya Kek," sahut Pengemis Binal. "Sekarang, menyindkirlah. Biar kulumatkan tubuh perem-





puan edan itu!"

"Dia perempuan!" tanya Arumsari, heran.

"Ya. Dia sedang menyamar. Dan, selama ti-

ga hari aku dikecohnya. Cepatlah kau ikuti Kakek Banjaranpati menyingkir. Nek!"

Melihat kesungguhan Pengemis Binal, ber-

gegas Arumsari mengikuti langkah Banjaranpati

yang telah berlalu dari hadapan remaja tampan

itu. "Keluarkan ilmu simpananmu agar kau tak mati penasaran!" ujar Suropati kemudian.

"Aku tak akan memberi perlawanan. Kalau

mau membunuhku, bunuhlah! Yang pasti, sete-

lah melakukannya, seumur hidup kau akan di-

hantui rasa sesal yang tidak ada habisnya!" sahut Jatiwulung. Tubuhnya sama sekali tak bergeming. Tampaknya, dia akan menadahi 'Pukulan

Salju Merah' dengan pasrah.

Sejenak Pengemis Binal jadi ragu. "Apa

maksud perkataanmu? Siapa sebenarnya diri-

mu?" desisnya.

"Sudah kubilang, aku Jatiwulung! Aku

memang mempunyai hubungan dengan Pangeran

Sadis! Bila kau memang mencintai Dewi Ikata,

kau tak akan ragu lagi untuk menjatuhkan tan-

gan maut terhadapku!"

"Baiklah kalau memang itu yang kau ingin-

in!"

Pengemis Binal mendengus pendek. Dia

kuatkan hatinya. Sekujur tubuhnya bergetar aki-





bat pengerahan tenaga dalam sampai ke puncak.

Namun, keraguannya tetap tak mau hilang. Tak

tega hatinya membunuh orang tanpa sedikit pun

memberikan perlawanan.

"Ha ha ha...!" Jatiwulung tertawa bergelak.

"Kenapa mesti ragu, Suro? Rupanya, kau terpengaruh kata-kataku. Kau takut dirundung penye-

salan seumur hidup!"

Mendengar ejekan Jatiwulung, Pengemis

Binal mendengus gusar. Keraguannya lenyap

mendadak. "Huh! Aku tak akan menyesal setelah membunuh perempuan edan macam kau! "

"Ha ha ha...! Kalau begitu, segera kelua-

rkan 'Pukulan Salju Merah'-mu!"

Di ujung kalimat Jatiwulung, kedua tangan

Pengemis Binal tampak bergetar keras. Hawa din-

gin semakin menusuk kulit. Mendadak, Pemimpin

Perkumpulan Tongkat Sakti itu menghentakkan

kedua tangannya!

Wusss...!

Blarrr...!

Sebuah ledakan dahsyat membahana di

angkasa. Di sana-sini timbul percikan api. Aneh-

nya, hawa terasa amat dingin. Rimbunan daun

pepohonan terselimuti salju berwarna merah. Air

sungai juga dipenuhi gumpalan-gumpalan salju

merah. Sawung Jenar, Banjaranpati, dan Arumsari

tampak menggigil kedinginan. Cepat ketiga tokoh

itu mengumpulkan kekuatan tenaga dalam ke

pusar untuk melawan hawa dingin yang menerpa.





Sementara, Jatiwulung terlihat berdiri tegak di

tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Gumpa-

lan salju merah tampak menempel di kain ba-

junya yang lusuh. Namun, dia tiada menderita

apa-apa.

Suropati terkejut dan menyimpan geram

kemarahan dalam hati. Di sisi kanan Jatiwulung

telah berdiri seorang pemuda tampan beralis teb-

al. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya kun-

ing gemerlap, mirip bangsawan kerajaan. Ru-

panya, pemuda itulah yang telah memapaki ‘Pu-

kulan Salju Merah’ yang dilancarkan Suropati.

"Pangeran Sadis...!" seru Banjaranpati dan Arumsari, bersamaan.

"Hmmm.... Kiranya kau yang bergelar Pan-

geran Sadis itu...," ujar Pengemis Binal.

"Ya. Tak salah lagi. Akulah Pangeran Sa-

dis," aku si pemuda tampan.

Pengemis Binal menggeram marah melihat

sikap sombong pemuda itu. Dengan suara keras

membentak, dia berkata, "Kau bunuh Dewi Ikata.

Kau lukai Banjaranpati dan Arumsari. Kau bunuh

pula Datuk Risanwari. Sudah sedemikian besar

dosamu, hingga tak mungkin aku membiarkan

orang jahat semacammu tetap hidup!"

"Membunuh Dewi Ikata dan Datuk Risan-

wari? Kalau melukai Banjaranpati dan Arumsari

memang iya. Tapi, aku tak membunuh dua nama

yang kau sebutkan itu!" sahut Pangeran Sadis, tak kalah keras.

"Jangan bersilat lidah! Tak perlu kau





pungkiri perbuatan dosamu!" hardik Pengemis Binal. "Sebelum kita mengadu nyawa, katakan apa maksudmu membunuh dua orang yang tak

bersalah!"

"Ha ha ha...!" Pangeran Sadis tertawa bergelak. "Aku tidak membunuh Dewi Ikata, Suro!

Tidak pula Datuk Risanwari! Aku bermaksud

baik. Aku...."

"Haram jadah!" maki Arumsari, memotong ucapan Pangeran Sadis. "Pandai sekali kau memutar kata-kata! Kepala siapa yang kau letakkan

di gua pertapaanku?!"

Pangeran Sadis menatap tajam wajah Dewi

Tangan Api. "Kau kira itu kepala Dewi Ikata?! Kau salah.... Kau salah. Nek! Ha ha ha...!"

Mendengar tawa bergelak Pangeran Sadis,

tak kuasa Arumsari menahan hawa amarah. Dia

pun jadi lupa bila pemuda itu pernah mempecun-

danginya, bahkan melukai dengan ilmu 'Dewa

Suci Meminta Darah'.

Darah Arumsari yang mendidih naik sam-

pai ke ubun-ubun membuat wajahnya merah-

padam. Tanpa pikir panjang lagi, dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya ke kedua perge-

langan tangan. Dalam sekejap mata, kedua tan-

gan nenek itu berubah warna menjadi merah-

membara, dan menebarkan hawa panas. Hingga,

gumpalan salju merah yang mengapung di air

sungai langsung mencair. Selimut salju yang me-

nempel di rimbunan daun pepohonan juga berle-

lehan.





"Matilah kau, Jahanam!" teriak Dewi Tangan Api seraya menghentakkan kedua tangannya

ke depan.

Wusss...!

Dua larik sinar merah menggidikkan mele-

sat cepat ke arah Pangeran Sadis. Kehebatan

'Pukulan Api Neraka' yang dilancarkan Arumsari

itu tiada terkira lagi. Udara di sekitar Sungai

Bayangan memanas bagai dipenuhi kobaran api.

Namun, Pangeran Sadis yang menjadi sasaran

cuma tersenyum tipis. Lalu, dengan gerakan rin-

gan dikibaskannya kedua telapak tangannya ke

depan! Wusss...!

Blarrr...!

Sekali lagi, sebuah ledakan dahsyat mem-

bahana di angkasa. Dua larik sinar merah yang

melesat dari telapak tangan Arumsari bertubru-

kan dengan gelombang angin kencang ciptaan

Pangeran Sadis!

Tampak kemudian, lesatan dua larik sinar

merah membelok ke atas, lalu lenyap tiada berbe-

kas. Sementara, gumpalan tanah dan bebatuan

berpentalan ke udara. Hingga, kegelapan menye-

limuti. Terdengar jerit panjang saling sahut. Tubuh Suropati terlontar jauh. Demikian pula tubuh Banjaranpati yang semula berdiri di dekat nenek

itu. Tak terkecuali, Sawung Jenar. Tubuh pemuda

bersisik itu turut terlontar, dan bergulingan di atas tanah. Sementara, Suropati tampak terseret





mundur lima tombak ke belakang!

"Maaf. Terpaksa ini kulakukan. Sungguh

aku tak bermaksud buruk," ujar Pangeran Sadis lirih, penuh penyesalan.

Terlihat kemudian, Arumsari beserta Ban-

jaranpati dan Sawung Jenar meloncat tinggi,

kembali ke tempat semula. Wajah mereka sama-

sama pucat. Namun, mereka tak menderita luka

dalam parah karena Pangeran Sadis memang ti-

dak berniat menjatuhkan tangan maut.

"Sungguh hebat tenaga dalammu, Pange-

ran," ujar Pengemis Binal, menampakkan kekagumannya. "Hanya sayang, kau tersesat jalan.

Aku tetap akan menuntut balas kematian Dewi

Ikata dan Datuk Risanwari. Kalaupun aku mesti

mati, aku tak akan menyesal. Pada saatnya nanti, kejahatan akan berada di pihak yang kalah!"

Suropati meloncat tinggi. Setelah bersalto

tiga kali di udara, dia mendarat dua tombak di

hadapan Pangeran Sadis. Diloloskannya lagi

tongkat butut yang tadi dia selipkan di ikat pinggangnya.

"Bersiap-siaplah! Aku akan mengadu nya-

wa denganmu!"

Mendengar ucapan Suropati, mendadak

Jatiwulung maju selangkah. "Jangan...!" teriaknya sambil mengangkat telapak tangan kanan ke depan. Sikapnya seperti hendak melindungi Pange-

ran Sadis.

"Pergilah kau, Perempuan Edan!" hardik Pengemis Binal.





"Jangan turuti hawa amarah, Suro! Biar

Pangeran Sadis memberi penjelasan...."

"Semua sudah jelas! Minggirlah! Tunggulah

giliranmu untuk menghadap Penjaga Pintu Nera-

ka!" "Tidak, Suro! Kau tidak tahu bila semua ini...." "Tak perlu banyak bacot!" potong Pengemis Binal. "Suro! Kau tidak tahu! Pangeran Sadis adalah...." "Aku sudah tahu!" Pengemis Binal memotong lagi. "Dia adalah pembunuh kejam yang

layak dilumatkan tubuhnya!"

"Suro...!"

Jatiwulung menjerit ketika Suropati mener-

jang Pangeran Sadis. Cepat dia mengempos tubuh

untuk memapaki terjangan Suropati. Namun....

Tak!

"Ough...!"

Tubuh Jatiwulung terpelanting ke kanan,

lalu jatuh bergulingan di atas tanah. Cepat dia

kendalikan gerak tubuhnya seraya meloncat, tapi

gerakannya terhenti. Tubuhnya terhuyung-

huyung. Dari sudut bibirnya mengalir darah se-

gar. "Kau... kau salah mengerti, Suro...."

Dengan mata mendelik Jatiwulung menud-

ing Pengemis Binal. Tapi, tangannya segera jatuh terkulai. Sesaat kemudian, tubuhnya terkapar jatuh. Rupanya, ujung tongkat Pengemis Binal te-





pat menyodok dada kirinya. Sodokan yang diser-

tai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi mem-

buat seluruh isi dada Jatiwulung berguncang.

Tak kuasa dia menahan jantungnya yang tiba-

tiba berdegup lebih kencang!

Melihat Jatiwulung tergeletak tiada daya,

Pangeran Sadis menggembor keras. Dia banting

kaki kanannya berulang kali. Hingga, bumi berge-

tar bagai dilanda gempa. Tubuh Jatiwulung ter-

bawa bergulingan beberapa depa.

"Ya, Tuhan...," sebut Pangeran Sadis dengan kepala mendongak seperti sedang menghiba.

"Sungguh aku tak bermaksud buruk. Tapi, kena-pa peristiwa ini mesti terjadi...?"

Pengemis Binal mendengus gusar melihat

Pangeran Sadis yang tengah meratap. Lalu, dike-

luarkannya kata-kata ejekan.

"Banyak orang jahat mengaku dirinya baik.

Sudah jelas kau berbuat jahat, kenapa masih saja kau berkata tak bermaksud buruk? Bila kau

mengatakan itu sekali lagi, akan jatuh kesimpu-

lanku bahwa kau berotak sinting! Kau bunuh

Dewi Ikata dan Datuk Risanwari! Kau lukai Ban-

jaranpati dan Arumsari! Apakah semua itu tidak

mencerminkan maksud buruk?"

Pangeran Sadis menggeleng-geleng. "Tidak.

Kau tidak tahu, Suro. Dengar penjelasanku dulu!

Apa yang kulakukan ini sebenarnya...."

"Kentut busuk!" sela Pengemis Binal. "Persetan dengan penjelasanmu! Tanpa kau jelaskan,

aku sudah tahu bila kau manusia berjiwa bina-





tang!" "Tidak, Suro! Dengar penjelasanku dulu!"

"Jelaskan dengan kepalan tanganmu!"

Usai berkata, Suropati menerjang. Ujung

tongkatnya meluncur lurus, mengancam ulu hati.

Cepat Pangeran Sadis mengegos ke kanan. Na-

mun, ujung tongkat Suropati terus memburu ba-

gai kepala ular tengah mencari mangsa!

"Hentikan seranganmu, Suro!" ujar Pangeran Sadis sambil berloncatan, menghindari keja-

ran tongkat Suropati.

"Tutup mulutmu!" sahut Suropati seraya memperhebat gempurannya.

Karena tak mau membalas, Pangeran Sadis

jadi kerepotan. Apalagi setelah Suropati memain-

kan rangkaian jurus Tongkat Sakti'-nya. Walau

tongkat di tangan Suropati hanya berupa tongkat

butut yang tidak mempunyai keistimewaan apa-

apa, jangan dikira tidak berbahaya. Sambaran

anginnya saja cukup membuat kulit terasa pedih

seperti diiris. Apalagi bila mengenai sasaran dengan telak, nyawa lawan tentu melayang tanpa da-

pat dicegah lagi!

"Hentikan seranganmu, Suro! Dengar dulu

penjelasanku!" ujar Pangeran Sadis di antara kelebatan tongkat Suropati.

Pengemis Binal cuma mendengus. Tak dia

hiraukan kata-kata pemuda tampan itu. Diputar-

nya tongkat lebih cepat. Suara gemuruh terdengar keras. Daun-daun bercampur debu tanah dan ke-rikil berhamburan. Tongkat Suropati lenyap, ber-





ganti wujud menjadi bayangan yang terus mengu-

rung tubuh Pangeran Sadis.

Pada suatu kesempatan, tubuh Suropati

tampak melayang cepat di udara. Lalu, menukik

turun dengan tongkat terjulur lurus mengarah

ubun-ubun Pangeran Sadis. Dia menggabung ju-

rus 'Tongkat Memukul Anjing'-nya dengan jurus

'Pengemis Meminta Sedekah'!

Terkejut bukan main Pangeran Sadis meli-

hat serangan yang amat berbahaya itu. Cepat dia

tarik tubuhnya ke belakang. Namun, gerakannya

kurang cepat. Hingga....

Desss...!

"Wuah...!"

Pangeran Sadis berhasil menyelamatkan

kepalanya. Tapi, tak urung bahu kirinya kena ha-

jar kemplangan tongkat pengemis.

Tubuh Pangeran Sadis terjajar ke kanan ti-

ga tindak. Namun, tak ada ringis kesakitan yang

tampak di wajahnya. Hanya bola matanya yang

melotot lebar berkilat-kilat.

Sementara, Suropati tampak berdiri tegak

dengan tongkat menyilang di depan dada. Ketika

angin berhembus, terkejutlah Pemimpin Perkum-

pulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Setengah ba-

tang tongkatnya tiba-tiba hancur menjadi serbuk

halus, yang segera lenyap diterbangkan angin!

"Setan alas!" maki Pengemis Binal, kesal.

Serta-merta dia lemparkan setengah bagian

tongkatnya yang tersisa. Batang kayu itu melesat cepat, mengarah pangkal leher Pangeran Sadis





yang berdiri sekitar dua tombak dari hadapan

Pengemis Binal!

Wuttt...!

Tubuh Pangeran Sadis tak bergeming sedi-

kit pun. Tampaknya, dia sengaja menadahi lun-

curan tongkat Suropati yang dilemparkan sekuat

tenaga. Namun, sesungguhnya Pangeran Sadis

tengah mengerahkan ilmu 'Dewa Suci Menghalau

Badai'. Dengan mengalirkan seluruh kekuatan te-

naga dalam ke perut, lalu meniup sedemikian ru-

pa, hingga tiada terasa desis angin sedikit pun.

Hebatnya, batang tongkat yang mengancam ba-

tang lehernya tiba-tiba lenyap menjadi serbuk

amat halus yang tak mungkin terlihat mata telan-

jang! Ilmu 'Dewa Suci Menghalau Badai' pernah

digunakan Pangeran Sadis untuk mementahkan

lontaran biji teratai merah Arumsari di gua perta-paannya.

Terkejut bagai disambar petir Suropati me-

lihat serangannya berhasil digagalkan dengan

mudah oleh Pangeran Sadis. Timbul rasa kagum

di hatinya. Tapi ketika ingat bila Pangeran Sadis adalah pembunuh Dewi Ikata dan Datuk Risanwari, dia menggembor keras seraya mementang-

kan kedua pergelangan tangannya ke samping.

"Aku rela mati di tanganmu, Suro. Tapi,

dengar dulu penjelasanku!"

Suropati tak menghiraukan ucapan Pange-

ran Sadis. Kedua tangannya yang telah terpen-





tang, dia tarik perlahan-lahan ke muka. Lalu, dia satukan kedua telunjuk jarinya di depan dada.

Sesaat tubuh Suropati bergetar keras. Dari kepa-

lanya mengepul asap tipis!

"Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak De-

wa'...!" kejut Pangeran Sadis.

"Keluarkan ilmu andalanmu!" ujar Suropati dengan tatapan tajam menusuk.

Kepala Pangeran Sadis menggeleng lemah.

"Dengar dulu penjelasanku. Setelah itu, kau bebas melakukan apa saja terhadapku...," katanya, pasrah.

Pengemis Binal tersenyum sinis. "Ku kira

sudah tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Berdoalah sebelum malaikat kematian menjemput nya-

wamu!"

Di ujung kalimatnya, Suropati mengalirkan

seluruh tenaga dalam ke kedua telunjuk jarinya

yang menyatu di depan dada. Dikerahkannya pu-

la kekuatan ilmu sihirnya. Dan, totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' siap dilancarkan....

Sementara itu, tubuh Jatiwulung yang ter-

geletak lemah di tepi sungai tampak bergetar-

getar. Satu tarikan napas kemudian, dia telah

berdiri walau terhuyung-huyung. Rupanya, sodo-

kan ujung tongkat Suropati tadi hanya membuat-

nya pingsan.

Melihat kepala Suropati yang mengepulkan

asap tipis, tahulah Jatiwulung bila remaja tam-

pan itu hendak melancarkan totokan 'Delapan

Belas Tapak Dewa'. Terlihat pula olehnya, Pange-





ran Sadis yang berdiri pasrah menanti ajal.

Tanpa pikir panjang lagi, Jatiwulung mem-

basuh wajahnya dengan air sungai. Lalu, dia le-

pas karet tipis menyerupai kulit yang menempel

di beberapa bagian wajahnya.

"Suro...!" teriak Jatiwulung seraya meloncat ke hadapan Pengemis Binal.

Suropati yang telah siap melepas totokan

'Delapan Belas Tapak Dewa' terkejut bukan main.

Tanpa sadar dia melepas aliran tenaga dalamnya.

Bola matanya melotot lebar melihat seraut wajah

cantik yang terpampang di hadapannya.

"Ika...," sebut remaja tampan itu.

Karena tak percaya pada penglihatannya

sendiri, Suropati mengucak-ucak matanya. Na-

mun, apa yang dilihatnya tetap seperti semula.

"Ika...," sebut Suropati sekali lagi.

Sementara itu, Banjaranpati dan Arumsari

tak kalah terkejutnya. Hanya Sawung Jenar yang

tampak berdiri terlongong-longong karena tak ta-

hu apa sebenarnya yang telah terjadi.

"Dewi Ikata...!" jerit Arumsari seraya menghambur ke arah Jatiwulung yang ternyata Dewi

Ikata yang tengah menyamar.

"Eyang...," sebut Dewi Ikata seraya membalas pelukan Arumsari.

"Kau... kau belum mati, Ika...," ujar Arumsari. Nenek itu melepas pelukannya. Ditatapnya

wajah Dewi Ikata lekat-lekat. Setelah yakin bila seraut wajah yang terpampang di hadapannya





memang milik Dewi Ikata, dia memeluk lebih erat.

Dan, menangislah nenek keras kepala itu penuh

kebahagiaan.

Suropati yang urung melancarkan totokan

'Delapan Belas Tapak Dewa' tampak berdiri cen-

gar-cengir sambil garuk-garuk kepala. "Apa arti semua ini...?" desisnya.

Mendadak, Pangeran Sadis melepas karet

tipis yang menutupi seluruh wajahnya. Kening

Suropati kontan berkerut tajam. Mulutnya terbu-

ka lebar dengan bola mata melotot seperti hendak keluar dan rongganya.

"Kau... kau Peramal Sakti...," kejut Pengemis Binal sambil menuding Pangeran Sadis yang

telah membuka penyamarannya.

Bibir Pangeran Sadis menyungging senyum

tipis. Kepalanya menggeleng lemah. Sekali lagi dia melepas karet tipis yang melekat di wajahnya.

Keterkejutan Pengemis Binal sudah tak da-

pat digambarkan lagi. Hingga beberapa lama ma-

tanya terus terbelalak dengan mulut menganga

lebar. Sambil menuding, dia hendak berkata. Ta-

pi, tak ada suara yang keluar dan mulutnya.

"Ha ha ha...!" Pangeran Sadis yang telah membuka dua wajah palsunya tertawa terpingkal-pingkal. "Kalau terkejut, wajahmu mirip kadal ter-injak, Suro!"

"Kau... kau Saka Purdianta...," sebut Pengemis Binal kemudian.

"Ya. Aku memang Saka Purdianta alias

Dewa Guntur."





"Apa... apa arti semua ini, Saka?" tanya Pengemis Binal, masih gelagapan.

"Sudah kubilang, aku tidak bermaksud bu-

ruk. Hanya kau saja yang tak mau mendengar

penjelasanku."

"Jadi, kau benar-benar tidak membunuh

Dewi Ikata?"

"Ya."

"Lalu, yang kukubur itu kepala siapa?"

"Kepala seorang perampok yang mati dibu-

nuh temannya sendiri. Aku menemukannya di

hutan kecil tak jauh dan Bukit Ranuglagah. Den-

gan sedikit polesan, kubuat kepala itu mirip Dewi Ikata. Lalu, kususun sebuah rencana. Ketika ku-temui Dewi Ikata, dia menyetujui rencanaku itu.

Dan, menyamarlah Dewi Ikata sebagai Jatiwu-

lung...."

"Yang kau susun itu rencana apa?" tanya Pengemis Binal, tak mengerti.

Saka Purdianta. menarik napas panjang.

Disunggingnya senyum manis. "Raka Maruta telah menikah dengan Anggraini Sulistya kakakmu,

Suro. Aku pun akan segera menikah pula dengan

Kusuma. Kupikir, kau pun sudah layak untuk

menikah. Atau paling tidak, mengikat tali pertu-

nangan. Tapi melihat sifat mata bongsangmu, aku

jadi ragu untuk menentukan siapa yang pantas

menjadi pasanganmu. Lalu, aku ingat Dewi Ikata.

Selain berilmu tinggi, dia pun sangat mencintai-

mu, Suro. Kau beruntung mendapat gadis cantik

macam dia...."





"Lalu?" kejar Pengemis Binal.

"Kubuat kau agar mengucap janji untuk

menikahi Dewi Ikata."

"Jadi, yang menulis pesan di Gua Hantu

itu kau?"

"Ya."

"Kerangka manusia itu?"

"Kerangka orang mati yang kugali dari ku-

buran. "

"Bukan kerangka Datuk Risanwari?"

Saka Purdianta mengangguk. "Lalu, ba-

gaimana kau bisa mengalahkan Banjaranpati dan

Arumsari dengan mudah?"

"Secara tak sengaja aku telah meminum

darah Prajna Singh yang mengandung khasiat

luar biasa. Kau lupa bila aku pernah mencerita-

kannya, Suro?"

Suropati tampak berpikir. Digaruknya ke-

palanya yang tak gatal berulang kali.

"Ya. Ya, aku ingat. Tenaga dalammu men-

jadi berlipat ganda setelah meminum darah kakek

yang berasal dari tanah India itu. Tapi, bukankah tenaga dalammu telah berkurang ketika kau

membantu Kusuma untuk menyembuhkan Arya

Wirapaksi?"

"Benar. Namun, itu hanya sebagian kecil

saja." Suropati mengangguk-angguk. Bayangan peristiwa Arya Wirapaksi yang hampir gila karena ilmu 'Mustika Api' berkelebatan di benaknya.

Termasuk cerita Saka Purdianta yang meminum





darah Prajna Singh di sebuah gua yang dipenuhi

stalagtit dan stalagmit. (Tentang peristiwa itu bisa dibaca pada serial Pengemis Binal dalam episode -

"Asmara Putri Racun").

Mendadak, Pengemis Binal melonjak girang

seraya meloncat dan menarik tubuh Dewi Ikata

dari pelukan Arumsari.

"Uh! Apa-apaan ini, Suro!" rungut Dewi Ikata. "Kau mempermainkan aku! Inang penga-suhmu yang bernama Palupi itu tentu kau suruh

bermain sandiwara!" bentak Suropati.

"Tidak! Bersama Saka Purdianta, aku telah

mengelabuinya! Kau tak suka? Mau marah? Sila-

kan!" tantang Dewi Ikata.

Suropati garuk-garuk kepala sebentar. Se-

cepat kilat dipeluknya tubuh Dewi Ikata. Lalu, di-lumatnya bibir gadis cantik itu.

"Uh! Uh!" keluh Dewi Ikata yang sulit bernapas. "Kau... kau harus menikahiku, Suro! Ingat janjimu!"

"Ya. Ya, aku pasti akan menikahimu. Tapi,

tidak sekarang."

"Kapan?"

"Itu bisa dipikirkan nanti."

Dewi Ikata tak dapat berkata-kata lagi ka-

rena bibirnya keburu dilumat Pengemis Binal.

Semua yang melihat adegan itu cepat memaling-

kan muka. Dan seperti tanpa bosan, Pengemis

Binal terus melumat bibir Dewi Ikata....





SELESAI


Serial Pengemis Binal dalam episode:


RAHASIA ARCA BUDHA




Scan/E-Book: Abu keisel

Juru Edit: Fujidenkikagawa