Pengemis Binal 21 - Muslihat Cinta Sang Pangeran(1)










MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN


Serial Pengemis Binal




Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta



Pengolah cerita oleh S. Pranowo

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pengemis Binal

dalam episode:

Muslihat Cinta Sang Pangeran

128 hal.




1


"Sungguh sebuah kehormatan yang tiada

terkira, Banjaranpati yang bergelar Bayangan Pu-

tih Dari Selatan bersedia berkunjung ke tempat

jorok dan pengap ini. Aku Arumsari alias Dewi

Tangan Api serasa kejatuhan rembulan...."

Di ujung kalimatnya, nenek berpakaian

serba ungu itu menyungging senyum di bibir. Ke-

lopak matanya mengerjap dua kali. Kakek ber-

kuncir berpakaian serba putih mirip jubah pende-

ta tampak menyipitkan matanya. Getaran bibir-

nya jelas menunjukkan bila dia terpesona oleh

kecantikan si nenek yang masih tergambar lekat

di wajahnya. Namun, si kakek sama sekali tak

mengurangi kewaspadaannya. Memang, tidak bi-

asa dia mendapat sambutan sedemikian ramah

dari nenek yang tak lain Arumsari alias Dewi

Tangan Api.

"Ah, kau jangan terlalu berlebihan, Arum.

Kita berdua yang sama-sama sudah bau tanah ini

ada baiknya menyambung lagi tali persahabatan

yang sudah lama terputus. Tapi, kau tak perlu

mengunggulkan diriku. Aku takut kepalaku jadi

besar. Aku tahu siapa diriku. Tak lebih dari ba-

dan tua yang sebentar lagi pasti menjadi santa-

pan rayap dan cacing."

Arumsari menyambung ucapan si kakek

dengan tawa kecil. Sementara, kakek berkuncir

yang tak lain Banjaranpati alias Bayangan Putih

Dari Selatan tampak terpesona untuk kedua ka-

linya. Matanya sempat melihat barisan gigi Arum-

sari yang masih rapi dan berwarna putih bersih.

"Kebetulan sekali kau datang, Banjaranpa-

ti. Karena ada sesuatu yang harus kubicarakan,

pada saatnya nanti aku pasti akan mencarimu.

Namun, kiranya Tuhan memberi kemudahan un-

tukku. Tanpa susah-payah aku mencarimu, kau

sudah menampakkan batang hidungmu. Karena

itulah, aku layak menyambutmu sebagai tamu

terhormat..."

Hati-hati sekali Arumsari menuangkan

arak merah ke kedua cawan yang telah diper-

siapkan di atas meja. Banjaranpati menerima sa-

lah satu cawan yang diulurkan kepadanya. Dan,

terkesiaplah Banjaranpati. Cawan yang telah ter-

jepit jemari tangan kanannya tak dapat diturun-

kan, melayang di atas meja!

"Bola matamu membesar, Banjaranpati.

Adakah sesuatu yang membuatmu terkejut?" ujar Arumsari dengan senyum manis tersungging di

bibir. Telapak tangan kanannya menghadap ke

cawan yang masih melayang di udara. Jelas bila

dia tengah mengerahkan tenaga dalam yang

membuat cawan itu tak dapat diturunkan oleh

Banjaranpati.

"Luar biasa sekali sambutanmu ini, Arum.

Benar-benar aku merasa dirajakan...," sahut Banjaranpati, turut menyungging senyum di bibir un-

tuk menepis keterkejutannya.

Perlahan sekali kakek berwajah halus ke-

merahan itu menarik tangan kanannya yang me-

megang cawan. Sepertinya dia tak hendak mela-

deni pameran kekuatan tenaga dalam yang se-

dang dipertontonkan oleh Arumsari. Namun tiba-

tiba, dia menegakkan punggungnya. Kedua ka-

kinya yang bersila tampak bergetar. Lalu, dia

menghirup udara lewat mulut...

Ganti Arumsari yang terkesiap. Arak merah

di dalam cawan yang masih melayang di udara

terhirup masuk ke mulut Banjaranpati.

"Hmm.... Arak tua yang benar-benar nik-

mat...," desis Banjaranpati sambil menjilati bibirnya yang basah.

Arumsari mengulum senyum, namun

hanya senyum hambar yang dapat dia perli-

hatkan. "Kau mau lagi, Banjaranpati?" tawarnya.

Banjaranpati tak memberi jawaban. Dia ta-

hu benar siapa Arumsari. Nenek itu selain keras

kepala, juga angkuh dan tak mau kalah. Bila

Banjaranpati menerima tawaran Arumsari, tidak

mustahil nenek itu akan memamerkan lagi keku-

atan tenaga dalamnya yang bisa saja membuat

Banjaranpati celaka.

"Tak perlu sungkan, Banjaranpati. Aku ta-

hu apa yang ada di hatimu. Aku akan merasa

terhina bila kau menolak tawaranku," lanjut Arumsari, suaranya berat dan mengandung pak-saan. Banjaranpati tetap tak menjawab. Dia me-

nambah kewaspadaannya. Sementara, Arumsari

mendengus gusar, lalu mengepalkan telapak tan-

gan kanannya yang terbuka. Cawan kosong yang

melayang di atas meja meluncur turun dengan

cepat, tapi tak ada suara yang terdengar ketika

menyentuh permukaan meja.

"Terimalah...! Agar tubuhmu terasa lebih

segar...."

Arumsari menyambung ucapannya dengan

menepuk permukaan meja. Perlahan, tapi sudah

mampu menggetarkan meja kecil setinggi satu

jengkal itu. Untuk kedua kalinya Banjaranpati

terkesiap. Arak merah di dalam cawan kedua

tampak terangkat ke udara meninggalkan tem-

patnya. Dan, ketika Arumsari meniup, genangan

arak tua itu meluncur hendak mengguyur wajah

Banjaranpati!

Wusss...!

Tak mau dirinya dipermalukan, cepat Ban-

jaranpati mengisi paru-parunya dengan udara se-

banyak mungkin. Lalu, ditiupnya arak merah

yang masih menggenang dan meluncur ke arah-

nya. Genangan arak merah tampak tertahan di

udara dua kejap mata. Sebelum genangan arak

merah itu meluncur balik yang akan mengguyur

wajahnya, bergegas Arumsari mengibaskan tela-

pak tangan kanannya!

Wesss...!

Gelombang angin menderu. Genangan arak

merah tertekan ke arah Banjaranpati. Kakek ber-

kuncir itu segera berbuat serupa. Dikibaskannya

telapak tangan kanannya ke depan. Genangan

arak merah kembali tertahan di udara.

"Sambutanmu ini sungguh luar biasa,

Arum. Tapi, kurasa aku tak bisa menerima arak

merahmu ini...," ujar Banjaranpati seraya mengibaskan telapak tangan kirinya. Genangan arak

merah bergeser ke arah Arumsari.

"Tolakanmu berarti penghinaan...."

Usai berkata Arumsari turut mengibaskan

telapak tangan kirinya untuk menahan genangan

arak merah yang hendak mengguyur wajahnya.

Namun, Banjaranpati telah menghentakkan ke-

dua telapak tangannya ke depan. Gelombang an-

gin besar menderu ganas. Genangan arak merah

melesat cepat ke arah Arumsari.

"Bangsat...!"

Nenek yang wajahnya masih tampak cantik

itu mengumpat seraya meniru gerakan Banjaran-

pati. Timbul pula gelombang angin besar. Tak ay-

al lagi, dua kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi pun bertumbukan!

Blaarrr...!

Terdengar ledakan cukup keras yang mem-

buat telinga jadi pekak. Genangan arak merah

bermuncratan ke berbagai penjuru. Merasa ada

bahaya mengancam, Arumsari dan Banjaranpati

sama-sama menepukkan kedua telapak tangan ke

lantai tanah yang tertutup tikar barubu. Dalam

keadaan masih duduk bersila tubuh mereka me-

lesat ke atas. Setelah bersalto dua kali di udara, mereka mendarat bersamaan sejauh satu tombak

dari tempat duduk mereka semula.

Arumsari dan Banjaranpati saling tatap

untuk beberapa saat. Lalu, mereka sama-sama

mengalihkan pandangan ke permukaan meja ber-

kaki pendek yang kini tampak berlubang-lubang

dan di beberapa tempat masih mengepulkan

asap. Rupanya, arak merah yang menjadi sarana

adu kekuatan tenaga dalam telah membuat meja

itu bisa jadi sedemikian rupa. Bahkan, tikar ba-

rubu yang semula diduduki Arumsari dan Banja-

ranpati juga tampak berlubang di sana-sini.

"Hmmm.... Semakin tua, kau semakin he-

bat saja, Banjaranpati," puji Arumsari, tulus.

Mata nenek itu menatap lurus poci arak di

atas meja yang juga telah berlubang-lubang.

Isinya memancar ke luar

"Sayang bila arak tua dibiarkan terbuang

percuma...," ujar Banjaranpati.

"Kau benar. Sebaiknya arak itu kita hirup

bersama-sama, Banjaranpati."

Tanpa mengedipkan mata, Arumsari

menghirup udara lewat mulut. Dilihat dari tu-

buhnya yang bergetar, jelas bila dia tengah men-

gerahkan tenaga dalam. Banjaranpati tersenyum

tipis melihat arak merah yang mancur dari lu-

bang-lubang poci terhirup masuk ke mulut Arum-

sari. Kakek yang termasyhur dengan ilmu

'Pukulan Tanpa Bayangan' itu pun segera berbuat

serupa. Hingga dalam sekejap mata, arak merah

yang masih tersisa di dalam poci habis tanpa se-

tetes pun yang tumpah ke permukaan meja!

"Ha ha ha.,.!" Arumsari tertawa bergelak.

"Kau memang hebat sekali, Banjaranpati. Pantas bila kau menjadi salah satu guru dari Suropati

yang bergelar Pengemis Binal."

"Sudah kukatakan bila kau tak perlu men-

gumbar pujian. Arum. Aku takut kepalaku mem-

besar tanpa dapat kukendalikan. Aku tak mau

hanyut dalam kata-kata pujian."

"Hmmm.... Kau memang pandai merendah,

Banjaranpati...," sahut Arumsari seraya melangkah tiga tindak, lalu duduk bersila di dekat meja.

Banjaranpati turut melangkah tiga tindak,

kemudian duduk berhadapan meja dengan Arum-

sari. Kedua tokoh tua itu berpandangan sejenak.

Sama-sama mengulum senyum di bibir.

"Kau katakan tadi bahwa kedatanganku ini

adalah suatu kebetulan. Kebetulan macam apa

itu? Adakah suatu urusan penting yang hendak

kau bicarakan denganku?" tanya Banjaranpati, sungguh-sungguh.

Arumsari menarik napas panjang, lalu ka-

tanya, "Kau tentu telah mengenal Dewi Ikata yang bergelar Pendekar Wanita Gila...."

"Putri tunggal Adipati Danubraja itu?"

"Ya."

"Kenapa dengan dia?"

"Dewi Ikata adalah muridku. Aku tahu bila

dia sangat mencintai Suropati...."

"Lalu?" buru Banjaranpati, penasaran.

"Aku tak mau muridku menderita karena

rasa cintanya. Aku ingin menjodohkan dia dengan

Suropati."

Mendengar ucapan Arumsari, kening Ban-

jaranpati berkerut. Kedua ujung alis putihnya

hampir bertautan. "Kau ini aneh, Arumsari," desahnya. "Kenapa kau membicarakan perjodohan muridmu dengan diriku?"

"Karena orang yang hendak kujodohkan

dengan muridku adalah muridmu," sahut Arum-

sari, tegas.

Kepala Banjaranpati kontan menggeleng.

Kerut di keningnya terlihat lagi. Sementara,

Arumsari tampak terkejut. Matanya membelalak

lebar. Dia salah mengartikan gelengan kepala

Banjaranpati.

"Bila kau tak menerima tawaran baikku

untuk menjodohkan Dewi Ikata dengan Suropati,

sama artinya dengan menginjak kepalaku!" dengus si nenek, keras membentak.

"Jangan keburu naik darah. Arum. Aku

yang bodoh ini sama sekali tak merasa menjadi

guru Suropati. Oleh karenanya, aku tak bisa me-

nentukan jodoh Pemimpin Perkumpulan Penge-

mis Tongkat Sakti itu...," tukas Banjaranpati dengan suara lemah lembut. Dia tak perlu menimpali

ucapan keras Arumsari dengan kekerasan pula.

Dia tahu benar tabiat buruk nenek yang mempu-

nyai ilmu 'Pukulan Api Neraka' yang terkenal

dahsyat itu.

"Huh! Bila kau menolak jangan mencari-

cari alasan. Kau katakan tak merasa menjadi

guru Suropati, lalu siapa yang telah menurunkan

ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' kepa-

danya?"

Banjaranpati tersenyum tipis. "Memang,

aku yang telah menurunkan ilmu itu. Tapi, bukan

berarti aku telah menjadi gurunya. Waktu itu,

aku hanya terpanggil untuk menghentikan keke-

jaman Aki Barondeng alias si Mayat Hidup yang

tak lain dari saudara seperguruanku sendiri. Un-

tuk dapat melumpuhkan kesaktiannya, tak ada

cara lain bagiku kecuali menurunkan ilmu 'Kalbu

Suci Penghempas Sukma' kepada Suropati," tu-turnya. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pengemis Binal dalam episode : "Bidadari Lentera Merah").

"Itu sudah cukup bagi Suropati untuk

menganggapmu sebagai guru. Dan sebagai seo-

rang murid, Suropati pun harus turut dan patuh

kepadamu," tandas Arumsari.

"Tapi, tidak untuk memaksakan jodohnya."

Arumsari mendengus gusar "Kau katakan

di awal pertemuan kita bahwa kau datang untuk

mengikat lagi tali persaudaraan kita yang telah

lama terputus. Lalu, apa arti dari penolakan ini?

Kenapa kau tidak bersedia menjodohkan Suropati

dengan Dewi Ikata? Bukankah itu bisa mempere-

rat tali persaudaraan kita?"

"Untuk mempererat tali persaudaraan, tak

berarti kita harus menjodohkan Suropati dengan

Dewi Ikata. Sebenarnya, kau lebih tepat membica-

rakan hal ini dengan Gede Panjalu. Sesepuh Per-

kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itulah yang le-

bih berhak memberikan jawaban. Lagi pula, Dewi

Ikata masih mempunyai orangtua. Kenapa kau

tak membicarakan dulu hal ini kepada Adipati

Danubraja? Dan kau mesti ingat juga, Arum. Soal

jodoh tak bisa dipaksakan. Biarlah Dewi Ikata

dan Suropati sendiri yang menentukan...."

"Suropati pernah berjanji kepada Dewi Ika-

ta untuk mengikat tali perkawinan. Tapi, aku sa-

ma sekali tak percaya pada Bocah Gemblung itu.

Di sana-sini dia punya kekasih. Dan tampaknya,

dia pun senang mengumbar sifat mata bongsang-

nya. Oleh karena aku tak mau Dewi Ikata mende-

rita tekanan batin, aku ingin segera Suropati di-ikat dalam tali perkawinan dengan Dewi Ikata.

Atau paling tidak, mereka dipertunangkan dulu.

Biar semua gadis yang selalu mengejar-ngejar Su-

ropati tahu bila Bocah Gemblung itu telah menja-

di milik Dewi Ikata. Dengan demikian, Suropati

akan menghentikan kebiasaan buruknya."

Banjaranpati mendesah panjang. Kerut di

keningnya terlihat makin kentara. Dia tak tahu

harus berbuat apa. Mengabulkan permintaan

Arumsari, dia merasa tak berhak. Dan bila meno-

lak, sama halnya dengan menanam duri di jan-

tung nenek keras kepala yang suka memaksakan

kehendak itu.

"Apa lagi yang kau pikirkan, Banjaranpati?"

tegur Arumsari yang melihat Bayangan Putih Dari

Selatan cuma mendesah-desah saja.

Banjaranpati menatap lekat wajah Dewi

Tangan Api, lalu katanya, "Aku bisa mengerti apa yang kau inginkan, Arum. Aku tahu kau sangat

mencintai Dewi Ikata muridmu, hingga kau ber-

maksud mewujudkan kebahagiaan gadis itu. Na-

mun tentang perjodohan yang kau mintakan ini,

aku belum bisa memberi jawaban. Aku mesti me-

rundingkannya terlebih dahulu dengan Gede Pan-

jalu dan Suropati sendiri."

"Hmmm.... Begitukah pikiran yang ada di

benakmu? Aku ingin bertanya sekarang, jawablah

dengan sejujurnya. Apakah kau tidak senang bila

pada suatu saat nanti Suropati dan Dewi Ikata

bersanding bahagia di pelaminan?"

"Bila mereka yakin akan mendapat keba-

hagiaan, aku turut bahagia. Tak ada alasan bagi-

ku untuk menghalangi perjodohan mereka."

"Singkat kata, kau setuju bila aku menjo-

dohkan Dewi Ikata dengan Suropati?"

"Secara pribadi, aku setuju. Namun, kau

mesti ingat kedudukanku, Arum. Aku sama sekali

tak dapat memaksakan kehendak terhadap Suro-

pati, termasuk menentukan siapa jodohnya."

Mendengar kalimat Banjaranpati yang di-

ucapkan dengan nada rendah penuh persahaba-

tan, Arumsari tersenyum senang. Hatinya sedikit

lega walau jawaban Banjaranpati tidak sepenuh-

nya sesuai dengan harapannya.

Sebelum Arumsari mengungkapkan rasa

hatinya, tiba-tiba sepuluh batang obor yang dipasang di dinding ruangan padam. Ruangan yang

sebenarnya berada di dalam gua itu kontan gelap-

gulita. Padahal, tak ada hembusan angin ken-

cang. Bahkan, desiran kecil pun tak terasa. Ba-

gaimana mungkin obor-obor itu bisa padam? Se-

mentara, ketika terjadi bentrokan tenaga dalam

Arumsari dan Banjaranpati yang menimbulkan

gelombang angin besar pun tak mampu mema-

damkannya?

Keterkejutan mereka tiada terkira. Di balik

itu, tersimpan rasa kagum akan kehebatan orang

yang dapat memadamkan sepuluh obor secara

bersamaan tanpa diketahui di mana dia berada.

Namun karena Arumsari dan Banjaranpati adalah

dua tokoh tua yang sudah matang pengalaman,

mereka sama sekali tak menjadi gentar ataupun

ngeri. Mereka tetap duduk bersila di tempat mas-

ing-masing.

"Apakah di luar sana ada manusia berke-

pandaian dewa yang hendak memberi pelajaran?"

Arumsari yang punya sifat berangasan berteriak

lantang, tak dapat menahan desakan yang ada di

hatinya.

Tiada sahutan yang terdengar. Suasana

menjadi sunyi karena Arumsari dan Banjaranpati

sama-sama diam menunggu jawaban.

"Siapakah yang datang? Walau kau dede-

mit buruk rupa, tunjukkan batang hidungmu.

Menjawablah, jangan bersembunyi terus!"

Arumsari berteriak lebih lantang. Dia per-

tajam pendengarannya. Namun, tetap saja tak

dapat menangkap suara-suara yang menandakan

bahwa di situ telah hadir seorang manusia.

Karena terbawa rasa penasaran, Arumsari

bangkit dari duduknya. Banjaranpati mengikuti.

Tapi sebelum melompat keluar, mereka dike-

jutkan oleh suara dingin yang begitu dekat den-

gan tempat mereka berdiri.

"Tak perlu kalian menjadi gusar. Aku telah

berada di dekat kalian."

Keterkejutan Arumsari dan Banjaranpati

tak dapat diperkirakan lagi ketika mendengar su-

ara yang begitu dekat dengan telinga itu. Sebagai tokoh tua yang berkepandaian tinggi, mereka dapat memastikan bila suara yang mereka dengar

bukan diperdengarkan melalui ilmu mengirim su-

ara jarak jauh.

Arumsari dan Banjaranpati pun tahu bila

ruangan yang sedang mereka tempati hanya

mempunyai satu pintu masuk. Mungkinkah ada

manusia yang bisa bergerak sedemikian cepat

tanpa meninggalkan desiran angin? Mungkinkah

tokoh itu memiliki ilmu siluman?

Tak mau mendapat celaka, cepat Arumsari

dan Banjaranpati meningkatkan kewaspadaan.

Mereka sama-sama mempertajam indera penden-

garan. Sementara, tubuh mereka pun mengejang

kaku akibat pengerahan tenaga dalam untuk

membentengi diri, berjaga-jaga dari kemungkinan

mendapat serangan gelap.

Mendadak, terdengar letupan kecil yang

dibarengi menyebarnya percikan api, Arumsari

dan Banjaranpati terperangah ketika ruangan te-

rang kembali karena sepuluh obor menyala lagi.

Tampak kemudian, seorang pemuda berpakaian

kuning gemerlap mirip pakaian pembesar kera-

jaan, berdiri tegak dengan punggung hampir me-

nyentuh dinding ruangan yang berupa tanah ca-

das. Wajah pemuda itu cukup tampan. Alisnya

tebal, yang ujung-ujungnya hampir bertautan.

Sorot matanya tajam menusuk, pertanda dia

punya kecerdasan dan kepandaian tinggi.

Karena kesal, terlebih lagi untuk mengukur

ketinggian ilmu kesaktian tamu tak diundang itu, Arumsari melontarkan dua belas biji teratai merah. Semuanya mengancam jalan darah penting!

Srattt...!

Betapa terkejutnya Arumsari. Sebelum me-

nyentuh sasaran, kedua belas biji teratai merah

yang dilontarkan dengan tenaga dalam penuh itu

lenyap tanpa bekas, seperti terhisap kekuatan ka-sat mata! Bahkan, tanpa memperdengarkan suara

sedikit pun. Karena apabila si pemuda yang men-

jadi sasaran berkelit, biji-biji itu tentu akan membentur dinding yang pasti menimbulkan letupan-

letupan keras. Bagaimana mungkin senjata raha-

sia Arumsari itu bisa menghilang? Benarkah si

pemuda memilik ilmu siluman?

Tanpa sadar Arumsari mendelikkan mata.

Mulutnya pun turut terbuka lebar. Banjaranpati

yang sudah tahu tingkat kesaktian Arumsari pun

turut memandang heran. Hanya saja, kakek ber-

pakaian serba putih itu lebih bisa mengendalikan keterkejutannya. Hingga, mulutnya tidak sampai

terbuka lebar.

Ketika ruangan dipenuhi suara tawa dingin

si pemuda, barulah Arumsari dan Banjaranpati

menyadari keadaan. Karena masih belum percaya

pada apa yang baru saja mereka lihat, kedua to-

koh tua itu mengedarkan pandangan ke lantai

ruangan. Mereka ingin tahu kalau-kalau dua be-

las biji teratai merah rontok. Tapi ternyata, dua belas biji teratai merah itu benar-benar lenyap! Di lantai ruangan tak terdapat barang sebiji pun

senjata rahasia Arumsari itu!

Perlu diketahui, puluhan tahun lamanya

Arumsari memperdalam kemahirannya dalam

menggunakan senjata rahasia yang berapa biji te-

ratai merah. Serta, puluhan tahun berkelana, be-

lum pernah dia menjumpai tokoh sakti yang begi-

tu mudah menghalau senjata rahasianya tanpa

sedikit pun menggerakkan tubuh.

"Kalian berdua mendapat kehormatan un-

tuk melaksanakan amanat Pangeran Sadis."

Arumsari dan Banjaranpati terkejut untuk

kesekian kalinya. Sosok pemuda tampan berpa-

kaian kuning gemerlap tiba-tiba lenyap tanpa be-

kas! Hanya meninggalkan suara dingin yang

sanggup mendirikan bulu roma....

Belum hilang keterkejutan Arumsari dan

Banjaranpati ketika hidung mereka mencium bau

busuk yang amat menyengat. Tahulah mereka bi-

la di atas meja berkaki pendek telah tergeletak

benda bulat terbungkus kain putih yang penuh

noda kecoklatan yang dapat dipastikan cairan da-

rah kering.

Menyaksikan keluarbiasaan si pemuda

yang mengenalkan dirinya sebagai Pangeran Sa-

dis, mau tak mau Arumsari dan Banjaranpati jadi

bergidik ngeri. Mereka sadar sepenuhnya bila to-

koh muda itu menginginkan nyawa mereka, sama

mudahnya dengan membalikkan telapak tangan.

Untuk beberapa saat Arumsari dan Banja-

ranpati saling pandang. Lalu, secara bersamaan

pandangan mereka beralih ke bungkusan yang

tergeletak di atas meja.

"Bukalah bungkusan itu, Banjaranpati...,"

pinta Arumsari sambil menutup lubang hidung

dengan ujung lengan bajunya.

Banjaranpati tak menjawab. Tapi tampak-

nya dia meluluskan permintaan Arumsari. Den-

gan menahan bau busuk yang begitu menyengat,

cepat dia membuka ikatan kain putih. Terbelalak-

lah mata Banjaranpati. Demikian pula dengan

Arumsari. Tanpa sadar mereka meloncat mundur.

Bungkusan kain putih itu ternyata berisi kepala

manusia yang sudah rusak! Di dalam bungkusan

terdapat pula dua sampul surat berwarna kuning.

Setelah Arumsari dan Banjaranpati meneliti, me-

reka dapat memastikan bila kepala tanpa badan

itu adalah milik Dewi Ikata!

Tak ayal lagi, menggembor keraslah Arum-

sari. Nenek itu kontan menangis menggerung-

gerung menyesali kematian Dewi Ikata muridnya.

Sungguh tak dapat digambarkan lagi betapa han-

cur luluh perasaan Arumsari. Kesedihan meng-

hantam telak, membuat sesak jalan napasnya.

Baru saja dia membicarakan perjodohan Dewi

Ikata dengan Suropati, bagaimana mungkin mu-

ridnya itu telah tergeletak di atas meja berupa kepala tanpa badan?

Namun sebagai tokoh tua yang sudah ma-

tang pengalaman, Arumsari cepat mengendalikan

kedukaannya. Dia merasa malu untuk memperli-

hatkan cucuran air mata di hadapan Banjaranpa-

ti, yang sama saja memperlihatkan kelemahan ji-

wanya. Perlahan, dengan mata merah bengkak ka-

rena menahan tangis, Arumsari mengambil salah

satu sampul kuning di dekat kepala tanpa badan

itu. Banjaranpati turut membaca tulisan yang tertera. Bunyinya : Jangan buka sampul ini, kecuali yang berhak!

Sedang di sampul kedua, mereka menda-

patkan sehelai surat yang bertuliskan perintah : Serahkan surat dan kepala ini kepada seseorang yang beberapa hari lagi akan melalui tempat ini!

Setelah membaca tulisan itu, Arumsari dan Banjaranpati saling pandang lagi. Hati Banjaranpati tersentuh haru melihat kedukaan yang jelas

tergambar di wajah Arumsari. Kakek itu bisa me-

rasakan betapa terpukulnya hati Arumsari yang

kehilangan seorang murid yang amat dicintainya.

Mendadak, Arumsari menggeram keras.

Cepat sekali tangannya menyambar sampul kun-

ing yang belum terbuka. Tapi sebelum dia sempat

membuka sampul itu, Banjaranpati telah men-

cekal pergelangan tangannya.

"Kita tak berhak untuk mengetahui isinya!"

ujar Bayangan Putih Dari Selatan dengan suara

berat. "Persetan dengan semua itu! Aku ingin ta-hu apa maksud Setan Laknat itu membunuh mu-

ridku!" bentak Arumsari seraya menarik tangan kanannya.

"Jangan!"

Mendengar bentakan keras Banjaranpati,

Arumsari kontan mengurungkan niatnya untuk

membuka sampul kuning di tangannya. Tiba-tiba,

darah nenek itu bergolak naik. Amarahnya me-

luap. Dengan sinar mata berapi-api, ditatapnya

wajah Banjaranpati.

"Tak perlu kau menghalangi keinginanku,

Banjaranpati! Aku bisa kalap untuk mengadu jiwa

denganmu!"

"Sabarlah, Arum. Tenangkan, dulu pera-

saanmu...," ucap Banjaranpati bernada sedih.

"Aku bukan hendak menghalangi keinginanmu.

Hanya saja, kau mesti ingat bahwa orang yang

berjiwa pendekar akan memegang teguh amanat

yang diembankan kepadanya...."

"Walau orang itu seorang durjana yang te-

ramat kejam?!" tukas Arumsari.

Banjaranpati tersentak melihat pandangan

Arumsari yang semakin berapi-api. Namun sebe-

lum dia sempat mengucapkan sepatah kata lagi,

Arumsari telah menghentakkan telapak tangan

kanannya ke depan, mengarah ulu hati!

"Uts...!"

Cepat Banjaranpati meloncat ke samping.

Namun, tak urung kain bajunya terbakar oleh

sambaran angin pukulan Arumsari yang menggu-

nakan ilmu 'Pukulan Api Neraka'. Rupanya, da-

lam kemarahannya, Arumsari jadi lupa diri. Se-

hingga, dia berniat membunuh Banjaranpati yang

sama sekali tak bersalah.

"Sadarlah, Arum...," ujar Banjaranpati sambil menepuk-nepuk api yang menjilati kain

bajunya.

Arumsari tak memperhatikan ucapan ka-

kek itu. Tangannya menyobek sampul kuning....

"Jangan...!" sergah Banjaranpati seraya meloncat untuk merampas sampul kuning di tangan Arumsari yang telah terbuka.





2


Kedatangannya di kota Kadipaten Bumi-


raksa bertepatan hari telah jatuh dalam dekapan

malam. Sang Candra dalam bulatan penuh dike-

dipi tebaran bintang seperti sedang bercanda di

layar hitam. Gelap tak begitu berkuasa. Apalagi

lampu-lampu kota cukup memberi sinar terang.

Sehingga, langkah kaki Suropati sama sekali tak

mendapat kesulitan

Baru saja menapaki jalan utama kota, re-

maja tampan berpakaian putih penuh tambalan

itu menghentikan langkah. Kakinya terasa berat

untuk dilangkahkan lagi. Kelopak matanya sulit

dibuka berlama-lama. Kantuk menyerang, terba-

wa kelelahan yang menggayuti badannya. Dia

memang baru melakukan perjalanan jauh dari

kota Kadipaten Tanah Loh.

Suropati mengucak-ucak matanya, namun

rasa kantuk tetap tak mau hilang. Beberapa kali

dia menguap lebar. Tanpa sadar, dia menggerutu

panjang-pendek.

"Huh! Tak dapat aku melanjutkan langkah

ke Kuil Saloka. Lebih baik aku ke Penginapan

Mawar. Biarlah dingin menusuk tulang asal aku

dapat segera beristirahat..."

Sambil garuk-garuk kepala, remaja yang

sering berperilaku konyol itu melanjutkan lang-

kah kakinya, membelok ke kiri jalan. Beberapa

orang yang berpapasan dengannya sama sekali

tak dia hiraukan. Suasana kota sudah mulai sepi

karena hari telah merayap ke tengah malam.

Sesampai di Penginapan Mawar, Suropati

bukannya masuk melalui pintu besar untuk pe-

san kamar, melainkan menyelinap di sisi kanan

bangunan. Begitu mendapatkan tempat gelap

yang tak terjangkau sinar lampu, dia langsung

merebahkan tubuh. Dia tak perlu alas karena

pinggiran bangunan penginapan itu berlantai cu-

kup bersih. Namun baru saja dia mengatupkan

kelopak mata, telinganya menangkap suara tan-

gis. Asalnya dari kamar di tingkat atas.

"Uuuhhh...! Malam-malam begini, kenapa

mengumbar tangis?! Mengganggu orang tidur sa-

ja!" gerutu Suropati lagi.

Remaja konyol bergelar Pengemis Binal itu

miringkan tubuhnya dengan perasaan jengkel.

Dia mendekap daun telinganya kuat-kuat, tapi

suara tangis itu tetap terdengar. Didekapnya lebih kuat daun telinganya, tapi suara tangis itu tetap saja terdengar. Karena ledakan rasa jengkel, dia meloncat bangun.

"Aku ingin tahu siapa pengumbar tangis

itu. Apakah dia baru saja kehilangan orang yang

sangat dicintainya, sehingga membuat hatinya

begitu sedih?"

Mengikuti suara hatinya, Suropati merayap

ke dinding bangunan walau rasa kantuk masih

menyerangnya. Dengan mempergunakan ilmu

meringankan tubuhnya yang sudah sedemikian

tinggi, mudah saja bagi Suropati untuk menemu-

kan kamar tempat suara tangis berasal.

Jendela kamar itu masih terbuka. Tapi,

Suropati tak dapat melihat ke dalam karena tertutup tirai dari kertas. Untuk dapat mengintip, Suropati melubangi tirai kertas itu dengan ujung li-dahnya. Kening Suropati berkerut setelah dapat

melihat siapa yang tengah menangis. Seorang

wanita setengah baya berpakaian sederhana ber-

warna kuning tampak berlutut di sisi pembarin-

gan. Bahunya bergoyang-goyang terbawa isakan

tangisnya. Suropati terkejut karena di antara isakan tangis wanita itu ada menyebut-nyebut nama

yang sudah amat dikenalnya.

"Dewi Ikata.... Dewi Ikata.... Kenapa kau

pergi begitu cepat...? Dewi Ikata.... Kasihan sekali

kau..." Begitulah suara di antara isakan tangis yang didengar Suropati. Maka saat itu juga, pikiran tak enak menggeluti benak Suropati. Rasa

kantuknya kontan lenyap. Terbawa rasa penasa-

ran dan bayangan buruk yang muncul di depan

matanya, Suropati merobek tirai kertas, lalu meloncat masuk.

Terkejut bukan main wanita setengah baya

yang tengah menangis. Saking terkejutnya, dia

meloncat bangun dan hampir jatuh terjengkang

karena kakinya terpeleset. Sementara, tangisnya

pun kontan terhenti, berganti jerit ketakutan.

"Sssttt...! Aku bukan setan atau hantu gen-

tayangan. Aku manusia!" ujar Pengemis Binal dengan konyolnya.

Sinar mata nyalang si wanita setengah

baya langsung meredup setelah tahu bila yang

menerobos masuk ke kamarnya adalah seorang

remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan

yang dikenalinya sebagai Suropati alias Pengemis Binal. Namun, air mata wanita itu mengucur deras lagi. Cepat sekali dia menghambur dan meme-

luk kaki Suropati. Mulutnya tiada henti meratap.

"Dewi Ikata.... Dewi Ikata...," ucap si wanita setengah baya.

"Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau

menangis? Kenapa pula kau menyebut-nyebut

nama Dewi Ikata?" buru Suropati, amat penasaran.

Wanita berbaju kuning melepaskan pelu-

kannya pada kaki Suropati. Ditatapnya wajah

Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti

itu dengan air mata menganak sungai. Untuk be-

berapa lama dia tak mampu mengucapkan sepa-

tah kata pun. Hanya isakan tangis yang dapat dia perdengarkan.

"Tenangkan hatimu.... Lalu, ceritakan apa

yang terjadi... Kau menyebut-nyebut nama putri

tunggal Adipati Danubraja. Apa yang terjadi den-

gan gadis itu. Berceritalah...," pinta Suropati, semakin penasaran.

"Suro...," desis wanita setengah baya.

"Ya. Aku Suropati. Aku pun tahu bila kau

inang pengasuh Dewi Ikata. Cobalah kendalikan

perasaanmu, lalu berceritalah. Jangan buat aku

mati berdiri karena penasaran. Apa yang terjadi

dengan Dewi Ikata...?"

Karena tak sabar, Suropati berjongkok, dan

mengguncang-guncangkan bahu wanita setengah

baya, yang memang inang pengasuh Dewi Ikata

alias Pendekar Wanita Gila.

Dengan ujung lengan bajunya, inang pen-

gasuh Dewi Ikata yang bernama Palupi itu meng-

hapus airmatanya. Kemudian, ditatapnya wajah

Suropati dengan sinar mata redup penuh kedu-

kaan yang amat dalam. Namun, rasa penasaran

dalam diri Suropati mengalahkan rasa harunya.

Dia guncang-guncangkan lagi bahu Palupi. Hing-

ga, wanita setengah baya itu mengeluh kesakitan

karena tanpa sadar Suropati mencengkeram ba-

hunya terlalu kuat

"Ceritakan apa yang terjadi dengan Dewi

Ikata...!" pinta Suropati, setengah membentak.

Bayangan buruk berkelebatan di benaknya. Dewi

Ikata adalah gadis yang sangat dekat di hatinya.

Wajar apabila dia begitu mengkhawatirkan kea-

daan murid Dewi Tangan Api itu.

"Dewi Ikata...," desah Palupi seraya mendekap wajahnya. Airmatanya jatuh bercucuran lagi.

"Aku bisa gila bila kau hanya menyebut-

nyebut nama Dewi Ikata terus! Ceritakan apa

yang terjadi! Apakah Dewi Ikata tertimpa musi-

bah?!" bentak Suropati. Tangannya mengangkat dagu Palupi, agar wanita setengah baya itu menatap ke arahnya.

"Ya, Suro.... Dewi Ikata tertimpa musi-

bah...," beri tahu Palupi, pelan sekali. Hampir tak terdengar.

"Apa? Benar Dewi Ikata tertimpa musibah?

Musibah apa?" bum Suropati dengan hati semakin was was.

Palupi menarik napas panjang. Dicobanya

untuk menghalau kedukaan di hatinya. Usai

menghapus airmatanya, dia bercerita.

"Tiga hari yang lalu, Dewi Ikata mengajak-

ku pergi dari Pendapa Kadipaten. Dia tidak mem-

beri tahu hendak pergi ke mana. Waktu kutanya

dia malah marah-marah...."

"Lalu?" desak Suropati, tak sabar.

"Sesampai di tepi hutan yang sudah cukup

jauh dari kota Kadipaten Bumiraksa ini, muncul

seorang pemuda tampan berpakaian kuning ge-

merlap mirip bangsawan kerajaan. Dewi Ikata dan

pemuda itu terlibat perang mulut. Aku tak tahu

apa masalahnya...."

"Kau kenal siapa pemuda itu?"

Palupi menggeleng. "Aku tak kenal dia. Ta-

pi kepada Dewi Ikata, dia mengenalkan diri seba-

gai Pangeran Sadis."

"Pangeran Sadis?" Kening Suropati berkerut rapat Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa

sebenarnya tokoh itu. Namun, otaknya segera

menemui jalan buntu. Dia merasa belum men-

genal. Gelar Pangeran Sadis masih sangat asing

baginya.

"Perang mulut jadi ramai. Lalu...."

Suropati mendelikkan mata karena Palupi

tidak segera melanjutkan ceritanya. Malah, me-

nangis terisak-isak lagi.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Dewi

Ikata? Apakah kemudian bertempur dengan Pan-

geran Sadis itu?" desak Suropati, tak mempedulikan kedukaan Palupi. Pikirannya jadi kalut ter-

bawa kekhawatiran.

Kepala Palupi mengangguk lemah. "Dia

bertempur dengan Pangeran Sadis. Dewi Ikata....

Dewi Ikata kalah...."

"Lalu? Dia terluka?"

"Tidak hanya terluka...."

Mendelik mata Suropati mendengar ucapan

Palupi. Jalan napasnya terasa buntu mendadak.

Apalagi setelah melihat Palupi meneteskan airma-

ta kembali.

"Apa yang kau maksud, Mbok? Kenapa kau

katakan Dewi Ikata tidak hanya terluka? Apakah

dia...?" Suropati tak mampu melanjutkan kalimatnya. Cepat dia usir bayangan buruk yang ada di

benaknya. Namun, tetap saja hatinya berdebar-

debar tak karuan.

"Maafkan aku. Suro...," desis Palupi seperti menyesali peristiwa yang telah terjadi.

"Kenapa kau minta maaf? Segeralah lan-

jutkan ceritamu tadi.... Aku benar-benar bisa ma-ti penasaran!"

Palupi menatap wajah Pengemis Binal le-

kat-lekat. "Kau mencintai Dewi Ikata?" tanyanya dengan bola mata berkaca-kaca.

Suropati menelan ludah. Kerongkongannya

terasa kering mendadak. Dengan perasaan galau

dia membalas tatapan Palupi. "Apa maksud pertanyaanmu, Mbok?"

"Jawablah pertanyaanku dengan sejujur-

nya. Aku ingin tahu isi hatimu. Aku ingin tahu

perasaanmu terhadap Dewi Ikata...."

Pengemis Binal terdiam. Tapi melihat ke-

sungguhan Palupi, akhirnya dia menjawab, "Ya.

Aku mencintai Dewi Ikata, Mbok...."

"Sungguh?"

"Ya."

"Kalau begitu, kau harus segera membalas

kematian putri tunggal Gusti Adipati Danubraja

itu."

"Hah?!"

Terkejut Suropati tiada terkira. Melebihi

keterkejutannya andai dia tersambar petir di

siang bolong. Hingga tanpa sadar, dia meloncat ke belakang dengan bola mata melotot lebar seperti

hendak keluar dari rongganya. Sementara, na-

pasnya pun terasa menemui jalan buntu, Jan-

tungnya pun terasa berhenti berdetak. Hingga un-

tuk beberapa lama,

Suropati terlihat megap-megap bagai see-

kor ikan yang kehabisan air.

"Ap... apa yang kau katakan, Mbok? De-

wi.... Dewi Ikata sudah... sudah...," ucap Suropati, terbata-bata.

"Kau harus membalas kematiannya, Suro!

Kau harus membuat perhitungan dengan Pange-

ran Sadis!"

"Jadi... jadi, benar bila Dewi Ikata telah

meninggal?"

Palupi menegaskan ceritanya dengan ang-

gukan kepala. Hati Suropati kontan terasa dira-

jang seribu pedang tajam. Pedih tiada terkira!

"Ika.... Ika...," desahnya berulang kali.

"Kau harus membalas kematian kekasihmu

itu, Suro! Harus!" ujar Palupi, pandangannya kembali nanar dengan dengus napas memburu,

menyimpan dendam-kesumat dalam dada.

"Di mana... di mana jenazah Ika sekarang,

Mbok...?" tanya Suropati, menguatkan diri. Namun, butiran mutiara bening bergulir juga dari

sudut matanya. Memang, siapa yang tak akan se-

dih dan terpukul hatinya mendengar berita kema-

tian kekasihnya?

"Kau harus membalas kekejaman Pangeran

Sadis itu, Suro!" sahut Palupi. "Dia memenggal kepala Dewi Ikata, lalu membawanya pergi entah

ke mana. Aku yang bodoh dan tak mampu ber-

buat apa-apa ini hanya dapat menangis di sisi

badan tanpa kepala, kemudian menguburkan-

nya...." "Oh...," keluh Suropati. "Apakah Gusti Adipati sudah tahu akan peristiwa ini?"

"Belum. Aku tidak berani memberitahukan-

nya...." Pengemis Binal menatap lekat wajah Palupi. Kerut-merut di wajah wanita itu menggambar-

kan kesedihan hatinya. Walau Palupi dan Dewi

Ikata tidak mempunyai pertalian apa-apa, tapi sejak kecil dialah yang mengasuh putri tunggal Adipati Danubraja itu. Sehingga, kepergian gadis itu membuatnya sangat kehilangan.

"Bagaimanapun juga kau harus memberi-

tahukan peristiwa ini kepada Gusti Adipati. Wa-

lau sangat menyedihkan, tapi itu lebih baik. Gusti Adipati harus tahu. Besok pagi-pagi sekali kau

harus kembali ke Pandapa Kadipaten, Mbok. Ka-

takan apa yang terjadi. Gusti Adipati tidak akan menyalahkan dirimu. Jadi, kau tidak perlu takut."

Usai mengucapkan pesannya, Suropati

bangkit berdiri. Ditatapnya sebentar wajah Palupi.

Lalu, dia membalikkan badan untuk segera me-

lompat turun lewat jendela.

"Kau hendak ke mana, Suro?" cegah Palu-pi.

"Mencari pemuda kejam yang menamakan

dirinya Pangeran Sadis itu," jawab Pengemis Binal tanpa menoleh.

"Tunggu dulu!"

"Ada apa lagi, Mbok? Aku harus cepat per-

gi. Aku tak mau petugas penginapan memergoki-

ku berada di kamarmu. Aku bisa dituduh berbuat

yang bukan-bukan."

"Pangeran Sadis meninggalkan sesuatu."

Pengemis Binal membalikkan badan. Palupi men-

geluarkan sampul kuning dari balik bajunya.

Pengemis Binal menatapnya dengan kening ber-

kerut rapat.

"Sengaja Pangeran Sadis tidak membu-

nuhku, karena aku diperintahkannya untuk me-

nyampaikan benda ini kepada kekasih Dewi Ikata.

Kupikir, kekasih Dewi Ikata adalah kau. Maka, terimalah...."

Suropati menerima sampul kuning yang

disodorkan Palupi dengan hati berdebar-debar.

Mengelamlah parasnya setelah membaca surat

yang tersimpan di dalam sampul kuning.

Aku tahu bila kematian Dewi Ikata sangat

memukul hatimu. Tapi, kau tak perlu membiarkan rasa sedihmu berlarut-larut. Kau bisa membalas kematiannya. Karena itu, datanglah ke puncak Bukit Ranuglagah secepatnya.

Pangeran Sadis

"Keparat!" umpat Pengemis Binal dengan darah bergolak naik sampai ke ubun-ubun. Ditatapnya sebentar wajah Palupi, lalu dia meloncat

turun lewat jendela. Dan, hilanglah sosok Pemim-

pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu ter-

telan kegelapan malam.





* * *

Sang Baskara sudah beranjak naik ketika

Suropati menginjakkan kaki di lereng Bukit Ra-

nuglagah. Tak dia pedulikan rasa pegal dan kan-

tuk yang mendera. Dia harus segera menjumpai

Pangeran Sadis. Sakit hatinya harus terbalaskan.

Namun, badannya yang kurang tenaga membuat

perjalanan jadi sedikit lambat.

Suropati menapaki jalan kecil yang di ka-

nan-kirinya diapit barisan pohon cemara. Pohon-

pohon yang tumbuh tegak lurus itu semuanya

berwarna hijau, seperti selimut hijau yang mela-

pisi seluruh permukaan bukit.

Jalan yang dilalui Suropati cuma selebar

dua kaki. Jalan setapak yang menuju ke puncak

itu tidak saja naik turun, tapi juga berbelit-belit seperti usus kambing.

Belum seberapa jauh Suropati mengayun-

kan langkah, mendadak telinganya menangkap

suara napas orang yang diiringi rintih kesakitan.

Cepat Suropati mengempos tubuh untuk mencari

dari mana suara itu terdengar. Dan, terkejutlah

dia ketika melihat seorang nenek berpakaian ser-

ba ungu tengah duduk bersandar di batang po-

hon cemara. Wajah nenek itu masih kelihatan

cantik. Namun, dari sikapnya jelas dia sedang

menderita sakit yang amat hebat. Mulutnya tiada

henti merintih-rintih. Napasnya pun terdengar

ngorok seperti ayam habis disembelih.

"Siapa kau?" tanya Pengemis Binal seraya berjalan mendekati. Namun, dia terkejut lagi setelah mengenali siapa nenek berpakaian serba ungu

itu. Dia tak lain dari Arumsari alias Dewi Tangan Api! Belum hilang keterkejutan Suropati ketika

Arumsari mengangkat tangan kanannya. Tapi, se-

gera terjatuh karena dia sudah tak bertenaga lagi

"Suropati...," desah Arumsari, menguatkan diri. Pengemis Binal bergidik ngeri melihat kedua lengan baju Arumsari robek lebar, menam-

pakkan kulit lengannya yang berlubang-lubang.

Dari lubang-lubang luka itu mengalir darah ber-

warna kehitaman. Sedangkan di kedua pelipisnya

keluar keringat yang juga berwarna kehitaman.

Pengemis Binal menduga bila Arumsari

tentulah habis melakukan pertempuran melawan

tokoh yang amat sakti. Pengemis Binal tahu benar ketinggian ilmu guru Dewi Ikata itu. Maka, Pengemis Binal tak dapat membayangkan kesaktian

tokoh yang berhasil melukai Arumsari sedemikian

mengenaskan. Lalu, siapa tokoh itu? Apakah dia

yang bergelar Pangeran Sadis itu? Dan, luka-luka

yang diderita Arumsari ada hubungannya dengan

dendam atas kematian Dewi Ikata?

"Kau... kau terluka amat parah. Nek. Aku

harus segera menolongmu...," ujar Suropati seraya memeriksa keadaan Dewi Tangan Api. Se-

mentara yang diperiksa cuma pasrah ketika Su-

ropati menotok beberapa jalan darah di tubuh-

nya. "Aku harus membawamu ke Bukit Rawan-

gun. Kau harus mendapat pertolongan Kakek Wa-

jah Merah," ujar Suropati, menyebut nama tabib pandai yang pernah beberapa kali menyelamatkan nyawanya.

Arumsari menggeleng. "Totokan yang kau

berikan sudah cukup meringankan rasa sa-

kitku...," tolaknya, lirih.

"Tapi, luka dalammu belum sembuh. Akan

kusalurkan hawa murni dulu...."

Arumsari yang keras kepala menggeleng la-

gi. "Tidak perlu. Kau tak usah khawatir. Nyawaku tidak akan melayang secepat yang kau duga. Aku

akan mengatakan sesuatu yang harus segera kau

ketahui...."

"Apa? Ada hubungannya dengan kematian

Dewi Ikata?" tanya Pengemis Binal, mencoba menenangkan perasaannya walau dalam hati dia be-

gitu mengkhawatirkan keadaan Arumsari.

"Kau tahu bila Dewi Ikata dibunuh orang?"

Arumsari balik bertanya.

Suropati mengangguk. "Inang pengasuh

Dewi Ikata yang menceritakannya kepadaku."

"Dia juga memberi tahu bila yang membu-

nuh Dewi Ikata adalah Setan Laknat yang mena-

makan dirinya sebagai Pangeran Sadis?"

"Ya. Oleh karena aku hendak ke puncak

bukit ini untuk memenuhi tantangan pembunuh

kejam itu."

"Jangan!" tukas Arumsari, cepat.

"Kenapa? Tidakkah kau ingin kematian

muridmu terbalaskan?"

"Pemuda yang bergelar Pangeran Sadis itu

teramat sakti. Kau lihat luka-luka ini. Dengan

mudah dia mengalahkan aku. Sepertinya dia bu-

kan manusia!"

"Siapa pun dia, sampai di mana pun ke-

tinggian ilmunya, aku tetap akan membuat perhi-

tungan dengannya!"

"Tapi, gunakan pikiran warasmu! Kau bisa

menjadikan apa yang terjadi atas diriku sebagai

pelajaran."

Di ujung kalimatnya, Arumsari bangkit

berdiri walau dengan susah-payah. Dia menolak

bantuan Suropati.

"Kukatakan sekali lagi, jangan naik ke

puncak bukit untuk membuat perhitungan den-

gan Setan Laknat itu, temuilah Datuk Risanwari."

Mendadak, kaki Arumsari menjejak tanah.

Suropati hanya dapat garuk-garuk kepala melihat

tubuh nenek keras kepala itu melesat menuruni

bukit. "Hmmm.... Benarkah Pangeran Sadis itu bukan manusia? Kalau dia manusia, bagaimana

mungkin Dewi Tangan Api berkata bahwa dia da-

pat dikalahkan dengan mudah? Bahkan, mampu

membunuh Dewi Ikata, yang aku tahu benar ke-

tinggian ilmunya!"

Suropati menggaruk kepalanya yang tak

gatal. Berulang kali dia mendesah panjang. Dalam hatinya timbul rasa gentar. Namun, terbawa luapan amarahnya cepat dia menepis rasa gentar-

nya. Dan melangkahlah dia menaiki puncak bu-kit…