Pengemis Binal 25 - Petualangan Roh Iblis(2)








4

Sejenak Kwe Kok Jiang menatap wajah Kwe

Sin Mei penuh kasih. Lalu, dimasukkannya sebu-

tir pil biru ke mulut gadis cantik itu dengan disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Setelah leh-er Kwe Sin Mei diurut, akhirnya pil biru penawar racun dapat tertelan.

"Bagaimana keadaannya, Pak Tua?" tanya Wirogundi yang turut berjongkok di sisi kanan

Kwe Kok Jiang.

"Syukurlah. Racun itu tidak berbahaya,"

jawab Kwe Kok Jiang. "Terima kasih atas perto-longanmu, Anak Muda. Entah dengan apa badan

tua ini membalasnya."

"Tak perlu kau berpikir tentang balas budi, Pak Tua. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai

sesama manusia untuk tolong-menolong."

"Kau baik sekali," puji Kwe Kok Jiang, tu-lus. "Kau sangat mirip dengan Suropati."





"Pak Tua mengenal Suropati?"

Kwe Kok Jiang mengangguk. Lalu, dengan

singkat lelaki dari tanah Tionggoan ini menceritakan perihal pertemuannya dengan Suropati. Kwe

Kok Jiang bercerita pula tentang Arca Budha dan

Pedang Burung Hong, karena dia tak menaruh

sak wasangka sedikit pun terhadap Wirogundi.

Kwe Kok Jiang yakin bila Wirogundi adalah seo-

rang pendekar sejati. Hingga, tidak ada pikiran

dalam dirinya bila Wirogundi akan turut mencari

Arca Budha dan Pedang Burung Hong untuk ke-

pentingan pribadi.

"Hmmm..., begitu...," Pendekar Patah Hati mengangguk-angguk setelah Kwe Kok Jiang menutup ceritanya.

"Kulihat dari tadi kau tampak muram te-

rus, Anak Muda. Adakah sesuatu yang membe-

bani pikiranmu?" tanya Kwe Kok Jiang, menyatakan keingintahuannya.

Wirogundi mencoba tersenyum. Kening

Kwe Kok Jiang berkerut. Senyum Wirogundi tam-

pak hambar. Menambah keingintahuan Kwe Kok

Jiang. "Benar, Anak Muda? Ada sesuatu yang

membebani pikiranmu? Kalau badan tua ini ma-

sih mampu, aku pasti mengulurkan tangan. Ba-

rangkali aku yang bodoh ini bisa membantu wa-

lau hanya kata-kata."

"Ah, terima kasih, Pak Tua. Aku memang

begini. Oleh karenanya, aku memang pantas diju-

luki Pendekar Patah Hati," sambut Wirogundi.

Tak mau menceritakan kematian kekasihnya, An-





jarweni, di tangan Malaikat Bangau Sakti. Lagi

pula, urusan itu telah selesai. Malaikat Bangau

Sakti menemui ajal di tangan Pendekar Wanita

Gila, Dewi Ikata, yang tak lain dari putri tunggal Adipati Danubraja.

Ganti Kwe Kok Jiang yang mengangguk-

angguk.

"Sekarang Pak Tua hendak ke mana?"

tanya Wirogundi kemudian.

"Aku akan meneruskan usahaku mencari

Arca Budha dan Pedang Burung Hong. Kalau tak

kudapatkan, lebih baik kedua benda pusaka itu

musnah daripada jatuh ke tangan orang jahat,"

jawab Kwe Kok Jiang, mantap.

"Mencari ke mana?"

"Untuk sementara ini aku akan singgah ke

Kota Kadipaten Bumiraksa."

"Kebetulan sekali, Pak Tua."

"Kebetulan?"

"Ya. Sebenarnya aku datang dari Kota Nga-

diluwih untuk turut mengawal barang Adipati

Danubraja. Karena kudengar di kawasan ini ada

orang jahat berjuluk Setan Muka Tua, aku mema-

cu kuda di depan mendahului rombongan. Mak-

sudku untuk berjaga-jaga. Dan kalau mungkin

menangkap orang jahat itu," tutur Pendekar Patah Hati. "Lalu, aku menemukan tubuhmu yang tergolek melintang di tengah jalan. Kiranya kau

tengah berurusan dengan Setan Muka Tua. Un-
tung aku belum terlambat menolong putrimu, Pak

Tua. Kalau kau bersedia, kau boleh menumpang

kereta kuda yang sebentar lagi pasti akan mele-





wati tempat ini."

Kwe Kok Jiang tersenyum senang. Memang

itulah yang dia harapkan. Mencari tumpangan

untuk dapat selekasnya sampai ke Kota Kadipa-

ten Bumiraksa.

"Kau memang baik sekali," puji Kwe Kok Jiang yang tampaknya telah dapat menguasai ra-sa sakit di dadanya.

Tak seberapa lama kemudian, dari arah

utara jalan meluncur sebuah kereta besar yang

ditarik enam ekor kuda berbulu putih. Wirogundi

langsung berdiri menghampiri kuda coklatnya.

"Bagaimana dengan lukamu, Pak Tua? Bisa

berangkat sekarang?" tanya Wirogundi sambil menuntun kudanya.

Kwe Kok Jiang tak menjawab. Ditatap Kwe

Sin Mei yang terbaring di sisinya. Ketika Wiro-

gundi meloncat ke tengah jalan untuk menghen-

tikan laju kereta kuda, Kwe Sin Mei tampak

menggeliat siuman.

"Uh!" keluh Kwe Sin Mei, mengerjapkan

mata. "Ayah...."

"Kau tak apa-apa. Sin Mei?" tanya Kwe Kok Jiang, lembut.

"Sedikit pusing, Ayah."

"Itu wajar, karena kau habis pingsan terse-

rang racun."

"Racun?"

"Ya. Tapi, aku sudah memberi penawarnya,

dan kita akan segera berangkat ke Kota Kadipaten Bumiraksa."





"Berjalan kaki?"

"Tidak. Kau lihat itu?"

Kwe Sin Mei bangkit. Dilihatnya kereta ku-

da yang tadi telah dihentikan oleh Wirogundi.

"Kita akan menumpang kereta itu," beri ta-hu Kwe Kok Jiang.





* * *

Bukit Hantu....

Di dalam sebuah gua, Suropati dan Gajah

Angon tampak menyelesaikan semadinya. Kedua

anak manusia ini lalu beringsut mendekati seo-

rang kakek tua renta yang tengah duduk bersila

di atas lempengan batu besar.

"Terima kasih atas pertolongan Datuk,"

ujar Suropati seraya menyatukan telapak tangan

di depan dada

Gajah Angon berbuat serupa

Si tua renta mendehem. Rambutnya yang

panjang terjuntai sampai ke lantai gua tampak

bergoyang. Kakek yang telah berumur satu seten-

gah abad inilah yang telah menyelamatkan Suro-

pati waktu disambit Pedang Naga Kembar oleh

Prahesti di puncak Bukit Palastra. Usai melem-

parkan tubuh Prahesti ke lereng bukit, kakek ku-

rus kering ini langsung menyambar tubuh Suro-

pati dan Gajah Angon yang ketika itu tengah du-

duk bersemadi. Dengan kesaktiannya yang luar

biasa, dia membawa Suropati dan Gajah Angon ke

Bukit Hantu yang menjadi tempat tinggalnya. Dia

Datuk Risanwari, ayah kandung Gede Panjalu se-





sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Pu-

luhan tahun yang silam, Datuk Risanwari pernah

berjaya dengan Perkumpulan Pengemis Tongkat

Naga-nya. Sayang, perkumpulan pengemis besar

itu dibubarkan oleh pihak kerajaan karena ditu-

duh menghimpun kekuatan untuk melakukan

pemberontakan.

"Suro...," sebut Datuk Risanwari dengan suaranya yang mirip rintihan orang sakit.

"Ya, Datuk," sambut Pengemis Binal.

"Di rimba persilatan rupanya telah hadir

iblis jahat yang berwujud bocah perempuan. Aku

harus bertempur dengan iblis itu sebelum mem-

bawamu ke tempat ini."

"Dia murid saya, Datuk," tukas Gajah Angon yang dapat menebak siapa yang dimaksud

oleh Datuk Risanwari.

"Muridmu?" kesiap Datuk Risanwari.

"Ya. Dia bernama Prahesti. Baru dua hari

dia kuangkat sebagai murid. Prahesti dibawa ka-

kak seperguruan saya, Garang Wanara, ke pun-

cak Bukit Palastra untuk kami didik bersama.

Tapi sayang, peristiwa berdarah itu mesti terja-di...." Paras Gajah Angon tampak mengelam. Tatapan matanya menebarkan penyesalan dan ke-

dukaan.

"Nyai Catur Asta datang untuk membawa

Prahesti," lanjut Gajah Angon. "Ratu Kerajaan Siluman itu mengatakan bahwa Prahesti memiliki

campuran darah siluman. Dia hendak menu-

gaskan Prahesti untuk mencapai sebuah maksud,





yang tak saya ketahui. Sebelumnya, Nyai Catur

Asta akan menyusupkan roh Barata Sukma ke

tubuh Prahesti...."

Gajah Angon terus bercerita tanpa diminta.

Agaknya lelaki berjubah hitam ini hendak me-

numpahkan seluruh kedukaannya di hadapan

Datuk Risanwari.

"Barata Sukma adalah adik seperguruan

saya, Datuk. Semasa hidupnya, Barata Sukma

banyak sekali melakukan tindak kejahatan. Dia

murid murtad. Oleh karena itulah kakak sepergu-

ruan saya, Garang Wanara, tak merelakan Pra-

hesti dibawa Nyai Catur Asta. Akhirnya, Kakang

Garang Wanara meninggal dibunuh roh Barata

Sukma yang telah dibangkitkan oleh Nyai Catur

Asta...."

"Aku turut berduka atas kematian saudara

seperguruanmu itu, Angon," ujar Datuk Risanwari. "Lalu, bagaimana ceritanya kau dan Suropati sampai terluka?"

"Roh Barata Sukma-lah yang melukai saya

Datuk," sahut Gajah Angon, masih bernada sedih

"Lalu, Suropati datang menolongku setelah aku tergeletak di tanah selama dua hari dua malam."

"Dan, kenapa kau sampai terluka dalam,

Suro?" tanya Datuk Risanwari.

"Aku dilukai oleh Prahesti," jawab Pengemis Binal. "Di puncak Bukit Palastra?"

"Bukan di situ. Di Kerajaan Siluman-lah

bocah setengah siluman itu berhasil melukaiku."

"Kerajaan Siluman?"





"Ya, Datuk. Dengan mengetrapkan ilmu

'Menembus Alam Gaib', aku datang ke Kerajaan

Siluman untuk menemui Nyai Catur Asta. Ketika

aku berhasil menemuinya, ratu bertangan empat

itu tengah terluka parah. Dia dilukai Prahesti,

Dan, ratu Kerajaan Siluman menyatakan penye-

salannya kepadaku. Nyai Catur Asta tergoda se-

tan untuk memiliki Arca Budha dan Pedang Bu-

rung Hong. Karena keterbatasannya, dia tak da-

pat mewujudkan keinginannya itu. Lalu, dia me-

nyusupkan roh Barata Sukma ke tubuh Prahesti.

Dan setelah Prahesti berhasil mendapatkan Arca

Budha dan Pedang Burung Hong, bocah setengah

siluman itu malah ingin merampas takhta Kera-

jaan Siluman...."

"Arca Budha dan Pedang Burung Hong...,"

desis Datuk Risanwari, seperti menyatakan se-

buah kekaguman.

"Kedua benda pusaka itu ciptaan seorang

tetua Bangsa Cina. Aku tahu dari Kwe Kok Jiang."

"Kwe Kok Jiang? Siapa itu?"

"Dia seorang tokoh aliran putih bergelar

Pendekar Sesat. Dia diutus gurunya, Tan Hwe

Liok, untuk mencari Arca Budha dan Pedang Bu-

rung Hong. Katanya, kedua benda pusaka itu ti-

dak boleh jatuh ke tangan orang jahat. Daripada

jatuh ke tangan orang jahat, kata Kwe Kok Jiang, Arca Budha dan Pedang Burung Hong lebih baik

dimusnahkan."

"Pedang Burung Hong...," desis Datuk Risanwari. Dari balik riap-riap rambutnya, kakek

ini menatap wajah Pengemis Binal lekat-lekat.





"Apakah pedang itu bilahnya bengkok dan dipenuhi ukiran indah?" tanyanya, teringat pedang yang dibawa Prahesti waktu bertempur di puncak

Bukit Palastra.

"Tepat sekali. Kata Kwe Kok Jiang, pedang

itu mempunyai tuah dan kesaktian hebat. Jika

dialiri tenaga dalam, bilahnya akan memancarkan

sinar kebiruan yang amat menggidikkan."

"Ya. Ya..., yang dibawa bocah perempuan

itu pasti Pedang Burung Hong. Sebuah pedang

pusaka yang hebat tiada taranya...," puji Datuk Risanwari. "Ketika aku bertempur melawan Prahesti, aku telah menginjak punggung pedang itu.

Dan sungguh tak kuduga, tiba-tiba kakiku mem-

biru dan terasa panas bagai dibakar api. Untung

aku bisa mengatasinya."

Mendengar penuturan Datuk Risanwari,

secara bersamaan Suropati dan Gajah Angon me-

natap pergelangan kaki kakek tua renta itu. Ke-

dua pergelangan kaki Datuk Risanwari memang

sudah tak terdapat tanda-tanda luka ataupun

terserang racun.

Kemudian, Pengemis Binal bercerita lebih

banyak tentang Arca Budha dan Pedang Burung

Hong, yang kata Kwe Kok Jiang memiliki sebuah

rahasia besar. Cerita Suropati baru berhenti ma-

nakala hawa dingin telah menyelimuti ruangan

gua. Sementara, cahaya yang masuk pun mulai

berkurang. Agaknya hari siang akan segera berla-

lu.

"Aku harus pergi dari tempat ini, Datuk,"

pinta Pengemis Binal kemudian.





"Bagaimana dengan luka dalammu?" tanya Datuk Risanwari untuk memastikan kesehatan

Pengemis Binal.

"Berkat bantuan Datuk, rasa lemas yang

menyerang tubuhku sudah lenyap."

"Bagaimana dengan kau, Angon?"

"Sama seperti Suropati. Kesehatan saya

sudah pulih walau dada saya masih agak sesak,"

jawab Gajah Angon.

"Kalian boleh pergi. Tapi ingat pesanku. Bi-la kau ingin menghentikan kekejaman Prahesti,

temui dulu Nyai Catur Asta. Prahesti jangan di-

bunuh. Dia bocah tak berdosa. Semua kekeja-

mannya tak lain dari perbuatan roh Barata Suk-

ma. Prahesti hanya dijadikan alat."

Mendengar pesan Datuk Risanwari yang di-

tujukan kepadanya, Pengemis Binal mengang-

gukkan kepala. Bersama Gajah Angon, pemimpin

Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti lalu me-

ninggalkan Bukit Hantu. Karena sisa sinar men-

tari masih mampu menerangi, mereka tidak men-

dapat kesulitan hingga sampai ke kaki bukit.

"Kau hendak ke mana, Suro?" tanya Gajah Angon. Dari tadi lelaki berjubah hitam ini cuma

mengekor langkah Pengemis Binal.

"Ikutlah...," ajak Suropati, tak menjelaskan ke mana tujuannya."

"Aku kembali ke Bukit Palastra saja," tolak Gajah Angon.

"Kau jangan ke sana dulu, Pak Tua," larang Suropati.

"Kenapa?"





"Bila kau kembali ke Bukit Palastra, aku

khawatir kau akan selalu teringat peristiwa me-

nyedihkan itu. Lagi pula, aku hendak mencari

Prahesti. Kalau Yang Maha Kuasa memberi keku-

atan kepadaku hingga dapat melepas roh Barata

Sukma dari tubuh Prahesti, kau bisa mengajak

muridmu itu. Mungkin juga, tenagamu dibutuh-

kan, Pak Tua."

Gajah Angon tampak berpikir. "Sebenarnya

aku memang masih sayang pada Prahesti. Aku

tak rela bila terjadi apa-apa padanya. Aku harap kau selalu ingat pesan Datuk Risanwari, Suro.

Jangan bunuh Prahesti."

Suropati menggaruk kepalanya yang tak

gatal. "Tentu... tentu, Pak Tua. Bila Nyai Catur Asta membantuku, mudah-mudahan semuanya

berjalan seperti yang kita inginkan."

Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal men-

garahkan pandangan ke barat. Namun sebelum

remaja tampan ini melanjutkan langkah kakinya,

Gajah Angon mencegah. "Tunggu, Suro!"

"Ada apa?"

"Kau hendak mencari Prahesti sekarang?"

"Tidak. Aku ke Kota Kadipaten Bumiraksa

dulu. Di sana aku akan mencoba menemui Nyai

Catur Asta. Dia masih terluka dalam saat aku di-

lemparkan Prahesti kembali ke alam nyata. Aku

akan meminta petunjuk, dan kalau aku mampu,

aku akan menolongnya dulu."

"Menolong Nyai Catur Asta?!" sentak Gajah Angon. Wajahnya berubah merah padam. "Kenapa kau menolong ratu keparat itu, Suro?! Bukankah





dia penyebab malapetaka ini?!"

"Uts! Jangan keburu naik pitam, Pak Tua!"

sergah Pengemis Binal. "Tidak baik dan sama sekali tak ada manfaatnya menyimpan dendam itu,

Pak Tua. Di hadapanku Nyai Catur Asta telah

menyatakan penyesalannya. Dia mengakui bila

dirinya memang salah. Nyai Catur Asta telah me-

nerima akibat dari perbuatannya sendiri. Selain

dirinya terluka dalam yang amat parah, takhta

Kerajaan Siluman pun terancam. Tidakkah terbu-

ka mata hatimu untuk memberi maaf kepadanya,

Pak tua?"

"Maaf? Urusan ini tidak semudah yang kau

bayangkan, Suro. Bila aku memberi maaf kepada

ratu siluman itu, apakah kakak seperguruanku

akan hidup kembali? Huh! Kalau Nyai Catur Asta

dapat mengembalikan nyawa Kakang Garang Wa-

nara, bolehlah aku memberinya maaf!"

Mendengar ucapan Gajah Angon yang ber-

nada tinggi, Pengemis Binal tak mampu menahan

keinginannya untuk tak menggaruk kepala. Bebe-

rapa saat remaja konyol ini tampak cengar-cengir mirip monyet mencium kotoran kuda,

"Begini, Pak Tua," ujar Suropati kemudian,

"Bukannya aku bersikap sok pandai dengan

memberi nasihat kepadamu. Bukan... bukan itu

maksudku. Relakan kematian kakak sepergu-

ruanmu, Pak Tua. Toh, itu terjadi bukan atas ke-

mauan Nyai Catur Asta. Dan kalaupun kau men-

ganggap Nyai Catur Asta yang menjadi penyebab

kematiannya, ingatlah Pak Tua, dunia dan segala

isinya adalah milik Tuhan. Mati hidup manusia





ada di tangan-Nya.... Tanpa kehadiran Nyai Catur Asta di Bukit Palastra, kalau Tuhan berkehendak

memanggil kakak seperguruanmu itu, maka tak

ada satu pun kekuatan yang mampu menghalan-

ginya. Kau, aku, Nyai Catur Asta, dan semua

makhluk di bumi ini hanyalah wayang yang tak

akan pernah bisa melepaskan diri dari takdir Tu-

han. Semua peristiwa di bumi ini memang tak

akan pernah lepas dari takdir-Nya. Begitu pula

dengan kematian saudara seperguruan mu, Pak

Tua." Berkerut kening Gajah Angon mendengar rentetan kata Suropati yang cukup panjang. Gajah Angon tak menyangka bila Suropati mampu

mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu. Namun, air muka Gajah Angon tetap keruh. Agaknya dia

belum bisa merelakan kematian Garang Wanara.

Sementara itu, wajah sang baskara telah

tenggelam di garis cakrawala barat. Namun, bi-

asan sinarnya masih mampu memberi terang wa-

lau cuma remang-remang. Tekur burung hantu

mulai terdengar lamat-lamat, menyambut sang

candra yang akan segera tiba.

"Sudahlah, Pak Tua...," Pengemis Binal menepuk bahu Gajah Angon. "Hari hampir gelap.

Kita ke Kota Kadipaten Bumiraksa sekarang."

Gajah Angon tak memberi jawaban. Mulut-

nya terkunci rapat. Kakinya pun terasa berat un-

tuk diajak melangkah.

Suropati mendesah. Remaja tampan ini bi-

sa merasakan kesedihan Gajah Angon. Siapa yang

rela dan tak sedih hatinya melihat kakak sepergu-





ruan yang sangat dicintainya mati dibunuh orang

di depan mata? Tapi, haruskah rasa sedih itu di-

biarkan berlarut-larut, yang hanya akan menda-

tangkan dendam kesumat?

Sementara Gajah Angon dan Suropati ber-

diri tercenung dengan pikiran masing-masing, da-

ri kejauhan terdengar suara gemerincing lonceng

yang saling sahut dengan suara dengungan mirip

ribuan lebah sedang terbang. Suara itu semakin

terdengar keras, menyisihkan tekur burung hantu

yang terdengar lamat-lamat.

"Nyai Catur Asta akan segera tiba di tempat ini...," gumam Pengemis Binal. Ditepuknya bahu Gajah Angon. "Kau dengar suara itu, Pak Tua?"

"Ya. Suara itu pernah kudengar di puncak

Bukit Palastra. Nyai Catur Asta akan datang," sahut Gajah Angon.

"Benar dugaanmu. Tapi, kuharap kau tidak

bertindak gegabah, Pak Tua. Biarkan aku bicara

dengan ratu siluman itu."

Bertepatan dengan selesainya ucapan Pen-

gemis Binal, dari angkasa melesat seberkas ca-

haya merah, tampak jelas sekali karena hari me-

mang hampir gelap.

Wusss...!

Begitu menyentuh tanah, sinar merah itu

lenyap tanpa bekas. Sebagai gantinya, sekitar dua tombak dari hadapan Suropati dan Gajah Angon

telah berdiri seorang wanita cantik. Rambutnya

digelung ke atas dengan hiasan tusuk konde

emas. Tubuhnya yang sintal terbungkus pakaian

merah gemerlap seperti layaknya seorang ratu.





Anehnya, dia bertangan empat. Nyai Catur Asta!

"Ratu keparat!" umpat Gajah Angon tiba-tiba. Namun sebelum lelaki berjubah hitam ini

berbuat sesuatu, Pengemis Binal telah mencekal

lengannya.

"Tenanglah, Pak Tua!"

"Tidak! Aku harus membalas kematian Ka-

kang Garang Wanara!"

Suropati berusaha menelikung tangan Ga-

jah Angon. Sementara, Gajah Angon memberon-

tak. Dengan mengerahkan tenaga dalam, lelaki

kurus tinggi ini hendak melemparkan tubuh Su-

ropati. Namun dengan sebuah sentakan lembut

tapi disertai aliran tenaga dalam tingkat tinggi, Suropati berhasil mematahkan keinginan Gajah

Angon. "Lepaskan dia, Suro!" bentak Nyai Catur Asta tiba-tiba.

Pengemis Binal yang telah berhasil meneli-

kung lengan Gajah Angon menatap heran.

"Lepaskan dia!" bentak Nyai Catur Asta la-gi.

Melihat kesungguhan ratu Kerajaan Silu-

man itu, akhirnya Pengemis Binal melepas kedua

pergelangan tangan Gajah Angon. Dan begitu be-

bas, Gajah Angon langsung menggembor keras

seraya melancarkan pukulan jarak jauh!

Wusss...!





5

Secepat kilat Pengemis Binal mengibaskan

telapak tangan kanannya yang telah dialiri selu-

ruh kekuatan tenaga dalam. Maksudnya untuk

membelokkan dua larik sinar jingga wujud puku-

lan jarak jauh Gajah Angon. Tapi...

Blarrr...!

"Oughhh...!"

Timbul ledakan cukup keras manakala dua

larik sinar jingga terbentur gelombang angin ciptaan Pengemis Binal. Namun karena kalah kedu-

dukan dan gelombang angin itu datangnya sedikit

terlambat, dua larik sinar jingga terus melesat walau telah agak melenceng arahnya. Nyai Catur

Asta yang tak mau membela diri merelakan bahu

kirinya menjadi sasaran. Akibatnya, sebagian

kain baju Nyai Catur Asta terbakar jadi abu. Dan, kulitnya yang halus mulus berubah biru menghitam. "Uh...!"

Nyai Catur Asta mengeluh kesakitan. Ber-

diri terhuyung-huyung sambil mendekap bahu ki-

rinya yang terasa panas luar biasa. Untung keku-

atan pukulan jarak jauh Gajah Angon sudah ber-

kurang banyak akibat berbenturan dengan ge-

lombang angin ciptaan Pengemis Binal. Sehingga

tulang bahu Nyai Catur Asta tetap utuh dan tidak sampai mengguncangkan isi dadanya.

Sebenarnya Nyai Catur Asta memiliki ilmu

aji 'Pengusir Bebaya'. Bila ajian itu dikeluarkan,





sekujur tubuh Nyai Catur Asta akan diselubungi

cahaya merah. Pukulan jarak jauh macam apa

pun bila menerpa cahaya merah itu akan terhisap

lenyap. Sengaja Nyai Catur Asta tidak mengguna-

kan ajian itu karena rela menerima pukulan jarak jauh Gajah, Angon untuk menebus kesalahannya.

"Nyai...!" pekik Pengemis Binal seraya meloncat mendekati Nyai Catur Asta.

"Diam di tempatmu, Suro!" Mendadak, Nyai Catur Asta membentak marah. Salah satu tangannya mengibas. Pelan saja, tapi sudah mampu

membuat tubuh Pengemis Binal terpental.

"Gajah Angon!" sebut Nyai Catur Asta tanpa memperhatikan Pengemis Binal yang meringis

kesakitan karena pantatnya membentur tanah

keras. "Bila kau ingin membalas kematian Garang Wanara, lakukan sekarang juga. Aku tak akan

membela diri. Aku memang salah, dan patut

mendapat hukuman darimu."

Wajah Gajah Angon masih terlihat mene-

gang garang. Hembusan napasnya memburu. Bo-

la matanya tetap berkilat tajam.

"Pak Tua!" seru Pengemis Binal. "Jangan berbuat gegabah! Semua orang akan mengutuk-mu bila kau membunuh orang yang tidak mela-

wan!" Gajah Angon mendengus. Ucapan Penge-

mis Binal sama sekali tak diperhatikannya. Se-

mentara, urat-urat di kedua pergelangan tangan-

nya tampak bertonjolan. Gajah Angon telah

menghimpun seluruh kekuatan tenaga dalamnya!

"Nyai...!" seru Pengemis Binal, mengkhawa-





tirkan keadaan Nyai Catur Asta. "Kau sudah cukup menebus kesalahanmu, Nyai. Kau tidak bo-

leh bersikap seperti itu! Bila kau mati, siapa yang akan membantuku melepas roh Barata Sukma

dari tubuh Prahesti?"

Nyai Catur Asta juga tak memperhatikan

ucapan Pengemis Binal. Matanya terpejam rapat,

tampak pasrah untuk menyambut malaikat ke-

matian!

Pengemis Binal bingung menyaksikan ade-

gan yang sangat mendebarkan itu. Gajah Angon

terus menatap Nyai Catur Asta penuh kebencian.

Sementara, Nyai Catur Asta semakin terlihat pa-

srah. "Pak Tua!" seru Pengemis Binal, keras sekali. "Bila kau bunuh Nyai Catur Asta, kau akan menyesal seumur hidup!"

Seperti orang gila, Pengemis Binal lalu me-

loncat ke depan Nyai Catur Asta. Kedua tangan-

nya disilangkan di depan dada. Siap melindungi

Nyai Catur Asta.

"Minggir kau, Suro!" usir Nyai Catur Asta tanpa membuka kelopak mata. "Kau tak perlu

mencampuri urusan ini!"

"Tidak, Nyai!" tolak Pengemis Binal. "Kau sudah cukup menerima hukuman atas kesalahanmu. Aku tahu batinmu tersiksa, Nyai. Tapi,

kau tidak boleh bersikap seperti ini!"

Mendadak, Gajah Angon berdiri limbung.

"Maaf kan aku, Kakang Wanara. Maafkan aku...,"

desahnya dengan mata berkaca-kaca. Ditatapnya

sebentar wajah polos Suropati, lalu berkelebat





meninggalkan tempat.

"Pak Tua...!" panggil Suropati.

Gajah Angon tak memperhatikan. Malah

mempercepat kelebatan tubuhnya, lalu menghi-

lang di balik batang-batang pohon.

"Kasihan sekali kau, Pak Tua...," ujar Suropati. Teringat pada Nyai Catur Asta, remaja

tampan ini bergegas membalikkan badan. Wajah

Nyai Catur Asta jelas menyiratkan kesedihan. Dia mendesah panjang beberapa kali.

"Bagaimana lukamu, Nyai?" tanya Penge-

mis Binal, khawatir.

"Tak apa-apa, Suro," jawab Nyai Catur As-ta.

Suropati memperhatikan kulit bahu kiri

Nyai Catur Asta yang biru menghitam. Sekilas sa-

ja Suropati tahu bila luka akibat pukulan jarak jauh Gajah Angon itu hanya luka luar yang tidak

begitu berbahaya. Namun, Suropati segera ingat

akan luka dalam Nyai Catur Asta yang didapat

dari Prahesti.

"Bagaimana dengan luka dalammu, Nyai?"

tanya Suropati, ketolol-tololan.

"Kau tak perlu mengkhawatirkanku, Suro.

Putri Racun telah menolongku."

"Putri Racun?"

Pengemis Binal segera ingat seorang gadis

cantik berilmu tinggi yang sangat ahli dalam bi-

dang racun. Dia bernama Kusuma, tapi lebih di-

kenal sebagai Putri Racun. Usia Putri Racun se-

benarnya lebih dari seratus tahun, namun tubuh





dan wajahnya mirip gadis dua puluh tahunan.

Dia pernah tinggal di Kerajaan Siluman selama

satu abad. Hal itulah yang membuatnya awet

muda. Di Kerajaan Siluman, dia tidak ikut dalam

putaran waktu. Tapi, kenapa Nyai Catur Asta

mengatakan bila dirinya telah ditolong gadis itu?

Apakah Putri Racun telah diminta Nyai Catur As-

ta untuk kembali ke Kerajaan Siluman? Lalu, ba-

gaimana dengan rencana pernikahan Putri Racun

dengan Saka Purdianta atau si Dewa Guntur?

"Kau heran, Suro?" tanya Nyai Catur Asta yang melihat Pengemis Binal terlongong bengong.

"Apakah Nyai meminta Putri Racun kemba-

li ke Kerajaan Siluman?" Suropati balik bertanya.

"Tidak. Aku mendatanginya."

"Di Katumenggungan Lemah Abang?" Su-

ropati menyebut sebuah katumenggungan di wi-

layah Kerajaan Pasir Luhur. Di sanalah kekasih

Putri Racun, Saka Purdianta, tinggal dan me-

mangku jabatan sebagai tumenggung mengganti-

kan ayahnya yang mati dibunuh Karma Salodra.

(Baca serial Pengemis Binal dalam episode: "Pemberontakan Subandira").

"Ya. Dan kedatanganku ini sebenarnya un-

tuk menyampaikan surat gadis itu, Suro."

"Surat? Surat apa? Ditujukan kepada sia-

pa?" Salah satu tangan Nyai Catur Asta mengambil sampul merah jambu dari balik pakaian-

nya, lalu diserahkannya kepada Pengemis Binal.

Suropati sahabatku,

Adalah satu kehormatan besar bagiku dan





bagi Saka Purdianta bila kau bersedia datang pa-da pesta pernikahan kami. Kami yang berbahagia akan duduk di pelaminan pada hari kesepuluh

purnama ketujuh.

Kusuma/Putri Racun

Surat undangan itu dibuat dengan sula-

man benang emas. Tulisannya bagus sekali, terte-

ra pada sehelai kain sutera biru laut yang pinggi-rannya dihiasi renda-renda dari benang emas pu-

la. Usai membaca, Pengemis Binal memasukkan-

nya lagi ke sampul merah jambu, terbuat dari

kertas tebal namun halus dan lemas.

"Putri Racun dan Saka Purdianta sangat

mengharapkan kedatanganmu, Suro," beri tahu Nyai Catur Asta.

"Kalau tidak ada halangan, aku pasti da-

tang, Nyai," sambut Pengemis Binal. "Tapi bagaimana dengan Prahesti?"

"Kedatanganku ini juga untuk membicara-

kan itu." Nyai Catur Asta lalu mengatakan renca-nanya untuk melepas roh Barata Sukma yang

bersemayam dalam tubuh Prahesti. Gelap telah

menyelimuti manakala ratu Kerajaan Siluman ini

menutup bicaranya.

"Aku akan menjalankan rencana Nyai den-

gan sebaik-baiknya," ujar Pengemis Binal kemudian. Nyai Catur Asta tersenyum.

Terdengar gemerincing lonceng kereta kuda

yang saling sahut dengan suara dengungan. Pen-

gemis Binal merangkapkan kedua telapak tan-





gannya di depan dada.

"Selamat jalan, Nyai...."

"Terima kasih, Suro...."

Seberkas cahaya merah melesat dari ang-

kasa, tepat menerpa tubuh Nyai Catur Asta. Di

lain kejap, sosok Nyai Catur Asta telah menghi-

lang dari pandangan.





* * *

Suropati menarik napas panjang beberapa

kali. Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, remaja tampan ini mengarahkan pandangan ke

atas. Langit telah kelam yang terbawa malam ba-

gai selembar layar hitam terbentang luas tiada

bertepi. Titik-titik bintang menebar di antara wajah bulat sang candra, memberi cahaya temaram

ke permukaan bumi.

"Hmmm.... Aku tetap akan ke Kota Kadipa-

ten Bumiraksa," gumam Pengemis Binal. "Cukup lama aku meninggalkan Kuil Saloka. Teman-teman di sana tentu merindukan kedatanganku.

Mereka bisa membantuku untuk mencari kete-

rangan tentang Prahesti."

Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas

Suropati menjejak tanah. Tubuhnya berkelebat

cepat menyatu dengan hembusan angin. Namun

belum seberapa jauh jarak yang dia tempuh, tiba-

tiba.... Set...!

"Eit..!"

Sebuah benda panjang berwarna putih





berkilat melesat dari depan. Suropati yang jeli dapat memastikan bila benda yang dilempar dengan

pengerahan tenaga dalam itu tak lain dari seba-

tang pedang. Cepat Suropati miringkan tubuhnya.

Lalu, tangan kanan remaja tampan ini bergerak

cepat. Tep...!

Pengemis Binal berhasil menangkap benda

panjang yang sengaja dilemparkan ke arahnya.

Ternyata, benda itu memang sebatang pedang.

Dengan kening berkerut rapat, Pengemis

Binal memperhatikan pedang yang hulunya ter-

cekal di tangan kanannya. Bilah pedang itu tidak dihunus. Dilemparkan lengkap dengan sarungnya

yang berwarna putih berukir dua ekor naga.

"Pelempar pedang ini tidak bermaksud

membunuhku. Sepertinya dia sengaja melempar-

kan pedangnya agar dapat kutangkap," duga Pengemis Binal. "Tapi, siapa dia dan apa maksudnya?" Selagi Suropati bertanya-tanya seorang di-ri, mendadak terdengar sebuah suara menyebut

namanya.

"Suropati...."

Mendengar suara yang mirip rintihan orang

sakit, Pengemis Binal tahu bila itu adalah ucapan Datuk Risanwari. Bergegas Pengemis Binal mengedarkan pandangan, tapi hanya batang-batang

pohon yang dapat dia lihat. Agaknya Datuk Ri-

sanwari berbicara dengan ilmu mengirim suara

dari jarak jauh.

"Suropati...," sebut suara itu lagi.





"Ya, Datuk," sahut Pengemis Binal.

"Pedang yang kau bawa itu kurampas dari

tangan Prahesti. Pedang itu menyimpan kekuatan

gaib yang bersumber dari sumpah seseorang. Aku

menduga Prahestilah yang mengangkat sumpah

itu." Suropati menatap lebih seksama pedang putih di tangannya. Tapi, remaja tampan ini tidak melihat kelebihan apa-apa di balik keindahannya.

"Dengan membuka mata batin, kau akan

dapat merasakan getaran-getaran gaib di bilah

pedang itu," beri tahu suara Datuk Risanwari, seakan dapat membaca pikiran Pengemis Binal.

"Datuk memberikan pedang ini kepadaku?"

tanya Suropati.

"Pedang itu bukan milikku. Jadi, aku tak

berhak memberikannya kepadamu. Untuk semen-

tara, bawalah. Mungkin suatu saat nanti kau

membutuhkannya. "

"Ya, Datuk."

Pengemis Binal menunggu kelanjutan pe-

san yang disampaikan Datuk Risanwari. Tapi

hingga tiga tarikan napas, dia tak mendengar su-

ara apa-apa lagi, kecuali desau angin dan tekur

burung hantu.

"Datuk Risanwari telah pergi," duga Pengemis Binal.

Remaja yang menyelipkan sebatang tong-

kat butut di ikat pinggangnya ini menimang-

nimang pedang berukir dua ekor naga sebentar.

Dia ingat kata-kata Gede Panjalu bahwa setiap

anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti di-





larang menggunakan senjata tajam. Untuk mem-

bela diri dan membela kaum lemah, cukuplah

dengan bersenjata tongkat. Tapi mengingat pesan

Datuk Risanwari yang tak lain ayah kandung

Gede Panjalu sendiri, Suropati memutuskan un-

tuk membawa pedang yang sarungnya berukir

dua ekor naga itu. Pedang Naga Kembar, nama

pedang itu. Sebenarnya Pedang Naga Kembar mi-

lik Garang Wanara, kakak seperguruan Gajah

Angon. Sebelum meninggal, Garang Wanara me-

wariskan pedang itu kepada Prahesti. Sementara,

Garang Wanara sendiri memperolehnya dari Dar-

ma Sagotra, gurunya.

Beberapa saat sebelum Nyai Catur Asta da-

tang ke puncak Bukit Palastra, Prahesti memang

mengangkat sumpah. Kalau dia menggunakan

pedang warisan itu untuk maksud-maksud tak

baik atau hanya untuk kepentingan diri pribadi,

dia rela mati tertembus pedang itu sendiri. (Baca dalam episode: "Penyesalan Ratu Siluman").

6

Semalam penuh bocah perempuan lima be-

las tahunan ini bersemadi di tepi aliran sungai

dekat Kota Kadipaten Bumiraksa. Walau matanya

terpejam, tapi wajahnya jelas menggambarkan

kebengisan. Menegang garang, bagai banteng

aduan. Pakaiannya yang berwarna putih bergaris

coklat tampak berkibar-kibar diterpa hembusan





angin. Udara yang keluar dari lubang hidungnya

menjadi uap tipis, pertanda hawa yang kelewat

dingin. Namun, bocah yang tidak lain dari Prahes-ti ini tetap duduk di tempatnya tanpa sedikit pun terusik oleh binatang malam maupun hawa dingin yang menusuk tulang.

Manakala semburat cahaya mentari me-

nyapa dari garis cakrawala timur, tubuh Prahesti terlihat bergetar. Hembusan napasnya yang semula lembut teratur berubah mendengus-dengus,

seperti tengah menahan kemarahan. Sementara

hawa dingin berganti kesejukan pagi hari, kerin-

gat panas malah bertetesaan dari tubuh Prahesti.

Berhias butir-butir peluh, wajah bocah perem-

puan ini terlihat makin menegang garang. Kelo-

pak matanya masih tertutup rapat. Tapi, rahang-

nya menggembung hingga berbentuk balok perse-

gi empat. Barisan giginya bertautan, menimbul-

kan suara gemeletuk keras.

"Haram jadah! Catur Asta keparat!"

Mendadak, Prahesti menutup semadinya

dengan kata-kata umpatan. Bola matanya melo-

tot, membersitkan sinar kemarahan meluap-luap.

Tangannya terkepal dengan urat-urat menggem-

bung. "Hmmm.... Punya otak juga kau rupanya Ratu Pecundang Catur Asta!" geram Prahesti.

"Kau bentengi Kerajaan Siluman-mu dengan kekuatan gaib, hingga aku tak dapat masuk. Tapi..., jangan terlalu gembira dulu. Akan kujebol kekuatan gaibmu walau terpaksa aku menghancurkan

Istana Siluman!"





Prahesti menarik napas panjang tiga kali.

Sejenak diusirnya hawa amarah yang menyesak-

kan dadanya. Lalu, dia pentangkan kedua tan-

gannya lebar-lebar. Perlahan-lahan dinaikkan, la-lu bertemu di atas kepala. Suara mendesis tim-

bul. Kedua telapak tangannya yang melekat erat

mengepulkan asap. Kemudian, dia turunkan ke-

dua telapak tangannya di depan dada. Prahesti

hendak mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang

terhebat! Tapi....

"Prahesti...!"

Sebuah suara memekik nyaring, membelah

halimun pagi. Seorang laki-laki berjubah hitam

muncul dari timur aliran sungai. Dia Gajah An-

gon! "Prahesti...!"

Gajah Angon memekik lebih keras. Keha-

ruan dan kerinduan merebak di hatinya. Lelaki

bertubuh tinggi kurus ini lupa bila Prahesti telah berubah jadi makhluk jahat yang amat berbahaya. Rupanya rasa duka yang dalam telah

mengguncangkan jiwa Gajah Angon. Otaknya tak

mampu berpikir jernih lagi

Karena Prahesti tak juga menjawab panggi-

lannya, Gajah Angon berjalan mendekat sambil

menyebut-nyebut nama muridnya itu.

"Prahesti.... Prahesti...."

Ditatapnya wajah Prahesti tanpa berkedip.

Lalu, dibelainya rambut-rambut bocah perem-

puan itu penuh kasih.

"Prahesti..., ini Eyang Gajah Angon...."

Belaian tangan Gajah Angon tentu saja





mengganggu semadi Prahesti. Perlahan kelopak

mata Prahesti terbuka. Tahu ada orang di hada-

pannya, bahkan menyentuh anggota tubuhnya,

Prahesti terkesiap. Tanpa sadar dia meloncat

menjauhi.

"Prahesti...!" seru Gajah Angon. "Ini Eyang Gajah Angon. Kita kembali ke Bukit Palastra sekarang!"

Dari balik halimun yang samar-samar mu-

lai membubung, Prahesti menatap dengan pan-

dangan nanar. "Tua bangka keparat! Pergi kau!

Jangan ganggu semadiku!" hardiknya keras

menggelegar, memecah keheningan pagi.

"Prahesti! Aku gurumu! Aku Eyang Gajah

Angon!" seru Gajah Angon, menyimpan keterkejutan. "Kembalilah ke Bukit Palastra bersamaku!'

"Kembali ke Bukit Palastra? Hi hi hi...!"

Prahesti tertawa mengikik. "Kau telah mengganggu semadiku. Pergilah ke Bukit Palastra seorang

diri!" Prahesti mendengus gusar. Kaki kanannya menggedruk tanah. Timbul suara berdebum dahsyat. Bumi berguncang keras. Gajah Angon men-

jerit kaget karena merasakan tubuhnya terangkat

lalu melayang jauh!

Bruk...!

"Akhhh...."

Gajah Angon jatuh telentang di tanah. Ma-

tanya mendelik kaget. Sadarlah lelaki berjubah

hitam ini bila Prahesti bukan seorang bocah lugu yang pernah menjadi muridnya. Namun, kesadaran yang timbul dalam diri Gajah Angon terlam-





bat karena Prahesti bermaksud membunuhnya!

Belum sempat Gajah Angon bangkit berdi-

ri, Prahesti telah mengirim pukulan jarak jauh.

Dua larik sinar kuning menggidikkan melesat dari telapak tangan Prahesti!

Wusss...!

Blarrrr...!

Keheningan pagi terpecah oleh ledakan ke-

ras menggelegar. Bola mata Prahesti melotot be-

sar. Bahunya terlihat naik turun terbawa hem-

busan napasnya yang memburu. Darahnya

menggelegak naik sampai ke ubun-ubun. Pukulan

jarak jauhnya dipapaki dua larik sinar putih berkeredepan. Gajah Angon selamat!

"Wujudnya hanya bocah perempuan yang

tampak masih butuh belaian kasih sayang orang

tua..., tapi perbuatanmu sejajar dengan kekeja-

man iblis!" ujar seorang pemuda berpakaian penuh tambalan yang berdiri di hadapan Gajah An-

gon. Pemuda kurus yang menyelipkan tongkat

berkepala naga di ikat pinggangnya inilah yang telah memapaki pukulan jarak jauh Prahesti.

"Jahanam!" umpat Prahesti. Bocah perempuan ini hendak berkata lebih banyak, tapi sua-

ranya tercekat di tenggorokan. Jalan napasnya terasa buntu akibat desakan amarah yang meluap-

luap. "Aku tidak bisa membiarkan sebuah kekejaman berlangsung di depan mataku!" tambah

pemuda kurus yang tak lain dari Wirogundi alias

Pendekar Patah Hati.





Gajah Angon menatap Prahesti dan Wiro-

gundi bergantian. Kesadaran lelaki berjubah hi-

tam ini sudah kembali penuh. Dia bersyukur ada

orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Na-

mun ketika melihat Wirogundi memasang kuda-

kuda untuk mengawali pertempuran, cepat Gajah

Angon menegur.

"Jangan bunuh dia!"

Wirogundi menoleh.

"Dia muridku!" tambah Gajah Angon.

"Muridmu? Kenapa dia bermaksud mem-

bunuhmu?" Wirogundi heran.

"Ada roh jahat yang menyusup ke tubuh-

nya." Mendengar keterangan singkat itu, Wirogundi jadi paham. Dia alihkan pandangan. Pra-

hesti tampak menghunus Pedang Burung Hong

yang terselip di punggungnya. Sejenak Wirogundi

dibuat terkagum-kagum. Seumur hidup baru kali

ini dia melihat pedang seindah itu. Ukiran pada

bilah Pedang Burung Hong yang bengkok meman-

carkan sinar gemerlapan ketika sinar mentari

menerpanya. Namun, kekaguman Wirogundi kon-

tan lenyap karena mengeluarkan tawa panjang

mengikik dengan sorot mata menyiratkan keben-

cian. "Hi hi hi...! Kulihat kau menyelipkan tongkat di pinggangmu. Cabutlah segera, Monyet Bu-

duk! Hendak kulihat seberapa jauh kemampuan-

mu menahan gempuran Pedang Burung Hong!"

Di ujung kalimatnya, Prahesti meluruk. Ti-

ba-tiba, bilah Pedang Burung Hong memancarkan





sinar kebiruan. Cepat Wirogundi meloloskan

tongkat berkepala naganya. Begitu Pedang Bu-

rung Hong membabat, dia buang tubuhnya ke ki-

ri. Lalu dengan menggunakan jurus Tongkat Me-

mukul Anjing', dia mengirim serangan bertubi-

tubi. "Jangan bunuh dia! Dia muridku!" teriak Gajah Angon memperingatkan.

Gajah Angon bingung, tak tahu apa yang

harus diperbuatnya. Membantu Wirogundi untuk

segera dapat melumpuhkan Prahesti, jelas dia tak mau melakukannya. Gajah Angon tak ingin melihat Prahesti terluka. Sedang kalau membantu

Prahesti, hanya orang gila yang mau melakukan-

nya. Prahesti telah menjadi makhluk keji yang

haus darah, untuk apa dibela?

Mata Gajah Angon terbelalak lebar. Per-

tempuran yang berlangsung di hadapannya terli-

hat sangat seru. Tubuh Prahesti dan Wirogundi

berubah menjadi bayangan yang berkelebatan

saling mengirim serangan. Dan, beberapa kali

timbul ledakan keras di udara manakala bila Pe-

dang Burung Hong mengeluarkan sinar kebiruan

yang menyambar-nyambar ke berbagai penjuru.

Lewat sepuluh jurus kemudian, Wirogundi

tampak terdesak. Jelas Prahesti berada di atas

angin karena dia bertempur dengan penuh ke-

sungguhan untuk segera dapat merobohkan la-

wan sekaligus membunuhnya. Sementara, Wiro-

gundi hanya bermaksud melumpuhkan tanpa

mau melukai apalagi menjatuhkan tangan maut.

Lain itu Pedang Burung Hong di tangan Prahesti





pun benar-benar membuat Wirogundi kewalahan.

Sinar kebiruan yang memancar dari bilah Pedang

Burung Hong menebarkan hawa panas. Hingga,

cepat sekali Wirogundi bermandi peluh. Dan, ten-

tu saja hal ini membuat Wirogundi cepat kelela-

han. Saat Pedang Burung Hong berkelebat hen-

dak membabat pinggang, cepat Wirogundi melen-

tingkan tubuhnya. Selagi melayang di udara, Wi-

rogundi bersalto dua kali. Lalu, secepat kilat

tongkatnya meluncur, hendak menotok jalan da-

rah di pangkal lengan Prahesti. Maksud Wirogun-

di adalah untuk menjatuhkan Pedang Burung

Hong yang tercekal di tangan kanan Prahesti. Ta-

pi.... "Hiah...!"

Bet...!

Prahesti tak mau menghindar. Ketika

ujung tongkat Wirogundi hampir mengenai sasa-

ran, bilah Pedang Burung Hong membabat. Satu

babatan yang dikirim Prahesti mengandung dua

serangan beruntun. Pertama, menebas putus

tongkat Wirogundi. Dan kalau Wirogundi menarik

tongkatnya, bilah Pedang Burung Hong akan te-

rus meluncur. Bagian yang bengkok digunakan

untuk menggaet leher Wirogundi!

Namun, agaknya Wirogundi telah memper-

hitungkan serangan yang dilakukan Prahesti itu.

Pemuda ini sadar bila tongkatnya tak dapat

melawan ketajaman Pedang Burung Hong. Bila

sampai terjadi benturan, maka tongkatnya akan

terbabat kutung. Tapi tongkat Wirogundi masih





punya satu keunggulan, yakni lebih panjang. Wi-

rogundi hendak menggunakan satu-satunya

keunggulan tongkat itu dengan perhitungan ma-

tang. Saat bilah Pedang Burung Hong berkelebat, Wirogundi menyalurkan seluruh kekuatan tenaga

dalamnya ke batang tongkat. Tongkat berkepala

naga tak ditariknya. Menurut perhitungan pemu-

da kurus ini, batang tongkatnya boleh terbabat

putus, tapi ujungnya akan lebih dulu menotok

pangkal lengan kanan Prahesti. Dan hasilnya....

Tuk...!

Tes...!

Ujung tongkat Wirogundi memang berhasil

menotok jalan darah Prahesti. Namun, dia pun

mesti merelakan senjata andalannya terbabat pu-

tus menjadi dua bagian.

"Ih...!"

Terkejut tiada terkira Wirogundi. Totokan

tongkatnya tepat mengenai sasaran, tapi bagai-

mana mungkin pedang di tangan kanan Prahesti

tidak terlepas dari cekalan? Mungkinkah bocah

perempuan itu kebal totokan?

Dalam waktu kurang dari satu kejapan ma-

ta, tak dapat Wirogundi berpikir panjang. Bilah

Pedang Burung Hong yang bengkok berkelebat

amat cepat untuk segera mengait lehernya hingga

putus! "Hiah...!"

Bet...!

"Argh...!"

Dalam keterkejutannya, Wirogundi masih





sempat merundukkan tubuh. Tapi, gerakannya

sedikit kurang cepat. Sehingga ketajaman Pedang

Burung Hong sempat menyambar bahu kanan-

nya. Cairan darah segar memercik ke tanah di-

iringi jerit kesakitan Wirogundi.

"Kau... kau terluka, Anak Muda...," desis Gajah Angon seraya meloncat mendekati.

Wirogundi menatap Gajah Angon sekilas.

Luka di bahu kanannya terasa panas dan pedih.

Kain bajunya yang semula bersih walau penuh

tambalan, kini penuh noda darah.

"Benarkah dia muridmu, Pak Tua?" tanya Wirogundi sedikit menggeram.

"Ya. Ya, dia muridku. Jangan kau bunuh

dia...." "Kulihat dia sangat beringas dan kejam, Pak Tua! Bagaimana aku dapat mempertahankan

diri tanpa membunuhnya?"

"Tidak! Kau tidak boleh membunuhnya!"

Mendengar kata-kata tegas Gajah Angon,

Wirogundi mengerutkan kening. Sebenarnya bisa

saja Gajah Angon lepas tangan untuk tak men-

campuri urusan Gajah Angon dan Prahesti. Tapi,

entah kenapa hatinya terpanggil untuk berbuat

sesuatu guna memecahkan masalah guru dan

murid itu.

"Hi hi hi..!" Prahesti tertawa mengikik melihat Wirogundi dan Gajah Angon saling pandang.

"Majulah kalian berdua! Akan kugunakan darah kalian untuk tumbal menggulingkan takhta Kerajaan Siluman! Hi hi hi..!"

Sewaktu Wirogundi dan Gajah Angon di-





landa kebingungan, lamat-lamat terdengar geme-

rincing lonceng yang saling sahut dengan suara

dengungan. Semakin lama, terdengar makin ke-

ras. Prahesti mendengus gusar. Dengan menyi-

langkan Pedang Burung Hong di depan dada, dia

mengedarkan pandangan. Bocah setengah silu-

man ini tahu benar bila suara aneh yang diden-

garnya adalah isyarat kedatangan Nyai Catur As-

ta.

Namun, hingga beberapa lama sosok Nyai

Catur Asta tak juga tampak. Sementara, suara

aneh itu terdengar terus. Semakin lama, terasa

memekakkan gendang telinga. Bahkan, mampu

membuat jantung terasa bagai diremas-remas!

"Haram jadah! Segera tampakkan dirimu,

Ratu Pecundang Catur Asta!" hardik Prahesti, terus mengedarkan pandangan dalam kewaspadaan

penuh. "Suara apa ini, Pak Tua?" tanya Wirogundi, tak mengerti.

"Nyai Catur Asta akan datang ke tempat

ini," jawab Gajah Angon dengan wajah tegang. Lelaki berjubah hitam ini teringat kejadian sema-

lam. Dia telah melukai Nyai Catur Asta. Bagaima-

na kalau sekarang ratu Kerajaan Siluman itu in-

gin membalasnya?

"Nyai Catur Asta...," desis Wirogundi, berkata kepada dirinya sendiri. Pemuda berwajah

muram ini tahu siapa Nyai Catur Asta. Dia per-

nah diberi tahu Suropati perihal wanita bertangan empat itu.





Wirogundi berharap Nyai Catur Asta agar

segera muncul. Dia ingin mengetahui kebenaran

cerita Suropati. Benarkah Nyai Catur Asta memi-

liki wajah cantik jelita walau bertangan empat?

"Keparat kau, Catur Asta!" umpat Prahesti yang semakin digeluti rasa penasaran karena Nyai Catur Asta tak juga menampakkan diri.

"Tampakkan dirimu! Dan, hadapilah aku

untuk menentukan siapa yang lebih berhak men-

duduki takhta Kerajaan Siluman!" teriak Prahesti, keras menggelegar. Hingga beberapa lama suaranya membahana di angkasa.

Sosok Nyai Catur Asta tetap tak tampak.

Sementara, gemerincing lonceng kereta kuda yang

saling sahut dengan suara dengungan terus ter-

dengar.

"Hmmm.... Agaknya kau ingin aku menge-

luarkan ilmu kesaktian. Baiklah kalau itu yang

kau mau!" dengus Prahesti.

Namun sebelum Prahesti berbuat sesuatu,

mendadak berkelebat sesosok bayangan seraya

berteriak, "Kuntilanak bunting! Sungguh suatu keberuntungan aku menjumpaimu di tempat

ini...!" Kontan Prahesti menggeram penuh kemarahan saat tahu siapa yang hadir di hadapannya.

"Pemuda gendeng!" dengusnya, "Suatu keberuntungan pula kau datang ke tempat ini. Aku tahu

kau lelaki piaraan Catur Asta. Ada baiknya kau

kubunuh lebih dulu sebelum aku berhitungan

dengan ratu pecundang itu!"

Remaja tampan berpakaian putih penuh





tambalan yang disebut Prahesti sebagai 'pemuda

gendeng' tampak garuk-garuk kepala. Remaja

tampan yang tak lain dari si Pengemis Binal Su-

ropati ini lalu tertawa terkekeh sambil nyengir

kuda, "He he he.... Bodoh sekali kau, Bocah Geblek! Kau keliru bila mengatakan aku lelaki pia-

raan Nyai Catur Asta! Yang benar, aku orang ke-

percayaan Nyai Catur Asta yang diutus untuk

memotes hidungmu atau menanggalkan kuping

mu! He he he...!"

"Keparat!" geram Prahesti seraya menghunus lagi Pedang Burung Hong.

"Hati-hati, Suro!" seru Wirogundi dari kejauhan.

Pengemis Binal membalikkan badan den-

gan sikap dibuat-buat. Dia bukan tidak tahu bila Prahesti telah siap menyerangnya, tapi dia sengaja memancing terus kemarahan Prahesti. Dia ta-

hu benar bila orang yang dikuasai hawa amarah,

jika bertempur kewaspadaannya akan berkurang.

Dengan pantat digoyang-goyangkan, Pen-

gemis Binal menatap Wirogundi yang berdiri ber-

dampingan dengan Gajah Angon. Melihat luka di

bahu Wirogundi, Pengemis Binal kaget. Tapi ka-

rena Pengemis Binal pernah belajar ilmu pengoba-

tan, yang tentu saja juga belajar mengenali jenis-jenis luka, dia segera tahu bila luka Wirogundi tidak berbahaya.

"Balut lukamu itu, Wno...," ujar Suropati.

"Jangan sampai ada lalat mengerumuninya. Apalagi kulihat ada ratu lalat di belakangku!"

Pengemis Binal mengalihkan pandangan.





Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, dia

berkata, "Rupanya kau berada di tempat ini, Pak Tua. Tapi, kulihat air mukamu amat keruh. Kau

boleh sedih, namun jangan biarkan mulutmu

ternganga. Kalau ratu lalat masuk, dia bisa ken-

tut di dalam perutmu!"

Prahesti yang dikatakan Suropati sebagai

'ratu lalat' tak mampu lagi menahan amarah. Dis-

ertai suara pekik nyaring dari mulutnya, dia me-

nerjang. Bilah Pedang Burung Hong berkelebat

hendak memenggal leher Pengemis Binal!

"Heaaa...!"

Bettt...!

Dari pendengarannya yang tajam, Suropati

tahu ada bahaya mengancam jiwanya. Namun

sambil menggoyangkan pantat, dia merunduk.

Saat bilah Pedang Burung Hong lewat di atas ke-

pala, secepat kilat dia cabut tongkat butut yang terselip di ikat pinggangnya. Lalu dengan tetap

merunduk, Suropati menusukkan tongkat itu le-

wat selangkangannya. Yang diincar adalah bagian

tengah tubuh Prahesti!

"Cilukba...!"

Wuttt...!

Mata Prahesti melotot melihat serangan

Suropati yang konyol tapi cukup berbahaya. Ce-

pat Prahesti berkelit ke kanan. Dan, bagian tu-

buhnya yang 'terpenting' pun selamat dari tusu-

kan tongkat Pengemis Binal.

Namun..., mendadak Suropati meloncat

tinggi ke udara. Sambil bersalto, tongkatnya di-

hantamkan ke kepala Prahesti!





Cepat sekali kelebatan tongkat Pengemis

Binal. Mata Prahesti sampai tak dapat melihat-

nya. Tapi, dia masih dapat merasakan desir angin yang ditimbulkan kelebatan tongkat itu. Cepat

Prahesti memapaki dengan sambaran Pedang Bu-

rung Hong!

Tapi....

Bukkk..!

"Argh...!"

Batang tongkat Pengemis Binal berhasil

menghajar punggung Prahesti. Rupanya remaja

konyol ini menyerang dengan menggunakan gerak

tipu 'Tongkat Menghajar Maling'. Ketika Pedang

Burung Hong menyambar hendak membabat pu-

tus batang tongkatnya, Pengemis Binal menekuk

siku kanannya, hingga batang tongkat terangkat.

Begitu sambaran Pedang Burung Hong lewat,

Pengemis Binal menjulurkan kaki kirinya untuk

menendang dada Prahesti. Dan sewaktu Prahesti

menghindar, tongkat Pengemis Binal bekerja lagi.

Tepat menghantam punggung lawan!

"He he he...," Suropati tertawa terkekeh-kekeh melihat Prahesti yang jatuh menggelosor ke tanah. "Ratu lalat kena gebuk! Ratu lalat kena gebuk!" teriaknya sambil berjingkrak kegirangan.

Agaknya penyakit gendeng remaja konyol ini se-

dang kumat.

Namun, keterkejutan segera menghantam

Suropati manakala Prahesti bangkit disertai suara menggembor keras. Tangan kiri Prahesti tampak

mencekal sebuah arca emas sebesar anak kucing,

"Arca Budha...!" desis Pengemis Binal.





"Aku tak mau meladenimu terlalu lama.

Segera keluarkan ilmu andalanmu!"

Di ujung kalimatnya, Prahesti menempel-

kan bilah Pedang Burung Hong ke badan Arca

Budha. Sekejap mata kemudian, sekujur tubuh

Prahesti telah terselubungi cahaya kuning keema-

san yang memancar dari badan Arca Budha!

Sementara itu, gemerincing lonceng kereta

kuda yang saling sahut dengan suara dengungan

masih terdengar terus. Prahesti tahu bila Nyai Catur Asta berada di sekitarnya dan tengah menga-

wasi semua gerak-geriknya. Walau tubuh Prahesti

telah dilindungi kekuatan gaib yang bersumber

dari Arca Budha, tapi dalam diri bocah setengah

siluman ini tetap tersimpan rasa khawatir. Pra-

hesti tidak tahu apa yang akan diperbuat Nyai

Catur Asta. Ketidak-tahuannya itulah yang mem-

buat Prahesti harus menjaga kewaspadaan pe-

nuh. Terbawa perasaan tak enak yang mengge-

luti hatinya, Prahesti mengumpat, "Catur Asta keparat! Segera tampakkan batang hidungmu!

Hadapi aku bersama lelaki piaraanmu itu!"

Sebenarnya bisa saja Prahesti mengelua-

rkan ilmu kesaktian yang bisa membuat matanya

dapat melihat sosok gaib Nyai Catur Asta. Tapi itu tidak dilakukannya, karena dia khawatir Suropati akan menyerang selagi dia mengetrapkan il-munya, yang tentu saja membutuhkan waktu un-

tuk memusatkan pikiran.

Pengemis Binal yang dibuat terkejut oleh

cahaya yang memancar dari badan Arca Budha





tampak menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Namun, dia tahu bila Prahesti tengah dilanda ke-

kalutan. Tak ayal lagi, sifat gendengnya semakin menjadi.

"He he he...," tawa kekeh Suropati, penuh ejekan. "Sudah kubilang, aku ini bukan lelaki piaraan! Kenapa kau masih mengatakan itu?! Ru-

panya kau benar-benar geblek, Bocah Setan! Geb-

lek yang kelewat geblek!"

Setelah nyengir beberapa saat, Pengemis

Binal menengadahkan wajahnya. Sikapnya seperti

melihat sosok Nyai Catur Asta tengah melayang di angkasa. "Tetaplah di tempatmu, Nyai! Jangan tampakkan dirimu! Kalau sudah tiba waktunya,

kau bisa menghajar pantat ratu lalat itu. Dan,

kubantu kau untuk menonjok bibirnya yang

memble!"

"Jahanam!" geram Prahesti. Semakin panas hati bocah setengah siluman ini melihat kekonyo-lan Pengemis Binal. Lalu dengan sinar mata ber-

kilat-kilat, dia sesumbar, "Tampaknya aku harus segera menguburmu hidup-hidup, Pemuda Gendeng! Mulutmu yang kotor itu biar disumpal oleh

cacing tanah!"

Usai berkata, Prahesti menarik napas pan-

jang seraya menghimpun seluruh kekuatan tena-

ga dalamnya. Cahaya kuning keemasan yang me-

nyelubungi tubuhnya terlihat memancar makin

kuat dan amat menyilaukan mata. Bocah seten-

gah siluman ini hendak mengeluarkan salah satu

ilmu kesaktian nya yang terdahsyat!

"Hati-hati, Suro!" teriak Wirogundi, men-





gingatkan Pengemis Binal. Luka di bahunya tam-

pak sudah dibalut dengan sobekan kain lengan

bajunya

"Tak perlu khawatir, Wiro!" sahut Suropati.

"Tetaplah di tempatmu! Kalau ratu lalat itu sudah kubuat jatuh tengkurap, kau boleh ikut menghajar pantatnya!"

Tiba-tiba, Prahesti menarik kaki kirinya ke

belakang. Bersamaan dengan itu, dia sorongkan

bilah Pedang Burung Hong ke depan. Lalu..., dari ujung pedang pusaka itu melesat seberkas sinar

kebiruan yang berbaur dengan sinar kuning kee-

masan yang berasal dari badan Arca Budha!

"Hiah...!"

Wesss...!

Bergegas Pengemis Binal membuang tubuh

ke kanan. Namun, pemimpin Perkumpulan Pen-

gemis Tongkat Sakti ini terkesiap. Sinar panas

yang memancar dari ujung Pedang Burung Hong

terus memburunya!

"Uts...!"

Dengan berjumpalitan. Suropati berkelit.

Tapi sinar yang membawa hawa panas luar biasa

itu terus mengejarnya! Sementara, Prahesti tam-

pak menggerak-gerakkan tangan kanannya yang

memegang hulu Pedang Burung Hong. Ke mana

Suropati berkelit, ke situlah ujung Pedang Burung Hong diarahkan.

Maka, repotlah Suropati. Dengan mengan-

dalkan ilmu meringankan tubuh, dia berloncatan

ke segala penjuru angin. Sementara, sinar berha-

wa panas makin gencar memburu. Diserang se-





perti ini, daya tahan tubuh Suropati menjadi ce-

pat berkurang. Apalagi, dia sama sekali tak punya kesempatan untuk balas menyerang.

"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa dingin mengikik. "Mulutmu yang bawel itu sebentar lagi akan terbungkam. Makan 'Sinar Pemburu Jiwa' ini!"

Tangan kanan Prahesti yang memegang

hulu Pedang Burung Hong bergerak makin cepat.

Suropati pun harus mempercepat kelebatan tu-

buhnya. Dia meloncat ke sana sini sambil beru-

saha mendekati Prahesti guna melakukan seran-

gan balik. Tapi, agaknya Prahesti dapat membaca

pikiran remaja tampan itu. Setiap Suropati me-

loncat mendekat, dia memutar bilah Pedang Bu-

rung Hong. Dan, sinar berhawa panas yang dis-

ebutnya sebagai 'Sinar Pemburu Jiwa' makin me-

luas pancarannya. Sehingga Suropati terpaksa

harus meloncat menjauhi.

Wirogundi yang melihat pertempuran tak

seimbang itu jadi tegang. Matanya membelalak

tak berkedip. Dia hendak turun gelanggang untuk

membantu Suropati, tapi dia tak berani melaku-

kannya karena takut tindakannya malah akan

membuat Suropati marah. Sejak masih berumur

belasan tahun, Wirogundi telah tinggal bersama

Suropati sebagai gelandangan Kota Kadipaten

Bumiraksa. Jadi, Wirogundi tahu benar watak

dan tabiat Suropati. Selain ugal-ugalan, isi hati Suropati sangat sulit ditebak. Bila punya urusan, jarang dan bahkan hampir tidak pernah dia menerima uluran tangan orang lain, walau orang

yang menawarkan jasa baik itu sahabat dekatnya





sekalipun.

Dengan menyimpan rasa waswas di hati,

Wirogundi terus mengikuti jalannya pertempuran

dengan pandangan mata. Sementara, Gajah An-

gon terdengar mendesah berulang kali. Air mu-

kanya tak pernah cerah. Bahkan, terlihat makin

keruh. "Lihat serangan!"

Wuttt...!

Mendadak, Pengemis Binal melemparkan

tongkat bututnya. Karena dilemparkan dengan

tenaga dalam penuh, tongkat itu melesat sangat

cepat dan sulit diikuti pandangan mata. Tampak-

nya Prahesti pun tak punya waktu lagi untuk

menghindari lesatan batang tongkat yang menga-

rah ke ulu hatinya itu!

Blas...!

Akan tetapi, hasilnya sungguh di luar du-

gaan. Batang tongkat Pengemis Binal hancur le-

bur menjadi abu tatkala membentur cahaya kun-

ing keemasan yang menyelubungi tubuh Prahesti!

"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa mengikik penuh kemenangan. Pedang Burung Hong di tan-

gannya bergerak makin cepat.

Akibatnya, Suropati makin terjerat dalam

kesulitan. Dia masih mencoba untuk mengirim

pukulan jarak jauh, tapi 'Sinar Pemburu Jiwa' terus mengurungnya. Hingga, Suropati tak punya

kesempatan sama sekali.

Sampai suatu ketika....

"Wuah...!"

Pengemis Binal memekik kesakitan. Ping-





gangnya terserempet 'Sinar Pemburu Jiwa'. Seba-

gian kain pakaiannya terbakar. Dan, hawa panas

menjalar dari pinggul kirinya.

Sambil terus berloncatan, Pengemis Binal

mengelus bagian tubuhnya yang terasa panas.

Dia alirkan hawa 'Pukulan Salju Merah' yang

mendatangkan rasa dingin.

Mendadak, Prahesti menggedrukkan kaki

kanannya. Terdengar suara ledakan keras. Bumi

terguncang sesaat. Tapi, itu sudah cukup untuk

melontarkan tubuh Pengemis Binal hingga jatuh

berguling-guling. Sementara, 'Sinar Pemburu Ji-

wa' terus mengejarnya.

Melihat bahaya maut yang mengancam ji-

wa sahabat karibnya, tentu saja Wirogundi tak

mau berpangku tangan.

"Iblis jahat!" seru Wirogundi seraya meng-hentakkan kedua telapak tangannya ke depan.

Wusss...!

Dua larik sinar putih berkeredepan wujud

dari pukulan jarak jauh Wirogundi meluncur de-

ras ke arah Prahesti!

Blarrr...!

Ledakan keras menggelegar ke angkasa ke-

tika dua larik sinar putih berkeredepan memben-

tur cahaya kuning keemasan yang menyelubungi

tubuh Prahesti. Hebatnya, dua larik sinar putih

itu melesat balik dengan kecepatan dua kali lipat!

Terkejut tiada terkira Wirogundi. Dia tadi

sudah merasa girang melihat Prahesti tak meng-

hindari pukulan jarak jauhnya. Tapi, sekarang?

Bukan saja Prahesti kebal, tapi juga mampu





membuat serangan balik tanpa menggerakkan

tubuh sedikit pun!

Dalam keterkejutannya, Wirogundi melon-

cat ke kiri. Namun, gerakannya kurang cepat. Sa-

tu larik sinar putih dapat dihindari. Tapi, yang sa-tu lagi tepat menerpa dadanya!

Blarrr...!

"Argh...!"

Tubuh Wirogundi mencelat jauh bagai di-

lontarkan tangan raksasa, termakan pukulan ja-

rak jauhnya sendiri. Setelah bergulingan bebera-

pa lama, tubuh Wirogundi diam di tanah dalam

keadaan telentang. Dari kain bajunya yang telah

terbakar hangus, tampak dada Wirogundi yang

hitam gosong dan mengepulkan asap!

"Anak muda! Anak muda!"

Gajah Angon berseru dalam rasa khawatir.

Tanpa pikir panjang, lelaki berjubah hitam ini

memburu tubuh yang tergeletak lemah di tanah.

Sementara, Suropati yang juga tengah ter-

geletak di tanah menatap dengan sinar mata nya-

lang. Napasnya jadi sesak. Rasa khawatir berbaur dengan hawa amarah membuat pikirannya kalut.

Saat Suropati meloncat bangkit, sebatang

pedang yang terikat di punggungnya jatuh. Na-

mun, remaja tampan ini tak menghiraukannya.

Secepat kilat dia himpun kekuatan tenaga dalam

untuk dialirkan ke kedua pergelangan tangannya.

Lalu, dia lancarkan 'Pukulan Salju Merah' yang

didapat dari Nyai Catur Asta!

Wusss...!

Blarrr...!





Sama seperti yang dialami Wirogundi. Dua

larik sinar merah yang keluar dari telapak tangan Suropati melesat balik saat membentur cahaya

kuning keemasan yang menyelubungi tubuh Pra-

hesti! Wusss...!

Pengemis Binal yang bisa memetik pelaja-

ran dari apa yang dialami Wirogundi, berhasil

menghindar dari dua larik sinar merah wujud pu-

kulan jarak jauhnya sendiri.

"Hi hi hi...!" Prahesti tertawa panjang me-nyeramkan. "Keluarkan seluruh kesaktianmu,

Pemuda Gendeng!"

Suropati mendengus gusar. Saat melihat

sebatang pedang yang tergeletak di tanah tak

jauh darinya, dia teringat kata-kata Datuk Risanwari di kaki Bukit Hantu.

Ketika itu, Datuk Risanwari mengatakan

bila pedang yang diberikan kepada Suropati men-

gandung tuah sumpah. Dan, Datuk Risanwari

menduga, Prahestilah yang mengangkat sumpah

itu. "Hmmm.... Jika aku menggunakan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' ataupun ilmu

'Kalbu Suci Penghempas Sukma', aku khawatir

kedua ilmu itu akan mencelakakan diriku sendiri.

Kekuatan gaib Arca Budha memang tiada ta-

ranya...," kata hati Pengemis Binal. "Ada baiknya aku menggunakan pedang pemberian Datuk Risanwari itu. Barangkali Prahesti termakan sum-

pahnya sendiri. "

Menuruti pikiran di benaknya, bergegas





Pengemis Binal menyambar pedang yang tergele-

tak di tanah. Langsung dihunusnya pedang ber-

sarung putih yang terdapat ukiran dua ekor naga

itu. "Pedang Naga Kembar...!" desis Gajah Angon yang berjongkok di sisi tubuh Wirogundi.

Tentu saja Gajah Angon dapat mengenali

pedang di tangan Pengemis Binal. Karena, pedang

itu adalah milik gurunya, Darma Sagotra, yang

diwariskan kepada kakak seperguruannya, Ga-

rang Wanara.

Sementara, Prahesti terkesiap saat mena-

tap pedang putih di tangan Suropati. Bocah se-

tengah siluman ini tak melihat keistimewaan apa-

apa di balik keindahan Pedang Naga Kembar.

Namun, mendadak hatinya diliputi perasaan tak

enak. Rasa takut dan gentar muncul secara tiba-

tiba. Suara gemerincing lonceng kereta kuda yang saling sahut dengan suara dengungan semakin

menambah kekalutan Prahesti.

"Celaka...! Celaka...!" desis Prahesti berkali-kali. Mata Pengemis Binal yang jeli dapat meli-

hat perubahan yang terjadi pada sikap Prahesti.

Dan, Pengemis Binal jadi yakin bila pedang di

tangannya memang mengandung tuah sumpah

yang mendatangkan kekuatan gaib.

Tapi, mampukah kekuatan gaib Pedang

Naga Kembar melawan Arca Budha yang memiliki

kekuatan gaib pula?

Selagi Prahesti panik, Suropati berkelebat

tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ujung Pe-





dang Naga Kembar mengarah bahu kanan Pra-

hesti. Sengaja Suropati tak memilih tempat yang

lebih berbahaya karena dia tak bermaksud mem-

bunuh bocah perempuan yang disusupi roh Bara-

ta Sukma itu!

"Ciat..!"

"Heh?!"

Ujung Pedang Naga Kembar mampu me-

nembus cahaya kuning keemasan yang menyelu-

bungi tubuh Prahesti. Padahal segala jenis senja-ta, bahkan senjata pusaka, akan hancur lebur bi-

la membentur sinar yang bersumber dari badan

Arca Budha itu.

"Hiah...!"

Wuttt...!

Prahesti masih mampu menghindar dengan

membuang tubuh ke kanan. Suropati yang sudah

tahu keampuhan pedang di tangannya, cepat

mengejar. Kali ini Pedang Naga Kembar berkeleba-

tan untuk membabat pinggang Prahesti.

Karena panik dan bingung, Prahesti tak

mampu berpikir jernih. Serta-merta dia lepas bi-

lah Pedang Burung Hong yang menempel pada

badan Arca Budha yang tergenggam di tangan ki-

ri. Pedang Burung Hong disabetkan ke depan un-

tuk menangkis babatan Pedang Naga Kembar.

Sementara, sinar kuning keemasan yang menye-

lubungi tubuh Prahesti telah lenyap.

Pengemis Binal tahu benar kehebatan pe-

dang di tangan Prahesti. Dia pun tahu bila pe-

dang di tangannya sendiri hanya terbuat dari lo-

gam biasa yang tak memiliki kelebihan apa-apa.





Maka, karena tak mau melihat Pedang Naga

Kembar terbabat putus, Pengemis Binal menghin-

dari bentrokan. Dia tarik Pedang Naga Kembar

untuk kemudian dibabatkan ke bahu kanan Pra-

hesti. Serangan Suropati itu cepat luar biasa. Bilah Pedang Naga Kembar berkelebat menuju sasa-

ran manakala Pedang Burung Hong masih dalam

gerakan menangkis. Jadi, bahu kanan Prahesti

benar-benar tak terlindungi lagi!

Prahesti yang tak punya waktu untuk ber-

kelit berbuat nekat. Tanpa perhitungan sama se-

kali, dia menaikkan pergelangan tangan kirinya

untuk menangkis. Dia menyangka bila babatan

Pedang Naga Kembar untuk memenggal leher.

"Haya...!"

Melihat perbuatan Prahesti yang sudah ke-

hilangan kemampuan berpikir, Suropati terke-

siap. Dia menyayangkan dan sungguh-sungguh

tak mau membabat putus lengan Prahesti. Cepat

belokkan sedikit arah babatan pedangnya.

Prang...!

Terdengar suara mendentang keras. Perci-

kan api menyebar ke berbagai penjuru. Ketaja-

man Pedang Naga Kembar membentur badan Ar-

ca Budha di tangan kiri Prahesti.

Suropati terkejut luar biasa. Demikian pula

Prahesti. Bola mata dua anak manusia ini sama-

sama melotot besar seperti hendak keluar dari

rongganya! Mereka berdiri terpukau hingga bebe-

rapa lama. Tak percaya pada penglihatan sendiri!

Arca Budha terbelah jadi dua. Belahan per-





tama tetap berada di tangan Prahesti. Sedangkan

belahan yang kedua jatuh menggelinding ke ta-

nah. Pedang Burung Hong yang memiliki keam-

puhan yang tiada bandingnya pun tak mampu

menggores Arca Budha, tapi kenapa Pedang Naga

Kembar, yang jelas bukan senjata pusaka, mam-

pu membelahnya? Mungkinkah itu karena kekua-

tan tuah sumpah yang terkandung di dalamnya?

Sewaktu Prahesti masih berdiri terpukau di

tempatnya, gemerincing lonceng kereta kuda yang

saling sahut dengan suara dengungan terdengar

makin keras. Sekejap kemudian, Nyai Catur Asta

menampakkan diri. Langsung berkelebat ke arah

Prahesti!

Blusss...!

"Aaa...!"

Prahesti menjerit panjang tatkala tusuk

konde yang menancap di kepalanya dicabut oleh

Nyai Catur Asta. Terlihat kemudian, Prahesti berdiri gontai. Tubuhnya bergetar keras bagai terserang demam hebat. Dari lubang kepalanya men-

gepul asap tebal yang kemudian membentuk se-

sosok tubuh manusia yang terlihat samar-samar.

Tapi, asap itu segera lenyap terbawa tiupan an-

gin.... Hilang sudah seluruh kesaktian Prahesti yang berasal dari roh Barata Sukma yang dis-usupkan ke tubuhnya. Terdengar suara berden-

tang ketika bilah Pedang Burung Hong jatuh ke

tanah. Namun sebelum tubuh Prahesti turut ja-

tuh, Nyai Catur Asta berkelebat lagi. Salah satu





tangannya menekap kepala bocah perempuan itu.

Untuk beberapa saat tubuh Prahesti berge-

tar lagi. Saat Nyai Catur Asta membuka tekapan

tangannya, lubang di kepala Prahesti telah lenyap tanpa bekas!

Perlahan Nyai Catur Asta membaringkan

tubuh Prahesti ke tanah. Prahesti menurut saja

karena kesadarannya telah hilang. Nyai Catur As-

ta lalu menatap Gajah Angon yang masih ber-

jongkok di sisi tubuh Wirogundi.

"Gajah Angon...," ujarnya dengan suara berat berwibawa, "Roh Barata Sukma telah kulepas dari tubuh Prahesti. Tak perlu lagi ada kekhawatiran di hatimu. Prahesti tidak apa-apa. Dia akan segera siuman. Kau bisa membawanya ke Bukit

Palastra sekarang juga."

Gemerincing lonceng kereta kuda yang sal-

ing sahut dengan suara dengungan terdengar lagi.

Dari angkasa melesat seberkas sinar, tepat me-

nerpa tubuh Nyai Catur Asta. Di lain kejap, sosok Nyai Catur Asta telah hilang dari pandangan.

"Prahesti...!"

Gajah Angon menjerit bahagia. Serta-merta

dia menghambur. Dibopongnya tubuh Prahesti

dengan mata berkaca-kaca. Tapi sebelum lelaki

berjubah hitam ini membawa pergi muridnya,

Pengemis Binal meloncat mendekati.

"Kukira pedang ini milikmu, Pak Tua...,"

ujar Pengemis Binal seraya menyodorkan Pedang

Naga Kembar yang telah dimasukkan ke sarung-

nya. Gajah Angon menerima dengan tatapan





ham. "Pedang Naga Kembar ini milik Prahesti. Terima kasih, Suro."

Pengemis Binal mengangguk.

Gajah Angon menjejak tanah, lalu berkele-

bat dengan membopong tubuh Prahesti, murid-

nya. Begitu sosok Gajah Angon lenyap dari pan-

dangan, Pengemis Binal memungut Pedang Bu-

rung Hong dan sarungnya yang tergeletak tanah.

Dipungutnya pula dua belahan Arca Budha.

Suropati terkesiap manakala melihat gu-

lungan kulit halus yang tersembunyi di dalam lu-

bang salah satu belahan Arca Budha. Dengan hati

berdebar-debar, Suropati mengeluarkan gulungan

kulit itu.

Sesaat Pengemis Binal terlihat garuk-garuk

kepala. Dia tak dapat membaca tulisan yang ter-

tera di lembaran kulit. Karena, tulisan itu dibuat dengan huruf Cina.

Plok...!

Tiba-tiba Suropati menggaplok kepalanya

sendiri. "Huh! Pelupa benar aku ini! Kenapa aku tak ingat pada Wirogundi?!"

Bergegas Pengemis Binal membalikkan ba-

dan seraya meloncat lebar untuk segera memberi

pertolongan pada Pendekar Patah Hati...





7

Kota Kadipaten Bumiraksa....

Di salah satu sudut ruangan Kuil Saloka

yang menjadi tempat tinggal para pengemis dan

gelandangan, Wirogundi tampak duduk bersila

dalam sikap semadi. Dia telah mendapat perto-

longan dari Pengemis Binal lewat penyaluran ha-

wa sakti. Luka dalam yang diderita pemuda ber-

gelar Pendekar Patah Hati ini memang parah, tapi belum sampai merenggut jiwanya. Wirogundi bersemadi untuk mengusir rasa panas dan sesak di

dadanya, sekaligus memulihkan tenaganya yang

terkuras.

Di bagian lain, Kwe Kok Jiang tampak ber-

sandar di dinding kuil. Tangan kanannya meme-

gang selembar kulit beruang salju. Lembaran ku-

lit halus itu berasal dari dalam Arca Budha yang telah terbelah jadi dua.

"Ayolah, Pak Tua!" desak Pengemis Binal yang duduk di kanan Kwe Kok Jiang. "Cepat baca tulisan itu, dan terjemahkan dalam bahasa Jawa,

agar aku mengerti!"

"Cepatlah, Ayah!" desak Kwe Sin Mei pula.

Gadis cantik ini duduk di kiri Kwe Kok Jiang.

"Tampaknya Suro Toako sudah tak sabar lagi.

Jangan buat dia penasaran. Ayah!"

"Ya... ya," sahut Kwe Kok Jiang sambil menyungging senyum. Lelaki berkuncir ini lalu me-

menuhi permintaan Pengemis Binal. Tulisan yang

tertera di kulit beruang salju berbunyi....





Aku membuat Arca Budha ini untuk kuha-

diahkan kepada sang kaisar. Bila kaisar orang yang teliti dan jeli, beliau akan mendapat sebuah petuah yang sangat berguna bagi dirinya sebagai seorang pemimpin.

Di bawah tulisan itu terdapat tulisan lagi,

namun jajaran hurufnya lebih kecil.

Sebagai seorang pemimpin, kaisar bertang-

gung jawab akan ketenteraman, keselamatan, ke-sejahteraan, dan kemakmuran rakyat. Kepemim-

pinan bukan sarana untuk menyempurnakan diri pribadi. Kepemimpinan adalah pelimpahan wewe-nang yang mengandung pengabdian. Pemimpin

mengabdi kepada yang dipimpin. Kaisar mengabdi kepada rakyat. Bukan sebaliknya.

Pemimpin memiliki kekuasaan. Tapi, kekua-

saan itu bukan alat untuk memuaskan keinginan pribadi. Kekuasaan pemimpin harus diabdikan kepada orang-orang yang dipimpin. Kaisar mempunyai kekuasaan penuh atas seluruh negeri yang dipimpin. Kaisar berhak melakukan apa saja...

asalkan untuk mewujudkan cita-cita rakyat. Hidup makmur sejahtera dengan aman dan tenteram

Dan pada saatnya nanti, Tuhan akan me-

minta pertanggungjawaban seorang pemimpin atas kepemimpinannya.

Bu Beng Shiansu Kwe Kok Jiang mendesah

panjang setelah membacakan terjemahan surat

wasiat itu. "Sudah jelas sekarang. Ratusan nyawa





telah melayang sia-sia...," ujarnya seperti penuh penyesalan. "Arca Budha tidak mengandung rahasia besar apa-apa. Sama sekali tidak patut un-

tuk diperebutkan orang-orang rimba persilatan.

Wasiat yang terkandung di dalamnya hanya dipe-

runtukkan bagi sang kaisar...."

"Tapi, kukira juga berguna bagi pemimpin

lainnya," sahut Pengemis Binal. "Bukan kaisar sa-ja yang wajib menjalankan petuah itu."

"Termasuk kau!" seru Kwe Sin Mei.

"Aku? Kenapa aku?"

"Bukankah kau pemimpin Perkumpulan

Pengemis Tongkat Sakti, Suro Toako? Kau ber-

tanggung jawab atas kelangsungan hidup anak

buahmu."

Pengemis Binal garuk-garuk kepala. "Me-

mang berat tugas seorang pemimpin...," ujarnya seperti mengeluh. Mendadak, remaja konyol ini

menatap wajah Kwe Kok Jiang lekat-lekat.

"Ada apa, Suro?" tanya Kwe Kok Jiang, heran. "Surat wasiat Arca Budha ditulis oleh Bu Beng Shiansu. Siapa dia?"

"Kau mengagetkan aku saja, Suro. Kukira

ada apa...," rungut Kwe Kok Jiang. Walau sedikit kesal, lelaki berkuncir ini tetap memberi penjela-san kepada Pengemis Binal.

"Bu Beng Shiansu adalah seorang tokoh

tua yang mempunyai ilmu kesaktian luar biasa.

Bahkan, orang-orang di tanah Tionggoan menye-

butnya manusia setengah dewa. Tak satu pun

yang tahu persis berapa usia tokoh itu. Tapi yang





jelas, dia sudah berumur satu abad lebih."

Pengemis Binal mengangguk-angguk.

"Kukira kau bersama Kwe Sin Mei dapat

pulang ke tanah Tionggoan dengan aman, Pak

Tua," kata remaja tampan itu kemudian. "Setelah luka di dadamu itu membaik, kau bisa berangkat.

Aku juga akan pergi ke Kerajaan Pasir Luhur. Aku harus memenuhi undangan Putri Racun yang

akan menikah dengan Saka Purdianta. Mereka

dua orang sahabatku."

Kwe Sin Mei menatap Pengemis Binal pe-

nuh "Kau baik sekali, Suro Toako. Tanpa bantu-mu, aku dan ayahku tak mungkin dapat berbuat

banyak di tanah Jawa ini. Entah dengan apa aku

akan membalas kebaikan Suro Toako...."

Mendengar ucapan gadis cantik itu, mata

Pengemis Binal kontan berbinar. "Sungguhkah kau ingin membalas kebaikanku?" tanya remaja konyol yang tiba-tiba kumat penyakit gendengnya

ini.

Kwe Sin Mei mengangguk lemah. "Tapi, aku

tak tahu dengan apa...."

"Tak perlu bingung!" sergap Pengemis Binal. "Kau balas saja dengan sebuah ciuman me-sra. He he he...."

Mata Kwe Sin Mei kontan terbelalak. "Heh?!

Minta cium? Enak saja!" tolaknya dengan garang.

Pengemis Binal cuma dapat nyengir kuda

sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal....





SELESAI





Serial Pengemis Binal dalam episode:

SEPASANG RACUN API

Document Outline


SELESAI SEPASANG RACUN API