Pengemis Binal 28 Tamat - Rahasia Siluman Ragakaca(2)






4

"Dinda Aini...,  kulihat sinar
matamu redup. Raut wajahmu pun tampak
kuyu. Apa gerangan yang tengah kau
pikirkan.,..?" Ujar seorang pemuda
berwajah tampan dan lembut Nada suaranya
terdengar penuh perhatian dan kasih
sayang.
Wanita cantik berpakaian sutera
putih menatap sejenak wajah si pemuda."
Dihelanya napas panjang, lalu tatapannya
kembali tertuju pada hamparan tanah luas
berbatu-batu. Hembusan angin
mempermainkan sebagian anak-anak
rambutnya yang digelung ke atas.
Jari-jari tangan si pemuda
menyentuh bahu kanan wanita cantik yang
berdiri rnembelakanginya. Si wanita diam
saja. Tak ada tanggapan. Matanya
menerawang jauh. Jauh sekali. Sementara,

mentari di langit timur mulai merayap
naik untuk segera menduduki takhta raja
siang.
"Dinda Aini...," sebut si pemuda
dengan desah napas yang mencerminkan
cinta: "Pagi-pagi sekali kau mengajakku
ketempat ini. Namun, aku jadi heran dan
sungguh tak habis mengerti. Kau mengajak
dengan sejuta pengharapan, tapi setelah
sampai di sini, kau diam membisu. Aku
tahu ada perasaan tak enak yang
mengganggu jalan pikiranmu...," pemuda
berpakaian putih kuning ini menarik
napas dalam seraya melingkarkan lengan
kanannya di bahu si wanita. Dengan ucapan
lembut dan penuh kasih, dia melanjutkan
kalimatnya. 
"Dinda Aini...., apa pun yang
membuat hatimu gundah, ada baiknya bila
kau sampaikan kepadaku. Bukankah aku
adalah bagian dari hidupmu? Sebagai
seorang suami yang baik, aku tak ingin
melihat istriku tercinta dirundung
lara...."
Wanita cantik yang tak lain dari
Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya
Sakti menatap lagi wajah tampan si
pemuda. Perlahan dia jatuhkan tubuhnya
dalam pelukan si pemuda. 
"Kanda Maruta...."   .

"Ya. Dindaku sayang...."
"Saka Purdianta dan Kusuma baru saja
mengirim undangan kepada kita,.."
"Ya. Mereka akan menikah pada hari
kesepuluh purnama ketujuh nanti. Jika
dihitung mulai hari ini, hari yang paling
membahagiakan bagi mereka itu akan jatuh
tepat  empat belas hari lagi. Kupikir
tidak ada yang patut kau risaukan Dinda
Aini...."
"Aku  tidak sedang merisaukan
mereka, Kanda Maruta. Aku hanya
berpikir, mungkinkah si Pengemis Binal
Suropati akan datang ke Katumenggungan
Lemah Abang untuk menghadiri pesta
pernikahan kedua sahabatnya itu?"
"Oh..., aku tahu sekarang. Rupanya,
kau tengah merindukan adik kandungmu
itu,"
Anggraini Sulistya tak menyahuti
ucapan si pemuda. Dia benamkan wajahnya
di dada suaminya itu, yang tak lain dari
Raka Maruta alias Pendekar Kipas
Terbang.
"Dinda Aini..., bila aku duduk diam
seorang diri, kadang-kadang aku merasa
heran memikirkan beberapa sikapmu yang
tampak aneh. Satu misal apa yang kau
tunjukkan kali ini. Kalau hanya rindu
kepada seorang adik saja, kenapa kau

terlihat begitu gundah dan risau?
Sepertinya, kau tengah memikirkan suatu
tanggung jawab yang amat berat..." .
Anggraini Sulistya melepas pelukan
suaminya. "Kanda Maruta..., aku tahu kau
sangat memperhatikan aku. Aku tahu kau
mencintaiku dengan penuh ketulusan hati.
Tapi maafkan aku Kanda. Bukan maksudku
untuk mengajakmu bersedih pilu seperti
ini...."
"Aku tak tahu apa yang kau maksud,
Dinda” sahut Raka Maruta. "Tak perlu kau
menyalahkan dirimu sendiri. Sungguh aku
bisa merasakan apa yang tengah  kau
rasakan sekarang ini. Namun kukira, rasa
rindumu terhadap Suropati tidak perlu
kau lebih-lebihkan sedemikian rupa, yang
pada akhimya nanti akan membuat hatimu
benar-benar jadi sedih....”
"Entahlah...Aku sendiri tak
mengerti, kenapa perasaanku bisa jadi
seperti ini? Mungkinkah karena sejak
bayi aku tak pernah bertemu dengan adik
kandungku itu? Ketika bertemu pun cuma
dalam waktu singkat. Mungkinkah karena
Suropati adalah pewaris takhta Pasir
Luhur, sehingga aku sangat
mengkhawatirkan keselamatannya?"
"Ya. Ya, aku bisa mengerti
kekhawatiranmu, Dinda Aini. Aku tahu

benar sifat dan tabiat pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
Walau berjiwa pendekar sejati, tapi dia
sering kali tak sadar akan akibat dari
perbuatannya sendiri. Kalau  sudah
menolong orang, maka apa  pun akan
dilakukannya, tak peduli nyawanya jadi
terancam. Namun..., kuharap kau tidak
terlalu memendam kekhawatiran, Dinda
Aini. Yakinlah bahwa mati hidup manusia
itu ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan
belum berkehendak, dalam bahaya sehebat
apa pun, seseorang tentu akan dapat
menyelamatkan diri...."
Sampai di sini percakapan terhenti.
Raka Maruta merengkuh bahu Anggraini
Sulistya yang sangat dicintainya. Suami
istri yang berbahagia ini sama-sama
menatap hamparan tanah luas di hadapan
mereka. Cahaya mentari tak begitu
menyengat karena tiupan angin membawa
kesejukan.. Beberapa kali Raka Maruta
menciumi kening dan pipi istrinya penuh
kasih. Anggraini Sulistya pun
menerimanya dengan hati penuh kasih
pula. 
Sesaat kemudian, Anggraini Sulistya
terlihat berlari-lari di antara
bongkahan batu. Raka Maruta mengejar.
Dan, mereka tertawa bersama-sama sebagai

ungkapan kebahagiaan. Sejenak,
Anggraini Sulistya lupa akan rasa
rindunya kepada si Pengemis Binal
Suropati adik kandungnya.
"Dinda Aini! Kau jangan  naik ke
situ!" seru Raka Maruta ketika melihat
istrinya meloncat ke atas tumpukan
bongkah batu yang menjulang cukup
tinggi”.
"Jangan khawatir, Kanda! Aku hanya
ingin melihat kekejauhan tanpa ada
sesuatu yang menghalangi!" sahut
Anggraini Sulistyq.
Mendengar kata-kata istrinya, Raka
Maruta sadar bila rasa khawatirnya
memang tidak beralasan. Kalau hanya naik
ke tumpukan batu, Anggraini Sulistya
yang bergelar Putri Cahaya Sakti tidak
mungkin akan mendapat celaka. Tapi, rasa
cinta memang sering kali mendatangkan
kekhawatiran yang tak beralasan.
Sementara Raka Maruta menunggu di
bawah, Anggraini Sulistya tampak
mengarahkan, pandangan ke utara. Di sana
terlihat sebuah gunung yang dipagari
beberapa bukit. Gumpalan awan yang
menyelimuti puncak gunung terlihat bagai
kapas putih yang melekat pada sebentuk
tanah kerucut berwarna biru. Hingga
beberapa lama, Anggraini Sulistya

menikmati pemandangan yang cukup
mempesona itu.
"Dinda Aini...!" teriak Raka
Maruta. "Karena kita pergi tanpa
berpamitan, kita harus segera kembali ke
istana. Jangan sampai Ayahanda Prabu
jadi gelisah...."
Yang disebut Raka Maruta sebagai
'ayahanda prabu' adalah adalah Prabu
Singgalang Manjunjung Langit, penguasa
Kerajaan Pasir Luhur, yang tak lain dari
ayah kandung Anggraini Sulistya.
"Sebentar  Kanda...," tolak Putri
Cahaya Sakti.
Kening Pendekar Kipas Terbang
berkerut melihat Anggraini Sulistya
berjongkok di atas tumpukan batu.
Sikapnya seperti tengah mempertajam
pendengaran.
"Kau sedang apa, Dinda? Sebelum
mentari naik tepat di atas kepala, kita
harus sudah berada di istana," seru Raka
Maruta, mengingatkan.
Anggraini Sulistya tak begitu
memperhatikan ucapan suaminya. Tatapan
matanya tertuju ke sela-sela bongkahan
batu yang dipijaknya. Ada sesuatu yang
menarik perhatian putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit ini.

"Kau sedang apa,.Dinda?" Pendekar
Kipas Terbang mengulang pertanyaannya.
"Aku merasakan tumpukan batu yang
kupijak ini bergerak-gerak. Aku  juga
mendengar suara lenguh kesakitan...,”
Beritahu Putri Cahaya Sakti.
"Kemungkinan besar ada manusia, atau
makhluk hidup lainnya yang
tertimbun...."
Kerut di kening Raka Maruta
bertambah rapat. Setelah menimbang
sejenak, pemuda berwajah lembut ini
menjejak tanah. Ringan sekali tubuhnya
melayang setinggi  lima tombak, lalu
mendarat di sisi kiri Anggraini
Sulistya.
Putri Cahaya Sakti menatap sekilas
wajah suaminya. Wanita muda yang berumur
dua puluh tahunan ini segera mendekatkan
telinganya ke sela-sela bongkahan batu.
"Suara lenguh kesakitan itu
kudengar lebih jelas...," ujar Anggraini
Sulistya.
Melihat kesungguhan istrinya, Raka
Maruta turut mendekatkan telinganya ke
sela-sela bongkahan batu. Tak seberapa
lama kemudian, berubah keruh. Dia juga
mendengar apa yang didengar istrinya.
Suara lenguh kesakitan!

Sebenarnya, suara itu pelan sekali
dan nyaris tak dapat ditangkap indera
pendengaran. Tapi karena Anggraini
Sulistya dan Raka Maruta mempunyai ilmu
kepandaian cukup tinggi, maka suara yang
timbul dari  sela-sela bongkah batu itu
dapat mereka dengar.
"Kanda Maruta, apakah kau juga
merasakan getaran-getaran aneh ini...?"
tanya Anggraini Sulistya  menunjuk
bongkahan batu yang dipijaknya.
"Ya. Aku juga merasakannya. Benar
dugaanmu, ada makhluk hidup yang
tertimbun di tumpukan batu ini.
Sebaiknya kita turun, Dinda...."
Di ujung kalimatnya, Pendekar Kipas
Terbang meloncat turun. Bergegas Putri
Cahaya Sakti mengikuti. Dengan berdiri
berdampingan, suami-istri ini memandang
nanar bongkahan batu yang menumpuk di
hadapan mereka.”
"Kau menyingkirlah dulu, Dinda...,"
ujar Raka Maruta kemudian seraya
mengeluarkan sebuah kipas baja dari
balik bajunya.
Begitu Putri Cahaya Sakri melangkah
mundur dua tindak, Raka Maruta menarik
napas panjang. Dia salurkan kekuatan
tenaga dalam ke batang kipas,yang telah
dikembangkannya. Lalu....

"Hiahhh...!"
Wusss...!
Raka Maruta memekik nyaring. Kipas
baja di tangan kanannya berkelebat,
membersitkan cahaya putih berkeredepan.
Dalam sekejab tumpukan batu setinggi
lima tombak tampak berhamburan. Melayang
jauh, dan memperdengarkan suara gemuruh
keras ketika mendarat ke permukaan
tanah.
"Astaga...!" pekik Pendekar Kipas
Terbang.
Putri Cahaya Sakti turut memekik
kaget. Dengan mata terbelalak, Putri
Raja Pasir Luhur ini melompat ke sisi
kiri Raka Maruta.
Di bawah tumpukan batu yang telah
diruntuhkan oleh Pendekar Kipas Terbang,
terlihat seekor anjing berbulu hitam
tengah terbaring telungkup di dalam
kubangan. Tubuh anjing itu nyaris
sebesar kuda. Sona Langit!
Sejenak. Raka Maruta dan Anggraini
Sulistya saling pandang. Lalu, menatap
Sona Langit dengan perasaan heran
bercampur ngeri. Seumur hidup,
suami-istri ini belum pernah melihat
anjing sebesar itu. Sampai beberapa saat
lamanya, mereka tak tahu apa yang harus
dilakukan. Sementara, tubuh Sona Langit

mulai bergerak-gerak. Ekornya mengibas
ke kanan kiri. Setelah mendengking
panjang, keempat kakinya tampak merayap
bangkit. 
"Huuung...!"
Luar biasa! Dengan kepala tegak ke
atas, moncong Sona Langit mengeluarkan
lolongan keras. Satwa piaraan Putri
Impian ini sama sekali tak menunjukkan
sikap bahwa dia tengah menderita luka.
Tak terdapat luka gores sedikit pun di
kulit tubuhnya. Padahal, dia baru saja
tertimbun bongkahan batu sedemikian
banyaknya. Hanya saja, gerakan tubuhnya
tampak lemah. Kemungkinan karena
tenaganya telah terkuras.   
"Hmmm.... Anjing ini tampak aneh dan
memiliki daya tahan luar biasa. Dia pasti
piaraan seseorang yang berilmu tinggi,"
pikir Pendekar Kipas Terbang. "Tapi,
dimanakah tuannya? Dan bagaimana anjing
besar itu bisa tertimbun bongkahan batu?
Mungkinkah ada seseorang yang bermaksud
membunuhnya?"
Anggraini Sulistya memegangi lengan
Raka Maruta ketika melihat Sona Langit
membalikkan tubuh dan mengerahkan
pandangan ke arahnya. Melihat tubuh
besar Sona Langit, Anggraini Sulistya
bukannya takut, melainkan menjaga

kewaspadaan. Bagaimanapun, Sona Langit
adalah binatang buas, yang sewaktu-waktu
bisa menyerang siapa saja. Namun
tampaknya, Sona Langit tak menunjukkan
sikap garang. Dia mampu menunjukkan
tatapan mata yang teduh dan bersahabat
Sona Langit tahu bila dua orang anak
manusia yang tengah berdiri di
hadapahnya adalah dewa-dewi
penolongnya. Maka, tidak ada alasan
baginya untuk menyerang walau hatinya
masih diliputi hawa amarah. Amarah yapg
ditujukan kepada Hakim Neraka yang
membuat tubuhnya terlontar dua kali,
bahkan menimbunnya dengan bongkahan batu
setinggi lima tombak. Sona Langit yang
punya naluri tajam, dapat membedakan
mana orang baik dan mana orang jahat.
Tampak kemudian, Sona Langit
merundukkan tubuhnya ke tanah. Dengan
dua kaki depan ditekuk, anjing besar
berbulu hitam legam ini membenturkan
jidatnya tiga kali ke tanah. Gerakannya
seperti orang bersujud untuk
menghaturkan sembah kepada raja.
Raka Maruta dan istrinya saling
pandang. Mereka heran melihat cara Sona
Langit menyampaikan ungkapan terima
kasih yang sepertinya sangat tahu

peradatan walau dia sebenamya hanyalah
seekor binatang.
"Huiiing...!"
Sona Langit mendengkirig seraya
menegakkan tubuh kembali. Ekornya
digerak-gerakkan ke kiri, Kepalanya juga
digerak-gerakkan ke kiri.
"Kanda, tampaknya anjing itu tengah
menyampaikan ajakan kepada kita," cetus
Anggraini Sulistya.
“Aku tahu, tapi kita harus segera
kembali ke istana. Aku tak ingin membuat
risau pikiran Ayahanda Prabu...," sahut
Raka Maruta.
"Ah! Aku sangat  tertarik untuk
menuruti ajakan anjing besar itu.
Tampaknya, dia ingin  menunjukkan
sesuatu. Ayolah. Aku nanti yang akan
memberi penjelasan kepada Ayahanda
Prabu."
Selagi "Anggraini Sulistya bicara,
Sona Langit mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya, satwa piaraan Putri
Impian ini tengah memberi dukungan. Dan
ketika melihat Raka Maruta cuma diam, dia
lalu bersujud lagi seraya membenturkan
jidatnya ke tanah beberapa kali.
Sikapnya seperti tengah mengajukan
permintaan yang sangat penting.

"Baiklah. Kita ikuti kemauan anjing
itu," cetus Pendekar Kipas Terbang
kemudian.
"Huffing...! Huffing...!"   
Sona Langit mendengking dua kali
sebagai cetusan kegembiraannya. Setelah
menggerakkan kepalanya ke kiri yang
bermakna ajakan, dia lalu berjalan
dengan langkah tegap dan pasti. Raka
Maruta dan Anggraini Sulistya segera
mengikuti.
Namun baru saja Sona Laftgit
berjalan dua tombak, tiba-tiba satwa
bertaring runcing ini menoleh ke
belakang. Setelah menatap Raka Maruta
dan Anggraini Sulistya, dia gerakkan
kepalanya ke depan lagi.
"Anjing itu menginginkan kita agar
tetap mengikutinya Kanda," ujar Putri
Cahaya Sakti.
Pendekar Kipas Terbang mengangguk.
Mendadak, Sona Langit menjejak
tanah kuat-kuat. Di lain kejap, tubuh
satwa piaraan Putri Impian ini
berkelebat cepat ke utara. Lesatan
tubuhnya amat cepat. Berlipat dua kali
bila dibanding  dengan kecepatan lari
kuda!
"Mari kita ikuti, Kanda!"

Sambil berseru, Anggraini Sulistya
turut menjejak tanah. Tubuh putri Prabu
Singgalang Maniunjung Langit ini
berkeiebat tak kalah cepat berubah
menjadi bayangan putih yang hampir tak
terlihat
Raka Maruta pun mengempos tenaga,
berlari dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Maka seekor anjing
dan dua anak manusia itu seperti tengah
terlibat dalam pertunjukan ilmu
meringankan tubuh.

***

"Astaga...!"
Raka Maruta dan Anggraini Sulistya
memekik bersamaan. Di bagian lain tanah
luas berbatu-batu itu, mereka melihat
Sona Langit menghentikan kelebatan
tubuhnya di depan lempengan batu sebesar
uang logam hijau. Tertimpa cahaya
mentari, lempengan batu yang tergeletak
di tanah itu memancarkan cahaya hijau.
Anehnya, di tengah cahaya hijau itu
sarhar-samar terlihat gambar dua ekor
merpati putih yang saling patuk. 
"Huffing… !"
Sona Langit mendengking seraya
menberi isyarat kepada Raka Maruta agar

memungut lempengan batu yang tergeletak
di hadapannya.
Pendekar  Kipas Terbang menarik
napas panjang  berusaha menenangkan
hatinya yang berdebar-debar tak karuan.
Dengan mata tak berkedip, pemuda yang
berasal dari Negeri Saloka Medang ini
melangkah lima tindak. Sejenak, dia ragu
untuk memuncrat lempengan batu yang
memancarkan cahaya hijau.
"Hmmm.... Jelas sekali-bila
lempengan batu yang tergeletak di
hadapanku ini bukanlah batu sembarangan.
Pasti sebuah batu mustika yang memiliki
suatu kekuatan...," pikir Raka Maruta.
"Tapi jika aku menyentuhnya, apakah
kekuatan batu ini tidak akan membuatku
celaka?"
Selagi Pendekar Kipas Terbang
tampak berpikir-pikir, hati Anggraini
Sulistya turut berdebar-debar. Pikiran
yang ada di benaknya sama persis dengan
pikiran yang ada di benak Raka Maruta.
Apakah lempengan batu mustika yang
ditunjukkan oleh Sona Langit itu tidak
mengandung kekuatan jahat?
"Huuungngng,..!"
Tiba-tiba, Sona Langit melolong
panjang. Ketika Raka Maruta menoleh ke

arahnya, dia bersujud lagi. Jidatnya pun
dibentur-benturkan ke permukaan tanah.
"Sepertinya, anjing itu tengah
memberitahukan bahwa dia sama sekali tak
bermaksud buruk. Jika memang demikian,
berarti lempengan batu mustika ini tidak
mengandung kekuatan jahat...," pikir
Pendekar Kipas Terbang.
Walau masih sedikit ragu, akhirnya
Raka Maruta memberanikan diri untuk
memungut lempengan batu mustika yang
tergeletak di tanah. Raka Maruta pun jadi
heran. Cahaya hijau yang di tengahnya
terdapat gambar sepasang merpati putih
tiba-tiba lenyap ketika lempengan batu
mustika itu tersentuh tangannya.
"Batu  ini terasa dingin dan
tampaknya memang tak mengandung kekuatan
jahat..," guman Raka Maruta. Lempengan
batu  mustika telah berada di telapak
tangannya. 
Terbawa rasa ingin tahunya,
Anggraini Sulistya meloncat, lalu
mengambil batu mustika yang berada di
telapak tangan suaminya. 
Sampai beberapa saat, Anggraini
Sulistya tampak mengamat-amati. Di
tengah lempengan batu sebesar uang logam
hijau itu terdapat gambar sepasang
merpati. Kening Anggraini Sulistya

berkerut rapat, seperti sedang
mengingat-ingat sesuatu.
Sementara, Pendekar Kipas Terbang
menatap wajah istrinya dengan sejuta
tanda tanya. Beberapa kali Sona Langit
mendengking sambil mengibas-ngjbaskan
ekornya. Sepertinya, dia merasa lega
setelah mengetahui lempengan batu
mustika tidak keburu diambil orang
jahat, dan kini berada ditangan
Anggraini Sulistya. .    '
"Ya. Ya, aku ingat sekarang....
Kalau tidak salah  lempengan batu ini
bernama Mustika Batu Merpati," ujar
Putri Cahaya Sakti lirih, seperti
menggumam. "Aku pernah mendengar riwayat
dan ceritanya dari Paman Lembu Tal."
Anggraini Sulistya menyebut nama
salah seorang punggawa Pasir Luhur yang
mempunyai, kedudukan sebagai penasihat
raja. Lembu Tal adalah seorang pertapa
yang turun gunung. Karena dia memiliki
wawasan luas dan cukup arif bijaksana,
maka Prabu Singgalang Manjunjung Langit
yang telah lama mendengar kebesaran
namanya, berkenan mengangkatnya sebagai
penasihat raja. Pengangkatan itu baru
saja dilakukan beberapa pumama yang
lalu, setelah api pemberontakan yang
disulut oleh I Halu Rakryan Subandria

dari Tumenggung Sangga Percona dapat
dipadamkan.
"Kau mengatakan apa, Dinda?" tanya
Raka Maruta yang tak jelas mendengar
ucapan istrinya.
"Paman Lembu Tal pernah bercerita
kepadaku tentarig adanya sebuah batu
mustika yang memiliki kekuatan gaib luar
biasa. Batu itu bernama" Mustika Batu
Merpati," jelas Putri Cahaya Sakti.
"Kau pikir inikah Mustika Batu
Merpati itu?"
"Menilik ciri-cirinya, kukira
memang demikian."
Di ujung kalimat Putri Cahaya Sakti,
mendadak timbul hembusan angin bersiut.
Sesosok bayangan berkelebat dibarengi
dengan kata-kata.... .
"Serahkan batu mustika itu
kepadaku!"

***

5

Hati si Pengemis Binal Suropati
benar-benar mendongkol karena dirinya
berkali-kali disebut sebagai 'bocah
geblek'. Bahkan, si kakek bertampang

buruk mengucapkan sebutan itu dengan
nada yang sangat menghina. Maka tak dapat
lagi Pengemis Binal menahan diri. Dengan
mengalirkan kekuatan tenaga dalam
sedemikian rupa ke kaki kanan, dia
menggedruk lantai gua!     
Blammm...!
Terdengar sebuah ledakan dahsyat
Permukaan gua terguncang keras.
Batu-batu kapur yang berserakan
terangkat, lalu berhamburan ke arah
kakek berkaki pendek. Bukan hanya itu,
bongkahan-bongkahan    batu kapur yang
menempel di langit-langit gua turut
menyerbu! Namun.... , 
"Ha ha ha...!" Mengetahui dirinya
terancam bahaya, kakek ber-kaki pendek
malah tertawa bergelak. Tapi gelombang
suara tawanya benar-benar memiliki
kekuatan maha dahsyat!
Suropati terbelalak karena terkejut
Bongkahan-bongkahan batu kapur saat
masih melayang di udara tiba-tiba hancur
lebur menjadi debu putih yang memenuhi
ruangan gua!
Sampai dua kejap mata, debu putih
itu tetap melayang di udara. Namun ketika
kakek berkaki pendek menghentikan
tawanya debu yang berasal dari pecahan
batu kapur itu bergerak ke satu tempat.

Terhisap dan masuk ke mulut kakek berkaki
pendek!
"Astaga...!" 
Pengemis Binal berseru kaget. 
"Nyam! Nyam! Nyam!"
Kakek berkaki pendek tampak
menjilati bibimya seperti habis makan
sesuatu yang lezat. Anehnya, walau
mulutnya baru saja menghisap begitu
banyak debu kapur, tapi perutnya tak
terlihat membesar tetapi kempes seperti
masih kosong, tak berisi apa-apa!
"Kau..., kau manusia atau
siluman...?" desis Pengemis Binal,
tergagap. "Bagaimana kau bisa makan debu
pecahan batu kapur...?"
"Aku manusiaatau siluman? Ha ha
ha...! Aku sendiri tak tahu! Tapi kau
jangan heran. Makananku memang batu
kapur. Ha ha ha...!" kakek berkala pendek
tertawa bergelak. Sikapnya sama sekali
tak menunjukkan dia tengah marah walau
baru diserang oleh Suropati.
"Kalau tak tahu kau itu manusia atau
siluman, lalu kau lahir dari rahim
siapa?" tanya Pengemis Binal, sedikit
konyol.
"Tentu saja dari rahim ibuku,
Geblek! Tapi kalau kau bertanya siapa
ibuku, aku tak bisa menjawabnya!" 

"Kenapa?" 
"Ha ha ha...!" 
"Kenapa?" " 
"Ha ha ha..!"
"Dasar edan!" maki Pengemis Binal
dalam hati. "Ditanya dua kali, dijawab
dengan tawa panjang dua kali pula!
"Hei! Kalau kau mengerutkan kening
seperti itu, wajahmu tampak lucu! Ha ha
ha...!" seru kakek berkaki pendek,
tertawa. "Melihat tampangmu, sebenarnya
kau tak pantas menjadi pewaris takhta
Pasir Luhur!"
"Heh?!" Suropati terperangah. ."Apa
yang kau katakan tadi, Kek?"
"Huh! Selain geblek, rupanya kau pun
budek!"
Mendelik mata Pengemis Binal
mendengar dirinya dikatakan 'geblek' dan
'budek'. Budek artinya tuli. Tapi karena
terbawa  rasa penasaran, dia lupakan
sejenak hatinya yang mendongkol.
"Aku tadi mengatakan bahwa kau
sebenarnya tak pantas menjadi pewaris
takhta Pasir Luhur!" seru kakek berkaki
pendek, mendahului Pengemis Binal yang
hendak bertanya lagi.
"Apa?"
"Budek!"

"Aku tak main-main, Kek! Jelaskan
apa maksud ucapanmu!"
"Ha ha ha...! Sudah geblek, masih
mau berlagak, pura-pura tak tahu.
Bukankah sudah kukatakan di depan, aku
tahu riwayat hidupmu dari bayi sampai kau
jadi pemuda remaja seperti yang kulihat
sekarang ini? Walau kau punya sifat
konyol, urakan, dan amat ugal-ugalan,
tapi kau sesungguhnya putra Prabu
Singgalang Marijunjung Langit...."
Berkerut kening Suropati mendengar
ucapan sikakek yang berkali-kali dapat
menuturkan riwayat hidupnya dengan
tepat. Berarti orang di luar istana Pasir
Luhur yang tahu dirinya putra Prabu
Singgalang Manjunjung Langit telah
bertambah satu orang lagi. Orang pertama
adalah Putri Impian. Dan, orang kedua
adalah kakek berkaki pendek yang
memiliki kesaktian luar biasa itu.
"Namun... meskipun kau punya darah
keturunan raja, kau sama sekali tak
pantas untuk mewarisi tahta sebuah
kerajaan. Kalau hanya menjadi pemimpin
para pengemis dan gelandangan,
bolehlah...," lanjut kakek berkaki
pendek.
"Dengan alasan apa kau mengatakan
aku tak pantas menjadi raja?!" selidik

Suropati, dongkol. Walau remaja tampan
ini tak pernah bercita-cita menjadi
raja, tapi bila direndahkan sedemikian
rupa, kesal juga hatinya.
"Dengan alasan apa? Ha ha ha...!
Sungguhkah kau tak merasa?" sahut kakek
berkaki pendek. "Selain kau berotak
geblek, bukankah sifat konyol dan
urakanmu tak pantas dimiliki oleh
seorang raja?"
"Kata-katamu memanaskan telingaku,
Kek!" seru Suropati. "Jangan hanya dapat
mengolok-olok orang! Kalau kau  punya
nama, katakan siapa namamu! Aku tahu
diriku memang tak sepandai dirimu, tapi.
tak seharusnya kau mengucapkan kata-kata
yang begitu menghina. Sadarkah kau bila
yang bermulut ceriwis itu sebenarnya kau
sendiri!"
"Hmmm.... Rupanya, otakmu bisa
diajak berpikir pula. Kau katakan aku
bermulut ceriwis, aku tak bisa mengelak
Karena, orang-orang di Negeri Pasir
Luhur ini biasa menyebutku sebagai Setan
Ceriwis."
"Setan Ceriwis?"  
"Ya. Tapi, banyak pula orang yang
menyebutku sebagai Setan Tanah karena
aku senang tinggal di gua bawah tanah.
Dan, ada juga yang menyebutku sebagai

Setan Kapur. Mereka tahu kalau kulit
tubuhku putih seperti kapur, lagi pula
aku suka makan batu kapur! Ha ha ha...!"
"Setan Ceriwis?" Setan Tanah? Setan
Kapur?" desis Pengemis Binal, "Kenapa
semua julukanmu memakai kata 'setan'?
Apakah kau memang setan, hantu, iblis,
atau makhluk halus sebangsa itu?"
"Ha ha ha...!"
"Jawab pertanyaanku!"
"Ha ha ha...!"
"Gila!"
"Kaulah yang gila!"
Suropati garuk-garuk kepala.
Setan Ceriwis nyengir kuda.
"Hmmm.... Terus terang, aku sangat
penasaran kepadamu, Kek!" ujar Pengemis
Binal kemudian.
"Terus terang pula, walau kau
terlihat begitu geblek dan konyol, tapi
aku suka kepadamu," sahut Setan Ceriwis.  
"Aneh! Baru saja kau mencaci maki
aku, kenapa sekarang kau berkata suka
kepadaku?!"
"Ha ha ha..! Aku suka kepadamu
karena kau telah terlibat urusan dengan
Siluman Ragakaca, Kau bisa mewakili aku
untuk menumpas siluman keparat itu!"
"Kalau aku tak mau bagaimana?"

"Geblek! Bukankah sudah kukatakan
di depan, aku bermaksud menurunkan
beberapa ilmu kesaktian kepadamu!"
"Untuk apa?"
"Walah!  Walah! Rupanya, kau
benar-benar bocah geblek! Dengan ilmu
kesaktian yang sekarang kau miliki,
mustahil  kau dapat menumpas Siluman
Ragakaca! Melawan salah seorang
kepercayaannya  saja, kau pasti mati
kutu. Kemarin, kalau Peramal Buntung tak
punya gagasan cemerlang, kau pasti sudah
mati di tangan Hakim Neraka! Tahukah kau
bila kakek kate itu adalah salah seorang
kepercayaan Siluman Ragakaca yang
menjabat sebagai Duta Utara?"
Mendengar nama Hakim Neraka
disebut, ingatan Pengemis Binal melayang
ke sebuah tanah luas berbatu-batu. Tempo
hari, dia memang hampir saja mati oleh
gempuran gelombang suara genderang maut
Hakim Neraka. Tahulah dia kini, kenapa
Hakim Neraka bermaksud membunuhnya.
Rupanya, kakek kate itu adalah urusan
Siluman Ragakaca.
"Hei! Kenapa bengong saja?!" bentak
Setan Ceriwis atau Setan Tanah alias
Setan Kapur.
"Eh!"
"Cepat ambil sikap semadi!"

Suropati yang masih belum percaya
benar kepada Setan Ceriwis cuma berdiri
terpaku, tak segera menuruti perintah
kakek berkulit putih seperti kapur itu.
"Geblek! Rupanya, aku harus
memaksamu!"
Usai mengeluarkan bentakan keras,
Setan Ceriwis , meluruskan telunjuk jari
tangan kanannya, mengarah pada dahi
Pengemis Binal. Ssmentara, Pengemis
Binal  pun cepat memasang kuda-kuda
karena menyangka dirinya akan diserang.
Namun hingga dua tarikan napas,
Pengemis Binal tak melihat suatu bentuk
serangan yang sengaja ditujukan kepada
dirinya. Hanya saja, ujung telunjuk jari
kanan Setan Ceriwis tetap tertuju ke
dahinya.
"Ambil sikap semadi...!"
Telinga Suropati menangkap sebuah
suara dingin yang keluar dari mulut Setan
Ceriwis. Cepat Suropati mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan
se-bentuk tenaga gaib yang memaksanya
untuk menuruti suara perintah itu.
Suropati tahu bila Setan Ceriwis
berusaha menyihirnya. Tapi walau remaja
tampan ini telah mengeluarkan kekuatan
gaib penolak ilmu sihir yang pernah
dipelajarinya dari Periang Bertangan

Lembut, suara perintah Setan Ceriwis
mengiang terus di telinganya. Perlahan
namun pasti, otaknya pun mulai Jinglung.
Tak seberapa lama kemudian, sinar mata
Suropati meredup. Dan di lain kejap,
pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini telah bertekuk lutut di bawah
perintah Setan Ceriwis. Duduk bersila
dengan mata terpejam rapat dan tangan
bersedekap!
Lalu, lamat-lamat telinga Suropati
menangkap suara Setan Ceriwis yang
tengah bertutur,...
"Di dunia ini terdapat satu alam
lain yang sulit dijamah  oleh manusia
biasa. Keberadaannya tak pernah
terjangkau akal pikiran manusia. Bahkan,
sebagian manusia menganggapnya sebagai
bualan kosong belaka. Namun apabila
manusia mau membuka diri untuk dapat
menyadari dan memahami ciptaan sang
Pencipta, maka akan timbul pikiran bahwa
alam lain itu benar-benar ada.  Dan
ketahuilah kau, Suropati, disanalah
Siluman Ragakaca menyusun kekuatan. Dia
hendak menghancurkan peradaban manusia
di bumi. Dan mendirikan peradaban baru di
bawah kekuasaannya!  Dengan ilmu
kesaktiannya, Siluman Ragakaca berhasil
menciptakan sebuah lembah luas yang

sangat subur. Manusia yang tinggal di
lembah itu tidak akan mengenal dengan apa
yang dinamakan perubahan hawa, karena
iklimnya tetap tak berubah sampai akhir
zaman. Yang lebih hebat lagi, di sana
tidak pula mengenal putaran waktu.
Sehingga  siapa pun manusia yang
menempatinya seakan telah menemukan
kekekalan hidup. Dengan kata lain,
Siluman Ragakaca telah berhasil
menciptakan sebuah tempat yang tak
mengenal kematian. Dan untuk mewujudkan
cita-citanya menghancurkan peradaban
manusia di bumi, Siluman Ragakaca telah
memperalat beberapa tokoh sakti di
Negeri Pasir Luhur ini. Tugas mereka
adalah menumpas para penguasa atau raja,
termasuk para tokoh sakti yang dianggap
sebagai batu penghalang bagi cita-cita
Siluman Ragakaca. Oleh karena manusia
memiliki derajat lebih tinggi dari
siluman dan makhluk halus lain
sejenisnya, maka manusia tidak boleh
bertekuk lutut di bawah makhluk yang
berderajat lebih rendah itu. Terlebih
lagi, apabila Siluman Ragakaca dapat
mewujudkan cita-citanya, maka seluruh
permukaan bumi akan digenangi darah
manusia. Air laut akan berwarna merah
darah. Hewan dan tumbuhan akan musnah.

Dan, hanya sebagian manusia yang dapat
lolos dari maut. Namun, lolos dari maut
bukan berarti mereka telah menemukan
keselamatan. Justru, hidup mereka akan
dirundung penderitaan sepanjang akhir
jaman. Hidup mereka akan selalu di bawah
tekanan Siluman Ragakaca!”
"Nah, kau tahu kini, Suropati...,
betapa jahat dan berbahayanya Siluman
Ragakaca itu. Sebagai seorang pendekar
sejati, jiwamu tentu terpanggil jika
melihat keangkaramurkaan merajalela.
Menumpas kejahatan adalah tugas
orang-orang gagah sepertimu. Tak perlu
banyak-banyak yang kututurkan lagi.
Sekarang, coba kau pusatkan seluruh
perhatianmu pada satu titik. Aku akan
segera menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu."
Sampai di sini, telinga Suropati tak
dapat menangkap suara apa-apa lagi,
Namun karena ada sesuatu yang masih
mengganjal di benaknya, hati kecil
remaja tampan ini bertanya....
"Kenapa Kakek Setan Ceriwis hendak
menurunkan ilmu kesaktian kepadaku?
Kenapa pula Kakek hendak menjadikan aku
sebagai wakil Kakek untuk menumpas
Siluman Ragakaca?"

Setan Ceriwis yang dapat membaca
pikiran orang, mampu mendengar
pertanyaan di hati kecil Suropati.
"Hmmm.... Untuk menjawab
pertanyaanmu itu, terpaksa aku
mengatakan siapa diriku ini sebenarnya.
Tapi tak apa, aku percaya benar kepadamu.
Dengan jiwa pendekar dan darah raja yang
mengalir di tubuhmu, kau akan dapat
menyelamatkan peradaban manusia di bumi
ini...."

***

6

Sesosok bayangan ini ternyata
seorang lelaki berpakaian ketat hijau
yang tengah membopong seorang wanita
cantik berpakaian kuning merah. Menilik
raut wajah mereka, siapa lagi kalau bukan
Dewa Cinta dan Dewi Asmara yang lebih
dikenal dengan sebutan Dewa-Dewi
Kayangan!
"Serahkan batu mustika itu
kepadaku!" Dewa cinta mengulang
perintahnya.
Ketika Dewa Cinta berbicara, Dewi
Asmara mencium mesra pipi kekasihnya

itu, lalu melorot turun dari bopongan.
Namun, kepalanya tetap disandarkan di
dada Dewa Cinta.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola
matanya memancarkan sinar merah
menyala-nyala. Sikapnya seperti hendak
menyerang Dewa-Dewi Kayangan.
"Tenanglah...!" seru Raka Maruta
sambil  meng-ngkat tangan kanannya.
"Tetaplah ditempatmu! Mereka biar
kuurus!"
Tampaknya, Sona Langit dapat
mengerti makna ucapan Pendekar Kipas
Terbang. Sinar matanya kembali meredup.
Kepalanya mengangguk-angguk
Raka Maruta yang sudah mengenal
siapa sebenarnya Dewa-Dewi Kayangan,
melangkah satu tindak seraya berkata,
"Kau datang hendak meminta Mustika Batu
Merpati. Apakah batu mustika itu
milikmu?"
"Ya!" jawab Dewa Cinta,cepat.
"Huiiing...!" Sona Langit
mendengking seraya menggeleng-gelengkan
kepala. 
Mengetahui makna dengkingan Sona
Langit, cepat Putri Cahaya Sakti
menyimpan Mustika Batu Merpati kelipatan
bajunya yang tersembunyi. Semula,

Mustika Batu Merpati digunakan Bidadari
Pulau Penyu untuk menghindari bentrokan
dengan Putri Impian. Kekuatan gaib batu
mustika itu mampu membawa Bidadari Pulau
Penyu berpindah tempat Sona Langit yang
berhasil menerkam tubuhnya turut
berpindah tempat. Dan pada saat
bergumul, Mustika Batu Merpati terlempar
keluar dari mulut Bidadari Pulau Penyu.
Batu itu melesat jauh karena dilontarkan
gelombang suara Genderang Maut Hakim
Neraka. Sementara begitu terbebas dari
timbunan batu, dengan mudah Sona Langit
dapat menemukannya, karena anjing itu
memiliki indera dan penciuman yang
sangat tajam.
"Hei! Serahkan batu mustika itu!"
seru Dewi Asmara, menuding Anggraini
Sulistya.
Anggraini Sulistya yang juga sudah
mengenal Dewa-Dewi Kayangan sebagai dua
tokoh jahat yang suka mengumbar nafsu
pribadi, tersenyum sinis. Dibalasnya
tatapan tajam Dewi Asmara. 
"Hmmm.... Aku tahu kau putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Tapi, aku
datang tidak untuk mengaturkan sembah
kepadamu. Justru  aku akan memecahkan
batok kepalamu seandainya kau tidak
bersedia menyerarhkan batu mustika yang

telah tersimpan di balik bajumu itu!"
ancam Dewi Asmara sungguh-sungguh.
"Tidak kelirukah apa yang kau
katakan itu?" cibir Putri Cahaya Sakti.
"Telah lama aku mendengar sepak
terjangmu yang jahat dan kejam. Kau dan
kekasihmu itu juga telah berkali-kali
menyusahkan orang-orang istana. Jika
kini kau  datang ke hadapanku, sama
artinya dengan seekor ular yang datang
untuk minta digebuk!"
"Mulutmu terlalu nyinyir!"
Tiba-tiba, Dewi Asmara meloncat
sebat. Telapak tangan kanannya
berkelebat cepat untuk menampar Putri
Cahaya Sakti!
"Hiahhh...!"
Wuttt...!
Mudah saja Anggraini menghindari
tamparan itu. Hanya dengan menggerakkan
kepalanya ke belakang, telapak tangan
Dewi Asmara lewat begitu saja tanpa
memperoleh hasil apa-apa.
Mengetahui serangan kekasihnya
gagal, mendadak Dewa Cinta memekik
nyaring. Telunjuk jari tangan kanannya
diluruskan  ke depan. Timbul selarik
sinar kuriing menggidikkan. Melesat
ganas mengarah ulu hati Putri Cahaya
Sakti!

Wusss...!'
Blarrr...!
Sebuah Iedakan dahsyat membahana di
angkasa.  Selarik sinar kuning yang
melesat dari telunjuk jari Dewa Cinta
membentur seberkas cahaya putih
berkeredepan. Rupanya, dengan kipas baja
putihnya, Pendekar Kipas Terbang
berhasil menyelamatkan nyawa Anggraini
Sulistya.
"Penjahat culas! Biarkan mereka
bertempur! Kau hadapi aku!" tantang Raka
Maruta.
"Ha ha ha...!" Dewa Cinta tertawa
bergelak. "Telah lama aku mendengar nama
besar Pendekar Kipas Terbang! Sungguh
satu kesempatan yang jarang ada jika kini
kau bermaksud menantangku! Boleh!
Bolehlah, kulayani kau!"
Secepat kilat, Dewa Cinta melepas
sapu tangan merah yang mengikat kunciran
rambutnya. Sapu tangan itu
dipilin-pilinnya sejenak. Dan, Raka
Maruta pun terkesiap. Sapu tangan Dewa
Cinta tiba-tiba memanjang, lalu berubah
menjadi seutas tali mirip cambuk!
“Hhh...!"
Dewa Cinta mendengus seraya
mengalirkan tenaga dalam ke cambuk
anehnya. Di lain kejap, cambuk yang

berasal dari sapu tangan itu
membersitkan cahaya merah yang amat
menyilaukan mata!
"Cambuk Api Darah!" pekik Dewa Cinta
seraya menyabetkan cambuknya ke angkasa.
Jderrr..;!
Dari sabetan itu muncul garis-garis
sinar merah yang menyerbu ke arah
Pendekar Kipas Terbang. Cepat Pendekar
Kipas Terbang mengatasi
keterke-utannya. Kipas baja putih yang
telah dialiri tenaga dalam, dia kibaskan
ke atas!        
Terdengar suara berdentang keras
seperti dentangan balok besi yang
dipukul berkali-kali. Garis-garis sinar
merah yang muncul dari sabetan Cambuk Api
Darah di tangan Dewa Cinta tampak
terbabat putus di udara. Dan seberkas
cahaya putih yang melesat dari senjata
andalan Raka Maruta, terus meluncur ke
depan. Hendak menggulung tubuh Dewa
Cinta!
"Setan Alas!"
Dewa Cinta memaki seraya membuang
tubuh jauh ke samping kanan. Sebelum
kakinya menginjak tanah. dia sabetkan
lagi Cambuk Api Darahnya. Kembali
garis-garis sinar merah menyerbu ke arah
Pendekar Kipas Terbang. Dan...,

pertempuran seru pun tak bisa dihindari
lagi.
Sementara itu, Anggraini Sulistya
dan Dewi Asmara telah saling terjang
pula. Tangan kanan Anggraini Sulistya
tampak memegang sebatang seruling yang
terbuat dari emas berkilauan. Sedangkan
Dewi Asmara merangsek ganas dengan
sepasang pedang lentur yang bisa
memanjang ataupun memendek.
Sambaran dua pedang lentur di tangan
Dewi Asmara tampak sangat berbahaya.
Beberapa kali Anggraini Sulistya dibuat
terkejut setengah mati. Ketika dia
mengnindari tusukan salah satu pedang
lawan, tiba-tiba batang pedang itu molor
panjang, mampu mengejar lompatan hingga
dua tombak Dan selagi seruling Anggraini
Sulistya berkelebat menangkis, secara
cepat luar biasa pedang yang satunya lagi
menyusul, mengirim serangan yang lebih
mematikan, sama-sama dapat molor
sepanjang dua tombak!
"Hmmm.... Menyesal aku tak membawa
Kecapi Mautku...," kata hati Putri
Cahaya,Sakti. "Jika aku membawa Kecapi
Maut, sampai di mana pun kehebatan pedang
perempuan  keji itu, tentu akan dapat
kuredam dari jarak jauh...,"

Memang, senjata andalan Anggraini
Sulistya sebenarnya adalah sebuah alat
musik berupa kecapi. Karena Anggraini
Sulistya tidak menyangka akan terlibat
dalam pertempuran, maka senjata
andalannya itu dia tinggal di istana.
(Tentang kehebatan Kecapi Maut milik
Anggraini Sulistya, bisa disimak pada
serial Pengemis Binal dalam episode:
"Cinta Bernoda Darah").
Namun karena tak mau dipecundangi
lawan, Putri Cahaya Sakti tak
segan-segan lagi mengeluarkan se-luruh
kemampuannya. Beberapa saat kemudian,
tubuh putri raja Pasir Luhur ini tampak
membiaskan cahaya putih bening.
Trang!
"Heh?!"
Terkejut luar biasa Dewi Asmara.
Cahaya putih bening yang menyelubungi
tubuh Anggraini Sulistya temyata dapat
menjadi tameng yang kebal terhadap
senjata tajam. Batang pedang Dewi Asmara
tampak melengkung kemudian menggeletar
ke atas ketika menusuk dada Anggraini
Sulistya.
"Kulihat wajahmu pucat. Lebih baik
kau menyerah saja untuk segera
kuhadapkan Ayahanda Prabu," cibir Putri
Cahaya Sakti.

"Bedebah! Setelah kucincang
tubuhmu, justru aku akan memenggal
kepala orang tua buruk rupa itu!" balas
Dewi Asmara.
Di ujung kalimatnya, Dewi Asmara
menyabetkan kedua pedangnya bergantian.
Kedua pedang lentur itu mengeluarkan
suara. berdesing tajam, mengarah leher
dan pinggang Anggraini Sulistya!
Sing! Sing!
"Hiahhh...!"

***

Peramal Buntung menggerigap bangun
manakala merasakan sentakan-sentakan
aneh di kaki kirinya. Lama-lama terasa
pedih seperti ada jarum yang
menusuk-nusuk. Dan, mendeliklah mata
Peramal Buntung. Ternyata, jari-jari
kaki kirinya sedang digigit dan
ditarik-tarik tiga ekor tikus!
"Mati kau!" hardik Peramal Buntung.
Kakinya mengibas cepat. Terdengar
suara berdebuk keras yang disusul dengan
suara mencicit pendek. Tampak kemudian,
tubuh tiga ekor tikus yang tadi menggigit
jari-jari kaki Peramal Buntung telah
tergeletak di lantai tanpa nyawa. Tubuh
ketiga hewan pengerat itu hampir hancur

karena membentur dinding ruangan yang
keras.
"Aduh! Hik.. hik... hik..., Tega
benar kau membunuh saudara
saudaraku...." "
Peramal Buntung melonjak kaget.
Telinganya  menangkap suara dingin
bernada sedih. Lebih kaget lagi Peramal
Buntung saat menoleh ke belakang. Walau
samar-samar, matanya dapat melihat
sebentuk kepala manusia yang tergeletak
di lantai ruangan. Kepala itu ditumbuhi
bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan, menyebar rata sampai ke
wajah. Wajah itu pun tampak lucu karena
bagian mulutnya monyong panjang seperti
moncong tikus. Terdapat kumis yang
panjang kaku pula! Sementara, matanya
yang bulat kecil terlihat meneteskan air
bening!
"Ya, Tuhan...," sebut Peramal
Buntung. "Kenapa ada kepala tanpa badan
bisa bicara dan menangis...?"
"Hik.. hik... hik... Kini tak ada
lagi yang menemani di tempat sepi ini.
Hik... hik.. hik... Kau telah membunuh
mereka. Aku sedih. Aku sedih. Hik...
hik...hik..."
"Kepala tanpa badan terus berucap
sambil menangis tersedu-sedu.

Sementara, Peramal Buntung menatapnya
dengan mata terbeliak lebar.
"Si... siapa kau? Kenapa wujudmu
hanya berupa kepala tanpa badan?"
"Hik.. hik.,. hik... Kau telah
membunuh ketiga saudaraku. Kau tak patut
bertanya lagi kepadaku. Hik... hik...
hik..."
Peramal Buntung mengerutkan kening.
Ditajamkannya penglihatan. Karena
kepala yang dilihatnya tanpa badan terus
menangis, dia tak hendak mengajak bicara
lagi. Namun, dia tak bisa menyembunyikan
keheranannya. Peramal Buntung
mengucak-ucak matanya terus. Tak percaya
pada penglihatannya sendiri.
"Kau... kau siapa? Kenapa wajahmu
hanya berupa kepala?" tanya Peramal
Buntung lagi
"Hik... hik... hik... Setelah
kupikir-pikir, biarlah ketiga saudaraku
mati. Kau bisa menjadi gantinya...,"
ujar sebentuk kepala yang mirip kepala
tikus. "Karena kita akan segera menjadi
dua orang saudara yang bernasib sama,
boleh aku mengenalkan diri. Aku  Dewa
Tikus.... Kau jangan salah lihat Wujudku
bukan hanya berupa kepala. Aku juga punya
badan, sepasang tangan, dan kaki...."

Mendengar penjelasan itu, Peramal
Buntung memberanikan diri untuk
melangkah mendekat. Dia perhatikan
dengan seksama.
"Yah.... Aku tahu sekarang.
Rupanya, tubuhmu terbenam dalam lantai
ruangan ini," ujar Peramal Buntung
kemudian.
"Tepat sekali apa yang kau katakan,"
tegas Dewa Tikus. "Sedih... sungguh
sedih hatiku kini. Malang... sungguh
malang nasibku ini. Aku tak tahu apa
salahku. Aku tak tahu apa dosaku. Kenapa
tiba-tiba orang jahat itu menangkapku,
kemudian memenjarakanku di tempat ini.
Hik.. hik... hik..."
Peramal Buntung menatap iba Dewa
Tikus yang meneteskan air mata lagi.
Mendengar kata-kata sosok makhluk yang
hanya tampak kepalanya itu, Peramal
Buntung berusaha mengingat-ingat
kejadian yang baru dialaminya.
"Aku ingat... aku ingat.,," gumam
Peramal Buntung. "Bersama Tuan Muda
Suropati, aku berusaha meredam kemarahan
Raja Angin Barat Tapi tiba-tiba tubuhku
jadi lemas. Seseorang pasti telah
menotok, kemudian membawa tubuhku
ketempat ini...."

Peramal Buntung menatap sekilas
Dewa Tikus yang masih menangis
tersedu-sedu. Namun karena memikirkan
keadaan dirinya yang tengah disekap,
Peramal Buntung mengedarkan pandangan
untuk mencari jalan keluar. Dengan
menggunakan jari-jari kakinya, dia
memeriksa keadaan ruangan. Kiranya, dia
berada di sebuah ruangan persegi empat
yang terletak di bawah tanah. Keempat
sisi dinding, lantai, dan atap ruangan
berupa tanah padat namun terasa lembek
Sementara, di salah satu sudutnya
terdapat pelita kecil yang terus
menyala, berasal dari semburan gas
alani.
"Hmmm... ruangan ini tertutup
rapat. Bagaimana mungkin penculik itu
bisa menempatkan tubuhku di sini?" tanya
Peramal Buntung kepada dirinya sendiri.
"Hei! Kenapa kau bengong
terlongong-longong?!" sentak Dewa Tikus
tiba-tiba, tangisnya telah terhenti.
Peramal Buntung menatap dengan
kening berkerut. "Aku sedang memikirkan
cara untuk dapat keluar dari tempat
pengap ini!" ujarnya.
"Mencari jalan keluar? Ha ha ha...!"
"Gila!" rutuk Peramal Buntung dalam
hati. "Kenapa makhluk yang mengaku

bernama Dewa Tikus itu tertawa-tawa,
padahal  tadi dia begitu larut dalam
tangis?"
"Ha ha ha...! Kau mencari jalan
keluar? Ha ha ha,..!" Dewa Tikus tertawa
lebih panjang. "Boleh! Boleh kau cbba!"
Peramal Buntung tak mempedulikan
lagi Dewa Tikus yang tampak melempar
ejekan. Dengan jari-jari kakinya, dia
periksa sekali lagi seluruh permukaan
dinding ruangan.
"Hmmm.... Benar-benar tak ada jalan
keluar," pikir Peramal Buntung. "Tapi,
bagaimana kalau salah satu dinding ini
kuhancurkan? barangkali setelah itu, aku
bisa menemukan jalan yang bisa membawaku
keluar dari tempat ini..."
Mengikuti pikiran di benaknya,
bergegas Peramal Buntung menghimpun
kekuatan tenaga dalam seraya dialirkan
ke kaki kanannya. Dia bermaksud
menendang jebol salah satu dinding
ruangan. Tapi....
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" bentak
Dewa Tikus dengan mata mendelik marah.
"Siapa yang sudi disekap di tempat
pengap seperti ini!" sahut Peramal
Buntung. 
"Kau hendak menjebol dinding di
hadapanmu itu?"

"Terpaksa!"
"Jangan berlaku bodohl" "Kenapa?"
"Begitu  kau tendang dinding itu,
atap ruangan ini akan runtuh! Bukan jalan
menuju kebebasan yang kau dapatkan!
Justru, jalan kematian”.
Peramal Buntung mendongak.
Dilihatnya atap ruangan yang berupa
tanah padat. Karena tak begitu percaya
pada ucapan Dewa Tikus, Peramal Buntung
ingin menguji. Pelan saja dia benturkan
jempol kakinya ke dinding.
Duk!
Brolll...!
Terkejut Peramal Buntung. Atap
ruangan tiba-tiba ambrol. Cepat dia
meloncat ke samping kiri karena tak mau
tubuhnya terrimbun tanah.
"Ha ha ha! Kini, kau percaya,
bukan?" cibir Dewa Tikus. Kepalanya
digerak-gerakkan untuk menghalau
gumpalan tanah yang hendak menerpa.
Peramal Buntung mendesah.
"Mati aku!"

***

7


"Kami lahir dari rahim seorang
wanita yang mempunyai keturunan
siluman...."
"Sebentar, Kek!" sela hati kecil si
Pengemis Binal yang ingin bertanya. "Kau
menyebut dirimu sebagai 'kami' apakah
kau mempunyai hubungan darah dengan
Siluman Ragakaca?"
"Ya. Aku dan Siluman Ragakaca adalah
saudara sekandung. Siluman Ragakaca
lahir sebagai kakak tertua. Sementara,
aku masih punya seorang adik bernama Dewa
Tikus.,.."
"Dewa Tikus...?"
"Adikku itu memang pantas disebut
demikian karena dia suka bermain-main
dengan tikus. Ke mana pun dia pergi,
selalu ada tikus yang menemaninya.
Hebatnya, tikus jenis apa pun kalau
bertemu dengan adikku itu akan menjadi
jinak dan menuruti segala kemauannya.
Terlebih lagi, tubuh Dewa Tikus dipenuhi
bulu halus dan berwajah persis seperti
tikus, hingga tak keliru kalau dia diberi
nama Dewa.Tikus. Namun..., sebagian
tokoh golongan atas di negeri ini lebih
suka menyebutnya sebagai Dewa Tangis.
Karena, dia mudah bersedih hati, lalu
menangis tersedu-sedu walau tanpa alasan

yang pasti. Dan, sebagian tokoh lagi
menyebutnya dengan Dewa Gila...."
"Tapi, dia tidak gila, bukan?"
"Ya. Hanya tingkah lakunya saja yang
mirip orang gila. Usai menangis
tersedu-sedu, dia bisa tertawa panjang
sepuas hati. Meski sebenarnya tidak ada
yang pantas untuk ditertawakan..."
"Kalau begitu, tahu aku sekarang
kenapa kau hendak menjadikan aku sebagai
wakilmu untuk menghentikan
keangkaramurkaan Siluman Ragakaca.
Karena, siluman itu saudara sekandung
denganmu  hingga kau tak mungkin
bertempur  dengannya. Apalagi
membunuhnya. Bukan begitu, Kek?"
"Nah! Nah! Sekarang, kau sudah mampu
berpikir dengan baik. Rupanya, kau tidak
segeblek yang kukira...," ujar Setan
Ceriwis. "Setelah kau tahu siapa
sebenarnya aku, kuharap kau mau menerima
dengan senang hati beberapa ilmu
kesaktian yang akan kutu-runkan
kepadamu. Setelah itu, kau harus
mewakili aku untuk menumpas Siluman
Ragakaca dan seluruh pengikut
jahatnya...."
"Sebentar, Kek..." 
"Ada apa lagi?'.'

"Mendengar ceritamu tentang Siluman
Ragakaca, sebenarnya tanpa kau pinta
pun, aku pasti akan menumpas siluman itu
walau aku mesti mempertaruhkan nyawa.
Tapi, masih ada pertanyaan yang ingin
kuajukan kepadamu?"
"Apa itu?"
"Siapa nama ibumu? Bagaimana dia
bisa melahirkan makhluk-makhluk aneh dan
sakti macam Siluman Ragakaca, dirimu
Setan Ceriwis, dan Dewa Tikus?"
"Ha ha ha...! Ini sebuah pertanyaan
lucu. Tapi, bolehlah kujawab karena
kalau menjawab,pun aku tak akan rugi,"
ujar Setan Ceriwis diiringi derai
tawanya.
"Ibuku bernama Rara Gandari. Dia
cantik luar biasa. Dan, suaminya pun
setampan Dewa Kamajaya. Bernama Raka
Samba. Hanya sayangnya, ibuku mempunyai
darah siluman yang mengalir dari darah
bapaknya, Siluman Baka. Sehingga, ibuku
mesti melahirkan tiga orang bocah yang
dua di antaranya berwujud sangat buruk,
aku dan adikku Dewa Tikus! Sementara,
Siluman Ragakaca sebagai saudara tertua
memiliki bentuk tubuh bagus dan wajah
tampan. Namun sayang, ketampanannya
berada di balik jiwa iblis.... Perlu juga
kau ketahui, Suropati..., Siluman

Ragakaca tak mau mengakui aku dan Dewa
Tikus sebagai adik-adik-nya. Yah, karena
kami memang amat buruk rupa.... Terlebih
jahat lagi, Siluman Ragakaca selalu
berusaha membunuh kami, aku dan Dewa
Tikus. Sementara, kami tak pernah
melawan karena aku dan Dewa Tikus pernah
mengangkat sumpah di hadapan Ibunda Rara
Gandari. Sampai dunia kiamat, aku dan
Dewa Tikus tak boleh mendendam dan sakit
hati terhadap Siluman   Ragakaca.
Apalagi, membunuh saudara tuaku itu....
Aku dan Dewa Tikus terpaksa mengangkat
sumpah demi menuruti  kemauan Ibunda
Gandari. Beliau amat sayang kepada
Siluman Ragakaca, sehingga beliau tak
ingin melihat aku dan Dewa Tikus
menyakitinya. Dengan kata lain, mencubit
pun tak diperkenankan.... Tapi setelah
aku melihat bagaimana kekejaman Siluman
Ragakaca yang hendak mewujudkan
cita-cita gilanya, tercetus keinginan
dalam benakku untuk menghentikan segala
kegilaan ini...."
Beberapa kata di akhir kalimat Setan
Ceriwis diucapkan dengan suara bergetar.
Setan Ceriwis terbawa dalam suasana.
Tanpa terasa, air bening mulai
mengambang di pelupuk matanya. Namun,
cepat Setan Ceriwis menghalau perasaan

yang tak mengenakkan ini. Bagaimanapun,
kejahatan mesti diberantas, kebatilan
mesti ditindas. Kebenaran dan keadilan
mesti dijunjurig dan ditegakkan. Tak
peduli siapa pelaku kejahatan dan
kebatilan itu! Tapi, tidak takutkah
Setan Ceriwis termakan tuah sumpahnya
sendiri apabila dia berkehendak menumpas
Siluman Ragakaca walau hanya dengan cara
meminjam tangan orang lain?
"Sebagai makhluk yang punya. akal
pikiran, sebenarnya aku juga punya rasa
takut akan tuah sumpah yang pernah
mangkat bersama Dewa Tikus itu. Tapi, apa
boleh buat. Biarlah bumi menelanku.
Biarlah langit runtuh menimbunku. Kalau
pengorbananku ini ada gunanya, siksa itu
akan kuterima dengan dada lapang...,"
lanjut Setan  Ceriwis, meriegaskan
keyakinannya. "Tapi... karena  aku
benar-benar punya pantang-n membunuh.
kau harus bersedia mewakili aku untuk
menumpas Siluman Ragakaca dan seluruh
pengikut jahatnya. Dan, kuharap kau pun
tak salah menjatuhkan tangan maut,
Suropati. Yang harus kau tumpas hanya
Siluman Ragakaca bersama para pengikut
jahatnya. Beberapa pengikut Siluman
Ragakaca yang tak jahat harus kau
lepaskan.,.."

"Heran aku. Kenapa ada orang
baik-baik bisa menjadi pengikut siluman
itu?"
"Mereka hanya terpaksa. Raja Angin
Barat adalah satu contoh di antaranya."
"Yang lain lagi, siapa?"     , .
"Kalau kau pandai menggunakan otak
untuk berpikir dan menimbang, pada
saatnya nanti kau pasti akan tahu
siapa-siapa yang tak boleh kau bunuh
itu.... Nah, sekarang kosongkan
pikiranmu. Pusatkan seluruh perhatian
dan daya batinmu ke satu titik. Aku akan
segera menurunkan beberapa ilmu
kesaktian kepadamu...."
Hati kecil Pengemis Binal tak
berkata-kata lagi. Jiwa dan pikirannya
sudah mantap untuk menerima apa yang akan
diberikan Setan Ceriwis. Sebuah tugas
maha berat telah menunggu. Dan, tugas itu
membutuhkan kesiapan lahir batin. Tak
keliru apabaila Setan Ceriwis hendak
menurunkan beberapa ilmu kesaktian
kepada Pengemis Binal.
Untuk beberapa saat, Setan Ceriwis
menatap lekat wajah Suropati yang tengah
duduk dalam sikap semadi. Kemudian,
bibir kakek berkulit putih seperti kapur
ini kemak-kemik. Dan di dalam semadinya,
Suropati mendengar banyak sekali

petunjuk yang memang sengaja ditujukan
kepada dirinya.
Di lain kejap, kedua mata Setan
Ceriwis memancarkan cahaya hijau,
menerpa lalu membungkus sekujur tubuh
Pengemis Binal.
Tampak kemudian, tubuh Pengemis
Binal bergetar. Sekujur tubuhnya terasa
panas bagai dibakar api. Tak ayal lagi,
butiran keringat memercik ke sana-sini.
Kepala Pengemis Binal pun terasa pening,
bahkan teramat pening. Tulang
belulangnya pun terasa bagai
dijepit-jepit balok baja yang amat kuat
Seluruh urat-urat darahnya terasa
ditarik-tarik, seperti hendak putus
bersamaan....
Suropati menguatkan hati untuk
bertahan, dan terus bertahan. Tapi...,
siksaan itu terus merejam dan semakin
menyakitkan!
"Kini, kau telah berada pada
saat-saat gawat, Suro...," ujar Setan
Ceriwis, kedua matanya terus memancarkan
cahaya hijau yang membungkus tubuh Su-
ropati. "Jangan menghimpun tenaga dalam
untuk melawan. Kalau itu kau lakukan,
tubuhmu akan langsung meledak
hancur...."

Pengemis Binal mencoba bertahan,
tapi rasa sakit itu semakin
menjadi-jadi....
Beberapa saat kemudian, Setan
Ceriwis menepukkan kedua telapak
tangannya di atas kepala. Bersamaan
dengan munculnya ledakan keras, dua
larik sinar merah melesat dalam bentuk
lengkungan..., menerpa telinga
Suropati!
"Wuahhh...!"
Tanpa sadar Suropati memekik parau.
Datang rasa sakit yang lebih hebat Namun,
Suropati tak hendak rnemberi perlawanan.
Suropati tak hendak membuyarkan
semadinya. Remaja tampan ini sudah
percaya benar kepada Setan Ceriwis.
Tapi... di lain saat, Suropati
merasakan telinganya jadi pekak. Pikiran
bawah sadarnya mengatakan bahwa
telinganya telah tuli! Di lain saat lagi,
urat-urat darahnya terasa bergeletar.
Akibatnya, aliran darah jadi kacau.
Tubuh Suropati pun terasa sangat lemah
dan tanpa tenaga sedikit pun!
Menilik penderitaan Pengemis Binal
yang begitu hebat, maka perlu
disanksikan niat baik Setan Ceriwis!
Benarkah adik kandung Siluman Ragakaca
itu hendak menurunkan ilmu kesaktian?

Apakah dia tidak berniat untuk membuat
tuli  telinga Suropati, kemudian
melumpuhkan seluruh ilmu kesaktiannya? 
"Argh...!"
Pengemis Binal memekik kesakitan!
Tubuhnya jatuh terkapar di lantai gua!

***
"Hei! Hei! Kau jangan berjalan
mondar-mandir seperti itu!" tegur Dewa
Tikus atau Dewa Tangis alias Dewa Gila,
"Kenapa?!"  Peramal Buntung
membentak jengkel.
"Kau duduk sajalah!".  
"Kalau aku berjalan mondar-mandir,
rugikah kau?! Kau terlalu mengurusi
kemauan orang! Pikirkan saja keadaan
tubuhmu yang terjepit tanah itu."
"Hei! Hei! Kenapa kau marah? Tak
tahukah kau bila aku bermaksud baik?"
"Bermaksud baik apa?!" Peramal
Buntung membentak lebih keras. Karena
terbawa rasa bingung dan kalut kakek
cacat ini jadi mudah naik darah.
Bagaimana Peramal Buntung tidak bingung
dan kalut, jalan keluar untuk dapat lolos
dari ruang penyekapan ini tak dapat dia
temukan!

"Hmmm.... Umurmu sudah lewat kepala
enam, tapi otakmu masih belum mampu
berpikir dewasa...," cibir Dewa Tikus.
"Apa?!" geram Peramal Buntung
d»ngan muka merah padam. 
"Bila kau tak segera menutup mulutmu
yang nyinyir itu, terpaksa aku akan
membungkammu dengan segumpal tanah!"
"Ha ha ha...!" Dewa Tikus malah
tertawa. "Lucu sekali ancamanmu itu,
Orang Buntung! Tidakkah terpikir di
benakmu... bila aku mati, kau pun akan
mati?! Kau pikir, udara yang mengisi
paru-parumu itu berasal dari mana?"
Kening Peramal Buntung berkerut
mendengar ucapan Dewa Tikus. Dia
mengedarkan pandangan sejenak. Ruang
bawah tanah tempat dirinya didekap ini
tertutup rapat Tak ada jalan masuk
ataupun keluar. Tak juga untuk peredaran
hawa!
""Kini, sudah tahukah kau berasal
dari mana udara yang kau hirup di tempat
pengap dan tertutup rapat ini?" ujar Dewa
Tikus, kali ini terdengar penuh
kesungguhan.
Peramal Buntung diam.
Dewa Tikus menyeringai, lalu
menangis. "Hik... hik... hik.... Kasihan
sekali kau, Orang Buntung, Sebenarnya,

hidup pun kau sudah tiada berguna lagi.
Hik... hik... hik.... Jika kau ingin
mati, marilah  kita mati
bersama-sama...." 
"Tidak! Aku belum ingin mati! Masih
banyak tugas yang harus kukerjakan!"
seru Peramal Buntung.
"Tapi kalau aku mati, kau pun akan
mati.... Hik... hik.... hik... Kalau aku
mati, tidak ada lagi yang memberimu udara
untuk bernapas. Kalau aku mati, hawa di
ruangan ini akan sangat pengap dan panas.
Kau akan mati karena. kehabisan udara
untuk bernapas. Hik... hik... hik..,,"
"Apa maksud ucapanmu itu, Orang
Aneh? Benarkah udara yang kuhirup ini
pemberianmu?" tanya Peramal Buntung,
khawatir.
"Begitulah. Aku punya ilmu bernama
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'.
Hik... hik... hik...."
Terkejut Peramal Buntung mendengar
ucapan Dewa Tikus. Dia memang pernah
mendengar suatu ilmu pernapasan bernama
'Mengolah Udara Memperpanjahg Usia'.
Seseorang yang mempunyai ilmu itu mampu
bertahan hidup berbulan-bulan walau
disekap di sebuah tempat yang tertutup
rapat Bahkan, di sebuah tabung besi yang
kedap udara sekalipun. Dengan ilmu

'Mengolah Udara Memperpanjang Usia',
seseorang dapat mengolah udara di
paru-parunya sedemikian rupa, sehingga
dapat dikeluarkan untuk kemudian dihirup
lagi. Pendek kata, seseorang yang
memiliki ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia' dapat bertahan hidup
walau dengan menghirup udara yang sangat
sedikit.
"Hmmm.... Kau jangan membual Orang
Aneh!" sentak Peramal Buntung untuk
menutupi keterkejutannya. "Ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia' 
hanya ada di masa dua ratus tahun yang
silam! Bagaimana kau dapat mengatakan
bahwa kau memiliki ilmu itu?!"
"Ha ha ha...!" mendadak Dewa Tikus
mengubah tangisnya menjadi tawa
bergelak-gelak "Kau menyebutku sebagai
'orang aneh', tapi sesungguhnya kaulah
yang aneh! Tidakkah kau tahu bila umurku
telah lebih dari dua ratus tahun?"
"Hah?! Benarkah itu?"
"Ha ha ha...! Kau tidak percaya,
boleh. Tapi.. tapi..., kau harus percaya
bahwa kalau ku mati, kau pun akan ikut
mati. Hik... hik... hik....'
Dewa Tikus menangis lagi.
Peramal Buntung menatap heran.

"Jika sekarang aku harus membagi
udara denganmu, maka jalan kematianku
sudah begitu dekat Hik... hik...
hik...," ujar Dewa Tikus di sela-sela
tangisnya. "Sebenarnya.., sebenarnya,
aku tak tega jika kau turut mati. Hik...
hik... hik...."
Merasakan kesungguhan ucapan Dewa
Tikus, Peramal Buntung bertambah kalut
dan bingung. Mati! Mati! Mati! Kata-kata
mengerikan itu terus mengiang di
telinganya. Bagi Peramal Buntung, mati
di ajang pertempuran adalah jauh lebih
baik daripada mati kehabisan napas di
dalam sebuah ruang penyekapan.
"Be... benarkah tidak ada  jalan
keluar untuk dapat pergi dari tempat
terkutuk ini?" tanya Peramal Buntung,
tergagap.
"Tidak ada. Hik... hik... hik..:,"
jawab Dewa Tikus, terus meneteskan air
mata.
"Sungguh malang nasib kita, Orang
Aneh.... Kau tentu sangat tersiksa
karena tubuhmu dibenamkan ke dalam tanah
seperti itu. Melihat wajahmu yang kotor
penuh debu itu, kau tentu telah lama
disekap di tempat ini...."
"Benar katamu. Hik... hik... hik...
Walau aku tak dapat lagi membedakan siang

ataupun malam, walau aku tak dapat lagi
menghitung hari, tapi aku tahu bahwa
diriku disekap di tempat ini telah lebih
dari dua pekan. Hik... hik... hik...
Sekarang aku harus membagi udara
denganmu. Hik... hik... hik... Beberapa
saat lagi, kita akan mati bersama-sama.
Hik.. hik... hik..."
Mengelam paras Peramal Buntung
mendengar ucapan Dewa Tikus. "Sungguh
kejam orang yang telah menyekap kita di
tempat ini...," ujarnya lirih seperti
menggumam.
"Kau kenal dengan orang itu?" tanya
Dewa Tikus tangisnya terhenti mendadak.
Peramal Buntung menggeleng. "Aku
tak tahu. Di sebuah tanah luas
berbatu-batu, tiba-tiba tubuhku terasa
lemas. Aku pingsan. Dan ketika siuman,
aku telah berada di tempat ini...."
"Seseorang telah menotokmu dengan
ilmu totokan jarak jauh bemama 'Sabetan
Jari Pelumpuh Naga'.,.."
"Dari mana kau tahu?"
"Apa yang kau alami, kualami juga."
"Kalau begitu, kau pasti tahu siapa
orang yang telah menyekap kita itu...."
"Aku memang tahu, Tapi.',
kuberitahukan pun percuma karena... kita
akan segera mati!"

"Hmmm..... Jahat benar orang itu!"
geram Peramal Buntung. "Apa sebenarnya
salahku kepadanya? Kenapa dia berniat
membunuhku?" 
"Pertanyaanmu  itu sama persis
dengan pertanyaan yang ada di benakku,"
sahut Dewa Tikus.
"Dan, kau pun tak mampu
menjawabnya?"
"Begitulah...."
Peramal Buntung mendesah. Kakek
berompi kuning ini geleng-geleng kepala
ketika melihat Dewa Tikus menangis lagi.
"Dewa Tikus...," gumam Peramal
Buntung. "Dewa Tikus. Sebuah nama atau
julukan yang tepat bagi makhluk berwajah
mirip tikus itu. Hmmm.... Mungkinkah dia
punya kemampuan menggerong tanah seperti
tikus?"
Terbawa pikiran dibenaknya, Peramal
Buntung menatap lekat wajah Dewa Tikus,
lalu bertanya, "Orang aneh..., kau tadi
mengenalkan dirimu sebagai Dewa Tikus.
Aku yang cacat dan bergelar Peramal
Buntung ini hendak bertanya kepadamu.
Apakah kau punya kemampuan menggerong
tanah?"
"Kalau aku punya, kau mau apa?" Dewa
Tikus balik bertanya.

Peramal Buntung diam sejenak.
Keningnya berkerut rapat Lalu dengan
suara berat dan penuh kesungguhan, dia
berkafa, "Firasatku mengatakan bahwa
kita tak akan mati di tempat ini. Pasti
ada sebuah cara untuk dapat lepas dari
kungkungan ini. Dan kupikir, kalau kau
punya semacam ilmu mirip tikus yang
mampu, menggerong tanah, kita berdua
pasti akan selamat..."
"Aku memang punya ilmu 'Menembus
Tanah Membuat Liang'. Tapi..., ilmuku
itu tak lagi berguna kini. Tidak tahukah
kau, mengeluarkan tubuhku dari jepitan
tanah lembek ini saja aku tak mampu?"
"Kenapa?".
"Kedua tangan dan kakiku diikat." 
"Hmmm.... Kalau hanya membuka
ikatan saja, aku bisa membantumu...."
Kepala Dewa Tikus menggeleng lemah.
Peramal Buntung tak begitu
memperhatikan. Dengan semangat yang
tiba-tiba muncul dan menyala-nyala,
kakek berompi kuning ini mulai menggali
tanah  untuk dapat mengeluarkan tubuh
Dewa Tikus. Walau hanya menggunakan
telapak kaki, Peramal Buntung tak banyak
mendapat kesulitan.
"Sudahlah! Sudahlah! Percuma saja!"
seru Dewa Tikus.

"Aku bermaksud mengeluarkan
tubuhmu, kemudian melepas ikatan di
kedua tangan dan kakirnu!" sahut Peramal
Buntung.
"Ah! Kubilang, percuma saja!
Jangan-jangan perbuatanmu ini hanya akan
mempercepat kematian kita. Atap ruangan
ini akan runtuh! Kita akan tertimbun
hidup-hidup!"
"Kau jangan terlalu meremehkan
kemampuanku!" sentak Peramal Buntung.
"Aku akan berhati-hati, agar atap tanah
itu tidak runtuh!"
Di ujung kalimatnya, Peramal
Buntung mulai menggali lagi. Sedikit
demi sedikit, dan terkesan amat
berhati-hati. Sementara, Dewa Tikus
mendesah terus. Mulutnya nyerocos
panjang pendek. Namun, Peramal Buntung
tak memperhatikan sama sekali.
Sepeminum teh kemudian, tubuh Dewa
Tikus telah berhasil diangkat dari
kubangan tanah. Tubuh Dewa Tikus
ternyata benar-benar mirip tikus.
Seluruh permukaan kulitnya ditumbuhi
bulu-bulu halus berwarna hitam
kekuningan. Perutnya pun terlihat buncit
dan menggantung. Dan  hanya selembar
cawat hitam yang menempel di tubuhnya.
Sekadar menutupi barang istimewanya!

"Sudah kubilang, percuma saja...!"
seru Dewa Tikus  seraya menggulingkan
tubuhnya.  Dalam keadaan duduk
berselonjor, Dewa Tikus memperlihatkan
ikatan di kedua tangan dan kakinya. 
"Astaga!"
Peramal Buntung berseru kaget. Tali
yang mengikat tangan dan kaki Dewa Tikus
ternyata berupa garis-garis sinar
berwarna kuning!
"Orang jahat itu mengikatku dengan
ilmu 'Sabetan Jari Penjerat Naga'...,"
beri tahu Dewa Tikus, "Kalau saja aku
dapat memutuskan ikatan ini, tak bakalan
kau menjumpai aku di tempat pengap
ini...."
"Bagaimana kalau aku mencoba
memutuskan ikatan itu?" tawar Peramal
Buntung.
"Percuma saja."
"Kau benar-benar meremehkan
kemampuanku, Orang Aneh!" sentak Peramal
Buntung.
"Tidak. Tapi kalau kau penasaran,
bolehlah kau tunjukkan ilmu
kepandaianmu."
Tanpa pikir panjang lagi, Peramal
Buntung beringsut. Jari-jari kakinya
menjepit garis-garis sinar yang mengikat
kedua tangan Dewa TikUs. Dikerahkannya

tenaga dalam untuk dapat memutuskan
garis-garis sinar yang menyerupai tali
itu. Namun hingga keringat bercucuran
dan tenaga dalam Peramal Buntung nyaris
terkuras habis, ikatan Dewa Tikus tak
juga dapat dilepaskan.
"Kini, kau baru percaya...," ujar
Dewa Tikus. Air bening mulai mengambang
di pelupuk matanya. "Hik... hik...
hik... Kita akan mati di sini. Kecuali,
Setan Ceriwis mau menolong...."
"Setan Ceriwis? Siapa itu?" tany?
Peramal Buntung, terkejut.
"Dia kakakku," jawab Dewa Tikus.
"Dia juga punya nama Setan Tanah atau
Setan Kapur. Hik.. hik.. hik... Kalau dia
mau menolong, kita pasti selamat. Tapi
kalau tidak, hik... hik... hik... Kita
akan mati...."
"Andai kakakmu itu bersedia, dengan
cara apa dia akan menolong kita?" tanya
Peramal Buntung,. semangat hidupnya
mulai membara lagi.
"Dia punya ilmu, 'Pelacak Jejak'.
Dia tahu kalau aku disekap di tempat ini.
Dia juga punya ilmu yang lebih hebat dari
ilmu 'Menembus Tanah Membuat Liang'
milikku. Dia bisa membelah tanah lalu
menutupnya sesuka hatinya. Dia punya
ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu Bumi'.

Tapi.,., hik... hik... hik... kalau dia
tak mau menolong, kita tetap akan mati.
Hik.. hik... hik..."
"Namun kalau dia bersedia menolong,
kita pasti selamat, bukan?"
"Ya! Ya! Tapi kau harus tahu, Orang
Buntung..., kalau kakakku itu telah
berhasil dibunuh kakakku yang satunya
lagi, harapan kita hanya akan tinggal
harapan. Kita pasti mati! Hik...'hik..
hik..."
"Kau bilang bahwa kau masih punya
kakak lagi. Siapa dia?" tanya Peramal
Buntung, terbawa rasa ingin tahunya.
"Siluman Ragakaca."
Melonjak kaget Peramal Buntung.
Dengan mata mendelik, kakek cacat ini
hendak bertanya lagi, tapi suaranya
tersekat di tenggorokan. Tiba-tiba,
napasnya jadi sesak!
"Kita akan segera mati! Udara segar
di ruangan ini hampir habis. Uh! Hk!
Napasku sesak! Kau juga rupanya! Hik...
hik,, hik... Matilah kita sekarang..."
Dewa Tikus menutup kalimatnya
dengan menghirup udara sebanyak mungkin.
Peramal Buntung berbuat serupa.
Namun..., maut akan menjemput!



***



8

Sona Langit melolong panjang Cada
henti melihat pertempuran seru yang
tengah berlangsung di hadapannya. Anjing
yang tubuhnya nyaris sebesar kuda ini
melompat ke sana sini, tak kuasa
membendung hasrat hatinya untuk membantu
Raka Maruta ataupun Anggraini Sulistya.
Namun, Raka Maruta berkali-kali
meneriakinya agar tetap tenang.
"Huuungngng...!"
"Tenanglah! Jangan bertindak
gegabah!" seru Pendekar Kipas Terbang
ketika  melihat Sona Langit meloncat
kedekatnya.
Raka Maruta tahu maksud Sona Langit
yang ingin membantunya.  Tapi, Raka
Maruta jusiru tak mau melihat Sona Langit
celaka. Karena, sambaran Cambuk Api
Darah di tangan Dewa Cinta yang menjadi
lawannya sangatlah berbahaya. Sambaran
sinar merahnya saja sudah mampu
menghancurkan sebongkah batu besar!

"Huuungngng...!" Sona Langit
melolong lagi. Anjing besar berbulu
hitam ini berbuat nekat, menerjang Dewa
Cinta.
Sementara Pendekar Kipas Terbang
mendelik kaget, Dewa Cinta tersenyum
senang. Dewa Cinta tahu bila Sona Langit
adalah satwa piaraan Putri Impian yang
menjabat sebagai Ratu Istana Dalam di
Istana Langit. Oleh karena itulah Sona
Langit pun dianggapnya sebagai musuh
yang layak dienyahkan!  
"Mati kau!"
Cewa Cinta menggembor keras seraya
menyabet-kan Cambuk Api Darahnya. Dengan
cambuk aneh yang semula berwujud sapu
tangan itu, Dewa Cinta hendak membelah
tubuh Sona Langit yang tengah melayang di
udara!
Srattt...!
Jderrr...!
"Huffing...!" '
Melihat bahaya yang mengancam Sona
Langit, Raka Maruta melemparkan kipas
baja putihnya. Terbentur tenaga lontaran
yang amat kuat, arah sabetan Cambuk Api
Darah melenceng. Namun tak urung, tubuh
sebelah kiri Sona Langit terserempet!
Akibatnya, tubuh besar Sona Langit
terpelanting lalu terbanting ke tanah.

Sona Langit mendengking kesakitan. Darah
mengucur dari bagian tubuhnya yang
terluka. Namun dengan semangat tempur
yang menyala-nyala, dan tak peduli akan
luka di tubuhnya, Sona Langit bangkit.
Hendak diterjangnya lagi Dewa Cinta!
"Jangan...!" cegah Pendekar Kipas
Terbang. Sambil berteriak keras, pemuda
berwajah lembut ini menyambar kipas baja
putih yang melesat balik ke arahnya.
"Huuungngng...!"
Sona Langit melolong panjang. Bola
matanya yang berkilat-kilat menatap
tajam wajah Raka Maruta. Melihat
kesungguhan pemuda yang telah
membebaskannya dari timbunan batu ini,
Sona Langit menganggukkan kepala walau
hatinya masih diliputi hawa amarah dan
rasa penasaran.
"Kau mmggirlah! Percayalah
kepadaku!" ujar Pendekar Kipas Terbang
untuk menenangkan hati Sona Langit.
Dan tampaknya, Sona Langit pun mau
menuruti kemauan Raka Maruta. Sekali
lagi, dia menganggukkan kepalanya, lalu
melangkah mundur.
"Hmmm.... Rupanya, menantu Prabu
Singgalang Manjunjung Langit adalah
seorang penjinak anjing...," cibir Dewa
Cinta. "Tapi, tubuh anjing itu tetap akan

kubelah dua setelah aku meremukkan
tubuhmu dulu, Maruta!"
"Kalau kau  mampu, silakan kau
wujudkan keinginanmu itu!" balas
Pendekar Kipas Terbang. "Jangan menyesal
andai aku yang lebih dulu memenggal
kepalamu!"
"Bangsat! Kita buktikan saja, siapa
yang lebih unggul di antara kita?!"
Di ujung kalimat Dewa Ginta, Cambuk
Api Darah meliuk ke atas. Setelah
mengeluarkan suara ledakan keras, tali
cambuk itu meluncur sebat ke arah Raka
Maruta. Sementara, garis-garis sinar
merah turut menyerbu ganas, membarengi
luncuran Cambuk Api Darah!
"Heaaa...!" 
Srattt...!
Sambil memekik nyaring, Raka Maruta
melemparkan kipas baja putihnya. Timbul
seberkas cahaya putih berkeredepan,
menelan garis-garis sinar merah yang
muncul dari sabetan tali Cambuk Api
Darah!
Tas...! 
"Ih...!"
Tatkala tali cambuk di tangannya
terbentur kipas baja putih, Dewa Cinta
memekik kaget. Jari-jari tangan kanannya
terasa kesemutan. Dan, bagian tubuh

sebelah kanannya pun terasa lumpuh.
Kontan bola mata Dewa Cinta melotot
besar!
Setelah membentur tali cambuk api,
kipas baja putih Raka Maruta mencelat
tinggi. Anehnya  senjata itu dapat
melesat  ke kiri lalu berputar ganas
hendak menebas leher Dewa Cinta!
Cepat Dewa Cinta mengatasi
kegugupannya. Dengan menjatuhkan diri ke
tanah, lelaki berpakaian ketat hijau ini
berhasil menyelamatkan diri. Namun, Dewa
Cinta terkejut luar biasa. Kipas baja
putih terus mengejarnya ke mana pun dia
berkelit!
Agaknya, Raka. Maruta telah
mengeluarkan jurus terhebatnya ‘Kipas
Terbang Membelah  Angin’  yang sudah
sempurna dikuasainya atas petunjuk si
Kipas Sakti, gurunya.
Dengan menggunakan tenaga dalam
tingkat tinggi yang mampu dipakai untuk
menarik dan melontarkan sebuah benda
dari jarak jauh, Raka Maruta memainkan
jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin' nya
yang dahsyat luar biasa. Hanya dengan
menggerak-gerak-kan kedua telapak
tangannya dari jarak jauh, Raka Maruta
mampu mengirim serangan-serangan
memati-an. Kipas baja putihnya

menyambar-nyambar bagai seekor elang
memburu mangsa. Sementara, biasan cahaya
putih yang muncul dari sambaran kipas
membuat udara di sekitarnya jadi panas
seperti ada api besar yang tengah
berkobar-kobar!
Dewa Cinta mendengus gusar
berkali-kali. Tubuhnya benar-benar
terkurung oleh sambaran senjata andalan
Pendekar Kipas Terbang. Cambuk Api Darah
pun tak lagi dapat memperlihatkan
kehebatannya.
Terdesak hebatlah Dewa Cinta!

***

Di bagian lain, wajah Dewi Asmara
tampak pucat pasi. Rasa kalut dan bingung
mulai menggeluti hatinya. Sepasang
pedang lentur di tangannya tak berdaya
sama sekali menghadapi ilmu 'Cahaya
Sakti Bentengi Jiwa' yang tengah
diterapkan oleh Anggraini Sulistya.
Cahaya putih yang menyelubungi
tubuh Anggraini Sulistya membuat tubuh
putri raja Pasir Luhur ini kebal senjata
tajam. Tak takut lagi dia menadahi
sabetan dan tusukan pedang lentur Dewi
Asmara. Sementara Dewi Asmara harus
berjuang sekuat tenaga untuk dapat

menghindari totokan-totokan berbahaya
sending emas di tangan Anggraini
Sulistya.
"Kau datang hendak meminta batu
mustika yang bukan milikmu. Jelas kau
seorang durjana. Menyerahlah!" ujar
Putri Cahaya Sakti sambil terus mengirim
totokan.
"Aku akan menyerah kalau kau
menyerahkan kepalamu lebih dulu!" sahut
Dewi Asmara. Salah satu pedang lenturnya
disabetkan ke depan untuk menangkis
totokan sending Anggraini Sulistya. 
Trang! 
Namun tiba-tiba, tubuh Putri Cahaya
Sakti melenting amat cepat. Sambil
berjumpalitan, dia mengirim totokan maut
yang mengarah jalan darah di punggung
Dewi Asmara.
Wuttt...!
Dewi Asmara yang sudah terdesak
hebat, membuang tubuhnya jauh-jauh
kekiri. Dan  Anggraini Sulistya pun
tersenyum senang. Pancingannya
berhasil. Dengan tubuh masih melayang di
udara, kakinya terjulur cepat. Di lain
kejap, terdengar suara berdebuk. Ping-
gang kanan Dewi Asmara berhasil
ditendangnya.

Walau Anggraini Sulistya tak
berniat. membunuh lawan, tapi
tendangannya sudah cukup kuat untuk
dapat melontarkan tubuh Dewi Asmara. Dan
selagi Dewi Asmara jatuh bergulingan di
tanah, terdengar pekik kesakitan dari
mulut Dewa Cinta!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Cinta juga jatuh
bergulingan ke arah yang sama dengan
gulingan tubuh Dewi Asmara. Ketika
bangkit, bahu kiri Dewa Cinta
mengucurkan darah segar.. Rupanya, kipas
baja putih Raka Maruta telah berhasil
melukainya. Sementara  tendangan keras
Raka Maruta juga sempat menghajar
punggungnya.
"Kalian adalah dua orang durjana
yang layak dijebloskan ke penjara bawah
tanah!" seru Anggraini Sulistya, kakinya
melangkah untuk mengiringi  Dewa-Dewi
Kayangan ke istana. 
"Kaulah yang harus dijebloskan ke
neraka!" hardik Dewa Cinta tiba-tiba.
Telapak tangan kirihya mengibas. Dewi
Asmara pun berbuat serupa.
"Awas...!" teriak Pendekar Kipas
Terbang,  memberi peringatan kepada
istrinya.

Bergegas  Putri Cahaya Sakti
meloncat jauh saat melihat gelombang
angin pukulan menyerbu ganas ke arahnya.
Timbul  suara gemuruh keras manakala
batu-batu berpentalan. Untuk beberapa
lama, gumpalan tanah berdebu menutupi
pandangan mata.
"Bedebah!" maki Putri Cahaya Sakti.
Ketika pandangan menjadi terang
lagi, ternyata sosok Dewa-Dewi Kayangan
sudah tak tampak. Dan mengiang di telinga
Putri Cahaya Sakti sebuah kalimat yang
dikirim dengan ilmu memindahkan suara.
"Tunggu pembalasan Siluman
Ragakaca!" ujar suara itu.
Anggraini Sulistya tahu bila
ancaman yang didengarnya adalah suara
Dewi Asmara. Kontan  hatinya menjadi
panas. Dia ingin mengejar, tapi Pendekar  
Kipas Terbang telah menyentuh bahunya
seraya berkata, 
"Sudahlah. Kita harus kembali ke
istana. Ayahanda Prabu menunggu kita." 
"Huuungngng...!"
Terdengar lolongan panjang Sona
Langit. Anggraini Sulistya dan Raka
Maruta menoleh bersamaan. Sona Langit
tampak berdiri terhuyung-huyung. Darah
segar masih mengucur dari luka di
tubuhnya.

"Walau menyeramkan, anjing itu
tidak jahat. Kita bawa dia ke istana
untuk mendapat pengobatan." cetus
Pendekar Kipas Terbang.

***

"Hmmm.... Rupanya, tubuhmu tak
sekuat yang kukira...," ujar  Setan
Ceriwis, bemada penyesalan.
Sinar hijau yang memancar dari kedua
bola matanya tiba-tiba lenyap. Sebagai
gantinya, memancar sinar putih bening
yang langsung menerpa tubuh Pengemis
Binal!
Wusss...!
Luar biasa! Sinar putih bening itu
mampu mengangkat tubuh Pengemis Binal
yang tengah terbaring telentang. Bahkan,
sinar yang memancar dari bola mata Setan
Ceriwis itu mampu menekuk tubuh Pengemis
Binal, lalu memaksanya untuk duduk
bersila lagi!
"Bertahanlah untuk tetap sadar!
Kalau pingsan kau akan menyesal seumur
hidup! Beberapa urat darahmu akan pecah.
dan kau akan lumpuh seumur hidup!"
Antara sadar dan tidak, lamat-lamat
Suropati mendengar kata-kata Setan
Ceriwis yang ditujukan kepada dirinya.

Tak mau mendapat celaka, Pengemis Binal
berusaha sekuat tenaga agar kesadarannya
tak hilang
Semakin lama, kata-kata Setan
Ceriwis terdengar makin keras. Suropati
berseru girang dalam hati. "Itu berarti
telinganya tidak jadi tuli!"
Perlahan-lahan sinar putih bening
yang memancar dari bola mata Setan
Ceriwis berubah hijau lagi. Kembali rasa
sakit menyiksa sekujur tubuh Suropati.
Namun tidak seberapa lama kemudian,
Suropati merasakan tubuhnya sangat
ringan..., dan terus bertambah ringan.
Alam pikirannya pun terasa amat lapang.
Lalu, hawa murni yang berputar di sekitar
pusamya terasa menyentak-nyentak, namun
tubuhnya malah terasa sangat segar,
hingga membuatnya terlena.... 
"Hei! Bangun! Bangun!"
Pengemis Binal terkesiap mendengar
teriakan  keras Setan Ceriwis. Namun
karena takut akan terjadi sesuatu yang
bisa membuat celaka, Pengemis Binal tak
mau menutup semadinya.
"Bangun, Bocah Geblek!" seru Setan
Ceriwis lebih keras. Tak ada lagi sinar
yang memancar dari bola matanya. "Kau ini
tidak sedang bersemadi! Kau ketiduran!
Hayo! Bangun!"

Karena teriakan Setan Ceriwis
terdengar keras menggekgar, Pengemis
Binal menggerigap kaget. Kelopak matanya
kontan membuka. Melihat Setan Ceriwis
yang tampak marah-marah, Pengemis Binal
garuk-garuk kepala seraya nyengir kuda.
"Aku boleh bangun, Kek?" tanyanya
ketolol-tololan.
"Memang itu yang ku mau, Geblek!"
maki Setan Ceriwis. "Kau boleh pergi
sekarang!"
"Pergi?" ujar Suropati, tak
mengerti. "Bukankah Kakek hendak
memberiku beberapa ilmu kesaktian?"
"Huh! Dasar geblek! Apa kau tak
merasa?!" bentak Setan Ceriwis.
"Merasa bagaimana?"
"Aku telah menepati janjiku,
Tolol!"
"Menurunkan ilmu kesaktian
kepadaku?"
'Ya," sahut Setan Ceriwis, setengah
membentak.
"Kini  kau memiliki ilmu 'Pelacak
Jejak', 'Mengolah  Udara Memperpanjang
Usia', dan tenaga dalammu telah kulipat
gandakan Sehingga, kau pun dapat
menguasai ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu
Bumi' serta sebuah ilmu pukulan maha
dahsyat bernama 'Pengguncang Jagat'."

"Ck... ck... ck..," Pengemis Binal
geleng-geleng  kepala. "Kedengarannya
hebat sekali keempat ilmu yang kau
turunkan kepadaku itu, Kek Kalau ilmu
'Pelacak Jejak', aku tahu kegunaannya
karena ada sahabatku yang juga mempunyai
ilmu itu," ujar remaja tampan ini. Yang
disebut sebagai 'sahabat' adalah Saka
Purdianta atau Dewa Guntur. "Tapi ketiga
ilmu lainnya masih sangat asing bagiku.
Apa kehebatan ilmu-ilmu itu, Kek?"
"Hmmm.... Bolehlah aku jelaskan
sedikit saja. Tapi setelah ini, kau harus
segera pergi...," sahut Setan Ceriwis.
"Dengan ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', kau dapat mengolah
udara sedemikian rupa, sehingga kau akan
dapat bertahan hidup walau kau disekap di
sebuah ruangan kedap udara...."  
"Caranya?"
"Kau akan tahu sendiri nanti. Dan
dengan ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu
Bumi', kau dapat membuka tanah lalu
menutupnya lagi sekehendak hatimu. Bila
digabungkan dengan ilmu 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', kau dapat hidup di
dalam tanah seperti yang tengah kujalani
sekarang ini."
"Lalu, apa keistimewaan  ilmu
pukulan 'Pengguncang Jagat'?"

"Itu tak perlu kujelaskan, Kau akan
tahu keistimewaannya jika kau gunakan
ilmu pukulan itu untuk menumpas Siluman
Ragakaca.... Sekarang, kau harus cepat
pergi dari tempat ini. Balikkan badanmu!
Gunakan Ilmu 'Pemisah Tanah Penyatu
Bumi'! Berjalanlah lurus! Jangan turun
ataupun naik! Cepat...!"
"Tapi, Kek...," Suropati hendak
bertanya lagi. Tapi, remaja berpakaian
putih penuh tambalan ini mengurungkan
niatnya karena Setan Ceriwis menatapnya
dengan mata mendelik!
"Cepat balikkan badanmu! Pergi dari
sini!"
Mendengar bentakan keras Setan
Ceriwis, bergegas Pengemis Binal bangkit
seraya membalikan badan. Namun Pengemis
Binal cuma dapat menggaruk kepalanya
yang tak gatal. Bagaimana dia harus
berjalan bila di hadapannya terbentang
dinding batu kapur yang amat keras?
"Gunakan ilmu 'Pemisah Tanah
Penyatu Bumi', Geblek!" maki Setan
Ceriwis. "Alirkan separo tenaga dalam ke
kedua telapak tanganmu. Lalu, yang kiri
kau    luruskan ke depan dan yang kanan kau
tengadahkan!".
Walau belum mengerti benar apa
maksud kata-kata Setan Ceriwis, Pengemis

Binal mengalirkan juga separo tenaga
dalamnya ke kedua telapak tangannya.
Dan, terkejutlah remaja tampan ini. Dia
melihat kedua pergelangan tangannya
bergetar kencang.
"Hmmm.... Kakek Ceriwis itu
benar-benar telah melipat  gandakan
tenaga dalamku," kata hati Suropati.
"Hei! Kenapa diam saja?! Segera
melangkah maju!"
"Ya. Ya!"
Tanpa pikir panjang lagi, Suropati
segera menururi perintah Setan Ceriwis.
Kakinya melangkah perlahan.
Setindak..., dua tindak.... Mendadak,
dinding batu kapur di hadapan Suropati
runtuh!
Tak mau tubuhnya terkena
reruntuhan, Pengemis Binal menggerakkan
telapak tangan kanannya yang
ditengadahkan.  Aneh! Reruntuhan batu
kapur menyembur ke belakang. Hingga,
Pengemis  Binal dapat terus melangkah
maju. Dinding-dinding batu kapur di
hadapannya terus runtuh. Telapak tangan
kiri Pengemis Binal laksana dapat
mengebor dari jarak jauh. Sementara,
telapak tangan kanannya digerak-gerak-
kan sedemikian rupa untuk menghalau
reruntuhan batu kapur ke belakang!

"Bagus! Terus melangkah maju!
Lurus! Jangan berbelok! Jangan turun
ataupun naik! Ha ha ha.... Terus! Bagus!
Ha ha ha...!"
Pengemis  Binal mendengar tawa
panjang Setan Ceriwis. Namun seiring
langkah kaki Pengemis Binal yang terus
maju, suara tawa Setan Ceriwis lenyap
perlahan-lahan...
Beberapa saat kemudian, dada
Suropati menjadi sesak. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti sulit
bernapas. Dia memang berada di bawah
tanah yang tak memungkinkan ada udara
segar masuk.
"Akan kucoba menggunakan ilmu
'Mengolah Udara Memperpanjang Usia'…"
kata Suropati kepada dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat, Suropati
bingung. Dia tak tahu cara menggunakan
ilmu pernapasan yang baru didapat dari
Setan Ceriwis itu. Tapi setelah memutar
otak, Suropati mengalirkan sebagian
tenaga dalam ke rongga dadanya. Untuk
menghemat udara, dia bernapas dengan
menghirup udara yang telah dikeluarkan
lewat mulut. Luar biasa! Dada Suropati
tak sesak lagi. Bahkan, dia pun dapat
bernapas dengan leluasa!

Dengan mengerahkan ilmu 'Pemisah
Tanah Penyatu Bumi' dan 'Mengolah Udara
Memperpanjang Usia', Suropati terus
melangkah lurus ke depan. Tidak turun
ataupun naik, menururi petunjuk yang
diberikan Setan Ceriwis.
Kini  yang menghalang di depan
Suropati tak lagi berupa dinding keras
yang berupa batu kapur, melainkan tanah
lembek dan sedikit berair. Dengan
menggunakan ilmu 'Mata Awas' ajaran
Mendiang Periang Bertangan Lembut,
Suropati berusaha melihat ke depan. Dan,
terkejutlah remaja tampan  ini.
Samar-samar dilihatnya dua sosok tubuh
yang tengah tergeletak di dalam ruangan
bawah tanah.
"Hmmm.... Agaknya, kedua orang itu
tengah disekap. Aku harus menolong
mereka. Kemungkinan besar memang inilah
maksud Setan Ceriwis yang  menyuruhku
untuk berjalan lurus menembus tanah...."

***


Peramal Buntung dan Dewa Tikus yang
sudah berada di ambang pintu maut,
terhantam keterkejutan. Kaget tiada
terkira mereka ketika melihat salah

satu. dinding ruangan tiba-tiba jebol,
lalu masuk seorang remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan,
"Tu.... Tuan Mu... da...!" seru
Peramal Buntung tergagap karena
kesulitan bernapas.
"Hei! Bukankah kau Kakek Peramal
Buntung?" kejut sosok remaja yang baru
muncul. Si Pengemis Binal Suropati.
"Wa... walau aku tak mengenalmu,
tapi aku tahu... kau pasti disuruh Setan
Ceriwis...," Dewa Tikus turut bicara.
"Aku adik orang yang menyuruhmu itu.
Cepat... tolong...!"
Pengemis Binal terkejut melihat
wujud Dewa Tikus yang benar-benar mirip
seekor tikus. Namun melihat kesengsaraan
makhluk itu berikut Peramal Buntung yang
suljt bernapas, cepat Pengemis Binal
berjalan ke depan lagi. Kali ini, kakinya
melangkah naik untuk membuat jalan
menuju dunia bebas....


SELESAI






txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com