Roro Centil 1 - 4 Iblis Kali Progo(2)











lebar. Sementara itu si bocah
perempuan bernama Roro itu sudah
perdengarkan keluhannya, lalu tubuhnya
roboh terguling dari atas batu besar
itu.
Terperangah si Pendekar
Bayangan.... Sepasang matanya
terbelalak lebar melihat tubuh Roro
terjungkal roboh akibat hantaman
telapak tangan si Dewa Tengkorak.
Sementara dia sudah pegangi lagi
dadanya, yang seperti mau meledak.
Pada jurus kesembilan dan kesepuluh
itu tak dirasakan sedikitpun pukulan
si Dewa Tengkorak mengenai tubuhnya.
Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang telah
tak berdaya. Pukulan pada jurus ke
tujuh tadi telah meremukkan bagian
dalam tubuhnya. Tampak angin pukulan
Dewa Tengkorak yang menyerempet
sedikit pada tubuhnya, telah membuat
tubuh tua itu menjadi limbung dan
segera roboh ke bumi. Sepasang matanya
masih menatap pada Roro dan si Dewa
Tengkorak Akan tetapi melihat keadaan
si Dewa Tengkorak yang tetap berdiri
tak bergeming diatas batu itu, kakek
ini perlihatkan senyumannya sambil
meringis memegangi dadanya.

* * * *

Rembulan semakin meninggi.... dan
malam semakin melarut. Suasana di atas
Bukit Kera seperti penuh kemis-
teriusan. Karena kera-kera telah lari
menjauh. Keadaan disekitar atas bukit
itu seperti lengang, seolah tiada lagi
kehidupan disana. Akan tetapi
menjelang siang disaat Matahari sudah
menggelincir naik, tampak sesosok
tubuh bergerak-gerak seperti hidup.
Ternyata adalah si bocah perempuan
tanggung bernama Roro itu. Satu
keanehan ternyat telah terjadi diatas
bukit itu. Kalau kedua tokoh Rimba
Persilatan itu mati secara aneh. Bila
kematian Dewa Tengkorak adalah dengan
posisi berdiri seperti tengah melan-
carkan pukulan, adalah kematian Bayu
Sheta si Pendekar Bayangan dalam
keadaan terduduk dengan mimik wajah
seperti orang tertawa.
Roro belalakkan sepasang matanya
yang membulat mengitari keadaan
sekitarnya. Otaknya bekerja cepat
memikirkan kejadian yang telah menimpa
dirinya.
"He? masih hidupkah aku..?"
Gumamnya lirih. Lengannya bergerak
mencubit kulit tubuhnya, dan dira-
sakannya sakit. Kenyataan itu telah
membuat dia mengambil kesimpulan bahwa
dirinya masih hidup. Segera terbayang

ketika si Dewa Tengkorak mencengkeram
batok kepalanya. Ingatannya mendadak
lenyap, karena kepalanya dirasakan
berkunang-kunang dan  dia sudah jatuh
tak sadarkan diri.
Kini sepasang matanya jelalatan
menatap pada tiga sosok tubuh yang
kesemuanya telah tak bergeming.
Melihat si Dewa Tengkorak yang masih
berdiri tegak dengan posisi orang
memukul dengan rentangkan sebelah
tangannya, Roro  jadi terpaku. "Masih
hidupkah si iblis tua bangka ini ?"
Desisnya pelahan. Dan tubuhnya sudah
bergerak melompat berdiri. Pertama-
tama yang diburunya adalah kearah Ki
Bayu Sheta. Akan tetapi ketika dia
menyentuh dan meraba tubuh si Pendekar
Bayangan ternyata sudah tak bernyawa
lagi. Tercenung si gadis tanggung ini.
Air matanya sudah kembali menggenang.
Lalu bergerak melompat kearah mayat
gurunya si Maling Sakti menatapnya
sejenak dan duduk bersimpuh dengan
linangan air mata.
Tiba-tiba kembali dia palingkan
wajahnya menatap pada si Dewa
Tengkorak. Aneh!? Mengapa manusia
iblis itu tak juga gerakkan tubuh?
Apakah diapun sudah mati? Berkata
dalam hati si gadis tanggung ini. Dan
dengan sebat Roro sudah melompat
kehadapan mayat si Manusia Jerangkong
itu. Nyatalah setelah diperhatikan

kalau tubuh Si Dewa Tengkorak pun
sudah tak bernapas lagi. Dan ke-
matiannya memang sungguh aneh.
Sementara Roro sendiri tengah
tercenung, karena dirasakannya tu-
buhnya menjadi amat ringan sekali
ketika  melompat-lompat. Justru
beberapa kali dia hampir terhuyung
jatuh karena merasa kelebihan tenaga.
Tanpa disadari kalau sebenarnya tenaga
dalamnya telah bertambah 10 kali
lipat.
Disamping merasa heran, juga
merasa sedih sekali melihat semua
orang yang disayanginya telah tewas.
Kini Roro palingkan wajahnya menatap
pada sebuah lubang besar dihadapannya.
Sesuatu tampak tersembul ditengah
lubang yang hangus kehitaman itu.
"Apakah itu bukannya Tombak Pusaka si
Dewa Tengkorak? Bertanya hatinya. Dan
Roro sudah beranjak mendekati. Lalu
melompat kedalam lubang. Benarlah apa
yang diduganya. Tak ayal dia sudah
gerakkan tubuh membungkuk, dan
lengannya bergerak mencabut benda itu
hingga tersembul seluruhnya batang
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu.
Kini dia kembali termangu-mangu....
Apakah yang akan dilakukannya lagi?
Ternyata Roro berotak cerdas, segera
dia berfikir kalau lubang besar itu
pasti akibat hantaman lengan si Dewa
Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh dari

ilmu pukulan sakti bernama 10 Jurus
Pukulan Kematian si Dewa Tengkorak itu
justru membuat kematiannya? Berfikir
Roro. Dan lubang ini adalah diper-
gunakan untuk mengubur jenazahnya?
Pikirnya lagi.
Namun Roro tak dapat berlama-lama
untuk berfikir, karena dia sudah
bergerak melompat keluar dari dalam
lubang. Dan  selanjutnya Roro sudah
bekerja cepat untuk mengangkat ketiga
jenazah .... Satu-persatu dimasukkan
kedalam lubang besar itu. Tak lama
ketiga jenazah sudah terbaring mem-
bujur didalam lubang. Gadis tanggung
ini memandanginya dengan sepasang mata
berkaca-kaca. Hatinya kembali berkata.
Kakek Bayu Sheta, guru... dan kau
Dewa Tengkorak! Walaupun kalian adalah
bermusuhan dimasa hidup, akan tetapi
rupanya Tuhan sudah mentakdirkan
kalian wafat dalam waktu yang hampir
bersamaan. Dan jasad kalian terkubur
dalam satu lubang..! Sesaat Roro sudah
tundukkan wajah dengan sepasang mata
sudah menjadi basah oleh genangan air
mata. Namun cuma sesaat, karena Roro
sudah hapuskan air matanya. Lalu
mulailah bekerja cepat menguruk lubang
kubur menutupi ketiga jenazah itu de-
ngan  tanah. Selang tak berapa lama
pekerjaannya pun selesailah sudah.
Kini segunduk tanah telah tersembul
diatas Bukit Kera. Dan seorang dara

tanggung duduk bersimpuh dihadapan
gundukan tanah itu. Bibirnya berkemak-
kemik seperti memanjatkan doa. Tak
berapa lama dia sudah bangkit berdiri.
Lengannya mencekal sebatang Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak yang berwarna
hitam legam itu.
Setelah berfikir sejenak, tombak
itu segera ditancapkan ke atas
gundukan tanah setelah dengan seolah
menjadikan tombak itu sebagai batu
nisan. Lalu gadis tanggung itu
balikkan tubuh. Wajahnya menengadah ke
langit dengan pejamkan mata, dan
terdengar suara helaan napasnya. Tak
lama dia segera menindakkan kaki
melangkah meninggalkan gundukan tanah
itu.... Akan tetapi baru sepuluh
langkah  dia sudah hentikan lagi
tindakannya. Telinganya seperti
mendengar satu suara aneh yang
menyusup ke daun telinganya.
"Aiiih, bocah tolol...! Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak itu sungguh
sayang kalau dijadikan batu nisan!
Mengapa tak kau bawa saja sebagai
kenang-kenangan..?" Tentu saja Roro
jadi melengak heran. Suara siapakah
gerangan yang menyusup ke telinganya?
Pikir Roro. Akan tetapi Roro memang
tak perlu berfikir lebih jauh. Hatinya
sedang dilanda kesedihan. Dia
berpendapat suara itu adalah suara
hatinya sendiri. Oleh sebab itu segera

dia balikkan tubuh, dan kembali
beranjak mendekati gundukan tanah itu.
Dan sekali lengannya bergerak, Tombak
Pusaka itu telah dicabutnya lagi.


8

INGIN kencang membersit dari arah
selatan... dan dari kejauhan sudah
terdengar deburan-deburan ombak yang
melanda karang. Dua sosok tubuh itu
berlompat-lompatan saling kejar
dibarengi suara-suara bentakan dan
tawa cekikikan. Ternyata mereka adalah
dua orang wanita. Kalau yang seorang
adalah seorang gadis tanggung yang tak
lain adalah Roro adanya, tapi yang
seorang lagi adalah seorang wanita
berusia sekitar 30 tahun. Wanita ini
memakai baju sutera warna merah.
Rambutnya memakai dua buah konde
dikiri-kanan yang kedua kondenya
dibeliti oleh pita berwarna merah.
Sikapnya amat genit luar biasa.
Sementara pada lengannya terdapat dua
potong benda sepanjang satu depa. Ter-
nyata kedua benda itu tak lain dari
tombak pusaka si Dewa Tengkorak, yang
entah bagaimana telah menjadi dua
bagian. Sementara si gadis tanggung
bernama Roro itu tengah mengejarnya
dengan melompat-lompat disertai
bentakan-bentakan keras.

"Hihihi... hihi... Tombak Pusaka
ini toh bukan milikmu, mengapa tak kau
biarkan aku yang merawatnya..?"
Berkata si wanita genit itu. Suaranya
terdengar aneh bagi pendengaran Roro,
karena terkadang kecil terkadang besar
mirip laki-laki. Si gadis tanggung ini
plototkan matanya dengan wajah gusar.
Beberapa puluh kali lompatan sudah
dilakukan untuk mengejar wanita yang
telah merebut potongan tombak itu dari
tangannya, akan tetapi wanita itu
mempunyai gerakan aneh. Hingga selalu
dia tak berhasil merebut kembali benda
itu. Kiranya sewaktu Roro tinggalkan
Bukit Kera, diam-diam telah dikuntit
oleh sesosok tubuh yang tak lain dari
wanita aneh ini.
Ketika Roro ditengah perjalanan
berhenti untuk melepas lelah dan duduk
dibawah pohon, lengannya telah iseng
mempermainkan tombak hitam itu. Tak
dinyana Roro berhasil menemukan
kejanggalan pada bagian tengah tombak,
yang ternyata besinya agak tebal
dengan dua guratan  melingkar. Rasa
penasarannya membuat dia memper-
hatikan, dan menyelidiki kedua guratan
ditengah batang tombak. Ternyata
kemudian dia berhasil memutarkan
sebagian batang tombak, yang ternyata
bagian tengahnya itu merupakan
sambungan. Sayang disaat dia tengah
mau menyelidiki lebih lanjut pada

bagian tengah tombak yang berlubang,
telah berkelebatlah sebuah bayangan
merah menyambar kedua potongan tombak
itu. Tentu saja Roro jadi terkejut,
karena tahu-tahu kedua potong benda
ditangannya telah lenyap dan berpindah
tangan. Dengan gusar dia melompat dan
mengejar si bayangan merah. Semakin
lama semakin menjauh, hingga dari
mulai matahari separuhnya dari atas
kepala hingga sampai menjelang senja
mereka berkejaran.
Ternyata keduanya telah tiba
disatu daerah pantai. Itulah daerah
Pantai Selatan, yang ombaknya sebesar-
besar bukit bergulung-gulung menye-
ramkan. Roro yang sedianya akan
kembali ke lereng Rogojembangan, jadi
terkecoh karena mengejar si wanita
aneh ini. Rasa penasarannya serta
kemendongkolan hatinya untuk kembali
merebut tombak itu membuat dia tak
berhenti mengejar. Bahkan selama
berkejar-kejaran itu Roro telah
lancarkan serangan-serangan hebat.
Tenaga dalamnya yang telah bertambah
10 kali lipat itu amat menguntungkan
Roro. Karena disamping tenaga hantaman
lengannya menjadi berlipat ganda, dia
juga dapat melakukan lompatan-lompatan
mengejar si wanita genit itu.
Tekad Roro telah bulat untuk
merebut kembali Tombak Pusaka itu.
Akan tetapi amat diherankan karena

selalu saja serangannya lolos tanpa
dapat mengenai sasarannya, ataupun
menyentuh seujung rambutpun tubuh
wanita aneh itu. Demikianlah hingga
mereka telah tiba diatas tebing karang
di Pantai Selatan.
"Hihihi... bocah manis! Tenaga
dalammu amat hebat! Rupanya si Dewa
Tengkorak telah mewariskan tenaga
dalamnya padamu! kau sungguh
beruntung, bocah! Tapi... benda ini
kau biarkanlah untukku! Aku akan
menyimpannya untuk kenang-kenangan..!"
Berkata si wanita aneh itu dengan
senyum genit dan menimang-nimang benda
itu bahkan menciuminya. Roro jadi
semakin mendongkol.  Tiba-tiba dia
sudah lakukan bentakan keras seraya
melompat menerjang.
"Kau boleh ambil benda itu
setelah kau dapat jatuhkan aku!"
Bentaknya. Dan.... WHUK! WHUK..! Dia
sudah kirimkan serangan dahsyat. Lagi-
lagi terjadi keanehan, karena si
wanita itu cuma melenggang-lenggokkan
tubuhnya seperti orang menari. Namun
serangan beruntun Roro ternyata telah
luput. Semakin menggebu kepenasaran
Roro, hingga dia telah keluarkan
seluruh kepandaiannya menerjang si
wanita aneh yang genit luar biasa itu.
Suara-suara teriakan dan cekikikan
terdengar silih berganti... Dan diatas
bukit Pantai Selatan itu seperti ada

dua bayangan saja yang terlihat
berkelebatan. Sementara di bawah
tebing suara deburan ombak Pantai
Selatan yang  bergulung-gulung berhem-
pasan menerjang batu karang. Hingga
suatu saat tiba-tiba Roro terpekik,
karena dia telah kelebihan melompat
tanpa mampu menahan tubuhnya lagi. Dan
terjerumuslah si gadis tanggung itu ke
bawah tebing karang. Lalu sekejap
tubuhnya telah lenyap ditetan ombak
ganas...
"Hihihi... bagus! akan kulihat
apakah kau mampu menyelamatkan diri ?"
Berkata si wanita aneh. Dan sekejap
tubuhnya telah melesat dari situ, lalu
lenyap dibalik batu tebing yang
bertonjolan.
Tubuh Roro si bocah perempuan
tanggung itu timbul tenggelam dihantam
ombak yang  bergulung-gulung. Apakah
Roro akan mudah saja menghadapi maut
yang akan merenggut nyawanya? Tidak!
Kekerasan hatinya telah mengalahkan
segalanya. Dengan patokan, sebelum
ajal berpantang mati! Roro berusaha
berenang, walau beberapa teguk air
telah lewat masuk tenggorokannya.
Segera teringat sepintas disaat
menggoda Ginanjar dengan menyelam ke
dalam air, kemudian menarik kaki bocah
laki-laki itu. Dan Ginanjar berteriak-
teriak ketakutan.... Roro telah
disangka Hantu Air yang biasa

mengganggu orang mandi dekat air
terjun itu. Ingatan itu membangkitkan
semangat Roro untuk bisa hidup. Segera
diatahan napas, dan menyelam sedalam
mungkin ke dalam air. Sepasang matanya
dibentangkan lebar-lebar. Terasa
perih, karena air laut memang asin
berbeda dengan air sungai. Namun tekad
untuk hidup menggebu-gebu didada Roro.
Dipaksakannya untuk tetap dapat
membuka matanya, hingga lambat laun
rasa perih dimatanya itupun sudah tak
terasakan lagi. Dengan berenang cepat
dibawah air itu memang Roro berhasil
menghindari arus dari ombak ganas
diatas permukaan. Karang demi karang
dibawah air terus dilewati.
Tiba-tiba tercekat hatinya
melihat ada sebuah terowongan didasar
air. Bergegas dia berenang kesana
dengan tenaga sekuat-kuatnya. Dadanya
sudah terasa sesak karena menahan
napas, tapi dengan sekuat tenaga dia
mencoba bertahan.... Bagai seekor ikan
Hiu yang meluncur diantara ikan-ikan
kecil lainnya didasar laut itu, tubuh
Roro sudah meluncur melewati tero-
wongan. Ombak santar yang terasa
mengganggunya mendadak jadi hilang.
Kembali dia enjot tubuh untuk berenang
sekuat-kuatnya, karena tenaganya sudah
teramat lemah. Dadanya terasa semakin
sesak, seperti mau pecah. Kekuatannya
untuk menahan napas sudah mencapai

klimax, dan dia memang sudah tak
sanggup untuk bertahan lagi.
Terowongan itu  sudah terlewati, akan
tetapi Roro sudah kehabisan napas.
Untuk menyembul kepermukaan pun sudah
tak sanggup. Terpaksa dia biarkan
tubuhnya mengapung sendiri, dan dua
tiga teguk air lewat kembali masuk
ketenggorokannya....
Pandangannya sudah menjadi gelap,
kepalanya terasa berat. Dan si gadis
tanggung ini sudah pejamkan matanya
karena tak mampu lagi untuk membuka
matanya. Maut seperti akan segera tiba
diruang matanya. Akan tetapi takdir
agaknya belum menentukan sang dara
tanggung itu harus mati didasar air,
karena tampak tubuh yang sudah tak
berdaya itu pelahan-lahan melambung
keatas. Dan selang sesaat antaranya
sudah tersembul kepermukaan air. Roro
memang sudah hampir tak sadarkan diri,
akan tetapi disaat kepalanya menyembul
keatas permukaan air,  masih terlintas
setitik fikiran jernih dibenaknya.
Segera dia gerakkan kepala untuk
menghirup udara. Begitu temukan udara
segar, semangat bocah perempuan ini
timbul lagi. Segera digapaikan kedua
lengannya agar tubuhnya dapat terus
mengapung, dan sedot udara sebanyak-
banyaknya. Akhirnya diapun membuka
sepasang matanya. Ternyata telah ber-
ada dalam sebuah ruang didasar tebing

karang terjal. Semangat hidupnya
kembali muncul. Segera dia berenang ke
tepi dengan tubuh lemah lunglai, dan
kakinya sudah menyentuh pasir halus
ditempat yang dangkal. Terdengar
keluhan ketika tubuhnya dijatuhkan
ketepi pasir dengan perasaan lega, dan
Roro sudah pejamkan matanya untuk
menarik napas dalam-dalam....

* * * *

Entah berapa lama dia berbaring
melepaskan kelelahan yang amat luar
biasa, hingga sampai-sampai bocah
perempuan itu tertidur lelap. Ketika
Roro membuka matanya terkejutlah dia,
karena melihat sesosok tubuh yang tak
lain dari si wanita genit itu telah
berdiri tersenyum menyeringai
dihadapannya. Dengan gusar Roro sudah
gerakkan tubuh untuk bangkit
menyerang.....
Akan tetapi alangkah terkejutnya
dia mengetahui tubuhnya tak dapat
digerakkan, bahkan dia sudah dalam
keadaan terlentang diatas sebuah
pembaringan dari batu persegi dengan
keadaan tubuh telanjang bulat.
"Hihihihi... hihi.. bocah hebat!
bocah hebat..! Kau benar-benar membuat
aku mengiri!" Terdengar si wanita
genit itu berkata. Sepasang matanya
menjalari sekujur tubuh Roro dengan

senyum tersungging dibibirnya.
"Hehehe... aku memang sudah
pastikan kau tak akan mampus..!"
Sambungnya lagi, seperti seorang
peramal yang sudah menentukan nasib
manusia.
"Mampus atau tidak bukanlah
urusanmu! Mengapa kau perlakukan aku
begini? Lepaskan aku! Dan mari
bertempur lagi! Apakah kau kira aku
takut? Kau ternyata bisanya bermain
curang, menawanku disaat aku tak
sadarkan diri..!" Teriak Roro dengan
sepasang mata melotot tajam pada si
wanita aneh itu. Sementara hatinya
berdebaran, entah akan diapakan
tubuhnya yang telah dilucuti seenaknya
begitu..?
"Hihihi... dalam bertempur
mengapa harus pakai segala macam
aturan? Kau sudah dapat kukalahkan,
dan jadi tawananku! Mau kuapakan saja
siapa mau larang? Hihihi... hihi..!"
Kembali si wanita terpingkal-pingkal
geli hingga tubuhnya sampai bergun-
cangan. "Pakaianmu basah, dan sedang
kujemur biar kering. Dan kau terpaksa
kutotok dulu agar tidak menyu-
sahkanku..!" Ujar si wanita aneh itu
sambil beranjak meninggalkan Roro
dengan melenggang-lenggok genit.
"Heeeiii!? Mau ke mana kau?
Bebaskan aku…!" Teriak Roro sekuat-
kuatnya. Akan tetapi wanita itui cuma

melirik genit, lalu menyelinap masuk
ke sebuah ruangan goa. Roro mengeluh.
Ya Tuhan, mengapa nasibku begini
jelek...? Tak berapa lama wanita aneh
itu sudah kembali dengan membawa
sesuatu diatas piring dari kerang
laut.
"Apa itu..?" Tanya Roro dengan
mata membeliak. Dia sudah merasa yakin
kalau si wanita yang telah menawannya
itu pasti akan menyiksanya.
"Hihihi... ini makanan untukmu!"
Sahutnya, seraya mendekati Roro.
"Kau perlu mengganjal perut agar
tidak mampus..!" Sambungnya lagi.
"Tidak! aku tak sudi! Siapa sudi
diberi makan olehmu? Biarkan saja aku
mampus, apa perdulimu..?" Teriak Roro
dengan wajah cemberut kesal. 
"Tidak! tidaaak! Aku tak sudi!
lepaskan aku..!" Teriak Roro, seraya
kerahkan tenaga untuk melompat bangun,
dan gerakkan kepalanya menepis. Akan
tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat
digerakkan, cuma kepalanya saja yang
bisa bergerak, akan tetapi itupun
hampir tak bertenaga.
Namun makanan itu memang sudah
masuk ke mulut Roro ketika si wanita
itu dengan paksa telah menjejalkannya.
Mendelik sepasang mata Roro, dan...
Fruuuhh..! Roro sudah semburkan
lagi makanan itu dari mulutnya. Rasa
anyir dan bau memuakkan itu membuat

dia mau muntah. 


9

"Hihihi.... baiklah, kalau kau
tak mau makan akan tahu sendiri apa
akibatnya!" Berkata si wanita itu
seraya lengannya bergerak ke bawah
pembaringan batu! Dan sekejap
lengannya telah mencekal sebuah
bumbung bambu. Dengan cengar-cengir
sumbat bumbung bambupun dibuka, dan
tuangkan isinya keperut Roro...
Terpekik si gadis tanggung ini, karena
segera puluhan ekor binatang
Kalajengking telah merayap diatas
perutnya. Berteriak-teriak dia dengan
ketakutan, dan gerakkan tubuh untuk
meronta. Akan tetapi tubuhnya tak
dapat bergerak sama sekali. "Tidaaak!
tidaaak..! oh, aduuh! tolooong..!
hiiii... auuuw..!" Hampir gila rasanya
Roro karena takutnya. Akan tetapi si
wanita itu justru mengikik tertawa
dengan terpingkal-pingkal.
"Baik, baik..! aku mau makan..!
aku mau makan..!" Akhirnya Roro
berteriak dengan wajah pucat
ketakutan, terasa geli dan takutnya
bukan buatan terhadap binatang itu
yang seperti menggelitik kulit
perutnya.
"Bagus! Nah, begitu..! barulah

kau seorang bocah yang baik!" Ujar si
wanita dengan tampilkan senyum
kemenangan. Dan segera diraupnya
binatang itu untuk dimasukkan kedalam
bumbung bambu, lalu menutup sumbatnya
dan letakkan kembali ke bawah pem-
baringan.
Demikianlah, akhirnya Roro mau
disuapi makanan aneh itu, yang
ternyata adalah lumut laut.
Siapakah sebenarnya si wanita
yang bersuara aneh mirip laki-laki dan
terkadang wanita itu? Ternyata tak
lain dari seorang tokoh Rimba Hijau
yang sudah lama mengurung diri digoa
dasar tebing Pantai Selatan. Dialah
yang berjulukan si Manusia Aneh Pantai
Selatan,  atau orang menjulukinya Si
MANUSIA BANCI. Karena memang sebena-
rnyalah wanita genit itu bukanlah
seorang wanita, melainkan seorang
wadam alias Banci. Tubuhnya memang
amat mirip dengan wanita. Akan tetapi
sebenarnya tidaklah demikian, karena
kepandaiannya  merias dirilah yang
membuat dia mirip sekali dengan
wanita.
Roro yang sudah merasa bosan
berada dipembaringan batu dengan tubuh
terlentang itu seperti tak digubris
permintaannya untuk membebaskan toto-
kan si manusia Banci itu. Demikianlah,
entah sudah berapa hari berapa malam,
Roro tak dapat berkutik. Entah berapa

puluh kali makanan yang memuakkan itu
masuk ke perutnya. Namun lama kelamaan
dia sudah biasa. Roro memang sudah
berupaya untuk melepaskan diri, akan
tetapi si Manusia Banci itu selalu
mengulangi menotoknya, hingga dia tak
dapat berbuat apa-apa selain mengeluh
memikirkan nasibnya.
Satu hal yang membuat Roro tak
habis pikir adalah si manusia aneh itu
sering menimang-nimang kedua potong
benda yang telah direbut dari tangan-
nya, yaitu potongan tombak Pusaka
milik si Dewa Tengkorak. Terkadang si
Banci itu tertawa-tawa sendiri, tapi
terkadang menangis tersedu-sedu dengan
air mata bercucuran. Membuat Roro jadi
kasihan. Entah ada rahasia apa dibalik
keanehannya itu.
Roro semakin menyadari kalau
wanita dihadapannya itu bukan wanita,
tapi juga bukan laki-laki. Terbukti
suatu ketika, tampak seorang gadis
cantik sekali memasuki ruangan
kamarnya. Terperangah Roro, karena
gadis cantik itu tak mengenakan
pakaian sama sekali alias telanjang
bulat... Rambutnya terurai, dengan
sepasang mata redup, bak bidadari
bangun tidur layaknya. Langkahnya
lemah gemulai dengan perlihatkan
senyumnya yang menawan hati.
"Hihihi... Roro! Coba lihatlah aku
baik-baik! Apakah aku cantik..?"

Bertanya si gadis cantik itu. Barulah
Roro sadar kalau gadis cantik itu tak
lain dari si wanita aneh. Segera saja
dia mengangguk dengan tersenyum.
"Kau amat cantik sekali, bibi..!"
Menyahut Roro seraya manggut-manggut.
"Apakah aku amat mirip dengan
perempuan..?" Tanyanya lagi. Tentu
saja pertanyaan itu membuat dia
ternganga, karena jelas wanita itu
seorang perempuan, mengapa bertanya
demikian? Pikir Roro. Namun dia tak
berani memastikan apakah si bibi itu
seorang perempuan, karena terkadang
memang agak mirip dengan laki-laki.
Dan kesemuanya itu membuat dia jadi
bingung, tapi segera menjawab.
"Hihihi... kau mirip sekali
dengan perempuan, dan bukankah kau...
kau memangnya bukannya seorang
perempuan seperti aku..?" Tanya Roro
yang tak dapat menyembunyikan apa yang
dilihatnya. Akan tetapi jawabannya
adalah wanita ini menatapnya tajam-
tajam dengan sepasang matanya yang
berkaca-kaca. Dan terdengar suaranya
yang bercampur isak.
"Ah,... seandainya aku memang
seorang perempuan, tidaklah aku
menderita begini..!" Dan dia sudah
balikkan tubuh lalu lengannya menyam-
bar jubah yang biasa dikenakannya. Tak
lama dia sudah lepaskan dua buah benda
dari tubuhnya, seraya beranjak

menghampiri Roro. "Kau lihatlah! Benda
ini adalah hasil ciptaanku yang kubuat
sedemikian rupa, karena aku  memang
ingin sekali menjadi seorang wanita!"
Berkata si manusia banci. Barulah Roro
tersadar kalau si wanita aneh itu
memang bukan wanita dan bukan laki-
laki. Karena segera tampak dadanya
yang rata. Benda-benda itu telah
membuatnya mirip dengan wanita yang
seperti tak mengenakan busana.
"Oh..!?" Tersentak Roro, dan
kembali dia manggut-manggut dengan
hati yang mulai mencair, karena segera
timbul rasa kasihan pada si bibi itu.
"Benda-benda ini kelak akan
kuhadiahkan padamu, Roro..!" Berkata
si manusia Banci, yang kembali sudah
perlihatkan wajah cerah.
Beberapa bulan sudah Roro tinggal
diruang goa di dasar tebing karang
Pantai Selatan itu. Dan selama itu
Roro telah diperlakukan secara aneh.
Tubuhnya dibalur dengan berbagai macam
ramuan. Dan setiap pagi tentu  akan
menerima makanan memuakkan dari lumut
laut. Keanehan-keanehan yang dilakukan
terhadap Roro ternyata mempunyai
maksud tertentu. Bahkan berbagai macam
ramuan telah disuguhkan Roro yang
ternyata telah dicampur oleh makanan
dari lumut laut itu. Hingga tanpa
disadari Roro telah memakan beberapa
ramuan yang langka dan jarang terdapat

didunia, yaitu ramuan awet muda.
Karena sebenarnya si Manusia Banci itu
telah mencapai usia 60 tahun lebih,
tapi kenyataannya bagaikan seorang
yang masih berusia tiga puluh tahun.
Si Manusia Banci memang amat berharap
pada Roro agar menjadi muridnya, dan
mewarisi segenap ilmu kepandaiannya.
Itulah sebabnya Roro diperlakukan
secara aneh, untuk segera dapat
menerima ilmu-ilmunya.
Demikianlah.... Roro si bocah
perempuan yang berusia sekitar lima
belas tahun itu telah resmi menjadi
murid si Manusia Banci atau si Manusia
Aneh Pantai Selatan. Tak seorangpun
mengetahui adanya Roro di Pantai
Selatan itu, yang tengah digembleng
berbagai ilmu kedigjayaan oleh si
Manusia Banci. Bahkan Roro mempelajari
juga jurus-jurus maut si Dewa
Tengkorak yang bernama 10 Jurus
Pukulan Kematian. Ternyata didalam
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak itu
ada tersimpan segulung kertas yang
berisikan tulisan rahasia dari ilmu-
ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10 Jurus
Pukulan Kematian itu. Dan Roro telah
mempelajarinya dari gurunya yang aneh
itu. Satu hal yang baru dimengerti
Roro, adalah ternyata si Dewa
Tengkorak adalah laki-laki pujaannya
yang telah membuat sang guru tergila-
gila padanya. Namun si Dewa Tengkorak

tak mengacuhkan "cinta" nya. Ternyata
walaupun si Dewa Tengkorak memang
banyak mempunyai isteri, si Manusia
Banci ini tetap menaruh cinta yang
sedalam lautan. Walaupun cintanya tak
kesampaian.
Memang satu kejadian yang amat
tragis dalam kisah manusia yang
memburu cinta. Akan tetapi takdir
memang harus disadari oleh setiap
manusia. Karena Tuhan memang telah
mengkodratkan diri manusia masing-
masing dengan keadaannya....

* * * *

Bagaimanakah dengan nasib
Ginanjar sepeninggal Roro yang telah
pergi diam-diam untuk menyusul Ki Bayu
Sheta? Ternyata si pemuda tanggung ini
telah mencari-carinya ke setiap
tempat. Namun tak membawa hasil.
Menjelang pagi segera teruskan
pencariannya ke tempat-tempat dimana
Roro biasa berlatih. Akan tetapi tetap
saja tak dijumpai si gadis tanggung
yang bengal itu. Akhirnya Ginanjar
memutuskan untuk tetap berdiam
menunggu datangnya si Maling Sakti
guru Roro, atau paman gurunya itu. Se-
lama itu Ginanjar selalu berlatih
memperdalam kepandaiannya yang telah
diajarkan si Pendekar Bayangan.
Namun selama lebih dari satu

bulan, tetap saja tak ada orang yang
datang menyambangi pondoknya dilereng
Rogojembangan itu. Baik Roro maupun
sang paman gurunya si Maling Sakti tak
memunculkan diri. Akhirnya Ginanjar
bertekad turun gunung. Tujuannya
adalah  mencari dimana adanya Roro
saudara seperguruannya itu. Sekalian
mencari tahu tentang paman gurunya,
yang menurut gurunya berada di wilayah
Kota Raja.
Memikir demikian Ginanjar segera
berkemas untuk membuntal pakaiannya.
Akan tetapi terkejut pemuda tanggung
ini ketika menemukan secarik kertas
bertulisan dibawah pakaiannya.
Ternyata adalah sebuah surat dari Ki
Bayu Sheta yang diperuntukkan padanya.
Surat itu mengatakan agar Ginanjar
segera berangkat bersama Roro ke Kota
Raja, bila sang paman guru alias si
Maling Sakti tak juga datang dalam
waktu satu bulan. Disana Ginanjar
disuruh mencari seorang sahabat sang
guru yang berdiam di wilayah Kota
Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk
menjumpainya adalah tidak sulit,
karena Ronggo Alit membuka sebuah
warung yang berdagang obat-obatan.
Ronggo Alit adalah bekas anggota
Partai Kaum Pengemis, yang sejak
Partai itu dibubarkan dia membuka
usaha demikian di wilayah Kota Raja.
Ginanjar dan Roro diharapkan

dapat tinggal digedung kediaman
sahabatnya itu untuk sementara waktu.
Termenung sejenak bocah laki-laki
tanggung itu. Lalu diteruskannya
membaca surat. Ternyata diakhir
kalimat si Pendekar Bayangan ada
menitipkan kata-kata untuk sang
sahabat, yang disuruhnya Ginanjar dan
Roro memanggilnya "Paman". Dan pada
kalimat yang paling akhir adalah
Ginanjar telah diwariskan sebuah
Pedang Pusaka. Yaitu pedang pusaka
milik sang guru. Kemudian ditunjukkan
dalam surat tempat penyimpanannya.
Kembali termenung Ginanjar, lalu
segera dilipatnya surat itu dimasukkan
kesaku bajunya sebelah dalam. Tak lama
dia sudah bangkit berdiri, dan segera
menghampiri sebuah rak diatas tempat
tidur gurunya. Disanalah dia menemukan
sebuah pedang yang gagangnya terbuat
dari perak berkilauan. Sarung
pedangnya berukir seekor naga. Tampak
wajah Ginanjar menampilkan wajah
girang. Akan tetapi juga bersedih,
karena sampai kini tak diketahui nasib
gurunya, juga nasib Roro dan sang
paman gurunya. Namun segera pemuda
tanggung ini cepat berkemas. Beberapa
keping uang ternyata telah diselipkan
juga dekat sarung pedang. Dia dapat
mempergunakannya bila mana perlu.
Agaknya Ki Bayu Sheta telah
mempersiapkan terlebih dulu sebelum

keberangkatannya.
Ketika matahari sudah hampir
berada diatas kepala, Ginanjar sudah
tinggalkan pondok dilereng Gunung
Rogojembangan itu. Terasa sedih juga
hatinya karena hampir sepuluh tahun
sejak dia diambil si Pendekar Bayangan
dari sebuah rumah yatim piatu, dia
dididik ditempat ini oleh Ki Bayu
Sheta. Hingga dia merasa sang guru
sebagai orang tuanya sendiri. Dari
sang guru diketahuinya bahwa orang
tuanya telah meninggal. Tak diketahui
jelas siapa dan dimana meninggalkan
ayah ibunya, karena Ginanjar memang
tak pernah menanyakannya. Tak lama
bocah laki-laki tanggung itu telah
berkelebat cepat menuruni lereng
Rogojembangan. Dengan bekal keyakinan
untuk suatu ketika dia dapat menjumpai
Roro saudara seperguruannya.
Angin pegunungan berhembus sejuk
seperti mengantarkan kepergiannya yang
tentu saja akan banyak menimba
pengalaman kelak ditempatnya yang
baru. 

10

SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo
Gawuk dan dijatuhi hukuman gantung
oleh Baginda Raja Kerajaan Medang.
Wilayah sekitar kekuasaan Kadipaten
itu menjadi aman. Tiada lagi

pemerasan-pemerasan yang dilakukan
oleh para petugas pajak dan para
petani dan pedagang.  Rakyat amat
berterima kasih pada pihak Kerajaan
yang telah menindak tegas abdi-abdi
Kerajaan yang menyeleweng. Bahkan
mereka juga dapat bernapas lega, ka-
rena tidak didengarnya lagi bencana-
bencana seperti perampokan, pemer-
kosaan para gadis atau pemerasan-
pemerasan lainnya. Rakyat kembali
bekerja dengan tekun menggarap sawah
ladang pertaniannya.
Para saudagar tak lagi meng-
khawatiri akan adanya perampasan harta
bendanya, serta bermacam kesulitan
yang sering dihadapi. Dan pada
beberapa bulan kemudian, segera
diadakan pengangkatan Adipati baru
pengganti Adipati Haryo Gawuk. Tentu
saja rakyat menyambut dengan gembira,
karena mereka berharap Adipati
pengganti ini benar-benar memper-
hatikan akan kesejahteraan rakyat
wilayahnya. Dalam upacara pengangkatan
Adipati  baru ini ternyata telah
diadakan hiburan yang sengaja diadakan
untuk menghibur rakyat. Berita adanya
hiburan diwilayah Kadipaten Banjar
Mangu segera tersiar ke beberapa
daerah. Dan sudah tersiar beritanya
bahwa yang akan menjabat sebagai
Adipati di wilayah itu adalah seorang
laki-laki yang masih berusia cukup

muda, yaitu sekitar 30 tahun. Bernama
SURA NINGRAT.
Pesta berlangsung meriah saat
itu, dan sukurlah tak terjadi suatu
keributan, karena para lasykar
keamanan Kadipaten menjaga dengan
ketat. Agaknya sejak ditangkapnya
Adipati Haryo Gawuk, para begundal
yang biasa mengganggu rakyat segera
menyingkir jauh-jauh. Demikianlah...
dengan resmi Adipati Sura Ningrat
berhak menguasai beberapa wilayah,
yang kemudian sejak dalam masa
pemerintahannya, rakyat hidup
sejahtera aman sentausa. Bahkan telah
ditingkatkannya taraf hidup kaum pe-
tani yang ternyata banyak membantu
Kerajaan dalam urusan pangan.

* * * *

Pemerintahan Sura Ningrat sebagai
Adipati ternyata mengalami masa
kejayaan sampai lebih dari lima belas
tahun. Sayang Adipati yang gagah dan
bertanggung jawab serta disenangi
rakyatnya itu tak berumur panjang.
Adipati Sura Ningrat wafat dalam usia
cukup muda. Kesedihan melanda rakyat
disekitar wilayahnya, yang mengalami
masa berkabung sampai berlarut-larut.
Ternyata kemudian pengganti
Adipati Sura Ningrat adalah seorang
yang berbeda wataknya dengan Sura

Ningrat. Yaitu Adipati LAKSONO.
Peraturan-peraturan yang telah dibina
Adipati Sura Ningrat telah banyak yang
dirobah, dan ternyata cukup membe-
ratkan rakyat dengan pajak yang cukup
tinggi. Akan tetapi karena sang
Adipati ini masih ada hubungannya
dengan Baginda Raja Kerajaan Medang
rakyat tak dapat berbuat apa-apa.
Walaupun keadaan rakyat jadi
cukup menderita namun tak urung sudah
pula berjalan masa pemerintahan sang
Adipati itu sampai lebih dari tujuh
tahun. Dan pada masa pemerintahan
Adipati Laksono inilah kisah ini
terjadi.
Kemunculan empat orang yang
menamakan diri nya EMPAT IBLIS KALI
PROGO telah menambah penderitaan
rakyat disekitar wilayah Kadipaten
Banjar Mangu. Ternyata keempat manusia
berkepandaian tinggi itu mendiami
gedung Kadipaten yang menghadap kearah
barat. Sukar untuk ditolak kedatangan
keempat orang itu yang telah menghadap
pada sang Adipati sebagai tamu
terhormat. Karena disamping ilmunya
yang tinggi, kedatangannya adalah atas
utusan seorang pembesar Kerajaan, yang
katanya untuk membantu menjaga
keamanan diwilayah itu Karena
disinyalir adanya desas-desus tentang
pembangkangan rakyat atas tindakan
sang Adipati Laksono. Memang Adipati

itu pernah mengirim utusan ke Kota
Raja berkenaan dengan keadaan situasi
di wilayahnya. Ternyata ada segolongan
penduduk yang diam-diam menaruh
kebencian pada sang Adipati 
Yaitu berdasarkan sakit hati,
karena seorang anak gadis dari
penduduk telah dipaksanya menjadi
istrinya. Tentu saja dengan janji-
janji yang muluk.
Akan tetapi baru belakangan
diketahui kalau gadis itu cuma jadi
permainannya saja. Dan setelah bosan,
segera dikembalikan pada orang tuanya
dengan alasan yang tak masuk akal.
Karena si wanita itu dituduh mencuri
perhiasan istri tuanya. Dilain pihak
ternyata mulai bermunculan para pemuda
yang menentang secara sembunyi-
sembunyi, karena ketidak adilan sang
Adipati dalam menjalankan pemerin-
tahannya. Bahkan mulai terasa keadaan
yang tidak aman.
Usia sang Adipati Laksono itu
sudah mencapai hampir lima puluh
tahun. Seharusnya sudah diadakan
penggantian sesuai undang-undang.
Kalau bukan keturunannya sendiri yang
menggantikannya, tentu masih kerabat-
nya. Atau kalau tak ada kerabatnya
tentu orang lain atas pilihan dari
rakyat yang dipandang berwibawa untuk
menduduki jabatan tersebut.
Bercokolnya empat orang yang

mempunyai gelaran menyeramkan itu
ternyata menambah keresahan rakyat
diwilayah itu. Mulailah banyak terjadi
kekerasan dan pertumpahan darah. Dan
kesemuanya itu bila terjadi, tak ada
keputusan yang adil terhadap rakyat
dari Adipati Laksono. Setelah bermacam
persoalan itu langsung saja terkubur
ke laut....

* * * *

Hari masih siang... akan tetapi
wilayah Kota Raja telah  ramai
dikunjungi orang dari berbagai tempat.
Ternyata hari itu adalah hari bersuka
ria, karena malam nanti akan diadakan
pesta keramaian dengan meriah
diberbagai tempat untuk menyambut hari
ulang tahun Kerajaan Medang.
Seorang pemuda gagah berpakaian
serba putih berjalan agak kaku mema-
suki tempat keramaian. Di pinggangnya
terserang sebuah pedang yang gagang
sarungnya sengaja dibungkus oleh
secarik kain agar tak begitu menyolok.
Sebentar-sebentar langkahnya terhenti
untuk memandang atau memperhatikan
orang-orang yang berlalu-lalang. Keba-
nyakan yang diperhatikannya adalah
seorang wanita atau gadis. Siapakah
gerangan pemuda gagah ini...? Ternyata
tak lain dari Ginanjar adanya. Murid
si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta ini

telah berdiam di Kota Raja selama
hampir dua tahun dirumah sahabat
gurunya Ronggo Alit. Ternyata untuk
menemukan rumah sang "paman" itu tak
begitu sulit.
Agaknya Ginanjar cukup betah
berdiam dirumah Ronggo Alit, yang
ternyata telah menerima kedatangannya
dengan ramah tamah. Tenaga anak muda
ini  cukup dibutuhkan, sehingga dapat
membantu-bantu pekerjaannya, disamping
menambah pengertiannya akan ilmu obat-
obatan. Agaknya Ronggo Alit telah
mengetahui akan prihal perjanjian Ki
Bayu Sheta sahabatnya itu dengan si
Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak
menceritakannya pada Ginanjar. Cuma
terlihat Ronggo Alit menghela napas
dengan menampilkan wajah sedih.
Pertanyaan Ginanjar tentang sang paman
gurunya yang bernama si Maling Sakti
itupun dijawabnya dengan menggeleng
kepala, walau dia telah mengetahui
keadaan sebenarnya. Ternyata Ronggo
Alit telah dipesan sebelumnya oleh Si
Maling Sakti alias Jarot Suradilaga
harus mencampuri urusan si Pendekar
Bayangan. Namun tak mau melibatkan
orang lain. Dengan tidak munculnya ke-
dua tokoh bekas Ketua Partai Kaum
Pengemis itu, sudah dipastikan tewas.
Demikianlah untuk menutupi
kesedihan hatinya, Ronggo Alit sengaja
menyibukkan dengan urusannya. Dan

Ginanjar giat membantu usahanya selama
ini. Namun dalam setiap kesempatan
selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar
mencari dan menyelidiki kemana
perginya saudara seperguruannya yang
bernama Roro itu, sambil mencari bahan
obat-obatan. Akan tetapi sampai hampir
dua tahun tetap saja tak ada
beritanya. Dalam usia Ronggo Alit yang
semakin menua dan tiadalah orang tua
itu mempunyai anak laki-laki, Ginanjar
merasa berat untuk meninggalkannya.
Walau hatinya sudah menggebu untuk
pergi mengembara mencari saudara
seperguruannya.
Hari itu Ginanjar telah minta
izin untuk melihat keramaian, serta
menyelidiki siapa tahu bisa menemukan
Roro. Karena dengan adanya keramaian
diberbagai tempat diwilayah Kota Raja
itu, akan banyak pengunjung
berdatangan. Demikianlah, Ginanjar
yang telah menjadi seorang pemuda
remaja itu, pasang mata meneliti
setiap wanita atau gadis yang berlalu
lalang ditengah keramaian pasar.
"Ah, seandainya Roro masih hidup
dan aku menjumpainya, tentu aku akan
pangling. Pasti dia sudah menjadi
seorang gadis yang cantik jelita..!"
Desis suara Ginanjar pelahan sambil
termangu-mangu. Namun sesaat dia sudah
beranjak ke tengah pasar untuk
menyelidiki lebih banyak, serta

melihat persiapan keramaian malam
nanti.
Menjelang agak senja suasana
dikota itu semakin ramai. Ginanjar
yang merasa perutnya lapar, segera
memasuki sebuah restoran yang paling
ramai. Sementara memesan makanan
sepasang matanya selalu jelalatan
memperhatikan setiap pengunjung
wanita. Namun tetap saja orang yang
dicarinya tak kelihatan. Selesai
bersantap Ginanjar segera ayunkan
langkah lagi... Kali ini yang
ditujunya adalah ke tempat yang agak
sepi dibelakang pasar. Karena ditempat
sepi ini dia berpendapat dapat
menemukan ilham untuk mencari ke arah
mana disekitar wilayah Kota Raja itu.
Tiba-tiba diujung sebuah gang
terdengar suara teriakan, namun sesaat
kembali melenyap. Seperti suara
teriakan seorang wanita...? Berkata
Ginanjar dalam hati. Karena yang
tengah dicarinya adalah seorang
wanita, tentu saja dia sudah bergegas
untuk melihat. Lorong dibelakang pasar
itu tampak sunyi. Akan tetapi sepasang
mata si pemuda ini telah melihat
sesuatu yang bergerak-gerak, yang
ternyata adalah sepasang kaki. Seperti
sosok tubuh seseorang yang baru saja
diseret masuk ke sebuah pintu rumah
petak. Ginanjar jadi curiga, dan
segera berkelebat melompat dengan tak

menimbulkan suara. Dari sebuah jendela
kecil dia telah melihat apa yang
tengah terjadi sebenarnya. Sepasang
mata pemuda ini jadi melotot dengan
wajah gusar, karena terlihat tiga
orang laki-laki berwajah penuh cambang
bauk tengah berusaha membukai pakaian
seorang gadis yang telah dibekap
mulutnya.
"Hai! lepaskan dia..!" Ginanjar
telah keluarkan bentakan keras seraya
melompat ke depan pintu. Tentu saja
membuat ketiga laki-laki itu jadi
terkejut, dan serentak sudah mencabut
senjata dari balik pakaiannya. Tanpa
keluar suara dua orang telah menerjang
keluar setelah yang seorang memberi
isyarat. Pemuda ini memang baru
pertama kalinya mengalami pertarungan,
sepasang matanya dipergunakan baik-
baik. Dan dengan gesit dia sudah
berhasil mengegos serta tepiskan
tangannya membuat kedua serangan itu
luput.
Dan bahkan dengan cepat sekali
sepasang lengannya kembali bergerak
menghantam...
BUK! BUK...!
Terdengar keduanya mengeluh
dibarengi dengan robohnya tubuh si
penyerang. Melihat kedua kawannya
jatuh nyusruk dengan cuma beberapa
jurus, si laki-laki yang satunya ini
melompat menerjang dengan belati

panjangnya. Namun Ginanjar memang te-
lah mempersiapkan diri dari segala
kemungkinan. Tubuhnya melompat ke
samping. Sebelah kakinya bergerak
menghantam perut orang itu.
BEKK!
Terdengar suara laki-laki itu
mengeluh, dan tubuhnya sudah
terhuyung. Sebelah lengannya memegangi
perutnya yang jadi mulas dengan wajah
menyeringai kesakitan.
"Keparrat..!" Berdesis suara
orang itu, seraya tiba-tiba putarkan
tubuh untuk mengirim serangan beruntun
menabas kaki dan menusuk ke arah
tenggorokan.
Ginanjar gerakkan kakinya untuk
melompat, sambil doyongkan tubuh ke
belakang. Loloskan serangan itu. Tiba-
tiba dia telah keluarkan bentakan
keras, dan kirimkan pukulan jarak
jauh.
BUK..!
Laki-laki itu terhuyung ke
belakang mau jatuh, dan saat itu
sebelah kaki pemuda itu  telah
menghantam telak mengenai dadanya.
DHESS…!
Tak ampun laki-laki brewok itu
roboh terjungkal. Sementara dua
kawannya telah bangkit lagi. Melihat
si pemuda berdiri tegak dengan
bertolak pinggang, nyalinya sudah
luntur. Serentak mereka segera

melarikan  diri. Sedangkan si lelaki
barusan sudah bangkit lagi dengan
belati panjangnya, segera ngeloyor
pergi dengan terhuyung-huyung menyusul
kedua kawannya.
Ginanjar perlihatkan senyumnya,
lalu balikkan tubuh untuk melihat
wanita tadi. Tampak seorang gadis yang
berwajah cukup cantik tengah
menatapnya disudut ruangan. Wajahnya
pucat, rambutnya kusut masai.
Sementara kedua lengannya disilangkan
diatas dada menutupi payudaranya yang
sedikit tersembul, karena pakaiannya
telah robek sebagian.
"Ah, te... terima kasih atas
pertolonganmu tuan..!" Berkata si
gadis dengan mengangguk, seraya
perlihatkan senyumannya. Sekilas
pandangan mata Ginanjar mampir juga ke
arah bagian yang sedikit terbuka itu,
tapi segera palingkan pandangannya ke
lain arah.
"Sudahlah! Siapa namamu? dan
dimanakah rumahmu..?" Bertanya
Ginanjar.
"Namaku... Kasmini! Rumahku...
ng... cukup jauh dari belakang pasar
ini!" Menyahut si gadis. Lalu
ceritakan kejadiannya secara singkat
pada Ginanjar hingga dia disekap
ditempat kosong itu. Karena khawatir
kalau  para bajingan itu mengganggi
lagi, terpaksa Ginanjar mengan-

tarkannya untuk kembali ke rumahnya.
Dalam perjalanan Kasmini segera
ceritakan tentang keadaan hidupnya.
Terperangah pemuda itu mendengarnya,
karena ternyata Kasmini seorang gadis
piatu yang cuma hidup berdua dengan
seorang kakeknya, yang sudah teramat
tua dan sakit-sakitan. Kasmini
terpaksa mencari nafkah dengan
membantu-bantu orang, seperti mencuci
pakaian dan lain-lain. Akan tetapi dia
hanya menerima upah saja. Boleh
diumpamakan sebagai pembantu yang ti-
dak tetap. Kepergiannya adalah untuk
membeli obat sepulang dari bekerja,
karena penyakit sang kakek kambuh
lagi. Akan tetapi telah terjadi
kejadian seperti yang dialaminya tadi,
yang dilakukan oleh para begundal
pasar yang sudah lama mengincarnya.


11

MENUNGGU kedatangan seorang cucu
perempuannya bagi seorang kakek tua
renta tanpa daksa dan penyakitan
selama hampir satu hari, adalah
sungguh membuat rasa bosan dan serba
salah. Dibagian belakang reruntuhan
gedung tua yang sudah tak terawat lagi
terdengar suara keluhan dan rintihan
yang mengenaskan. Seorang kakek tua
renta duduk setengah terbaring diatas

lantai, bertilam kain yang penuh
tambalan. Sungguh mengenaskan hati
melihatnya, karena sang kakek itu
bertubuh cacad. Yaitu kedua belah
kakinya buntung sebatas dengkul.
Laki-laki tua kurus kering itu
perdengarkan keluhannya yang menghiba.
"Kasminiiii..! ah, kemanakah
engkau cucuku." Keluhnya dengan suara
lirih hampir tak terdengar. Rambut
dikepalanya sudah tinggal beberapa
lembar, wajahnya cekung pucat. Karena
disamping lapar, si kakek itu memang
dalam keadaan sakit. Selang tak berapa
lama terdengar suara-suara diluar
berbisik-bisik.
"Inilah tempat tinggalku..!
Marilah masuk! Aku harus memberikan
nasi ini dulu pada kakek, dan
meminumkan obat!" Terdengar suara
wanita. Laki-laki tua ini gerakkan
pelupuk matanya, lalu membuka sepasang
matanya yang cekung ke dalam.
Tak lama sudah tersembul dipintu
sesosok tubuh, yang tak lain dari
Kasmini adanya. Dilengannya tercekal
sebuah bungkusan berisi nasi dan lauk-
pauknya. Serta sebungkus obat.
"Kasmini... kau sudah pulang
cucuku.. ? Siapakah tetamu diluar? Ah,
mengapa tak kau suruh masuk..?"
Bertanya sang kakek dengan suara
lemah. Pendengaran tuanya ternyata
masih cukup tajam, karena disamping

suara Kasmini ada pula didengarnya
suara seorang laki-laki. Sementara
Ginanjar yang berada diluar merasa tak
enak hati bila tak menjenguk kakek
sang gadis yang telah ditolongnya itu.
Bahkan ditengah perjalanan telah pula
membelikan obat dan dua bungkus nasi.
Sesaat dia sudah beranjak kedalam
ruangan yang sempit dan kotor penuh
sarang laba-laba itu.
"Kakek..! Tuan inilah yang telah
menolongku, dan membelikan obat serta
dua bungkus nasi ini untuk kita!"
Berkata Kasmini dengan berbisik pada
telinga kakeknya. "Ah, selamat... da.,
tang ke pondok burukku, tuan muda..!
Terima... kasih atas budi baikmu
menolong cucuku..!" Berkata si kakek
dengan suara lirih, dan perlihatkan
senyumannya. Ternyat Kasmini telah
berbisik-bisik menceritakan secara
singkat kejadian yang menimpanya.
Ginanjar yang telah berjongkok
dihadapan laki-laki tua itu cuma bisa
manggut-manggut seraya berkata.
"Ah, kakek..! Sudahlah, perto-
longanku itu tak berarti apa-apa..!
Segeralah kau bersantap, dan meminum
obat agar lekas sembuh!" Ginanjar
berikan segenggam uang di lengan sang
kakek, yang tak putus-putus ucapkan
terima kasih. Selanjutnya sudah
berdiri lagi seraya menjura pada si
kakek, dan menatap pada Kasmini.

"Maaf, aku tak dapat berlama-lama
lagi, karena ada hal lain yang harus
aku kerjakan..! Aku mohon diri! Kelak,
kapan-kapan aku pasti akan singgah
lagi kemari!" Berkata Ginanjar. Wajah
si gadis tampak perlihatkan kemuraman,
dan sepasang matanya sudah berkaca-
kaca. Akan tetapi dia segera mengang-
guk. Setelah menjura lagi pada si
kakek, Ginanjar segera balikkan tubuh
untuk beranjak keluar ruangan. Baru
saja sembulkan tubuh dipintu, telah
terdengar bentakan keras diluar
halaman.
"Bagus! Eh pemuda ingusan! kau
sudah jual lagak dihadapan ketiga
kawanku! Apakah kau tahu akibatnya?"
Ginanjar segera telah dikepung oleh
empat orang yang bertampang seram.
"Hen!? siapakah kalian ini..?"
Tanya Ginanjar dengan naikkan alisnya.
Keempat orang itu saling pandang
sesama kawannya, lalu terdengar suara
tertawanya gelak-gelak.
"Hahaha... hahaha... Rupanya kau
seorang pemuda ingusan yang baru turun
gunung! Semua orang sudah mengenal
siapa kami!" Berkata salah seorang. 
"Baik, pasanglah telingamu lebar-
lebar! Kami adalah si EMPAT IBLIS KALI
PROGO! Kami bertugas menjaga keamanan
di wilayah Kota Raja ini! Tentu saja
berhak menangkap atau membunuh mampus
pengacau seperti kau!"

"Heh!" Mendengus Ginanjar, dengan
turunkan alisnya.
"Apakah kesalahanku, hingga
kalian menyebutku pengacau? Justru
kawanmu itulah yang telah mengacau!
Mereka telah berusaha menyekap gadis
ini untuk diperkosa! Mengapa justru
aku yang dianggap pengacau ?" Tanya
Ginanjar dengan hati mendongkol.
Keempat sosok tubuh dihadapannya itu
pelototkan matanya dengan gusar.
"Justru kaulah yang mau
memperkosanya, lalu dihalangi oleh
ketiga kawanku itu! Huh! ternyata kau
mau membela diri dengan menimpakan
kesalahan pada orang lain? Hayo kawan-
kawan ringkus dia..!" Bentak salah
seorang dari keempat Iblis Kali Progo
yang bertubuh kekar berkulit hitam
legam. Terperangahlah seketika Ginan-
jar, karena mengapa justru dia yang
dianggap mau memperkosa si gadis yang
telah ditolongnya? Aneh! Pikirnya.
Saat itu tiga orang dari mereka telah
mencabut senjatanya dipinggang, yaitu
golok-golok yang melengkung lebar
berkilat-kilat. Kasmini tiba-tiba
telah melompat kepintu seraya ber-
teriak.
"Dusta! Kalian telah membalikkan
kesalahan pada orang lain! Ketiga
begundal pasar itu aku sudah
mengenalnya, dan telah beberapa kali
membujukku untuk menuruti napsu

binatangnya! Kalau tak datang tuan
muda ini tentu aku... aku..." Kasmini
tak dapat teruskan kata-katanya.
Karena seketika dia sudah gemetaran
dan menangis terisak-isak.
"Tutup mulutmu..!" Tiba-tiba
membentak si tubuh kekar berkulit
hitam. Dan dia sudah beri isyarat
ketiga kawannya menerjang Ginanjar.
Tiga buah golok berkelebat menabasnya,
si gadis Kasmini perde garkan jeritan
ketakutan. Akan tetapi dengan seba si
pemuda itu sudah melompat menghindar
dengan tubuh berjumpalitan diudara.
Dan sudah menjauh sekitar lima tombak.
Tentu saja keempat orang itu
segera memburu dengan wajah bringas.
Sekejap saja mereka telah mengurung si
pemuda itu lagi. Kini keempat orang
yang berjulukan si Empat Iblis Kali
Progo itu sudah siap dengan senjata
terhunus. Mengetahui dirinya dalam
bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut
pedangnya dari pinggang.
"Bagus! Sebutkan siapa kau dan
siapa gurumu bocah? Agar kami tak
penasaran membunuhmu.." Teriak salah
seorang yang bernama Tambi. Yaitu
laki-laki berkulit hitam tadi.
"Benar! Kami si Empat Iblis Kali
Progo tentu akan dapat penghargaan
dari pihak Kerajaan kalau berhasil
membunuh seorang pengacau yang cukup
punya nama!" Teriak yang bertubuh

pendek berhidung besar seperti
bengkak, dengan tertawa menyeringai.
Dia ini bernama Begu Lowo. Sedang yang
dua lagi bernama Reksa dan Bangik.
"Hm, tak perlu macam-macam!
kalian majulah..!" Bentak Ginanjar
dengan gusar. Dia rupanya sudah
geregetan sekali untuk menabas kepala
orang yang telah memfitnahnya itu.
Walaupun baru untuk kedua kalinya ini
Ginanjar bertarung, tapi murid si
Pendekar Bayangan ini memang tak
mengenal takut. Tentu saja kata-kata
Ginanjar membuat mereka jadi gusar,
dan segera menerjang dengan berbareng. 
TRANG! TRANG! TRANG!
Sebentar saja ditempat sunyi itu
telah terjadi pertarungan seru.
Ginanjar pergunakan pedangnya untuk
menangkis setiap serangan. Bahkan
balas menyerang dengan dahsyat. Akan
tetapi keempat orang itu memang
berilmu tinggi, dan mereka maju
berempat. Dengan berkelebatan saling
berganti mereka berlompatan menghin-
dar, sedangkan yang lainnya sudah
menerjang lagi disaat si pemuda
mencecar kawannya. Sekejap saja sudah
terdengar suara bentakan-bentakan dan
beradunya senjata tajam.
Sementara  itu Kasmini cuma bisa
memandangi dengan mata terbeliak
bersimbah air mata. Sang kakek
ternyata telah beringsut ke pintu

untuk melihat kejadian. Terbelalak
sepasang mata tua itu sambil geleng-
gelengkan kepala. Kasmini segera
memeluknya untuk segera mengajaknya
kembali ke dalam. Pada saat perta-
rungan itu terjadi, ternyata sesosok
tubuh berindap-indap mendekati
belakang reruntuhan gedung tua itu.
Ternyata tak lain dari salah seorang
laki-laki yang tadi dihajar oleh
Ginanjar, dan melarikan diri. Wajahnya
menyeringai tertawa melihat kedua
orang ini tengah memperhatikan perta-
rungan dengan wajah pucat. Sekejap dia
sudah melompat ke pintu. Lengannya
bergerak menarik lengan gadis itu yang
jadi menyentak terlepas dari
pegangannya ke tubuh si kakek.
"Hehehe... Kasmini! ayo, kau
ikutilah bersamaku! Biarkan pemuda itu
mampus!"
"Hah!? tidak! tidaak! lepaskan
aku..! kau... kau bajingan keparat..!"
Berteriak-teriak Kasmini dengan
terkejut. Segera dia meronta-ronta
untuk melepaskan cekalan laki-laki
itu. Akan tetapi satu hantaman pada
belakang lehernya membuat gadis itu
mengeluh, dan pingsan tak sadarkan
diri.
Terkejut sang kakek, yang melihat
keadaan cucunya. Segera dia beringsut
cepat seraya melompat untuk menangkap
tubuh cucunya yang akan dipondong si

laki-laki. "Jangan..!? Jangan ganggu
cucuku... lepaskan.. dia..!" Teriaknya
dengan suara terengah. Akan tetapi
satu hantaman telak telah mengenai
dadanya.
BUK..! Terdengar si kakek
mengeluh, lalu tubuhnya ambruk ke
lantai. Sekali bergerak si laki-laki
brewok itu sudah memondong sang gadis,
dengan perlihatkan wajah menyeringai.
Namun diluar dugaan lengan si kakek
kembali menyambar. Dan sebelah kakinya
kena ditangkap. Agaknya dalam keadaan
yang sedemikian fatal itu dia sudah
tak hiraukan dirinya lagi. Sisa-sisa
tenaganya dipergunakan untuk membela
cucunya, walau dalam keadaan sakit dan
tubuh tanpa daksa. Hantaman lengan
laki-laki barusan itu telah membuat
tulang iganya berderak patah. Akan
tetapi semangatnya untuk
mempertahankan cucu perempuannya
bagaikan semangat seekor banteng luka.
Sayang... semua yang dilakukannya
itu tak berarti apa-apa. Bahkan dengan
sekali kaki si laki-laki brewok itu
bergerak, terlemparlah tubuh si kakek
bergulingan ke tengah ruangan. Dan
baru berhenti ketika membentur tembok.
Terdengar suara teriakan parau
menyayat hati, yang kedengarannya amat
lemah sekali. Tampak tubuh tua renta
itu menggeliat sejenak, lalu terdiam.
Ternyata nyawanya telah melayang

dengan seketika. Tulang-tulangnya yang
telah rapuh itu tak kuat untuk beradu
dengan tembok tebal. Bahkan belakang
batok kepalanya telah rengat
mencucurkan darah. Tewaslah sang kakek
dengan keadaan yang menyedihkan, tanpa
diketahui lagi oleh sang cucu
perempuannya yang telah tak sadarkan
diri...
"Hehehe... kakek tua renta! Kau
memang sudah sepantasnya mampus..!"
Mendesis si laki-laki itu dengan wajah
geram menatap tubuh si kakek yang
sudah tak berkutik lagi. Tak ayal
segera dibalikkan tubuh, untuk
bekelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara pertarungan terus
berlangsung hingga belasan jurus.
Ginanjar telah mendengar suara te-
riakan Kasmini, akan tetapi untuk
melepaskan diri dari rangsakan keempat
manusia itu teramat sulit. Salah-salah
nyawa bisa melayang. Karena terjangan-
terjangan golok mereka benar-benar
sebat dan sulit untuk dihindari.
Beruntunglah Ginanjar mencekal pedang.
Dan dengan pedangnya dia dapat
menangkis setiap serangan. Ternyata
Ginanjar memang kalah dalam pengalaman
bertarung. Jurus-jurus gerak tipu
keempat lawannya terkadang membingung-
kan. Hingga kini dia lebih banyak
bertahan dari pada menyerang.
"Hahaha... biarkan saja gadismu

itu tak usah kau urusi! Kalau kau
mampus toh banyak orang lain yang
mengurusi..!" Mengejek Tambi si laki-
laki kekar berkulit hitam. Ginanjar
tak perdulikan ocehan orang. Segera
dia mulai mencari jalan memecahkan
serangan mereka. Untunglah otaknya
cerdas. Segera teringat dia akan
beberapa jurus yang cukup ampuh yang
pernah dipelajari. Tiba-tiba dia telah
merobah sikap tempurnya. Kini gerakkan
pedang memutar dahsyat hingga
keluarkan angin pusaran yang menderu.
Inilah jurus Naga Membuyarkan Awan.
Terkejut juga si Empat Iblis Kali
Progo, segera mereka mundur beberapa
langkah dengan pasang kuda-kuda. Lalu
salah seorang memberi isyarat untuk
segera bergerak memutar, dan berlom-
patan dengar gerakan menyilang.
Sementara setiap gerakan melompat
selalu diiringi dengan tebasan, ke
arah kaki. Mau tak mau Ginanjar sambil
putarkan pedangnya berlompatan
menghindari serangan-serangan yang
datang bergantian itu. Tampak keringat
anak muda itu telah mengucur deras.
Baru pertama kali bertarung sudah
menemukan lawan yang tangguh, bahkan
dikeroyok empat orang. Membuat pemuda
Lereng Rogojembangan ini jadi benar-
benar memeras keringat. Tiba-tiba dia
sudah perdengarkan bentakan-bentakan-
nya. Kini sebelah lengannya

dipergunakan menghantam ke arah setiap
tubuh yang berkelebat menabaskan
senjata ke arah kakinya.
Hal tersebut rupanya telah
dimaklumi oleh si Empat Iblis Kali
Progo. Segera gerakan mereka berubah
arah. Kini menyerang secara bergantian
ke arah kepala, dengan lompatan-
lompatan tingginya. Bersyiuran angin
dari setiap tebasan golok lawan
mengarah kepalanya. Ginanjar jadi
kertak gigi menahan amarah. Kini
sepasang pedangnya bergerak lebih
cepat menghantam dan menghalau setiap
serangan.  Hasilnya memang cukup
memuaskan. Karena segera tampak
keempat orang lawannya terdesak
mundur. Gerakan-gerakan pedangnya
adalah yang dinamakan jurus Naga
Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu saja
dengan menggunakan jurus ini Ginanjar
telah mengeluarkan banyak tenaga.
Namun segera terdengar teriakan
tertahan dari salah seorang lawan.
BRET...! Tebasan pedangnya yang
bergulung-gulung itu berhasil merobek
pundak salah seorang lawan berikut
tersobeknya daging lengannya. Darah
menyemburat, dan laki-laki bernama
Begu  Lowo itu meringis memegangi
lukanya dan melompat mundur dua
tombak. Tiga orang kawannya menggerung
keras. Dan menerjang dengan tebasan-
tebasan gencar dengan arah yang tidak

bersamaan. Ada yang mengarah leher,
ada yang mengarah pinggang dan
mengarah ke kaki. Serangan serentak
itu dibarengi dengan hantaman-hantaman
sebelah lengannya yang bertenaga dalam
kuat.
Tersentak Ginanjar. Kali ini dia
harus tak boleh salah perhitungan.
Tubuhnya segera melompat melambung
setinggi dua tombak. Pedangnya
dipergunakan menangkis setiap
serangan, sambil elakkan tubuh
mengegos. Tapi kali ini satu tabasan
tak berhasil dihindari. Ketika
tubuhnya meluncur turun, satu hantaman
lengan membuat tubuhnya doyong ke
belakang. Dan saat itu dipergunakan
Tambi untuk menabaskan goloknya.
BRET!... Nyaris pinggang Ginanjar
putus tertabes, pada saat itu tak
meluncur sebutir batu kerikil
menghantam golok Tambi hingga
terpental...
TANGNG...!
Terkesiap laki-laki bernama Tambi
itu, karena lengannya bergetar
kesemutan. Dan dia tak dapat menahan
genggaman goloknya lagi, yang segera
terlepas terpental. Dengan terperanjat
dia sudah melompat mundur. Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya kembali terlempar
ke depan dengan perdengarkan teriakan
parau menyayat hati, lalu roboh
meregang nyawa dengan menggeliat-

geliat. Sesaat kemudian dia sudah
tewas.

12

MELOMPATLAH seorang dari Empat
Iblis Kali Progo untuk memburu kearah
kawannya yang satu ini. Setelah
memeriksa betapa terperanjatnya ketika
melihat pada leher sang kawan, te-
dapat dua buah lubang sebesar jari
tangan yang mengucurkan darah.
Siapakah yang telah menyerangnya?
Sentak hatinya. Tiba-tiba berkele-
batlah sebuah bayangan hijau ke tengah
kalangan dibarengi dengan suara
tertawa mengikik merdu. Dan sesosok
tubuh telah berdiri di situ.
"Hihihi...hihi...  tak tahu malu
mengeroyok seorang pemuda yang belum
tentu kesalahannya! Rupanya aku amat
beruntung sekali dapat berkenalan
dengan anda yang bernama besar!
Ternyata kalianlah yang menamakan diri
Empat Iblis Kali Progo...!" Bukan saja
tiga pasang mata Iblis Kali Progo itu
saja yang terbelalak, akan tetapi
sepasang mata Ginanjar pun terbelalak
dengan tubuh terpaku melihat munculnya
seorang gadis yang bertubuh semampai,
berpinggang langsing, dengan rambut
beriapan. Siapakah wanita ini
adanya..? Gumam Ginanjar  dalam hati.
Dia tak dapat menatap wajah orang,

karena sosok tubuh itu membe-
lakanginya.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu
sudah balikkan tubuh menatapnya.
"Hihihi... kau menyingkirlah,
anak muda! Biar aku yang mengirim
nyawa mereka ini ke akhirat!"
Terperangah Ginanjar, karena hampir
saja dia menyebut nama Roro. Akan
tetapi wajah wanita itu tampak kaku
dan pucat. Sepasang matanya sipit
dengan hidung agak besar. Namun
mempunyai perawakan yang hampir mirip
dengan saudara seperguruannya itu.
Bahkan suaranya bernada mirip sekali.
Akan tetapi dia sudah mengangguk, dan
segera melompat ke tepi. Sementara
hati Ginanjar berkecamuk sendiri,
ketiga orang dari Empat Iblis Kali
Progo itu telah perdengarkan
bentakannya.
"Heh! Kiranya kau yang telah
membokong saudaraku..?" Bentak salah
seorang. "Membokong..? Hihihi...
hihi.. dalam bertarung tak ada urusan
dengan segala macam aturan! Apa lagi
menghadapi manusia keji semacam kalian
yang sudah aku dengar keja-atannya!
Berapa orang gadis didesa wilayah
Kadipaten Banjar Mangu yang telah
kalian perkosa? Dan berapa orang dari
rakyat yang tak bersalah telah kalian
aniaya..? Dan ternyata kalian sendiri
telah mengeroyok seorang pemuda yang

belum tentu bersalah!" Berkata wanita
itu dengan suara lantang.
"Kurang ajar! mulutmu harus
dihajar dengan ini !" Teriak Reksa
yang sudah menerjang diikuti kedua
orang kawannya. Berkelebatan tiga buah
golok yang berkilatan menabas dan
merencah tubuhnya. Akan tetapi dengan
gerakan tubuh terhuyung kesana-kemari
serangan mereka sekejapan telah lolos.
Terkejut bukan main mereka, karena
tampaknya si wanita ini bukannya
menggelakkan diri, akan tetapi
terhuyung-huyung bagai orang mabuk.
Namun nyatanya serangan mereka telah
terelakkan dengan mudah.
Segeralah mereka merobah gerakan
dengan gerakan memutari tubuh si
wanita itu. Sementara senjata-senjata
mereka membuat gerakan menebas dan
menusuk secara bergantian, disertai
bentakan-bentakan keras yang menga-
caukan konsentrasi lawan. Akan tetapi
tampaknya hal itu tak membawa hasil,
karena justru si wanita pergunakan
jurus yang aneh. Sepasang lengannya
bergerak mengibas keberapa arah.
Terkejutlah ketiga Iblis Kali Progo
ini. Karena segera merasai segelombang
angin panas telah menerjangnya. Tampak
serangan mereka mulai kacau. Tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik si
wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah
lenyap, karena terbungkus oleh asap

kabut yang menghalangi pandangan me-
reka.
Ginanjar yang menyaksikan jalan-
nya pertarungan jadi berseru kagum,
karena tubuh si wanita bagaikan
bayangan telah berada diluar kepungan
tanpa setahu ketiga lawannya. Dan saat
berikutnya, sudah terdengar suara
jeritan-jeritan menyayat hati. Karena
lengan si wanita telah bergerak cepat
sekali  dibarengi kelebatan tubuhnya. 
Sekejapan saja tubuh tiga manusia dari
Empat Iblis Kali Progo itu telah roboh
ke tanah dengan berkelojotan meregang
nyawa. Tak berapa lama tiga manusia
itu sudah lepaskan nyawa masing-
masing, dan berkaparan ditanah dengan
bersimbah darah. Sesaat ketika asap
kabut mulai menipis kembali tubuh
wanita itu telah lenyap entah
kemana...
Terkejut Ginanjar dengan mata
terbelalak lebar. Seperti melihat
hantu saja layaknya. Kejadian itu
berlalu begitu cepat, sampai-sampai
pandangan matanya tak dapat mengikuti
kelebatan tubuh si wanita. Dan tahu-
tahu sudah lenyap.
Sejenak membuat Ginanjar jadi
terpaku. Akan tetapi tubuhnya sudah
berkelebat melompat menghampiri ketiga
mayat. Ketika memeriksanya, ternyata
pada masing-masing leher mereka
terdapat dua buah lubang sebesar jari-

jari tangan. Tersentak dia seketika.
Hatinya berseru kagum, akan tetapi
juga ngeri. Karena dengan tangan
kosong saja si wanita itu telah
berhasil merobohkan ketiga lawannya.
Menandakan betapa tingginya ilmu si
wanita  itu. Bahkan tadi dia telah
berhasil diselamatkan nyawanya oleh si
wanita misterius itu yang
mempergunakan sambitan dengan batu
kerikil.
Entah dimana suaranya, tahu-tahu
telah terdengar lapat-lapat suara
tertawa mengikik si wanita itu
dibarengi kata-kata...
"Hihihi... hihi... anak muda!
Segeralah kau bawa pulang gadismu itu!
Dia berada diujung jalan yang menuju
kehutan...!" Tentu saja kata-kata itu
membuat terkejut Ginanjar, karena
jelas ditujukan kepadanya. Aneh nya
suara itu seperti menyusup masuk
ketelinganya. Sesaat Ginanjar sudah
melompat dari situ, akan tetapi tiba-
tiba dia kembali putarkan tubuh ketika
teringat akan si kakek tua renta. Dan
kembali berkelebat ke arah reruntuhan
gedung tua... Sekejap dia sudah
berdiri dimuka pintu. Terbelalaklah
matanya melihat sosok tubuh sang kakek
yang sudah terkapar bersimbah darah
tanpa berkutik lagi.
"Hah!? kakek..!" Dia sudah
melompat menghampiri. Tercenung

seketika Ginanjar menatap mayat kakek
tua renta tanpa daksa yang telah tewas
dengan keadaan mengerikan itu. Tak
terasa sepasang matanya sudah berkaca-
kaca... Akan tetapi tak lama pemuda
itu sudah berkelebat tinggalkan
reruntuhan gedung tua itu.

* * * *

"Kasmini...!"
Berteriak Ginanjar dengan suara
parau, ketika melihat sesosok tubuh
tergeletak disisi jalan dengan keadaan
tubuh hampir telanjat bulat. Kerena
pakaiannya sudah robek-robek disana-
sini. Tak jauh dari tubuh gadis itu
terkapar sesosok tubuh laki-laki bre-
wok yang tak bernyawa lagi. Ternyata
tak lain dari laki-laki yang pernah
dihajarnya tadi dibelakang pasar.
Dipandanginya mayat laki-laki itu.
Segera Ginanjar teringat kejadian
tadi. Sekilas memang dia melihat suara
teriakan sang gadis, lalu melihat sang
dara ini dalam pondongan laki-laki.
Akan tetapi saat itu dia tengah
menghadapi terjangan-terjangan si
Empat Iblis Kali Progo yang mengancam
jiwanya, hingga dia tak berdaya untuk
berbuat apa-apa selain bertarung
mempertahankan nyawanya....
Keadaan tubuh laki-laki brewok
itu amat mengerikan, karena tulang

dadanya remuk dan patah-patah mencuat
keluar. Sedangkan selangkangannya ber-
simbah darah. Terperangah seketika
Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar sudah
alihkan tatapannya pada gadis itu
lagi. "Kasmini..!" teriaknya lirih,
seraya guncang-guncangkan tubuh sang
gadis. Kasmini tampak membuka sepasang
matanya. Ketika melihat siapa yang
telah berada dihadapannya, segera saja
gadis itu berteriak girang seraya
memeluk pemuda itu dengan erat sambil
menangis terisak-isak.
"Sudahlah adik..! bahaya telah
lewat! kau telah selamat...!" Berkata
Ginanjar dengan wajah memerah, dan
jantungnya terasa bergetar karena
keadaan tubuh sang gadis dalam keadaan
sedemikian rupa. Bahkan sepasang
payudaranya yang terbuka memutih padat
itu menekan erat ke dadanya.
"Kau... kau benahilah pakaianmu,
Kasmini...!" Ujar Ginanjar lirih,
seraya mendorong tubuh si gadis.
"Ahh...?" Tersentak sang gadis
itu ketika menyadari keadaan tubuhnya.
Segera dia beringsut untuk merapihkan
sobekan bajunya yang menyingkap
dadanya.
Sementara sepasang matanya telah
menatap ke arah sesosok mayat laki-
laki brewok yang dikenalnya. Segera
Kasmini teringat akan kejadian yang
menimpanya. "Oh, kaukah yang telah

menolongku, tuan muda..? Dan...
bagaimana dengan nasib kakekku..?"
Bertanya Kasmini seraya palingkan
wajah menatap Ginanjar. Pemuda ini
cuma tundukkan wajah  sambil
menggeleng.
"Bukan aku yang telah
menolongmu..! Sayang, kakekmu yang
malang itu sudah tewas..!" Ujarnya
dengan suara lirih.
"Ah., kakek...!" Sentak sang
gadis dengan sepasang mata terbelalak.
Dan dia sudah terisak-isak lagi dengan
air mata bercucuran.
"Kalau bukan kau yang menolongku,
lalu siapa kah...?" Tanya si gadis
tiba-tiba, yang segera menengadahkan
wajahnya menatap pada Ginanjar.
"Seorang wanita yang berilmu amat
tinggi...! Entah siapa aku tak
mengetahui...!" Sahut Ginanjar dengan
suara lirih, seraya bangkit berdiri
dan tatapkan matanya jauh ke arah
depan. Tercenung sang gadis tanpa
dapat berkata apa-apa. Desir angin
yang lewat ditempat itu menyibakkan
rambutnya. Dan Ginanjar masih berdiri
memandang jauh kearah sana, sementara
hatinya dilanda dengan berbagai macam
pertanyaan. Kemanakah gerangan wanita
itu ? Siapa-kah dia..? Suaranya amat
mirip dengan Roro, akan tetapi dia
bukan Roro! Karena aku masih ingat
betul pada raut wajahnya...! Bertanya-

tanya hati si pemuda ini dengan
tatapan mata seperti tak berkedip.
Entah apa yang ditatapnya. Tapi yang
jelas wajah cantik saudara
seperguruannya itu yang berkelebatan
diruang matanya....

* * * *

Tahu-tahu sesosok tubuh telah
berkelebat ke hadapannya. Terkesiap
pemuda itu, karena sosok tubuh wanita
yang menolongnya telah berada ditempat
itu.
Hihihi... mengapa melamun anak
muda..?  Gadismu itu amat cantik!
Mengapa tak kau bawa pulang..? Hari
sudah semakin senja! Pulanglah!
Ajaklah dia ke tempat tinggalmu. Dan
berilah perlindungan padanya..!"
Ujarnya, seraya berpaling menatap
Kasmini. "Jenazah kakekmu itu kulihat
sudah ada yang mengurusnya! Kau nona
manis tak perlu mengkhawatirkannya
lagi, dia sudah tenang di Alam
Baka...!" Ujar si wanita itu dengan
suara terdengar merdu. Cepat-cepat
Kasmini bangkit berdiri lalu menjura
seraya ucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Melihat mayat laki-
laki brewok itu dan keadaan dirinya
yang masih utuh serta penjelasan
Ginanjar, segera tahulah dia kalau
wanita inilah yang telah menye-

lamatkannya dari bencana. Ginanjar pun
segera menjura hormat.
"Terima kasih atas bantuanmu,
nona Pendekar..! Bolehkan aku menge-
tahui siapa nama nona Pendekar...?"
Tanya Ginanjar dengan amat hati-hati.
Sementara tatapan matanya tak lepas
memperhatikan wajah wanita itu.
"Hihihi... namaku..." Wanita itu
tak meneruskan kata-katanya, karena
lengannya sudah bergerak mengupas
kulit mukanya. Ternyata dia memakai
kulit muka palsu dari bahan karet yang
lunak dan tipis. Segera terpampang
seraut wajah yang cantik jelita...
"Roro..!" Teriak Ginanjar tiba-
tiba, dan sepasang mata Ginanjar sudah
membeliak menatapnya.
"Hihihi... aku bukan Roro! Siapa
bilang aku Roro..? Kalau ditambahi
Centil barulah betul! Namaku memang
Roro Centil..!" Berkata gadis cantik
itu dengan tertawa mengikik merdu. Dan
sebelum Ginanjar sempat berkata apa-
apa, tubuh sang dara cantik itu sudah
berkelebat cepat. Sekejap saja sudah
lenyap dari hadapan mereka. Ginanjar
baru tersadar dari terperangahnya, dan
segera berkelebat mengejar.
"Rorooooo...! Rorooooooo...!"
Berteriak-teriak Ginanjar. Akan tetapi
tubuh sang gadis cantik itu sudah tak
kelihatan lagi. Pemuda ini kembali
berdiri terpaku menatap ke depan, lalu

tundukkan wajahnya. Setitik air bening
membersit turun dari sudut matanya.
Entah apa yang dirasakannya kini,
gembira ataukah bersedih…? Dia telah
berhasil menjumpai Roro. Akan tetapi
Roro yang telah muncul dihadapannya
sudah bukan Roro yang dulu lagi,
melainkan Roro Centil yang ilmunya
susah diukur tingginya...
Angin senja berhembus pelahan,
menyibak rambut didahi pemuda lereng
Rogojembangan itu. Ketika sepasang
lengan halus menggamit tangannya dan
mencekalnya erat-erat, Ginanjar baru
tersadar. Sepasang kakinya pun be-
ranjak melangkah... Ditinggalkannya
tempat yang telah membawa kenangan itu
dengan hati masygul, akan tetapi bibir
sang pemuda telah sunggingkan se-
nyuman. Senyum yang amat trenyuh,
karena telah mengingat lagi akan
kisah-kisah indah yang lucu di air
terjun, di lereng Rogojembangan.
Sayup-sayup seperti ada terdengar
suara menyusup ke telinganya.
"Ginanjar..! kalau ada kesem-
patan, datanglah ke Pantai Selatan
tahun depan! Aku berada disana..! Oh,
ya... jagalah gadismu baik-baik...!"
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com


T A M A T