Pengemis Binal 22 - Rahasia Arca Budha(1)








RAHASIA 
ARCA BUDHA




Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta


Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Rahasia Arca Budha
128 hal.


/DuniaAbuKeisel


1

Remaja tampan berpakaian putih penuh tam-
balan itu menggeliat bangun dari tidurnya. Kulit wa-
jahnya tampak kemerahan karena diterpa sinar
mentari yang telah beranjak naik. Sambil garuk-
garuk kepala, dia mengedarkan pandangan. Ketika
tahu dirinya berada di tepi sungai, bola matanya
kontan membesar.
"Huh! Alangkah bodohnya aku ini! Menghar-
gai diri sendiri saja tak bisa!" gerutu si remaja. "Ke-
napa aku mesti tidur di tempat yang hanya layak di-
huni kodok dan kadal?" 
Dengan kening berkerut tajam, mendadak
remaja yang tampak konyol itu menggaplok kepa-
lanya sendiri. "Kuntilanak bunting! Agaknya, aku ini
memang berotak udang! Bila rasa kantuk sudah
membebani pelupuk mata, bagaimana aku bisa pi-
lih-pilih tempat? Bukankah tidur di tepi sungai su-
dah layak untuk seorang pengemis macam diriku?
Ya... ya, pengemis tidur bersama kodok dan kadal...
cukup pantas... cukup pantas..."
Sambil cengar-cengir, remaja konyol itu
bangkit berdiri. Dia kibas-kibaskan kain bajunya
yang berdebu. Mendadak, rasa lapar menyerang. Pe-
rutnya memperdengarkan suara berkeruyukan.
Tanpa pikir panjang, dia tanggalkan seluruh
pakaiannya. Lalu, mencebur ke dalam sungai. Se-
bentar kemudian, dua ekor ikan gabus sebesar len-
gan telah berhasil ditangkapnya. Sambil tertawa ter-
kekeh, dia menepi. Cepat dia kenakan kembali pa-
kaiannya.

Setelah membuat perapian, remaja berambut
panjang tergerai itu mulai memanggang ikan gabus
yang sebelumnya telah dia bersihkan. Di lain kejap,
matanglah dua ekor ikan gabusnya. Kulit dan siak-
nya mengelupas, memperlihatkan daging gemuk
kemerahan. Aromanya membuat perut makin terasa
melilit-lilit. Namun saat si remaja hendak menyan-
tap ikan panggangnya, tiba-tiba terdengar suara di
belakangnya.
"Aku melihat asap membubung di kejauhan.
Aku mencium aroma gurih mengundang selera.
Apakah si empunya ikan panggang bersedia memba-
gi kenikmatan?"
Remaja tampan yang tak lain Suropati atau
Pengemis Binal menoleh ke belakang. Terkesiap dia
seketika. Bukankah di sekelilingnya tadi tidak ada
orang? Bagaimana di belakangnya tiba-tiba telah
muncul seorang lelaki tua yang tengah tersenyum-
senyum?
Suropati menatap penuh selidik. Sementara,
si lelaki tua terus menyungging senyum ramah.
Tanpa mempedulikan tatapan tajam Suropati, dia
melangkah  empat tindak, lalu duduk di hadapan
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
"Siapa kau, Pak Tua?" tanya Pengemis Binal.
Tatapannya tetap penuh selidik.
Lelaki tua yang muncul mendadak itu men-
genakan baju merah dan celana hijau. Bersepatu hi-
tam terbuat dari kain tebal. Raut wajahnya jelas
menunjukkan bahwa dia bukan orang Jawa. Ma-
tanya sipit dihiasi alis tipis yang ujungnya menju-
lang ke atas. Rambutnya dikuncir panjang. Dan, di
punggungnya melintang sebatang pedang.

"Aku Kwe Kok Jiang. Apakah kehadiranku ini
membuatmu tak senang, Anak Muda?" ujar lelaki
tua berkulit putih.
Mendengar bicara orang asing yang cukup
lancar itu, kening Suropati berkerut. Setelah meng-
garuk kepalanya yang tak gatal, dia berkata, "Agak-
nya, kau orang dari seberang yang kesasar kemari,
Pak Tua. Tapi menilik tutur-bahasamu, kau pasti
sudah cukup lama berada di tanah Jawa."
"Benar apa yang kau katakan, Anak Muda.
Aku pemilik Pulau The Lioe Tho yang berada jauh di
seberang. Tepatnya, di Tiongkok. Karena aku ada
maksud meminta budi terhadapmu, maka aku tak
akan menutupi diri. Karena tindak-tandukku di ma-
sa muda, orang-orang Tiongkok memanggilku den-
gan sebutan Pendekar Sesat. Ketika muda, aku me-
mang sering berbuat tanpa berpikir panjang terlebih
dahulu. Setiap bertemu dengan orang jahat, aku
pasti akan membunuhnya. Tak peduli siapa dia, pe-
rampok kecil atau pejabat kerajaan yang menyele-
wengkan uang rakyat. Tapi, itu dulu. Sekarang, aku
hanyalah raga tua yang sudah tak punya daya apa-
apa. Jangankan membunuh perampok, membawa
badan sendiri saja rasanya sudah sangat berat."
Mendengar ucapan Kwe Kok Jiang yang ra-
mah dan penuh persahabatan, lenyaplah kecurigaan
Suropati. Namun, dia tetap menjaga kewaspadaan-
nya. Bagaimanapun juga, dia baru kenal lelaki dari
tanah Tiongkok itu. Siapa tahu di balik kehalusan
tutur katanya yang merendah, tersimpan maksud
buruk.
"Hei! Hei! Kenapa kau biarkan ikanmu menja-
di dingin?" Kwe Kok Jiang mengingatkan.

Tawa Pengemis Binal hampir meledak melihat
lelaki berkuncir itu memandang ikan gabus di atas
daun pisang  dengan hidung kembang-kempis, se-
dang bibirnya komat-kamit pertanda air liurnya su-
dah mengucur. Karena tak ada pikiran untuk men-
jahili, Pengemis Binal segera menyodorkan salah sa-
tu ikan panggangnya.
"Ha ha ha...!" Kwe Kok Jiang tertawa senang
menerima pemberian Suropati "Sungguh kau anak
muda yang baik hati. Suatu anugerah yang tiada ta-
ranya aku dapat berjumpa denganmu…" pujinya,
agak berlebihan
Seperti orang yang puasa selama tujuh hari,
Kwe Kok Jiang menggigit-gigit daging ikan gabus
dengan lahap sekali. Sambil meram-melek, dia men-
gunyah sampai mengeluarkan suara kecapan lidah
yang cukup jelas ditangkap telinga. Sebentar saja
daging ikan gabus hanya tersisa tulang-belulangnya,
yang kemudian dilemparkan ke bara api yang telah
padam.
"Lesat... Lesat sekali…" desis Kwe Kok Jiang.
"Aku adalah orang pulau yang telah banyak makan
bermacam-macam ikan, tapi tidak pernah aku me-
rasakan ikan selezat ini....!"
Suropati tersenyum tipis. Dia tatap sebentar
ikan gabus yang baru termakan setengah. Lalu, ikan
itu dia sodorkan pula kepada Kwe Kok Jiang. Walau
rasa laparnya belum hilang benar, tapi timbul kese-
nangan dalam dirinya melihat kerakusan lelaki ber-
kuncir itu.
"Agaknya, kau tengah menderita lapar hebat,
Pak Tua. Aku mengalah kepadamu. Makanlah lagi
bagianku yang tinggal setengah ini…."

Cepat sekali Kwe Kok Jiang menyambar ikan
gabus yang disodorkan Suropati. Sebelum menyan-
tapnya, dia masih sempat mengeluarkan kata-kata
pujian lagi.
"Kau memang anak muda yang baik hati. Be-
runtunglah aku yang tua-bangka ini..."
Terkesiap  Suropati melihat telapak tangan
Kwe Kok Jiang yang berwarna kuning seperti dilu-
muri air kunyit. Semula dia tak begitu memperhati-
kannya. Segera Suropati ingat cerita guru perta-
manya mendiang Pragolawulung atau Periang Ber-
tangan Lembut. Menurut cerita kakek yang pernah
menjadi penasihat istana itu, ada beberapa tokoh
rimba persilatan yang memiliki tenaga dalam luar
biasa hebatnya, yang sanggup menghancurkan ben-
da apa pun menjadi serbuk halus berwarna-warni.
Bila telapak orang itu berwarna merah, maka benda
yang dipukulnya akan menjadi serbuk halus ber-
warna merah pula. Bila telapak tangan berwarna hi-
jau, hijau pula serbuk halus bekas pukulannya. Me-
lihat telapak tangan Kwe Kok Jiang yang berwarna
kuning, apakah dia salah satu dari beberapa orang
yang memiliki tenaga dalam luar biasa itu?
Sementara Suropati terbawa pikiran di be-
naknya, Kwe Kok Jiang tampak menapuk-nepuk pe-
rutnya. Satu setengah ikan gabus yang cukup besar
telah pindah ke dalamnya.
"Lezat... Lezat sekali...," desis Kwe Kok Jiang
sambil menjilati bibirnya.
Lelaki tua itu lalu mengeluarkan poci keramik
kecil dari saku bajunya yang gedombrongan. Ketika
tutupnya dibuka, bau arak keras menyebar, menu-
suk lubang hidung. Setelah membasahi kerongkon-

gannya beberapa teguk, Kwe Kok Jiang menyodor-
kan poci araknya  kepada Pengemis Binal. Namun,
remaja tampan itu menggelengkan kepala, tanda
menolak pemberiannya.
"Kenapa?" tanya Kwe Kok Jiang dengan ken-
ing berkerut.
"Aku tidak biasa minum arak yang terlalu ke-
ras, Pak Tua...," jawab Pengemis Binal lembut, agar
tak menyinggung perasaan.
"Ha ha ha...! Kau memang anak muda yang
baik hati. Ha ha ha...! Senang sekali rasa hatiku da-
pat berjumpa denganmu. Tapi, aku pelancong yang
tak mungkin makan milik orang lain tanpa memberi
imbalan..."
Usai berkata, Kwe Kok Jiang merogoh saku
celananya. Segera disodorkannya sekeping uang
emas kepada Suropati.
"Ambillah...."
Kepala Pengemis Binal menggeleng lagi. "Apa
yang kuberikan kepadamu sebagai tanda persahaba-
tan. Aku tidak memerlukan uang sebagai imbalan."
"Sungguhkah itu?" mata Kwe Kok Jiang atau
Pendekar Sesat berbinar-binar. "Sungguhkah bila
ikan yang kau berikan tadi sebagai tanda persaha-
batan? Sungguhkah pula kau tidak mau menerima
uangku?"
"Apalah arti ikan pemberianku tadi, Pak Tua?"
sahut Pengemis Binal. "Ikan itu aku dapat dari sun-
gai di mana setiap orang boleh pula menangkapnya.
Dan kalau kau masih lapar, aku bisa menangkap
beberapa ekor lagi untukmu,"
"Ha ha ha...! Aku senang... senang sekali ber-
jumpa denganmu. Kau memang anak muda yang

sungguh-sungguh baik hati. Tapi, aku tak bisa me-
nerima tawaran baikmu itu. Perutku bisa jebol! Ha
ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, Kwe Kok Jiang men-
gedarkan pandangan. Dilihatnya puncak-puncak
bukit yang tinggi menjulang. Dilihatnya barisan po-
hon bagai tonggak-tonggak hijau yang dijajarkan.
Tak terkecuali, dilihatnya pula aliran sungai berair
bening yang pada bagian tepinya diseraki bebatuan.
"Aku merasa sangat berhutang budi padamu,
Anak Muda...," ujar Kwe Kok Jiang kemudian. "Ma-
ri... mari kau jelaskan kepadaku. Ada maksud apa-
kah hingga kau berada di tempat yang sunyi seperti
ini? Berilah aku tahu, barangkali raga tua ini masih
mampu memberi bantuan...."
Bibir Suropati menyungging senyum tipis.
Mendengar tawaran Kwe Kok Jiang yang sudah da-
pat dipastikan bukan orang sembarangan, cepat re-
maja tampan itu memutar otak. Hendak diselidi-
kinya jati diri Kwe Kok Jiang lebih jauh.
"Untuk menerangkan apa maksudku datang
ke tempat ini, tidaklah sukar. Tinggal membuka mu-
lut saja. Namun, bagaimana aku menjelaskannya bi-
la aku belum mengetahui siapa Pak Tua yang sebe-
narnya."
Kwe Kok Jiang menyahuti ucapan Pengemis
Binal dengan tawa keras. "Ha ha ha...! Sudah kuka-
takan tadi, aku Kwe Kok Jiang, bergelar Pendekar
Sesat. Apakah kau lupa, Anak Muda?"
"Tidak! Aku tidak lupa, Pak Tua. Aku pun te-
lah tahu kau pemilik Pulau Tho.... Thobolonto atau
apa, aku sulit mengucapkannya...."
"Ha ha ha...!" Kwe Kok Jiang tertawa lagi.

"Bukan Thobolonto, tapi Tho Lioe Tho!"
"Ya, ya, Tho.... Tho.... Ah! Pokoknya aku tahu
kau pemilik pulau yang berada di negeri seberang
itu...," memerah wajah Suropati karena tak dapat
menirukan ucapan Kwe Kok Jiang. "Aku tidak lupa
apa yang telah kau katakan tadi, Pak Tua. Tapi, itu
saja belum cukup. Karena aku benar-benar ingin
mengikat tali persahabatan denganmu, apakah kau
bersedia menjelaskan siapa dirimu lebih jauh, dan
apa pula tujuanmu datang ke pulau Jawa ini?"
"Hmmm.... Selain baik hati, rupanya kau bisa
berlaku cerdik, Anak Muda. Ditanya tak menjawab,
malah balik bertanya. Tapi, tak jadi apa. Karena aku
juga ingin mengikat tali persahabatan denganmu,
aku mengalah. Akan kuceritakan apa yang menjadi
tujuanku sehingga aku meninggalkan tanah kelahi-
ranku, yang ribuan tombak jauhnya dari sini...."
Pengemis Binal tersenyum senang. Pancin-
gannya mengenai sasaran. Dia edarkan dengan sek-
sama ucapan Kwe Kok Jiang yang mulai bercerita.
"Tiga tahun yang lalu, setelah mengarungi
lautan selama berbulan-bulan, sampailah aku di ta-
nah subur dan berpenduduk ramah-tamah ini. Tapi,
ketahuilah bahwa sebelumnya aku telah menginjak-
kan kaki di tanah Tibet, dan mendaki Pegunungan
Than Ala San. Kedatanganku ke sana adalah untuk
mencari Arca Budha yang terbuat dari emas mur-
ni...."
"Pak tua dapatkan arca itu?" sela Pengemis
Binal.
Mendadak, Kwe Kok Jiang mendengus gusar.
Ditatapnya wajah Pengemis Binal lekat-lekat seperti
menyimpan rasa jengkel.

"Ada apa, Pak Tua? Kenapa kau menatapku
seperti ini?" tanya Pengemis Binal, tak mengerti.
"Bila aku bercerita, jangan dipotong! Aku tak
suka!"
Mendengar bentakan Kwe Kok Jiang, men-
geam paras Pengemis Binal. Walau dalam hati dia
mengumpat-umpat, cepat dia rangkapkan kedua te-
lapak tangannya ke depan dada seraya berkata,
"Maaf... maaf, Pak Tua. Bukan maksud hatiku un-
tuk memotong ceritamu. Hanya karena aku sangat
tertarik, tak kuasa aku memendam keinginan ber-
tanya...."
"Ha ha ha...!" Hilang sudah rasa jengkel di ha-
ti Kwe Kok Jiang. Malah, dia tertawa mendengar ka-
limat Pengemis Binal. "Sungguh kau memang Anak
Muda baik hati yang pandai menyusun kata-kata.
Senang rasa hatiku ini. Namun, jangan sekali-kali
memotong ceritaku karena aku bisa lupa kelanju-
tannya...."
"Ya. Ya, aku mengerti, Pak Tua...."
Kwe Kok Jiang hendak melanjutkan ceri-
tanya, tapi hingga beberapa lama dia tak membuka
suara. Keningnya tampak berkerut tajam seperti
tengah berpikir keras.
"Ada apa, Pak Tua?" tanya Pengemis Binal
yang tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Yang ditanya tak segera menjawab. Mulutnya
mendesah terus. Mendadak, dia mukul-mukul jidat-
nya.
"Bodoh! Bodoh sekali aku ini! Kenapa aku
sangat pelupa?!" Kwe Kok Jiang mengutuk diri sen-
diri.
Tahulah Suropati kenapa lelaki berkuncir itu

jadi jengkel ketika ceritanya terpotong tadi. Ru-
panya, dia punya penyakit cepat lupa.
"Hei! Kau ingat ceritaku tadi sampai di ma-
na?" tanya Kwe Kok Jiang dengan bola mata mem-
besar.
Suropati ingin tertawa, tapi cepat ditahannya
keinginan itu. Sambil garuk-garuk kepala, dia berka-
ta, "Kau tadi bercerita bahwa sebelum datang ke ta-
nah Jawa, kau datang ke Tibet untuk mencari Arca
Budha di Pegunungan Tak Beralasan...."
"Ya. Ya, aku ingat sekarang. Aku mendaki Pe-
gunungan Than Ala San, bukan Tak Beralasan.
Daya ingatmu tajam, tapi lidahmu kaku, Anak Mu-
da...."
Suropati mengangguk-angguk. Tak hendak
dia berkata-kata lagi. Takut Kwe Kok Jiang kumat
penyakit lupanya.
Mendadak, mata Kwe Kok Jiang berkilat ta-
jam. Sambil mendengus pendek, dia sorongkan ke-
dua telunjuk jari tangan kanannya untuk menusuk
mata Suropati!
Wuttt...!
Keterkejutan Suropati bukan alang-kepalang
lagi. Tangan Kwe Kok Jiang yang berkelebat amat
cepat tampaknya tidak main-main. Dia benar-benar
ingin mencelakai Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu!
Namun, Suropati bukanlah anak kemarin
sore yang masih bau kencur. Selama malang-
melintang di rimba persilatan sudah cukup banyak
pengalamannya menghadapi penyerang-penyerang
gelap. Karena tak pernah melepas kewaspadaannya,
maka serangan mendadak Kwe Kok Jiang masih ter-

baca olehnya. Yang membuat remaja tampan itu
terkejut ialah kenapa Kwe Kok Jiang bisa berbuat
sedemikian culas, padahal dia seorang perantau tua
yang tentu saja membawa nama baik negeri kelahi-
rannya.
Desss...!        
Pekik kecil keluar dari mulut Kwe Kok Jiang
ketika pergelangan tangannya membentur kepalan
Suropati. Kontan luncuran dua ujung jarinya mem-
belok arah dan hanya mengenai tempat kosong di si-
si kiri kepala Suropati.
"Penjahat culas!" seru Pengemis Binal.
Tak ada sahutan dari Kwe Kok Jiang. Lelaki
berkuncir itu langsung menyambung serangannya
yang gagal sambil berulang kali menggembor keras.
Walau dalam keadaan duduk bersila di dekat bekas
perapian, namun kedua tangan lelaki berkuncir itu
mampu bergerak sedemikian cepat, memperagakan
jurus-jurus silat yang memaksa Suropati mening-
katkan kewaspadaannya.
Kedua tangan Kwe Kok Jiang mampu menye-
rang cepat susul-menyusul tiada henti laksana
guyuran air bah. Sementara, Suropati yang juga du-
duk bersila tak jauh dari hadapannya, beberapa kali
dihantam keterkejutan. Tak kurang dari lima kali
dia memekik keras karena pergelangan tangannya
bergetar dan terasa amat ngilu ketika menangkis se-
rangan Kwe Kok Jiang. Benar dugaan Suropati bila
lelaki berkuncir itu memiliki tenaga dalam luar  bi-
asa.
"Terkutuk kau, Pak Tua!" maki Pengemis Bi-
nal seraya mengalirkan seluruh kekuatan tenaga da-
lamnya ke kedua pergelangan tangannya. Dengan

mempergunakan gerak tipu 'Pengemis Meminta Se-
dekah' dia melakukan serangan balik lebih berani.
Namun, seluruh gerak tipu yang dilancarkan
remaja tampan itu berhasil dipatahkan oleh Kwe
Kok Jiang. Bahkan, ujung-ujung jari tangannya ber-
kelebat cepat luar biasa, mengarah ke jalan darah
penting di leher dan dada Suropati.
"Kentut busuk!" maki Suropati lagi.
Cepat remaja tampan itu bangkit dari duduk-
nya karena tak mampu menahan serangan Kwe Kok
Jiang. Tapi....
Desss...! Brukkk..!
"Aduh...!"
Suropati jatuh terduduk karena kaki kanan-
nya kena kait Kwe Kok Jiang. Dan, meledaklah ama-
rah Suropati. Dengan pantat masih menyentuh per-
mukaan tanah berbatu, dia melakukan tendangan
dan pukulan yang disertai aliran tenaga dalam pe-
nuh. Hingga, timbul suara bersiur keras yang diser-
tai tiupan angin kencang-yang membuat debu dan
kerikil beterbangan.
Melihat Pengemis Binal yang menyerangnya
dengan sungguh-sungguh, Kwe Kok Jiang malah ter-
tawa senang. Mendadak, kaki kanannya menyapu
cepat. Sewaktu Pengemis Binal mengangkat tubuh
untuk menghindar, cepat kepalan tangannya me-
nyodok seraya melakukan sapuan lagi. Itulah salah
satu gerakan dari jurus  'Buka Jendela Menengok
Bulan'.
Desss...! Brukkk...!
"Argh...!"
Suropati jatuh terjengkang seraya memekik
kesakitan. Selain kakinya kena sapu yang memper-

dengarkan suara gemeretak karena terbenturnya tu-
lang dengan tulang, dia juga merasakan dadanya se-
sak kena sodok kepalan tangan kanan Kwe Kok
Jiang. Untunglah lelaki berkuncir itu tidak memper-
gunakan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, se-
hingga Suropati tidak sampai menderita luka berar-
ti. Hanya kepalanya yang terasa pening karena jalan
napasnya berhenti mendadak.
"Cepatlah bangun! Keluarkan seluruh ke-
mampuanmu!" bentak Kwe Kok Jiang sambil men-
gulum senyum ejekan.
Cepat Suropati bangkit. Dalam keadaan du-
duk berjongkok dia meraba dadanya yang terasa pa-
nas. Terkejutlah dia ketika tahu di kain bajunya ter-
dapat cap  kepalan tangan berwarna kuning. Lebih
terkejut lagi dia saat kain bajunya yang bercap itu
mendadak berlubang seperti habis dibakar.
"Jangan salahkan aku bila kau pulang ke ne-
gerimu hanya tinggal nama!" sesumbar Suropati.
"Ha ha ha...!" Kwe Kok Jiang tertawa bergelak.
"Sungguhkah kau mampu mewujudkan kata-
katamu itu? Tak salah lagi! Tak salah lagi! Kaulah
orang yang kucari! Segera kau awali lagi serangan-
mu, agar aku semakin tahu siapa kau!"
"Baiklah! Pertama, akan kupatahkan tangan
kananmu. Lalu, tangan kirimu. Terakhir, kutendang
pantatmu sampai kau kentut lewat mulut!"
Kwe Kok Jiang tertawa terbahak-bahak men-
dengar ancaman Pengemis Binal yang konyol. Na-
mun, lelaki berkuncir itu tak dapat duduk enak-
enakan lagi karena Pengemis Binal telah mencecar-
nya dengan serangan berbahaya.
Hebat sekali Kwe Kok Jiang. Walau dalam

keadaan duduk bersila, tapi mampu mematahkan
serangan Pengemis Binal yang dilancarkan sepenuh
hati. Hingga, wajah Pengemis Binal terlihat merah-
padam karena menahan rasa jengkel.
"Terimalah salam perpisahan ini, Pak Tua!"
Tiba-tiba, Pengemis Binal melentingkan tu-
buh-nya ke atas. Setelah bersalto tiga kali di udara,
tubuhnya berkelebat cepat dengan kedua telapak
tangan menyorong ke depan. Dia melakukan gera-
kan 'Pengemis Menghiba Rembulan' untuk meng-
hantam dada Kwe Kok Jiang!
"Kuterima dengan senang hati, Anak Muda!"
ujar Kwe Kok Jiang, membalas seruan Suropati.
Cepat sekali lelaki berkuncir ini menghentak-
kan kedua telapak tangannya ke depan. Sepertinya
dia tak begitu memikirkan akibat yang akan terjadi.
Luncuran tubuh Suropati tentu saja menambah ke-
kuatan pukulannya. Namun, kenapa Kwe Kok Jiang
berani memapaki?
Blarrr...!
"Argh...!"
Sebuah ledakan keras membahana di angka-
sa. Disusul dua pekik kesakitan. Tubuh Suropati
terlontar kembali ke udara. Sementara, kaki Kwe
Kok Jiang yang tengah bersila tampak melesak ke
dalam tanah sampai sebatas pinggang!


2

"Ha ha ha...!" Kwe Kok Jiang tertawa senang.
"Hebat... Hebat sekali kau, Anak Muda. Beruntung

sekali raga tua ini dapat berjumpa denganmu...."
Sambil mengeluarkan kata-kata pujian, mata
lelaki berkuncir itu menatap tanpa berkedip tubuh
Pengemis Binal yang tengah bersalto di udara.
"Setan alas! Walau kau sudah bangkotan, tapi
aku merasa masih perlu memberi pelajaran kepa-
damu, Pak Tua!" ujar Pengemis Binal begitu kakinya
mendarat di tanah.
"Oh! Tidak! Tidak! Kau jangan salah sangka,
Anak Muda!" Kwe Kok Jiang menggerak-gerakkan te-
lapak tangan kanannya di depan wajah. "Aku hanya
ingin tahu seberapa tinggi kau memiliki ilmu kepan-
daian. Kiranya, kau memang pantas untuk menden-
gar riwayat Arca Budha.... Huk! Huk!"
Kwe Kok Jiang menutup kalimatnya dengan
batuk-batuk. Cepat dia menyeka darah segar yang
mengalir dari sudut bibirnya. Dia tak ingin luka da-
lamnya diketahui oleh Suropati. Tapi, tampaknya
Suropati sudah mengetahui. Setelah terjadi bentro-
kan tenaga dalam tadi, wajah Kwe Kok Jiang me-
mang kelihatan pucat.
"Aku tahu kau terluka dalam, Pak Tua...,"
ujar Suropati sambil berjalan menghampiri. "Kalau
kau memang tidak bermaksud buruk, aku bisa
memberi sedikit bantuan untuk meringankan luka
dalammu."
"Terima kasih. Terima kasih...," tolak Kwe Kok
Jiang sambil beringsut dari tempat duduknya yang
telah menjadi kubangan sedalam satu jengkal. Sete-
lah mendapatkan tempat duduk di atas batu datar,
dia menyambung ucapannya,  "Matamu cukup ta-
jam. Di balik ketajaman matamu, juga tersimpan
banyak pengalaman. Tapi, kau tak perlu khawatir,

Anak Muda. Aku tidak menderita luka dalam parah.
Jantungku yang sudah tua bergetar keras karena
tak mampu menerima goncangan waktu terjadi ben-
trokan tenaga dalam tadi, namun tak bakalan me-
renggut nyawaku...."
"Maafkan aku, Pak Tua...."
"Hus! Tak perlu kau ucapkan itu!" potong Kwe
Kok Jiang. "Seharusnya aku yang meminta maaf!"
Dengan sikap tenang Suropati duduk di ha-
dapan Kwe Kok Jiang. Mendengar hembusan napas-
nya yang teratur, tahulah Suropati bila lelaki tua itu
memang tidak menderita luka dalam parah. Terpikir
di benak Suropati kemudian bila Kwe Kok Jiang ti-
dak mempergunakan seluruh kepandaian tenaga da-
lamnya waktu memapaki pukulannya tadi. Kemung-
kinan besar lelaki berkuncir itu tidak ingin membuat
Suropati celaka.
"Bila aku memang dianggap cukup pantas
untuk mengetahui riwayat Arca Budha, maka tak
perlu Pak Tua mengulur waktu lagi. Karena, aku tak
bisa berdiam di tempat sunyi ini terlalu lama," ujar
Suropati, sedikit mendesak.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir! Aku akan se-
gera meneeritakannya. Kau Anak Muda yang baik
hati, juga berilmu tinggi. Namun, kau mesti menye-
butkan nama berikut gelar terlebih dulu...."
Kening Suropati berkerut. Tanpa sadar dia
garuk-garuk kepala. Walau sudah cukup lama dia
bercakap-cakap dengan Kwe Kok Jiang, tapi dia be-
lum memperkenalkan diri.
"Aku yang bodoh ini bernama Suropati. Te-
man-temanku memberikan julukan padaku Penge-
mis Binal...," kenal Suropati kemudian.

"Pengemis Binal?" kejut Kwe Kok Jiang.
"Ya. Pak Tua tampak terkejut. Apakah julu-
kanku terdengar aneh? Ya... ya, memang aneh. Pen-
gemis... Binal.... Memang, kedengaran aneh, tapi
aku suka!"
"Bukan! Bukan karena julukanmu aku men-
jadi terkejut," sahut Kwe Kok Jiang yang melihat Su-
ropati tampak berpikir sambil garuk-garuk kepala.
"Aku tahu dari pembicaraan orang bila Pengemis Bi-
nal adalah Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang anggotanya berjumlah ribuan orang.
Cukup lama aku mencari orang yang berjuluk Pen-
gemis  Binal itu untuk sekadar berkenalan, kalau
mungkin untuk mengikat tali persahabatan. Tapi...
setelah berjumpa.... Sungguh tak kusangka! Sung-
guh tak kusangka! Pengemis Binal ternyata belum
seberapa umurnya...."
"Nada bicaramu seperti menyesali sesuatu,
Pak Tua. Apakah kau kecewa setelah mengetahui bi-
la Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
hanya seorang pemuda bodoh macam diriku"
"Tidak...! Tidak...! Kau jangan salah sangka,
Suro...," sahut Kwe Kok Jiang, merubah panggilan-
nya. "Walau kau masih muda, tapi kepandaianmu
sudah cukup tinggi. Kukira, kau memang pantas
untuk memimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku tahu dan sadar sepenuhnya bila kau
mengeluarkan ilmu simpananmu tadi, tak mungkin
sekarang ini aku masih dapat mendengar gemericik-
nya air sungai dan melihat indahnya panorama bu-
kit...."
"Jangan terlalu merendah, Pak Tua. Aku tahu
bila tadi Pak Tua sengaja mengalah…" sahut Penge-

mis Binal.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau seorang pemimpin
yang rendah hati, Suro. Sungguh aku kagum kepa-
damu. Bila ada umur panjang, dan aku dapat kem-
bali ke Pulau Tio Lioe Tho, akan kuceritakan keha-
lusan budi Pengemis Binal. Agar, menjadi suri-
tauladan anak-cucuku....."
"Ah! Pak Tua terlalu berlebihan...," potong
Pengemis Binal memerah wajahnya mendengar pu-
jian langsung Kwe Kok Jiang.
Pengemis Binal diam saja ketika bahu kirinya
ditepuk-tepuk Kwe Kok Jiang.
"Sekarang, kau dengar baik-baik. Aku akan
memulai ceritaku perihal Arca Budha. Dengan satu
harapan, setelah kau mengetahui riwayat arca yang
terbuat dari emas murni itu, kau akan dapat meme-
tik sebuah hikmah yang mungkin akan berguna da-
lam hidupmu."
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Menurut cerita guruku Tan Hwe Liok yang
bergelar si Garuda Sakti, sekitar dua ratus tahun
yang lalu, pada hari ulang tahun rajaku, beliau
mendapat hadiah sebuah benda yang seluruhnya
terbuat dari emas murni. Benda itu adalah Arca
Budha. Yang memberinya adalah tetua kami yang
telah berhasil menciptakan ilmu silat yang saat ini
menjadi pegangan partai-partai silat di tanah Tiong-
kok...."
Mendengar cerita Kwe Kok Jiang ada menye-
but ilmu silat, giranglah hati Pengemis Binal. Maka,
dia dengarkan penuh perhatian cerita lelaki berkun-
cir itu selanjutnya.
"Ketika itu, raja kami sudah berusia lanjut,

dan sama sekali tak mengetahui rahasia yang terda-
pat di balik keindahan Arca Budha. Akhirnya, arca
itu jatuh ke tangan putra raja yang kemudian men-
duduki singgasana ayahandanya. Karena keelokan
Arca Budha, dia pun sangat menyukai benda pem-
berian tetua kami itu."
Kwe Kok Jiang menghentikan ceritanya. Dia
keluarkan poci kecil arak yang tersimpan di kantong
bajunya. Ditawarinya Suropati, tapi remaja tampan
itu menolak lagi.
"Terima kasih, Pak Tua. Sudah kubilang di
muka, aku tak biasa minum arak keras."
Bibir Kwe Kok Jiang menyungging senyum.
Ditatapnya wajah Suropati lekat-lekat. Setelah me-
nenggak araknya, dia melanjutkan ceritanya.
"Pada tahun kelima setelah putra mahkota
menjadi raja, tetua kami yang menghadiahkan Arca
Budha meninggal dunia karena penyakit tua. Seta-
hun kemudian, salah seorang muridnya menyiarkan
cerita bahwa di balik keelokan Arca Budha tersim-
pan tanda-tanda rahasia mengenai suatu tempat, di
mana pada tempat itu terdapat sesuatu yang luar
biasa sekali. Sebentar saja, seluruh negeri kami
menjadi gempar, terutama orang-orang yang berke-
cimpung di rimba  persilatan. Hingga, bangkitlah
nafsu buruk manusia. Mereka berlomba-lomba un-
tuk dapat memasuki istana dan mencuri Arca Bud-
ha. Sampai akhirnya, walau penjagaan istana sudah
diperkuat. Arca Budha lenyap juga.
Tidak ada yang tahu ke mana lenyapnya arca
itu. Hingga dua ratus tahun kemudian, guruku Sing
Eng Tan Whe Liok memperoleh keterangan bahwa
Arca Budha berada di Tibet, tepatnya di tanah Pegu-

nungan Than Ala San. Guruku lalu memerintahkan
aku pergi ke sana..."
"Seorang diri?" Pengemis Binal tak mampu
menahan diri untuk tak bertanya. Untunglah, Kwe
Kok Jiang tak marah. Dengan suara lembut dia
menjawab pertanyaan Pengemis Binal.
"Ya. Kalau aku membawa teman, aku khawa-
tir terjadi bentrokan di kalangan kami sendiri. Dan
ternyata, aku salah duga...."
Mendadak, hembusan napas Kwe Kok Jiang
menjadi lebih cepat. Lalu, dengan nada tinggi dia
melanjutkan ceritanya.
"Di Pegunungan Than Ala San telah terdapat
banyak orang rimba persilatan. Tokoh-tokoh utama
Butong Pay, Kongtong Pay, dan Tjenghong Pay turut
campur tangan...."
"Bu... Butong Pay, Kong... Kongtong Pay? Apa
itu?" Pengemis Binal bertanya karena Kwe Kok Jiang
mengucapkan istilah yang tak dia mengerti
Sambil mengulum senyum, Kwe Kok Jiang
menjelaskan. "Butong Pay, Kongtong Pay, dan
Tjenghong Pay adalah partai silat ternama yang
mempunyai pengaruh besar di negeri Cina. Namun,
aku sedikit bersyukur karena tokoh-tokoh Siauwlim
Pay tak ikut datang di Pegunungan Than Ala San.
Rupanya, pendekar-pendekar shaolin sengaja meng-
hindari pertumpahan darah...."
"Lalu?"
"Pegunungan Than Ala San benar-benar ban-
jir darah. Ratusan nyawa melayang sia-sia. Hingga,
di Pegunungan Than Ala San tinggal dua manusia
yang sama-sama telah terluka. Aku dan seorang jago
silat tua bernama Auwyang Nan Ie. Kami tidak me-

lanjutkan pertempuran karena Arca Budha yang ter-
geletak di puncak tonjolan batu bersalju amat tinggi
tiba-tiba lenyap.
Aku dan Auwyang Nan Ie saling berlomba
mencari ke mana lenyapnya arca itu. Kami sama-
sama mengitari Pegunungan Than Ala San, sampai
bisa dikatakan tak ada sejengkal tanah pun yang be-
lum kami jamah. Tapi, Arca Budha benar-benar tak
dapat kami temukan.
Sambil membawa rasa jengkel dan amarah,
aku menuruni Pegunungan Than Ala San. Karena
kelelahan dan luka-luka di tubuhku, aku jatuh
pingsan. Sewaktu kesadaranku hilang itulah aku
mendapat petunjuk...."
"Petunjuk apa?"
Mata Kwe Kok Jiang mendelik mendengar
pertanyaan Suropati. "Tak perlu kau bertanya! Pasti
akan kuceritakan semuanya!"
Mendengar bentakan lelaki berkuncir itu, Su-
ropati cuma dapat cengar-cengir sambil garuk-garuk
kepala.
"Tetua kami yang menghadiahkan Arca Bud-
ha kepada sang raja datang kepadaku dalam mimpi.
Beliau memberitahukan bahwa arca yang terbuat
dari emas murni itu dilarikan orang ke tanah Jawa.
Karena aku percaya pada petunjuk yang da-
tang lewat mimpi itu, aku datang ke sini. Namun
hingga tiga tahun, tak juga kudapatkan titik terang
di mana Arca Budha berada."
Kwe Kok Jiang menutup ceritanya dengan ta-
rikan napas panjang. Kerut-kerut di wajahnya se-
makin kentara.
"Pak tua jauh-jauh mencari Arca Budha, bah-

kan  rela mengorbankan nyawa, apakah arca itu
sangat berarti bagi Pak Tua?" selidik Pengemis Binal.
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng lemah.
"Sebenarnya, aku tidak tertarik untuk memiliki arca
itu...," ujarnya dengan suara bergetar. 
"Lalu, kenapa Pak Tua datang ke Pegunungan
Than.... Than Ala San, bertempur melawan ratusan
orang, bahkan bersusah-payah datang ke tanah Ja-
wa ini?"
"Aku hanya menuruti amanat guruku. Kata
beliau, kelangsungan hidup rakyat Cina tersimpan
di balik keelokan Arca Budha. Maka dari itu, Arca
Budha tak boleh jatuh ke tangan orang jahat...."
"Benarkah itu, Pak Tua?"
"Buat apa aku berbohong. Kalau aku me-
nyimpan maksud-maksud tertentu untuk memiliki
Arca Budha secara pribadi, biarlah petir menyam-
barku sekarang juga."
Pengemis Binal mengangguk-angguk men-
dengar kesungguhan ucapan Kwe Kok Jiang. Untuk
beberapa lama remaja tampan itu merenung.
"Kau pasang lagi telingamu, Suro. Ceritaku
belum selesai!"
Terkesiap Pengemis Binal mendengar ucapan
Kwe Kok Jiang yang setengah membentak. Cepat dia
anggukkan kepala seraya berkata, "Ya. Ya, lanjutkan
ceritamu, Pak Tua. Aku akan mendengarkan penuh
perhatian...."
Setelah meneguk sisa araknya, Kwe Kok Jiang
mulai bercerita lagi. "Sekitar dua puluh tahun yang
lalu, kaum rimba persilatan di tanah Tiongkok di-
gemparkan oleh adanya sebilah pedang peninggalan
seorang tetua kami yang memiliki kepandaian seten-

gah dewa. Menurut cerita yang kudengar, pedang itu
ujungnya melengkung berbentuk patuk Burung
Hong. Ujung pedang itu dapat dipakai untuk meni-
kam ataupun menggaet senjata lawan. Oleh kare-
nanya, pedang itu diberi nama Pedang Burung
Hong.
Ketika itu, banyak sekali orang gagah yang
saling mempertahankan jiwa untuk memperebutkan
pedang tersebut. Auwyang Nan Ie juga ikut di antara
mereka."
"Apakah karena pedang itu berbentuk patuk
Burung Hong sehingga orang-orang sedemikian ber-
nafsu untuk memilikinya?" tanya Suropati walau se-
benarnya dia tak tahu bagaimana bentuk Burung
Hong itu.
"Bukan! Bukan karena itu! Kalau hanya pe-
dang berbentuk patuk Burung Hong, mudah saja
orang membuatnya."
"Lalu, apa keistimewaannya, Pak Tua?"
"Di seluruh badan Pedang Burung Hong ter-
dapat ukiran-ukiran yang melukiskan gerakan ilmu
silat ciptaan tetua kami yang meninggalkan pedang
itu sendiri."
"Kau katakan tadi, tetua kau itu memiliki ke-
pandaian setengah dewa. Karena itukah orang-orang
sangat bernafsu untuk memiliki pedang pe-
ninggalannya?"
"Tepat!"
"Siapa namanya?" 
"Sampai sebegitu jauh, dan walau orang-
orang rimba persilatan telah bersitegang untuk
memperebutkan pedang pusaka peninggalannya, tak
seorang pun yang tahu siapa nama tetua kami itu."

Suropati mengangguk-angguk, tanda menger-
ti. Tak hendak dia menyambung pertanyaannya.
Sementara, kening Kwe Kok Jiang tampak berkerut
rapat. Berulang kali lelaki berkuncir itu menarik na-
pas panjang.
"Celaka! Celaka!" seru Kwe Kok Jiang seraya
menggaplok kepalanya sendiri berulang kali
"Eh! Eh! Kenapa kau, Pak Tua!" kejut Penge-
mis Binal.
"Aku lupa! Aku lupa! Ceritaku tadi sampai di
mana?"
Kontan perut Pengemis Binal terasa sakit ka-
rena menahan tawa. Rupanya, penyakit lupa Kwe
Kok Jiang sedang kumat. Terbersit rasa kasihan di
hati Pengemis Binal melihat lelaki berkuncir itu te-
rus menggaplok-gaplok kepalanya sendiri.
"Sudahlah, Pak Tua! Aku tahu sampai di ma-
na ceritamu tadi," ujar Pengemis Binal kemudian.
"Ya. Ya,  kau memang cerdas. Tapi...," mata
Kwe Kok Jiang mendelik. "Bukankah kau tadi telah
memotong ceritaku, sehingga aku jadi lupa untuk
melanjutkannya?"
"Ya. Aku salah, Pak Tua...," aku Pengemis Bi-
nal. "Tapi, kau tak perlu marah-marah...."
Kwe Kok Jiang mendengus gusar. "Awas kau
ulangi sekali lagi, kutonjok mulutmu yang bawel
itu!" ancamnya. "Cepat katakan sampai di mana aku
tadi bercerita!"
Pengemis Binal menggaruk kepalanya yang
tak gatal, lalu berkata, "Kau tadi menceritakan keis-
timewaan Pedang Burung Hong...."
"Ya, benar!" potong Kwe Kok Jiang, cepat. Se-
telah mengisi paru-parunya dengan udara segar se-

banyak mungkin, dia melanjutkan ceritanya, "Aku
ingat betul. Ketika itu, Auwyang Nan Ie dan bebera-
pa tokoh tingkat atas lainnya tengah terlibat per-
tempuran hebat. Berkali-kali Pedang Burung Hong
berpindah tangan. Sampai akhirnya, pedang itu ja-
tuh ke tangan seorang ahli yoga India bernama Ma-
hicha Kapoor...."
"Jadi, Auwyang Nan Ie dan yang lainnya bisa
dirobohkan oleh orang itu? Eh...!"
Suropati mendekap mulutnya karena kelepa-
san bicara, memotong cerita Kwe Kok Jiang. Tapi
tampaknya, lelaki berkuncir itu tak menjadi naik pi-
tam. Dengan senang hati dijawabnya pertanyaan
Suropati.
"Pada waktu itu, Auwyang Nan Ie belum sah
memegang gelar ahli silat kelas utama. Tapi, kepan-
daiannya sudah luar biasa sekali. Jangankan satu
Mahicha Kapoor, sepuluh orang seperti dia pun be-
lum tentu dapat mengalahkannya."
Kwe Kok Jiang hendak minum araknya lagi.
Tapi, dia kecewa karena poci araknya telah kosong.
Sambil menggerutu, dia lemparkan poci arak kosong
itu ke dalam sungai.
"Auwyang Nan Ie dan orang-orang gagah da-
ratan Tionggoan itu sebenarnya bukan dikalahkan
oleh si ahli yoga Mahicha Kapoor. Mereka kena tipu-
muslihat yang sangat licin. Malangnya, tak seorang
pun di antara mereka yang mengetahui bagaimana
orang seh Mahicha Kapoor itu menjalankan tipuan-
nya.
Selama lima tahun, jago-jago silat daratan
Tionggoan berusaha menemukan Mahicha Kapoor
dan merampas Pedang Burung Hong dari tangan-

nya. Karena tak mendapatkan hasil, kami semua
menjadi putus asa Akhirnya, timbul anggapan bah-
wa Mahicha Kapoor telah mengasingkan diri untuk
mempelajari rahasia ilmu silat yang terdapat pada
ukiran di badan Pedang Burung Hong.
Hingga lima tahun selanjutnya, tersiar kabar
dari tanah India bahwa ukiran pada badan Pedang
Burung Hong bukan rahasia pelajaran ilmu silat,
melainkan petunjuk akan adanya sebuah tempat
yang menyimpan sesuatu yang amat luar biasa.
Orang-orang rimba persilatan geger lagi. Pertempu-
ran kembali berkecamuk. Darah kembali tumpah.
Satu sama lain saling bunuh. Kawan berubah jadi
lawan. Tokoh-tokoh tua yang semula telah menga-
singkan diri pun turut campur. Kala itu, daratan
Tiongkok benar-benar banjir darah...."
Wajah Kwe Kok Jiang terlihat muram. Dita-
riknya napas panjang beberapa kali. Agaknya,  dia
tengah menyesali peristiwa berdarah yang sedang
diceritakannya.
Karena lelaki berkuncir itu tak juga berkata-
kata lagi, Suropati memberanikan diri untuk ber-
tanya.
"Sekarang, Pedang Burung Hong itu berada di
mana, Pak Tua?"
Sebelum menjawab Kwe Kok Jiang menatap
wajah Pengemis Binal lekat-lekat, seakan ingin me-
longok isi hati remaja tampan itu lewat bola ma-
tanya.
"Pedang pusaka itu jatuh ke tangan Auwyang
Nan Ie," beri tahu Kwe Kok Jiang. Lelaki tua itu lalu
terbatuk beberapa kali sampai badannya membung-
kuk-bungkuk.

"Kau tak apa-apa, Pak Tua?" tanya Suropati,
khawatir.
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng lemah.
"Aku batuk bukan karena terluka dalam. Aku batuk
karena digerogoti usia tua," jawabnya, lalu disam-
bung dengan pertanyaan, "Tahukah kau, Suro, bila
Arca Budha dan Pedang Burung Hong mempunyai
hubungan?"
Pengemis Binal mengangkat bahu, lalu garuk-
garuk kepala. Kebiasaan remaja tampan itu tak
membuat Kwe Kok Jiang jengkel. Malah, dia tertawa
senang.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau mempunyai ke-
biasaan aneh, Suro. Ha ha ha...!"
"Ah! Jangan tertawa-tawa dulu, Pak Tua. Se-
geralah ceritakan apa hubungan Arca Budha dan
Pedang Burung Hong...," buru Pengemis Binal, agar
Kwe Kok Jiang segera menghentikan tawanya.
"Sebenarnya, aku tak tahu kalau Arca Budha
dan Pedang Burung Hong mempunyai hubungan...,"
Kwe Kok Jiang melanjutkan ceritanya. "Ketika aku
berpamitan kepada guruku Sing Eng Tan Hwe Liok,
untuk pergi ke tanah Jawa, beliau memberitahukan
bahwa rahasia yang terdapat pada Arca Budha
hanya dapat dipecahkan dengan membaca ukiran di
badan Pedang Burung Hong."
"Rahasia tentang sebuah tempat yang terda-
pat sesuatu yang sangat luar biasa itu?"
"Ya."
Usai menjawab pendek, mendadak Kwe Kok
Jiang mengerutkan kening. Bola matanya tampak
membesar, dan wajahnya menegang. Rupanya,  dia
tengah menajamkan pendengaran.

"Ada orang yang menguping pembicaraan ki-
ta...," beri tahu Kwe Kok Jiang, setengah berbisik.
"Ya. Aku juga mendengar suara mencuriga-
kan," tegas Pengemis Binal.
Cepat sekali Kwe Kok Jiang mengempos tu-
buh seraya berteriak lantang. "Bangsat! Jangan lari!"
Bergegas Pengemis Binal mengikuti kelebatan
tubuh lelaki berkuncir  itu. Diloncatinya beberapa
tonjolan batu besar yang terdapat di tepi sungai. Ke-
tika langkah kakinya memasuki hutan kecil, sosok
Kwe Kok Jiang lenyap dari pandangannya.
"Huh! Cepat benar lari orang tua itu!" gerutu
Pengemis Binal seraya menghentikan langkah ka-
kinya.
Untuk beberapa lama remaja tampan itu ce-
lingukan, tapi jejak Kwe Kok Jiang yang tengah
mengejar si pencuri dengar tetap tak ditemukannya.
Terbawa rasa penasaran, Suropati melanjutkan
langkahnya memasuki hutan kecil itu.


3

Di atas garis cakrawala sebelah barat, sang
Baskara tegak menantang, namun telah melemah
sinarnya terbawa putaran waktu sore hari. Langit bi-
ru bagai layar lebar dipentangkan berhias gum-
palan awan perak, bergerak lembut terbawa hembu-
san angin
Walau udara terasa segar, tapi Kwe Kok Jiang
bermandikan peluh. Lebih dari dua peminuman teh
dia berlari cepat mengerahkan seluruh daya ke-

mampuannya. Ilmu meringankan tubuh lelaki ber-
kuncir yang datang dari tanah Tiongkok itu sudah
sedemikian tinggi, hingga sekali menjejak tanah, ja-
rak empat-lima tombak terlampaui. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian merah-hijau berubah menjadi
bayangan yang hampir tak dapat diikuti pandangan
mata.
Begitu keluar dari hutan kecil yang banyak
diseraki tonjolan batu cadas, Kwe Kok Jiang meng-
hentikan gerakan tubuhnya. Diedarkannya pandan-
gan ke empat penjuru angin. Dengan kening berke-
rut dia lalu berjongkok di tengah jalan cukup lebar
yang di kanan-kirinya banyak ditumbuhi pohon per-
du.
"Hmmm.... Banyak sekali bekas tapak kaki
kuda di sini. Tidak ada jejak kaki manusia satu pun.
Agaknya, si keparat pencuri dengar itu memang bu-
kan orang sembarangan...," kata hati Kwe Kok Jiang.
Perantau dari Cina itu lalu menapaki jalan
menuju utara. Dengan pandangan mata tertuju lu-
rus ke depan, dia pertajam indera pendengarannya.
Peluh yang membanjir di sekujur tubuhnya tak bisa
hiraukan sama sekali. Kwe Kok Jiang terus melang-
kah dengan kewaspadaan penuh.
Mendadak, terdengar suara gemerisik dari
arah kanan jalan yang berupa hutan. Langkah Kwe
Kok Jiang kontan terhenti. Untuk beberapa lama le-
laki berkuncir itu berdiri mematung. Dia pasang in-
dera pendengarannya lebih tajam.
"Aku tahu bukan hewan yang ada di sana.
Suara gemerisik yang kudengar adalah langkah ma-
nusia yang menginjak semak-belukar. He, kau orang
yang sedang bersembunyi, segeralah tam-pakkan

batang hidungmu bila kau tak mau dikatakan seba-
gai pengecut bernyali tikus!" teriak Kwe Kok Jiang
dengan bahasa Jawa.
Lelaki berkuncir itu berdiri mematung di tem-
patnya, namun tak ada sahutan yang dia dengar.
Setelah menunggu beberapa tarikan napas, dia
mengulang teriakannya.
"Seorang pengecut senantiasa diperbudak
oleh rasa takut. Namun, aku percaya bila kau bukan
pengecut. Keluarlah kau segera! Aku Kwe Kok Jiang
akan menyambut dengan baik bila kedatanganmu
punya maksud baik pula!"
Di ujung kalimat Kwe Kok Jiang, mendadak
hembusan angin bertambah kencang, yang dibarengi
suara gelak tawa berkepanjangan. Ranting-ranting
pohon bergoyang keras. Akibatnya, dedaunan ber-
guguran.
Kwe Kok Jiang terkesiap merasakan jantung-
nya berdegup lebih cepat dan gendang telinganya
bagai ditepuk-tepuk. Cepat lelaki berkuncir itu men-
gerahkan hawa murni untuk membentengi diri dari
serangan suara tawa yang dialiri tenaga dalam.
"Aku tahu bila kau bukan tokoh sembaran-
gan. Namun aku tak habis mengerti, kenapa kau
menunjukkan permainan anak kecil seperti ini...?!"
ejek Kwe Kok Jiang dengan suara keras menggelegar
karena dialiri tenaga dalam pula.
Suara tawa yang terdengar dari dalam hutan
berhenti mendadak. Hembusan angin kembali me-
lemah. Daun-daun tak lagi berguguran. Namun....
Wuttt...!
"Haya...!"
Sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan

melesat cepat hendak menghantam kepala Kwe Kok
Jiang. Bergegas lelaki berkuncir yang sudah matang
pengalaman itu mengempos tubuh. Sambil bersalto
di udara, dia menangkap benda hitam yang dituju-
kan untuk merenggut jiwanya.
Slap...!
Begitu menginjak tanah, Kwe Kok Jiang men-
dengus gusar. Tangan kanannya menggenggam batu
kali yang keras.
"Hmm.... Kiranya, aku telah salah menduga.
Ternyata, kau benar-benar seorang pengecut!"
Usai berkata, raut wajah Kwe Kok Jiang me-
negang. Sambil menggeram laksana harimau pada
puncak kemarahannya, dia meremas batu kali di
tangannya. Karena remasan Kwe Kok Jiang disertai
pengerahan tenaga dalam, batu kali itu kontan han-
cur luluh menjadi serbuk halus berwarna kuning!
"Keluar kau, Keparat!"
Umpatan Kwe Kok Jiang dibarengi kelebatan
tangan kanannya yang melemparkan serbuk halus
berwarna kuning. Jangan dikira serbuk halus itu ti-
dak berbahaya. Lesatannya yang mengarah ke da-
lam hutan menimbulkan suara mendengung keras
seperti ada ribuan lebah sedang terbang.
"Heaaa...!"
Terdengar pekikan nyaring yang dibarengi ke-
lebatan sesosok bayangan. Begitu bayangan itu
mendarat di tanah, dari dalam hutan terdengar sua-
ra gemeretakan. Disusul suara berdebum keras ka-
rena ada dua batang pohon sepelukan manusia de-
wasa tumbang bersamaan. Rupanya, serbuk halus
yang dilemparkan Kwe Kok Jiang bisa menjadi sen-
jata setajam pedang yang sanggup menebas batang

pohon!
"Ha ha ha...! Hebat...! Hebat..,!" puji seorang
lelaki tua yang baru muncul disertai tawa panjang.
"Beberapa tahun aku tak berjumpa denganmu. Kau
makin hebat saja, Kok Jiang...."
Mendengar kalimat yang diucapkan dalam
bahasa Cina itu, Kwe Kok Jiang cuma mendengus.
Ditatapnya tanpa berkedip lelaki tua yang berdiri
sekitar empat tombak dari hadapannya.
Lelaki yang baru menghindari bahaya maut
itu berkulit putih, sama dengan kulit Kwe Kok Jiang.
Bentuk pakaiannya pun sama persis. Hanya war-
nanya yang berbeda. Pakaian Kwe Kok Jiang ber-
warna merah-hijau, sedang lelaki bertubuh tinggi-
besar itu warna pakaiannya kuning-coklat. Wajah-
nya yang sudah keriputan dihiasi kumis dan jenggot
putih panjang sampai ke dada. Alis di atas matanya
yang sipit juga telah memutih. Di punggungnya ter-
selip sebatang pedang. Tangan kanannya menggeng-
gam erat sebuah kebutan, bentuknya seperti alat tu-
lis Cina berukuran besar.
Setelah dapat mengenali siapa lelaki tinggi-
besar itu, terkejutlah Kwe Kok Jiang. Tanpa sadar
mulutnya mendesis.
"Auwyang Nan Ie...."
"Ha ha ha...!" lelaki tinggi-besar yang memang
Auwyang Nan Ie tertawa bergelak. "Walau usiamu
sudah bau tanah, rupanya matamu belum lamur,
Kok Jiang. Syukurlah bila kau masih dapat menge-
naliku...."
Karena Auwyang Nan Ie berkata dalam baha-
sa Cina, maka Kwe Kok Jiang menyahuti dalam ba-
hasa Cina pula.

"Kau telah mengarungi samudera luas ribuan
tombak jauhnya. Apakah kedatanganmu ke tanah
Jawa ini mempunyai urusan penting, atau sekadar
merantau untuk memperluas wawasan?"
"Kau bertanya seperti orang bodoh yang buta
pengetahuan, Kok Jiang. Jauh-jauh aku datang ke
tanah Jawa tentu saja karena urusan penting. Tiga
tahun yang lalu, kudengar kabar bahwa kau pergi ke
pulau ini. Maka, cepat-cepat aku menyusulmu...."
"Menyusulku? Karena apa?"
"Aku menduga kau mendapat petunjuk di
mana Arca Budha berada. Tanpa pikir panjang lagi,
aku segera meninggalkan daratan Tionggoan. Sela-
ma tiga tahun, diam-diam aku mengawasi segala ge-
rak-gerikmu. Dan ternyata, dugaanku benar. Kau
mencari Arca Budha di tanah Jawa ini."
Mendengar ucapan Auwyang Nan Ie, kening
Kwe Kok Jiang kontan berkerut rapat. "Pantas, se-
lama tiga tahun aku di tanah Jawa, aku merasa se-
lalu dibuntuti orang. Kiranya, orang itu adalah Au-
wyang Nan Ie...," kata hati lelaki berkuncir itu.
"Hmmm... Kalau begitu, yang mencuri dengar
ketika aku berbicara dengan Suropati tadi adalah
kau!" bentak Kwe Kok Jiang kemudian.
"Tepat!" sahut Auwyang Nan Ie, cepat. "Tak
dapat aku pungkiri. Pencuri dengar itu adalah aku.
Tapi kau jangan pongah dan memandang rendah
kepadaku. Aku lari sampai ke tempat ini bukan ka-
rena takut. Sengaja aku memancingmu agar remaja
konyol bernama Suropati itu tak mencampuri uru-
san yang akan kubicarakan denganmu, Kok Jiang!"
"Urusan itu tentu ada hubungannya dengan
Arca Budha," tebak Kwe Kok Jiang dengan suara ke-

tus, menyiratkan rasa tak suka.
"Ha ha ha...! Tebakanmu benar, tapi tak se-
penuhnya benar. Aku tahu selama tiga tahun kau
berada di tanah Jawa, sama sekali tak kau dapatkan
petunjuk perihal Arca Budha. Sungguh aku me-
nyangka  usahamu yang sia-sia itu, Kok Jiang....
Agar kau tak bertambah kecewa, ada baiknya bila
kau kembali saja ke Pulau Tho Lioe Tho. Memohon-
lah maaf kepada gurumu Sing Eng Tan Hwe Liok.
Katakan bahwa kau telah gagal menjalankan tugas.
Aku yakin, gurumu yang sudah bangkotan itu tak
akan menjatuhkan hukuman kepadamu...."
Mengelam paras Kwe Kok Jiang mendengar
kalimat halus namun bermakna sindiran yang di-
ucapkan Auwyang Nan Ie. Panas seketika hati Kwe
Kok Jiang. Tapi, dicobanya untuk bersabar diri. Dia
tahu dan sadar sepenuhnya, membuat permusuhan
dengan Auwyang Nan Ie sama halnya dengan meme-
lihara harimau buas di dalam rumah.
"Terima kasih atas nasihatmu. Nan Ie...," ujar
Kwe Kok Jiang kemudian. "Sudah kepalang basah
bagiku untuk mengurungkan niat mencari Arca
Budha. Biarlah Laut Selatan menelanku bila aku
pulang ke Tho Lioe Tho hanya membawa tangan
hampa."
"Ha ha ha...!" Auwyang Nan Ie tertawa berge-
lak untuk kesekian kalinya. "Sungguh pandai kau
menyusun kata-kata, Kok Jiang. Sungguh berani
pula kau berkata seperti itu di hadapanku. Kau ten-
tu masih ingat peristiwa di Pegunungan Than Ala
San beberapa tahun yang lalu. Setelah masing-
masing di antara kita membunuh sekian banyak
orang, kita berhadap-hadapan bagai dua ekor singa

yang sedang memperebutkan mangsa. Sayang, kita
tak jadi bertempur. Arca Budha keburu lenyap. Dan,
kita sama-sama turun gunung membawa rasa kece-
wa. Tapi sekarang ini, Kok Jiang, walaupun mangsa
yang akan kita perebutkan belum ada, kita tetap
akan bertempur. Sudah tak kuasa rasa hati ini me-
mendam  keinginan untuk menjajal kepandaian pe-
milik Pulau Tho Lioe Tho, Shia Hiap Kwe Kok Jiang!"
Mendengar tantangan Auwyang Nan Ie, Kwe
Kok Jiang cuma tersenyum tipis. Lalu katanya, "Aku
tahu pedang yang terselip di punggungmu adalah
Pedang Burung Hong, Nan Ie. Namun, agaknya naf-
su serakah telah memperbudak akal sehatmu. Apa-
kah arti sebuah Arca Budha bila dibandingkan den-
gan Pedang Burung Hong?"
"Hmm.... Jangan dikira aku orang bodoh, Kok
Jiang. Aku telah mendengar semua yang kau cerita-
kan pada si remaja konyol Suropati. Ukiran pada
badan Pedang Burung Hong bukan pelajaran ilmu
silat, melainkan peta petunjuk akan adanya sebuah
tempat di mana terdapat sesuatu yang amat luar bi-
asa. Aku pun telah tahu bila Pedang Burung Hong
adalah kunci pembuka rahasia yang terdapat pada
Arca Budha. Oleh karenanya, tak dapat aku pungki-
ri bila kau sangat bernafsu untuk memiliki arca
yang terbuat dari emas murni itu."
"Sayang... sungguh sayang..," desis Kwe Kok
Jiang. "Nafsu pribadi memang bisa membuat manu-
sia lupa diri...."
"Hmm.... Kata-katamu memanaskan telinga-
ku, Kok Jiang. Jangan sok alim! Aku tahu benar
siapa kau! Susah-payah kau mencari Arca Budha,
tentu bukan hanya sekadar melaksanakan perintah

gurumu! Kau tentu menyimpan maksud tersem-
bunyi! Kita sudah sama-sama tua yang sebentar lagi
mendekam dalam tanah, kenapa mesti menipu diri
sendiri?"
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng. "Tidak!
Kau keliru. Nan Ie! Aku mencari Arca Budha bukan
karena desakan nafsu pribadi. Aku benar-benar
mengemban amanat guruku. Aku tak ingin Arca
Budha jatuh ke tangan orang jahat, yang hanya
akan menimbulkan pertumpahan darah di daratan
Tionggoan."
"Ha ha ha...! Sungguh lucu ucapanmu itu,
Kok Jiang. Pandai benar kau bersilat lidah. Namun
tahukah kau, Kok Jiang, bila kau teruskan niatmu
mencari Arca Budha, aku bukan hanya akan men-
jajal kepandaianmu, malah akan melemparkan nya-
wamu ke neraka!"
"Apa pun yang terjadi, Arca Budha harus ku-
dapatkan!" tegas Kwe Kok Jiang, tak menciut nyali
mendengar sesumbar Auwyang Nan Ie.
"Hmm.... Sayang sekali bila kau mati dan
bangkaimu tiada yang mengurusi. Sungguh malang
nasib Kwe Kok Jiang yang dijemput ajal di tanah
orang...."
Usai berkata, Auwyang Nan Ie menarik kaki
kirinya ke belakang. Dengan badan sedikit condong
ke depan, dia merapatkan tangan kirinya ke dada.
Sedangkan tangan kanannya yang memegang kebu-
tan diangkat ke depan wajah, sejurus dengan pan-
dangan mata. Mendadak, bulu-bulu kebutan menge-
jang kaku, hingga ujungnya jadi lancip menyerupai
mata tombak. Rupanya, Auwyang Nan Ie telah men-
galirkan tenaga dalam ke senjata berbentuk alat tu-

lis Cina itu.
Kwe Kok Jiang yang sudah tahu kehebatan
kebutan Auwyang Nan Ie, segera meloloskan pe-
dangnya seraya memasang kuda-kuda pula. Sesaat
kemudian, pedang Kwe Kok Jiang tampak bergetar,
pertanda dialiri tenaga dalam. Dan, Auwyang Nan Ie
dan Kwe Kok Jiang sama-sama telah siap untuk
mengawali pertempuran....
"Heaaa...!" 
"Haya...!"
Tubuh Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok Jiang
melesat bersamaan. Dalam keadaan masih melayang
di udara, ujung pedang Kwe Kok Jiang berusaha
menusuk dada Auwyang Nan Ie.  Sementara, Au-
wyang Nan Ie tentu saja tak mau dipecundangi pada
gebrakan pertama. Cepat lelaki tinggi besar yang
rambutnya digelung itu berkelit ke kiri. Lalu, masih
tetap melayang di udara, dia mengarahkan ujung
kebutannya ke tenggorokan Kwe Kok Jiang!
Trang...!
Timbul cahaya berkeredepan ketika kebutan
Auwyang Nan Ie membentur pedang Kwe Kok Jiang.
Tangan kanan kedua jago silat Cina itu sama-sama
bergetar dan terasa kesemutan. Pedang Kwe Kok
Jiang terpental keras. Untung tak sampai lepas dari
cekalan. Sementara, bulu-bulu kebutan Auwyang
Nan Ie yang mengejang kaku langsung melemas, tapi
tak selembar pun yang terbabat putus.
Pedang Kwe Kok Jiang sebenarnya termasuk
pedang pusaka yang dapat membabat putus berba-
gai jenis barang logam. Namun menghadapi kebutan
Auwyang Nan Ie, agaknya pedang itu tak mampu
berbuat banyak.

Beberapa tarikan napas kemudian, pertempu-
ran antara Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok Jiang telah
memuncak seru. Walau wujud kebutan Auwyang
Nan Ie tampak biasa saja, sebenarnya mempunyai
dua macam serangan yang luar biasa dahsyatnya.
Pada serangan pertama, bulu-bulu kebutan berga-
bung menjadi satu menyempai mata tombak, yang
akan menusuk dengan tenaga keras. Apabila seran-
gan yang pertama gagal, bulu-bulu kebutan akan
terbuka untuk menusuk jalan darah lawan dengan
tenaga lembek.
Selama Auwyang Nan Ie malang-melintang di
rimba persilatan, jarang ada orang yang mampu
menahan kedua serangan itu. Namun, yang menjadi
sasaran kali ini bukan orang sembarangan pula.
Kwe Kok Jiang cukup disegani kawan maupun la-
wan karena dia mempunyai kepandaian luar biasa,
hingga dia menjadi raja kecil di Pulau Tho Lioe Tho.
Tiga puluh jurus kemudian, bulu-bulu kebu-
tan Auwyang Nan Ie tampak terbuka, dan tengah
menyambar wajah Kwe Kok Jiang. Sementara, pe-
dang Kwe Kok Jiang sedang  mengancam dada kiri
Auwyang Nan Ie, tapi berhasil dikelitkan.
Pada saat yang berbahaya di mana ribuan bu-
lu kebutan menyambar tanpa dapat dielakkan lagi,
Kwe Kok Jiang tiba-tiba membuka mulut seraya me-
niup sekuat tenaga!
Wusss...!
Di saat itu juga, bulu-bulu kebutan tersapu
buyar, dan gagallah serangan Auwyang Nan Ie. Ter-
nyata, Kwe Kok Jiang telah menunjukkan kekuatan
tenaga dalamnya yang dahsyat.
Sewaktu Kwe Kok Jiang menghela napas lega

karena berhasil menggagalkan serangan lawan. Au-
wyang Nan Ie terkejut setengah mati. Bulu-bulu ke-
butan yang tertiup buyar kontan berbalik arah,
mengancam wajahnya sendiri, bagai hujan ribuan
jarum!
Namun, bukan Auwyang Nan Ie kalau dia tak
bisa mengendalikan gerakan bulu-bulu kebutannya
sendiri. Sebelum senjata itu benar-benar menyam-
bar wajahnya, cepat Auwyang Nan Ie membalikkan
tangan kanannya seraya mengegos tubuh ke kiri.
Dan, selamatlah Auwyang Nan Ie dari bahaya maut.
"Hebat... hebat sekali kau, Kok Jiang...," puji
Auwyang Nan Ie di antara dengus napasnya yang
memburu. "Rupanya, telah banyak kemajuan yang
kau peroleh."
"Tak perlu memuji, Nan Ie. Pertempuran be-
lum selesai," sahut Kwe Kok Jiang dengan napas
memburu pula.
"Baik! Baiklah, kita lanjutkan permainan ini.
Untuk menghemat tenaga, segeralah kau keluarkan
jurus-jurus andalanmu!"
Kwe Kok Jiang menggembor keras sebelum
mengawali serangannya lagi. Terdengar suara ber-
siut amat keras ketika pedang lelaki berkuncir itu
berkelebat. Dengan menggunakan jurus 'Membacok
Naga Menaklukkan Harimau' dia membabat leher
Auwyang Nan Ie!
Wuttt..! 
"Heaaa...!"
Walau mampu menghindar dari babatan pe-
dang Kwe Kok Jiang yang mengarah ke leher, napas
Auwyang Nan Ie tetap terasa sesak karena ujung pe-
dang Kwe Kok Jiang tiba-tiba menusuk ulu hati!

"Keparat!" umpat Auwyang Nan Ie seraya me-
lompat empat tombak ke belakang.
Sewaktu tubuh lelaki tinggi-besar itu me-
layang di udara, tangan kirinya bergerak cepat melo-
loskan batang pedang yang terselip di punggungnya.
Ujung pedang Kwe Kok Jiang yang masih mengejar,
segera dia tangkis!
Trang...!
Dua senjata tajam berbenturan amat keras.
Bunga api memercik ke berbagai penjuru. Terkejut
tiada terkira Kwe Kok Jiang. Dengan mata membela-
lak lebar dia memandang batang pedangnya yang te-
lah terbabat putus, tinggal setengah bagian.
Sementara, Auwyang Nan Ie tertawa terba-
hak-bahak penuh kegembiraan. Tubuh lelaki tinggi
besar itu tegak menantang dengan sikap pongah.
Tangan kirinya mencengkeram erat hulu pedang
bengkok yang di seluruh badannya dipenuhi ukiran.
Pedang pusaka itu tiada lain dari Pedang Burung
Hong!
Cepat Kwe Kok Jiang menghalau keterkeju-
tannya. Namun, dia tak dapat menyembunyikan wa-
jahnya yang memucat. Dengan sinar mata ber-kilat-
kilat dia menatap wajah Auwyang Nan Ie.
"Walau kau memegang Pedang Burung Hong,
jangan harap kau dapat merobohkan aku dengan
mudah!" geram Kwe Kok Jiang.
"Hmm.... Hendak kulihat seberapa tinggi kau 
punya jurus tangan kosong...," ejek Auwyang Nan Ie.
Serta-merta Kwe Kok Jiang menggembor ke-
ras seraya membuang sisa potongan pedangnya.
Langsung dia memasang kuda-kuda dengan kedua
tangan dipentangkan di samping dada. Jari-jarinya

yang menguncup ditekuk ke bawah, seperti sikap
seekor kera yang sedang berhadapan dengan sang
lawan. Tampaknya, Kwe Kok Jiang hendak menge-
luarkan ilmu silat tangan kosong bernama ‘Ilmu Si-
lat Tangan Lutung Salju’.
"Ha ha ha...! Kau benar-benar lucu, Kok
Jiang! Sudah tua, masih mau main monyet-
monyetan!"
Mendengar ejekan Auwyang Nan Ie, tak kuasa
Kwe Kok Jiang mengendalikan amarahnya. Darah-
nya naik sampai ke ubun-ubun, hingga wajahnya
terlihat merah-padam.
"Lihat serangan. Nan Ie!" teriak Kwe Kok
Jiang seraya mengempos tubuh. Kedua tangannya
berkelebat, berusaha menotok jalan darah penting di
tubuh Auwyang Nan Ie.
Pertempuran seru kembali berlangsung. Jari-
jari tangan Kwe Kok Jiang yang berwarna kuning
tampak mengerikan sekali. Setiap berkelebat me-
nimbulkan suara gemuruh keras yang memekakkan
gendang telinga. Namun menghadapi kebutan dan
Pedang Burung Hong di tangan Auwyang Nan Ie, il-
mu silat tangan kosong 'Ilmu Silat Tangan Lutung
Salju' agaknya tak mampu memberikan perlawanan
berarti. Sampai suatu ketika....
Crash...!
"Wuah...!"
Kwe Kok Jiang memekik kesakitan. Darah se-
gar muncrat membasahi bumi. Pergelangan tangan
kiri lelaki berkuncir itu terbabat putus oleh ketaja-
man Pedang Burung Hong!
Sewaktu Kwe Kok Jiang melompat mundur
sambil mendekap lengan kirinya yang putus sebatas

siku, Auwyang Nan Ie menggembor keras. Tubuhnya
berkelebat cepat. Bulu-bulu kebutan yang menge-
jang kaku meluncur lurus, mengarah ke dahi Kwe
Kok Jiang! Dan, ujung Pedang Burung Hong menu-
suk cepat ke jantung lelaki berkuncir itu!
Agaknya, Kwe Kok Jiang sudah tiada mampu
lagi membela diri. Malaikat kematian benar-benar
mengintai nyawanya!

4

Dalam keadaan gawat di mana nyawa Kwe
Kok Jiang tinggal sekejapan mata untuk segera me-
layang dari tubuhnya, tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat amat cepat melebihi kecepatan suara!
Trang...! 
Dukkk...!
"Hah...?!"
Auwyang Nan Ie terperangah. Pedang Burung
Hong di tangan kirinya membentur sebuah benda
keras, hingga arah tusukannya melenceng. Semen-
tara, siku  kanannya juga membentur benda keras.
Akibatnya, bulu-bulu kebutan buyar, dan melenceng
pula ke arah serangannya.
Dengan mata berkilat-kilat karena luapan
amarah, Auwyang Nan Ie menatap seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan. Remaja
tampan yang rambutnya dibiarkan tergerai itu berdi-
ri tegak sambil menggerak-gerakkan batang hidung-
nya, seperti tengah mengejek Auwyang Nan Ie yang
hendak menjatuhkan tangan maut terhadap orang
yang sudah tiada berdaya.

"Suropati...," desis Auwyang Nan Ie dengan
pandangan tetap berkilat tajam.
"Ya. Aku memang Suropati, Kunyuk Kudisan!"
aku si remaja yang memang Suropati atau Pengemis
Binal.
Rupanya, kedatangan Suropati tepat pada
waktunya. Ketika melihat ujung Pedang Burung
Hong hendak menusuk jantung Kwe Kok Jiang, ce-
pat dia berkelebat seraya menangkis dengan mem-
pergunakan tongkat butut yang dialiri tenaga dalam.
Karena Pedang Burung Hong adalah sejenis pedang
mustika yang memiliki ketajaman luar biasa, tong-
kat Suropati terbabat buntung. Namun demikian,
arah tusukan Auwyang Nan Ie jadi melenceng, dan
hanya mengenai tempat kosong di sisi kanan Kwe
Kok Jiang. Sedang untuk menggagalkan tusukan
ujung kebutan, Suropati berhasil menyodok siku
kanan Auwyang Nan Ie dengan telapak tangan ki-
rinya. Hingga, selamatlah nyawa Kwe Kok Jiang dari
tusukan Auwyang Nan Ie dan kebutan Auwyang Nan
Ie yang amat berbahaya.
"Bocah edan! Tunggu waktunya kupenggal
kepalamu!" ancam Auwyang Nan Ie dalam bahasa
Jawa.
Usai berkata, lelaki tinggi-besar itu memba-
likkan badan, lalu berkelebat lenyap, meninggalkan
Pengemis Binal yang berdiri cengar-cengir sambil
menatap sisa potongan tongkat bututnya.
Karena ingat sesuatu yang amat penting, ce-
pat Pengemis Binal membalikkan badan. Terlihat
Kwe Kok Jiang yang berdiri terhuyung dengan wajah
pucat sambil mendekap lengan kirinya yang bun-
tung. Darah segar menetes dari sela-sela jari tangan

kanan lelaki berkuncir itu.
"Suro...," sebut Kwe Kok Jiang seraya mengu-
lum senyum di bibir.
Pandangan lelaki berkuncir itu semakin men-
gabur. Kedua kakinya goyah, tak mampu menopang
berat badannya sendiri. Namun sebelum dia jatuh
tertelungkup di tanah, cepat Suropati menyambar.
Lalu, membaringkannya perlahan-lahan di atas ta-
nah berumput, di bawah rimbunan daun pohon be-
sar.
Melihat darah segar terus menetes dari luka
di lengan  kiri Kwe Kok Jiang, bergegas Suropati
mengambil tindakan. Ditotoknya beberapa jalan da-
rah di atas luka babatan Auwyang Nan Ie itu.
Kwe Kok Jiang mengeluh pendek, dan jatuh
pingsanlah dia. Namun, Suropati dapat bernapas le-
ga karena luka lelaki itu tidak lagi meneteskan da-
rah.
Setelah meyakinkan bahwa luka Kwe Kok
Jiang tidak mengandung racun, Suropati mengedar-
kan pandangan. Segera dia meloncat untuk memun-
gut potongan lengan Kwe Kok Jiang yang tergeletak
di atas tanah.
Sebentar saja Suropati mengamati potongan
lengan yang masih meneteskan darah itu. Diha-
launya rasa ngeri dan jijik di hatinya, lalu dia ham-
piri lagi tubuh Kwe Kok Jiang yang tergeletak di ta-
nah berumput.
"Bekas potongan lengan orang ini melintang
rata. Kakek Wajah Merah pasti dapat menyambung-
nya. Aku harus cepat membawanya ke Bukit Ra-
wangun...," kata Suropati kepada diri sendiri.
Tergesa-gesa Suropati menyobek kain lengan

bajunya untuk digunakan sebagai pembungkus po-
tongan lengan Kwe Kok Jiang. Potongan lengan itu
lalu dicengkeram erat di tangan kiri. Dia alirkan ha-
wa dingin dengan mempergunakan ilmu 'Pukulan
Salju Merah', agar potongan lengan Kwe Kok Jiang
tidak cepat membusuk.
Tubuh Kwe Kok Jiang lalu dipanggulnya.
Dan, berlarilah Suropati dengan mengerahkan selu-
ruh kemampuannya. Hingga, langkah kaki Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu mele-
bihi kecepatan lari kuda yang paling baik sekalipun!
Namun belum sampai setengah penanakan
nasi Suropati berlari, tubuh Kwe Kok Jiang yang di-
panggulnya menggeliat seraya mengeluarkan kelu-
han pendek.
"Uh! Di mana aku...?" keluh Kwe Kok Jiang.
"Tenanglah, Pak Tua. Aku akan membawamu
ke seorang tabib pandai. Mudah-mudahan lengan-
mu masih dapat disambung," ujar Pengemis Binal
seraya mempercepat kelebatan tubuhnya.
"Kau... kau Suropati?"
"Ya. Kau tak perlu khawatir. Aku sedang be-
rusaha menolongmu."
"Oh! Kau baik sekali, Suro. Tapi, turunkan
aku...."
"Kenapa? Kita harus cepat sampai ke Bukit
Rawangun. Kalau potongan lenganmu keburu bu-
suk, Kakek Wajah Merah tak akan dapat berbuat
apa-apa lagi."
"Aku tahu itu. Tapi, cepatlah turunkan
aku...."
Mendengar permintaan Kwe Kok Jiang yang
memelas, Suropati menghentikan kelebatan tubuh-

nya. Ketika itu kaki Suropati telah menginjak daerah
perbatasan wilayah Kademangan Maospati dengan
kota Kadipaten Bumiraksa.
Setelah membaringkan tubuh Kwe Kok Jiang
di tepi sungai yang kebetulan ditumbuhi rumput
tebal, Suropati bertanya dengan kening berkerut.
"Ada apa, Pak Tua?"
Bibir Kwe Kok Jiang tersenyum tipis. Ditatap-
nya sebentar wajah Suropati. Mengetahui luka di
lengan kirinya sudah tak meneteskan darah lagi, dia
tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Selain baik hati, kau juga pan-
dai, Suro.... Aku senang dan bangga sekali dapat
bersahabat dengan anak muda macam dirimu..."
Usai berkata, Kwe Kok Jiang beringsut du-
duk. Sementara, Pengemis Binal menatap wajah le-
laki berkuncir itu dengan kening berkerut.
"Kalau hanya hendak mengatakan itu, kenapa
kau minta diturunkan?"
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng lemah.
"Tahukah kau, Suro, bila tindakanmu ini
membahayakan jiwamu?"
"Maksud, Pak Tua?"
"Auwyang Nan Ie melarikan diri melihat keda-
tanganmu. Bukan berarti dia takut kepadamu, Suro.
Bisa saja saat ini dia mengikutimu, lalu mengirim
serangan gelap."
"Jadi, orang yang telah melukaimu itu adalah
Auw.... Auwyang Nan Ie?"
"Ya. Dan, pedang bengkok yang dibawanya
adalah Pedang Burung Hong. Selama tiga tahun dia
mengintai gerak-gerikku di tanah Jawa ini tanpa di-
ketahui. Dialah si pencuri dengar ketika aku berceri-

ta kepadamu perihal rahasia Arca Budha. Auwyang
Nan Ie berilmu tinggi. Sayang, dia punya sifat licik
dan keji. Oleh karena itu, tinggalkan aku di tempat
ini, Suro. Aku tak ingin kau ikut celaka...."
"Ah! Kau jangan memikirkan itu dulu, Pak
Tua. Saat ini kau butuh pertolongan. Aku harus
membawamu ke Bukit Rawangun!"
"Kau tidak takut bila sewaktu-waktu Auwyang
Nan Ie mencegat langkahmu?"
"Sudah kubilang, Pak Tua lak perlu memikir-
kan itu dulu. Yang harus dipikirkan adalah bagai-
mana caranya agar lengan Pak Tua yang terpotong
bisa disambung lagi "
Mata Kwe Kok Jiang menatap lekat bungku-
san panjang di genggaman tangan kiri Suropati.
Bungkusan itu terlapisi bunga-bunga es berwarna
merah. Kwe Kok Jiang baru sadar bila hawa dingin
yang dirasakannya berasal dari bungkusan di tan-
gan Suropati itu.
"Itu lenganku?" tanya Kwe Kok Jiang, menun-
juk bungkusan kain penuh tambalan yang menye-
barkan hawa dingin.
"Ya," jawab Pengemis Binal. "Agar potongan
lenganmu ini tak cepat membusuk, aku meng-
alirkan hawa dingin. Memangnya kenapa, Pak Tua?
Kau ragu bila potongan lenganmu bisa disambung
lagi?"
"Tidak! Tidak! Aku salah memperhitungkan
kepandaianmu. Kau memiliki tenaga dalam yang
hebat. Bagaimana kau bisa mengalirkan hawa di-
ngin, hingga timbul bunga-bunga es di potongan
lenganku itu?"
"Aku mempunyai ilmu 'Pukulan Salju Me-

rah','' beri tahu Pengemis Binal, tak sedikit pun
punya maksud untuk memamerkan kepandaiannya.
Kepala Kwe Kok Jiang mengangguk-angguk.
Walau rasa pedih di lengan kirinya amat menyiksa,
dia masih mampu menampakkan senyum manis,
bahkan tertawa-tawa pula.
"Ha ha ha...! Bertambahlah keyakinanku. Tak
menyesal aku telah menceritakan perihal rahasia
Arca Budha. Aku tahu kau bisa menahan nafsu bi-
rahimu, Suro. Sekarang, aku pun tahu bila kau le-
bih hebat dari yang kukira sebelumnya...."
"Kau jangan memuji berlebihan, Pak Tua. Bi-
sa pecah kepalaku nanti!" potong Pengemis Binal.
"Tidak! Tidak! Aku memuji karena kau me-
mang pantas untuk dipuji," ujar Kwe Kok Jiang
sungguh-sungguh. "Aku beritahukan sekali lagi ke-
padamu, Suro. Kalau Arca Budha jatuh ke tangan
orang jahat, dan orang itu dapat membuka raha-
sianya dengan membaca ukiran yang terdapat di ba-
dan Pedang Burung Hong, maka daratan Tionggoan
terancam kiamat! Kalaupun lengan kiriku dapat dis-
ambung, tentu tak akan dapat berfungsi lagi karena
urat sarafnya telah putus. Itu berarti, telah berku-
rang kemampuanku untuk melanjutkan usahaku
mencari Arca Budha...."
"Jangan khawatir, Pak Tua. Aku bersedia
membantumu," tawar Pengemis Binal, cepat.
Kembali Kwe Kok Jiang tersenyum. "Sung-
guhkah itu?"
"Kalau aku mampu."
"Ha ha ha...!" Kwe Kok Jiang tertawa bergelak.
"Mati sekarang pun aku rela asal Arca Budha tidak
jatuh ke tangan orang jahat macam Auwyang Nan Ie.

Seandainya usiaku tidak panjang, tetaplah kau cari
Arca Budha. Aku yakin arca itu berada di tanah Ja-
wa ini...."
"Kau jangan berkata yang bukan-bukan, Pak
Tua!" sela Pengemis Binal.
"Aku tidak main-main, Suro. Bila Arca Budha
telah kau dapatkan, dan aku sudah terbujur kaku
menjadi mayat, musnahkan arca itu!"
"Ah! Soal itu bisa dipikirkan nanti, Pak Tua.
Aku harus secepatnya membawamu ke Bukit Ra-
wangun. Kau lihat tubuhku yang sudah bermandi-
kan peluh. Aku tak mungkin terus-menerus menga-
lirkan hawa dingin ke potongan lenganmu ini...."
"Ya. Ya, aku tahu...."
Kalimat Kwe Kok Jiang terputus karena Suro-
pati keburu menyambar tubuhnya untuk kemudian
dipanggul lagi, dan dibawa berlari eepat.

* * *

Hangat sinar mentari pagi menerpa wajah ga-
dis berpakaian serba merah itu. Gelungan rambut-
nya tampak bergoyang-goyang karena angin ber-
hembus cukup kencang. Tenang sekali kakinya me-
langkah menghampiri seorang nelayan tua yang ten-
gah membenarkan ikatan perahunya.
"Di pagi yang cerah seperti ini adalah waktu
yang tepat untuk berpelesir," kata si gadis yang tia-
da lain dari Ingkanputri atau Dewi Baju Merah.
Terkejut si nelayan tua mendengar kata-kata
itu. Kontan dia menghentikan kesibukannya. Dipan-
dangnya wajah cantik Ingkanputri dengan kening
berkerut.

"Nona hendak pelesir ke mana? Kenapa hanya
seorang diri saja?" tanya nelayan  tua berpakaian
amat sederhana dan di beberapa tempat terdapat
tambalan.
"Aku memang seorang diri, Kek. Memangnya
kenapa?" Ingkanputri balik bertanya.
Nelayan tua menatap lekat wajah Ingkanputri.
Ada rasa khawatir terpancar dari sorot matanya.
Sementara, tak seberapa jauh dari lelaki tua itu ber-
diri, beberapa perahu tampak menepi.
Melihat tatapan khawatir nelayan tua, In-
gkanputri tersenyum tipis. Badan perahu lelaki tua
itu ditepuknya perlahan. Karena dialiri tenaga da-
lam, tepukan Ingkanputri sudah sanggup menggeser
badan perahu beberapa jengkal. Sengaja Ingkanputri
menunjukkan kepandaiannya agar nelayan tua tidak
menganggap dirinya sama dengan kaum wanita ke-
banyakan, yang umumnya lemah.
"Hah?! Tidak! Tidak apa-apa...," kejut nelayan
tua menyaksikan kekuatan Ingkanputri.
"Dengan mengikuti arus Sungai Balirang, aku
bisa sampai di kota Ngadiluwih lebih cepat," Ingkan-
putri memberi tahu tujuannya.
"Kota Ngadiluwih?" seru nelayan tua karena
terkejut.
"Ya. Sambil berpelesir, aku hendak ke kota
Ngadiluwih. Aku hendak menyewa perahumu, ke-
napa kau terkejut, Kek? Apakah kau tak tahu letak
kota itu?''
Sebelum menjawab pertanyaan Dewi Baju
Merah, nelayan tua menelan ludah karena tenggo-
rokannya terasa kering mendadak. "Nona, bisa dika-
takan aku adalah penduduk tertua di daerah ini.

Jangankan letak kota Ngadiluwih yang terkenal ra-
mai, daerah pedalaman yang amat terpencil pun aku
tahu. Hingga untuk mencari kota itu, bagiku sama
dengan membalikkan telapak tangan...."
"Nah! Kalau tahu, kenapa banyak bicara? Apa
kau takut aku akan membayar murah?" sela In-
gkanputri, sedikit mendongkol.
"Bukan! Bukan karena itu, Nona!" kepala ne-
layan tua menggeleng cepat. "Aku bukanlah manu-
sia yang mengagung-agungkan uang. Aku tahu Nona
bukan orang sembarangan. Tidak dibayar pun aku
bersedia mengantarkan ke mana Nona hendak ber-
pelesir. Hanya... hanya...."
"Hanya apa?" buru Ingkanputri mendengar
nelayan tua tergagap.
"Hanya... di tengah perjalanan yang kira-kira
berjarak setengah hari perjalanan perahu, di suatu
tanah lebih yang orang-orang memberi nama Pulau
Belut, sekitar enam bulan yang lalu telah dihuni se-
jenis siluman..."
"Siluman? Siluman apa?" tanya Ingkanputri,
agak terkejut.
Kepala nelayan tua menggeleng-geleng lagi.
Kerut-kerut di wajahnya makin terlihat jelas. De-
ngan paras memucat dia berkata. "Aku tak tahu si-
luman apa. Hanya, menurut beberapa penduduk
yang pernah menyaksikan, datang dan perginya si-
luman itu cepat sekali,  seperti angin. Dan siluman
itu suka mengganggu orang-orang yang kebetulan
lewat di sekitar Pulau Belut. Terutama mengganggu
kaummu, para perempuan. Maka Nona, bukan mak-
sudku untuk menakut-nakuti, aku hanya me-
nyayangkan bila terjadi apa-apa dengan diri Nona.

Lebih baik urungkanlah niatmu itu. Kalau kau me-
mang ingin pergi ke kota Ngadiluwih, lewatlah jalan
darat. Aku bisa menunjukkan kepadamu seekor ku-
da gagah dan kuat yang dapat kau beli."
Mendengar keterangan nelayan tua, hampir
saja Dewi Baju Merah tertawa. Karena tak ingin
membuat lelaki yang rambutnya telah memutih se-
mua itu tersinggung, cepat Dewi Baju Merah men-
gendalikan diri. Namun tiba-tiba, timbul keinginan
untuk berjumpa dengan 'Siluman' yang dikatakan
nelayan tua itu.
"Kakek yang baik," kata Ingkanputri kemu-
dian, "Maafkan kalau aku telah menyinggung pera-
saanmu. Biasanya, berapa kau terima upah dari