Pendekar Romantis 3 - Pedang Siluman(4)



TUJUH 
MATAHARI menjelang sore bagaikan melorot dari langit. 
Tapi cahayanya masih benderang. Tanah Kapur Gaib 
terbentang bebas tanpa tanaman, tapi dikurung memakai 
anyaman bambu setinggi satu perut. Tanah itu letaknya tak 
seberapa jauh dari bekas bangunan perguruannya Nyai 
Sirih Dewi. Tapi pada masa lalu, baik Nyai Sirih Dewi 
maupun murid-muridnya tak ada yang tahu manfaat 
dataran bertanah putih itu. Hanya Ratu Peri Sore yang tahu 
manfaat tanah seluas satu kali lapangan bola basket itu. 
Tanah itu dijaga oleh wajah-wajah cantik bertaring 
pendek. Mereka adalah para peri anak buah sang Ratu 
yang bisa keluar masuk di alam gaib. Rupanya ratu mereka 
belum hadir di sana. Pandu Puber sendiri tidak mau 
tampakkan diri melihat gelagat seperti itu. Ia bersembunyi 
di atas sebuah pohon berdaun rindang, tak seberapa jauh 
dari tempat bertanah putih itu. 


“Kurasa untuk sementara aku bersembunyi di sini dulu. 
Aman-aman saja kok. Nanti kalau Ratu Peri Sore itu 
muncul, baru aku keluar dari sini. Ngapain menghadapi 
anak buahnya yang cuma bikin capek saja itu? Buang-
buang tenaga. Giliran ratu mereka datang, aku sudah loyo.” 
Tiba-tiba saja suara yang menegur Pandu Puber dari 
dahan di atasnya lagi. 
“Nungguin siapa, Kang?” 
“Hahh…?!” Pandu Puber terperanjat saat mendongak ke 
atas. Ada cewek cantik. Bukan main harumnya bau parfum 
yang dikenakan. Pandu mendongak pas gadis itu ada di 
atasnya. Mau tak mau mata Pandu Puber menerobos 
melalui celah gaun panjang berpotongan jubah. Padahal di 
balik gaun potongan jubah itu tak ada kain atau benang 
apapun. Yah, untung nggak untung mata Pandu Puber 
berhasil menangkap sesuatu yang menyolok mata. 
Ranting! 
Untuk menghindari sebatang ranting yang hampir 
menyolok matanya itu, Pandu Puber naik satu dahan lagi. 
Oh, sekarang tampak jelas sekali gadis itu punya 
kecantikan yang memukau hati dan jiwa. Bukan hanya 
kecantikannya yang membuat hati lelaki lupa caranya  
berkedip lagi, tapi karena bentuk badannya yang elok, 
jubah birunya yang tipis transparan menampakkan tonjolan 
sekal di bagian dadanya. Wow…! Luar biasa hebringnya. 
Tipisnya pakaian membuat seluruh ‘perabotnya’ tampak 
nyata dalam keadaan sedekat itu. 
“Serba salah deh kalau gini….” Ucap Pandu Puber dalam 
hatinya. 
“Puas-puasin deh lihatnya, hi, hi, hi, hi…!” gadis itu ter-
tawa lirih. 
Pendekar Romantis jadi malu sendiri. Berlagak 
memandang ke arah lain, Pandu Puber berkata, “Tak ada 
alam yang lebih indah lagi kecuali alam di sekitar sini, ya?” 
“He, eh…!” jawab gadis cantik itu. Rupanya gadis itu 
sengaja duduk di dahan depan Pandu, hingga jaraknya 
amat dekat dan berhadapan. Tapi kalau Pandu tidak 
berdiri, jarak mereka berjauhan. Karena Pandu berdiri dan 
gadis itu duduk, maka wajah dan tinggi tubuh mereka 
seakan sejajar. 
Jantung Pandu Puber berdetak-detak manakala ia 
begitu lama pandangi bibir sang gadis dan turun sampai ke 
dada yang wow itu. Untuk menghilangkan kekikukkan, 
Pandu Puber ajukan pertanyaan pada sang gadis. 
“Ngapain kau ada di sini?” 
“Nongkrong aja, Kang.” 
“Kamu anak buahnya Ratu Peri Sore, ya?” 
Gadis itu gelengkan kepala. “Nggak kok!” 
“Jadi, kamu siapa?” 
“Maunya situ siapa?” ia ganti bertanya dalam nada 
menggoda. 
Pendekar Romantis sempat salah tingkah sendiri. “Kau 
pandai membuatku deg-degan. Ah….!” 
“Kenapa mendesah? Nggak suka ya kalau kita ketemu 
di sini?” 
“Justru aku menyesal mengapa baru sekarang kita 
bertemu di sini?” 
“O, ya…!” matanya melirik ganjen, menggoda nakal, 
memberi isyarat untuk lebih cuek lagi. Pandu Puber kian 
menelan ludah. 
“Namaku Pandu Puber. Namamu siapa?” 
“Hmmm… siapa ya?” gadis itu menggoda lagi dalam 
senyum dan sikapnya. Saat si gadis memandang ke atas 
bagai ingin mengarang sebuah nama, mata Pendekar 
Romantis terarah pada dada si gadis. Glek…! Ludah 
tertelan lagi. 
“Bagaimana kalau kau kuberi nama sendiri?” tanya 
Pandu Puber. 
“Boleh. Kau mau kasih aku nama apaan?” 
“Bagai mana kalau namamu kuambil dari ratu 
kecantikan sejagat : Ganjeniwati!” 
“Walaaah… apa nggak ada nama lain toh, Kang, Kang…! 
Nama kok Ganjeniwati? Nggak sekalian Jalangiwati saja?” 
Pandu Puber tersenyum menahan geli. Gadis ini 
beranikan diri cubit pipi Pandu sambil berkata, “Mbok 
jangan jahat-jahat, Kang! Kasih nama kok gitu.” 
Taab…! Tangan itupun ditangkap oleh Pandu biar agak 
lama menempel di pipinya. Si gadis tak ada gerakan 
menarik kembali tangannya dari wajah Pendekar Romantis 
itu, malah jarinya bermain pelan di pipi Pandu, mengusap-
usap sambil beradu pandang dengan mata Pendekar 
Romantis. 
“Bagaimana kalau namamu Arliana Dewi?” 
“Nah, itu baru nama yang bagus. Boleh saja kau panggil 
aku Arliana Dewi.” 
“Nama itu adalah nama yang selalu hadir dalam 
impianku. Tapi aku tak tahu, siapa pemilik nama itu,” rayu 
Pendekar Romantis sambil usap-usap tangan si gadis. 
Sedangkan jari jemari si gadispun mulai raba bibir Pandu 
pelan-pelan. 
“Apakah kau juga bayangkan wajah dan bodiku dalam 
mimpimu?” 
“O, ya! Itu jelas. Tapi….. kenapa kita ketemu di pohon, 
ya? Kayak monyet bercinta saja. He he he he…!” 
“Mungkin inilah yang dinamakan orang cinta monyet, 
Pandu” ucap gadis itu pelan sekali, setengah mendesah.  
Ooh…!” ia memekik lirih ketika Pandu sengaja gigit 
jarinya si gadis yang memainkan bibirnya itu. 
“Nakal kamu, ah…!” kata si gadis. “Kalau berani jangan 
gigit jariku dong! Gigit yang lain saja.” 
“Yang mana?” sambil mata Pandu Puber mengarah ke 
dada. 
“Yang mana saja terserah asal membawaku ke alam 
mimpi….” 
Pandu Puber mendekar, memagut dalam gigitan kecil. 
Sang gadis berkata dalam desah lirih sekali, “Nah….itukan 
ada!” 
Dalam batin Pendekar Romantis sempat bertanya, 
“Kurasa gadis ini diam-diam menyimpan dendam juga 
kepada Ratu Peri Sore, tapi dia tak mau jujur padaku. 
Kurasa dia juga sama denganku, tak mau muncul hadapi 
anak buah si Ratu Peri Sore sebelum Ratu itu sendiri 
muncul. Lagaknya sih seperti gadis biasa tanpa ilmu, tapi 
aku yakin dia punya ilmu tinggi. Kalau tidak berilmu tinggi, 
tak mungkin gadis berkulit selembut ini bisa naik di atas 
pohon tinggi begini. Apa dia dibawa burung? Makin nggak 
mungkin lagi, kan?” 
Gadis itu kegirangan. Rupanya ia juga menyukai 
kemesraan itu. 
“Kamu nakal, Pandu. Kamu nakal, aah…! Nakal sekali 
kamu…!” ucapnya lirih tapi kepala dan rambut Pandu 
diremas dan diacak-acak semuanya sendiri. Kalau bukan 
gadis cantik yang mengacak-acak kepala begitu, sudah 
pasti akan ditampar delapan kali putaran oleh Pendekar 
Romantis. Namun justru gadis itu cantik dan menantang 
selera, maka Pandu semakin memberikan sentuhan mesra 
kepada sang gadis. Pohon pun jagi gemetar karena ulah 
mereka yang mendebarkan hati itu. 
“Pandu….!” Bisiknya. “Pandu…?!” 
“Hmm…?!” 
“Ambillah ini,” katanya lalu menyodorkan bibirnya. 
Waaah… ya habis deh kalau dia berani begitu sama 
Pandu. Benar-benar dihabisi bibir itu oleh Pendekar 
Romantis, sampai-sampai si gadis  hampir jatuh ter-
jengkang dari duduknya. Untung segera dipeluk tangan 
kekar Pandu. 
Duaaar….! 
Tiba-tiba keduanya hampir saja terpelanting jatuh dari 
pohon karena mendengar ledakan yang menggetarkan 
pepohonan. Mereka sama-sama membelalak. Mata 
mereka tertuju ke tanah Kapur Gaib. Oh, ternyata di sana 
terjadi pertarungan antara Dardanila dengan para penjaga 
tanah tersebut. Dardanila mengamuk di keroyok tiga-empat 
penyerang sekaligus. Dalam waktu beberapa saat saja 
anak buah Ratu Peri Sore banyak yang tumbang dan 
berasap karena terkena pukulan-pukulan maut Dardanila. 
“Mana Ratu kalian! Suruh dia menghadapku sekarang 
juga! Jangan kalian yang maju menyerangku, sia-sia saja!” 
bentak Dardanila. Tapi para penjaga di situ masih getol 
menyerang Dardanila, bahkan ada yang menyeringai 
dengan menampakkan taringnya yang siap merobek leher 
Dardanila. 
Pandu Puber menggumam, “Perempuan edan!” 
“Siapa sih dia, Kang? Kau kenal denganya, ya?” tanya 
gadis yang terpaksa hentikan percumbuannya itu, tapi 
kedua tangannya masih merangkul Pandu dari belakang. 
Dengan diletakkan di puncak Pandu, bahkan sesekali 
mengecup leher atau pipi Pandu Puber. 
“Dia penguasa Benteng Geladak Hitam, dekat pantai 
sana! Namanya Dardanila. Apakah kau tidak mengenalnya, 
Arliana?” 
“Nggak tuh,” jawabnya polos. “Pacarmu ya, Kang?” 
“Husy, enak saja! Aku belum punya pacar. Tak pernah 
bisa jatuh cinta dan semesra ini. begitu ketemu denganmu 
di sini, aneh sekali, hatiku bergetar dan pintu hatiku 
seakan mulai terbuka sedikit demi sedikit. Bias cahaya 
teduh mulai merambah masuk lewat celah pintu hatiku, 
Arliana!” 
“Tutur katamu romantis sekali, Pandu. Aku yakin kau 
pasti lebih romantis lagi di peraduan. Betul, kan?” 
“Yang jelas asal bersamamu akan lebih gila lagi!” 
Mereka tertawa lirih dalam desah. Pandu Puber sedikit 
palingkan wajah dan gadis itu mencaplok bibir Pandu 
dengan bersemangat. Clup…! Dikunyahnya bibir itu bak 
permen karet. Pandu merasakan debaran yang lebih indah 
lagi dari sebelumnya. Tapi sayang si gadis tak mau 
berlama-lama, sebab kali ini pertarungan di bawah sana 
timbulkan ledakan lagi yang mengguncangkan pepohonan, 
merontokkan dedaunan. 
Blegaaar…! 
“Yang kucari adalah Ratu kalian! Mana diaaa…!” 
Dardanila tampak marah sekali walau para pengawal 
makin bermunculan dari tempat yang tak diketahui 
pusatnya. Yang lenyappun banyak, tapi yang muncul juga 
banyak. Dardanila sedikit kewalahan menghadapi 
keroyokan mereka. 
“Ratu Peri Sore…! Hadapi aku, akan kulumat habis 
sekujur tubuhmu! Ini aku, Dardanila! Racun ‘Tua Bangka’-
mu bisa kusingkirkan. Sekarang nyawamu akan kusingkir-
kan pula, Ratu Peri Sore! Keluar kau…! Aku tahu kau ada di 
sekitar sini di lapisan alam gaibmu! Keluar kau, Bangkai…!” 
Gadis yang habis melumat Pendekar Romantis itu 
berkata, “Kang, kau tunggu dulu sebentar, ya! Jangan ke 
mana-mana. Di sini saja!” 
“Kau mau ka mana?” 
“Menghadapi perempuan lacur itu!” 
Weesss…! Tiba-tiba perempuan yang agresif sekali itu 
melesat dari tempatnya. Tubuhnya melayang bagaikan 
seekor burung cendrawasih menerabas semak dedaunan 
pohon itu. Dalam waktu singkat ia sudah ada di tengah 
tanah putih itu dengan sikpa menantang Dardanila. Pandu 
Puber terbengong bagaikan patung yang teperangah 
melihat hantu lewat pakai bikini. 
“Aku datang, Dardanila! Tantanganmu kian memanas-
kan kupingku!” seru gadis itu yang membuat Pandu Puber 
menggumam gemetar. 
“Jadi…gadis itu adalah….adalah Ratu Peri Sore? Oh, dia 
sendiri yang ternyata orang yang kucari. Tapi….tapi kenapa 
malah kuberi kesan mesra? Waaah…kacau nih kalau gini! 
Kacau sekali deh! Aku harus bersikap bagaimana?” 
Yang bisa dilakukan oleh Pendekar Romantis hanya 
garuk-garuk kepala menyadari kebodohannya. Ia terlalu 
mengutamakan sentuhan keromantisan dari pada meng-
utamakan sikap waspada dan curiganya. 
“Heaaat…!” Dardanila menyerang dengan jurus putaran 
tangannya yang membuat tubuh melompat dan berputar 
sambil lakukan tendangan ke arah wajah Ratu Peri Sore. 
Wuusss…! Tendangan itu tidak mengenai sasaran, tapi 
rupanya telapak kaki Dardanila keluarkan gelombang 
panas dari tenaga dalamnya. Gelombang panas itu 
menerjang Ratu Peri Sore. Tapi dengan cepat mulut sang 
Ratu meniupkan hawa dingin pembeku darah. 
Fuiiih…! Blaaarrr…! 
Hawa panas dan dingin bertemu, terjadilah gelombang 
ledak yang tinggi. Kedua perempuan itu sama-sama 
terpental mundur, tapi Dardanila lebih parah, ia terbanting-
banting di tanah dalam terpentalnya, sedangkan Ratu Peri 
Sore hanya melayang mundur sekitar dua tombak dan 
tubuhnya melengkung ke belakang. Ketika ia menapakkan 
kakinya ke tanah, ia masih mampu berdiri dengan tegak. 
Dardanila bangkit dan mendapatkan  wajahnya babak 
belur, memar membiru dan sakit di pinggangnya. 
Sreek…! Sepotong ranting kering sedikit bengkok 
disambar oleh Dardanila. Ranting itu panjangnya satu 
hasta, kebetulan mempunyai ujung yang runcing akibat 
patah. 
“Kutusuk ubun-ubunnya pakai ranting kayu ini!” geram 
Dardanila membatin. Tapi untuk sementara ia lepaskan 
dulu pukulan bercahaya merah terputus-putus masing-
masing selebar mata pisau. Cap, cap, cap, cap, cap…! Ratu 
Peri Sore hanya menggerakkan tangannya dengan gemulai 
dari bawah ke atas, bagai orang meyilakan tamu untuk 
masuk ke rumahnya. Tapi gerakan tangan seperti itu 
menghasilkan lempengan sinar biru setinggi tubuhnya dan 
menghalang bagaikan dinding bercahaya. 
Blaar…! Jlegaaar…! 
Pendekar Romantis hampir jatuh lagi karena guncangan 
kuat yang ditimbulkan oleh ledakan maha dahsyat itu. Dua-
tiga pohon tumbang pula di kejauhan sana. Pohon yang 
digunakan sembunyi oleh Pandu Puber itupun hampir saja 
ikut tumbang. Sang pendekar terpaksa bergelayutan 
karena kakinya sudah tak menyentuh dahan. Tapi ia 
segera betulkan kembali letak posisi kakinya. 
“Bagaimana, ya? Kalau kuserang, dia terlanjur 
membuatku bergairah. Kalau tidak kuserang, dia telanjur 
membuat kakekku tak bisa menjelma sebagai sosok yang 
bisa dipegang? Wah, aku jadi merasa serba salah kalau 
begini!” 
Tak heran jika Pendekar Romantis jadi serba salah 
sebab secara jujur hatinya mengakui, permainan lidah dan 
bibir Ratu Peri Sore lebih menarik ketimbang Dardanila. 
Kecupan Ratu Peri Sore dapat mempercepat Pendekar 
Romantis terbakarnya hasrat bercinta ketimbang kecupan 
Dardanila. 
“Tidak! Aku tidak boleh tergiur oleh keadaan seperti itu! 
Ratu Peri Sore bukan manusia. Mahluk baik-baikpun 
bukan! Aku tak boleh hanyut oleh kemesraannya. Dia harus 
kumusnahkan! Amanat kakek harus kuutamakan!” 
Kutilang Manja dan Peluh Selayang datang bersama 
Loan Besi. Mereka segera disergap oleh anak buah Ratu 
Peri Sore. Tapi mereka bertiga sama-sama angkat tangan 
sedada, artinya mereka tak akan menyerang. Peluh 
Selayang berkata kepada enam anak buah Ratu Peri Sore 
yang mengurung mereka, 
“Kami hanya ingin melihat saja! Tenang. Tenang saja!” 
Pada saat itu, tampak Dardanila sedang melompat 
dalam gerakan salto. Lompatannya cukup tinggi melintasi 
atas kepala Ratu Peri Sore. Serta merta begitu sampai di 
atas kepala lawan ia menukik dan menusukkan ranting 
berujung lancip itu. wuuuttt…! Ubun-ubun sang Ratu Peri 
Sore yang dijadikan sasaran utama. Tetapi telapak tangan 
sang Ratu Peri Sore segera menghadang dan hunjaman 
ranting itu kenai telapak tangannya. 
Trakk…! Ranting ditangkap, disentakkan dan patah. 
Sementara telapak tangan itu bagaikan membesi, tak 
mampu ditembus oleh keruncingan kayu kering tersebut. 
Padahal Dardanila sudah kerahkan tenaga dalam dan 
disalurkan melalui ranting tersebut. Keruncingan serta 
kekuatan ranting menyerupai ujung tombak. Namun 
nyatanya masih bisa dipatahkan oleh tangan Ratu Peri 
Sore. 
Dardanila mendarat di belakang Ratu Peri Sore. Sang 
Ratu segera sentakkan jari telunjuknya sambil berkelebat 
berbalik arah. Claapp…! Sinar merah panjang memancar 
cepat langsung kenai rusuk kanan Dardanila. Deess…! 
“Aahg…!” Dardanila terpental sambil terpekik. Lalu ia 
jatuh terpuruk tak berdaya. Napasnya terengah-engah tapi 
sekujur tubuhnya bagaikan tak bertulang sama sekali. 
Jatuhnya pun tidak terkapar, tidak tengkurap, seperti orang 
duduk yang terkulai lemas. 
“Jurus ‘Penumbuk Tulang’ tak ada yang bisa 
menandinginya, Dardanila!” kata Ratu Peri Sore 
membiarkan angin bertiup menyingkap jubahnya sehingga 
kondisi tubuhnya bagaikan sengaja dibiarkan terbuka 
dihembus angin. Lalu setelah melangkah dua tindak 
mendekati Dardanila, sang Ratu Peri Sore serukan 
suaranya lagi. 
“Kau boleh bangga bisa lolos dari racun ‘Tua Bangka’-ku 
itu Dardanila! Tapi kali ini tak akan bisa lolos dari sinar 
‘Rajang Raga’-ku ini! Hiaaat…!” 
Dardanila ingin dirajang dengan sinar yang akan melesat 
dari sepuluh jari tangan Ratu Peri Sore. Tetapi sebelum 
sinar itu tampak melesat, dari atas pohon melesat sinar 
putih perak yang mengarah ke tangan sang Ratu Peri Sore. 
Zlaaapp…! 
Kecepatan gerakan sinar putih perak dari jurus ‘Inti 
Dewa’-nya Pendekar Romantis hampir saja memotong 
kedua tangan Ratu Peri Sore. Untung gerak refleks sang 
Ratu Peri Sore cukup tajam, ia tarik diri ke belakang dalam 
satu lompatan mundur dengan cepat. Wuutt…! Akibatnya 
sinar putih perak itu menghantam tanah putih di sisi lain. 
Jlegaarr…! Bumi bergetar dan tanah tersebut menyembur 
ke udara dengan ganasnya. Tempat mendaratnya sinar 
putih perak itu menjadi lubang besar tak beraturan yang 
muat untuk mengubur dua puluh jenazah sekaligus. 
“Gila…?!” gumam Ratu Peri Sore melihat kehebatan 
sinar putih perak itu. Ia segera memandang ke arah atas 
pohon tempat datangnya sinar tadi. Tapi saat itu ia justru 
melihat sesosok tubuh ungu melesat dari pohon dan 
bersalto beberapa kali sampai akhirnya mendarat di tanah 
Kapur Gaib. Caranya mendaratkan kedua kaki tak 
terdengar dan tak bergetar, sehingga sang Ratu Peri Sore 
segera menyimpulkan orang yang baru datang itu adalah 
orang berilmu tinggi. 
Hanya saja sang Ratu Peri Sore agak menyesal karena 
yang hadir di hadapannya ternyata adalah Pendekar 
Romantis, Pandu Puber yang melenakan gairahnya tadi. 
Ratu Peri Sore agak grogi dan sempat bingung menentukan 
sikap. 
“Apa maksudmu menghalangi serangan pamungkasku 
tadi, Pandu? Membela Dardanila atau menyuruhku ber-
sabar dan meninggalkannya? Aku lebih setuju jika kau 
menghendaki aku pergi dari sini bersamamu, karena kita 
masih punya kencan yang tertangguhkan tadi. Kita lunasi 
bersama-sama, Pandu. Oke?” 
“Oke, oke….oke, oke…!” gerutu Pandu Puber dengan 
bersungut-sungut. Tapi tetap kelihatan ganteng walau 
mulutnya meruncing menggemaskan. 
“Aku tidak tahu kalau kau adalah Ratu Peri Sore. Kalau 
kutahu kau adalah perempuan yang kucari-cari, maka tak 
akan kuberikan segenggam kemesraanku yang lebih layak 
diberikan kepada perempuan lain!” 
Ratu Peri Sore panas hati, tapi ditahannya pakai payung 
kesabaran biar tak terlalu panas. Ia sengaja sunggingkan 
senyum ramah dan kerlingan mata menggoda. Iapun 
bekata dengan suara lembut. 
“Aku tahu hasratmu sudah menggebu-gebu ingin me-
nikmati kehangatanku, Pandu Puber! Ayolah, kita pergi saja 
dari sini!” 
“Aku tidak merasa bercumbu denganmu!” tegas Pandu 
Puber. 
“Tak mungkin. Kau pasti mengharapkannya,” seraya 
Ratu Peri Sore mendekati Pandu Puber. Yang didekati diam 
saja. 
Dardanila yang terkulai lemas tapi masih sadar itu 
berusaha berseru, 
“Menjauh! Jauhi dia! Jauhi….! Pandu, jauhi dia!” 
Pendekar Romantis mundur tiga tindak. Ratu Peri Sore 
sedikit tampak kecewa. “Pandu, jangan turuti bujukan 
perempuan jalang itu! Dia tak bisa memberikan keindahan 
yang mampu kuberikan padamu. Datang dan peluklah aku, 
Pandu!” 
“Tidak mau!” tegas Pandu. Ia melangkah berkeliling 
seakan siap menyerang perempuan itu. Tapi hatinya masih 
diliputi oleh kebimbangan, karena sebenarnya ia tak ingin 
berlaku kasar dan brutal, lebih-lebih terhadap seorang 
wanita. 
Pada saat itu, terdengar suara merdu Ratu Peri Sore 
melantunkan tembang yang berirama mesra. 
“Kudekap hatimu, dan kau dekap hatiku 
Kita menyatu di dalam kalbu 
Kita bercumbu penuh alunan cinta suci 
Ingin kunikmati hangat tubuhmu, kuresapkan di hati…. 
Suara bening, lembut, enak didengar, syair yang 
menggelitik jiwa, membuat Pandu Puber mulai tambah 
gelisah. Pandangannya tak mau lepas dari raut wajah Ratu 
Peri Sore, kadang menyusuri sampai ke betis. Sementara 
itu, Dardanila menjadi cemas sekali dan berseru, 
“Tutup telingamu, Pandu! Dia melepaskan jurus ‘Syair 
Cumbu Sukma’…. Lekas tutup telingamu dan tinggalkan 
tempat ini. Panduuu…!” Dardanila masih punya kekuatan 
untuk berteriak walau tak seberapa keras. 
Ratu Peri Sore makin meninggikan suaranya, me-
lengking tapi masih tetap enak didengar. Merdu dan 
lembut, seakan membelai kekerasan hati, meneduhkan 
kepanasan jiwa yang menyimpan dendam dan amarah. 
Bahkan labih parah lagi, syair dan suara tembang itu 
mengoda gairah bercinta dalam seribu bayangan cumbu. 
“Kala kau kecup bibirku, kuserapkan di kalbu 
Ada bagian tubuhku yang bergetar 
Kau jamah dan kau belai, kian melenakan sukma 
Aku pun memelukmu kian menyatu 
Kau desahkan napasmu, kau remaskan jemarimu 
Kala kukecup liku tubuhmu 
Dan kubenamkan dirimu ke dalam bentangan kasihku 
Kau sentakkan nada-nada berbau cinta 
Kau lepaskan gairahmu yang telah di ujung khayal 
Dan kau menjerit lirih sambil meremas punggungku, kasih…” 
Jantung Pendekar Romantis semakin bergemuruh lagi. 
Keringat dinginnya mulai keluar karena menahan gejolak 
hasrat yang menuntut jiwa. Batinnya menggapai ingin 
meraih harapan yang tak terpenuhi. Pandu Puber rasakan 
ada sesuatu yang berontak dalam dirinya dan membawa 
langkah kaki mendekati Ratu Peri Sore. Perempuan itu 
makin merentangkan kedua tangannya dan meliuk-liukkan 
pinggang, seakan menunggu kedatangan tubuh Pandu 
Puber. Wajah sang Ratu Peri Sore pun tampak penuh 
gelora cinta. Lidahnya menjilati bibir sendiri dengan 
sesekali melontarkan keluh lirih. Matanya mulai sayu bagai 
tak sabar menunggu jamahan bibir Pandu Puber. 
“Celaka! Kekuatan gaib ‘Syair Cumbu Sukma’ telah 
merasuk dalam jiwa Pandu!” bisik Kutilang Manja kepada 
Peluh Selayang. 
“Pandu tak bisa menghindari kekuatan gaib syair itu. 
Lepaskan jurusmu ke atas, biar kutembak dengan jurusku 
dan timbulkan ledakan yang menghentak kesadaran 
Pandu. 
“Lekas…! Lekas, Pandu sudah mulai ingin memeluknya!” 
Kutilang Manja melepaskan sinar kuning melesat di 
langit. Peluh Selayang segera menghantam sinar kuning-
nya Kutilang Manja dengan cahaya merah membara dari 
telapak tangannya. Maka meledaklah benturan itu dengan 
keras. 
Blegaaarrr…! 
Ledakan dahsyat itu mengguncangkan alam sekeliling. 
Kesadaran Pandu diperolehnya kembali akibat kejutan 
keras atas suara ledakan tadi. Kekuatan gaib yang telah 
merasuk dalam jiwa dan alam pikirannya terlepas lagi. Dan 
hal itu membuat Pandu Puber buru-buru tarik diri ke 
belakang. 
“Monyet! Minta dibelah dua perempuan itu!” geram prs 
sambil memandang Kutilang Manja dan Peluh Selayang. Ia 
baru ingin lepaskan pukulan berbahayanya untuk Kutilang 
Manja dan Peluh Selayang. tetapi tiba-tiba Pandu Puber 
berseru memanggil. 
“Arlina…!” 
Dengan spontan Ratu Peri Sore bepaling ke arah Pandu, 
langsung ingatannya tertuju kepada cumbuan mesra di 
atas pohon. Ratu Peri Sore pandangi Pandu dan tak jadi 
lepaskan pukulan ke arah dua murid mendiang Nyai Sirih 
Dewi. 
“Kau pikir hanya kau sendiri yang punya ajian tembang 
seperti itu? Coba kau terima ilmu ‘Tembang Keramat’ 
warisan ibuku ini…!” 
Pandu Puber segera lantunkan suaranya yang juga 
merdu dan empuk, enak di dengar. Syairnya terdengar 
jelas tiap suku kata. 
“Seberkas cahaya sore ditelan duka 
Duka gadis tanpa orang tua 
Meratap ia menyusuri jalanan sepi 
Menangkis diremang menjelang petang 
Kisah seorang minta-minta 
Yang dulu pernah menjadi perwira 
Dipecat gara-gara salah tikam 
Anak juragan disangka pernyamun….” 
Kekuatan ilmu ‘Tembang Keramat’ ternyata dalam 
getaran suara Pandu Puber. Syairnya asal-asalan, tapi daya 
getarnya membuat Ratu Peri Sore menjadi terbakar gairah 
bercumbu. Meluap-luap dicekam hasrat. Repotnya ke-
kuatan ilmu itu melanda pula pada yang lain. Kutilang 
Manja sendiri sejak tadi serba salah. Peluh Selayang pun 
gelisah. Para peri anak buah sang Ratu Peri Sore saling 
peluk tak peduli sama-sama wanita. Sementara itu, Ki Loan 
Besi menyingkir mencari tempat sepi, dan entah apa yang 
dilakukannya di balik semak-semak setinggi tubuhnya itu, 
Dardanila menangis tertelungkup karena tak bisa meng-
gerakkan tubuhnya sementara hasrat bercumbunya 
meledak-ledak di dada. Untung saja Pandu Puber tidak 
melihat tangis perempuan yang dipunggungi itu. 
“Di matamu, kulihat perahu 
Makin lama semakin melaju 
Apakah itu warna pakaianmu 
Dulu aku pernah malu….” 
Pandu Puber tetap lantunkan suaranya yang bergetar 
aneh. Hal itu membuat tps mengerang sambil berputar-
putar, jubah tipisnya semakin tak karuan. Menyingkap ke 
sana-sini dan melambai-lambai. Pandu Puber sendiri 
sesekali ingin tertawa melihat tanah Kapur Gaib menjadi 
ajang adu kemesraan bagi mereka. 
“Hentikan…..! Hentikan….!” Teriak Ratu Peri Sore ketika 
ia paksakan dirinya untuk keluar dari pengaruh asmara itu. 
seruan keras yang menggema memudarkan bayangan 
mesra mereka, sehingga mereka jadi sadar dan malu 
sendiri-sendiri. Ratu Peri Sore segera membentak Pandu 
Puber karena merasa dirinya telah dipermainkan. Ia marah 
sekali kepada pemuda tampan itu. 
“Sekarang apa maumu sebenarnya, hah?! Kau permain-
kan perasaanku sebegini rendahnya! Aku tak bisa 
beramah-ramah lagi padamu, Pandu Puber! Terimalah ini 
jurus ‘Keringat Matahari’-ku untukmu! Hiaaat…!” 
Claaapp…! 
Pandu Puber tiba-tiba diserang sinar bintik-bintik kuning 
emas. Sebenarnya bukan sinar, tapi butiran lembut yang 
berkerilap sehingga mirip sinar bintik-bintik kuning emas. 
Pandu Puber segera sentakkan kakinya dan tubuhnya pun 
melesat ke aatas dan bersalto dua kali ke arah depan. Kini 
ia justru berada di atas kepala Ratu Peri Sore. 
“Hiaaat…!” Pandu menukik dan dari ujung jarinya 
melesat sinar merah hasil dari jurus ‘Sepasang Sayap 
Cinta’. Zlaaap…! 
Dengan sentakan spontan tangan Ratu Peri Sore 
melepaskan sinar hijau dari telapak tangan yang 
ditengadahkan ke kepala. Blaarrr…! Sinar itu meledak dan 
membuat tubuh Pandu Puber terpental tinggi melayang-
layang bagai tak sadarkan diri. Sedangkan Ratu Peri Sore 
sendiri terjungkal oleh hentakan gelombang ledak tersebut. 
Brrus…! Ia tersungkur dan jubahnya menyingkap sampai di 
kepala. Yang senang Loan Besi, matanya langsung terbuka, 
byaak…! 
Tapi begitu melihat Pandu Puber jatuh seperti nangka 
busuk, Ki Loan Besi buru-buru pejamkan mata. Buuhg…! 
“Pecah deh kepalanya! Remuk tulang-tulangnya. Ooh… 
nasib, nasib…. mau punya murid yang bisa membawa ke 
kayangan saja belum-belum si murid sudah remuk duluan,” 
kata Ki Loan Besi dengan mata tetap terpejam. Tapi ketika 
dibuka kembali, ternyata Pandu Puber masih mampu 
berdiri walau dengan wajah menyeringai menahan sakit. 
“Habisi dia, Pandu! Habisi…..!” 
Dardanila gemas dan memberi semangat pada Pandu 
Puber agar tidak loyo. Sementara itu, Kutilang Manja dan 
Peluh Selayang juga turut berseru, 
“Cepat serang, Pandu! Jangan tunggu dia bangkit! 
Serang terus!” 
“Pakai tenaga jarak jauh saja! Lepaskan sinar perakmu 
tadi!” 
Ki Loan Besi ikut berseru pula, “Hancurkan dia dengan 
jurus andalanmu, Nak! Eyang guru ada di sini nih…! Jangan 
malu-maluin dong! Mana jurus andalanmu! Ayo, lepaskan! 
Maju terus. Satu langkah lagi! Ya, terus….. satu, dua, 
satu….!” 
“Hei, Paman ini nyuruh orang menyerang apa kasih aba-
aba orang baris?” hardik Peluh Selayang. 
“Hajar dong, Pandu. Hajar…!” seru salah satu anak buah 
Ratu Peri Sore. Orang itu malahan ditampol mulutnya oleh 
temannya sendiri, sama-sama bertaring juga. 
“Kenapa kau malah memberi spirit lawan! Ketua kita 
dong yang diberi semangat, goblok!” 
“O, iya…! Maaf, maaf…  aku latah sih!” 
Pandu Puber segera tarik napas dan kuatkan ototnya. 
Ratu Peri Sore melesat dengan gerakan berputar tegak 
lurus sangat cepat. Pandu Puber lompat ke belakang 
dengan bersalto satu kali. Lalu ketika kedua kakinya 
mendarat ke bumi, tangan kanannya menepak paha. 
Plaakk…! Claab…! Pedang Siluman ditarik dari kaki 
kanannya. Slaabb…! Dan sinar ungunya membuat semua 
mata terbelalak lebar, terbengong-bengong. 
“Hiaaat…!” Pandu Puber segera melompat menyambut 
kehadiran lawannya. Pedang bersinar ungu itu dikibaskan 
tiga kali dengan gerakan cepat. Pandu sendiri merasa tak 
pernah pelajari jurus pedang seperti itu, sehingga ia 
sempat menyimpan keheranan. Tapi ternyata tiga tebasan 
pedang itu tak ada yang berhasil mampu ditangkis lawan. 
Bet, bet, caarrs…! 
Brrrukk…! Tubuh Ratu Peri Sore jatuh ke bumi. Tapi ia 
masih bisa bangkit dan pandangi pedang sinar ungu 
tersebut. Ternyata dadanya terluka oleh tiga sabetan 
pedang. Luka itu kepulkan asap ungu. Ratu Peri Sore 
tertawa cekikikan. Lama-lama tawanya hilang dan 
wajahnya diam terpaku beku. 
“Sudah terbalas….sudah terbalas….! Kau memang 
cucuku yang oke, Pandu!” terdengar suara bergema di 
telinga Pendekar Romantis. Suara itu tak bisa didengar 
oleh orang lain. Karena suara itu adalah suara dari Pedang 
Siluman, jelmaan Kala Bopak, sang kakek tercinta. 
Rupanya sang kakek merasa puas karena bisa menyentuh 
tubuh Ratu Peri Sore dan membuat sang Ratu Peri Sore 
pun tumbang. Asap makin mengepul tebal. Lalu segera 
lenyap dengan hilangnya jasad Ratu Peri Sore. Terdengar 
suara gema sang Ratu Peri Sore berseru, 
“Kau menang anak manis…! Kau menang! Tapi ingat, 
aku akan menjelma dengan meminjam jasar orang lain 
untuk membalasmu…!” 


Pandu Puber diam dan hanya tersenyum sambil masih 
memegangi pusaka kebanggaannya : Pedang Siluman! 
Selesai

Page   1    2    3    4 
Created by fujdenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com