Pendekar Romantis 6 - Kitab Panca Longok(3)


LIMA 
SEBUAH gua berpintu lebar ditemukan 
Pandu saat hampir mencapai puncak bukit. 
Ada tiga pohon berjajar merapat di depan 
pintu gua itu, sehingga keberadaannya tak 
mudah dilihat orang dari luar. Pandu Pu-
ber clingak-clinguk dulu sebelum masuk ke 
gua tersebut. Siapa tahu ada orang yang 
menguntitnya dengan maksud jahat, maka 
Pandu harus mengusir dulu orang itu. 
"Kayaknya aman-aman saja kok," pi-
kir Pendekar Romantis itu. "Tapi benarkah 
gua ini yang dimaksud Ken Warok? Ah, 
iya...! Pasti gua ini yang dulunya sering 
dipakai bertapa Ki Mangut Pedas. Buktinya 
ada bekas jalan setapak menuju mulut gua, 
walau agaknya jalan setapak itu sudah La-
ma tidak dilalui orang. Hmmm...! Sebaik-
nya kuperiksa saja gua ini, dan kucari 
kitab itu di dalamnya. Jangan-jangan ma-
lah di dalam sudah ada Ken Warok dengan 
orang yang menculiknya itu? Kalau begitu 
aku harus hati-hati. Siapa tahu dapat se-
rangan mendadak dari dalam gua, bisa bo-
nyok wajahku nanti." 
Dengan hati-hati Pandu Puber menyu-
suri lorong gua tersebut. Sebelum masuk 
terlalu dalam, Pandu temukan tulisan pada 
sebongkah batu besar dekat pintu masuk, 
ditulis dengan menggunakan getah pohon 
berwarna coklat. Tulisan itu berbunyi: 
"Yang Tidak Berkepentingan Dilarang 
Masuk." 
Dalam hati si tampan bertato bunga 
mawar itu membatin, "Kayaknya tulisan ini 
dibuat sudah cukup lama. Mungkin mendiang 
Ki Mangut Pedas yang menulisnya semasa ia 
suka bertapa di sini. Dan..., berarti aku 
boleh masuk dong, soalnya aku kan punya 
kepentingan? O, ya... tapi menurut Ken 
Warok, gua ini penuh dengan jebakan maut? 
Hmm... kini aku harus lebih waspada ter-
hadap keadaan sekelilingku." 
Dengan pelan dan sangat hati-hati 
Pandu Puber melangkah lebih ke dalam la-
gi. Suasana di dalam gua itu cukup re-
mang-remang karena mendapat sisa bias si-
nar matahari dari mulut gua. Bahkan Pandu 
Puber masih bisa membaca tulisan yang ada 
di dinding gua sebelah kiri yang ber-
bunyi: 

"Dilarang Kencing Di Sini." 
Pandu sempat tersenyum, lalu meman-
dang ke arah anak panah yang menuju ke 
bawah. 
"Astaga...?!" Pandu melompat mundur 
dengan kaget. Ternyata di bawah tulisan 
itu ada seekor ular sebesar betis yang 
sedang melingkar dengan menyembunyikan 
kepalanya di balik badan. Pandu Puber 
sempat berdebar-debar karena kaget dan 
berkata membatin, "Lagian siapa yang be-
rani ngencingin ular itu? Minta dicaplok 
'tombak keramatnya' apa?!" 
Rupanya lorong gua tidak lurus. Lo-
rong itu membelok ke kiri. Tepat di sudut 
tikungan terdapat tulisan lagi yang ber-
bunyi: 
"Hati-hati Jalan Licin." serta tan-
da panah menunjukkan ke arah kiri. 
"O, ternyata makin ke dalam kok se-
makin terang?" pikir Pandu Puber. "Ada 
cahaya samar-samar dari mana ya? Lorong 
ini ternyata nggak gelap. Malah lebih ge-
lap di dekat ular tadi." 
Semakin ke dalam semakin terang su-
asananya. Tapi sinar terang yang ada di 
situ menampakkan cahaya hijau muda. Pandu 
Puber penasaran sekali, ingin mengetahui 
sumber penerangan itu, sehingga langkah-
nya semakin dipercepat, ketajaman gerak-
nya ditingkatkan lagi, takut tahu-tahu 
ada rombongan tombak menghujam dari arah 
samping atau atas. Tapi ternyata memang 
nggak ada apa-apa. Dan lorong itu terasa 
semakin lebar, semakin berudara sejuk. 
"Oh, ternyata cahaya terang ini da-
tangnya dari dinding gua?" batin Pandu 
Puber. "Gila! Rupanya bebatuan yang men-
jadi dinding gua ini mengandung energi 
cahaya, semakin gelap semakin terang, 
Wah, dicongkel sedikit buat batu cincin 
bagus nih?" 
Memang dinding itu mengandung fos-
for. Keadaan gelap itulah yang membuat 
unsur fosfor memancarkan sinar lebih te-
rang lagi. Pendekar Romantis memandangi 
dinding itu dengan penuh perasaan heran 
dan terkagum-kagum. Sambil tetap melang-
kah pelan, matanya memandang ke sana-sini 
dengan mulut terbengong karena terpesona. 
Bahkan sepasang mata wajah tampan itu 
sempat membaca tulisan yang dipahatkan 
pada dinding tersebut. Tulisan itu ber-
bunyi: "Harap Tenang". Di samping tulisan 
itu ada pahatan huruf lain berbunyi: "Di-
larang Mengeluarkan Anggota Badan". 
Pandu berpikir, "Apa maksudnya tu-
lisan-tulisan ini? Siapa penulis sebenar-
nya?" 
Namun tiba-tiba langkah Pandu Puber 
terhenti sejenak karena beberapa langkah 
dari tulisan itu, ternyata lorong menjadi 
dingin. Dingin sekali seperti berada di 
dalam lorong gunung es. Tubuh Pandu Puber 
menjadi menggigil, kedua tangan memeluk 
tubuh sendiri. Hawa dingin yang dirasakan 
itu seperti mau membekukan darah. Giginya 
gemeretuk karena bergetar.  
"Edan! Dinginnya bukan main? Pantas 
di sana ada tulisan: 'Dilarang Mengelua-
rkan Anggota Badan', artinya nggak boleh 
telanjang. Memangnya siapa sih yang mau 
telanjang dalam udara sedingin in! kalau 
bukan orang gila?" 
Langkah Pandu diteruskan, semakin 
jauh dari tulisan tadi semakin menggigil 
tubuhnya. Bahkan ia sempat batuk satu 
kali karena agak mengalami sesak napas. 
Mungkin paru-parunya mau membeku. 
"Uhuk...!" 
Weerrr...! 
"Lho, lorong ini bergetar?!" Pandu 
mendelik tegang. Lorong memang bergetar. 
Batuan di langit-langit lorong gemeretak, 
menerbangkan serbuk tanah, seakan mau 
runtuh. Pandu jadi ketakutan dan bermak-
sud keluar dari lorong itu. Tetapi geta-
ran dinding dan atap segera berhenti. Su-
asana menjadi tenang dan hening kembali. 
"Ooo... rupanya dinding lorong ini 
peka oleh suara? Ada suara keras sedikit 
akan menimbulkan getaran yang mungkin bi-
sa sampai meruntuhkan atap lorong ini. 
Pantas di sana tadi ada tulisan: 'Harap 
Tenang', maksudnya kalau berisik bisa bi-
kin dinding lorong menjadi runtuh dan ja-
lanan ini tertutup reruntuhannya. Hmmm... 
ya, ya... ternyata semua tulisan tadi ada 
maknanya." 
Kini lorong itu membelok ke kanan. 
Dindingnya masih memancarkan cahaya fos-
for hijau muda bening. Tapi suhu udaranya 
sudah tidak sedingin di lorong yang tadi. 
Semakin melangkah ke dalam Pandu semakin 
rasakan udara menjadi hangat, namun bukan 
berarti gerah. Masih ada sisa kesejukan 
yang nyaman di badan. Dan di dinding lo-
rong yang ukurannya lebih besar lagi dari 
yang tadi itu terdapat tulisan juga yang 
berbunyi: "Bayarlah Dengan Uang Pas.".  
"Apa lagi maksud kalimat ini?" pi-
kir Pandu. "Ah, nggak usah dipikirkan se-
karang, nanti juga akan ketemu sendiri 
jawabannya."  
Langkah diteruskan, kira-kira men-
capai sepuluh langkah lebih, barulah kaki 
Pandu berhenti. Matanya memandang ke arah 
depan. Di sana ada ruangan luas bercahaya 
hijau muda bening. Ruangan itu bagaikan 
melebar ke kanan-kiri lorong, tapi dalam 
jajaran lurus lorong itu ada juga lorong 
kecil yang entah menuju ke mana, cahaya 
dinding di sana juga masih hijau muda. 
Sesuatu yang membuat mata Pendekar 
Romantis tidak berkedip adalah keadaan di 
dalam ruangan lebar berlangit-langit agak 
tinggi itu. Di ruangan tersebut ada kolam 
berair bening memancarkan cahaya merah 
sirup. Segar sekali kelihatannya. Kolam 
itu bertepian batu-batu tak beraturan, 
tapi tersusun rapi, seakan ada yang me-
nyusunnya. Tepatnya, kolam itu ada di se-
belah kanan Pandu. Sedangkan di sebelah 
kiri Pandu, ada sesuatu yang kian membuat 
mata Pandu kian lebar. 
Sebuah batu berbentuk lingkaran 
dengan tinggi sebatas lutut mempunyai 
permukaan yang datar. Batu itu terletak 
di sudut. Batu itu juga memancarkan ca-
haya fosfor hijau bening. Yang membuat 
mata Pandu terpukau bukan karena keinda-
han batu itu, namun adanya sesosok tubuh 
yang duduk bersila di atas batu tersebut. 
Orang yang duduk diatas batu itu 
mempunyai rambut panjang sepinggang ku-
rang, diriap tanpa ikatan apa-apa. Rambut 
itu tampaknya lembut dan halus, hitam 
mengkilat namun bukan berminyak. Pemilik 
rambut itu adalah seorang perempuan ber-
paras aduhai cantiknya.  Bentuk wajahnya 
oval, sesuai dengan hidungnya yang man-
cung. Bibirnya sedikit agak tebal, tapi 
merangsang. Seakan bibir itu mengundang 
minat Untuk melumatnya. 
Perempuan itu mengenakan pakaian 
model jubah panjang warna orange. Terbuat 
dari kain tipis transparan dengan model 
bagian dalam bertali-tali. Masing-masing 
tali berkain sehingga jubah itu mempunyai 
bagian depan yang tertutup. Memang tidak 
begitu rapat sih, tapi setidaknya tidak 
terbuka ngablak. Karena tipisnya kain 
orange tersebut, maka apa yang ada di ba-
lik jubah itu terlihat membayang. Perem-
puan itu hanya memakai jubah tersebut 
tanpa pelapis apa-apa lagi. Tak heran ka-
lau bagian dalamnya tampak mirip perawan 
dalam kelambu. 
Pandu mendekat pelan-pelan setelah 
menarik napas untuk meredakan emosi ge-
masnya. Semakin dekat semakin terlihat 
jelas bahwa perempuan itu mempunyai kulit 
kuning, tangannya berbulu lembut samar-
samar, menantang minat untuk mengelusnya 
penuh gairah. Kukunya panjang, tapi in-
dah, walaupun tajam. Pada saat itu perem-
puan yang berusia sekitar tiga puluh ta-
hun itu sedang memejamkan mata. 
"Ooo... dia lagi semadi," kata Pan-
du dalam hatinya. "Tapi alangkah cantik-
nya dia? Tubuhnya yang mulus itu tidak 
kurus, tidak gemuk, tapi sekal. Padat dan 
hangat kelihatannya. Wow, alangkah asyik-
nya tenggelam dalam pelukan perempuan se-
perti dia?" 
Tiba-tiba perempuan itu membuka ma-
tanya. Byak...! 
"Macan, Mack!" gumam Pandu dalam 
hati lagi, karena mata itu begitu indah 
dan penuh daya tarik untuk bercumbu. Mata 
itu termasuk lebar juga sih, tapi tidak 
sebesar jengkol. Bentuknya indah, punya 
bulu mata lentik. Dan caranya memandang 
sungguh mendebarkan hati setiap lelaki, 
karena mata itu sedikit sayu. Seolah-olah 
dia adalah type wanita yang merindukan 
kehangatan seorang lelaki. 
Pendekar Romantis sempat grogi se-
bentar ketika dipandangi oleh perempuan 
tersebut. Namun setelah menelan napas dua 
kali, ia mampu mengatasi dirinya walaupun 
debar-debar dalam dadanya masih bergemu-
ruh, penuh harapan untuk mendekat. Hara-
pan itu pun terbukti; perempuan tersebut 
sunggingkan senyum tipis, seakan suatu 
kekuatan magnit yang menyedot tubuh Pandu 
hingga melangkah mendekatinya. Dalam ja-
rak tiga langkah di depan perempuan ter-
sebut, Pandu hentikan langkah. Matanya 
masih belum mau berkedip karena keelokan 
di balik kain tipis itu terlihat lebih 
jelas lagi. 
"Apa maksudmu datang kemari meng-
ganggu bertapaku, Anak Muda?" sapa si pe-
rempuan berbibir sensual dengan suara se-
rak-serak basah kuyup, seakan rintihan 
malam yang merangsang gairah lelaki. 
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud 
mengganggu bertapamu. Aku tidak tahu ka-
lau kau sedang bertapa, Nyonya." 
"Jangan panggil aku Nyonya, aku ti-
dak tahu artinya. Panggil saja namaku: 
Dewi Selimut Malam." 
Rupanya dia perempuan yang murah 
senyum. Habis ngomong begitu saja lang-
sung tersenyum. Dan senyumnya itu memang 
indah. Pantas buat pajangan di dalam kaca 
buffet. 
"Namamu indah sekali," kata Pandu 
ketika Dewi Selimut Malam turun dari tem-
pat duduknya. 
"Barangkali namamu juga indah, Anak 
muda. Siapakah namamu sebenarnya, Nak?" 
"Namaku Pandu Puber, Tante." 
"Oh, nama yang bagus sekali untuk 
pribadiku. Kau memang masih tampak puber, 
sesuai dengan ketampanan wajahmu dan, 
ooh... kau punya tato di dadamu. Alangkah 
indahnya tato itu. Boleh aku memegang-
nya?" 
"Apa yang ingin kau pegang?" 
"Tatomu itu." 
"Silakan pegang, asal yang  lainnya 
jangan disentuh." 
"Maksudmu?" 
"Mataku jangan disentuh, nanti ke-
colok." Pandu sengaja menggoda dalam can-
da, ternyata perempuan cantik yang menga-
ku Dewi Selimut Malam itu bisa diajak 
bercanda. Tawanya pelan, serak, seperti 
orang malas-malasan baru bangun tidur. 
Tangan berjari lentik dengan kuku 
panjang segera meraba dada Pandu Puber. 
Mata sayunya menatapi tato bunga mawar di 
dada Pendekar Romantis. Saat itu, ter-
ciumlah aroma harum cendana bercampur 
bunga melati dari tubuh Dewi Selimut Ma-
lam. Aroma harum yang lembut itu mulai 
membangkitkan daya khayal kemesraan Pandu 
Puber. Pemuda itu gelisah, namun ditutup-
tutupi dengan ucapan yang lirih. 
"Apakah kau menyukai tatoku ini?"  
"Sangat suka" jawabnya mirip orang 
merengek. "Setahuku hanya satu orang yang 
punya tato bunga mawar seperti ini," kata 
Dewi Selimut Malam lagi.  
"Apakah ada orang selain aku yang 
bertato seperti ini?" tanya Pandu. 
"Ada. Aku pernah menemuinya dalam 
semadiku. Tapi dia mengaku anak dewa yang 
bergelar Pendekar Romantis." 
Pandu Puber agak kaget, lalu berka-
ta, "Akulah Pendekar Romantis." 
"O, ya?" dengan mata sayu ia mena-
tap Pandu, tapi tangannya masih meraba-
raba dada bertato itu. "Jika benar kau 
Pendekar Romantis, berarti kau bisa lebih 
romantis lagi dari saat ini, bukan?" 
Pandu sedikit menyimpan kecurigaan 
melihat senyum menantang sang wanita. 
"Jangan-jangan dia calon istriku; Dian 
Ayu Dayen? Hmmm... coba ku kecup kening-
nya, kalau memang dia adalah Dian Ayu 
Dayen, maka dia akan berubah jika ku ke-
cup keningnya." 
Tanpa permisi sedikit pun, tahu-
tahu Pandu nyelonongkan mulutnya dan ken-
ing itu pun dikecupnya, cuup...! Setelah 
itu kepalanya buru-buru ditarik mundur 
dan tegak kembali. 
Perempuan itu terperangah girang, 
mengusap-usap keningnya dengan mata me-
mandang sayu pada Pandu. 
"Kau curang. Aku  belum siap. Ulan-
gi!" 
Pandu hanya tersenyum menawan. Tapi 
hatinya membatin, "Sialan! Dia tetap be-
gini, berarti dia bukan Dian Ayu Dayen. 
Tapi... oh, mata dan suaranya sungguh 
menggugah semangatku untuk bertarung da-
lam kelembutan. Wah, bagaimana ini kalau 
sampai aku yang celeng sendiri terhadap-
nya? Jangan sampai, ah! Sebagai seorang 
pendekar, aku tak boleh mudah jatuh cin-
ta. Tapi kalau kepepet gimana? Yaah... 
jatuh sedikit nggak apa-apalah!" 
Dewi Selimut Malam tertawa lirih, 

"Jatuh banyak juga nggak apa-apa," ka-
tanya, dan Pandu terperanjat. Ia segera 
sadar bahwa perempuan cantik punya dada 
menantang itu ternyata bisa mendengar su-
ara batin seseorang. Itu berarti Dewi Se-
limut Malam punya ilmu cukup tinggi. Pan-
du Puber akhirnya putuskan diri untuk ti-
dak bicara sembarangan walau di dalam ha-
ti. 
"Santailah, jangan tegang-tegang!" 
kata Dewi Selimut Malam. "Anggap saja gua 
ini adalah tempat tinggalmu sendiri." 
"Berapa lama kau bertapa di sini?" 
Pandu memandangi keadaan sekeliling, yang 
kosong tanpa perabot apa pun itu. Dewi 
Selimut Malam menjawab dengan mata ikut 
memandangi sekeliling juga. 
"Aku melakukan semadi di sini baru 
empat puluh tahun." 
"Ah, yang benar?!" 
"Swear! Aku nggak bohong." 
"Kok kamu masih semuda ini? Kok ma-
sih secantik ini?" 
"Aku bertapa sejak berusia dua pu-
luh delapan tahun. Berarti sekarang usia-
ku sebenarnya sudah enam puluh delapan 
tahun. Berkat sering cuci muka dan mandi 
pakai air kolam itu, kecantikanku tak 
mengalami perubahan." 
"Ooo...." Pandu manggut-manggut 
sambil pandangi air kolam warna sirup me-
rah segar itu. 
"Perputaran waktu di dalam gua ini 
dengan di luar gua berbeda sekali. Di 
luar gua waktu berputar dengan cepat, se-
dangkan di dalam gua ini waktu nyaris ti-
dak berputar. Jadi siapa yang ada di da-
lam gua ini akan awet muda, kalau waktu 
masuk ke sini dia memang berusia muda. 
Kalau sudah tua ya tetap saja tua. Tapi 
kalau mau rajin cuci muka dengan air ko-
lam itu, maka ketuaannya akan luntur dan 
menjadi cantik jelita. Makanya air kolam 
itu dinamakan: 'Keringat Bidadari'. Pen-
gawet kecantikan."  
Pandu segera terbayang calon is-
trinya yang berstatus seorang bidadari 
tulen dari kayangan. Hati Pandu pun mem-
batin, "Kalau begitu gua ini pasti ada 
hubungannya dengan Dian Ayu Dayen. Apa-
kah... apakah Dewi Selimut Malam mengenal 
nama itu, ya?" 
Tiba-tiba Dewi Selimut Malam berka-
ta, "Tidak, aku tidak mengenalnya. Siapa 
itu Dian Ayu Dayen?" 
Pandu nyengir bingung, tapi akhir-
nya menjawab juga, "Dia adalah Bidadari 
Penguasa Kecantikan."  
"O, kalau begitu dialah yang berge-
lar: Ratu Ayu Sejagat. Beliau memang Pen-
guasa Kecantikan" 
"Mungkin saja itu memang gelarnya. 
Tapi aku mengenal nama pribadinya: Dian 
Ayu Dayen." 
"Apakah kau kenal dekat dengannya?" 
"Bagaimana dengan dirimu? Apakah 
kenal dekat dengannya?" Pandu balas ber-
tanya sebelum menjawab, karena ia ingin 
tahu siapa sebenarnya Dewi Selimut Malam 
itu. 
"Aku adalah abdinya, tugasku menja-
ga Kolam Keringat Bidadari itu." 
Pandu memandang dengan dahi berke-
rut dan mulai mundur sedikit menjauh, ka-
rena ia jadi tak enak hati jika mau ma-
cam-macam sama perempuan itu, sebab pe-
rempuan itu adalah pembantunya Dian Ayu 
Dayen. Kelak jika Pandu sudah menikah 
dengan bidadari itu, maka Dewi Selimut 
Malam akan menjadi abdinya juga. Malu 
dong kalau harus bikin skandal dengan ca-
lon pelayannya sendiri? 
"Menyesal sekali aku ketemu dia. 
Ternyata dia pelayan calon istriku. Men-
dingan ketemu perempuan lain saja, jadi 
aku kalau mau ini itu nggak malu," pikir 
Pandu, dan ternyata pikiran itu pun ter-
baca oleh Dewi Selimut Malam. 
"Kalau memang mau ini-itu, aku 
nggak akan lapor sama atasanku kok. Itu 
kan  rahasia pribadi kita sendiri," se-
nyumnya makin menggoda. 
Pandu  cengar-cengir malu sendiri. 
Pandu segera alihkan bicara dengan ber-
tanya, 
"Apakah kau juga warga kayangan?" 
"Tidak," jawab Dewi Selimut Malam 
sambil dekati Pandu. "Dulu, ketika aku 
berusia dua puluhan aku seorang pelacur. 
Pada suatu hari aku kena penyakit yang 
tak bisa disembuhkan karena belum ada ob-
atnya, namanya penyakit 'DIA'." 
"Apa itu penyakit 'DIA'?" tanya 
Pandu merasa aneh. 
"'DIA' adalah singakatan dari 
'Dalam Incaran Akherat'." 
"Aneh juga namanya." 
"Memang dalam waktu dekat kalau aku 
nggak segera berobat, penyakit 'DIA' da-
pat merenggut nyawaku dan memindahkan 
nyawaku ke akherat. Maka aku segera cari 
obat ke sana-sini, sampai akhirnya kute-
mukan gua ini dalam keadaan hampir putus 
asa. Lalu aku bertapa di sini untuk memo-
hon kesembuhan kepada sang Dewata. Tapi 
aku segera ditemui oleh Gusti Ratu Ayu 
Sejagat." 
"Lalu apa yang dilakukannya terha-
dap penyakitmu itu?" 
"Tentu saja aku diobati tanpa ope-
rasi. Aku bisa sembuh asal aku mau menja-
di pelayannya yang bertugas menjaga Kolam 
Keringat Bidadari. Pada mulanya aku tak 
sanggup, karena secara jujur kukatakan 
kepada beliau, bahwa aku wanita normal 
yang masih butuh santapan batin, masih 
butuh cinta dan kehangatan lelaki, jadi 
aku butuh waktu untuk pergi berpetualang 
dalam cinta. Tetapi beliau bilang, bahwa 
aku akan mendapat kepuasan batin sendiri 
walau tetap berada di dalam gua ini den-
gan cara, setiap lelaki yang masuk gua 
ini boleh menjadi pelayan cintaku sepuas 
hatiku. Tapi tak boleh menahannya apabila 
lelaki itu ingin pergi." 
"Sudah ada berapa lelaki yang masuk 
gua ini?" 
"Baru kau. Selama empat puluh tahun 
bertapa, baru kau orang yang masuk gua 
ini." 
"Gawat!" 
"Nggak apa-apa kok. Aku nggak ter-
lalu buas," bisiknya malu-malu dengan su-
ara serak menggelitik gairah. 
"Tapi kenapa kau melakukan bertapa 
padahal penyakitmu sudah sembuh?" 
"Gusti Ratu Ayu Sejagat menyuruhku 
bertapa selama empat puluh tahun untuk 
mendapatkan ilmu kesaktian yang hebat. 
Setelah empat puluh tahun, masa bertapaku 
akan berhenti sendiri dengan alasan apa 
saja. Ternyata alasan yang ada adalah ke-
datanganmu kemari." 
Pandu Puber manggut-manggut walau 
hatinya berdebar-debar antara indah dan 
pasrah. Sementara itu benaknya masih ber-
kecamuk di luar kesadarannya. "Pantas di 
sana tadi ada tulisan: 'Bayarlah Dengan 
Uang Pas', mungkin karena dia bekas pela-
cur jadi harapan masa lalunya masih ter-
bawa sampai sekarang." 
Kecamuk benak Pandu didengar Dewi 
Selimut Malam, dan perempuan cantik itu 
tertawa kecil seraya berkata, "Ya, memang 
aku yang menulis kata-kata di dinding lo-
rong sana. Itu kulakukan sebelum ada pe-
rintah bertapa selama empat puluh tahun." 
"Aku tak memasalahkan hal itu," ka-
ta Pandu mengalihkan anggapan si perem-
puan cantik itu. "Yang kupikirkan adalah 
kesalahanku. Ternyata aku salah masuk 
gua. Yang kucari adalah gua tempat berta-
pa seorang tokoh tua bernama Ki Mangut 
Pedas." 
"O, gua itu ada di sebelah sana. 
Memang masih satu jurusan dengan gua ini, 
tapi Ki Mangut Pedas tidak pernah masuk 
kemari. Dia hanya diam di sebelah sela-
tan, lewat lorong tembus yang kecil itu. 
Dia memang bekas tetanggaku di sini. Tapi 
dia bukan ketua RT-nya. Akulah ketua per-
tapa di sekitar sini." 
"Jadi..., kau juga mengerti kalau 
Ki Mangut Pedas sembunyikan Kitab Panca 
Longok di guanya sana?" 
"Tentu saja aku mengerti. Tapi ki-
tab itu sudah diambil oleh cucunya yang 
bernama Ken Warok." 
"Hahh...?!" Pandu terkejut. Ia mu-
lai bingung. 
"Baru beberapa waktu yang lalu ki-
tab itu diambil, karena dipaksa oleh seo-
rang utusan dari Ratu Cadar Jenazah." 
"Celaka! Jadi, sekarang kitab itu 
di mana?" 
"Ya, di sana! Di tangannya Ratu Ca-
dar Jenazah!" 
"Kalau begitu aku harus menyusul ke 
sana dan merampas kitab yang akan mem-
buatnya menjadi tokoh paling sesat itu!" 
"Kau tak akan bisa keluar dari gua 
ini, Pandu!" 
"Kenapa?" 
"Pintu gua kututup dengan kekuatan 
batinku. Tak akan ada yang bisa membu-
kanya kecuali aku sendiri." 
"Kalau begitu, bukalah sekarang ju-
ga. Aku akan pergi sekarang juga." 
"Untuk membuka pintu gua harus me-
makai kunci. Dan kunci itu ada di antara 
kedua kakiku. Ambillah dengan kemesraan-
mu, Pandu."  
"Wah, kacau nih!" 
ENAM 
SEPERTI apa yang dikatakan Dewi Se-
limut Malam, perputaran waktu di dalam 
gua dan di luar gua sangat berbeda. Pandu 
Puber sangat terkejut ketika keluar dari 
gua dan turun ke kaki bukit berpapasan 
dengan Belati Binal.  Hal yang membuat 
Pandu terkejut adalah keadaan gadis pela-
cak yang penuh luka sekujur tubuhnya. Lu-
ka parah diderita Belati Binal, mengaki-
batkan gadis itu hanya mampu duduk terku-
lai di tanah bersandar batang pohon. Lu-
ka-luka seperti bekas pukulan tenaga da-
lam dan goresan senjata tajam sudah mulai 
membusuk. 
Ketika Pandu Puber tiba di situ, 
Belati Binal dalam keadaan nyaris kehabi-
san napas. Matanya bengkak sebelah, yang 
satu bisa dibuka tapi kecil sekali. Hati 
Pandu Puber menjadi iba, sehingga ia bu-
ru-buru menolongnya.  
"Apa yang terjadi, Belati Binar?"   
Gadis itu tak bisa menjawab. Bibir-
nya pecah dan luka memborok. Tak ada ke-
cantikan lagi di wajah Belati Binal. Ia 
tak sanggup menggerakkan bibirnya untuk 
bicara, tapi matanya yang sebelah meman-
dang kecil seakan  penuh permohonan ban-
tuan. Satu-satunya kalimat yang bisa di-
dengar Pandu dengan cara mendekatkan te-
linga ke mulut gadis itu adalah pernya-
taan kepasrahannya. 
"Sempurnakanlah kematianku." 
"Tidak. Kau tidak boleh mati sebe-
lum menjelaskan padaku apa yang terjadi 
padamu dan siapa lawan yang membuatmu 
sampai begini!" tegas Pandu Puber. 
Pendekar Romantis segera pergunakan 
jurus 'Hawa Bening'nya, salah satu jurus 
yang hanya dimiliki keturunan campuran 
antara darah dewa dan darah jin itu ber-
guna untuk penyembuhan. Kekuatan jurus 
itu sangat tinggi, sehingga bisa dikata-
kan sebagai jurus penyembuhan yang cukup 
sakti. 
Dengan satu sentakan tangan kanan-
nya, jari tengah Pandu mengeras lurus dan 
dari ujung jari itu melesat sinar putih 
bening seperti kaca. Sinar itu menghantam 
pertengahan dada Belati Binal. Clapp...! 
Dess...! Lebih dari lima helaan napas si-
nar bening mirip kaca itu dibiarkan meng-
hantam tubuh Belati Binal. 
Beberapa saat kemudian, tampak ku-
lit tubuh yang terluka itu bergerak-
gerak. Dari berubah warnanya sampai gera-
kannya membentuk kesatuan seperti semula. 
Sedikit demi sedikit luka yang ada menu-
tup kembali. Belati Binal sendiri mulai 
rasakan hawa sejuk yang menjarah sekujur 
tubuhnya, menyirnakan rasa sakit yang ta-
di nyaris tak mampu dikuasai sedikit pun.  
Wuuut...! Tiba-tiba sekelebat 
bayangan melintas di sisi lain. Ekor mata 
Pandu melihat kelebatan bayangan itu dan 
hatinya menjadi curiga. "Jangan-jangan 
dia orang yang membuat gadis pelacak ini 
terluka separah tadi?! Kejar, ah!" 
Zlappp...! Pandu Puber mengejar 
bayangan yang berkelebat itu. Jurus 
'Angin Jantan' dipergunakan untuk men-
gungguli kecepatan gerak orang yang dike-
jarnya. Dalam beberapa waktu, Pandu sudah 
mencapai jalanan yang akan dilalui orang 
tersebut. Dengan sikap menghadang, berdi-
ri tegak merenggang kokoh, Pandu Puber 
berhasil membuat bayangan yang berkelebat 
itu berhenti dan terkejut memandangnya. 
Orang yang dihadang Pandu adalah 
seorang lelaki berusia sekitar lima puluh 
tahun lebih, rambutnya panjang sepundak 
warna abu-abu, sama seperti kumisnya yang 
menempel di bawah hidung besar dari wajah 
berkesan bengis. Lelaki itu memakai pa-
kaian surjan bergaris-garis. Bagian kan-
cingnya tidak ditutupnya sehingga tampak 
dada dan perutnya yang berkulit hitam. 
Orang berbadan agak kurus itu mengenakan 
celana hitam yang dilapisi kain batik 
warna putih dengan sabuk besarnya warna 
hitam pula. Di depan perutnya terselip 
sebilah keris bergagang kuning dari gad-
ing. 
Orang yang memakai blangkon berias 
rantai emas itu menatap Pandu Puber penuh 
sikap permusuhan. Pandu Puber sendiri me-
nampakkan sikap sedikit keras, karena da-
lam hatinya timbul keyakinan kuat bahwa 
orang itulah yang membuat Belati Binal 
babak belur nyaris jadi bubur itu. Pandu 
sengaja membiarkan orang itu menyapa le-
bih dulu. 
"Siapa kau, Anak Muda?!" 
"Pandu Puber namaku!" 
"Ooo... ya, ya," orang itu mengang-
guk-angguk dengan sikap sombong. "Rupanya 
kaulah yang bergelar Pendekar Romantis 
itu!" 

"Benar! Apakah kau juga punya gelar 
yang sama, Pak Tua?" tanya Pandu dengan 
nada serius, tanpa cengar-cengir. 
"Aku tidak butuh gelar pendekar. 
Itu gelar yang layak disandang orang ber-
jiwa kerdil saja," sindirnya dengan si-
nis. "Kalau kau ingin mengenalku; akulah 
yang berjuluk si Dalang Setan dari Pergu-
ruan Tanduk Singa!" 
"O, jadi kau gurunya si Dupa Dulang 
itu?!" 
"Benar!" jawabnya tegas, seakan cu-
kup bangga dengan dirinya yang dikenal 
sebagai guru itu. 
"Kau mencari Kitab Panca Longok?" 
"Tak salah lagi! Tapi yang utama 
aku mencari orang yang telah membuat Dupa 
Dulang muridku itu terluka racun dan mati 
tepat di depanku!" 
Pandu kerutkan dahi. "Apakah kau 
menyangka aku pelakunya?" 
"Tidak. Pelakunya adalah murid si 
Cemara Langit. Dan aku sudah membalaskan 
sakit hatiku atas kematian Dupa Dulang 
itu. Gadis liar itu sengaja kubuat mati 
perlahan-lahan supaya bisa rasakan pemba-
lasanku. Sekarang yang kucari adalah se-
buah gua tempat penyimpanan Kitab Panca 
Longok. Menurut pengakuan Dupa Dulang se-
belum hembuskan napas terakhir, ia men-
dengar percakapan Ken Warok dengan diri-
mu, Pendekar Romantis. Dan pada waktu ia 
bertarung dengan Belati Binal, kau diam-
diam menghilang, melarikan diri dari per-
tarungan itu. Pasti kau lebih dulu sampai 
di gua tersebut dan mengambil kitab itu, 
bukan?!" 
"Bukan!" jawab Pandu cepat seenak-
nya saja. "Kitab itu tidak ada padaku!" 
"Aku harus memaksa membuktikannya 
dengan pertarungan kita di sini, sekarang 
juga!" 
"Kalau kau menghendaki, aku hanya 
sekadar melayani kehendakmu saja, Dalang 
Setan!" 
"Heaaat...!" Dalang Setan mengawali 
serangannya dengan ganas, sepertinya tak 
mau membuang-buang waktu sedikit pun. Ia 
melayang bagaikan singa terbang dan siap 
menerkam mangsanya. Tapi kecepatan gera-
kannya itu masih bisa diimbangi oleh Pan-
du Puber dengan gerakan lompat ke atas 
dan memutar tubuh dengan cepat.  
Wuut...! Prokk...! 
Rupanya kaki Pendekar Romantis ber-
gerak menendang pada saat tubuh berputar 
tegak. Gerakan kaki yang menendang kuat 
itu mengenai kedua tangan lawan. Kedua 
tangan itu menghantam wajahnya sendiri. 
Tapi karena tendangan tersebut bertenaga 
dalam tinggi, maka tak aneh lagi jika tu-
buh Dalang Setan terpelanting ke samping 
dan jatuh terbanting seenaknya. Bruss...! 
"Orang ini perlu kuhajar saja, tak 
harus dimusnahkan. Aku hanya ingin memba-
las perlakuannya yang keji terhadap Bela-
ti Binal," pikir Pandu dalam melangkah ke 
samping menunggu si Dalang Setan bangkit 
lagi. 
Apa yang dilakukan oleh Dalang Se-
tan sungguh aneh bagi Pandu Puber. Orang 
itu segera bangkit dari jatuhnya, tapi 
tidak langsung berdiri melainkan duduk 
bersila. Matanya terpejam sebentar, kedua 
tangannya bergerak kerahkan tenaga dari 
atas ke bawah dengan menggenggam, lalu 
seperti memasukkan sesuatu ke dalam da-
danya melalui tangan yang menggenggam 
itu. Lalu, mata Dalang Setan terbuka, 
byaak...! Mata itu menjadi putih semua, 
tanpa manik mata yang berwarna hitam itu. 
Setelah matanya menjadi putih polos 
tanpa tato sedikit pun, tubuh yang duduk 
bersila itu tiba-tiba melesat terbang me-
nerjang Pandu Puber. Kecepatan terbangnya 
begitu tinggi sehingga Pandu yang terpe-
ranjat tak sempat menghindar, dan dadanya 
terkena hantaman kedua tangan Dalang Se-
tan yang mengandalkan telapak tangannya 
itu. Buhkk. buhk...! 
"Aahg...!"Pandu Puber terpental ke 
belakang lebih dari lima langkah dan ja-
tuh terkapar dengan keras. Bruss...! Se-
mak-semak menjadi tempat jatuhnya Pandu 
Puber. Pemuda itu menyeringai menahan ra-
sa sakit di dadanya. 
"Ayo, majulah kalau kau masih sang-
gup menandingi Raden Gatotkaca ini, Bocah 
ingusan!" suara Dalang Setan berubah agak 
besar, mirip suara satria Pringgandani 
yang dikenal di dunia pewayangan bernama 
Raden Gatotkaca itu.  
Pandu Puber bangkit dengan heran 
dan menahan napas. Untuk sejenak ia, pan-
dangi lawannya yang berdiri dengan posisi 
seperti sosok wayang berperan Raden Ga-
totkaca. Napas yang mengandung hawa murni 
disalurkan pelan-pelan memenuhi bagian 
dadanya. Dada yang terasa panas dan remuk 
itu berangsur-angsur menjadi sehat kemba-
li. 
Tapi Pendekar Romantis terpaksa me-
nahan tawa setelah ia melihat apa yang 
dilakukan oleh lawannya. "Rupanya dia me-
manggil roh tokoh pewayangan yang bernama 
Raden Gatotkaca?! Aneh juga jurusnya itu. 
Dia seperti sosok Raden Gatotkaca yang 
berotot kawat, bertulang besi itu. Pantas 
kalau kedua pukulan tangannya seperti ba-
ja menghantam dadaku. Pantas juga kalau 
dia mampu terbang dari posisi duduknya 
tadi. Gila! Agaknya lawanku kali ini ada-
lah lawan yang punya kekuatan aneh." 
Terdengar suara gagah berseru dari 
jarak delapan langkah di depan Pandu, 
"Bocah ingusan! Sebaiknya serahkan kitab 
itu padaku supaya umurmu panjang, Nak!" 
"Sudah kukatakan aku tidak membawa 
kitab itu, kalau kau mau ambillah di...." 
"Keparat, kau berani menentang 
keinginan Raden Gatotkaca, hah?! Terima-
lah aji 'Teja Birawa' ini, heaah...!" 
Wuttt...! Slapp...! 
Sinar merah besar keluar dari tela-
pak tangan Dalang Setan. Begitu cepatnya 
gerakan sinar merah itu, sehingga Pandu 
Puber hampir saja menjadi sasaran empuk 
kalau tak segera melompat ke udara lebih 
tinggi dari sinar tersebut. Wuuttt...! 
Blegarr...! 
Dua pohon besar hancur seketika di-
hantam sinar merah itu, menjadi serpihan 
kecil-kecil. Bumi pun bergetar saat sinar 
merah tadi menghantam pohon dan timbulkan 
ledakan dahsyat. 
"Edan! Mungkin yang ia gunakan ada-
lah jurus sakti milik tokoh Raden Ga-
totkaca yang sebenarnya?!" pikir Pandu 
Puber. Pikiran itu baru saja akan dilan-
jutkan, namun tiba-tiba tubuh Dalang Se-
tan telah melesat terbang menerjangnya. 
Wuusss...! 
"'Candradimuka'...!" teriaknya 
menggema, dan dari kedua tangannya keluar 
dua larik sinar merah sebesar bumbung 
bambu. Woosss...! 
Pendekar Romantis terpaksa bersalto 
mundur dua kali, lalu segera melepaskan 
jurus 'Sepasang Sayap Cinta' yang keluar 
dari dua jarinya. Sepasang sinar merah 
kecil melesat dari kedua jari kanan-kiri 
yang disentakkan ke depan seperti melem-
parkan pisau. Clap, clap...! Blegarr, 
blaarrr...! 
Kiamat terjadi di alam sekeliling 
mereka. Ledakan itu mengguncang pohon dan 
bebatuan, membuat tanaman besar-besar 
tumbang yang kecil hancur atau mengering 
bagaikan dilanda lahar. Ledakan maha dah-
syat itu membuat langit menjadi berkabut 
dan berlapis mendung tebal. Kilatan ca-
haya petir bagaikan ikut bersorak-sorai 
dengan berlompatan dari mega ke mega. 
Tubuh Dalang Setan, sang Gatotkaca 
jelmaan itu, terlempar di udara dalam 
keadaan berguling-guling. Tubuh itu ak-
hirnya menghantam batang pohon yang mir-
ing mau rubuh. Durrr...! Pohon itu pun 
akhirnya benar-benar rubuh karena dihan-
tam tubuh Dalang Setan. 
Pandu Puber terkapar sejak tadi. 
Kini sedang berusaha bangkit dan menjadi 
kaget melihat alam sekeliling rusak be-
rat. Gundukan tanah yang membukit menjadi 
retak dan hutan sekitarnya bagaikan baru 
saja dibabat habis oleh angin badai. Sam-
bil mengerahkan hawa murninya Pandu Puber 
bangkit berdiri memandangi alam sekitar-
nya, sampai tiba ke suatu arah di mana 
tubuh Dalang Setan mengerang kesakitan 
sambil berusaha bangkit sempoyongan. 
Wuutt...! 
Ada yang datang dari belakang Pandu 
Puber. Dengan gerakan penuh waspada Pandu 
Puber berpaling. 
"Oh, kau...?"  ucapnya lirih sambil 
hembuskan napas lega. 
"Apa yang terjadi? Kudengar suara 
ledakan dahsyat mengguncang bumi!" 
"Cuma main-main kok," jawab Pandu 
Puber mempertenang diri. 
Orang yang datang itu tak lain ada-
lah si gadis pelacak; Belati Binal. Masih 
saja seperti waktu itu, Belati Binal tam-
pil tanpa seulas senyum. Bahkan keadaan-
nya yang telah sembuh total bagaikan tak 
pernah terluka sedikit pun itu memandang 
ganas kepada tokoh sesat si Dalang Setan. 
Mulutnya menjadi lancip karena menahan 
benci. 
"Setan itulah yang menghajarku dan 
membuatku menderita selama satu minggu 
terkapar di sana!" 
"Satu minggu?!" Pandu Puber berke-
rut dahi dengan heran. Ingin rasanya ia 
tanyakan hal itu lebih jelas lagi, tapi 
Dalang Setan sudah lebih dulu serukan ka-
ta kepadanya, 
"Ingat, Pandu Puber...! Ingat!" Da-
lang Setan sempoyongan. Sekujur tubuhnya 
menjadi hangus. Kulit tubuh terkelupas 
mengerikan. Tentunya bukan hanya perih, 
namun juga sakit luar biasa. Ia seperti 
mengalami luka bakar. Rupanya jurus 
'Candradimuka' milik sang Gatotkaca itu 
memantul balik menyerangnya ketika ber-
benturan dengan jurus Pendekar Romantis 
yang bernama 'Sepasang Sayap Cinta' tadi. 
Dalam keadaan parah itu ia berseru 
kembali, "Kalau kau benar-benar pendekar 
sakti, kutantang kau untuk bertarung den-
ganku di atas Jurang Karang Keranda, se-
puluh hari lagi! Kalau kau tak datang, 
kau kuanggap banci dan tak layak menyan-
dang gelar pendekar lagi!" 
"Setan! Jangan pergi dulu! Kau 
punya perhitungan denganku!" teriak Bela-
ti Binal, lalu segera melompat mengejar 
Dalang Setan yang kabur babak belur. 
Melihat gadis pelacak mengejar ka-
rena dendam, Pandu Puber segera melesat 
dengan gerakan super cepatnya dan tahu-
tahu berdiri menghadang langkah Belati 
Binal. 
"Tahan emosimu, Manis! Biarkan dia 
kabur. Dia hanya bisa tinggalkan sesumbar 
tanpa bukti benar!" 
Belati Binal hempaskan napas. Kesal 
sekali hatinya dihadang Pandu begitu. Ta-
pi akhirnya ia mau menurut saran Pandu 
setelah Pendekar Romantis itu berkata 
dengan nada lembutnya, 
"Kau baru saja sehat. Kau butuh is-
tirahat. Soal balas dendam bisa dilakukan 
kemudian hari, itu pun kalau dipandang 
perlu." 
"Kau ditantangnya!" 
"Biar saja. Cuekin aja tantangan 
preman wayang itu!" 
"Tidak bisa! Kau harus hadapi tan-
tangan itu sepuluh hari lagi. Kalau kau 
tak datang, dia dan murid-muridnya akan 
sebarkan  kabar tentang sikapmu yang di-
anggap tak berani menghadapinya itu!"  
"Kita pikirkan nanti saja." 
Senyum Pandu yang mekar dengan in-
dah itulah yang membuat api dendam di da-
da berbukit mirip mangkok bakso itu men-
jadi reda. Bahkan ia mengikuti langkah 
Pandu yang menuju ke bawah pohon. Pohon 
itu adalah salah satu dari pohon yang se-
lamat dari amukan badai tadi.  
"Belati Binal, ada sesuatu yang ta-
di sempat membuatku heran. Kau bilang te-
lah terkapar selama tujuh hari dalam kea-
daan luka seperti itu, apakah kau tak sa-
lah ngomong?" 
"Mungkin malah lebih dari tujuh ha-
ri!" kata Belati Binal, langkahnya ikut 
berhenti di bawah pohon itu. "Sejak aku 
bertarung dengan Dupa Dulang, kau lalu 
menghilang. Aku mencari ke mana-mana tak 
ketemu, sampai akhirnya aku bermaksud pu-
lang. Tapi karena sesuatu hal, akhirnya 
niat pulangku tertahan." 
"Sesuatu hal yang bagaimana maksud-
mu?" 
"Aku harus menolong seorang saha-
batku yang terluka karena serangan lawan-
nya. Ia kubawa ke dalam sebuah gua, tapi 
akhirnya kami berdua sama-sama tersesat. 
Sehari semalam aku dan dia tak bisa ke-
luar dari gua itu, sebab pintu gua tiba-
tiba bagaikan hilang tak kami temukan." 
"Aneh...?!" gumam Pandu sambil 
terngiang kata-kata Dewi Selimut Malam 
yang mengatakan semua pintu gua ditutup-
nya dengan kekuatan batin. Pantas jika 
seseorang yang masuk ke dalam gua yang 
ada di bukit itu menjadi bingung mencari 
pintu dan jalan keluarnya. 
"Tapi akhirnya setelah kami terku-
rung di dalam gua selama sehari semalam, 
pintu gua kami temukan kembali. Saat itu 
sahabatku sudah sembuh betul, lalu kami 
berpisah arah. Dan aku bertemu dengan Da-
lang Setan. ia menuntut balas atas kema-
tian Dupa Dulang karena racun pisauku. 
Aku sempat kecolongan jurus, dan akhirnya 
babak belur. Ia sengaja tidak mau membu-
nuhku dengan cepat. Ia ingin aku menderi-
ta sampai menemui ajal. Kuhitung hari de-
mi hari, ternyata tujuh hari kemudian kau 
baru muncul. Aku tak tahu, ke mana saja 
kau sebenarnya?" 
"Aku... aku juga masuk ke dalam gua 
dan... tak bisa keluar. Karena maksudku 
sebenarnya mencari Kitab Panca Longok 
yang disimpan dalam gua bekas tempat se-
madinya Ki Mangut Pedas. Tapi... tapi aku 
tidak lama. Aku tak sampai seharian di 
dalam gua itu kok! Cuma sebentar, lalu 
keluar lagi." 
"Hemm!" Belati Binal mencibir. "Se-
bentar bagaimana? Ternyata kau jumpa aku 
lagi setelah tujuh hari aku terkapar luka 
parah di tempat tadi! Mungkin dua hari 
lagi aku tewas karena tak bisa sembuhkan 
luka racun dari pukulan si Dalang Setan 
itu!" 
"Benar-benar aneh," gumam Pandu Pu-
ber sambil merenung. Lalu, semua kata-
kata Dewi Selimut Malam yang berhubungan 
dengan misteri gua tersebut terngiang 
kembali di telinga Pandu. Ternyata perpu-
taran waktu benar-benar mengalami perbe-
daan yang menyolok antara di dalam gua 
dan di luar gua. 
Pendekar berpotongan rambut punk-
rock itu membatin kata di hatinya, "Pa-
dahal cuma sebentar lho, kok bisa terpaut 
sampai satu minggu, ya? Aku bicara dengan 

Dewi Selimut Malam juga hanya sebentar. 
Lalu... lalu aku mau pergi, tapi pintu 
gua ditutup, dan dia minta upah jika pin-
tu gua harus dibuka kembali. Dan... dan 
aku memberinya upah juga nggak sampai se-
minggu. Ah, kayaknya mustahil sekali deh. 
Masa' aku bercumbu dengannya sampai se-
minggu lamanya? Kayaknya sih cuma seben-
tar, hanya satu angkatan saja. Toh dia 
sudah merasa bahagia sekali mendapat ke-
mesraanku, dia sudah merasakan kepuasan 
yang menentramkan batinnya walau hanya 
sebentar. Tapi... mungkinkah waktu yang 
sebentar itu ternyata waktu seminggu bagi 
kemesraanku dengan Dewi Selimut Malam?" 
Bayangan kemesraan muncul dalam be-
nak Pandu Puber. Bayangan saat ia dicumbu 
habis oleh Dewi Selimut Malam yang ter-
nyata lebih buas serta lebih galak dari 
singa beranak itu sempat membuat hati 
Pandu berdesir-desir. Pandu Puber menga-
kui, kalau saja bukan dia pasangan perem-
puan itu, mungkin akan mati kehabisan te-
naga cinta. 
"Dewi Selimut Malam benar-benar se-
panas singkong baru diangkat dari penggo-
rengan. Ah, mudah-mudahan dia tidak mem-
bocorkan skandalku dengannya di depan Di-
an Ayu Dayen. Tapi repotnya kalau dia 
sampai ketagihan seperti Dardanila dan 
Janda Keramat itu bagaimana, ya?" 
Agaknya Pandu Puber mulai sadar 
bahwa siapa pun orangnya jika sudah per-
nah bercinta dalam kemesraan, yang amat 
dalam bersamanya, pasti akan mencari-cari 
dan menuntut adegan ulang. Tapi Pandu te-
tap belum tahu bahwa di dalam darah keme-
sraannya itu tertanam racun 'Pemikat Sur-
ga' sebagai keistimewaan dirinya yang 
berdarah blaster; dewa dengan jin itu. 
Racun tersebut bikin perempuan yang per-
nah berskandal dengannya menjadi tergila-
gila cumbuan, mudah dibangkitkan gairah-
nya hanya dengan membayangkan wajah sang 
anak dewa itu. Racun yang selalu menuntut 
kehangatan dari Pandu itu jika tidak di-
turuti akan membuat perempuan itu menjadi 
kurus, tekanan batin, akhirnya mati. 
Andai saja gadis pelacak itu sampai 
bercumbu dengan Pandu, maka gadis itu 
akan menjadi gadis gila kencan, dan tak 
akan tertarik dengan lelaki lain kecuali 
Pandu Puber. Untung saja Belati Binal tak 
terlibat urusan cinta dan kehangatan den-
gan Pendekar Romantis, sehingga ia bebas 
dari pengaruh gila kencannya racun 
'Pemikat Surga'. 
Pandu sendiri sebenarnya ingin me-
nikmati  kehangatan bibir Belati Binal, 
terutama kehangatan gumpalan dada yang 
mirip mangkok bakso itu. Tetapi karena 
sikap Belati Binal selalu berwajah cembe-
rut atau bersungut-sungut, tak pernah 
tersenyum sedikit pun, maka hasrat Pandu 
hanya sebatas mengagumi kecantikan si wa-
jah mungil itu. 
"Kau tak perlu bicarakan soal se-
nyumanku," kata Belati Binal ketika Pandu 
membicarakan 'anti senyum' yang ada di 
wajah Belati Binal, "... yang perlu kita 
bicarakan adalah kitab itu. Kau pasti su-
dah memperoleh Kitab Panca Longok dari 
dalam gua tersebut, bukan?" 
"Kau sama saja dengan si Dalang Se-
tan tadi; menuduhku mendapatkan kitab 
tersebut. Padahal aku masuk ke dalam gua 
dalam keadaan tersesat. Bukan gua itu se-
benarnya yang harus dimasuki." 
"Memang di bukit ini banyak gua." 
"Benar. Dan menurut seseorang yang 
kutemui di dalam gua itu, ternyata Kitab 
Panca Longok telah diambil oleh Ken Warok 
dan diserahkan kepada utusannya Ratu Ca-
dar Jenazah!" 
"Sial!" geram Belati Binal, wajah-
nya makin bebas senyum. "Sudah kuduga Ken 
Warok memang bekerja sama dengan Ratu Ca-
dar Jenazah!" 
"Nggak gitu kok. Ternyata menurut 
sang pertapa yang kutemui di gua itu, Ken 
Warok terancam bahaya. Karena merasa nya-
wanya terancam, mau tak mau ia serahkan 
kitab itu kepada sang utusan Ratu Cadar 
Jenazah. Kabarnya, sekarang kitab itu su-
dah ada di tangan sang Ratu!". 
"Kalau begitu aku akan merebutnya!" 
"Jangan. Itu berbahaya bagi kesela-
matan jiwamu. Kusarankan sebaiknya minta-
lah pendapat gurumu dulu. Nyai Cemara 
Langit punya cara sendiri untuk mengga-
galkan rencana Ratu Cadar Jenazah mempe-
lajari juru 'Lima Setan Bingung' yang ada 
di dalam kitab itu." 
Belati Binal diam termenung memi-
kirkan saran Pandu. Lalu ia bertanya den-
gan suara pelan, "Kau mau ke mana jika 
aku menghadap Guru?" 
"Apakah kau ingin kudampingi te-
rus?" 
"Aku  hanya bertanya!" jawab Belati 
Binal sambil bersungut-sungut malu  
TUJUH 
TENGKORAK Tobat adalah orang yang 
ditugaskan mendapatkan Kitab Panca Lon-
gok. Tak heran jika dia pun menjadi inca-
ran berbagai pihak. Salah satu orang yang 
mengincar kitab itu adalah Dalang Setan. 
Tujuannya bukan untuk mempelajari isi ki-
tab tersebut, melainkan untuk menaklukkan 
hati si Ratu Cadar Jenazah. 
"Kalau aku bisa dapatkan kitab ter-
sebut, maka Cadar Jenazah akan tunduk ke-
padaku. Setidaknya, dia akan berpikir 
bahwa aku adalah orang yang berbahaya ji-
ka sampai kupelajari isi kitab tersebut. 
Dan jika ia inginkan kitab itu, maka te-
busannya adalah perkawinan indah bersama-
ku." 
Begitulah jalan pikiran si tua-tua 
keladi yang makin tua makin seperti kela-
di itu. Sebab cinta yang tumbuh di hati 
Dalang Setan ternyata sudah cukup lama, 
sejak berusia tiga puluh lima tahun, yai-
tu setelah ia menjadi duda tanpa anak 
akibat ditinggal mati istrinya dan ogah 
nyusul ke alam kematian. 
Dalang Setan pun segera melamar Ra-
tu Cadar Jenazah, tapi lamarannya selalu 
ditolak dengan cara halus. Bahkan ketika 
Dalang Setan kerahkan murid-muridnya un-
tuk menyerang pihak Ratu Cadar Jenazah, 
ternyata kekuatannya kalah. Padahal semu-
la ia ingin persunting sang Ratu dengan 
cara paksa. 
Sekarang karena ada kasus Kitab 
Panca Longok, tentunya Dalang Setan tak 
mau sia-siakan kesempatan itu. Ketika Du-
pa Dulang belum 'wassalam' alias mati, 
Dupa Dulang pernah kasih saran sama sang 
Guru dalam acara santai bersama setelah 
ujian selesai. 
"Mengapa Guru harus memburu Ratu 
Cadar Jenazah? Toh masih banyak wanita 
lain yang nilai kecantikannya sama dengan 
Ratu Cadar Jenazah, bahkan yang lebih 
cantik pun ada. Guru tinggal pilih yang 
mana, nanti kami sebagai murid setia Guru 
yang akan melamarkannya." 
"Dupa Dulang, kau tidak tahu arti 
cinta yang sejati. Bagiku, biarpun seribu 
bidadari berdiri di depanku tanpa busana, 
aku tetap akan memilih Ratu Cadar Jena-
zah. Kenapa begitu? Karena yang memilih 
adalah hatiku, dan di dalam hatiku ter-
pendam telaga cinta yang murni, bersih, 
dan bening. Telaga cinta itu khusus untuk 
dia, Dupa Dulang." 
"Saya khawatir Guru kena pikat 
olehnya." 
"Tidak mungkin. Malahan ilmu pi-
katku nggak mempan untuk dirinya. Dan la-
gi, kenapa kau bisa bilang begitu, Dupa 
Dulang?" 
"Karena tadi Guru bilang, biar ada 
sepuluh bidadari tanpa busana berdiri di 
depan, maka Guru tetap akan memilih sang 
Ratu." 
"Itu kan hanya ibaratnya saja, Gob-
lok! Kalau memang benar-benar ada sepuluh 
bidadari tanpa busana berdiri di depan 
mata, yaaah... seret satu per satu dong! 
Cari tempat sepi." 
"Untuk apa dibawa ke tempat sepi, 
Guru?" 
"Suruh nyabutin ubanku!" Jawab sang 
Guru agak jengkel dengan pertanyaan yang 
dianggap mana bego itu. 
Kobaran api cinta sang Dalang mem-
buat ia mengatur siasat. Beberapa murid 
pilihan dikumpulkan. Mereka diberi penga-
rahan dan diberi tugas masing-masing. 
"Dupa Dulang bertugas mencari cu-
cunya Ki Mangut Pedas. Pasti dia tahu di 
mana kitab itu disembunyikan. Kalau kau 
gagal, maka Jamak Jidat menggantikannya. 
Dan tentunya Ratu Cadar Jenazah tak ting-
gal diam. Dia pasti mengirimkan utusannya 
untuk merebut kitab itu. Maka seandainya 
terjadi demikian, bayang-bayangi terus 
siapa orang yang diutusnya itu. Jika ki-
tab itu ada di tangannya, rebut dan habi-
si di jalan. Jamak Jidat orang yang harus 
membayang-bayangi siapa utusan dari Ratu 
Cadar Jenazah itu. Paham?" 
"Paham, Guru!" 
"Kalau Jamak Jidat gagal, maka Le-
gawa harus menghadang si pembawa kitab 
itu di tebing perlintasan menuju Bukit 
Guiana." 
"Kalau saya gagal bagaimana, Guru?" 
tanya Legawa yang bersuara kecil cempreng 
itu. 
"Kalau kau gagal, maka Dewa Dung-
dung menghadang perjalanan kitab itu di 
pantai yang menuju ke Bukit Gulana, dekat 
perbatasan wilayah itu. Ngerti?" 
Dewa Dungdung yang bertubuh kurus 
ceking itu mengangguk dengan mulut ben-
gong bagaikan tak paham atas penjelasan 
tersebut. Dewa Dungdung memang bertampang 
bloon, tapi kesaktiannya terletak pada 
benda kecil yang dapat ditabuh sewaktu-
waktu dan getaran suaranya bisa memecah-
kan gendang telinga lawan dalam sekali 
tabuh. Karena itulah maka ia dijuluki se-
bagai Dewa Dungdung. 
Itulah  sebabnya perjalanan Kitab 
Panca Longok tidak bisa semulus dugaan 
pihak sang Ratu. Perjalanan yang seharus-
nya cukup dua hari menjadi berhari-hari. 
Masalahnya, Tengkorak Tobat yang telah 
berhasil memaksa Ken Warok untuk dapatkan 
Kitab Panca Longok itu selalu menghadapi 
hambatan yang tidak kecil. Selain harus 
menyingkirkan Jamak Jidat bersama dua 
anak buahnya, juga harus menyingkirkan 
Legawa bersama tiga anak buahnya. 
Tengkorak Tobat jadi bahan buruan 
orang-orang itu. Ia seperti maling yang 
dikepung ke sana-sini, sampai-sampai ma-
syarakat sebuah desa percaya dengan te-
riakan Jamak Jidat, sehingga penduduk de-
sa itu ikut-ikutan mengejar Tengkorak To-
bat yang disangka maling benaran itu. 
Dengan susah payah, akhirnya satu-
persatu dapat ditumbangkan oleh Tengkorak 
Tobat yang bersenjata kapak berantai. Ga-
gang kapaknya jika ditarik ke bawah dapat 
keluarkan rantai panjang dan bisa diguna-
kan untuk disabetkan ke lawan. Tentu saja 
lawan yang kena sabetan itu akan terpeng-
gal lehernya atau terpotong anggota tu-
buhnya. Bahkan ada anak buah Jamak Jidat 
yang terpotong hidungnya gara-gara ter-
lambat menarik kepala saat kapak itu me-
mangkas permukaan wajahnya. 
"Jamak Jidat, kuberi kesempatan pa-
damu untuk mundur. Kalau masih nekat, aku 
tak akan pandang bulu lagi. Walaupun kau 
murid si Dalang Setan, akan kutebas pula 
lehermu dengan kapak terbangku ini!" Ja-
mak Jidat semakin berang mendengar tan-
tangan itu. Dua anak buahnya sudah tum-
bang, mau tak mau ia harus menuntut balas 
kematian dua anak buahnya itu. Maka tanpa 
banyak kompromi lagi, Jamak Jidat menye-
rang Tengkorak Tobat dengan Jurus golok 
yang dinamakan 'Janda Golok Pitu'. Namun 
karena memang ilmu Tengkorak Tobat lebih 
tinggi dari orang-orang utusan si Dalang 
Setan, maka mau tak mau Jamak Jidat pun 
tumbang dipangkas kapak tepat pada bagian 
lehernya. Tak heran jika Jamak Jidat pu-
lang tanpa membawa kepalanya. Lebih tak 
mengherankan lagi jika ia tak bisa pulang 
sambil membawa kepalanya, seperti yang 
dialami saat itu. 
Tengkorak Tobat semula riskan mau 
membunuh anak buah Dalang Setan, sebab 
sebelum ia menjadi orangnya Ratu Cadar 
Jenazah, ia pernah bersatu bahu-membahu 
bersama Dalang Setan dalam menyerang Ke-
raton Kahuripan di Pulau Sanga. Praktis 
sebenarnya antara Tengkorak Tobat dengan 
Dalang Setan pernah menjalin persahabatan 
yang baik. 
Namun agaknya persahabatan itu tak 
bisa dipertahankan lagi. Tengkorak Tobat 
tak memberi kesempatan orang-orangnya Da-
lang Setan untuk bertobat. Semua mati di-
pangkas kapak terbangnya, sedangkan Kitab 
Panca Longok masih tetap ada di selipan 
pinggang di bagian belakang. 
Pada waktu itu hampir mencapai per-
batasan Bukit Guiana, di daerah pantai, 
mau tak mau dia harus berhadapan dengan 
Dewa Dungdung dengan empat anak buahnya. 
Pertarungan di pantai itulah yang dilihat 
Pandu Puber secara sembunyi-sembunyi. 
Dari tempat persembunyiannya, Pen-
dekar Romantis sempat terkagum-kagum me-
lihat kehebatan senjata kapak terbang 
itu. Tengkorak Tobat mampu tumbangkan 
keempat anak buah Dewa Dungdung dalam be-
berapa jurus saja. Tetapi Dewa Dungdung 
sendiri cukup ulet dan alot. Berulang 
kali serangan Tengkorak Tobat mampu di-
hindari Dewa Dungdung. 
Akhirnya Dewa Dungdung pergunakan 
senjata bende andalannya. Ketika bende 
itu ditabuh satu kali, suaranya menggema 
ke mana-mana. 
Tuungngng...! 
"Aaahg...!" Tengkorak Tobat menge-
jang dalam keadaan jatuh berlutut. Ia me-
mejamkan mata kuat-kuat karena menahan 
rasa sakit yang luar biasa hebatnya. Tapi 
anehnya Dewa Dungdung sendiri tidak mera-
sakan sakit sedikit pun, demikian pula 
Pandu Puber yang ada di persembunyiannya. 
Rupanya gema suara bende tersebut hanya 
menyerang lawan yang dituju oleh mata si 
Dewa Dungdung. Orang yang bukan lawan De-
wa Dungdung biar mendengar suara bende 
dari jarak sejengkal tidak akan merasa 
kesakitan, cuma bikin budek aja. 
Hampir saja Tengkorak Tobat mati 
dengan kepala pecah karena getaran gelom-
bang suara bertenaga dalam tinggi dari 
bende tersebut. Untung ia segera atasi 
kekuatan itu dengan tenaga dalamnya yang 
dikerahkan hingga tubuh gemetaran. Wajah 
yang memerah, urat yang menegang berton-
jolan keluar dari kulit leher membuat su-
ara bende tak mampu memecahkan kepalanya. 
"Heaaat...!" Tengkorak Tobat sen-
takkan kakinya ke tanah dan tubuhnya me-
lesat lurus ke atas. Pada saat itulah ka-
pak berantai disabetkan ke arah Dewa 
Dungdung. Rupanya dengan sentakan khusus, 
rantai itu bisa menjadi panjang mendadak, 
sehingga jarak yang disangka tak akan 
sampai ke tubuh Dewa Dungdung, ternyata 
dengan mudah bisa dijangkau oleh kapak 
tersebut. Wuungngng...! 
Kelebatan kapak begitu cepat, ba-
gaikan angin berhembus menjelang hujan 
turun. Dan mata kapak yang sebesar bela-
han piring itu dengan girangnya menyambar 
leher Dewa Dungdung. Crass...! 
Kepala Dewa Dungdung tidak langsung 
jatuh. Bahkan dalam keadaan tidak berge-
rak dan masih berdiri, Dewa Dungdung ma-
sih sempat tersenyum sinis. Tapi tiba-
tiba mata Pandu Puber melihat ada darah 
mengalir dari sekeliling leher Dewa Dung-
dung. Kejap berikutnya senyum Dewa Dung-
dung hilang karena sewaktu ia ingin ber-
gerak, ternyata kepalanya menggelinding 
jatuh ke tanah. Pluk...! 
Kalau sudah begitu tentunya sang 
nyawa malas berdiam di raga tanpa kepala. 
Dengan lain perkataan, matilah Dewa Dung-
dung tanpa senyum seulas 
"Jahanam kau, Tengkorak bangsat!!" 
teriak sebuah suara yang muncul dari ba-
lik gundukan batu. Orang itu ternyata 
adalah Legawa, yang sewaktu bertarung 
dengan Tengkorak Tobat di lereng perlin-
tasan sempat melarikan diri mencari sia-
sat membokong itu. Tapi siasat itu agak-
nya terlambat. Ketika seharusnya ia le-
paskan serangan dari belakang tengkorak 
Tobat, rekan seperguruannya sudah telan-
jur dipenggal oleh si Tengkorak Tobat. 
Emosinya  meluap, sehingga ia berteriak 
keras-keras saat melepaskan serangan be-
rupa sinar merah membara dari telapak 
tangan kanannya. 
Clapp...! Wuuut...! 

Tubuh Legawa melompat cepat, bagai 
mengikuti gerakan sinar merahnya. Ternya-
ta sinar merah itu dihantam oleh sinar 
hijau yang bergerak lebih cepat. Sinar 
hijau itu datang dari balik gugusan batu 
karang. 
Ternyata di sana ada orang yang me-
mihak Tengkorak Tobat. Sinar hijau mampu 
menghantam sinar merah dengan tepat sebe-
lum sinar merah mencapai punggung Tengko-
rak Tobat. Blegarr...! 
Tapi kedua orang yang sedang bermu-
suhan itu akhirnya sama-sama terjungkal 
dalam keadaan terpental jauh. Ledakan itu 
sempat menimbulkan angin panas yang meng-
hembus sesuai arah angin di pantai itu. 
Gugusan batu karang yang ada di perairan 
pantai sebelah timur menjadi hangus men-
dadak karena angin panas tadi. 
"Mundurlah, Tengkorak Tobat. Biar 
kubereskan orang itu!" 
"Ranting Kumis!" seru Tengkorak To-
bat dengan suara berat seraya bangkit 
berdiri. "Dia masih bagianku. Biar kuse-
lesaikan sendiri. Bawalah  kitab ini pu-
lang secepatnya!" 
Tengkorak Tobat segera keluarkan 
kitab itu, lalu dilemparkan ke arah Rant-
ing Kumis. Tabb...! Orang berkumis kaku 
seperti ranting itu menangkap kitab ter-
sebut. 
"Cepat serahkan pada Ratu!" sentak 
Tengkorak Tobat. Sementara itu,  Legawa 
segera maju menyerang lagi dengan kilatan 
cahaya dari kedua tangannya secara berun-
tun. Clap, clap, clap, clap...! 
Tengkorak Tobat menangkis serbuan 
sinar kuning itu dengan putaran kapak be-
rantai yang kecepatan putarnya menyamai 
baling-baling pesawat Boing. Putaran ka-
pak itu keluarkan sinar menyebar warna 
hijau pula dan terjadilah ledakan berun-
tun menyerupai petasan memberondong, mi-
rip petasan di pesta perkawinan. 
Pendekar Romantis segera bergerak 
menghadang si Ranting Kumis yang membawa 
Kitab Panca Longok. 
"Maaf mengganggu perjalananmu se-
bentar, Sobat!" kata Pandu Puber dengan 
santainya. Si Ranting Kumis memandang 
dengan sikap bermusuhan. 
"Kau murid barunya Dalang Setan?!"  
"Bukan," jawab Pandu, "Tapi barang-
kali aku adalah musuh barumu jika kau tak 
mau serahkan kitab itu!" 
"Keparat kau! Barangkali kau belum 
tahu siapa aku, hah?!" 
"Sudah. Kudengar Tengkorak Tobat 
memanggilmu dengan nama si Ranting Kumis. 
Pantas sekali nama itu bila ditinjau dari 
kumis kakumu yang mirip ranting itu. Tapi 
tujuanku menahan langkahmu bukan untuk 
bicara tentang kumis. Aku hanya mau...," 
ucapan itu terhenti karena jeritan yang 
memilukan. 
"Aaa...!" 
Rupanya Legawa terkena tebasan ka-
pak. Dadanya terbelah oleh sabetan kapak 
Tengkorak Tobat. Tentu saja ia langsung 
terjengkang ke belakang dan tak lebih da-
ri tiga helaan napas sang nyawa pun lolos 
meninggalkan raganya menuju ke akherat 
tanpa membawa peta segala. 
"Siapa lagi itu?!" teriak Tengkorak 
Tobat melihat Pandu menghadang Ranting 
Kumis. Ia bergegas melesat menghampiri 
Ranting Kumis. Wajah kurus bermata bundar 
cekung itu menatap Pandu dengan bengis. 
"Bocah pongah ini menghendaki kitab 
kita, Tengkorak Tobat!" 
"Minggirlah, biar kubantai sekalian 
yang kayak gini!" 
"Heeat...!" Ranting Kumis melompat 
meninggalkan tempat sambil menendang ke 
samping dan tepat kenai wajah Pandu. Se-
telah itu ia melesat terus, berlari me-
nyelamatkan Kitab Panca Longok menuju ke 
Bukit Gulana. 
Pandu Puber menggerutu, karena ten-
dangan di luar dugaan itu telah membuat-
nya jatuh terjungkal ke samping. Ia sem-
pat melihat kitab itu dibawa lari oleh 
Ranting Kumis, namun sebelum ia bergerak 
mengejarnya, kapak berantai itu telah 
menghantam punggungnya lebih dulu. 
Wuusss...! 
Untung Pandu Puber mampu bergerak 
bersalto ke belakang dengan menggunakan 
tumpuan kedua tangannya sehingga tebasan 
kapak itu dapat dihindari. Tetapi Tengko-
rak Tobat menjadi lebih beringas lagi ka-
rena tak menyangka tebasan kampaknya gag-
al mencapai sasaran. Ia segera menyerang 
dengan sebuah tendangan kaki, namun tan-
gan Pandu berkelebat menangkis, dan ka-
kinya ganti menendang sambil badan berpu-
tar ke belakang. Kaki itu masuk ke dada 
Tengkorak Tobat yang kurus kerempeng itu. 
Brakk...! Tulang dada terasa patah semua. 
Orang berbaju hitam dengan lengan 
bajunya yang putih itu ternyata termasuk 
orang yang kuat. Biar tubuhnya tinggal 
tulang-belulang tapi ia mampu bertahan 
menghadapi serangan sekeras itu. Dalam 
waktu sekejap ia mampu bangkit dari ja-
tuhnya. Walau wajahnya menyeringai mena-
han rasa sakit di bagian dada, tapi ia 
masih mampu melompat ke arah Pandu dengan 
menghantamkam kapaknya. 
Wuung...! 
Pandu Puber melompat ke samping, 
kapak pun menghantam tempat kosong. Kare-
na gerakannya dari atas ke bawah, maka 
kapak itu pun menancap di pasir pantai. 
Tapi dengan sekali sentak, kapak berantai 
itu mampu melesat mundur dan  ditangkap 
dengan satu tangan oleh Tengkorak Tobat. 
Rupanya orang berambut kucai yang 
mengenakan ikat kepala merah dengan usia 
sekitar empat puluh tahun itu termasuk 
orang yang tak mau memberi kesempatan pa-
da lawan seriusnya untuk bertobat dalam 
arti melarikan diri. Pandu Puber yang se-
benarnya ingin mengejar Ranting Kumis ja-
di terhalang lagi oleh serangan Tengkorak 
Tobat. Orang itu menyerang dengan kapak 
di tangan dan hampir saja berhasil mero-
bek dada Pandu Puber ketika kapaknya ta-
hu-tahu berkelebat menyamping. Wuusss...! 
Bahgg...! Pandu terjungkal ke bela-
kang. Ternyata kibasan kapak menyemburkan 
gelombang tenaga dalam cukup tinggi yang 
menyentak sangat kuat itu. Gazrukk...! 
Pandu terkapar di pasir pantai. Tengkorak 
Tobat tak berikan kesempatan Pandu untuk 
bangkit, maka kapak itu diayunkan bersama 
rantainya membelah ke tubuh yang terkapar 
itu. 
Clapp...! Dalam keadaan terbaring 
Pandu Puber terpaksa lepaskan jurus 
'Cakram Biru' yang berupa sinar biru ber-
bentuk cakram keluar dari pergelangan 
tangan. Clapp...! 
Sinar biru itu melesat ke langit 
tepat menyambut datangnya mata kapak yang 
putih mengkilap itu. Maka seketika itu 
juga terdengarlah ledakan membahana aki-
bat benturan sinar biru dengan mata kapak 
itu. Glegarrr...! 
Pantai dan air laut berguncang. Tu-
buh Pandu Puber berguling-gulling hindari 
semburan sinar biru keruh dari ledakan 
tersebut. Sementara itu, Tengkorak Tobat 
diam tertegun bengong. Shock begitu meli-
hat kapaknya hancur menjadi serpihan-
serpihan tak berarti lagi. Sementara ran-
tainya masih utuh terkait di sisa gagang 
kapak yang hangus.  
Pandu Puber segera bangkit, karena 
pada waktu itu ia mendengar teriakan 
Tengkorak Tobat yang mirip orang kesuru-
pan. Emosi kemarahannya meluap sontak 
tanpa takaran lagi. 
"Bangsat...!! Heeaaahh...!" 
Kedua tangan Tengkorak Tobat bersi-
nar, sinar itu berwarna merah membara. 
Dari matanya pun keluar sinar merah mem-
bara, dari mulutnya keluar semburan api 
yang menyambar wajah Pandu Puber. 
Zlap, zlapp, zlapp...! 
Pandu Puber gunakan gerak jurus 
'Angin Jantan', yang membuatnya mampu 
berpindah tempat dengan cepat. Hal itu 
cukup membingungkan Tengkorak Tobat, se-
hingga serangan buasnya dengan pasukan 
sinar merahnya itu hanya menghantam ben-
da-benda tak berarti; batu, pohon, ka-
rang, dan kepala si Dewa Dungdung yang 
tergeletak di pasir itu. 
"Aku di sini, Tengkorak Tobat!" 
Suara itu datang dari belakang. 
Tengkorak Tobat cepat balikkan badan. Ta-
pi tepat ia berbalik badan, sinar putih 
perak melesat dari telapak tangan Pandu 
yang saling merapat di dada. Clapp...! 
Sinar putih perak itu menghantam telak 
dada Tengkorak Tobat. Blarrr...! 
Akhirnya lenyap sudah tubuh itu. Ke 
mana perginya? 
Menjadi abon. Serpihan tubuh itu 
nyaris tak bisa dikenali sebagai serpihan 
tubuh manusia. Jurus 'Inti Dewa' yang 
berbahaya terpaksa digunakan Pandu karena 
lawannya tak mau memberi kesempatan untuk 
berunding. Mau tak mau riwayat Tengkorak 
Tobat berakhir sampai di situ. Satu-
satunya sisa peninggalan masa hidupnya 
hanyalah rantai kapak yang masih terkait 
di gagang yang hangus tanpa mata kapak 
itu. 
Pendekar Romantis berdiri tegak 
dengan kedua kaki merenggang kokoh. Da-
danya yang bertato membusung dan segera 
mengendur bersama hembusan napas kele-
gaannya. Dalam hati sang Pendekar Roman-
tis, berkata, "Aku harus mengejar si 
Ranting Kumis sebelum kitab itu sampai di 
tangan Ratu Cadar Jenazah!" 
Namun ketika ia mau bergerak, men-
dadak ada suara yang memanggilnya dari 
balik semak-semak, tak jauh dari tempat-
nya bersembunyi tadi. 
"Pandu...!" 
Pemuda tampan itu segera berpaling. 
"Oh, kau...?! Bagaimana kau bisa sampai 
di Sini, Ken Warok?" 
Ternyata orang itu adalah Ken Warok 
yang segera menghampiri Pandu Puber. 
"Aku mengikuti Tengkorak Tobat se-
cara diam-diam. Sebenarnya aku ingin mem-
bunuhnya sendiri pada saat dia dalam kea-
daan lemah atau lengah. Aku ingin memba-
las kematian kakekku. Tapi ternyata kea-
daannya selalu unggul melawan orang-
orangnya Dalang Setan. Aku tak pernah 
punya kesempatan untuk menyerang kelema-
hannya. Tapi, syukurlah kalau sekarang ia 
sudah menjadi dendeng karena jurus mautmu 
yang kulihat dari semak-semak itu, Pan-
du?"  
"Ya, tapi aku harus mengejar Rant-
ing Kumis. Dia membawa lari kitab itu!" 
"Tak perlu," ujar Ken Warok sambil 
tersenyum. "Kitab itu palsu." 
"Hah...?! Palsu?!" 
"Aku sempat lupa benaran waktu ce-
rita padamu tentang kitab dan kakekku, 
bahwa Kakek mempunyai Kitab Panca Longok 
yang palsu untuk mengatasi hal-hal seper-
ti saat ini. Dan ketika aku terancam oleh 
Tengkorak Tobat, kuserahkan kitab yang 
palsu kepadanya. Kitab Panca Longok yang 
asli ada padaku!" Lalu pemuda pendek, ke-
cil, kurus itu keluarkan kitab dari dalam 
bajunya. Ia memperlihatkan kitab itu den-
gan bangga. Pandu Puber pun tertawa meli-
hat kecerdikan Ken Warok yang penampilan-
nya sering menjengkelkan karena sifat sok 
tahunya itu. "Akan kau apakan kitab itu, 
Ken Warok?!"  
"Terserah kau sajalah! Aku tak mau 
pusing lagi dengan kitab itu!" 
Ken Warok melemparkan kitab terse-
but, dan Pandu menangkapnya. Kemudian me-
reka melangkah bersama sambil Ken Warok 
bertanya, 
"Bagaimana dengan gadis bernama Be-
lati Binal itu?" 
"Ia mengharap kehadiranku saat kami 
berpisah di persimpangan jalan. Aku di-
mintanya datang ke perguruannya." 

"Aslinya yang diharapkan datang itu 
aku, tapi karena dia nggak enak sama ka-
mu, maka dia berpura-pura menyuruhmu da-
tang. Dalam hal ini aku sebenarnya harus 
tahu diri. Mau tak mau aku harus ikut 
denganmu ke perguruannya." 
Pandu mencibir, "Sok tahu lu!" dan 
Ken Warok hanya cengar-cengir sambil ga-
ruk-garuk kepalanya yang berambut cepak, 
seperti mahasiswa habis diplonco.  
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com