Roro Centil 26 - Sukma Kala Wrenggi(1)




1

DUA PERISTIWA menggemparkan yang melanda
Partai Perguruan LERENG MERAPI dan Perguruan
KELABANG WUNGU segera tersiar cepat di kalangan
persilatan. Bahkan sampai terdengar beritanya ke wi-
layah Kota Raja. Kemunculan sukma KALA WRENGGI
telah membuat keresahan setiap penduduk hingga
membuat mereka tak dapat hidup tenang. Bayangan
ketakutan tampak terlihat di setiap wajah para petani
penduduk desa Gading Rejo, juga beberapa desa ter-
dekat lainnya. Desa-desa itu berdekatan dengan wi-
layah Perguruan Kelabang Wungu yang baru saja
mengalami kehancuran.
Puluhan murid-murid perguruan itu mengalami
kematian di tangan sukma Kala Wrenggi yang masuk
ke goa garba Shinduro, murid Ki Bogota dari partai Le-
reng Merapi.
Dua hari kemudian sejak diadakan penguburan
massal  di lereng  bukit itu, RANDU WANGI tertunduk
layu menatap gundukan tanah yang baru. Di bawah
tanah merah itu terbaring jasad SHINDURO yang telah
dijadikan alat untuk membantai orang-orang Partai Le-
reng Merapi dan perguruan Kelabang Wungu.
"Tuhan.  Semoga  engkau memberinya tempat yang
lapang di alam kubur dan mengampuni segala do-
sanya. berkata Randu Wangi dengan suara terisak.
Akan tetapi segera cepat bangkit berdiri seraya meng-
hapus air matanya, ketika didengar suara di belakang.
"Sudahlah, anak manis. Orang yang sudah  mati
janganlah dikenang lagi. Kau harus merelakan keper-
giannya dengan hati ikhlas"
"Ya, paman. Aku memang telah ikhlas dan merela-

kan kematiannya. Manusia memang takkan luput dari
kematian. Maafkan aku telah terhanyut dalam kesedi-
han." sahut Randu Wangi seraya cepat menjura pada
orang tua berjubah ungu itu yang berdiri dibelakang-
nya sambil meggendong tangan. Kelabang Wungu ter-
senyum manggut-manggut. "Kau benar, anak baik.
Nah, sebaiknya kau segera kembali ke pesanggrahan.
Tak baik berada di tempat sesunyi ini seorang diri!"
ujar Kelabang Wungu, ketua dari Perguruan Kelabang
Wungu itu dengan lemah lembut. Segera balikkan tu-
buhnya dan melangkah pergi dari tempat itu.
"Baiklah, paman" sahut Randu Wangi seraya beran-
jak melangkah mengikuti di belakang  si Kelabang
Wungu, yang telah melangkah terlebih dulu. Randu
Wangi masih sempat untuk menoleh lagi pada gundu-
kan tanah merah itu. "Selamat tinggal Shinduro, se-
moga kau tenang di alam Baka." bisiknya perlahan. La-
lu bergegas menyusul orang tua itu. Pada saat itu satu
bayangan tubuh berkelebat dihadapannya.
"Randu Wangi! kau ada disini?" Tersentak gadis ini,
karena segera melihat siapa orang tua dihadapannya.
"Ayah..!? ya! aku memang berada disini. Mau apa-
kah kau menyusulku?" berkata Randu Wangi. Gadis
ini masih mendongkol dengan sang ayah. Bahkan kini
rasa mendongkol itu telah berubah jadi kebencian. Ka-
rena gara-gara ayahnyalah, hingga Shinduro harus ke-
hilangan nyawanya. Bahkan jasadnya dipergunakan
sukma KALA WRENGGI untuk menyebar maut. Wajah
Ki Bogota menampilkan kemarahan. Lagi lagi dia
membentak dengan suara parau dan kasar.
"Randu Wangi! kau memang anak yang tak tahu di-
untung! Sudahlah! ayo, kau pulanglah ke Lereng Me-
rapi. Bukankah kau sudah mengetahui siapa Shinduro
kini? Lihatlah! bukan orang-orang Partai Lereng Mera-

pi saja yang telah kehilangan nyawa, akan tetapi
orang-orang Perguruan Kelabang Wungupun menjadi
korban Shinduro. Dia adalah masih keturunan KALA
WRENGGI. Kalau kubiarkan kau menikah dengannya
akan cemarlah namaku dimata orang banyak!" berkata
Ki Bogota.
"Harap anda maafkan aku, Ki Bogota! Sungguh aku
tak mengetahui kalau sore ini aku akan kedatangan te-
tamu agung!" Diiringi kata-kata demikian, Kelabang
Wungu sudah berkelebat dan berdiri tepat dihadapan
Ki Bogota.
Laki-laki tua ketua Partai Lereng Merapi ini mena-
tapnya dengan wajah sinis. "Hm, sudah lama kita tak
pernah berjumpa, sobat Kelabang Wungu. Akan tetapi
aku bukan tetamu agung. Aku kemari bukan mau ber-
tamu ke tempat tinggalmu. Melainkan aku akan mem-
bawa pulang anak ku!"
"O, begitu? aku mana berani  menghalangi niatmu
itu, sobat Bogota. Aku baru saja mengalami musibah
besar. Kudengar kau juga baru mengalami bencana di-
tempat bercokolmu!"
"Tidak salah!" potong Ki Bogota. "Tapi itu bukan
urusanmu" Sejak kau memisahkan diri dari Partai Le-
reng Merapi, kukira sudah tak ada lagi hubungan kita.
Nah cukup bukan?" seraya menyahuti demikian, Ki
Bogota menoleh pada Randu Wangi.
"Ayo, Randu Wangi! segera kita pulang!" ujarnya
pada gadis itu. Akan tetapi Randu Wangi melangkah
mundur dua tindak.
"Tidak! aku tak akan kembali lagi ke Lereng Merapi!
Sementara aku memang akan menetap disini. Tapi ti-
dak untuk selamanya. Selanjutnya aku tak perlu
memberitahu kemana aku akan pergi!" sahut Randu
Wangi ketus. Mendengar kata-kata demikian dapat di-

bayangkan betapa marahnya Ki Bogota.
"Bocah sialan!" memaki orang tua ini. "Kau mau
memutuskan hubungan antara ayah dan anak? Kau
mau putuskan pertalian darah keluarga kita? Katakan
sekarang juga! apakah kau masih mengakui aku
ayahmu?" bentak ketua Partai Lereng Merapi ini den-
gan mata mendelik gusar.
"Hubungan darah mana bisa diputuskan? Aku ma-
sih mengakui kau ayahku, walau sebenarnya aku amat
membencimu! Aku dendam padamu! karena kau telah
membunuh Shinduro. Aku tahu bukan kau yang telah
menurunkan tangan keji membunuhnya. Akan tetapi
kau telah menganiayanya, dan perintahkan anak
buahmu membunuhnya! Shinduro bisa hidup lagi
akan tetapi bukan berisi sukmanya lagi melainkan
sukma KALA WRENGGI. Ada hubungan atau tidaknya
Shinduro dengan KALA WRENGGI kukira bukan soal.
Tapi yang menjadi persoalan adalah, kau telah membe-
rikan hukuman yang teramat kejam, tanpa menaruh
belas kasihan sedikitpun! Bahkan kau tega menyuruh
orang membunuhnya! Kelakuan seorang ayah yang se-
demikian itu telah membuat aku tak bersimpati pada-
mu lagi! Oleh sebab itu maaf kan, aku terpaksa tak
dapat kembali lagi ke Lereng Merapi untuk selamanya!"
ucap Randu Wangi dengan kata-kata keras dan pasti.
Dia telah nekat untuk menghadapi apapun yang bakal
terjadi.
Merah padam seketika wajah Ki Bogota. Giginya
berkrotakan menahan geram.
"Bocah sialan!" makinya. "Kalau begitu kau mam-
puslah!" Seraya membentak keras Ki Bogota arahkan
telapak tangannya untuk menghantam Randu Wangi
dengan pukulannya. Akan tetapi satu tolakan tenaga
dalam segera menghadangnya. Terdengar suara bera-

dunya telapak tangan.
Plakk!
Ki Bogota terhuyung ke belakang dua-tiga tindak.
Hantaman barusan terasa oleh laki-laki tua ini bagai-
kan dihalang oleh sambaran angin yang berhawa din-
gin. Bahkan tolakan itu sekaligus telah membuat dia
terhuyung. Segera dia tahu siapa yang melakukannya.
"Sabar, sobat tua bangka! kukira anda telah ber-
buat amat keliru kalau mau membunuh anak sendiri!"
terdengar suara halus Kelabang Wungu. Walaupun dia
dapat menggagalkan serangan kakek ketua Partai Le-
reng Merapi itu, namun diam-diam dia terkejut, karena
merasakan telapak tangannya kesemutan. Tahulah Ke-
labang Wungu kalau bekas sahabat dari satu Partai itu
telah banyak kemajuannya dalam hal tenaga dalam.
Ternyata si Kelabang Wungupun barusan terhuyung
dua-tiga tindak.
"Bagus! kau mau melindungi bocah sialan ini? Hm,
kau memang terlalu sombong, Kelabang Wungu! kau
kira aku akan jeri melihat kehebatan ilmu mu? Heh!
Boleh juga aku menjajal, sampai dimana kemajuan il-
mu kedigjayaan mu selama ini!"
"Aku hanya melindungi seorang gadis yang baru
berduka  cita karena kematian seorang pemuda yang
dicintainya, walau bagaimanapun aku takkan biarkan
kau meminta nyawanya!" berkata Kelabang Wungu
dengan suara datar.
"Kelabang Wungu! cukuplah! jangan putar lidah di
depanku! Aku atau kau yang sampai hari ini masih bi-
sa bernapas! Mari bertarung denganku sampai 1000
jurus!" membentak Ki Bogota.
"Atau kau memang mau mengangkangi Pedang Pu-
sakaku yang dicuri anak bengal ini?" berkata Ki Bogota
dengan wajah geram menatap pada Randu Wangi. Lalu

beralih pada Kelabang Wungu dengan mendelik tajam.
"Hm, segala Pedang Pusaka aku tak tahu menahu,
akan tetapi yang jelas aku akan menerima tantangan-
mu untuk berduel denganku! Akupun sudah lama in-
gin merasai kehebatan ilmu silat Ketua Partai Lereng
Merapi yang kabarnya ilmu silatnya semakin hebat!"
ujar Kelabang Wungu dengan tandas.
Ki Bogota tak banyak bicara lagi. Sepasang lengan-
nya telah terangkat untuk segera lancarkan serangan
dahsyat mengarah ke dada dan satu lagi berputar un-
tuk selanjutnya menghantam kepala Kelabang Wungu.
Akan  tetapi Kelabang Wungu sudah maklum den-
gan kehebatan lawan. Dengan membentak keras sepa-
sang tinjunya digunakan menangkis serangan baru-
san, dengan menggunakan tenaga dalam yang telah
diperhitungkan.
Terdengar suara BUK! BAK! BHESS!
Asap putih membumbung ke udara akibat benturan
kedua tenaga dalam mereka. Ki Bogota terhuyung ke
belakang sejauh satu tombak. Dan Kelabang Wungu
terlempar keras. Tubuhnya menghantam batu besar
dibelakangnya. Akibat dari beradunya dua pukulan
bertenaga dalam tinggi telah mengakibatkan Kelabang
Wungu harus menanggung resiko cukup besar. Karena
Ki Bogota telah mempergunakan jurus terhebat dari
Lereng Merapi. Yaitu jurus Dewa Kawah Merapi. Jurus
ini mengandung hawa panas seperti panasnya kawah
gunung Berapi. Beruntunglah bagi Kelabang Wungu
yang telah mengandalkan pukulan berhawa dingin
hingga rasa panas yang bersarang ditubuhnya agak
berkurang. Namun tak urung dia sempat kelojotan, se-
saat setelah tubuhnya beradu dengan batu besar dan
merasai kesakitan yang membuat dia menyeringai.
"Jurusku ini bisa menghantar nyawamu keliang

kubur, Kelabang Wungu! Kuharap kau tak sesalkan
aku. Karena kau menghalangi niat serta urusan priba-
diku antara ayah dan anak!" berkata Ki Bogota dengan
suara parau.
"Heh! siapa takut dengan segala jurusmu? Walau
yang kau pergunakan adalah ilmu setan sekalipun,
aku tiada gentar secuilpun. Hidup matiku sudah ada
yang mengatur! Akan tetapi aku tak bisa tinggal diam
untuk membiarkan kau membunuh anak gadismu!"

***

2

Keparat! kalau begitu akan kuhantarkan nyawa ka-
lian berdua ke Akhirat!" Menggembor marah Ki Bogota.
Dan selanjutnya sudah mencabut senjatanya. Yaitu
sebuah keris bersinar hijau. Kelabang Wungupun ce-
pat mencabut senjatanya dipinggang. Sementara diam-
diam dia tersentak kaget ketika melihat keris bersinar
hijau di tangan Ki Bogota. Keris itu mengeluarkan ha-
wa dingin berbau amis.
"Hahaha, tampaknya kau terkejut melihat keris ini
ditanganku! bukankah begitu, sobat? heh! ketahuilah!
Senjata ini baru saja selesai pembuatannya yang diker-
jakan oleh seorang Empu ternama di Kadipaten Jom-
bang. Justru baru sekali ini aku mempergunakan. Dan
untuk kedua kalinya korban yang akan dihirup darah-
nya oleh si Kyai Nogo Ijo ini adalah darahmu!" berkata
Ki Bogota dengan tertawa menyeringai.
"Kyai Nogo Ijo?" desis Kelabang Wungu, tanpa sadar
kakinya melangkah mundur satu tindak. "Aku seperti
pernah mendengar nama itu...? tapi dimanakah?" ber-

kata Kelabang Wungu dalam hati.
Adapun Randu Wangi dengan hati kebat-kebit me-
nyaksikan  kedua orang yang  siap  mengadu jiwa itu.
Melihat keris di tangan ayahnya, Wajah Randu Wangi
seketika pucat pias. "Pastilah itu keris pusaka. Ternya-
ta selain memiliki Pedang Pusaka, ayah memiliki juga
sebuah Keris Pusaka yang bernama Kyai Nogo Ijo...!"
desis Randu Wangi dengan mata membelalak.
Tanpa terasa gadis ini meraba hulu pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu sinar hijau berkelebat ke
arahnya  dengan amat cepat sekali. Hawa dingin ber-
bau amis bersyiur di hidungnya. Belum lagi dia tersa-
dar apa yang akan terjadi dengan dirinya, tahu-tahu
kepalanya terasa pusing luar biasa. Dan dengan men-
geluh pendek, gadis ini terhuyung roboh.
"Apa yang telah kau lakukan dengan gadis itu, tua
bangka? Aku akan adu jiwa denganmu!" membentak
Kelabang Wungu dengan suara menggeledek. Selan-
jutnya laki-laki tua ini telah menerjang hebat dengan
senjatanya. Kelabang Wungu cuma melihat gerakan
tak terduga Ki Bogota yang kibaskan keris pusaka di
tangannya didepan hidung Randu Wangi. Selanjutnya
gadis itu roboh. Dan tampak Ki Bogota berdiri tegak.
Di tangannya telah tercekal pedang milik gadis itu.
Serangan Kelabang Wungu yang tiba-tiba jadi kalap
karena dia mengira si kakek edan itu telah membunuh
Randu Wangi. Kelabang Wungu menerjang dengan
kemarahan meluap.
Tambang baja yang menyerupai kelabang itu me-
luncur deras ke arah Ki Bogota. Tapi dengan tangkas
Ki Bogota telah menangkis dengan kedua senjata pu-
sakanya. Kilatan-kilatan sinar hijau dan jingga berke-
lebatan diiringi benturan-benturan keras yang memer-
cikkan lelatu api.

Terkesiap kelabang Wungu ketika beberapa kali
benturan terjadi, senjatanya terpotong putus hingga
beberapa bagian. Dalam kagetnya dia telah melompat
mundur. "Gila!? pedang dan keris pusaka itu benar-
benar luar biasa!" memaki Kelabang Wungu dalam ha-
ti. "Dan... bau amis keris pusaka Kyai Nogo Ijo itu
membuat kepalaku jadi pusing." desis Kelabang Wun-
gu dalam kagetnya. Tiba-tiba dia segera teringat gu-
runya pernah menyebut nama Kyai Nogo Ijo. NOGO
IJO adalah nama seorang Empu ternama pada bebera-
pa puluh tahun yang silam. Dia seorang ahli pembuat
keris yang ternama di wilayah Tenggara.
Akan tetapi Kelabang Wungu tak dapat berpikir le-
bih banyak, karena saat itu juga tubuhnya terhuyung
hampir jatuh. Rasa berat di kepalanya  yang  diaki-
batkan dari terendusnya bau amis dari keris bernama
Kyai Nogo Ijo membuat Kelabang Wungu tak dapat
mengkonsentrasikan panca indranya lagi. Hingga keti-
ka sambaran keris dan pedang Ki Bogota yang dilan-
carkan dengan secepat kilat, Kelabang Wungu tak
mampu mengelakkan diri.
Jeritan parau mengoyak udara. Disertai robohnya
tubuh Kelabang Wungu menggoser di tanah  dengan
berkelojotan. Keris Kyai Nogo Ijo bersarang tepat di
jantungnya. Dan pedang Pusaka Ki Bogota menghun-
jam amblas menembus perut sampai menembus ke
punggung.
Dari luka yang berada ditubuhnya mengalir darah
kental berwarna hitam. Dan sungguh amat mengeri-
kan. Karena sekujur tubuh Kelabang Wungu telah be-
rubah menjadi kehijauan. Ternyata keris Kyai Nogo Ijo
mengandung racun luar biasa ganasnya. Dalam waktu
sekejapan saja Kelabang Wungu sudah tak berkutik
lagi. Nyawanya telah melayang.

Cepat sekali Ki Bogota gunakan kesempatan untuk
menyambar tubuh Randu Wangi ketika didengarnya
dikejauhan suara orang berteriak.
"Ki Bogota! kemanapun kau lari jangan harap lolos
dari tanganku!" Dan disaat tubuh ki Bogota berkelebat
lenyap. sesosok tubuh kakek bertubuh kurus bagaikan
sebatang galah, telah berada ditempat itu. Suara inja-
kan kakinya hampir-hampir tak menimbulkan suara.
"Sialan! aku kalah cepat. Kukira dia baru saja ang-
kat kaki dari tempat ini. Dan... keris Kyai Nogo Ijo te-
lah meminta korban!" menggumam kakek ini dengan
wajah menampakkan kekecewaan. Saat itu seorang la-
ki-laki berusia 40 tahun lebih tampak berlari-lari
menghampiri tempat itu. Begitu melihat kakek kurus
bertubuh bagai galah ini dia segera menjura hormat,
seraya berucap.
"Guru! selamat datang di pesanggrahan Kelabang
Wungu..." Akan tetapi tiba-tiba wajah laki-laki ini be-
rubah pucat bagai kertas ketika melihat sosok tubuh
Kelabang Wungu yang telah tak berkutik lagi terkapar
berlumuran darah, tak jauh dari kakek kurus itu ber-
diri.
"Kakang Kelabang Wungu...! Hah!? apakah yang te-
lah terjadi?" teriaknya seraya melompat menghampiri
mayat ketua perguruan Kelabang Wungu itu.
"Siapakah pembunuhnya? katakanlah, guru! hu-
tang jiwa harus dibayar jiwa. Kami baru saja menga-
lami musibah yang amat luar biasa ditempat kami. Ki-
ni telah datang lagi musibah kedua. Kakang Kelabang
Wungu tewas dengan amat mengerikan begini! Oh,
apakah ini awal dari kehancuran perguruan kami?"
Wajah laki-laki ini menampilkan kesedihan dan rasa
terkejut yang amat luar biasa. Dia memandang dan
menatap tajam-tajam pada kakek kurus jubah putih

yang penuh tambalan itu dengan harapan dia dapat
memberikan penjelasan.
Kakek tua ini cuma menghela napas sambil menge-
lus jenggotnya yang cuma sejumput. Tampak sebuah
balutan pada salah satu jari tangannya yang putus.
"Gembong Singo! aku baru saja menjumpai saudara
seperguruanmu ini dalam keadaan tewas ditempat ini.
Aku tak bisa memastikan siapa yang telah membu-
nuhnya. Akan tetapi dugaanku adalah perbuatan Ki
BOGOTA!"
Gembong Singo adalah adik seperguruan kelabang
Wungu. Selesai melakukan tugas segera kembali ke
pesanggrahan untuk memberi laporan. Karena tak di-
jumpai kakak seperguruannya berada di pesanggrahan
dia segera memastikan kalau Kelabang Wungu berada
ditempat pemakaman Shinduro. Jenazah Shinduro
yang murid dari Partai Perguruan Lereng Merapi itu
memang dikuburkan secara terpisah di sebelah utara
pesanggrahan.
Ketika itulah dia melihat seorang kakek berjubah
putih bertambalan berjalan cepat seperti mencari jejak
seseorang. Segera dia mengenali kalau kakek itu ada-
lah gurunya.
Ketika dia berhasil menyusul, dijumpai sang guru
tengah berdiri tegak didepan sesosok tubuh yang ter-
kapar di tanah. Ternyata sosok tubuh Kelabang Wun-
gu, sang kakak seperguruannya yang telah menjadi
mayat.
GEMBONG SINGO duduk di hadapan kakek tua ku-
rus berjubah penuh tambalan. Dialah yang berjulukan
si Dewa Pengemis Tangan Seribu. Nama sebenarnya
adalah REKSO MANDIRI. Kakek kurus ini dapat ditak-
sir usianya sekitar delapan puluh tahun.
"Ketahuilah olehmu, Gembong Singo. Di Jombang

ada seorang Empu, ahli  membuat senjata. Dia telah
menyimpan keris Kyai Nogo Ijo sejak lebih dari 10 Ta-
hun lamanya Keris titipan itu memang milik Kyai Nogo
Ijo, gurunya sendiri. Ketika mendengar berita kemun-
culan Sukma KALA WRENGGI, aku bergegas kesana.
Tujuanku adalah untuk meminjam keris pusaka itu.
Akan tetapi ternyata aku terlambat datang. Empu San-
tri Bubulen telah tewas dengan keadaan menyedihkan.
Menurut berita yang kuselidiki, ternyata dua hari bela-
kangan telah datang seorang kakek bertubuh tinggi
besar. Kakek itu mengatakan bahwa dia adalah ketua
Partai Perguruan Lereng Merapi. Segera aku tahu ka-
lau dia itu adalah Ki Bogota.
Manusia itu telah membawa seorang bocah perem-
puan bernama Randu Wangi sejak masih berusia 10
tahun. Bocah perempuan itu saat ini telah menjadi
dewasa dan dianggap anaknya sendiri oleh Ki Bogota.
Ternyata Ki Bogota telah menjanjikan akan mengemba-
likan sang cucu Empu Santri Bubulen itu kelak, bila
sang Empu berhasil membuatkan sebuah keris yang
mirip dengan keris Kyai Nogo Ijo.
Empu itu memang telah berdusta dengan mengata-
kan bahwa keris milik KyAi Nogo Ijo gurunya telah hi-
lang. Untuk membuat keris pusaka senilai dengan ke-
ris KYAI NOGO IJO ternyata membutuhkan waktu la-
ma. Yaitu mencapai waktu tujuh atau delapan tahun.
Empu yang tak memiliki Ilmu kepandaian dalam
persilatan itu tak mau memberikan keris pusaka Kyai
Nogo Ijo pada Ki Bogota, dan menyatakan keris pusaka
itu telah hilang. Dengan mengatakan bahwa dalam
membuat keris senilai itu membutuhkan waktu lama,
dia menduga Ki Bogota pasti takkan sabar menung-
gunya. Akan tetapi Ki Bogota telah menyandera cucu
perempuan Empu Santri Bubulen itu, bernama

RANDU WANGI..." tutur kakek kurus berjulukan si
Dewa Pengemis Tangan Seribu. Gembong Singo men-
dengarkan dengan penuh perhatian.
"Lalu bagaimana selanjutnya, guru...?"  bertanya
Gembong Singo.
"Ya, terpaksa Empu itu bekerja keras siang malam
untuk membuat keris Kyai Nogo Ijo yang baru. Sebe-
narnya dalam waktu satu tahun dia telah berhasil
membuat keris Kyai Nogo Ijo tiruan. Akan tetapi berda-
sarkan perjanjian, sang Empu harus bersabar me-
nunggu sampai Ki Bogota mengantarkan cucu perem-
puannya ke tempat kediamannya. Dapat dibayangkan
betapa menderitanya Empu Santri Bubulen. Dengan
sabar dia menanti dan menanti! Delapan tahun sudah
dia menanti kembalinya cucu perempuannya dengan
sabar, namun penantian yang memakan waktu lama
itu telah membuat sang Empu menanam bibit dendam
pada Ki Bogota. Dia telah merendam keris tiruan Kyai
Nogo Ijo dengan racun yang amat dahsyat. Dia telah
siap menanti kedatangan Ki Bogota, dan menyambut
kedatangan cucu perempuannya dengan membunuh
Ki Bogota dengan keris pusaka tiruan itu kelak.
Akan tetapi setelah Ki Bogota muncul, ternyata Em-
pu tua yang malang itu justru tewas di tangan Ki Bogo-
ta oleh keris pusaka tiruan itu sendiri..."
Demikianlah, Rekso Mandiri alias si Dewa Pengemis
Tangan Seribu mengakhiri penuturannya. Dengan me-
lihat mayat si Kelabang Wungu muridnya itu, si Dewa
Pengemis Tangan seribu yakin kalau yang membu-
nuhnya adalah Ki Bogota sendiri.
Adapun dia telah mendengar sebelumnya tentang
kejadian di pesanggrahan Kelabang Wungu yang telah
membawa banyak korban dari anak-anak buah mu-
ridnya itu. Dari Jombang setelah mendengar penutu-

ran istri Empu Santri Bubulen, segera bergegas menu-
ju ke tempat kediaman perguruan Kelabang Wungu.
Diperjalanan Ki Rekso Mandiri melihat sekelebatan
bayangan orang berlari cepat. Dia segera mengejar, ka-
rena ingin tahu siapa adanya orang tersebut. Segera
dia mengenali orang itu adalah Ki Bogota, yang justru
tengah dicarinya. Kakek tua tokoh Rimba Persilatan
golongan putih itu amat khawatir keris pusaka tiruan
Kyai Nogo Ijo itu akan banyak membawa malapetaka
yang telah diketahui berada di tangan Ki Bogota.
Ternyata dia tak mampu berbuat banyak dengan
keris beracun di tangan ketua Partai Lereng Merapi itu.
Upayanya untuk merebut  kembali keris tiruan Kyai
Nogo Ijo mengalami kegagalan. Ki Rekso Mandiri sem-
pat bertarung beberapa jurus dengan Ki Bogota. Dalam
pertarungan itu Ki Rekso Mandiri terluka jari tangan-
nya kena goresan keris pusaka tiruan Kyai Nogo Ijo.
Terpaksa kakek tua ini  memapas putus sebuah jari
tangannya untuk menghindari menjalarnya racun. Se-
dangkan Ki Bogota dalam kesempatan itu segera mele-
nyapkan diri dengan berkelebat cepat.
Rekso Mandiri alias si Dewa Pengemis Tangan Seri-
bu akhirnya menjumpai si Kelabang Wungu yang telah
tewas dengan kulit tubuh berubah hijau serta dua lu-
ka besar di dada dan perutnya.
Gembong Singo tertunduk menatap lantai. Air ma-
tanya jatuh menetes. Sesaat terbayang lagi wajah si
Kelabang Wungu saat kemarin dia masih bisa berca-
kap-cakap. Tak nyana kalau hari ini Kelabang Wungu
akan menemui ajal di tangan KI Bogota, dan baru saja
selesai penguburan jenazahnya.
Ketika hari menjelang senja, Ki Rekso Mandiri baru
saja berkelebat pergi meninggalkan pesanggrahan Per-
guruan Kelabang Wungu yang semakin sunyi. "Akupun

tak dapat berdiam lebih lama di tempat ini!" gumam
Gembong Singo. Selang sesaat. Gembong Singopun se-
gera meninggalkan tempat yang dirasakan semakin
sunyi itu.
Perguruan Kelabang Wungu memang telah punah
tak dapat dipungkiri lagi...

***

3

GINANJAR baru saja duduk melepaskan lelah sete-
lah selama tiga hari melakukan perjalanan. Pemuda
yang berasal dari lereng Gunung ROGO JEMBANGAN
ini terkejut mendengar suara teriakan seorang wanita
tak jauh dari tempat dia beristirahat.
"He? apakah yang telah terjadi?" pikir pemuda ber-
pakaian sederhana ini. Tubuhnya berkelebat ke balik
rumpun bambu di sisi  tebing itu. Dari arah rumpun
bambu itulah terdengar suara teriakan wanita tadi.
Membelalak mata pemuda ini ketika melihat seekor
harimau belang akan menerkam seorang gadis yang
menjerit-jerit ketakutan.
"Harimau keparat!" membentak Ginanjar. Tubuhnya
melesat, dan siap mengirimkan hantaman kepalan
tangan nya ke tengkuk harimau itu. Akan tetapi pada
saat itu si raja hutan ini telah balikkan tubuhnya. Se-
perti seekor harimau yang telah terlatih, binatang ini
menyurut mundur, Terpaksa Ginanjar batalkan seran-
gannya. Namun di luar dugaan justru harimau itu me-
lakukan terjangan hebat. Kuku-kukunya yang runcing
siap menerkam dengan mulut yang menganga menam-
pakkan taringnya.

Serangan ganas ini mungkin tak dapat lolos kalau
yang diserangnya adalah seorang manusia biasa yang
tak berkepandaian. Ginanjar mengegos ke samping ki-
ri, sementara lengannya membarengi menghantam ke-
pala harimau itu dengan pukulannya.
BUK!
Terkejut pemuda ini karena tangannya seperti
menghantam kapas yang amat lunak sekali. Dan ha-
rimau itu seperti tak merasakan apa-apa. Dengan
menggeram harimau belang ini balikkan tubuhnya.
Mulutnya menyeringai menyeramkan. Tiba-tiba bina-
tang ini kembali menerjang Ginanjar. Kali ini Ginanjar
tak membuang kesempatan lagi untuk segera membu-
nuh harimau itu. Segera dia siapkan pukulan men-
gandung tenaga dalam yang telah di tambahnya bebe-
rapa kali lipat.
BUK! BUK! BUK!
Tiga serangan beruntun dilancarkan pemuda ini.
Akibatnya memang cukup  lumayan. Harimau itu ter-
lempar bergulingan. Ginanjar ternyata tak memberinya
peluang sedikitpun Untuk binatang itu kembali menye-
rang. Beberapa hantaman telak lagi yang dilancarkan
pemuda itu telah membuat sang harimau belang itu
meraung. Akan tetapi terkejut Ginanjar, karena bina-
tang itu lenyap sirna.
"Aneh!? apakah binatang itu sebangsa siluman?"
gumam Ginanjar dengan suara berdesis dan mata
membelalak. Tak sempat lagi pemuda ini memikirkan
kemisteriusan harimau kejadian itu karena sudah ter-
dengar suara dibelakangnya. "Terimakasih atas perto-
longan anda, sobat pendekar..." Ternyata suara gadis
itu, yang dengan tersenyum segera melangkah meng-
hampiri. Ginanjar mengangguk. "Siapakah nona? men-
gapa berada ditempat ini seorang diri?" tanya Ginanjar.

Sementara mata pemuda ini memperhatikan wajah
serta pakaian gadis dihadapannya. Wanita muda ini
mengenakan  pakaian  warna hijau yang menying-
kapkan sebagian pahanya. Rambutnya dikepang dua.
Wajahnya boleh dikatakan cantik, dengan kulit yang
putih.
Berdebar juga hati Ginanjar karena sikap gadis ini
amat manja, juga agak genit. Langkahnya seperti di-
buat-buat ketika berjalan menghampirinya. Bahkan
langsung memegang tangan si pemuda yang jadi seper-
ti terkesima memandangnya.
"Namaku RINJANI. Aku tersesat ditempat ini ketika
mencari adikku." berkata sang dara cantik ini. "Berun-
tung anda telah datang menolong, kalau tidak ada an-
da mungkin aku sudah jadi mangsa di perut harimau
tadi."
"Mencari adikmu? berapa usianya adikmu itu? laki-
laki atau perempuan?" tanya Ginanjar semakin terhe-
ran.
"Adikku, laki-laki. Usianya sekitar dua puluh tahun
lebih.." sahut wanita ini dengan menatap pada Ginan-
jar serta berikan kerlingan mata yang genit.
"Oooh...?" terkejut pemuda ini, tapi dengan menatap
heran.
"Dia seorang pemuda?" tanya Ginanjar, seraya me-
nepiskan lengan gadis itu dengan pura-pura mengga-
ruk kepalanya, tapi juga dengan semakin keheranan.
Gadis bernama Rinjani itu mengangguk,
"Benar! apakah anda merasa aneh?" tanyanya.
"Tentu saja. Kau sendiri kukira baru berusia sekitar
delapan belas tahun. Tapi kau mengatakan adikmu
yang laki-laki sudah berusia dua puluhan tahun!" sa-
hut Ginanjar. Rinjani tertawa mengikik geli. "Hihihi....
kau katakan usiaku sekitar delapan belas tahun? Ke-

tahuilah sobat pendekar. Usiaku saat ini sudah hampir
empat puluh tahun!" berkata si gadis baju hijau itu.
"Dan adikku yang hilang itu bukanlah adik kan-
dungku! Melainkan adik yang bertemu diperjalanan...!"
"Huh! kata-katamu melantur! Baiklah! Ini kau su-
dah selamat dari bahaya. Aku akan meneruskan perja-
lananku." ujar Ginanjar, seraya balikkan tubuh dan
segera melangkah beberapa tindak. Pemuda ini mulai
merasa kalau wanita dihadapannya itu bukanlah wani-
ta biasa. Juga merasakan sesuatu yang aneh dengan
sikap serta ucapan gadis itu.
"Eh, tunggu dulu! Mengapa anda harus terburu-
buru? Kau belum sebutkan siapa namamu" berkata
Rinjani. Dan sekali gerakkan tubuh telah berada di sisi
Ginanjar. "Hm, apakah namaku pun kau perlu menge-
tahuinya?" balik bertanya Ginanjar.
"Ehm, perlu juga!" sahut si gadis. Kau telah mena-
nyakan namaku, dan aku tak segan-segan memberita-
hu. Mengapa kau tampaknya keberatan sekali membe-
ritahukan namamu?"
"Oh, eh.. ya, ya! baiklah! namaku Ginanjar!" nah
cukup bukan? Maaf, aku tak dapat berlama-lama be-
rada ditempat ini!" Selesai berkata, Ginanjar segera
berkelebat  dari tempat itu. Akan tetapi baru saja ka-
kinya melayang di udara, pemuda ini merasai samba-
ran angin dibelakangnya. Ternyata itulah sambaran
angin yang terbit dari gerakan tangan si wanita cantik
yang telah menjulur ke arah punggung.
Gerakan yang mempunyai pengaruh tenaga dalam
itu membuat Ginanjar terkejut. Karena tubuhnya telah
kembali terbetot ke belakang. Belum lagi dia sempat
bertindak menghindar, tahu-tahu gadis baju hijau itu
telah gerakkan dua jari tangannya untuk menotok.
Ginanjar cuma mampu mengeluh, dan seketika me-

rasa kaki tangannya berubah kaku. Saat selanjutnya
dia sudah terkulai dalam pelukan wanita itu.
"Hihihi... kau telah datang, mengapa mau pergi be-
gitu saja? Sungguh sayang jika pemuda segagahmu
disia-siakan." Berkata demikian, lengan si wanita telah
menyambar sehelai sapu tangan dari balik pakaiannya
Dan Ginanjar cuma bisa melotot ketika hidungnya di-
bekap dengan sapu tangan yang berbau harum. Akan
tetap selanjutnya dia sudah tak sadarkan diri.
Dengan tertawa mengikik, wanita genit berbaju hi-
jau  itu berkelebat cepat dari tempat itu, dengan me-
mondong tubuh Ginanjar di pundaknya. Ternyata ga-
dis yang kelihatannya tak berkepandaian apa-apa itu
mempunyai ilmu yang tinggi. Bahkan sekaligus telah
mempecundangi pemuda yang menolongnya.

***

4

Kakek tua renta bergelar Siluman Setan belang itu
terkekeh-kekeh melihat seorang wanita muda berbaju
hijau yang memondong tubuh laki-laki  di pundaknya
telah berada dihadapannya.
"Heheheh... Rinjani! apakah kau masih belum puas
dengan dua jejaka yang kemarin menginap di kamar
mu?" berkata kakek tua ini. Wanita ini tersenyum lalu
menjawab. "Mungkin yang ini agak memuaskan hati-
ku, Datuk!" Selesai menjawab. Rinjani segera melang-
kah cepat menuju ruangan dalam dengan melalui pin-
tu di sisi kiri ruangan Keraton kuno itu. Akan tetapi
suara si kakek berjubah hitam ini terdengar lagi.
"Tunggu! Tak kuizinkan kau memasuki ruangan itu

dengan keadaan tubuhmu seperti itu. Apakah kau
memang sengaja mau melanggar tata-susila di tem-
patku ini?"
Wanita baju hijau itu berandek menahan langkah,
"Oh, maafkan aku datuk! Sekali aku tak berniat me-
langgarnya. Aku terlalu tergesa hingga lupa kalau aku
tak boleh menggunakan ujud manusia memasuki
ruangan Keraton." Wanita itu cepat turunkan pemuda
yang dipondongnya ke  lantai. Selanjutnya dia telah
merobah ujudnya menjadi seekor harimau belang. Tak
lama harimau itu dengan cepat segera menyeret kor-
bannya memasuki ruangan itu.
Kakek tua kurus berjubah hitam ini tersenyum
manggut-manggut. Matanya menatap ke  pintu ruan-
gan dimana harimau belang jelmaan dari Rinjani itu
lenyap. Bibir kakek tua-renta bergerak keluarkan sua-
ra desisan perlahan dari mulutnya.
"Hm, kuberi kau kepuasan hingga sampai saatnya
aku memerlukan darah mu, Rinjani!" Kakek jubah hi-
tam ini bangkit berdiri dari tempat duduknya. Lalu me-
langkah keluar dari ruang pendopo Keraton. Di pintu
pendopo dia memutar pandangannya ke sekitar hala-
man Keraton tua. Tampaknya di sekitar halaman Kera-
ton kuno itu tak kelihatan apa-apa. Tapi sebenarnya
puluhan ekor harimau jejadian simpang siur ditempat
itu yang cuma bisa terlihat oleh pandangan mata ba-
tin.
"Heh! hari ini adalah hari ketiga dimana si Roro
Centil menjanjikan akan datang kemari untuk membe-
ri jawaban atas lamaranku! Sampai sore ini tak keliha-
tan batang hidungnya, apakah dia tak menepati janji!"
gumam kakek yang disebut Datuk ini.
Baru saja si Datuk Siluman Setan Belang Selesai
menggumam, terdengar suara tertawa dikejauhan. Su-

ara tertawa seorang wanita yang nyaring merdu. Siapa
lagi yang datang kalau bukan RORO CENTIL Dan se-
saat manusianya sudah berdiri tegak tak jauh dari ha-
laman pendopo Keraton kuno.
"Hihihi... hihi... sobat siluman tua Setan Belang!
aku telah datang. Mengapa kau tak memberi sambu-
tan atas kedatanganku?" Suara Roro yang berkuman-
dang merdu itu membuat para harimau jejadian jadi
terkejut, dan serentak menampakkan diri.
Roro Centil yang memang telah mengetahui adanya
puluhan harimau jejadian ditempat itu dengan pan-
dangan mata batinnya, tentu saja tak terkejut melihat
puluhan harimau yang telah menampakkan diri.
"Hahahah... selamat datang nona  Roro  Centil. Si-
lahkan masuk. Kau benar-benar seorang pendekar se-
jati yang menepat janjinya!" Datuk siluman Setan Be-
lang segera menyambut dengan tertawa terbahak-
bahak.  Tiba-tiba tubuhnya lenyap sirna. Dan sekejap
kemudian dia telah merubah dirinya menjadi seorang
pemuda tampan yang berusia sekitar dua puluh tahun
lebih. Lengannya terangkat memberi isyarat agar para
anak buahnya segera menyingkir pergi. Harimau-
harimau jejadian itu sekejapan segera lenyap kembali.
Bahkan segera menyingkir dari tempat itu menurutkan
perintah sang Datuk.
Roro melangkah  santai tanpa  mengkhawatirkan
sesuatu yang bisa mencelakakan dirinya oleh jebakan
Datuk. Sesaat mereka sudah duduk berhadapan di
ruangan itu. Di atas meja terbuat dari marmer terda-
pat sebuah pedupaan yang masih mengepulkan asap
berbau harum.
"Tentu kedatangan nona Pendekar Roro Centil ada-
lah dengan membawa kabar gembira, bukan?" memu-
lai berkata si "pemuda" samaran Datuk Siluman Setan

Belang. Roro tersenyum.
"Tentu saja! aku memang membawa khabar gembi-
ra, Datuk Muda. Kau membuat aku kagum dengan ke-
tampanan wajahmu!"
Roro memuji. Akan tetapi mata batinnya  melihat
wajah si Datuk yang tetap tua keriput dan jelek.
"Hahaha, sudah kukatakan, tak nantinya kalau kau
takkan terpikat. Dengan menjadi permaisuri ku di ke-
raton ku, kau dapat meminta apa saja. Bahkan meru-
bah keraton ini menjadi Keraton Emaspun aku masih
sanggup!" ujar sang Datuk. Wajahnya berseri-seri me-
nandakan suka hatinya.
"Nah berikanlah jawabanmu, cah ayu..." Ujar Datuk
muda Siluman Setan Belang itu dengan  memandang
Roro seperti tak berkedip. Bahkan beberapa kali si Da-
tuk menelan air liurnya. Roro Centil tersenyum, lalu
jawabnya dengan suara datar.
"Baiklah! Nah, dengarlah baik-baik, Datuk muda
yang gagah. Aku bersedia menjadi permaisuri mu,
akan tetapi bisakah kau memenuhi syaratnya?"
"Hm, syarat apakah yang akan kau berikan pada-
ku?" Datuk siluman Setan Belang kerutkan keningnya.
"Kalau syarat itu tidak terlalu berat, aku pasti sanggup
memenuhinya!" ucapnya tandas.
"Baik! Syarat yang ku ajukan adalah syarat yang ti-
dak terlalu berat. Kukira bagi manusia sakti seperti
kau, tentu akan dapat mengerjakannya dengan mu-
dah. Nah, syarat itu adalah..." Roro bangkit berdiri.
"Mampukah kau masuk ke dalam bumbung bambu
ini?" ujar Roro seraya keluarkan sebuah bumbung
bambu sebesar lengan bayi dan meletakkannya di atas
meja. Bumbung bambu itu panjangnya cuma sejengkal
tangan orang dewasa. Datuk Siluman Setan Belang
menatap bumbung bambu itu dengan heran.

"Apakah kau mau menguji kesaktianku?" berkata si
Datuk.
"Boleh saja kau anggap demikian. Apakah kau tak
sanggup?" ujar Roro dengan tersenyum seperti juga
mengejek.
Tentu saja membuat si Datuk sakti ini tersenyum
dan selanjutnya sudah mengumbar tertawanya berka-
kakan.
"Kalau cuma itu, bagiku adalah soal yang kecil. Ma-
suk ke lobang semut pun aku masih sanggup!" ucap
Datuk Siluman Setan Belang. Dan selesai berkata, tu-
buh Datuk Siluman Setan Belang berubah ujud men-
jadi segumpal asap putih tipis. Asap itu mengecil, lalu
meluncur masuk ke dalam bumbung bambu yang be-
rada di atas meja itu.
Sesaat setelah asap itu lenyap di dalam bumbung
bambu, tiba-tiba secepat kilat Roro Centil telah gerak-
kan tangannya untuk menyumbatnya dengan sumbat
yang memang telah disediakan.
"Hihihi... Datuk muda yang gagah. Silahkan kau
mendekam di dalam bumbung Bambu ini. Ternyata
kau seorang yang sakti, tapi tolol!" Roro Centil tertawa
mengikik geli. Selanjutnya dengan cepat dia sudah
memasukkan bumbung bambu itu ke dalam saku ba-
junya.
Akan tetapi saat itu terdengar suara tertawa terke-
keh-kekeh di belakang Roro.
"Heheheh... heheh... Kau memang cerdik, Roro Cen-
til! Akan tetapi ketahuilah! aku lebih cerdik lagi. Kau
kena dikelabuhi oleh ilmuku. Yang masuk ke dalam
bumbung bambu itu cuma asap ciptaanku saja, se-
dangkan aku yang sesungguhnya masih tetap berada
di luar bumbung bambu mu itu. Hahaha... hehehehe-
heh..."

Ketika Roro balikkan tubuh segera terlihat si kakek
berjubah hitam alias Datuk Siluman Setan Belang ten-
gah berdiri tegak menyandar di tiang pendopo sambil
mengakak tertawa.
Tentu saja membuat Roro Centil melengak, tapi juga
kagum akan kehebatan ilmu Datuk itu.
Tiba-tiba sang Datuk acungkan tongkatnya ke arah
Roro. Segumpal asap hitam menyambar bergulung-
gulung. Roro kibaskan rambutnya menghalau serbuan
asap hitam yang timbulkan hawa dingin mencekam
itu. Sementara  bibirnya mendesis. "Ilmu sihir hitam
apakah yang akan digunakannya lagi?" Asap yang ber-
gulung-gulung itu buyar. Akan tetapi tiba-tiba ratusan
kelelawar segera memenuhi ruangan itu. Dengan suara
bercicitan, makhluk-makhluk itu menyerbu Roro.
"Edan!? maki Roro Centil dengan terperangah. Na-
mun tak ayal dia segera gunakan kibasan-kibasan
rambutnya menghantam makhluk-  makhluk itu. Se-
mentara lengannya bergerak menghantam dengan pu-
kulan Malaikat Gurun Pasir merambah iblis. Hebat
akibatnya. Karena segera kelelawar-kelelawar ciptaan
itu lenyap.
Akan tetapi asap lain tiba-tiba muncul mengelilingi
Roro. Asap yang muncul ini berwarna biru, yang beru-
bah bagaikan menjadi ribuan benang-benang sutera.
Kali ini Roro Tak boleh main-main untuk menghadapi
lawannya yang mempunyai ilmu sihir hitam luar biasa.
Lagi-lagi pandangan mata Roro tertipu, karena me-
nampak bayangan-bayangan tubuh si Datuk Siluman
Setan Belang seperti menjadi berpuluh-puluh. Roro
tampaknya agak terpengaruh dengan pandangan mata
batinnya. Justru karena si Datuk itu mengelabuhi
pandangan mata batin Roro.
Pandangan mata Roro jadi berkunang-kurang, ka-

rena dimana dia melihat pasti ada bayangan tubuh si
Datuk. Bahkan disekeliling Roro terdengar suara ter-
tawa terkekeh-kekeh sang Datuk sakti itu.

***

5

Sementara  pertarungan Roro Centil dengan si Da-
tuk Siluman Setan Belang tengah berlangsung seru,
kita beralih dulu pada pemuda bernama Ginanjar,
yang telah menjadi tawanan Rinjani.
Harimau belang penjelmaan dari Rinjani itu terus
menyeret tubuh pemuda lereng gunung rogojembangan
memasuki sebuah kamar yang memang khusus kamar
pribadinya. Dalam keadaan setengah sadar Ginanjar
merasakan  pakaiannya melorot satu persatu dari tu-
buhnya. "Oh, dimanakah aku ini?" berkata hati Ginan-
jar. Dia merasa tubuhnya bertaring di atas kasur yang
empuk. Diam-diam dia mengintip perlahan dengan
membuka kelopak matanya sedikit. Segera dia tahu
kalau dirinya berada disatu ruangan kamar yang ber-
sih. "Kamar siapakah?" pikirnya dalam benak. Terkejut
dia mengetahui kalau tubuhnya tak mengenakan pa-
kaian  lagi. "Celaka, aku mau diperkosa..." tersentak
pemuda itu, seraya gerakkan tubuh untuk melompat
bangun. Akan tetapi sedikitpun tubuhnya tak dapat
digerakkan Sadarlah dia kalau dia dalam keadaan ter-
totok.
"Kemana perginya perempuan sialan itu?" berdesis
Ginanjar, seraya bentangkan kelopak matanya lebih
lebar. Ternyata memang Rinjani yang menjelma men-
jadi seekor harimau belang itu tak berada di ruangan

kamar itu. Kemanakah gerangan perginya Rinjani?
Ternyata setelah membuka pakaian  pemuda itu dan
segera akan melampiaskan keinginannya, dia menden-
gar suara orang bertempur di ruangan depan. Dengan
kesal dia tinggalkan kamarnya untuk segera melihat
apakah gerangan yang telah terjadi...
Demikianlah, hingga ketika tengah terjadi pertarun-
gan Roro Centil dengan sang Datuk, diam-diam Rinjani
telah menyaksikan jalannya pertarungan. Melihat sang
Datuk berada di atas angin dalam pertarungan itu,
Rinjani tersenyum. "Hm, agaknya tak berapa lama lagi
tentu Datuk akan menyudahi pertarungan. Entah sia-
pa perempuan yang telah nekat menyatroni Keraton
kuno ini" Rinjani seperti  telah menduga akan keme-
nangan sang Datuk dalam pertarungan itu. Segera dia
beringsut untuk segera kembali ke kamarnya.
GINANJAR cepat-cepat katupkan kelopak matanya
ketika didengarnya derit pintu, seekor harimau mema-
suki ruangan kamar itu.
"Hah...! harimau" tersentak Ginanjar ketika baru
mengatupkan matanya. "Kemana gerangan gadis sia-
lan itu? Apakah aku disekap di kamar ini untuk dija-
dikan santapan harimau?" pikir Ginanjar. Karena dia
menyangka yang masuk adalah Rinjani. Ginanjar me-
mang tak mengetahui kalau Rinjani telah merobah
ujud menjadi seekor harimau.
"Celaka aku! kalau begitu harimau yang mau me-
nerkamnya di hutan tadi adalah kawannya sendiri. Dia
cuma berpura-pura saja. Haiih Ginanjar! kau telah ke-
na tipu mentah-mentah! Oh, nasib...! Entah bagaima-
na selanjutnya nasibku...?" berkata Ginanjar dalam
hati dan menyesali kebodohannya. Akan tetapi diam-
diam pemuda ini kerahkan kekuatan tenaga dalamnya
untuk melepaskan diri dari pengaruh totokan. Yaitu

dengan menyalurkan hawa murni ke sekujur  persen-
dian tubuhnya.
Sementara sang harimau belang itu telah mendekati
ke tempat  pembaringan dimana Ginanjar terlentang
tanpa busana.
Sang harimau menatap Ginanjar dengan mata ja-
lang dan menyeringai. Hidungnya mengendus-endus
tak ubahnya bagai harimau betulan. Terdengar suara
menggeramnya perlahan. Ginanjar yang cuma bisa pa-
srah menanti apa yang akan terjadi itu cuma bisa
mengintip dari celah pelupuk matanya. Apakah yang
dilihatnya sungguh membuat matanya mau dipentang
lebar-lebar. Sementara keringat dingin telah mengem-
bun  di sekujur  tubuh, jantungnya berdetak semakin
cepat. Ternyata harimau telah melepaskan kulitnya.
Kulit berbulu belang-belang itu seperti lenyap, dan se-
bagai gantinya didepan Ginanjar telah berdiri tegak
seorang  wanita yang tak lain dari Rinjani. Wanita ini
dalam keadaan telanjang bulat. Kulit tubuhnya yang
putih. Payudara yang membuntal padi serta tatapan
matanya yang mengandung berahi memandang Ginan-
jar bagaikan mau menelannya bulat-bulat.
Pemuda ini seperti melihat didalam mimpi saja. Ha-
tinya tersentak kaget. "Jadi... jadi harimau itu adalah
dia. terperangah pemuda ini. Akan tetapi sebelum Rin-
jani sempat melaksanakan maksudnya, tiba-tiba ter-
dengar bentakan keras. Rinjani menjerit.
Tubuhnya tiba-tiba terlempar dari atas pembarin-
gan. Ternyata sesosok bayangan telah berkelebat ma-
suk ke ruangan kamar itu dan dengan gerakan cepat
sekali telah menyambar rambut Rinjani. Sekali sentak
terlemparlah wanita cabul itu dari atas pembaringan.
Ginanjar cuma bisa membelalakkan matanya, keti-
ka tahu-tahu siuran angin halus membuat dia terkejut

juga bergirang karena segera merasakan pengaruh to-
tokan  ditubuhnya telah sirna. Tak ayal dia telah me-
lompat bangun. Pertama-tama yang disambarnya ada-
lah  pakaiannya. Tentu saja tergesa-gesa Ginanjar
mengenakannya kembali. Sementara Rinjani terkejut
bukan buatan karena ketika akan melompat bangun
mendadak dia merasakan tubuhnya menjadi kaku.
Ternyata dia dalam keadaan tertotok.
Ginanjar tak sempat lagi melihat siapa yang telah
menolongnya. Dia cuma menatap sekilas pada wanita
cabul itu yang menggeletak terlentang dilantai kamar.
Lalu tubuhnya telah berkelebat keluar dari ruangan
kamar. "He? kemana gerangan dia? Cepat sekali gera-
kannya. Aku tak sempat lagi melihat jelas apakah si
penolongku itu laki-laki atau perempuan?" bertanya-
tanya hati Ginanjar. Akan tetapi begitu dia tiba di luar
pintu kamar, terdengar suara dari balik  tiang bangu-
nan.
"Kak NANJAR..! Kuharap kau sudah rapi  berpa-
kaian. Sudah bolehkah kita bertatapan muka?" Ginan-
jar menoleh. Sesosok tubuh berdiri membelakangi,
menyender ditiang bangunan. Sosok tubuh berbaju
serba putih dengan pakaian  persilatan. Walau ram-
butnya dipotong pendek, tapi dari bentuk tubuh dan
suaranya jelas seorang wanita.
"Ya... yyaa... aku sudah berpakaian". sahut Ginan-
jar tergagap. Diam-diam hatinya tersentak karena se-
perti mengenali suaranya. Sebutan "Kak NANJAR" itu
amat hapal ditelinganya.
Wanita pendekar yang membelakanginya itu jelas
yang telah memberikan pertolongan barusan. Ketika
wanita itu balikkan tubuh, segera mata Ginanjar ter-
pentang lebar. Seongok senyum tampak dibibir dara
baju putih berambut pendek itu.

"KASMINI...? ka... kau...?"
"Benar kak Nanjar, aku Kasmini, gadis yang pernah
kau tolong dari begundal-  begundal pasar. Cucu dari
orang kakek tua renta tanpa daksa yang mati di tan-
gan begundal pasar. Kemudian aku kau bawa ke ru-
mah paman angkatmu bernama RONGGO ALIT di Kota
Raja." berkata gadis baju putih itu dengan tersenyum.
"Ah, Kasmini..! Kau selalu mengingat-ingat masa
yang telah lalu itu" ujar Ginanjar dengan garuk-garuk
kepala. "Bukan hal itu yang aku tanyakan. Sekali me-
lihatmu, aku sudah langsung ingat. Suaramu saja aku
sudah mengenal tanpa harus melihatmu lagi. Tapi
yang ku anehkan adalah sejak kapan kau belajar ilmu
silat? Dan... dan mengapa kau bisa berada ditempat
ini? Bagaimana dengan paman Ronggo Alit?"
Ginanjar langsung berikan beberapa pertanyaan.
Sementara matanya menatap tak berkedip.
Terasa aneh sekali, karena Ginanjar tahu kalau
Kasmini adalah gadis yang tak berkepandaian ilmu si-
lat sedikitpun.
Kasmini memang pernah ditolongnya dari para be-
gundal pasar pada beberapa tahun yang silam. Dia
berhasil memulangkan Kasmini pada kakeknya yang
telah tua dan dalam keadaan sakit. Seorang kakek tua
renta berkaki buntung yang tinggal direruntuhan ge-
dung tua disudut pasar.
Akan tetapi Ginanjar harus berhadapan dengan
EMPAT IBLIS PROGO. Dalam pertarungan itu Ginanjar
telah dibantu oleh RORO CENTIL yang berhasil mene-
waskan keempat penjahat berkepandaian tinggi itu.
Baca: Empat Iblis Kali Progo. (Kisah pertama dari
serial Roro Centil). Sebagai diceritakan, Kasmini diba-
wa oleh Ginanjar ke rumah tempat tinggalnya semen-
tara sejak dia turun gunung dari lereng Rogojemban-

gan. Kasmini menetap digedung Ronggo Alit, sahabat
gurunya yaitu si Pendekar Bayangan Ki Bayu Sheta.
Sejak beberapa tahun yang lalu, Ginanjar meninggal-
kan tempat kediaman paman angkatnya, dan berpetu-
alang mencari Roro. Sungguh tak dinyana, kalau di-
tempat itu dia bisa berjumpa Kasmini. Gadis yang di-
pekerjakan oleh paman angkatnya sebagai pelayan di
toko obat-obatan itu kini telah berilmu tinggi. Siapa
yang telah memberikan ilmu kedigjayaan pada gadis
ini? Apakah Ki Ronggo Alit? Ginanjar jadi terlongong
memandang Kasmini yang telah pula membebaskan
dia dari pengaruh totokan, menolongnya dari perbua-
tan bejat Rinjani si manusia harimau.

***