Roro Centil29 - Dendam dan Cinta Gila Seorang Pendekar(2)




memimpikan hidup berpasangan dan berumah tangga. Karena kesu-
ciannya telah hancur. Baginya asalkan dapat membalas hutang pati
kepada pembunuh orang tuanya, dia telah puas! Mungkin juga dia
yang akan terkapar mati ditangan Ki Sabda Tama. Karena menurut
gurunya manusia itu berilmu amat tinggi.
Seperti diceritakan dibagian depan, Mayana menetap tiga hari
dipuncak bukit. Rajabasah. Selama itu dia terpaksa melayani nafsu
sang guru demi imbalan atas jerih payah sang guru mendidiknya.
Dan setelah apa yang diinginkan gurunya dipenuhi, dia men-
dapat tahu siapa orang yang telah membunuh kedua orang tuanya
itu. Mayana tak menjumpai adanya Gajah Lor dipondok puncak bu-
kit Rajabasah. Tak diketahuinya pergi kemana sang guru itu. Tapi
diatas meja kamarnya Mayana mendapatkan sepucuk surat yang
isinya mengatakan siapa sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya.
Ternyata adalah Ki Sabda Tama adanya. Disamping terheran, na-
mun dia juga bergirang hati karena telah mengetahui siapa musuh
besarnya.
Sang nasib ternyata telah membawa dia hingga tiba ke wilayah
ini, walaupun dia tak mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama
berada. Mayana yang bernasib baik berjumpa dengan seorang kakek
tua pertapa ketika dia melewati sebuah hutan. Ketika dia mencium
bau asap setanggi. Asap harum itu dicari dari mana asalnya. Ter-
nyata berasal dari dalam sebuah goa disisi bukit.
Kakek pertama penghuni goa itu mempersilahkan dia masuk.
Mayana menceritakan maksudnya. Ternyata kakek itu mengetahui
dimana adanya Ki Sabda Tama. Dia menyuruh dia menuju ke arah
tenggara untuk mencari sebuah bukit bernama bukit ALAS WUKU,
dengan memberikan ciri-ciri bukit itu. Sayang dia tak sempat meli-
hat  wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil membelakangi.
Bahkan kakek itu tak memberitahukan namanya.
Mayana meminta diri. Walau hatinya agak ragu, terpaksa dia
harus pergi mencari bukit Alas Wuku, karena tak tahu lagi kemana
dia harus mencari musuh besarnya itu. Demikianlah, hingga Maya-
na tiba diwilayah ini.
Mayana mulai bergerak menyelusuri sekitar bukit, sebelum

naik kepuncaknya. Didapati sebuah goa di bawah bukit. Tersentak
hati dara ini.
Tak ayal dara ini segera hunus pedangnya.
"Hm, apakah manusia jahanam itu bersembunyi disini?" de-
sisnya. Akan tetapi bukan main terkejutnya dia ketika didapati si
kakek pertapa yang dijumpainya itu telah berada didalam goa itu.
Kakek itu duduk disudut ruangan goa dengan membelakan-
ginya, seperti dijumpai pada dua pekan yang lalu didalam hutan pa-
da sebuah goa.
"Kakek pertapa? Apakah maksudmu sebenarnya? Katakanlah
siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau berada disini mendahului-
ku?" berkata Mayana.
"Hehehe... gadis muda yang gagah berani.
Akulah sebenarnya Ki SABDA TAMA orang yang kau cari
itu!"
Kalau ada petir mungkin tak membuat seterkejut Mayana pada
saat itu. Tersentak dia dengan melompat mundur. Wajahnya beru-
bah tegang. Napasnya menderu, Dan lengannya bergetar memegang
pedang.
"Betulkah kau Ki Sabda Tama?" bentaknya ingin meyakinkan.
"Hehehe... mengapa aku harus berdusta? Bukankah kau mau
membunuhku? Nah! bunuhlah aku si pembunuh kedua orang tuamu
ini!" seraya berkata kakek pertapa misterius itu balikkan tubuhnya.
Terperanjat dara ini ketika melihat siapa adanya kakek pertapa itu.
Yang tak lain dari GAJAH LOR adanya.
"Guru...? kau... kau..." tergegap Mayana menatap dengan mata
membelalak.
"Benar! aku gurumu sendiri!"
"Tak mungkin! apakah kau berkata sebenarnya, guru? ataukah
kau sengaja mau mengecoh aku?" tergetar suara dara ini dengan
melangkah mundur beberapa tindak.
"Apa yang aku katakan tidak dusta! Pada enam belas tahun
yang lalu aku membunuh kedua orang tuamu karena dendam. Ibu-
mu adalah istriku. Dan ayahmu adalah kakak kandungku sendiri!
Dia bernama WESI GENI.
Wesi Geni telah melarikan diri dengan merebut istriku. Berta-

hun-tahun aku mencari. Dan di saat aku hampir putus asa tak men-
jumpai dimana adanya Wesi Geni yang kucari hampir 10 tahun tak
pernah kujumpai, aku berhasil menemukan mereka. Saat itu hasil
hubungan Wesi Geni dengan istriku telah membuahkan anak, yaitu
kau sendiri. Aku tak dapat menahan rasa cemburu dan dendam yang
telah terpendam selama sepuluh tahun itu. Terjadilah kisah yang
membawa malapetaka dari keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati.
Demikian juga ibumu!"
"Oh...!?" tersentak kaget Mayana. Jantungnya berguncang ke-
ras. Tubuhnya menggeletar menahan 1001 macam perasaan yang
berkecamuk didada. Mayana menatap tajam wajah Gajah Lor. Dili-
hatnya setitik air bening mengalir turun dari kelopak mata laki-laki
tua itu. Laki-laki yang telah menodainya. Laki-laki yang telah men-
jadi gurunya sendiri.
Terdengar suara laki-laki tua itu menghela napas. Lalu lan-
jutkan kata-katanya. "Apa yang kukatakan adalah cerita yang sebe-
narnya, Mayana! Selama ini aku merasa berdosa karena menyem-
bunyikan rahasia ini terhadapmu. Sebelum kau membunuhku baik-
nya ku ceritakan riwayat belasan tahun yang silam mengenai diri-
ku!" Laki-laki ini tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan
ingatannya. Tak lama dia mulai bicara lagi.
"Dulu, pada masa aku masih menjadi seorang Adipati. Aku
hidup berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Dengan kekua-
saan yang cukup besar.
Aku jatuh cinta pada Indreswari putri seorang Tumenggung.
Tumenggung itu adalah masih paman angkatku sendiri. Tak dinya-
na kakakku Wesi Geni diam-diam juga mencintai gadis itu. Dan
bahkan mereka diam-diam telah saling jatuh cinta. Hal itu kuketa-
hui setelah kami menikah. Peduli dengan semua itu. Cintaku pada
Indreswari amat besar. Dan kami telah menikah. Terpaksa aku
mengesampingkan kisah cinta mereka. Toh, gadis itu sudah jadi is-
triku! Dua tahun kami menikah, ternyata tak dikaruniai seorang
anakpun. Hingga suatu ketika aku ditugaskan Ratu untuk membuat
kitab susunan tata kerajaan. Aku yang memerlukan tempat sunyi
segera meninggalkan gedung Kedipatian, setelah meminta izin pada
Ratu.

Aku berjanji pada istriku akan pulang sebulan kemudian. Tapi
ketika aku kembali, ternyata Indreswari telah minggat bersama We-
si Geni. Betapa gusarnya aku, sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa
permisi dan masih membawa kitab tata kerajaan, aku pergi mencari
dimana adanya mereka. Aku tak pernah kembali ke Kota Raja.
Hingga kemudian aku berhasil menemui mereka, dan membunuh-
nya. Lalu aku bersembunyi dipuncak bukit Raja basah dengan
membawa kau. Dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan!
Nah, kukira cukuplah sudah penjelasanmu, Mayana! Apakah kau
masih ragu kalau aku ini si pembunuh ayah ibumu?"

***

SEMBILAN

Mayana tercenung lama. Lama... tak tahu dia apa yang harus
diperbuat. Hubungan antara guru dan murid selama ini amat akrab.
Bahkan telah berlanjut dengan hubungan badan. Ada rasa kasihan
pada Gajah Lor. Bila menilai akan cerita sang guru, dia tak dapat
disalahkan. Siapa yang tak sakit hati istrinya dibawa lari orang. Wa-
lau yang membawa lari adalah kakak kandungnya sendiri?
Bila mengingat hubungan keluarga, Gajah Lor adalah masih
pamannya sendiri. Tegakah dia membunuh orang tua itu? Yang te-
lah mendidiknya selama ini? Kemelut dihati Mayana seperti sukar
dipecahkan.
Tapi bila mengingat akan kesuciannya yang telah dirusak oleh
sang paman, betapa sakitnya hatinya. Gadis ini gigit bibirnya mena-
han perasaan yang menggebu dalam dada. Sementara Gajah Lor ti-
ba-tiba terdengar batuk-batuk, lalu berkata parau.
"Mayana! tunggu apa lagikah kau? Ayo! tusukkan pedangmu
kejantungku! Bukankah selama sepuluh tahun kau cuma menanti-
kan saat ini?" Gajah Lor gerakkan tangannya merobek jubahnya
hingga dadanya terbuka.
"Ayo, Mayana! mengapa kau ragu?" berkata lagi Gajah Lor.

"Aku rela mati ditanganmu, walau... walaupun aku sudah terlanjur
mencintaimu!" Kata-kata laki-laki tua ini membuat dara ini paling-
kan wajahnya, yang tiba-tiba terasa panas.
"Mencintaiku?" bentaknya menggeledek. Mata dara ini mem-
binar dan berkaca-kaca. "Heh! kau tak lebih dari manusia binatang!
Kalau kau mau menolong orang mengapa mengharapkan imbalan?
Mengapa kau baru berterus terang setelah kau menodaiku?" terisak
Mayana dengan air mata mengalir di pipinya.
Gajah Lor tertawa terkekeh, dan kembali dia batuk-batuk.
"Semua itu sebenarnya atas dasar sakit hati, muridku! Akan te-
tapi aku tak dapat menolak kenyataan, kalau aku ternyata mencin-
taimu. Aku puas telah dapatkan kehangatan tubuhmu. Biarlah aku
mati dengan menanggung dosa. Ya, aku telah banyak berbuat dosa.
Aku membunuh kakak kandungku sendiri yang tak bersalah!" ber-
kata Gajah Lor. Kata-kata ini membuat Mayana tersentak untuk
mendengar apa yang akan diutarakan Gajah Lor.
"Ya! ayahmu tak bersalah! Yang salah adalah aku!" Gajah lor
yang tadinya akan menceritakan rahasia lebih lanjut kembali terba-
tuk-batuk. Tiba-tiba dia muntahkan darah kental berkali-kali.
"Ah, guru! kau... kau terluka dalam?" tersentak kaget Mayana.
"Heheheh... benar, muridku! Tapi tak apa. Toh aku akan mati
ditanganmu. Aku mati sebagai penebus atas dosaku!" berkata parau
Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
"Tidak, guru! Aku takkan membunuhmu! kau harus cepat dio-
bati. Akan tetapi Gajah Lor tak menyahut. Dia telah terkulai tak sa-
darkan diri. Gadis ini jadi kebingungan. Di serba salah untuk ber-
tindak. Ingin dia menolong, tapi di lain saat hatinya mendadak men-
jadi membencinya. Dan akan membunuhnya saja. Tapi mengingat
dia perlu tahu rahasia apa yang akan dikatakan sang guru itu, dia
harus menyelamatkan jiwanya. Demikianlah. Mayana segera totok
beberapa bagian jalan darah sang guru. Lalu gunakan tenaga da-
lamnya untuk melancarkan pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya
dia sudah berlari keluar goa. Di carinya beberapa jenis tumbuhan
obat. Kemudian dengan ramuan yang telah dipelajari dia berusaha
mengeluarkan racun yang mengendap ditubuh Gajah Lor.
Nyatalah Gajah Lor telah terkena pukulan beracun. Siapa

adanya orang yang melukai gurunya itu tidaklah Mayana mengeta-
hui. Usaha Mayana untuk menyelamatkan nyawa sang guru ternyata
membawa hasil. Dua hari dalam rawatan Mayana, Gajah Lor me-
nampakkan kepulihan kesehatannya. Hingga suatu hari...
"Mayana, muridku...! Ah, mengapa kau bersusah payah meno-
longku?" berkata Gajah Lor dengan menatap muridnya.
"Tak usah kau berkata begitu, guru?" Katakanlah siapa yang
telah melukaimu?" Mayana tersenyum menatap pada Gajah Lor.
Girang hatinya melihat kesehatan Gajah Lor berangsur membaik.
Laki-laki tua yang masih bertubuh tegap itu menatap murid-
nya dengan trenyuh. Hatinya seperti disayat melihat gadis itu begitu
amat memperhatikan dirinya. Dua sinar mata kembali beradu tatap.
Aneh! Mayana merasakan jantungnya berdetak cepat. Dan satu pe-
rasaan aneh menelusuri sanubarinya. Entah mengapa dia amat
mengharapkan Gajah Lor tetap hidup.
Dan ada rasa tenteram bila dia bersamanya.
Tidak saja seperti dia bersama orang tuanya sendiri, tapi bah-
kan lebih dari itu. Cepat-cepat Mayana menunduk ketika merasa
wajahnya menjadi panas. Dan hatinya tergetar dengan 1001 macam
perasaan.
"Kelak akan kuceritakan bila aku sudah sehat betul, muridku.
Dan terima kasih atas kebaikan hatimu..." berkata lirih Gajah Lor.
Mayana  cuma  bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan
hati tak menentu. Sementara Gajah Lor memandangnya seperti ter-
tegun hingga tubuh gadis itu lenyap dibalik pintu goa.

***

Apapun didunia ini bisa saja terjadi. Dan apa yang terjadi su-
dah menjadi jalan hidup manusia. Demikian pula dengan kedua
manusia didalam goa itu. Hubungan dan benih cinta yang terkan-
dung didalam hati dari dua manusia berlainan jenis yang jauh per-
bedaan usianya, kembali berlanjut... Mayana tak kuasa menolak
tatkala laki-laki tua   itu meminta untuk melayaninya.
Sang dara kembali tenggelam dalam nikmatnya cinta. Tengge-
lam dalam nikmatnya sesuatu yang pernah dia rasakan.

"Mayana... aku... aku amat mencintaimu..."
"Guru... ah, guru..." mendesah dara ini dalam dekapan tubuh
laki-laki kekar itu. Laki-laki yang telah memberikan sejuta kenik-
matan untuknya hingga dia lupa segala-galanya. Menggelinjang tu-
buh sang dara dalam alunan ombak bahtera disamudra luas yang tak
berujung. Desah dan rintih menjadi satu memenuhi ruangan goa itu.
Sementara diluar goa angin pegunungan bertiup kencang.
Awan hitam berarak dilangit. Hawa dingin menebar kesetiap pelo-
sok. Dan dengan di dahului oleh   gelegarnya petir diangkasa, hu-
janpun turun dengan lebatnya. Bumipun seketika basah oleh air hu-
jan....

***

SEPULUH

WICAKSA alias si Dedemit Mata Picak penghuni kali Teng-
korak Darah itu tergesa-gesa menguburkan jenazah Wewe Gombel
Setan Genit, dengan bulu tengkuk meremang.
Selesai menimbun lubang dengan tanah, Wicaksa menengok
kekiri kanan. Seperti mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel
Setan Genit. Ditunggunya beberapa saat. Tapi tak ada lagi suara ter-
tawa yang menyeramkan dan tiupan yang menghembusi daun telin-
ganya.
"Apakah arwah si Wewe Gombel telah sempurna setelah ku-
kuburkan mayatnya?" gumam Wicaksa.
"Eeeh! apa katamu, setan tua? kau harus laksanakan tugas ke-
duamu mencari si Cakra Murti untuk membalas kematianku! hihi...
hihik... apakah kau mau pungkiri janjimu?" Suara Wewe Gombel
Setan Genit tiba-tiba terdengar mendesing nyaring didaun telinga.
Tak ampun kakek ini melompat kaget. Seketika keringat dingin me-
rembes dikuduknya.
"Ah!?... bbaft... bab... baik! baik! aku akan mengerjakan perin-
tahmu! Tapi... tapi katakan kemana aku harus mencarinya?"

"Goblok! kau cari ke arah Kota Raja!"
"Ha? ke Kota Raja?" tersentak Wicaksa.
"Behar! apakah kau tak tahu kalau dia sebenarnya seorang
Adipati?"
"Ya.. ya... eh, dia seorang Adipati?"
"Betul! dialah Adipati Wukir Kamandaka!"
"Hah!?" jadi... jadi si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kaman-
daka?"
"Iya, goblok! Hayo, cepat berangkat mencarinya!" membentak
suara arwah Wewe Gombel Setan Genit. Tahu-tahu Wicaksa menje-
rit kaget karena merasa pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh
ngusruk ketanah.
"Waaa..!? jangan main kasar kau arwah Wewe Gombel.
Aduuh, pantatku sampai nyeri begini...!" memaki Wicaksa.
"He? kau berani membantah? mau ku tendang atau tidak itu
kemauan ku! Kalau kau tak cepat berangkat. Awas! Sekali kujilat
lehermu, kau akan mati  hangus seketika!" Arwah Wewe Gombel
justru lebih galak lagi. Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan
gemetar dia berkata.
"Baik! baik! Wewe Gombel Setan Genit! aku turut perintah-
mu!"
"Nah, begitu! segera berangkat ke arah timur!" perintah si ar-
wah Wewe Gombel Setan Genit. Tak ayal lagi setelah melihat arah
matahari yang condong ke arah barat, Wicaksa berkelebat cepat
menuju ke arah timur, dengan tengkuk semakin meremang. Diam-
diam dia mengeluh karena seumur hidupnya barulah dia diperalat
oleh setan!
Kalau saja Wicaksa dapat mempergunakan mata batinnya
dengan baik, tentulah dia dapat melihat siapa orang yang memerin-
tah itu. Karena tak lain dari seorang wanita berpakaian dari kulit
macan tutul. Siapa lagi kalau bukan RORO CENTIL adanya. Gadis
pendekar Pantai Selatan ini sambil berkelebat mengikuti Wicaksa
diam-diam tersenyum, karena berhasil mengakali Wicaksa si peng-
huni Kuil Tengkorak Darah.
"Hihihi... manusia sinting semacammu yang membunuhi
orang seenaknya saja sebelum kutamatkan riwayatnya, ada baiknya

kutipu dia agar ke Kota Raja. Agar diketahui oleh pihak Kerajaan
yang  selama  ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat se-
maunya!" menggumam Roro, Tapi diam-diam dalam hati dia mem-
batin.
"Oh, ya? Ada permusuhan apakah dia denganku? Baru kuingat
kalau pembunuhan atas orang-orang desa yang mayatnya disebar-
kan disekitar Kuil Tengkorak Darah adalah kudengar untuk men-
gundang munculnya aku?" Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari
dirinya. Hal itu diketahui dari hasil mendengar pembicaraan si
Wewe  Gombel  Setan Genii dengan Wicaksa, juga pembicaraan
dengan Cakra Murti.
Bagaimana Roro secara tiba-tiba berada di tempat itu, dan
berhasil menakut-nakuti Wicaksa serta mengetahui siapa adanya
Cakra Murti? Marilah kita menengok ke belakang pada beberapa
waktu belakangan ini..
Perbuatan biadab Wicaksa yang sengaja mengundang maut itu
telah terdengar oleh Roro, ketika dia singgah disebuah desa.
Adanya penghuni kuil Tengkorak darah yang tadinya bekas kuil pe-
ninggalan seorang Brahmana. Brahmana itu bernama YOGA
SWARA yang tinggal bersama murid-muridnya dikuil tersebut. Ro-
ro berjumpa dengan salah seorang murid Brahmnana Yoga Swara
yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian.
Dia menceritakan kemunculan seorang kakek bertampang se-
ram yang menamakan dirinya si Dedemit Mata Picak mengacau
kuil mereka dibukit Lembayung. Saat itu guru mereka Brahmana
Yoga Swara sedang tak berada dikuil. Si Dedemit Mata Picak itu
bertujuan mau merebut Kuil untuk tempat tinggalnya. Tentu saja
para murid sang Brahmana mempertahankan. Namun mereka cuma
mengantar kematian. Pemuda bernama Poma Jatu berhasil menye-
lamatkan jiwanya dengan melarikan diri memasuki desa.
Akan tetapi Wicaksa setelah beberapa hari bercokol dikuil
puncak Lembayung mulai menyebar maut membunuhi orang-orang
desa. Dan mayatnya dibawa kekuil. Dalam waktu beberapa bulan
saja kuil Brahmana Yoga Swara telah penuh dengan mayat yang
membusuk bertimbun. Menimbulkan bau busuk yang menebar dan
mengembara ke sekitarnya. Beberapa orang kaum pendengar yang

coba mendatangi puncak bukit Lembayung untuk menumpas manu-
sia iblis gila itu ternyata cuma pulang nama saja. Demikianlah,
hingga kuil itu terkenal dengan nama Kuil Tengkorak Darah.
Roro ucapkan terima kasih pada Poma Jatu yang telah bebera-
pa kali pindah ke lain desa itu hingga berjumpa dengan Roro. De-
mikianlah,  ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak Darah,
Roro menjumpai Wicaksa yang baru saja kedatangan Wewe Gom-
bel Setan Genit. Roro yang mempergunakan ajian Halimunan, tak
diketahui kedatangannya oleh kedua tokoh golongan sesat itu. De-
mikianlah, hingga Roro menguntit mereka hingga tiba di wilayah
tempat tinggal Cakra Murti yang menempati sebuah gedung tua di-
tepi danau.
Bagaimana Roro dapat mengetahui siapa sebenarnya Cakra
Murti? Itulah memang perjalanan yang tengah ditujunya. Roro me-
mang telah melacak jejak Cakra Murti yang telah diketahuinya ada-
lah seorang Adipati yang bernama Wukir Kamandaka. Dengan tu-
gas mencari Ki Sabda Tama untuk mengambil kitab ditangan bekas
Adipati itu.
Diketahuinya Cakra Murti adalah Wukir Kamandaka adalah
Cakra Murti adalah karena keteledoran Cakra Murti sendiri. Wukir
Kamandaka dalam usaha pencarian jejak Ki Sabda Tama telah ber-
gabung dengan kelompok-kelompok kaum Rimba Hijau golongan
hitam. Bahkan tingkah lakunya mengikuti jejak kaum golongan hi-
tam. Tentu saja dia tak luput dari perbagai kejahatan yang dilakukan
orang-orang golongan sesat itu. Seperti dalam melakukan perampo-
kan, pembegalan, pemerkosaan yang sudah dianggap biasa oleh
Wukir Kamandaka.
Bahkan kaum penjahat itu merasa terlindung dengan adanya
Wukir Kamandaka berada diantara mereka. Roro Centil yang sejak
pelacakan selalu menggunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak
menampakkan diri dalam pandangan mata biasa, terus melakukan
penguntitan pada Wukir Kamandaka yang telah menyamar dengan
nama CAKRA MURTI, Wukir Kamandaka memang pandai dalam
hal menyulap diri. Dengan menambah kumis dan jenggot palsu pa-
da wajahnya, serta merobah dandanannya akan sukar dikenali lagi
kalau sebenarnya dia adalah Adipati Wukir Kamandaka.

Roro yang telah tahu dimana tempat tinggal sementara Cakra
Murti, telah tahu banyak tentang hubungan Cakra Murti dengan
Wewe Gombel Setan Genit si wanita cabul itu. Demikianlah, hing-
ga ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan Cakra Murti pada
Wewe Gombel Setan Genit yang dianggap sudah tak berguna lagi,
semua itu tak luput dari mata Roro. Hingga kemudian dia mengaka-
li WICAKSA dan menakut-nakutinya dengan menirukan suara
Wewe Gombel Setan Genit. Dan memaksa kakek muka seram itu
untuk mengejar Cakra Murti alias Adipati Wukir Kamandaka ke
Kota Raja.

***

SEBELAS

CAKRA MURTI percepat larinya agar cepat tiba ditempat tu-
juan. Ternyata dia tak langsung ke Kota Raja. Akan tetapi membe-
lok kearah selatan. Melewati sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan.
Sementara Wicaksa terus menuju kearah Kota Raja. Kakek
tampang seram ini setiap saat selalu menggerutu dalam hati, karena
merasa kesal harus diperbudak oleh "arwah" Wewe Gombel Setan
Genit. Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain memperce-
pat larinya menuruti perintah dari suara yang selalu mendesing dite-
linganya.
Semalaman menempuh perjalanan, Wicaksa telah tiba dibatas
wilayah Kota Raja. Hari sudah menjelang pagi. Roro yang akan me-
lihat situasi digedung Kedipatian, segera menahan langkah Wicak-
sa. "Hm, berhenti dulu, Wicaksa!"
"Huh! kebetulan! aku sudah capek sekali. Berilah aku waktu
beristirahat sampai siang nanti, Wewe Gombel..." keluh Wicaksa
yang segera merandek menahan langkah.
"Hihihi... baik! kau beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila mata-
hari sudah sepenggalah, kau harus segera cari gedung Kedipatian
diwilayah Kota Raja ini!"

"He? kita sudah sampai?" tanya Wicaksa terkejut, tapi juga gi-
rang.
"Ya! Ini sudah perbatasan wilayah Kota Raja!" ujar Roro.
"Hehehe... baik! baik, jangan khawatir! Siang nanti aku akan
satroni gedung si Adipati gila itu untuk kukirim nyawanya ke Akhi-
rat!"
"Bagus! Nah! silahkan kau beristirahat!" ujar Roro. Diam-
diam dia tersenyum melihat  kakek muka seram itu yang tampak
amat kegirangan sekali. Selesai berkata, Roro berkelebat pergi me-
ninggalkan Wicaksa.
Dengan tetap menggunakan aji Halimunan, Roro melesat kea-
rah Kota Raja....
Ternyata Cakra Murti menuju kesebuah rumah paling besar
yang berada ditengah desa. Pagi dinihari itu suasana disekitar desa
masih nampak sepi. Sejenak Cakra Murti menatap ke pintu depan
rumah besar itu. Tapi dia tak menuju kesana. Melainkan melangkah
ke arah sisi rumah besar itu. Matanya tertuju pada sebuah jendela
yang tertutup rapat."
Ketika lengannya bergerak mengetuk pelahan, dari dalam ka-
mar segera terdengar suara... 
"Siapa ...?"
"Ehm, aku yang datang, sayang ..." menyambut sang Adipati.
Terdengar olehnya suara orang bangun dari tempat tidur. Lalu suara
kaki pelahan melangkah mendekati jendela. Ternyata dalam kamar
itu diisi oleh seorang gadis. Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta
mata yang masih mengantuk, dia membuka jendela. Sementara hati
gadis ini sudah berdebar karena mendengar suara lirih yang tak as-
ing lagi baginya. Suara yang amat dikenal betul, yaitu suara sang
kekasih yang dirinduinya.
"Ah, ka... kakang..." desisnya membelalak girang. Tapi...
"Sssst!" Cakra Murti telah membekap mulut gadis ini, ketika
dengan gerak cepat dia melompat masuk melalui jendela. Sesaat la-
ki-laki ini telah melepaskan lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan
senyuman.
"Ginarti, kau baik-baik saja?" ucapnya lirih. Wajah Cakra
Murti tampak berseri-seri. Dan gadis mengangguk terpana. Gerakan

melompat Cakra Murti membuat dia kagum. "Sukurlah..." ucap Ca-
kra Murti, seraya menutup lagi daun jendela yang terbuka. Lengan-
nya bergerak merangkul pinggang gadis cantik putri kepala desa itu,
lalu bagaikan seorang yang lapar melihat  makanan laki-laki itu
memeluk dan menciumi gadis itu bertubi-tubi.
"Ahh... engg... nanti dulu, kakang. Aku... aku belum mandi..."
ucap lirih Ginarti yang menepiskan wajah Cakra Murti dengan na-
pas tersengal.
"Hm, tak perlu, sayangku... Tak mandipun" tubuh dan mulut-
mu wangi. Dan kau... amat cantik sekali dalam keadaan bangun ti-
dur begini!" desis Cakra Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali
menggelinjang ketika Cakra Murti memeluknya, merengkuhnya,
dan kemudian menariknya keatas tempat tidur.
"Tunggu dulu...!" berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra
Murti bergerak melepaskan baju tidur bagian atas. Namun toh su-
dah membuat tersembulnya dua buah bukit kembar miliknya.
"Apa yang akan kau katakan, sayangku?" desis Cakra Murti.
Tapi lengannya tak berhenti untuk segera meremas kedua buah
benda kenyal itu dengan napas yang semakin memburu.
"Ahh... kakang, mengapa kau tak bisa sabar sebentar?" Terpe-
jam-pejam mata gadis ini, tapi segera dia mendorong tubuh laki-laki
itu.
"Hm baiklah! katakanlah, apa yang mau kau katakan?" tanya
Cakra Murti. Ginarti cepat-cepat tutupi kedua buah dadanya.
"Apakah kau telah berhasil mendapatkan kitab ditangan Ki
Sabda Tama yang berisi ilmu Tata Kerajaan itu?" tanya Ginarti.
"Aha, kalau itu yang kau tanyakan, semuanya sudah beres!
Kau tak usah khawatir. Dalam waktu tak lama lagi kau akan meng-
gantikan kedudukan sang Ratu di Kerajaan GALUH KENCANA...
Percayalah!" berkata Cakra Murti.
"Oh, benarkah...?" ternganga mulut gadis ini.
"Mengapa tidak benar?" Inilah kitabnya! ujar Cakra Murti se-
raya bangkit duduk dan mengeluarkan bungkusan kain kumal beri-
sikan kitab Ki Sabda Tama. Seketika mata gadis ini berubah menja-
di nanar. Dipeluknya laki-laki itu dengan sejuta perasaan menyeli-
muti sekujur sanubari. Ah, betapa bahagianya menjadi seorang Ra-

tu. Khayalnya seketika membumbung sampai kelangit.
"Kau nanti jadi Rajanya, kakang..." bisik Ginarti dengan gelo-
ra yang semakin menggebu. "Tentu, manisku ...!" bisik Cakra Mur-
ti. Dilolosinya pakaian Cakra Murti dengan amat cekatan dengan
napas kian memburu. Sementara laki-laki itu pun berbuat sama.
Lengannya tak berhenti-henti meremas. Tak lama desah-desah lirih
membauri kamar itu.
BRRRAAAAK!
Pintu kamar itu porak-poranda bagai diterjang kaki gajah. Dua
insan yang tengah terlena dalam buaian asmara itu terlonjak kaget.
Terkejut bukan kepalang Cakra Murti ketika melihat siapa yang
berdiri didepan pintu.
Siapa lagi kalau bukan si Dewa Arak. Laki-laki tegap ini me-
lotot menatap Cakra Murti yang terpana kaget dengan muka merah.
Keadaan tubuhnya yang dalam keadaan membugil itu membuat dia
kalang kabut menyambar pakaiannya. Sementara Ginarti menjerit
kaget seraya menyambar selimut menutupi bagian tubuhnya yang
terbuka.
"Perempuan bejat! sungguh tak pantas kau menjadi kepona-
kanku! Ternyata kalian merencanakan maksud jahat pada Kera-
jaan!" membentak Dewa Arak dengan suara parau. Membuat wajah
wanita ini jadi pucat.
"Paman Kala Bendu... aku... aku..." tergagap Ginarti ketaku-
tan. Pada saat itu dimuka pintu kembali tersembul sesosok tubuh la-
ki-laki tua. Laki-laki tua ini adalah kepala desa, si tuan rumah yang
kecolongan dengan kedatangan "pencuri" anak-anak gadisnya yang
tak diundang.
"Anak durhaka! kau patut dihajar sampai mampus! memben-
tak laki-laki ini menatap anak gadisnya yang dalam keadaan kusut
masai.
"Hm, kecurigaanmu beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau
tak menginap dirumah malam ini, tak nantiya kau bisa jumpa bang-
sat ini. Yang ternyata ada main dengan anakku!" berkata sang Ke-
pala Desa. BRRRAAK!
Tiba-tiba jendela kamar itu pecah berantakan diterjang Cakra
Murti. Dengan sigap dia telah melompat keluar. Akan tetapi si De-

wa Arak telah memburunya dengan membentak keras.
"Kau tak dapat lari, pengkhianat!" Gerakan Dewa Arak yang
begitu gesit berhasil mendahului mencegat larinya Cakra Murti.
Cakra Murti masih sempat menyambar kitab Ki Sabda Tama.
Laki-laki yang belum sempat mengenakan bajunya ini men-
dengus.
"Dewa Arak! apa hubungannya kau dengan urusanku!?"
"Heh! apakah telingamu tak mendengar kalau namaku Kala
Bendu?" bentak si Dewa Arak.
"Aku tak kenal segala nama rongsokan macam itu! Apa hu-
bunganmu dengan Kerajaan?"
"Hehe... hahaha... apa hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ke-
tahuilah! Aku adalah utusan Kanjeng Ratu untuk menawanmu den-
gan segera, dan merampas kitab Ki Sabda Tama. Aku adalah Adi-
pati Kala Bendu yang akan menggantikan kedudukanmu!" Terhe-
nyak seketika Cakra Murti alias Wukir Kamandaka mendengar ja-
waban kata-kata si Dewa Arak. Tentu saja dia tak percaya begitu
saja pada kata-kata orang. "Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat
mu menjadi Adipati penggantiku?" Membentak laki-laki ini dengan
wajah merah padam.
"Sejak terbukanya kedokmu. Siapa yang tak tahu kalau kau
berkomplot dengan kaum golongan hitam untuk menumbangkan
kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! kau layak dihukum gantung! Segera
berikan kitab itu. Dan serahkan dirimu untuk segera kuhadapkan
pada Kanjeng Ratu!"
"Buktikan bahwa kau benar-benar telah diangkat Adipati oleh
Ratu!" teriak Cakra Murti dengan wajah pucat. Kala Bendu terse-
nyum. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dikeluarkannya
sebuah gulungan kain. Tanpa banyak bicara dia bentangkan gulun-
gan kain itu dihadapan Cakra Murti.
"Kau bacalah, Wukir Kamandaka! Bacalah dengan jelas!"
berkata Kala Bendu alias si Dewa Arak dengan suara tegar berpen-
garuh. Mendelik mata Cakra Murti ketika membaca tulisan besar-
besar pada kertas yang berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tan-
gan Ratu Galuh Kencana.
DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN "GALUH KENCANA"

MENGANGKAT SECARA SYAH KALA BENDU  SEBAGAI ABDI
KERAJAAN,  DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WI-
LAYAH BARAT KERAJAAN "GALUH KENCANA",  DAN MUT-
LAK MENJADI  PENGGANTI ADIPATI WUKJR    KAMANDAKA,
YANG TELAH DINYATAKAN SEBAGAI  PEMBERONTAK MU-
SUH KERAJAAN. TERTANDA: RATU GALUH KENCANA

Seketika pucatlah wajah Wukir Kamandaka. Tak ayal lagi dia
telah berkelebat melarikan diri.
"Manusia pengkhianat! Kau tak dapat lari kecuali ke Neraka!"
membentak Kala Bendu seraya berkelebat mengejar. Kejar-
kejaranpun segera terjadi dipagi yang masih berembun itu. Hingga
kedua orang itu lenyap tak kelihatan lagi.
Sementara dari rumah Kepala Desa itu terdengar suara jeritan
dan lolong sigadis anak kepala desa itu yang dihajar oleh ayahnya.
Beberapa orang penduduk keluar dari rumahnya mendengar ribut-
ribut itu. Akan tetapi mereka tak mengerti perihal peristiwa itu. Ke-
cuali cuma menatap dari kejauhan dengan bertanya-tanya sesama
tetangga.
"Ada kejadian apakah, pak Slamet?"
"Wuaah! Ndak tahu, ya...?"
"Kasihan gadis itu, mengapa pagi-pagi sudah dipukuli?"
"Bapaknya ngamuk karena... maklum sudah lama menduda!"
sahut salah seorang.
"Ko' ngamuk? Apa dia mau sama anaknya sendiri?"
"Mungkin juga!"
"Gila!? Eh, Jangan mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"
"Weleeh! bukannya mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa
saja terjadi. Iya nggak pak Slamet?"
"Iya ... iya! Tapi jangan menuduh dulu! Aku tahu persis pak
Kepala Desa seorang yang paling jujur dan alim!" Pembicaraanpun
habis, karena pintu rumah Kepala Desa tampak sudah tertutup.

***


DUABELAS

RORO CENTIL yang telah berada di dalam ruang pendopo
Kedipatian segera mencari Wukir Kamandaka disetiap kamar dan
memeriksa setiap ruangan. Dengan aji Halimunan yang digunakan
Roro tidaklah sukar bagi Roro untuk menyelidiki. Akan tetapi tak
dijumpai sang Adipati itu berada digedungnya. Berarti orangnya be-
lum tiba. Pada saat itulah Roro mendengar suara ribut-ribut diluar.
Ketika itu sebuah bayangan menerobos masuk kedalam gedung.
Sekilas, Roro segera melihat siapa adanya sosok tubuh itu yang tak
lain dari Wukir Kamandaka yang tengah di carinya. Roro bergerak
cepat menotok tubuh laki-laki itu.
Wukir Kamandaka mengeluh kaget karena tahu-tahu sekujur
tulangnya mendadak lemah lunglai. Bahkan dia tak dapat mengelu-
arkan suara lagi ketika terasa ada lengan yang menotok tengkuknya.
Detik itu Roro telah menyeret tubuhnya dan membawanya melom-
pat ke tempat persembunyian. Sementara sesosok tubuh menyusul
masuk dengan menggembor keras.
"Pengkhianat Kamandaka! Kau takkan dapat selamatkan diri-
mu dari tiang gantungan!" Seketika seisi gedung Kedipatian menja-
di gempar. Para prajurit Kadipaten mengurung kesetiap penjuru ge-
dung. Pencarian Wukir Kamandaka digedung Kedipatian itu ber-
langsung beberapa lama. Namun aneh. Tak dijumpai ,di mana
adanya Wukir Kamandaka. Tentu saja mereka tak tahu kalau semua
itu adalah karena perbuatan Roro. Apakah yang dimaui Roro geran-
gan? Ternyata Roro telah mengamankan Wukir Kamandaka dengan
membawa berkelebat dari ruang tempat persembunyiannya keluar
dari gedung Kedipatian.
"Hihihi... ingin kulihat bagaimana cara kau bertarung dengan
si WICAKSA! sobat pengkhianat Kerajaan?" berkata Roro seraya
gulingkan tubuh Wukir Kamandaka ketanah. Laki-laki ini menye-
ringai kesakitan ketika tubuhnya jatuh menggabruk ke tanah. Saat
itu Roro telah tampakkan ujudnya. Terbelalak mata Wukir Kaman-
daka melihat seorang dara rupawan berdiri dihadapannya dengan
pakaian dari kulit macan tutul.

"Hah! ssiapakah anda...?" sentaknya terkejut.
"Siapa? Hihihi... bukankah kau telah mengetahui siapa aku?
Bukankah kau akan menunjukkan si Dedemit Mata Picak ke tempat
aku berada?" tanya Roro dengan tersenyum.
"Ha? andakah nnon... nona Pendekar RORO CENTIL?" Suara
Wukir Kamandaka menampakkan keterkejutan yang luar biasa. Ka-
rena baru pertama kali inilah dia melihat siapa pendekar wanita
Pantai Selatan itu.
"Tidak salah" ujar Roro dengan suara ketus. Saat itu Wukir
Kamandaka merasakan totokan pada tubuhnya telah punah sama
sekali, bahkan dia telah mampu berbicara. Merasa dia telah terbe-
bas, dan tahu apa yang dilakukan sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini, tak ayal lagi laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar..." ujar-
nya dengan manggut-manggut mencium tanah beberapa kali
"He? siapa yang telah menolongmu? aku tak merasa menolong
orang yang menjadi pengkhianat Kerajaannya sendiri. Kau sebagai
abdi Kerajaan yang seharusnya membela Kera-jaanmu, mengapa
kau malah bersekongkol dengan kaum golongan hitam untuk
menghancurkan Kerajaan mu sendiri?" bentak Roro, Matanya melo-
tot gusar, tapi bibirnya tersungging senyuman. Pendekar kita ini
memang orang aneh. Tentu saja kata-kata itu membuat Wukir Ka-
mandaka keluarkan keringat dingin.
"Sobat pendekar Roro Centil! serahkan dia padaku!" tiba-tiba
terdengar suara menggeledek memecah keheningan yang mence-
kam. Didahului dengan bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah ber-
kelebat dan berdiri ditempat itu. Ternyata tak lain dari Kala Bendu
alias si Dewa Arak.
Tersentak Wukir Kamandaka melihat kemunculan laki-laki
berjuluk si Dewa Arak ini. Akan tetapi pada saat itu Roro telah ber-
kata.
"Tidak! orang ini adalah urusanku! kau tak boleh menggang-
gunya!"
"Ha? apa maksudmu, sobat?" tanya Dewa Arak terheran.
Pada saat itu sebelum Roro menjawab pertanyaan, tiba-tiba
terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro.

"Bagus! segera kau telah menyusul kemari, WICAKSA! Sege-
ra kau bunuhlah Adipati pengkhianat ini!" berkata Roro dengan su-
ara nyaring.
Selesai Roro berkata, mendadak tubuh Roro berkelebat dan
lenyap. Saat itu Wicaksa muncul dari balik semak belukar.
"Grrr...! CAKRA MURTI! kau harus menemui kematian di-
tanganku, sebagai penebus kematian saudara seperguruanku Wewe
Gombel Setan Genit!" menggeram Wicaksa menatap dengan mata
memancarkan hawa amarah pada Wukir Kamandaka. Laki-laki ini
seketika mundur dua tindak.
Tidak! dia bagianku! Serahkan kitab Sabda Tama itu padaku,
pengkhianat!" membentak Kala Bendu. Akan tetap terkejut Wukir
Kamandaka ketika tersadar dia sudah tak mengantongi lagi kitab Ki
Sabda Tama. Buku itu telah lenyap.
"Hah! Kitab itu telah hilang! aku tak tahu terjatuh dimana.
Jangan-jangan si Roro Centil itulah yang mengambilnya!" berkata
Wukir Kamandaka dengan wajah pias. Tersentak kaget si Dewa
arak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara membentak disusul
oleh berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kalian semua manusia-manusia pengkhianat! dan manusia
durjana!" Dua sosok tubuh itu ternyata adalah GAJAH LOR dan
muridnya, Mayana. Wajah Wukir Kamandaka dan Kala Bandu alias
Dewa Arak seketika berubah pucat. Serentak mereka berteriak ter-
tahan.
"Ki SABDA TAMA...!?"
"Hm, benar! Kala Bendu! sejak kapan Ratu keluarkan surat
pengangkatan Adipati pada mu? Surat itu palsu! Dan kau Wukir
Kamandaka! Kau tak berhak menjadi Adipati, kecuali atas izinku!
Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah menjanjikan persyaratan mutlak
denganku, bila aku berhasil menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan
maka akulah yang bakal menjadi pengganti Ratu Kerajaan GALUH
KENCANA!" berkata Gajah Lor alias Ki Sabda Tama. Suaranya
terdengar menggeledek terdengar oleh Kala Bendu dan Wukir Ka-
mandaka bagaikan mendengar petir disiang hari. Keduanya tersen-
tak kaget melihat Ki Sabda Tama mengeluarkan sebuah MEDALI
Itulah medali Lambang Kerajaan GALUH KENCANA.

Seketika menggigil tubuh Kala Bendu karena rahasianya ter-
bongkar. Memandang pada Wukir Kamandaka, laki-laki ini berdiri
dengan lutut gemetar melihat Lambang Kerajaan itu dengan mata
membelalak.
"Dan kalian lihatlah! Kitab Tata Kerajaan ini masih berada di-
tanganku! Kitab yang kalian perebutkan itu adalah kitab palsu yang
hanya berisi syair-syair  belaka!" Semakin membelalak mata Kala
Bendu dan mata Wukir Kamandaka melihat  kitab asli ciptaan Ki
Sabda Tama di tangan si penciptanya itu.
"Kalian semua harus segera serahkan diri untuk menjalani hu-
kuman, dan menghadap Kanjeng Ratu untuk mempertanggung ja-
wabkan perbuatan kalian semua.
"Tapi... tapi aku diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari
anda, Ki Sabda Tama dengan tujuan mengambil kitab itu!"
"Perintah dusta!" bentak Ki Sabda Tama  pengkhianat Kera-
jaan! Dan kau Wukir Kamandaka! kaupun telah terlibat dengan
pengkhianatan ini!" Kala Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, se-
lain tiba-tiba dia keluarkan senjatanya. Dan dengan ganas telah me-
nerjang Gajah Lor.
"Kunyuk tua! kiranya diam-diam kau mengetahui apa yang
kulakukan  selama  ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan
mampus!"
WHUUT! WHUUUT!
Sambaran-sambaran ganas klewang Kala Bendu bersyiuran
menabas leher dan mencercah balok kepala Gajah Lor. Akan tetapi
pada detik itu.
TRAANG! TRANGG!
Kilatan pedang menyambar, hingga terjadilah benturan yang
memercikkan letusan api. Ternyata dengan sebal Mayana telah me-
nangkis sambaran klewang Kala Bendu. "Heheh... bagus, muridku!
kau kirimkan nyawa bangsat ini ke Akhirat!" teriak Gajah Lor.
Sementara itu entah sejak kapan Roro telah berada lagi di
tempat itu. Roro yang ikut campur urusan untuk membela yang be-
rada dipihak benar, ternyata dia sendiri kebingungan karena urusan
jadi sedemikian pelik. Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama
bersama muridnya dengan membawa kitab ciptaannya yang asli,

serta Medali Pusaka Kerajaan Galuh Kencana membuat Roro ter-
longong, memeganggi kitab ditangannya.
Saat itu pertarungan telah terjadi. Kala Bendu terpaksa harus
menghadapi serangan-serangan Mayana yang ganas. Sementara Ga-
jah Lor alias Ki Sabda Tama Menerjang ganas ke arah Wukir Ka-
mandaka! Laki-laki yang sudah ciut nyalinya ini bertarung dengan
hati kacau. Karena niatnya adalah melarikan diri. Tapi apa mau di-
kata Gajah Lor terus memburunya dengan pukulan-pukulan maut.
Walaupun dia berilmu cukup tinggi, tapi menghadapi serangan Ga-
jah Lor yang ilmunya lebih tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir
Kamandaka tak dapat berbuat banyak. Satu hantaman telak mem-
buat laki-laki ini menjerit parau. Tubuhnya limbung, ketika Gajah
Lor berhasil sarangkan telapak tangannya yang mengandung tenaga
dalam menggeprak kepala Cakra Murti alias Wukir Kamandaka.

***

Dalam saat limbung itu tahu-tahu WICAKSA menggerung ke-
ras. Lengannya terjulur... Dan... Bluk! Wukir Kamandaka menjerit
sekali lagi. Tubuhnya terlempar bergulingan. Lalu  terkapar terlen-
tang tak berkutik lagi. Tampak tulang dadanya remuk bahkan seku-
jur tubuhnya berubah menjadi kehitaman. Itulah pukulan  beracun
Wicaksa yang amat mengerikan, yang sekaligus telah mengantar
nyawa orang.
"Wah, wah... urusan jadi rumit. Apa yang harus kuperbuat?"
gerutu Roro yang jadi pijit-pijit keningnya memandang kearah per-
tarungan. Tiba-tiba Roro melihat Kala Bendu berkelebat melarikan
diri. Diiringi bentakan Mayana. Dara puncak Rajabasah itu menge-
jar. Disusul oleh bentakan Ki Sabda Tama yang berkelebat menyu-
sul. Tak dapat dibiarkan begitu saja Kala Bendu melarikan diri.
Roro meremas kitab ditangannya, ketika ketiga manusia  itu
sekejap sudah tak kelihatan lagi. Bubuk kertas ditaburkan ditanah.
"Benda tak berguna lagi!" gerutu Roro.
Tiba-tiba tersentak Roro ketika serangkum angin menyambar
tubuhnya. Dalam keadaan tak berwaspada itu agaknya serangan itu

akan sukar terhindarkan. Tapi naluri si Pendekar Pantai Selatan ini
sudah teramat peka. Walau serangan itu sepertinya mengenai sasa-
ran, namun Roro telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam.
WHUUUUK!
"Aaaah...!" Buk! Tubuh Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat
itu juga terdengar suara tertawa berkakakan disusul berkelebat
muncul seorang kakek tinggi besar.
"Hehehe... hoho... ternyata ilmu kepandaian mu tak berarti,
Roro Centil! Toh akhirnya kau harus jatuh juga ke tanganku!"
"Kau makin tambah umur semakin cantik, pendekar Roro!
Amboi, pakaianmu dari kulit macan tutul amat serasi dengan tubuh
mu yang mulus. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagum-
kan!" berkata laki-laki tinggi besar ini.
"Siapa kau...?" bertanya Roro seolah dalam keadaan tak ber-
daya. Menatap dengan membelalakkan mata pada orang dihadapan-
nya.
"Hohoho... kau lupa, atau memang sudah tak ingat lagi? Aku-
lah RATAN SUGAR! Masih ingatkah ketika kau membunuh si Ri-
riwa Bodas? Aku adalah pamannya!" sahut si kakek tinggi besar.
Tersentak Roro yang segera teringat akan nama Ririwa Bodas si
kakek pendek berbuntut ular, yang tak lain dari guru Giri Mayang
alias Kelabang Kuning. Musuh besar yang amat mendendam pa-
danya itu telah banyak memakan korban dengan perbuatan gurunya
yang menciptakan ular-ular siluman untuk membunuhi penduduk
tak  berdosa. Perbuatan itu dilakukan cuma untuk memancing ke-
munculan Roro agar Giri Mayang dapat melakukan pembalasan
dendam. Perlu diketahui kedua guru dan murid yang telah tewas di-
tangan Roro itu berasal dari wilayah Pulau Andalas.
"Heh, aku ingat! ya, aku kini ingat siapa adanya kau! Lalu
apakah kau mau membalas dendam untuk membunuhku?" bertanya
Roro dengan tetap terlentang ditanah tak bergerak.
"Ya! tapi bukan ditempat ini. Kau akan ku bawa ke Pulau An-
dalas. Tepatnya ke Kerajaan Sriwijaya. Karena kepalamu perlu di-
gunakan untuk tumbal kerajaan!"
Tersentak kaget Roro. "Edan! kepalaku mau dibuat tumbal ke-
rajaan?" memaki Roro dalam hati. Pada saat itu Ratan Sugar telah

menghampiri dan ulurkan lengannya untuk menyambar tubuh Roro.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan menggeledek. "Tung-
gu!" Disusul sambaran ganas angin pukulan berbau amis menyam-
bar ke arah Ratan Sukar. Kakek tinggi besar ini kibaskan jubahnya
menangkis. Hebat kibasan lengan jubah gombrong kakek tinggi be-
sar ini. Karena angin pukulan yang jelas adalah pukulan beracun itu
menyambar balik kearah si penyerangnya.
Ternyata yang barusan menyerang adalah Wicaksa si Dedemit
Mata Picak. Penghuni Kuil Tengkorak Darah ini mana mau mem-
biarkan orang yang memang tengah dicarinya selama ini digondol
pergi?
Whuuusss.... Bhlarrr!
Angin balikan dari si kakek tinggi besar lewat dibawah kaki
Wicaksa yang mengelak dengan melompat gesit menghindari sam-
baran angin pukulannya sendiri. Angin pukulan bertenaga besar itu
menghantam pohon yang seketika berderak hancur. Dan hangus se-
ketika menjadi arang.
"Hebat! Sungguh hebat serangan balasan mu, kakek Dewur!"
berkata Wicaksa yang diam-diam keluarkan keringat dingin. Kalau
terlambat dia mengelak, tak dapat dibayangkan bagaimana keadaan
tubuhnya.
"Setan alas kau! Siapa kau manusia jelek? Dan apa maksudmu
menghalangi urusanku? Mengapa kau panggil aku kakek DE-
WUR?" menggembor Ratan Sugar.
"Hehehe... Jelek-jelak namaku sudah kesohor. Siapa yang tak
kenal dengan Wicaksa si Dedemit Mata Picak penghuni Kuil Teng-
korak Darah!" tukas Wicaksa dengan menyeringai. Kau ku panggil
kakek Dewur, karena tubuhmu gede-duwur...! alias tinggi besar!
Dan maksud ku menghalangi niatmu, tentu saja takkan kubiarkan
kau membawa pergi dia untuk kau jadikan tumbal di Kerajaan Se-
brang! Karena dia adalah mangsa yang telah lama kucari-cari!"
"Hmmm, jadi kau menginginkan juga? Baik kalau begitu. Se-
gera kita tentukan dengan pertarungan. Siapa yang masih tinggal
hidup dialah  yang berhak atas pendekar Roro Centil ini!" berkata
Ratan Sugar dengan menggembor marah, namun kata-katanya te-
gas.

"Kau mengajakku bertarung? Hehehe... bagus! Memang inilah
yang kuharapkan. Majulah kau kakek Dewur!" berkata jumawa Wi-
caksa. Tanpa diperintah dua kali Ratan Sugar telah menerjang Wi-
caksa dengan serangan ganas. Sepasang lengannya mengeluarkan
sinar merah mengerikan. Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan
sinar hijau.
Suara bentakan dan ledakan-ledakan pukulan yang mengharu
bisu membauri sekitar tempat itu Pertarungan dahsyat tak dapat te-
relakkan lagi. Dua orang tokoh hitam yang sama-sama berkepan-
daian amat tinggi itu saling baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa
lagi. Bahkan dia tak tahu kalau Roro telah berkelebat menjauhi per-
tarungan itu. Dari atas puncak pohon yang berada ditempat keting-
gian, Roro menonton pertarungan adu nyawa itu. sebentar-sebentar
dia berteriak kagum. Dan sekali-kali terkadang leletkan lidah meli-
hat pukulan-pukulan ganas yang beradu menimbulkan suara meng-
getarkan bumi.
Satu ledakan dahsyat kembali terdengar. Terdengar dua teria-
kan yang menjadi satu. Tampak tubuh kedua lawan bertarung itu
terlempar beberapa tombak. Tubuh Ratan Sugar menghantam po-
hon yang seketika berderak patah. Lalu tumbang dengan suara riuh
berkrosakan. Sedangkan tubuh Wicaksa terguling-guling dalam
keadaan terbakar. Roro melompat dari puncak pohon. Dengan gerak
ringan segera menghampiri tubuh Ratan Sugar. Segera dilihatnya
tubuh kakek tinggi besar itu telah tak bernyawa lagi dengan kea-
daan tubuh hangus kehitaman.
"Aiiih, ternyata ajalmu lebih cepat datang, sebelum kau sem-
pat membawa dan memotong kepalaku untuk tumbal Kerajaan...!
Kakek DEWUR yang malang..." menggumam Roro. Ketika dia me-
lihat kearah Wicaksa, kakek muka seram itu tengah menggoser-
goser sekarat dengan jubah hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah
menghampiri.
"Heh... hhe... RO... RORO... C.. CEN... Ti... L...! senang seka-
li a... aku melihat rupa dan wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... ma-
tipuh aku... t... tak penasas... sssaran... nnn ..." berkata terengah Wi-
caksa memandang Roro dengan tertawa menyeringai. Keadaan ka-
kek ini amat mengenaskan sekali. Roro menatap tak berkedip. "Ada

permusuhan apakah kau sebenarnya denganku, Wicaksa?" bertanya
Roro dengan menatap heran.
"Mengapa kau membunuhi orang hanya untuk mengundang
munculnya diriku?" kata-kata Roro seperti menyambung napas ka-
kek seram itu, yang sudah mau menghembuskan napasnya yang te-
rakhir.
Wicaksa" tertawa lemah menyeringai.
"Hehe... heh... heh.... aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta...
pa... pada... mu... Ro... ro..." Baru saja selesai Wicaksa menyahut
dengan kata-kata yang membuat mata Roro membelalak, kakek
penghuni Kuil Tengkorak Darah itupun terkulai kepalanya. Napas-
nya telah lepas meninggalkan jasadnya.
"Gila! edan ...!?" Roro Centil seperti tak percaya mendengar
kata-kata Wicaksa. "Aiiih! Dedemit Mata Picak! kau benar-benar
iblis gila cinta! sungguh dunia telah gila! dan manusia-manusia te-
lah banyak yang gila!" gerutu Roro Centil. Dan dengan diiringi sua-
ra tertawa melengking tinggi yang mirip tangisan, si Pendengar
Wanita Pantai Selatan berkelebat meninggalkan tempat itu. Saat tu-
buh Roro telah lenyap, suara tertawanya yang membangunkan bulu
roma itu masih terdengar berpantulan disekitar tempat sunyi itu.
RORO semakin tak mengerti dengan kemelut di Kerajaan Ga-
luh Kencana Karena beberapa pekan kemudian setelah dia mem-
bantu pertarungan orang-orang Kala Bendu yang menguasai Istana.
Roro mendengar berita aneh.
Roro yang mengira Ki Sabda Tama alias Gajah Lor yang bak-
al menjadi pengganti Ratu Galuh Kencana, ternyata membunuh diri,
setelah selesai penobatan MAYANA sebagai pengganti Ratu Kera-
jaan Galuh Kencana dengan gelar Dewi Mayana Sabda Tama.
Apa yang menjadi penyebab kenekatan serta perbuatan Gajah
Lor ini tak seorangpun dari pihak Kerajaan yang mengetahui. Ke-
cuali Dewi Mayana Sabda Tama sendiri.
Ketika kemudian terdengar kabar bahwa Ratu baru Dewi
Mayana Sabda Tama itu kedapatan telah tewas membunuh diri di-
kamarnya, segera tersingkaplah rahasia mereka berdua, antara guru
dan murid. Yaitu Mayana telah meninggalkan sepucuk surat seperti
syair, yang berbunyi:

GUNUNG-GUNUNG BESAR BERGELEGAR MENA-
KUTKAN
LAUTAN MELUAP, AIRNYA   NAIK KEDARATAN...
DEWA MURKA KARENA KAMI SALAH!
CINTA MEMBUAT KAMI BAHAGIA, TAPI NAFSU SUNG-
GUH ANGKARA! BIARKAN KAMI PERGI MENEBUS DOSA!

Dari hasil dugaan orang-orang Istana, syair itu diartikan ada-
lah Ki Sabda Tama telah mencintai Mayana Putrinya sendiri. Per-
buatan terkutuk yang telah mereka lakukan atas dasar nafsu dan
dendam Ki Sabda Tama pada kakak kandungnya Wesi Geni yang
telah membawa lari istrinya. Ternyata Mayana bukan anak Wesi
Geni. Melainkan adalah anak kandungnya sendiri. Namun cinta te-
lah bersemi, walau cintanya adalah "cinta gila". Hingga Ki Sabda
Tama setelah membahagiakan Mayana dengan mengangkatnya se-
bagai Ratu, dia membunuh diri. Namun ternyata Mayana sendiripun
menyusul ayahnya yang telah terlanjur dicintainya.
Roro Centil tercenung beberapa saat lamanya. Namun akhir-
nya dia menghela napas. "Inilah Dendam dan Cinta Gila Seorang
Pendekar!" gumamnya. Tubuhnyapun berkelebat pergi... Roro me-
rasa kejahatan memang tetap sukar untuk ditumpas, karena Kala
Bendu berhasil meloloskan diri. Kelak disitu saat tak mungkin ka-
lau manusia itu tak membuat kericuhan lagi....

TAMAT
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com