Pendekar Romantis 5 - Skandal Hantu Putih(1)


SKANDAL HANTU PUTIH 
SATU 
TEBING karang itu cukup curam. 
Di bawah tebing itu anak-cucu batu 
karang mencuat runcing, seakan pamer 
gigi masing-masing. Belum lagi 
ditambah debur ombak ganas yang 
menghantam di kaki tebing cukup 
membuat bulu kuduk meremang tak kenal 
lelah. Dapat dibayangkan seandainya 
seseorang jatuh dari atas tebing, 
pasti raganya akan hancur tercabik-
cabik anak-cucu si karang kejam itu. 
Selain raganya hancur tercabik, 
nyawanya pun pergi tak mau balik. 
Sebab itulah banyak orang yang malas 
terjun dari tebing karang yang dikenal 
bernama: Tebing Selamat Tinggal. 


Meskipun demikian, toh sore itu 
ada saja orang yang berdiri di tepian 
tebing karang tersebut. Orang yang 
berdiri di pinggiran tebing adalah 
seorang gadis berpakaian biru muda, 
lengkap dengan jubah tipisnya yang 
berwarna kuning gading. Gadis itu 
berdiri di tepian tebing, hanya satu 
langkah lagi ia menuju akhirat alias 
mati dicabik-cabik anak-cucu karang 
runcing itu. 
Sepasang mata anak muda berusia 
sekitar dua puluh tahun memandangi 
tepian tebing itu dari pantai. Anak 
muda itu mengenakan pakaian serba ungu 
dengan bintik-bintik putih bening 
seperti tetesan embun menghiasai 
pakaiannya itu. Bajunya nyaris tanpa 
lengan, sehingga tangannya tampak 
berotot kencang dan kekar. Baju itu 
dikenakan dengan rapi, diikat dengan 
sabuk hitam. Baju itu tidak 
dikancingkan rapat, sehingga dadanya 
yang bidang terlihat jelas. Di dada 
itu ada tato gambar bunga mawar merah 
bertangkai biru tinta. Ia mengenakan 
celana ketat dengan bintik-bintik 
embun sebagai penghiasnya. Tepian 
celana membentuk rumbai-rumbai. 
Pemuda itu mempunyai wajah yang 
tampan bercorak macho. Bukan tampannya 
lelaki homo, tapi tampan penuh 
kejantanan. Hidungnya mancung, matanya 
sedikit biru, bulu matanya tergolong 
lebat dan lentik untuk ukuran bulu 
mata cowok. Bibirnya tampak segar dan 
indah, tanpa noda hitam  nikotin 
sedikit pun. Sebab itu cowok memang 
nggak pernah merokok. Wajahnya itu 
mengingatkan kita pada wajah bintang 
film bule yang keren, yah... 
setidaknya nilai ketampanannya itu 
sejajar dengan Christopher Reeve, yang 
jadi Superman itu lho. Tapi kalau lagi 
ugal-ugalan modelnya kayak Mc Gyver. 
Rambutnya panjang belakang, depannya 
cepak, potongan punk-rock. Pakai 
anting-anting satu di kiri. Pakal 
gelang kulit berhias paku-paku metal. 
Pokoknya keren deh. 
Itulah ciri-ciri anak dewa 
Batara Kama yang kawin dengan putri 
raja jin. Dia diberi nama oleh 
bokapnya cukup sederhana: Pandu Puber. 
Setelah menggulingkan jago samurai 
dari Tanah Sakura, ia berhak 
menyandang gelar Pendekar Versi WBC, 
(Wajah Butuh Cinta). Gelar itulah kini 
dikenal  oleh para tokoh rimba 
persilatan sebagai satu-satunya 
pendekar muda berilmu tinggi yang juga 
penakluk wanita seangkuh apa pun. 
Gelar itu tak lain adalah Pendekar 
Romantis. 
Memang Pandu itu seorang pemuda 
yang romantis. Kalau sudah pacaran 
nggak ingat sarapan. Kalau sudah mojok 
nggak ingat jorok. Kalau merayu 
wanita, wah... edan-edanan deh! Satu 
kalimat rayuan dilontarkan bisa bikin 
gadis-gadis muter tujuh keliling, asal 
sebelumnya kepalanya digetok pakai 
kayu tujuh kali. 
Sore itu sang anak dewa yang 
jika naik ke kayangan berubah nama 
menjadi Dewa Indo itu, sepasang 
matanya masih memperhatikan gadis yang 
berdiri di tepi tebing curam. Jaraknya 
cukup jauh dari tempat nongkrongnya, 
tapi ketajaman matanya mampu melihat 
sebentuk kecantikan yang lebih indah 
dari warna pelangi. 
"Ngapain cewek itu dari tadi 
berdiri di situ?! Apa nggak takut 
nyungsep masuk ke jurang karang? Bego! 
Mendingan berdiri di depanku, nggak 
bahaya, nggak rugi, bisa untung lagi. 
Uuh... dasar cewek nggak ngerti seni 
keindahan!" pikirnya dalam gerutu 
membatin. 
Mula-mula sang Pendekar Romantis 
nggak mau ambil pusing soal cewek itu. 
Matanya asyik menikmati gulungan ombak 
yang mirip gulungan kasur orang 
mengungsi karena kebanjiran itu. Buih-
buih ombak yang sampai ke pantai dekat 
kakinya itu memercik, mirip busa sabun 
yang habis dipakai mandi seorang top 
model. Pandu merasa senang memandangi 
keindahan alam seperti itu. Seekor 
ikan teri melompat, seakan sedang 
menunjukkan kebolehannya yang tak 
kalah lincah dengan lumba-lumba di 
Ancol. Pandu Puber hanya tertawa 
melihat ikan teri melompat. 
"Kecil-kecil banyak lagak lu!" 
ujarnya kepada sang ikan teri, tapi 
sang teri tidak tahu bahasa manusia, 
jadi ucapan itu dicuekin saja sama 
sang teri. 
Mata bening membiru itu 
memandangi seekor keong berjalan 
lamban mendekati bebatuan. Seolah-olah 
sang keong berkata, "Biar lambat asal 
selamat, oom!" Dan anak muda ganteng 
itu hanya tersenyum saja. 
Mendadak mata Pandu melayang 
kembali ke arah gadis di tepi jurang 
karang. Kali ini kedua tangan sang 
gadis ditutupkan ke wajah. Mulanya 
Pandu menyangka gadis itu takut 
melihat kedalaman jurang. 
"Makanya, sudah tahu penakut 
pake berdiri di pinggir jurang? Itu 
namanya gadis bodoh! Tapi... Lho, kok 
badannya tampak terguncang terus-
terusan?! Ooo... dia lagi nangis? Ya, 
ampun...? Pasti dia sedang sedih. 
Kenapa, ya? Kenapa kok menangis? 
Apakah karena punya mata? Ah, aku 
punya mata kok nggak nangis? Hmm... 
Tentunya gadis itu sedang dirundung 
duka yang... yang.... Wah, jangan-
jangan dia mau bunuh diri  dengan 
terjun ke jurang? Gawat! Kalau gitu 
aku harus selamatkan gadis itu deh! 
Kalau nggak mau diselamatkan, gue 
jorokin aja biar cepat rampung!" 
Zlaaap...! 
Apa itu? Tetangga kita batuk? 
Oh, bukan. Tadi adalah gerakan cepat 
dari si Pendekar Romantis. Ia 
menggunakan jurus 'Angin Jantan' yang 
mampu membuatnya bergerak cepat 
melebihi kecepatan cahaya. Makanya 
dalam waktu singkat cowok ganteng itu 
sudah ada di belakang gadis yang 
sedang menangis. 
"Kalau langsung kutegur pasti 
dia kaget. Kalau dia kaget, dia akan 
terlempar jatuh ke jurang. Hmm..., 
sebaiknya aku pura-pura batuk saja, 
biar dia nggak kaget," pikir Pandu. 
Maka terdengarlah suara seperti dalam 
iklan Komix,  
"Uhuk...! Uhuk...!" 
Gadis itu menengok dengan 
terperanjat. 
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, uhuk, 
uhuuk... hoeek! Cuih!" 
Pandu Puber terengah-engah. 
Wajahnya jadi merah. Hatinya membatin 
gerutuan, "Setan! Maksudnya pura-pura 
batuk kok malah jadi batuk beneran? 
Ah, malu juga jadinya!" 
Tangis gadis itu hilang. Tapi 
suara parau gadis itu terdengar cukup 
jelas di telinga Pandu Puber. 
"Kasihan, masih muda, tampan, 
eeh... punya penyakit bengek!" 
Pendekar Romantis menelan suatu 
rasa, yaitu rasa malu yang nyaris 
nggak ketulungan lagi. Baru sekarang 
ada gadis menyangka dirinya punya 
penyakit bengek. Padahal aslinya sih 
nggak bengek. Untungnya gadis itu 
punya paras cantik jelita, sehingga 
protes Pandu tak terlalu keras. Ia 
paksakan diri untuk tersenyum, lalu 
melangkah tiga kali mendekati sang 
gadis. Tiba-tiba sang gadis berseru, 
"Berhenti! Jangan mendekat 
lagi!" 
"Lho, kenapa?" 
"Aku mau bunuh diri! Aku tak mau 
kau pegangi saat aku mau melompat 
nanti!" 
"Kau mau bunuh diri?" Pandu 
bernada tidak percaya. Sengaja ia 
bernada begitu, supaya sang gadis 
mengurungkan niatnya karena tidak 
dipercaya. 
"Ya, memang aku mau bunuh diri. 
Kalau kau tidak percaya, lihat nih aku 
mau melompat ke jurang karang, 
hiaaah...." 
"Ee, eh... tunggu dulu!" Pandu 
mau mendekat dengan tangan terulur, 
tapi gerakannya ragu-ragu dan sang 
gadispun tak jadi melompat. 
"Apa maksudmu menahan 
gerakanku?!" ketus sang gadis. 
"Jangan bunuh diri, nanti kamu 
mati lho!" 
"Memang aku kepingin mati!" 
sahutnya makin ketus. "Lihatlah kalau 
nggak percaya, satu, dua, ti...." 
"Eeeh... tunggu!" sergah Pandu 
Puber makin dekat tapi tak berani 
menyentuh gadis itu. Kulit sang gadis 
begitu putih dan mulus berkesan 
lembut, sehingga merasa sangat 
disayangkan kalau harus disentuh 
secara kasar. 
"Kalau boleh kutahu, apa 
alasanmu kok mau bunuh diri?" tanya 
Pandu Puber dengan hati-hati, sebab 
kaki si gadis sudah makin berada di 
tepian jurang. Geser sedikit lagi akan 
jatuh ke jurang itu. 
Gadis itu tundukkan kepala, 
mulai tonjolkan kesedihannya. Pandu 
Puber perhatikan wajah dan sosok si 
gadis. 
"Memang cantik dan menggiurkan 
sekali bodinya," pikir otak nakal sang 
Pendekar Romantis. 
Dari ujung rambut sampai ujung 
rambut lagi, mata Pandu menyusuri 
keadaan si gadis berjubah kuning 
gading itu. Melihat ada pedang kecil 
di pinggang gadis itu, Pandu yakin 
gadis yang ada di depannya bukan gadis 
desa biasa. Sedikitnya punya ilmu 
kanuragan. Walau hanya sekadar untuk 
ciat sana ciat sini, tapi gadis itu 
punya mainan sendiri. Murid siapa dia? 
Tak tahu. Yang jelas dia juga bukan 
murid sembarang murid, karena ia 
mengenakan kalung emas bermata hijau 
muda dari batuan jenis giok. Batuan 
hijau itu berbentuk seekor ular naga 
sedang menari. Pasti murid-murid 
tertentu yang memiliki batuan 
bersimbol seperti itu. Mungkin saja 
itu adalah simbul perguruannya? 


"Gila! Itu dada apa pabrik susu, 
kok gedenya membuat sesak napas orang 
yang memandang?" pikir Pandu 
mengomentari keseksian si gadis 
berambut sepunggung dengan disanggul 
bagian tengahnya. 
"Katakanlah, apa kesulitanmu, 
barangkali aku bisa membantumu, Nona 
Cantik," ujar Pandu Puber dengan suara 
lembut dan tutur kata yang merdu 
merayu. 
"Tidak. Kau tidak boleh tahu 
masalahku. Aku mau bunuh diri saja!" 
"Ya, sudah! Aku mau pulang 
saja." 
"Aku mau bunuh diri beneran 
nih!" 
"Silakan! Aku mau pulang 
beneran!" sambil Pandu berlagak mau 
mengeloyor pergi dengan cuek. 
"Baiklah, akan kuceritakan 
masalahku!" kata gadis itu setelah 
Pandu tampak melangkah lebih dari tiga 
langkah. Pandu pun berhenti dan 
berbalik mendekatinya lagi, namun 
jaraknya tetap dua langkah di depan 
sang gadis. Mata sang gadis 
memperhatikan Pandu terus, sisa air 
matanya buru-buru dilap dengan lengan 
jubahnya. 
"Aku sedih. Karena itu aku mau 
bunuh diri. Aku tak bisa menghindari 
kesedihanku ini," katanya dengan 
menunduk. 
"Sedihnya itu kenapa? Jelaskan 
dong. Kalau cuma bilang: 'aku sedih', 
semua orang tahu kalau kau sedih, 
sebab kau menangis. Tapi sedih karena 
apa, itu kan harus dijelaskan, Nona!" 
tutur Pandu bernada menyabarkan diri. 
"Eh, namanya siapa sih?" 
Setelah diam sesaat sang gadis 
menjawab, "Namaku... namaku Rani 
Adinda. Aku putri kedua dari keluarga 
Sultan Danuwija yang berkuasa di 
Kesultanan Sangir." 
"Ooo... jadi kau anak Sultan?" 
"Benar. Tapi aku termasuk putri 
mbalelo."  
"Apa maksudnya 'puteri mbalelo' 
itu?"  
"Kerabat kesultanan yang keluar 
dari peraturan kesultanan. Aku salah 
satu anak yang tidak mau mengikuti 
aturan hidup di dalam keraton. Aku 
suka mengembara, dan akhirnya berguru 
kepada seorang Resi yang bernama Resi 
Pancal Sukma,  dari Perguruan Naga 
Jilu."  
"Naga Jilu berapa?" 
"Gaji gue cekak!" jawab Rani 
Adinda dengan kesal hati. 
"Maksudku, Naga Jilu itu kan ada 
tiga: di sebelah timur, barat, dan 
selatan. Perguruan Naga Jilu barat 
adalah yang pertama, yang di timur itu 
yang kedua sedangkan...." 
"Dulu memang ada tiga, sekarang 
sudah menjadi satu, berpusat di 
wilayah selatan," sahut Rani Adinda 
dengan serius. 
"Baiklah. Terus, apa kasusmu 
sehingga kau mau bunuh diri?" 
"Aku telah ditolak kembali ke 
keraton. Aku tidak diaku anak lagi 
oleh ayahandaku. Aku dianggap bukan 
keluarga kesultanan." 
Rani Adinda mulai menitikkan air 
mata lagi. Pandu Puber gemetar dan 
buru-buru buang muka. Lututnya terasa 
lemas, tulang-tulangnya bagaikan 
lembek. Begitulah jika ia melihat 
gadis menangis, selalu menjadi lemas 
dan matanya berkunang-kunang mau 
pingsan. Makanya Pandu cepat-cepat 
buang muka sambil berkata, 
"Hentikan tangismu! Hentikan!" 
Pandu ingat ibunya. Setiap 
melihat wanita menangis selalu ingat 
ibunya dan menjadi lemas sekali. Ia 
sangat sayang kepada ibunya. Bagi 
Pandu, wanita itu ratu yang perlu 
diagungkan dan ditayani. Karenanya, 
hati Pandu menjadi luluh dan nyaris 
hancur jika melihat wanita menangis. 
Kali ini ia berusaha bertahan agar tak 
sampai pingsan dengan cara keluarkan 
suara bernada membentak. Otomatis sang 
gadis jadi kaget dan agak tersinggung. 
"Kalau kau tak mau berhenti 
menangis aku akan pergi dari sini!" 
Padahal hal itu tidak mungkin 
bisa dilakukan jika Rani Adinda benar-
benar menangis. Boro-boro pergi, 
bergerak pun sulit. Ia akan jatuh 
pingsan, terkulai seperti sarung jatuh 
dari jemuran. Tapi agaknya ancaman itu 
dianggap serius sekali oleh Rani 
Adinda, sehingga gadis itu pun dengan 
susah payah menghentikan tangisnya, 
menarik napas beberapa kali dan 
menjadi tenang kembali. 
Setelah tak mendengar suara isak 
tangis, Pandu pun berkata lagi sambil 
mulai berani memandangi gadis itu. 
"Aku hanya memintamu 
menceritakan masalahmu saja, tidak 
memintamu menangis! Aku paling benci 
melihat wanita menangis! Paham?!" 
"Baiklah, aku tak akan menangis 
lagi," kata Rani Adinda, seakan ingin 
menuruti keinginan Pandu Puber.  
Gadis berusia sekitar dua puluh 
dua tahun itu berkata lagi, 
"Aku akan kembali diterima 
sebagai putri Sultan Danuwija, dan 
dianggap sebagai keluarga kesultanan 
lagi apabila berhasil membunuh Hantu 
Putih." 
Pendekar Romantis menggumam 
heran nama itu, "Hantu Putih...?" Lalu 
batinnya berkata, "Baru sekarang aku 
mendengar nama tokoh seperti  itu. 
Apakah benar-benar hantu atau hanya 
julukan saja?" 
Sebelum hal itu ditanyakan, Rani 
Adinda berkata lebih dulu, 
"Apakah kau tahu, siapa Hantu 
Putih itu?"  
"Aku baru mau tanyakan padamu; 
apakah Hantu Putih itu benar-benar 
hantu atau hanya nama julukan saja?" 
"Entahlah. Aku tak jelas. 
Ayahandaku hanya berkata begitu, lalu 
beliau tak mau bertemu denganku. 
Bahkan aku tak diizinkan masuk ke 
dalam kesultanan." 
"Mengapa tidak kamu tanyakan 
kepada gurumu?" 
"Sudah. Tapi guruku tak tahu 
siapa orang yang menggunakan julukan 
Hantu Putih itu. Menurut Guru, mungkin 
yang dimaksud Hantu Putih adalah 
benar-benar hantu atau mayat  yang 
terbungkus kain kafan dan berkeliaran 
di mana-mana. Tapi menurut dugaanku 
yang belum tentu benar, Hantu Putih 
itu nama julukan seseorang."    
"Dari mana kau bisa 
menyimpulkannya begitu?" 
"Kabarnya, ayahku sangat benci 
dengan Hantu Putih, sebab ibuku jatuh 
sakit karena rindu ingin jumpa si 
Hantu Putih itu. Bahkan...," Rani 
Adinda diam sebentar, seperti ada yang 
perlu dipertimbangkan. Setelah 
beberapa saat ia melanjutkan ucapannya 
tadi,  
"Menurut kabar yang kudengar 
dari mulut pelayan istana, ibuku 
terlibat percintaan gelap dengan Hantu 
Putih dan sulit melupakan si Hantu 
Putih. Kabarnya lagi, ibuku terkena 
Racun Raja Rindu yang entah bagaimana 
caranya bisa disebarkan oleh si Hantu 
Putih itu. Racun Raja Rindu itulah 
yang membuat Ibu tak mau menganggap 
Ayah sebagai suaminya lagi. Yang 
diingatnya cuma si Hantu Putih saja! 
Bahkan Ibu bersumpah, jika belum 
bertemu dengan Hantu Putih tak mau 
makan selamanya!" 
"Malah irit," gumam Pandu dengan 
selorohnya. Sengaja ia berkelakar 
sederhana supaya Rani Adinda tidak 
menangis lagi mengenang nasibnya. 
Walau sang gadis tidak tertawa, 
tapi Pandu yakin selorohnya Itu 
mengurangi ketegangan batin si gadis 
"Karena sudah cukup lama aku 
mencari Hantu Putih tapi tidak 
berhasil, akhirnya aku patah semangat, 
putus asa. Daripada nggak bisa balik 
sama keluarga, lebih baik aku ambil 
jalan pintas untuk mati bunuh diri 
saja!" 
"Maksudmu, jika kau mati kau 
bisa bertemu Hantu Putih, gitu?" 
Rani Adinda gelengkan kepala. 
"Nggak gitu maksudnya. Aku tak tahan 
menjalani kepedihan hidup seperti ini. 
Aku ingin bebas dari kesedihan, tapi 
tak ada yang mampu menghiburku, tak 
ada yang mampu membantuku menemukan 
Hantu Putih. Karenanya, kematian 
adalah yang terbaik bagiku untuk 
selesaikan masalahku ini!" 
"Kau tak perlu bunuh diri. Untuk 
apa cepat-cepat mati sih? Toh semua 
masalah bisa dicari jalan keluarnya. 
Jalan keluar yang paling mudah adalah 
lewat pintu, lewat jendela lebih 
sulit. Tapi semua itu toh namanya 
jalan keluar?" 

Pendekar Romantis semakin dekati 
gadis berwajah imut-imut itu, kemudian 
menepuk-nepuk punggung si gadis dengan 
lembut dan berkata penuh nada-nada 
minor. 
"Sayangilah dirimu sendiri 
sebelum orang lain sayang kepadamu. 
Selamatkanlah dirimu sendiri sebelum 
orang lain menyelamatkan dirimu. 
Cintailah dirimu sendiri sebelum orang 
lain boleh mencintaimu. Pakailah 
pedoman hidup itu supaya hatimu tenang 
dan damai. Sejujurnya kukatakan 
padamu, gadis secantik kau tak pantas 
mati muda. Seluruh pemuda sebayaku 
akan menangis darah jika melihat gadis 
secantik kau mati bunuh diri." 
"Benarkah begitu?" 
"Ya, benar sekali, Adinda!" 
jawab Pandu Puber mulai ngecap macam-
macam. Lalu la berkata lagi, 
"Jangan khawatir dengan hasib 
hidupmu. Aku akan membantumu!" 
Gadis itu menatap Pandu dengan 
mulut sedikit terperangah, menampakkan 
bentuk bibirnya yang seakan menantang 
untuk dikecup sehari-semalam suntuk. 
Hatinya membatin pula tentang Pandu 
Puber. 
"Benarkah si ganteng ini mau 
menolongku? Benarkah dia mampu 
menemukan Hantu Putih? Ah, kalau dia 
gagal aku tetap tak akan membencinya. 
Bagiku, membenci pemuda setampan dia 
adalah perbuatan terkutuk yang tidak 
akan diampuni oleh para dewa! Oh, 
hatiku kenapa bisa setenang ini. Baru 
mendengar kesanggupannya saja, 
ternyata hati sudah menjadi damai dan 
girang sekali. Padahal bisa saja dia 
ngibul. Tapi, ah... dia tak punya 
tampang jadi tukang kibul kok. 
Tampangnya adalah tampang pemuda 
romantis yang punya sifat jujur, setia 
dan hangat dalam pelukan. Hmmm...! 
Hatiku kok jadi seperti semutan sih? 
Ah, bingung sendiri aku kalau begini 
jadinya. Mau ngapain, ya? Menangis? 
Oh, jangan. Nanti dia membentakku 
lagi. Diam saja? Oh, jangan. Nanti dia 
anggap aku nggak serius membutuhkan 
pertolongan dalam hal ini. Habis aku 
harus ngapain sekarang ini, coba?! 
Pikir dong, pikiiir...!" 
Celoteh itu bagai ditujukan 
untuk diri sendiri. Yang jelas Rani 
Adinda menjadi salting alias salah 
tingkah. Untuk mengatakan sesuatu pun 
sulitnya bukan main. Akibatnya Pandu 
sendiri yang memecah kebisuan di 
antara mereka berdua. 
"Begini saja! Temukan aku dengan 
ayahandamu dan biarkan aku bicara 
dengan beliau. Barangkali beliau bisa 
kasih ciri-ciri si Hantu Putih jika 
bicaranya padaku. Jika padamu tak akan 
diberikan ciri-ciri  itu karena pasti 
beliau masih dongkol mengingat kau 
tumbuh sebagai gadis 'mbalelo' tadi." 
"Ja... jadi aku harus membawamu 
ke kesultanan dan mempertemukan dirimu 
dengan ayahku? Oh, nggak deh! Aku 
nggak mau ketemu beliau sebelum 
membawa pulang kepala si Hantu Putih" 
"Habis, gimana caranya bisa tahu 
siapa yang menjadi Hantu Putih dan 
yang menjadi bahan buruan kita? Mau 
tak mau kita harus banyak bicara dan 
berembuk dengan ayahmu!" 
  
DUA 
PERDEBATAN itu bikin Pendekar 
Romantis kesal. Rani Adinda tetap 
ngotot nggak mau pulang menghadap 
Sultan sebelum membunuh Hantu Putih. 
Ia malah mengusulkan untuk mencari 
seorang ahli nujum untuk menanyakan 
soal Hantu Putih. 
"Di mana ada ahli nujum?" gumam 
Pandu dengan hati menggerutu. 
"Ya kita cari dulu, kita 
tanyakan kepada orang di mana ada ahli 
nujum sakti di sini?" 
"Cari...?! Uuh...! Mencari Hantu 
Putih saja belum bisa, masih harus 
mencari ahli nujum. Tambah puyeng deh 
kepalaku kalau gini caranya" 
"Kalau kau puyeng ya sudah, 
pulanglah saja ke kandangmu. Biarkan 
aku bunuh diri saja di jurang ini!" 
Rani Adinda bersungut-sungut. Pandu 
Puber memandang dengan hati terpaksa 
harus bersabar. 
Ancaman seperti itu sebenarnya 
yang membuat Pandu Puber tak bisa 
lakukan apa yang menjadi kehendaknya. 
Secara jujur hatinya mengakui bahwa ia 
tak bisa melihat Rani Adinda mati 
bunuh diri. Bisa-bisa Pandu akan 
merasa menyesal seumur hidup jika 
membiarkan Rani Adinda mati bunuh diri 
sebelum disentuh bibirnya. Jadi dengan 
cara bagaimanapun mau tak mau Pandu 
harus bisa mencegah anak sultan itu 
tidak terburu-buru mati. 
"Barangkali kalau dia sudah 
merasakan sebentuk kehangatan bibirku 
dia akan enggan mati dengan cara apa 
pun" pikir Pandu. 
Rani Adinda mengaku pernah 
dengar nama seorang ahli nujum di kaki 
Gunung Malabar. Gadis itu mengajak 
Pandu Puber pergi ke sana. 
"Namanya: Syuka Nehi. Kabarnya 
dia tidak pernah pergi ke mana-mana 
dan selalu tinggal di kaki Gunung 
Malabar. Jadi kalau kita kesana pasti 
akan ketemu dia."  
"Dia ahli nujum apa pedagang 
martabak?" 
"Pandu! Aku serius nih!" Rani 
Adinda merajuk jengkel. 
Pandu Puber tertawa kecil. 
"Gunung Malabar itu jauh, Sayang," 
ujarnya dengan lembut sambil merapikan 
rambut di punggung Rani Adinda. 
"Gunung Malabar ada di Tanah Gangga, 
di India sana." 
"Biarpun jauh akan kutempuh. 
Yang panting aku bisa tahu siapa yang 
dimaksud dengan Hantu Putih itu dan di 
mana letak persembunyiannya." 
"Perjalanan ke Tanah Gangga 
sangat berbahaya. Banyak perampok yang 
akan menghadang perjalanan kita." 
"Aku tak takut. Asal bersamamu, 
aku tak takut!" ucap Rani Adinda 
membuat hidung Pandu mengembang 
bangga, seakan ia dijagokan oleh gadis 
secantik itu. 
Ketika mereka berhadapan dalam 
jarak kurang dari satu jangkauan, mata 
Rani Adinda memandangi Pandu dengan 
sedikit sayu. Lalu terdengarlah gadis 
itu berucap penuh perasaan. 
"Kalau kau bisa menolongku dalam 
masalah ini sampai tuntas, apa pun 
yang kau inginkan dariku akan 
kuberikan." 
"Kau menjanjikan upah yang 
istimewa, begitu?" 
"Benar. Upah istimewa kusediakan 
untukmu. Begitu. Ganti!" 
Pandu tertawa kecil. "Kok kayak 
roger-rogeran. Pakai ganti, segala!" 
sambil tangannya mencubit pelan dagu 
si kulit lembut itu. Yang dicubit 
hanya tersenyum. Senyum itu membuat 
hati Pandu bermekaran mirip kerupuk 
masuk ke penggorengan. Sedangkan si 
gadis sendiri seakan minta dicubit 
lagi dengan cara sedikit mengangkat 
dagunya dalam memandang. Pandu nekat 
mencubit lagi. Lalu si gadis bilang, 
"Jika kau berhasil menolongku, 
kau boleh mencubit seluruh  tubuhku 
dengan cara apa pun!" 
Mantap! Ini sebuah tantangan 
bagi Pendekar Romantis. Semangat yang 
timbul semakin membara. Keputusan pun 
dibulatkan, ia harus mendampingi Rani 
Adinda menuju ke Tanah Gangga untuk 
menemui seorang ahli nujum bernama 
Syuka Nehi. 
Rintangan pertama datang ketika 
mereka menuju ke perkampungan nelayan 
untuk menyewa perahu. Sebab tanpa 
perahu mereka tak bisa sampai ke Tanah 
Gangga. Barangkali Pandu Puber bisa 
sampai ke sana dengan menggunakan 
selembar papan atau daun pisang plus 
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. 
Tapi gadis montok itu belum tentu bisa 
menumpang kendaraan aneh tersebut. 
Untuk berdiri di atas daun pisang dan 
melaju di tengah samudera harus 
menggunakan ilmu peringan tubuh yang 
cukup tinggi, sedangkan Pandu sudah 
menguasai hal itu sejak kecil. Bahkan 
ia pernah bermain selancar dengan 
selembar daun pisang sewaktu berusia 
sekitar sepuluh tahun atau tujuh 
tahun, lupa! (Kalau mau ingat, baca 
serial Pendekar Romantis dalam 
kisahnya : "Hancurnya Samurai Cabul" 
nggak rugi kok). 
Soal perintang pertama tadi, 
Pandu Puber merasa sudah memasuki awal 
tantangan dalam kasus Hantu Putih 
tersebut. Awal tantangan itu ditandai 
dengan munculnya seorang pemuda tampan 
berpakaian serba putih. Rambutnya ikal 
bergelombang, panjang sebatas 
punggung.  Ikat kepalanya warna putih 
pula. Senjatanya terompet kecil dari 
logam anti karat warna putih 
mengkilap. Pemuda itu berkumis tipis, 
berusia sekitar dua puluh dua tahun. 
Badannya tegap, kekar, tampak berotot, 
sebab baju putihnya tanpa lengan. 
Kemunculan pemuda berpakaian 
putih itu membuat Pandu Puber menatap 
penuh curiga. Caranya muncul yang 
menghadang langkah sudah menunjukkan 
niat tidak baik menurut Pandu. Tapi 
sang Pendekar Romantis masih tenang-
tenang saja. Ia membiarkan Rani Adinda 
maju satu langkah dan  bicara dengan 
pemuda tampan tersebut. 
"Lagi-lagi kau, Sawung Seta! 
Bosan aku melihat tampangmu!" 
"Ke mana pun kau pergi aku akan 
tetap mencarimu, Adinda. Karena hatiku 
tak bisa melupakanmu!" ujar pemuda 
yang bernama Sawung Seta. 
"Aku muak padamu!" ketus Rani 
Adinda. 
"Mungkin karena sudah ada pria 
yang lebih tampan dariku?" 
Karena Sawung Seta melirik sinis 
kepada Pandu Puber, maka Pandu pun 
menyahut dengan senyum sinis pula, 
"Terima kasih atas pengakuanmu, 
Sobat!" 
"Cuih...!" Sawung Seta meludah 
menandakan penghinaan yang amat dalam 
dari lubuk hatinya. Tapi sang Pendekar 
Romantis hanya tertawa pelan dengan 
sikap lebih merendahkan pemuda 
berpakaian putih itu. 


Rani Adinda berkata kepada 
Sawung Seta, "Sudahlah, Sawung Seta... 
pergilah bersama perempuan itu dan 
jangan temui aku lagi. Aku benar-benar 
sudah muak melihat tampangmu! Kau 
sudah cukup menggoreskan luka di 
hatiku dengan menjalin hubungan gelap 
dengan perempuan liar itu! Pergilah 
jauh-jauh dengan si jalang itu, Sawung 
Seta!" 
"Hubunganku tak sedalam 
dugaanmu. Kau terlalu cemburu, Adinda. 
Sekarang pun dia sudah kutinggalkan 
dan tak sudi untuk kudekati lagi. Aku 
lebih baik kehilangan dia daripada 
kehilangan dirimu, Adindaku sayang!" 
Pandu membatin, "Boleh juga 
rayuannya. Tapi aku yakin Adinda tak 
akan terbuai. Rupanya pemuda ini bekas 
kekasih Adinda dan terlibat skandal 
dengan perempuan lain, sehingga Adinda 
sakit hati, lalu tak mau menemuinya 
lagi. Hmmm... kalau tak mau ya jangan 
dipaksa dong. Kalau dipaksa urusannya 
denganku deh! Kupelintir batang 
lehermu jadi gangsing lu!" 
Pada akhir bujukan Sawung Seta, 
terdengar kalimat yang memanaskan hati 
Pandu Puber, walau Pandu bisa menahan 
diri untuk tidak mudah terpancing oleh 
kata-kata itu. Sawung Seta berkata 
kepada Rani Adinda dengan suara 
seperti orang menggeram jengkel. 
"Apakah kau ingin aku bertarung 
dengan jagoanmu itu? Mungkin kau ingin 
tahu kehebatan ilmuku dalam mematahkan 
tulangnya?!" 
Rani Adinda tersenyum sinis. 
"Kalau kau ingin bertarung melawannya, 
kau harus bisa kalahkan aku dulu, 
Sawung Seta!" 
Puser Pandu mangkak, merasa 
dibela oleh gadis secantik Rani 
Adinda. Ia hanya tersenyum-senyum saja 
sambil menggigit-gigit sebatang rumput 
sejak tadi. 
"O, jadi kau rela berkorban demi 
pemuda culun itu?!" 
"Jangan menghinanya, Sawung 
Seta!" hardik Rani Adinda. Ia tampak 
semakin galak. Bahkan berkata dengan 
nada keras, 
"Biar kau murid si Layang Petir, 
aku tidak akan mundur setapak pun 
kalau harus bertarung melawanmu, 
Sawung Seta!" 
Pandu Puber kaget, sebab ia 
kenal betul dengan tokoh tua yang 
bernama Layang Petir. Pandu memanggil 
tokoh tua itu dengan sebutan 'Pak 
Tua'. 
Dan Pandu pun tahu seberapa 
tinggi ilmu Layang Petir yang dulu 
bekas muridnya Iblis Banci itu. Kini 
Pandu jadi gelisah dan terbayang wajah 
tua si Layang Petir yang pernah 
membuatnya dikuasai hasrat bercumbu 
gara-gara sinar putih dari mata Pak 
Tua tersebut, (Cumbuannya ada di 
serial Pendekar Romantis dalam kisah : 
"Patung Iblis Banci" -  panas dingin 
lho kalau membacanya). 
Lebih gawat lagi Rani Adinda 
berkata sumbar, "Kalau perlu, gurumu 
suruh kemari dan berhadapan denganku! 
Nih, murid Resi Pancal Sukma tak akan 
tumbang menghadapi Layang Petir dan 
muridnya yang kayak ondel-ondel itu!" 
Gemeretak gigi Sawung Seta 
mendengar hinaan seperti itu. Kedua 
tangannya menggenggam kuat-kuat. 
Matanya mulai mengecil pertanda 
memendam murka. Ia bicara dengan suara 
menggeram, 
"Bicaramu kelewat batas, Rani 
Adinda!" 
"Blarin! Biar elu nggak mau lagi 
deketin gue!" 
"Kalau bukan karena hati sedang 
jatuh cinta padamu, kuhancurkan 
kepalamu pakai terompet saktiku ini, 
Adinda!" 
Dengan tengil Rani Adinda 
menyahut, "Hancurkan saja kalau bisa!" 
"Tidak. Kalau kepalamu 
kuhancurkan, bagaimana nanti jika aku 
ingin mengecup bibirmu?" 
"Cari bibir kuda aja!" timpal 
Pandu tak tahan ingin mencandainya. 
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak 
Sawung Seta dengan  mata membelalak 
berang. Rupanya inilah saat yang 
ditunggu-tunggu Sawung Seta, 
melampiaskan kemarahannya kepada Pandu 
daripada harus bertarung melawan gadis 
yang sedang digandrunginya itu. Ia 
mendekati Pandu yang berdiri di bawah 
pohon teduh, tapi Rani Adinda cepat-
cepat bergerak dan menghadang langkah 
Sawung Seta sebelum dekat dengan 
Pendekar Romantis. Sang pendekar hanya 
tenang-tenang saja, menggigit-gigit 
rumput secara iseng. 
Rani Adinda bertolak pinggang di 
depan Sawung Seta, "Kau mau apa, hah?! 
Mau apa  kau? Apa mau kau, hah?! Mau 
kau apa, hah?!" 
Tengil amat gadis ini, pikir 
Pandu dengan geli. Tapi ia membiarkan 
saja segala tingkah si cantik berdada 
pabrik ini. Dalam hati Pandu hanya 
memuji keberanian Rani Adinda yang 
bila dilawan Sawung Seta belum tentu 
bisa unggul. Sebab Pandu tahu 
kesaktian Layang Petir, tentu saja 
Pandu bisa mengukur kehebatan ilmu 
muridnya itu. 
"Aku ingin buktikan bahwa kau 
telah terpikat oleh pemuda bego, 
Adinda! Minggirlah, biar kuhajar mulut 
lancangnya tadi!" 
"Hajarlah aku dulu kalau kau 
ingin menghajarnya!" Rani Adinda maju 
mendesak, Sawung Seta mundur berusaha 
menghindari pertarungan dengan gadis 
yang sedang digandrunginya itu. 
"Sawung Seta! Tinggalkan kami 
atau aku bertindak kasar lebih dulu 
padamu!" ancam Rani Adinda benar-benar 
penuh keberanian. Entah berani beneran 
atau cuma action saja di depan Pandu, 
tak jelas. Yang pasti, Sawung Seta 
menjadi makin dongkol, napasnya mulai 
dihela dengan berat. Matanya pun 
menatap Rani Adinda dengan penuh 
kemarahan. Akhirnya ia berkata dalam 
nada geram. 
"Aku tak mau pergi jika tanpa 
dirimu, Adinda!" 
"Kalau begitu aku harus 
mengusirmu dengan caraku sendiri! 
Hap!" 
Rani Adinda membuka jurus 
pertama, badannya merendah dengan kaki 
kiri ditarik ke belakang, kedua 
tangannya mengembang di depan dada dan 
di atas kepala. Matanya memandang 
tajam pemuda itu. 
Kemudian gadis itu melompat 
dengan suara serukan pertarungan. 
"Heaaat...!" 
Wuuut...!  
Badannya berputar secepat 
baling-baling ketika dalam jarak satu 
jangkau dengan Sawung Seta. Sambil 
memutarkan badan,  kaki Rani Adinda 
membentang dalam sentakan kuat. Dua 
kakinya itu bagai ingin menendang 
wajah Sawung Seta secara beruntun. 
Tetapi tangan Sawung Seta tak kalah 
cepat dalam gerakannya.  
Plak, plak, paaak...!  
Tendangan itu ditangkisnya. 
Bahkan betis Rani Adinda sempat 
dihantam dengan telapak tangan. 
Hantaman itu mempunyai kekuatan tenaga 
dalam yang lumayan dan membuat tubuh 
Rani Adinda terpelanting hilang 
keseimbangan.  
Bruuus...!  
Rani Adinda jatuh di pasir. 
Posisi jatuhnya mirip seekor kucing 
ingin menerkam lawan. 
"Boleh juga jurus Adindaku," 
pikir Pandu Puber masih gigit-gigit 
rumput dengan kalem. 
Sawung Seta berkata, "Aku 
terpaksa memberi pelajaran padamu 
supaya kau tidak meremehkan aku, 
Adinda!" 
Wuuusss...!  
Sebuah pukulan jarak jauh tanpa 
sinar dilepaskan oleh Sawung Seta. 
Gelombang pukulan yang dapat 
memecahkan balok kayu itu dihindari 
Rani Adinda dengan satu lompatan yang 
menyerupai kucing betina sedang 
mengamuk. Wuus...! Dalam lompatannya 
itu Rani Adinda seolah-olah terbang 
dan meliuk-liuk ke kiri kanan membuat 
Sawung Seta sedikit bingung 
menghadapinya. Tahu-tahu kaki Rani 
Adinda menyepak wajah pemuda Itu 
dengan kelebatan cepat sekali. 
Plaaak! 
Sawung Seta terlempar ke samping 
hampir jatuh. Wajahnya merah matang 
karena sepakan kaki si gadis. Pukulan 
tenaga dalamnya tadi sama sekali tak 
mengenai Rani Adinda namun hanya 
membuat pasir pantai menyembur ke atas 
dalam sekejap. 
"Gila! Pasti itu jurus naga. 
Cuma... naga apa namanya, entahlah. 
Anggap saja itu tadi Jurus 'Naga 
Bangun Tidur' yang menjadi salah satu 
Jurua andalan Rani Adinda," pikir 
Pendekar Romantis yang mirip penonton 
di arena pertarungan. Sama sekali tak 
memberikan gerak atau bantuan apa pun 
kepada Rani Adinda. Ia memang ingin 
melihat seperti apa kehebatan gadis 
itu melawan muridnya Pak Tua; si 
Layang Petir. Makanya ia hanya senyum-
senyum saja. 
Sawung Seta tegak kembali. 
Napasnya ditarik dalam-dalam pertanda 
sedang mengatasi rasa sakit dengan 
hawa dingin yang disalurkan ke bagian 
pipi kanannya yang merah itu. 
Sedangkan Rani Adinda melangkah dengan 
kaki merendah, badan membungkuk ke 
depan, kedua tangannya menguncup, dan 
menyodok-nyodok ke kanan-kiri depan, 
lalu tiba-tiba kakinya menyentak dan 
tubuhnya melompat ke depan, rendah 
dengan permukaan tanah. Perut pemuda 
berpakaian serba putih itu disodok 
dengan tangan yang menguncup. 
Wuuut...! Tab! 
Hantaman tangan itu dihadang 
oleh telapak tangan Sawung Seta yang 
cepat berlutut dengan satu kaki. 
Telapak tangannya menghadang gerakan 
tangan tersebut. Namun tiba-tiba ia 
terjengkang ke belakang dan berjungkir 
balik kelabakan. 
"Setan!" geramnya dengan dongkol 
ketika ia membuka telapak tangan yang 
dipakai menahan pukulan tadi ternyata 
menjadi hangus. 

"Wah, berarti pukulan Adinda 
tadi punya kekuatan Inti api dong? 
Hebat! Sepertinya jurus pukulan biasa 
saja, ternyata punya isi yang 
membahayakan. Kalau kena dada atau 
perut bisa hangus bagian dalam dada 
tersebut lho. Wow, jurus hebat apa 
lagi itu namanya? Bagaimana kalau 
kunamakan jurus 'Naga Cocol Sambal'? 
Hi, hi, hi...!" Pandu Puber tertawa 
sendiri menanggapi komentar batinnya. 
Sawung Seta cepat melompat dari 
posisi berlutut satu kaki. Dan ketika 
ia melompat, jari-jari kakinya 
keluarkan sepuluh sinar biru kecil 
yang menyergap tubuh Rani Adinda. 
Sraaaab...! Kesepuluh larik sinar biru 
itu segera dilawan oleh Rani Adinda 
dengan kesepuluh larik sinar merah 
yang keluar dart jari-jari tangannya. 
Sraaab...! Dan terjadilah dentuman 
menggelegar akibat benturan sinar-
sinar tersebut. 
Blegaaarrrr...! 
Tanah di sekitar mereka 
terguncang hebat. Air laut membumbung 
tinggi dalam gulungan  ombak besar. 
Sementara itu tubuh Rani Adinda 
sendiri terlempar sejauh lima langkah 
dan terpuruk di sana. Tubuh Sawung 
Seta juga terpental dan membentur 
gugusan karang di depan tepian pantai 
berair asin. Buuhg...! Tubuh itu jatuh 
terkulai setelah menggeliat kesakitan 
dengan wajah menyeringai. 
Pandu Puber pun ikut jatuh 
terpelanting akibat ledakan tadi. 
Hampir saja ia kejatuhan pohon kelapa 
yang tumbang akibat getaran kuat daya 
ledak tersebut. Untung ia cepat-cepat 
bangkit dan menghindar ketika 
dilihatnya batang pohon kelapa itu 
mendekati wajahnya dari atas bagaikan 
tubuh perawan tanpa busana. 
Bruuuusssskkkk...! 
"Gila! Kalau aku nggak cepat-
cepat pergi bisa gepeng wajahku 
dihantam pohon kelapa sebesar itu! 
Uuh...! Jurus apaan yang mereka 
gunakan tadi? Yang jelas jurus sinar 
biru dari jari-jari kaki Sawung Seta 
tadi pasti jurusnya Layang Petir, yang 
kalau melayang bisa keluarkan petir 
dari bagian tubuhnya mana saja!" pikir 
Pandu Puber sambil geleng-geleng 
kepala membayangkan hampir mati 
ditiban batang pohon kelapa yang penuh 
dengan buah kelapa hijaunya itu. 
Rani Adinda tampak terbatuk-
batuk sebentar, lalu keluarkan darah 
dari mulutnya. Wajahnya pucat dan 
matanya mulai sayu dalam memandangi 
musuhnya. Itu tandanya Rani Adinda 
terluka bagian dalam tubuhnya akibat 
daya sentak ledakan kedua jurus tadi. 
Sedangkan Sawung Seta tidak tampak 
pucat, hanya sedikit berat dalam 
menarik napasnya. Tapi ia sudah 
berdiri lagi sementara Rani Adinda 
masih berlutut di tanah. Hal itu 
membuat Pandu Puber menjadi cemas. 
Baru saja Pandu mau bergerak 
menolong Rani Adinda, tiba-tiba Sawung 
Seta berkelebat dalam satu lompatan 
bersalto tiga kali dan begitu berdiri 
dengan dua kaki merendah, ia 
melepaskan sinar kuning dari ujung 
jari telunjuknya.  
Claaap...! Dees...!  
Sinar itu tepat kenai tubuh Rani 
Adinda. Persis di bawah pundak kanan. 
"Celaka...!" Pandu Puber 
tersentak kaget melihat Rani Adinda 
terpental dan jatuh terkapar tanpa 
daya lagi. 
Wuuus...!  
Pandu Puber berkelebat ingin 
menyambar Rani Adinda. Tapi sinar 
kuning tadi melesat kembali dari jari 
telunjuk Sawung Seta dan menghantam 
punggung Pandu Puber.  
Claaap...! Dees...! 
"Uuhg...!" Pandu Puber tersentak 
melengkung ke depan, lalu jatuh 
terpuruk bagaikan kehilangan tenaga 
dalam sekejap. 
"Berani menyentuhnya kuhancurkan 
tubuhmu dengan terompetku ini!" ancam 
Sawung Seta yang berdiri dalam jarak 
tujuh langkah sambil memegangi 
terompetnya yang siap ditiup sewaktu-
waktu. 
Pendekar Romantis tarik napas 
dengan berat sekali. Bagian dalam 
tubuhnya terasa panas. Makin lama 
makin memeras keringat. Ia masih 
mencoba untuk berdiri menghadapi 
Sawung Seta. Giginya menggeletuk, 
urat-urat lengannya mengencang. Dan 
tiba-tiba kedua tangannya 
mengembangkan jari, sehingga jari-jari 
itu menjadi lurus, keras dan merapat. 
Dengan telapak tangan tengkurap, kedua 
tangan  itu menyodok ke depan dengan 
cepat. 
Wut, wut, wut, wut...! 
Kekuatan tenaga dalamnya 
terlepas dari ujung kedua tangan yang 
menyodok ke depan secara beruntun. 
Jurus 'Salam Sayang' menghantam tubuh 
Sawung Seta walau dicoba dengan 
menahannya. Tapi kekuatan jurus 'Salam 
Sayang' adalah kekuatan gelombang 
tenaga yang sulit ditahan, sehingga 
tubuh Sawung Seta terjungkal ke 
belakang dan terbanting-banting. 
Pandu Puber tak memberi 
kesempatan Sawung Seta untuk bangkit 
kembali. Ia segera melompat untuk 
melepaskan pukulan sinar putih 
peraknya itu. Tetapi ketika melayang 
ke udara, tiba-tiba seberkas sinar 
hijau menghantamnya dari samping dan 
tepat kenai lambungnya.  
Deees...! 
"Auuhg...!" Pandu mengerang, 
jatuh seketika dengan urat-urat 
mengejang. Ia berusaha untuk bangkit, 
namun hanya bisa sampai duduk saja. 
Napasnya seakan sulit ditarik atau 
dihembuskan. Jantungnya bagaikan 
berhenti dalam beberapa detik. Tapi 
pandangan matanya masih sempat melihat 
sesosok bayangan berkelebat menuju ke 
arah pertengahan jarak antara Pandu 
dan Sawung Seta. Bayangan itu kini 
menjadi jelas. Ternyata seorang 
perempuan berusia sekitar tiga puluh 
tahun, mungkin lebih dua tahun tiga 
bulan. Perempuan berwajah oval itu 
mempunyai hidung mancung dan mata 
membelalak jalang. Senyumnya berkesan 
nakal. Pandu dipandanginya beberapa 
saat. Lalu terdengar suara si 
perempuan berkulit putih mulus dan 
berambut putih perak berkata kepada 
Pandu Puber, 
"Jangan coba-coba menyakiti 
pangeranku itu kalau kau tak ingin 
mati diserang belatung dari jurus 
mautku tadi!" 
"Sssi... siapa kau?!" suara 
Pandu lemah sekali. Ia merasakan 
bagian dalam tubuhnya ada yang 
bergerak-gerak mengerumun, tepatnya di 
bagian yang terkena sinar kuning tadi. 
Mulai terbayang adanya sekumpulan 
belatung yang menggerogoti bagian 
dalam tubuhnya. Pandu menjadi cemas 
dan tak hiraukan lagi perempuan 
berjubah ungu dengan pakaian pijung 
dari sutera warna merah muda. 
"Hei, ternyata kau lebih oke 
dari si Sawung Seta itu, ya?" ujar 
perempuan berambut perak itu. Pandu 
Puber benar-benar tidak 
menghiraukannya. Ia sibuk menyalurkan 
hawa murninya untuk menahan agar 
belatung yang dirasakan telah mulai 
berkembang biak di lambungnya itu 
menjadi punah oleh hawa murninya. Ia 
sedikit memejamkan mata. Napas dan 
uratnya dikuatkan dalam erangan 
mendesah dari mulut. 
Pada saat itu, mata Pandu sempat 
melihat Sawung Seta berkelebat 
menyambar tubuh Rani Adinda. 
Wuuuussss...!  
Lalu pemuda berpakaian putih itu 
lari sambil memanggul gadis itu. 
"Sawuuung...!" teriak perempuan 
berambut perak. 
Pandu Puber kerahkan tenaganya 
dan bangkit untuk mengejar. Tapi 
pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa 
sinar terlepas dari telapak tangan 
perempuan itu.  
Wuuut...!  
Ouuuhg  
Tepat kenai punggung Pandu 
Puber. Sang pendekar pun jatuh 
tersungkur dengan lebih parah lagi. Ia 
mengerang dalam suara tertahan. Samar-
samar didengarnya suara perempuan itu 
berkata sambil mendekatinya, 


"Biarkan Sawung pergi dengan 
urusannya sendiri! Aku akan mendapat 
ganti yang lebih oke darinya! Maukah 
kau kutolong dari lukamu yang akan 
menghadirkan ribuan belatung?"

Page    1      3