Roro Centil 28 - Ulat Betina Selat Madura(1)




SATU

PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, me-
ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu.
Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan
tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai
yang indah itu. Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke
tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di pe-
rahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah.
Dialah si pendayung perahu.
Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah ber-
cengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau.
Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari
sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya
yang jenjang.
Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika
dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah da-
danya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si
pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap
menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu
adalah pegawai dari pesanggrahan "MELATI" yang berdiri tegar
dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu. Dia tahu kalau wa-
nita muda dan cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam
ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai
pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi
tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang te-
tamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak keta-
huan kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur pera-
hu pesiar.
Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan
itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu
seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta
potongan  tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang
saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak
mungkin. Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap,

yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya
si gadis pendayung perahu tampak tenang- tenang saja bahkan dari
mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagu-
kan nada-nada dalam satu nyanyian.
Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditu-
tupkan. Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangan-
nya mendayung. Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan
diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar
itu.
"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru ... ah, masih sore
begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dima-
lam hari ini lebih dulu?" berkata si wanita.
"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...!
Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menya-
hut si bangsawan. Sementara lengannya telah  bergerak membuka
kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang
buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan
itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau se-
perti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu,
sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melaya-
ni suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh-
nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan te-
tapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut.
"Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani teta-
mu. Kalau aku takut adalah wajar menyahut si wanita.
"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pan-
dangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang
memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang
kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu
menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.
"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat
menjamah tubuhku!"
Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita.
"Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.
"Dia mati mendadak..."

"Ooooh ...! Serangan penyakit?"
"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.
Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.
"Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini
karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.
"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik ber-
tanya wanita itu.
Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar.
"Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau
teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."
Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi
lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya sema-
kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan ma-
ta membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar
nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"
Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi
bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu
tersenyum.
Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu di-
alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak.
Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa
arak dituangkannya kelaut...

***

Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi
mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya
kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk di-
pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup.
Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan ma-
ta. Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang ma-
ta gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia ter-
lonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah gerangan yang membuat
dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar
perahu membasahi kakinya.

Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga
sepertiga bagian.
"Celaka...!? Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan.
Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai
pintu perahu.
Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan se-
tengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air
tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuh-
nya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur
dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur
dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang
menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke-
lihatan batang hidungnya.
"Hah!? Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali
bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tu-
buh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak
bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja mem-
buat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan
terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar
perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang pa-
pannya telah ambrol.
"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus me-
nyelamatkan diri...!" berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera
dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang.
Maka... BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia
harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang
mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter-
paksa ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..
Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai.  Te-
naganya serasa hilang terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan mu-
ka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.
"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perem-
puan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melaku-
kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini. Sukar
untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong
orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah

melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian
itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan
kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat
sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.
"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber-
desis. Dan dia segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak re-
mang-remang ketika segumpal awan hitam melintas. Gadis pen-
dayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya ten-
gah dilanda kemelut.
Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh
tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pen-
dayung perahu ini. Namun dia mengeluh. tubuhnya terkulai serasa
lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah meno-
toknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena den-
gan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melari-
kannya dengan cepat. Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang
tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca
sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan
meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu-
buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.

***

DUA

"HAH!? KAU... KUNTALI...?" tersentak si wanita pendayung
perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya.
Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita
pendayung perahu itu.
"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak
mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita
berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.
"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan
bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah ja-

dinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!"
Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.
"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah ting-
gal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepen-
tingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan di-
ri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.
"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani me-
lakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak
buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pe-
laku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.
Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya
dari totokan.
"Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah ma-
na? Pondok siapakah ini?" tanya gadis pendayung perahu itu mem-
perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.
"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang men-
getahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun-
tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan
berikan satu setel pakaian untuknya.
"Kau membawa serta pakaianmu?"
"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"
Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya.
Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang ka-
wan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya.
"Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu
pesiar dalam kawalanku itu?"
"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman pera-
hu itu aku mengetahui...!" menyahut Kuntali.
"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?"
tanya Windarti dengan terkejut. Akan tetapi Kuntali hanya tertawa
kecil.
"Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"
"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang
telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo
Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.
"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi ka-

wanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung
belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pu-
kat Inten yang bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA....!"
Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan
kawannya itu membuat dia terperangah.
"Ular Betina Selat Madura...?" desisnya tersentak. "Jadi si pe-
rempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu
adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini. Win-
darti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat he-
boh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita berkepandaian
tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita ten-
tang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa
bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak
terdengar lagi beritanya.
"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian
menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Se-
mentara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Beti-
na itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan
lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari ben-
cana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pe-
sanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang be-
rada di jalur sesat! Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi mela-
kukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan
atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pe-
sanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penja-
hat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai
wilayah.
Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersem-
bunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan. Adapun gadis
pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama
Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe-
sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah
menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua
perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya ada-
lah murid wanita dari Perguruan CEMPAKA BIRU, sebelum adanya

Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu
tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG. Wanita tua itu me-
nyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka. Hingga tak seo-
rangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba
Hijau.
Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab se-
jak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam
murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seo-
rang adalah murid yang paling tua, bernama NAGASARI. Wanita
itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di-
andalkan oleh sang guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk
memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawa-
hannya.
Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh
sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak
langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasa-
ri. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana mem-
buat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat
dimana terdapat seorang tabib. Konon khabarnya tabib itu seorang
yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat
sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki
muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan
Nagasari. Dia bernama BEGUK REKSASANA. Seorang laki-laki
bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur-
kan diri dari jabatannya.
Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak mem-
bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan berma-
cam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari se-
makin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasil-
nya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid
lainnya menjadi cemas. Demikianlah, Beguk Reksasana memberi sa-
ran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang
mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga un-
tuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka.
Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan
apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.

Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup. Keadaannya sung-
guh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di-
usung.  Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk
bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga
pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena
tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.
Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Rek-
sasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka. Na-
gasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru
telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar dioba-
ti lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah
gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang
datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa
ke tempat tabib itu.
Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut. "Kita
tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah di-
tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga
untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau ki-
ranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis-
itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru
berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.
Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan
hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka.  Wajah-wajah duka
tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gu-
runya itu.
"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya
Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.
"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka
Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat,
yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah,
kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri-
kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.
Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri
yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserah-
kan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada
pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah

kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wa-
siat itu tertera tanda-tangan guru mereka.
Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. De-
mikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu.
Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Na-
mun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta me-
nyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kun-
tali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki
saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah
dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.
Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditu-
tup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama Pesanggrahan MELATI.
Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut di-
wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan
kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Rek-
sasana yang telah menjadi suami Nagasari. Pernikahan mereka di-
langsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa
disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau-
dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...

***

TIGA

"KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan
dia... ?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menye-
lami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Seper-
tinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis
ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung
ini.?" Dan "persahabatan" macam apakah antara kedua saudara se-
perguruan ini...?
"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya
menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian.
"Jangan khawatir! kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya

tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini
karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya
berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengan-
nya meraih dagu gadis pendayung itu.
"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara ha-
tinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu.
Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!"
suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu me-
rosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali
erat-erat. Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini
lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh
sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali se-
perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari
hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering menga-
dakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya me-
reka bagaikan "bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai
benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena me-
reka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat den-
gan memperdengarkan desahan-desahannya...
Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara
dingin terdengar mencengkam.
"Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?" Tersentak kedua
gadis itu bagaikan dipagut  ular berbisa. Seketika melompat untuk
masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap keha-
dapannya, karena sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri bertolak
pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu
juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan
diri...!" desis gadis itu.
BRRAAK! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikut-
nya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera
menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "saha-
bat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada
saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Berhenti! kalian telah terkepung! lebih baik menyerah. Mung-
kin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan sua-

ra itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka.
Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembu-
lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang.
"Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi ka-
mi!" membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya
dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.
"Hahaha ... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menya-
hut salah seorang dari dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata
mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya
yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka
sebatas dada kebawah.
Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa.
"Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempat-
sempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadis-
gadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro
"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap ka-
lian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Bi-
nangun dengan tertawa menyeringai. Panas rasanya muka Kuntali.
Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat
pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut.
Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke-
dua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini
segera mengejar.
Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah di-
persiapkan.
WHUUT!... Krep! Luncuran tali laso yang memang sudah di-
kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Win-
darti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terle-
pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi Windarti
dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hing-
ga dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan
mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Win-
darti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui
Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.
"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat
kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak

tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak
gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia
gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara se-
perguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang
dan jatuh terjerembab bergulingan.
"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali
dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai
singa. Tapi... BUK! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan te-
lak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling- guling dia
ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men-
giris jantung.
"Bocah tak tahu adat! kuberi kebebasan padamu di Pesanggra-
han Melati malah mau melarikan diri...! kau akan menyesal dengan
ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditem-
pat itu. Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari
Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Ka-
rena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke-
digjayaan tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh-
tokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Me-
lati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang berge-
lar si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk
bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat ke-
hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan ce-
pat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus
oleh Tapak Doro.
"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri
kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum. Bi-
nangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap
mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"
"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami
akan menerimanya..."
"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis
manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan
Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.
"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro.

"Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah!
kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk menga-
turnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan
urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan
Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu
dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibat-
nya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga
mahal telah dibuatnya tenggelam...!" Diam-diam tersentak kaget
Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah
wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempa-
tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Se-
lat Madura yang menjadi sahabatnya itu.
Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka ja-
di serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Ju-
ga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai ter-
lebih dulu.
"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah
ragu- ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi
di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tem-
pat duduk diatas sebatang kayu.
"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera men-
jatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.
"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun seren-
tak. Segera mereka mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang
akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan
permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka,
tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi.
Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos.
Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe-
rikan hukuman mati pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga
akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang
telah memesannya.
Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertu-
tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Do-
ro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok.
Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam,

namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca. Sementara Win-
darti telah menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya
menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Na-
mun dia tak berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun
membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketu-
lang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin.
Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai.
Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan
yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan
hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyap-
nya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pe-
sanggrahan Melati...

***

EMPAT

Sementara itu penjagaan   disekeliling Pesanggrahan Melati te-
lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kaki-
tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berke-
pandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah
mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke-
tempat itu. Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia
lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau.
Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata-
rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung.
Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.
"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan
menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si
Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya
yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang
bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa
kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.
"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu

khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular
Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya is-
triku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera men-
jura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru
semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu me-
mang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam-
diam telah berkomplot dengan dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung
manggut-manggut mendengar penuturan muridnya.
"Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?"
tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit.
Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.
"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah di-
ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil
meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk
Reksasana. Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasa-
na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat.
Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra-
han di pesisir pantai itu.
Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu
pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh
wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari
datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wa-
nita ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan
cepat sekali dia telah menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak
mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng-
gelosoh. Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah
yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga
wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia
mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.
Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu
tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah
diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja
dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya menca-
ri-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu mema-
suki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu ka-
mar dibukanya. Tapi kamar itu kosong. "Heh!? kemanakah Kuntali?

Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah
berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini
pelahan.
Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit
segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak
lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang
kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari
dalam... Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini
menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk-
kannya ke dalam pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak meng-
gembung.
Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun
didalam Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual
wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu.
Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar
khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar
itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. dengan kunci
palsu dimilikinya pintu bisa dibuka. Sekejap dia sudah melompat ke-
dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan
Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suara-
suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan-
gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhia-
san mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam
baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut da-
ra ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.
"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku-
kira dia sudah disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela
segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak.
"Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan
tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang
membentak tak lain dari Nagasari.
Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bah-
kan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan
mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jen-
dela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi.
WHUUUK!... CRIIING!

Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini
yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan di-
ri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam milik-
nya yang dihamburkan untuk menyerangnya.
"Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat
untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tang-
kaaap...!" Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati
menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjata-
senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"
"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Seba-
gian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan
itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari
sang Ketua.
"Apa yang terjadi Ketua...?"
"Goblok semua! Cepat kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari
sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak
ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk
mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.
"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" ber-
teriak-teriak mereka.
Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak
anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, se-
jenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan
gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men-
dahului para anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini
sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul.
Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.
Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata te-
lah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan
itu? memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...!
Oh, ludaslah sudah harta bendaku!
Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku
terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wani-
ta ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian
waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu. Berpi-
kir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa

lenyap untuk mengejar lebih jauh.
Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya
orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa
adanya orang itu. Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat
Madura? Pikirnya. Sekejap  kemudian, Nagasari telah kembali
lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikir-
kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya.
Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi le-
mari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati.
Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema-
kan waktu lebih dari dua tahun.
Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba... "Itu
dia...! tangkap! kejaar!" 
"Bunuuuh!"
Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu
saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orang-
orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.
"GOBLOK! mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak men-
genali aku?" membentak Nagasari dengan suara mengeledek.
"Hah!? KET... KETTT... KETUA...?" hampir berbareng mereka
melompat mundur dengan suara tertahan.
"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami
tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.
"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan
mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan
tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang.
Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru
saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang me-
nyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.
"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?" Men-
delik sepasang mata wanita ini.
"Kau...?! apa saja kerjamu, kakang...? sampai tak tahu kejadian
ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"
"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat
itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersem-
bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk me-

laksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, ke-
cuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!"
menyahut Beguk Reksasana.
"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar
Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah
kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak
Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk me-
nuju ke arah kamarnya. Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut.
Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah
tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat
menyimpan uang dan perhiasannya.
"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si
Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap
mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.
"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari se-
raya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca
menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.
"Gara-gara aku...? He? aku tak tahu menahu dengan semua ini!
Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis-
ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang sua-
mi.
"Cih! kalau. tidak gara-gara kau menerima wanita muda berna-
ma Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" ber-
kata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembarin-
gan.
"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina
Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan pura-
pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak
mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya.
Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri
wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata-
kata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.
"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.
"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak usah kau mencari-cari alasan!
Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita mem-
bekuk si Ular Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan

ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan...
terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak
Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku
seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!"
Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan
kamar itu...

***

LIMA

Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat,  Windari  ter-
golek  dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membela-
lakkan matanya.
"Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak
Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak me-
mutar. Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang
tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se-
bagai tawanan. Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia se-
perti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditu-
gaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong
untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas berge-
rak. Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan ma-
sih dalam keadaan membugil.
Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara
gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan
yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia
ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu
yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara ha-
tinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang me-
namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike-
jar...?"
Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang ter-
bayang justru kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu ro-

manya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayat-
sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pe-
lampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang sauda-
ra seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga-
sari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.
Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan me-
reka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, na-
mun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari telah
menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan
bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.
Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui
kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhiana-
tannya.
Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pi-
pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi
nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan
pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.
Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, kare-
na segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke
pesanggrahan  Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjut-
nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki
terbelenggu...
Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya
dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi!
Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah kehilangan orang
yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya
sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia te-
lah menempuh jalan salah. Ya! tak semustinya dia mencintai sesama
jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak
wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya.
Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hi-
dup lagi...
Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat
luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan
tak lekang terkena panas!
"Nagasari...! tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan

puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang len-
gan mengepal dalam belenggu.
Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak
kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di
hadapannya.
"Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut
memberi isyarat. Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya
dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya.
Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan ta-
jam.
Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik
bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat
yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.
Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang ber-
topeng segera balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya
merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.
Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja
membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia
beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian
dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si
orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai
berpakaian?
Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya den-
gan cepat. Sebentar saja sudah rapih berpakaian. Cepat si orang ber-
topeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk mengikutinya. Dengan be-
rindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu. Melompat gesit
dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Tiba dibagian belakang
Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tan-
gan Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Se-
lanjutnya... WHUT! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur.
Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.
"GURUUU...!? Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan ter-
sentak antara terkejut dan girang. Dan menghambur dia untuk kemu-
dian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang
berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak
lain dari Nini CANDRA GUMINTANG. Sang guru yang dikhabar-

kan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan
seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.
Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu
adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU.
Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari
telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepa-
sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau
yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra
Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru
Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi
Ketua. Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan
sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI. Yang ber-
fungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam-
pungan wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola
secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang
dan harta benda.
Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wani-
ta tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, se-
raya berkata.
"Sudahlah muridku...! mari kita berbincang-bincang dida-
lam...!" Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu.
"Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"
Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa,
guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penu-
tup wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan
antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama.
Menatap dengan mata mendelong. Adapun Windarti jadi terlongong
mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi se-
telah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka
topengnya.
"Kau..., kau SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.
Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita du-
duk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami cerita-
kan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau me-
nyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"
"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya

yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."
"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya mengga-
mit lengan Windarti. Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk
diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar
pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. La-
lu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar
dihadapan sang guru.
Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sa-
bar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.
"Guru...! ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi?
Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil
alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. apakah memang
Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang mengatakan guru
telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani
oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...? Pertanyaan
Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.
Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera men-
jawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ke-
tika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah aki-
bat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada
makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses
lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membu-
nuhnya. Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu men-
jadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru
diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menu-
rut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di-
bawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.
Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari
berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang
buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau mem-
bunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendi-
ri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu,
karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata
kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan
serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajah-
nya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati.

Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu  adik istri
Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari
SHIDARTA. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir)
Nini Candra Gumintang.

***

ENAM

SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana
muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah
segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Dong-
gala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbua-
tan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidar-
ta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat ra-
hasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama
sebenarnya adalah, TALI WANGSA.
Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari
para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan
janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang
lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan sa-
ja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.
Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu
segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan me-
netapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam
mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui seso-
sok mayat oleh para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali
Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam
keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir
hancur membusuk. Hingga sukar dipastikan apakah  benar dia Tali
Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pa-
kaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang
disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak le-
ga hati Shidarta mendengar berita itu.

Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di
Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Naga-
sari. Namun dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat
Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan
mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walau-
pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasa-
na tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu.
Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang
guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan
Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa,
karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak
punya  hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang
saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana,
diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan
minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rom-
bongan mereka berangkat. Sebagai murid  termuda. Apalagi masih
adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wi-
layah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang
berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan menga-
takan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat be-
rangkat pergi. tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyu-
sul pengangkut tandu yang membawa sang guru.
Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari
dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu ke-
sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu
memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana
ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.
Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara
seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pe-
sannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja
yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk
Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan
Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau-
dara seperguruan Nagasari. Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah
tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan
wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak

hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipa-
ten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya
mayat laki-laki itu disungai.
"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasa-
ri. Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah men-
jadi murid dari Perguruan Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan pa-
tuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu. Sebabnya kau kula-
rang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada sa-
tupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa
sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke-
sembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian.
Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus
sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"
"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut
Shidarta dengan tundukkan wajahnya.
"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan.
Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak
tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau
akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pa-
da setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di-
beri wewenang untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi perin-
gatan. Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
"Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu
setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana,
Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu se-
gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.
Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit.
Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat
larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan
membiarkan aku pergi begitu saja...!" Dugaannya benar. Ketika
membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok
tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa.
Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau me-
nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.
Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa
terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melang-

kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara
Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...?
Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shi-
darta pura-pura bertanya. Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan
dihidung. Lalu menjawab.
"Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu
saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Bi-
ru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan
nyawamu...!" Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa ham-
bar.
"Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan kata-
kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu TALI WANGSA!
Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati
Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau
bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan
penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu
untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam.
Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau
ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir
aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang
buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk
mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta
dengan lantang. Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini
yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau
merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah di-
angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak men-
genai budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbu-
atannya.
"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cu-
kup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh
kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau
murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa-
apa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun
dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami ber-
dua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat

seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya se-
cara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah
memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta
pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukata-
kan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama
LODAYA SETA...!"
"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?"
membentak Shidarta dengan wajah merah padam.
"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman guru-
mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhia-
nat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku me-
maksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar dibelakang Shi-
darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri te-
gak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman ib-
lis!
"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki
Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah
mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak.
Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa
agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan kera-
jaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selen-
dang sutera warna merah dari balik pakaiannya...

***