Pendekar Romantis 3 - Pedang Siluman(3)



LIMA 
SEMASA Yuda Lelana belum menikah dengan Murti 
Kumala, penguasa Benteng Geladak Hitam yang bernama 
asli Dardanila itu masih cantik. Selain cantik juga sexy dan 
menggairahkan. Tapi saat yang datang Pandu Puber, 
perempuan itu tidak secantik dulu, (Kalau mau mengintip 
kecantikan Dardanila, bacalah serial Pendekar Romantis 
dalam kisah: “Geger Di Kayangan” asyik lho) 

Ketika Pandu Puber diantar dua penjaga gerbang 
setelah terlebih dulu diantar si baju hitam dari pantai tadi, 
keadaan di dalam ruang pertemuan itu masih bersuasana 
serius. Di ruang pertemuan yang dulu  pernah dijadikan 
tempat pertemuan ayah Pandu dengan Dardanila itu 
tampak beberapa orang sedang berbicara dengan Ratu 
Geladak Hitam. 
Tubuh Ratu Geladak Hitam menyedihkan sekali. Kurus, 
berkulit keriput, bongkok, pipinya kempot, dahinya 
berkerut-kerut seperti lipatan sarung kumal. Rambutnya 
beruban tak rata. Pokoknya jelek sekali deh. Tak ada 
pantasnya sedikitpun kalau dipajang dalam bufet kaca. 
Sang ratu sedang bicara dengan dua wanita yang usia-
nya separo baya. Kalau saja dulu waktu Yuda Lelana 
datang ke situ Pandu ikut serta, pasti Pandu mengenali 
dua wanita tersebut. Mereka adalah Kutilang Manja dan 
Peluh Selayang, murid dari Nyai Sirih Dewi, dari perguruan 
Sekar Bumi yang menempati Bukit Bara. Sekarang Kutilang 
Manja sudah berusia empat puluh dua tahun, sebab waktu 
bertemu  dengan Yuda Lelana ia berusia dua puluh empat 
tahun. Sedangkan Peluh Selayang sudah berusia empat 
puluh enam tahun. Sekalipun begitu mereka masih tempak 
cantik dan belum terlalu tua. Bahkan kecantikan mereka 
semakin kelihatan matang, seakan tumbuh sebagai wanita 
yang punya segudang pengalaman dalam bercinta. 
Tiga wanita dan dua lelaki anak buah Dardanila merasa 
terkejut ketika penjaga gerbang menghadap dan mem-
beritahukan adanya tamu yang bernama Pandu Puber. 
Mata tua Ratu Geladak Hitam terkesiap, lalu berubah men-
jadi tegang, seperti mata kedua wanita murid Nyai Sirih 
Dewi itu. 
“Pandu Puber…? Bukankah….bukankah dia yang 
belakangan ini dikenal dengan nama Pendekar Romantis?” 
ujar Ratu Geladak Hitam. 
“Kalau tak salah dengar, konon dia anak dari Yuda 
Lelana,” sambung Kutilang Manja dengan hati berdebar-
debar sebab dulu ia pernah hampir jatuh cinta mentok 
kepada Yuda Lelana. 
“Suruh dia masuk dan menghadapku,” kata Dardanila 
kepada penjaga gerbang. Maka sang Pendekar Romantis 
pun dibawanya menghadap. 
Ruang pertemuan menjadi hening mencekam. Mata 
mereka terpana memandang seraut wajah tampan yang 
menggetarkan hati. Rambutnya punk-rock, bajunya ungu 
keren karena berbintik-bintik seperti tetesan embun pagi, 
tubuhnya tegap, gagah dan tampak jantan sekali. Kutilang 
Manja tak sadar sampai membuka mulutnya beberapa 
saat lamanya. Mulut sampai terasa kering karena kena 
angin. 
Kekakuan mereka yang menyerupai patung hidup itu 
segea berakhir setelah Pendekar Romantis bicara sambil 
sunggingkan senyum yang mampu menghentikan jantung 
orang setua Dardanila tapi masih bersemangat muda. 
Untung saja Dardanila segear menarik napasnya panjang-
panjang, sehingga jantungnya tak sempat berhenti karena 
senyuman yang amat membius sukma itu. 
“Apakah di sini tempat pertemuan orang bisu?” 
Dardanila memaksakan diri untuk batuk-batuk kecil, 
membuat merekapun mulai sadar akan keterbungkaman 
mulut penuh rasa kagum itu. 
“Benarkah kau putra Yuda Lelana sang dewa itu?” 
sambut Dardanila dengan suaranya yang gemetar karena 
ketuaan fisiknya. 
“Ya, aku putra Yuda Lelana yang sudah kau kenal, Nyai 
Ratu.” 
“Ooh…..cobalah mendekat kemari, aku ingin melihatmu 
lebih jelas lagi, Nak!” kata Dardanila, dan Pandu Puber pun 
segera mendekati dengan senyum masih menari-nari di 
wajah indonya yang luar biasa ganteng itu. 
Dengan mata yang sedikit rabun Dardanila meraba-raba 
dada Pandu, bahkan rabaannya naik ke wajah. Setiap 
lekuk wajah disentuhnya agar lebih jelas lagi merasakan 
sebentuk ketampanan anak Yuda Lelana. Pandu Puber 
sendiri sempat merinding diraba nenek bungkuk berkulit 
keriput. Ia risi, wajahnya diobok-obok oleh tangan kurus 
bagai tulang terbungkus kulit. Tapi ia bertahan demi 
melegakan si nenek yang tampak menyedihkan itu. 
“Ya, ya, ya….” Dardanila manggut-manggut, senyum tua-
nya membias tak sedap dipandang mata. “Ternyata 
memang tampan. Lebih tampan dari ayahnya.” 
“Bagaimana kabar…..ayahmu, Pandu Puber?” tanya 
Kutilang Manja agak malu. 
“Ayah sudah kembali ke kayangan. Ibuku digondolnya 
juga!” 
Mereka tertawa lirih mendengar ucapan Pandu Puber 
yang cuek sekali itu. 
“Kudengar kau terkena racun ‘Tua Bangka’ dari Ratu 
Peri Sore, Nyai Ratu?” 
“Benar. Aku bertarung dengannya dua purnama yang 
lalu.” 
“Apa masalahnya?” 
“Mempertahankan Bukit Bara,” jawab Peluh Selayang. 
Wanita itu sejak tadi menatap Pandu tiada bosannya. 
Bahkan kalau bisa wajah itu menempel lekat-lekat di 
kedua matanya. Padahal Peluh Selayang sudah punya 
suami lho. Tapi setahun yang lalu sudah cerai sih, jadi dia 
berani menikmati wajah seorang pemuda yang menggelitik 
hasrat bercumbunya. Peluh Selayang berkata lagi, 
“Kami mempertahankan Bukit Bara, tapi tak berhasil. 
Bukit Bara sudah direbut dan dikuasai Ratu Peri Sore dan 
anak buahnya. Kami bukan saja kehilangan perguruan, 
namun juga kehilangan tambang emas yang ada di Bukit 
Bara itu.” 
“Ratu Peri masih doyan tambang emas juga rupanya?” 
“Mereka tidak menggubris soal tambang emasnya,” 
sahut Kutilang Manja. “Yang mereka butuhkan di sana 
adalah tanah Kapur Gaib.” 
Pendekar Romantis yang semula menatap wajah 
Kutilang Manja dan membatin sisa kecantikan wanita itu, 
kini jadi berkerut dahi. Rasa herannya tercetus dalam 
sebuah tanya, 
“Apa yang dimaksud dengan tanah Kapur Gaib itu, 
Bibi?” 
“Tanah Kapur Gaib adalah sebidang wilayah yang dapat 
untuk menyerap segala kekuatan gaib yang melintasi Bukit 
Bara. Seluruh kekuatan gaib yang melintas di atas tanah 
Kapur Gaib itu terserap dan dapat dimanfaatkan oleh Ratu 
Peri Sore dan anak buahnya sebagai kekuatan tambahan 
pada diri mereka. Kabarnya, Ratu Peri Sore berhasil 
memperoleh jurus ‘Keringat Matahari’ dari memanfaatkan 
dan mengolah kekuatan yang terserap di tanah Kapur 
Gaib.” 
Pandu Puber terperanjat. Ia ingat cerita Mirah Duri 
tentang kekalahan kakeknya; Kala Bopak, akibat terkena 
jurus ‘Keringat Matahari’ dari Ratu Peri Sore. Giginya 
sempat menggeletuk menahan dendam, tapi ia cepat bisa 
kuasai diri sehingga tampak tenang kembali. 
Peluh Selayang menyambut kata-kata Kutilang Manja, 
“Guru kami, Nyai Sirih Dewi, adalah salah satu korban dari 
jurus ‘Keringat Matahari’. Beliau musnah tanpa jasad pada 
saat kami melihat Ratu Peri Sore menghantamnya dengan 
jurus tersebut.” 
“Kakekku juga begitu!” 
“Siapa maksudmu?” sergah Dardanila. 
“Kala Bopak, raja jin penguasa Pulau Iblis!” 
“Mampuslah dia….!” Tak sadar Dardanila mengucapkan 
sumpah serapahnya, karena hatinya masih luka jika ingat 
Pulau Iblis yang dulu dikuasainya sempat direbut oleh Kala 
Bopak. Hampir saja Pandu Puber marah mendengar 
sumpah serapah Dardanila. Untung segera dijernihkan oleh 
Peluh Selayang, sehingga keadaan menjadi damai dan 
adem lagi. 
“Aku ingin berhadapan dengan Ratu Peri Sore, Nyai 
Ratu. Bagaimana caranya? Apakah aku harus menemuinya 
di Hutan Kulit Setan atau di Bukit Bara?” 
“Sebenarnya….” Kata Dardanila setelah berpikir sesaat. 
“Aku bisa membantumu melawan Ratu Peri Sore jika 
keadaanku pulih seperti sediakala, tidak menjadi setua ini 
dalam waktu dua bulan saja.” 
Pandu Puber merasakan kata-kata itu sebuah 
pancingan dari sang Ratu Geladak Hitam. Jelasnya, sang 
Ratu minta diobati oleh Pandu Puber. Tapi Pandu pikir-pikir 
dulu, soalnya wanita itu tadi habis mengecam kakeknya. 
Kutilang Manja berkata kepada Pandu, “Ratu Peri Sore 
bukan tandingan kita. Dia sukar dibunuh karena tentunya 
kekuatan gaibnya sangat tinggi, apalagi ditambah hasil 
pengolahan kekuatan dari tanah Kapur Gaib. Jika kau 
melawannya, kau akan binasa, Pandu. Ada baiknya kalau 
kau lupakan saja tentang Ratu Peri Sore itu. Jaga dan 
kendalikan emosimu biar tidak membunuh dirimu sendiri!” 
“Tapi aku tahu kelemahan si Ratu Peri Sore itu!” sahut 
Dardanila. Pandu Puber berpaling memandangnya. 
Dardanila langsung berkata, “Tolong bantu aku 
melenyapkan racun ‘Tua Bangka’ ini, nanti akan kubantu 
kau mengalahkan Ratu Peri Sore, karena aku tahu 
kelemahannya.” 
“Jika kau tahu, kenapa tidak kau hantam kelemahannya 
itu saat bertarung denganmu?” kata Pandu Puber 
menampakkan pemikirannya yang kritis. 
“Aku belum sempat memukul kelemahannya. Dia lebih 
cepat melumpuhkan diriku dengan racun brengseknya ini!” 
geram Dardanila. “Penderitaanku ini punya hikmah sendiri. 
Aku jadi punya siasat sendiri untuk melawan dan 
mengincar kelemahannya. Karena itu, jika kau bisa 
melenyapkan pengaruh racun ‘Tua Bangka’, aku bisa 
membantumu mengalahkan Ratu Peri Sore. Kita sama-
sama menyimpan dendam kepada mahluk memuakkan 
yang satu itu!” 
Rasa ingin tahu kelemahan Ratu Peri Sore membuat 
Pandu akhirnya mengalah. Ia tak mau bersitegang karena 
sumpah serapah Dardanila tadi. Tentu saja kata-kata 
Pandu yang menyatakan kesanggupannya melenyapkan 
racun ‘Tua Bangka’ membuat hati Dardanila bersemangat 
lagi dan wajah kempotnya berseri-seri. Pandu Puber segera 
dibawanya ke ruang bawah tanah, sebuah ruang semadi 
dan peristirahatan Dardanila yang tersembunyi. Dulu, Yuda 
Lelana pun pernah dibawanya ke ruang bawah tanah yang 
mempunyai kolam berair mancur di tengah itu. Ruangan 
tersebut tetap terawat rapi dan menimbulkan kesan magis 
tersendiri bagi orang yang tinggal di dalamnya. 
Hanya Dardanila dan Pandu yang masuk ke ruangan 
tersebut. Memang tidak semua tamu dibawa ke sana oleh 
Ratu Geladak Hitam. Hanya tamu khusuSnya yang diajak 
ke ruang tersebut. Buat Dardanila, Pandu adalah tamu 
khusus dan istimewa, sehingga pemuda itu dibiarkannya 
memandangi ruangan itu dengan bebas, bersikap 
seenaknya seperti tempatnya sendiri. 
“Apakah ayahmu pernah cerita tentang ruangan lain?” 
“Sepintas,” jawab Pandu. “Tapi ayah tidak sebutkan 
kalau ruangan ini punya hawa yang nyaman. Ayah hanya 
bilang; Ratu Geladak Hitam punya tempat rahasia di bawah 
tanah.” 
“Hanya itu?” 
“Ya. Apakah ayahku pernah masuk ke mari?” 
“Belum. Tapi aku pernah ceritakan tempat ini padanya,” 
jawab Dardanila berbohong dengan maksud yang amat 
peribadi. 
“Boleh aku numpang cuci muka di sini?” 
“Silahkan!” kata Ratu Geladak Hitam dengan suara 
tuanya. “Kalau kau mau mandi pun boleh, asal jangan 
bersama pakaianmu.” 
Terkekeh sendiri sang Ratu Geladak Hitam, sementara 
Pandu Puber hanya sunggingkan senyum kecil. Lalu ia 
membasuh wajahnya dengan air kolam tersebut karena 
udara panas selama di pantai membuatnya tak tahan 
merasakan wajah berkeringat. Dardanila hanya perhatikan 
saja sambil senyum-senyum. 
“Bagaimana caramu mengobatiku nanti?” tanya 
Dardanila setelah Pandu selesai cuci muka dengan air 
kolam tersebut. Di sela gemericik suara air mancur di 
tengah kolam, Pandu Puber berkata. 
“Baringkan tubuhmu di ranjang batu itu. Jika merasa 
kantuk dan ingin tidur, nikmati saja. Jangan ditentang.” 
Tubuh tua berkeriput segera naik ke pembaringan batu 
marmer yang dilapisi semacam kasur empuk dan nyaman. 
Napasnya terengah-engah, padahal hanya jalan dari tepi 
kolam ke pembaringan dan naik ke atas pembaringan itu. 
Sepertinya pekerjaan tersebut amat melelahkan bagi 
napas tua Dardanila. 
“Sial? Kenapa perasaanku jadi gelisah begini, ya?” pikir 
Pandu secara diam-diam. “Wah, ada yang nggak beres nih! 
Jangan-jangan Ratu Peri Sore muncul di sini?! Kalau begitu 
aku harus buru-buru sembuhkan Dardanila dulu!” 
Sinar bening putih seperti kaca memancar dari jari 
tenah Pandu Puber. Sinar itu berjalan dari kening Dardanila 
sampai ke dada, dan terus menyusuri sampai ke perut, 
bahkan kedua kaki Dardanila ikut disusuri sinar tersebut. 
Mata perempuan tua itu terpejam, tangan terkulai lemas di 
samping. 
Cara pengobatan seperti itu belum pernah dilakukan 
oleh Pendekar Romantis. Tapi apa yang dilakukannya 
seperti ada yang menggerakkan sendiri. Bahkan tadi ia 
sempat menduga bahwa Ratu Geladak Hitam akan tertidur, 
padahal selama ini tak ada pasien yang tertidur, padahal 
selama ini tak ada pasien yang tertidur jika mendapat 
pengobatan dari jurus ‘Hawa Bening’-nya. Toh nyatanya 
Dardanila benar-benar tertidur seperti apa kata Pandu 
Puber tadi. 
“Sial, kok benar-benar tidur, ya?!” pikir Pandu Puber. 
“Ah, mumpung ia tidur, kuperiksa dulu seluruh ruangan 
ini!” 
Pandu Puber si Pendekar Romantis memperhatikan tiap 
benda yang ada di ruangan itu. makin lama langkahnya 
makin ke arah lorong menuju ke tangga. Tapi ia tertarik 
dengan lorong lain sebelum membelok ke arah tangga ke 
luar. Lorong itu mempunyai penerangan obor yang berjarak 
renggang, tidak serapat jarak obor di lorong menuju ruang 
berkolam bening itu. 
Zzzz…! Tiba-tiba Pandu Puber mendengar suara desis 
seekor ular. Gerakan tubuhnya sangat refleks, cepat 
balikkan badan dan ternyata ia sudah dihadang oleh 
seekor ular besar jenis piton. Ular itu adalah peliharaan 
Dardanila untuk menjebak lawan yang salah masuk. Ular 
berkulit hitam kecoklatan dengan bentuk loreng yang 
bermotif indah itu memancarkan pandangan matanya 
dengan ganas. Mulutnya terbuka sambil sesekali 
semburkan hawa racun yang ditangkis Pandu Puber 
dengan kibasan tangan berangin cukup besar. Wuuukk…! 
Zzzz…! 
“Lho, ada lagi?!” Pandu Puber terperanjat karena di 
belakangnyapun ada seekor ular jenis piton juga berbadan 
lebih besar lagi dan tampak ganas. Agaknya ular yang baru 
saja muncul di belakang Pandu itu berjenis lelaki. Ular itu 
tampak lebih ganas dan ingin marah kepada Pandu. 
“O, ceritanya kamu cemburu, gitu? Amit-amit deh! Aku 
nggak bakalan merayu betinamu, tahu?!” 
Zzzz…! Ular jantan itu keluarkan uap racun. Pandu 
segera mengibaskan tangannya dari kanan dan ke kiri. 
Wuuukkk…! Uap itu terusir dan menyebar ke dinding 
lorong. Mata Pandu terbelalak tegang melihat dinding 
lorong menjadi hangus akibat terkena uap beracun itu. 
“Wah, kayaknya sih bukan ular sembarang ular nih! 
Kalau nggak segera dibereskan, bisa-bisa aku jadi 
santapan mereka berdua!” kata Pandu membatin. Kedua 
ular dari arah itu bergerak pelan-pelan mendekati 
Pendekar Romantis, seakan menunggu peluang bagus 
untuk menyerang. 
Melihat si jantan bergerak lebih cepat dan beberapa kali 
menyemburkan uap racun yang dapat menghanguskan 
dinding batu itu, tangan Pandu Puber segera bergerak 
menyentak ke depan. Wuutt…! Claapp…! 
Sinar putih perak melesat dari tangan itu. Jurus ‘Inti 
Dewa’ digunakan dengan cepat dan refleks sekali. Sinar 
putih itu menghantam kepala si jantan dan ….daar! Kepala 
ular hancur bersama badannya menjadi serpihan serat-
serat pendek seperti abon. 
Melihat si jantan dihancurkan, ular betina marah. Ia 
mmapu melompat bagaikan terbang menyerang Pandu 
dengan badan gemuk dan kepala besarnya. Wuuss… 
Pendekar Romantis tak punya kesempatan untuk meng-
hindar ke samping kanan-kiri. Ia hanya melompat mundur 
tida tindak menghindari serangan ular aneh tersebut. 
Kilatan cahaya putih perak dipergunakan lagi oleh Pandu 
Puber. 
Claapp…. 
Duarr…! 
Dinding lorong guncang lagi, tapi tak keras. Kepala ular 
betina hancur bersama badannya menjadi serat-serat 
serupa abon daging ular. Dinding lorong menjadi merah 
karena percikan darah kedua ular tersebut. Pandu Puber 
segera keluar dari lorong itu dan kembali ke ruang luas 
berkolam. Ia mencuci lengannya yang terkena percikan 
darah ular amis. Selesai mencuci tangannya, mata 
Pendekar Romantis menjadi terperanjat memandang ke 
arah pembaringan. 
Tubuh yang ada di atas pembaringan ternyata sudah 
bukan lagi tubuh tua peot dan kempot. Tubuh yang ada di 
pembaringan adalah tubuh sekal berwajah cantik jelita. 
Dada montok menantang, kulitnya putih mulus, bibirnya 
sangat sensual dan bulu matanya cukup lentik. Pendekar 
Romantis bagaikan terpaku di tempat memperhatikan 
sosok muda Dardanila yang telah terbebas dari racun ‘Tua 
Bangka’ itu. 
“Gila! Rupanya ini wajah dan kecantikan Dardanila 
sebelum terkena racun? Wow….! Macan juga perempuan 
itu. oh, dadaku bergemuruh makin cepat.” 
Pandu Puber mulai melangkah dekati ranjang dengan 
pelan-pelan. Matanya masih tak berkedip dan sedikit lebar 
dari biasanya. Dadanya semakin terasa bergemuruh hingga 
menggetarkan tubuh. Ada tuntutan batin yang mendesak 
amat kuat dan ingin menjebol kepala jika tak dituruti. 
Tiba-tiba sebelum Pendekar Romantis mencapai ranjang 
itu, Dardanila terbangun. Lalu segera sadari keadaan diri-
nya yang telah pulih kembali itu. Ia tampak gembira. Ia 
tertawa-tawa kecil sambil meraba wajahnya sendiri untuk 
meyakinkan kecantikannya yang sudah dua bulan sirna itu. 
Ditatapnya Pandu dan iapun berkata, “Aku telah kembali 
cantik seperti sebelum terkena racun itu! Aku cantik, 
bukan?!” 
Pandu malah jadi panik sendiri dalam mengangguk-
angguk. “Iyy…iya…iya cantik sekali. Hmm….wah iya….cantik 
juga ya?” 
Mata datar Pandu mengingatkan Dardanila saat si 
tampan itu mencuci muka dengan air kolam. “Dia telah 
terjerat oleh kekuatan mesra air kolamku. Dia tak tahu 
kalau air kolam itu akan membuat lelaki manapun yang 
menyentuhnya akan bergairah padaku dan menuruti apa 
perintahku selama belum tercurahkan hasrat kejantanan-
nya. Oh, benar-benar hari ini aku menikmati ke-
beruntungan yang berlipat ganda…!” ujarnya  di dalam hati. 
“Pandu, cepat mendekat ke mari!” perintah sang Ratu. 
Pandu tidak menolak. Pandu mendekat dengan terburu-
buru. Perempuan itu masih duduk di tepi pembaringan. 
Menatap dengan bayangan sinar cinta yang menggelora, 
sedangkan sinar mata Pandu semakin menampakkan 
hasrat bercumbu yang menggebu-gebu. 
“Cium lututku, Pandu…!” 
Perintah itu benar-benar dilaksanakan oleh Pandu 
Puber. Dengan pelan disingkapkan kain jubah tipis itu dan 
pelapis tubuh sebatas betis itu. Diciumnya lutut Dardanila. 
“Lepaskan semuanya, Pandu.” Bisiknya meminta, dan 
Pandu patuh kepada perintah itu karena terperangkap 
kekuatan gaib dari air kolam. Apa saja yang diperintahkan 
Dardanila dikerjakan oleh Pandu tak memikirkan harga diri-
nya lagi. 
*** 

ENAM 
HATI Pendekar Romantis sempat rasakan penyesalan 
cukup dalam setelah tuntutan batinnya tersalurkan bagai 
curahan air mancur di tengah kolam. Gemericik mem-
awakan irama kedamaian. Tapi kedamaian di hati itulah 
yang segera berubah menjadi penyesalan yang men-
jengkelkan. 
“Brengsek betul air kolam itu, bikin aku jadi budak 
cintanya Dardanila! Kalau tahu begitu aku tak mau cuci 
muka dengan air kolam itu! Tapi….. ya sudahlah. Toh 
segalanya sudah terlanjur, sudah terbuang tuntas, tak 
mungkin kutarik kembali. Ini juga karena kesalahanku, 
ceroboh dan kurang hati-hati dalam bertindak.” 
Beda lagi dengan pendapat hati wanita bermata jalang 
itu, “Luar biasa indahnya bercinta dengan Pendekar 
Romantis. Kalau saja tiap saat dia mau cuci muka dengan 
air kolamku, atau tanpa menyentuh air kolam mau seperti 
tadi, wow….! Mungkin aku tak akan sempat menikmati 
sarapan hari ini sampai sarapan besok pagi. Dia lain 
daripada yang lain! Sampai sekarang tubuhku masih 
merasa seperti disusuri oleh ciuman hangatnya. Duhaai… 
seumur hidup baru sekarang kurasakan sebentuk 
kebahagiaan yang begitu panjang. Memang tak sia-sia dia 
bergelar Pendekar Romantis. Sesuai sekali dengan ke-
bolehannya bersilat lidah!” 
Tanpa sadar, racun cinta telah membebas di hati dan 
jiwa Dardanila. Ia tak tahu, bahkan Pandu sendiri tak tahu 
bahwa siapapun yang merasakan kehangatan pribadi 
Pendekar Romantis, ia akan menjadi lengket sepanjang 
masa, karena semburan kehangatan cinta pemuda itu 
mempunyai racun kodrati dari kekuatan kedewaannya, 
yaitu racun ‘Pemikat Surga’, suatu kekuatan racun di 
dalam darah kejantanan anak blasteran Dewa dan Jin. 
Racun itu akan membuat wanita yang pernah merasa-
kannya tak bisa berpisah dari Pandu dan hasratnya selalu 
bergelora. Wanita itu akan senantiasa membutuhkan 
semburan kehangatan cinta dari Pandu Puber, dan bisa 
mati TBC kalau tidak terlayani kehendaknya. Wanita seperti 
itu akan mudah tersentuh dan terbakar gairahnya jika 
bayangan Pendekar Romantis muncul dalam ingatan. 
Kelihatannya memang bahagia, menyenangkan, 
melegakan, tapi sebenarnya justru membahayakan bagi 
pihak wanitanya. Jika hanya membayangkan wajah Pandu 
Puber saja bisa terbakar gairahnya, apalagi jika melihatnya 
langsung walau dalam jarak jauh, semakin mudah terbakar 
hasrat bercintanya. Perempuan seperti itu akhirnya akan 
menderita ‘gila kencan’ yang tak pernah mau menerima 
lelaki lain, kecuali Pendekar Romantis. 
Oke, itu masalah Dardanila sendiri. Itu risiko perempuan 
yang gemar menjebak lelaki dengan air kolam kemesraan. 
Tak perlu dihiraukan lagi. Yang penting bagaimana caranya 
kalahkan Ratu Peri Sore jika benar perempuan siluman itu 
tak bisa dibunuh? Ini yang perlu dipikirkan dan dibicara-
kan. 
“Menghantamnya tepat di ubun-ubun!” kata Dardanila 
kala mereka berembuk di ruang pertemuan bertiang 
delapan itu. 
“Dari mana kau tahu kalau kelemahannya ada di ubun-
ubun?” tanya Kutilang Manja yang sudah seperti teman 
sendiri terhadap Ratu Geladak Hitam. 
“Saat kuserang dari atas, ia kaget dan buru-buru 
menadahkan kedau telapak tangannya di atas ubun-ubun. 
Jadi ia sangat melindungi ubun-ubunnya!” 
“Kalau begitu kita berangkat sekarang saja ke tanah 
Kapur Gaib!” ujar Pendekar Romantis tak sabar lagi. Tapi 
Ratu Geladak Hitam yang terkenal galak kepada lawan itu 
jusrtu berpikir beberapa saat. Agaknya sekarang ia harus 
berhitung dulu sampai dua belas kali jika harus ber-
hadapan dengan lawan seberat Ratu Peri Sore itu. 
Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam hatinya, 
“Pertarungan ini bersifat untung-untungan. Kalau dia sadar 
bahwa aku sudah mengetahui kelemahannya, maka ia 
akan menjaga kelemahan itu sekuat tenaga dan meng-
gunakan jurus-jurus handalnya agar sekali gebrak aku 
binasa. Kalau aku binasa, oh…..di akhirat belum tentu ada 
lelaki seperti Pandu. Belum tentu juga Pandu mau 
menyusulku ke alam kubur. Tapi kalau Pandu sendiri yang 
maju menghadapi si kuntilanak jalang itu, waah….. bisa-
bisa Pandu kalah mental. Ratu Peri Sore kudengar punya 
ajian yang bernama ‘Syair Cumbu Sukma’. Kalau Pandu 
sampai kena ‘Syair Cumbu Sukma’, alamak…..mampuslah 
aku! Dia pasti akan meninggalkan aku dan lari ke dalam 
pelukan Peri Kuntilanak itu!” 
Dardanila jengkel sendiri memikirkan kerawanan itu. 
sedangkan dirinya merasa mulai berat jika harus berpisah 
dari Pendekar Romantis. Sekarang juga baru membayang-
kan si Pendekar Romantis jatuh dalam pelukan Ratu Peri 
Sore, gundah hati Dardanila membakar gairah untuk 
menikmati kembali kehangatan cinta sang pendekar per-
kasa itu. 
Akhirnya Dardanila memutuskan, “Kita tangguhkan dulu 
beberapa saat. Jangan menyerangnya saat-saat sekarang.” 
“Apa alasannya?” tuntut Pendekar Romantis. 
“Tunggu informasi dari mata-mata yang kutugaskan 
menyusup di sekitar tanah Kapur Gaib.” 
“Bagaimana kalau mata-mata yang kau tugaskan itu 
tertangkap dan dibunuhnya? Kita akan kehabisan waktu!” 
Peluh Selayang menyambar kata, “Aku setuku pendapat 
Pandu. Kita berangkat sekarang juga. Tak perlu menunggu 
kedatangan mata-mata.” 
“Banyak hal yang sudah kita tahu tentang Ratu Peri Sore 
itu,” ujar Kutilang Manja bersifat mendukung pendapat 
Peluh Selayang. “Kita sudah cukup punya bekal yang dapat 
dipakai untuk menghancurkan Peri keparat itu!” 
Dardanila gelisah. Ada dua kegelisahan yang mencekam 
hatinya. Pertama kegelisahan tentang keselamatan 
Pendekar Romantis, kedua kegelisahan tentang gairah 
cintanya yang merasa bagaikan dikipas-kipas terus selama 
berdekatan dengan Pandu Puber. Kegelisahan itu berubah 
menjadi kecemasan. Kecemasan kian meningkat menjadi 
ketakutan. Ketakutan melontarkan suatu keputusan yang 
bersifat egois. 
“Tunggu sampai satu malam lagi!” 
“Tidka, aku akan berangkat sekarang juga!” 
“Pandu!” 
“Aku tak bisa menunda waktu! Kurasakan sekarang ini 
ada firasat yang menyuruhku berangkat ke tanah Kapur 
Gaib. Kemenangan sudah kurasakan ada di tanganku! Aku 
tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini!” 
Pandu Puber nekat pergi dari sidang tersebut. Wuuuttt…! 
Jleeggg! Dardanila berkelebat mendahului langkah Pandu, 
lalu diam menghadang langkah sang pendekar beranting 
satu yang menambah kesan fantastis dalam bercintanya. 
“Kubilang jangan berangkat sekarang, Pandu! Aku 
punya firasat tidak baik untuk keselamatan jiwamu!” 
“Aku harus berangkat sekarang!” tegas Pandu tak mau 
mengalah. 
“Percayalah padaku, Pandu! Jangan sekarang!” 
Tiba-tiba Pandu Puber bergerak cepat ke arah lain, 
kemudian menuju ke arah pintu gerbang. Dardanila 
berseru bagai luapan amarah yang terlontar dalam 
kepanikannya. 
“Pandu…! Berhenti kau! Heii….! Panduuu…!” 
Pemuda itu tak mau hiraukan seruan Dardanila. Dengan 
jengkel sekali Dardanila tetap mengejar Pandu Puber. Ia 
menggunakan jurus peringan tubuh saat mengejar hingga 
bisa berlari cepat dalam sekelebat. Tapi Pandu Puber 
gunakan gerak ‘Angin Jantan’ yang ternyata lebih cepat 
dari gerakan Dardanila. 
“Lekas kita susul mereka, jangan sampai terjadi 
pertarungan di jalan!” kata Peluh Selayang kepada Kutilang 
Manja. Maka keduanya benar-benar lari menyusul Pandu 
dan Dardanila. 
Pengejaran Dardanila menemui jalan buntu. Bukan 
karena ia kehilangan jejak Pandu, tapi karena Ki Loan Besi 
tahu-tahu muncul di hadapan Dardanila, merentangkan 
kedua tangannya seperti anak kecil main gobak-sodor. 
Wajahnya menyeringai memuakkan, membuat Dardanila 
menggeram gemas sekali. 
“Muka beton! Ngapain menghadangku, hah?!” sentak 
Dardanila yang sudah cukup kenal dengan tokoh yang satu 
ini. 
“Aku tahu kau mengejar Pandu Puber, bukan?!” 
“Memang benar! Apa urusanmu?” 
“O, urusanku cukup penting. Aku calon gurunya, jadi aku 
tak ingin calon muridku celaka di tanganmu, Dardanila 
Sayang…..!” 
“Puih! Kau benar-benar memancing kemarahanku, Loan 
Besi! Hiaaah…!” 
Ratu Geladak Hitam menerjang Loan Besi dengan satu 
lompatan seperti kelelawar menghantam nyamuk. Wuutt…! 
Brusss…! Buuhg…! 
Tubuh Loan Besi terbuang ke belakang karena satu 
tendangan kaki Dardanila masuk mengganjal teng-
gorokannya. Padahal tadi Loan Besi sudah kibaskan 
tongkatnya yang mampu berkelebat cepat tak terlihat. 
Namun masih saja ia kecolongan gerak, sehinga tongkat 
tidak kenai sasaran tapi kaki lawan menendang teng-
gorokannya. 
“Hooek…!” 
Biasa deh kalau udah gitu. Muntah darah. 
Kesempatan itu dipakai Dardanila untuk menghajar 
Loan Besi lagi dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar. 
Wuutt…! Beehg…! Blaar…! Loan Besi masih sempat 
lepaskan pukulan menangkis bertenaga dalam juga. 
Akibatnya dentum ledakan menggema dan Loan Besi 
makin terseret menjauhi tempat jatuhnya. Ia terguling-
guling karena hempasan angin ledakan tadi. Sedangkan 
Ratu Geladak Hitam hanya terpelanting mundur tiga tindak 
lalu segera berdiri tegak lagi. 
“Hooek…!” 
Nah, makin parah kan? Cari penyakit sih kakek tua itu. 
Salah sendiri! 
Terdengar suara Ratu Geladak Hitam berseru dari 
tempatnya, “Loan Besi! Kalau kau menghalangiku sekali 
lagi, kubikin remuk seluruh tulangmu!” 
“Bangkhat…!” Loan Besi sedikit kaget. Suaranya jadi 
serak. Mau memaki dengan kata ‘Bangsat’ jadi ‘Bangkhat’. 
Tapi ia berusaha bangkit dengan pergunakan tongkat 
gembalanya. Walau terhuyung-huyung mau jatuh, Loan 
Besi masih belum mau menyerah. Ia menduga antara 
Pandu dengan Dardanila punya masalah besar yang 
membuat Pandu Puber kalah dan dikejar oleh Dardanila 
untuk dibunuh. Maka sikap Loan Besi sebagai calon 
pelayan ataupun guru Pandu merasa perlu menghambat 
kejaran Dardanila itu agar Pandu mampu selamatkan diri 
sejauh mungkin. 
“Akho… makhu khalau khau bekhani…!” maksudnya, 
‘Ayo maju kalau kau berani’. Tapi karena tenggorokannya 
terasa perih, jadinya seperti orang gagu baru bisa belajar 
ngomong. Khasikhan, ya? (kasihan ya?) 
Tongkatnya diputar-putarkan di atas kepala dengan 
lengkungannya mencantol di pergelangan tangan. Jurus itu 
dinamakan olehnya jurus ‘Tongkat Manja’. 
Ratu Geladak Hitam benar-benar tak bisa bersabar lagi 
terhadap si tua yang selalu merasa berilmu tinggi itu. 
Merasa gerakannya terhambat dan membayangkan Pandu 
Puber sebentar lagi mencapai tanah Kapur Gaib, maka 
Dardanila segera lepaskan pukulan bercahaya kuning 
pecah bagaikan piring bergerigi tak beraturan. Claapp…! 
Jurus ‘Tongkat Manja’ pun segera beraksi. Putaran 
tongkat itu timbulkan cahaya biru mengelilingi tubuh Loan 
Besi. Cahaya itu terdiri lebih dari sepuluh lingkaran, 
sehingga Loan Besi bagaikan dikurung dalam perlindungan 
cahaya biru. Dan sinar kuning itu hanya bisa menghantam 
cahaya biru terang tersebut, sehingga terjadilah dentuman 
menggelegar dari perpaduan dua jurus bertenaga dalam 
cukup besar itu. 
Blegaarr…! 
Ratu Geladak Hitam terpelanting terbang ke belakang 
karena gelombang getaran daya ledak tadi sangat besar. 
Tetapi tubuh Loan Besi tetap tegak dalam kurungan sinar 
birunya. 
Kutilang Manja dan Peluh Selayang tiba di tempat itu 
gara-gara mendengar suara ledakan pertama. Mereka 
diam sesaat perhatikan siapa orang yang bertarung 
dengan Dardanila. Ternyata kedua murid Nyai Sirih Dewi itu 
juga mengenal wajah tokoh tua tersebut. 
“Paman Loan Besi, kenapa Paman berselisih dengan 
Dardanila?” tanya Peluh Selayang merasa heran. 
“Tanyakan sendiri kepadanya! Cepat tanyakan saja 
sebelum nyawanya terbang ke ujung neraka!” ujarnya 
dengan suara serak sudah bisa dikendalikan. 
“Sebaiknya kita jangan ikut campur,” bisik Kutilang 
Manja. “Agaknya mereka punya persoalan sendiri. Kita lihat 
saja dari kejauhan.” 
Peluh Selayang setuju, tapi masih merasa heran melihat 
Dardanila baru saja bangkit dari kejatuhannya. Ia tak 
sangka kalau Loan Besi mampu membuat Dardanila 
terpental dan jatuh bagai orang tak berilmu tinggi. Padahal 
menurut taksiran Peluh Selayang, ilmunya Dardanila lebih 
tinggi dari pada ilmunya Loan Besi. 
“Peluh Selayang, Kutilang Manja…. Hadapi si tua itu, aku 
tak punya waktu! Jangan sampai Pandu berhadapan 
dengan si Ratu Peri Sore itu! aku akan menyusulnya 
sebelum tiba di sana!” 
Dardanila berkelebat lewat jalur lain menyusul Pandu 
Puber. Loan Besi berteriak namun tak mampu sekeras 
biasanya. 
“Hooi…! Selesaikan dulu urusan kita! Mau ke mana kau, 
Landak Bunting….!” 
Loan Besi mengejar Dardanila. Peluh Selayang dan 
Kutilang Manja bingung sendiri, sebab semasa mendiang 
guru mereka masih hidup, hubungan mereka dengan Loan 
Besi cukup baik dan tak pernah terlibat bentrok apapun. 
Kini mereka harus menghambat Loan Besi yang tentu saja 
dapat membuat Loan Besi marah. Padahal Loan Besi 
ilmunya sejajar dengan mendiang guru mereka. Tapi apa 
boleh buat dari pada jadi masalah dengan Ratu Geladak 
Hitam. Mau tak mau Peluh Selayang ambil inisiatif meng-
hambat pengejaran Loan Besi. 
Wuutt…! Clapp…! 
Pukulan bersinar merah dilepaskan dari tangan Peluh 
Selayang. Sinar itu menghantam pohon dan pohon itu 
rubuh merintangi jalan Loan Besi. 
Duaar…! 
Bbrruukkk…! 
Merasa dirintangi, Loan Besi segera berpaling menatap 
Kutilang Manja dan Peluh Selayang. Matanya tampak 
ganas walau masih dalam batas pengekangan emosi di 
dalam dadanya. Ia melangkah dengan geram dan gigi 
menggeletuk mendekati Kutilang Manja dan Peluh 
Selayang. Tapi yang dipandang tajam justru Kutilang 
Manja. Lalu tiba-tiba pipi Kutilang Manja ditamparnya. 
Plaakk…! 
“Auh…!” Kutilang Manja tidak menangkis atau meng-
hindar kecuali hanya memekik. “Kenapa aku yang 
ditampar?” 
“Karena kau berani mencoba menghambat pengejaran-
ku!” 
“Bukan aku, Paman! Ini nih….. si Peluh Selayang!” 
“Tidak mungkin!” 
“Betul, Paman! Bukan aku!” 
“Harus kamu!” Loan Besi ngotot. “Sudah terlanjur 
kutampar kok mau bukan kamu, enak saja! Sini kutampar 
lagi kau!” 
“Jangan, Paman! Aku tak mau bikin perkara denganmu!” 
“Kalau tak mau jangan pamer ilmu di depanku!” 
bentaknya kepada Kutilang Manja. “Pakai numbangin 
pohon segala…..memangnya cuma kamu yang bisa?!” 
“Dibilangin bukan aku, bukan aku, kok masih ngotot 
sih?!” bentak Kutilang Manja tak mau mengalah lagi. 
“Habis siapa kalau bukan kamu?” 
“Aku!” jawab Peluh Selayang tegas. 
Loan Besi memandang Peluh Selayang dengan 
cemberut, lalu berkata, “Ah, tidak mungkin! Kau tidak 
mungkin bisa tumbangkan pohon dari jauh. Pasti Kutilang 
Manja!” 
“Paman, sebenarnya ada apa Paman Loan Besi 
berselisih dengan Dardanila?” tanya Peluh Selayang 
sengaja mengambil alih persoalan itu. 
“Tentu saja aku berselisih dengan si cantik kurapan itu!” 
geram Loan Besi. “Dia mau celakai calon muridku!” 
“Siapa calon muridmu itu, Paman?” 
“Ya itu…..si….siapa tuh namanya? Hmm….Pendekar 
Morantis!” 
“Pendekar Romantis, maksudnya?” 
“Bukan! Pendekar Morantis!” katanya ngotot untuk 
menutupi ucapannya yang sudah telanjur salah itu. “Aku 
lebih suka panggil dia Pendekar Morantis!” 
Kutilang Manja dan Peluh Selayang sembunyikan 
senyum. 
“Pandu Puber, kan?” 
“Ya. Pandu Puber. Dari pada muridku itu dibuat celaka 
oleh Dardanila, mendingan perempuan busung tawon itu 
yang kuhajar duluan!” Loan Besi tampak jengkel sekali. 
“Paman, Dardanila bukan mau celakai Pandu Puber. 
Tapi di amau cegah Pandu agar tidak pergi melawan Ratu 
Peri Sore!” 
“Lho….?! Jadi….?! Jadi Pandu Puber mau tarung sama 
Ratu Peri Sore?!” 
“Iya!” 
“Wah, lha kok malah tambah bahaya musuhnya itu?” 
“Kalau Paman Loan Besi merasa bakal jadi gurunya 
Pandu, kejar dia dan hadapi si Ratu Peri Sore itu!” kata 
Kutilang Manja. 
Loan Besi garuk-garuk kepala kribonya. “Wah, kalau 
urusannya sama Peri Nongkrong Sore, ntar dulu deh!” 
katanya seenaknya saja ganti-ganti nama orang. “Urusan 
sama Peri Ngider Sore sama saja urusan memperpendek 
umur beneran tuh!” 
Dengan bibir meruncing Kutilang Manja menyindir, 
“Belain dong! Katanya calon gurunya, belain sana…!” 
“Belain, belain…” gerutu Loan Besi bersungut-sungut. 
“Belum sempat kubela sudah lenyap nyawaku!” 
“Masa’ murid sama calon gurunya lebih berani muridnya 
sih?” ledek Peluh Selayang sambil melirik Kutilang Manja, 
memberi isyarat supaya membakar emosi Loan Besi. Maka 
Kutilang Manja pun berkata 
“Tunjukkan dong rasa cinta sama murid. Sebelum murid 
mati melawan musuh terberatnya, gurunya menjajal dulu 
dan harus berani mati lebih dulu untuk kasih contoh pada 
sang murid.” 


“Contoh, contoh…” gerutunya lagi bersungut-sungut.  
“Contoh kok pake nyawa. Goblok amat tuh!” 
“Lha iya, contoh yang goblok kan begitu!” 
“Sudah, sudah…! Diam kalian!” bentak Loan Besi 
jengkel sendiri. Kedua wanita itu tertawa mengikik saling 
berdekatan dan menutup mulut mereka. 
“Mau tarung di mana si Pandu sama Peri Obor Sore itu?” 
tanya Loan Besi. 
“Di Bukit Bara, di tanah Kapur Gaib!” 
“Kalau begitu aku harus segera ke sana!” Loan Besi 
bergegas pergi. 
“Mau membela sang calon murid ya, Paman?” 
“Mau nonton pertarungan itu, Goblok!” jawabnya sambil 
pergi seenaknya. 
*** 

Page   1    2    3    4