Pendekar Romantis 2 - Hancurnya Samurai Cabul(4)





Wwwrrr... bruuk! Pohon itu roboh, tapi keadaannya
sudah hangus dan berasap. Sedangkan Sikat Neraka juga
roboh tersungkur menyusuri tanah dengan wajahnya dan
berhenti di depan kaki Hantu Congkak. Srruukk...! Deb!
Kepalanya ditahan oleh kaki Hantu Congkak seupaya tidak
menabraknya. Pandu tersenyum menahan geli melihat
Hantu Congkak bagai menangkap bola menggelinding
dengan kakinya.
“Goblok! jangan serang fakai jurus ‘Kelelawar Sawah’.
Serang dengan jurus ‘Cakar Garuk Gatal’! Dia tak akan bisa
menghindarinya!”
“Iya. Tapi kakimu jangan langsung injak kepalaku dong!
Malu dilihat anak muda itu!” gerutu Sikat Neraka yang
wajahnya menjadi kotor karena nyerosot di tanah. Untung
bibirnya hanya somplak sedikit. Perih juga sih, tapi masih


bisa dicuekin oleh Sikat Neraka.
Wuuttt...! Jleg...! Sikat Neraka yang berbaju warna meah
itu tahu-tahu berdiri dalam jarak tiga langkah dari Pandu
Puber. Matanya memandang ganas. Tubuhnya merendah,
kakinya merenggang ke belakang, tangannya diangkat dua-
duanya membentuk cakar maut. Itulah sistem kuda-kuda
dari jurus ‘Cakar Garuk Gatal’ yang dikatakan Hantu
Congkak tadi.
“Heeaaat...!” Sikat Neraka segera bergerak melompat
sambil kedua tangannya mencakar-cakar dengan amat
cepat. Nyaris tak bisa dilihat lagi oleh mata manusia biasa.
Pandu Puber sempat bingung menangkis dan meng-
hidarinya. Gerakan mencakar itu hampir saja kenai wajah
Pandu kalau wajah itu tak segera ditarik muncur secara
refleks.
Wuuttt, wuutt...!
“Kukunya pasti beracun ganas. Aku harus meng-
hindarinya!” pikir Pandu, sambil segera menjatuhkan diri,
lalu kakinya menyambar kaki lawan dengan kerasnya.
Wuuttt…! Prookk...! terdengar mata kaki itu berada dengan
tulang kakinya Pandu Puber.
“Aaaooww...!” teriak Sikat Neraka sambil hentikan
serangan dan melompat mundur. Tapi lompatannya terlalu
keras sehingga menabrak Hantu Congkak.
Bruss...!
“Heengk...!” Hantu Congkak mendelik karena perutnya
ketiban tubuh Sikat Neraka dalam keadaan dirinya
terkapar di tanah.
“Babi ganjen kau! Huuh...!” Hantu Congkak sentakkan
tubuh Sikat Neraka dengan kedua tangannya. Tubuh itu
melayang tinggi karena disentakkan dengan tenaga dalam.
Wuuutt...!
“Waaaooo...!” teriak Sikat Neraka saat melayang naik
dan melayang turun tanpa bisa menjaga keseimbangan
badan. Hampir saja ia menjatuhi tubuh Hantu Congkak lagi
kalau sang Hantu Congkak tidak segera berguling-guling ke
kiri tiga kali. Dan tubuh Sikat Neraka pun jatuh terhempas


dengan kuat. Buaakk...!
“Mati akuuu...!” rintih Sikat Neraka secara spontan saat
terhempas. Tulang tubuhnya bagaikan remuk. Sedangkan
kakinya yang kiri menjadi bengkak karena mata kakinya
pecah akibat sapuan kaki Pandu Puber tadi. Sikat Neraka
mengerang-erang bagaikan anak manja supaya ditolong
kakak seperguruannya. Tapi sang kakak perguruan malah
membentak.
“Bangun, Tolol!”
Buuhg...! Tongkatnya digebukkan asal-asalan. Tepat
kenai lambung. Sikat Neraka makin mengerang kesakitan.
“Kamu itu tokoh sakti afa babi dikebiri? Tarung kok
ngeringkuk begitu?!” omel Hantu Congkak dengan mata
congkaknya. “Fercuma funya nama menakutkan orang
kalau cuma musuh anak kencur saja keok begitu. Malu-
maluin! Ayo, keluarkan jurus mautmu. Jangan merasa
sayang. Fakai senjata jurus maut, kalau habis bisa beli
lagi!”
“Kakiku...uuuhh...! Kakiku...!”
“Kenafa dengan kakimu? Minta tolong?!” sang kakak
perguruan agaknya tak mau memanjakan sang adik
perguruan. “Bangun! Ayo, bangun...!” punggung sang adik
perguruan disodok-sodok dengan tongkat. “Salurkan hawa
murni ke kakimu biar sakitnya berkurang. Uuh...fayah kau
ini!”
Sikat Neraka tiba-tiba Mayat Melambaiengejang, lalu
sekujur tubuhnya gemetar. Pandu Puber memperhatikan
dengan kedua tangan bersidekap di dada. Dia tetap tenang
dan mempelajari tiap gerakan serta ucapan lawan.
“Terus...! Terus...! Salurkan hawa murni ke betis dulu.
Terus, terus...Kiri, kiri dikit. Ya cukuf!” seru Hantu Congkak
mirip tukang parkir.
Sikat Neraka segera bangkit kembali. Masih terasa linu
kakinya, tapi ia langsung  melompat dengan ganas dengan
kedua tangan terjulur ke depan.
“Heaaah...!”
Dari kedua tangan keluar sinar kuning yang menyatu


dan membentuk seperti tombak memanjang menghantam
tubuh Pandu Puber. Pemuda ganteng itu hanya melompat
menghidar sinar tersebut. tetapi telapak kakinya mengeras
dan menukik ke bawah. Dari ujung jempol kaki kanan
keluar sinar putih perak sebesar lidi. Claaap...! sinar itu
tepat mengenai sinar kuning mirip tombakitu. Craas...!
Blegaarrr...!
Tubuh Sikat Neraka yang sedang melayang gaya
Superman itu terpental balik. Melayang-layang di udara
dan menghantam pohon yang sedang bergetar skibat
ledakan dahsyat itu. Braak...! Kkrrrekk... bruukk! Pohon itu
tumbang seketika. Tubuh Sikat Neraka terkapar dalam
keadaan memar membiru dari kepala sampai kaki.
Rupanya gelombang ledakan tadi memancarkan hawa
panas yang cukup tinggi, sehingga membuat tubuh si baju
merah itu matang mendadak. Sementara tubuh Pandu
Puber sendiri terpental ke atas dan nyangsang di dahan
pohon. Tapi keadaannya tak parah. Hanya kulitnya menjadi
merah sedikit karena hawa panas tadi. Sedangkan Hantu
Congkak tetap berdiri di tempat dengan tangan kiri tegak di
dada, tongkat tergenggam dan mata terpejam. Kejap
berikutnya ia membuka mata dan menghembuskan napas
pelan-pelan.
Rupanya Hantu Congkak tadi segera salurkan kekuatan
hawa dinginnya merembes keluar melalui tiap lubang pori-
pori. Hawa dinginnya itu yang digunakan melawan
gelombang hawa panas, sehingga ia tidak terbakar sedikit-
pun. Rasa panaspun tidak dirasakannya sedikitpun. Hanya
dia yang masih tetap segar dan tidak bergeming dari
tempatnya. Tentunya hal itu dikarenakan ia berilmu tinggi,
lebih tinggi dari Sikat Neraka.
“Wow...! Jurus apa yang tadi keluar dari ujung jempol
kakiku? Hmm... sebaiknya kunamakan jurus ‘Jempol
Syahdu’ saja. Biar mudah kuingat!” pikir Pandu Puber
sambil berusaha bangkit dan melompat turun dari pohon.
Wuutt...!
Tahu-tahu ia sudah berdiri di depanHantu Congkak


dalam jarak lima langkah ke depan. Si Hantu Congkak
menatap dengan angkuh. Tapi kemudian melirik adik per-
guruannya yang tak berkutik, hanya terdengar erangannya
yang samar-samar. Hantu Congkak kembali me-mandang
Pandu Puber sambil berkata menggeram,
“Siafa gurumu sebenarnya, Jadah Goreng?!”
“Aku tak punya guru. Mau apa?” tantang Pandu Puber
rada tengil.
“Usiamu cukuf muda, tapi ilmumu tinggi juga! Kau bisa
buat adik ferguruanku tumbang, itu berarti kau funya ilmu
tidak sembarangan, Anak Singkong!”
“Yang jelas aku tidak membuka perkara! Dia yang
memulai!”
“Ya, ya....!” Hantu Congkak manggut-manggut. “Tapi
kau jangan bangga dulu. Aku kakak ferguruannya akan
membalas kekalahannya. Hati-hati melawanku, Nak. Hantu
Congkak tak fernah kalah dalam fertarungan dengan siafa
fun.”
“Aku tidak funya fersoalan fadamu. jangan fancing
kekurang ajranku, Kek!”
“Jangan ikut-ikutan ngomong begitu!” bentak Hantu
Congkak yang merasa tersinggung gaya bicaranya ditirukan
Pandu Puber. Anak muda itu hanya senyum-senyum kecil
saja. Ia membiarkan Hantu Congkak maju dua langkah,
lalu diam berdiri dengan tongkat disentakkan ke tanah.
Jluug...!
Ternyata sentakan tongkat ke tanah menghadirkan
sinar merah melesat dari dalam tanah ke tubuh Pandu
Puber. Claapp...! Sinar itu seperti panah. Cepat sekali. tapi
Pandu Puber punya jurus ‘Angin Jantan’ dari ayahnya. Ia
mampu bergerak melebihi kecepatan biasan sinar merah
itu. Zlaap...! Dan sinar merah dari tanah akhirnya
menghantam dahan pohon.
Blaarr....!
Dahan pohon itu hancur seketika. Serpihannya
menyebar kemana-mana. Hantu Congkak terbengong
batinnya. “Gila! Dia bisa menghindari jurus ‘Lintah Bumi’-


ku? Padahal selama ini jurus itu tak pernah ada yang bisa
menghindarinya. kalau yang pernah menangkisnya
memang ada, tapi biasanya jebol pula pertahanannya.
Cuma, yang bisa menghindari sinar itu baru bocah songong
ini! Hebat sekali dia?! Coba dengan jurus lainnya yang tak
penah gagal kugunakan melumpuhkan lawan, apa dia juga
bisa menghadapinya?”
Hantu Congkak semakin penasaran. Tongkatnya segear
berkelebat, berdiri tegak tanpa bungkuk sedikitpun.
Tongkat itu berkelebat memutari kepala. Lalu tiba-tiba
kakinya ditarik ke belakang merendah, tongkatnya
dihantamkan ke depan, sejajar dengan lehernya. Wuutt...!
Slaapp...! Sinar hijau menyembur dari ujung kepala tongkat
berbentuk kepala monyet itu. sinar hijau itu menyebar
bagaikan ratusan jarum kecil-kecil. Sifatnya menyergap
lawan.
Tetapi Pandu Puber tiba-tiba bergerak sendiri tanpa
kehendak pikirannya. Ia rendahkan kaki, rapatkan telapak
tangan, dan telapak tangan itu menyodok ke depan dalam
keadaan terbuka ujungnya. Woosss...! Ujung telapak
tangan seperti mulut naga yang menyemburkan api ber-
kobar besar. Api itu membakar sinar hijau berbentuk
seperti ratusan jarum.
Zrrraaakkk...! Suara aneh terdengar saat kobaran api
membakar sinar itu. Kejap kemudian terdengar lagi bunyi
ledakan menggelegar lebih dahsyat dari yang tadi.
Bleggaarr...!
Bumi bagaika dilanda gempa dari kedalaman dasarnya.
Pohon-pohon tumbang ke sana-sini berserakan. Hempasan
gelombang dari daya ledak dahsyat itu membuat alam
sekelilingnya menjadi porak poranda dalam waktu sekejap.
Tubuh Pandu Puber terpental dan terguling-guling masuk
ke semak belukar. Srook...! Tapi tubuh Hantu Congkak
terlempar terbang ke belakang, kepalanya sempat
membentur dahan pohon yang mau tumbang. Duuhg...!
Dahan itu patah seketika. Tubuh Hantu Congkak jatuh
dalam keadaan mata terbeliak-beliak bagai orang sedang


sekarat. Bruukk...!
“Setan alas! Badanku dibuat remuk olehnya!” geram
hati Hantu Congkak. Mulutnya melelehkan darah, demikian
pula hidungnya. Darah itu kental warna hitam, itu pertanda
ludahnya sudah dicampuri luka dalam yang berbahaya.
menyadari hal itu, Hantu Congkak yang masih bisa berdiri
walau tertatih-tatih itu segear memungut tongkatnya
kembali.
Pandu Puber keluar dari semak belukar. Kepalanya
dikibaskan karena merasa sedikit pusing. Tapi tak ada luka
luar maupun luka dalam pada dirinya. Ia hanya tertegun
sejenak membayangkan gerakan yang dilakukan tanpa
kesadarannya itu. Hatinya segera membatin,

“Jurus edan apa lagi itu tadi? Aku tak tahu namanya!
Hmm... tapi supaya mudah kuingat, sebaiknya kunamakan
jurus ‘Naga Bangkis’. Ya, itu lebih cocok!”
Hantu Congkak masih penasaran. Dia ingin membalas
lukanya. Maka jurus maut dan aneh berikutnya digunakan
menyerang Pandu Puber. Tongkatnya kali ini dilemparkan.
Wuuttt...! Tongkat itu melayang cepat dalam keadaan
berdiri. Dari mulut kepala monyet di ujung tongkat keluar
sinar warna warni mengarah kepada Pandu Puber. Sinar itu
berkelok-kelok dan gerakannya sangat liar, bagaikan tak
tentu arah. Tapi pada dasarnya tertuju ke arah Pandu.
Pemuda tampan itu sempat bergerak bingung
menghindarinya. Dam diluar dugaan, tiba-tiba segumpal
asap turun dari atas pohon. Suuut...! Wuusss...! Asap putih
itu bagaikan membentengi Pandu Puber dari jarak dua
langkah di depannya. Sinar warna-warni dari mulut ukiran
monyet itu masuk ke dalam asap tebal setinggi manusia,
bahkan lebih. Tongkat tersebut juga ikut tertelan ke dalam
gumpalan asap putih tebal.
Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh di
dalam gumpalan asap. Suara letupan bercampur dengan
suara derak kayu patah.
Tar, krak, tuus, krak, prak, taar....turr....krak, prak, dor,


der, dur!
Lalu hening. Kurang dari sekedipan mata, tiba-tiba
sinarwarna-warni itu bergabung dengan patahan kayu yang
membentuk bulatan bola, dan terlempar dari daalm
gumpalan asap tersebut ke arah Hantu Congkak.
Wuuukk...!
Pandu Puber yang merasa heran tujuh turunan itu
segera melompat ke samping asap. Ia mencoba pandangi
asap itu untuk menembus kedalamannya tapi tidak
berhasil melihat apa-apa. Sedangkan Hantu Congkak
segera lompat ke atas. Wuuutt...! Dan bola yang terbuat
dari gumpalan sinar warna-warni serta patahan tongkat
hitamnya itu menghantam sebuah pohon besar yang tadi
tak jadi tumbang.
Blaapp...!
Suara letusan sangat pelan. cahaya warna-warni
terpancar lebar dan cepat hilang saat menyentuh pohon.
Tubuh Hantu Congkak turun dari udara. Kaget melihat
pohon yang terhantam bola aneh itu lenyap tak berbekas.
Sisa akarnya pun tak ada. Yang tertinggal hanya bentuk
tanah acak-acakan bagaikan pohon tadi tercabut dengan
raksasa.
“Edan lagi ilmunya?!” gumam Hantu Congkak. “Ilmu
asap apa yang dipakai anak setan itu?! Waah...tongkatku?!
Celaka! Tongkatku menjadi serpihan kecil-kecil begini...?!”
Hantu Congkak memperhatikan serpihan kayu hitam yang
ada disekitar bekas pohon berdiri. Bulu kuduknya jadi
merinding, tubuh tuanya pun bergidik.
“Kalau kulayani, bisa-bisa aku lenyap tak berbekas
seperti pohon itu! Sebaiknya aku kabur saja, mumpung tak
ada orang yang melihat kekalahanku.”
Hantu Congkak segera hempiri tubuh Sikat Neraka. Ia
bermaksud membawa lari tubuh adik perguruannya itu.
Tapi setelah diperiksanya sejenak, ternyata Sikat Neraka
sudah malas bernapas alias mati. Hantu Congkak makin
panik, akhirnya cepat-cepat pergi dengan gerakannya yang
mirip menghilang dari pandangan mata itu. Slaap...! Bras,


bras, bras....! Suara tubuh Hantu Congkak berlari cepat
menerjang semak belukan.
Pandu Puber ingin mengejarnya, namun tiba-tiba
terdengar suara berseru,
“Biarkan ia lari! Ia pasti kapok berhadapan denganmu!”
Pemuda tampan berpaling ke belakang untuk
memandang si pemilik suara merdu itu. Dan mata pemuda
itu terpana beberapa saat, karena yang dilihatnya adalah
seorang wanita muda cantik jelita. Pakaiannya serba putih,
namun mempunyai hiasan bunga mawar kecil terselip di
sela gundukan dadanya. Bunga itu bunga sungguhan.
Masih segar dan menyebarkan bau harum mawar yang
agak berbeda dengan mawar biasanya. Aromanya lebih
lembut dan melenakankalbu, seakan menciptakan sejuta
keindahan di dalam hati.
Wanita muda itu rambutnya disanggul rapi, tapi
sebagian rambut meriap ke samping. Tak banyak, tapi
kelihatan indah sekali. Bagaikan seni rias rambut yang
biasa dipakai oleh para putri raja. Wajah wanita cantik itu
tiada duanya. Baru sekarang Pandu Puber melihat
kecantikan yang begitu agung dan berkharisma tinggi.
Hidungnya langsing mancung, bibirnya berbentuk indah
sekali, tampak basah seperti habis berenang. Tapi segar
dan menggairahkan.
Wanita itu sunggingkan senyum kecil. Ada lesung
pipitnya yang menambah keindahan raut wajah berkulit
putih mulus itu. Pandu Puber sempat gemetar ketika
wanita itu melangkah pelan meninggalkan tempatnya
berdiri yang tadi dipakai berdiam oleh gumpalan asap
putih. Rupanya gadis itulah yang tadi berbentuk gumpalan
asap putih itu.
Dalam jarak empat langkah dari Pandu, gadis itu
hentikan langkah. Pandu Puber masih belum bisa bicara
karena gadis itulah yang beberapa hari ini ditemuinya di
alam mimpi. Wajahnya, pakaiannya, bunga mawarnya,
persis semua dengan yang muncul di alam mimpi Pandu.
“Sekarang kita bertemu bukan di dalam mimpi,” ucap


gadis itu bersuara lembut dan merdu.
“Dian...Ayu... Dayen...?” ucap Pandu Puber terpatah-
patah karena deg-degan. Lidahnya sukar sekali digerakkan.
Ia segera menelan ludah, lalu segala yang di mulut menjadi
lemas, kecuali giginya. Detak jantungnya tak sekeas
sebelum menelan ludah. Tapi mtanya masih memandang
penuh rasa kagum dan amat terpesona.
“Kaukah.....Bidadari Dian Ayu Dayen?!” tanya Pandu
Puber.
“Tak salah dugaanmu, Pandu. Akulah sang penguasa
kecantikan itu! Aku hanya ingin sampaikan pesan padamu,
jangan nakal seperti bapakmu! Kalau kau nakal kau tak
bisa tinggal di kayangan bersamaku.”
“Aku tak akan seperti Ayah. Aku bukan pemuda mata
keranjang. Memang hidupku ingin kucurahkan untuk
mengabdi kepada hati seorang wanita, tapi wanita itu tak
lain adalah dirimu, Dian Ayu!” sambil Pandu Puber
mendekat pelan-pelan. matanya memandang dalam
kelembutan. Suaranya sedikit mendesah bernada
romantis.
“Tak kubiarkan kau pergi meninggalkan sukmaku, Dian
Ayu! Aku tak mau mati dalam bayangan pelukanmu.”
Dian Ayu Dayen mundur dengan senyum. “Rayuanmu
romantis sekali, Kasih. Tapi belum saatnya kita bertemu
dalam satu genggaman. Carilah aku dalam kecantikan-
kecantikan yang menyebar di sekelilingmu. Aku ada di
antara mereka. Cabutlah bunga mawar ini dari dadaku, dan
kau akan kurengut dalam pelukanku selama-lamanya.”
Setelah berkata demikian, Dian Ayu Dayen mengangkat
tangan kanannya dalam keadaan telapak tangan terbuka.
Tangan terangkat lurus, dan seberkas sinar melesat dari
tengah telapak tangan. Sinar merah itu melesat ke langit,
lalu menyebar menjadi percikan bunga api yang
membentuk setangkai bunga  mawar indah. Syaarrpp...!
Pandu Puber terpesona melihat keindahan bentuk
bunga mawar di langit dalam susunan tata cahaya merah.
Matanya tak berkedip memandang ke sana. Namun ketika


cahaya berbentuk bunga mawar itu lenyap, Pandu Puber
kehilangan seraut wajah cantik. Dian Ayu Dayen lenyap
bagai ditelan bumi. Sang bidadari pergi tinggalkan dirinya.
Hanya semerbak aroma mawar lembut yang tercium dan
membekas di lubang hidung Pandu Puber.
“Dian...?! Dian Ayuuu...!” panggilnya sambil
memandang ke sana-sini. Yang dicari tak ada, bahkan
menjawabpun tidak. Pandu Puber mengeluh kecewa. Ia
duduk melemas di atas sebatang kayu pohon yang tadi
tumbang itu.
“Kemana perginya?” pikir Pandu Puber. “Ke mana aku
harus mencarinya? Oh, bunga mawar itu...ya, aku harus
bisa mencabut bunga mawar di dadanya, agar aku jatuh ke
dalam pelukannya. Oh, Dian Ayu.... ke mana aku harus
mencarimu, Sayang....?!”
***





















------------------------------------------------------------------------------  
TUJUH
------------------------------------------------------------------------------ 


UCUK dicinta ulampun tiba. begitulah pepatah yang
serasi untuk nasib Pandu Puber yang datang ke
koraja untuk temui Lila Anggraeni. Gadis cantik itu
ada di depan rumahnya yang mewah bagai istana kecil.
Maklum rumah saudagar kaya, bisnisnya ke mana-mana,
kalau nggak mewah sih kebangetan. Rumah itu mem-
punyai pintu gerbang sendiri dari terali besi anti karat
warna putih mengkilap. Waktu itu sang gadis sdang berada
di luar gerbang. Bukan semata-mata ingin mejeng, tapi
agaknya ia punya alasan tersendiri. Seperti ada yang di-
tunggu. Pandu-kah yang ditunggu?
Oh, bukan. Ternyata yang ditunggu seekor kuda. Kuda
putih berjambul lebat dan halus, dituntun oleh seorang
pelayan pengurus kuda. Pelayan dan kuda muncul dari
samping halaman rumah mewah itu. Ada bungkusan yang
diikut sertakan di samping pelana kuda. Wah, kayaknya
cewek itu mau kabur dari rumah. Wajahnya sendu, bicara
dengan palayannya pelan sekali. Bahkan sempat salaman
dengan pelayannya sebelum naik ke punggung kuda.
Pandu Puber memperhatikan dari sisi tersembunyi. Ia
merasa heran melihat suasana yang tak beres itu. Maka ia
segera muncul dari balik warung nasi yang mirip gardu
listrik itu. Pandu Puber datang dari arah depan kuda. Sang
kuda mulai berjalan pelan, sang gadis lambaikan tangan
kepada pelayannya. Sang pelayan buru-buru masuk ke
dalam pagar tembok tinggi itu. Sang gadis bermaksud
memacu kudanya agar cepat tinggalkan tempat.
Tentu saja Lila Anggraeni kaget melihat Pandu Puber
sedang berjalan di depannya menuju ke arahnya. Kaget itu
membuat senyum ceria Lila Anggraeni mekar bak jamur di
musim hujan. Sinar matanya berbinar-binar seperti
petromak penuh minyak. Jantungnya berdetak-detak bagai
P


irama beduk menjelang lebaran.
“Ikutlah aku...! Cepat, ikutlah aku...!” katanya tergesa-
gesa. Pandu Puber agak gugup. Kuda melangkah cepat,
Pandu Puber terpaksa berlari-lari mengikuti dari samping.
“Ada apa? Kenapa kau tampak gugup?”
“Ikutlah aku! Kita bicara di tempat sepi. Ayo...”
“Iya, tapi...tapi masak aku lari terus sih?”
“Lompatlah!”
“Lompat ke mana? Ke jurang?” sentak Pandu agak
keki.
Kudapun segera dihentikan setelah Lila Anggraeni
sadar bahwa larinya sang kuda terlalu cepat. Pandu segera
naik di belakang Lila Anggraeni, lalu mereka melesat pergi
bersama dalam iringan musik sepatu kuda.
Tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk...! Suara sepatu
kuda.
“Aku harus pergi! Harus minggat dari rumah!” kata Lila
Anggraeni dengan wajah duka dan hampir menangis.
Mereka ada di lembah yang teduh. Pandu cepat-cepat
mengingatkan gadis itu.
“Awas, jangan menangis. Aku tak mau kalau kau
menangis. Aku akan lemas seperti dulu lagi.”
“Tapi hatiku sedih!”
“Sedih boleh, tapi jangan menangis!” kata Pandu Puber
tegas-tegas.
Kuda ditambatkan di bawah pohon tak jauh dari
mereka. Lila Anggraeni bersandar di pohon, satu kakinya
ditekuk, menempel pohon. Ia menunduk dalam duka.
Pandu Puber ada di sampingnya. Satu tangannya
disanggakan ke pohon itu juga. Lalu dengan nada romantis
pemuda tampan itu berkata
“Kau boleh sedih, tapi harus punya alasan. Kau boleh
pergi dari rumah, tapi juga harus punya alasan. Sama
halnya kau mninggalkan hati seseorang, harus punya
alasan yang kuat. Jangan pergi begitu saja, nanti sekeping
hati yang kau tinggalkan akan hancur selembut tepung
terigu.”


“Aku memang punya alasan kuat. Dan...ah, untunglah
kau datang. Hatiku sedikit terhibur oleh kedatanganmu,
Pandu.”
“Tak ada penghibur hati wanita secantik kau kecuali
kehadiranku.”
Pandu Puber mulai ‘menggombal’ di samping telinga
Lila Anggraeni. sang gadis terbuai, cuping hidungnya
kembang kempis menikmati bunga indah di hati. Ia diam
saja ketika dagunya dicubit Pandu. Ia mau tersenyum
ketika Pandu pamerkan senyumannya yang menjerat hati
itu.
“Ada persoalan apa, Sayang?” tanya Pandu kia
romantis.
“Ada seseorang ingin datang untuk melamarku!”
“Oh...!” Pandu Puber berlagak kaget.
“Ayahku akan menerimanya. Aku sudah menolak, tapi
ayahku tetap mengharuskan aku kawin dengan orang itu.
Aku benci! Benci... sakali!”
Buk, buk, buk...! Dada Pandu dipukul-pukul gadis itu.
Pemuda itu diam saja. Tapi akhirnya terbatuk-batuk karena
pukulan tadi. dalam hatinya berkata “Benci sama ayahnya
kok yang remuk dadaku?”
Lila Anggraeni berkata sambil mulutnya bergerak-gerak
lancip, mirip pinsil alis. Pandu memperhatikan dengan
gemas. Ingin meremas mesra bibir itu.
“Sekarang ayahku sedang menjemput tamu itu di
pantai. Kupikir, daripada aku nantinya menderita tekanan
batin dapat suami yang tidak kucintai, lebih baik aku pergi
dari rumah. Minggat ke mana saja.”
“Kau tinggalkan alamat nggak untuk ayahmu nanti?”
“Minggat kok pakai ninggalin alamat?! Itu namanya
ngungsi! Bukan minggat!”
Pandu Puber tertawa, sengaja memancing suasana
agar tak terlalu tegang.
“Kau pernah bertemu dengan lelaki itu?”
“Pernah, ketika aku ikut Ayah berlayar membawa
rempah-rempah.”


“Ganteng?”
“Ahh...ya gitu deh!” Lila Anggraeni cemberut.
“Sama aku ganteng mana?”
“Mana ada lelaki yang lebih ganteng darimu?” Lila
Anggraeni berlagak bersungut-sungut. “Aku bertemu
dengan pria itu ketika ia disewa Ayah untuk menjadi
pengawal perjalanan. Karena Ayah takut dibajak oleh
orang-orangnya Sikat Neraka. Rupanya disitulah pria itu
jatuh hati padaku. Ia mengirimkan utusan untuk
mengantarkan surat lamaran. Lalu ayahku menerimanya
tanpa persetujuan denganku lebih dulu.”
“Dia anak orang kaya?”
“Ah, nggak seberapa kaya!” jawab gadis itu
meremehkan sang pria yang mau dikawinkan dengannya
itu. “Buatku kaya atau miskin sama saja, yang penting hati
saling mencinta dan mau sehidup-semati. Itu sudah cukup
bagiku.”
“Kau memang gadis yang mulia, Lila. Kebeningan
hatimu, serasi dengan kecantikan wajahmu. Tak ada gadis
semulia hatimu di dunia ini.”
“Betulkah?” Lila Anggraeni menatap lembut.
“Aku berani bertaruh potong telinga panci, tak ada
gadis semulia hatimu, yang bisa memandang cinta sebagai
keagunngan hidup, bukan sarana pemburu harta.”
“Pandu, kenapa baru sekarang kudengar kata-katamu
itu?” bisik Lila Anggraeni pelan. Tangan gadis itu
merapikan baju Pandu. Jemari lentiknya menyentuh-
nyentuh permukaan dada bertato mawar. Ia berkata lirih
lagi, penuh ungkapan jiwa.
“Kalau saja orang yang akan melemarku sepertimu,
aku tak akan kabur dari rumah. Aku akan diam menunggu
dan menyiapkan gaun secantik mungkin.”
Mata Pandu Puber begitu bening menembus kelopak
cinta yang diharapkan Lila Anggraeni. Sang gadis sendiri
tak mau berhenti menikmati keteduhan di mata si tampan
beranting satu itu. Lalu, ia memberi isyarat dengan
redupkan mata. Pandu mengerti maknanya. Bibir yang


merekah itu segera dikecupnya pelan-pelan.
Ceess...!
Sekujur tubuh Lila Anggraeni terasa dialiri setrum yang
menerbangkan khayalannya jauh di awang-awang. Ia
biarkan bibirnya dilumat dengan sentuhan pelan sekali.
Bahkan Lila Anggraeni semakin merapatkan badan dan
memeluk pemuda tampan itu erat-erat. Seakan ia ingin
menenggelamkan seluruh tubuhnya ke badan Pandu
Puber.
Sayang sekali Pandu Puber segera melepas
kecupannya dengan gerakan pelan. Meski bibir itu telah
terpisah, Lila Anggraeni masih merasa bagai dilumat
dengan lembut. Matanya masih terpejam mesra. Ketika
napas hangat Pandu terasa menjauh, barulah Lila
Anggraeni membuka matanya pelan-pelan. Bibir itu ber-
gerak-gerak mengucapkan kata berbisik,
“Pandu, bawalah aku lari. Kemana pun kau pergi,
bawalah aku serta.....”
“Itu bukan cara terbaik.”
“Lalu apa menurutmu cara yang terbaik untuk kita?”
“Aku akan menemui ayahmu.”
“Jangan!” Lila Anggraeni tersentak tegang. Pelukanpun
terlepaskan.
“Mengapa takut?”
“Ayahku akan marah besar padamu. Selain itu, kalau
kau bertemu dengan orang yang melamarku, kau bisa
dibunuhnya. Aku tak mau kau mati, Pandu.”
“Aku juga tak mau,” balas Pandu. “Tapi barangkali,
ayahmu perlu kuajak bicara empat mata agar terbuka
pikirannya tentang cinta.”
Lila Anggraeni menghempaskan mapas lemas. “Kurasa
itu jalan yang terburuk Pandu. Ayahku sudah telanjur silau
oleh nama besar calon suamiku itu.”
Mulut sang gadis terbungkam sejenak. Ia termenung,
namun sebentar kemudian terdengar suaranya lagi,
“Atau...mungkin ayahku takut menolak lamaran orang
itu. Aku sendiri juga takut kalau menolaknya secara


langsung, bisa-bisa aku ditelanjangi di depan umum.
Dia...licik dan jahat menurut pandanganku.”
“Bangsawankah dia?”
“Ngakunya sih bangsawan. Entah kenyataannya,
mungkin saja bangkotan! yang jelas ia orang kesohor dari
Tanah Sakura.”
Pandu mulai terperanjat. “Siapa namanya?!” sergahnya
bersemangat.
“Gelarnya saja Pendekar Samurai Cabul. Nama aslinya
Shoguwara!”
“Gila!” sentak Pandu dengan mata melotot.
“Bukan. Dia bukan orang gila. Tapi entah juga kalau
Shoguwara itu artinya gila. Aku tak tahu bahasa tempatnya
sih.”
“Maksudku, peristiwa ini peristiwa yang gila bagi
diriku.”
“Jadi... kau sekarang punya penyakit gila?” kata Lila
Anggraeni dengan polosnya. Pandu Puber sempat jengkel
mendengar kebodohan gadis itu.
“Aku datang menemuimu hari ini sengaja untuk pamit
padamu.”
“Pamit?”
“Aku akan pergi ke Tahan Sakura mencari Pendekar
Samurai Cabul. Tak tahunya justru orang itulah yang akan
datang melamarmu. Itukan gila namanya? Gila sekali,
kan?”
“Iy...iya sih! Samurai itu memang gila. Tapi...”
“Aku sengaja mau menemuinya di Tanah Sakura untuk
menantangnya bertarung. Gelar pendekarnya akan ku-
rebut, karena tidak sesuai dengan tingkah lakunya sebagai
seorang pendekar yang gemar menelanjangi wanita me-
makai samurainya!”
Lila Anggraeni menjadi tegang. Ia mulai sadar apa
sebenarnya yang dimaksudkan dalam kata-kata Pandu
Puber itu. Rasa takut mencekam jiwa, tercermin lewat sorot
mata dan ekspresi wajahnya.
“Kau...kau akan melawannya? Maksudmu tarung pakai


senjata, gitu?”
“Kau ini kok masih bego aja sih? Sekarang begini saja
deh....kita pulang ke rumahmu! Aku akan berpura-pura
menjadi kekasihmu.”
“Maksudmu.....maksudmu berpura-pura menjadi
kekasihmu.”
“Ya. Kau keberatan?”
“Aku ......hmm.....maksudku, kenapa hanya berpura-
pura?”
“Kita boleh jatuh cinta tapi jodoh bukan kita
penentunya!”
Lila Anggraeni menunduk lesu. Pandu Puber segera
berkata, “Sudahlah, itu bisa dibicarakan nanti. Yang jelas
aku akan berpura-pura jatuh cinta padamu dan memancing
Pendekar Samurai Cabul untuk masuk ke arena per-
tarungan! Kau harus membantuku, karena aku akan mem-
bantumu meleaskan dirimu dari perjodohan itu, Lila!”
“Apakah...apakah....apakah kau sanggup mengalahkan
dia?”
“Kita lihat saja nanti!”
Lila Anggraeni tak punya pilihan lain. Ia segera pulang
bersama Pandu Puber. Ternyata di rumahnya sedang
heboh. Semua orang ribut mencari kemana perginya Lila
Anggraeni. Rupanya saat itu sang Ayah sudah pulang dari
menjemput ramu agungnya. Sang Ayah malu mengetahui
anak gadisnya tidak ada di rumah dan dicari-cari sampai ke
kolong ranjangpun tetap tak ada.
Namun ketika Lila Anggraeni tampak datang
menunggang kuda berboncengan dengan seorang pemuda
tampan berbaju ungu bintik-bintik seperti embun itu,
semua orang dalam rumah keluar ke depan pintu gerbang.
Sang tamupun ikut keluar dan segea menggeletuk giginya
melihat Lila Anggraeni naik kuda dan dipeluk dari belakang
oleh pemuda beranting satu.
Pandu Puber segera lompat dari punggung kuda
sebelum mereka berjarak dekat dengan rombongan tamu
dan ayah Lila Anggraeni. Mata sang tamu tetap me-


mandang tajam ke arah Pandu, dan Pandupun menatap-
nya dengan tak berkedip, namun lebih tampak tenang dari
sang tamu.
“Lila...!” seru sang Ayah. “Apa maksudmu membawa
pulang pemuda itu, hah?!”
Pandu Puber yang menyahut, “Kami saling mencintai
dan tak rela jika Lila dikawinkan dengan Pendekar Samurai
Cabul itu!” tuding Pandu. Sang ayah ingin bergerak maju,
tapi tangan sang tamu merentang, menahan gerakan
tersebut. Lalu, ia sendiri bergeark maju menemui Pandu.
Sang ayah menjadi cemas dan sangat malu, karena saat
itu banyak orang berkumpul di depan rumahnya karena
ingin melihat seorang pendekar yang namanya kesohor
dan terkenal sakti itu.
Shoguwara, si pendekar cabul itu, berdiri tegak dengan
kaki sedikit merenggang. Orang-orang menyingkir jauh, tak
berani dekat-dekat dengan sang pendekar yang sedang
marah dan terkenal kecepatan bermain samurai. Pandu
Puber pandangi orang itu dengan dada terbusung.
Tepat seperti gambaran yang pernah diceritakan ayah
Pandu, bahwa Pendekar Samurai Cabul itu berwajah kaku,
bengis, matanya menandakan kelicikan yang tersembunyi
di balik kesaktiannya. Jidatnya lebar, karena rambutnya
dikuncir ke belakang agak tinggi. Sebilah samurai
disandang di punggungnya. Baju putihnya yang berlengan
panjang itu dirangkapi pakaian semacam rompi panjang
warna hitam, sesuai dengan kain penutup kedua kakinya
yang juga hitam. Pendekar Samurai Cabul memang masih
kelihatan muda dan sedikit punya kegantengan. Usianya
berkisar antara tiga puluh tahun, mungkin lebih sedikit. Ia
mempunyai mata kecil dan alis naik, berkesan jelas
kelicikannya.
“Jauh-jauh aku datang untuk melamar Lila Anggraeni,
tahu-tahu kau sudah lebih dulu membawanya lari. Tak
tahukah kau siapa diriku ini?”
“Aku tahu siapa kamu, Sobat. Dan inilah yang
dikatakan ‘pucuk dicinta ulam tiba’. Niatku untuk datang


menemuimu di Tanah Sakura tak perlu harus kutempuh
dengan perjalanan melelahkan. Ternyata kita
dipertemukan di sini!”
“Jangan banyak mulut! Pergi tinggalkan Lila, atau mati
di ujung samuraiku?”
“Aku memilih mati di ujung hati Lila!” jawab Pandu
Puber seenaknya. Jawaban itu membuat Pendekar
Samurai Cabul menggeram penuh luapan amarah.
Matanya meirik sebentar ke sekeliling. Ternyata kabar
kedatangannya mau melamar Lila Anggraeni sempat juga
didengar para tokoh dunia persilatan, sehingga banyak
juga dari para tokoh yang datang dan diam mengelilinginya,
seakan menyaksikan pertarungannya dengan Pandu
Puber. Sang pendekar semakin bernafsu ingin menampak-
kan kehebatan ilmunya.
“Sebutkan namamu supaya bisa kucatat dalam buku
daftar para korban samuraiku!” kata Pendekar Samurai
Cabul.
“Namaku Pandu Puber! Akan kukalahkan kau, dan
kurebut gelar kependakaranmu hari ini juga!” kata Pandu
tak gentar sedikitpun.
“Keparat! Heeeaah…!” Pendekar Samurai Cabul me-
lompat dalam gerakan cepat dan lomptan pendek. Pandu
Puber pun menyambut lompatan pendek itu dan kedua
tangannya mengadu telapak dengan sang pendekar.
Plak…! Mereka berdiri di tempat, saling melepaskan
kekuatan teanga dalam melalui telapak tangan yang diadu-
kan. Tapi keduanya sama-sama tak ada ang terdorong
mundur. Bahkan kedua telapak tangan yang saling beradu
itu mengepulkan asap putih samar-samar. Tubuh mereka
sama-sama mengears hingga bergetar dari kaki sampai
kepala.
Tiba-tiba, gerakan Pendekar Samurai Cabul sangat tak
diduga-duga. Kakinya berkelebat menendang lutut Pandu
Puber. Wuuttt…! Dees…!
“Uuhg…!” Pandu mengaduh tertahan, ia jatuh berlutut,
kekuatannya berkurang, dan tubuhnya terpental karena


dorongan tenaga dalam lawan. Wuuss…!
Bruusss…! Pandu jatuh terpelanting dengan
menyeringai. Jauhnya enam langkah dari tempatnya berdiri
semula. Pendekar Samurai Cabul melangkah cepat
menghampirinya. Tapi Pandu cepat bangkitkan badan dan
siap menghadapi lawan. Di sisi lain, Lila Anggraeni baru
saja membuka kedua tangannya yang tadi menutup wajah
pada saat Pandu jatuh terpental.
“Pandu Puber! Kuberi kesempatan sekali lagi padamu
untuk segera pergi dan tinggalkan Lila Anggraeni! Kalau
kesempatan ini kau sia-siakan, kau akan mati penuh
penyesalan!”
“Yang ingin kurebut darimu adalah gelar
kependekaranmu! Sudah tak pantas tersandang di
namamu, Shoguwara!”
“Biadab!” geramnya dengan gigi menggeletuk dan
tulang-tulang mengeras. “Hiaaat…!” Samurai di punggung
tahu-tahu sudah tercabut. Gerakan mencabutnya tak
sempat dilihat orang. Kini samurai itu digenggam dengan
dua tangan. Teracung ke depan. Ia melangkah ke kiri,
memutari Pandu.
“Hiaaahhh…!” teriaknya sambil berkelebat cepat sekali.
Samurainya ditebaskan ke sana-sini dan tak bisa dilihat
gerakannya. Tapi Pandu Puber cepat-cepat jatuhkan diri
dengan menggunakan gereakan jurus ‘Angin Jantan’.
Dalam sekejap saja ia sudah berada di tanah, sementara
Shoguwara menebaskan semurainya ke tempat berdirinya
Pandu tadi.
Kaki Pandu bergerak melebihi kecepatan angin. Ketika
tubuhnya berguling masuk ke sela-sela kedua kaki lawan.
Pandupun segera menendang ke atas. Buuhg…!
Tendangan itu tepat mengenai ‘jimat lelaki’ lawannya.
“Oohg…!” Pendekar Samurai Cabul mendelik seketika,
diam dalam gerakan ingin menebaskan samurai dari atas
ke bawah. Ketika lawan terpaku karena kesakitan itulah,
Pandu Puber segera mengulangi tendangannya yang
mengenai tempat semula lagi. Buueehg…!


“Uuhgg…!” suara pekikan tertahan terdengar dari mulut
Shoguwara. Ia terlempar ke belakang, jatuh terjungkal.
Pandu Puber segera bangkit dan bergerak memutar dalam
keadaan jongkok. Kakinya membabat pergelangan tangan
lawan. Plaakk…! Tendangan kuat bertenaga dalam tinggi
membuat senjata samurai itu terlempar lepas dari tangan
lawan.
Pandu mengeraskan dua jari di masing-masing
tangannya. Lalu masing-masing jari ditempelkan ke pelipis
kanan-kiri. Kejap berikutnya kedua tangan itu menyentak
ke depan bagai melempar pisau secara bersamaan.
Wuuutt…! Ternyata yang keluar dua sinar merah lurus yang
menghantam samurai di tanah. Satu sinar kenai mata
samurai, satu lagi kenai gagang samurai. Claaapp…!
Daarr…! Ledakannya tak seberapa keras, tapi akibatnya
senjata samurai panjang itu hancur menjadi kepingan-
kepingan kecil. Pada saat itu, Shoguwara sudah bangkit
dan mau menerkam samurainya. Tapi gerakan tersebut tak
jadi karena samurai sudah hancur lebih dulu. Semakin
murka wajah sang pendekar berkucir panjang itu. Tapi
Pandu Puber sempat terbengong sebentar menyadari jurus
yang baru saja digunakan itu. Lalu dalam hatinya ia
menamakan jurus itu jurus ‘Sepasang Sayap Cinta’. Entah
bagaimana penjabarannya, Pandu tak perduli.
Pendekar Samurai Cabul segera menyerang Pandu
kembali dengan lebih ganas. Kali ini ia menggunakan jurus
tangan kosongnya, namun punya kekuatan tenaga dalam.
Dalam satu lompatan tangannya bergerak ke sana-sini
dengan cepat sekali, membingungkan lawannya. Pandu
sengaja mundur menjauh untuk hindari jurus itu.
“Haaaiitt…!” Shoguwara bentangkan kedua tangan
bagai seekor bangau hendak menggibas mangsa.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Pandu Puber untuk
bergerak cepat menggunakan jurus ‘Angin Jantan’ lagi. 
Tapi kali ini telapak tangannya mengembang rapat, jari-
jarinya mengeras, jempolnya terlipat. Dan tangan itu
dihantamkan ke arah ulu hati lawan. Wuuutt…! Plaakkk…!


Lawan bisa menangkisnya walau pergelangan tangan
menjadi ngilu semua.
Plak, plak, plak bleesss…!
“Uuhg…!” Shoguwara tersentak mendelik. Keempat jari
Pandu Puber menembus masuk ke dada kanannya yang
atas, dekat dengan pundak. Hampir saja kena jantung.
Tapi itupun sudah cukup berbahaya. Empat jari tangan
menancap hampir seluruh bagian. Mirip sebilah pisau
dihunjamkan ke tubuh itu. Ketika dicabut keluar, darahpun
menyembur dengan kentalnya.
“Jurus ‘Jantung Hati’,” kata Pandu dalam benaknya
menamai jurus itu.
Shoguwara mulai limbung. Darah yang keluar semakin
menghitam. Ia terkejut dan berucap tak sadar, “Racun…?!”
Rupanya tangan Pandu yang mampu menembus dada
lawan itu dapat menyebarkan racun melalui ujung-ujung
jarinya. Shoguwara tegang sekali. Wajahnya pucat pasi.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera melesat melarikan
diri sambil tinggalkan ancaman, “Aku akan kembali
menuntut balas padamu! Akan kurebut kembali gelar
kependekaranku, Bangsat!”
Para tokoh silat yang ada di situ tertegun bengong.
Mereka terheran-heran melihat seorang pendekar tampan
mampu kalahkan Shoguwara tanpa senjata. Maka berita
itupun cepat menyebar ke mana-mana. Gelar pendekar
telah berhasil direbut Pandu Puber. Pemuda tampan itu
segera berkelebat dan berniat memberitahukan kepada
ayahnya bahwa ia telah berhasil menumbangkan Pendekar
Samurai Cabul, dan kini ia yang akan menggunakan gelar
itu sebagai: Pendekar Romantis.
Rasa girangnya membuat Pandu lupa pada Lila
Anggraeni yang tertegun bengong memandangi
kepergiannya dengan air mata keharuan berlinang di pipi.




SELESAI

Page   1    2    3    4