Roro Centil 18 - Penunggang Kuda Setan(2)





"Ya! Karena semua pengawal disana terdiri dari
orang-orang yang sudah mati. Kalau ternyata bisa hi-
dup lagi apakah bukannya sudah menjadi setan?" Tu-
kas Roro dengan serius. Tentu saja penjelasan Roro itu
membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi kepingin ta-
hu lebih jelas.
"Kau pernah kesana?" Tanyanya lagi. Roro ja-
tuhkan pantatnya untuk duduk di atas batu. Kepalanya
menggeleng.
"Melihat Istana Setan itupun aku belum pernah,
aku cuma mendengar berita dari sahabatku...!" Ujar Ro-
ro. Laki-laki Muka Tengkorak itu pun jadi ikut-ikutan
duduk di atas batu di hadapannya.
"Siapakah sahabatmu itu?"
"Dia bernama JOKO SANGIT! Sahut Roro.
"Eh, bicara padamu seperti bicara dengan hantu
saja...! Apakah mukamu jelek hingga kau pakai topeng
Tengkorak itu?" Tiba-tiba Roro balas bertanya dengan
pertanyaan lain. Tentu saja membuat si laki-laki Muka
Tengkorak jadi melengak. Pertanyaan itu memang wa-
jar, akan tetapi hal itu membuat si laki-laki Muka Teng-
korak jadi menunduk.
"Jelek atau bagus adalah pemberian Tuhan! Aku
memakai topeng ini bukan karena wajahku jelek atau
bagus, akan tetapi aku memang tak akan membukanya,
kecuali di hadapan musuh besarku...!" Ujarnya dengan
tertawa hambar. Roro jadi tercenung sesaat. Namun se-
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

gera manggut-manggut mengerti.
"Siapakah musuh besarmu...?" Tanya Roro tiba-
tiba. Laki-laki Muka Tengkorak tak segera menjawab.
Terdengar suara helaan nafasnya sejenak, lalu ujarnya
dengan suara yang terdengar agak serak, dan bernada
dingin.
"Aku tak dapat memberitahukan, karena hal ini
adalah urusanku...!"
"Hm, baiklah! Akupun tak ingin mengetahui
urusanmu, serta mencampuri urusan dendam pati!
Cuma aku mau memperingatkan, hati-hatilah kalau
kau mau menyeberangi telaga! Tak sedikit nyawa ma-
nusia, dan tokoh-tokoh kosen kaum Rimba Hijau yang
setelah menyeberang tak pernah ada kabarnya lagi. Hi-
hihh... hihi...
Seraya tertawa mengikik, Roro Centil sudah
bangkit berdiri. Lalu putarkan tubuh untuk beranjak
pergi.
"Eh, nona...ng...mau ke manakah kau?"
Si laki-laki Muka Tengkorak sudah berseru menahan
dengan tergagap.
"Namaku RORO CENTIL!" Sahut Roro seraya
menahan langkahnya.
"Oh, ya ...! Nona Roro Centil, boleh aku tahu
kemana tujuanmu...?" Ulangnya seraya sudah melom-
pat ke hadapan Roro. Roro tatap wajah laki-laki berto-
peng Tengkorak itu seperti mau melihat wajah asli
orang di hadapannya.
"Saat ini aku berdiam di Lembah SOKA, berga-
bung dengan para Senapati dari Tiga Kerajaan yang te-
lah bersatu...!" Sahutnya datar.
"Ah...!?" Tersentak si laki-laki Muka Tengkorak.
Sepasang mata dari balik topeng Tengkoraknya itu
membelalak lebar.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Tanya

si Penunggang Kuda Setan.
"Hihihi... tak tahukah kau, bahwa ratusan, bah-
kan hampir lebih dari seribu laskar para Senapati dari
Tiga Kerajaan telah menggabung menjadi satu. Mereka
tengah mempersiapkan untuk menggempur Kerajaan
Setan bernama PUGAR ALAM yang Istananya berada di
tengah telaga ini...!" Tutur Roro dengan suara dingin.
Lagi-lagi si laki-laki Muka Tengkorak itu melen-
gak. Akan tetapi kembali tundukkan wajahnya. Seraya
berkata lemah.
"Ah, sayang... urusanku membalas dendam be-
lum lagi terlaksana, seandainya sudah tuntas urusan-
ku, aku pasti akan turut bergabung dengan mereka...!"
"Nah, selesaikanlah urusanmu dulu, aku dan kaum
Pendekar dari segenap penjuru, dengan di restui serta
mendapat bala bantuan dari Kerajaan MATARAM, siap
menunggu kedatanganmu untuk bergabung dengan
kami...!" Berkata Roro Centil dengan tersenyum.  Lalu
sudah enjot tubuhnya melompat ke atas tebing batu.
Disana dia balikkan tubuhnya lagi. Sepasang mata dara
perkasa itu menatap ke bawah. Ke arah si Penunggang
Kuda Setan. Lengannya menggapai.
"Penunggang Kuda Setan...! Sampai jumpa lagi...
!" Laki-laki  Muka Tengkorak ini balas lambaikan tan-
gannya.
"Aku pasti kesana bila urusanku sudah sele-
sai...!" Teriaknya lantang. Namun Roro sudah balikkan
tubuhnya, dan berkelebat cepat tinggalkan tebing di sisi
telaga itu. Sekejap kemudian sudah lenyap tak keliha-
tan  lagi. Laki-laki si Penunggang Kuda Setan kembali
tundukkan wajahnya. Tampak dari sela topengnya
mengalir turun setetes air bening. Dadanya bergerak
naik turun seperti menahan kesedihan, kemarahan ser-
ta kekecewaan yang mengaduk menjadi satu! dalam da-
da. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah melompat ke atas

punggung kudanya. Dan diiringi suara meringkiknya si
Kuda Hitam tunggangannya itu. Binatang itu sudah me-
lesat cepat sekali, melompati tebing batu di hadapan-
nya.
"Tunggulah kalian manusia-manusia jahanam...!
Si Penunggang Kuda Setan akan menuntut balas pati!"
Terdengar suara gumamnya.
Sekejap antaranya suara ringkik kuda itu sudah
lenyap bersama lenyapnya mahluk dan penunggangnya!
Sepekan kemudian... di satu wilayah jajahan Kerajaan
Pugar Alam.
Laki-laki berwajah belang ini bergegas memasu-
ki pendopo Kadipaten. Dua orang penjaga menjura
hormat, dan mempersilahkan masuk. Mereka telah
mengenal akan siapa adanya laki-laki ini. Akan tetapi
heran juga karena tak seperti biasanya datang sendi-
rian. Mereka mengenalnya yang  bergelar si Muka Ma-
can. Kemanakah si Muka Babi dan si Muka Tikus...?
Namun mereka cuma berbisik-bisik saja tak berani me-
nanyakan.
Setelah melewati satu pintu lagi, segera telah be-
rada di ruangan dalam.
"Ah, kemanakah Adipati Rama Sepuh?" Desis-
nya pelahan.  Sepasang matanya jelalatan mengitari
ruangan. Suara tertawa cekikikan dari ruangan kamar
disebelah mengundang keinginan untuk mengintip. Dari
lubang kunci segera terlihat satu pemandangan yang
membuat darahnya tersirap. Karena sang Adipati ten-
gah digeluti oleh dua orang wanita yang separuh telan-
jang.
"Kakang Rama Sepuh... Hihihihi.... ah, geli...!
Hihihi..." Kembali terdengar suara tertawa yang renyah
mengundang perhatian. Dua penjaga di ujung ruangan
sudah beranjak mendekati si Muka Macan ini. Akan te-
tapi baru mau membentak, segera di urungkan karena

mengetahui orang itu adalah si Muka Macan yang asik
mengintip. Lalu cepat-cepat melangkah pergi.
"Siapa di luar...!" Tiba-tiba satu bentakan menggeledek
telah membuat si Muka Macan terlonjak kaget. Seraya
buru-buru mengambil sikap sebaik mungkin seolah tak
melakukan apa-apa.
"Ham... hamba, Gusti Adipati...!" Ujarnya dengan
tergagap.
"Ada keperluan penting Gusti Adipati, hamba... Man-
draka, si Muka Macan!" Hening sejenak... Dan terdengar
lagi suara dari dalam.
"Tunggulah di ruang depan. Sebentar aku da-
tang...!"
"Baik, Gusti  Adipati...!" Sahut si Muka Macan,
dan dengan senyum pahit dia sudah "ngeloyor" pergi
menuju ke ruangan depan tempat biasa diadakan per-
temuan. Agak lama juga laki-laki berwajah belang ini
menanti kedatangan sang Adipati itu. Namun tak lama
sudah datang yang ditunggunya. Seorang laki-laki ber-
tubuh kekar dengan pakaian dinas, segera keluar me-
nemuinya.
"Ada hal penting apakah Mandraka...?" Tanya
sang Adipati. Menilik dari usianya Adipati ini berusia
sekitar 37 tahun. Dengan pakaian kebesarannya seba-
gai seorang Adipati, tampak benar kelihatan kewiba-
waannya. Akan tetapi sinar matanya memang terlalu
liar untuk seorang pejabat yang berhati bersih.
"Celaka, Gusti...! Hamba baru tiba dari Pe-
sanggrahan Puri Kencana...!"
"Apa yang telah terjadi disana? Dan... mana ka-
wanmu yang lain?" Belum lagi si muka macan yang
bernama Mandraka itu selesai berbicara, sudah disam-
bar pertanyaan sang Adiati.
"Begini, Gusti ..." Segera Mandraka tuturkan ke-
jadiannya dengan secara singkat, yaitu pertama adalah

kejadian yang membuat kematian saudara sepergu-
ruannya si Muka Tikus, dan si Muka Babi yang di jum-
pai tubuhnya dalam keadaan terluka. Karena tangan
dan kakinya patah, akibat dilemparkan si penunggang
Kuda setan. Dan yang kedua diceritakan kejadian di pe-
sanggrahan Puri Kencana.

***

DELAPAN

Puri Kencana adalah tempat menampung para
wanita tawanan, dari Kerajaan Swarna Mega yang ber-
hasil dikuasai Kerajaan PUGAR ALAM. Dan Adipati Ra-
ma Sepuh ini. Puri Kencana bukan saja tempat para
tawanan wanita, akan tetapi merupakan tempat pelesir
sang Adipati Rama Sepuh dan para pejabat baru lain-
nya. Sejak didudukinya Kerajaan Swarna Mega itu. Ba-
nyak terjadi perubahan kekuasaan yang dipegang oleh
orang-orang dari Kerajaan Pugar Alam.
Setelah membawa si Muka Babi ke rumah seo-
rang sahabatnya yang ahli dalam menyambung tulang
patah, si Muka Macan bermaksud akan segera mela-
porkan kejadian itu pada Adipati Rama Sepuh. Akan te-
tapi diurungkan. Dan tujuannya dirubah dengan men-
gunjungi dulu Puri Kencana. Tentu saja sebagai manu-
sia yang sudah berwatak bejad, apalagi maksudnya tak
kesampaian untuk mengagahi si gadis desa bernama
Sutirah itu.
Akan tetapi betapa terkejutnya dia mengetahui
keadaan Puri Kencana telah porak-poranda. Dan para
wanita tawanan telah meloloskan diri. Beberapa mayat
penjaga di Puri itu telah bergelimpangan menjadi mayat.

Dari seorang penjaga yang luka parah segera diketahui
kalau mereka dibebaskan oleh para pemberontak dari
rakyat dan sisa-sisa lasykar Kerajaan Swarna Mega,
yang pada terjadi penyerahan kedaulatan banyak me-
nyembunyikan diri.
"Cuma itu laporan hamba, Gusti Adipati...! Sele-
bihnya kalau ada kekurangan hamba tak mengetahui..."
Tutur Mandraka si Muka Macan. Merah padam seketika
wajah sang Adipati Rama Sepuh. Lengannya sudah
menggebrak meja hingga sempal bagian ujungnya.
"Keparat...! Rupanya rakyat Swarna Mega sudah
merencanakan pemberontakan...!" Sang Adipati ini se-
gera berdiri, lengannya bertepuk tiga kali. Dan dengan
tergesa-gesa dua pengawal datang menghadap.
"Pengawal!  Perintahkan semua kawan-kawan
mu untuk menjaga ketat lingkungan Kadipaten ini!" Pe-
rintahnya.
"Daulat Kanjeng Gusti Adipati!" Segera kedua
penjaga mengundurkan diri. Tak lama di luar gedung
Kadipaten segera sibuk para Ketua pengawal untuk
membagi tugas pada anak buahnya.
"Apakah yang harus hamba lakukan, Gusti Adi-
pati...?" Tanya Mandraka.
Termenung sejenak sang Adipati Rama Sepuh.
Lalu ujarnya. "Hubungilah Resi Parto Kendal! Suruh be-
liau kemari...!"
"Baik, Gusti Adipati!" Sahut Mandraka. Akan te-
tapi sebelum si Muka Macan itu beranjak keluar ruan-
gan, sudah terdengar suara tertawa terkekeh diluar ge-
dung.
"Heheheheheh... heheh... Aku sudah datang,
Adipati...!" Dan sesosok tubuh telah berkelebat masuk.
Ternyata seorang kakek berjubah mewah berwarna
kuning gemerlapan. Lengannya mencekal sebatang
tongkat bergagang perak. Pada bibirnya terselip seba-

tang pipa terbuat dari gading gajah, yang masih menge-
pulkan asap. Sang kakek ini sudah mengambil tempat
duduk di kursi, berhadapan dengan sang Adipati Rama
Sepuh. 
"Aku sudah tahu akan kerusuhan itu..." Ujar
sang Resi Parto Kendal. Pemberontakan tidak hanya be-
rada di Kerajaan jajahan Swarna Mega ini saja, akan te-
tapi juga di Kerajaan Swarna Bumi dan Kerajaan Song-
go Langit!" Tutur sang Resi, seraya menghisap pipanya.
"Hah!? Begitukah Resi...?" Sentak Adipati Rama
Sepuh dengan belalakkan matanya. Sang Resi cuma
manggut-manggut.
"Heheheh... tenanglah Adipati! Permaisuri Ratu
Kerajaan PUGAR ALAM tentu takkan membiarkan hal
ini... !" Sambung sang Resi Parto Kendal.
"Apakah tak sebaiknya aku bergabung dengan
dua saudaraku di Dua Kerajaan itu?" Bertanya Adipati
Rama Sepuh, meminta pendapat sang Resi. Akan tetapi
tiba-tiba sudah terdengar suara tertawa cekikikan, kali
ini adalah suara wanita yang terdengar mengikik.
"Hihihi.... hihi.... sudah terlambat, sobat Tu-
menggung! Peperangan sudah berkecamuk! Pemberon-
takan di dua Kerajaan itu sudah di mulai. Orang-
orangmu sudah tinggal menunggu kematiannya saja!"
BRAKK...! Tiba-tiba atap genting di atas ruang
pertemuan gedung Kadipaten itu sudah berlubang be-
sar. Dan serpihan-serpihan genting meluruk berjatu-
han. Tentu saja hal itu membuat terperanjat ketiga ma-
nusia yang tengah berunding dibawahnya. Serentak
berlompatan untuk menyingkir. Dan melayanglah seso-
sok tubuh, dari lubang menganga di atap wuwungan
itu. Ringan sekali gerakannya, tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan mereka sesosok wanita tua alias nenek-
nenek.
"Bikhu SOKALIMA ....!" Tersentak ketika Resi

Parto Kendal melihat siapa yang datang. Akan tetapi
sang Resi cepat-cepat merubah sikap jumawa, menutu-
pi rasa terkejutnya. Sementara hatinya diam-diam men-
geluh. Haii! Mau apa jauh-jauh nenek peot penghuni
puncak Ratawu ini datang kemari...?
"Hihihi... Resi Palsu! Kau masih ingat padaku?"
Berkata si nenek dengan suara dingin. Sepasang ma-
tanya memancar tajam menatap wajah orang.
"Sukurlah kalau demikian! Hm, ARYA RUDITA
alias   iblis SILUMAN SUNGAI KUNING... dan alias
SILUMAN NAGA BUNTUNG...! Hihihi.... namamu ba-
nyak sekali. Dan kini adalah Resi Parto Kendal! Wah,
wah, wah...! Bukan main! Hihihi...  akan tetapi seribu
kali kau ganti nama dan julukan, nyatanya aku masih
bisa mencarimu! Kau tentu menyangka aku takkan tu-
run gunung lagi sejak menjadi pertapa di puncak Rata-
wu!
Berdirinya Kerajaan Pagar Alam itulah yang
mengundang aku meninggalkan puncak Gunung Rata-
wu! Sekalian mencarimu! Bukankah dendam diantara
kita belum terselesaikan?" Ujar si nenek yang terus nye-
rocos bicara seperti tak ada putusnya. Akan tetapi tam-
paknya Resi Parto Kendal tak merasa jeri. Bahkan men-
gekeh tertawa.
"Heheheheh.... sukurlah kedatanganmu di saat
luka dalam yang kuderita telah sembuh! Tentu ilmu
yang kau miliki semakin hebat Bikhu Sokalima? Sela-
mat berjumpa lagi...dan ah, kau masih cantik walaupun
sudah nenek-nenek peot...!" Seraya berkata Resi Parto
Kendal bungkukkan tubuh menjura.
"Hihihi... tingkahmu masih seperti berandal be-
rangkat birahi saja, Arya Rudita. Tak usah pakai peng-
hormatan segala...!" Seraya berkata si nenek kibaskan
lengannya pelahan. Akan tetapi pada saat itu telah ter-
jadi satu benturan tenaga dalam yang luar biasa. Kare-

na disaat Resi Parto Kendal membungkuk, telah mengi-
rim serangan tenaga dalam menghantam si nenek pun-
cak Ratawu itu. Segelombang angin dahsyat menyam-
bar ke arah perut. Akan tetapi dengan kibaskan lengan-
nya, ternyata si nenek bergelar Bikhu Sokalima itu telah
memakai serangan halus yang tak kelihatan itu.
DHESSS...! Satu benturan keras terdengar, dis-
ertai mengepulnya uap putih dan hitam yang bergulung
menjadi satu. Tampak tubuh si nenek puncak Ratawu
itu terhuyung dua tindak. Dan sang Resi Parto Kendal
terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Terkejut sang
Adipati Rama Sepuh. Pada kesempatan itu satu lirikan
kilat dari sepasang mata Resi Parto Kendal telah mem-
buat sang Adipati itu mengerti kalau lirikan itu tanda
isyarat padanya. Diam-diam Adipati ini telah kerahkan
ajiannya. Tampak bibirnya komat-kamit membaca man-
tera. Tiba-tiba dia sudah keluarkan bentakan menggele-
dek.
"Nenek tua! Kau berlututlah! Kau telah lancang
masuk kekadipaten dan membuat keonaran...! Berlutut-
lah, agar aku dapat meringankan dosamu!" Terkejut
Bikhu Sokalima. Suara bentakan itu ternyata telah
mempengaruhi syarafnya. Seketika tampak perubahan
wajah si nenek, yang tampak pucat pias... Di luar kesa-
darannya sepasang kakinya tahu-tahu terasa lemah,
dan sudah menekuk untuk segera berlutut. Akan tetapi
satu bisikan halus telah menyusup ke telinganya. Aiii....
sungguh dunia sudah terbalik. masakan orang yang le-
bih tua mau sujud di hadapan bocah kemarin sore?
Terkejut Bikhu Sokalima. Entah suara siapa
yang telah menyadarkan dirinya dari pengaruh dahsyat
yang menyerang otaknya itu. Tiba-tiba si nenek telah
kerahkan kekuatan batinnya untuk menolak. Tiba-tiba
dia sudah membentak keras.
"Tidak! Kaulah yang seharusnya sujud padaku,

bocah edan...!" Berbareng dengan itu, dengan satu ke-
kuatan dahsyat si nenek telah menyentakkan tubuhnya
untuk kembali bangkit. Dan dia sudah terbebas dari
pengaruh itu. Akan tetapi pada detik itu tongkat Resi
Parto Kendal telah menyambar deras, dibarengi hanta-
man sebelah telapak tangannya. Inilah telapak tangan
palsu yang terbuat dari perunggu, dan sudah direndam
racun. Dua serangan itu membuat Bikhu Sokalima ter-
kesiap. Namun dengan miringkan kepalanya, serangan
tongkat yang dahsyat itu lewat.
WHUUK....!  DHESSS...! Akan tetapi hantaman
telapak tangan manusia itu sukar dielakkan, terpaksa
sebelah lengannya dipakai menangkis. Akan tetapi aki-
batnya si nenek menjerit kaget. Seketika tubuhnya su-
dah terlempar keluar Pendopo sampai delapan tombak.
Ketika bangkit berdiri, Bikhu Sokalima meringis kesaki-
tan, karena sebelah lengannya telah lumpuh. Terkejut si
nenek ini melihat sebelah lengannya sebatas siku ber-
warna kehitaman. Tahulah dia kalau telah terkena ra-
cun.
"Heheheh... nenek peot! Kini kau sudah bukan
tandinganku lagi. Sebaiknya kau menyerah dan berga-
bung dengan kami. Mudah-mudahan Adipati akan
mengampuni kesalahanmu...!" Berkata sang Resi Parto
Kendal yang telah melompat keluar. Kemudian disusul
dengan berkelebatnya tubuh Adipati Rama Sepuh dan si
Muka Macan.
"Bedebah! Kau terlalu bermulut besar Arya Ru-
dita! Siapa sudi bergabung dengan anak buah Kerajaan
Setan...!" Teriak Bikhu Sokalima, seraya gerakkan len-
gannya menotok sebelah atas lengannya yang keracu-
nan. Dengan begitu darah beracun segera terhenti un-
tuk tidak menyebar keseluruh tubuh.
Diam-diam dalam hati si nenek ini mengeluh.
Celaka aku lupa kalau dia telah mengganti lengannya

yang buntung itu dengan tangan palsu dari perunggu...!
Sementara beberapa pengawal Kadipaten telah mengu-
rung sekitar tempat itu. Mereka terkejut, karena tak
mengetahui datang mana datangnya musuh yang telah
masuk menyelinap ke dalam gedung Kadipaten.
"Hm, serahkan nenek tua renta ini padaku Re-
si.....'" Tiba-tiba Adipati Rama Sepuh sudah melompat
ke hadapan Bikhu Sokalima. Akan tetapi pada saat itu
terdengar keras, disusul dengan munculnya Tumeng-
gung KUTUT MAJA.
"Parto Kendal! Manusia busuk ...! Tak kukira
manusia yang kuanggap sahabat dan kulindungi, ter-
nyata adalah manusia yang hatinya beracun!" Teriak
Kutut Maja. Sang kakek ini menatap Resi Parto Kendal,
dengan tatapan mata berapi-api.
"Ternyata belakangan baru kuketahui bahwa
kaulah yang menyebabkan kehancuran keluarga saha-
batku bernama PAMUJI...! Istrinya kau perkosa, lalu
kau bunuh setelah kau puas menyiksanya. Kemudian
menyusul kematian Pamuji sendiri  di tangan mu! Ah,
betapa aku menjadi menyesal setengah mati, justru
orang yang kulindungi....! Seorang manusia iblis yang
telah membunuh sahabat baikku itu!" Terasa suara ka-
kek tua bernama Kutut Maja ini mengandung penyesa-
lan luar biasa. Segera teringat dia ketika membawa
WIBISANA ke puncak gunung Argasomala untuk dis-
erahkan pada kakak kandungnya yang bernama Kutut
Praja Setha.
Ketika beberapa tahun yang lalu dia mengun-
jungi puncak Argasomala, ternyata tempat itu telah
musnah menjadi abu. Tak diketahui kemana lenyapnya
sang kakak dan juga bocah yatim piatu bernama Wibi-
sana itu. Yang melaporkan kejadian itu adalah seorang
pembantu keluarga Pamuji sendiri. Yaitu seorang laki-
laki pengurus kuda. Ketika terjadinya peristiwa itu dia

diancam akan dibunuh bila berani membuka mulut.
Karena ketakutan si laki-laki pengurus kuda menghi-
lang entah kemana.
Beberapa tahun kemudian laki-laki itu datang
ke gedung kediaman Tumenggung Kutut Maja untuk
meminta pekerjaan. Dan dari penuturan si pengurus
kuda itulah di ketahui siapa adanya Parto Kendal. Ka-
rena saat Parto Kendal mengunjungi Gedungnya, si
pengurus kuda yang telah diterima bekerja padanya itu
segera mengenali wajahnya.
"Kedatanganku bukan dengan urusan saha-
batku itu saja. Akan tetapi tentu saja untuk menumpas
kaki tangan Kerajaan PUGAR ALAM, yang telah jelas-
jelas mau menguasai kekuasaan di seluruh Pulau Jawa
ini!" Berkata Tumenggung Kutut Maja dengan suara
dingin dan tegas.
Tak perlu banyak bicara Kutut Maja! Kau berada
di wilayah kekuasaan Kerajaan Pugar Alam. Dan keda-
tanganmu cuma mengantarkan kematian!"
"Pengawal! Mengapa kalian melongo saja! Bunuh
manusia pengacau ini!" Teriak Parto Kendal seraya me-
nyapu pandangan pada para pengawalnya yang telah
mengurung tempat itu. Serentak sudah terdengar sua-
ra-suara bentakan keras, disusul menerjangnya bebe-
rapa pengawal Kadipaten dengan senjata-senjata telan-
jang.
"Keparat....! Kau benar-benar memandang ren-
dah padaku Parto Kendal?" Tumenggung Kutut Maja
berteriak marah. Lengannya telah bergerak mencabut
senjatanya sebuah tombak pendek bercabang dua dari
belakang punggungnya. Dan sekali tubuhnya berkele-
bat, tiga pengawal Kadipaten roboh terjungkal dengan
diiringi teriakan kematian. Karena leher dan dada me-
reka telah terpanggang senjata sang Tumenggung tua
ini. Yang lainnya seketika mundur ketakutan. Melihat

demikian Resi Parto Kendal perdengarkan bentakan ke-
ras, dan sudah menerjang dengan senjata tongkatnya.
WHUK! WHUKK....! TRANG....!
Tiga rangkaian serangan Parto Kendal berhasil
dielakkan Kutut Maja, dan serangan terakhir mendapat
sambutan tangkisan senjata tombak bercabangnya.
Sementara Adipati Rama Sepuh menerjang si nenek
puncak Ratawu yang mendapat sambutan dengan sege-
ra. Kali ini Bikhu Sokalima harus hati-hati menghadapi
serangan tenaga batin yang sewaktu-waktu digunakan
lawan. Namun masih sempat nenek itu memperingati
Tumenggung Kutut Maja.
"Awas, hati-hati dengan tangan kirinya, Tu-
menggung...!"
"Aku sudah mengetahui nini Bikhu! Terima ka-
sih atas peringatanmu!" Berkata Kutut Maja seraya len-
gannya menghantam batok kepala sang Resi.
WHUTT....!
Serangan itu disusul dengan berkelebatnya tom-
bak pendek bercabang dua ditangan kanannya.
TRANG...! Lagi-lagi terjadi benturan kedua senjata me-
reka. Kali ini Kutut Maja telah gunakan dengan tenaga
dalam lebih dari separuh, membuat tubuh Arya Rudita
alias Parto Kendal itu terhuyung tiga-empat tindak. Ke-
sempatan ini dipergunakan sang Tumenggung untuk
melompat menerjang dan hantamkan lagi senjatanya.
TRANG....!
Lagi-lagi Parto Kendal luput dari serangan, dan
sudah pergunakan lagi tongkatnya untuk
menangkis. Akan tetapi tenaga dalamnya memang be-
rada setingkat di bawah Kutut Maja. Kembali tubuhnya
terhuyung.

***


SEMBILAN

BHUK...! Satu hantaman telak dari pukulan Ku-
tut Maja mengenai dada Parto Kendal. Aneh! Laki-laki
tua itu tak menangkis, akan tetapi bersama dengan itu
lengannya telah bergerak menghantam ke arah selang-
kangan lawan. Untunglah Kutut Maja waspada, tom-
baknya berputar dengan cepat, menangkis serangan.
PRRAKKK....!
Memekik Parto Kendal ketika lengan palsunya
terhantam putus. putaran tombak Kutut Maja tidak
berhenti di situ  saja, akan tetapi terus menerjang ke
arahnya. Sang Resi ini memang mempunyai taktik ber-
tarung yang sudah berpengalaman. Di saat Kutut Maja
hantamkan lengannya, sengaja dia tak mengelak, kare-
na mengharap dapat memukulkan telapak tangan pe-
runggunya menghabisi nyawa lawan, yaitu dengan
mengerahkan kebagian alat vital Kutut Maja. Dengan
mempergunakan ilmu memberatkan tubuh dan salur-
kan tenaga dalam ke arah dada, membuat tubuhnya tak
bergeming.
Akan tetapi dia salah perhitungan. Tak di sang-
ka Kutut Maja mempunyai sepasang mata yang tajam.
Nalurinya yang peka membuat dia dapat menangkis se-
rangan colongan itu dengan putarkan tombaknya. Bah-
kan berhasil membabat putus lengan palsunya.
Di saat bahaya maut mengancam, karena putaran tom-
bak bercabang Kutut Maja menyerbu ke arahnya, saat
itulah terdengar bentakan keras.
"Tahan...!" Itulah suara Adipati Rama Sepuh.
Bentakan itu mengandung tenaga batin yang kuat.
Membuat Kutut Maja melengak, dan kena terpengaruh.
Tanpa disadari hantaman yang sedianya sudah dis-

iapkan mengarah batok kepala lawan, seraya tertahan.
Bahkan dia sudah melompat mundur dua tombak.
Satu Kedipan mata Adipati ini membuat si Muka
Macan mengerti isyarat itu. Dia berada di belakang Ku-
tut Maja sekitar satu tombak. Sekejap dia sudah lontar-
kan dua buah pisau belati yang tergenggam di kedua
tangannya. Cepat sekali meluruknya dua senjata itu.
Dan Kutut Maja yang dalam keadaan lengah tak me-
nyadari bahaya. Akan tetapi pada saat itu telah berkele-
bat sebuah bayangan merah. Dan... TRAKK....!
Kedua buah belati itu terpental ke udara. Terke-
siap Kutut Maja yang baru menyadari bahaya ketika dia
putarkan tubuh melihat si Muka Macan berada dibela-
kangnya. Sekejap masih dilihatnya dua buah pisau be-
lati yang melayang di udara...
Sekonyong-konyong sebuah bayangan merah
melesat ke atas dan menyampok dua belati itu. Cepat
sekali meluruknya kedua belati itu, tahu-tahu si Muka
Macan perdengarkan jeritannya. Lalu tubuhnya berkelo-
jotan bagai ayam disembelih. Sesaat sudah terlempar
tak bernyawa lagi. Ternyata kedua belati miliknya itu
terhujam menembus leher dan punggungnya. Terperan-
gah Adipati Rama Sepuh. Namun cuma sekejap, karena
dia harus melompat menghindari serangan si nenek
puncak Ratawu, yang sambarkan tongkat ke kepalanya.
PLAK! Lengannya bergerak menangkis... Dan dengan
berteriak keras si Adipati ini lambungkan tubuhnya me-
lompat. Kedua lengannya bergerak saling susul mener-
jang Bikhu Sokalima.
"Kau berangkatlah ke Akhirat, nenek keparat...!"
Bentakannya disusul lagi dengan terjangan-terjangan
sepasang kakinya. Terkejut nenek tua ini. Beberapa se-
rangan masih dapat dielakkan tapi sambaran kaki Adi-
pati Rama Sepuh ini terpaksa disambuti sebelah len-
gannya yang memegang tongkat, karena sebelah len-

gannya telah lumpuh.
DHESS....! Terjangan kaki Adipati Rama Sepuh
teramat cepat dan keras, membuat si nenek puncak Ra-
tawu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Seke-
tika sudah terlepas dari cekalannya. Saat itu satu han-
taman lengan lawan sudah tak mampu dihindarkan la-
gi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik
kuda. Dan...."
BLUK...! Tubuh Adipati Rama Sepuh terlempar
bergulingan. Ketika dia bangkit lagi jadi terkejut, karena
yang menghajar pantatnya tak lain dari seekor kuda.
Entah dari mana munculnya tahu-tahu seekor kuda
berbulu hitam sudah ada di situ. Saat dia terkesima itu-
lah,  sebuah bayangan merah telah melayang ke atas
punggung kuda. Dan sekejap kemudian diatas pung-
gung kuda telah duduk sesosok tubuh berjubah merah
berwajah mengerikan mirip tengkorak, yang hitam le-
gam.
"Siapa kau...?!" Bentak Adipati Rama Sepuh,
yang sudah melompat berdiri.
"Akulah yang akan mengirim nyawamu ke Nera-
ka BRAJA PATI...!" Bentak sosok tubuh itu dengan sua-
ra yang seperti menembus ke jantungnya.
"Kau... kaukah si PENUNGGANG KUDA
SETAN...?" Tanya Adipati Rama Sepuh, yang jadi terke-
jut karena si Muka Tengkorak itu mengetahui nama as-
linya.
"Benar! Dan mungkin kau masih ingat akan wa-
jahku ini....!" Berkata si Penunggang Kuda Setan, seraya
tiba-tiba lengannya telah bergerak membuka topeng
Tengkorak yang dikenakannya. Selang sesaat suasana
menjadi hening mencekam. Akan tetapi sudah terdengar
suara terkejut si Adipati Rama Sepuh alias Braja Pati
ini.
"Kau... kau si bocah dungu WIBISANA.....???"

Bukan saja Braja Pati yang terkejut, akan tetapi Tu-
menggung Kutut Maja juga terperanjat. Karena tak me-
nyangka kalau si penunggang kuda hitam itu adalah
Wibisana. Yaitu si bocah laki-laki, yang pada tiga belas
tahun yang silam di bawanya ke Puncak Argasomala di
kediaman kakak kandungnya Kutut Praja Setha. Kalau
Kutut Maja terkejut bercampur girang, adalah Braja Pati
pucat pias wajahnya. Karena seketika seperti berhada-
pan dengan hantu.
"Bukankah kau... kau...???" Kata-katanya ter-
sumbat dikerongkongan. Karena segera terlintas pada
benaknya ketika lima tahun yang lalu di puncak Arga-
somala, dia bersama Dasa Mukti dan Kala Butho telah
membunuh Wibisana dengan cara yang mengerikan.
Yaitu kaki dan tangan Wibisana diikat dengan tiga tam-
bang pad tiga ekor kuda. Lalu bersama-sama mereka
menariknya, hingga tubuh Wibisana terbelah menjadi
tiga bagian. Setelah itu mereka membakar Pesanggra-
han di atas puncak Argasomala itu.
Merasa berhadapan dengan hantu, Braja Pati
segera merapal mantera. Seketika tubuhnya lenyap dari
pandangan mata. Terkesiap Kutu Maja. Sementara itu
dengan diam-diam Arya Rudita alias Resi Parto Kendal
telah melarikan diri. Terkejut Bikhu Sokalima, namun
terpaksa dia urungkan mengejar mengetahui dirinya
sudah terluka. Kini sepasang mata nenek itupun jadi
terbelalak mengetahui tiba-tiba tubuh Adipati Rama Se-
puh menghilang dari pandangan mata.
Akan tetapi itu saat itu sudah terdengar benta-
kan keras si Penunggang Kuda Setan. Lengannya berge-
rak menghantam!
BHUSSSS.....! Segelombang uap putih meluncur
cepat ke arah dimana tubuh Braja Pati melenyap. Ter-
dengar suara teriakan kaget. Dan tahu-tahu sesosok
tubuh sudah terlempar bergelimpangan. Sekejap saja si

Penunggang Kuda Setan telah menyusulnya. Sang Kuda
Hitam melompat cepat ke arah tubuh Braja Pati yang
sudah menampakkan diri lagi. Dan.... SRET! Ditangan
Wibisana sudah tergenggam sebuah pedang kayu.
"Kau takkan dapat lolos lagi dari tangan Braja
Pati!" Bentak si Penunggang Kuda Setan. Braja Pati ra-
sakan seluruh tubuhnya kesemutan. Namun dia sudah
melompat berdiri seraya merapal mantera lagi.
"Ah...?" Tersentak Kutut Maja melihat pedang
itu, karena jelas itulah pedang kayu milik kakak kan-
dungya. Dengan pedang itulah sang kakak telah men-
dapat julukan si Pendekar Pedang Kayu pada puluhan
tahun yang silam.
"Hahahahah .... Wibisana! Kau kira aku takut
walau kau telah menjadi setan setelah kubunuh mam-
pus?. Kali ini kau akan jadi setan betulan yang tak da-
pat menjelma lagi!" Berkata Braja Pati. Ternyata dia su-
dah mampu memulihkan kekuatannya, bahkan pada
kedua lengannya telah tercekal dua ekor ular hitam se-
besar ibu jari kaki.
"Kau hadapilah ularku...!" Bentak Braja Pati, se-
raya bantingkan ular itu ke tanah. Tiba-tiba terjadilah
keanehan. Kabut hitam bergulung-gulung di hadapan si
Penunggang Kuda Setan. Sekejap dua ekor ular raksasa
telah menjelma dari gumpalan asap kabut hitam itu.
Kuda hitam tampak perdengarkan ringkikannya hingga
melonjak berjingkrakan, seperti takut. Akan tetapi sege-
ra si Penunggang Kuda Setan sudah menenangkannya.
Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah
melihat kejadian itu.
HOOOSSSY ....! HOOOSSSY....!
WHUT! WHUT! WHUUT....! Kedua ekor ular rak-
sasa itu sudah menerjang Wibisana, yang segera keprak
kudanya menghindar. Pedang kayunya menabas... Akan
tetapi pada saat itu Braja Pati sudah turut menerjang

mengirimkan tusukan senjatanya, yaitu sebuah keris
yang berwarna merah. Entah sejak kapan benda itu su-
dah tercabut dari serangkanya di belakang punggung.
TRAKK...! Pedang kayu si penunggang kuda Se-
tan telah bergerak menangkis. Sementara kuda hitam-
nya melonjak menerjang dengan kedua kakinya. Braja
Pati cepat lemparkan tubuhnya kesamping. Sementara
kedua ular raksasa telah julurkan lagi kepalanya me-
nerjang ganas. Namun kali ini agaknya si Penunggang
Kuda Setan tak dapat mengelakkan diri. Tubuhnya ter-
lempar dari atas kuda. Saat itu Braja Pati sudah mem-
burunya dengan lompatan kilat. Keris merahnya melun-
cur deras ke arah dada.
JROS...! Cepat sekali senjata itu sudah terhujam
telak ke dada Wibisana. Terkaparlah tubuh laki-laki be-
rusia dua puluh tahun itu tanpa berkelojotan lagi. Ka-
rena keris merahnya mengandung racun yang luar bi-
asa ganasnya.
"Hahaha... hahahaha... ternyata cuma begitu sa-
ja kehebatan si kacung dungu! Heh, akan kulihat apa-
kah kali ini kau mampu untuk jadi setan untuk kedua
kali...!" Berkata Braja Pati.
Manusia ini sejak berguru pada si Dukun Sakti
alias si Dewi Setan Kemangmang, telah menjadi seorang
yang sakti. Dan memiliki bermacam ilmu sihir yang he-
bat menakutkan.
Kedua Ular Siluman itu kembali mengecil lalu
melenyap. Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima
jadi terperanjat melihat kematian Wibisana yang telah
membuatnya bergirang dengan kemunculannya lagi.
Walau merasa aneh. Karena mendengar bahwa Adipati
Rama Sepuh alias Braja Pati itu telah membunuhnya.
"Aha! Braja Pati jangan bergirang dulu! Masakan
orang yang sudah mampus masih kau bunuh juga!"
Tentu saja kata-kata itu membuat Braja Pati jadi terpe-

ranjat. Karena si Penunggang Kuda Setan masih tetap
tegak duduk di atas kuda hitamnya dengan pedang
kayu di tangan. Ketika melihat ke bawah dimana dia
barusan menghujamkan kerisnya, ternyata yang tergele-
tak di situ tak lain dari mayat si Muka Macan.
Bukan saja Braja Pati yang terkejut akan tetapi
Kutut Maja dan si nenek puncak Ratawu juga terkejut,
karena hal itu tak luput dari matanya. Si Penunggang
Kuda Setan terbunuh tewas oleh keris merah Braja Pati.
Akan tetapi nyatanya Wibisana masih segar bugar bera-
da di atas punggung kuda hitamnya.
Pucat pias wajah Braja Pati. Akan tetapi dengan
menggerung keras, dia sudah menerjang dengan keris
merahnya. Ketika bibirnya membaca mantera, dari
ujung keris itu menyembur segelombang api yang me-
nerjang ke tubuh si Penunggang Kuda Setan. Akan te-
tapi dengan kibaskan pedang kayunya, semburan api
itu mendadak lenyap. Dibarengi dengan ringkikan kuda
hitamnya, pedang kayu Wibisana meluncur deras ke
arah leher Braja Pati. Terkesiap laki-laki ini. Namun
dengan sebat dia pergunakan keris merahnya untuk
menangkis.
TRAK! Sekali hantam ternyata keris Braja Pati
telah terpental entah kemana. Dalam keadaan terkejut
itu Braja Pati seperti hilang akal. Dia sudah balikkan
tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi.....

***

SEPULUH

CRAT...! Satu pemandangan mengerikan segera
terpampang didepan mata Kutut Maja dan Bikhu Soka-

lima. Apa yang terjadi? Dengan pekik mengerikan me-
nyayat hati sang Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati
hentikan langkahnya. Karena tubuhnya telah terpang-
gang oleh pedang kayu si Penunggang Kuda Setan, yang
telah melesat dari punggung kuda hitamnya. Dan keja-
dian berikutnya adalah darah segar menyemburat ke
udara, ketika si Penunggang Kuda Setan menyontekkan
pedangnya. Sekejap kemudian tubuh Braja Pati telah
terbelah dua, dari sebatas perut sampai kepala.
BRUK...! Tubuh laki-laki itu ambruk ke tanah
tak berkutik lagi. Berkubang dalam genangan darahnya
sendiri.  Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah
dengan mata membelalak.
Tumenggung tua ini sudah beranjak mengham-
piri laki-laki si Penunggang Kuda Setan.
"WIBISANA...! Benarkan kau... kau bocah anak
sahabatku, bernama PAMUJI itu? Tergetar suara Kutut
Maja, yang telah menatapnya dengan sepasang mata
membelalak tak berkedip. Seperti tak percaya pada pen-
glihatannya.
"Benar, Paman...! Aku bocah yang malang itu.
Yang pernah kau antarkan ke puncak Argasomala...!"
Berkata si Penunggang Kuda Setan dengan suara haru.
Tampak setetes air bening mengalir turun dari sudut
matanya.
"Ah, anak mas...! Betapa hebatnya kau...
Teriak Kutut Maja dengan suara berdesis. Selan-
jutnya laki-laki tua itu sudah memeluk pemuda itu
dengan bercucuran air mata. Sementara Bikhu Sokali-
ma segera tundukkan wajahnya. Diapun jadi terharu
karenanya. Namun tiba-tiba nenek puncak Ratawu ini
telah keluarkan suara keluhan, dan roboh ke tanah.
Akibat banyak mengeluarkan tenaga dan gerakan, toto-
kan yang telah digunakan menghentikan darah beracun
dari luka di lengan nya telah terbuka. Dan darah bera-

cun segera mengalir ke tubuhnya.
Terkesiap Kutut Maja melihat nenek tua saha-
batnya itu roboh berdebuk. Segera dia sudah lepaskan
pelukannya, dan melompat ke arah Bikhu Sokalima.
"He? Kemana gerangan si Adipati keparat itu?"
Desisnya tersentak. Rupanya dia bara teringat akan Re-
si Parto Kendal, yang sudah sedari tadi melarikan diri.
Sementara Wibisana telah pula melompat ke dekat me-
reka.
"Ah? Celaka paman...! Dia telah terkena racun
jahat Resi palsu itu!" Berkata Wibisana. Kutut Maja tak
menjawab, namun lengannya sudah bekerja cepat me-
notok ke beberapa bagian tubuh Bikhu Sokalima, untuk
mencegah menjalarnya darah beracun ke jantung. Lalu
ambil dua butir pil, dan jejalkan ke mulut si nenek. Ti-
ba-tiba tubuh laki-laki tua ini telah berkelebat masuk
ke dalam gedung Kadipaten. Tak lama sudah keluar lagi
dengan membawa segelas air. Cepat-cepat dia mem-
bungkuk, dan mengangkat tubuh si nenek seraya me-
minumkan air dalam gelas. Ternyata si nenek itu belum
lagi pingsan.
Segera meneguknya dengan lemah. Pelahan Ku-
tut Maja merebahkannya lagi. Tampak laki-laki Tu-
menggung ini pejamkan sepasang matanya. Sebelah te-
lapak tangannya ditempelkan ke bagian perut Bikhu
Sokalima, dan sebelah lagi berada di atas dadanya.
Tangan yang berada di atas dada itu mengejang berge-
taran. Sedangkan yang menempel di perut si nenek ke-
pulkan uap putih. Ternyata dia sedang berusaha me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh si nenek puncak
Ratawu itu untuk mengusir racun.
Wibisana tersenyum melihatnya. Ada harapan
dapat tertolong! Pikir si Penunggang Kuda Setan ini.
Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda ini menegang. Ke-
palanya berpaling ke kiri dan kanan. Sepasang matanya

menyebar ke beberapa arah.
"Bedebah! Iblis pembunuh kedua orang tuaku
itu tak boleh lolos lagi hari ini...!" Desis Wibisana.
"Paman, aku harus segera pergi menyusul Resi
palsu itu untuk membalas dendam pati!"
Berkata Wibisana. Dan tanpa menunggu jawa-
ban juga tak perlu menunggu jawaban sang Tumeng-
gung itu karena dia tahu orang tua itu sedang berusaha
keras menolong Bikhu Sokalima. Wibisana sudah ber-
kelebat melompat ke atas punggung kudanya. Tak lama
terdengar suara ringkik sang kuda hitam yang sekejap
sudah mencongklang pesat bagai deru angin tanpa me-
nimbulkan suara tampak kakinya. Sesaat si Penung-
gang Kuda Setan telah melenyap. Diam-diam Kutut Ma-
ja telah melihat kejadian itu, karena matanya sedikit
terbuka.
"Ah...!? Apakah dia telah mewariskan ilmu dari
Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...?"
Desisnya pelahan. Luar biasa...! Gerakannya ba-
gaikan siluman! Sentak hatinya. Bibirnya menampak-
kan senyum. Akan tetapi hatinya membatin. Ah, entah
kemanakah gerangan kakang Kutut praja Setha .... Ka-
lau dia yang telah mengajarkan ilmu dalam kitab yang
telah diwariskan pada bocah itu, tentu dia masih hidup!
"Bocah itu memang patut dijuluki si Penunggang
Kuda Setan. kuda dan penunggangnya sama-sama aneh
dan menakjubkan! Semoga dendam bocah itu dapat ce-
pat terbalaskan!" Gumamnya lirih. Dan terdengar laki-
laki tua itu menghela napas panjang. Ternyata usa-
hanya menyembuhkan Bikhu Sokalima membawa hasil
memuaskan. Wanita tua dari puncak Ratawu itu sudah
buka kelopak matanya. Tak lama tubuhnya mulai ber-
gerak-gerak, dan dengan mengeluh lirih, dia sudah be-
rusaha untuk bangkit duduk.
"Hehehe... sukurlah kau bisa tertolong, nini Bik-

hu!" Berkata Kutut Maja. Nampak wajah si nenek yang
pucat itu pelahan mulai berobah merah. Bahkan sebe-
lah lengannya yang lumpuh dan kehitaman sudah da-
pat menipis. Sementara sejak tadi uap hitam terus me-
rembus keluar dari telapak tangannya.
"Ah! Kau hebat sekali Tumenggung! Terima ka-
sih atas pertolonganmu...!" Sang Tumenggung tua ini
cuma tersenyum seraya berkata.
"Cuma sedikit  kepandaian yang kupunyai, ke-
sembuhan mu hakekatnya adalah Kebesaran Tuhan ju-
ga yang masih memberi kau umur panjang, Nini Bikhu!"
Nenek puncak Ratawu itupun manggut-manggut den-
gan tersenyum.
Ketika matahari mulai condong ke arah barat,
kedua tokoh tua itu sudah berkelebat pergi tinggalkan
tempat itu. Ternyata Tumenggung Kutut Maja telah
mengajak Bikhu Sokalima menuju ke lembah SOKA un-
tuk bergabung dengan para pejuang lainnya.

***

Kita ikuti langkah-langkah Roro Centil.... Sulit
untuk menerka kemana tujuan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu. Ternyata sejak berpisah dari si Penung-
gang Kuda Setan, Roro tidak terus menuju ke lembah
SOKA. Akan tetapi diam-diam terus mengikuti kemana
perginya pemuda berkuda itu, yang diketahui memang
mencari musuh-musuh besarnya. Rasa penasaran un-
tuk bisa. mengetahui wajah dibalik topeng Tengkorak
laki-laki misterius itu akhirnya terbuka juga.
Ketika tengah terjadi pertarungan di halaman
gedung Kadipaten Kerajaan Swarna Mega, ternyata Roro
sudah mengetahui, akan tetapi tak memunculkan diri.
Sengaja ingin melihat kehebatan, serta mengetahui wa-
jah laki-laki bertopeng tengkorak itu. Dan memang ak-

hirnya Roro segera dapat melihat jelas ketika si Penung-
gang Kuda Setan membuka topengnya di hadapan mu-
suh besarnya.
Akan tetapi ketika Resi Parto Kendal melarikan
diri di saat si Penunggang Kuda Setan tengah bertarung
melayani Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati, yang ter-
nyata adalah salah seorang dari musuh besarnya, Roro
segera menguntitnya. Ternyata Resi Parto Kendal yang
tak lain dari Arya Rudita yang pernah bergelar si Silu-
man Sungai Kuning itu tak berlari jauh, akan tetapi
menonton pertarungan dari tempat persembunyiannya.
Kemunculan Tumenggung Kutut Maja dan si Penung-
gang Kuda Setan membuat nyalinya menjadi ciut. Apa-
lagi menyaksikan bahwa si Penunggang Kuda Setan itu
tak lain dari Wibisana, yang sudah jelas telah mewarisi
ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang di
incarnya. Saat Braja Pati tewas di tangan pemuda ber-
kuda itu, sang Resi segera berkelebat melarikan diri
dengan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Eh, Resi...! Mau kemana kau...? Mengapa ter-
buru-buru pergi?" Tiba-tiba Roro sudah berkelebat
menghadang. Tentu saja sang Resi Palsu ini jadi tersen-
tak kaget, karena tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
sesosok tubuh semampai berwajah jelita.
"Siapa kau, bocah perempuan...?" Bentak sang
Resi.
"Hihihi... namaku Roro Centil! Tampaknya kau
ketakutan sekali melihat kemunculan si Penunggang
Kuda Setan. Apakah dia musuh besarmu...?"
"Perduli apa dengan urusanku! Menyingkirlah
kau bocah...!" Bentak Resi Parto Kendal dengan men-
dongkol, namun dengan hati kebat-kebit. Apakah bocah
centil inipun salah seorang musuh? Gerakannya ringan
sekali, tentu berilmu tinggi...! Gumam hatinya.
"Hihi... aku tak akan pergi menyingkir sebelum

kau jawab pertanyaanku!" Berkata Roro dengan berto-
lak pinggang.
Mata Resi ini melotot karena gusarnya. Akan te-
tapi hatinya memikir. Hm kalau kuladeni bisa-bisa aku
akan tertahan lebih lama lagi disini...! Akan gagallah tu-
juanku untuk menyeberang ke Istana Kerajaan Pugar
Alam. Aku harus secepatnya menyeberang kesana, se-
belum terlambat. Aku yakin Ratu Permaisuri SINOM
SARI dan Baginda Raja Nara Syiwa akan dapat memper-
tahankan Istananya, dan memusnahkan para pembe-
rontak dari tiga Kerajaan jajahannya! Berfikir demikian
Resi Parto Kendal alias Arya Rudita ini segera memutar
otak untuk dapat lolos dari daerah ini, secepatnya.
"Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu, bocah
centil! Akan tetapi kau harus pegang janjimu untuk le-
kas menyingkir bila telah kujawab!" Ujarnya dengan su-
ara datar menahan kemendongkolan hatinya.
"Baik...! Aku akan pegang janji. Setelah kau ja-
wab pertanyaanku, silahkan kau lewat dengan aman!"
Ujar Roro dengan serius.
"Si Penunggang Kuda Setan itu adalah bekas
muridku! Dia telah mendurhakai aku gurunya, dan
mencuri kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam dari tan-
ganku! Tentu saja bocah setan itu adalah musuh besar-
ku...! Nah! Kau sudah mengerti bukan? Aku tak dapat
menandinginya dengan ilmu yang cuma segelintir pada-
ku ini....! Makanya aku terpaksa melarikan diri, untuk
kelak membunuh mampus bocah durhaka itu...!" Tutur
sang Resi berdusta.
"Oooh, begitu ....!" Tukas Roro dengan manggut-
manggut.
"Sungguh jahat sekali muridmu itu...!"
"Baiklah, aku akan memberimu jalan! Tapi... eh,
tunggu dulu!" Teriak Roro. Resi ini sudah mau beranjak
untuk melompat pergi, ketika Roro menyingkir ke tepi

jalan yang akan dilalui.
"Apa maumu lagi, bocah centil?" Tanyanya. Ter-
paksa dia tahan langkahnya.
"Boleh aku tahu kemana tujuanmu...?" Tanya
Roro sambil garuk-garuk tengkuknya yang
gatal.
"Aku mau ke arah selatan...!" Sahut sang Resi,
dan sambungnya lagi.
"Cukup dengan pertanyaanmu itu! Apakah kau
mau mengingkari janjimu?"
"Hihihi.... ah, tidak! Silahkanlah kau lewat..."
Ujar Roro nyengir. Tak ayal Arya Rudita sudah kele-
batkan tubuhnya untuk berlalu dengan cepat. Dan se-
bentar saja sudah lenyap dibalik rimbunnya pepohonan
di atas bukit.

***

SEBELAS

Bocah perempuan yang genit dan aneh!? Apa
maunya menanyakan segala tetek bengek! Bagusnya dia
tak menyulitkanku...!" Gumam Arya Rudita sambil per-
cepat langkahnya. Tak berapa lama tempat yang dituju
sudah kelihatan. Itulah tepian telaga berkabut, dimana
di tengah telaga berdiri Istana Kerajaan PUGAR ALAM.
Wajah laki-laki tua ini bersitkan sinar cerah. Karena tak
lama lagi dia akan segera tiba di tempat yang aman.
Memikir demikian, segera makin dipercepat tindakan
kakinya.
Akan tetapi laki-laki tua ini sudah merandek
dengan wajah pucat. Apakah yang dilihatnya?. Ternyata
di hadapannya telah berdiri seekor harimau tutul sebe-

sar kerbau yang menghadang di tengah jalan.
"Hah?! Edan! Dari mana munculnya makhluk
ini....?" Desis Resi Parto Kendal dengan mata membe-
liak. Karena tak mau berurusan dengan si Raja Rimba
itu sang Resi segera berkelebat ke lain arah. Akan tetapi
lagi-lagi sang harimau tutul telah berada lagi di hada-
pannya menghadang jalan yang akan dilalui.
"Keparat...!" Memaki Arya Rudita, sementara ka-
kinya sudah melangkah mundur. tetapi harimau tutul
itu tak mengejar. Cuma menggeram menatap padanya.
Bahkan selonjorkan kaki di tengah jalan, lalu menguap
memperlihatkan deretan gigi dan taringnya yang runc-
ing-runcing.
Bolak-balik Resi itu mencari jalan untuk bisa
meneruskan perjalanan ke tempat tujuannya, akan te-
tapi selalu saja sang harimau tutul itu menghadang ja-
lan. Lama-kelamaan resi ini jadi tak sabar untuk segera
bertindak. Segera sudah menerobos cepat disaat sang
harimau belum menampakkan diri. Akan tetapi tiba-
tiba...
BUK!
Satu hantamam yang tak kelihatan telah mem-
buat tubuhnya terlempar kembali ke tempat semula,
dan jatuh bergulingan.
"Setan keparat...!" Makinya. Akan tetapi keringat
dingin sudah keluar membasahi sekujur tubuh. Dan
tampak harimau tutul itu sudah berada di hadapannya
lagi menghadang jalan.
"Oh, habislah aku hari ini...! Akan tertunda wak-
tuku untuk menyeberangi telaga! Gumamnya  dengan
wajah pucat pias. Setelah diperhatikan baik-baik, yakin-
lah Resi ini kalau harimau tutul itu bukan harimau bi-
asa.
"Pasti ada yang mengecohku agar langkahku jadi
tertunda...! He? Jangan-jangan perbuatan si perawan

centil itu? Apakah dia punya piaraan makhluk harimau
siluman...?" Desisnya tersentak. Baiknya aku cari jalan
lain, atau pura-pura aku kembali lagi... Berkata sang
Resi dalam hati.
Dan dia sudah putar tubuh untuk kembali me-
nuju ke arah utara. Kira-kira sepenanak nasi, laki-laki
tua ini bergerak memutar, setelah beberapa saat berke-
lebatan cepat dengan mengerahkan ilmu larinya. Kini
dia menuju arah timur, yang untuk kemudian merobah
arah menuju lagi ke selatan.
Di satu sisi bukit dicobanya untuk berhenti den-
gan menyelinap kebalik batu, mengamati  ke sekitar
tempat. Tampaknya suasana aman, karena tak ada ter-
lihat bayangan tubuh harimau siluman itu. Akan tetapi
begitu Resi ini munculkan diri sungguh terkejut bukan
kepalang, karena tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda
tak seberapa jauh dari situ.
"Ah!? Celaka...!" Sentaknya dengan suara terge-
tar. Jelas itulah tanda-tanda kemunculan si Penung-
gang Kuda Setan. Belum lagi dia angkat kaki untuk me-
lesat dari situ, sudah terdengar suara bentakan keras.
"Iblis keparat, pembunuh ayah ibuku...! Jangan harap
kau dapat melarikan diri lagi...!" Dan tahu-tahu di ha-
dapannya telah muncul seekor kuda hitam dengan pe-
nunggangnya yang duduk tegak di atas punggung kuda.
Jubah merahnya berkibaran tertiup angin yang mem-
bersit dari arah perbukitan.
Resi Parto Kendal tak dapat berkutik lagi. Akan
tetapi mana manusia itu mau unjukkan diri takut
menghadapi si Penunggang Kuda Setan? Bahkan sudah
lebih dulu menerjang ganas dengan tongkat peraknya.
WHUKK....!  WHUKK....! Walaupun sebelah len-
gannya sudah tak mempunyai telapak lagi,  ternyata
masih dapat digunakan untuk menghantam lawan. Dan
tongkat peraknya digunakan sebaik-baiknya. Dua se-

rangan beruntun dan terjangan sebelah lengannya yang
buntung itu cuma lolos lewat ketika si Penunggang Ku-
da Setan melompat setinggi lima tombak. SRET...! Pe-
dang kayu si Penunggang Kuda Setan telah tercabut ke-
luar dari serangkanya.
Satu bentakan keras dari pemuda bernama Wi-
bisana itu sudah terdengar menggeledek dibarengi ter-
jangan kilat ke arah leher Resi Parto Kendal. Namun
dengan jatuhkan diri ke arah samping dia masih mam-
pu menghindarkan diri.
Bahkan tongkat peraknya sudah membersitkan
ratusan jarum berbisa menyerang lawan. Saat itu Wibi-
sana dalam keadaan mengambang di udara. Tampak
terkejut pemuda ini. Akan tetapi pada saat gawat itu se-
rangkum angin telah menyambar buyar jarum-jarum
maut itu. Dalam keadaan heran, si Penunggang Kuda
Setan sudah kirimkan tabasan kilat ke arah leher Resi
Parto Kendal alias si Siluman Naga Buntung. Terperan-
gah Resi ini karena justru dia sedang dalam posisi yang
tak menguntungkan.
DHESS...! Tanpa sempat berfikir lagi, sang Resi
ini sudah lenyap suaranya. Karena sekejap mata leher-
nya sudah tertabas putus. Menggelindinglah kepala To-
koh Rimba Hijau yang pernah membuat bermacam
keonaran itu. Darah menyemburat memancar dari ba-
tang tubuhnya yang sudah tak berkepala. Dan ambruk
ke tanah tanpa berkelojotan lagi.
Angin pegunungan membersit keras, meluruk-
kan daun-daun kering yang berjatuhan ke tanah. Se-
saat antaranya tubuh pemuda itu sudah melesat ke
atas punggung kudanya. Dan kejap  berikutnya sudah
tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara ringkik ku-
da.
Bersamaan dengan berkelebatnya si Penunggang
Kuda Setan. Sebuah bayangan melesat menyusul pe-

muda berkuda itu. Dialah Roro Centil, yang barusan te-
lah membantu menghalau jarum-jarum berbisa dengan
pukulan jarak jauhnya. Angin pukulan dara Perkasa
Pantai Selatan itu telah buyarkan jarum-jarum maut
Resi Parto Kendal, tanpa diketahui lagi oleh si Penung-
gang Kuda Setan.
Kalau Wibisana melesat dengan Kuda Siluman-
nya yang luar biasa itu, adalah Roro Centil meluncur di
belakangnya dengan duduk di atas punggung si Hari-
mau Tutul sahabatnya. Hingga yang tampak adalah dua
bayangan kilat melesat cepat bagaikan angin, melewati
bukit dan ngarai. Ke manakah tujuan mereka? Ternyata
Roro telah kirimkan  suara melalui tenaga dalamnya
yang hebat ke telinga pemuda itu.
"Sobat Wibisana...! Apakah kau mau menuju ke
lembah SOKA...?". Tentu saja si Penunggang Kuda Se-
tan terkejut. Ketika itu juga sudah hentikan lari ku-
danya. Tampak di belakangnya sebuah bayangan me-
nyusulnya. Lalu berhenti pula di hadapannya kira-kira
lima tombak di atas bukit itu. Terperangah seketika Wi-
bisana melihat gadis ayu yang belum lama dikenalnya
itu tengah duduk tegak di atas punggung seekor hari-
mau tutul yang amat besar.
"Ah!? Kiranya anda... nona Roro Centil...!" Roro
mengangguk sambil tersenyum, lalu tepuk leher si ha-
rimau tutul untuk segera mendekat ke tempat pemuda
itu. Tiba-tiba kuda hitam Wibisana perdengarkan ring-
kikannya seraya melonjak-lonjak mengangkat kedua
kaki depannya. Tampaknya seperti takut melihat hari-
mau tutul di hadapannya itu. Akan tetapi tak lama su-
dah dapat tenang kembali. Roro tersenyum manis se-
raya berkata.
"Aiiih, agaknya kudamu baru mengenal binatang
sahabatku ini...!"
"Biarlah mereka saling kenal mengenal. Bukan-

kah kitapun baru saja saling mengenal...?" Tukas Wibi-
sana.
"Benar juga katamu, sobat Wibisana...! Eh, ya...
mengapa tak kau pakai topeng setanmu lagi?" Tanya
Roro seraya melompat turun dari punggung si Tutul.
"Kukira tak perlu lagi! Musuh besarku sudah
kukirim nyawanya ke Akherat. Walaupun masih dua
orang lagi yang belum kutemukan...! Namun sudah cu-
kup puas hatiku. Dendam pati itu sedikitnya telah ter-
balaskan...!" Berkata Wibisana. Kemudian laki-laki in-
ipun melompat turun dari punggung kuda hitamnya.
"Oh, ya...! Boleh aku tahu siapa kedua orang lagi
musuh besarmu itu?" Tanya Roro lagi. Sementara ma-
tanya melirik pada kedua binatang Siluman yang tam-
pak saling mendekati. Akan tetapi tampaknya mengerti
kalau mereka tak boleh bermusuhan, seperti juga ke-
dua majikan. mereka. Dan tampak saling tatap dengan
mengendus-ngendus hidungnya. Wibisana menghela
napas, seraya sahutnya.
"Mereka adalah dua orang yang pernah turut
menganiayaku di puncak Argasomala. Juga manusia
yang telah merencanakan pembunuhan pada guruku...!
Mereka bernama Kala Butho dan Dasa Mukti...!". Roro
manggut-manggut mendengarkan penuturan singkat
Wibisana.
"Ceritamu menarik sekali, sobat Wibisana...! Ka-
lau kau tak keberatan, ceritakanlah selengkapnya. Aku
juga ingin tahu siapa gerangan gurumu itu. Muridnya
begini hebat, tentu gurunya seorang yang amat sakti...!"
Ujar Roro.
"Ah, baiklah! Bagaimana kalau kita bicara sam-
bil jalan saja?"
"Kudamu...?" Tanya Roro. Wibisana tak menja-
wab, akan tetapi tepukkan lengannya satu kali, dan se-
kejap si kuda hitam itu sudah melenyapkan diri. Roro

pun segera beri isyarat pada si Tutul. Dan binatang si-
luman itu segera tak menampakkan diri.
Demikianlah... Wibisana segera tuturkan secara
keseluruhan riwayat dirinya pada Roro. Entah mengapa
pemuda ini tak mampu untuk menolak. Senyum manis
dan kerlingan mata wanita Pantai Selatan itu membuat
hatinya terasa bergetar aneh. Saat itu seperti dia me-
nemukan sebuah jarum dari dasar laut. Selama ini Wi-
bisana tak pernah mempunyai sahabat wanita. Dan un-
tuk pertama kalinyalah dia jalan dan mengobrol berdua
dengan wanita. Sementara Mentari semakin condong ke
arah barat. Pantulkan sinar merahnya dari balik perbu-
kitan, yang tampak indah sekali.
Kedua remaja berlaian jenis itu tampak akrab
sekali, seperti sepasang Sejoli yang tengah bercinta,
membicarakan soal asmara.

***

Untuk lebih lengkapnya kisah Wibisana itu, ma-
rilah kita menengok pada kejadian delapan tahun yang
silam di puncak Argasomala. Yaitu pada kejadian le-
nyapnya mayat Ki KUTUT PRAJA SETHA dan tewasnya
Wibisana yang dibunuh oleh ketiga murid si Penghuni
puncak Argasomala itu sendiri. Ketiga orang itu adalah
Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala Butho. Ternyata ketiga
laki-laki itu adalah murid Arya Rudita alias si Siluman
Naga Buntung, yang pernah juga bergelar si Siluman
Sungai Kuning.
Arya Rudita mengutus ketiga muridnya untuk
berguru ke puncak Argasomala adalah dengan satu
maksud, yaitu mencuri Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam. Namun tak membawa hasil. Selama tiga tahun
mereka berguru pada Ki Kutut Praja Setha. Akhirnya
ketiga murid murtad Ki Kutut Praja Setha itu meminta

bantuan pada seorang Dukun Sakti yang bergelar si
Dewi Setan Kemangmang, untuk membunuh Ki Kutut
Praja Setha. Ketiga murid murtad itu sudah melihat
bukti kematian guru kedua mereka, di Pesanggrahan
puncak Agrasomala.  Namun ternyata mayat kakek itu
lenyap disaat mereka menganiaya Wibisana yang men-
jadi kacung atau pembantu di Pesanggrahan itu.
Kemanakah lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Se-
tha?. Sebenarnya Ki Kutut Praja Setha tidak tewas...!
Mayat yang dilihat ketiga murid itu adalah sebongkah
batu. Dengan kesaktiannya yang dimiliki, Kutut Praja
Setha berhasil menipu pandangan Braja Pati, Dasa
Mukti dan Kala Butho. Kekuatan Ilmu TELUH yang di-
pergunakan si Dewi Setan Kemangmang itu telah me-
nemui sasaran yang salah. Karena Kutut Praja Setha te-
lah berhasil menukar terlebih dulu raganya dengan se-
bongkah batu yang telah dipersiapkan. Naluri tokoh
sakti tokoh puncak Argasomala itu teramat peka. Dia
telah mengetahui bakal terjadi bencana yang menimpa
tempat tinggalnya.
Hingga bukan saja berhasil menipu si tiga murid
murtadnya, akan tetapi menipu juga si Dukun Sakti
Dewi Setan Kemangmang itu, yang mengirimkan seran-
gan ilmu hitam melalui siluman jahat! Dengan demikian
tahulah Kutut Praja Setha akan watak ketiga muridnya
itu. Bahkan mengetahui pula maksud tujuan mereka
sebenarnya, yang didalangi oleh gurunya. Yaitu Arya
Rudita alias kakek tua sakitan yang mengaku bernama
Parto Kendal.
Ilmu MALIH RAGA itu adalah salah satu dari il-
mu yang berada dalam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam, yang telah berhasil dikuasai. Bahkan selanjut-
nya Kakek penghuni puncak Argasomala itupun meno-
long Wibisana. Yaitu mengganti tubuhnya dengan se-
buah ranting kayu. Tentu saja Wibisana sendiri terke-

coh. Karena dari tempat  persembunyiannya bersama Ki
Kutut Praja Setha, dia telah saksikan tubuhnya sendiri
telah diikat dengan tiga utas tambang, lalu ditarik tiga
ekor kuda hingga tubuh palsu pemuda itu beserpihan
menjadi tiga bagian. Hampir saja pemuda dungu itu
berteriak karena ngerinya. Untung Ki Kutut Praja Setha
telah cepat menekap mulutnya.
Setelah membakar Pesanggrahan ketiga murid
durhaka itu tinggalkan puncak Argasomala, setelah ter-
lebih dulu mengacak-acak kamar semadhi Kutut Praja
Setha mencari Kitab Pusaka. Namun tak membawa ha-
sil.
Demikianlah kisah sebenarnya. Hingga kemu-
dian Wibisana menjadi murid tokoh sakti itu, dan me-
warisi ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam.

***

DUA BELAS

Bau sedapnya daging panggang yang berhembus
dari atas bukit itu membangkitkan selera orang yang
kebetulan lewat tak jauh dari bukit itu.
"Aih.... perutku mendadak lapar...!" Berkata Ro-
ro seraya mengelus perutnya. Hidungnya sudah men-
gendus bau sedap dari puncak bukit itu.
"Eh, Wibisana! Bagaimana kalau kita singgah ke
tempat orang memanggang daging itu? Kukira dia tak
keberatan kalau kita memintanya barang sedikit...!" Be-
lum lagi Wibisa menyahut, Roro sudah berkelebat.
"Ah? Gadis aneh...!" Gumam Wibisana dengan
gelengkan kepala. Sikap Roro itu di nilainya seperti si-
kap seorang laki-laki saja. Akan tetapi diapun memang

rasakan perutnya lapar. Mau tak mau Wibisana segera
beranjak menyusul. Akan tetapi tak lama segera mena-
han langkahnya. Dilihatnya Roro sudah berdiri di hada-
pan seseorang yang sedang membolak-balik panggang
daging kelinci pada sebuah api unggun. Di belakang
orang itu ada sebuah gubuk kecil beratap rumbia. Ca-
haya api pada senja yang kian temaram itu jelas me-
nampakkan wajah orang itu. Dan jantungnya jadi ber-
detak keras. Karena itulah wajah Dasa Mukti. Wibisana
takkan lupa melihat mimik wajah serta rambutnya yang
keriting itu.
"Hehehe... tampaknya kau lapar, nona...! Apa-
kah kau ingin mencicipi daging panggang kelinciku?"
Bertanya laki-laki itu. Wajahnya tampak menyeringai
tersenyum melihat kedatangan seorang gadis ayu yang
sebentar kemudian sudah berdiri di dekatnya.
"Benar sekali dugaanmu, paman...! Kalau kau
sudi membaginya sedikit padaku untuk berdua aku
makan dengan sahabatku, aku amat berterima kasih
sekali!" Ujar Roro dengan tersenyum.
"Berdua...?" Tanya orang itu yang ternyata me-
mang Dasa Mukti adanya. Cepat sekali Dasa Mukti jela-
latkan matanya mengintari tempat itu dengan pandan-
gan mata tajam. Akan tetapi tak dilihatnya ada siapa-
siapa. Tentu saja, karena Wibisana sudah pergunakan
ajian Halimunan untuk melenyapkan diri.
"Siapa yang datang...?" Tahu-tahu terdengar su-
ara dari dalam gubuk. Dan sesosok tubuh sudah me-
lompat keluar. Ternyata seorang laki-laki kekar yang te-
lanjang dada, menampakkan bulu-bulu dadanya yang
lebat. Roro palingkan wajahnya menatap pendatang itu.
Sepasang mat si laki-laki kekar itu mendadak berbinar
menatap Roro, dan sudah rayapi sekujur tubuh gadis di
hadapannya dari kepala sampai ke kaki.
Saat itu telinga Roro sudah menangkap suara

seperti orang terisak menangis, dari dalam gubuk Roro
krenyitkan alisnya, dan tiba-tiba sudah bergerak me-
lompat  masuk ke dalam gubuk yang pintunya masih
menjeblak terbuka. Apakah yang dilihat Roro?... Ternya-
ta seorang wanita tengah terisak menutupi wajahnya di
atas pembaringan, dengan keadaan tubuh telanjang bu-
lat. Serpihan-serpihan bajunya berserakan disana-sini.
Tahulah dia apa yang telah terjadi.
"Bedebah...!" Desis Roro. Dan dia sudah melesat
lagi keluar dari dalam pondok. Akan tetapi pada saat itu
dua bayangan tubuh telah menyergapnya. Kalau saja
bukan Roro Centil yang saat itu disergap mereka, tentu
dua laki-laki itu sudah berhasil meringkusnya. Akan te-
tapi hati mereka jadi mencelos, karena pada saat itu Ro-
ro justru pentangkan lengan dan kaki dengan gerakan
cepat sekali.
BHUK!  DHES....! Akibatnya kedua laki-laki itu
terlempar bergulingan. Seorang kena tendangan  kaki,
dan seorang lagi terkena jotosan lengan Roro. Namun
dengan cepat kedua laki-laki itu sudah melompat berdi-
ri. Ternyata keduanya tak lain dari Kala Butho dan Da-
sa Mukti adanya. Keadaan gawat akibat diserangnya
Kerajaan Swarna Bumi dan Songgo Langit yang dikua-
sai oleh kedua tokoh ini, sebagai orang-orang dari Kera-
jaan PUGAR ALAM, membuat mereka menyingkirkan
diri mencari keselamatan. Karena banyaknya kaum
Pendekar dari tokoh Rimba Hijau yang datang bermun-
culan, membantu pemberontakan rakyat kedua Kera-
jaan jajahan itu.
Tak dinyana akibat ulah mereka yang brutal,
terpaksa harus berurusan dengan Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Bahkan saat itu juga
sudah terdengar suara ringkik kuda... Dan muncullah
di tempat itu si Penunggang Kuda Setan.
"Heh! Dasa Mukti! Kala Butho...! Tak ada cara

baik lagi bagi kalian, selain serahkan nyawa mu dengan
segera...!" Berkata Wibisana yang sudah kenakan lagi
topeng tengkoraknya. Terperangah Kala Butho dan Da-
sa Mukti melihat kemunculan si penunggang kuda ber-
wajah Tengkorak yang muncul dengan misterius. Tahu-
lah mereka kalau berhadapan dengan tokoh berilmu
tinggi. Akan tetapi kedua manusia ini memang tak gen-
tar untuk menghadapinya, karena mereka juga punya
bekal ilmu hitam yang belum dikeluarkan. Sementara
Roro Centil segera mengetahui kalau kedua manusia itu
adalah justru musuh besar si Penunggang Kuda Setan
yang tengah dicarinya.
"Bagus! Sementara mereka bertempur, aku yang
makan besar!" Gumam Roro. Sekaligus bergerak, Roro
Centil sudah menyambar panggang daging kelinci di
atas bara api unggun.
"Hihihi... silahkan kau lunasi hutangmu, Wibi-
sana! Aku mengisi perutku dulu yang lapar...!" Berkata
Roro dengan mengerling.
"Silahkan nona Roro Centil! Rasa laparku akan
segera hilang, bila sudah membunuh mampus kedua
manusia durhaka ini ...!" Sahut si Penunggang Kuda Se-
tan. Terperangah seketika Kala Butho dan Dasa Mukti.
"Dia dia si Wibisana, kacung dungu itu?" Desis Kala Bu-
tho, yang segera saling pandang pada kawannya.
"Benar! Akulah Wibisana! Kacung dungu Ki Ku-
tut Praja Setha! Kedatanganku adalah untuk mewakil-
kan beliau mengirim nyawa kalian ke Neraka!" Memben-
tak si Penunggang Kuda Setan. Seraya berkata, si Pe-
nunggang Kuda Setan telah lepaskan topengnya, Senga-
ja dilakukan agar membuat mereka terkejut. Tampak
keduanya segera belalakkan mata memandang wajah si
laki-laki penunggang kuda. Yaitu wajah seorang pemu-
da yang menampak seperti wajah orang dungu.
Seketika jantung mereka menyentak kaget Kare-

na mengetahui Wibisana telah tewas ditangannya. Otak
mereka tak mampu memikirkan lebih lanjut, karena se-
gera Dasa Mukti memberi isyarat untuk siap siaga. La-
ki-laki ini cepat cabut senjatanya yang terselip di ping-
gang. Sebuah rantai berujung sebuah tengkorak lengan
dari besi telah tercekal ditangannya. Sementara Kala
Butho tercenung sejenak. Senjatanya berada di dalam
gubuk. Tiba-tiba dia sudah melompat. menerobos ma-
suk dari jendela.
BRAKK! Jendela kayu itu sudah jebol diterjan-
gya. Terdengar suara menjerit dari dalam. Itulah suara
wanita yang telah disekapnya, yang jadi terkejut karena
melihat jendela terjebol berantakan. Sekejap tubuh Kala
Butho sudah berada di dekatnya. Lengan laki-laki itu
bergerak cepat menyambar sebuah kapak bermata lebar
yang menyandar di sisi pembaringan. Baru saja lengan-
nya mencekal gagang kapak, sesosok tubuh sudah ber-
kelebat ke dalam.
"Hm! Cepatlah kau keluar lagi!" terdengar suara
dingin di belakangnya. Ternyata Roro Centil yang sudah
berkelebat masuk menyusul yang mengkhawatirkan Ka-
la Butho melarikan diri. Juga khawatir mencelakai si
wanita sekapan yang berada di dalam pondok.
"Heh!?" Mendengus Kala Butho. Sekejap dia su-
dah balikkan tubuh, dan tiba-tiba langsung tabaskan
senjata yang dicekalnya.
WHUUT...! WWHUKK...!. BHRAAKKKK...! Terpe-
kik Kala Butho, karena sekejap tubuhnya sudah ter-
lempar keluar menjebol dinding anyaman bambu pon-
dok itu, dan terlempar keluar. Roro yang masih meme-
gangi tusukan panggang daging kelinci di tangannya,
bahkan masih komat-kamit mulutnya mengunyah, se-
ketika jadi terkejut karena Kala Butho menyerangnya.
Namun dengan melompat, tabasan maut itu lolos. Sece-
pat kilat kakinya lakukan tendangan keras, hingga tak

ampun tubuh Kala Butho terlempar keluar menjebol
dinding.
Dengan terhuyung laki-laki ini bangkit berdiri.
Untung pedangnya tak terlepas dari genggamannya.
Saat itu sudah terdengar bentakan keras.
"Manusia-manusia laknat...! Segera terimalah
kematianmu...!" Secercah sinar berkelebat menghantam
tubuh Kala Butho. Laki-laki ini tak sempat berkutik la-
gi. Kilatan itu begitu cepat datangnya. Dan...
BHUSSSS... Sekejap tubuh manusia ini telah
terbakar hangus diiringi teriakan menyayat hati. Dan
roboh ke tanah untuk tidak berkutik lagi.
Sekujur tubuhnya menghitam hangus, hingga
mengelupas kulitnya menampakkan tulang-tulangnya
yang memutih. Sesosok tubuh telah berdiri di tempat
itu. Seorang tua berjubah putih dengan kumis dan
jenggotnya yang panjang menjuntai.
"Guru...!" Teriak si Penunggang Kuda Setan ter-
sentak. Kiranya kakek tua renta itu tak lain dari Ki Ku-
tut Praja Setha. Melihat siapa yang datang, Dasa Mukti
terperangah dengan mata membelalak. Wajahnya pucat
pias bagai mayat. Dan tubuhnya sudah bergetaran he-
bat, dengan keringat mengucur di sekujur tubuh. Senja-
tanya pun terlepas dari tangannya. Dan dia sudah ja-
tuhkan diri berlutut di tanah.
"Guru...! Ampunilah kesalahanku...!" Berkata
Dasa Mukti dengan suara Parau. Nyalinya sudah ter-
bang seketika, karena dia tak akan sanggup menyela-
matkan nyawanya lagi. Kemunculan demi kemunculan
dari orang-orang yang telah dibunuhnya bersama sau-
dara seperguruannya, juga melalui tangan si Dukun
Sakti Dewi Setan Kemangmang, membuat dia ketakutan
sekali. Seolah-olah berhadapan dengan hantu para ar-
wah dari alam Akhirat.
"Kesalahanmu teramat besar, Dasa Mukti Gu-

rumu si Arya Rudita dari Braja Pati sudah mampus ter-
lebih dulu! Kini adalah giliranmu menyusul mereka ke
Neraka! Kau tidak saja turut melakukan kejahatan
membunuh Wibisana dengan cara keji, akan tetapi telah
mengangkat guru pada si Dewi Setan Kemangmang Du-
kun Sesat itu!
"Aku sudah mengetahui siapa adanya Ratu Per-
maisuri SINOM SARI  yang menguasai Kerajaan Setan
PUGAR ALAM! Tak lain dari Dukun Sesat Dewi Setan
Kemangmang gurumu itu! Kau adalah salah seorang
dari murid si wanita penghamba iblis yang sesat! Otak-
mu sudah di pengaruhi kejahatan...! Maka tak ada jalan
lain selain kau mati!" Berkata Ki Kutut Praja Setha den-
gan suara dingin. Menggigil seketika tubuh Dasa Mukti.
"Pilihlah diantara tiga! Aku yang turun tangan
atau muridku Wibisana yang mewakilkan mencabut
nyawamu! Ataukah kau membunuh diri! Bentak Ki Ku-
tut Praja Setha. Ternyata diam-diam tokoh sakti ini te-
lah mengikuti sepak terjang muridnya si Penunggang
Kuda Setan. Sekalian untuk menguji kemampuannya
menumpas para muridnya yang murtad, yang meng-
hamba pada manusia iblis sesat si Dewi Setan Ke-
mangmang. Karena tak sabar, kakek puncak Argasoma-
la itu telah melenyapkan nyawa Kala  Butho sekalian
munculkan diri.
Akan tetapi pada saat itu bersyiur angin keras
disertai hawa busuk yang memuakkan, Dan...
WHUSSSS...! Tubuh Dasa Mukti lenyap seketi-
ka. Terperangah seketika semua yang berada ditempat
itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik
menyeramkan.
"Hihihihihi... hik hik hik... Kalian orang-orang
gagah! Silahkanlah datang menyeberang ke Istana Kera-
jaan Pugar Alam di tengah TELAGA BERKABUT! Aku
menanti kalian... Hihihi... hik hik..." Tampaklah di atas

kepala mereka sejarak dua puluh tombak seekor mak-
hluk menyerupai Kelelawar yang bertanduk, terbang
melayang berputar-putar. Di atas punggung makhluk
yang besarnya tiga kali tubuh manusia itu duduk seo-
rang wanita cantik berpakaian Kerajaan. Sementara pa-
da sepasang kaki binatang Kelelawar raksasa itu ter-
cengkeram tubuh Dasa Mukti.
Setelah perdengarkan suara tertawa mengikik
lagi, tubuh makhluk kelelawar raksasa itupun melesat
ke angkasa... dan lenyap di kegelapan awan hitam. Se-
jenak mereka terpukau... Roro Centil masih menatap ke
arah makhluk itu melenyap. Ketika menoleh pada Ki
Kutut Praja Setha, tampak orang tua itu tundukkan ke-
palanya dengan menghela nafas. Dan ucapannya datar,
namun penuh semangat.
"Heh...! Kita kaum Pendekar memang saat ini
menghadapi banyak tantangan! Si Dewi Setan Ke-
mangmang jelas sudah sesumbar. Tentunya dia sudah
siap menghadapi segala kemungkinan! Dan sudah tu-
gas kita menumpas manusia iblis itu, demi terciptanya
kedamaian di bumi ini... !"
Roro Centil dan Wibisana sama manggut-
manggut mendengar sabda kakek sakti puncak Arga-
somala itu. Selang sesaat...
"Ah, aku lupa memperkenalkan padamu, guru...!
Inilah sahabatku dari Pendekar golongan putih. Dia
bernama RORO CENTIL." Berkata Wibisana yang sudah
melompat turun dari kudanya. Dan si kuda hitam pun
sudah melenyapkan diri. Kutut Praja Setha naikkan alis
putihnya menatap pada Roro. Lengannya sudah berge-
rak mengelus jenggotnya.
"Oh...!? Aku baru teringat akan nama itu, apa-
kah nona yang terkenal dengan julukan si pendekar
Wanita Pantai Selatan...?"  Bertanya si kakek puncak
Argasomala.

"Hihi... begitulah orang menggelariku, kakek Ku-
tut Praja Setha! Dan aku yang muda ini sungguh amat
beruntung dapat berkenalan dengan kau orang tua sak-
ti!" Berkata Roro seraya menjura padanya. Roro me-
mang selalu menaruh hormat pada orang-orang terten-
tu yang dikaguminya. Terutama pada para tokoh Rimba
Persilatan Golongan Putih.
"Hahahaha... sudahlah! Tak perlu banyak pera-
datan! Aku yang tua  ini sudah jarang berkelana! Tak
tahu lagi kalau pada zaman ini sudah muncul seorang
Pendekar Wanita, yang sepak terjangnya banyak ku-
dengar sejak aku turun gunung lagi!" Berkata Kutut
Praja Setha. Lalu melirik pada muridnya.
"Hm, Wibisana! Kau masih kurang cukup penga-
laman...! Banyak- banyaklah belajar pada nona Pende-
kar Roro Centil ini...!" Ujarnya dengan suara tandas.
"Baik, guru...! Aku memang merasa kurang dalam hal
pengalaman!" Sahut Wibisana.
"Ah, ah... ah...! Kalian membuat aku jadi malu
hati!" Tukas Roro dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa malu? Kenyataan mana bi-
sa dibantah. Bahkan aku yang tua ini merasa sepak ter-
jangku di waktu muda tidaklah membuat aku malu!"
"Nah! Hari sudah menjelang malam! Apakah rencana
nona Roro selanjutnya?"
"Aku akan mengantarkan dulu wanita yang be-
rada di dalam gubuk, ke tempat tinggalnya!" Berkata
Roro, yang segera teringat akan wanita korban si Kala
Butho itu.
"Hm, baiklah! Kukira sebaiknya kalian antarkan
berdua! Sekalian cari tempat bermalam.
Selanjutnya cepat-cepatlah kalian ke lembah
SOKA, bergabung dengan para Pendekar lainnya...!"
Ujar Ki Kutut Praja Setha. Kedua remaja ini mengang-
guk.

"Nah! Baik-baiklah menjaga diri." Selesai berka-
ta, Kutut Praja Setha berkelebat pergi Sekejap kemu-
dian sudah tak nampak lagi dalam keremangan malam.
Esok harinya...
Mentari baru saja beranjak dari peraduan, dan
sembulkan diri dari balik bukit. Akan tetapi sepagi itu
dua sosok tubuh sudah berkelebatan tinggalkan sebuah
gedung sederhana di satu kota kecil di wilayah itu.
Mereka tak lain Roro dan Wibisana si Penung-
gang Kuda Setan. Selesai mengantar wanita malang itu,
mereka menginap di sebuah penginapan kecil yang cu-
kup baik dan bersih. Dan menjelang pagi sudah be-
rangkat untuk teruskan perjalan ke lembah SOKA.
"Haii...! Tunggu..!" Satu suara telah memanggil
dibelakang mereka. Keduanya segera hentikan langkah.
Dan sesosok tubuh sudah melompat kehadapan mere-
ka. Ternyata seorang laki-laki bercambang bauk lebat.
"Aii...! Joko Sangit! Kau dari mana...?"
"Hahaha... aku menginap di Penginapan itu ju-
ga! Apakah kau tak melihatku?"
"Huh! Kalau aku tahu masakan aku tak mene-
gur mu...!" Tukas Roro.
"Hahahaha .... bukankah kau ada menanyakan
tempat penginapan pada seseorang?" Tanya Joko San-
git. Roro turunkan alisnya mengerenyit.
"Benar! Pada seorang tua bungkuk yang mon-
dar-mandir di jalanan!" Jawab Roro.
"Hehehehe... itulah aku...!" tukas Joko Sangit.
"Ha...?" Sepasang mata Roro membeliak.
"Hm, aku tahu! Kau sengaja menguntitku bu-
kan? Hihihi... kau tak perlu curiga! Roro Centil bukan
sebangsa Kuntilanak pencari mangsa!" Ujar Roro den-
gan tersenyum genit, dan cibirkan bibirnya.
"Siapa dia...?" Tanya Joko Sangit, seraya mene-
guk arak yang sedari tadi dicekalnya dalam sebuah gu-

ci. Tahulah Roro kalau diam-diam Joko Sangit men-
cemburuinya.
"Hm, kenalkan sahabatku yang baru turun gu-
nung ini. Namanya Wibisana alias si Penunggang Kuda
Setan! Dia murid Ki Kutut Praja Setha...!" Ujar Roro.
"Ah...!? Selamat jumpa sobat Wibisana!" Seru
Joko Sangit seraya mengajaknya berjabat tangan. Ke-
duanya sama-sama menjura.
"Hihihi... kita tak perlu khawatir menghadapi
manusia-manusia setan Istana Kerajaan PUGAR ALAM!
Kita telah ke tambahan seorang pendekar lagi yang
akan turut membantu perjuangan kaum Pendekar, me-
numpas manusia-manusia setan di tengah Telaga Ber-
kabut....!" Ucap Roro dengan sepasang mata bersinar.
Joko Sangit manggut-manggut sambil terse-
nyum, lalu tenggak lagi araknya sampai ludas. Semen-
tara jantungnya diam-diam sudah berdetak kencang.
Heh! Apakah ilmunya jauh berada di atasku? Sentak
hati Joko Sangit. Tak dapat disangkal lagi kalau diam-
diam Joko Sangit merasa takut tersaing oleh si pemuda
bernama Wibisana itu di hadapan Roro Centil. Dan sete-
lah bersahabat sekian lama, laki-laki ini mulai ada hati
pada Pendekar Wanita Pantai Selatan. Karena nyata nya
sampai saat ini Roro Centil masih dalam keadaan sendi-
ri tanpa pasangan.
Namun walau demikian Joko Sangit amat
menghormati Roro, karena adanya tali persaudaraan di-
antara guru mereka. Sesaat kemudian tiga sosok tubuh
sudah berkelebatan cepat di atas perbukitan hijau. En-
tah kelak apakah mereka masih bisa bercengkerama la-
gi. Karena tak lama lagi mereka bakal menghadapi satu
perjuangan besar dengan taruhan nyawa....

TAMAT


SEGERA MENYUSUL........!
"MISTERI TELAGA BERKABUT"