Roro Centil 16 - Tiga Siluman Bukit Hantu(2)







Ya, ternoda oleh si manusia pendek bernama
Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat benar akan kejadian-
nya. Seketika lemahlah sekujur tubuhnya. Air matanya
yang mengalir di pipi terasa panas. Tiba- tiba dia telah
angkat wajahnya, seraya menatap pada  si pemuda
yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafan  ku, kakak...! Dapatkah
kau ceritakan mengapa aku bisa sampai berada di si-
ni?" Bertanya Pipit Lurik menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya menyahuti den-
gan kata-kata lemah lembut.
"Tenangkan hatimu, nona..! beristirahatlah,
aku akan memanggil pelayan untuk membawakan pa-
kaian buatmu...! Biarlah nanti setelah kau selesai ber-
santap, aku akan menceritakan kejadiannya pada no-
na... ng... anda bernama Pi... Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya tundukkan wa-
jahnya. Tatapan mata pemuda anak si Bangsawan Tua
Raden Mas Anjasmoro itu seperti menembus ke jan-
tungnya, membuat hatinya jadi berdebar. Diakah yang
telah menolongku...? Ataukah ayahnya..?r
Ah, seandainya dia atau ayahnya yang telah
melakukan pertolongan padaku, sama saja! Tapi
alangkah menyesalnya aku menolak keinginan ayah
menjodohkan aku padanya. Dan kini... kini semua ha-
rapan ayah telah musnah! Bahkan aku tak tahu ba-
gaimana nasib ayah kini! Ya, aku tak tahu lagi! Namun
aku pasti akan segera tahu, kalau ayah Pitra Sena su-
dah menuturkannya padaku...! Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah keluar dari kamar
untuk memanggil pelayan. Ternyata beberapa pelayan
wanita telah berada di balik pintu sejak tadi, karena
telah mendengar suara teriakan-teriakan dan tangis
Pipit Lurik di dalam kamar. Segera saja Pitra Sena me-
nyuruhnya menyediakan pakaian untuk sang gadis
 itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke arah ruangan
depan, dimana sang ayah masih duduk sambil meng-
hisap cangklongnya.
Laki-laki Bangsawan ini sudah sejak tadi men-
dengar suara teriakan dan tangisan gadis itu. Akan te-
tapi dilihatnya Pitra Sena telah berlari melihat, hingga
dia tak berniat bangun melihatnya. Adapun Raden Mas
Anjasmoro ini tengah bercakap-cakap dengan anak la-
ki-lakinya itu, yang terputus oleh teriakan Pipit Lurik
tadi.
Tak lama Pitra Sena sudah muncul di ruangan
depan. Laki-laki gemuk ini menoleh, seraya menatap
pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis itu, Pitra Sena! Apa-
kah sudah dapat kau bujuk dan jelaskan kejadian-
nya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi aku belum ceritakan
apa-apa padanya! Kuharap kau mengerti, ayah...." Pi-
tra Sena mendekati ayahnya, dan bisikkan sesuatu
padanya. Selang sesaat, terdengar suara tertawa pela-
han Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya? Hm, gadis itu te-
lah ternoda! Terserah kau! Asalkan kau tak mengawi-
ninya! Kau tahu! Punya istri itu banyak resikonya, dan
kau masih terlalu muda!" Ujar sang Bangsawan tua
itu.
"Ayah...! Akulah yang telah menodainya! Dan
aku yakin bahwa akulah yang pertama...!" Berkata Pi-
tra Sena dengan tersenyum pada sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan alisnya dengan
mata melotot menatap sang anak.
"Jadi kau yang menculiknya...?" Tanyanya den-
gan heran.
"Benar ayah! Gadis itu tengah diperkosa...!

akan tetapi aku telah lihat sendiri bahwa si pendek Se-
to Bungkrik itu belum berhasil melakukannya!
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan jurus "Angin Puyuh
Menghalau Naga", tapi tidak terlalu keras! Cukup me-
nerbangkan jubah si jangkung Wong Duwur itu!" Lalu
Pitra Sena ceritakan sedikit akan perbuatannya, hing-
ga berhasil menggondol Pipit Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau, jangan sembaran-
gan membuka rahasia kalau kau ada mempunyai ilmu!
Aku memang pernah mengajak si tua Jaran Perkoso
itu untuk berbesan! Akan tetapi dengan maksud ter-
tentu...."
"Apakah itu, ayah?" Tanya Pitra Sena ingin ta-
hu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...! Kini bagaimana
mengenai  keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah
masih bisa diselamatkan nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku kembali lagi ke bukit itu,
dia sudah hampir mati! Luka-lukanya amat parah! Su-
dan pasti dihajar oleh si pendek Seto Bungkrik itu,
yang amat mendendam padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu
teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil peduli, akan tetapi
kudengar dia memanggil namaku. Segera ku hampiri.
Ternyata dia ada berkata-kata:
"Anak Mas... kau carilah.. a.. anakku Pipit Lu-
rik! Ah, seandainya kau berjodoh... dengan.. anak ga-
disku, alangkah bahagianya aku...".
Berkata si pemuda tirukan suara Jaran Perko-
so.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" Tanya Raden
Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang aku tak mengerti
pada sobekan pakaiannya dengan darah, lalu berikan

pada ku.! Tampaknya dia mau katakan sesuatu lagi,
tapi dia sudah keburu pingsan! Karena bukit itu jauh
dari desa, dan aku tak mau pakaian ku kotor kena da-
rah. Terpaksa dia ku tinggalkan saja di bukit itu, entah
mati ataukah masih bernyawa, aku tak mengetahui..!"
Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro, segera terden-
gar suaranya mendesis.
"Apakah, kain  bertuliskan darah itu masih be-
rada padamu?" Pitra Sena mengangguk. "Cepat beri-
kan padaku, aku ingin lihat!". Berkata si Bangsawan
Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan sobekan kain
yang diselipkan di saku celananya, yang telah dibung-
kus sobekan kain lagi. Bahkan Pitra Sena sendiri
hampir lupa kalau masih mengantongi sobekan kain
pemberian Jaran Perkoso.
Laki-laki Bangsawan tua itu memperhatikan tu-
lisan yang tak berbentuk huruf, seperti tak mempunyai
arti sama sekali. Bahkan beberapa kali dia memutar-
mutarkan dan membolak-baliknya, akan tetapi tetap
tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran Perkoso itu menyu-
ruhmu memberikan kain bertuliskan darah ini untuk
anak gadisnya..." Ujarnya perlahan. "Biarlah aku yang
menyimpannyal" Sambungnya lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit Hantu ter-
nyata membawa bencana besar atas keadaan di sekitar
wilayah kota Ungaran. Karena siang itu keadaan di da-
lam markas Benteng Macan Gunung tengah terjadi ke-
kacauan..... suara benturan senjata dan bentakan-
bentakan keras, serta teriakan-teriakan ngeri terden-
gar saling susul. Bercampur dengan suara ringkik ku-
da yang ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi?.
Kiranya setelah habis dijamu oleh Raden Mas
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit Hantu mendatangi
ke markas itu untuk melakukan pembunuhan. Teru-
tama adalah men cari dua dari Tiga Macan Gunung
Muria.
Tentu saja kedatangannya disambut oleh para
anak buah penghuni markas, hingga terjadi pertarun-
gan seru. Namun para anak buah bagaikan lalat yang
dimakan api. Beberapa betas sosok tubuh sudah ber-
kaparan mandi darah dalam keadaan tak bernyawa.
Saat itu Gantar Sewu belum, kembali dari mengawal
barang. Cuma ada Jaka Keling yang menjaga markas.
Laki-laki ini memang sedang resah, karena seperti janji
Jaran Perkoso yang akan kembali pada Sore kemarin,
ternyata tak kelihatan datang. Bahkan sampai menje-
lang slang lagi. Dia baru mengutus beberapa orang
anak buahnya untuk melihat atau menyelidiki ke be-
berapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak buahnya kembali,
telah datang tiga manusia yang menebar maut di mar-
kas Benteng Macan Gunung.
Di sudut pertarungan tampak pemuda berusia
tiga puluh tahun itu tengah bertarung dengan si pen-
dek bertongkat kepala telapak tangan besi yang me-
layaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu pedang Tiga Macan Gu-
nung ternyata cuma begini saja! Hayo, keluarkan ju-
rus-jurus maut mu yang terkenal itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa kesalahan pihak
kami? Mengapa tiba- tiba kalian lakukan pembantaian
di markas kami!" Bentak Jaka Keling, seraya lakukan
serangkaian serangan. Pedangnya berkelebatan bagai-
kan puluhan  pedang yang berkelebatan mengurung
tubuh sang lawan.
"Hehehe ... tak perlu tanya-tanya segala kesa-
lahan! Pokoknya Tiga Macan Gunung Muria harus ku-

tumpas semua sampai lenyap! Setelah Jaran Perkoso,
kini giliran saudara-saudara seperguruannya!" Ujar si
pendek Seto Bungkrik seraya mengelakkan beberapa
serangan bahkan balas merangsak dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah menghinda-
ri, walau tak urung ujung telapak tangan besi itu me-
robek pakaiannya yang menyerempet bahu, dan meng-
gores kulitnya. Jaka Keling melompat mundur tiga
tombak. Wajahnya meringis, merasakan pedih dari lu-
kanya. namun hai itu tak membuatnya terkejut. Me-
lainkan kata-kata tentang kakak seperguruannya Ja-
ran Perkoso itulah yang membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah membunuh kakang Jaran
Perkoso?". Teriaknya tertahan. "Hahaha... tidak salah!
kakak seperguruanmu itu sudah mampus! dan anak
gadisnya telah berada dalam tawananku...!".
Terkejut bukan alang kepalang Jaka Keling,
Seketika dia sudah membentak keras, dan menerjang
dengan sambaran-sambaran pedangnya yang mengge-
bu.
"Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu..!".
Dan mengamuklah Jaka Keling bagaikan singa terluka.

***

5

Sementara Kemang Suri dan Wong Duwur den-
gan enak saja melakukan pembantaian secara keji.
Kepandaian kedua manusia itu bukanlah tandingan
para anak buah si Tiga Macan Gunung Muria. Teria-
kan-teriakan maut terdengar dimana-mana. Singo
Bronto salah seorang tangan kanan Tiga Macan Gu-
nung Muria itu tampak telah terluka parah. Sebelah

lengannya dihantam remuk oleh tongkat kepala Teng-
korak Wong Duwur. Akan tetapi tanpa menghiraukan
rasa sakit yang luar biasa itu, dia sesudah menerjang
lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat juga! Apakah kau sa-
lah satu dari si Tiga Macan Gunung Muria?". Berkata
dingin si jangkung Wong Duwur. Akan tetapi Singo
Bronto tak menjawab. Bahkan mencecar dengan se-
rangan-serangan tajam dengan sebelah lengan.  Ter-
nyata  cukup membuat Wong Duwur harus waspada.
Salah-salah lengannya bisa kena terbabat putus oleh
pedang lawan yang mengamuk hebat ini. Tiba-tiba la-
ki-laki jangkung ini perdengarkan suara geraman
menggertak. Tongkatnya berputar cepat dengan puta-
ran menyilang, membuat Singo Bronto terperangah Ka-
rena dia sudah tak dapat membedakan lagi kemana
arah sambaran tongkat lawan. Ketika tahu-tahu benda
keras telah menghantam kepalanya.
Laki-laki ini perdengarkan jeritannya. Lalu ro-
boh terguling meregang nyawa. Sekejap kemudian te-
was dengan kepala rengat mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang bersuara nyaring.
"Iblis-iblis keji! Hentikan perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat berpengaruh. Mem-
buat ketiga tokoh hitam itu segera melompat mundur.
Jaka Keling pun dapat bernapas lega, karena segera
terlepas dari kepungan ketat tongkat si pendek Seto
Bungkrik.
Sementara beberapa pasang mata segera tertu-
ju pada berkelebatnya sesosok tubuh yang telah bera-
da di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang bersuara nyaring
ini?. Tak lain adalah si Pendekar Wanita Pantai. Sela-
tan RORO CENTIL.

Seorang dara cantik luar biasa dengan rambut
lebat terurai ke punggung, berbaju sutera warna me-
rah muda tengah berdiri menatap ketiga manusia di-
hadapannya,  Di kedua  lengannya mencekal sepasang
senjata RANTAI GENIT, yang bentuk bandulannya mi-
rip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar Tiga Siluman
Bukit Hantu itu. Jelas suara bentakan barusan amat
berpengaruh. Karena seperti bergetar menembus ke
masing-masing jantung, menimbulkan hawa aneh
yang membuat menciutnya nyali orang.
Melihat yang muncul adalah seorang dara can-
tik, serta bersenjatakan benda aneh demikian si pen-
dek Seto Bungkrik jadi tersenyum lucu. Akan tetapi
bentakan itu memang telah membuat jantungnya sera-
sa copot. Siapakah gerangan adanya gadis aneh ini?
Pikir si pendek dalam benaknya. Sementara Kemang
Suri sudah mendengus dihidung melihat dara itu. Dia
sudah melompat ke hadapan Roro Centil dan berkata
dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya kuntilanak centil
ini?. Hihihi.. rupanya masih doyan menyusu, hingga
kemana-mana membawa tetek ibunya...?
Seraya berkata Kemang Suri palingkan kepa-
lanya pada dua kawannya di belakang. Wong Duwur
dan Sato Bungkrik lantas saja menimpali dengan ter-
tawa gelak-gelak. Adapun Roro Centil cuma perli-
hatkan senyumannya, dan tertawa jumawa seraya
berkata seenaknya.!
"Hu, tidak salah ucapan mu itu Ratu Kuntila-
nak! Aku memang masih doyan menyusu...!" Seraya
berkata Roro Angkat sebuah Rantai Genitnya. Bandu-
lan aneh berbentuk buah dada itu diangkatnya tinggi-
tinggi. Lalu tengadahkan kepalanya seraya monyong-
kan mulut untuk mengecup putik "buah dada". Den-

gan ujung lidah dia telah memutar putik diujung
payudara senjatanya itu. yang  segera mengucur air.
Selanjutnya dengan lahap Roro sudah menenggaknya
beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang laki-laki ga-
gah, tak nantinya dia akan marah dirinya disebut Ratu
Kuntilanak.
Akan tetapi yang menyebutnya adalah seorang
gadis bertampang lugu seperti remaja baru kemarin
sore, tentu saja membuat darahnya seketika naik ke
kepala. Apalagi dengan sikap memandang rendah, Ro-
ro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan namamu, sebelum
aku mengirim mu ke Akhirat! Tidak tahukah kau bah-
wa tengah berhadapan dengan TIGA SILUMAN BUKIT
SETAN...?". Bentak Kemang Suri. Di saat menyebut ju-
lukan mereka, sengaja Kemang Suri memberi tekanan
keras agar membuat sang dara itu terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah meneguk arak
dari sebuah "payudara" senjatanya itu sekonyong-
konyong terbatuk-batuk. Karena tiba-tiba saja dia te-
lah tertawa geli. Akibat batuknya itu, sisa-sisa arak da-
lam mulut telah tersembur ke depan. Menyemprot ke
muka dan pakaian Kemang Suri yang berada dihada-
pannya sejarak lima langkah. Tentu saja Kemang Suri
tak mau mukanya kena cepretan air arak. Segera ia
melangkah cepat ke belakang, akan tetapi tak urung
bajunya terkena juga semburan air arak dari mulut
Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau menyebutku se.. Setan Cen-
til?. Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya biarlah kuberikan
buatmu! Kalau Centilnya tepat sekali untukku! Karena
namaku memang Roro Centil!". Berkata si Pendekar
Wanita ini dengan masih terbatuk batuk, dan tertawa
mengikik geli.

"Bocah edan...! Mulutmu memang harus kure-
mukkan...!"  Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau
menerjang. Akan tetapi Wong Duwur sudah melompat
untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!" Melengak Kemang Suri.
Namun segera laki- laki ini membungkuk bisikkan se-
suatu di telinga Kemang Suri. Terkejut wanita ini keti-
ka melirik ke arah pakaiannya ternyata sudah bolong
bolong terkena semburan arak tadi. Yakinlah kini ka-
lau gadis yang diremehkannya ternyata berkepandaian
tinggi. Segera dia beri isyarat untuk mengurung si dara
aneh.
"He, apakah kesalahannya orang-orang markas
ini, hingga sampai kalian si Tiga Siluman Tengik telah
mengamuk membantai orang semaunya?" Tanya Roro,
yang seperti tak acuh meneruskan menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi jawaban, me-
lainkan saling kedipkan mata memberi isyarat. Dan
dengan berbareng  telah berlompatan menerjang ke
arah Roro.
Jaka Keling yang melihat kejadian itu jadi men-
celos hatinya. Celaka! wanita itu dalam bahaya...! Sen-
tak hati Jaka Keling. akan tetapi sungguh di luar du-
gaan, tahu-tahu ketiga Siluman Bukit Setan itu per-
dengarkan seruan tertahan, dan bergulingan menghin-
darkan diri. Karena tiba-tiba saja bersemburan air
arak yang menyemprot ketiga penjuru. Beruntung me-
reka dapat lolos dari air semburan arak, namun tak
urung kepala gundul si pendek Seto Bungkrik terkena
juga cipratan air semburan arak itu. Seketika melepuh
bagaikan terkena letikan api. Laki-laki pendek ini me-
nyeringai gusar seraya usap-usap kepala gundulnya.
Akan tetapi tiba-tiba....
HUUK..! Kembali dia harus berguling menelak-
kan diri ketika merasai sambaran angin ke arah kepa-

lanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati dengan kepala gundul
mu, pendek jelek Kalau hilang tak ada gantinya..!" Ter-
dengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan senjataku." Teriak Ke-
mang Suri seraya melepaskan paku-paku berbisanya.
Serangkum senjata rahasia meluruk ke arah Roro. Ga-
dis ini gerakkan lengannya mengibas. Dan segelom-
bang angin santar segera membuat paku-paku berbisa
itu berbalik meluruk ke arah si penyerang.
"Gila...!?" Memaki Kemang Suri seraya melom-
pat tinggi tiga tombak. Senjata rahasianya berdesis
meluruk lewat di bawah kakinya. Akan tetapi terkejut
wanita ini ketika injakkan kaki ke tanah, belasan paku
berbisa itu balik kembali menyerang ke arahnya.
Edan!? memaki dia dalam hati. Untung dengan cepat
Kemang Suri putarkan seruling hitamnya, hingga bela-
san paku maut itu buyar ke beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis baplang itu jadi
terkejut melihat ilmu aneh yang dipergunakan Roro.
Namun sebagai tokoh yang sudah banyak pengalaman
di dunia Rimba hijau, dia sudah keluarkan bentakan
seraya menerjang dengan tongkat kepala tengkorak-
nya. "Sebutkan siapa gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya mengelak dengan
pergunakan jurus langkah Bidadari Mabuk Kepayang.
"Hihihi... tanyakan pada gurumu diliang kubur, pasti
akan tahu siapa guruku...!" Dan sekonyong-konyong...
DWES...! Roro sudah hantamkan sebelah tela-
pak kakinya menendang ke dada lawan. Hal mana di-
lakukan dengan tiba-tiba, yang si jangkung tak me-
nyangka sama sekali. Untuk mengelak sudah terlam-
bat. Karena dia tengah perhatikan gerakan cara men-
gelak si dara itu, yang aneh seperti orang terhuyung
mabuk, namun telah berhasil meloloskan serangan-

nya. Terpaksa dia gunakan kekuatan tenaga dalam
menahan dada. Akan tetapi si jangkung mengeluh, dan
terhuyung tiga langkah. Seandainya dia tak bertenaga
dalam tinggi, tentu sudah terlempar sejauh lima tom-
bak. Diam-diam Roro terkejut juga mengetahui kehe-
batan kekuatan lawan. Dia memang sengaja perguna-
kan sepertiga tenaga dalam untuk sementara si pendek
sudah menggerung keras menerjang dengan tongkat-
nya, menerjang Roro Centil. Telapak tangan besi itu
berdentingan terkena tangkisan senjata Roro yang ba-
gaikan karet. Bila beradu hantaman langsung mental
balik menyerang lagi ke arah lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek Seto Bungkrik
jadi kewalahan menyerang seorang diri. Untunglah da-
tang Wong Duwur yang bantu menerjang Roro. Hingga
segera terjadi pertarungan sengit. Belasan juruspun
berlalu sudah Agaknya Roro cukup merasa sulit men-
jatuhkan lawan karena mereka bekerja sama dalam
menyerang dan menyelamatkan kawan Apa lagi tiba-
tiba terdengar  suara tiupan seruling yang membersit
tinggi menggetarkan anak telinga.
Roro seperti terkejut, dan berpaling ke arah si
peniupnya. Nada seruling yang tinggi rendah itu
mungkin akan memberi orang lain akan terkena pen-
garuh, akan tetapi bagi Roro tidaklah mempunyai arti
yang berarti, karena dia sudah salurkan tenaga batin-
nya untuk menutupi pendengaran. Sementara kedua
penyerangnya tiba-tiba melompat mundur.
Roro amat heran, tapi segera manggut-manggut
mengerti. Rupanya mereka mempersiapkan diri untuk
menutupi telinganya. Adapun Roro Centil segera kelua-
rkan akalnya. Tiba-tiba tampak tubuhnya seperti ter-
huyung keras mau jatuh. Wajahnya berubah meme-
rah. Dan terhuyung-huyung dia seperti berusaha me-
nahan kekuatan tenaga dalam yang merusak dan me-

nyerang ke otak.
Dan pada saat berikutnya dua sosok tubuh
jangkung dan pendek itu telah menerjang lagi dengan
berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak mereka hampir serem-
pak. Akan tetapi di detik itu terdengar suara pekik ke-
sakitan. Dua tubuh penyerang itu terlempar tiga tom-
bak terguling-guling. Kalau si botak pendek Seto
Bungkrik adalah menjerit karena sepotong lengannya
hancur. Akan tetapi si jangkung ini adalah sebelah ka-
kinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu membuat
Kemang Suri terperanjat. Dan sekejap saja tiupan se-
rulingnya terhenti.
Saat dia tengah terperangah itulah, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan  merah ke arahnya.
WHUSSS...!
PLAK..! Dia telah hantamkan telapak tangan-
nya, akan tetapi dia sendiri yang terlempar ke bela-
kang. Dan di  saat sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah, tahu-tahu PLAS...! Seruling ditangannya telah le-
nyap disambar bayangan merah itu.
BUK! tubuhnya terbanting ke tanah. Saat ma-
nalah tiba-tiba Jaka Keling yang sejak tadi jadi penon-
ton, dengan menutupi kedua telinganya, tiba-tiba me-
nampak kesempatan di depan mata. Segera disambar-
nya pedang yang  ditancapkan tadi di tanah. Dan...
JROOSS...!
Pedangnya telah di  hujamkan tepat pada jan-
tung si wanita bernama Kemang Suri itu. Terbeliak se-
pasang mata Kemang Suri. Akan tetapi Jaka Keling
sudah menyentakkan pedangnya. Darah segar segera
menyemburat keluar memancar deras. Kemang Suri
berkelojotan meregang nyawanya, Namun tak tame
sudah tak berkutik lagi. mati, dengan mata melotot.

"Hihihi...bagus! Sobat muda!" Teriak Roro Centil
yang sudah berdiri di depan anak muda itu. Pada len-
gan Roro Centil tercekal seruling hitam Kemang Suri.
KRAAK...! Roro sudah hancurkan seruling itu.
Sementara si kedua manusia pendek dan jang-
kung itu mengetahui kematian Kemang Suri segera
sambar tongkat ,asing-masing dan melesat kabur me-
larikan diri,
"Terima... kasih atas bantuan anda... nona
pendekar....!!" Berkata Jaka Keling seraya menjura.
Suaranya terdengar parau. Tampak wajahnya pucat
pias. Agaknya sudah sejak tadi dia menahan kekuatan
tubuhnya untuk bisa berdiri, karena luka pada ba-
hunya yang tergores ujung tongkat si pendek Seto
Bungkrik itu mengandung racun, yang mulai menjalar
ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau dia berkata, ta-
hu-tahu Jaka Keling sudah jatuh menggabruk di ta-
nah. Tak ayal Roro Centil segera memburunya. Ternya-
ta Roro bertindak cepat tanpa sungkan-sungkan. Sege-
ra ia periksa luka orang. Terkejut Roro mengetahui se-
lingkaran bekas luka sudah berwarna hitam.
"Racun ular sendok...? Desis Roro. Dan sekejap
dia sudah bungkukkan tubuh, dengan merundukkan
kepala. Ternyata mulutnya sudah digunakan untuk
menyedot darah pada bekas luka ini.
Tak berapa lama Roro sudah muntahkan lagi
cairan darah berwarna hitam dari mulutnya. Lalu sa-
lurkan tenaga dalam ke telapak tangan. Dan menem-
pelkannya ke punggung laki-laki itu. Segera terlihat
perlahan-lahan wajah laki-laki itu berubah seperti bi-
asa kembali. Bahkan lukanya yang menghitam telah
lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat bubuk dari da-
lam botol kecil dari kantong bajunya.

Tak lama tubuh laki-laki itu mulai bergerak
kembali. Dan terdengarlah keluhan, lalu bangkit du-
duk. Merasa keadaan tubuhnya telah kembali normal,
dan lihat gadis pendekar itu menatap dengan senyum
di hadapannya, tahulah dia kalau dirinya baru saja di-
tolong. Luka di bahunya sudah tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati lukaku? eh,.. te.. te-
rima kasih, nona Pendekar!" Ucapnya dengan suara
tergagap. Akan tetapi Roro menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku saja, aku Roro Cen-
til! Racun ular Sendok itu amat jahat! terlambat sedikit
lagi, anda tak mungkin tertolong...! Tutur Roro Centil.
Melengak pemuda ini. Segera dia manggut-manggut
seraya kembali ucapkan terima kasih. "Budi pertolon-
gan anda amat besar, nona... Roro...! Semoga Tuhan
membalas kebaikan hati anda!" Ujarnya lirih dan sua-
ranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah nama anda, sobat
muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling! adik seperguruan dari
ketua Markas Benteng Macan Gunung ini!"
Menyahuti Jaka Keling, seraya bangkit berdiri
menuruti Roro Centil. Gadis Pendekar Pantai Selatan
ini manggut-manggut.
"Baiklah, nanti kau bisa ceritakan padaku! mari
kita tolong dulu kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya
beranjak melompat. Sementara matanya sudah me-
mandang ke sekitar. Puluhan mayat bergelimpangan.
Suara mengerang dari yang terluka terdengar disana-
sini. Tapi lebih banyak yang tewas ketimbang yang lu-
ka.
"Aih, aku datang terlambat! Gara-gara mengu-
rusi orang usil di rumah makan tadi itu, hingga begini
besar korban yang berjatuhan!" Gerutu Roro perlahan.
Segera dengan sisa-sisa para anak buah yang masih

hidup dan dibantu Jaka Keling, Roro Centil lakukan
pertolongan dan merawat yang terluka. Keadaan di
markas itu begitu trenyuh, sampai-sampai Roro ham-
pir jatuhkan air mata.

***

6

Gantar Sewu kepal-kepalkan tinjunya dengan
wajah memerah padam. Disudut matanya tampak
mengalirkan air mata. Penguburan para jenazah sudah
selesai sejak kemarin. Dan biaya-biaya pengeluaran
untuk keluarga korban sudah dibagikan. Dan sejak
hari itu papan nama yang terpancang di pintu markas,
sudah dicopot. Jaka Keling duduk disudut ruangan
dengan wajah tertunduk. Pemuda ini terlalu lelah
mengurus penguburan mayat-mayat rekannya dan
mengantarkan pada masing-masing keluarganya. Dia
telah bekerja keras selama dua hari belakangan ini. Di-
tambah harus memikirkan nasib Pipit Lurik yang me-
nurut apa yang didengarnya dari si Tiga Siluman Bukit
Hantu, sang gadis telah ditawan mereka.
"Sungguh menyesal aku tak menemui pertem-
puran di  markas kita! sehingga yang ku  tahu adalah
segalanya sudah selesai! Berarti selesai jugalah usia
Benteng Macan Gunung!" Ujar Gantar Sewu dengan
suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran Perkoso! Beliau
memang pernah mengatakan padaku akan mengun-
durkan diri dari kepemimpinan di Markas Benteng Ma-
can Gunung ini, untuk menyepi ke puncak Muria! Tak
dinyana belum lagi terkabul rencana yang sudah lama
ditimbang-timbangnya itu, beliau sudah keburu di-

panggil oleh Yang Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu den-
gan suara terdengar bergetar menahan kesedihan. Ja-
ka Keling angkat kepalanya menatap sang kakak kan-
dungnya.
"Kakang Gantar Sewu! Kini apakah rencanamu
selanjutnya?" Tanya Jaka Keling setelah suasana lama
menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada pilihan mu bagaima-
na baiknya. Kukira sebaiknya kita berpisah! Silahkan
kau ambil jalan mu sendiri! Dan aku juga mengambil
langkah sendiri! Kau sudah cukup dewasa, Jaka Kel-
ing! Bahkan lebih dari dewasa! Aku tak dapat mengha-
langi niatmu menentukan jalan hidupmu, disamping
kita harus mencari dimana adanya Pipit Lurik, dan
membalaskan dendam kakak seperguruan kita yang
telah menanam jasa besar pada kita...!" Hening seje-
nak. Jaka Keling termenung tanpa berkata apa-apa.
Dan Gantar Sewu kembali teruskan bicaranya.
"Kau jangan khawatir, mengenai harta pening-
galan kakang Jaran Perkoso, akan segera kita bagi
dua! Tanah dan gedung markas ini akan kutawarkan
pada seorang hartawan tua kenalan kita, yang sering
memesan kereta untuk mengangkut dan mengawal ba-
rang! Satu dua hari ini mungkin aku akan berangkat
ke Gemolong, sekalian  pindah dengan anak istriku!
Terserah pada keinginanmu, apakah akan turut ber-
samaku atau mencari kehidupan sendiri...!". Gantar
Sewu lanjutkan ucapannya seraya tatap wajah adiknya
dalam-dalam. Seperti ingin mengetahui apa isi hati
yang terkandung di dalam dada sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara juga, setelah me-
renung lama.
"Ya, kalau kakang sudah mengatakan untuk ki-
ta mengambil jalan hidup sendiri-sendiri aku tak dapat
menolak! Mengenai urusan gedung markas ini aku tak

mau mencampuri! Cukup bagiku sedikit bekal untuk
perjalanan mencari Pipit Lurik! Dan seekor kuda yang
kuperlukan. Mengenai urusan balas dendam, hal itu
adalah urusan belakangan. Yang penting adalah me-
nemukan dahulu dimana adanya Pipit Lurik!" Ujar Ja-
ka Keling dengan suara datar. Tampak Gantar Sewu
kerutkan keningnya, seperti terheran mendengar jawa-
ban Jaka Keling. Setelah menghela napas Gantar Sewu
perlihatkan senyumnya, seraya berkata;
"Hm, baiklah! kalau cuma itu keinginanmu!
Aku memuji akan tekadmu untuk mencari Pipit Lurik!
Benar! Itu memang tanggung jawab kita! Kepergianku
ke Gemolong adalah cuma mengantarkan anak-istriku,
sekalian pindah dari wilayah Ungaran ini! Tapi bukan
berarti aku tak mengacuhkan anak gadis saudara se-
perguruan kita? akupun akan berusaha mencari, dan
tentu saja membalaskan dendam pati ini! Kukira wa-
laupun mereka telah terluka oleh pendekar wanita itu,
mereka berdua masih bisa membahayakan. Bukan
mustahil mereka akan mengacau lagi kemari! itulah
sebabnya aku akan menjual tanah dan
gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut dihadapan
kakaknya. Namun tak lama dia sudah keluar gedung
untuk menuju ke baraknya. Jaka Keling memang sela-
lu tidur dibarak. Gantar Sewu cuma menatap pung-
gung sang adik. Yang sudah melangkah lebar keluar
gedung.

-oOOOo-

"Kau akan berangkat sekarang, Jaka...!" Tanya
Gantar Sewu. Laki-laki ini mengangguk. Dia sudah
siapkan seekor kuda dari kandang di belakang barak-
nya. Kuda yang memang miliknya. Pemberian dari Ja-

ran Perkoso yang telah dibelikan kakak seperguruan-
nya itu dengan harga mahal.
Barusan kepergiannya ke  barak adalah untuk
berkemas. Gantar Sewu menatapnya dengan pandan-
gan  sedih. "baiklah, adikku...! Semoga Tuhan selalu
melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke dalam ruangan
kamar. Tak lama sudah keluar dengan membawa se-
buah buntelan kecil yang perdengarkan suara geme-
rincing. Agaknya Gantar Sewu sudah mempersiapkan-
nya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal dalam perjalananmu
semoga kau dapat menghemat sisa uang ini...!" Ujar
Gantar Sewu seraya berikan buntalan itu pada Jaka
keling.
"Baik, kakang! Titipkan salamku pada kakang
mbok, dan anakmu...!"
Tentu, Jaka...! Kalau kau temui kesulitan, cari-
lah aku di Gemolong! berhasil atau tidak pencarian ku
menyelidiki dimana adanya Pipit Lurik, aku memang
akan menetap disana...! Nah, selamat berjuang! Aku
yakin pendekar Wanita itu bisa dijadikan Dewi Peno-
long dalam upaya menumpas kedua iblis dari Tiga si-
luman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut, talu se-
lipkan sekantung uang itu ke balik pakaian. Lalu be-
ranjak mendekati kudanya. melompat ke  atas pung-
gung si hitam. Dan... tanpa menoleh lagi segera keprak
kudanya yang membedal cepat  meninggalkan hala-
man markas dengan perdengarkan suara ringkikkan-
nya.
Gantar Sewu menatap kepergian sang adik
dengan tersenyum. Dan terdengar suara helaan nafas-
nya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah aneh. Se-
nyumnya mendadak sirna. Dia sudah balikkan tubuh-

nya untuk beranjak  cepat kembali ke  kamar. Kamar
itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana kakang Jaran Per-
koso  menyembunyikan peta sisa harta warisan guru!
Aku yakin guru telah berikan seluruh hartanya pada
kakang Jaran Perkoso!" Desis suara Gantar Sewu. Dan
segera dia bekerja membongkar kembali, dan menga-
duk-aduk seluruh isi lemari. Juga mencari di tempat-
tempat lainnya. Sebuah pajangan berbentuk kepala
rusa, tempat menggantung pakaian dicopotnya. Lalu
diperiksa, kalau-kalau Jaran Perkoso menyembunyi-
kan peta di situ. Entah mengapa hatinya semakin ya-
kin kalau kakak seperguruannya menyimpan peta har-
ta sang guru.
Dan... hatinya seperti tersentak. Jantungnya
berdebar keras. Dia telah temukan secarik kertas kulit
tipis yang digulung kecil, pada sebuah lubang dibalik
pajangan kepala menjangan. Segera dengan cepat di-
bukanya. Tampak wajahnya berubah berseri menye-
ringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya kutemukan juga!
Hampir aku mencurigai si Jaka Keling!" Gumam Gan-
tar Sewu. Seraya teliti peta itu. Dugaannya tepat kalau
Jaran Perkoso ada menyimpan peta harta pusaka gu-
runya.
Urusan ini lebih penting, ketimbang mencari
Pipit Lurik dan membalaskan dendam pati kakang Ja-
ran Perkoso! Namun aku harus ke Limbangan dulu
menyelesaikan urusanku! Pikir Gantar Sewu dengan
menampakkan senyum puas....." 
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu den-
gan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana geran-
gan langkah sang adik bernama Jaka keling itu.

—oOOOo—

Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pe-
sat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah
berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abu-
abu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga.
Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan mar-
kas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuan-
nya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat,
dari kota Ungaran. Laki-laki ini tak membawa seba-
tang pedang, yang biasa diselipkan di belakang pung-
gungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah
tiba di satu kota lagi, setelah menyeberangi dua buah
sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo. Sepa-
sang matanya mulai mencari dimana adanya tempat
penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang
pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di ten-
gah kota agak menyudut di  sebelah selatan jalanan.
Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beran-
jak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya den-
gan menjura hormat.
Segera Jaka keling mencari kursi di  dalam
ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengi-
si perut dulu. Beberapa pasang mata tampak memper-
hatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar
suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggil-
nya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Wanita Roro Centil. Tergo-
poh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura,
lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang
begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya mena-
tap dengan tersenyum. Sementara seorang pelayan te-
lah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling meme-

san makanan.
"Aku menyangka takkan menjumpai anda dis-
ini, nona Roro! Bukankah anda ada mengatakan kalau
anda sementara ini  berada di desa PATEAN? Niatku
memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru mak-
sudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi per-
jalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!"
Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro mang-
gut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...!
Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu
lagi ketika aku kecil! Bahkan sudah banyak orang-
orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja
sudah mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mata-
ram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah
mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang
telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan ke-
retanya sering dipakai untuk mengangkut barang- ba-
rang, yang dalam kepindahannya dilakukan dengan
berangsur-angsur. Tentu saja dari para pembesar tidak
keseluruhannya pindah ke daerah baru itu.
Namun walau demikian dari pergantian wilayah
Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah
pula. Bahkan sudah dua kali di  wilayah lama terjadi
penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niat-
nya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, ka-
rena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa di-
lakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga men-
dengarkannya.
Bahkan sudah sejak tadi  lima orang yang du-
duk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, ser-
ing lirikan mata memandang ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?"

Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari pengi-
napan lain." Berkata Roro dengan suara yang terden-
gar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tan-
pa perdulikan mata para pengunjung restoran di  ru-
mah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-
gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum
Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling su-
dah berikan beberapa keping uang perak yang dikelua-
rkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling
seraya tersenyum pada sang pelayan. Manggut-
manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima
kasih, lalu beranjak pergi.

***

7

Pemandangan di  sekitar kota Singorojo cukup
indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu me-
magari deretan rumah penduduk desa disudut kota
Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orang-
orang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian,
serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata
semakin sepi dari rumah penduduk. Ternyata di  ba-
gian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang
terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rum-
put itu. Beberapa pohon berdaun rindang tumbuh dis-
ana.
Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro
Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah
banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah

tuturkan kejadian di  markas. Roro tampak manggut-
manggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka su-
dah dilanjutkan sambil duduk di  bawah pohon rin-
dang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat
ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka
Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Ka-
rena wajah cantik dan menawan hati dari Roro Centil
mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi
Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang
ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya
yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita. Bahkan
sampai seusia tiga puluhan tahun, Jaka Keling tak
pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita.
Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakap-
cakap dengan wanita... Bahkan seorang gadis cantik
ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang
berkepandaian tinggi. Sungguh suatu keberuntungan
pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara
perkasa itu.
"Aku akan membantumu mencari dimana
adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning
alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil me-
nyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun
justru menjadi semakin sulit mengetahui dimana
adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan
si tiga Siluman Bukit Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka
Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena
membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka
Keling. Roro kerutkan sedikit keningnya seraya berka-
ta.
"Aii... mengapa berkata begitu? Aku si Roro
Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam

kejahatan? Justru  aku kini sedang mencari seorang
penjahat terselubung yang telah mengacaukan kea-
daan di beberapa wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang telah dilakukan-
nya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh
kaum laki-laki! Apa lagi kalau bukan pemerkosaan
terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja
ada efek lainnya, yaitu pembunuhan...!" Tandas Roro
dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah
batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah
depan, seraya perdengarkan dengusan di hidung. Tak
disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas
rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan
Roro telah perlihatkan kepandaiannya menyambit yang
tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu
mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik se-
mak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari
balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara
memaki.
"Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit
ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah berlompatan ke-
luar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu!
Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka dis-
ini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang
suara desisan itu terdengar cukup jelas. Ternyata ke-
lima orang yang tadi duduk dalam restoran pengina-
pan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya me-
reka mengincar pada Roro, yang memang tak menam-
pakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja
berwarna putih dari kain blacu murahan. Senjata Ran-
tai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang  ter-

sangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang
terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat
mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Kel-
ing, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena
menghalang niatannya yang sudah direncanakan.
Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pe-
dang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal
kalau dia adalah salah seorang dari Tiga Macan gu-
nung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah ke-
palang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja
laki-laki itu! Sengaja dia mau bikin gara-gara! Aku ada
berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng Ma-
can Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibu-
barkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ke-
tiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di
belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua ka-
wannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit.
Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang
dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat
di sekitar kota Singorojo.
Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si
korban yang tangannya telah melembung benjol kena
sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin ta-
hu kehebatan yang bagaimanakah yang dimiliki si Ma-
can Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan
geram. Kelima orang itu adalah anggota dari komplo-
tan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang
telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu se-
pakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara ke-
dua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya te-

nang-tenang saja.
Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh
orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap
sudah mengurung di belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau me-
nyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si
Jaka Keling! Kau kira di  wilayah sini bisa jual lagak
seenaknya?! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa
bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mence-
lakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-
laki yang tangannya bengkak itu dengan suara meng-
geledek. Adapun ke empat kawannya diam-diam beru-
saha menahan senyum, karena si kawan mereka yang
satu ini telah berani membuat gelaran yang amat ke-
terlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai
gelaran  sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah
dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera pa-
lingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada ke-
lima orang di hadapannya, yang berdiri membuat se-
tengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat
mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah men-
getahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama
sekali.
"Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku
bukan salah seorang dari Macan Gunung Muria! Dan
namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku
telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu an-
da?! Harap kalian menyingkirlah, jangan mengganggu
pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan terse-
nyum.
"Setan usil! Kau sudah sambit lenganku sampai
bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu?
Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu kereta-
kan di markas mu! Tiga Macan Gunung Muria sudah

tak punya kewibawaan apa-apa!". Berkata laki-laki
bertubuh sama hitamnya dengan Jaka Keling. Berwa-
jah brewok dengan sepasang matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya pu-
tarkan tubuh.
"Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol
disini, masakan bisa mencelakai orang!? Jangan-
jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip
orang dengan bersembunyi di  semak-semak lebat?"
Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang me-
rah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Se-
dangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu
tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan
memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak
membawa hasil untuk menggertak orang.
Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa
bicara lagi, tiba- tiba kedua orang tadi sudah berkele-
bat ke tempat mereka. Kedua orang itu dengan cepat
menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona
Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah laki-
laki berusia sekitar tiga puluhan tahun. Roro menatap
mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera
mengangguk.
"Benar! Ada keperluan apakah kalian mena-
nyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir ka-
lau, dua laki-laki ini cuma cari-cari alasan saja. Men-
genai namanya diketahui orang itu, tentu mudah di-
terka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Pengina-
pan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya.
Keduanya adalah diketahui Roro berada tak be-
rapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut
memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati

banyu biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda,
untuk segera datang ke tempat yang telah diperuntuk-
kan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar la-
ki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti.
Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wa-
jahnya tampilkan senyuman.
"Baik! Aku akan segera datang kesana dalam
satu dua hari ini...! Ujar Roro Kedua laki-laki itu sege-
ra menjura, lalu salah seorang menggamit lengan ka-
wannya untuk segera putar tubuh beranjak mening-
galkan mereka dengan berkelebat pergi. Akan tetapi
dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak.
"Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di
salah satu penginapan di desa Boja...!
Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat
dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku
pakaiannya.
"Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata
Roro seraya palingkan wajah menatap Jaka Keling. la-
ki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda,
seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cu-
ma terpaku dengan mata melotot padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!"
Berkata si kulit hitam brewok. Roro Centil menoleh,
seraya pasang wajah lucu.
"Eh, mengapa? kau katakan bahwa kalian bu-
kan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?"
Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia
dari Adipati Banyu biru! Tapi kalau anda dengan suka-
rela mau menemui ketua kami, tanpa laki-laki itu, aku
si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan
bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli.

Tadi sesumbar mengatakan gelar yang hebat sebagai
Lima Naga Raksasa Dewa. Kini menggertak lagi untuk
menghadap ketuanya. Namun disamping geli, diam-
diam Roro berfikir lebih jauh. Siapa tahu penyelidi-
kannya tentang  seorang penjahat yang tengah di  in-
carnya Itu bisa di ketahui di  tempat sarang kelima
orang ini, yang tak diketahui siapa ketuanya.
Setelah tatap sejenak pada Jaka Keling, segera
Roro berkata.
"Hm, baik! aku tak menolak! Tapi dengan sya-
rat! Kalau bisa jatuhkan sobat kawanku bernama Jaka
Tingting ini tanpa pakai senjata, aku segera akan
menghadap Ketua kalian!" Ujar Roro. Melengak kelima
orang itu dengan saling pandang. Namun tak lama se-
gera kelimanya tertawa saling susul.
"Baik, aku bersedia!" Sahut laki-laki bernama
Kromo Yudho itu.
"Apakah kami maju satu persatu, ataukah se-
kalian...?" Tiba-tiba salah seorang menyelak bicara.
"Majulah kalian semuanya...!" Berkata Jaka
Keling dengan tersenyum jumawa. Tentu saja hal ter-
sebut membuat muka mereka jadi merah. Apalagi
mengetahui kalau laki-laki itu bukanlah salah satu da-
ri Tiga macan Gunung Muria. Roro memang pandai
mengubah nama orang, yang ternyata telah dipercaya
pula.
"Hm, baik! Sebenarnya kami amat main menge-
royok, tapi tak jadi apa! Karena ini adalah permintaan-
nya sendiri!" Ujar Kromo Yudho. Dan serentak mereka
sudah menanggalkan masing-masing senjatanya. Lalu
bergerak melompat mengurung Jaka Keling.
Jaka Keling telah siap berdiri dengan waspada.
Dan Kromo Yudho segera memberi isyarat memulai.
Maka dengan serempak kelima orang itu telah mener-
jang ke arah Jaka Keling dengan masing-masing jo-

toskan kepalannya.
Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya
hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi henta-
kan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul
menghantam ke arah lima penyerangnya. Terdengarlah
suara.. Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-
teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan
untuk  tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-
masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka
Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi
perutnya yang merasa mulas.
Roro bertepuk tangan melihat akhir dari perta-
rungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap
itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segera-
lah kalian merat dari sini!" berkata Roro seraya tatap
kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada pe-
rutnya, segera mereka kembali mengambil senjata
masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berke-
lebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo
Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya
itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau ha-
rus ikut menghadap ketua kami! Atau senjata-senjata
kami akan berbicara. Kromo Yudho mengharap dengan
menangkap Roro maka si  pemuda tak bisa berbuat
apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan go-
loknya untuk  ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini
menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental en-
tah kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok
dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terke-
jutlah kelima kawannya. Belum lagi mereka berbuat
sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa.
Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap be-

rikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok
dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja dis-
impan!" Ujar Roro, yang sudah berdiri tegak di  hada-
pan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus
dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan la-
ma!" Ujar Roro, seraya keluarkan sebuah tabung bam-
bu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seke-
tika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan"
Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon am-
pun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis
tersedu sedu.
Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! tapi se-
butkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku
kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro den-
gan suara berubah bengis. Keempat orang itu saling li-
rik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang
segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran
dari sekujur tubuh.

***

8

Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran
besar...
Demikian juga dengan komplotan terselubung
yang mendiami wilayah Singorojo. Dengan adanya
pengakuan Kromo Yudho pada  Roro Centil. Akhirnya
diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselu-
bung itu.
Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti
diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh,

dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik
hati. Namun terkadang kejam tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan
urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi.
Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan
dari Kaum Rimba Hijau. Karena seperti diketahui Roro
Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya ada-
lah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-
obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat
tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri
yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempela-
jari.
Cuma datangnya niat, dan cara yang dilaku-
kan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Se-
perti diketahui, Roro Centil pernah terluka di  kepala
yang dialami ketika berusia tujuh tahun. Yaitu terkena
terjangan kaki-kaki kuda. Dan dalam gemblengan gu-
runya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia
Banci, banyak lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi
seorang gadis yang berwatak mirip gurunya. Terka-
dang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya.
Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat
orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa
serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah
yang selamat dari diputuskannya urat suara, oleh Ro-
ro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka Keling.
Jaka Keling diperintahkannya menunggu di  tempat
yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro
akan segera menyusul pada hari yang ditetapkan. Se-
mentara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho,
yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengke-
ram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat seka-
li.

Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian
wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera be-
rangkat pergi dengan mencongklang kudanya.

—oOOOo—

Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-
tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan
menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam ber-
wajah brewok ke hadapannya. Dan menjatuhkan sosok
tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menja-
ga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro
Centil. Terkejut Tumenggung ini karena baru pertama
kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tan-
pa sopan santun. Bahkan "nyelonong" saya masuk ke
Pesanggrahan tanpa membawa perantara dari pengaw-
al yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru
selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berla-
rian ke dalam dengan wajah pucat pias Karena sewak-
tu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat
sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat prajurit,
lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir
menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyi-
kan mukanya berjongkok diatas lantai.
Otaknya yang encer ternyata sudah dapat men-
duga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki- laki yang tam-
pak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan
adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga
seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari taha-
nan. Segera dia berikan isyarat pada keempat prajurit
supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya!

Siapakah anda, nona... ? Dan siapa pulakah orang
ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia
adalah salah seorang anak buah dari komplotan terse-
lubung yang selama ini mengganggu ketertiban rakyat!
Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa
komplotannya adalah disamping menculik gadis-gadis
cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bang-
sawan hidung belang, juga kepada orang asing dan pa-
ra pembesar Kerajaan! Bahkan juga melakukan pula
serangkaian pembunuhan dan perampokan secara ter-
selubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari
gembong besar penyalur wanita-wanita cantik yang
mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembong-
nya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya!
Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan,
hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan
itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda den-
gan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap
Roro dengan suara terdengar nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah ber-
gerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja
laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun
berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumeng-
gung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu!
Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu
dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak
Roro, seraya  lepaskan jambakannya. Kromo Yudho
manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah
di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ter-
nyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan
gantung leher mu di alun-alun...! Bentak Roro dengan
suara sedingin es. Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi.

Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar anca-
man Roro. Edan! masakan aku mau melindungi penja-
hat? sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau
buka suara, si gadis aneh itu sudah berkelebat lenyap
dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang mem-
buat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku
tak bergeming.
"Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda
itu...? Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tu-
menggung seraya mengelus-elus jenggotnya yang cuma
sejumput.
"Roro Centil...!... Hm, ya.. ya.. aku seperti per-
nah mendengar nama itu ...!? Tiba-tiba wajahnya me-
nyentak kaget seraya mendesis.
"Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita
Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba
Hijau kelakuannya memang aneh-aneh...

0OO**OO0

Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap
manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh Juga sang ga-
dis dalam pelukan si pemuda anak laki-laki Bangsa-
wan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua ka-
linya.
Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bi-
sa mandah saja ketika lengan-lengan nakal si pemuda
mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat ber-
pemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya
yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada
salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehan-
gatan tubuhnya untuk yang ke  berapa kali. Karena

cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan
jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek
sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak
mau dia harus membalas budi Keluarga Bangsawan
itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga
Siluman Bukit Hantu. Pitra Sena dan ayahnya ternyata
manusia-manusia yang pandai berpura-pura. Raden
Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan
mereka. Pipit Lurik yang dalam keadaan kalut dan me-
rasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu
saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra
Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa
menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya se-
karang sudah lain. Karena berita kematian ayahnya te-
lah terdengar juga. Bahkan markas Benteng Macan
Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya.
Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar
Sewu dan Jaka Keling. berada. Bahkan tak diketahui
mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga
Siluman Bukit Hantu telah melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka,
mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena,
tak mengizinkannya. Kabar berita itupun  diberitahu-
kan oleh Pitra Sena. Bahwa  seorang sahabat ayahnya
yang telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan da-
ri Pitra Sena juga Pipit Lurik mengetahui kalau tanah
dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah di-
beli oleh calon Mertuanya itu. Gadis yang tengah shok
itu cuma bisa menuruti keinginan sang calon sua-
minya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demi-
kian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah
mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah
itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi,
yang seolah-olah melupakan semua kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir laki- laki tempat menggantungkan

nasibnya itu. Dipeluknya kuat-kuat tubuh tegap yang
menggelutinya. Dan tenggelamlah Pipit Lurik dalam
belaian lembut, serta bisikan-bisikan yang memabuk-
kan. Kembali sehelai demi sehelai pakaiannya berlepa-
san. Dengus nafas Pitra Sena bagaikan kerbau liar
yang membuat nafas dara cantik itu tertahan-tahan.
Terjangan demi terjangan sang kerbau liar itu mem-
buat hatinya semakin menggebu. Mendesah-desah na-
fasnya seperti saling pacu. Dan tenggelamlah sang da-
ra dalam gelimang noda yang penuh dengan kenikma-
tan.
Ketika itu Matahari semakin  menggelincir.....
Seorang pemuda menyeruak masuk ke balik
semak, meninggalkan kudanya yang ditambatkan di
bawah pepohonan. Suara-suara aneh yang telah
mengganggu telinganya membuatnya dengan berindap-
indap mendekati ke tempat asal suara itu. Ternyata dia
tak lain dari Jaka Keling.
Tak jauh di belakang laki-laki itu sesosok tu-
buh ramping berambut terurai panjang, berkelebat
menyusul. Ternyata Roro Centil adanya. Berlainan
dengan tempat yang dituju Jaka Keling, Roro Centil
mengambil arah ke sebelah barat di seberang sungai
itu. Disini dia menjumpai tempat yang rapi seperti te-
lah ada yang merawat. Ketika tengah mengamati seki-
tarnya, dua sosok tubuh berkelebat keluar dari balik
semak rimbun. "Hm, kalian adanya?" Tegur Roro den-
gan suara dingin.
"Silahkan ikuti kami! Segera akan kami tunjuk-
kan dimana tempat Adipati Banyu Biru menunggu no-
na...!" Ujar salah seorang seraya balikkan tubuh untuk
mendahului berjalan. Roro segera mengikuti tanpa ba-
nyak tanya.
Tak berapa lama telah memasuki hutan bambu
yang berderet rapi bagai pagar. Pada salah satu bagian

tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang mem-
buat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hu-
tan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat
dari Adipati Banyu Biru itu melompat cepat melalui
pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak
kelihatan bayangannya lagi.
Tanpa pikir panjang Roro segera melompat
mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
RRRRRRRRRRRTTT...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuh-
nya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga
sekejap tubuh nya telah terbungkus masuk dalam tali-
tali jala sutera itu.
Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera
berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengu-
rung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku
menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Cen-
til!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara
tertawa dan kata-katanya.  Roro Centil dapat melihat
siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh, monyet
bunting! aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan
wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang
merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku
punya tugas untuk menangkapmu, dari Kanjeng Gusti
Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau
pula rupanya Adipati Banyu Biru...!
Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet
bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuh-
mu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Te-
riak Roro. Terkejut laki-laki Bangsawan tua itu, yang
ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera
dia tatap pada para anak buahnya yang memang khu-
sus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Ber-

kata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang te-
lah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat ting-
gal. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap
orang. Tampak beberapa orang telah melompat ke de-
katnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala su-
tera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
Gila...!? Edan...! Mengapa bisa jadi demikian?
Sentak hati Adipati Banyu Biru. Namun belum lagi ha-
bis rasa aneh dan terkejutnya sudah terdengar perin-
tah Roro Centil yang membentak keras memberi perin-
tah.
"Tangkap hidup atau mati manusia keparat
ini...!" Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati,
belasan orang-orang Raden Mas Anjasmoro alias Adi-
pati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang
dengan senjata telanjang.....
Adapun kedua orang yang telah memberi surat
pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan.
Wajahnya pucat pias bagai mayat. Roro Centil tiba-tiba
telah melompat menerjang untuk mengirimkan puku-
lan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana
mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang
dilakukan dengan cepat sekali. PRAKK...! PRAKKK...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, dis-
usul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah
menggeliat  sejenak lalu segera lepaskan nyawanya.
Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman ke-
dua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan
membentak gusar segera gerakkan lengannya meng-
hantam para penyerang dari anak-anak buahnya sen-
diri, .pekik dan jeritan maut segera terdengar saling
susul. Beberapa sosok tubuh terlempar dengan kepala
hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi se-

mangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-
laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berke-
lebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus me-
nyusup masuk ke dalam tempat rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro su-
dah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba se-
gera batalkan niatnya. Dijumputnya beberapa buah
batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke
dalam. Roro sembunyi di sisi goa. Selang tak lama tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa,
disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng
sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya mun-
cul, Roro Centil bergerak cepat sekali untuk gerakkan
tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat
Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan kea-
daan tubuh kaku tanpa dapat bergerak. Sungguh su-
kar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si
pendek Sato Bungkrik dan si jangkung Wong Duwur.
Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperan-
jatnya kedua manusia itu. Namun sebelum keduanya
sempat buka  suara, Roro Centil telah gerakkan lagi
lengannya menotok urat suara mereka, gagulah sudah
kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk
berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sam-
bar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dila-
kukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu? Ter-
nyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang keli-
hatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tu-
buh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu
lagi pendek kekar. Namun kenyataannya memanglah
demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis,

merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berda-
rah terkena  batu-batu kerikil tajam yang membentur
luka dan tubuhnya. Namun dalam keadaan demikian
mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati
yang kebat-kebit. Karena maut sudah terbayang di de-
pan mata.

***

9

"Hihihi.. tak usah kalian gelisah, kambing-
kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk men-
gubur kalian di dasar jurang...! Berkata Roro Centil.
Seraya mempercepat larinya. Tentu saja membuat ke-
dua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun
apa mau dikata? Berteriakpun mereka sudah tak
sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis
menyeringai. Karena seketika saja terdengar suara
berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan ta-
nah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu
telah menggores sekujur wajah dan merobek kulit,
yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila
mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di ka-
ki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru
diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro
mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang
yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Ter-
cekat hati Roro. Segera diseretnya kedua tubuh tawa-
nannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati
semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang
patah akibat diterjang oleh kedua tubuh manusia yang

diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya
yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra
Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawan-
nya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena
yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang
gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan se-
pasang mata basah bersimbah air mata.
Siapakah gadis itu? Apakah Pipit Lurik...? Gu-
mam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat
ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro
menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro
Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua
tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba
dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap ti-
pis bagai kabut tiba-tiba keluar dari mulut Roro yang
agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar da-
ri hidung, telinga dan... mata. Tiba-tiba sekejap, Roro
sudah kembali buka matanya. Terdengar suara gadis
pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesung-
guhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh. "Jaka...!
Menyingkirlah!". Suara itu menyusup ke dalam cuping
telinga Jaka Keling. Tentu saja dia segera palingkan
kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal
segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah
berkelebat ke hadapan Pitra Sena WHUUUSSSSSH.....
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro
menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus
yang menyusup masuk ke telinga Pitra Sena.
"Mukamu  tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke
bentuk asalmu...!" Ketika asap kabut yang bergelom-
bang itu menerpa tubuh Pitra Sena, ternyata telah di
iring! pula oleh satu hantaman telak ke arah dada la-
wan.

"BUK...!" Pitra Sena mengeluh, tubuhnya ter-
lempar. Dan jatuh bergulingan tepat ke hadapan Pipit
Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah
rencong di tangannya. Niat untuk bunuh diri hampir
dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu.
Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling,
sang paman angkat. bukan kepalang terkejutnya Pipit
Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke
hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya "Pitra Sena itu....?
Ternyata tak lain dari GANTAR SEWU, adik sepergu-
ruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik
dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan
Roro Centil telah dibarengi bentakan berkekuatan te-
naga batin yang amat tinggi, membuat sirna "ilmu si-
hir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu
suara telah menelusup masuk ke telinga Pipit Lurik.
Suara itu amat berpengaruh... akan tetapi bukanlah
suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus ma-
nusia licik tak tahu membalas budi itu...!" Tersentak
Pipit Lurik. "Ayah...? Desisnya lirih. Benarkah itu sua-
ra ayah...? Sentak hatinya. akan tetapi kedua lengan-
nya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib,
segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu
tepat menembus ke jantung laki-laki itu.
Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu.
Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak
menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah
melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang
telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka... Kakang Gantar Sewu...?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun
yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman te-
lah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain

dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro
Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas
dada.
Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah
lancarkan serangan dahsyat pada punggung Roro Cen-
til, pada jarak dua tombak......
BHUKKK...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai
terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncra-
tan ke setiap penjuru. Dan... BRUKKI Tubuh yang ter-
lempar itu baru berhenti berguling ketika menghantam
batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa
berkutik lagi. Langsung tewas seketika. Apakah yang
terjadi? Kiranya bukan Roro Centil yang terkena sasa-
ran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki bang-
sawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-
tulang tubuh remuk. Karena begitu
Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua len-
gannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghan-
tamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah ber-
diri dua orang tua renta. Ternyata adalah Resi Paksi
Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah
gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke
arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang, termasuk Roro Cen-
til. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh
sakti Rimba Persilatan itu, sukar dipastikan nasib Roro
Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat
ke hadapan kedua orang kosen itu. Dan segera bersu-
jud di depan sang Resi.
Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tu-
buh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perko-
so, yang masih berdiri dengan segar bugar. Cuma kea-
daan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak se-

pasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini
memburunya.
"Ayaaaah....!?" Jaran Perkoso menoleh. Dan ter-
jadilah pertemuan yang mengharukan. Kedua ayah
dan anak itu berpelukan dengan masing-masing ber-
simbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu
belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar
suara Bikhu Sokalima. Nenek sakti puncak gunung
Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar
Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis ting-
gal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu belum meng-
hembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak
menghampiri  Jaran Perkoso tatap wajah saudara se-
perguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu,
Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan menda-
pat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan
suara dingin. Gantar Sewu tampak tersenyum pedih.
Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air ben-
ing yang mengalir turun ke pipi.
"Maaf.. kan adikmu ini, kakang... ! Me.. me-
mang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu,
kakang mbok Sri.. Les.. ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu
dengan suara terputus-putus. 
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperan-
gah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang
tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek
sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar
mendengar pengakuan Gantar Sewu Namun tubuh si
kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar mena-
han kemendongkolan hatinya. Betapa muridnya yang
telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak
berguna.

Selanjutnya setelah berkata beberapa patah ka-
ta lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu
jadi hening. Saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh berba-
ju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang den-
gan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut
ternganga dan sepasang mata membeliak. Ter-
nyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena.
Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat
menghampiri tubuh
Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia
duduk  bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar
suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus
dengan cara begini...! Aku memang anak bengal,
ayah...! tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan
terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!,
betapa terkutuknya aku.!" Selanjutnya sudah terden-
gar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda
itu. Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pen-
dekar Lengan  tunggal, beranjak menghampiri. Lalu
cekal pundak orang dengan perlahan.
"Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu,
akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma
pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan
pengorbanan mu amat besar pada bangsa dan  Kera-
jaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya!
Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari
penculikan para gadis cantik juga gembong dari bebe-
rapa perampokan harta pusaka Kerajaan yang telah
berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga
musuh kaum pendekar golongan kanan, yang selama
ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan,
juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang
sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ter-

nyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang
Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang
yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama
menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedau-
nan... Matahari semakin menggelincir kepermukaan
gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan
ke arah  di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang
tengah menatap padanya.
Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan
laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak
ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak
tertahan yang telah dipersembahkan pada sang Ketua
dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengan-
nya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon
menantuku....! Aku terima pinanganmu pada anakku
Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera
berpaling pada anak perempuannya. "Terimalah dia
sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian
telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan
tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata per-
lahan Pipit Lurik dengan hati polos. Dan Jaran Perkoso
menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucap-
nya.
"Kau bersedia menikahi anakku yang sudah
begini keadaannya...?" Pitra Sena mengangguk. Seraya
tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lu-
rik. "Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku,
Ramanda...!
Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak
kejahatan kelakuan ku... . .! Aku tak dapat memungki-
ri untuk tidak mencintainya, Ramanda! Walau apapun
yang telah terjadi...!"

Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan
pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-
gadis cantik sekapan ayahnya telah membuatnya se-
makin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah
tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cin-
ta justru bersemi pada gadis bernama Pipit Lurik, yang
justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan oleh
ayahnya. Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah
semakin berakar pada Pipit Lurik. Bercampur rasa ka-
sihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu kejadian
yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang
memang menjadi sahabat sang ayah.
Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk
mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat me-
nemui nenek sakti Bikhu Sokalima di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi
Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resi lah yang te-
lah menolong Jaran Perkoso.
Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan
ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran
Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. De-
mikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti
tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak
berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cu-
ma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas
sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah
diketahui oleh Roro Centil dan Jaka Keling, hingga me-
rekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik
lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua
tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah
melompat kesana. karena baru tersadar sang dara ini,
setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu
adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu.

Semua orang pun sudah berkelebatan kesana.
Akan tetapi ternyata kedua manusia itu telah tewas.
Keadaan tubuhnya tampak mengerikan, karena penuh
luka dari goresan duri. Kepala-kepala mereka rengat
terhantam batu, dan luka-luka lainnya akibat diseret
Roro semau-maunya.
Jaka Keling terpaku menatap Roro. Sungguh
tak menyangka kalau akhirnya sang gadis Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu jugalah yang menumpas sisa
dua iblis itu. Saat mereka termangu-mangu menatap
mayat si pendek dan si jangkung itulah Roro Centil
berkelebat lenyap dari tempat itu, tanpa ada yang
mengetahui. Ketika mereka tersadar dan balikkan tu-
buh, ternyata Roro Centil sudah tak berada di tempat
itu.
"Aiiih...? Sungguh aku orang kaum tua merasa
mengiri padanya! Rasanya aku kepingin menjadi muda
lagi seperti si Roro Centil itu!" Berkata Bikhu Sokalima.
Ki Jalatunda tiba-tiba perdengarkan tertawa mengekeh
seraya menyahuti;
"Wah, wah, wah...,! Kalau kau manusia turu-
nan ular, tentu bisa! Hehehe.. heh... heheheh... Kulit-
mu yang keriput tinggal mengulitinya aja, jadilah kau
si nenek genit yang mania dan centil!"
"Hihihik... hihik... sudahlah, kakek peyot! Mari
kita kembali ke puncak gunung masing-masing...!"
Ujar sang nenek. Dan berkelebatanlah kedua tubuh
tokoh kaum tua Rimba Persilatan itu melenyapkan di-
ri. Tak berapa lama senjapun semakin memuram.
Mentari dibalik gunung itu masih sembulkan cahaya
merahnya. Sementara burung-burung kecil mulai riuh
berebut tempat untuk tidur.......
Pipit Lurik saling bertatapan dengan Pitra Sena.
Jari-jari lengan mereka menjalin menjadi satu. Ternya-
ta kebahagiaan tidak hanya dimiliki oleh orang-orang

yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan
kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia
ini, walaupun cuma setitik. Namun setidak-tidaknya
dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran
itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang
bersih...... Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang
Maha Menentukan.



TAMAT