Roro Centil 17 - Pedang Asmara Gila(1)



SATU

“YUURIKO......! YURIKOOO.....!" teriakan itu
terdengar santar hingga berkumandang ke seluruh
lembah.
Tampak seorang gadis berlari dengan terisak
menangis dan tubuh terhuyung tanpa perdulikan
panggilan terhadapnya.
Keadaan pakaiannya tak keruan lagi, yang su-
dah sobek di sana-sini dan menyingkap di beberapa
bagian tubuhnya. Rambutnya kusut masai beruraian
dan wajahnya tampak pucat pasi.
"Yurikoooo ....!" Kembali suara itu terdengar di
belakangnya. Gadis ini telah berada di sisi samping
bukit. Di hadapannya adalah lereng bukit yang terjal.
Sesaat dia berpaling ke belakang, lalu menengadah
menatap ke atas bukit. Tampak wajahnya berubah te-
gang. Dan dia sudah gigit bibirnya menahan isak yang
tersendat di kerongkongan. Kemudian dengan cepat
gadis ini sudah merayap ke atas lereng bukit terjal itu.
Lengannya menggapai dan mencengkeram akar-akar
pohon. Lalu mendaki terus untuk cepat tiba di atas.
Sementara di dasar lembah, sesosok tubuh laki-laki
berteriak-teriak memanggil nama gadis itu dengan ber-
lari ke sana ke mari di antara semak dan pepohonan.
Ternyata dia seorang laki-laki berwajah penuh brewok,
bercambang bauk lebat. Rambutnya tergelung di atas
yang tertutup sehelai kain sutera berwarna kuning.
Usianya berkisar sekitar 50 tahun. Dia bernama SOKU
SHEBA yang mendiami dasar lembah itu.
Sebuah pedang SAMURAI tampak di pinggang-
nya. Laki-laki ini jelalatkan sepasang matanya ke se-
tiap tempat, mencari-cari kalau-kalau terlihat bayan-
gan tubuh gadis bernama Yuriko itu. Setiap semak di

sibakkannya, bahkan di balik bongkah-bongkah batu
besar. Akan tetapi tak dijumpai gadis itu sembunyi di
sana. Kembali dia berkelebatan mencari-cari sambil
berteriak-teriak memanggil nama sang gadis.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara yang
berkumandang sampai ke telinganya. Suara yang ter-
dengar bercampur isak menyedihkan. Itulah suara Yu-
riko, yang seperti tengah berdo'a. Apakah yang dilihat-
nya? Gadis itu berada di atas bukit terjal. Pada lamp-
ing batu bukit yang paling sisi sekali. Hah! Apa yang
akan dilakukannya...? Sentak hati laki-laki brewok ini
yang sudah dapat melihat di mana adanya gadis itu.
"YURIKOOO...! Jangan kau lakukan itu! sadar-
lah anakku...! kasihanilah ayahmu! Maafkanlah aku...!
ampunilah kekhilapan  ku...!" Teriak laki-laki ini den-
gan suara parau mengandung isak. Tampak setitik air
bening telah menitik turun ke pipinya.
Akan tetapi sudah terlambat... Gadis itu sudah
terjunkan diri ke dasar lembah. Tubuhnya melayang
ke bawah dengan derasnya diiringi jerit me-
nyayat hati. Tersentak jantung laki-laki ini, dia sudah
berlari dengan cepat untuk memburunya. Akan tetapi
sudah terdengar suara tubuh yang jatuh ke dasar lem-
bah. Laki-laki ini berlari mengejar menerjang semak,
menerobos ranting yang menghalangi jalan.
Dan tak berapa lama sudah terpampang di ha-
dapannya sebuah pemandangan yang menggiriskan
hati. Gadis itu terkapar dengan keadaan tubuh remuk
berlumuran darah di atas batu di dasar lembah....
"YURIKOOOO....!" Jeritnya dengan suara parau.
Sekejap dia sudah melompat untuk memburu ke arah
tubuh gadis itu. Tak lama sudah memeluki tubuh yang
sudah tak bernyawa itu dengan menangis terisak-isak
bagai anak kecil.
Laki-laki brewok itu cucurkan air mata yang

mengalir tiada henti. Sementara angin keras member-
sit dari arah bukit. Bunga-bunga Sakura yang berwar-
na seputih salju itu berjatuhan meluruk ke tanah. Se-
perti juga air mata laki-laki brewok itu yang turun de-
ras membasahi pipinya.

-------ooOoo-------

Sejak kejadian itu dari arah lembah sering ter-
dengar suara tiupan seruling, yang mengalun dengan
nada-nada yang memilukan hati. Ternyata ditiup oleh
si laki-laki brewok bernama Soku Sheba itu. Akan te-
tapi laki-laki itu sudah tidak brewok lagi. Kumis dan
jenggotnya yang lebat hitam sudah tercukur bersih.
Bahkan rambutnya sudah lenyap. Karena dia sudah
menjadi seorang paderi yang berkepala gundul plon-
tos....
Dan sejak sepuluh tahun kemudian lembah itu
sudah dikenal orang dengan nama LEMBAH AIR MA-
TA.
Bangunan rumah tua di dasar lembah itu ma-
sih berdiri tegak, walaupun tembok-temboknya sudah
rapuh dan penuh lumut. Bila setiap malam bulan pur-
nama akan terlihat seorang laki-laki tua berkepala
gundul, tengah meniup serulingnya. Kumis dan jeng-
gotnya tampak panjang terjuntai memutih.
Duduk di atas sebongkah batu besar di depan
rumah tua itu. Dialah Soku Sheba. Suara serulingnya
mengalunkan nada-nada  sedih memilukan hati, yang
menggugah perasaan bagi setiap orang yang menden-
garnya.
Suatu malan purnama, ketika dia tengah asyik
mengalunkan suara serulingnya, sesosok tubuh telah
berkelebat memasuki halaman rumah tua itu. Gera-
kannya lincah sekali tak menimbulkan suara. Wajah-

nya hampir tak terlihat, karena tertutup dengan kain
topeng warna hitam. Demikian juga pakaiannya. Cuma
sepasang matanya saja yang terlihat terbuka. Dan
mempunyai sorot mata tajam. Tampak dilihatnya Soku
Sheba duduk di atas batu. Membelakangi rumah tua
yang mempunyai halaman luas, dikelilingi rapat oleh
belukar dan pepohonan.
Ternyata penyelundup yang menyatroni rumah
tua di dasar lembah itu bertambah dua orang lagi,
yang telah berkelebat muncul dari balik semak. Orang
yang pertama muncul tadi segera memberi isyarat agar
berhati-hati. Rencana untuk memasuki rumah tua se-
cara sembunyi itu memang telah diatur terlebih dulu.
Yaitu salah seorang berjaga-jaga mengawasi si kakek
peniup seruling. Sementara dua orang lagi segera me-
nyelinap ke belakang rumah tua. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar teriakan menyayat hati. Baru saja dua sosok
tubuh kawannya itu jejakkan kaki ke batu undakan di
belakang rumah tua itu, justru kaki-kaki mereka me-
nyentuh kawat-kawat halus yang terpasang di sana.
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu puluhan anak
panah telah meluruk deras ke arah mereka yang da-
tang dari tiga penjuru.
Tak ampun lagi kedua tubuh penyelundup itu
sudah terpanggang oleh belasan anak panah. Dan ro-
boh berkelojotan. Sekejap kemudian mereka tewas se-
ketika.
Terkejut si penyelundup berjaga di luar. Dili-
hatnya si kakek jubah putih peniup suling itu sudah
hentikan tiupan serulingnya. Tak ayal lagi dia segera
melompat cepat, dan lenyap di balik pepohonan rim-
bun. Tampak Soku Sheba kerutkan keningnya. Alisnya
yang putih itu bergerak menyatu. Sepasang  matanya
masih terpejam, akan tetapi pada pipinya masih me-
nampakkan bekas-bekas air mata yang mengalir tu-

run.
"Heh!? NINJA-NINJA keparat dari mana lagi
yang datang menyatroni ke tempatku yang tenang
ini...?" Gumamnya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat dari atas
batu. Ah! Kiranya sepasang kaki kakek itu buntung
sebatas lutut, akan tetapi dengan menekan sebelah
lengannya ke batu tempat duduknya, tubuhnya sudah
melesat seperti terbang....
Meluncur cepat bagaikan bayangan hantu pu-
tih. Sekejap saja sudah melewati rimbunnya puncak
pepohonan yang memagari sekitar rumah tua.
"Berhenti...!" Satu bentakan keras sudah ber-
kumandang di dalam lembah. Mencabik keheningan
malam yang mencekam itu.
Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di hadapan
laki-laki baju hitam bertopeng yang mau melarikan di-
ri. Sepasang mata laki-laki di balik topeng itu terbela-
lak. Akan tetapi lengannya sudah bergerak cepat me-
lemparkan sebuah benda yang dibantingkan ke tanah.
Dan... BHUSSSS...! Asap putih bergumpalan  menye-
bar. Bersamaan dengan lenyapnya asap itu, tubuh si
laki-laki topeng hitam itupun melenyap tak berbekas.
"Kurang Ajar...!" Memaki Soku Sheba. Dan tu-
buhnya pun berkelebatan mencari jejak si penyelun-
dup yang melarikan diri itu. Akan tetapi tak lagi di
jumpainya. Sekejap kemudian dia sudah melesat lagi
ke arah batu tempat duduknya di depan rumah tua.
Agak lama Soku Sheba termangu tak bergem-
ing. Namun sesaat antaranya, lengannya sudah berge-
rak menempelkan lagi serulingnya ke atas bibir.
Tak lama segera terdengar suara seruling yang
di tiupnya, mengalunkan nada-nada sedih yang meng-
hanyutkan perasaan...
Suasana sekitar rumah tua itu kembali sunyi

seperti tadi. Sementara rembulan semakin merayap di
balik awan dan mega. Cuma suara seruling bernada
sedih itulah yang terdengar, seperti memadu dengan
irama jengkerik dan binatang-binatang malam.
Kita ikuti ke mana perginya Ninja yang berhasil
melarikan diri itu. Ternyata dia sudah berada jauh di
atas lembah. Dan dengan sebat telah berkelebat cepat
menuju ke arah utara.
Sesaat dia telah menahan langkahnya. Sayup-
sayup telinganya sudah mendengar lagi irama seruling
bernada sedih dari dasar lembah. Laki-laki Ninja ini
perdengarkan suara menghela napas. Lalu kembali
berkelebat ke arah utara.
Sekejap sudah melenyap di balik bukit....

***

DUA

"GURU...! Hamba gagal menjalankan tugas".
Dua orang kawan yang menyertai hamba telah tewas!
Ternyata di sekeliling rumah tua di Lembah Air Mata
itu telah dipasangi perangkap...!"
Berkata laki-laki ini di hadapan seorang wanita
yang duduk di atas tikar permadani. Wajahnya tak ter-
lihat seluruhnya, karena memakai penutup wajah dari
kain tipis dari sutera warna hitam. Cuma sepasang
matanya saja yang mempunyai sinar tajam membersit
menatap pada laki-laki di hadapannya. Sinar mata
yang seperti bersinar aneh. Karena seperti mengan-
dung kebencian dan kekecewaan mendalam terhadap
sang murid. Pakaiannya terbuat dari bahan kain sute-
ra berkembang-kembang warna ungu. Sesuai dengan
tradisi pakaian rakyat JEPANG pada saat itu, adalah

memakai pakaian Kimono yang punya ciri khas ter-
sendiri.
"HAMADA...! Kau dengarlah! Aku tak mau
mendengar kegagalan itu! Yang kuharapkan adalah
hasilnya! Kalau kau cuma pulang untuk melaporkan
kegagalan saja, mengapa kau tidak mampus saja seka-
lian di sana?" Bentak wanita itu dengan suara dingin.
Sebuah lengannya bergerak meraih sebuah ke-
butan yang terbuat dari buntut kuda dengan gagang
dari emas yang berkilauan. Sesaat dia sudah bangkit
berdiri, Lalu ucapnya lagi.
"Aku telah beri waktu padamu selama tiga pe-
kan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan PEDANG
itu! Nah, silahkan membunuh diri! Berarti kau tak pa-
tut menyandang gelar NINJA!"
Setelah berucap demikian, wanita itupun be-
ranjak masuk ke kamarnya. Tercenung laki-laki ber-
nama Hamada ini. Dia sudah tak mengenakan topeng
lagi pada wajahnya. Kini terlihatlah wajahnya. Ternya-
ta dia seorang pemuda yang tampan. Beralis tebal.
Bermata agak sipit mirip mata burung elang.
Tak lama dia sudah keluar dari ruangan ge-
dung itu dengan kepala menunduk. Lalu menutup lagi
pintu ruangan. Dua orang penjaga segera memberinya
jalan untuk lewat. Hamada menuruni tangga undakan
batu yang memanjanq. melintas di tengah kolam. Sete-
lah melewati dua orang penjaga lagi segera telah bera-
da di luar halaman gedung.
"Aku telah memberi waktu padamu selama tiga
pekan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan pedang
itu! Silahkan kau membunuh diri...! Berarti kau tak
patut menyandang gelar NINJA!" Kata-kata Miyazaki
seperti terngiang lagi di telinganya. Sambil berjalan ce-
pat pemuda ini bergelut sendiri dengan bermacam pi-
kiran di benaknya.

"Ah, umurku tinggal tiga pekan lagi...! Bahkan
sudah berkurang sehari!" Desisnya perlahan. Pemuda
bernama Hamada ini tak mengenakan pakaian hitam-
nya, akan tetapi berpakaian serba putih dengan sehe-
lai kain tebal berwarna kuning membelit di  pinggang.
Dadanya dibiarkan terbuka separuh. Tiba-tiba Hama-
da hentikan langkahnya dan termenung sejenak.
"Hm, sebaiknya aku ke rumah kakek MATSUI
dulu untuk meminta pendapatnya, sekalian menemui
KORISYIMA... Aku sudah rindu padanya. Serta men-
gabari kematian Watanabe dan Hirosyi!" Gumam Ha-
mada.
Berfikir demikian segera Hamada membelok ke
arah timur.
Tak berapa lama setelah melewati deretan ru-
mah para pegawai dari Istana MERAK HIJAU, segera
tiba di batas kota.
Tiba di tempat yang sunyi ini Hamada segera
pergunakan ilmu lari cepatnya agar lekas tiba di tem-
pat tujuan.
Saat itu tanpa disadari Hamada telah dibuntuti
oleh seseorang yang memakai topi tudung. Di lengan-
nya mencekal tongkat kayu yang ditaruh di atas pun-
dak. Pada ujung tongkat di belakang punggung, tam-
pak sebuah buntalan dari kain yang sudah bertambal.
Wajahnya tak begitu kentara karena tertutup topi tu-
dungnya yang lebar hampir melesak menutupi ma-
tanya.
Aneh dan misterius gerakan dan langkah kaki
orang bertudung ini. Karena hampir setiap tempat
tampaknya telah dihapalnya. Hingga dengan memo-
tong jalan, selalu tak berada jauh dari Hamada yang
dikuntitnya.
Ketika tiba di batas kota, pada jalan yang sunyi
itu dilihatnya Hamada sudah berkelebat memperguna-

kan ilmu lari cepatnya.
Laki-laki bertudung yang misterius ini bergerak
ke arah kiri, dan menyelinap ke balik hutan bambu
kuning. Dan langkahnya segera dipercepat. Agaknya
sengaja mau menerobos untuk memotong jalan. Tak
lama dia sudah berada di jalan setapak. Akan tetapi
langkah kakinya sesaat sudah merandek terhenti. Se-
pasang matanya melirik ke sekitarnya yang rimbun
dengan pepohonan.
Kecurigaannya memang beralasan. Karena se-
kejap kemudian beberapa sosok tubuh sudah berkele-
batan menghadang, yang muncul dari arah depan, kiri
dan kanan.
Rata-rata mereka berpakaian seragam warna
hijau dengan masing-masing memakai topi tudung ke-
cil berwarna merah. Tahulah laki-laki bertudung lebar
ini kalau mereka adalah orang-orang laskar Kerajaan
Merak Hijau.
"Hm, apakah maksud kalian menghadang lang-
kahku.? Aku merasa bukan seorang pencuri atau bu-
ronan Kerajaan...!"Berkata si laki-laki bertudung. Akan
tetapi kelima orang itu masing-masing mencabut pe-
dang Samurainya, dan bergerak mengurung semakin
rapat.
Tak ada jawaban dari mereka selain segera me-
nerjang dengan pedang-pedangnya. Terkejut laki-laki
bertudung ini. Tentu saja hal itu tak dibiarkan begitu
saja. Karena melindungi nyawanya adalah satu kewaji-
ban mutlak. Apalagi dia merasa tak bersalah dan...
WHUT! WHUT! WHUT...! TRANG! TRANG...! TRANG...!
Ternyata si laki-laki bertudung lebar bukan orang 
sembarangan. Bahkan tongkat kayunya itu ternyata
adalah sebuah tongkat dari baja hitam, Tiga terjangan
Samurai itu berhasil ditangkis dengan sebat. Salah
seorang yang menabas dari arah belakang terpaksa

harus menjerit kesakitan karena tongkat baja si laki-
laki bertudung lebar itu telah menyodok ke dadanya.
Seketika roboh terjengkang. TRANG...! BUK!
Bahkan seorang penyerang kena dihantam pe-
dangnya hingga terlepas. Dan buntalan kainnya telah
menggebuk kepala si penyerang itu, hingga tubuhnya
berpusing. Lalu roboh tersungkur.
Terkejut tiga orang penghadang itu. Serentak
segera berlompatan, dan kembali telah mengurungnya.
"Katakan! apakah kesalahanku...!" Membentak
laki-laki bertudung itu. Namun lagi-lagi jawabannya
adalah serangan ganas ke arah tubuh dan kepalanya.
"Keparat...! Jangan salahkan aku kalau aku
terpaksa membela diri!" Teriak laki-laki, bertudung itu
dengan geram. Tongkat di lengannya bergerak memu-
tar dibarengi dengan melompat setinggi satu tombak.
TRRRRRANGGG.....!
Terperangah ketiga penyerang itu, karena seka-
ligus pedang mereka telah berpentalan. Belum hilang
terkejutnya sepasang kaki si laki-laki bertudung telah
berkelebatan cepat sekali.
DES! DES! DES...!
Tiga tubuh mereka terjungkal roboh diiringi te-
riakan parau yang hampir bersamaan saling susul.
Tampaknya laki-laki ini memang bukan manusia ke-
jam. Karena mereka cuma dihajar saja tanpa menemui
kematian. Sekejap laki-laki bertudung itu telah melesat
cerah ke arah depan. Kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya untuk kembali teruskan niatnya me-
nyusul Hamada.
Sementara itu Hamada telah tiba di suatu per-
kampungan sunyi yang terpencil, setelah membelok ke
arah timur. Jalan yang ditempuhnya memang menuju
ke timur. Justru si laki-laki bertudung lebar itu telah
menunggunya di ujung jalan yang akan dilaluinya.

"He? Siapa orang itu...! Desis Hamada yang su-
dah perlambat larinya. Sebelum Hamada melewati laki-
laki bertudung itu, laki-laki itu sudah balikkan tubuh,
dan berjalan cepat di hadapannya. Entah sengaja en-
tah tidak dari sakunya terjatuh segulung kertas. Cepat
sekali jalannya laki-laki bertudung itu, sekejap sudah
membelok ke sisi jalan di lereng bukit.
Hamada sudah mau berteriak memberitahu-
kan,  akan tetapi segera diurungkan. Seketika segera
sudah diingatnya laki-laki barusan pernah dilihatnya
di jalan Kota Raja yang ramai. Bahkan sudah dua kali
dia melirik memergoki. Akan tetapi Hamada memang
tak menyadari kalau diam-diam laki-laki itu memang
sengaja menguntitnya. Apakah sengaja mencari tempat
sepi untuk memberikan segulung kertas yang seperti
sengaja dijatuhkan di hadapannya?
Tak ayal cepat dipungutnya gulungan kertas
itu. Cepat-cepat dibukanya. Segera terlihat tulisan
dengan huruf besar-besar.

KALAU MAU MENJADI NINJA TULEN SEGERA-
LAH DATANG KE LEMBAH PEDANG!

          HIGEI TANAKA SI SETAN TANAH.

Tercenung sejenak Hamada membaca tulisan
itu. Akan tetapi hatinya segera terlonjak girang. Karena
justru dia memang sedang kebingungan memikirkan
nyawanya yang tinggal tiga pekan lagi. Kalau gagal dia
mencuri pedang atas perintah gurunya. Tak ada jalan
lain baginya selain membunuh diri. Karena itulah sa-
lah satu dari jalan terbaik bagi seorang NINJA.
Akan tetapi tiba-tiba sesosok tubuh telah me-
lompat keluar dari balik pagar.
"Eh, apakah yang kau temukan, Hamada.?"

Terkejut pemuda ini. Segera sudah mengenali siapa
yang datang. Otaknya bekerja cepat mencari akal un-
tuk menyembunyikan gulungan kertas kecil itu. Tiba-
tiba terpandang kakinya yang kotor. Barusan di jalan
ketika melompati parit, terkena cepretan lumpur.
"Aih, bibi,! dari mana kau? Kakiku kena koto-
ran kerbau. Kebetulan kutemukan kertas ini di jalan..."
Berkata pemuda ini menyahuti.
Seraya gulungan kertas itu sudah digunakan
untuk membersihkan lumpur di kakinya. Tentu saja
karena Hamada menekannya dengan kuat, kertas itu
sudah hancur lusuh. Namun kakinya memang menjadi
bersih. Selesai bersihkan kaki, bubuk kertas itu sudah
dilemparkannya ke tanah. Dan dengan cengar-cengir
tepuk-tepukkan tangan membersihkan sisa-sisa koto-
ran, seolah tak ada terjadi apa-apa.
"Nah, bersihlah kakiku...! Tapi ku harus men-
cucinya lagi dengan air!"
Berkata Hamada dengan wajah berseri, "Eh, bi-
bi...! mari ku bawakan sayuran mu...! Kau pasti baru
pulang dari kebun." sambung Hamada lagi, seraya be-
ranjak mendekati wanita setengah umur itu yang men-
jinjing keranjang sayuran. Si bibi ini cuma tersenyum,
dan berikan keranjangnya untuk dibawa Hamada.
"Kau tidak menemui Korisyima dulu?" Bertanya
si bibi. "Dia di mana...?" Terlonjak hati Hamada.
"Ke kebun bunga dekat pancuran...!" Sahut
sang bibi.
Hamada jadi agak kikuk. Mau membawakan
sayuran itu dulu ke rumah yang tak berapa jauh lagi
itu atau menemui Korisyima?.
Agaknya sang bibi ini sudah mengerti akan ke-
bimbangan pemuda itu. Segera berkata seraya sambar
keranjang sayurnya lagi dari tangan Hamada.
"Pergilah...!" Ujarnya dengan tersenyum. Lalu

tanpa menunggu jawaban sudah balikkan tubuh un-
tuk beranjak melangkah.
"Ah, terima kasih, bi...!" Teriak Hamada. Seraya
sudah melompat pergi menuju ke arah pancuran di be-
lakang bukit. Sementara sang bibi bergegas melangkah
membawa keranjang sayurannya untuk cepat tiba di
rumah. Akan tetapi langkahnya segera terhenti. Dan
kembali balikkan tubuh. Sepasang matanya meman-
dang ke arah kertas lusuh yang sudah lumat, yang di-
lemparkan Hamada ke sisi jalan itu.
Namun cuma sekejap, karena tak lama si bibi
ini sudah putarkan lagi tubuhnya dan melangkah ce-
pat agak bergegas.....

***

TIGA

SEORANG gadis tampak asyik memetik bebera-
pa tangkai bunga yang beraneka warna di taman bun-
ga yang teratur rapi di tempat itu. Tak jauh di dekat
taman pancuran air yang mengalir dari gunung. Gadis
ini berwajah cantik dan tampak lincah. Rambutnya te-
rikat dengan pita merah, terbagi dua di kiri dan kanan.
Pakaiannya berwarna ungu.
"KORISYIMA...!" Terdengar satu suara memang-
gilnya. Dan seorang pemuda telah berada di belakang-
nya. Ternyata Hamada. Pemuda ini perlihatkan wajah
cerah menatap si gadis yang sudah berpaling dengan
senyum ceria menyambutnya.
"Hamada...! sudah lebih dari dua bulan kau tak
pernah datang...! Kukira kau sudah lupakan aku di
desa sunyi ini...!" berkata sang gadis dengan wajah ter-
tunduk. Walaupun tampaknya wajahnya berubah se-

perti orang kesal, akan tetapi hati gadis ini tak dapat
dibohongi. Sesungguhnya teramat girang sekali meli-
hat kedatangan Hamada.
"Ah, banyak tugas yang harus kukerjakan di
kota...! Eh, tadi aku berjumpa dengan ibumu. Beliau-
lah yang memberitahukan kau di sini..." ujar Hamada,
yang segera alihkan  pembicaraan.
Seraya berkata lengan pemuda ini telah meme-
tik setangkai  bunga warna  putih. Dan berikan pada
Korisyima. Sang gadis tersenyum, lengannya terulur
menyambut...
Akan tetapi saat itu juga bersyiur angin ken-
cang. Bunga yang baru digenggamnya terlepas  jatuh.
"Oh...!" terkesiap gadis itu. Wajahnya berubah
pucat. Itulah satu pertanda buruk. Menurut keper-
cayaan akan terputusnya tali perjodohan mereka. Ha-
mada juga terkejut heran, karena tahu-tahu ada angin
keras yang datang mendadak dari arah sisi bukit. Se-
pasang matanya sudah beralih ke sana. Tampak tang-
kai bunga bergoyang. Sekilas masih terlihat sebuah
bayangan melintas ke balik semak. Kurang ajar! pasti
ada orang sembunyi di situ! Sentak hati Hamada. Dia
sudah ngangakan mulut untuk membentak, akan te-
tapi segera tertahan karena sudah terdengar suara di-
iringi munculnya sesosok tubuh dari arah belakang 
mereka.
"Ah, sayang sekali gadis itu menolak cinta mu,
sobat...! Kukira anda memang tak berjodoh dengannya!
Tak apalah, masih banyak gadis yang cantik di dunia
ini..." berkata orang yang baru muncul itu membuat
Hamada segera balikkan tubuh menatapnya.
Bukan hanya Hamada yang terkejut, akan teta-
pi Korisyima juga terperanjat. Karena segera mengeta-
hui kalau orang yang di hadapannya adalah putera
Wali Kota di wilayah itu. Tampak seorang pe-

muda berpakaian mewah sambil tersenyum menatap
Hamada dan Korisyima. Sebelah lengannya mencekal
kipas yang digerak-gerakkan mengipasi tubuhnya, dan
sebelah lagi diletakkan di belakang punggung. Sikap-
nya amat jumawa sekali. Di pinggangnya terselip pe-
dang Samurai.
Tentu saja Hamada sudah cepat-cepat menjura
hormat dengan bungkukkan tubuh. Demikian juga Ko-
risyima, namun segera menunduk dengan jantung
berdetak cepat. Hatinya sudah membatin. Ah...? Aku
merasa ada yang tak beres! Jangan-jangan ibu telah
main sandiwara di hadapanku... Mengapa munculnya
tepat di saat Hamada kemari...? Dan angin apakah
yang meniup begitu keras...?
Sementara Hamada jadi serba salah. Akhirnya
dia mohon diri. Setelah menjura sekali lagi pada laki-
laki putera Wali Kota itu, Hamada menatap pada si ga-
dis. Bibirnya sudah bergetar mau mengucapkan kata-
kata, akan tetapi suaranya tersekat di kerongkongan-
nya. Pemuda ini cuma menatap saja sejenak, lalu sege-
ra putar tubuh, dan beranjak pergi dengan cepat ting-
galkan taman bunga itu. Korisyima terperangah me-
mandangnya. Kakinya sudah melangkah untuk menge-
jar, dan berteriak.
"Hamada...!" Namun suara itu cuma pelahan
keluar dari bibirnya. Suaranya pun terdengar agak se-
rak, karena perasaannya sudah tak keruan rasa. Seke-
jap saja tubuh Hamada sudah lenyap tak kelihatan lagi
terhalang rimbunnya pepohonan. Korisyima tunduk-
kan wajahnya, dan bunga yang terjatuh menggeletak di
tanah itu tertatap matanya. Sesaat dia sudah mem-
bungkuk untuk memungutnya. Akan tetapi pada saat
itu sebuah lengan sudah terjulur, di sertai kata-kata di
belakang telinganya.
"Aih, adik manis...! Sudahlah! Bunga itu sudah

kotor tak baik dipungut lagi. Kukira bunga ini lebih in-
dah untukmu..." Tiba-tiba jemari lengannya sudah di-
cekal lengan yang terjulur itu, dan setangkai bunga
warna merah segera terkepal di lengannya yang ter-
paksa dicekalnya, karena saat itu si putera Wali Kota
itu dengan cepat memaksa jemari lengannya menekuk,
disertai dengan genggaman tangan laki-laki itu. Ter-
sentak Korisyima. Tak berdaya dia melepaskan bunga
itu dari lengannya. Dan pelahan si putera Pembesar
Kerajaan itu sudah mengangkatnya bangun berdiri.
Seketika gadis ini rasakan wajahnya berubah panas,
dan tampakkan rona merah.
"Tuan Muda...! aku... aku..." Belum lagi kata-
katanya berlanjut sudah terdengar suara berdehem di
belakangnya disertai kata-kata.
"Ah, Korisyima, anakku...! Rupanya kau cuma
berpura-pura saja di depan ibu! Mengapa tak sedari
kemarin kau berterus terang? Ibu amat berbahagia
dan beruntung punya menantu Tuan Muda HATSYI
GATO...!"
Tersentak Korisyima mengetahui yang muncul
adalah ibunya. Tentu saja hal ini memuat dia jadi ser-
ba salah. Akan tetapi sang ibu sudah kembali berkata:
"Oh, maafkan Tuan Muda...! Ibu tak tahu anda
berada di tempat ini...!"
Dan selanjutnya wanita setengah usia itu telah
menjura hormat pada si putera Wali Kota dan cepat-
cepat beranjak tinggalkan taman bunga.

-ooOoo-

HAMADA tinggalkan taman bunga dekat pan-
curan itu dengan hati masygul. Betapa tidak. Satu ke-
jadian telah membuat putusnya tali cintanya pada Ko-
risyima. Kejadian barusan di taman bunga tak luput

dari mata dan pendengarannya. Karena Hamada diam-
diam menyelinap lagi untuk mengintai  ke dalam ta-
man. Jelaslah sudah kalau sang bibi telah main san-
diwara di hadapannya. Dan ternyata menginginkan
menantu si anak Wali Kota bernama Hatsyi Gato itu.
Namun Hamada melihat jelas dari sikap dan air muka
Korisyima, bahwa gadis itu tak setuju dengan laki-laki
itu. Dia yakin Korisyima masih tetap mencintainya.
Akan tetapi Hamada sudah tak perduli lagi
akan semua itu. Baginya kini nyawanya adalah lebih
penting dari segalanya.
"Aku harus secepatnya menemui Higei Tanaka
si SETAN TANAH di Lembah Pedang...!" desis pemuda
itu pelahan. Dan dia sudah percepat langkah kakinya.
Apakah tak sebaiknya aku temui kakek MATSUI du-
lu...? Gumam hati Hamada. Sekonyong-konyong hati
pemuda ini jadi bimbang. Tadinya dia sudah mau me-
neruskan perjalanan ke Lembah Pedang menemui si
laki-laki misterius bergelar si Setan Tanah itu. Akan te-
tapi segera mengambil keputusan untuk menemui si
kakek Matsui lebih dulu.
Segera Hamada membelok lagi ke arah selatan.
Ternyata Hamada segan melewati rumah si bibi berhati
palsu itu. Tujuannya adalah mengambil jalan memutar
untuk menemui si kakek Matsui di sebuah pondok
yang paling ujung. Sebentar saja Hamada sudah berla-
ri-lari dengan gerakan cepat untuk segera tiba di tem-
pat yang dituju.....
Sementara, di benak pemuda ini berkecamuk
bermacam pertanyaan mengenai kejadian tadi. Siapa-
kah yang telah gunakan angin pukulan untuk mem-
buat jatuh bunga yang diberikan pada Korisyima...?
Aneh! Tampaknya kejadian itu seperti sudah sengaja
diatur. Dan si bibi itu seperti curiga dengan kertas
yang kutemukan...! Aku harus mengetahui apa latar

belakang kejadian ini kelak!
Demikianlah! Dengan tekad bulat Hamada ber-
kelebat cepat untuk menemui si kakek Matsui untuk
selanjutnya pergi ke Lembah Pedang. Kesempatan un-
tuk menjadi NINJA tulen harus terlaksana demi kese-
lamatan nyawanya.

-ooOoo-

Kakek MATSUI adalah seorang tua yang sudah
berumur 70 tahun lebih. Kakek ini jarang bicara. Air
mukanya tampak selalu muram, seperti sudah enggan
menikmati sisa-sisa hidupnya. Bertubuh kurus seperti
sudah tinggal kulit membungkus tulang. Matanya ce-
kung ke dalam. Cuma kumis dan jenggotnya saja yang
nampak lebat menutupi bibirnya yang hampir tak keli-
hatan lagi.
Ternyata ke mana pun Hamada pergi telah di
mata-matai oleh beberapa sosok tubuh yang bergerak
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika tiba di ha-
laman pondok kakek Matsui. Hamada cepat meniti
tangga batu di depan pondok. Tak lama sudah menge-
tuk pintu.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Suara
yang terdengar parau.
"Aku, Hamada...!" Pemuda itu sudah mengenali
suara kakek tua itu.
"Hm, masuklah...! tak dikunci!" sahut lagi sua-
ra dari dalam. Hamada segera membuka daun pintu
dengan menggesernya pelahan. Terdengar bunyi meng-
gerit. Tak lama tubuhnya sudah tersembul ke dalam
ruangan itu. Akan tetapi terperangah seketika Hamada
ketika melihat si kakek Matsui dalam keadaan teran-
cam jiwanya. Karena sesosok tubuh berpakaian mirip
NINJA telah siap menggorok leher kakek tua itu den-

gan belatinya yang menempel di leher kakek Matsui.
NINJA itu berpakaian serba hijau, Belum lagi hilang
terkejutnya tiga sosok tubuh sudah menyergapnya.
Cepat sekali. Sekejapan saja Hamada telah kena di-
ringkus. Ternyata mereka juga Ninja-ninja yang berpa-
kaian serba hijau.
Tak sempat lagi Hamada berteriak, karena mu-
lutnya sudah segera tertutup oleh kain yang menyum-
palnya. Sehelai kain berbau harum segera ditekapkan
ke hidungnya. Mengeluh Hamada. Sekejap saja dia su-
dah terkulai. Telinganya masih mendengar suara derap
kaki-kaki kuda mendatangi. Akan tetapi segera lenyap,
karena dia sudah tak ingat apa-apa lagi.
Sementara Ninja-Ninja Hijau itu sudah bekerja
cepat meringkus si kakek Matsui yang tak bisa berbuat
apa-apa. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah di-
masukkan para Ninja itu ke dalam kereta. Dua ekor
kuda sudah menariknya dengan cepat meninggalkan
desa terpencil itu...

***

EMPAT

KEDATANGAN seorang gadis berwajah rupawan
dengan rambut yang terurai ke belakang itu telah men-
jadi perhatian penduduk di sekitar desa itu. Karena ca-
ra berpakaiannya berbeda dengan adat penduduk Ne-
geri Sakura. Apalagi melihat dua buah benda membu-
lat yang tergantung di pinggang, serta rantai yang
membelit di pinggangnya yang ramping. Membuat me-
reka segera mengetahui kalau gadis pendatang itu ada-
lah orang asing.
Gadis cantik yang sikapnya agak genit itu tak

lain dari RORO CENTIL adanya. Si Pendekar Wanita
Rantai Selatan ini entah bagaimana telah berada di sa-
tu Negeri yang berpenduduk rata-rata bermata sipit.
"Hm, entah di mana adanya desa KYUSU...! Su-
dah dua desa kujumpai, tapi penduduk di sini tak
mengenai di mana adanya desa itu..." menggumam Ro-
ro seraya menyeka keringatnya yang menempel di dahi.
Aiii...? Aku lupa! Menurut si kakek Nelayan itu, desa
KYUSU terletak di lereng Gunung BUKKYO! Kalau be-
gitu aku harus tanyakan di arah sebelah mana adanya
Gunung BUKKYO itu! Berkata Roro dalam hati.
Setelah berpikir demikian, Roro segera gerak-
kan kakinya melangkah cepat. Menurut penuturan sa-
lah  seorang penduduk, di sebelah depan ada sebuah
desa lagi. Seraya melangkah tak bosan bosannya Roro
memperhatikan pemandangan alam sekitarnya, yang
amat indah. Bunga-bunga Sakura bertebaran di mana-
mana, juga bermacam bunga lainnya yang berwarna
warni. Kala itu adalah permulaan musim semi, hingga
di setiap tempat daun-daun hijau segar selalu tampak.
Juga bermacam bunga bertebaran di sisi jalan.
Setelah melewati sebuah anak sungai dan
mendak bukit, segeralah terlihat dari atas sebuah desa
yang terpencil. Cuma beberapa wuwungan rumah yang
terlihat. Sebenarnya bukit itu adalah batas dari Kota
Raja. Dimana waktu itu di sana ada berdiri sebuah ke-
rajaan yang bernama Kerajaan MERAK HIJAU Kera-
jaan di Negeri Sakura ini di bawah pemerintahan seo-
rang Kaisar. Kira-kira menempuh jalan sepenanakan
nasi, karena Roro sengaja berjalan tak gunakan ilmu
lari cepat. Segera Roro sudah sampai di mulut desa
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh
dan derap kaki-kaki kuda. Dan kira-kira dua puluh
tombak dari  hadapannya,   muncul sebuah kereta ku-
da. Roro segera melompat ke sisi. Sepasang matanya

memperhatikan kereta kuda itu. Akan tetapi ternyata
kereta kuda membelok ke arah timur.
"Aiih, kukira lewat sini...!" gumam Roro yang
agak kecewa. Karena ingin tahu apa isi kereta yang di-
larikan dengan kencang itu. Yang membuat aneh ada-
lah si kusir kereta, karena berpakaian rapat mem-
bungkus semua tubuhnya. Kecuali sepasang matanya
saja yang tak ditutupi.
Rasa penasaran Roro membuat diam-diam dia
menguntitnya. Kereta kuda mencongklang cepat menu-
ju ke satu tempat tersembunyi ke belakang bukit. Sete-
lah melewati jalan berliku-liku, akhirnya berhenti, Tak
lama pintu kereta kuda itu sudah terbuka. Dan tiga
sosok tubuh melompat dari dalam. Pakaiannya sama
hijau dan tertutup rapat seperti si kusir kereta. Ter-
nyata mengeluarkan dua tubuh manusia. yang terikat,
dengan mulut tersumpal kain. Tahulah Roro kalau me-
reka adalah komplotan penculik.
"Aku harus bebaskan mereka!" desis Roro, yang
tak tahu persoalan. Akan tetapi melihat dua orang
yang tertawan itu membuat dia merasa harus turun
tangan. Tak ayal Roro sudah kelebatkan tubuhnya ke
bawah. Dan perdengarkan bentakannya.
"Tunggu...! Mau kalian bawa ke mana orang-
orang itu!"
Tentu saja membuat NINJA-NINJA HIJAU itu
jadi belalakkan mata menatap seorang gadis asing ta-
hu-tahu muncul di situ. Tampak mereka saling pan-
dang. Saat itu dua orang baru akan memanggul tubuh
dua korban yang terikat itu dari atas kereta. Segera
mereka berlompatan mengurung Roro setelah salah
seorang memberi isyarat. Gerakannya tak menimbul-
kan suara, membuat Roro cukup kagum. Hm, ingin ku
tahu bagaimanakah kehebatan si manusia-manusia
hijau ini! Berkata Roro dalam hati.

Segera Roro sudah siap untuk menghadapi se-
gala kemungkinan.
RRRRRRRTT...!
Tiga utas tali tahu-tahu telah meluncur ke tu-
buh Roro. Cepat sekali gerakannya. Dan tak diketahui
di mana disimpannya tali, karena sekejap sudah me-
luncur dari lengan-lengan mereka.
"Edan...!?" sentak Roro. Dia sudah gerakkan
tubuh untuk menghindar. Untunglah Roro cukup was-
pada. Namun tak urung dua buah tali telah menjerat
kedua lengannya. Terkejut si gadis Pantai Selatan ini.
Namun sebelum Ninja-ninja itu berbuat sesuatu, len-
gan Roro telah bergerak menarik tubuh mereka. Dua
tubuh si Ninja Hijau terseret melayang. Keduanya
tampak terkesiap kaget. Sebab sekali kedua lengan Ro-
ro bergerak menyodok ke arah perut mereka. BUK!
BUK!...!
Dua Ninja Hijau itu terbanting ke tanah dengan
mengerang bergulingan. Tiba-tiba Ninja satunya lagi
melesat ke arahnya. Dua buah belati berkelebat den-
gan serangan menyilang menggunting leher. Roro cepat
tundukkan kepala. Kakinya melayang  menghantam
pantat orang.
DHES!
Terdengar teriakan Ninja ini. Tubuhnya ter-
banting ke tanah. Akan tetapi...
BHUSSS...! Di tempat jatuhnya tampak asap
putih membumbung. Dan sekejap tubuh si Ninja Hijau
sudah lenyap. Terperangah Roro Centil.
"Edan...!?" lagi-lagi memaki Roro. Namun cepat
gadis pendekar ini putarkan tubuh. Enam buah belati
meluncur ke arah tiga bagian tubuhnya. Dilontarkan
dua orang Ninja Hijau yang tadi roboh kena hantam
perutnya. Secepat kilat Roro Centil kibaskan rambut-
nya.

WHUUUK..!
Sekejap enam buah belati itu sudah berpenta-
lan entah ke mana.
Tiba-tiba sebuah benda meluncur ke arah Roro.
Tak ayal lengan Roro sudah bergerak menghantamnya.
Akan tetapi tiba-tiba...
BHUSSS...! Benda yang terhantam itu letupkan
asap tebal yang sekejap telah membungkus tubuh Ro-
ro. Terkejut gadis ini. Segera Roro tutup pernafasan-
nya. "Asap racun..." desisnya tertahan. Akan tetapi dia
sudah terbatuk-batuk. Terlambat sudah. Roro sudah
menghisap asap itu. Tubuhnya segera terhuyung, dan
jatuh berdebuk ke tanah.

--------ooOoo-------

Sesosok tubuh berjubah hijau telah berada di
tempat itu. Ternyata seorang wanita tua berwajah pu-
cat, dengan alis matanya mencuat ke atas. Rambutnya
berwarna merah terurai panjang. Lengannya mencekal
sebuah tongkat berbentuk ular. Ditatapnya sosok tu-
buh yang tergeletak di hadapannya itu. Terdengar sua-
ranya yang bernada dingin.
"Heh!? Perempuan asing dari manakah? Cepat
kalian bawa masuk kedua orang itu!" ujarnya seraya
menoleh ke arah empat orang Ninja Hijau yang kemba-
li sudah berada di situ. Yang seorang adalah kusir ke-
reta kuda.
Tak ayal perintah itu sudah dikerjakan. Keem-
pat Ninja itu cepat menggotong dua tubuh terikat itu.
Dan dibawa ke sisi dinding bukit.
Ternyata pada sisi dinding batu bukit itu telah
menjeblak terbuka sebuah celah pintu. Sekejapan saja
kedua orang tawanan itu sudah dibawa masuk. Tak
lama seorang Ninja melompat kembali ke dalam kereta.

Salah satu lorong di sisi dinding batu bukit itu berge-
rak menggeser, dan terbuka sebuah lubang besar. Ku-
sir kereta segera keprak kudanya untuk segera masuk
ke lorong itu. Begitu telah berada di dalam, pintu lo-
rong yang lebar itu pun kembali menutup.
Selang tak lama si nenek rambut merah berwa-
jah pucat itu sudah memanggul tubuh Roro, dan di-
bawa berkelebat masuk ke dalam celah dinding bukit
Seorang Ninja keluar lagi untuk membersihkan bekas-
bekas roda kereta dengan sapu jerami. Hingga tak ken-
tara lagi ada tanda-tanda yang mencurigakan di tem-
pat itu. Sesaat si Ninja sudah berkelebat masuk ke ce-
lah. Dan pintu batu celah itu kembali menutup.
Sekitar tempat itupun kembali sunyi lengang
seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.....
Benarkah Roro Centil semudah itu dipecun-
dangi? Tidak! Percuma Roro menjadi murid si Manusia
Banci dari Pantai Selatan yang banyak akalnya. Bebe-
rapa pengalaman selama malang-melintang di Rimba
Hijau, entah sudah berapa macam racun yang harus
dihadapi. Ternyata Roro sengaja pura-pura terjatuh
menggeloso seolah pingsan. Padahal seluruh indranya
telah disiapkan untuk menghadapi segala kemungki-
nan. Asap yang sedikit terendus itu sudah berhasil di-
keluarkan dengan mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya. Sekaligus hawa beracun itu sudah lenyap ter-
hembus.
Tentu saja ketika itu Roro sudah menutup se-
mua jalan darah, untuk menjaga kemungkinan sosok
tubuh yang memanggul tubuhnya melakukan totokan
pada tubuhnya. Akan tetapi Roro merasa lega. karena
hal itu tidak dilakukan si nenek muka pucat berambut
merah, yang merasa sudah cukup asap itu membius
Sementara di dalam ruangan di dalam celah
tebing itu, diam-diam Roro meneliti dengan sudut ma-

tanya. Ternyata sebuah ruangan yang lebar berlantai
batu. Terdengar suara si nenek Rambut merah itu
"Masukkan keduanya dalam penjara belakang!"
terlihat empat orang Ninja Hijau segera menggotong
kedua tubuh untuk segera dibawa ke ruangan bela-
kang. Akan tetapi sebelum mereka bergerak jauh, Roro
sudah gerakkan lengan menotok tubuh si nenek muka
pucat dan melompat dari pundak si Rambut Merah itu.
Tentu saja hal itu membuat terkesiap wanita itu. Seke-
tika tubuhnya sudah jatuh menggabruk. Sekejap tong-
kat si nenek sudah berpindah.
"Berhenti...!" teriak Roro, seraya berkelebat dan
silangkan tongkatnya menghadang keempat Ninja Hi-
jau. Dan kali ini Roro tak kepalang tanggung. Segera
pergunakan gerakan dari jurus Ikan Hiu Menerobos
Karang. Tubuhnya berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu
keempat Ninja itu sudah roboh bergulingan dengan
tubuh tertotok.
Dan kejap berikutnya lengannya sudah berge-
rak meringkus mereka. Mengikatnya menjadi satu. Se-
lanjutnya sudah melompat lagi ke hadapan si nenek
rambut merah. Lengannya bergerak menjambak ram-
but si wanita tua itu agar bisa ditatap lebih jelas. Akan
tetapi... PLASH... Ternyata segumpul rambut yang di-
cekal Roro justru terlepas merosot dari kulit kepala
wanita muka pucat itu.
"Heh!. Rupanya kau pakai^ rambut palsu...!"
"Pasti kaupun pakai kulit muka palsu..." ujar
Roro selanjutnya. Seraya lengannya bergerak untuk
jambret ke bawah dagu si wanita muka pucat. Benar
saja! Karena segera telah terkelupas wajah wanita tua
yang keriput itu. Ternyata wanita itu tak lain dari si
bibi berhati busuk, yang telah menipu Hamada.
Dialah yang bernama HUYIMA, karena saat itu sudah
terdengar suara si kakek Mitsui yang berteriak kaget.

Entah bagaimana sumpal di mulut kakek tua renta itu
sudah terlepas. "HUYIMA...!" Dan selanjutnya ....
TAS! TAS! Tiba-tiba lengan kakek tua yang se-
perti tak bertenaga itu telah bergerak memutuskan tali
yang mengikatnya. Sekejap saja  dia sudah melompat
berdiri. Tentu saja membuat Roro jadi terkejut aneh.
Hamada juga terheran dengan membeliakkan sepasang
matanya. Ternyata dia sudah sadarkan diri dari ping-
sannya. Akan tetapi beberapa kali dia gerakkan tan-
gannya memutuskan tali yang mengikat lengan dan
kaki, tak membawa hasil.
Si kakek Mitsui kebutkan lengan bajunya. Tali-
tali yang mengikat tubuh dan tangan Hamada seketika
berlepasan putus, tanpa menyentuh sedikit pun kulit
atau pakaian pemuda itu. Cepat-cepat pemuda itu le-
paskan sumpal di mulutnya. "Ah!? Kakek Matsui...?
kau... kau..." terkejut Hamada. Karena tak menyangka
sedikit pun kalau si kakek tua renta itu mempunyai
ilmu kepandaian hebat.

***

LIMA

“HEHEHE... Hamada! Sudah saatnya aku un-
juk gigi! Aku memang sengaja berlagak menjadi orang
tua yang sudah dekat ke liang kubur, karena ku ingin
menyelidiki siapakah si pemimpin Ninja-ninja Hijau
ini!" berkata kakek Matsui dengan tersenyum. Tiba-
tiba sudah balikkan tubuh menatap Roro. Ternyata
Roro pun tengah menatapnya.
"Ah, gadis asing yang hebat! Terima kasih atas
pertolonganmu pada kami, dan bantuanmu menang-
kap si Ketua Ninja Hijau ini...!". ujar kakek Matsui se-

raya melangkah dua tindak dan menjura pada Roro.
Cepat-cepat Roro pun balas menjura.
"Secara tak sengaja aku melihat kereta kuda di
larikan kencang di jalan sunyi di atas bukit. Pertolon-
ganku tak begitu berharga, karena kau orang tua ter-
nyata mampu melepaskan diri. Tentunya kau berilmu
tinggi! Cuma saja kau sengaja tak mau bertindak ter-
buru buru!" berkata Roro sambil tersenyum.
Kakek Matsui perdengarkan tertawanya, seraya
kerutkan kening. Lalu ucapnya.
"Hm, walaupun bagaimana kau telah berjasa
padaku, membuka kedok si wanita Ketua Ninja Hijau
ini!" namaku Matsui Namoto, akan tetapi orang sering
menyebutku si kakek Matsui. Siapakah gerangan no-
na? Dan berasal dari mana?" bertanya kakek Matsui
setelah perkenalkan diri.
"Namaku RORO! Lengkapnya RORO CENTIL...!
Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di lereng
gunung BUKKYO. Tepatnya di desa KYUSU!" Aku be-
rasal dari Pulau Jawa, di wilayah kerajaan Mataram...!"
Tutur Roro singkat. Kakek Matsui tercenung sejenak
seraya manggut-manggut. Sementara Hamada sudah
loloskan tali yang mengikat kakinya. Tak lama dia su-
dah beranjak menghampiri kedua orang yang sudah
menatapnya itu.
"Terimalah hormatku pada anda, nona...! Na-
maku Hamada! Terima kasih atas bantuanmu meno-
long kami." berkata Hamada seraya menjura pada Ro-
ro. Terpaksa Roro balas menjura, seraya mengangguk.
Diam-diam hatinya memuji akan ketampanan wajah
pemuda itu.
"Aku Roro Centil...!" ujar Roro seraya terse-
nyum.
"Baiklah, nanti kita berbincang-bincang lagi!
Aku ingin sekali mengetahui siapa gerangan sahabat-

mu yang berdiam di desa Kyusu di lereng gunung
Bukkyo itu! Wanita ini baiknya kau serahkan saja Pa-
daku untuk mengurusnya!" berkata kakek Matsui. Ro-
ro mengangguk seraya melompat ke sisi. Kakek Matsui
tatap wajah orang lekat lekat. Sinar matanya member-
sitkan kemarahan. Dan dia sudah membentak
"HUYIMA...! Katakan apa maksudmu dengan
semua perbuatanmu ini?" wanita itu tundukkan wa-
jahnya. Tubuhnya tak dapat digerakkan, karena toto-
kan Roro Centil amat ampuh sekali. Keringat mengu-
cur deras dari dahinya. Akan tetapi si bibi itu segera
cepat menjawab.
"Lepaskanlah dulu totokan pada tubuhku
ini...!" Kakek Matsui kerutkan kening sejenak. Lalu
berpaling pada Roro.
"Nona! Kau bukalah totokanmu!"
"Ssst! Apakah tak kau khawatir dia meloloskan
diri?" tanya Hamada dengan menatap pada kakek Mat-
sui. Akan tetapi Roro sudah tertawa seraya ber-
hihihi... ingin kulihat, apakah dia dapat melakukan-
nya?" lengan Roro bergerak mengibas. Dan bersyiurlah
segelombang angin menerpa tubuh Huyima. Sekejap
saja wanita itu sudah rasakan tubuhnya terbebas dari
belenggu totokan. Segera dia melompat bangun. Roro
sudah pasang mata untuk segera bertindak bila Huyi-
ma berani coba-coba melarikan diri. Akan tetapi si
Pendekar Wanita Pantai Selatan ini menaruh keper-
cayaan pada si kakek Matsui.
"Paman... kuharap kau tak salah mengerti! Se-
mua ini kulakukan adalah demi keselamatanmu  dan
keselamatan Hamada!" berkata Huyima yang ternyata
di luar dugaan tak melakukan apa-apa.
"Demi keselamatanku...?" sentak Hamada.
"Lalu apakah maksudmu dengan kejadian di
taman bunga tadi, bibi?"

"Ah, marilah kalian ikut aku...! Segera akan ku-
ceritakan semuanya! Dan kau paman Matsui! Sudah
kuduga kau memiliki  ilmu kepandaian. Akan tetapi
mengapa kau selalu menyembunyikannya?" seraya
berkata Huyima beranjak ke dalam.
"Aku memang sudah mau cuci tangan, Huyima!
Tak kukira akhirnya aku terpaksa turut campur  da-
lam masalah ini!"
Tiba-tiba Huyima hentikan langkahnya, dan
berpaling menatap Roro Centil.
"Hm, anda bernama RORO CENTIL.? Ah, anda
mempunyai banyak akal cerdik! Aku tak merasa malu
jatuh di tangan anda, nona...! Aku tak keberatan kalau
anda mau mencampuri urusan kami.." ujarnya.
"Tolonglah kau bebaskan keempat Ninja murid
ku itu! Jangan khawatir! Kita semua orang sendiri!"
Roro menatap sejenak ke arah kakek Matsui, yang se-
gera mengangguk. Tak ayal Roro segera melompat
mendekati keempat Ninja Hijau yang telah diikatnya
menjadi satu dengan keadaan tumpang tindih.
Sekali lengannya bergerak, maka tambang pen-
gikat itu pun putus. Sekaligus Roro bebaskan mereka
dari totokannya. Keempat Ninja itu pun segera berlom-
patan bangun berdiri, seraya satu persatu menjura
pada Roro.
Huyima tersenyum, segera gerakkan tangannya
memberi isyarat, diiringi kata-kata. "Buka pintu lorong
bawah...!" Keempat Ninja mengangguk dan berlompa-
tan cepat mendahului ke arah ruangan dalam. Diam-
diam Hamada heran juga, karena tak menyangka ka-
lau si bibi, ibu Korisyima itu punya murid dari para
Ninja Hijau. Dan bahkan menjadi pimpinan mereka.
Segera tiga orang sudah mengikuti ke mana Huyima
membawa mereka. Tentu saja Roro tetap waspada,
khawatir si wanita itu mengibuli untuk menjebak di

dalam ruangan. Sementara Hamada sejak tadi sering
memperhatikan  Roro dengan pandangan tajam dan
kagum. Disamping merasa aneh, karena gadis semuda
itu sudah berani melakukan perjalanan jauh hingga
menyeberangi lautan.

------ooOoo------

KORISYIMA tundukkan wajahnya semakin da-
lam dengan hati tak keruan rasa. Sementara lengan
Hatsyi Gato sudah menggamit pinggangnya. Tak ber-
daya gadis ini menolak, ketika lengannya yang telah
dicekal pemuda putera Wali Kota itu untuk ditempel-
kan ke dadanya. Terasa degup jantung Hatsyi Gato
berdebaran di kulit lengannya.
"Adik Korisyima...! Kau sudah dengar kata-kata
ibumu... ? Beliau merestui  mu dan merestui 'kita'...!
Aku amat mencintaimu adik Korisyima!" Terdengar su-
ara Hatsyi Gato bernada lembut merayu.
Sebelah lengan pemuda itu mulai merayap ke
arah dada... Akan tetapi lengan si gadis telah bergerak
menepiskan. Laki-laki kurang ajar...! Memaki Korisyi-
ma dalam hati. Hatinya membatin. Heh! Hamada sen-
diri belum berani melakukan hal ini...! Ah, aku telah
terjerat dalam perangkap! Apakah hal ini sengaja di-
atur oleh ibu...?
Tiba-tiba Hatsyi Gato  sudah balikkan tubuh-
nya. Kejap lain sudah memeluki tubuhnya, serta
menghujani dengan ciuman-ciuman ke pipinya. Terpe-
rangah Korisyima. Namun dia sudah meronta untuk
melepaskan diri. Lengannya tiba-tiba melayang...
PLAK...! Terkejut Hatsyi Gato. Tamparan itu te-
pat mengenai pipinya. Merahlah wajah pemuda ini.
Seumur dewasa belum pernah dia mendapat tamparan
dari seorang gadis. Bahkan selama ini entah sudah be-

rapa gadis yang jatuh dalam pelukannya. Karena seba-
gai seorang anak Wali Kota, Hatsyi Gato amat dihorma-
ti.
Pada detik itu juga Korisyima sudah melarikan
diri dengan terisak menutupi wajahnya. Pemuda ini
perdengarkan suara dengusan di hidung. Sekejap tu-
buhnya sudah melompat mengejar. Akan tetapi pada
saat itu juga sebuah bayangan berkelebat mengha-
dang. Ternyata sesosok tubuh berpakaian serba hijau,
yang tak lain salah seorang dari Ninja Hijau.
"Bedebah! Siapa kau...!" Membentak Hatsyi Ga-
to. Lengannya sudah bergerak menghantam. Akan te-
tapi dengan gesit Ninja Hijau itu sudah melompat gesit
menghindar.
Sementara si Ninja cuma berdiri menanti den-
gan bertolak pinggang.
"Bedebah...! kau minta mampus...!" lagi-lagi
Hatsyi Gato sudah menerjang dengan hantaman puku-
lannya. Akan tetapi si Ninja Hijau kembali melompat
menghindarkan diri semakin menjauhi taman. Hal itu
membuat si pemuda anak Wali Kota itu semakin be-
rang. Samurainya sudah disentakkan ke luar dari se-
rangkanya. Dan dengan membentak keras segera men-
gejar manusia yang sengaja mempermainkannya itu.
Kegesitan Ninja Hijau memang dapat di andal-
kan, karena dia mampu mengelakkan tabasan-tabasan
maut pedang samurai Hatsyi Gato. Bahkan tanpa dis-
adari oleh lawannya, dia telah membawa si pemuda itu
semakin jauh dari taman.
Ketika Hatsyi Gato menerjang lagi dengan teba-
san-tebasan mautnya, tiba-tiba Ninja itu lenyap sete-
lah membantingkan sebuah benda yang menimbulkan
asap tebal. Terperangah Hatsyi Gato. Sepasang ma-
tanya merah membara. Betapa terhinanya pemuda ini.
Setelah tercenung sejenak, segera dia sudah berkelebat

pergi untuk angkat kaki dari tempat itu dengan hati
memaki panjang-pendek...

0000***0000

"Tahukah kalian... bahwa Kaisar KOTSYI NA-
GOYA menginginkan Pedang Pusaka milik SOKU SHE-
BA si kakek kaki buntung yang mendiami dasar Lem-
bah Air Mata...!" berkata Huyima. Mereka sudah du-
duk di satu ruangan persegi, setelah melewati lorong
menuju ke bawah. Ternyata di sini ruangan menjadi
terang, dengan adanya sinar matahari yang masuk da-
ri satu lubang di atas langit-langit. Hamada tersentak
kaget. Hatinya membatin. Aku diperintah guru untuk
mencuri Pedang Pusaka itu. Entah barang Pusaka ma-
cam apakah pedang itu hingga Kaisar pun mengingin-
kannya?
"Bahkan bukan Kaisar saja yang menginginkan,
akan tetapi juga para Pembesar Kerajaan. Mereka
mengirimkan Ninja-Ninja ke Lembah Air Mata untuk
mencuri Pedang Pusaka itu." tutur Huyima lebih lan-
jut.
"Ah, ternyata begitu banyak orang yang men-
ginginkan Pedang Pusaka itu. Mengapa Kaisar tak tu-
run tangan mengerahkan laskar untuk memaksa me-
minta Pedang Pusaka itu dari tangannya? Atau mengi-
rim utusan agar Soku Sheba menghadap padanya?"
bertanya Hamada.
"Hal itu aku tak tahu! Tapi agaknya Kaisar tak
mau melakukan kekerasan, karena merusak citranya
sebagai kaisar yang diagungkan di wilayah ini...!" me-
nyahut si bibi,
Sementara kakek Matsui tercenung tanpa ber-
kata apa-apa. Terdengar suara helaan nafasnya, seper-
ti merasa hal itu menyesakkan rongga dadanya.

"Baiklah! beritamu itu aku terima! Akan tetapi
jelaskanlah apa maksudmu menawan kami dengan
menyuruh Ninja ninja anak buahmu melakukannya?"
tiba-tiba kakek Matsui buka suara.
"Dan tampaknya diam-diam kau punya gerakan
di bawah tanah, yang secara sembunyi melakukan ke-
giatan memata-matai orang-orang Kerajaan...! Huyima
tersenyum seraya menghela napas,  lalu katanya den-
gan nada tegas.
"Hm, benar...! Bahkan aku sudah tahu siapa
adanya orang yang berikan surat pada Hamada! Bu-
kankah dia bernama HIGEI TANAKA yang bergelar si
SETAN TANAH...?" seraya berkata, Huyima berpaling
menatap pemuda itu. Tentu saja Hamada disamping
terkejut, juga tersipu, karena segera teringat ketika dia
pura-pura membersihkan kakinya  yang kena lumpur
dengan kertas yang berisi surat singkat dari si Setan
Tanah itu.
"Kau ternyata banyak mengetahui, bibi...! Aku
memang diberi kertas berisi surat itu, untuk aku sege-
ra datang ke Lembah Pedang!"
Dan tanpa menutupi lagi, segera Hamada ceri-
takan tentang kegagalannya mencuri Pedang-Pusaka
atas perintah gurunya. Juga diceritakan tentang te-
wasnya dua orang kawannya dalam menjalankan tu-
gas itu.
"Aku cuma diberi waktu tiga pekan! Kalau aku
tak berhasil mendapatkan pedang itu, terpaksa aku
membunuh diri! Dalam keadaan kalut itulah aku ber-
jumpa dengan si Setan Tanah, Higei Tanaka yang me-
nitahkan ku segera ke Lembah Pedang. Dia menawari
ku agar aku dapat menjadi Ninja Tulen maka diperin-
tahkan aku ke sana...!" tutur Hamada.
"Hm, si Setan Tanah itu terlalu sombong! Apa-
kah dia mengira usahanya akan berhasil baik?" berka-

ta si "bibi". Sementara si kakek Matsui tampak sudah
buka suara lagi. "Segeralah kau jawab pertanyaanku
tadi, Huyima...!" nada suara kakek Matsui ini terden-
gar ketus, seperti sudah tak sabar mendengar alasan
yang bakal dikemukakan Huyima.
Akan tetapi pada saat itu terjadi sesuatu yang
di luar dugaan. Karena lengan Huyima telah tekan se-
buah tombol di bawah tempat duduknya. Dan...
BRHUSSSSS...!
Tahu-tahu lantai persegi empat yang diduduki
mereka telah menjeblak terbuka terbelah di bagian
tengahnya. Tak ampun tiga tubuh yang duduk di ha-
dapannya telah menggubrus masuk ke dalam lubang.
Kecuali lantai tempat duduk Huyima yang masih tetap
tak berubah. Dengan tertawa mengikik tiba-tiba Huyi-
ma melesat  dari tempat duduknya. Tiba-tiba dinding
ruangan  di belakangnya telah bergerak turun dengan
cepat seperti roboh. Itulah sebuah dinding besi tebal.
Dan...
BRUMMM...! Lubang barusan itu sudah tertu-
tup rapat oleh dinding besi tebal yang mirip batu goa
itu.
"Keparat...! lagi-lagi kita terpedaya...! Huuuh!"
memaki Hamada dengan mengeluh. Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara tertawa mengikik dari atas lu-
bang. Sebuah lubang kecil di bagian atas mengantar-
kan suara wanita itu sampai ke dasar lubang.
"Hihihi... hihi... hik hik hik... Aku memang mau
memasukkan kalian dalam penjara bawah tanah ini,
agar tak mengganggu urusanku...! Nah selamat men-
dekam di lubang ini! Mudah-mudahan kalian masih
bisa berumur panjang...!" Setelah perdengarkan terta-
wanya lagi, suasana kembali lengang. Karena si wanita
bernama Huyima itu sudah berkelebat ke luar dari
ruangan bawah tanah dalam lorong itu.

"Bedebah...! manusia busuk...! kelak akan kau
rasai balasanku kalau aku berhasil ke luar dari lubang
sialan ini...!" memaki si kakek Mitsui. Akan tetapi ter-
kejut laki-laki tua ini karena tak melihat adanya Roro
di antara mereka. "He? Ke mana gerangan gadis asing
itu?"
Kakek Mitsui jelalatkan matanya lebar-lebar di
tempat gelap. Akan tetapi memang tak menampak tu-
buh lain selain Hamada.
Hamada sendiri pun terheran, akan tetapi ha-
tinya terlonjak girang. "Pasti dia berhasil menyela-
matkan diri di saat kejadian tadi...!" berkata Hamada.
"Ah, benar dugaan mu itu Hamada...! Gadis as-
ing itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya.
Tampaknya dia sudah banyak pengalaman di luaran.
Terbukti bisa sampai ke daratan Negeri kita, berarti
bukan seorang gadis sembarangan. Setidak-tidaknya
adalah  seorang Pendekar Sakti...! Entah siapa geran-
gan sahabatnya yang berdiam di lereng Gunung BUK-
KYO!"

***

ENAM

KEMANAKAH gerangan Roro Centil...? Kalau
saja Roro tak memiliki ilmu ajian SARI RAPET yang
sudah sejak lama dimilikinya warisan dari gurunya si
Manusia banci pasti sudah ikut terjerumus ke dalam
lubang. Akan tetapi Roro memang sudah waspada se-
jak duduk di lantai persegi empat itu. Dan diam-diam
pergunakan ilmu itu untuk membuat tubuhnya me-
nempel pada lantai yang didudukinya. Ilmu Ajian Sari
Rapet ini agak mirip dengan ilmu CECAK yang terda-

pat di negeri Sakura itu. (Roro pernah pergunakan il-
mu ini ketika melawan musuhnya, dalam judul "Pem-
balasan si Setan Cengkrong").
Sebelumnya Roro Centil memang telah menge-
tahui kalau lantai yang diinjaknya adalah kosong pada
bagian bawahnya. Karena dengan menjadi murid si
Manusia Banci, Roro telah mampu menaklukkan ge-
lombang Pantai Selatan. Baginya sudah dapat membe-
dakan setiap sentuhan kulit kakinya pada tempat yang
dipijak. Untuk masa itu amatlah sulit mencari orang
yang mempunyai Ilmu berdiri di atas air. Karena ilmu
itu harus dikuasai oleh orang yang bertenaga dalam
tinggi. Beruntunglah Roro Centil pernah mewarisi te-
naga dalam yang hebat  dari Si DEWA TENGKORAK,
yang telah memberikannya di saat kematian menjem-
put jago tua golongan hitam itu. (Baca: Empat Iblis
Kali Progo).
Ternyata di saat lantai terbelah bagian tengah-
nya, dan ketiga tubuh mereka meluncur masuk ke lu-
bang. Tubuh Roro Centil masih tetap menempel di
tempatnya seperti lengket menjadi satu dengan lantai
yang didudukinya. Dan di saat mana Hamada melesat
dari tempat duduknya setelah menekan tombol di ba-
wah tempat duduk. Kemudian dinding besi di bela-
kangnya tahu-tahu menjeblak roboh untuk segera me-
nutup lubang. Pada detik itulah tubuh Roro berkelebat
ke atas langit-langit ruangan. Dan menempel di sana.
Tentu saja Roro Centil dapat memperhatikan jelas dari
atas langit-langit.
Huyama membungkuk membuka sebuah lu-
bang kecil di sudut penutup lubang. Lalu kirimkan su-
aranya ke bawah. Kalau Roro mau bertindak, saat itu
bisa membekuknya lagi. Akan tetapi dia memikir akan
mengetahui rahasia tempat itu. Hingga dengan mena-
han napas Roro tetap berdiam di tempatnya. Hingga

sampai si wanita itu berangkat pergi meninggalkan
tempat rahasia itu.
Namun Roro tetap menanti dengan sabar sam-
pai suasana aman. Dilihatnya beberapa Ninja bermun-
culan. Setelah membuka sebuah lorong dengan mene-
kan tombol rahasia, segera mereka memasuki lorong
itu dan lenyap. Pintu lorong segera menutup lagi.
"Hm, kini saatnya aku turun..." desis dara Per-
kasa ini. Akan tetapi begitu kakinya menginjak lantai,
sesosok tubuh muncul dari pintu ruangan Terkesiap
Roro Centil. Ternyata masih ada seorang Ninja yang
ketinggalan. Baru saja Ninja itu mau memasuki lorong
rahasia, dan gerakkan tangan menekan tombol, dia te-
lah urungkan niatnya. Dan cepat menoleh....
Namun secepat kilat Roro Centil telah menda-
hului berkelebat. Lengannya terjulur. Dan sekejap saja
si Ninja itu sudah roboh dalam keadaan tertotok. Se-
lanjutnya... BRET! BRET...! Roro sudah merobek penu-
tup muka si Ninja. Segera terlihat adanya siapa si Nin-
ja itu. Ternyata seorang wanita! Tentu saja membuat
Roro terheran.
"Hihi... kau kini jadi tawananku...! Segera beri-
tahukan di mana tombol pembuka tutup lubang itu!"
bentak Roro.
Terperangah Ninja perempuan itu. "Aku... aku
tak dapat memberitahukan!" berkata si Ninja dengan
wajah pucat.
"Hm, ternyata kau keras kepala juga! Aku ha-
rus mengorek beberapa keterangan darimu! Kalau kau
tetap membungkam jangan katakan aku kejam!" ujar
Roro menggertak. Akan tetapi si Ninja wanita ini cuma
plengoskan wajahnya. Roro gerakkan lengannya mero-
goh sesuatu dari balik pakaiannya. Sekejap sudah ter-
cekal sebuah bumbung bambu bersumbat. Bumbung
bambu itu mempunyai lubang udara pada bagian atas

sumbat.
BREBEET...! Sekali lengan Roro menyentak, se-
gera pakaian si Ninja wanita bagian atasnya telah ter-
sobek lebar.
"Ah...!? Mau kau apakah aku?" terperangah si
Ninja wanita itu karena sekejap saja sudah menampak
separuh bagian tubuhnya. Terkejut juga Roro Centil
karena segera dapatkan dari dalam pakaian belasan
pisau kecil, beberapa utas tambang dan benda-benda
bulat. Agaknya benda-benda bulat itulah benda yang
bila dikeluarkan akan meletup dan mengeluarkan asap
tebal. Sepasang payudara yang mungil tak seberapa
besar dan putih mulus segera tersembul ke luar.
"Aku akan memaksamu untuk bicara...!" Berka-
ta Roro dengan wajah bengis. Tutup sumbat tabung
bambu itu sudah dibuka. Dan dengan enak saja Roro
Centil segera tuangkan isinya ke atas dada orang....
"Aaauu...!? aauu...! aauuuh...!" berteriak-teriak
si gadis Ninja itu. Karena segera belasan ekor Kala te-
lah merayap di atas dadanya. Akan tetapi tubuhnya
memang sudah tak mampu untuk digerakkan. Semen-
tara Roro terpingkal pingkal geli menyaksikan si gadis
Ninja yang ketakutan. Diam-diam Roro jadi teringat
pada beberapa tahun yang silam di saat bertemu den-
gan gurunya ( si Manusia Banci).
Dia pun pernah diperlakukan demikian oleh
sang guru. Pada waktu itu Roro takutnya bukan main,
tak beda dengan ketakutannya si Gadis Ninja itu. Akan
tetapi Roro sekarang sudah mengenai baik beberapa
jenis binatang berbisa. Bahkan binatang-binatang itu
sudah menjadi permainannya.
"Baik...! baik...! aku akan bicara!" teriak si Nin-
ja dengan spontan.
"Hihihi... ! begitulah baru anak yang baik...!":
berkata Roro, yang segera raup binatang-binatang ber-

bisa itu untuk masukkan lagi ke dalam bumbung. Lalu
selipkan lagi dalam pakaiannya.
"Nah! Segera kau tunjukkan cara membuka tu-
tup lubang itu!" perintah Roro. Si Ninja wanita ini me-
nepati janjinya. Segera beritahukan alat-alat untuk
menggerakkan dinding besi.
Tak ayal segera Roro tekan satu tombol yang
tersembunyi di sudut ruangan. Benar saja. Segera ter-
dengar suara gemuruh di bawah kaki Roro. Dan dind-
ing besi itu bergerak naik kembali ke asalnya. Dan
tampak mulut lubang sudah terlihat menganga. Roro
perlihatkan senyumnya, dan tiba-tiba sudah melompat
menghampiri si Ninja wanita. Tiga utas tambang segera 
disambungkan menjadi satu. Dan di lain saat Roro
Centil sudah lemparkan ujungnya ke dalam lubang
serta mengulurnya dengan cepat.
"Cepatlah kalian naik... satu persatu!" teriak
Roro.
Kakek Matsui dan Hamada saling pandang
dengan  tersenyum melihat tali  yang sudah menjulur
tiba. "Aih, gadis asing itu memang hebat!" puji kakek
Matsui.
"Kau naiklah duluan, Hamada...!" ujarnya pada
Pemuda itu.
Hamada mengangguk. Dan cepat lengannya
meraih tambang. Tak lama dia sudah merayap naik.
Roro pergunakan ilmu memberatkan tubuh. Hingga
dengan berdiri santai menahan tali di atas lubang.
Selang sesaat tubuh Hamada telah tersembul
keluar. Kejap berikutnya sudah melompat ke sisi lu-
bang.
"Kakek Matsui...! Kini giliran kau...!" teriak Ro-
ro. Terasa tambang menegang dan bergerak-gerak.
Ternyata kakek Matsui sudah merayap naik. Sekejap
antaranya tubuh si kakek itu pun sudah tersembul ke

atas. Lalu melompat ke sisi lubang.
"Ah, terima kasih atas pertolonganmu, nona
Roro Centil!" berkata kakek Matsui yang segera dituru-
ti oleh Hamada.
"Kita telah berhasil menangkap seorang anak
buah si Huyima itu! Lihatlah...!" berkata Roro seraya
menunjuk pada si Ninja wanita yang tergolek dengan
wajah pias di sudut ruangan.
Sekejap saja kakek Matsui dan Hamada sudah
beranjak mendekati.
"SUZI...!  kau... kau...?" terperangah Hamada
melihat gadis Ninja itu yang dikenalnya.
Akan tetapi gadis Ninja itu sudah tutup kelopak
matanya. Terdengar suaranya bernada  dingin.
"Bunuhlah aku...! kalian semua sudah selamat
dari tempat ini! Dan aku... aku pun sudah tak dapat
hidup lagi...!" berkata si Ninja wanita.
"Suzi...! aku tak mengerti, mengapa kau menja-
di seorang Ninja? Apakah maksud bibi Huyima men-
jebloskan kami ke lubang perangkap bawah tanah ini?"
Akan tetapi yang ditanya sudah membungkam. Ter-
dengar suara Roro Centil ikut bicara. "Hm, Suzikah
namamu, adik manis? Kau bicaralah! Aku akan lin-
dungi kau dari hukuman Ketua mu!"
Ninja wanita bernama Suzi itu tak menjawab.
Akan tetapi dari sudut kelopak matanya tampak men-
galir air bening yang meleleh turun ke pipinya. Roro
jadi tertegun. Sejenak sudah memandang pada kakek
Matsui dan Hamada berganti-ganti. Terdengar kakek
Matsui menghela napas.

------ooO-------