Roro Centil 23 - Duel Maut di Cipatujah(2)





TUJUH

Sementara itu Tiga sosok tubuh laki-laki yang
bentuk tubuhnya berbeda satu sama lain tampak ten-
gah berdiri diatas lamping bukit. Menyapukan pan-
dangan mata mereka pada sekitar tempat itu. Seorang
bertubuh jangkung mirip galah. Seorang lagi bertubuh
pendek kekar. Sedangkan yang paling sisi adalah seo-
rang laki-laki gemuk berpipi tembem. Rambutnya hi-
tam kaku. Dua dari ketiga orang ini mengenakan pa-
kaian dari kulit kerbau. Si jangkung kurus mencekal
sebatang ruyung  yang panjangnnya melebihi kepa-

lanya. Si pendek kekar membawa dua buah buli-buli
arak yang tergantung dipinggangnya. Sedangkan si
gemuk pipi tembem yang memakai jubah kuning dari
kain kasar itu bertangan kosong.
Melihat dari tampangnya si gemuk itu seperti
seorang pegulat ulung, yang bukan penduduk asal
daerah itu. Boleh dibilang seperti orang asing yang ba-
ru injakkan kaki ke wilayah itu.
"Kakang Sapi Lanang. tujuan kita adalah me-
nyeret si gadis bandel itu untuk pulang kembali ke
perguruan, bukan untuk tujuan macam-macam!" ber-
kata si pendek kekar yang membawa  buli-buli arak
pada si laki-laki jangkung. Si pendek kekar ini berna-
ma Suro Ragil yang terhitung adik seperguruan laki-
laki jangkung bernama Sapi Lanang itu. Agaknya Suro
Ragil telah mengetahui watak kakak seperguruan nya
yang suka menyeleweng.
"Hohohoho... tentu! tentu saja...! Apakah info
itu jelas bahwa si Seruling Gading berada di Cipatu-
jah...? balik bertanya Sapi Lanang.
"Orang-orang kita yang melacak kepergian si
Seruling gading yang kabur dari perguruan itu cukup
jelas dan dapat dipercaya. Kukira saat ini masih bera-
da di Pesanggrahan milik Ki Astagina, kokolot desa Ci-
patujah!"
"Bagaimana kalau Ki Astagina menghalangi?
Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?"
tanya lagi Sapi Lanang.
"Ki Astagina kenal baik watak guru kita dan
agaknya memandang persahabatan, dia takkan meng-
halangi...!"
"Ya, itu dugaanmu. Tapi dugaanku lain! ki As-
tagina adalah sesepuh atau "kokolot" di wilayah Cipa-
tujah. Kalau si Seruling Gading ternyata memang me-
minta perlindungan padanya, masakan dia mau biar-

kan kita menyeret gadis bandel itu? Tentu hal demi-
kian akan menurunkan wibawanya! Kukira dia pasti
mempertahankan, atau meminta guru kita yang men-
gambilnya sendiri, disamping ingin tahu jelas persoa-
lannya!" tukas Sapi Lanang.
"Boleh jadi demikian...! Ya, kalau demikian kita
terpaksa harus pakai kekerasan!" tegaskan Suro Ragil.
"Hohoho... itu memang mauku! Aku memang
mau menjajal kehebatan orang-orang Cipatujah terma-
suk Ki Astagina!" tertawa bergelak Sapi Lanang.
"Kalau kau kalah aku yang akan mematahkan
batang leher Ki Astagina!" Tiba-tiba menyelak bicara si
laki-laki gemuk berjubah kuning yang sedari tadi tak
bersuara.
"Hohoho.... bagus! bagus, sobatku Zimbage!
Kau memang sengaja kuajak agar banyak pengalaman
di wilayah ini. Kau bisa tumbangkan "jago-jago" Cipa-
tujah!" berkata Sapi Lanang seraya menepuk-nepuk
bahu si gemuk dengan lengannya yang panjang mele-
wati tubuh Suro Ragil,
Tak lama ketiga sosok tubuh itu sudah berke-
lebatan menuruni bukit. Sapi Lanang dengan memper-
gunakan ruyungnya melompat-lompat dengan gerakan
lincah. Sedangkan si gemuk yang bernama Zimbage itu
ternyata dapat berlari cepat dengan suara langkah ka-
kinya yang berdebum menggetarkan tanah.
Suro Ragil merendenginya dengan ilmu lari
yang tak kalah cepat.
Sebentar  saja ketiga tubuh itu telah lenyap di-
balik lereng bukit...
Pada saat itu di Pesanggrahan Cipatujah.
Sambu Ruci ternyata setelah selesai menyam-
but para tamu undangan dari "sesepuh" desa Cipatu-
jah Ki Astagina tampak berdiri seraya menjura kepada
semua orang. Disisinya berdiri pula si gadis Seruling

Gading yang telah menjadi istrinya.
"Sobat-sobat semua dan yang kami hormati se-
sepuh Pesanggrahan Cipatujah. Agaknya kami tak da-
pat tinggal lama untuk menetap disini.
Sehubungan dengan sudah berangkatnya terle-
bih dulu sobat kita Pendekar Roro Centil. Kami
ucapkan terima kasih kami yang sebesar-besarnya pa-
da semua yang telah hadir. Terutama pada sesepuh Ki
Astagina, atas bantuannya hingga selesainya urusan
pernikahan kami!" ujar Sambu Ruci seraya kemudian
menjura  pada laki-laki tua bersorban putih yang du-
duk dikursinya. Bibirnya tampak tersungging senyu-
man. Lalu menghisap dalam-dalam pipa tulang yang
selalu terselip disudut bibir. Kemudian hembuskan
asap tembakau yang mengepul tebal ke udara.
Ki Astagina bangkit untuk berdiri dari kursinya
seraya balas menjura,
"Terima kasih kembali atas ucapan anda, sobat
Sambu Ruci! kami merasa heran mengapa anda buru-
buru mau pergi...? Sebaiknya menetap disini dulu satu
dua hari. Kami tak  merasa terganggu. Dan kamar di
Pesanggrahanku cukup lebar terbuka buat kalian
menginap beberapa malam!" berkata Ki Astagina.
"Selain itu pula..." lanjut ucapannya. "Seruling
Gading adalah murid dari sobatku Ki Sugema dari per-
guruan "Surya Medal". Jadi diantara kita masih ada
ikatan persahabatan.  Apalagi anda adalah sahabat
baik dari Pendekar Roro Centil yang amat kami kagu-
mi...!"
Sejenak Sambu Ruci tundukkan wajahnya. Hal
itu memang telah diketahui, tapi tujuannya untuk ce-
pat meninggalkan tempat itu adalah dikhawatirkan
ada terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Karena seperti
telah diketahui dari Seruling Gading, kalau Seruling
Gading telah "lari" dan perguruan itu. Juga ada firasat

tidak baik, karena berita perkawinan mereka pasti
akan tercium oleh ayah tiri Seruling Gading.
Sejenak kedua pengantin baru itu jadi saling
berpandangan.
Tapi tampaknya Seruling Gading tak setuju ka-
lau harus menerima usul Ki Astagina. Sambu Ruci se-
gera angkat bicara lagi.
"Terima kasih atas kemurahan hati anda sobat
sesepuh KI Astagina. Namun untuk menjaga agar di
wilayah Cipatujah ini tetap dalam kedamaian, kami te-
lah sepakat untuk segera meninggalkan tempat ini...!
Sejenak suasana menjadi hening. Melihat  de-
mikian para tetamu segera satu persatu mulai berdiri
menjura pada Ki Astagina untuk berpamitan.
Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara
berdebum  di kejauhan  yang membuat tanah seperti
tergetar. Dan selang sesaat tiga sosok tubuh telah ber-
diri diluar pelataran.
"Hohohoho... hoho...tampaknya disini tengah
ada keramaian pesta! Mengapa kau orang tua tak
mengundang kami dari Perguruan Surya Medal, sobat
tua Ki Astagina...?" si jangkung sapi Lanang lebih dulu
pentang suara.
Semua yang hadir jadi terkejut. Ki Astagina se-
gera tahu siapa yang datang dengan memandang dua
orang berbaju kulit, satu pendek dan satu jangkung
itu.
"Silahkan duduk sobat-sobat murid Ki Suge-
ma...!" berkata datar
Ki Astagina seraya bangkit berdiri. Tiga buah
bangku segera dikosongkan.
Bahkan lebih dari sepuluh bangku telah kosong
pada saat itu juga. Karena beberapa tamu segera ang-
kat pantat untuk meninggalkan tempat pesta itu sond-
er permisi lagi pada tuan rumah.
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

"Hm, terima kasih! rasanya kami tak perlu du-
duk! kedatangan kami adalah untuk membawa mem-
pelai perempuan itu, atas perintah guru kami Ki Su-
gema!" berteriak lantang Sapi Lanang dengan mata me-
lotot pada Seruling Gading. Seraya ucapnya pula; "Eh,
gadis bandel! siapa yang izinkan kau kawin seenaknya
tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada sang istri yang
tampak terlihat wajahnya berubah tegang. Namun
dengan tegar dia menyahut. "Siapa yang berhak mela-
rangku?  Aku bebas melakukan apa saja sekehendak
ku tanpa tahu segala urusan meminta izin pada ma-
nusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua orang ka-
wannya. "Kau berani memaki guru...?" bentak Sapi La-
nang gusar.
"Mengapa tidak? dari pada aku pulang ke Per-
guruan, lebih baik mati! Kau juga manusia bejat! ting-
gal bersama manusia-manusia seperti kalian sama
dengan membiarkan aku diterkam macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang dilontarkan
Seruling Gading membuat semua orang melengak.
Bahkan Ki Astagina sudah melompat ke hadapan me-
reka.
"Sabar! Sabar...! segala urusan bisa didamai-
kan! Ada kejadian apakah sebenarnya harap kau Sapi
Lanang memberi tahukan!" berkata Ki Astagina.
Akan tetapi Sapi Lanang unjuk tertawa menga-
kak dan berkata sinis.
Hohoho... kau orang tua seharusnya tak men-
jadi wali untuk menikah kan anak orang  semaunya!
Bagusnya kami datang belum terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah maklum
dengan kejadian sebenarnya,  karena Seruling Gading
telah maklum mengadukan hal  ikwalnya pada dia.

Akan tetapi orang tua itu seolah tak mengerti persoa-
lan.
"Aku menjadi wali adalah atas dasar menolong
orang. Kukira gurumu Ki Sugema tak berhak penuh
menjadi walinya, karena dia ayah tiri.
Akan tetapi bisa juga menjadi wali kalau me-
mang si mempelai perempuan menghendaki. Wali un-
tuk seorang perempuan dalam satu pernikahan dibo-
lehkan memakai wali siapa saja apabila ayah kan-
dungnya telah meninggal" tegaskan Ki Astagina dengan
suara yang gamblang.
Semua yang hadir tampak manggut-manggut
dan memaklumi akan peraturan pernikahan yang ber-
laku disaat itu.
"Baik! urusan itu adalah urusan nanti dengan
guruku! kini kami cuma mau menjelaskan bahwa kami
diperintah oleh guru kami untuk membawa perem-
puan bandel  ini dengan segera. Dan... kami takkan
kembali dengan tangan kosong tentunya!" berkata Su-
ro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan menghalangi kalau orang
yang akan kau bawa itu tak menolak! nah, bagaimana
keputusanmu, Seruling Gading?" tanya Ki Astagina se-
raya berpaling pada Seruling Gading.
"Aku telah jadi milik orang yang telah syah
menjadi suamiku! kalau suamiku menginginkan, tentu
aku tak menolak...!" .sahut Seruling Gading dengan
suara tenang. Sepasang matanya mengerling pada
Sambu Ruci. Bahkan lengannya telah menggamit len-
gan pemuda gagah itu.
Melihat demikian Sapi Lanang tampakkan wa-
jah yang mendongkol bukan main. Dia memang per-
nah mau berbuat kurang ajar pada gadis itu ketika be-
rada di pesanggrahan Surya Medal. Tak tahunya sang
guru alias ayah tiri Seruling Gading juga "maui" anak

tirinya.
"Kami akan segera datang menemui guru ka-
lian!" 
Di luar dugaan Sambu Ruci telah berkata den-
gan suara tegas. Bukan saja semua orang melengak,
akan tetapi pihak murid Perguruan Surya Medal juga
melengak. Namun diam-diam hati mereka memuji
akan keberanian serta sifat kesatria yang dimiliki pe-
muda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu sekarang kita berangkat!"
ternyata Suro Ragil langsung mendahului bicara me-
mutus persoalan. Sapi Lanang tampaknya kurang
puas, karena dia memang akan menjajal kekuatan
orang Pesanggrahan Cipatujah yang terkenal dengan
kedigjayaannya. Apa lagi dengan persoalan ini, bisa
kemungkinan menjadi berbuntut panjang. Segera dia
berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan ini ikut serta,
urusan bisa runyam! Aku tak tanggung jawab kalau
terjadi apa-apa...!" Sebaiknya kami cuma akan mem-
bawa orang yang diperlukan, lain tidak! Kalau kalian
semua kurang puas, silahkan tunjukkan kekuasaan
kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan Cipatujah,
aku takkan gentar untuk melayani...!"

***

DELAPAN

"GURU...! Biarkan aku menghajar mulut manu-
sia sombong ini. Seorang laki-laki bertubuh kekar me-
lompat ke depan. Wajahnya tampak merah padam ka-
rena mendengar penantangan Sapi Lanang barusan.
Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, laki-laki ber-

tubuh  kekar itu sudah membentak keras seraya me-
nerjang dengan kepalan tinjunya mengarah ke muka
Sapi Lanang. "Manusia sombong! kau hadapi dulu
aku, Partawenda.. ..! yang akan menghancurkan mu-
lutmu!"
WHUUUK! Tinjunya Partawenda meluncur de-
ras secepat angin.
DHESSS! Secepat kilat Sapi Lanang memapa-
kinya dengan ruyungnya. Tak ampun si penerjang itu
menjerit keras, seraya menarik tangannya dan ber-
jingkrakan dengan menyeringai kesakitan. Tentu saja
serangan dengan tenaga keras yang diadu dengan
ruyung keras yang telah di isi dengan aliran tenaga da-
lam membuat benda itu jadi sekeras besi. Tak ampun
kepalan tangan Partawenda matang biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma sebegitu saja yang
bermulut besar mau menghancurkan mulut ku!" men-
gakak tertawa si jangkung kurus.
Sementara Suro Ragil jadi menggerutu pada
kakak seperguruannya. "Haih, lagi-lagi kau cari pe-
nyakit, kakang Sapi Lanang!" Tapi Sapi Lanang tak
memperdulikan. Dia sudah maju melompat ke depan
Seruling Gading seraya julurkan lengan untuk menarik
tangan gadis itu. "Hayo kau ikut aku pulang, tanpa
pemuda ingusan itu!" bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat untuk sege-
ra mencekal erat pergelangan tangan gadis itu. Akan
tetapi tiba-tiba laki-laki jangkung itu menjerit parau la-
lu jatuh terjengkang seraya lepaskan cekalannya. Da-
rah menyemburat berpuncratan tatkala si jangkung
kurus itu berkelojotan di tanah. Terperangah semua
mata menatapnya. Tak lama tubuh Sapi Lanang meng-
geliat, lalu menelentang tak bergerak lagi dengan kepa-
la terkulai. Ternyata lehernya telah sobek yang menga-
lirkan darah tiada henti. Keadaannya mengerikan ka-

rena tulang lehernya hampir putus!
Tentu saja kejadian itu membuat mata Suro
Ragil dan si gemuk Zimbage jadi mendelik kaget. Keti-
ka menoleh pada laki-laki di samping Seruling Gading,
ternyata dia telah lenyap. Gadis itu sendiri berdiri ter-
paku menatap kejadian aneh barusan. Akan tetapi dia
telah melihat berkelebatnya Sambu Ruci keluar dari
tempat itu dengan melompat tinggi ke atas wuwungan
rumah.
"Haiii! Jangan lari kau!" membentak Sambu
Ruci. Ternyata dia telah mengetahui siapa pelaku dari
perbuatan itu.
Sayang orang yang dikejarnya itu telah lenyap"
Bedebah! Cepat benar larinya pembunuh itu...!" me-
maki Sambu Ruci dengan kecewa. Sesaat kemudian
dia telah berkelebat turun lagi dari  atas wuwungan
rumah pesanggrahan. Akan tetapi disambut dengan
terjangan kedua orang dari pihak perguruan Surya
Medal itu yang disertai bentakan menggeledek Suro
Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu jiwa dengan mu.!"
WHUUK! WHUUUUK...! WHUUKK! Tiga serang-
kai  serangan senjata sepasang kipas tipis Suro Ragil
terpaksa dielakkan dengan cekatan kalau Sambu Ruci
tak mau kehilangan kepala dan putus lengan dan kaki.
Gerakan melompat beberapa kali itu ternyata membuat
kesempatan si gemuk Zimbage gerakkan sepasang len-
gannya  untuk  membekuk tubuh Sambu Ruci begitu
dia jejakkan kaki ke  tanah. Tentu saja Sambu Ruci
melengak kaget. Karena tak menduga si gemuk telah
berada dihadapannya yang mempunyai lompatan luar
biasa. Lengannya segera bergerak menepis. Akan tetapi
rangkulan si gemuk Zimbage mendadak berubah jadi
jotosan.
DESS! Terlempar Sambu Ruci seketika dengan

teriakan tertahan. Tinju si gemuk tepat bersarang ke
dadanya. Tak ampun tubuh Sambu Ruci roboh ter-
jungkal dan bergulingan di tanah. Kejadian dalam se-
kejapan itu telah membuat keadaan ditempat pesta itu
jadi kacau. Beberapa orang anak buah Ki Astagina ber-
lompatan ke arah tempat pertarungan. Sedangkan Ki
Astagina sendiri cuma terpaku tak bergeming. Semen-
tara Seruling Gading telah perdengarkan teriakan his-
terisnya seraya melompat ke arah Sambu Ruci yang
terjatuh kena hantaman si gemuk barusan.
"Kakak Sambu...!" pekiknya. Mendahului
orang-orang yang berlarian, Seruling Gading telah tiba
di hadapan Sambu Ruci. "Kakak Sambu...! Kau... kau
terkena...!" Sambu Ruci tersenyum,  seraya melompat
bangun berdiri. Wajahnya agak menyeringai kesakitan.
Tapi dengan menggeliat dan kerahkan tenaga dalam
mengusir rasa sakit, lengan Sambu Ruci mengusap
dadanya. Sesaat dia telah kembali tersenyum menatap
Seruling Gading. Seringainya lenyap.
"Keparat! Kalian berdua harus mampus! Untuk
menebus nyawa kakak seperguruanku!" bentak Suro
Ragil dengan mata nyalang dan wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk mematahkan batang
lehernya!" berkata Zimbage dengan menggeram. Den-
gan langkah berdebum dia maju beberapa tindak.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar seruan. Dan... Ki
Astagina sudah melompat ke tempat itu.
"Tunggu dulu sobat-sobat murid Ki Sugema....!
Kalian salah paham!" Kedua orang dari pihak pergu-
ruan Surya Medal ini palingkan kepala menatap Ki As-
tagina. Suro Ragil cepat buka suara.
"Huh! kalian semua keterlaluan! Apakah den-
gan membunuh seorang dari pihak kami masih kau
katakan salah paham? Pembunuh itu jelas dari pi-
hakmu! Kalau bukan kawan si pemuda ingusan ini,

mungkin juga kau memang telah siapkan orang-orang
andalanmu untuk membunuh kami secara pengecut!
Jangan coba-coba kau mau mengelabui dengan sandi-
wara macam begini!?" membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan kau sembarangan me-
nuduh! Kami bukan sebangsa pengecut yang mau
main sembunyi-sembunyi membunuh orang! Pelaku
pembunuhan itu bukan dari pihak kami..!" berkata
lantang Ki Astagina. Tampak wajah orang tua ini me-
rah padam karena dituduh berbuat curang membo-
kong dengan mempergunakan tenaga orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu terdengar suara
tertawa dingin yang mencekam. Dan dua sosok tubuh
berkelebat muncul. Dialah Ki SUGEMA, yang muncul
bersama seorang kakek tua renta berkulit hitam. Men-
genakan jubah warna hijau. Lengannya mencekal se-
buah tongkat berbentuk Kelabang berwarna hitam
berkilat. Sebuah tongkat yang aneh, dan tampak san-
gat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah kau mau mungkir
dengan perbuatanmu?" membentak Ki Sugema. "Kau
tunggulah sebentar lagi, siapa gerangan orang yang te-
lah membunuh muridku, Si Sapi Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema berkata, dua sosok
tubuh telah muncul. Ternyata kedua orang itu mem-
bekuk seseorang yang mengenakan topeng hitam me-
nutupi wajahnya. "Bagus, murid-murid ku. Kalian
amat cekatan menangkapnya!" ujar Ki Sugema memu-
ji.
"Nah kalian lihatlah siapa orang ini! Dialah
yang telah membunuh muridku. Kami memang mau
menyatroni  ke tempat  Pesanggrahanmu, Ki Astagina.
Tapi ketika baru sampai diujung desa, aku melihat se-
seorang berkelebat melarikan diri. Terpaksa aku turun
tangan membekuknya. Aku segera perintahkan kedua

muridku ini menangkapnya. Lalu mendahului kema-
ri...!" ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang muridku ter-
bunuh. Kalau dia ini bukan orang suruhanmu, aku
akan habiskan perkara, dan angkat kaki dengan mem-
bawa anakku si Seruling Gading. Persoalan mu meni-
kahkan dia takkan ku ungkit lagi atau ku perpanjang.
Cukup sampai disini...! Tapi kalau dia memang benar
orang suruhanmu... Hm, mana bisa aku mandah saja
kau laksanakan kejahatan seenak perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan ujung belati
yang menikam ulu hati Ki Astagina yang seketika wa-
jahnya jadi merah padam. Benaknya memikir. "Heh!?
Tipu muslihat macam apa yang akan dipergunakan
manusia ini?".
Diam-diam dia juga terkejut melihat adanya
kakek hitam yang muncul bersama Ki Sugema. Sepa-
sang mata kakek itu memancarkan kilatan tajam yang
seperti mau menembus jantung. "Siapa pula kakek hi-
tam tua renta ini?" bertanya-tanya hati Ki Astagina.
Saat itu Ki Sugema telah memberi perintah se-
belum Ki Astagina buka suara. "Nah, cepat buka to-
peng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua perguruan Surya
Medal ini segera jalankan perintah. Dan... Plas! Topeng
penutup muka laki-laki tawanan itu telah disibakkan
hingga terlepas.
Segera terlihat tampang seorang laki-laki yang
ditaksir berusia tiga puluh tahun.
Ki Astagina kerutkan keningnya. Dia memang
tak mengenal laki-laki ini. Tapi belum lagi dia  buka
suara, Ki Sugema telah membentak si laki-laki tawa-
nan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki ini?" bertanya Ki Su-
gema seraya menunjuk pada Ki Astagina. Orang itu

mengangguk.
"Benarkah kau orang suruhannya?" tanya lagi
Ki Sugema. Kembali si tawanan mengangguk. Mem-
buat semua orang menahan napas. Ki Astagina tersen-
tak kaget, kakinya melangkah mundur satu tindak.
Bibirnya sudah tergetar untuk menyangkal. Akan teta-
pi orang tua ini rasakan lidahnya menjadi kelu. Sua-
ranya tersendat dikerongkongan. Terheran laki-laki ke-
tua dari Pesanggrahan Cipatujah ini. Ketika menatap
pada si kakek tua renta bertongkat kelabang hatinya
jadi bergidik karena sepasang mata itu telah member-
sitkan kekuatan tersembunyi  yang menyerangnya.
Hingga dia cuma bisa membungkam mulut.
"Katakan! Berapa upah  mu untuk pekerjaan
ini! Dan dengan senjata apa kau telah membokong
anak buahku...!" bertanya lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di pinggangku...! dan...
aku... aku membunuhnya dengan senjata dibalik ba-
juku ini...!" menyahut laki-laki tawanan itu dengan su-
ara menggetar.
Kedua murid segera meraba pinggang dan me-
rogoh pakaian laki-laki tawanan itu di sebelah dalam.
Sebuah benda dan sekantong uang dalam bungkusan
kain segera diberikan pada Ki Sugema oleh salah seo-
rang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan... kalian lihatlah kema-
ri. Bukti-bukti telah terlihat disini. Apakah kau Astagi-
na masih mau mungkir...?"
CRING...! Benda itu telah dilemparkan ke  ha-
dapan Ki Astagina, dan jatuh tepat di depan ujung ka-
ki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih berdiri terpaku
dengan tubuh menggeletar. Keringat dingin bercucuran
dari sekujur tubuhnya. Tampaknya dia seperti tak
berdaya dengan bukti-bukti yang telah jelas itu. Pa-

dahal sebenarnya dia tengah "bertarung" adu kekuatan
batin pada si kakek hitam bertongkat kelabang yang
telah menyerangnya. Hingga mulutnya pun tetap
bungkam tanpa keluarkan sepatah katapun.
"Lihatlah! Benda inilah yang telah menebas leh-
er muridku! Heh! Sebuah senjata yang ampuh. Bekas-
bekas darah pun masih tampak disini...!" berkata sinis
dengan suara lantang laki-laki ketua Perguruan Surya
Medal ini seraya unjukkan benda itu yang mempunyai
bentuk aneh. Yaitu sebuah benda ruyung besi sepan-
jang satu jengkal. Pada bagian tengahnya terdapat se-
buah tombol berwarna merah. Tampak Ki Sugema se-
perti tengah mengamati senjata itu. Bagian ujung mata
kapak tipis itu memang masih tampak ada bekas-
bekas darah.
Sementara itu Sambu Ruci dan Seruling Gading
cuma saling pandang menatap, lalu lemparkan tata-
pannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci alihkan pandan-
gannya pada kakek hitam kurus berjubah kuning,
yang sejak tadi seperti tak lepas menatap pada Ki As-
tagina yang tampak tubuhnya gemetaran. Sorot mata
kakek kurus itu memang membersitkan cahaya aneh
yang membuat Sambu Ruci tersentak. Diam-diam dia
sudah waspada dengan segala kemungkinan. Lengan-
nya pun pelahan mulai merayap bergerak untuk me-
raih gagang pedangnya diatas bahu. Sementara ma-
tanya menatap pada Ki Sugema dan si kakek kurus
jubah kuning berganti-ganti. Melihat demikian Serul-
ing Gading segera lepaskan cekalannya pada lengan
Sambu Ruci. Dan sekejap dia sudah mencabut serul-
ing gadingnya yang terselip dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat menegangkan itu
membuat semua orang menahan napas tatkala melihat
Ki Sugema telah arahkan "senjata aneh" itu ke arah Ki

Astagina. Ketika sinar kilat berkredep meluncur ke
arah Ki Astagina, saat itu berkelebat pula selarik ca-
haya perak dari arah sisi Seruling Gading.
TRANGNG...! Terdengar suara benturan benda
keras yang dibarengi dengan bentakan.
"Pengecut curang!" Itulah suara bentakan Sam-
bu Ruci yang telah melompat dan menangkis serangan
maut Ki Sugema dengan pedang pusakanya. Bahkan
sekaligus menyambarkan pedangnya untuk menabas
ke arah pinggang Ki Sugema. Tentu saja membuat Ki
Sugema jadi terperangah kaget. Namun sebagai seo-
rang tokoh yang sudah berpengalaman, Ki Sugema da-
pat mengelakkan diri dengan bersalto dua kali ke bela-
kang. Akan tetapi tebasan pedang Aksara terus menge-
jar Ki Sugema. Yang dicecar adalah senjata maut yang
berada dilengan laki-laki ketua dari Perguruan Surya
Medal itu. Senjata hebat itu begitu kena tertangkis te-
lah kembali lagi menempel pada gagangnya. Semacam
per yang kuat memang berada didalam gagang benda
maut itu, yang dapat membuat kapak tipis diujung ga-
gang itu melesat dan kembali dengan menekan tombol
merah. Benda itu memang telah dilihat Sambu Ruci
yang telah dipergunakan laki-laki bertopeng untuk
menyerang Sapi Lanang dari atas wuwungan rumah.
Akan tetapi tiba-tiba dibelakang Sambu Ruci terdengar
suara...
WHUUUK...! Tersentak laki-laki ini melihat
benda hitam yang menyerupai kelabang meluncur de-
ras  ke arah  punggungnya. Itulah tongkat kelabang si
kakek hitam kurus yang mau menggebuk punggung
dari belakang. Sambaran deras itu sukar ditangkis,
terpaksa Sambu Ruci bantingkan tubuhnya ke samp-
ing. WHUK! WHUK! WHUK! BHUM! BHUMM! BHUM
MM...! Tiga hantaman berturut-turut membuat
tanah menyemburat. Tampak Sambu Ruci bergulingan

menghindari "gebukan" tongkat kelabang si kakek ku-
rus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu jiwa denganmu!"
terdengar satu bentakan nyaring. Dan... sekelebat
bayangan merah menerjang kakek hitam kurus itu
dengan hantaman-hantaman pukulan dan tusukan se-
ruling. Ternyata Seruling Gading tak bisa mandah saja
berdiam diri melihat keadaan Sambu Ruci yang dalam
bahaya maut itu.

***

SEMBILAN

KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG ter-
nyata punya gerakan gesit sekali. Tubuhnya berkeleba-
tan diantara hantaman-hantaman pukulan dan sam-
baran seruling ditangan gadis itu. Bahkan tongkat ke-
labangnya telah meluncur deras menyapu kaki sang
gadis. Terperangah gadis itu, namun dengan sebat dia
telah jejakkan kaki untuk melompat. Akan tetapi sam-
baran tongkat itu ternyata cuma siasat belaka. Ketika
tubuh si gadis mencelat ke udara, Kakek kurus hitam
itu telah membarenginya dengan hantaman telapak
tangannya...
Dalam keadaan mengapung demikian, apa lagi
serangan barusan begitu cepat datangnya, Seruling
Gading tak dapat berbuat apa-apa selain membelalak
kaget. Dan terdengar jeritan sang gadis. Tubuhnya ter-
lempar tujuh-delapan tombak. Sambu Ruci cuma da-
pat ternganga, karena dia baru saja akan merangkak
bangun dari bergulingannya. Akan tetapi sebelum tu-
buh Seruling Gading menyentuh tanah, sebuah bayan-
gan telah berkelebat menyambarnya. Itulah bayangan

tubuh Ki Sugema. Sekejap kemudian tubuh si gadis te-
lah berada dalam bopongan laki-laki tua itu, yang se-
gera terdengar suaranya tertawa berkakakan. "Haha-
haha... haha... terima kasih sobat Kelabang Hitam! Bo-
cah perempuan anakku ini musti diamankan dulu...!"
selesai berkata Ki Sugema melesat lenyap dari tempat
itu.
"Bangsat licik!" memaki Sambu Ruci dengan
mata membelalak.
Tubuhnya berkelebat untuk mengejar. Akan te-
tapi sebuah bayangan kuning telah melesat mengha-
dang. "Biarkan dia pergi membawa anak gadisnya! ku-
peringatkan lebih baik kau menyingkir siang-siang se-
belum mati konyol!" membentak si kakek hitam kurus
yang telah melintangkan tongkat kelabangnya di depan
Sambu Ruci. "Dia  istriku...!" membentak lagi Sambu
Ruci dengan melototkan mata pada kakek kurus itu.
Akan tetapi tersentak Sambu Ruci. Justru me-
natap mata si kakek kurus itulah membuat pancaran
sinar mata si kakek yang telah menyalurkan kekuatan
batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena lantas saja otak-
nya tak dapat bekerja. Jiwanya kosong melompong ka-
rena telah dipengaruhi oleh satu kekuatan batin yang
seperti telah menyedotnya, untuk tertegun meman-
dang orang dihadapannya.
Ketika sebelah telapak tangan kakek kurus hi-
tam itu terarah ke tubuhnya, segelombang angin halus
telah menerjang tubuh Sambu Ruci. Dan... pemuda ini
mengeluh. Sekujur tubuh dan tulang persendiannya
terasa lemah dan linu. Jatuhlah pemuda ini dengan
menekuk lutut, bersama dengan terlepasnya pedang
ditangannya.
Itulah ilmu menotok jarak jauh yang amat luar
biasa. Tertawa dingin si kakek kurus.

Tiga betas pisau terbang tahu-tahu meluncur
deras ke arah si kakek kurus ketika tubuhnya melesat
dan tengah berada di udara. TRRRAAANGNG...! Sekali
memutarkan tongkat kelabangnya ketiga belas senjata
rahasia pisau terbang yang dilontarkan seseorang itu
telah berhasil kena disampok berpentalan. Dan... den-
gan ringan tanpa mempengaruhi kelebatan tubuhnya,
kakek ini jejakkan kakinya dihadapan Ki Astagina. La-
ki-laki ketua dari Pesanggrahan dan "Sesepuh" dari wi-
layah desa CIPATUJAH tampak masih berdiri tegar di-
tempatnya. Akan tetapi kepalanya telah terkulai, dan
dari lehernya mengalirkan darah yang masih mengu-
cur menetes membasahi tanah.
Laki-laki tua ini ternyata telah tewas. Dua so-
sok tubuh melompat ke hadapan si kakek seraya ber-
teriak. "Awas serangan!" teriak salah satu dari kedua
orang itu. Mereka adalah Suro Ragil dan si gemuk
Zimbage.
TRAAANGNG...! Lagi-lagi si kakek yang memang
telah mengetahui adanya sambaran  angin di bela-
kangnya telah balikkan tubuh untuk secepat kilat
memutarkan tongkat kelabangnya. Berpentalan bela-
san pisau terbang yang nyaris menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini tidak sampai disitu
saja. Karena detik berikutnya tubuh si Kelabang Hitam
telah melejit kesatu arah disisi Pesanggrahan.
"BRASSH! Lengannya menghantam batang pohon di-
depannya. Pohon besar itu berderak patah bercampur
dengan satu jeritan parau dari belakang pohon. Dan...
bersama tumbangnya pohon besar itu sesosok tubuh
terlempar beberapa tombak yang langsung tewas seke-
tika.
Sekejap dia sudah tiba lagi dihadapan Suro Ra-
gil dan si gemuk Zimbage. Sementara itu belasan anak
buah Ki Astagina telah berlompatan mengurung. Bah-

kan beberapa orang tetamu dari Ki Astagina turut pula
mencabut senjata. Kakek hitam kurus ini hanya men-
dengus, seraya membentak keras. "Kalian semua me-
nyingkirlah! Apakah mau mati konyol seperti ketua-
mu...?" Jubah kakek kurus ini bergerak mengibas.
Dan... robohlah tubuh Ki Astagina yang memang su-
dah tak bernyawa itu. Terperangah para murid Ki As-
tagina. Mereka memandang dengan mata membelalak
karena tampak leher sang Ketua telah tersobek men-
ganga dengan darah yang sudah hampir berhenti men-
galir.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat ke tempat
itu, seraya perrdengarkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahah... hahaha... aku terpaksa membunuh Ketua
kalian ini! Sebenarnya dia masih terhitung sahabatku!
Tapi sudah kukatakan tadi kalau ternyata si pembo-
kong muridku memang orang suruhannya, aku tak
dapat berpeluk tangan. Kematiannya adalah setimpal
dengan kejahatannya! Nah! Apakah kalian semua mau
mati dengan cara seperti gurumu...?!" membentak Ki
Sugema, begitu habis ucapkan kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat belasan anak
buah Pesanggrahan Cipatujah jatuhkan diri berlutut
dan masing-masing lepaskan senjatanya.
Tak dikisahkan panjang-lebar, Pesanggrahan
CIPATUJAH saat itu juga telah dikuasai Ki SUGEMA,
yang memang mengambil kesempatan untuk bertindak
cepat demi mencuci namanya. Dibunuhnya Ki Astagi-
na adalah karena  sahabatnya itu telah mengetahui
persoalan dia dengan anak tirinya, yaitu Seruling Gad-
ing. Sebenarnya sebelum Roro centil dan sepasang se-
joli itu menetap sementara di Pesanggrahan Cipatujah,
orang-orang Ki SUGEMA telah lama melacak jejak Se-
ruling Gading yang kabur dari perguruan. Pelacakan
itu tertunda dengan munculnya kerusuhan-kerusuhan

yang ditimbulkan Giri Mayang dengan Sepasang Tan-
gan Iblisnya. Namun bukan hanya berhenti begitu sa-
ja. Disamping ingin mengetahui siapa tokoh   yang te-
lah melakukan pembantaian di beberapa tempat yang
menghebohkan wilayah Kota Raja itu, Ki Sugema ting-
galkan markasnya untuk mencari juga kemana per-
ginya sang murid alias anak tiri yang digandrunginya
itu.
Tercenung Ki Sugema ketika mengetahui mun-
culnya Roro Centil yang tengah duel dengan Giri
Mayang, kemudian berakhir dengan kemenangan Pen-
dekar Wanita itu. Diam-diam dia menguntit kepergian
si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang kemudian se-
cara kebetulan dia dapat melihat adanya Seruling Gad-
ing yang tengah dicarinya. Segera diketahui pula
adanya Sambu Ruci yang telah diam-diam memadu
cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil menetap di Pe-
sanggrahan Ki Astagina sahabatnya yang menjadi "se-
sepuh" di wilayah desa Patujah. Segera di sebar orang-
orangnya untuk menyamar menjadi penduduk biasa
untuk mengetahui apa yang diperbuat selanjutnya oleh
Ki Astagina. Dan tercenganglah Ki Sugema ketika
mengetahui dari laporan anak buahnya bahwa laki-
laki yang bernama Sambu Ruci itu akan menikah den-
gan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada Ki Astagina,
karena enak saja menyediakan diri menjadi "wali" da-
lam pernikahan anak tirinya. Ketika undangan yang
mendapat tetamu terhormat dari  seorang pendekar
wanita yang "kondang" (ternama) hampir diseantaero
Pulau Jawa. Juga agar warganya dapat mengetahui
dan melihat wajah tokoh Pendekar yang selama ini
cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui pernikahan

serta adanya sebuah pesta kecil yang penuh semarak
di Pesanggrahan Cipatujah, tapi diam-diam telah me-
nyebar orang-orangnya untuk melihat situasi. Bahkan
jauh-jauh hari dia telah menjumpai paman gurunya (si
Kelabang Hitam) yang kebetulan baru beberapa hari ini
datang, ke Pesanggrahannya. Kakek berilmu tinggi itu
memang tengah mencari Roro Centil. Dia baru saja ti-
ba dua hari yang lalu. Berita dari Kota Raja yang dile-
wati dalam perjalanannya ke Pesanggrahan Surya
Medal telah terdengar santar. Bahwa Roro Centil si
Pendekar Wanita Pantai Selatan telah berhasil mem-
bunuh Giri Mayang si perempuan iblis yang telah me-
nimbulkan kehebohan dengan mengadakan pemban-
taian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si kakek hitam
kurus bertongkat Kelabang yang bergelar si Kelabang
Hitam itu mencari Roro Centil.
Demikianlah hingga adanya si Kelabang Hitam
itu telah membuat Ki Sugema berhasil melaksanakan
niat busuknya melenyapkan Ki Astagina. Tentu saja
perbuatan itu dilakukan setelah menerima laporan
bahwa Roro Centil telah  meninggalkan Pesanggrahan
Cipatujah.  Dan dengan bantuan seorang tokoh baya-
ran yang mempunyai senjata aneh itu, Ki Sugema
sukses dengan rencana busuknya mempengaruhi
orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, bahwa Ketua
mereka yang menjadi sahabat baiknya telah punya
niat jahat untuk menumbangkan kedudukannya. Pa-
dahal Ki Sugema sendiri yang memang berhasrat mau
menguasai wilayah CIPATUJAH yang makmur.
Dengan kekuatan "sugesti" yang dipunyai si Ke-
labang Hitam bukan tak mungkin kalau Roro Centil bi-
sa diringkus. Dan... sudah ada niat buruk yang tersirat
dihati Ki Sugema yang doyan "daun muda" itu untuk
melalap si gadis Pendekar Wanita yang punya nama

beken itu. Bahkan rencana demi rencana telah terukir
dibenak Ki Sugema  untuk bisa menaklukkan Roro
Centil. Memperalatnya untuk kepentingan "kekua-
saannya". Dengan menebeng nama Roro Centil bila te-
lah menjadi istrinya segalanya akan menjadi mudah.
Karena Roro kenal baik dengan orang-orang dari setiap
Kerajaan di wilayah Pulau Jawa. Dan bukan mustahil
kalau dia bisa menduduki jabatan tinggi disatu Kera-
jaan paling besar masa itu, yaitu Kerajaan MATARAM.
Cita-citanya yang membumbung tinggi  itu se-
makin mantap. Mulailah Ki Sugema mengatur renca-
na-rencana selanjutnya melalui perembukan  singkat.
Yaitu mengatur jebakan agar Roro Centil bisa datang
lagi ke Pesanggrahan CIPATUJAH.
Namun dimalam yang semakin melarut itu di
ruangan dalam Pesanggrahan Ki Sugema terpaksa ha-
rus menunda pembicaraan, karena dia punya kepen-
tingan lain untuk menyalurkan hasratnya yang sudah
sekian lama terbendung itu. Ya! mendadak bayangan
wajah dan kemolekan tubuh sang anak tin telah ter-
bayang di ruangan matanya.
"Baiklah!  Kukira perembukan bisa kita lan-
jutkan besok. Silahkan kalian beristirahal. Dan...
maaf, sobat Pemburu Keping Emas, ku terpaksa "me-
minjam" dulu senjatamu karena aku masih memerlu-
kan! Khusus buat sobat Pemburu Keping emas aku te-
lah suruh anak buahku menyediakan tempat peristi-
rahatan yang nyaman. Ya! Sebuah kamar yang nya-
man bekas tempat tidur Ki Astagina. Silahkan..." da-
lam berbicara itu diam-diam Ki Sugema telah kedipkan
mata pada kakek kurus hitam itu, seraya mengerling
pada si Pemburu Keping Emas yang menjadi "orang
sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini manggut-manggut
pelahan mengerti.

Udara malam yang dingin menyeruak dimalam
yang penuh kemelut itu. Pesanggrahan CIPATUJAH
laksana dicekam hawa sejuk yang mencekam jantung.
Karena disana kini telah dihuni oleh manusia-manusia
tamak yang berakhlak rusak. Manusia-manusia yang
lebih mementingkan diri pada "ambisi".

***

SEPULUH

SERULING GADING TERGOLEK di pembarin-
gan bersih dengan keadaan tertotok. Mempelai wanita
yang bernasib tragis ini tak berdaya apa-apa lagi selain
menunggu nasib apakah kelak yang bakal menim-
panya.
Sementara diruang lain Sambu Ruci dalam
keadaan terikat tali-tali kulit yang kuat. Terduduk dis-
udut ruang dengan keputusasaan yang telah memben-
turkan dirinya pada jalan buntu. Tak ada harapan un-
tuk meloloskan diri lagi baginya. Tulang-tulang per-
sendiannya seolah sudah tak bersumsum lagi. Entah
siksaan apa yang telah dihadapinya oleh Suro Ragil
dan Zimbage yang bertubi-tubi, diterimanya, akibat ra-
sa dendam yang tertumpah karena kematian sapi La-
nang. Tubuhnya tampak matang biru dan muka ben-
gap. Tampak seperti bekas-bekas pukulan keras yang
dihunjamkan pada sekujur tubuh pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak disudut bibir
dan bawah hidungnya. Kalau sang Ketua mereka, Ki
Sugema tak memberi ultimatum agar tak membunuh-
nya, tentu siang-siang Sambu Ruci telah dibunuh oleh
Suro Ragil. Pintu "penjara" tiba-tiba terluka. Dan em-
pat orang anak buah Ki Sugema muncul dimuka pintu.

Lalu dua orang menghampiri. Dan menyeret bangun
pemuda itu, lalu menggusurnya keluar dari kamar ta-
hanan itu.
"Dibawa kemana...?" bertanya seorang dari me-
reka.
"Ke kamar tempat beristirahat Ketua kita!" me-
nyahut kawannya.
"Lho? mau diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala! mau dimampusin ju-
ga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul! hayo, cepat jalannya,
monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari ruangan itu
karena sepasang kakinya seperti telah tak bertenaga
lagi. Dengan tubuh yang babak belur demikian me-
mang sulit kalau Sambu Ruci punya julukan Si Bujang
Nan Elok. Karena wajahnya sudah tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong hingga ja-
tuh menggabruk dimuka pintu kamar. Ki Sugema se-
gera perintahkan anak buahnya meninggalkan kamar
tempat beristirahatnya. Lalu beranjak menutup pintu
kamar. Lengan Ki Sugema mencengkeram dada pemu-
da itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam beginikah tampang pen-
gantin laki-laki yang mengawini gadis orang tanpa me-
lamarnya lagi?" membentak geram Ki
Sugema dengan mengumbar tertawanya berka-
kakan. Kepala Sambu Ruci terkulai menunduk, seperti
enggan menatap wajah manusia yang telah menawan-
nya itu. Akan tetapi Sugema telah menjambak ram-
butnya untuk membuat kepala pemuda itu menenga-
dah. "Heh! tatap mukaku, bocah...! Tataplah agar kau
dapat melihat jelas siapa orangnya yang telah menak-
lukkan kecoa tengik macam kau! Dan... hahaha... coba
kau lihat siapa yang terbaring di  pembaringan itu?"

Ujar Ki Sugema seraya " menyeret" wajah orang untuk
melihat ke pembaringan.
Seketika sepasang mata Sambu Ruci terbelalak
lebar, karena di  atas pembaringan tergeletak sesosok
tubuh yang dalam keadaan tanpa busana....
"Sst..... Seruling..... Gading!?' tersendat suara
Sambu Ruci yang memandang dengan terperangah.
Akan tetapi suara itu tersendat dikerongkon-
gan.
"Lepaskan istriku.....apa... apakah yang  kau
mau lakukan!" tiba-tiba Sambu Ruci berhasil menge-
luarkan suaranya. Ki Sugema kembali perdengarkan
suara tertawa mengakak. Tiba-tiba lengannya men-
cengkeram lagi dadanya. Dibawanya tubuh tak ber-
daya itu kesudut ruangan, Ketika dua kali jarinya me-
nolok ke lutut segera tubuh laki-laki itu menjadi berdi-
ri kaku tak bergeming. Dan sepasang kaki itu seperti
menjadi kuat untuk berdiri disudut ruangan dengan
punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu pemandangan
yang membuat Sambu Ruci terpaksa harus pejamkan
matanya karena tak sanggup menatap apa yang ter-
pampang dihadapannya Ki Sugema telah melucuti pa-
kaiannya sendiri dan... naik ke atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru saja tersadar
dari pingsan. Akan tetapi pengaruh totokan pada tu-
buhnya membuat dia tak mampu untuk berbuat apa-
apa kecuali menjerit dengan suara yang terdengar se-
perti desahan belaka, karena urat suaranya telah dito-
tok.
"Hahahaha... malam ini biarlah aku yang
menggantikan pengantin laki-laki untuk mencicipi ma-
lam pertama...". ujar  Ki Sugema dengan menyeringai
bagaikan iblis. Selanjutnya... Sambu Ruci hanya bisa
memejamkan matanya kuat-kuat tak sanggup rasanya

dia untuk menyaksikan perbuatan bejat yang telah
membuat air matanya mengucur deras. Air mata dari
seorang laki-laki yang amat mencinta istrinya. Dan tak
ada yang lebih bejat lagi dari seorang ayah tiri yang te-
lah "penyantap" anak gadisnya sendiri......Ternyata ju-
ga pada malam itu satu nyawa telah melayang yaitu
dibunuhnya si pembunuh bayaran alias si
Pengejar Keping Emas oleh kakek hitam kurus
bertongkat kelabang alias si Kelabang Hitam...

***

BHLARRR!BHLAARRRRR. BHLARRRRR...!
Cahaya perak dan pelangi berkredepan di udara
yang diiringi dengan dentuman-dentuman menggele-
gar.
Roro centil berteriak girang. "Horeee, aku ber-
hasil!  aku berhasiiil!" Dan terdengar suara mengikik
merdu membuat segerombolan burung camar yang
tengah bertengger dipuncak-puncak karang terkejut
karena suara dentuman-dentuman keras itu dan
buyar berterbangan ketakutan dengan suara berkiak-
kiak riuh. Selanjutnya di pantai sunyi, itu tampak ba-
nyak berkelebatan cahaya-cahaya perak dan pelangi
yang diselingi dentuman-dentuman pesisir pantai itu
jadi semarak bagaikan ada sebuah " pesta laut". Selen-
dang-selendang perak dan pelangi seperti bermuncu-
lan dari sekeliling permukaan laut dipantai bergelom-
bang tenang itu. Sukar untuk dipercaya bagi orang
yang percaya adanya hantu laut, karena Roro memang
Memainkan jurus-jurus pukulan selendang perak dan
pelanginya dengan berlompatan diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang dapat berlari di-
atas air, siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Karena
pada zaman itu cuma ada dua orang yang dapat memi-

liki kesaktian seperti itu. Pada tiga  tahun yang silam
pernah ada seorang tokoh golongan hitam yang berge-
lar "Hantu Siluman Kera", yang juga memiliki ilmu se-
macam demikian, tapi telah tewas ditangan Roro Centil
(baca. Serial Roro centil, dalam judul: Siluman Kera
putih).
Dan pada saat ini ada seorang tokoh yang me-
nyembunyikan diri untuk memperdalam ilmu-ilmunya
yang juga memiliki ilmu berjalan dan berlari diatas air
tokoh misterius itu pernah muncul diperairan wilayah
tenggara. Beritanya memang telah menyebar yang da-
tang dari mulut para nelayan di wilayah itu. Akan te-
tapi belum ada satu kejadian yang merugikan dipihak
para Nelayan. Bahkan mereka menganggap tokoh mis-
terius itu adalah sebangsa mahluk halus yang sesekali
muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah bersuka cita
dengan keberhasilannya menguasai jurus-jurus ca-
haya perak Pelangi warisan mendiang Nenek Muri
Asih, sepasang mata sejak tadi telah memandangnya
dengan mata tak berkedip. Dialah Si Kakek kurus Hi-
tam yang bergelar si Kelapa Hitam. Duduk bersila di-
atas batu karang. Tongkat kelabangnya tergeletak di-
depannya. Bibirnya tampak berkumat-kamit membaca
mantera. Tiba-tiba lengannya bergerak meraih tongkat.
Dan... Whessss!
Tongkat pusakanya telah dilemparkan ke dalam
laut. Sementara dia masih teruskan "kumat-kamit" nya
dengan mata tetap ke arah depan.
"Menakjubkan! Apakah yang telah terjadi den-
gan lemparan tongkatnya?
Ternyata tongkat yang berbentuk Kelabang itu
telah berubah menjadi seekor Kelabang Raksasa yang
bergerak hidup. Meluncur pesat dipermukaan air me-
nuju ke arah Roro Centil....

Sementara itu Roro tengah asyik dengan "per-
mainan"nya yang seolah tiada membosankan. Sinar
perak dan Pelangi itu bagaikan selendang-selendang
sutera saja di kejauhan. Sepintas yang terlihat adalah
seperti layaknya seorang Bidadari yang tengah main-
kan selendangnya dengan menari-nari.
Dan memanglah, Roro tengah memainkan ju-
rus-jurus "Tarian Bidadari" yang tampaknya lemah
gemulai. Jurus-jurus tarian yang didapat dari gurunya
si Manusia Banci, atau si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan.
Dalam pada itu Kelabang Raksasa penjelmaan
dari tongkat si kakek kurus Hitam telah semakin men-
dekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya dengan naluri
serta inderanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang
bergerak kehitaman mendekati.
"Kelabang Raksasa...!" tersentak Roro dengan
pendengarkan teriakan kaget. Karena jelas sudah dia
melihat seekor kelabang yang amat luar  biasa besar-
nya dengan puluhan kakinya yang mengerikan berge-
rak meluncur ke arahnya.
Tak ayal lengannya  langsung bergerak meng-
hantam "binatang" itu.
Sinar perak berkelebat... BHLARR!
PRASSSS! air laut menyerumbat bergelombang.
Roro Centil tegak menanti dengan waspada untuk me-
lihat hasil dari hantamannya.
Akan tetapi kelabang Raksasa itu lenyap.
"Aneh! pasti ada yang tidak beres...!"desisnya
tersentak.
Sementara sepasang mata Roro mulai di guna-
kan untuk menembus melihat ke dasar air disekeli-
lingnya dengan mempergunakan kekuatan batin yang
hebat. Namun memang Kelabang Raksasa itu lelah le-

nyap. Di dasar air tak terlihat apa-apa kecuali ratusan
ekor ikan yang berseliweran kesana-kemari.
Namun kecepatan matanya ternyata dapat me-
nangkap melesatnya sebuah bayangan hitam di kejau-
han yang meluncur pesat untuk kemudian lenyap da-
lam sekilas.
Roro cepat mengkonsentrasikan indra matanya.
Dan... kini terlihatlah dengan jelas kalau di atas batu
karang disisi pantai sebelah sana ada seseorang yang
duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! kalau ada makhluk atau manusia
yang iseng menggangguku saat ini tak mungkin tidak
kalau bukan cecunguk yang duduk dibatu karang itu-
lah orangnya...!" berkata Roro dalam hati. Dan... tak
ayal lagi tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan
ini telah meluncur pesat untuk melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk diatas batu ka-
rang itu ternyata juga meluncur dengan kecepatan
hampir menyamai luncuran Roro Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan yang cukup hebat!
siapakah kakek hitam berjubah kuning itu? Jelas dia
mencekal tongkat seperti bentuk seekor kelabang!
Dugaanku tak salah kalau dia cecunguk yang
telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menggang-
guku dengan "kelabang raksasa" ciptaannya!" berpikir
Roro.
"Baik! aku tak perlu mendahuluinya. Ingin ku
lihat kemana arah larinya! ataukah ini satu jebakan
agar aku membuntuti? Hihihi... persetan!
Aku tak takut dengan segala macam jebakan!"
gumam gadis pendekar ini seraya percepat kejarannya
untuk dapat memperdekat jarak.

***


SEBELAS

Tersentak Roro Centil ketika mengetahui  bah-
wa si kakek baju kuning itu menuju ke wilayah CIPA-
TUJAH.
"He...? aneh! aku belum bisa memastikan apa-
kah orang ini berniat jahat atau tidak! Entah manusia
baik-baik atau manusia jahat...! Jelas jalan ini adalah
jalan lurus ke Pesanggrahan Ki Astagina! berkata Roro
dalam hati juga agak ragu dengan tindakan yang dila-
kukan manusia dihadapannya, yang sepertinya me-
mang sengaja "membawa"nya untuk kembali pulang ke
Pesanggrahan.
Segera saja Roro teringat pada Sambu Ruci
yang baru dua hari ini melangsungkan pernikahannya
dengan gadis bernama Seruling Gading.
Tiba-tiba disaat Roro agak melantur pikirannya
karena melamun sejenak barusan, tahu-tahu si kakek
hitam jubah kuning itu telah lenyap dari pandangan-
nya.
Tersentak Roro Centil. Diam-diam dia memaki
dirinya sendiri yang agak terlena, karena bayangan
yang "tidak-tidak" mengenai sepasang Pengantin Baru
itu sekelebat muncul dibenaknya.
"Setan alas! kemana kaburnya manusia itu?"
desis Roro kaget.
Terpaksa dia hentikan larinya untuk menjaga
kalau-kalau ada serangan gelap.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara se-
perti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro Centil...! aku orang sendi-
ri! keadaan di Pesanggrahan Ki Astagina sedang gawat.
Sahabatmu Sambu Ruci dan istrinya, si bocah perem-
puan bernama Seruling Gading itu dalam bahaya

maut. Kami amat memerlukan bantuan anda...! Ter-
paksa "kita" berpisah agar tak menaruh kecurigaan
bahwa diam-diam aku memanggil kedatangan anda.
Turutlah apa yang aku katakan untuk kita bisa mem-
bekuk manusia Iblis itu. Tepat berada dihadapan Pe-
sanggrahan pada jarak 10 tumbak, anda harus berge-
rak memutar ke kanan melalui jalan samping, silahkan
anda memasuki satu pintu ruangan. Disana dalam
keadaan aman...! Dan anda akan muncul tepat dibela-
kang ruangan tempat si "Iblis Sakti Mata Seribu" yang
menyandera sahabatmu...! Aku akan muncul dari
ruangan depan. Dan... kita akan sama-sama meng-
gempurnya." Tentu saja kata-kata yang dikirim melalui
tenaga dalam itu membuat Roro Centil melengak kaget.
"Iblis Sakti Mata Seribu...?" Aiih, baru aku menden-
garnya!" berdesis Roro Pelahan. Dan dilihatnya bayan-
gan kuning dari jubah si Kakek hitam yang dibuntuti
itu berkelebat keluar dari balik pohon, lalu lenyap da-
lam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak untuk cepat tiba
di depan  Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu
dengan penuturan kakek misterius itu. Benarkah apa
yang dikatakannya? Berkata dalam hati gadis Pende-
kar ini.
Akan tetapi Roro sudah mengambil keputusan
untuk menusuki kata-kata si kakek misterius itu, ka-
rena dalam keadaan demikian dan bukti masih belum
jelas, mana boleh dia berburuk sangka pada orang. Ka-
lau si kakek yang demikian saktinya itu masih memer-
lukan bantuannya, tentu dapat dibayangkan keheba-
tannya manusia yang menamakan dirinya si Iblis Sakti
Mata Seribu itu! pikir  Roro. Yang segera menduga
bahwa disekitar Pesanggrahan itu telah dipasang 1000
mata untuk memata-matai sekitarnya.
Apa lagi hal ini adalah demi keselamatan Sam-

bu Ruci, sahabatnya. Mana Roro bisa mandah dan bi-
arkan saja orang mencelakai?.
Tepat 10 tombak di depan  Pesanggrahan yang
tampak sunyi sepi mencekam itu, Roro Centil menyeli-
nap kebalik semak, lalu bergerak memutar ke arah ka-
nan. Benar saja! Pada bagian samping Pesanggrahan
itu segera terlihat satu pintu ruangan yang setengah
terbuka.
Roro ternyata cukup cerdik untuk tidak semba-
rang memasukinya. Segera meramal aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah lenyap tak terlihat mata
manusia biasa.
Lalu meluncur untuk segera memasuki pintu
ruangan tanpa membukanya lagi.
Cukup dengan miringkan tubuhnya menyelinap
masuk dari sisi celah daun pintu yang terbuka itu.
Ruangan itu kosong! dan gelap. Roro gunakan
kekuatan batinnya agar dapat melihat dalam gelap.
Akan tetapi .....
"Aiiiih!? ilmu sihir!" sentak Roro kaget dengan
suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu terang ben-
derang. Dan...terkejut Roro Centil ketika melihat di se-
tiap sudut ruangan goa itu tampak jelas sosok-sosok
tubuh si kakek hitam jubah kuning yang telah menjadi
belasan sosok tubuh.
Bahkan ketika dia bergerak memutar tubuh,
dibelakangnya pun berjajar tubuh-tubuh si kakek mis-
terius itu yang rupa dan bentuknya sama.
Kemana dia menatap ternyata selalu bentrok
dengan berpasang-pasang mata si kakek misterius itu
yang cahaya matanya membuat dia bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? apa maksudmu den-
gan semua ini!?" bentak Roro dengan mata menatap
tajam pada masing-masing "manusia" disekelilingnya.

Sementara sepasang lengannya sudah disiapkan untuk
menghantam bila terjadi satu serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang mau menjebakmu
untuk masuk perangkap ku. Dan kini kau sudah ter-
jebak! Akan tetapi kau tak perlu khawatir, nona Pen-
dekar, karena aku takkan menyakitimu...!" terdengar
suara tertawa yang sukar diketahui dari mana arah-
nya, karena berpantulan dari sekitar ruangan itu.
Dan... segelombang angin halus telah menerpa
ke arah Roro Centil. Tiupan angin halus yang seperti
tak kentara  kalau itu adalah sebuah serangan yang
dapat melumpuhkan orang dalam sekejap.
Terkejut bukan main Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini ketika tahu-tahu rasakan tulang persen-
diannya terasa linu, Tenaganya pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata Roro yang
terlihat cuma berpasang-pasang mata bersinar aneh
itu saja yang seperti telah mempengaruhi batinnya.
Dan...mendadak saja Roro Centil telah jatuh
berlutut ketika suara si Kelabang Hitam membisik di-
telinganya. Bisikan bernada perintah, yang langsung
menyerang sirkuit otak Roro untuk menuruti apa yang
diinginkan kakek tua hitam itu.
Seketika saja sirnalah ilmu halimunan Roro un-
tuk kembali terlihat sebagaimana wajarnya. Hal mana
membuat si Kelabang Hitam tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma sebegitu saja ke-
hebatanmu bocah perempuan pendekar. Kegagahanmu
memang boleh dibanggakan,  tapi kau kurang penga-
laman! Aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung
di Rimba Persilatan sudah banyak mengalami berma-
cam pertarungan. Sudah banyak makan sama-garam!
Akan tetapi dalam setiap pertarungan kukira
pertarungan sekarang inilah yang paling sukses." ber-
kata si Kelabang Hitam dengan terkekeh-kekeh.

Lalu... apakah yang terjadi kemudian? Melihat
Roro Centil sudah kena ditaklukkan  kakek hitam ini
kembali berkemak-kemik membaca mantera. Lagi-lagi
lengannya bergerak untuk melontarkan segelombang
angin halus memperkuat serangan totokan jarak jauh.
Dengan mengulang demikian kakek ini tak khawatir
lagi Roro Centil akan mampu untuk melepaskan toto-
kan ampuhnya yang memang amat luar biasa.
Roro perdengarkan keluhannya. Dan dengan
lunglai langsung menggeletak dilantai. 
"Hehehe... bagus! aku akan bantu melucuti pa-
kaianmu! Tenagamu terlalu lemah, dewiku...! Kau ten-
tu belum pernah merasakan nikmatnya seorang laki-
laki! Aku tahu kau memang masih gadis tulen! Dan...
hehehe... aku memang memerlukan kau Sangat kuper-
lukan! Karena dengan mereguk kenikmatan dari tu-
buhmu, akan   terjadi "penyaluran". Kegaiban yang ada
pada tubuhmu memungkinkan pindahnya ilmu-ilmu
"dalam" yang berada pada tubuhmu tersalur ketubuh-
ku! ketahuilah... aku amat mendambakan itu! karena
tenaga dalamku bisa bertambah! Dan aku akan awet
muda...! kulitku yang keriput ini bisa menjadi kencang
lagi..."berkata mendesah si kakek hitam itu  seraya
membungkuk untuk membukai pakaian Roro. Se-
dangkan belasan bayangan-bayangan tubuh palsu si
Kelabang Hitam yang lainnya mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada reaksi apa-apa. Ke-
cuali terdengar suara desah nafasnya yang teratur...
ya! Roro ternyata telah kena "Sugesti" yang diucapkan
melalui batin untuk mempengaruhi sirkuit otaknya.
Dan... dia tak tahu kalau lengan si kakek binal ini mu-
lai melepaskan pakaian Roro dengan tubuh menggele-
tar karena hawa rangsangan dari birahi yang mengge-
legak, seperti tak tertahankan lagi untuk cepat-cepat
melaksanakan niatnya.

Ternyata kakek hitam ini memang mencari Roro
Centil untuk maksud itu. Yaitu menyerap ilmu gaib
serta kekuatan tenaga dalam Roro lahir-batin yang ha-
rus dilakukannya dengan melakukan persanggamaan.
Dengan tenaga "luar dan dalam" yang kelak
bakal terpadu itu, bukan mustahil kalau seluruh ke-
kuatan batin, serta bermacam kegaiban yang dimiliki
Roro bahkan sampai tenaga dalam Roro akan terkuras
bersih.
Akan tetapi membelalak sepasang mata si kela-
bang hitam, karena tiba-tiba terdengar suara mengge-
ram dahsyat.
GRRRRRRRR... Berbareng dengan suara gera-
man itu si kelabang hitam berteriak kaget karena tahu-
tahu tubuh yang akan ditindihnya itu telah berubah
wujud. Bukan lagi Roro Centil yang bertubuh mulus
lagi, akan tetapi adalah seekor Harimau Tutul yang
luar biasa besarnya. Yang telah mencengkeram ganas
dengan taring-taringnya yang tajam runcing. Sementa-
ra kuku-kuku yang runcing itu telah membenam pada
kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si Kelabang Hi-
tam lemparkan tubuhnya bergulingan. Jubahnya ter-
koyak dengan seketika berikut terkoyaknya pula kulit
punggung, dada dan sedikit kulit lehernya.
Pucat pias seketika wajah kakek hitam ini. Na-
mun secepat kilat dia telah menyambar tongkat Kela-
bang yang bagaikan   tersedot meluncur ke arahnya.
Dengan sigap lengannya bergerak menangkap.
"Hihihi... manusia licik! enak saja kau mau menjamah
tubuhku! Manusia sepertimu memang  layak untuk
mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang dibarengi den-
gan suara bentakan. Tersentak lagi-lagi si Kelabang Hi-
tam karena tiba-tiba Harimau Tutul itu telah lenyap.

Dan... tahu-tahu dihadapannya tegak berdiri gadis
Pendekar itu. Menatapnya dengan sepasang mata yang
seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak mempan dengan ilmu
tenungku?" tergagap si Kelabang Hitam berkata.
"Dan... kau bisa berubah jadi Harimau? Ilmu apakah
yang kau miliki...?" sentaknya kaget seraya mundur
dengan menempelkan tubuhnya ke dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama si Manusia Gu-
run Pasir? Itulah ilmu yang telah terwaris padaku!"
menyahut Roro dengan suara keren.
"Manusia... Gurun... Pasir...?" seperti mengeja
si kakek hitam itu mengulangnya. Tiba-tiba tubuhnya
mendadak berubah jadi gemetaran dan serta merta dia
jatuhkan dirinya untuk berlutut.
"Oh...! Ampunilah selembar nyawaku ini, no...
nona Pendekar...! Aku si tua bangka ini sungguh-
sungguh tak mengetahui..." ucapnya dengan suara
terputus-putus. Disamping terheran karena melihat ti-
ba-tiba si kakek hitam ini jadi tampak ketakutan sekali
mendengar nama gurunya itu, namun tak mengurangi
kewaspadaan Roro terhadap musuhnya. Ternyata Roro
memang berpura-pura seolah terkena pengaruh keku-
atan ilmu hitam si Kelabang Hitam. Karena sebelum
memasuki pintu ruangan tadi Roro memang telah siap
mempergunakan ajian penangkal segala macam ilmu
setan. Yaitu merapal tujuh kalimat Penolak Iblis. Hing-
ga ketika si Kelabang Hitam pergunakan kekuatan ma-
tanya untuk mensugesti Roro, gadis Pendekar itu tidak
terkena pengaruh apa-apa. Roro memang ingin menge-
tahui maksud apa sebenarnya si kakek hitam itu men-
jebaknya.
"Kau benar-benar ingin diampuni nyawamu?
Hm, apakah bukan cuma tipu muslihat belaka?" ber-
tanya Roro dengan sikap jumawa. Bahkan sepasang

lengannya telah bertolak pinggang dengan mata mena-
tap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta, nona Pendekar. Se-
bagai bukti ambillah tongkatku. Aku takkan memper-
gunakannya lagi..." menyahut si Kelabang Hitam den-
gan suara menggeletar. Seraya gerakkan lengannya
meraih tongkat. Lalu asongkan pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan tongkatmu...!" berkata
Roro. Lengannya bergerak terulur untuk menyambuti
tongkat berbentuk Kelabang itu. Dasar memang ma-
nusia licik. Detik itu juga membersit ratusan jarum
berbisa dari mulut tongkat Kelabang si kakek hitam.
Akan tetapi tubuh Roro mendadak "lenyap" dengan se-
ketika. Sukar untuk diduga oleh si Kelabang Hitam.
Karena di saat maut sudah sedetik di depan mata buat
kematian Roro Centil, ternyata tubuh Roro telah mele-
tik ke atas. Bahkan kejadian yang begitu cepat itu si
Kelabang Hitam tak sempat mengetahui kemana mele-
satnya tubuh si Pendekar Wanita itu. Tahu-tahu dia
telah menjerit parau dengan teriakan pendek, tubuh-
nya menggabruk jatuh ke lantai. Darah kental berwar-
na putih bercampur merah menyemburat membercak
dilantai.
Ternyata batok kepala manusia licik ini telah
pecah berantakan. Otaknya berhamburan keluar.
Dan... tanpa sempat berkelojotan lagi, si kakek hitam
ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur turun dari
langit-langit ruangan dan jejakkan kaki dengan ringan
dilantai. Ternyata Roro Centil. Kiranya sewaktu si Ke-
labang Hitam angsongkan tongkatnya, Roro yang ber-
mata jeli telah melihat jari lengan si kakek itu bergerak
memijit tombol rahasia yang berada di sebelah bawah
tongkat. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman
berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil telah was-

pada dan menduga ada sesuatu yang tidak beres bakal
terjadi. Begitu melihat jari lengan si Kelabang Hitam
bergerak, secepat kilat Roro telah melesat ke atas. Se-
kejap tubuhnya telah menempel di langit-langit ruan-
gan. Detik itu dia telah melihat berhamburannya ratu-
san jarum yang meluruk keluar dari dalam mulut
tongkat Kelabang si kakek.
Mendelik sepasang mata Pendekar Wanita kita.
Dan tak ayal lagi langsung kirimkan satu pukulan he-
bat dari salah satu jurus pukulan warisan si Dewa
Tengkorak. Tak ampun lagi si Kelabang Hitam harus
menebus mahal dengan nyawanya, akibat kelicikannya
sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...! Manusia semacam mu
sudah terlalu bejat! Mana bisa mulutnya dipercaya?"
memaki Roro dengan wajah cemberut jengkel. Diraih-
nya tongkat Kelabang yang nyaris merenggut jiwanya
itu. Lalu dibantingkan ke lantai hingga hancur berkep-
ing-keping.
Selanjutnya Roro sudah bergerak melesat ke-
luar dari dalam ruangan itu...

***

DUA BELAS

SESOSOK TUBUH merintih-rintih menggelepoh
dipintu ruangan kamar memegangi pundaknya yang
terluka dan tampak mengalirkan darah. Tersentak Ro-
ro Centil. Secepat kilat dia sudah melompat mengham-
piri.
"He? Kau Ponara...? Katakan, apakah yang te-
lah terjadi...?" bertanya Roro dengan krenyitkan alis-
nya, ketika mengetahui laki-laki itu adalah anak buah

Ki Astagina. Roro memang mengenal pada beberapa
orang murid Ki Astagina ketika membantu menggali
kubur buat jenazah nenek Muri Asih yang disemayam-
kan disatu bukit kecil dibagian belakang Pesanggrahan
Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar menjeblak
terbuka. Dan...
WRRRRRT! Jala sutera itu begitu cepat telah
merungkup tubuh Roro Centil. Dan, saat berikutnya...
BHUSSSSS! Asap tipis berbau harum seketika
menyebar, begitu terdengar letupan kecil ketika pada
detik barusan sebuah benda menggelundung di bawah
kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu mudah untuk me-
nawan Roro Centil!" Terdengar suara tertawa berkaka-
kan. Dan... sesosok tubuh telah tersembul di pintu
kamar.  Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya.
Saat itu asap tipis berbau harum yang mengandung
obat bius itu telah melenyap sirna. Dan tubuh Roro
Centil tergeletak pingsan dalam rangkupan jala sutera.
"Hm, terima kasih atas bantuanmu, Ponara...!
Kelak pasti aku berikan imbalan padamu!" berkata Ki
Sugema pada laki-laki bernama Ponara yang adalah
murid Ki Astagina. Laki-laki itu telah melompat lagi
menghampiri  ke muka  pintu kamar. dan tersenyum
dengan menjura pada Ki Sugema, seraya ucapnya.
"Hambapun mengucapkan terima kasih sebe-
lumnya...! apakah selanjutnya yang harus hamba la-
kukan. Ketua...?" ternyata kejadian barusan adalah te-
lah direncanakan sebelumnya. Ponara yang gila kedu-
dukan mau saja diperalat oleh Ki Sugema untuk men-
jebak Roro. Dengan berpura-pura terluka  yang se-
sungguhnya cuma melumuri pundaknya dengan darah
palsu. Ponara dijanjikan kelak akan diberi peluang un-
tuk menjadi seorang Perwira Kerajaan di Kerajaan Ma-

taram, bila rencana Ki Sugema berhasil untuk mempe-
ristri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini silahkan kau berang-
kat ke Akhirat!"
Selesai menyahut, sebuah kilatan membersit
dari lengan Ki Sugema. Dan... tanggallah kepala Pona-
ra dari tubuhnya. Darah memuncrat yang diiringi den-
gan robohnya tubuh laki-laki gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau sudah tak ku-
pentingkan lagi!" berkata Ki Sugema seraya siapkan la-
gi senjata ampuh pencabut nyawa hasil rampasannya
itu ke balik bajunya.
Akan tetapi terperangah Ki Sugema ketika
mendengar suara menggeram. Tahu-tahu jala sutera
itu telah "terbang" melesat ke arahnya. Dan detik beri-
kutnya laki-laki telengas ini tampak telah bergumul
dengan seekor harimau Tutul yang luar biasa besar-
nya. Akan tetapi tak berapa lama tubuh Ki Sugema te-
lah terkulai tak bergeming lagi. Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak mengerikan sekali
dengan sekujur tubuh penuh  cabikan-cabikan. Darah
menganak sungai dari luka dilehernya yang menganga
hampir putus! Sedangkan disekelilingnya bertebaran
serpihan jala sutera yang sudah hancur tak berbentuk
lagi.
Harimau Tutul itu ternyata telah lenyap entah
kemana...

***

Dengan kesal Roro Centil membanting senjata
maut yang "disita" dari jenazah Ki Sugema, hingga me-
lesak ke dalam tanah, Tampak wajah si Pendekar Wa-
nita ini merah padam. Telah ubak-ubakan dia mencari
dimana Sambu Ruci dan Seruling Gading. Tapi tak di-

jumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan ini punya ruangan
rahasia?" memikir Roro. "Baik...! akan ku selidiki!" de-
sisnya serentak begitu selesai bermenung. Tubuh Roro
kembali berkelebat untuk memasuki setiap ruangan
Pesanggrahan.
BRAAAK...! Tiba-tiba terdengar suara bergedu-
brakan. Roro merandek dengan wajah tegang. "Apakah
ada manusia iblis lagi yang masih bercokol di Pe-
sanggrahan ini?" berkata Roro dalam hati. Sekejap dia
sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari reruntuhan tem-
bok disalah satu ruangan belakang Pesanggrahan, wa-
jah orang itu kusut, pucat dan malang biru seperti be-
kas-bekas pukulan. Dialah Sambu Ruci adanya. Den-
gan susah payah pemuda itu merangkak keluar dari
celah lubang yang menganga direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!" satu teriakan lelah membuat
dia palingkan wajahnya untuk memandang ke arah da-
tangnya suara.
"No... nona Roro..." teriak laki-laki ini dengan
suara parau lemah. Akan tetapi wajahnya member-
sitkan cahaya girang. Sekejap saja Roro Centil telah je-
jakkan kakinya dihadapan laki- laki ini.
"Ahhh...! Sambu...! Apakah yang telah terjadi?
Kemana is... istrimu  Seruling Gading?". tanya Roro
dengan terkejut karena memandang wajah tampan
Sambu Ruci matang biru dengan keadaan yang meng-
giriskan hati. Sekujur tubuhnya juga banyak luka-luka
dengan pakaian yang sudah robek disana-sini. Sambu
Ruci jatuhkan tubuhnya duduk menggelepoh. Wajah-
nya menunduk tanpa bisa berikan jawaban pada Roro.
Setitik air mata tampak tersembul disudut kelopak
mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah! Siapa manusianya yang

telah menyiksamu? Akan kuremukkan tulang-tulang
tubuhnya! Dan... kemana Seruling Gading...?" tanya
Roro lagi dengan suara menggetar.
Pelahan laki-laki ini menengadahkan wajahnya
menatap pada Roro. Tampaknya Sambu Ruci teramat
lemah untuk bicara.
Roro Centil yang tahu diri, segera berkelebat.
Dan sesaat telah kembali lagi dengan membawa se-
kendi air.
"Minumlah Sambu...!" ujar Roro. Sambu Ruci
tersenyum lemah seraya menyambuti dengan ulurkan
lengannya. Lalu meneguk habis isi kendi itu. Setelah
menghela nafas dan merenung sejenak, mulailah Sam-
bu Ruci buka suara, menceritakan kejadiannya, den-
gan singkat. Roro Centil dengan wajah sebentar merah
sebentar pucat mendengarkan penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap dalam ruangan
rahasia di Pesanggrahan itu setelah dipaksa menyak-
sikan perbuatan edan Ki Sugema terhadap istrinya.
Diceritakannya siapa Ki Sugema. Dan kejadian-
kejadian penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan
oleh Suro Ragil dan si laki-laki gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah mampus ditanganku!
Dan senjata mautnya telah kulenyapkan! Kakek iblis
bertongkat Kelabang itu sudah kukirim nyawanya ke
Neraka...!" menyahut Roro dengan pertanyaan Sambu
Ruci yang mempertanyakan kedua tokoh yang mengu-
asai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu Seruling  Gading?"
bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi nasibnya, sejak dia disekap
si keparat Ki Sugema itu..." jawab Sambu Ruci.
"Haihhh! Aku memang manusia bodoh! Tak
berguna...!" berkata Sambu Ruci memaki dirinya sen-
diri.

"Sudahlah...! mari kita tinggalkan tempat ini!
aku akan berusaha mencarinya!" ujar Roro menghibur.
Lalu memapah Sambu Ruci berdiri, seraya diam-diam
salurkan "hawa murni" untuk menambah tenaga da-
lam laki-laki itu. Terasa hawa hangat mengalir ke tu-
buh  Sambu Ruci, yang dirasakan oleh laki-laki  itu.
Ternyata kemudian Sambu Ruci agak pulih tenaganya.
Dia  tersenyum  menatap Roro. "Terima kasih...
kau baik sekali..." ucapnya lirih.

***

Sambu Ruci duduk termangu-mangu di depan
sebuah pondok petani diatas bukit kecil. Pemandangan
indah terhampar dihadapannya. Akan tetapi keinda-
han itu seakan tak berarti. Karena yang terbayang me-
lulu wajah Seruling Gading. Dua hari sudah dia mene-
tap di atas bukit kecil itu. Selama itu Roro Centil telah
merawatnya, memberinya obat dan bermacam ramuan
yang harus diminumnya. Memasak air. Menanak nasi
dan sebagainya. Tak ubahnya seolah dia dirawat oleh
seorang "istri" tercinta. Ah, begitu mengharukan. Begi-
tu pedih. Begitu bahagia tampaknya. Bahagiakah
Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia yang tahu! dan
yang membuat dia tersenyum pahit adalah apa yang
dialaminya saat itu adalah begitu lucu! Ya, satu kelu-
cuan, karena dia justru punya "pengganti" istrinya
yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga
sampai kesembuhannya pulih kembali.
Hari itu dia duduk di depan pondok menunggu
kedatangan Roro yang telah wanti-wanti memesannya
agar tak kemana-mana. Dia termangu-mangu menatap
ke bawah bukit dengan pandangan kosong. Wajah Se-
ruling Gading sebentar membayang namun sebentar
melenyap di ruang matanya. Kemelut di Cipatujah itu

telah berakhir. Kini cuma tinggalkan puing-puing dari
reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi terengkuh... "Apa-
kah aku tak berjodoh dengannya?" berkata sendiri
Sambu Ruci. "Ya! Kalau aku berjodoh, tentu tak terjadi
peristiwa macam begini...!" menjawab pula sendirian
laki-laki itu, yang akhirnya dia cuma tersenyum pahit
dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ehm...!" suara deheman itu seketika membuat
dia tersentak dari lamunannya. Ketika dia membalik
ternyata Roro Centil telah berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang, no... nona Roro...?"
tanya Sambu Ruci tergagap.
Seulas senyum segera tersuguh buatnya. Ya!
Mutlak! Memang senyum itu cuma untuknya.
"Panggillah aku Roro saja, mengapa harus pa-
kai "nona"...?" berkata Roro dengan mengerling. Sambu
Ruci tertawa hambar.
"Ya, ya, ya... baiklah! Aku akan menyebut mu
dengan panggilan Tabib Roro! apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan tabib!" menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau memang seorang tabib. Kau
telah merawatku hingga luka-lukaku serta kesehatan-
ku pulih kembali!" sangkal Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!" menyahut Roro dengan ter-
senyum manis. Aneh! Diam-diam dan diluar kesadaran
Roro. Gadis Pendekar itu rasakan dadanya berdeba-
ran. Ya! Roro memang mulai sering merasakan deba-
ran-debaran sejak merawat Sambu Ruci selama ini.
Satu keanehan yang dia sendiri juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat menghilangkannya un-
tuk kembali menenangkan diri. Apakah ada terbersit
rasa cinta dihati roro pada laki-laki yang telah kehilan-
gan istrinya itu? Entahlah! Tapi yang jelas debaran itu
adalah satu kewajaran. Karena setiap naluri wanita

memang demikian bila berhadapan dan bergaul terlalu
erat dengan laki- laki.
"Ada berita baik yang kutemukan, Sambu...!"
tiba-tiba Roro Centil memutus "tegangan" tersembunyi
diantara dua jalur halus yang merentang barusan.
"Berita...? Oh, katakanlah!" menyahut Sambu
Ruci.  Agak  tersentak seperti sukmanya baru kembali
dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua mayat disatu tebing
batu. Ciri-cirinya jelas seperti yang telah kau tuturkan
padaku. Aku yakin itu mayat Suro Ragil dan si gemuk
Zimbage...!" berkata Roro seraya menuangkan air ke
dalam gelas tanah dari kendi berisi air putih. Lalu me-
neguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?" sentak Sambu Ruci. "Tak
adakah berita mengenai Seruling Gading?" tanya Sam-
bu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! akan tetapi kuharap kau tak terkejut
mendengarnya!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi dengan dia...?" tanya
Sambu Ruci dengan berusaha bicara biasa. Namun di-
am-diam hatinya mulai menyentak lagi, yang segera di-
tekannya agar tak membuat suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah berubah menjadi orang
yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia... maksudmu dia berubah
menjadi... GILA...?" Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!" sahut Roro dengan suara tenang.
"Dia telah berhasil lolos rupanya dari sekapan
Ki Sugema. Tapi dikejar oleh Suro Ragil dan si gemuk
itu, entah siapa yang telah membunuh kedua orang
itu. Dari berita yang kudapat tak ada yang mengeta-
huinya. Akan tetapi mengenai Seruling Gading menjadi
hilang ingatan itu banyak berita yang kudapat dari
penduduk disekitar tempat itu..." tutur Roro.

Terhenyak sesaat Sambu Ruci. Wajahnya me-
nunduk. Tampak satu kesedihan yang luar biasa diro-
na wajahnya.
"Tak adakah kau temukan dia...?" tanya Sambu
Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang kudengar Seruling
Gading menerjunkan diri ke dasar  jurang! Aku telah
mencoba mencari mayatnya didasar jurang pada lokasi
yang dikira-kirakan penduduk. Tapi tak kujumpai
mayatnya disana..." menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu tragis nasibmu..." men-
desah suara Sambu Ruci. Kini titik air bening yang ter-
sembul disudut mata laki-laki itu telah meluncur tu-
run. Namun, Sambu Ruci segera seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah suratan takdir!"
berkata Roro "Kita belum bisa pastikan Seruling Gad-
ing tewas. Namun kukira.
Sambu Ruci seperti tak mendengar penjelasan
Roro. Dia menatap jauh ke bawah lembah. Jauh...! dan
bahkan lebih jauh lagi.
Dua ekor elang tampak melayang di ketinggian.
Bukit kecil itu seperti sunyi. Dan memang terasa
sunyi... Seperti juga sunyinya hati Sambu Ruci. Ketika
dia berpaling ternyata Roro Centil telah lenyap tak ter-
lihat bayangannya. Semakin sunyilah hati Pendekar
Muda ini.
Senja pun tampak mulai melingkupi daerah
perbukitan itu....

TAMAT
E-Book