Roro Centil 16 - Tiga Siluman Bukit Hantu(1)



1

JARAN PERKOSO adalah nama Ketua dari Pe-
rusahaan Pengantar dan pengawal barang, yang ba-
nyak mempunyai cabang di beberapa tempat.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun itu sudah
lama menduda sejak kematian istrinya delapan tahun
yang lalu. Dan cuma hidup berdua dengan anak ga-
disnya yang berusia 18 tahun bernama Sri Kemuning.
namun segera dikenal dengan julukan PIPIT LURIK,
karena kesukaannya memang mengenakan pakaian
bercorak garis-garis atau lurik. Hingga terkenal dengan
julukan si Pipit Lurik. Dalam merintis usahanya itu,
Jaran Perkoso dibantu oleh dua orang saudara seper-
guruannya bernama Gantar Sewu dan Jaka Keling.
Mereka memang murid-murid kakek sakti dari puncak
Gunung Muria, yang bergelar Resi Paksi Sakti Jala-
tunda.
Namun sejak sepuluh tahun belakangan ini ka-
kek sakti yang bersemayam di puncak Gunung Muria
itu, sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabarnya. Ka-
rena pernah pada beberapa bulan belakangan ini Ja-
ran Perkoso dan kedua saudara seperguruannnya me-
nyambangi, namun sang guru yang disebut Eyang Ja-
latunda itu sudah tak lagi berdiam dipondoknya lagi.
Tak seorangpun' mengetahui kemana lenyapnya.
Perusahaan Pengangkut dan Pengawalan ba-
rang yang dipimpin oleh Jaran Perkoso itu diberi nama
BENTENG MACAN GUNUNG, yang markasnya terletak
di sekitar  daerah UNGARAN. Pada masa itu memang
nama Perusahaan Ekspedisi  Benteng Macan Gunung
sedang terkenal. Karena disamping mempunyai alat
pengangkutan yang kuat, yaitu kereta-kereta barang
dengan kuda-kuda yang kekar, juga dikawal oleh

orang-orang yang tangguh dan berkepandaian tinggi.
Apalagi nama TIGA MACAN GUNUNG MURIA sudah
terkenal dengan ketinggian ilmunya. Hingga perampok-
perampok dan pembegal akan segan mengganggu ba-
rang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia ini memang su-
sah diduga. Dan kelanggengan selalu bersifat sementa-
ra. Demikian juga dengan keadaan Perusahaan dan
Pengawalan barang Benteng Macan Gunung. Sejak
berdirinya delapan tahun yang lalu, sudah banyak
menjatuhkan beberapa saingan dalam usaha jenis itu.
Walaupun sebenarnya langganan bebas memakai jasa
siapa saja tanpa paksaan, namun kenyataannya para
Pedagang atau pengusaha pertanian maupun perke-
bunan, atau para saudagar dan bangsawan lebih cen-
derung memakai jasa Benteng Macan Gunung yang
sudah tersohor akan keamanannya. Karena mereka ti-
dak Usah khawatir merasa was-was lagi akan teran-
camnya barang mereka dari gangguan begal atau pe-
rampok serta gangguan lainnya.
Sehingga sudah sejak lama menimbulkan rasa
iri hati atas kewibawaan Benteng Macan Gunung. Dan
menimbulkan perbagai dendam terselubung pada si
Tiga Macan Gunung Muria yang tengah berjaya.
Sebuah gedung besar dan megah dibangun di
ujung kota Ungaran. Disekeliling gedung adalah berdiri
puluhan barak-barak tempat kereta, serta beberapa is-
tal kuda. Pada bagian belakang gedung megah itu ada-
lah barak-barak dari para pengawal yang keadaannya
bersih dan teratur. Mereka amat senang tinggal di
tempat itu, karena sang Ketua atau majikan mereka
amat memperhatikan akan kesejahteraan mereka, balk
makan dan pakaian. serta gaji yang sesuai.
Sebagai puteri  satu-satunya, Pipit Lurik amat
manja pada ayahnya. Wajahnya yang cantik dengan

sepasang mata jeli berbulu mata lentik, juga raut wa-
jah berbentuk daun sirih dengan dagu kecil, hidung
yang mancung serta berbibir tipis itu mengingatkan
pada wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi puterinya ini.
Namun bukan dengan dimanjakan dengan diumbar
segala kemauannya, akan tetapi diam-diam sejak be-
rusia 10 tahun, Pipit Lurik alias Sri Kemuning telah
diwarisi ilmu kepandaiannya. Gadis yang baru berusia
genap delapan belas tahun ini walau kelihatannya le-
mah, namun telah terisi dengan kekuatan dalam yang
tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari separuh ilmu
pedangnya, juga Pipit Lurik sudah menguasai berbagai
ilmu  lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan tangan
kosong. Sejak kecil memang Pipit Lurik telah diajari
cara menunggang kuda, hingga tampak gadis itu
mempunyai kelincahan yang mengagumkan dalam
menunggang kuda, walaupun semua itu dilakukan di
dalam markas yang dipagari dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati Jaran Perkoso
sejak ditinggal sang istri ke alam baka. namun men-
gingat akan kekhawatirannya pada sang anak, bila
mempunyai seorang ibunya yang telah tiada, Jaran
Perkoso  tak sampai hati untuk mengambil istri lagi.
Khawatir kalau sang istri kelak tak menyayangi Pipit
Lurik. Dan akan berakibat tidak baik bagi keadaan da-
lam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai sejauh itu Jaran
Perkoso selalu memendam perasaannya. Laki-laki ini
sering terlihat termangu-mangu menatap keluar jende-
la, memperhatikan barak-barak di sekeliling gedung.
Sembilan belas kereta barang dibarak itu cuma bersisa
sebelas kereta. Dan dua puluh ekor kuda dibarak sana
cuma tinggal beberapa ekor lagi, karena hal itu Gantar

Sewu dan Jaka Keling tengah pergi mengantar barang
kawalan kedua tempat. Pesanan mengantar barang da-
ri seorang bangsawan tua di sebelah Utara kota Unga-
ran, yang dikawal oleh Gantar Sewu, dan pesanan satu
lagi adalah atas pesanan dari Adipati Banyu Biru, yang
dikawal oleh Jaka Keling dengan membawa belasan
anak buahnya.
Tampak laki-laki tua ini menghela napas, se-
raya hempaskan tubuhnya ke  kursi di  belakang me-
janya. Terkadang di hati Jaran Perkoso ada rasa bang-
ga mempunyai saudara seperguruan yang bekerja ra-
jin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu sepinya kalau
sudah keadaan dimarkas Benteng Macan Gunung
menjadi sunyi.
Ada tersirat dihatinya untuk meninggalkan pe-
kerjaannya. Entah mengapa dorongan itu begitu kuat.
Jaran Perkoso merasa usianya sudah semakin menua.
Dan sudah pantas rasanya dia mengundurkan diri ke
tempat sunyi.
Ah, seandainya Pipit Lurik telah bersuami, dan
mempunyai kesenangan... rasanya aku akan leluasa
menyendiri di puncak Muria Disana tampaknya amat
tenang dan tenteram! Sayang Eyang guru telah tak be-
rada di tempat itu, namun biarlah! Aku toh dapat me-
rasakan ketentraman walau hidup menyendiri, sambil
mengenang almarhum Sri Lestari.... . ! Mungkin den-
gan berdiam disana aku dapat menentramkan pera-
saanku! Demikian pikir Jaran Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah laki-laki ini
menampilkan kecerahan. Bibirnya menampakkan se-
nyuman. "Ah, mengapa tak kubujuk anakku agar me-
nerima lamaran si Bangsawan Tua itu? Dia mengajak-
ku berbesan! Dan aku sudah lihat sendiri anak laki-
lakinya cukup tampan! Perangainya kukira baik...! Ya,

cukup sepadan bila bersanding dengan Pipit Lurik.
Pemuda itu bernama PITRA SENA! Hm, nama yang cu-
kup gagah buat anak seorang Bangsawan!" Menggu-
mam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik tak menolak, aku
setuju berbesan dengan Raden Mas ANJASMORO
itu...!" Desisnya agak keras sambil gerakkan lengannya
memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki mendekati, dan
seorang gadis cantik berwajah bulat sirih sudah mun-
cul di  belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri
Kemuning alias Pipit Lurik. Tampak sepasang alis ga-
dis remaja ini bergerak hampir menyatu. Sepasang ma-
tanya yang tajam menatap pada ayahnya. "Ada apa-
kah, ayah? Tak biasanya ayah memukul meja..." Tanya
Pipit Lurik seraya menggelendot di punggung  sang
ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi segera merubah
wajahnya menjadi senyum yang amat cerah. "Ah,
anakku...! Aku lupa akan satu jurus ilmu pukulan
yang belum ku turunkan padamu, hingga tanpa sadar
aku memukul meja dengan keras!" Ujar Jaran Perkoso
yang belum mau berterus terang di hadapan anak ga-
disnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak menampakkan
perubahan cerah seperti biasanya. Bahkan mele-
paskan lengannya, seraya beranjak beberapa langkah
ke  arah pintu. Dan menatap keluar dimana terdapat
kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan itu kupelajari,
ayah? Rasanya aku tak memerlukan segala macam il-
mu silat! Karena bukankah kau menginginkan aku
menikah dengan anak Bangsawan Tua itu...?" Berkata
Pipit Lurik tanpa palingkan wajahnya. Tentu saja kata-
kata itu membuat Jaran Perkoso jadi tersentak kaget,

karena tak menyangka kalau kata-katanya di luar sa-
dar tadi telah terdengar oleh sang anak.
"Anakku...! kau mendengar gumam ku tadi?.. .
ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu tergesa memikirkan
diriku...? Aku masih ingin hidup bebas, tak mau teri-
kat dulu dengan perkawinan!" Berkata Pipit Lurik,
dengan suara tiba-tiba berubah jadi parau. Dan segera
tampak air mukanya menjadi memerah. Sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca tergenang air mata yang
mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso menghampiri, dan
cekal perlahan pundak anak gadisnya. Namun laki-laki
inipun bingung akan berkata apa pada anak gadisnya,
karena sekonyong-konyong bibirnya terasa seperti ter-
kunci, tak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau kau tak menghen-
daki, aku tak dapat memaksa...!" Akhirnya Jaran Per-
koso membujuk dengan kata-kata lembut, seraya
membelai rambut sang anak. Hatinya pun menjadi lu-
luh kembali. Betapapun dia amat menyayangi puteri
satunya ini, dan tak ada berniat melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak Pipit Lurik seraya balikkan
tubuhnya dan memeluk sang ayah dengan terisak-
isak. Jaran Perkoso mengusap-usap punggung anak
gadisnya. Sekonyong-konyong hatinya jadi trenyuh,
dan di luar sadar laki-laki inipun menitikkan air mata.

—0OOO0—

Sejak itu Jaran Perkoso tak pernah lagi me-
nyinggung-nyinggung soal perjodohan yang diha-
rapkan akan membuka jalan melaksanakan niatnya.
Bahkan Jaran Perkoso tak mengharapkan sedi-
kitpun untuk berbesan dengan Bangsawan Tua lang-

ganannya itu. Namun sejak itu Pipit Lurik nampak ser-
ing menyendiri dalam kamar. Tak menampakkan ke-
lincahannya lagi, atau kemanjaannya di hadapan sang
ayah. Gadis itu selalu menunduk tanpa berani me-
mandang padanya jika berhadapan. Dan jarang sekali
Pipit Lurik berbicara kalau tak ditanya.
Jaran Perkoso merasa amat menyesal dengan
kejadian lalu itu, karena tanpa diduga membuat dia
dan anak gadisnya jadi kurang akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan semakin sering Ja-
ran Perkoso merenung bila telah selesai pekerjaannya.
Hingga terbitlah keinginannya membuat keakraban la-
gi pada sang anak gadis. Yaitu dengan mengajaknya
pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang pergi mengan-
tar dan mengawal barang. Jaka Keling berada dimar-
kas. Tampak laki-laki berusia  30 tahun itu tengah
membantu para anak buahnya membetulkan kereta-
kereta yang rusak. Dan mengganti roda-rodanya den-
gan yang baru. Ketika Jaran  Perkoso menghampiri,
adik seperguruannya ini cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...! Apakah kau tidak pergi
kemana-mana hari ini... ?" Tanya Jaran Perkoso sambil
menggendong tangan di belakang punggung.
"Ada apakah, kakang? tak ada niatku untuk ke-
luar! Aku perlu memperbaiki kereta, bukankah dua
hari lagi akan mengantar barang ke Rawa Pening...!"
Ujar Jaka Keling sambil menepuk-nepukkan kedua
lengannya yang berdebu. Jaran Perkoso manggut-
manggut, dan tersenyum.
"Ah, sukurlah...! kau amat rajin bekerja! Jan-
gan terlalu berlebihan, adikku! Beristirahatlah kalau
memang kau memerlukan istirahat! Pekerjaan itu bisa
dikerjakan Singo Bronto atau yang lainnya! Aku ingin
mengajak Pipit Lurik pergi keluar menghirup udara pe-

gunungan! Kau berjagalah dimarkas! Kalau ada pesa-
nan mengantar barang, suruh sore nanti kembali lagi!
Mungkin aku baru kembali menjelang sore...!" Berkata
Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!" Menyahut Jaka Keling
dengan menunduk menatap jemari kakinya. Jaran
Perkoso menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang pantas
menjadi muridnya. "Baik-baiklah sepeninggal ku, men-
jaga markas..!" Ujarnya pula. Jaka Keling mengang-
guk- angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!" Sahutnya, seraya kembali
berjongkok meneruskan kembali pekerjaannya. Jaran
Perkoso putarkan tubuh, kembali melangkah menuju
gedung. Sementara Jaka Keling menatapnya sampai
laki-laki kakak seperguruannya itu lenyap dibalik pin-
tu depan halaman gedung megah itu.
Dataran tinggi Limbangan memang merupakan
tempat pemandangan yang indah. Dari atas perbuki-
tan itu terlihat dikejauhan puncak Gunung Merbabu
yang menjulang dikelilingi awan putih. Pada puncak-
nya mengepulkan asap putih tipis. Namun gunung itu
memang amat jauh dari Limbangan dan hanya tampak
samar-samar saja kebiru-biruan. Angin pegunungan
yang membersit di atas perbukitan itu membuat hawa
sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua ekor kuda
tengah mendaki  bukit. Suara ringkiknya sesekali ter-
dengar menyibak keheningan. Tak lama kedua kuda
sudah berada di atas perbukitan menghijau itu.
Kedua penunggangnya adalah seorang laki-laki
tua berusia lima-puluhan tahun. Sedang seorang lagi
adalah seorang gadis remaja yang cantik berbaju lurik.
Siapa lagi kalau bukan Pipit Lurik dan ayahnya, yaitu
Jaran Perkoso yang memang mengajak puterinya un-
tuk bergembira.

Tampaknya sang gadis ini memulai pulih lagi
kelincahannya. Dia merasa berada di alam yang bebas.
Terlihat wajahnya menampilkan senyum tiada hen-
tinya. Terkadang tertawa lepas kalau sang ayah bergu-
rau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang yang melihat
keakraban ayah dan anak itu akan menjadi mengiri.
Tiada orang menduga kalau dibalik kegembiraan laki-
laki bernama Jaran Perkoso itu justru tersimpan pera-
saan sedih. Karena keadaan itu mengingatkan pada
masa isterinya masih hidup. Dimana mereka berdua
sering berdua-dua bersenda gurau di  kala berbulan
madu.
Namun semua itu cuma tinggal kenangan. Ke-
nangan yang sudah lewat belasan tahun yang silam.
Air-mata laki-laki ini menitik tanpa disadari.
Akan tetapi telah disembunyikan dengan gelak tawa.
Pipit Lurik tersenyum memandang ayahnya yang mela-
rikan kudanya di atas bukit berputar-putar.
"Ayah...! oh, lihatlah! Di  bawah ada sungai...!
Tentu airnya jernih sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil
menunjuk ke bawah bukit dimana dikejauhan tampak
air sungai yang berkelok-kelok bagaikan ular, terha-
lang pohon dan perbukitan yang menonjol. "Itulah kali
Wringin, anakku...!" Ujar Jaran Perkoso seraya meng-
hampiri sang gadis. "Oh, indahnya...! aku amat betah
berdiam disini, ayah...!" Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran
Perkoso cuma tertawa gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini sudah dipenuhi
lagi dengan bermacam-macam keinginan yang akan
membuat  kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik
aku mengantarkan si Pipit Lurik ini ke Gunung RA-
TAWU...? Disana ada berdiam sahabat Eyang Guru!
Tampaknya anakku lebih menyenangi keadaan yang
bebas seperti ini...! Memikir demikian Jaran Perkoso

gerakkan kakinya melompat turun dari punggung ku-
da.
"Anakku duduklah disini, di dekatku...!" Berka-
ta Jaran Perkoso. Pipit Lurik menoleh, dilihatnya sang
ayah sudah duduk di atas batu. Segera dia melompat
turun dari kudanya, dan menghampiri kesana. Semen-
tara kudanya dibiarkan makan rumput yang banyak
tumbuh lebat di sekitar perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak gadisnya lekat-
lekat. Pipit Lurik menunduk memandang ke bawah.
Gadis ini merasa ada satu keanehan  yang terlihat di
wajah sang ayah. Ada hal apakah gerangan yang akan
dibicarakan padaku...? Pikir gadis ini. Selang tak lama
terdengar Jaran Perkoso menghela napas, dan mulai
berkata.
"Anakku...! Benarkah kau senang tinggal di
tempat yang bebas seperti ini?" Tanya Jaran Perkoso
membuka percakapan..
Pipit Lurik angkat wajahnya. Kini ganti dia yang
menatap pada sang ayah dengan wajah menampilkan
keheranan, tapi bibirnya sudah keluarkan kata-kata li-
rih.
"Benar, ayah! Aku bosan hidup terkungkung di
dalam markas! Semua yang kulihat adalah itu, dan itu
lagi...! Aku amat mengiri pada burung-burung yang
bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! mengapa tak kau katakan sejak
dulu-dulu! Ayahmu  tentu akan mengabulkan keingi-
nanmu! Kau adalah cahaya mataku, anakku! Sejak
kematian Ibumu delapan tahun yang lalu aku tak ber-
hasrat untuk menikah lagi! Semua itu karena semata-
mata aku menyayangi mu! Karena aku tak sampai hati
kalau kedatangan seorang ibu pengganti ibumu yang
telah tiada justru akan membuatmu jauh dariku!" Ujar
Jaran Perkoso. Mendadak suaranya jadi agak parau.

Ternyata laki-laki ini kembali mengingat akan almar-
hum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa saat. Kini dia
mulai mengetahui kalau sang ayah amat menyayan-
ginya.
"Ayah! aku takkan menghalangi kalau kau mau
menikah dengan siapa saja! Mengapa harus mengkha-
watirkan diriku? aku amat senang dan berbahagia ka-
lau melihat ayahpun berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik
dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan takdir diriku, di-
tinggal ibu...! Aih memang amat menyenangkan sean-
dainya ibu masih hidup...!" Lanjut Pipit Lurik,  seraya
menatapkan pandangan jauh ke bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat mencintai ibumu!
Biarlah aku menduda selamanya sampai akhir hayat!
Aku cukup bahagia bila kau mempunyai kegembiraan
dalam hidup! Biarlah, yang sudah tiada tak usah dike-
nang lagi! Ibumu sudah rela dipanggil Yang Kuasa...!"
Berkata demikian, tampak wajah Jaran Perkoso beru-
bah muram. Akan tetapi dia sudah segera dapat me-
nahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada mempunyai kenalan seo-
rang sakti di Puncak Gunung Ratawu! Beliau bergelar
BIKHU SOKALIMA! Seorang Pendekar Wanita yang su-
dah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar Wanita....?" Tanya Pipit Lu-
rik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di  kala mudanya adalah tokoh
Persilatan yang amat dikagumi di Rimba Hijau! sebagai
seorang tokoh penegak keadilan yang berilmu tinggi!".
"Oh, betapa mengagumkan...!" Berkata Pipit Lu-
rik dengan suara kagum memuji. Perubahan-
perubahan wajah Pipit Lurik tampak jelas dimata Ja-
ran Perkoso. Dan sang ayah ini tersenyum. Besar ha-

rapannya Pipit Lurik dapat tinggal bersama wanita ko-
sen sahabat Eyang Jalatunda itu di Puncak Ratawu.
"Kau setuju, anakku...?" Tanya Jaran Perkoso
dengan tatap tajam-tajam wajah puterinya. Pipit Lurik
mengangguk seraya tersenyum. Sepasang matanya
yang bening itupun menatap pada sang ayah dengan
bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali, ayah...! Oh, betapa aku
amat berterima kasih padamu...!".
"Hahaha... bagus! kau memang anakku, yang
cantik dan bengal!" Desah suara Jaran Perkoso seraya
mencubit pipi dara manis itu. Tampak wajah Jaran
Perkoso menampilkan kegembiraan. Bukankah habis
sudah perkaranya? Dia dapat segera meninggalkan pe-
kerjaannya di Markas Benteng Macan Gunung untuk
meneruskan niatnya menyepi dipuncak Gunung Mu-
ria.
Dan bukankah puncak Gunung Muria dengan
Puncak Gunung Ratawu tak begitu berjauhan?. Sekali-
kali dia dapat mengunjungi Pipit Lurik dipuncak Rata-
wu.
Akan tetapi manusia bisa berencana, namun
segalanya adalah di tangan  nasib yang menentukan.
Ketika tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda yang
santar. Kedua ayah dan anak itu menoleh ke belakang.
Seketika mereka jadi terperanjat karena tahu-tahu ke-
dua ekor kuda mereka tengah berkelojotan, melonjak-
lonjak disertai ringkikan-ringkikan yang mengenaskan.
Keduanya sudah segera melompat ke dekat kuda mas-
ing-masing.
Terkejut Pipit Lurik ketika melihat darah me-
netes dari perut dan leher binatang itu. Sesaat Setelah
meregang nyawa, kuda itupun diam tak bergerak lagi,
dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran Perkoso, ku-

da tunggangannya mati dengan luka-luka pada perut
dan lehernya. Ketika memeriksa lukanya, kedapatan
beberapa buah paku telah menancap di beberapa ba-
gian tubuh binatang itu. Jelas paku-paku yang men-
gandung racun. Pucatlah wajah Jaran Perkoso. Dia
sudah bangkit berdiri untuk melihat ke beberapa pen-
juru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang telah melakukan
perbuatan keji yang pengecut ini! Keluarlah...! Tam-
pakkan dirimu, binatang. . .!" Teriak Jaran Perkoso.
Wajahnya seketika berubah merah padam bahkan gu-
sarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping batu bukit,
berlompatan tiga sosok tubuh baju hijau, diiringi suara
tertawa mengikik seorang wanita.
"Hihihi... hihi... selamat berjumpa Ketua Ben-
teng Macan Gunung...! Hari ini Ketua utama dari tiga
Macan  Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman
Bukit Hantu! Hihihi... hihi... sungguh satu pertemuan
yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika melihat kemun-
culan tiga manusia ini. Dua orang laki-laki berjubah
hijau itu adalah yang mempunyai kedua tubuh seperti
bumi dengan langit. Kalau yang satu adalah manusia
pendek cebol dengan kepala botak. Adalah yang satu
lagi seorang yang jangkung kurus mirip jerangkong
dengan rambut gondrong yang sudah memutih. Pada
lengannya masing-masing mencekal sebuah tongkat.
Si jangkung memegang tongkat yang berkepala tengko-
rak. Pada bagian ujung kepala tengkoraknya menyem-
bul benda runcing mirip ujung tombak. Sedangkan si
pendek memegang tongkat yang berkepala berbentuk
tulang lengan, terbuat dari besi berwarna kuning den-
gan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang berkulit ka-

sar bermata sipit dengan hidung besar menggembung.
Mulutnya lebar hampir membelah pipinya yang tem-
bam, dengan barisan giginya yang berderet besar- be-
sar. Dikeningnya terdapat benjolan sebesar telur ayam.
Dialah yang bernama SETO BUNGKRIK. Berbeda den-
gan si jangkung yang berwajah lancip dengan kumis
lebat yang menutupi seluruh bibirnya, bermata besar
yang menonjol keluar, dengan hidung melengkung mi-
rip paruh burung Betet. Dia bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah seorang wanita
setengah umur, namun masih tampak genit. Wajahnya
masih cukup lumayan cantiknya, karena memakai be-
dak tebal serta gincu pemulas bibir yang merah me-
rangsang. Di dahinya menampak beberapa kerutan
yang menampilkan usia tuanya. Wanita ini memakai
baju  hijau dengan belahan lebar di dada hingga me-
nampakkan hampir sebagian payudaranya yang su-
dah, kendur. Namun dapat diakui wanita ini masih
memiliki tubuh yang cukup merangsang laki-laki hi-
dung belang. Pada lehernya tergantung sebuah kalung
mirip mutiara sebesar-besar kelereng. Rambutnya
memakai gelung kecil di sebelah atas, yang sisa ram-
butnya dibiarkan terjuntai. Di pinggangnya sebelah kiri
terdapat sebuah kantong kulit, serta terselip di antara
jemarinya adalah seruas bambu hitam yang panjang-
nya hampir sedepa. Pada bagian tengah bambu hitam
terdapat beberapa lubang, seperti bentuk seruling.
Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku
beracunnya. Dialah yang bernama KEMANG SURI. Ke-
tiga orang ini adalah tiga orang Tokoh Hitam yang pada
belasan tahun yang silam pernah membuat kegempa-
ran di Rimba Hijau dengan ulah perbuatannya. Ta-
dinya ketiga orang ini berpisah-pisah. Namun kini
muncul dengan berbareng serta mempunyai gelaran
baru, sejak beberapa tahun tak kedengaran kabarnya.

Tentu saja Jaran Perkoso mengenali wanita itu,
karena wanita itu pernah mempunyai urusan asmara
dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa kau muncul disini
menggangguku... ?" Tanya Jaran Perkoso dengan wa-
jah menampakkan terkejut dan marah.
"Hihihi.. Jaran Perkoso...! Aku dengar Istrimu
sudah mampus, apakah tak ada niatan kau kawin la-
gi?" Berkata Kemang Suri tanpa acuhkan pertanyaan
orang. Memerah wajah Jaran Perkoso. "Aku tak perlu
saran dari kau kalau aku mau menikah, ataupun ti-
dak! Itu adalah urusanku! Kini jawab pertanyaanku,
apa maumu dengan mengganggu ketenteramanku...!
Dan kedua monyet hutan ini mengapa bisa bersatu
denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek keduanya adalah "suami-
ku!" Tenaganya masih belum kalah dengan anak mu-
da! Dan ilmunya juga tinggi! Aku khawatir kalau mere-
ka marah, bisa menguliti kulit tubuhmu siang-siang,
Jaran Perkoso! Hihihi..." Wanita itu kembali mengikik
tertawa memperlihatkan barisan giginya yang masih
rata namun sudah kehitam-hitaman. Wanita inilah
yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya yang di
simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah melompat ke  sisi
sang ayah, seraya keluarkan bentakan nyaring. "Bede-
bah! Rupanya kalian yang telah membunuh kuda kuda
kami...?!". Ketiga manusia itu segera menatap pada Pi-
pit Lurik dengan sorot mata tajam.
"Heh heh heh.... anak gadismu memang cantik,
sobat Macan Gunung Muria! Amat mirip sekali dengan
ibunya. Sayang Sri Sulastri menolak cintaku, gara-gara
munculnya kau yang jual lagak dihadapannya! Heh
heh heh... walau kejadian itu sudah hampir dua puluh
tahun tapi sakit hatiku masih tersimpan didadaku, Ja-

ran Perkoso...! Akan tetapi akan kulupakan sakit hati
itu, asalkan kau berikan anak gadismu padaku untuk
pengganti ibunya...!" Berkata si Pendek Seto Bungkrik,
sambil matanya memain mengerling genit pada sang
gadis. Terasa mau meledak dada Jaran Perkoso men-
dengarkan ocehan si manusia pendek bertongkat kepa-
la Tengkorak itu.
"Keparat...! Siapa sudi bermantukan manusia
setan macam kau?.
"Aku kau bilang manusia setan...? hehehe-
hehe... kaulah yang jadi setan penyebab kegagalanku
menyunting Sri Lestari karena kau telah merebutnya!
Memang kini aku sudah jadi setan, yang sebentar lagi
akan menguliti kulit tubuhmu...!" Teriak si pendek gu-
sar.
"Huh, manusia iblis semacammu memang pan-
dai berputar lidah! Menyesal aku tak membunuhmu
mampus waktu itu! Perbuatanmu yang telah membu-
nuh gurumu sendiri dan mau memperkosa anak ga-
disnya karena anak gadis sang guru itu telah menolak
cintamu! Lalu kedatanganku yang menolong gadis itu,
apakah kau anggap aku merebutnya? Hahaha... ma-
nusia edan semacammu dibandingkan dengan anjing,
kukira masih lebih berharga seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit si pendek Seto
Bungkrik. Giginya terdengar berkeraot menahan kema-
rahan. Wajahnya seketika berubah jadi merah bagai
kepiting rebus. Akan tetapi tiba-tiba si pendek ini bah-
kan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah kukatakan urusan itu
akan segera kulupakan, asalkan kau carikan penggan-
tinya! Yaitu anak gadismu yang cantik ini..! hehehe..
hehe..". Berkata lagi si pendek diantara derai tawanya,
menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah kau...!" Teriak Pipit

Lurik yang diam-diam telah melolos pedangnya. Sejak
tadi dadanya sudah bergelombang mendengar kata-
kata si pendek ini. Begitu mengetahui kejahatan ma-
nusia di hadapannya itu, dia sudah tak dapat mena-
han sabar lagi.
WHUUUT...!
TRANGNG!
Pedang dilengan Pipit Lurik nyaris terlepas. Ke-
tika pedangnya berkelebat menabas kepala si pendek
itu, mendadak tongkat kepala Tengkorak itu bergerak
menangkis. Terasa telapak tangan Pipit Lurik tergetar.
tenaga  sampokannya yang terlihat santai acuh tak
acuh itu ternyata bertenaga besar. Gadis itu melompat
mundur dua tindak.
"Ahoi...", ! biarlah aku yang menangkapnya,
kakang Seto...!" Tiba-tiba si jangkung berkumis sebe-
sar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku izinkan kalian memiliki
gadis itu. Dan si Jaran Perkoso, bapaknya ini adalah
bagianku...!" Ujar Kemang Suri dengan perlihatkan se-
nyuman dan kerlingan genitnya pada laki-laki dihada-
pannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso melihat tingkah
si wanita setengah umur yang dimasa mudanya selalu
mengejar-ngejarnya. Bahkan sampai dia sudah meni-
kah dengan Sri Lestari, Kemang Suri masih selalu
mengganggu ketentraman rumah tangganya.
Kemang Suri adalah pernah menjadi saudara
seperguruannya pada puluhan tahun yang silam. Na-
mun Jaran Perkoso telah beberapa tahun lebih dulu
menjadi murid Eyang Paksi Sakti Jalatunda di puncak
Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis itu ketika se-
pulang dari turun gunung. Gadis yang tak ketahuan
asal-usulnya itupun menjadi murid Eyang Jalatunda.

Menurut yang didengar dari cerita gurunya, Kemang
Suri ditemukan terikat di sebatang pohon di dalam hu-
tan lebat yang banyak terdapat binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu, hingga diikat
di  tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak ditolong
oleh Ki Jalatunda, pasti tewas kelaparan atau diterkam
binatang buas. Ki Jalatunda melepaskan ikatannya,
dan mau mengembalikan ke desa. Akan tetapi Kemang
Suri menangis, dan memohon menjadi muridnya. Dia
mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh orang-
orang jahat, yang setelah memperkosa lalu mengikat-
nya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis itu meren-
gek-rengek terus-menerus, terpaksa Ki Jalatunda
membawanya ke Puncak Gunung Muria. Tak dinyana
baru beberapa bulan sudah ketahuan belangnya. Ter-
nyata gadis itu adalah wanita yang amat dibenci di de-
sa itu, karena perbuatannya merusak rumah tangga
orang. Dia adalah seorang janda yang berperangai bu-
ruk. Demikianlah, berkali-kali Kemang Suri menggoda
Jaran Perkoso untuk berbuat mesum. Karena tak ta-
han, Jaran Perkoso mengadukan pada gurunya. Hing-
ga Kemang Suri diusir dari Puncak Muria. Dan tak di-
perkenankan lagi menggunakan ilmu-ilmu yang telah
diwariskan padanya.
Beruntung dapat diketahui kelakuan buruk
Kemang Suri lebih awal, sehingga ilmu-ilmu Resi Paksi
Sakti Jalatunda belum meresap kuat ditubuh dan
otaknya. Sejak itu Kemang Suri tak ada kabarnya lagi.
Dan beberapa tahun kemudian, sang guru kembali
membawa dua orang murid laki-laki. Yaitu Gantar Se-
wu dan Jaka Keling. Hingga kelihatan perbedaan
usianya amat jauh antara Jaran Perkoso dengan kedua
saudara seperguruannya itu. Gantar Sewu dan Jaka
Keling anak yatim piatu sejak kecil, sebelum diambil

murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang pamannya
yang amat bengis dan kejam, sebagai penggali tambang
intan. Tubuh kedua anak laki-laki tanggung itu kurus
kering. Karena tak tahan menderita terus-menerus me-
reka lari dari tempat pekerjaannya. Namun nyaris ter-
timpa lorong goa yang longsor. Beruntung datang sang
guru menolongnya. Dan mereka dijadikan kedua mu-
ridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti Jalatunda banyak
mempunyai simpanan harta yang dipendam didalam
pondoknya di Puncak Muria. Dan ternyata juga sang
guru adalah bekas anak seorang Bangsawan yang
kaya-raya. Karena harta dan nyawanya banyak diincar
penjahat, sang guru mengasingkan diri ke Puncak Gu-
nung Muria. Disana sang guru memperdalam ilmu-
ilmu, dan menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang he-
bat. Hingga kemudian Rimba Persilatan menjadi geger
dengan munculnya seorang tokoh pembela keadilan,
dan penjunjung kebenaran yang dikenal dengan julu-
kan si Pendekar Lengan Tunggal. Cacat pada anggota
tubuhnya itu adalah akibat keganasan para perampok
sewaktu membunuh kedua orang tuanya, dan mengu-
ras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga, ternyata Ja-
ran Perkoso telah dikaruniai seorang anak perempuan,
yang diberi nama Sri Kemuning (kemudian dikenal
dengan nama Pipit Lurik), berusia waktu itu sekitar 10
tahun.
Muncul pula satu musibah, yang berakhir den-
gan kehancuran rumah tangganya. Yaitu sejak keda-
tangan seorang wanita yang ternyata adalah bekas ke-
kasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu hitam yang digu-
nakan wanita itu, Jaran Perkoso berbalik membenci is-

trinya. Hingga sang istri pergi meninggalkan Jaran
Perkoso, yang selanjutnya mereka hidup bersama ba-
gaikan suami istri di rumah yang ditinggali Jaran Per-
koso dan istrinya. Sementara sang istri (Sri Lestari)
ternyata pergi mengadu pada Ki Jalatunda, di puncak
Gunung Muria. Dengan bersusah payah Sri Lestari da-
pat mencapai puncak gunung itu. Disana dia menangis
dihadapan sang Resi Paksi Sakti Jalatunda mengadu-
kan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang arif bijaksana,
segera menanyakan asal mula kejadian yang menimpa
musibah keluarga mereka.
Tentu saja Sri Lestari menceritakan semua ke-
jadian. Terkejut sang Resi. Karena dia mempunyai du-
gaan kalau Jaran Perkoso telah terkena tenung wanita
itu. Karena Ki Jalatunda memang mempunyai seorang
musuh bebuyutan yang memiliki ilmu tenung demi-
kian yang bergelar JENTIK KUNING hingga dengan ter-
gesa-gesa sang Resi segera turun gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang Resi berhasil
menumpas ilmu tenung wanita itu dan membebaskan
Jaran Perkoso dari pengaruh jahat yang mengendap
dalam otaknya. Jaran Perkoso sadar! Dan dia sendiri
yang menghabisi nyawa si wanita yang telah meracuni
kehidupannya itu. Yaitu wanita bekas kekasihnya...
Jaran Perkoso berangkat ke puncak Muria un-
tuk menjemput lagi istrinya. Namun yang didapati ada-
lah, istrinya telah tewas. Sebuah belati tergenggam di
tangan  wanita itu dengan beberapa lubang bekas tu-
sukan di  dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Ke-
muning, si bocah perempuan yang baru berusia 10 ta-
hun itu telah lenyap entah kemana.
Jaran Perkoso meratap dan berteriak-teriak ka-
lap seperti orang yang tidak waras. Laki-laki  inipun
nekat mau menghabisi nyawanya sendiri, karena me-

rasa tak guna hidup lagi. Dosanya terasa amat besar
terhadap anak dan istrinya.
Jaran Perkoso menduga istrinya tewas membu-
nuh diri karena merasa sedih dan putus asa atas ting-
kah laku perbuatannya yang di luar sadar.
Untunglah  Resi  Paksi Sakti Jalatunda meno-
long, dan berhasil mencegah perbuatan dosa itu. Den-
gan lemah lembut sang guru memberi wejangan, bah-
wa Jaran Perkoso tak perlu merasa bersalah, karena
sudah jelas hilangnya akal waras laki-laki itu adalah
akibat perbuatan wanita keji itu, yang menggunakan
ilmu jahat dan sesat terhadapnya. Namun sesuatu
yang terjadi adalah di luar  dugaan... Karena ternyata
Sri Kemuning masih hidup. Bocah perempuan berusia
10 tahun itu telah ditolong oleh seorang nenek tua,
yang tak lain adalah BIKHU SOKALIMA. Wanita sakti
itu adalah penghuni puncak Gunung RATAWU, yang
tak berapa jauh dari Gunung Muria.
Nenek tua sakti itu memang tengah berada di
bawah lereng. Memang kedatangannya ke Puncak Gu-
nung Muria adalah untuk menjumpai Resi Paksi Sakti
Jalatunda.
Ketika tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh kecil
melayang dari atas Puncak Gunung Muria. Dengan
takdir Tuhan Sri Kemuning dapat diselamatkan nya-
wanya. Bocah perempuan itu dalam keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar gunung, Ja-
ran Perkoso begitu gembiranya melihat sang anak ter-
nyata masih hidup,  dipeluknya Sri Kemuning dengan
terisak-isak, dan  diciuminya tak putus-putus, serasa
tak ingin lagi dia berpisah dengan anak kesayangan-
nya itu, yang telah kehilangan ibunya yang amat dika-
sihi.
Demikianlah, Jaran Perkoso tinggal kan puncak
Muria, setelah guru dan murid serta sahabat baik sang

Resi menguburkan jenazah Sri Lestari.
Niat baik si nenek BIKHU SOKALIMA terpaksa
ditolaknya untuk menjadikan Sri Kemuning sebagai
muridnya, karena Jaran Perkoso tak sampai hati un-
tuk tinggalkan sang anak, dipuncak Ratawu.
Kepergiannya adalah membawa pesan dari gu-
runya, yaitu mencari dua orang adik Seperguruannya,
yang juga telah turun gunung. Juga dengan membawa
bekal yang cukup berarti dari separuh harta milik sang
guru, untuk membangun kehidupan lagi. Sang guru
menyuruh Jaran Perkoso menikah lagi. Akan tetapi la-
ki-laki ini cuma menggeleng kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari tujuh tahun su-
dah, Jaran Perkoso hidup menduda. Ilmu dan fikiran-
nya dicurahkan untuk menambah kesejahteraan ra-
kyat. Yaitu mendirikan usaha Pengangkutan dan pen-
gawalan barang, yang sejauh itu dikelola, ternyata me-
nampakkan kemajuan pesat. Sedangkan kedua sauda-
ra seperguruannya yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling
turut membantunya didalam perusahaan itu. Hingga
terkenallah nama Tiga Macan Gunung Muria yang
bermarkas diujung kota Ungaran. Dengan nama mar-
kasnya, Benteng Macan gunung.

***

2

"Kemang Suri...! tak dinyana kau masih hidup,
dan belum juga dapat menghilangkan kelakuanmu
yang  buruk!, bahkan bergabung dengan manusia-
manusia tengik macam begitu...! Sungguh tak berma-
lu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah melirik ke

arah si jangkung berkumis tebal itu yang maju mende-
kati Pipit Lurik. Diam-diam tersentak juga hati Jaran
Perkoso, karena sulitlah baginya menghadapi mereka
disebabkan adanya Pipit Lurik. Dia amat mengkhawa-
tirkan nasib anak gadisnya itu. Tiba-tiba dengan
menggertak gigi, Jaran Perkoso melompat ke arah sang
anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah menyingkir! Biar aku yang
menghadapi anjing-anjing gelandangan ini...!" Lengan-
nya sudah bergerak menyambar lengan Pipit Lurik,
dan di bawanya melompat sejauh lima tombak.
"Cepatlah pergi menyelamatkan diri...!" Bentak
Jaran Perkoso dengan wajah berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus membantumu mela-
wan mereka...!" Berkata Pipit Lurik dengan tatap tajam
wajah ayahnya.
"Mereka bertiga, dan ayah akan menghadapinya
seorang diri...? Tidak! Aku harus membantumu! Aku
tak mungkin meninggalkanmu seorang diri...!" Teriak
Pipit Lurik. Terbeliak mata Jaran Perkoso. Disamping
kagum pada keberanian anak gadisnya, namun juga
amat mengkhawatirkan  keselamatan diri sang anak.
Karena bukan mustahil kalau ketiga manusia yang
menamakan dirinya TIGA SILUMAN BUKIT HANTU itu
akan  sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek yang
diketahuinya bernama Seto Bungkrik  itu, yang amat
berhasrat pada anak gadisnya.
Tidak, anakku...! Sekali ini turutlah perintah
ayah! Pergilah selamatkan nyawamu! Pergilah ke pun-
cak gunung Ratawu! Kelak kau akan dapat membalas
dendam dibelakang hari, seandainya aku tewas! Tapi
aku akan berusaha melawannya sekuat tenaga! Bila
aku berhasil menyelamatkan nyawaku, kelak aku akan
menyusulmu kesana...!" Bisik Jaran Perkoso dengan
suara tergetar.

Akan tetapi tiga manusia itu telah berkelebatan
melompat mengurung mereka. Tak ada jalan lain, ter-
paksa Jaran Perkoso cabut keluar pedangnya dibela-
kang punggung.
"Majulah kalian Tiga Siluman Bukit Hantu! Ka-
lian kira aku si Jaran Perkoso takut menghadapi ce-
cunguk-cecunguk macam kalian...!" Sementara Pipit
Lurik sudah pasang kuda-kuda, siap menghadapi ke-
mungkinan. Jaran Perkoso masih sempat berbisik.
"Hati-hati anakku...!".
Dan tubuhnya sudah melompat menerjang Ke-
mang Suri, dengan kelebatkan pedangnya yang berki-
latan menebas pinggang dan leher. Dua serangan be-
runtun telah dilakukan. Sementara sebelah lengannya
siap melakukan hantaman.
WHUT! WHUT!....._
Tak dikira setelah belasan tahun menghilang,
Kemang Suri mempunyai kegesitan luar biasa meng-
hindari serangan maut Jaran Perkoso. Tubuhnya ber-
kelebat menghindar, dan sebelah lengannya lakukan
hantaman ke arah dada Jaran Perkoso. Akan tetapi
Jaran Perkoso telah siap untuk memapakinya, hingga
kedua telapak tangan mereka saling beradu....
DWESSSS...,! Tampak uap putih mengepul aki-
bat benturan lengan itu. Tubuh Jaran Perkoso ter-
huyung lima langkah, sedangkan Kemang Suri ter-
huyung ke belakang enam-tujuh langkah, akan tetapi
sekejap, Kemang Suri sudah tampilkan wajah tertawa
menyeringai, tampakkan barisan giginya yang kehita-
man. Sepasang kakinya telah berdiri teguh lagi mena-
pak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat! Hebat...! Hayo keluarkan
jurus-jurus ilmu pedang warisan gurumu si kakek tua
renta puncak gunung Muria itu, Jaran Perkoso...! Atau
kau harus belajar sepuluh tahun lagi pada si kakek

bangkotan itu di AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri
dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perko-
so jadi melengak. Hah?! Apakah mereka telah membu-
nuh Eyang Jalatunda? Sentak hati Jaran Perkoso. Pe-
rubahan wajah laki-laki berusia setengah abad itu
tampak jelas oleh  Kemang Suri. "Eh, tampaknya kau
merasa aneh dengan ucapanku?. Hihihi... si kakek
bangkotan yang pernah mengusirku itu telah kami ki-
rim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran Perkoso...! kau sudah tak
bisa merengek-rengek lagi ke puncak  Gunung Muria
untuk minta pertolongan! Lebih baik kau berikan anak
gadismu ini padaku, lalu aku tak mencampuri uru-
sanmu lagi...!" Teriak si pendek Seto Bungkrik seraya
berkelebat ke arahnya. Sementara si jangkung kawan-
nya itu bergerak melompat ke arah Pipit Lurik. Gadis
ini segera tabaskan pedangnya dengan jurus-jurus aja-
ran sang ayah. Terdengar suara bersiutan mengurung
tubuh si jangkung bernama Wong Duwur itu. Akan te-
tapi Wong Duwur cuma ganda tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang warisan ayahmu
itu sudah ketinggalan jaman, anak manis. Lebih baik
kau belajar pada si pendek kawanku itu! Jurus-jurus
ilmu bergulat di tempat tidur tentu akan dapat diwa-
riskan padamu, tanpa kau pinta.! Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan jerangkong!" Berteriak
marah Pipit Lurik. Kini permainan ilmu pedangnya
semakin hebat, keluarkan angin menderu yang men-
gurung setiap langkah lawannya. Akan tetapi tampak-
nya hal itu tak membuat si jangkung menjadi terkejut.
Tubuhnya berlompatan cepat sekali, hingga yang keli-
hatan cuma bayangan hijau saja. Apa lagi kini ditam-
bah dengan keluarnya asap tipis dari sepasang mata
kepala tengkorak di ujung tongkatnya. Membuat den-

gan leluasa si jangkung menyelinap menghindar. Ada-
pun Pipit Lurik tampak terkejut, karena hidungnya
sudah mengendus asap yang berbau amis, serta me-
nyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang dalam keadaan
kalut fikiran, karena mendengar gurunya telah tewas
di angan ketiga manusia ini, telah menggerung keras
membabatkan pedangnya bagaikan naga mengamuk.
Jurus-demi jurus terus berlalu, dan suara benturan
senjata kerap terdengar dari beradunya pedang dengan
tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya amat penasa-
ran untuk menjatuhkan Jaran Perkoso. karena dia
pernah dipecundangi belasan tahun yang silam, ketika
akan melaksanakan niatnya memperkosa Sri Lestari.
WHUT! WHUT! WHUTT...! TRANG! TRANG!
Tiga hantaman berkelebatan saling susul me-
nerjang ke arah Jaran Perkoso. Tongkat berkepala te-
lapak tangan besi, berwarna kuning itu mengarah ke
arah leher, lalu berubah menyambar ke bawah selang-
kangan dan meluncur lagi menyambar batok kepala
lawan. Jaran Perkoso tampak terkejut bukan main, ka-
rena jelas tongkat berkepala tangan besi yang berujung
kuku tajam itu adalah senjata yang telah dilumuri ra-
cun. Bila kurang waspada sedikit saja akan membuat
luka yang berbahaya.
Beruntung dengan gerakan melompat dan ber-
salto. dia dapat menghindari serangan-serangan ber-
bahaya tadi. Bahkan lakukan gerakan menangkis den-
gan pedangnya. Ketika tongkat tangan besi itu melun-
cur ke arah jantung dan pinggang.
DWESSS...! Jaran Perkoso balas menyerang
dengan pukulan tenaga dalam. Itulah salah satu dari
jurus tangan kosong yang bernama Pukulan Geledek.
Uap putih panas yang tersimpan di dalam telapak tan-

gannya sudah sejak tadi disiapkan untuk menghantam
lawan. Terkejut si pendek Seto Bungkrik. Karena pu-
kulan itu di luar dugaan. Sedangkan dia dalam kea-
daan posisi tak menguntungkan sehabis melakukan
serangkaian serangan mengandung maut tadi.
Namun beruntunglah karena di saat kritis itu
yang tak sempat Seto Bungkrik menangkis, sudah ter-
dengar suara bentakan Kemang Suri. Tubuhnya me-
lompat cepat sekali mendorong tubuh Seto Bungkrik
yang jatuh bergulingan. Sedang pukulan maut dari Ju-
rus Pukulan Geledak itu lewat... dan menghantam pa-
da batu besar. Batu itu hancur lumat dengan keadaan
hangus.
Pada saat mereka terperangah, Jaran Perkoso
melirik ke arah anak gadisnya, terkejut laki-laki ini
mengetahui Pipit Lurik dalam bahaya. Karena terku-
rung oleh rapatnya uap beracun yang keluar dari se-
pasang  mata tengkorak di tongkat si jangkung alls
WONG DUWUR yang melayani si gadis dengan menge-
keh tertawa.
WHUUK...! Jaran Perkoso telah gigit belakang
mata pedangnya, sedangkan kedua lengan diperguna-
kan menghantamkan angin pukulannya. Inilah satu
jurus dari ilmu tenaga dalam yang dinamakan Tiupan
Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras bergulung-
gulung menerjang ke arah pertarungan.
Angin bergulung itu tak begitu keras, karena
Jaran Perkoso cuma bermaksud mengusir asap bera-
cun berbau amis yang mengurung Pipit Lurik. Gadis
ini cuma merasai tubuhnya terhuyung dua langkah,
namun asap yang mengurungnya telah sirna seketika.
WHUT! WHUT! WHUT! Jaran Perkoso sudah
menerjang Wong Duwur dengan beberapa tabasan pe-
dang. namun laki-laki jangkung sudah berlompatan

menghindar. Seraya perdengarkan dengusan di hi-
dung, si jangkung ini tertawa sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso! Walau kau punya
ilmu setinggi langit, namun menghadapi kami yang te-
lah bersatu, akan percuma hasilnya! Sudah sejak lama
aku ingin membunuhmu! Sayang aku  harus menyik-
samu dulu sebelum kau mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan Dandaka...! Kau
urusilah gadis itu berdua dengan kau si pendek Seto
Bungkrik! Aku yang akan tundukkan laki-laki ini...!"
Tiba-tiba Kemang Suri memotong kata-kata Wong Du-
wur.
Seraya berkata, tangannya sudah bergerak
mengangkat senjatanya, dengan menempelkan ujung-
ujung bambu berlubang itu pada bibirnya. Segera
membersit suara melengking tinggi. Ternyata adalah
sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama menawan kedua ekor
kambing ini...!" Berkata si pendek Seto Bungkrik, se-
raya melompat ke arah Pipit Lurik. Terkejut gadis. ini,
yang tak ayal segera putarkan pedangnya melindungi
diri.
Tak ada harapan bagi Jaran Perkoso untuk
mundur menyelamatkan diri, karena mereka telah ter-
kurung oleh kepungan tiga manusia keji ini, yang su-
dah terkenal masing-masing kejahatannya di Rimba
Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah bersatu. Kalau gu-
runya sendiri sudah dapat mereka tewaskan apalagi,
dia seorang yang harus menghadapi cuma ditemani
seorang anak gadisnya. Harapannya untuk menyela-
matkan sang anak dari tangan mereka ternyata sema-
kin tipis. Karena Pipit Lurik, sekejap sudah dikepung
kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu sudah membersit

panjang membuat Jaran Perkoso kerutkan keningnya.
Karena terasa telinganya mendadak menjadi bising.
Adapun kedua tokoh hitam itu telah mengetahui akan
kehebatan suara tiupan seruling Kembang Suri. Den-
gan diam-diam telah menyumpal telinganya masing-
masing, sedangkan Jaran Perkoso segera putarkan pe-
dangnya yang mengeluarkan suara bersiutan menan-
dingi suara tiupan seruling aneh Kemang Suri, yang
mulai melagukan nada-nada tinggi rendah.
WHUK! WHUK! Laki-laki ini hantamkan telapak
tangannya dua kali dengan pukulan Geledeknya. Ke-
mang Suri tertawa mengikik, seraya jatuhkan tubuh-
nya bergulingan. Namun ketika bangkit lagi kembali
teruskan suara tiupan serulingnya. Melengking-
lengking suaranya, membuat telinga Jaran Perkoso
tergetar. Tubuhnya bergoyang goyang, dan kepalanya
berdenyutan.
"Perempuan setan...!" Bentak Jaran Perkoso se-
raya melompat menerjang dengan sambarkan pedang-
nya. Kekalutan memikirkan keadaan anak gadisnya
membuat laki-laki ini menyerang membabi-buta. Se-
mentara di luar sadarnya Pipit Lurik sudah roboh ter-
kulai terkena totokan si jangkung Wong Duwur. Dan
sekejap saja sudah berada dalam pondongan si pendek
Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat anak gadisnya
sudah roboh tertawan. namun usahanya untuk me-
lompat ke arah kedua orang itu, telah tertahan oleh
suara bersitan tiupan seruling yang membuat kepa-
lanya menjadi pening. Akhirnya terpaksa lengannya
bergerak menutupi telinganya yang sebelah, sedang
lengannya yang masih mencekal pedang digunakan
menunjang tubuhnya agar tidak jatuh. Mau tidak mau
Jaran Perkoso harus mengakui kelemahannya. Namun
diam-diam dia sudah siapkan satu jurus untuk meng-

hantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran Perkoso  sudah kena
pengaruh tiupan bertenaga dalam yang mempengaruhi
lawan, Kemang Suri dengan tertawa mengikik segera
lompat menghampiri. Tapi baru saja kakinya menjejak
tanah, Jaran Perkoso menggerung keras seraya kelua-
rkan jurus permainan pedang yang dinamakan Naga
mengamuk.

***

3

Kemang Suri terkejut karena mendadak Jaran
Perkoso telah bangkit kembali dengan serangan-
serangan  berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkele-
batan melompat dan menghindar dari tabasan-tabasan
maut pedang Jaran Perkoso. Kini wanita itu tak mem-
punyai kesempatan lagi meniup serulingnya. Bahkan
dengan berteriak-teriak kaget jatuhkan diri bergulin-
gan Nyaris pedang Jaran Perkoso merobek lambung-
nya. Namun tak urung ujung rambutnya sepanjang sa-
tu jengkal telah terbabat putus. Debu mengepul kehi-
taman  disertai suara menderu dari angin pukulan
yang dilancarkan Jaran Perkoso. 
BUK! Satu hantaman telak kena menyerempet
kulit lengan Kemang Suri. Wanita ini menjerit parau.
Bajunya hangus terbakar. Lengannya sebatas pundak
mengelupas. Belum lagi dia berbuat sesuatu kilatan
pedang telah meluncur ke arah dada. TRANGNG...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso terlempar, ke-
tika tongkat si jangkung Wong Duwur menangkis me-
nyelamatkan nyawa Kemang Suri. Dan selanjutnya
ganti Wong Duwur yang merangsak Jaran Perkoso.

WUT! WUT! Wut! TRANG...! TRANG...!
Jarang Perkoso berlompatan menghindar, dan
menangkis beberapa kali. Telapak tangannya telah
memerah yang memegang gagang pedang akibat ben-
turan-benturan dengan si jangkung yang tenaga da-
lamnya ternyata setingkat diatasnya.
Mengeluh laki-laki ini. Terlebih kini asap bera-
cun berbau amis mulai mengurung dirinya. Sementara
sudah terdengar lagi tiupan seruling Kemang Suri yang
melengking-lengking.
TRANG!... terdengar suara benturan kedua sen-
jata.
Kali ini Jaran Perkoso tak mampu memperta-
hankan pedangnya, yang telah segera terlepas dari
genggamannya. WHUTT...! Tongkat berkepala Tengko-
rak Wong Duwur sudah meluncur ke arah ubun-ubun
Jaran Perkoso. Akan tetapi pada saat kritis itu berke-
lebat bayangan hijau yang menangkis serangan maut
itu.
PLAK...! Apa yang terjadi? Kiranya Kemang Suri
telah menggagalkan serangan maut Wong Duwur. Ke-
pala tengkorak tongkat si jangkung itu miring ke
samping, dan mengenai tanah disamping tubuh Jaran
Perkoso.
"Tahan! kau tak boleh membunuhnya...!" Teriak
Kemang Suri. Dan secepat kilat lengannya bergerak
menotok tubuh laki-laki yang sudah tak berdaya ke-
habisan tenaga itu. Jaran Perkoso perdengarkan kelu-
hannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong Duwur, biarkan
dewi  kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan berikan
bagian padamu setelah beres urusanku...! Hahaha..
hahaha... !" Terdengar mengakak tertawa si pendek Se-
to Bungkrik. Wong Duwur pun tersenyum manggut-
manggut, seraya berkata pada Kemang Suri yang ma-

sih melototkan matanya dengan mendongkol. Telapak
tangannya terasa kesemutan setelah barusan menolak
tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! aku lupa kalau si Ja-
ran Perkoso itu bagianmu! hehe... hehehe..." Ujar Wong
Duwur dengan perdengarkan tertawa yang kurang
enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah yang agak jauh!
jangan ganggu urusanku...!" bentak Kemang Suri den-
gan bibir cemberut. Tapi justru membuat kerlingan ta-
jam pada laki-laki jangkung itu. Pertanda kalau si
jangkung itu harus mengerti maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso, aku berani bertaruh
kalau kau toh akhirnya akan menyenangi diriku. Wa-
laupun aku sudah usia hampir setengah abad, pasti
kau akan tak merasa kecewa, nanti! Hihihi..." Ujar
Kemang Suri seraya lengannya bergerak membukai
pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan matanya dengan
gusar. Giginya gemeletuk berbunyi menahan geram.
Sementara di luar dugaan si pendek Seto Bungkrik, ju-
stru membawa sang tawanan ke hadapan Kemang Su-
ri. Lalu jatuhkan tubuh gadis itu tepat di dekat Jaran
Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak si Jaran Perkoso itu
di depan matanya, biar semangat jantannya mengge-
bu-gebu... hihihi... hihi..." Terbelalak mata Jaran Per-
koso, serasa dadanya mau meledak menyaksikan per-
buatan yang tengah diperagakan di depan matanya.
Sementara Kemang Suri telah membuka paksa apa
yang melekat di tubuh Jaran Perkoso.
BRET. BRET! BRET...! Kini laki-laki itu sudah
bagaikan seekor kambing benggala yang sudah dipen-
tang dengan keadaan selesai dikuliti. Kepalanya disan-
darkan pada pangkuan Kemang Suri. Laki-laki ini

memaki kalang kabut. "Setan keparat...! Bunuhlah
aku! mengapa kalian menyiksa dengan cara biadab se-
perti ini? Kalian memang iblis-iblis bermuka manu-
sia..."

—oOOOo—-

Pipit Lurik bukannya tak sadar akan apa yang
tengah terjadi terhadap dirinya. akan tetapi dia me-
mang tak berdaya. Dan biarkan lengan-lengan kasar si
pendek itu melepaskan sehelai demi sehelai pakaian
yang melekat ditubuhnya.
Sepasang matanya dipejamkan kuat-kuat. bi-
birnya telah digigit sendiri hingga mengeluarkan darah.
Daya upayanya melepaskan diri dari pengaruh totokan
si jangkung kurus itu tak membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup melihat keja-
dian gila yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya si
pendek Seto Bungkrik dengan tertawa mengekeh mulai
memperagakan kepandaian lengannya menjuluri sepa-
sang bukit daging yang masih kencang memutih ra-
num. Ternyata upaya untuk bertahan dengan segala
kepasrahan itu, tidaklah membuat gadis ini bisa gigit
bibir belaka. Karena rasa takut yang luar biasa,.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan sepasang ma-
tanya. Dan perdengarkan jeritan sekuat-kuat. Berte-
riak-teriak sang gadis ini bagaikan orang kemasukan
setan Akan tetapi dengan menyeringai, justru si pen-
dek ini telah keluarkan sebuah benda dari dalam saku
bajunya. Benda terdiri dari dua butir pil itu dengan ce-
pat telah dijejalkan masuk ke mulut  sang gadis. Se-
mentara lengannya bergerak menotok urat suaranya,
hingga lenyaplah suara teriakannya. Cuma sepasang
matanya saja yang terbelalak. Kedua butir pel itu seke-
jap telah tertelan lewat tenggorokannya.

Terperangah Jaran Perkoso. Nafasnya  terasa
memburu... bagaimana dia dapat sanggup melihat ke-
jadian sedemikian bejatnya di depan mata?. Laki-laki
ini gerakkan tubuhnya membuka totokan. Tenaga da-
lamnya dikerahkan sepenuhnya untuk disebar ke se-
kujur tubuh. Tampaknya hal itu membawa hasil. Na-
mun baru dia mau bergerak meronta, Kemang Suri te-
lah tutupkan sapu tangan berbau harum dihidungnya.
Mendadak terasa kepalanya menjadi pening...
dan tubuhnya kembali lemas tanpa tenaga. Sepasang
matanya mendadak seperti mengantuk, dan terkulai
kepalanya di pangkuan Kemang Suri dengan mata ter-
pejam.
Berlainan dengan cara si pendek Seto
Bungkrik. Kalau laki-laki itu mengeluarkan dua butir
pil yang dijejalkan ke mulut sang korban, adalah Ke-
mang Suri merogoh  kantong kulitnya. Dan keluarlah
sebuah bumbung bambu. Di dalamnya terdapat cairan
berwarna hitam. Setelah membuka sumbatannya, se-
gera diteguknya benda cair dalam bumbung itu tiga
kali tegukan. Lalu menutup kembali sumbatannya,
dengan pipi masih menggembung. Setelah menyimpan
kembali bumbung bambu itu dalam kantong kulit, ke-
palanya membungkuk. Menelan sedikit cairan dalam
mulutnya itu, lalu sisanya dituangkan dalam mulut
Jaran Perkoso yang sudah dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu... Akan tetapi tak lama
ketika laki-laki itu sadarkan diri pandangan matanya
menjadi aneh dan liar. Bibirnya seperti menyeringai
dengan sikap aneh melihat adegan di depan matanya.
Dilihatnya si pendek cebol telah lepaskan sesuatu yang
mengganggu  pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak
lagi ketakutan seperti melihat hantu dihadapannya.
Bahkan... ketika si pendek Seto Bungkrik merangkul-
nya serta menghunjamkan wajahnya ke belahan kedua

bukit berputik kemerahan itu,  tubuhnya bergelinjan-
gan seperti terangsang hebat. Lengannya sudah berge-
rak mengelus kepala gundul si pendek Seto Bungkrik
dan membelainya dengan bibir mendesah dan mata se-
tengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati Jaran Perko-
so. Membuat tubuh laki-laki ini bergelinjangan mena-
han kobaran hawa nafsu yang seperti tak terkendali-
kan. Tahu-tahu Jaran Perkoso rasakan belaian lembut
mengelus wajahnya. Belaian dari dua buah benda lu-
nak berputik lebar. Tak ayal bagaikan seekor bayi yang
kehausan, Jaran Perkoso melumatnya dengan lahap.
Tentu tak menolak jika sang ibu mengangsongkan se-
suatu untuk dilumatnya oleh sang bayi. Dan... di lain
kejap tampak Kemang Suri perdengarkan rintihannya.
Tubuhnya bergelinjangan menahan kenikmatan yang
tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat yang seperti te-
duh, tapi gersang itu berhembus menyentuh kulit-kulit
daun dan dahan-dahan telanjang. Menghempas-
hempaskan rantingnya. Beberapa helai daun jatuh me-
layang turun ke tanah... di sela desahan dan suara ter-
tawa mengikik Kemang Suri, terdengar si pendek Seto
Bungkrik menggerutu, yang seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? aku lupa memakan obat...!" Dan
terpaksa dia harus berdiam menunggu waktu berlalu.
Sementara matanya menatap ke arah dua ekor kamb-
ing yang saling berpacu di atas rumput. Kemang Suri
seperti dihujani serangan-serangan hebat. Membuat
tubuhnya bergelinjangan tak menentu. Mulutnya tern-
ganga berdesahan. Sepasang lengannya bergerak men-
dekap tubuh Jaran Perkoso berubah. Namun bersa-
maan dengan keluhan Kemang Suri bergelinjanganlah
sepasang kuda yang saling bergumul itu melepaskan
semua naluri, mencapai puncak tertinggi diujung sya-

raf.
Seto Bungkrik, si pendek berkepala gundul ini
leletkan lidahnya. Saat itu tiba-tiba satu bayangan hi-
jau berkelebat mendekatinya.
"Heheheheh...  kini giliran aku, bukan...?" Ber-
kata sosok tubuh itu yang tak lain dari si jangkung
Wong Duwur. Dia sudah segera lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah dulu...! Aku belum
lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..." Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa! berikan padaku ra-
muan simpananmu...! Desis Seto Bungkrik dengan ju-
lurkan lengannya. Wajah Wong Duwur jadi berubah
kecewa. Lengannya bergerak menyambar jubahnya.
Lalu meraba-raba ke dalam kantung jubah. Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu bersyiur angin keras ber-
gulung-gulung seperti pusaran angin puyuh. Seto
Bungkrik dan Wong Duwur jadi terkejut. Bahkan ju-
bah si jangkung telah terbawa melayang ke atas. Ter-
paksa laki-laki itu mengejarnya. "Setan...!? Ucap Wong
Duwur seraya lakukan lompatan tinggi untuk me-
nangkap jubahnya yang terbawa pusaran angin ke
udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak sabaran. Tubuh-
nya bergerak melompat untuk turut mengejar jubah.
"Celaka...! Aku khawatir bungkusan obat ramuan da-
lam kantung jubahnya lenyap melayang...!" Desisnya.
Ketika jejakkan kaki ke  dekat Wong Duwur ternyata
laki-laki jangkung itu sudah berhasil menyambar ju-
bahnya. Dan kembali melayang turun. Sementara an-
gin pusaran itu masih berputar-putar menerbangkan
dedaunan dan debu pasir dan tanah. Membuat mereka
harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan
kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik, tanpa seorang-

pun yang melihat kejadian yang begitu cepat. Lalu
membawanya berkelebat. Sementara Kemang Suri ma-
sih pejamkan mata setelah berhasil mencapai kepua-
san. Bahkan ketika angin pusaran itu menerpa seperti
tak perduli lagi. Hingga saat tubuh bugil Pipit Lurik di-
bawa berkelebat dia tak mengetahui sama sekali. Apa-
lagi gerakannya tak menimbulkan suara.
Namun sesaat sesudah bayangan kuning itu
lenyap, Kemang Suri baru tersadar setelah membuka
mata melihat tubuh Pipit Lurik dan si pendek Seto tak
berada di tempat. Saat itu si pendek Seto sudah kem-
bali melompat ke tempat asalnya. Akan tetapi betapa
terkejutnya melihat ke tempat sang gadis itu yang su-
dah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana dia??!" Teriak si pendek ini
dengan mata terbelalak.
"Hei, dewiku, apakah kau melihat kemana gadis
itu...?" Tanyanya pada Kemang Suri. Tentu saja Ke-
mang Suri gelengkan kepalanya.
"Kunyuk! Pasti ada orang yang telah melari-
kannya ketika terjadi angin pusaran tadi!" Sentak Seto
Bungkrik dengan tercenung. Tak ayal dia sudah ban-
tingkan kaki dengan geram. Lalu tubuhnya bergerak
melompat untuk menyambar pakaiannya yang sudah
melayang ke beberapa tempat, terkena serempetan an-
gin tadi.
"Huh, sial...! kita harus cari kemana gadis itu!"
Berkata si pendek Seto Bungkrik dengan hati mengkal,
karena niatnya belum tercapai, tapi dia sudah keburu
lemas karena mengumbar emosi berlebihan.
Akibat kemendongkolannya itu, Jaran Perkoso-
lah yang dijadikan sasarannya.

***


4

Siapakah gerangan yang telah melarikan tubuh
bugil Pipit Lurik? Marilah kita ikuti kemana keper-
giannya...  Berkelebatnya  bayangan kuning itu begitu
cepat membawa lari tubuh Pipit Lurik yang dalam kea-
daan tanpa busana. begitu cepatnya hingga seolah di-
bawa terbang menuruni bukit, menyeberangi sungai
dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi, sosok tubuh
itu memperlambat larinya, karena jalan yang dilalui
adalah memasuki celah-celah pepohonan dan semak
belukar. Kiranya yang memondongnya adalah seorang
laki-laki berpakaian indah, dari sutera kuning. Mema-
suki benang-benang emas di bagian dadanya. Ikat ke-
palanya juga dari bahan yang mahal yang biasa dipa-
kai oleh para bangsawan. Ternyata laki-laki itu masih
berusia cukup muda, yaitu sekitar dua puluhan tahun.
Berwajah tidak begitu jelek, dan cukup gagah. Menilai
dari pakaiannya, memang mirip anak seorang bangsa-
wan. Di belakang punggung pemuda ini terselip gagang
sebuah senjata yang terbungkus kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu telah mema-
suki satu tempat yang bersih dan teratur. Di bagian
depan tampak anak tangga dari batu yang memanjang
berkelok-kelok. Segera dia mempercepat lagi langkah-
nya. Sementara bibirnya selalu menampakkan senyu-
man, yang sebentar-sebentar leletkan lidah. Bahkan
entah beberapa kali lengannya bergerak mengelus atau
meraba tubuh gadis yang dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si pemuda itu telah
berada di depan sebuah pondok mungil yang berada di
atas undakan tangga. Tempat itu sunyi, tiada orang.
Dan pondok mungil beratap ijuk itupun sunyi tanpa

penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah mendekati pon-
dok mungil itu, dan terdengar suara pintunya ketika
dibuka. Matanya liar meneliti tempat sekitar ruangan,
yang cuma terdapat sebuah pembaringan lengkap den-
gan bantal dan guling beralaskan kulit harimau. Dan
sebuah meja kecil dengan sebuah kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga, tempat yang sering
dikunjungi ayah ini adalah tempat yang nyaman! En-
tah kemana penjaganya...? Apakah tak seorangpun
yang menjaga tempat ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan beban yang di-
bawanya  di pembaringan. Sementara sentakan-
sentakan kuat di hatinya sudah sedari tadi dirasakan
pemuda itu. Apalagi  kini melihat tubuh mulus tanpa
sehelai benangpun menutupi, terpampang dengan se-
gala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik, gadis ini...! Kalau
tak salah adalah anak si Ketua Perusahaan Pengantar
dan Pengawalan barang! Karena aku pernah melihat-
nya ketika ayah mengajakku memesan kereta untuk
mengantar barang-barang milik ayah, berikut menga-
walnya. Dan tampaknya ayah amat akrab bercakap-
cakap dengan si Ketua Benteng Macan Gunung! Ya,
orang tua itu bernama Jaran Perkoso...!" Memikir si
pemuda dalam hati. Sementara lengannya bergerak
mengelus kedua perbukitan yang ranum itu dan ber-
henti di satu putiknya.
Makin lama semakin menjulur ke arah  yang
lainnya. Dan terdengar desahan-desahan keluar dari
mulut sang gadis. Rupanya pengaruh dari dua butir pil
yang dijejalkan ke mulut gadis itu oleh si pendek Seto
Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda Bangsawan itu
semakin tergetar jantungnya. Debaran demi debaran

didadanya berkelanjutan dengan dilepaskannya pa-
kaian pemuda itu, yang tampakkan senyum menyerin-
gai.
Tak berapa lama terdengar desah-desah angin
seperti saling bertumpuan menerpa di dalam pondok
mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto Bungkrik dalam me-
laksanakan hajatnya telah membuat Pipit Lurik bagai-
kan seekor ular betina yang mengeliat dan mendesis
tiada henti.

—oOOOo—

Tiga sosok tubuh tampak berindap-indap men-
dekati pondok mungil itu. Sesosok tubuh sudah me-
lompat dengan tak sabar ke depan pondok. Dan..
BRRAAKKK....!
Pintu papan berukir pondok itu telah hancur
berantakan dihantam pukulan lengan sosok tubuh itu
yang tak lain dari si pendek Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk! Kuhabisi nyawa-
mu...!" Teriak Seto Bungkrik seraya melompat ke da-
lam.
Akan tetapi tak ada jawaban, kecuali sesosok
tubuh layu yang tergeletak keluarkan keluhan di atas
pembaringan bertilamkan seprai dari Kulit macan. Itu-
lah Pipit Lurik, yang masih belum tersadar dari penga-
ruh pil yang dijejalkan si Seto Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah tertutupkan kain seli-
mut. Sepasang matanya masih terpejam dengan wajah
pucat dan rambut awut-awutan. Adapun si pendek ini
telah jelalatkan  matanya mengitari seluruh ruangan,
bahkan berjongkok melongok ke bawah pembaringan,
namun memang di pondok itu  tak dijumpai siapa-
siapa. "Setan belang...! kemana kaburnya si pencuri

sialan itu...?" Desis suara si pendek. Namun disamping
mendongkol, tapi juga bergirang karena si gadis telah
ditemukan juga. Walau tentunya dia telah keduluan
oleh sang pencuri yang tentunya sudah mencicipi ke-
hangatan tubuh gadis incarannya.........
Sementara si jangkung Wong Duwur dan Ke-
mang Suri telah menyusul melompat ke depan pondok
mungil di ujung batu undakan itu.
Akan tetapi pada saat itu juga terdengar satu
suara halus di belakang mereka. Entah dari mana
munculnya telah berdiri sesosok tubuh berpakaian ba-
gus, dengan menggendong tangan dibelakang, tengah
menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang sakti...! ada apakah
membuat kegaduhan di tempatku...?" Bertanya orang
itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini, dan segera pa-
lingkan mukanya menatap ke arah suara dibelakang-
nya. Seorang laki-laki tua bertubuh gemuk dengan ba-
ju sutera warna-warni. Memakai jubah panjang warna
biru tua yang belahannya terbuka di depan, perli-
hatkan wajah tersenyum pada mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis tipis yang ujung-
nya terjuntai memanjang. Jenggotnya yang berwarna
putih cuma sejumput saja, bagai jenggot kambing. Wa-
jahnya tampak ramah dengan sepasang mata agak si-
pit, serta alis terjuntai pula kedua ujungnya. Seto
Bungkrik cepat-cepat melompat ke pintu untuk meli-
hat siapa adanya yang telah buka suara. Jangan-
jangan ini pencurinya yang menggondol gadisku...!
Sentak hatinya begitu melihat ada sesosok tubuh di si-
si batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling pandang, karena si-
kap orang tua itu tak seperti orang berilmu tinggi, jelas
seorang bangsawan menilik dari pakaiannya. Belum

lagi Seto Bungkrik buka mulut, si bangsawan tua itu
sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua ANJASMORO mohon
maaf pada anda orang- orang sakti, ada apakah yang
terjadi hingga membuat kegaduhan di tempat  ku
ini...?" Berkata demikian orang tua bangsawan ini
menjura dengan sikap amat hormat. Hening sejenak.
Dan kembali ketiganya saling pandang. Tak mungkin
kalau orang ini yang telah melakukan penculikan pada
si gadis tadi. Demikian pikir dibenak mereka masing-
masing. Tak ayal segera mereka balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si TIGA SILUMAN BUKIT
HANTU! Kedatangan kami kemari adalah mencari seo-
rang pencuri busuk yang telah mencuri adik perem-
puan rekan kami!" Ujar Kemang Suri dengan sikap ge-
nit, seraya lirikkan mata pada si pendek Seto
Bungkrik. "Oh!? begitukah...? lalu..." Jawab si Bang-
sawan tua seperti menampakkan  keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata malingnya sudah
lenyap, sedangkan adik perempuan rekan kami itu
berhasil kami temukan lagi berada di dalam pondok
mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik yang telah menghajar
daun pintu pondok ini, karena menduga dia bersem-
bunyi di dalam! Ternyata benar! Namun kami terlam-
bat datang, karena manusianya sudah merat terlebih
dulu!" Ujar si pendek dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui jelas ciri-ciri si pen-
culik itu?"
"Sayang sekali kami tak mengetahuinya sama
sekali baik rupa maupun pakaiannya!" Ujar lagi Ke-
mang Suri.
Sementara si Bangsawan tua kerutkan kening-
nya.
"Aneh! Lalu dari siapa kalian orang-orang sakti

bisa mengetahui kalau penculiknya sembunyi dalam
pondok ini?" tanya si Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang penjaga di tempat
ini, akan tapi sayang dia seorang yang gagu! Di cuma
menunjuk-nunjuk saja ke arah  sini memberitahukan
dengan isyarat! Apakah dia penjaga di tempat ini yang
ditugaskan oleh anda?" tutur Kemang Suri seraya aju-
kan pertanyaan. Laki-laki tua Bangsawan itu kembali
unjukkan wajah tersenyum, dan berkata:
"Benar! Sudahlah kalau penculiknya tak dapat
ditemukan, kalau adik perempuan sobat... Seto
Bungkrik ini sudah dapat ditemukan tak menjadi apa!
Oh, ya disamping terkejut, aku si tua Anjasmoro mera-
sa kebetulan sekali berjumpa dengan para tokoh sakti
Rimba Persilatan yang ternyata bergelar Tiga Siluman
Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku si tua ini mengajak
anda ke tempat tinggalku?. Ya, hitung-hitung menam-
bah pengetahuanku, karena aku amat senang berke-
nalan dengan orang-orang sakti Rimba Hijau! Haha-
ha... jangan khawatir, aku si tua akan menjamu kalian
orang-orang sakti sampai puas!" Berujar si laki-laki
tua Bangsawan dengan menunjukkan sikap persaha-
batan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit Hantu ini, dan
lagi-lagi ketiganya saling pandang. Seto Bungkrik dan
Wong Duwur cuma manggut-manggut menatap pada
Kemang
Suri. Kemang Suri palingkan lagi kepalanya
menatap pada si laki-laki tua Bangsawan itu, seraya
manggut-manggut dan menyatakan bersedia bertamu
ke tempat tinggal si Bangsawan tua.

—oOOOo—

Di  sebelah utara kota UNGARAN ternyata me-

rupakan daerah yang hidup, karena disana banyak
tinggal kaum Ningrat dan para pedagang maupun
Bangsawan. Bahkan di tempat itu adapula tinggal ke-
luarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat penduduknya
itu tinggal seorang bangsawan Tua yang terkenal ra-
mah tamah dan berwibawa. Yaitu Raden Mas Anjasmo-
ro, yang mendiami gedung megah dengan belasan pen-
gawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak iringan-iringan orang
berkuda memasuki wilayah utara kota Ungaran. Ter-
nyata adalah si Bangsawan Tua Anjasmoro itu, yang
datang bersama ketiga tamunya si Tiga Siluman Bukit
Hantu. Tentu saja si pendek Seto Bungkrik membawa
serta si gadis bernama Pipit Lurik itu dalam pang-
kuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat berpapasan
dengan rombongan itu tentu akan menjura hormat pa-
da si Bangsawan terkenal itu, yang berikan senyu-
mannya pada setiap orang yang dijumpai.
Tak berapa lama dua orang penjaga telah mem-
bukakan pintu utama di depan gedung megah milik si
Bangsawan Tua itu. Dan mereka segera beranjak ma-
suk. Ketika mereka  masing-masing turun dari ku-
danya, segera beberapa penjaga berdatangan untuk
membenahi kuda-kuda itu. Binatang tunggangan yang
mereka naiki adalah didapatkan dengan mudah. Kare-
na di setiap tempat si Bangsawan Tua banyak mempu-
nyai kenalan.
PIPIT LURIK terkejut ketika dapatkan dirinya
berada di sebuah pembaringan empuk berseprai bersih
dan bagus. Dan dalam sebuah kamar yang indah. Se-
buah jendela yang terkuak terbuka sebagian, menam-
pakkan latar belakang sebuah taman bunga. Juga se-
buah lampu gantung yang terbuat dari besi ukiran be-

rada di langit-langit ruangan kamar. Gadis ini beranjak
bangkit untuk duduk, terkejut dia karena rasakan tu-
buhnya tak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali
sebuah selimut berbau harum yang membungkus tu-
buhnya.
Oh, apa yang telah terjadi denganku? Di mana-
kah ini? Tempat ini bukan kamarku...! Ya, kamar ini
lebih indah, dan amat indah melebihi kamarku...! Ber-
tanya-tanya Pipit Lurik dalam hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat apa yang te-
lah terjadi. Gadis ini ternyata telah lupa pada kejadian
di atas bukit, akibat pengaruh dua butir pil yang dije-
jalkan dalam mulutnya oleh si pendek Seto Bungkrik.
Semalam suntuk dia telah tertidur pulas, bah-
kan ketika dia tersadar, matahari sudah mulai me-
ninggi.
Setelah lama termangu-mangu, akhirnya Pipit
Lurik mulai dapat mengingat lagi kejadian mengerikan
di atas bukit, dimana tubuhnya tengah digeluti oleh si
pendek Seto Bungkrik salah satu dari Tiga Siluman
Bukit Hantu.
Mengingat demikian, gadis ini tiba-tiba perden-
garkan jeritan histeris. Wajahnya seketika pucat pias
ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...! Oh, lepaskan aku...!
lepaskaaaann!" Dan dia sudah bangkit dari pembarin-
gan. Sekejap saja sepasang matanya telah member-
sitkan air bening yang menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh melompat ke
dalam kamar setelah membuka daun pintu dengan ce-
pat. Terkejut pipit Lurik menatap siapa yang datang.
Akan tetapi juga terheran... karena di hadapannya bu-
kanlah wajah jelek si pendek gundul  itu, melainkan
seorang pemuda gagah berpakaian mewah, yang mena-
tap padanya. Dan segera telah berikan senyuman ma-

nis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah sadarkan diri...? Su-
kurlah! Dan tenanglah, nona..! kau berada di tempat
yang aman! Namaku PITRA SENA! Kau berada di ka-
mar dalam gedung ayahku Raden Mas Anjasmoro...!"
Berkata pemuda itu dengan lemah lembut. Adapun Pi-
pit Lurik tergesa-gesa menutupi kembali tubuhnya,
dan membuntalnya dengan selimut. Apakah gerangan
yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di gedung si
Bangsawan Tua sahabat ayahku ini..? Sentak hati Pipit
Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini rasakan kepa-
lanya mendadak jadi pening dan rumit memikirkan
semuanya. Dan sekonyong-konyong dia mulai mengin-
gat pada sang ayah.
Tak ayal Pipit Lurik kembali menjerit histeris
menyebut-nyebut nama ayahnya, dengan menelung-
kupkan wajah di kedua lengannya.
Membuat pemuda itu jadi tampak kebingun-
gan, dan segera mendekati seraya mengelus  pundak-
nya. Akan tetapi Pipit Lurik telah melompat ke sudut
pembaringan.
"Pergi kau...! pergii Jangan jamah aku! Ke mana
ketiga manusia iblis itu? Katakan di mana mereka!
Aku harus membunuhnya mampus! Dia... dia pasti te-
lah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh, ayaaaah....." Setelah
berteriak-teriak, Pipit Lurik kembali menangis tersedu-
sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu cuma men-
diamkan saja menatap si gadis dengan tersenyum, ka-
rena maklum kalau dia tengah shok dengan kejadian
yang dialaminya. Tiba-tiba sang gadis sudah hentikan
lagi tangisnya. Kini hatinya memikir akan apa yang te-
lah dialami. Barulah dia sadar kalau dirinya telah ter-
noda.