Roro Centil 18 - Penunggang Kuda Setan(1)





SATU

"Aku tidak bersalah...! Mengapa kalian mau
menghukumku? Bukan aku yang melakukan! Demi Tu-
han aku tidak melakukan apa-apa...!"
"Bedebah... Kau berani berdusta?"
PLAK! DESS...!
Pemuda tanggung itu menjerit keras, dan jatuh
tersungkur bergulingan. Ketika bangkit lagi bibirnya te-
lah mengucurkan darah dan pipinya jadi merah mem-
bengkak. Sementara sebelah lengannya memegangi da-
danya yang berusaha kena jejakkan kaki. Terperangah
pemuda tanggung ini dengan sepasang mata membela-
lak dan tubuh gemetaran ketika tiga sosok tubuh tegap
itu kembali beranjak menghampiri.
Dengan wajah pucat bagai kertas, dia beringsut
menyeret tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah me-
lompat berdiri. Pemuda tanggung ini bertampang lugu
dan polos, serta tampaknya seperti orang dungu. Men-
getahui dirinya sudah kepepet, membuat dia jadi nekat. 
Percuma! Manusia-manusia ini tak dapat lagi
menerima penjelasanku... apapun daya upaya yang ku-
lakukan untuk membela diri, tak mungkin dianggap!
Agaknya kematian akan segera kuhadapi... Apa boleh
buat! Aku tak akan melawan, demi membela kebenaran
ku... Berkata dalam hati si pemuda bertampang dungu
itu. Pakaiannya yang terbuat dari bahan kain kasar
berwajah putih tampak sudah berlepotan dengan darah
bercampur debu tanah.
"Bagus! Kau mau melawan? Hahahaha... silakan
majulah kau kacung tengik!" Berkata laki-laki kekar di
hadapannya dengan tertawa sinis. Sementara kedua
kawannya cuma perlihatkan senyum menghina. Mereka
adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar 20 tahun le-

bih. Orang yang barusan bicara adalah seorang laki-laki
yang berwajah kasar dengan sepasang mata agak sipit.
Bibirnya agak lebar dengan hidung mencuat ke atas.
Pakaiannya dari sutera yang berwarna warni. Dialah
yang bernama BRAJA PATI. Murid tertua dari Pe-
sanggrahan di puncak Gunung Argasomala.
Sedangkan yang dua lagi bertubuh agak pendek
namun kekar. Seorang yang berpakaian serba hitam,
berambut keriting adalah yang bernama DASA MUKTI.
Dan yang seorang lagi tubuhnya lebih hebat dan lebih
kekar lagi. Dadanya yang bidang dibiarkan telanjang
terbuka separuhnya. Tampak bulu dadanya yang lebat,
tak beda dengan wajahnya yang penuh ditumbuhi den-
gan cambang bauk. Mempunyai raut wajah yang mele-
bar. Cukup gagah, akan tetapi sepasang matanya agak
menonjol dan mempunyai sorot mata yang liar. Mema-
kai baju rompi warna merah, dan celana dari sutera hi-
tam. Dialah yang bernama KALA BUTHO. Murid ketiga
dari Pesanggrahan di puncak Argasomala.
Siapakah pemuda bertampang dungu yang da-
lam keadaan diancam maut itu? Dia bernama
WIBISANA. Kejadian apakah yang telah menimpanya
hingga dia dituduh telah berbuat sesuatu yang tak da-
pat diampuni? Marilah kita tengok dulu kejadian di be-
lakang, sebelum kedatangan ketiga murid Pesanggrahan
puncak Argasomala. Dan siapakah sebenarnya pemuda
bernama WIBISANA itu...
KUTUT PRAJA SETHA sudah lebih dari dua be-
las tahun mendiami Pesanggrahan yang dibangunnya di
puncak ARGASOMALA. Tiga tahun yang lalu menerima
tiga orang murid yang datang berturut-turut ke tempat
kediamannya. Pemuda yang pertama datang adalah
yang bernama Braja Pati. Sebulan kemudian muncul
Dasa Mukti dan terakhir Kala Butho. Entah mengapa
tokoh Rimba Hijau yang telah lama menyembunyikan

diri itu tak sampai hati menolak keinginan mereka un-
tuk berguru.
Demikianlah, selama tiga tahun itu Kutut Praja
Setha menggembleng mereka dengan sungguh-
sungguh. Diwariskan segenap ilmu yang ada padanya
untuk dapat di amalkan. Karena mereka mengaku ada-
lah orang-orang yang teraniaya, yang orang tuanya
masing-masing tewas oleh kaum penjahat.
"Aku tak menginginkan kalian membalas den-
dam,  murid-muridku...! Karena dendam-mendendam
takkan ada habisnya kalau cuma menuruti hawa nafsu
saja! Akan tetapi kalau memang orang yang telah mem-
bunuh orang tua kalian itu tidak juga berhenti melaku-
kan kejahatan, silahkanlah! Karena dengan mele-
nyapkannya berarti telah pula menghindarkan malape-
taka buat orang lain!" Berpesan Kutut Praja Setha wan-
ti-wanti dengan suara agak di tekan. Ketiga orang mu-
ridnya itu manggut-manggut mendengarkan wejangan
sang guru mereka.
Sehari kemudian, ketiga muridnya itu berpami-
tan untuk turun gunung. Kakek tua bertubuh kurus
jangkung yang rambut kumis dan jenggotnya telah pan-
jang memutih semua itu, memberinya izin serta do'a
dan restu. Berangkatlah ketiga pemuda itu dengan telah
dibekali ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah dituntutnya.
Kutut Praja Setha mengantarkan kepergiannya dengan
helaan napas lega. Karena seperti melepaskan tiga ekor
anak singa dari kandangnya. Hatinya membatin;
Haih...! Aku telah sembarangan saja menerima orang...!
Mudah-mudahan kecerobohanku tak membawa benca-
na di kemudian hari. Untunglah aku sudah waspada se-
jak setahun yang lalu, hingga ilmu simpananku tak ku-
turunkan padanya...
Sementara itu sejak delapan tahun yang lalu Ki
Kutut Praja Setha telah ketitipan  seorang bocah laki-

laki berusia dua belas tahun. Bernama WIBISANA.
Anehnya Wibisana tak mau diangkat murid oleh Kutut
Praja Setha. Selama itu si bocah laki-laki cuma mem-
bantu-bantu saja di Pesanggrahan puncak Argasomala.
Watak Wibisana memang tak seperti umumnya seorang
bocah normal. Selain bertampang dungu juga otaknya
kurang cerdas. Tapi bertulang baik dan kuat.
"Terimalah dia sebagai pembantumu, kakang...!
bocah ini anak sahabatku! Bukan aku tak mau mene-
rimanya berdiam di tempatku, tapi kau hidup sendiri di
tempat sunyi dan tenang ini. Kalau kubawakan seorang
teman, tentu dapat membantu-bantu pekerjaanmu...!
Dia seorang bocah yang jujur dan amat rajin ....!" Demi-
kianlah yang diucapkan KUTUT MAJA padanya delapan
tahun yang lalu. Kutut Maja adalah adik kandungnya
yang berdiam diwilayah Kota Raja. Waktu itu Kutut Ma-
ja masih menjabat sebagai seorang Tumenggung. Dan
datang ke puncak Argasomala dengan membawa seo-
rang bocah laki-laki bernama Wibisana itu.
Menampak bocah yang dibawa adiknya itu ber-
tampang dungu dan kelihatan tolol, Kutut Setha ke-
rutkan keningnya.
"Anak siapakah bocah ini? Apakah kau mengen-
al orang tuanya?" Bertanya Kutut Praja Setha.
"Dia anak seorang sahabatku...!" Jawab Kutut
Maja singkat.
"Mengapa dengan sahabatmu itu? Mengapa dia
tak turut mengantar anaknya?" Tanya Kutut Praja Se-
tha yang sengaja ingin mengetahui lebih banyak.
"Sahabatku itu pernah berjasa padaku. Dia telah
gugur dalam menjalankan tugas...! Aku amat sibuk
dengan urusan tugasku selama ini, hingga tak dapat
mengurusnya dengan baik. Makanya kubawa kemari,
karena kulihat kakang disini kesepian. Bukankah akan
lebih leluasa kalau kakang beroleh teman yang bisa

disuruh bila ada keperluan...?" Tutur Kutut Maja.
"Hm, kemanakah ibu anak ini?" Tanya lagi Kutut
Praja Setha setelah manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya yang cuma sejumput.
"Telah meninggal...!" Sahut Kutut Maja lirih.
Terangguk-angguk kepala Kutu Praja Setha
sambil memandangi bocah itu yang tampak terduduk
diam sambil mempermainkan jari-jari lengannya. Demi-
kianlah, Kutut Praja Setha pun menerima bocah laki-
laki itu berdiam di pesanggrahannya di Puncak Argaso-
mala.... Tumenggung Kutut Maja kemudian meninggal-
kan tempat sunyi diatas gunung itu, setelah memberi-
tahukan nama si bocah, yang bernama Wibisana.
Wibisana bekerja dengan rajin membantu Kutut
Praja Setha, ternyata susunan tulangnya amat baik.
Juga bertubuh kuat, walau kelihatannya kurus dan le-
mah. Wibisana jarang bicara. Sikapnya yang tampak
seperti dungu itu menimbulkan perasaan kasihan dihati
Kutut Praja Setha. Akan tetapi Wibisana selalu menolak
untuk menjadi muridnya. Jawabannya cuma mengge-
lengkan kepala atau mengangguk-angguk bila setuju
atau mengerti apa yang diperintahkan Kutut Praja Se-
tha.
Ketika lima tahun berselang Ki Kutut Praja Se-
tha menerima berturut-turut tiga orang murid, Wibisa-
na masih tetap seperti dulu tanpa berkeinginan mempe-
lajari ilmu kedigjayaan. Dan sikapnya masih seperti
orang bodoh. Demikianlah, hingga tiga tahun berlalu
sudah, dimana ketiga orang murid Kutut Praja Setha te-
lah menamatkan pelajarannya di Pesanggrahan puncak
Argasomala...
Kini mereka kembali tinggal berdua lagi. Dengan
ditemani oleh Wibisana Ki Kutut Praja Setha lebih tente-
ram dan bahagia sekali tampaknya. Serta rasa lega
memenuhi dadanya. Dua pekan sejak kepergian ketiga

muridnya turun gunung, Ki Kutut Praja Setha mulai
sering bersemadhi di kamarnya. Segala keperluannya
dan tugas mengurus Pesanggrahan diserahkan semua
pada Wibisana. Malam itu puncak Argasomala dalam
keadaan gelap gulita. Tak sepotong bulan pun menam-
pakkan diri.
Wibisana duduk di depan Pesanggrahan me-
mandang ke atas langit. Dilihatnya secercah sinar ber-
warna merah meluncur cepat sekali atas puncak Arga-
somala.
Benda apakah itu...? Apakah tahi bintang yang
jatuh...? Bertanya Wibisana dalam hati. Akan tetapi se-
gera dia sadar kalau malam yang gelap pekat itu tak
ada bintang sebutirpun tersembul di atas langit. Dia
sudah melompat keluar, dan lihat sinar merah itu se-
makin mendekati ke atas pesanggrahannya. Tepat di
atas wuwungan, sinar kemerahan itu lenyap.
"Aneh! Cahaya apakah?" Gumamnya lirih. Dan
dengan terpaku menatap ke atas wuwungan pesanggra-
han, akan tetapi tak ada tanda-tanda yang ditimbulkan
dari bekas lenyapnya sinar merah itu. Keadaan cuaca
kembali gelap seperti semula lagi.
Tak berapa lama tiba-tiba angin bertiup keras
membersit, dengan suaranya yang bersiutan. Beberapa
lampu lilin terbuat dari damar, di dalam ruangan Pe-
sanggrahan tertiup padam. Wibisana cepat-cepat ma-
suk. Tak mungkin baginya untuk memasang lampu la-
gi, karena pasti akan padam percuma. Segera dia beran-
jak masuk ke kamarnya. Mengunci pintu, dan tidur...."
Malam memang sudah amat larut. Dan Ki Kutut Praja
Setha memang sudah beberapa hari tak keluarkan dari
kamar semadhinya.
Menjelang pagi, terkejutlah Wibisana ketika me-
lihat pintu kamar semadhi sang kakek telah jebol be-
rantakan. Terperanjat pemuda dungu ini. Segera dia

sudah melompat menghampiri untuk memeriksa. Dan
terkejutlah seketika Wibisana, mengetahui keadaan di-
ruang semadhi sang kakek telah berantakan. Sesosok
tubuh tampak terkapar tak bergeming di atas batu tem-
pat semadhi...
"Kakeeeek ....!?" Teriaknya dengan tersentak ka-
get. Dan sudah melompat memburunya. Tampak Ki Ku-
tut Praja Setha sudah terkapar tak bernyawa. Keadaan-
nya amat mengerikan, karena dari mulut, mata dan te-
linganya mengalirkan darah.
"Apakah gerangan yang terjadi....?" Desis Wibi-
sana dengan  mata terbelalak lebar menyaksikan keja-
dian itu. Seketika air matanya sudah menggenang dan
meleleh turun. Dan dipelukinya tubuh kaku yang sudah
tak bernyawa itu dengan isak tersendat dikerongkon-
gan.... Selang beberapa saat Wibisana baru tersadar.
Dia sudah menghapus air matanya, dan melompat ke-
luar memeriksa sekitar tempat di pesanggrahan. Akan
tetapi tak di jumpai tanda-tanda yang mencurigakan
atau adanya arang jahat yang mendatangi ke Pe-
sanggrahan malam tadi.
Tercenung seketika Wibisana. Dia jadi tak tahu
harus berbuat apa...! Apakah sinar merah yang kulihat
semalam itu, yang telah mencelakai kakek...? Bertanya
Wibisana dalam hati. Akan tetapi hal itu tak masuk ak-
al. Entah sinar apakah itu yang telah meluncur ke atas
pesanggrahan, dan tiba-tiba lenyap di atas wuwungan,
tepat pada atas genting kamar kakek...! Pikir si pemuda
dungu dalam benaknya. Namun otaknya menemui jalan
buntu. Akhirnya dia cuma termangu-mangu di depan
pesanggrahan tanpa tahu harus berbuat apa..."

***


DUA

Saat itulah terdengar derap suara kaki-kaki ku-
da mendatangi... Dan segera terlihat tiga penunggang
kuda tersebut dari lereng gunung, mendaki jalan menu-
ju ke atas ke tempat Pesanggrahan. Ternyata ketiganya
adalah BRAJA PATI, DASA DAN KALA BUTHO. Yaitu ti-
ga, orang murid Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja mem-
buat air muka Wibisana jadi berseri girang karena akan
segera terlepaslah dia dari kebingungannya. Namun
kembali berubah keruh ketika mengingat akan musibah
yang telah menimpa di Pesanggrahan itu.
Sekejap antaranya tiga ekor kuda sudah di de-
pan halaman Pesanggrahan. Dasa Mukti dan Kala Bu-
tho melompat turun, lalu mencancang kudanya di tiang
pendopo di sisi Pesanggrahan. Braja Pati masih berada
di atas punggung kuda. Sepasang matanya melirik pada
Wibisana yang tengah menghampiri dengan wajah pu-
cat. Setelah menjura hormat, Wibisana segera ceritakan
kejadian yang telah dilihatnya itu dengan peluh bercu-
curan dan tubuh gemetar. Karena tak tertahankan ke-
sedihannya, hingga dia bercerita sambil menangis.
Dasa Mukti dan Kala Butho sudah melompat
untuk mendengarkan penuturan Wibisana.
"Hah!? Guru... telah tewas....?!" Hampir berba-
reng mereka berteriak. Dan wajah-wajah mereka tam-
pak berubah pucat. Sekejapan saja mereka telah ber-
lompatan memburu ke arah kamar gurunya. Segera
terpampang dihadapan mereka keadaan mayat Ki Kutut
Praja Setha yang terkapar dengan keadaan yang men-
genaskan. Sementara Wibisana cuma terpaku ditem-
patnya dengan masih terisak-isak. Bajunya pada bagian
lengan telah basah oleh ingus dan air mata, yang digu-

nakan untuk menyekanya. Tak sanggup dia untuk dua
kali melihat keadaan sang kakek majikannya itu. Kare-
na terasa amat ngeri menatap mayatnya.
Pada saat itulah tiga orang murid Ki Kutut Praja
Setha telah melompat kembali ke hadapannya. Dan
Braja Pati sudah perdengarkan bentakan keras. Pucat
seketika wajah Wibisana karena tanpa sebab, tahu-tahu
dialah yang kena sasaran tuduhan membunuh guru
mereka. Tentu saja Wibisana membela diri. Akan tetapi
mereka tetap menuduhnya sebagai si pembunuh. Hal
itu memang satu hal yang amat tidak mungkin, karena
apalah artinya kepandaian seorang kacung, yang tak
pernah mempelajari ilmu silat. Dan untuk apa membu-
nuh si kakek sakti yang berilmu tinggi itu, yang telah
lima tahun dia mengabdi padanya....?
"Hm! Wibisana! Kau pergunakanlah ilmu kedig-
jayaan mu untuk menghadapiku...! Kau telah berada di
Pesanggrahan ini lebih dulu sebelum kami, tentu ilmu
yang kau miliki lebih hebat!" Berkata Braja Pati dengan
perlihatkan senyum sinis.
"Aku tak pernah. belajar silat apapun dari be-
liau! Mengapa kalian menuduhku membunuhnya? Aku
.... aku sendiri tak mengetahui kejadiannya. Ketika pa-
gi-pagi aku melintas ke kamarnya ternyata keadaan
kamar semedhi kakek Kutut Praja telah berantakan!
Dan sudah kujumpai dalam keadaan tak bernyawa...!"
Berkata Wibisana.
"Hm, bolehlah kau bilang begitu, dan kau me-
mang tak ada kemampuan untuk membunuh beliau,
akan tetapi kau bisa menyuruh lain orang untuk men-
cabut nyawanya, bukan...?" Kala Butho menyelak bica-
ra dengan plototkan matanya.
"Aku tak pernah mengenal siapa-siapa ditempat
ini, dan tak pernah aku pergi kemana-mana. Mana
mungkin aku melakukan perbuatan keji itu...?" Bela

Wibisana dengan ketus. "Sudahlah, kakang! Kita habisi
saja nyawanya, biar arwah sang Guru kita tenteram di
alam Baka! Kacung tak berguna ini biar merasakan sik-
saan di alam Akhirat!" Teriak Dasa Mukti dengan serius.
Lengannya sudah dikepalkan, seperti tak sabar untuk
menghajar orang.
"Kalian bunuhlah aku! Matipun bukanlah apa-
apa bagiku! Akan tetapi demi Tuhan aku tak melakukan
apa-apa...!" Teriak Wibisana dengan menggertak gigi,
dan busungkan dada di hadapan ketiga laki-laki itu.
"Kau tak akan melakukan perlawanan untuk membela
diri...?" Tanya Braja Pati dengan naikkan alis.
"Sudah kukatakan, aku tak punya kepandaian
apa-apa. Membela diri pun tak guna!" Berkata Wibisana
dengan mata menatap tajam pada mereka, lalu menen-
gadah ke langit sambil menghela napas. Sepasang ma-
tanya yang menitikkan air bening itu dikatupkan. Dia
sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Cuma satu yang
ditunggunya yaitu kematian..." Braja Pati memberi isya-
rat pada kedua saudara seperguruannya untuk mengu-
rung Wibisana, karena mengira Wibisana tengah mera-
palkan mantera ajiannya untuk menghadapi mereka.
Dan dengan berteriak berbareng mereka sudah mener-
jang Wibisana. BUK! BLUK....! DHESS ....!
Tiga hantaman yang hampir berbareng itu jatuh
berdebukan ke tubuh Wibisana. Terhuyung tubuh pe-
muda dungu itu dengan seketika. Dari mulutnya me-
nyembur darah segar. Akan tetapi tak ada teriakan ke-
luar dari mulutnya, karena Wibisana telah menahan ra-
sa sakit sekuat tenaga. Sekejap tubuhnya sudah roboh
ambruk. Akan tetapi tiba-tiba kembali melompat berdiri.
Dan pentangkan lengan, serta tengadahkan kepalanya
ke langit. Sepasang matanya kembali dipejamkan, se-
perti menantang maut. Ketiga saudara seperguruan itu
sejenak saling pandang, akan tetapi mereka sudah me-

nerjang lagi dengan hantamkan pukulan yang lebih ke-
ras...
Kali ini Wibisana roboh untuk tidak bangkit lagi,
karena dia sudah pingsan tak sadarkan diri. Ketiganya
menampakkan senyuman dibibir. Kaki Kala Butho
kembali menendang. Dan tubuh si pemuda bertampang
dungu itu terlempar membalik dengan tubuh terlen-
tang. Akan tetapi memang sudah tak tahu apa-apa lagi.
Sepasang matanya mengatup dengan bibir setengah
terbuka, yang mengucurkan darah membasahi tanah
dan pakaiannya.
"Apakah tak sebaiknya bocah ini dibunuh saja,
kakang?" Bertanya Kala Butho. "Heh, biarkanlah dulu!
Mari kita periksa dulu ruangan kamar Ki Kutut Praja
Setha itu! Kitab itu lebih penting untuk kita temui ....!"
Ujar Braja Pati seraya melompat ke dalam Pe-
sanggrahan. Lalu diikuti dengan cepat oleh Kala Butho
dan Dasa Mukti. Akan tetapi betapa terkejutnya mereka
ketika tak menjumpai lagi tubuh guru mereka yang te-
lah terkapar menjadi mayat. Kejadian aneh itu mem-
buat mereka terperangah. "Apakah si Dewi Setan Ke-
mangmang telah menyatroni kemari dan menjemput
mayatnya?" Desis Dasa Mukti pelahan.
"Untuk apa...?" Tanya Kala Butho dengan ke-
rutkan keningnya menatap Dasa Mukti.
"Siapa tahu dia memang memerlukan! Kulihat di kamar
dukun sakti itu ada beberapa mayat manusia yang su-
dah dikeringkan...!" Berkata Dasa Mukti dengan tubuh
bergidik seram.
"Kita tidak tahu pasti akan hal itu! Segera kita
bisa mengetahui kalau kita sudah kesana! Sekarang
mari kita geledah seisi tempat ini, cari kitab itu sampai
ketemu!" Ucap Braja Pati dengan cepat. Dan segera mu-
lai menggeledah. Sebentar saja seisi kamar telah menja-
di berantakan. Akan tetapi setelah mengobrak abrik se-

tiap tempat, kitab yang dicarinya tak juga di temukan.
"Celaka! Kita telah minta si Dukun Sakti itu
membunuhnya, jangan-jangan kitab itupun telah pula
diambilnya...!" Berkata Braja Pati dengan mengeluh. Ka-
la Butho dan Dasa Mukti pun jadi mengeluh putus asa.
"Haih! Kalau benar jatuh ke tangan si Dewi Se-
tan Kemangmang, ludaslah harapan kita...!"
Gerutu Kala Butho dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang gatal. Dasa Mukti si rambut keriting itu cu-
ma mengeluh sambil jatuhkan pantatnya ke lantai batu.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disebelahnya. Seko-
nyong-konyong dinding di belakangnya menjeblak ter-
buka. Terkejut mereka, karena disitu ada sebuah ruang
lagi. Serentak mereka telah menerobos masuk ke dalam.
Segera saja diruang yang agak gelap itu ditemukan se-
buah rak buku. Akan tetapi setelah diperiksa, tak satu-
pun buku yang dimaksud ada disitu.
"Menurut guru, kitab itu disimpan di dalam se-
buah peti kayu cendana berukiran tengkorak!" Berkata
Kala Butho
"Cari peti kayu cendana itu...!" Teriak Braja Pati
dengan suara berdesis. Sekejapan ruangan rahasia itu
sudah diacak-acak. Akan tetapi tak dijumpai kotak yang
dimaksud.
"Hm, kalau begitu, kita harus menanyakan pada
si Dewi Setan Kemangmang dengan terang-terangan.
Apakah dia yang telah mengambilnya?" Kata Braja Pati
tegas. Kedua saudara seperguruannya mengangguk.
Tak lama mereka sudah bergegas keluar dari Pe-
sanggrahan itu. Wibisana tampak masih terkapar di
tempatnya. Kala Butho sudah lebih dulu melompat
menghampiri.
"Hm, dia masih hidup! Apakah kita biarkan saja
bocah ini? Toh dia tak mempunyai kepandaian apa-
apa...!" Tanya Kala Butho, seraya palingkan wajah me-

natap Braja Pati. "Bodoh! Apakah tak kau perhatikan
bahwa dia mempunyai kekuatan tubuh yang luar biasa?
Tiga serangan kita sekaligus tadi dia telah mampu me-
nahannya. Selama lima tahun di Pesanggrahan ini tak
mungkin tenaga dalamnya tak mengalami kemajuan
hebat, walaupun dia tak mempunyai kepandaian ilmu
silat!" Berkata Braja Pati dengan tegas.
"Benar! Membiarkan penyakit tanpa menum-
pasnya sama saja dengan membiarkan diri kita teran-
cam bahaya kelak!" Ujar Dasa Mukti tandas. "Kalau be-
gitu biarkan aku saja yang mengantarkan nyawanya ke
Akherat!" Berkata Kala Butho seraya sudah mencabut
senjatanya. Sebuah kapak yang bermata lebar berkila-
tan telah berada dalam genggaman tangannya. Baru sa-
ja dia mau mengayunkan senjatanya, telah terdengar
suara bentakan Braja Pati.
"Tunggu ....!" Terpaksa Kala Butho menahan ge-
rakannya.
"Cara itu akan menimbulkan kesan bahwa ke-
matiannya dibunuh oleh senjata tajam! Bagi kaum
Rimba Hijau golongan putih, akan mudah mengenali
bekas senjatamu!"
"Lalu dengan cara apakah yang akan kita per-
gunakan membunuh mampus kacung tak berguna ini?"
Tukas Kala Butho yang sudah tak sabaran menghun-
jamkan kapak mautnya.
"Bawa kemari ketiga ekor kuda kita!" Perintah
Braja Pati. Tak ayal Dasa Mukti dan Kala Butho sudah
melompat ke arah kuda-kuda mereka, dan memba-
wanya ke dekat Wibisana tergeletak. Braja Pati ikatkan
tambang yang berada pada leher kuda lengan Wibisana.
"Nah, kalian masing-masing ikat tambangmu pada se-
belah lengannya!" Perintah Braja Pati. Mengertilah Kala
Butho dan Dasa Mukti. Segera mereka cepat bekerja
mengikat sebelah lengan Wibisana dengan kuat. Tak

lama ketiganya sudah melompat naik ke punggung ku-
da masing-masing...
Braja Pati segera memberi tanda, setelah kuda-
kuda mereka telah menghadap ketiga arah.
"Bersiaplah! Satu... dua... tiga! Yaaaak...!"
Ketiga ekor kuda mereka perdengarkan ringki-
kannya, dan masing-masing melompat berlari dengan
cepat, ketika sang majikan masing-masing mengeprak
pantatnya. Dasa Mukti ke arah barat, Kala Butho ke
arah timur, dan Braja Pati ke arah Utara. Sekejap ke-
mudian terjadilah satu pemandangan yang amat tra-
gis...." KRRAAAAKKK....! Mengerikan sekali, karena se-
ketika tubuh Wibisana sudah tersebar menjadi tiga ba-
gian.
Darah menyemburat memercik kebumi... Dan
putuslah nyawa Wibisana si pemuda dungu itu dengan
seketika.

***

TIGA

Angin santar membersit keras ketika ketiga pe-
nunggang kuda itu menuruni puncak Argasomala. Asap
hitam membumbung ke udara dari atas puncak gunung
itu. Ternyata manusia-manusia ini telah membakarnya.
Beberapa saat antaranya mereka sudah berada di ba-
gian lereng paling bawah. Dan sesaat kemudian telah
mencongklang pesat kuda-kuda mereka melalui jalan
yang rata. Suara-suara ringkik kuda mereka dan derap
kaki-kaki kuda itu semakin menjauh dari tempat sunyi
dan tenang itu. Tak lama kemudian lenyap... mening-
galkan sisa-sisa debu tipis yang masih terlihat menge-

pul di kejauhan.
"Kita menemui guru lebih dahulu untuk menceri-
takan kejadian tadi! Khususnya mengenai lenyapnya
mayat Ki Kutut Praja Setha dan peti besi berisi kitab
pusaka itu...!" Berkata Braja Pati, ketika telah tiba di wi-
layah sekitar kota Raja setelah melewati tugu perbata-
san.
"Pelahan dulu, kakang Braja!" Tiba-tiba Kala Bu-
tho berkata, seraya berpaling pada kakak seperguruan-
nya.
"Hm, ada apakah?" Tanya Braja Pati, seraya per-
lambat lari kudanya. Kala Butho termenung sejenak se-
perti sedang berfikir. Lalu ujarnya dengan tersenyum.
"Kapankah kakang akan mengunjungi ke tempat si De-
wi Setan Kemangmang?" Entahlah, kukira menunggu
keputusan dari guru lebih dulu!"
"Ada apakah dengan pertanyaanmu itu Kala Bu-
tho? Kok tampaknya penting seka...!" Tanya Braja Pati
dengan kerutkan keningnya. Kala Butho perlihatkan gi-
ginya, tertawa kecil menyeringai.
"Benar, kakang...! Aku ada sedikit urusan di desa
sebelah utara itu! Kalau bisa, dan kau tak keberatan
tunggulah sampai besok. Kita berangkat bersama-sama
menemui dukun sakti itu...!"
Berkata Kala Butho. Setelah berfikir sejenak, Bra-
ja Pati segera menjawab.
"Pergilah! Awas, hati-hati! Kejadian di puncak Ar-
gasomala jangan sampai bocor! Hati-hati berbicara, ka-
lau sampai terdengar kejadian itu ke telinga salah seo-
rang anak buah Tumenggung Kutut Maja, akan mem-
bahayakan kedudukan kita untuk berdiam diwilayah
Kota Raja ini!"
Kala Butho mengangguk. Lalu segera putar ku-
danya setelah minta diri pada Braja Pati. Dasa Mukti
cuma memonyongkan mulutnya pada laki-laki itu. "Pal-

ing-paling mau menemui si janda anak pak Kuwu dide-
sa Waru...!" Gerutu Dasa Mukti. Akan tetapi cepat me-
macu kudanya menyusul kakak seperguruannya yang
telah memacu kudanya...

***

Rumah besar yang terletak disudut Kota Raja itu
tampak kelihatan sunyi,  ketika dua penunggang kuda
memasuki halamannya. Terdengar suara batuk-batuk
dari dalam rumah berdinding papan kayu Mahoni itu.
Dan sesosok tubuh muncul di pintu. Seorang tua ber-
tubuh jangkung, memakai pakaian jubah warna hitam
dengan sebuah pipa dari gading terselip di bibir, tampak
memandang keluar.
"Heh! Kalian sudah kembali lagi...! Tentu mem-
bawa hasil yang memuaskan...!" Berkata laki-laki tua
berwajah seperti orang mengantuk itu. Lalu beranjak
lagi masuk ke dalam. Braja Pati dan Dasa Mukti saling
pandang, lalu melompat turun dan tuntun kudanya un-
tuk diikat ke tiang kayu pagar di depan rumah. Tak la-
ma sudah memasuki rumah papan itu. Braja Pati sege-
ra menjura di hadapan orang tua itu, yang masih asik
menghisap pipanya.
"Guru...! Hamba membawa kabar yang kurang
baik, dari puncak Argasomala!" Berkata Braja Pati den-
gan suara rendah. Terbatuk-batuk laki-laki tua, segera
sudah buka matanya yang menyipit.
"Ha...?" Kurang baik bagaimana? Apakah tak kau
dapatkan Kitab Pusaka Tengkorak Hitam itu...! Ta-
nyanya dengan suara serak.
"Benar Guru...! Bahkan..." Segera Braja Pati tu-
turkan kejadian di Pesanggrahan pada gurunya, juga
mengenai lenyapnya mayat Kutut Praja Setha. Sementa-
ra Desa Mukti sudah mengambil tempat duduk disebe-

lah belakang kakak seperguruannya. Tercenung  laki-
laki tua itu dengan wajah sebentar pucat sebentar me-
rah.
"Jadi si Kutut Praja Setha itu telah tewas...?"
Tanya laki-laki tua itu. "Benar, guru...! Kami telah lihat
sendiri mayatnya! Aku punya dugaan si Dewi Setan
Kemangmang yang telah membawa mayatnya tanpa se-
tahu kami.... ketika kami tengah mengurusi anak muda
tolol, kacung Ki Kutut Praja Setha itu!" Ujar Dasa Mukti
yang ikut menimbrung bicara.
"Huh! Percuma saja kalian berguru selama tiga
tahun! Tujuan kalian adalah mencuri Kitab Pusaka
yang berada di dalam kotak kayu cendana itu. Aku me-
rasa yakin benar dia masih menyimpannya! Agaknya
dia telah waspada, dan akupun telah menduga, dia tak-
kan mewariskan ilmu-ilmu yang berada dalam Kitab
Pusaka Tengkorak Hitam pada kalian...!" Gerutu orang
tua itu seraya  kembali terbatuk-batuk hebat. Setelah
reda batuknya, sepasang mata sipitnya sudah menyapu
wajah mereka.
"Kalian harus tanyakan pada Dukun Sakti itu,
apakah dia yang telah mengambil kitab itu...?"
"Rencana kami pun memang demikian, guru! Sekalian
menyelidiki apakah mayat Ki Kutut Praja Setha ada dis-
ana...! Dan bagaimana kalau memang benar dia yang
telah mengambilnya...!" Tanya Braja Pati.
"Kalian harus memintanya...! Ucap si orang tua
itu dengan tegas.
"Kalau dia tak memberikan... Apakah yang harus
kami lakukan...?" Tercenung orang tua itu hingga bebe-
rapa saat.
"Hm, kukira kalian bukan sebangsa keledai yang
tolol! Carilah akal untuk mendapatkannya, kalau perlu
pakai siasat licik!" Ujar si guru ini seraya kembali
menghisap pipa ya, dan menyedotnya dalam-dalam. La-

lu hembuskan asapnya dengan mata meram-melek.
"He? Tak kulihat ada si Kala Butho? Kemana dia?" Ta-
nyanya tiba-tiba. Braja Pati cepat ceritakan kemana Ka-
la Butho pergi.
"Bocah setan! Lebih mementingkan urusannya
sendiri! Baiklah! Besok kalian sudah harus  pergi ke
tempat si Dewi Setan Kemangmang...! Nah, kalau kalian
mau beristirahat, segeralah beristirahat...!" Ucapnya
kemudian. Braja Pati dan Dasa Mukti mengangguk, lalu
beranjak bangkit untuk segera menuju kebiliknya.
"Haih! Seandainya luka dalamku telah  sembuh, aku
yang akan melabrak sendiri si Dukun Sakti itu!" Gu-
mam orang tua itu sambil rebahkan tubuhnya pada
bantal yang selalu berada di belakang kursi tempat du-
duknya. Tiba-tiba dia sudah angkat lagi tubuhnya. Dan
bentangkan lebar sepasang matanya yang seperti orang
mengantuk itu.
"He!? Bagaimana kalau ternyata bukan dia yang
mengambilnya? Wah, akan jadi runyam akibatnya!
Seandainya Ki Kutut Praja Setha telah mempelajari isi
kitab itu, kurasa tak mungkin si Dewi Setan Kemang-
mang berhasil membunuhnya dengan ilmu teluh yang
di pergunakannya. Aku tahu betul kehebatan ilmu yang
berada dalam kitab Tengkorak Hitam itu... Berkata da-
lam hati laki-laki tua itu.
"Apakah selama ini Ki Kutut Praja Setha tak per-
nah mempelajari?" Desisnya pelahan.  Hm, bisa juga!
Karena Ki Kutut Praja Setha seorang golongan putih!
Jawabnya dalam hati. Lalu termangu-mangu beberapa
saat, hingga tanpa disadari api pipanya telah padam.
Laki-laki tua itu tak menyulutnya lagi, tapi segera be-
ranjak bangkit meninggalkan kursinya. Dan melangkah
ke arah kamarnya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
"Haih...! Gagallah harapanku memiliki kitab Pu-
saka itu karena kebodohan ketiga muridku..." Geru-

tunya lirih. Tubuhnya pun lenyap dibalik tirai pintu
kamar.

***

Siapakah gerangan laki-laki tua bertubuh jang-
kung, yang mempunyai wajah mirip orang mengantuk
itu? Dialah tokoh Rimba Hijau yang pada beberapa ta-
hun yang silam digelari si Siluman Naga Buntung. Ka-
rena sebelah lengannya memang buntung sebatas per-
gelangan tangan. Akan tetapi kini telah disambungnya
kembali tangan palsu yang terbuat dari perunggu.
Ternyata dia telah mengirim ketiga orang murid-
nya untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha, dengan
harapan sang murid dapat mencuri Kitab Pusaka yang
berada di tangan kakek tua penghuni puncak Argaso-
mala itu. Tampaknya laki-laki tokoh Rimba Persilatan
itu telah terluka dalam yang dideritanya sejak lama. Ke-
jadian apakah yang dialaminya pada beberapa tahun
yang lalu? Baiklah, kita coba mengguar sedikit kisah
pada beberapa tahun yang silam...
Pada tiga belas tahun yang silam, terbetik berita
adanya seorang kakek pertapa yang kurang waras, yang
muncul dan perginya mirip siluman. Kakek pertapa gila
itu mendiami sebuah pulau yang bernama Pulau Teng-
korak Hitam. Karena para nelayan sering melihat sea-
kan-akan di atas pulau  itu dihuni oleh makhluk-
makhluk halus. Bila malam purnama akan tampak
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak manusia
berseliweran di atas bukit batu di pulau itu. Itulah se-
babnya pulau terpencil itu dinamakan Pulau Tengkorak
Hitam. Bahkan tak seorang nelayan pun berani lewat
dekat pulau itu...
Akan tetapi suatu ketika sebuah kapal pesiar
milik seorang saudagar kaya bernama I Made Sora Dwi-

pa terpaksa singgah untuk merapat ke Pulau Tengkorak
Hitam. Kapal pesiarnya mengalami kerusakan berat.
Dan harus diperbaiki. Untunglah I Made Sora Dwipa
membawa serta orang-orang ahli dan para pengawal
yang berkepandaian tinggi. Hingga tak sampai tengge-
lam diperairan sekitar Pulau itu.
Demikianlah, mereka segera mendarat. Dan se-
lama beberapa hari terpaksa menjadi penghuni "Pulau
Hantu" itu. Tentu saja kesempatan baik itu tak disia-
siakan I Made Sora Dwipa untuk menyelidiki sekitar pu-
lau, yang ternyata tak berpenghuni. Beberapa hari ber-
keliling mengitari pulau itu bersama para pengawalnya,
tak dijumpainya sepotong pun manusia. Sementara be-
berapa orang ahli yang dibawanya sibuk memperbaiki
kapalnya.
Menjelang malam bulan purnama, terperangah I
Made Sora Dwipa dan para pengawalnya ketika melihat
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak berseliweran
dipuncak bukit. Entah apa yang telah terjadi di pulau
itu, karena I Made Sora Dwipa didapati telah tewas be-
rikut para pengawalnya. Beberapa orang ahli yang di
bawanya-pun tewas semua. Dan kapal pesiarnya mus-
nah menjadi abu. Kejadian itu diceritakan oleh seorang
pengawal yang berhasil hidup, dan dapat menyela-
matkan diri, setelah beberapa bulan tersiksa di pulau
tersebut. Kiranya dari sekian banyak orang, cuma laki-
laki itulah yang cuma tinggal hidup. Dia seorang ahli
membuat huruf dan mengukir kapal. Keahliannya itu
ternyata telah menolong jiwanya. Karena si pertapa gila
itu telah menyuruhnya menulis rahasia ilmu hitam
yang telah diciptakannya selama puluhan tahun.
Nyaris laki-laki itupun menjadi gila, karena si
pertapa aneh itu telah menyiksa setengah mati dalam
membuat huruf-huruf tulisan itu, yang di suruhnya
menulis dengan darahnya sendiri. Dendam kesumat

yang luar biasa terpendam dalam dada laki-laki itu. Dia
memutuskan untuk membalas perlakuan yang teramat
menyakitkan itu. Dan laki-laki itu berhasil menemukan
sejenis tumbuhan yang mengandung racun. Kitab itu
selesai ditulis dengan penderitaan yang luar biasa. Akan
tetapi diapun berhasil meracun mati si pertapa gila itu,
setelah selesai membuat peti kayu cendana yang diukir
dengan ukiran kepala tengkorak.

***

EMPAT

Dengan sebuah rakit yang dibuatnya, laki-laki
itu meninggalkan Pulau Tengkorak Hitam. Ternyata peti
kayu cendana yang berisi kitab itu telah ditinggalkan-
nya di pulau itu. Dalam keadaan terapung-apung di
tengah laut, seorang nelayan telah menolongnya. Tentu
saja di dalam perahu nelayan itu si laki-laki menutur-
kan kisah tragisnya yang dialaminya di Pulau Tengko-
rak Hitam.
Berita itupun menyebar kemana-mana, dan ter-
dengar pula oleh Siluman Naga Buntung, yang pada
waktu itu masih berjulukan si Siluman Sungai Kuning.
Siluman Sungai Kuning adalah seorang kepala peram-
pok yang berada di perairan Sungai Kuning, dan amat
ditakuti orang diwilayah itu. Dicarinya laki-laki itu un-
tuk diminta keterangannya. Terutama mengenai dimana
tempat di sembunyikannya peti kayu cendana yang be-
risi kitab pusaka itu. Akan tetapi laki-laki itu dite-
muinya telah tewas.
Ternyata kematiannya adalah di tangan si Raja
Racun bernama GRUNO. Siluman Sungai Kuning yang

bernama ARYO RUDITA itu bergegas menyusul Gruno si
Raja Racun. Ternyata manusianya telah berangkat ber-
layar menuju Pulau Tengkorak Hitam. Tentu saja Arya
Rudita tak mau keduluan untuk memiliki kitab keramat
yang ditulis dengan darah itu. Segera siapkan kapal
layarnya, dan bersama anak buahnya segera berlayar
pula menyusul si Raja Racun ke pulau tersebut.
Dalam pertarungan memperebutkan peti kayu
cendana berisi kitab itu, Arya Rudita terkena pukulan
beracun yang membuat hitam sebelah telapak tangan-
nya. Akan tetapi dia berhasil membinasakan si Raja Ra-
cun itu dengan senjata andalannya yaitu Sepasang
Tombak Rantai Maut.
Akan tetapi Arya Rudita kalah cepat, karena pa-
da waktu itu ada beberapa orang lagi dari kaum golon-
gan hitam yang turut memperebutkan peti kayu cenda-
na berisi kitab itu. Satu pertarungan seru terjadi di pu-
lau itu. Tampak seorang tua berpedang kayu di kerubu-
ti oleh empat orang tokoh Rimba Hijau yang berjulukan
si Empat Iblis Kembar. Ternyata laki-laki tua berpedang
kayu itu adalah KUTUT PRAJA SETHA. Yaitu seorang
Pendekar dari Golongan Putih.
Keempat Iblis Kembar berhasil ditewaskan Kutut
Praja Setha. Sayang, disaat Arya Rudita mau melabrak
untuk merebut peti Kayu cendana yang berada ditangan
Pendekar tua itu, keadaan lukanya semakin parah.
Hingga tak mungkin baginya untuk mengejar Kutut Pra-
ja Setha, yang sudah segera berlayar pergi meninggal-
kan Pulau Tengkorak Hitam.
Arya Rudita terpaksa membuntungi sebelah len-
gannya sebatas pergelangan tangan untuk menghindari
menjalarnya racun jahat mengalir ketubuhnya. Demi-
kianlah, dengan tangan hampa Arya Rudita alias si Si-
luman Sungai Kuning pulang dengan tangan hampa.
Bahkan kembali pulang dengan membawa luka, kehi-

langan sepotong lengannya.
Sejak itu Arya Rudita menyembunyikan diri un-
tuk mengobati luka pada lengannya. Dan baru muncul
lagi di Rimba persilatan dengan gelar Siluman Naga
Buntung. Tapi Arya Rudita tidak lagi beroperasi di Sun-
gai Kuning, melainkan mencari kehidupan baru dilain
tempat. Beberapa tahun kemudian Siluman Naga Bun-
tung terjebak dalam satu pertarungan dengan musuh
besarnya yang pernah mendendam padanya. Dalam
pertarungan itu, ternyata Siluman Naga Buntung men-
galami kekalahan. Dengan menderita luka dalam dia
berhasil menyelamatkan diri. Beruntunglah dia dapat
berkenalan dengan seorang Tumenggung bernama
KUTUT MAJA, yang tak mengetahui kalau dia adalah
seorang penjahat kawakan.
Dengan menyamar menjadi orang biasa atau ra-
kyat jelata yang tak mempunyai kepandaian apa-apa,
serta seorang tua yang berpenyakitan, Arya Rudita ber-
hasil tinggal diwilayah Kota Raja. Dengan mendapat
perlindungan sang Tumenggung yang baik hati itu.
Bahkan namanya pun dirubah menjadi PARTO
KENDAL. Dari sang Tumenggung itulah Arya Rudita
alias Parto Kendal itu mengetahui dimana berdiamnya
KUTUT PRAJA SETHA, yang ternyata adalah kakak
kandung (kakak tertua) sang Tumenggung itu.
Demikianlah, dengan diam-diam Arya Rudita
mengirim ketiga muridnya bekas anak buahnya yang
setia, untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha yang
pernah berjulukan si Pendekar Pedang Kayu. Tujuan
utamanya adalah mencuri Kitab pusaka dari pulau
Tengkorak Hitam yang telah berada di tangan tokoh go-
longan putih itu.
Ternyata selama tiga tahun, dan sampai ketiga
muridnya itu menamatkan pelajarannya, mereka tak
berhasil menemukan dimana disimpannya Kitab Pusa-

ka itu. Yang menuntut penjelasan sang guru mereka
(Arya Rudita) disimpan dalam sebuah peti kayu Cenda-
na, berukiran kepala tengkorak. Hingga membuat Arya
Rudita alias Parto Kendal jadi uring-uringan.
Adapun ketiga muridnya itu telah mempunyai
hubungan dengan seorang Dukun Sakti bergelar si Dewi
Setan Kemangmang. Ternyata sebelum datang ke pun-
cak Argasemala, masing-masing ketiga murid Arya Ru-
dita itu telah meminta Ilmu Pengasihan agar diterima
menjadi murid oleh Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja
mereka telah memenuhi persayaratan yang diajukan
sang Dukun Sakti itu, hingga ternyata kemudian mere-
ka berhasil menjadi murid penghuni puncak Argasoma-
la itu..."
Gagal mencuri Kitab Pusaka, Arya Rudita meme-
rintahkan untuk mencoba meminta si Dukun Sakti itu
untuk membunuh Kutut Praja Setha. Ternyata hal itu
memang sudah direncanakan ketiga muridnya. Pembu-
nuhan dengan ilmu "TELUH" itu berhasil baik. Akan te-
tapi peti kayu Cendana berisi Kitab Pusaka itu tak di-
jumpai, walaupun telah diketahui tempat rahasia pe-
nyimpanan kitab, oleh ketiga murid si Siluman Naga
Buntung itu. Dan kembalilah mereka dengan tangan
hampa. (Setelah membunuh Wibisana si kacung dungu
di Pesanggrahan puncak Argasomala). Bahkan mayat
Kutu Praja Setha pun telah lenyap dengan misterius...
Kala Butho pacu kudanya memasuki desa Wa-
ru... Sebentar kemudian dia sudah berada di tengah de-
sa. Mulailah laki-laki kekar yang mengenakan Rompi
warna merah dengan celana pangsi hitam ini pentang
mata jelalatan ke setiap tempat dan lorong rumah pen-
duduk. Sikapnya yang petantang-petenteng itu dengan
sebilah kapak bermata dua terselip di belakang pung-
gung membuat beberapa orang desa sudah cepat-cepat
menyingkir. Akan tetapi beberapa pasangan mata telah

memperhatikan kedatangannya.
"Siapakah laki-laki sombong itu?. Sikapnya
membuat aku muak melihatnya...!" Bertanya dengan
berbisik-bisik salah seorang dari beberapa orang muda-
muda yang berkerumun disudut sebuah rumah besar.
"Hm, dialah yang bernama Kala Butho! Kabar-
nya murid dari puncak Argasomala...!" Menyahut salah
seorang yang berusia lebih tua.
"Puncak Argasomala?" Gumam laki-laki berbaju
putih itu. Dia adalah anak dari Pak Kuwu, atau Kepala
Desa yang baru datang dari daerah lain. Tentu saja se-
bagai orang "baru" walaupun sudah sejak kecil dia ber-
diam di tempat ini, namun karena pemuda itu baru pu-
lang dari berguru di lain daerah, membuat dia tak men-
getahui keadaan kampungnya.
"Ya! Di puncak Argasomala itu tinggal seorang
tua sakti yang mendirikan sebuah Pesanggrahan. Me-
nurut yang kutahu kakek tua itu bernama Ki Kutut Pra-
ja Setha. Pada belasan tahun yang silam dia bekas seo-
rang Pendekar yang bergelar si Pendekar Pedang
Kayu...!" Ujar pemuda kawannya itu. Mendengar penu-
turan itu laki-laki ini manggut-manggut seraya mem-
perhatikan ke arah mana perginya si penunggang kuda
yang bersikap sombong itu.
"Eh, apa katamu tadi? Gurunya di atas puncak
Argasomala itu bernama... Kutut Praja Setha yang ber-
gelar si Pendekar Pedang Kayu?"
"Benar...! Dan dia adalah salah seorang dari tiga
muridnya...!".
"Hm, seperti pernah kudengar guruku menye-
but-nyebut nama dan gelarnya itu. Akan tetapi aku tak
menyangka kalau kakek tua itu berdiam di puncak Ar-
gasomala. Dan sungguh tak kuduga kalau laki-laki pe-
nunggang kuda itu adalah muridnya. Ah, tentu berke-
pandaian tinggi...!" Berkata laki-laki berusia 20 tahun

lebih itu. Dia bernama BONDAN.
"He? Dia menuju ke rumahku... Tampaknya ada
keperluan penting! Baiklah, aku tinggal dulu kawan-
kawan. Barangkali dia mau menemui ayahku...! Ayahku
sedang tak ada di rumah..." Ujar Bondan, dang bergegas
beranjak setengah berlari menuju ke arah rumahnya
yang berada agak ke sudut desa.
Kala Butho sudah memasuki halaman rumah
panggung  yang besar itu. Sepasang matanya jelalatan
menatap ke beberapa jendela dan pintu rumah. Saat itu
didengarnya suara orang berlari di belakangnya. Dili-
hatnya seorang pemuda berhidung mancung, dengan
kulit agak kehitaman berlari menghampiri. Begitu sam-
pai pemuda itu segera menjura. Kala Butho tak mem-
perlihatkan sikap sopan untuk membalas penghorma-
tan orang. Bahkan dengan kerutkan keningnya dia ber-
tanya.
"Siapakah kau...?" Tanyanya dengan tanpa tu-
run dari punggung kudanya. Melengak juga si pemuda
bernama Bondan itu melihat sikap laki-laki ini.
"Aku... aku... namaku Bondan! Aku anak dari
Kepala Desa disini! Siapakah kau sobat? Apakah kau
ada perlu dengan ayahku? Beliau sedang tidak ada...!
Berkata Bondan dengan agak tergagap, tapi segera
kembali biasa lagi, dan lakukan pertanyaan pada Kala
Butho.
"Ooo... begitu..." Jawab Kala Butho dengan per-
lihatkan senyumnya. Lalu melompat turun dari ku-
danya.
"Bagus! Haha... aku bukan mau bertemu dengan
ayahmu! Kau pasti adiknya Surmila! Mukamu amat mi-
rip benar dengannya! Hahaha... tolong kau ikatkan ku-
daku, aku sahabat kakak perempuanmu, Surmila...!
Dan kedatanganku adalah untuk menemuinya..." Sam-
bil berkata Kala Butho berikan tali kendali kudanya pa-

da pemuda itu. Tentu saja membuat wajah Bondan jadi
memerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
sang kakak dari lubang jendela.
Kakang Kala Butho...! Kaukah yang datang...?"
Dan sebuah kepala tersembul dari jendela. Kepala seo-
rang wanita yang berwajah cantik dengan perlihatkan
senyumannya. Dialah Surmila kakak perempuannya
yang  telah menjadi seorang janda. Kala Butho sudah
palingkan wajahnya menatap pada wanita muda itu.
Dan tanpa perdulikan kudanya, segera melompat ke
tangga rumah panggung itu. Sekejap sudah berada da-
lam kamar.
"Bondan! Tolong cancang kuda itu ditiang ru-
mah...!"  Seraya berkata, sang kakak sudah gerakkan
tangannya menutup jendela. Bondan berdiri terperan-
gah dengan sepasang mata membelalak. Begitukah ki-
ranya sikap sang kakak perempuannya, menerima lelaki
yang jelas bukan suaminya untuk memasuki kamar
sembarangan?. Berkata dalam hati pemuda ini. Namun
kakinya sudah beranjak melangkah untuk mendekati
tiang rumah, dan mengikatkan kuda Kala Butho pada
tiang itu.
Sesaat dia sudah mendengar suara tertawa
mengkikik kakak perempuannya dari sela jendela. "Ah,
aku jadi merasa malu berdiam di rumah ini...!" Gumam
Bondan. Seraya melangkah pergi dengan kepala tertun-
duk layu. Entahlah, apakah hal demikian sering dilaku-
kan pula selagi ada ayah...? Bisik hati pemuda itu. Tiba-
tiba rasa muak telah membuat si pemuda itu melang-
kah lebih  cepat, untuk segera tinggalkan rumahnya.
Seperti telinganya mendengar suara setan tertawa dari
balik jendela yang tertutup itu... Tak lama Bondan su-
dah melenyap dibalik tikungan jalan.

***

LIMA

"Hik hik hik... hihihik... Sudahlah, tak usah ka-
lian risaukan kemana lenyapnya mayat Ki Kutut Praja
Setha! Kalian adalah laki-laki bertubuh kuat yang amat
aku senangi. Asalkan kalian mau meninggalkan guru-
mu yang tak berguna itu dan menghamba padaku se-
lama beberapa tahun, ku tanggung kalian akan memili-
ki semua ilmu-ilmuku dengan sempurna! Dan kalian
dapat malang melintang di dunia Rimba Hijau tanpa
harus ada yang kalian takuti...!"
"Benarkah itu, nenek Dukun Sakti...?"
"Mengapa aku harus berdusta? Kalau kalian bersedia,
kita akan pindah untuk mendiami Pulau Tengkorak Hi-
tam...!" Terbelalak tiga pasang mata laki-laki itu,  yang
tak lain dari Kala Butho,
Braja Pati dan Dasa Mukti. Ternyata mereka te-
lah berada di tempat kediaman si Dukun Sakti alias si
Dewi Setan Kemangmang. Untuk beberapa saat mereka
cuma kasak-kusuk tanpa bisa memberi jawaban.
"Hik hik hik... itu terserah kalian. Kalau tidak
mau aku takkan memaksa!" Ujar wanita Dukun Sakti
itu seraya meneruskan pekerjaannya; mengaduk-aduk 
cairan berbau busuk dalam kuali di atas tungku panas.
Sementara disekeliling ruangan kamarnya tampak be-
berapa mayat manusia yang telah dikeringkan bergelan-
tungan mirip Mummi. Tapi diantara mayat-mayat yang
telah kering itu tak ada tubuh Ki Kutut Praja Setha.
Bermacam ramuan dan kembang beraneka warna bera-
da di beberapa tempat di atas meja. Sementara asap pe-
dupaan tak hentinya mengepul, menebarkan bau yang
menusuk hidung!
Berdiri bulu kuduk ketiga laki-laki itu ketika

melongok ke ruang tempat si wanita Dukun Sakti itu.
Akan tetapi memandang bahwa mereka amati memer-
lukan ilmu-ilmu Hitam yang dimiliki si wanita Dukun
itu, akhirnya selang beberapa saat kasak-kusuk, mere-
ka pun membulatkan tekad bersama untuk menerima
tawaran si Dewi Setan Kemangmang. Dan serentak me-
reka sudah bersujud. Braja Pati segera berkata.
"GURU...! Terimalah kami menjadi  murid-
muridmu ...! Kami akan mengabdi padamu untuk men-
dalami ilmu-ilmu yang kau miliki, dan menjalankan
semua perintahmu...!"
Wanita Dukun Sakti yang tampaknya masih
sangat muda itu tiba-tiba perdengarkan suara terta-
wanya mengikik.
"Hik hik hik... bagus! Bagus...! Kalian memang
sudah kuduga akan menerima tawaranku! Disamping
kalian akan mendapat kenikmatan, juga akan bertam-
bahnya ilmu kalian dengan menghamba dan menjadi
muridku ...! Hik hik hik....".

***

LIMA TAHUN BERSELANG............

Sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan
PUGAR ALAM telah berdiri di wilayah sebelah tenggara
di Pulau Jawa. Tentu saja terciptanya Kerajaan Pugar
Alam itu membuat orang merasa aneh, karena dalam
waktu cepat Kerajaan itu telah berkembang menjadi be-
sar dan wilayahnya semakin meluas. Adapun Istana Ke-
rajaan Pugar Alam berada di tengah sebuah telaga yang
disekelilingnya selalu dipenuhi kabut tipis. Hingga kea-
daan Istana itu selalu tampak samar-samar.
Menurut berita yang terdengar, sang Raja Kera-
jaan Pugar Alam itu bergelar Baginda Raja NARA

SYIWA. Dengan permaisurinya yang bernama SINOM
SARI. Tak sebarang orang dapat menyeberangi telaga
yang tertutup kabut itu walau pun telah bayak dibuat
jembatan untuk menghubungkannya. Bahkan  mana
jembatan mana telaga sudah tak kelihatan lagi. Sebuah
Istana Kerajaan yang misterius... karena memang mirip
dengan sebuah Kerajaan Setan atau Siluman.
Para pengawal Istananya adalah terdiri orang-
orang bekas tawanan dari Kerajaan yang telah ditaklu-
kannya. Akan tetapi setelah berada di dalam lingkungan
Istana yang selalu tutup kabut itu, sikap mereka amat-
lah aneh. Karena mereka tak pernah berbicara, dan
memang sudah tak dapat berbicara lagi.
Kemunculan serta perginya para pengawal dan
penjaga di Istana itu ketahuan lagi. Lenyap begitu saja
dibalik asap kabut. Ah, benar-benar membuat orang
menjadi penasaran untuk mendatangi Istana yang aneh
itu... Sementara orang-orang Kerajaannya menyebar
luas di sekitar wilayah yang dikuasai Baginda Raja
KARA SYIWA itu.

***

Hari sudah hampir senja... Ketika pada permu-
laan musim hujan seorang gadis berkerudung kain se-
lendang, berjalan dengan bergegas di satu jalan setapak
menuju desa.
Sebentar-sebentar langkahnya agak dipercepat,
namun terkadang juga berhenti untuk menghapus ke-
ringat yang mengalir di dahinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh berlompatan dari sisi
kiri dan kanan jalan setapak yang banyak tumbuh
menggerombol semak lebat. Sekejap saja tiga-orang la-
ki-laki dengan wajah menyeringai telah berdiri mengha-
langi jalan. Tersentak hati-  si gadis berkerudung ini,

dengan sepasang mata beningnya membeliak menatap
mereka. Tak terasa bibirnya sudah bergetar mengelua-
rkan seman kaget.
"Ohh...! Si... siapa kalian? Mengapa mengha-
dangku di tengah jalan?"
"Hahaha... hari sudah sore begini, adik manis.
Kau pasti akan kemalaman di jalan. Sebaliknya kau
menginap saja malam ini di rumah kami...!" Berkata sa-
lah seorang yang berkumis tikus. Matanya menatap pa-
da sang dara di hadapannya dengan biji mata memutar
menelusuri sekujur tubuh orang.
"Benar, adik cantik...! Besok pagi tentu aku
akan antarkan kau sampai ke rumah! Hehehe... jangan
khawatir, orang tuamu pasti tak akan marah, bahkan
jangan-jangan aku lantas diangkat menjadi menantu...!"
"Hoahaha... hahaha... Eh, mengacalah dulu kau Muka
Babi! Kalau aku yang mengantarkannya pasti bisa ja-
di...!" Tiba-tiba kawan nya yang satu berkata menyela
sambil pasang gaya gagah. Merengut si Muka Babi
mendengar cemooh sobatnya itu.
"Huh! Kukira kaupun tak lebih baik dariku Mu-
ka Macan! Belum lagi calon mertuamu datang menyam-
but, dia sudah ngacir lari lintang pukang! Heheheh."
Yang bernama julukan Muka Macan itu memang kulit
wajahnya belang-belang. Akan tetapi mendapat ejekan
si Muka Babi itu dia tidak marah, bahkan tertawa men-
gakak.  "Hohoho... hahahahehehaha... hak hak... tak
apalah kalau cuma calon mertua yang ngacir! Asal calon
biniku ini sayang padaku habis perkara!"
"Hehehe... bukankah begitu adik cantik...? Eh,
boleh aku tahu siapa namamu?" Tiba-tiba si Muka Ma-
can sudah melompat mendekati dara itu. Tentu saja
membuat si gadis berkerudung itu jadi terperanjat. Ka-
kinya secara tak sengaja telah melangkah ke belakang...
akan tetapi bahkan tersangkut akar pohon. Dan tak

ampun lagi sudah jatuh terlentang.
"Aiiih, hati-hati adik cantik...!" Berkata si Muka
Macan. Dan sekonyong-konyong tubuhnya sudah me-
nubruk dara yang tengah terperangah kaget. Tahu-tahu
tubuh si Muka Macan telah menindihnya. Berteriak-
teriak gadis itu dengan ketakutan, ketika tanpa ayal lagi
laki-laki bermuka belang itu sudah menciumi pipinya.
Akan tetapi tiba-tiba...
BUK! Satu hantaman keras membuat tubuh si
Muka Macan terlempar bergulingan. Ternyata si Muka
Tikus telah melompat, dan sudah berdiri di situ. Dialah
yang telah menghantam pundak si Muka Macan dengan
telapak tangannya. Sementara si Muka Macan sekejap
sudah melompat berdiri lagi dengan terkejut. Akan teta-
pi segera tertawa menyeringai, melihat siapa yang me-
nyerangnya.
"Hehehe... kakang Muka Tikus! Mengapa kau
mencegahku? Bukankah aku yang lebih dulu punya ke-
sempatan... ?"
"Heh! Kita bertiga adalah satu perguruan! Segala
sesuatu tak bisa dikangkangi sendirian! Dan bukan dis-
ini tempatnya...!" Membentak si Muka Tikus.
"Betul! Kakang Muka Tikus...! Si Muka Macan
memang terlalu rakus! Seharusnya mengenai korban
yang kita temukan bertiga, harus diadakan undian se-
cara adil untuk menentukan siapa yang berhak dulu
mencicipi tubuh gadis manis ini!" Si Muka Babi telah
menimbrung bicara.
"Heheheh... baik! Baiklah, aku memang salah!
Aku serahkan keputusan ini padamu kakang Muka Ti-
kus! Bagaimana  rencanamu yang baik!" Ujar si Muka
Macan seraya menatap pada kedua saudara sepergu-
ruannya, sambil usap-usap pundaknya yang terasa
nyeri. Muka Tikus tak menjawab, tapi menatap pada
gadis itu, yang sudah bangkit duduk dengan wajah pias

bagai mayat menatap mereka berganti-ganti. Tubuhnya
gemetaran menahan rasa takut yang luar biasa. Karena
dia tak menyangka bakal menemui kejadian ini.
Tahu-tahu dengan sekali lengannya bergerak, si Muka
Tikus telah menotok tubuhnya. Gadis ini keluarkan ke-
luhan pelahan dari mulutnya lalu roboh tak sadarkan
diri. Dan sekejap sudah berada dalam pondongan si
Muka Tikus yang bertubuh kurus jangkung itu. Tak be-
rapa lama ketiganya sudah berkelebatan lenyap dirim-
bunnya pepohonan...

***

BRET! BRET....! BRET....!
Terdengar suara kain baju yang dirobek dari da-
lam pondok terpencil di tempat paling sudut di sisi hu-
tan itu. Sementara dua sosok mayat seorang kakek dan
nenek tua renta terlihat tumpang tindih di semak-
semak belakang rumah gubuk itu. Si Muka Macan dan
Muka Babi telah melemparkannya dari jendela, lalu se-
gera menutupnya lagi. Dalam undian yang tadi dilaksa-
nakan, ternyata si Muka Tikuslah yang justru menang
dan mendapat giliran pertama untuk mencicipi korban-
nya. Terpaksa kedua laki-laki seperguruan itu menung-
gu di luar gubuk. Akan tetapi keduanya tampak tidak
tenang, karena selalu mondar-mandir seperti gelisah
menunggu giliran.
"Heheheh... habis ini pasti giliranku, Muka Ba-
bi!" Berkata si Muka Macan.
"Hm, belum tentu...! Apakah kau sudah yakin
akan memenangkan undian nanti!" Tugas si Muka Babi
dengan sepasang mata sipitnya yang diplototkan, akan
tetapi tetap saja sipit. Cuma agak membeliak sedikit.
"Kita lihat sajalah nanti, karena kakang Muka
Tikus yang berhak mengundi!" Ujar si Muka Macan

dengan garuk-garuk kepalanya. Rambut keritingnya
yang gondrong itu bergerak-gerak bagaikan hidup. Se-
mentara sepasang matanya sebentar-sebentar menatap
ke arah jendela gubuk petani tua itu.
Sementara di dalam kamar gubuk itu, di atas
pembaringan dari balai- balai bambu, tampak terbujur
tubuh mulus si gadis berkerudung tadi. Pakaiannya te-
lah hancur beserpihan pada bagian atasnya, karena te-
lah dirobek dengan paksa si Muka Tikus. Sepasang ma-
ta laki-laki tinggi kurus itu terbeliak semakin lebar me-
nampak sepasang buah dada yang membuntal padat
tersembul di hadapannya.
"Hehehe... nasib baik, aku memenangkan un-
dian lebih dulu! Aiih lembutnya..." Berdesis keluar sua-
ra dari mulutnya.

***

ENAM

Jari-jari lengan si Muka Tikus merayapi bagian-
bagian perbukitan tubuh si dara cantik yang sudah tak
ingat apa-apa lagi itu. Dan beberapa kejap kemudian
seluruh pakaian sang gadis telah terlepas semua dari
tempatnya. Kini terpampang sudah satu pemandangan
yang membuat dengus napas si Muka Tikus semakin
berdesahan. Wajahnya tertawa menyeringai. Tak ayal
lengannya sudah bergerak membuka pakaiannya.
Akan tetapi baru bagian atasnya saja yang ter-
buka, tiba-tiba laki-laki ini merandek sejenak ketika la-
pat-lapat di luar gubuk didengarnya suara ringkik kuda.
"Siapakah yang datang...?" Desisnya pelahan,
dan tersentak kaget. Segera dia sudah beranjak mengin-

tip dari celah jendela.
Seekor kuda hitam tahu-tahu telah muncul di
belakang si Muka Babi dan Si Muka Macan. Binatang
ini perdengarkan ringkikannya berkali-kali dengan me-
lompat-lompat mengelilingi sekitar tempat itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang itu jadi terheran, karena bina-
tang itu tak berpenunggang. Munculnya pun tak keta-
huan, karena tahu-tahu sudah berada dibelakang me-
reka.
"Hahaha .... kukira kuda orang yang terlepas!
Bagaimana kalau kita tangkap saja, Muka Babi. Ber-
tanya si Muka Macan seraya berpaling pada kawannya.
"Heheheheh... boleh juga! Ayolah, kau jaga sebe-
lah sana aku disini!" Teriak si Muka Babi. Muka Macan
mengangguk, lalu berkelebat melompat. Sementara si
kuda hitam yang masih berlari-larian memutar itu, tiba-
tiba  menerjangkan ke arah si Muka Macan. Terkejut
manusia itu, untung dengan gesit dia sudah melompat
menghindar. Muka Babi tiba-tiba melompat dari arah
belakang ke atas punggung kuda. Hehehe... aku yang
akan berhasil menangkap! Sorak hatinya. Akan tetapi di
luar dugaan, sepasang kaki kuda hitam itu telah me-
nyambutnya dengan cepat.
DESSS....!
Terlemparlah tubuh si Muka Babi yang memang
bulat itu diiringi teriakan tertahan. KRAK...! Tubuhnya
sudah menghantam batang pohon yang seketika patah
berderak. Dan tubuh bulat itu menggelinding ke tanah.
Tak lama dia sudah mencoba bangun dengan ter-
huyung. Wajahnya menyeringai kesakitan, sambil me-
megangi punggungnya yang terasa sakit sekali.
"Kuda setan...!" Teriaknya dengan wajah beru-
bah gusar. Dan lengannya telah bergerak menghantam
dari jarak jauh. Kebetulan sang kuda sudah bergerak
memutar lagi ke arahnya.

"Modarlah kau...!" Bentaknya dengan keras.
WHKKK...! Angin pukulan dahsyat tiba-tiba ter-
lontar dari lengan si Muka Babi.
BHUSSSS... Begitu angin pukulan itu tiba, tiba-
tiba si Kuda Hitam melenyap menjadi segumpal asap hi-
tam. Dan sekejap kemudian sirna tak menampak apa-
apa lagi. Tentu saja hal itu membuat keduanya belalak-
kan mata.
"Aneh!? Apakah kuda itu benar-benar KUDA
SETAN...?" Sentak si Muka Babi dengan suara berdesis.
Sementara si Muka Macan telah melompat mendeka-
tinya. "Hati-hati, Muka Babi! Kukira ada musuh yang
telah menyelinap kemari...!" Berkata si Muka Macan
dengan wajah tenang.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bergedu-
brakan dari arah gubuk. Serentak mereka segera meno-
leh. Apakah yang dilihatnya?. Sosok tubuh si Muka Ti-
kus terlempar menjebol wuwungan rumah diiringi teria-
kan menyayat hati. Serpihan atap rumbia dan poton-
gan-potongan bambu berpentalan ke udara.
Keduanya jadi terbelalak terkesima. Akan tetapi
si Muka Macan telah melompat cepat dari situ. Dan
dengan sigap sekali telah menanggap tubuh si Muka Ti-
kus. Lalu dengan tergopoh-gopoh segera memondong-
nya ke tempat kawannya. Ketika mereka memeriksanya
seketika terperanjatlah si Muka Macan dan si Muka Ba-
bi,  karena kakak seperguruan mereka itu telah tewas
dengan keadaan muka hancur mengerikan!
"Hah!? Siapakah yang telah membunuhnya?"
Teriak si Muka Macan dengan wajah pucat. Sementara
si Muka Babi telah kucurkan keringat dingin. Tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda di belakangnya. Seketika
kedua manusia itu sudah putar tubuh dan melompat
mundur. Segera terlihat di hadapan mereka seekor ku-
da hitam yang tadi. Akan tetapi kini lengkap dengan pe-

nunggang kudanya. Yaitu seorang laki-laki yang men-
genakan jubah warna  merah. Wajahnya mengenakan
topeng Tengkorak berwarna Hitam.
"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata
orang itu dengan suara bagai es.
"Ssssii.... siapa kkkau... kau?!" Membentak si
Muka Macan dengan suara bentakan yang agak terga-
gap dan bergetar. Karena dari kemunculannya yang ti-
ba-tiba itu mereka bagaikan melihat kedatangan hantu.
"Hm, tak perlu aku memperkenalkan diri... Se-
butlah aku Si PENUNGGANG KUDA SETAN...!" Selesai
orang itu berkata lengannya bergerak bagai bayangan.
Tahu-tahu tengkuk si Muka Babi telah dicengkeram.
Laki-laki pendek bulat ini seketika rasakan nyawanya
bagaikan terbang... Akan tetapi lengannya sudah laku-
kan hantaman ke arah dada si Penunggang Kuda Setan.
BHUSSS...! Aneh! Bagaikan menghantam angin saja,
pukulan lengannya itu sudah nyeplos lewat. Laki-laki
berjubah merah itu perdengarkan suara di hidung, dan
sekali lengannya bergerak, melayanglah tubuh si Manu-
sia Babi entah kemana...
Bukan main terkejut dan gusarnya si Muka Ma-
can. Sekejap saja dia sudah keluarkan senjatanya, yaitu
sepasang cakar baja, yang bagian ujungnya berbentuk
telapak kaki macan, dengan ujung cakarnya yang runc-
ing-runcing. Dengan membentak keras dia sudah me-
nerjang si Penunggang Kuda Setan.
Bersiuran senjata itu ke arah tubuh lawan, akan
tetapi semua yang dilakukan sia-sia belaka. Karena tu-
buh si Penunggang Kuda Setan bagaikan tubuh bayan-
gan saja. Hantaman beruntun itu luput bagai menghan-
tam angin. Dan tahu-tahu si Muka Macan telah perden-
garkan perdengarkan teriakan kaget. Ketika sekali len-
gan si Penunggang Kuda Setan berkelebat, sepasang
senjata tak berguna itu terpental entah kemana. "Hah!?

Celaka...! Aku bukan berhadapan dengan manusia..."
Desis suara si Muka Macan dengan terperangah kaget.
Serentak tanpa ayal lagi dia sudah putar tubuh, dan ti-
ba-tiba telah berkelebat melarikan diri..."
"Hahahaha... sekali lagi aku menjumpai kalian
melakukan kejahatan, nyawamu takkan kuampuni la-
gi!" Terdengar suara tertawa si Penunggang Kuda Setan
dan kata-kata ancaman yang seperti itu menusuk-
nusuk lubang telinganya. Jatuh bangun si Muka Macan
menyelamatkan diri, namun sekejap kemudian segera
lenyap di balik rimbunnya pepohonan lebat. Sementara
cuaca senja di sekitar tempat itu semakin gelap. Hujan
mulai turun rintik-rintik terbawa angin. Dalam kere-
mangan itu tampak sekilas bayangan tubuh si laki-laki
berjubah merah dengan topeng muka Tengkoraknya
yang sudah tak jelas kelihatan lagi. Suara ringkik kuda
kembali terdengar, dan diantara keremangan yang se-
makin memudar berganti dengan gelap gulita itu,
bayangan si Penunggang Kuda Setan itupun melenyap
pula...

***

Di tepi telaga itu sesosok tubuh duduk di hada-
pan api memanaskan tubuhnya. Cuaca pagi itu masih
diselimuti kabut. Dan hawa dingin menyebar di sekitar-
nya. Ternyata seorang laki-laki yang bertubuh separuh
telanjang. Bercelana pangsi yang sudah kumal. Ram-
butnya dikepang dua, yang diikatkan menjadi satu di
belakang kepala. Memandang ke tengah telaga yang
tampak hanyalah kabut putih yang menyelimuti, meng-
halangi pandangan mata.
Di belakang punggung laki-laki yang duduk
menghadap api unggun itu adalah sebuah bukit batu.
Pada satu celah lubang tampak terbujur sesosok tubuh

wanita, yang membuntal tubuh dengan selimut... Ter-
nyata wanita itu adalah si gadis yang hampir menjadi
korban nafsu iblis si Muka Tikus.
Selang beberapa saat tampak tubuh gadis itu
mulai bergerak. Kelopak matanya pun membelalak ter-
buka. Tiba-tiba setelah berkedipan beberapa saat gadis
ini telah melompat bangun. Terdengar suaranya tersen-
tak ketika memandang tubuhnya yang berselimutkan
sebuah jubah warna merah. Dan semakin terkejut men-
getahui keadaan tubuhnya dalam keadaan tak berpa-
kaian.
"Dimanakah aku? Dan... jubah siapakah ini?"
Desisnya tersentak. Segera saja dia teringat akan keja-
dian yang telah menimpa dirinya. Kemanakah tiga ma-
nusia yang telah mencegatku di jalan tadi?. Berkata da-
lam hati si gadis ini. Tiba-tiba pandangan matanya ter-
tatap ke arah sesosok tubuh yang duduk membelakan-
gi, menghadap ke api unggun. Menduga kalau orang itu
adalah salah satu dari tiga orang yang mau memperko-
sanya, dan mengingat akan hal itu si gadis sudah lantas
menangis terisak-isak.
"Eh mengapa kau menangis...?" Tiba-tiba satu
suara telah terdengar di belakangnya. Terkejut si gadis
ini ketika menoleh, tahu-tahu laki-laki yang duduk
menghadap ke api unggun itu telah berada di dekatnya.
"Kau... kau manusia jahanam...! Kau telah nodai
diriku... oh... hhh...!" Teriak sang dara ini dengan teri-
sak seraya tatap wajah orang. Akan tetapi segera saja
dia tampak tersentak kaget, karena wajah laki-laki di
hadapannya mengenakan topeng yang mengerikan  se-
kali. Yaitu topeng Tengkorak yang berwarna hitam le-
gam.
"Kau... kau siapakah?" Sentak sang gadis yang
sudah beringsut ke sudut dinding batu. Sementara ma-
tanya menjalari wajah dan perawakan laki-laki di hada-

pannya.
"Ah, apakah namaku cukup berguna buatmu?
Aku telah memberi pelajaran pada tiga manusia bejat
yang mau mengganggumu itu. Tenangkan hatimu
adik...! Aku bukan manusia jahat, walau tampangku
mungkin akan membuat orang menilai demikian...! Kau
dalam keadaan baik-baik tak kurang suatu apa, per-
cayalah...!" Berkata si laki-laki itu dengan suara ramah.
Akan tetapi segera balikkan tubuhnya untuk
kembali beranjak mendekati api unggun. Tercenung
sang gadis ini dengan sepasang mata menatap pung-
gung laki-laki itu. Ahh, aku telah salah menduga! Kalau
begitu aku... aku telah terhindar dari bencana...? Seolah
serasa mimpi si dara cantik ini setelah mengetahui ka-
lau kemudian ternyata benarlah dia tak merasakan apa-
apa dan kelainan dari tubuhnya.
"Dia pasti seorang Pendekar yang telah berilmu
tinggi yang telah menyelamatkan kehormatanku! Oh,
aku harus berterima kasih padanya....!" Desis gadis ini
pelahan. Wajahnya kembali berseri. Segera dia bangkit
berdiri, dan kenakan jubah warna merah itu membung-
kus tubuhnya. Udara dingin di pagi remang dinihari itu
membuat tubuhnya agak menggigil. Dengan berjingkat-
jingkat dihampirinya laki-laki itu. Ternyata kedatangan-
nya sudah diketahui.
"Kau kedinginan? Hangatkanlah tubuhmu dekat
api! Duduklah...!" Ucap pemuda itu seraya geserkan se-
bongkah batu di sebelahnya. Gadis ini tanpa sungkan-
sungkan segera duduk di atas batu itu, seraya ucapnya.
"Aku... aku mau mengucapkan terimakasih pa-
damu..... ng... Tuan Pendekar...! Dan... mohon kau
maafkan aku karena aku menyangka!"
"Ah, sudahlah! Manusia hidup memang harus
tolong menolong! Siapa tahu dengan menolong orang,
kelak kalau aku mendapat celaka orang pun akan me-

nolongku..." Potong laki-laki itu seraya tambahkan kayu
kering pada onggokan api hingga api semakin membe-
sar. Dan menampakkan jelas wajahnya. Terlongong si
dara itu sambil mengangguk-angguk. Suasana kembali
senyap. Cuma yang terdengar suara kayu kering yang
terbakar api.
Cuaca pun mulai terang. Bunyi suara burung-
burung sudah terdengar menyambut datangnya pagi
yang cerah. Kabut yang menyelubungi alam sekitar itu
mulai menipis. Dan beberapa saat kemudian, cahaya
Mentari mulai menampak di langit sebelah timur. Ter-
dengar suara menghela nafas laki-laki bertopeng itu.
"Sebentar lagi aku akan mengantarkan kamu ke
tempat tinggal mu ....!" Berkata si laki-laki itu seraya
bangkit berdiri. Tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat le-
nyap. Terkejut si gadis itu, seketika wajahnya berubah
pucat.
"Ah, apakah dia bukan manusia...!" Desisnya pe-
lahan dengan tersentak kaget. Namun akhirnya dia cu-
ma termangu-mangu duduk di atas batu. Mau kemana-
kah dia... ? Gumamnya dalam hati. Gadis desa ini tak
mengerti ilmu kepandaian orang-orang Rimba Hijau,
hingga tak mengetahui kalau laki-laki itu adalah seo-
rang yang berilmu amat tinggi. Dia cuma melihat tahu-
tahu tubuh si laki-laki bertopeng tengkorak itu telah le-
nyap dari hadapannya.
Sebenarnya dia bernama Sutirah, yang bertu-
juan pulang ke rumah orang tuanya di desa yang ditu-
junya itu. Sudah beberapa pekan dia tinggal sementara
di rumah pamannya. Sang paman tadinya akan men-
gantarkannya pulang, akan tetapi tak ada kesempatan
hari itu. Dan lagi hari sudah menjelang sore. Hingga
menahan sang gadis keponakannya itu sampai besok.
Tak dinyana setelah kepergian sang paman, Sutirah te-
lah meminta izin pada bibinya untuk pulang sendiri ha-

ri itu juga.
Sang bibi tak mampu mencegah, karena Sutirah
memaksa untuk pulang hari itu juga. Dan tanpa me-
nunggu jawaban Sutirah langsung berangkat pulang
sendirian. Hingga kemudian di saat melalui jalan seta-
pak ketika sudah hampir mendekati desa yang ditu-
junya, telah dicegat oleh tiga orang kawanan begal. Ke-
tiga begal itu ternyata yang menamakan dirinya si Tiga
Setan Brandal. Yaitu si Muka Tikus, Muka Babi dan si
Muka Macan.
Untunglah dalam keadaan tak sadarkan diri, ke-
tika Sutirah mau dirampas kehormatannya, telah dito-
long oleh si Penunggang Kuda Setan.
Namun si Penunggang Kuda Setan itu tak mau
memberitahukan siapa dirinya pada sang gadis. Dan
bahkan Sutirah menyangka pemuda bertopeng Tengko-
rak itu sebangsa makhluk halus yang menyerupai ma-
nusia, yang telah menyelamatkan dirinya.
Sutirah sudah mulai gelisah karena sampai be-
berapa saat si Muka Tengkorak tak juga munculkan di-
ri. Tahu-tahu sudah terdengar suara di sebelah kirinya.
"Aku akan mengantarmu pulang sekarang! Kau pakai-
lah pakaian ini...!" Terhenyak si gadis, karena ketika
berpaling, si laki-laki itu sudah berada lagi ditempat itu,
seraya julurkan lengannya yang mencekal seperangkat
pakaian. Namun dengan segera Sutirah cepat-cepat
menyambuti, dengan wajah masih pucat. Selesai beri-
kan pakaian itu, si laki-laki Muka Tengkorak segera ba-
likkan tubuh beranjak ke tepi telaga. Dan berdiri disana
tak bergeming. Langkah-langkah kakinya sejenak men-
jadi perhatian dara ini. Legalah hatinya, karena jelas
sepasang kakinya menginjak tanah, menandakan laki-
laki itu bukanlah sebangsa siluman atau dedemit mak-
hluk halus. Akan tetapi manusia biasa...
Oh, tentu dia seorang yang berilmu amat ting-

gi...! Kalau tidak, mustahil dapat menolongku, dan
menghajar tiga orang jahat yang mau mencelakai diriku
itu...! Pikirannya  dalam benak. Segera dia bergegas
memakai pakaian pemberian laki-laki penolongnya itu.
Entah dari mana dia dapatkan pakaian ini... Bisik ha-
tinya. Selang sesaat antaranya Sutirah sudah selesai
mengenakannya. Agak kebesaran sedikit, tapi Sutirah
sudah bersukur dapat menutupi tubuhnya.

***

TUJUH

Matahari sudah berada tepat di atas kepala keti-
ka terdengar suara ringkik kuda, dan sekejap sudah ter-
lihat di tepian telaga tadi, seekor kuda berbulu hitam
dengan penunggangnya. Siapa lagi kalau bukan si Pe-
nunggang Kuda Setan. Hm, gadis itu sudah kuantarkan
ke rumah orang tuanya, selesailah tugasku! Terdengar
suaranya menggumam. Sepasang mata laki-laki miste-
rius itu kini menatap tajam ke tengah telaga berkabut.
Jelas pancaran matanya membersit seperti mau me-
nembus pekatnya kabut, yang memancar dari balik to-
peng Tengkoraknya. Hembusan angin keras dari arah
perbukitan membuat jubah merahnya berkibaran. Pada
pundak sebelah kanannya tampak tersembul sebuah
gagang  pedang dari kayu hitam.
"Apakah anda mau menyeberang kesana...?" Ti-
ba-tiba terdengar satu suara merdu di belakangnya, mi-
rip suara wanita. Laki-laki Muka Tengkorak itu meno-
leh. Tampaknya seperti terkejut, karena tak mengetahui
kalau di belakangnya ada orang. Segera sudah dilihat-
nya seorang gadis cantik berbaju hitam tengah duduk

ongkang-ongkang kaki di atas tebing batu. Adalah aneh,
kalau jarak antara tebing batu dan tempatnya berdiri
cukup jauh sekitar tujuh-delapan tombak. Akan tetapi
suaranya seperti berada dekat di belakangnya.
"Siapakah nona...?" Bertanya si Penunggang Ku-
da Setan, yang sudah putarkan kudanya menghadap ke
arah gadis itu.
"Namaku RORO CENTIL...!" Sahut sang dara
kenes, dan tampak ayu itu, Dan tubuhnya sudah me-
lompat ringan ke hadapan laki-laki itu. Ujung kakinya
hinggap di atas batu besar tanpa timbulkan suara. Ki-
ranya gadis manis itu tak lain dari si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
"Aku telah melihat sepak terjang mu menghajar
si Tiga Setan Brandal, yang mau memperkosa gadis de-
sa itu! Hihihih... kalau aku jadi laki-laki setidaknya aku
cium dulu gadis desa itu sebelum kuantarkan ke rumah
orang tuanya...!" Ujar Roro Centil dengan masukkan jari
kelingkingnya mengorek tahi hidung, lalu sentilkan ke
arah depan.
Tentu saja sikap dan kata-kata si gadis yang ba-
ru muncul itu membuat si Penunggang Kuda Setan jadi
melengak heran. Akan tetapi juga membuat geli. Sean-
dainya dia tak memakai topeng, tentu sudah kelihatan
bibirnya tersenyum. Gadis aneh...! Baru bertemu sudah
berkata seenaknya saja! Tapi seumur hidupku baru ku-
temui gadis yang seperti ini... ! Gumam si Penunggang
Kuda Setan dengan tertegun. Dan yang lebih membuat-
nya tertegun adalah si gadis itu mengetahui nama julu-
kan ketiga begal yang dihajarnya. Bahkan mengetahui
pula sepak terjangnya. Setelah berfikir sejenak, segera
laki-laki itu melompat turun dari punggung kuda.
"Nona...! Tampaknya kau tahu banyak tentang
orang-orang kaum Rimba Hijau. Tujuanku memang
mau menyelidiki Istana Kerajaan Pugar Alam yang be-

rada di tengah danau berkabut itu...!" Berkata si Laki-
laki Penunggang Kuda Setan seraya menjura pada Roro
Centil.
"Hm, apa maksudmu mau menyelidiki Istana Se-
tan itu?" Tanya Roro sambil rapikan rambutnya yang
tersibak angin.
"Istana Setan...?" Tanya laki-laki bertopeng
tengkorak dengan heran.