Roro Centil 20 - Kemelut di Negara Siluman(1)







SATU

UDARA HARI ITU CUKUP CERAH. Langit biru
tak berawan. Matahari bersinar cukup terik membakar
jagat. Di atas tempat ketinggian tampak duduk di ba-
wah pohon seorang dara jelita berpakaian singsat, yai-
tu pakaian orang persilatan. Rambutnya dibiarkan te-
rurai. Sementara sepasang matanya memandang jauh
ke bawah lereng bukit dimana terlihat satu pemandan-
gan indah. Sawah-sawah menghijau bertebaran laksa-
na hamparan permadani yang menyejukkan mata me-
mandang. Di kejauhan terlihat petani mengolah sawah,
memperbaiki saluran, mencangkul kebun, dan seba-
gainya.
Terdengar dara jelita itu menghela nafas.
Lengannya bergerak memotes ujung rumput.
Lalu menggigit-gigitnya dengan mata berkejap-kejap.
Dara jelita itu tak Iain dari Roro Centil, yang telah in-
jakkan kakinya kesatu wilayah dalam pengembaraan-
nya.
Dalam ketenangan semacam itu terkadang Roro
teringat akan pengalamannya selama berpetualang.
Banyak terjadi bermacam peristiwa yang terkadang
nyaris merenggut nyawanya. Dan dalam ketenangan
semacam ini amat terasa sekali betapa tenteramnya ji-
wa jika di setiap wilayah di atas jagat ini penuh keda-
maian...
Akan tetapi keadaan memang susah diterka,
yang disangka daerah tenteram ternyata masih ada sa-
ja kericuhan. Dara perkasa Pantai Selatan ini tiba-tiba
jadi tersentak kaget, ketika sepasang matanya melihat
asap mengepul tebal di  kejauhan. Samar-samar ter-
dengar suara teriakan dan jeritan orang meminta to-
long. Sadarlah dia kalau diseberang sana telah terjadi

sesuatu.
Sementara itu dilihatnya para petani yang te-
nang bekerja di tengah sawah mulai terlihat panik, dan
berlarian menuju ke arah asap yang kelihatan semakin
menebal menjulang ke udara bergumpalan.
"Heh, agaknya telah terjadi kebakaran di  desa
seberang sana! aku harus segera melihatnya...!" desis
Roro Centil, yang sekejap sudah melompat bangun
berdiri. Dan... di lain kejap tubuhnya segera berkelebat
melesat bagaikan anak panah menuju ke arah keja-
dian.
Apakah sebenarnya yang tengah terjadi? Se-
buah rumah besar di tengah desa di lereng perbukitan
itu memang dalam keadaan terbakar hebat di  siang
hari yang lengang itu.
Belasan manusia berlarian dalam keadaan pa-
nik dan berteriak-teriak kalang kabut. Ternyata di
samping teriak dan jeritan wanita dan anak-anak yang
ketakutan dan panik, ada pula teriakan-teriakan lain
dan kegaduhan yang memang berasal dari kejadian
itu.
"Rampoook...! rampoook ...!" "Kejar... mereka
yang telah membakar rumah"
"Mana rampok...? mana...? Oo, rumahku...!
Aiiir...! aiiir! cepat siram!"
Beberapa teriakan terdengar gaduh. Ada yang
berlari ke dalam rumah untuk mengemasi barang-
barangnya, ada yang menjerit-jerit sambil  berteriak
rampok. Dalam keadaan demikian sudah tak dikenali
lagi mana rampok, mana penduduk. Dan... sekonyong-
konyong api telah menjalar ke beberapa rumah pendu-
duk. Kini kebakaran di desa itu telah menyebar secara
cepat. Adalah satu hal yang tak mungkin kalau api da-
pat berpindah ke lain wuwungan, karena siang itu tak
ada angin berhembus. Apa lagi jarak antara satu ru-

mah penduduk ke  lain rumah cukup berjauhan. Se-
bentar saja keadaan di desa itu semakin panik.
Manusia bersimpang siur dengan segala kesi-
bukannya untuk memadamkan api atau mengemasi
barang-barang, hingga bahkan terlupa pada anak dan
istri.
Jerit tangis dan ratapan pun terdengar disana-
sini...
Sementara itu... Cepat sekali bergeraknya so-
sok-sosok tubuh yang berseliweran diantara kegadu-
han manusia ketika bergerak mengemasi barang-
barang menyambar apa yang bisa dibawa. Dan dalam
kepanikan itu serombongan manusia telah angkat kaki
dari desa itu dengan menggondol beberapa buntalan.
Bahkan beberapa wanita berada dalam pondongan me-
reka.
Pada saat itulah Roro Centil munculkan diri.
Terperanjat Roro melihat kejadian ini. Segera Roro ber-
tindak cepat. Tubuhnya berlompatan ke beberapa
arah. Suara lengkingan panjang yang merdu terdengar
dimana-mana. Ternyata Roro Centil telah lepaskan
hantaman telapak tangannya untuk memadamkan api.
Setiap kali lengannya bergerak yang dibarengi dengan
melompatnya tubuh dara perkasa itu, segera keluar
uap berhawa dingin yang segera memadamkan api.
Dengan perdengarkan suara lengkingan-
lengkingan panjang setiap kali Roro bergerak melam-
bung atau melompat ke  atas wuwungan, lengannya
bergerak tiada henti. Hingga beberapa saat antaranya
api yang mengamuk di beberapa rumah dapat terpa-
damkan.
Tentu saja kejadian itu tak luput dari pengliha-
tan mata penduduk. Mereka memandang Roro dengan
mata terbelalak. Manusia ataukah seorang Dewi yang
telah menolong mereka?

Suatu hal yang mustahil dilakukan manusia
menurut pendapat mereka. Akan tetapi mereka melihat
sendiri dengan mata kepala ketika dara cantik itu ber-
lompatan ke  setiap wuwungan dan mengitari setiap
rumah untuk memadamkan api. Sayang... selanjutnya
mereka tak mengetahui lagi kemana lenyapnya si pe-
nolong.
Kekalutan memang segera mereda, akan tetapi
tetap saja kegaduhan terdengar dimana-mana. Karena
beberapa orang laki-laki dengan menghunus senjata
telah berlarian mengejar ke arah barat, dimana meng-
hilangnya belasan sosok tubuh yang menjadi biang ke-
ladi kericuhan.
"Kejar mereka...! "perampok-perampok itu se-
makin nekat. Mereka makin berani melakukan kejaha-
tan disiang hari! Teriak geram seorang laki-laki berte-
lanjang dada seraya bergerak melompat mendahului
beberapa orang lainnya. Ternyata laki-laki itu baru pu-
lang dari sawah.
Paculnya masih tergenggam ditangan. Semen-
tara itu teriakan seorang wanita tua terdengar menghi-
ba.
"Anakku...! oh, anakku diculik! anakku diculik
perampok! toloong...!"
"Sawitri kemana...? Sawitriiii...!" teriak pula
seorang laki-laki. Seorang anak kecil berwajah cemong
dengan keringat deras mengalir berlari-lari mengham-
piri. "Celaka.....! kakak
Sungkimah dibawa perampok! dibawa kesa-
na...!" teriak si bocah laki-laki ini dengan wajah pucat
pias.
"Ha!? dimana...! dimana?" teriak seorang laki-
laki yang membelitkan kain sarungnya di leher.
"Disana, dibawa ke  bawah bukit!" Tak ayal si
bocah laki-laki ini segera ditanyai. "Apa saja yang kau

lihat.?"
"Mereka kurang lebih ada lima belas orang! be-
berapa orang membawa buntalan dan menggotong pe-
ti. yang lainnya memanggul orang perempuan!"
"Berapa orang perempuan yang kau lihat.?"
tanya seorang laki-laki berkumis yang tubuhnya masih
belepotan lumpur.
"Ti... tiga! ya! aku cuma lihat tiga...! Salah sa-
tunya jelas sekali kakakku.. ! Kakakku... Sungkimah!
Oh. huuu...  huuu...  huuu...  tolonglah dia! huuu...
hhuuu..." Selesai bercerita bocah ini menggerung me-
nangis sambil berteriak-teriak agar cepat menolong
kakak perempuannya yang dilarikan perampok.
Seorang wanita tua berlari-lari menghampiri,
ketika mendengar salah seorang anak gadisnya diculik
perampok, wanita ini menjerit parau karena terkejut-
nya, lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kembali ga-
duhlah keadaan di dalam desa itu.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat keluar dari
desa itu. Ternyata dialah Roro Centil. Sejak tadi dia
mendengarkan penjelasan si bocah laki-laki itu dari si-
si sebuah pondok yang jendelanya telah jebol beranta-
kan.
Roro memang sudah menduga kalau kejadian
itu didalangi oleh oknum perampok yang melakukan
kejahatan disiang hari, di  saat kaum laki-laki keba-
nyakan bekerja di sawah atau mencangkul kebun.
Dalam beberapa kali melompat, terkejut Roro
Centil melihat beberapa sosok tubuh terkapar mandi
darah dalam keadaan tak bernyawa. Dapat diduga me-
reka adalah para pengejar yang telah jadi korban keke-
jian perampok itu.
Roro kertak gigi menahan geram. Tiba-tiba ter-
dengar suara lengkingan merdunya yang panjang, dan
tubuhnya berkelebat melesat ke arah  depan lalu le-

nyap terhalang pepohonan.
"Bedebah...! cepat sekali para perampok itu
menghilang!" Desis Roro karena tak menampak adanya
bayangan orang dihadapannya. Beberapa tempat di
sekitar situ segera diperiksanya, akan tetapi tetap tak
dijumpai kawanan perampok itu. Cuma beberapa
mayat yang tergeletak.
"Setan alas! perampokan ini pasti didalangi seo-
rang yang berilmu tinggi...!" gumam Roro, setelah me-
meriksa setiap mayat yang dijumpai mempunyai luka
sama. Yaitu lima buah lubang. di atas  batok kepala.
Dan satu luka yang menembus dada, yang dipastikan
bukanlah akibat serangan senjata tajam.
"Serangan keji! Mengapa digunakan untuk
membunuh penduduk yang jelas tak berkepandaian
apa-apa?" tercenung Roro Centil. Siapakah tokoh keji
itu? sentak Roro dalam hati. Tapi tak lama dia sudah
berkelebat untuk mencari jejak lenyapnya para peram-
pok itu.
Sementara beberapa penduduk yang memergo-
ki mayat-mayat para pengejar segera berkerumun den-
gan suara gaduh dan wajah-wajah pucat. Si laki-laki
bertelanjang dada yang berkumis tipis tadi ternyata te-
lah tewas. Paculnya tergeletak di  sisinya. Dua orang
pemuda bergolok juga mati dengan keadaan mengeri-
kan.
Tergetar tubuh beberapa lelaki penduduk sete-
lah melihat keadaan yang mengenaskan itu.

***

DUA

Kapal itu sudah meluncur mengikuti arus. Ber-

diri digeladak paling depan adalah sesosok tubuh ke-
kar berkepala gundul bagian tengahnya, sedangkan
rambut tipis yang hampir bisa dihitung dengan jari
tergerai sebatas bahu.
Laki-laki ini bertampang kaku, berkulit muka
kasar. Dan sebuah benjolan di pipinya ditumbuhi be-
berapa helai rambut. Sepasang matanya mirip mata
serigala. Tajam menatap dan bersinar, menampakkan
kekejaman. Dialah yang bergelar si Cakar Naga Setan.
Sudah beberapa bulan ini dia munculkan diri di seki-
tar sungai Mahakam. Nama aslinya adalah Kembayan.
Menjelang senja setelah melewati muara, pera-
hu sudah merapat ke sebuah tempat yang berair agak
dangkal pada sebuah kelokan tersembunyi. Anak-anak
buahnya dari kawanan perampok itu segera berlompa-
tan membawa barang-barang rampokan termasuk juga
tiga orang tawanan wanita.
"Cepat sedikit...! kumpulkan semua barang-
barang ke gudang!" berkata si Cakar Naga Setan. Dan
dia sendiri melompat mendahului ketiga anak buahnya
yang memondong ketiga wanita.
"Bawa ketiganya ke kamar tahanan sementara.
Ingat! Tak kuizinkan kalian mengganggunya seperti ke-
jadian yang lalu...!" ujarnya tegas.
"Baik, ketua...!" hampir berbareng ketiga  anak
buah itu menyahut. Di hadapan mereka segera terlihat
sebaris pagar bambu yang rapat, yang tingginya dua
kali setinggi tubuh manusia. Pada pintu gerbang itu
terdapat tiga orang penjaga, yang segera membukakan
pintu lebar-lebar.
"Selamat datang Ketua...! Wah, agaknya hasil
kali ini cukup memuaskan!" berkata salah seorang se-
raya menjura.
"Aha...! mari aku yang bawa masuk!" berkata
laki-laki pendek kekar yang segera mendekati sang

kawan, untuk ganti memondong tawanan wanita itu.
"Klampot!" memanggil sang Ketua melihat si
pendek kekar ini.
"Kau tak ikut bekerja! Padahal aku suruh kau
turut serta! hm, tak apalah...! tapi bagianmu adalah
yang terakhir!"
Laki-laki bernama Klampot ini cuma perli-
hatkan senyum pahit dan garuk-garuk kepalanya.
"Yah, tak apalah...! terakhir pun lumayan juga.
hehehe..." tertawa menyeringai laki-laki ini, lalu men-
gambil alih memondong tawanan wanita itu Sementara
sang ketua terus melangkah ke dalam.
Ternyata di dalam pagar bambu yang rapat itu
terdapat sebuah bangunan rumah dari kayu yang cu-
kup besar. Mempunyai dua wuwungan rumah. Dapat
dipastikan sebuah rumah agak kecil itulah tempat be-
ristirahatnya sang ketua mereka si Cakar Naga Setan,
karena laki-laki jangkung bermata serigala itu memang
menuju kesana.
Ketiga tawanan wanita segera dibawa masuk
kesatu ruangan yang berada di bagian belakang. Dua
buah kerangkeng berpagar jarang yang di belit dengan
tali-tali kuat sudah siap dibukakan pintunya untuk
menerima penghuni baru.
Setelah menjebloskan ketiga tawanan, pintu te-
rali segera ditutup kembali dan dikunci dengan kuat
dengan sebatang kayu  besar yang disilangkan meng-
ganjal pintu. Tampak si pendek kekar itu jelalatkan
matanya menjalari wajah dan potongan tubuh ketiga
tawanan wanita. Sepanjang matanya membinar dan li-
dahnya mengeluarkan air liur Akan tetapi seorang pen-
jaga berkata.
"Maaf, pintu ruangan mau ditutup, silahkan ke-
luar...!'
"Hahaha hehehe... baik! baik! huuu." wajahnya

menyeringai, tapi segera cemberut, seraya garuk-garuk
kepala mendongkol. Namun dia memang tak berhak
mengganggu lebih dulu Kecuali mau kena damprat
sang Ketua mereka Masih untung kalau cuma didam-
prat. kalau kena hajar tentu akan lebih susah lagi.
BRAK! Pintu ruangan tempat tawanan segera
ditutup.
Ketiga wanita itu tergolek dalam keadaan ping-
san. Ternyata mereka telah dibius dengan sapu tangan
yang ditekapkan ke hidung masing-masing. Selang tak
lama salah seorang telah siuman dari pingsannya.
Mengetahui dirinya berada dalam kerangkeng
bersama kedua gadis lainnya, wanita ini mulai menan-
gis. Tahulah dia bahwa kini dirinya telah dijadikan ta-
wanan para perampok. Dan tak di ketahuinya lagi di-
mana kini adanya. Akhirnya sang gadis ini terisak-isak
menangis, setelah berusaha membangunkan kedua
gadis yang dikenalnya satu kampung itu tak juga sa-
darkan diri.
Malam semakin melarut, Suasana di dalam pa-
gar mulai diterangi lampu-lampu gantung. Dua orang
laki-laki tampak memasuki ruangan tempat tawanan.
Dan memasang lampu disamping kerangkeng kayu
bertali kuat itu. Kiranya dua gadis itu sudah sadarkan
diri. Mereka saling berangkulan dengan menangis teri-
sak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku dari tempat ini,
perampok laknat!" teriak salah seorang gadis yang ber-
nama Sungkimah, dengan menatap tajam pada dua
orang yang mendekati kerangkeng.
"Hahaha... sudahlah! Hentikan tangismu!  kau
akan dipelihara disini baik-baik! Aku mana punya ke-
kuasaan membebaskan kalian..." berkata si penjaga.
Saat itu terdengar suara. Tinggalkan ruangan ini,
anak-anak!" Segera keduanya menoleh. ternyata sang

Ketua mereka telah masuk ke ruangan itu melalui pin-
tu tengah yang rupanya khusus tempat masuk si Ca-
kar Naga Setan.
"Ba... baik Ketua...!" sahut salah seorang dian-
tara mereka. Lalu bergegas kedua penjaga itu ke luar.
Laki-laki ini menatap pada ketiga gadis itu den-
gan senyum kaku. Sepasang mata mulai liar menjalari
sekujur tubuh gadis bernama Sungkimah yang ternya-
ta adalah gadis paling cantik diantara kedua gadis ka-
wannya.
"Hehehe... kau akan mendapat giliran pertama
malam ini melayaniku!" berkata Kembayan alias Si Ca-
kar Naga Setan.
"Nah, silahkan kau keluar...!"ujar laki-laki ke-
pala perampok itu. Sepasang lengannya telah bergerak
membuka pintu kerangkeng Akan tetapi justru gadis
itu berlari ke sudut ruangan dengan wajah pucat pias.
"Iblis...! aku tak sudi! bebaskan aku bebas kan
kami! rupanya kaulah si kepala perampok yang jahat
itu! Kalian memang manusia-manusia biadab! tidak...!
aku tak sudi! lebih baik mati dari pada melayani nafsu
bejatmu!" berteriak marah gadis itu. Rupanya diantara
ketiga gadis, gadis bernama Sungkimah itulah yang
paling berani buka suara.
Sementara yang dua lagi gemetar ketakutan
tanpa bisa keluarkan suara kecuali menangis terisak-
isak ketakutan.
"Hahaha... hebat! keberanianmu memang boleh
dibanggakan! justru aku menyenangi gadis yang berani
sepertimu! Baiklah! terpaksa aku yang akan menyeret
mu sendiri! berkata si Cakar Naga Setan dengan terta-
wa menyeringai. Dan... BRAK! dia telah masuk ke da-
lam kerangkeng, lalu menutupkan kembali pintunya.
Sekali tubuhnya bergerak melompat, dia sudah tiba di
hadapan gadis itu. Lengannya meluncur menyambar

pinggang si gadis.
Akan tetapi di  luar dugaan gadis itu mampu
mengelakkan diri. Tak heran, karena si Cakar Naga Se-
tan menganggap gadis itu tak berkepandaian apa-apa
hingga dia lakukan sambaran dengan gerakan biasa
saja. Tak disangka kalau sambarannya luput. Hal itu
membuat wajahnya berubah beringas.
"Heh! kau akan tahu kelak siapa aku! tak seo-
rangpun perempuan yang mampu lolos dari tanganku!
hehe..." tertawa sinis laki-laki ceriwis ini. Tiba-tiba...
Krep! BREET! BREEET...!
Sekali sambar pinggang gadis itu kena di ter-
kam. Dan detik selanjutnya pakaian si gadis telah di-
cabik-cabik dengan menggeram gusar.
Terperangah kedua gadis itu seketika melihat
sekejap saja pakaian si gadis kawannya itu hampir
tanggal seluruhnya robek berserpihan.
Sedangkan si gadis itu sendiri ternganga den-
gan wajah pucat pias.
Merontalah si gadis itu dengan berteriak-teriak
histeris. Akan tetapi mana mampu dia melepaskan pe-
lukan si Cakar Naga Setan yang sudah kalap? Lengan
si Cakar Naga cengkeram rambut gadis itu dengan
membentak.
"Berteriaklah setinggi langit! Atau kau akan ke-
hilangan rambutmu yang bagus ini berikut kulit kepa-
lamu.!"
Menghadapi perlakuan yang kejam ini terpaksa
si gadis menahan rasa sakitnya dengan menggigit bi-
birnya hingga berdarah.
Dan dengan tertawa menyeringai si Cakar Naga
Setan mengelus dada si gadis serta mempermainkan-
nya. "Hahaha... bagus! kukira kalau sejak tadi kau
menurut apa kataku, tentu tak kau alami hal seperti
ini!" berkata demikian Kembayan lepaskan cengkera-

man lengannya pada rambut si gadis. Dan sepasang
matanya membelalak dengan berbinar-binar menjalari
sekujur tubuh Sungkimah dari ujung kaki sampai
ujung rambut.
Gadis ini berdiri menyandar disudut kerang-
keng dengan pejamkan sepasang matanya. Isaknya di-
cobanya ditahan sekuat hati. Sementara air matanya
meleleh membasahi sepasang pipinya.
Kembayan tampaknya tak perdulikan semua-
nya itu. Bahkan dengan tertawa menyeringai segera
sepasang lengannya bergerak menelusuri setiap lekuk
tubuh gadis itu dengan napas mendengus-dengus ber-
desahan.
Menggigil kedua tubuh gadis itu melihat adegan
panas yang terjadi di depan mata.
"Setan keparat...! manusia iblis tengik! perbua-
tanmu sungguh amat menjijikkan...!!!" tiba-tiba ter-
dengar suara bentakan keras diiringi suara gaduh.
BRRRAKKK...!
Pintu ruangan itu jebol berantakan. Dan...
KRRAAKK!
Pintu kerangkeng kayu itupun menjeblak ter-
buka  hancur berkepingan. Sekejap kemudian di situ
telah tegak berdiri seorang dara jelita berpakaian persi-
latan, yang tak lain dari Roro Centil adanya.
Kalau saja pada saat itu ada hantu yang mun-
cul tidaklah membuat si Cakar Naga Setan terkejut.
Akan tetapi munculnya Roro Centil ternyata membuat
nyalinya seperti terbang seketika. Lengannya lepaskan
pelukannya pada pinggang si gadis, dan melompat ke
sudut dengan wajah pucat.
"Heh, kiranya kau manusianya yang menjadi
biang keladi kepala rampok? bagus! bagus...! kau me-
mang manusia penipu tak punya malu, kepala peram-
pok tengik!"

Selesai membentak, tubuh Roro berkelebat ce-
pat, tahu-tahu... BLUK! KRRAAKKK. Sukar dilihat ke-
cepatan Roro bergerak. Karena sekejap saja tubuh si
Cakar Naga Setan terlempar terkena hantaman lengan
Roro, yang langsung membuat kerangkeng kayu itu
patah-patah terkena benturan tubuhnya dengan me-
nimbulkan suara gaduh.
Serangan Roro Centil memang dapat dipapaki
oleh laki-laki kepala rampok ini, akan tetapi tak urang
toh tubuhnya terlempar juga karena tenaga dalam Ro-
ro berada di atas kekuatan tenaga dalamnya.

***

TIGA

AKAN TETAPI tak urung Roro Centil terhuyung
juga ke belakang dua tindak. Lengannya terasa kese-
mutan. Tahulah dia kalau orang ini telah mengalami
kemajuan pesat. Ternyata Roro memang pernah ber-
temu dan bertarung dengan laki-laki bernama Kem-
bayan ini. Bahkan telah pula mengampuni jiwanya.
Sungguh sama sekali Roro tak menyangka kalau bisa
bertemu untuk yang kedua kalinya. Dan ternyata
orang yang telah pernah menyembah-nyembah men-
cium ujung kakinya ini masih juga melakukan kejaha-
tan.
Kejadian enam bulan yang lalu adalah, ketika
Roro berada di Pulau Laut. (wilayah Kalimantan Sela-
tan).
Menurutkan suara gaib dari gurunya ketika Ro-
ro berada di ujung bagian timur Pulau Jawa, Roro diti-
tahkan menuju ke arah utara.
Roro harus mencari satu benda mustika dis-

eberang Laut di satu pulau yaitu di wilayah utara dari
Pulau Jawa. Suara gaib itu lenyap tanpa terdengar lagi
ketika Roro tiba di Pulau Laut. Roro sendiri tak menge-
tahui benda mustika apakah yang dibisikkan suara
gaib  gurunya itu. Akan tetapi tekad bulat Roro telah
tertanam kuat untuk mendapatkan benda mustika itu.
Demikianlah di Pulau Laut Roro Centil terpaksa
harus menahan dulu langkahnya untuk bersemedhi
mencari ilham atau petunjuk nalurinya.
Sebulan sudah Roro berdiam disana dengan di-
temani si Tutul yang selalu setia mengikutinya dan
membawa kemana saja menuruti keinginan hatinya.
Agaknya Roro memang sudah berjodoh untuk memiliki
siluman harimau Tutul sebagai tunggangannya itu,
hingga memudahkan Roro dalam petualangannya.
Selama itu Roro tak lupa untuk memperdalam
ilmu-ilmunya. Bahkan di luar sadar Roro telah mema-
dukan beberapa jurus ilmu warisan dari gurunya si
Manusia Banci dengan ilmu ciptaannya sendiri.
Sayang jurus aneh itu dilakukan dalam keadaan tidak
sadar. Karena Roro melakukannya dalam keadaan sa-
madhi, dan dalam keadaan separuh tidur.
Kejadiannya adalah demikian...
Hari ketiga puluh di saat Roro lakukan semadi
dalam sebuah lorong yang dibuatnya sendiri dengan
tumpukan batu-batu karang. Tanpa diketahui Roro di
ujung pulau telah mendarat sebuah perahu pada ma-
lam yang diterangi cahaya bulan sabit.
Dua sosok tubuh melompat turun. Ternyata
dua orang laki-laki. Seorang bertubuh pendek kekar
dan seorang lagi agak jangkung berkulit hitam. Ternya-
ta dialah si Cakar Naga Setan dan seorang anak buah-
nya. Kedua orang itu berbisik-bisik pelahan. Suaranya
hanya bisa terdengar oleh mereka berdua.
"Sssst, dimana kau melihat wanita cantik itu

berada?" tanya Kembayan. Klampot tertawa menyerin-
gai.
"Hehehe... sabarlah! Masakan aku berdusta Ke-
tua? Asalkan ada perjanjian dulu untuk yang ini ada-
lah bagianku terlebih dulu, karena aku yang memberi
tahu...!" Mendelik sepasang mata si Cakar Naga Setan.
"Kunyuk!" desisnya. "Kau seorang anak buah
berani bikin usul dengan segala perjanjian tai kucing!
benar-benar kau tak menghargai ku...!"
Klampot kerutkan tubuhnya. Ngeri juga dia ka-
lau sang Ketua jadi marah. Akan tetapi laki-laki pen-
dek kekar ini memang pandai mengambil hati ketua-
nya. Segera dia berkata lagi.
"Bukan begitu,  Ketua...! selama aku mengikut
padamu, ku nilai kau adalah seorang ketua yang baik,
yang menghargai ku jerih payah anak buahnya.
Bukankah cita-cita Ketua adalah menjadi seo-
rang raja yang punya banyak kekuasaan. Betapa ba-
nyak para Raja-raja yang jatuh dari singgasana karena
tak menghargai bawahannya, hingga si bawahan ju-
stru membenci sikap Raja semacam itu! Hingga tak ja-
rang terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
mengancam kedudukan Raja dan kekuasaannya. Ak-
hirnya... berakhir dengan kejatuhan kekuasaan sang
Raja! Nah, aku sebagai bawahanmu cuma memberi
contoh saja. Kalau untuk masalah ini selanjutnya ada-
lah terserah Ketua..." Ujar Klampot berbisik.
Merah padam wajah si Cakar Naga Setan. Gi-
ginya gemeletuk menahan geram. Akan tetapi dia cuma
bisa manggut-manggut. Kemendongkolan pada anak
buahnya mendadak luntur.
"Hm, benar juga pendapatmu, Klampot! baik-
lah, untuk hal ini aku mengalah...!" ujar Kembayan.
Agaknya termakan juga dia oleh kata-kata Klampot
yang dinilainya benar.

Klampot tersenyum penuh kemenangan.  Ha-
tinya membatin. "Hehehe... jarang ada Ketua yang se-
macam ini...!"
Tak lama mereka dengan berindap-indap segera
merayap mendekati ke tengah pulau.
Benar saja setelah melewati bukit-bukit kecil,
segera terlihat susunan batu-batu karang di ujung
agak sebelah dalam pulau, tempat yang dihuni Roro
Centil. Tampaknya Roro memang tak mengetahui ke-
datangan mereka, karena sudah beberapa malam ber-
turut-turut dia kurang tidur. Dalam duduk bersemadhi
itu ternyata Roro setengah tertidur. Tapi nalurinya
memang teramat peka.
Bahkan dalam keadaan mimpi, Roro tengah be-
rusaha memadukan jurus-jurus baru ciptaannya den-
gan jurus-jurus yang diwariskan gurunya si Manusia
Banci.
Sementara itu dua sosok tubuh memperhatikan
Roro dengan pandangan aneh, karena melihat sikap
orang yang bersemadhi itu gerak-gerakkan sepasang
lengannya dengan mata terpejam Si Cakar Naga Setan
waspada khawatir kedatangannya telah diketahui, tapi
nyatanya tidak Sepasang lengan itu kembali terhenti.
Dan laki-laki itu memberi isyarat untuk menyergap.
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian...? Tahu-tahu
Roro mengigau. Sepasang lengannya bergerak memu-
tar, lalu menyodok ke  depan dengan gerakan seperti
orang menggeliat, seraya sepasang lengannya mengge-
brak ke atas batu yang diduduki.
Hebat akibatnya. Ternyata kedua orang itu ta-
hu-tahu rasakan tubuhnya seperti disentakkan satu
gelombang tenaga tak terlihat. Dan terpental ke  atas
tanpa dapat dicegah lagi...
Terdengar suara teriakan tertahan si Cakar Na-
ga Setan dan anak buahnya. Akan tetapi yang mem-

buat aneh, adalah kedua tubuh itu tak turun lagi ke
bawah. Tetap tergantung di udara bagai di sangga dua
batang galah yang tak kelihatan.
Membeliak kedua pasang mata laki-laki ceriwis
pengganggu wanita itu. Sukar untuk dipercaya, ilmu
apakah yang digunakan Roro...? Sementara keduanya
berusaha gerakkan kaki dan tangan. Tapi serasa tena-
ganya hilang musnah. Bahkan untuk bernafas pun su-
lit rasanya. Mengeluh si Cakar Naga Setan. Keringat
dingin pun bercucuran di sekujur tubuh. Dan megap-
megap nafasnya bagai orang yang kelelap di dalam air.
Sementara Roro Centil justru tak mengetahui sama se-
kali. Dara Pantai Selatan ini tampak tersenyum, lalu
tertawa seperti mengigau. Dan... memanglah dia ten-
gah mengigau.
"Hihihi... jurus ini kunamakan jurus Kosong-
kan Perut Menahan Lapar, guru..! hebat bukan?"
Ternyata Roro mengigau. Dan dalam mimpinya
dia berbicara dengan gurunya si Manusia Banci. Tentu
saja membuat si Cakar Naga Setan terperangah, dan
takutnya bukan main. Wanita cantik yang masih begi-
ni muda sudah punya ilmu setinggi langit, apa lagi gu-
runya...? pikirnya. Sementara dilihatnya Klampot anak
buahnya itu sudah benar-benar kehabisan napas, dan
terkulai tak sadarkan diri. Beberapa saat lagi maut
akan segera menjemputnya. Kembayan alias si Cakar
Naga Setan ini masih mampu bertahan, akan tetapi be-
lum lagi sepenanak nasi wajahnya sudah berubah pu-
cat bagai mayat. Tak ada lagi udara yang akan dihi-
rupnya. Memang membuat dia heran setengah mati,
karena tak adanya udara sama sekali disekelilingnya.
Angin semilir yang berhembus dari arah laut seolah
terbendung tak bisa lewat di tempat itu.
Berteriaklah si Cakar Naga Setan demi meno-
long jiwanya.

"No...nona pendekar perkasa...! ampunilah
aku...! ampunilah jiwaku...! Tut... tut...tur... turunkan-
lah aaakk...akkuu... hhhhh."
Roro Centil tiba-tiba terbangun  dari tidurnya,
seraya mengucak-ucak kedua matanya. Telinganya se-
perti mendengar orang mengeluh, dan meratap memo-
hon ampun. "Mimpikah aku?" pikir Roro. Akan tetapi
pada saat itu...
BLUK! BLUK!
Dua sosok tubuh jatuh di kiri-kanannya bagai-
kan suara jatuhnya dua buah nangka masak. Roro
terkejut dan melompat kaget, seraya berteriak.
"Aaaaiiii...!?". Sekejap kakinya telah melompat
dan hinggap di atas batu karang.
Dilihatnya dua sosok tubuh manusia bagaikan
terjatuh dari langit saja nampaknya. Tergolek di dalam
lorong batu buatannya. Masih untung bagian dasarnya
adalah pasir, kalau batu karang yang keras itu, nis-
caya kalau tidak patah tulang. tentu patah leher kedua
manusia itu.
Kalau Klampot si anak buah laki-laki botak di
tengah, berambut tipis itu jatuh dalam keadaan masih
tak sadarkan diri, adalah si Cakar Naga Setan menga-
duh kesakitan. Akan tetapi dia dapat kembali berna-
pas...
Dengan heran Roro Centil melompat kembali ke
hadapan kedua orang itu, seraya bentaknya.
"Manusia-manusia edan dari mana kalian be-
rani mengganggu semadhiku?" Pucat pias wajah si Ca-
kar Naga Setan. Akan tetapi tak ayal dia segera me-
nyembah dengan tubuh bergetaran dan suara yang
tersendat menggeletar bagai orang terkena demam pa-
nas.
"Aa... am... ampunilah nyawa hamba nona Pe...
Pendekar..." Ucapnya dengan jantung

berdetak keras. Entah apa kelanjutannya, apa-
kah nyawanya masih bisa dipertahankan menghadapi
gadis muda berilmu tinggi yang galak ini?
"Hamba tak berani lagi mengganggu wanita....!
hamba bersumpah, nona Pendekar...! sungguh mataku
buta tak mengetahui dalamnya lautan, tingginya lan-
git!" Tentu saja kata-kata itu membuat Roro tertegun.
Tahulah dia kalau kedua manusia itu memang ber-
maksud jahat nadanya selagi dia ketiduran dalam se-
madhi.
"Aneh, orang ini! tak ku apa-apakan tahu-tahu
minta  ampun. Lalu cara bagaimana dia bisa berjatu-
han kemari? padahal aku tak mengetahui kedatangan-
nya..."
Berkata Roro dalam hati. Akan tetapi setelah
berpikir sejenak, segera dia tersenyum. "He? ku lihat,
dan ku rasakan menurut naluri ku di sekitar sini tak
ada orang lain. Berarti apakah dia telah kena serangan
jurus aneh dalam mimpi ku?" Roro tak dapat berpikir
banyak. Orang sudah minta ampun, mengapa harus
tanya ini-itu? pikirnya. "Kesempatan ini jarang ada!
dan satu kejadian aneh telah menolongku! bagus! aku
harus berpura-pura seolah memang telah mempecun-
dangi manusia ini!"
Berpikir demikian, segera Roro umbar suara
tertawa mengikik.
"Hihi... hihi... kau telah berani mengganggu
orang semadhi, tentu ada hukuman yang berat! apa
lagi kalian berniat jahat!" Ujar Roro dengan suara din-
gin.
Menggeletar sekujur tubuh si Cakar Naga Se-
tan. Seraya ucapnya terbata-bata.
"Ampunilah... selembar nya... nyawa hamba ini,
nona Pendekar..." Melihat tubuh orang menggigil geme-
taran dan nafasnya pun masih megap-megap tampak-

nya Roro merasa kasihan juga.
"Urusan mengampuni sih gampang! sebutkan
dulu siapa kau? Dan siapa pula monyet pendek yang
pingsan itu! Lalu ceritakan apa tujuan kalian ke tem-
pat ini!" bentak Roro.
"Namaku Kembayan...!" menerangkan si Cakar
Naga Setan dengan lesu. Nyalinya sudah lenyap ter-
hembus angin. Karena sekujur tubuhnya boleh dikata-
kan seperti tak bertenaga lagi.
"Dia ini adalah sahabatku... bernama Klampot.
Kami tak sengaja sampai kemari. Tadinya kami berniat
memancing ikan di malam hari. Tapi kami lupa mem-
bawa kail. Ketika mendarat telah melihat nona disini.!
Kami mengakui bersalah, nona Pendekar! janganlah
hukum kami... kasihan anak istri kami menunggu di-
rumah. Siapa yang memberi makan kalau hamba ma-
ti...?" Tutur Kembayan. Tentu saja separuh kata-
katanya adalah dusta. Akan tetapi tampaknya Roro tak
mau panjang lebar menanyakan segala macam.
"Baiklah! Ku ampuni nyawamu! segeralah ang-
kat kaki dari sini sebelum aku merobah keputusan!"
bentak Roro.
"Te... terima kasih! terima kasih... nona Pende-
kar...!" ucap Kembayan seraya menyembah-nyembah
hormat. Hatinya bersorak girang. Akan tetapi tiba-tiba
dia berkata.
"Nona Pendekar telah mengampuni nyawaku,
apakah guru nona bisa biarkan aku pergi dengan se-
lamat?" tanyanya.
Lagi-lagi Roro dibuat memikir. Untunglah Roro
teringat akan suara mengigaunya, dan terpikir tentang
mimpi anehnya dalam semadhi. Segera dia menyahut
lantang.
"Guruku sudah pergi sejak tadi. Silahkan kau
merat! dan bawa kawanmu ini...!"

"Baik, baik...! Terima kasih, nona Pendekar."
Ucap si Cakar Naga Setan. Lalu terhuyung-huyung
mendekati Klampot.
Ternyata Klampot pun sudah tersadar dari
pingsannya. Dan sejak tadi mendengarkan pembica-
raan dengan hati kebat-kebit. Ketika tubuhnya di-
goyang-goyang, dia pura-pura baru saja membuka ma-
tanya Lalu buru-buru menyembah pada Roro dengan
gemetar.
Roro tak pedulikan kedua orang itu, segera
kembali duduk bersila untuk teruskan semadhi. Se-
mentara benaknya bekerja, kejadian apakah tadi hing-
ga kedua orang ini bisa digagalkan niat jahatnya?
Tak menunggu perintah sampai tiga kali, segera
kedua manusia itu tertatih-tatih mendekati perahu
yang ditambatkan di sebelah ujung pulau. Dan selan-
jutnya tinggalkan pulau itu dengan hati lega...
Demikianlah kisah yang dialami Roro. Tentu sa-
ja dia mengenali wajah si laki-laki bernama Kembayan
itu.
Ternyata Roro telah mencari jejak para peram-
pok dengan penasaran. Dan berhasil mengetahui se-
buah perahu besar di tempat persembunyian, yang ba-
ru saja ditambatkan.
Dengan melompati pagar bambu, Roro segera
tiba di  dalam markas para perampok di  malam hari
itu...

***

EMPAT

KEMUNCULAN RORO CEJSTIL itu tentu saja
membuat si Cakar Naga Setan terkejut setengah mati.

Tiga bulan sudah sejak kejadian itu, tak pernah lagi
dia mendengar dimana kabarnya wanita muda yang
aneh dan berilmu tinggi itu berada. Hingga diam-diam
si Cakar Naga Setan segera membentuk lagi anggota
komplotan perampoknya.
Dan selama dua bulan itulah si Cakar Naga Se-
tan mulai beraksi dengan segala kejahatannya.
"Bangunlah, Kembayan! kukira kedokmu kini
sudah terbuka! Kali ini tak mungkin kau bisa berdusta
untuk yang kedua kalinya!" bentak Roro dengan suara
dingin mencekam.
Mengeluh si Cakar Naga Setan. "Celaka! hari ini
habislah aku!" berkata dia dalam hati. Tiba-tiba tu-
buhnya bergerak melompat menyambar si gadis ber-
nama Sungkimah itu. Dibawanya tubuh gadis itu ber-
gulingan. Terpekik gadis itu. Sementara itu api obor te-
lah membakar ruangan. Roro terkejut juga karena tak
menyangka kalau si Cakar Naga Setan akan berbuat
licik demikian, menjadikan si gadis tawanannya seba-
gai sandera.
Melihat api berkobar dan kedua gadis tawanan
itu berteriak ketakutan, Roro segera kibaskan lengan-
nya memadamkan api.
Namun saat itu si Cakar Naga Setan telah me-
lesat masuk ke dalam ruangan melalui pintu khusus.
Brak! sekejap pintu itu sudah tertutup kembali. Len-
gan Roro bergerak menghantam dinding rumah papan
itu hingga jebol berantakan. "Jangan lari pengecut bu-
suk!" teriak Roro. Namun bayangan si Cakar Naga Se-
tan sudah tak kelihatan lagi.
Betapa geramnya Roro Centil. Terdengar suara
lengkingan nyaring wanita pantai selatan itu. Tiba-tiba
tubuhnya melesat mendobrak genting wuwungan.
KRRRAAAK...!
Sesaat Roro sudah berdiri di  atas wuwungan

rumah. Benar saja! Kembayan berada di atas, dan ba-
ru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang men-
ganga di atas wuwungan. Sepasang mata Roro ternyata
telah melihat dengan jeli sekali, walau sinar bulan tak
cukup menerangi dengan jelas. Kakinya bergerak men-
congkel pecahan genting. Dan.... TAS!
Roro telah menendangnya dengan ujung terom-
pah. Pecahan genting itu memecah menjadi beberapa
bagian, dan meluruk ke arah kepala si Cakar Naga Se-
tan. Terbelalak mata laki-laki itu. Trak! tak! tak!
Untung dia cepat menyeplos kembali ke dalam
lubang, tertambat sedikit saja pecahan genting itu
akan menembus batok kepalanya.
Namun Roro sudah mengetahui dimana si Ca-
kar Naga Setan bersembunyi. Segera Roro berteriak.
"Hei! lutung gundul! Aku tak perdulikan gadis
itu mampus atau tidak! Kalau kau tak keluar akan
kuhancurkan rumah ini berikut semua yang ada di da-
lamnya! kecuali kau mau kuajak berdamai! Segera kau
turunlah! Seraya berkata, Roro Centil melompat ke
bawah. Dan hinggap ditanah dengan gerakan ringan.
Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh ta-
nah, telah membersit belasan senjata rahasia meluruk
ke arahnya.
"Keparat! keroco-keroco sialan! Kalian mencari
mati!" bentak Roro. Gadis pantai selatan ini
putarkan tubuhnya. Rambutnya yang terurai
bergerak mengibas. Tak menunggu lama lagi empat so-
sok tubuh terjungkal roboh, termakan senjata-senjata
rahasia yang dilontarkan mereka sendiri. yang telah
berbalik meminta korban majikannya.
Lima orang perampok anak buah si Cakar Naga
Setan tampak ke sisi dinding rumah. Roro perdengar-
kan dengusan di  hidung. Tubuhnya tiba-tiba melesat
lenyap. Dan... sukar diikuti oleh mata, karena tak lama

kemudian kelima sosok tubuh itu terlempar ke udara
dengan jeritan-jeritan kematian. Dan tubuh-tubuh itu
jatuh bergedebukan ke tanah untuk melepaskan nya-
wa.
Seketika keringat dingin si Cakar Naga Setan
mencucur deras membanjir di  sekujur tubuh tiada
henti, di tempat persembunyiannya.
Laksana berhadapan dengan Malaikat Maut sa-
ja layaknya. Bergetar sekujur tubuh laki-laki itu den-
gan mata membeliak menyaksikan anak buah nya ba-
gaikan  daun-daun  kering diterbangkan angin berge-
limpangan tewas.
"Tungguuu...!" teriaknya seraya melompat ke-
luar.
"Bagus!" berkata Roro seraya sudah palingkan
wajahnya menatap si Cakar Naga Setan. Bibir wanita
ini menampakkan senyum yang mengerikan dalam ta-
tapan matanya.
"Kau mau kuajak berdamai?" tanya Roro  den-
gan bertolak pinggang.
"Yy... ya...! aku bersedia menyerahkan  semua
harta yang ku rampok! Dan kita... kita berdamai." ujar
si Cakar Naga Setan.
"Bagus!" segera kumpulkan barang-barang! pe-
rintahkan sisa-sisa anak buahmu mengumpulkannya
di  halaman. Dan kau tak kuperkenankan melangkah
sedikitpun dari tempatmu!" berkata Roro dengan suara
berpengaruh.
"Ba... baik! tapi dengan syarat! Aku dan sisa
anak buahku kau perkenankan meninggalkan tempat
ini!"
"He...? nanti dulu! aku tak butuh segala macam
syarat! Kau telah membunuh beberapa orang desa
dengan keji! Mereka tak bersalah! Kalian telah pula
membakar rumah dan merampok harta.

Selain itu pula kau telah mempermainkan
kaum ku! Entah berapa banyak perempuan yang telah
kau perlakukan dengan seenak perutmu! Rupanya tak
ada jalan lain selain kau serahkan dirimu! Aku akan
membawamu kepada yang berhak menentukan huku-
man apa yang terbaik buat kalian terutama kau, Cakar
Naga Setan! Atau kau mau tunjukkan kehebatan Ca-
kar Naga kentutmu itu di hadapan ku?"
Merah padam seketika wajah laki-laki ini.
Menghadapi Roro ternyata   tidaklah mudah.
Apalagi dia pernah mengibuli si nona Pendekar
ini. Untuk melepaskan diri kedua kalinya cukup sulit
rasanya. Hal mana membuat dia jadi nekat.
Tiba-tiba dengan menggerung keras laki-laki
kepala perampok ini menerjang lenyaplah sudah rasa
takutnya. Lupalah dia akan kejadian yang telah mem-
buat dia mengapung di  udara pada beberapa bulan
yang lalu. Sepasang cakarnya menyambar bagaikan
puluhan cakar maut yang bersiutan mengancam jiwa
sang gadis Pendekar ini.
Akan tetapi Roro Centil cukup dengan pakai ju-
rus Bidadari Mabuk Kepayang, loloslah dia dan bebe-
rapa serangan berbahaya.
Hal mana membuat si Cakar Naga Setan sema-
kin menjadi-jadi kemarahannya.
Tiba-tiba dia merobah gerakan silatnya. Tu-
buhnya berkelebatan bagai bayangan. Inilah jurus Se-
ribu Bayangan! jurus yang menjadi andalannya Se-
mentara dalam berkelebatan itu sesekali cakarnya me-
nyambar batok kepala lawan. Terkejut juga Roro Centil
menghadapi jurus ini. Karena dia harus konsentrasi-
kan indranya untuk mengetahui mana tubuh lawan
yang asli
Dua puluh jurus berlalu. Ternyata Roro masih
dapat mengimbangi dengan kegesitannya, bahkan sen-

gaja mengulur waktu agar si Cakar Naga Setan kehabi-
san napas, karena kecapaian.
Dan pada saat yang tepat, Roro lakukan seran-
gan telak menotok tiga jalan darah lawan. Robohlah si
Cakar Naga Setan dengan memekik tertahan. Melihat
ketuanya dapat dipecundangi, segera sisa-sisa kawa-
nan perampok itu munculkan diri untuk menyerah.
Wajah-wajah mereka tampak pucat dalam ca-
haya bulan yang telah bersitkan cahaya terangnya.
Masing-masing berjongkok dengan memegangi kepala
dengan suara menghiba minta diampunkan jiwanya.
"Semua yang berada di  dalam segera keluar!
kalau berani melarikan diri, jangan salahkan aku ka-
lau aku bertindak kejam!" teriak Roro dengan suara
lantang. Akan tetapi memang tak ada sisa lagi dari de-
lapan perampok anak buah si Cakar Naga Setan. Ke-
cuali seorang yang membandel melarikan diri ke dalam
gelap. Dialah Klampot! laki-laki kekar ini memilih me-
larikan diri menuju keluar pagar melalui belakang ru-
mah, dengan memondong seorang gadis tawanan. Yai-
tu Sungkimah. Akan tetapi pendengaran Roro kali ini
sudah digunakan dengan tajam, mendengar dari jarak
jauh Dan Roro segera mengetahui jejak langkahnya Ti-
ba-tiba tubuh si Pendekar Wanita ini berkelebat....
Kedelapan perampok terbelalak ternganga. Dan
beberapa kejap kemudian telah terdengar jeritan parau
laki-laki bernama Klampot itu.
Kepala mereka semua menengadah ke  atas.
Ternyata sesosok tubuh terlempar melambung ke uda-
ra dengan keluarkan teriakan parau.
Dan jatuh berdebuk tak jauh dari hadapan me-
reka. Bergidik ngeri kedelapan perampok ini melihat
Klampot tak berkutik lagi dalam keadaan tulang-tulang
remuk.
Terdengar suara tertawa mengikik Roro Centil

yang membangunkan bulu roma. Dan... tahu-tahu
bersyiur segelombang angin menerpa tubuh kedelapan
anak buah si Cakar Naga Setan. Terdengar suara-
suara keluhannya diiringi bergedebukan jatuh kedela-
pan orang itu. Roro muncul kembali dengan memang-
gul tubuh si gadis bernama Sungkimah itu dipundak-
nya.
"Hihihi... hari sudah malam, kalian beristira-
hatlah disini dulu. Besok kalian harus bekerja men-
gantar barang rampokan itu ke desa korban kalian,
dan mengembalikan ketiga gadis tawanan yang kalian
culik!" ujar Roro. Kedelapan orang itu cuma manggut-
manggut dan menyahut dengan suara mengeluh.
"Baik...! ba... baik...!" Akan tetapi disamping
mengeluh, hati mereka bergirang karena Roro tak
membunuhnya. Segelombang angin yang menerpa cu-
ma membuat urat-urat tubuh mereka menjadi kaku
tanpa bisa dapat digerakkan lagi.
Tahulah mereka kalau si wanita Pendekar telah
lancarkan jurus menotok jarak jauh yang amat hebat.
Setelah perdengarkan tertawa dingin dan an-
camannya yang membuat tubuh kedelapan orang itu
bergidik, segera beranjak melangkah menuju rumah
tinggal para perampok itu. Ketika melewati tubuh si
Cakar Naga Setan Roro mendenguskan suara di  hi-
dung. Tiga totokannya telah melumpuhkan "Naga" ini
untuk tak dapat berkutik lagi. Akan tetapi terperanjat
Roro ketika melihat dara mengalir dari mulut Kem-
bayan. Diantara darah yang bersimbah itu tampak se-
potong lidah yang telah putus. Biji mata laki-laki ini
membeliak tak berkedip lagi, yang nampak hanya pu-
tihnya saja. Ketika Roro memperlihatkan dengan jelas
ternyata si Cakar Naga Setan ini telah tewas. Dia bu-
nuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri...!
"Manusia bodoh! rupanya kau mengambil jalan

"terbaik" menurut pendapatmu...!" Tubuh Roro berke-
lebat untuk segera memasuki rumah besar itu. Dan
pada keesokan harinya perahu besar milik perampok
itu sudah mengarungi sungai Mahakam untuk  men-
gembalikan harta rampokan, serta mengembalikan ke-
tiga gadis tawanan itu. Tentu saja perjalanan itu di
bawah pengawalan Roro Centil. Dara Perkasa ini berdi-
ri di  depan geladak, berpegang pada tali tiang layar
dengan  gagahnya. Sementara kedelapan orang bekas
anak buah si Cakar Naga Setan itu membantu men-
dayung dan memegang kemudi.
Sebenarnya hati kedelapan orang itu agak ke-
bat-kebit karena khawatir akan balasan dari penduduk
untuk memberi hukuman pada mereka. Akan tetapi
Roro telah menjamin keselamatannya. Dan memang
sebenarnya mereka tak mempunyai kesalahan yang
terlalu berat.
Perahu besar itu terus meluncur ke arah suara.
Sungai Mahakam yang bersih jernih itu tiba-tiba ber-
golak menyibak... Dan puluhan ekor buaya putih ber-
munculan dipermukaan air. Tentu saja membuat kede-
lapan orang pendayung perahu terperangah kaget.
"Celaka..! kita tak dapat teruskan perjalanan!
Entah ada kesalahan apa pada kami, hingga tak seper-
ti biasanya "mereka" mengganggu...!" Berkata salah
seorang pada Roro dengan wajah pucat. Roro Centil
kerutkan keningnya memandang ke  depan, dimana
puluhan ekor buaya putih itu seperti sengaja mengha-
dang.
"Gulungkan layar! kita menepi!" perintah Roro.
Perintah segera dilaksanakan. Sementara ketiga wanita
tawanan yang akan dipulangkan itu juga memandang
dengan wajah pucat. Akan tetapi tiba-tiba perahu be-
sar itu bergerak memutar, seperti terbawa pusaran air
dari bawah permukaan.

Lalu perahu itupun oleng ke kiri dan ke kanan.
Tentu saja  teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari
mulut ketiga gadis. Begitu kerasnya oleng perahu
hingga seorang dari kedelapan pendayung itu terjung-
kal masuk sungai.
"Tolooong...! haep..." teriaknya, seraya berusaha
berenang ke perahu. Akan tetapi sekejap tubuhnya te-
lah lenyap. Terperanjat Roro. Baru sekali ini mengala-
mi kejadian aneh semacam itu.
Putaran perahu itu semakin cepat, dan sema-
kin oleng badan perahu. Dua orang anak buah si Ca-
kar Naga Setan kembali perdengarkan teriakannya,
Tubuh mereka terjungkal ke sungai. Lalu lenyap dite-
lan ombak. Apakah yang diperbuat Roro? Saat itu juga
dia sudah sambar tubuh dua orang gadis untuk me-
lompat ke darat. Baru saja Roro jejakkan kakinya ke
tanah. Terdengar suara jeritan saling susul, ketika se-
kejap perahu besar itu telah terbalik. Lalu tenggelam
bagaikan disedot masuk ke dalam air yang bergulung-
gulung. Teriakan-teriakan manusia yang masih berada
di dalam perahu besar itu sekejap saja lenyap, bersa-
ma lenyapnya perahu besar itu.
Terbelalak sepasang mata Roro memandang-
nya. Diam-diam bergidik juga tengkuk Roro. "Kasihan,
aku tak dapat menyelamatkan gadis yang satu lagi!"
berkata Roro dalam hati.
Anehnya puluhan buaya putih yang tadi terli-
hat bermunculan di atas permukaan air sungai telah
lenyap.
Air sungai kembali mengalir tenang, mening-
galkan gelembung-gelembung air di bekas tenggelam-
nya perahu.
"Kejadian aneh ini harus diselidiki...! Akan te-
tapi aku harus mengantar kedua gadis ini dulu ke de-
sanya...!" pikir Roro dalam benaknya. Lalu tatap kedua

gadis itu, yang diantaranya terdapat Sungkimah. Tam-
pak wajah-wajah pucat mereka. Sesaat Roro menatap
ke atas  tebing dengan tengadahkan kepala. Tiba-tiba
lengannya bergerak meraih kedua pinggang si dua ga-
dis itu. Dan...
Sstt... tap! Roro Centil telah membawanya me-
lesat ke atas tebing dan hinggapkan kaki dipuncak ba-
tu dengan ringan.
Kedua gadis itu menahan napas dan menutup
matanya dengan perasaan ngeri. Selanjutnya mereka
cuma merasakan tubuhnya meluncur cepat sekali. Ke-
tika kedua gadis itu membuka matanya, ternyata telah
berada di tengah desanya. Tentu saja kemunculan ke-
dua gadis itu bersama seorang wanita muda yang ten-
gah menjadi topik pembicaraan di  setiap sudut desa
itu membuat penduduk jadi terkejut. Akan tetapi juga
bergirang, karena melihat kembalinya kedua gadis itu
bersama si wanita Pendekar.
Seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10
tahun segera mengenali kakaknya. Dan... berlarilah
dia memburu ke arahnya.
"Kakak...! kakaaak...!" teriaknya penuh haru.
Gadis yang dipanggilnya itu ternyata mengenali adik-
nya. Dan diapun berlari untuk memburu sang adik.
Selanjutnya keduanya telah berpelukan dengan me-
nangis terharu. Sementara gadis yang satunya segera
mendekati pada Roro, seraya berkata.
"Kakak Pendekar...! terima kasih atas bantuan
dan pertolongan kakak...! Entah dengan apa kami
membalas budi anda...!" ucapnya dengan air mata ber-
linang.
"Roro manggut-manggut dengan tersenyum.
"Sudahlah...! pergilah kau temui sanak famili mu! dan
ceritakan, bahwa aku tak dapat menyelamatkan seo-
rang dari kawanmu yang terculik, karena kejadian

aneh di muara sungai itu...!"
Selesai berkata, tubuh Roro berkelebat. dan le-
nyap dari pandangan mata penduduk.
Sungkimah lepaskan pelukannya pada sang
adik. Akan tetapi ketika menoleh ke arah Roro, kecewa
dan tertegunlah dia, karena tak menampak si Pende-
kar Wanita yang telah menolongnya itu.
"Dia telah pergi, Sungkimah...!" ucap gadis itu.
"Ah, betapa cepatnya...! betapa hebatnya...!
sayang aku belum sempat ucapkan terima kasih untuk
yang kedua kalinya...!" ucap Sungkimah dengan hati
masygul. Sementara itu seorang wanita tua telah ber-
lari-lari ke arahnya.
"Anakku... aaa...aanakku...! kau... kau sela-
mat...? Oh, Tuhan... syukurlah! syukurlah. ." berkata
si wanita tua seraya kemudian memeluk sang gadis
anaknya itu dengan hati girang dan terharu.
Tak dikisahkan betapa gembiranya dua orang
gadis itu. Gadis yang satu lagi pun telah berpelukan
dengan ayah dan ibunya. Dan seluruh penduduk sege-
ra berdatangan untuk menanyakan perihal pertolon-
gan si Pendekar Wanita aneh dan sakti itu. Sementara
Kepala Desa cuma bisa tersenyum haru, mengetahui
anak gadisnya tak dapat diselamatkan.
Tapi dia mengetahui kejadian itu adalah karena
musibah lain. Karena dari penuturan kedua gadis, si
Kepala Perampok itu telah tewas.
Tapi penuturan kedua gadis tentang kejadian di
muara sungai Mahakam telah membuat mereka terpe-
rangah dengan mata terbelalak.
Sementara diam-diam seorang laki-laki tua
berdesis pelahan dengan wajah berubah pucat. "Cela-
ka...! pasti perbuatan lasykar Ratu Siluman Buaya Pu-
tih, si Peri Lubuk Siluman itu...!"
Tak lama laki-laki berjubah kumal itu beringsut

keluar dari kerumunan penduduk. Lalu lenyap dibalik
tikungan jalan desa.
Dialah seorang dukun tua yang mengetahui ra-
hasia kejadian aneh di muara Sungai Mahakam.

***

LIMA

Roro melangkah memasuki sebuah kota yang
agak ramai di kawasan daerah itu. Sementara benak-
nya masih saja tak dapat melupakan kejadian aneh di
muara sungai Mahakam.
Beberapa orang laki-laki dan wanita tampak
berkerumun disudut kota itu, tepat disamping sebuah
restoran kecil yang banyak pengunjungnya.
"Obat kuat...! obat kuat...! ya! siapa lagi! mu-
rah! nyaman dan tahan lama...! Pasti puas!" teriak seo-
rang pedagang  obat sisi jalan yang menggembar-
gemborkan obat dagangannya.
Si pedagang obat itu seorang laki-laki tegap
berkumis sebesar jari. Tanpa mengenakan baju. Berce-
lana pangsi warna hitam. Berambut panjang sebatas
bahu dengan ikat kepala hitam. Sehelai kain diben-
tangkan di tanah. Dimana di atasnya terlihat obat-obat
yang  didagangkannya, berbentuk butiran-butiran pel
berwarna kehitaman. Sepintas memang mirip kotoran
kambing.
"Satu butir untuk setiap kali mau tidur." berka-
ta tukang obat yang usianya sekitar 35 tahun itu. Seo-
rang pembeli manggut-manggut seraya menerima
bungkusan obat yang dibelinya.
"Ya...! siapa lagi? cuma tinggal satu, dua tiga...
empat... lima! ya, tinggal lima orang lagi! cepatlah! Hari

ini adalah hari terakhir kami buka disini! Kemanjuran
obat kami telah diuji, dan sudah banyak yang memuji!"
Ucapnya dengan nada keras, merayu pembelinya.
Roro yang kepingin tahu segera beranjak
menghampiri. Beberapa orang penonton segera me-
nyingkir ke tepi dengan cengar-cengir.
"Aha...! seorang gadis asing dari mana...? Eh,
mau beli obat kuat dia barangkali...?" terdengar suara
berbisik-bisik.
"Ssst....! coba perhatikan. Alangkah cantiknya
gadis ini? Baru selama ini ku melihat seorang gadis se-
cantik dan semanis ini..." ujar kawannya. Saat itu seo-
rang laki-laki dari arah sisi penonton, beranjak meng-
hampiri Roro seraya pura-pura kakinya tersandung.
"Hai! jangan mendorong...!" teriaknya seolah-
olah kaget. Akan tetapi lengannya bergerak merangkul
pinggang Roro. Cepat sekali kejadian itu. Roro Centil
bertindak gesit, menyambar tubuh seorang wanita tua
bertubuh gembrot di hadapannya. Lalu asongkan pada
si laki-laki yang pura-pura terjatuh itu.
"Aiiiyaaa...!? maaf, maaf nona..." Laki-laki itu
tertawa menyeringai. Sepasang lengannya memeluk
erat pinggang orang, yang dikiranya pinggang si dara
cantik pendatang asing itu. Akan tetapi terkejut dia
mengetahui siapa yang telah dipeluknya. Ternyata tu-
buh wanita gembrot, tua dan sudah ubanan. Seketika
merahlah wajahnya karena malu. "Oh, maaf, maaf,
mak! aku tak sengaja...!" ucapnya gelagapan. Selanjut-
nya dia segera ngeloyor pergi dengan tersipu.
Sementara diam-diam laki-laki ini terheran ka-
rena tak melihat Roro berada di situ lagi. "Heran, ke-
mana gadis asing itu? cepat sekali lenyapnya!" berkata
dia menggumam.
Beberapa orang lainnya yang tadi melihat Roro
pun terheran karena cepat sekali lenyapnya Roro dari

pandangan mata mereka. Sementara tukang obat ma-
sih menjajakan dagangannya tak mengetahui kejadian
barusan.
Kemanakah Roro Centil? ternyata dia telah be-
rada di dalam ruangan restoran duduk dibangku dis-
udut ruangan.
Seorang  pelayan segera menghampiri dengan
terheran, karena tak melihat gadis ini masuknya.
"No... nona pesan makanan apa... ?" tanyanya
memperhatikan wajah si tetamu.
"Apapun boleh! asalkan makan enak pasti ku
ganyang...!" sahut Roro seperti acuh tak acuh. Lidah-
nya terjulur sedikit, basahi kedua bibirnya. Sementara
lirikan matanya memperhatikan seorang laki-laki yang
duduk di sebelah kanannya. Laki-laki ini berbaju serba
putih. Tadi ketika dia berkelebat masuk   ke dalam,
hanya dialah yang mengetahui kedatangannya.
Yang membuat Roro agak aneh adalah sepa-
sang mata laki-laki itu membersitkan sinar tajam ba-
gaikan menusuk jantung. "Siapakah dia?" tanya Roro
dalam hati. Roro merasa tak bermusuhan pada laki-
laki itu, akan tetapi sinar matanya seperti mengan-
dung maksud tidak baik terhadapnya. Itu menurut
dugaan Roro. Ketika selesai bersantap, si tetamu laki-
laki berbaju serba putih itu beranjak keluar setelah
membayar makanan.
Cepat-cepat Roro memanggil pelayan. Setelah
membayar, tanpa  menunggu pengembalian uangnya,
Roro bergegas keluar untuk menguntitnya.
Cepat sekali berjalannya laki-laki berbaju putih
itu. Kali ini Roro tak boleh ayal memasang indranya,
agar tak kehilangan jejak. Ternyata yang ditujunya
adalah ke arah muara sungai Mahakam.
Tiba-tiba di sisi sungai tubuh laki-laki ini mele-
nyap sirna. Tentu saja Roro Centil jadi terkejut, sepa-

sang matanya menatap heran. Roro menduga laki-laki
itu menggunakan ilmu Halimunan, akan tetapi me-
mandang dengan mata batin ternyata tubuh si laki-laki
itu berubah menjadi seekor buaya putih. Terperangah
Roro Centil. Tahulah dia kalau laki-laki itu sebangsa
siluman.
Buaya putih itu segera merayap masuk ke da-
lam sungai menyelam dan sesaat kemudian Roro baru
tersadar dari terperangahnya.
Roro Centil termangu-mangu memandang tem-
pat kosong. Sementara itu kembali terbayang kejadian
aneh yang telah menenggelamkan perahu dan mema-
kan korban sembilan nyawa dari perahu perampok
yang ditumpanginya.
Roro mengambil keputusan untuk menyelidiki
keadaan di bawah air.
Akan tetapi Roro memang perlu bersemadhi du-
lu mencari petunjuk, apakah adanya kejadian ini ber-
hubungan dengan benda mustika yang dalam usaha
pencariannya....? Hal itulah yang membuat Roro ter-
paksa harus menahan sabar untuk menanti saat ter-
baik mengungkap misteri di dasar sungai Mahakam.
Sesaat tubuh si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan itu berkelebat pergi dari tempat itu. Sementara di-
am-diam dia mengingat-ingat wajah laki-laki penjel-
maan si siluman Buaya Putih.
Baru saja kakinya jejakkan di tanah berbatu di
atas tebing, satu suara terdengar menyapa. "Kakak
Pendekar...!" Roro tahan gerakan lengannya yang tadi
sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi ke-
mungkinan.
Ternyata Roro telah waspada dan mengetahui
adanya sesosok tubuh dibalik batu besar di atas tebing
itu.
Disamping terkejut, juga heran si Pendekar

Wanita ini karena ternyata sosok tubuh itu adalah seo-
rang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10 tahun.
Barulah dia ingat kalau bocah itu adik Sungkimah, si
gadis yang beberapa hari yang lewat telah ditolongnya.
Sekejap Roro sudah melompat ke hadapannya,
dan bertanya dengan heran.
"Eh, adik kecil yang gagah! sedang mengapa
kau di tempat ini?"
"Kakak Pendekar, sebelum menjawab perta-
nyaanmu, aku mewakilkan kedua orang tuaku mengu-
capkan terima kasih pada kakak Pendekar atas perto-
longan kakak tempo hari!" berkata si bocah laki-laki
dengan membungkukkan tubuhnya. Sementara sepa-
sang matanya lalu menatap  kagum pada Roro. Akan
tetapi sepasang mata itu tampak berkaca-kaca.
Dan... selanjutnya dengan seka air matanya, si
bocah laki-laki itu kuatkan hati untuk bercerita.
Ternyata si bocah laki-laki ceritakan tentang
keadaan di desanya sepeninggal Roro. Pada malam itu
juga terjadi penyerbuan buaya-buaya putih ke dalam
desa. Buaya-buaya siluman itu ternyata menggondol
kembali kedua gadis desa itu, dan lenyap dalam ke-
pungan penduduk.
Kejadian menyedihkan serta musibah yang ber-
turut-turut menimpa desa Tembalu membuat pendu-
duk gelisah, resah. Lenyap bencana perampok, kini
muncul bencana siluman. Diam-diam si bocah laki-laki
ini pergi dari rumahnya tanpa setahu kedua orang tu-
anya, dengan tujuan mencari Roro Centil. Ternyata
berhasil menjumpai Roro di tempat itu...
Terenyuh hati Roro mendengar penuturan itu.
Jerih payahnya menolong dua gadis desa itu cuma sia-
sia. Dipandanginya  wajah si bocah laki-laki dengan
penuh perasaan iba.
"Aku pasti akan membalaskan dendammu itu,

adik gagah!" ujar Roro seraya mengusap kepala anak
itu. Bocah ini menatap Roro dengan mata basah. Tiba-
tiba dia memeluk kaki Roro dengan terisak.
"Oh, terima kasih...! terima kasih kakak Pende-
kar....!"
"Haiiiih! sudahlah, siapakah namamu adik ga-
gah....!" tanya Roro. Cepat-cepat anak itu usap air ma-
tanya lagi dan menjawab dengan tersenyum.
"Namaku... Sugala!"
"Namamu bagus! Nah, kini kau akan kuantar
pulang. Tentu kedua orang tuamu akan lebih susah
karena kehilangan mu...!" berkata Roro.
"Aku tinggal dengan seorang tua laki-laki. Dia
seorang dukun sakti yang mengetahui tentang silu-
man-siluman buaya itu!" ujar Sugala.
"He? begitukah" tanya Roro dengan heran, akan
tetapi diam-diam hatinya bergirang. Bocah laki-laki itu
mengangguk. "Kedua orang tuakupun telah mengeta-
hui aku ada bersamanya..." ucapnya dengan tenang.
"Bagus! kalau begitu ajaklah aku ke tempat
orang tua itu!" ujar Roro dengan leletkan lidah basahi
bibirnya. Sepasang matanya berkejap-kejap, sementara
hatinya berkata. "Mujurlah kalau demikian, karena
aku segera bisa tahu mengenai siluman-siluman buaya
putih itu!"
"Marilah, kakak Pendekar..." ujar Sugala seraya
berlari-lari dengan girang menuju ke arah belakang
bukit di atas tebing itu.
Roro beranjak mengikuti dengan tersenyum
melihat si bocah laki-laki itu mendaki lereng bukit
dengan merangkak. Keinginannya untuk tiba
lebih cepat di tempat si laki-laki tua yang dikatakan
Dukun Sakti itu oleh si bocah, membuat Roro bergerak
melompat dan menyambar tubuh bocah itu. Dan... se-
kali tubuhnya melesat, sekejap sudah tiba di atas bu-

kit.
Tentu saja membuat anak itu tertawa girang.
"Di bawah bukit sana itulah tempat kakek dukun itu
tinggal!" ujar Sugala.
"Bagus! mari kita kesana: "Berkata Roro seraya
kembali melesat menuruni bukit. Bocah laki-laki ini
sepanjang perjalanan tertawa-tawa girang, bahkan
berkali-kali memuji kehebatan ilmu "terbang" Roro
yang pergunakan kecepatan larinya untuk cepat tiba di
tempat yang dituju.

***