Roro Centil 21 - Manusia Serigala Hantu(2)







TUJUH

KEMATIAN SI NAGA HIJAU dan seluruh anak
buahnya dimarkasnya, sebentar saja telah menyebar
dikalangan kaum Rimba Hijau.
Bahkan dua orang yang kedatangan tewas den-
gan tubuh keracunan, dapat dikenali siapa adanya.
Tentu saja menjadi buah bibir dimana-mana. Empat
Iblis Pulau Menjangan itu memang dalam pelacakan
para kaum Pendekar penjunjung kebenaran dan pem-
bela keadilan. Ternyata yang paling teramat geram dan
mendongkol bukan main adalah Adipati WIRALAGA.
Karena dia tak menyangka sama sekali kalau justru
sang Tumenggung Dipayana yang ditugaskan ke pesi-
sir pantai laut kidul tak lain salah seorang dari Empat
Iblis itu.
Belakangan didengarnya berita bahwa pemban-
tai sadis yang mengobrak abrik markas Naga Hijau
adalah seorang wanita yang bisa beralih rupa menjadi
seekor serigala. Bahkan dapat menciptakan serigala-
serigala misterius yang bisa membunuh manusia den-
gan sekejapan saja. Agak ngeri hati sang Adipati ini,
karena dia khawatir terbawa-bawa sial. Bisa saja ke-

sialan itu akan menimpa dirinya karena Tumenggung
Dipayana itu adalah orang bawahannya yang bermu-
kim di gedung Kadipaten.
Adipati Wiralaga berjalan mondar-mandir di
ruang pendopo gedung Kadipaten dengan menggen-
dong tangan. Benaknya berpikir keras.
Tampak wajah sang Adipati ini sebentar pucat
sebentar merah menegang.
"Dengan tewasnya Tumenggung Dipayana yang
ketahuan adalah salah seorang dari Empat Iblis Nusa
Kambangan juga dua orang dari kelima orang yang te-
lah membentuk Partai Lima Naga Setan berarti kedu-
dukanku dalam bahaya...!" berdesis Adipati Wiralaga.
"Sebaiknya aku harus berangkat secepatnya ke
pesisir laut kidul! Rencana pendaratan kapal asing dari
Hindia harus dibatalkan...!" desisnya lagi.
Memikir demikian segera Adipati Wiralaga ber-
gegas masuk ke ruangan dalam. Lalu menemui istrinya
yang tengah duduk menyulam diberanda tengah.
"Suridewi...! aku akan melakukan perjalanan
jauh untuk satu tugas penting dari Kerajaan. Kuharap
kau baik-baik menjaga  diri dirumah!" berkata Adipati
Wiralaga. Wanita itu letakkan kain sulamannya seraya
menatap pada Adipati Wiralaga dengan kening berke-
rut.
"Bila kakang akan berangkat? Akan memakan
waktu lamakah tugas itu?" bertanya sang istri. Adipati
Wiralaga memang tak mempunyai keturunan selama
berumah tangga yang hampir lebih dari 10 tahun,
hingga suasana digedung Kadipaten itu tampak amat
sunyi.
"Tentu saja, istriku...! Setidak-tidaknya mema-
kan waktu satu bulan!" sahutnya. "Aku akan segera
berangkat besok pagi! Nah, kau persiapkanlah perbe-
kalan untuk perjalananku besok...!"

Tercenung sejenak sang istri, seraya menghela
napas dan terdengar suara gumam wanita itu lirih.
"Lagi-lagi tugas! lagi-lagi tugas...!" gerutunya. "Tugas
apakah dari baginda Raja itu kakang...? kudengar kau
sudah mengutus Tumenggung Dipayana untuk tugas
mengantarkan surat  mu ke pantai pesisir laut kidul.
Apakah tak sebaiknya kau menunggu kedatangan-
nya...?" tiba-tiba istrinya bertanya. Dari kata-kata itu
seperti seolah sang istri telah mengetahui kalau  sua-
minya akan berangkat ke pesisir laut kidul, akan tetapi
tak mengetahui kalau adanya peristiwa di markas Na-
ga Hijau yang menyebabkan kematian sang Tumeng-
gung.
Adipati Wiralaga kerutkan keningnya, alisnya
bergerak naik seraya berkata. "Ah, kau perempuan ta-
hu apa? sudahlah, tenangkan hatimu. Percayalah! aku
bukan mau bersenang-senang diluaran. Semua tugas
yang kujalankan adalah atas titah Raja! Hilangkanlah
kecemburuanmu! hahaha... jangan terlalu khawatir-
kan suamimu ini akan cari perempuan lagi!" tertawa
sang Adipati, karena menduga istrinya mencurigai
maksud kepergiannya.
"Bukan soal cemburu, kakang...! Cuma aku he-
ran, kau sudah mengirim orang akan tetapi tak me-
nunggu pulangnya orang yang kau tugaskan, bahkan
kau sendiri akan berangkat pergi. Bukankah aneh...?"
berkata istrinya, seraya beranjak masuk ke kamar.
Adipati Wiralaga tak menyahuti tapi tenggelam
dalam alam pikiran dibenaknya...
Berita kemunculan Manusia Serigala Hantu,
seorang wanita yang berilmu tinggi yang telah mem-
bantai habis penghuni Markas si Naga Hijau berikut
dua orang dari 4 Iblis Pulau Menjangan itu bukan tak
dipikirkannya. Tapi sudah sejak mendengar berita itu,
Adipati Wiralaga sering gelisah.

Surat yang gagal disampaikan Tumenggung Di-
payana menjadi pula beban pikirannya. Apalagi dike-
tahui dan telah menyebar ke setiap  pelosok bahwa
Tumenggung Dipayana itu dikenali sebagai salah seo-
rang dari Empat Iblis Pulau Menjangan yang pernah
gagal ditumpas golongan pemerintah Kerajaan dan pa-
ra kaum Pendekar di Pulau Nusa Kambangan....
Dikhawatirkan surat itu jatuh ke tangan pihak
orang-orang Kerajaan. Surat itu bisa mengakibatkan
kejatuhan kedudukannya sebagai Adipati, dan men-
gungkap rencana persekutuannya dengan lasykar as-
ing. Dia bisa dituduh mutlak sebagai pemberontak
yang mau menggulingkan Kerajaan dengan meminta
bantuan pasukan asing dari Hindia yang telah diren-
canakan pendaratannya.
Dan... memang demikian pulalah kenyataan-
nya...
Matahari membersitkan sinar teriknya pada
siang itu seperti mau membakar jagat. Seorang pe-
nunggang kuda menjalankan kudanya dengan cepat
menerobos jalan-jalan setapak dilereng bukit. Dialah
Adipati Wiralaga yang tengah "meluncur" menuju ke-
perbatasan. Yaitu pesisir pantai laut kidul. Perjalanan
itu memang bukanlah perjalanan pendek, karena me-
makan waktu tak lebih dari lima hari, karena sukarnya
perjalanan yang harus ditempuh. Juga harus mengi-
nap diperjalanan bila waktu menjelang malam.
Saat itu di atas bukit berdiri sesosok tubuh di-
kejauhan. Melihat adanya seekor kuda berlari dengan
amat cepat di bawah lereng, sosok tubuh itu berkele-
bat turun dan menyusul...
Ternyata diam-diam sosok tubuh itu membun-
tuti si penunggang kuda.
Perjalanan kini mulai memasuki satu padang
rumput tebal yang terbentang di depan mata berlatar

belakang perbukitan yang berhutan lebat.
Ketika memasuki mulut hutan setelah melewati
sebuah candi, tiba-tiba kuda tunggangan Adipati Wira-
laga perdengarkan ringkikkannya, dan terjungkal ja-
tuh. Tentu saja Adipati Wiralaga cepat melompat dari
punggung kudanya agar tak terluka tubuhnya. Sebagai
seorang yang punya "isi" Adipati Wiralaga dapat jejak-
kan kakinya dengan ringan di tanah. Namun dia amat
terkejut dengan kejadian mendadak itu. Sementara
sang kuda berkelojotan dengan meringkik kesakitan.
Sesaat antaranya kuda itupun diam tak bergeming la-
gi.
"Mati...!?" berdesis suara sang Adipati ketika
memeriksanya. Didapati diperut kuda dan leher ter-
tancap tiga buah pisau kecil berbentuk keris. Seketika
pucatlah wajahnya. Diam-diam tengkuknya bergidik,
karena seandainya si penyerang mau membunuhnya
tentu akan sudah terjadi karena dia sama sekali tak
mendengar suara berdesirnya senjata rahasia itu! Adi-
pati Wiralaga berdiri dengan wajah menegang. Panca
indranya dipasang untuk meneliti keadaan tempat se-
kitarnya.
"Siapakah yang telah menyerang kudaku? ke-
luarlah! Seorang kesatria tidak akan menyembunyikan
diri...!" berkata Wiralaga setengah membentak. Suasa-
na disekitar mulut hutan itu tampak hening. Sementa-
ra si penguntit berjongkok di tempat  persembunyian-
nya. Tampaknya sang penguntit itupun terkejut den-
gan kejadian orang yang dikuntitnya.
Pelahan sang penguntit itu menyibakkan de-
daunan yang menghalangi pandangannya untuk meli-
hat keadaan orang lebih jelas.
Ternyata sang penguntit itu seorang dara ru-
pawan, bermata jeli dan berbibir mungil bak delima
merekah. Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Wanita
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com

kita RORO CENTIL, alias sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan!
Entah asap apa gerangan yang terendus hidung
Roro. Baunya menusuk hidung dan menggelitik ke da-
lam  tenggorokan. "Gila! ini asap orang membakar
cabe...!" berkata Roro dalam hati. Tanpa disadari Roro
terbatuk-batuk karena tenggorokannya gatal. Tak cu-
kup dengan itu saja, Roro telah berbangkit beberapa
kali.
"Ha... hatsyiiiiih! hatssyiiiih... !" setan Alas!"
memaki Roro dengan berdesis.
WHUUUK! PRASS...!
Segelombang angin telah menerpa ke arah tem-
pat persembunyiannya memapas habis semak belukar
dimana dia sembunyikan diri.
Ternyata Adipati Wiralagalah yang telah menye-
rangnya, disertai bentakan keras. "Manusia pengecut!
keluarlah dari situ!"
Tertegun sang Adipati karena tak menampak
bayangan tubuh orang yang diserangnya barusan. "Je-
las aku mendengar suara orang batuk dan berbangkis!
Mustahil dia bisa lenyap dengan begitu saja...?" berka-
ta Adipati Wiralaga dalam hati. Sepasang lengan laki-
laki ini tersilang didada, siap menghadapi segala ke-
mungkinan. Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu
dibelakangnya yang diiringi kata-kata.
"Hihihi... tidak hujan tidak angin mengapa kau
menyerangku...?" Terkejut sang Adipati. Cepat Adipati
ini balikkan tubuhnya. Lengannya siap menyerang
orang yang tertawa dibelakangnya. Akan tetapi dia jadi
tertegun, karena seorang gadis cantik berpakaian war-
na hijau berdiri di hadapannya dengan bersidakep
memeluk tangan.
"Anda bukan si penyerang kudaku? Heh! siapa-
kah gerangan anda, nona?" bertanya Adipati Wiralaga.

Diam-diam hati Adipati ini agak lega karena bukanlah
si Manusia Serigala Betina itu yang muncul. Namun
kalau wanita muda ini yang mengakui perbuatannya,
berarti ada orang lain yang telah membuat kudanya
mati kena serangan senjata rahasia.
"Hihihi... namaku Roro Centil...!" menyahut Ro-
ro dengan leletkan lidah dan tersenyum manis. Sepa-
sang matanya mengerling pada kuda Adipati itu yang
terlentang tak bergeming.
"Kudamu telah diserang orang, akan tetapi bu-
kan aku penyerangnya! Mengapa orang itu tak menye-
rangmu! Justru kudamu yang jadi sasaran!" lanjut Ro-
ro dengan gerakkan alisnya. Sementara diam-diam Ro-
ro pasang telinganya untuk mendengar adanya tanda-
tanda yang mencurigakan disekelilingnya. Adipati Wi-
ralaga memperhatikan Roro dari bawah sampai ke atas
beberapa kali.
"Hm, aku tak mendengar adanya tanda-
tandanya orang lain disekeliling tempat ini. Kalau bu-
kan kau yang membunuh mati kudaku, habis siapa la-
gi...?" berkata Adipati Wiralaga.
"Huh! kalau kau tak mempercayai kata-kataku
apakah kau lebih percaya pada setan?" ujar Roro den-
gan melototkan matanya. "Tampaknya kau kurang teli-
ti melihat ke  sekelilingmu! Apakah kau tak membaui
baunya cabe yang dibakar? Bau itulah yang membuat
aku berbangkis dan terbatuk-batuk.
Jelas yang menyerang kudamu adalah setan
Cebe...!" berkata Roro dengan nada keras. Roro me-
mang tengah memancing agar si penyerang penung-
gang kuda itu munculkan diri.
Akan tetapi yang ditunggu ternyata tidak mun-
cul menampakkan diri, membuat Roro jadi heran "Se-
tan alas...! maki Roro dalam hati. Pendekar Wanita ini
putarkan pandangannya ke beberapa arah. Tiba-tiba

melengak Roro Centil ketika menatap ke arah Candi
yang kira-kira berada sejauh dua puluh lima tombak,
batu paling atas dari susunan Candi itu bergerak...
Dan meluncur ke arah mereka berdiri. Cepat sekali ba-
tu persegi empat sebesar kasur itu datangnya.
"Awas...!" teriak Roro memperingati Adipati Wi-
ralaga.
BLUG! batu besar itu menggelinding menerabas
semak. Roro Centil telah melesat lenyap dari tempat
itu. Sedangkan Adipati Wiralaga terkejut, seraya me-
lompat menghindar. Ketika melihat ke  arah Roro ter-
nyata manusianya telah tak kelihatan lagi batang hi-
dungnya.

***

DELAPAN

"SIAPA KAU...?" membentak Roro Centil ketika
melihat sesosok tubuh menyelinap ke balik candi. Len-
gan Roro sudah terangkat untuk menghantam batu
Candi, akan tetapi segera diurungkan. "Hm, manusia
ini enak saja merusak batu Candi tanpa menghargai
jerih payah orang yang membuatnya. Mengapa aku ha-
rus ikut-ikutan merusak?" pikir Roro.
Memikir demikian Roro berkelebat melompat
cepat ke arah sisi sebelah kanan. Dari celah batu Can-
di ini dia bisa melihat sosok tubuh orang itu. Akan te-
tapi cuma sekejap, karena orang itu sudah melesat lagi
ke arah sebelah bawah. Roro jadi mendongkol. "Sialan!
rupanya kau mengajakku main kucing-kucingan  di
tempat ini?" memaki Roro Centil. Diapun melesat pula
ke  bawah untuk mengejar orang. Dibalik batu yang
memanjang ke atas satu setengah depa berukiran rak-

sasa bertangan delapan itu Roro Centil memasang
panca indranya untuk dapat mengetahui setiap gera-
kan orang yang dikejarnya.
Namun sampai sekian lama tak ada tanda-
tanda orang bergerak. Roro kerenyitkan keningnya ter-
heran. "Apakah dia sudah kabur keluar?"
Benak Roro bekerja untuk mengambil keputu-
san keluar dari tempat terlindungnya. Akan tetapi se-
konyong-konyong kembali dia terbatuk-batuk ketika
membaui asap orang membakar cabe. "Setan alasss...!"
tersentak Roro Centil. Jelaslah kini orang yang meni-
upkan asap menyebarkan bau pedas ketika tengah
mengintai penunggang kuda yang dikuntitnya adalah
orang ini.
Segera Roro gerakkan lengannya menutup hi-
dung. Tapi sebelah lengannya bergerak memutar bebe-
rapa kali. Hebat gerakan ini, karena segera menimbul-
kan angin memutar ke setiap sela-sela Candi tanpa se-
dikitpun merobohkan batu-batu. Sesaat udara kembali
bersih, bebas dari polusi.
Terdengar suara tertawa mengekeh menggelitik
anak telinga. Tersentak Roro Centil segera dia sudah
mengetahui dari mana asalnya arah suara tertawa. Se-
kali berkelebat dia sudah melompat kebangunan candi
sebelah depan,
"Heheheheh... heheh... hebat! hebat! Pendekar
Wanita Roro Centil memang bukan nama kosong se-
perti yang pernah kudengar. Agaknya asap tembakau
ku terlalu banyak ku bubuhi cabe...! Heheheh... maaf,
maaf, asap rokok ku telah mengganggu anda...!"
Melengak Roro Centil ketika melihat seorang
kakek berjubah kelabu duduk di atas stupa dengan
menghisap cangklongnya. Melihat perawakannya ka-
kek itu bertubuh agak pendek rambutnya awut-
awutan tak terurus tanpa ikat kepala. Kumis dan jeng-

gotnya pendek, akan tetapi tebal memenuhi dagu dan
bawah hidungnya, yang berwarna kelabu. Kulit mu-
kanya hitam legam dan penuh keriput.
"Hm... siapakah kau kakek?" bertanya Roro.
Diam-diam Roro Centil perhatikan perawakan dan wa-
jah orang. Kakek jubah abu-abu itu kembali tertawa
mengekeh seraya ketuk-ketuk pipa cangklongnya
membuang  tembakau. Setelah meniup ke berapa  kali
pada pipa cangklongnya membersihkan abu yang me-
lekat disana lalu menyelipkannya ke saku jubahnya
sebelah dalam. Kemudian mendongak menatap Roro.
"Namaku aku malas menyebutkannya, baiknya
kuberitahukan saja gelarku...! heheheh... orang Rimba
Hijau menggelariku si Lutung Pancasona.!"
"Hm... kaukah orangnya yang telah menyerang
kuda tadi?"
"Benar...! Sengaja kubunuh kudanya karena
perintah yang kuterima adalah demikian!"
"Siapa yang memerintahkanmu!" dan siapa pu-
la laki-laki berkuda itu?" tanya Roro dengan tercenung
heran.
"Dia adalah Adipati Wilaraga. Yang memerin-
tahkan aku melakukan itu istrinya sendiri!" sahut  si
kakek Lutung Pancasona.
"Aneh...!" urusan apakah kedua suami istri itu
saling bertolak belakang?"
"Entahlah! aku sendiri tak mengetahui! Aku
cuma ditugaskan untuk mencegatnya diperjalanan,
dan membunuh kudanya!"
"Untuk pekerjaan itu tentunya kau mendapat
upah lumayan...!"
"Heheheh... benar! Bukan saja upah uang akan
tetapi juga upah meniduri istri Adipati itu yang cantik-
nya lumayan juga...! heheheh..."
"Gila...!" Memaki Roro dengan mata melotot.

"Perempuan macam apakah istri Adipati itu...?" berka-
ta Roro dengan bibir cemberut. "Ku lihat si Adipati itu
bila dibandingkan dengan tampangmu, masih lebih
gagah suaminya! mengapa dia bisa kepincut padamu?"
sambung Roro.
"Heheheh... dunia ini memang aneh! Dan kea-
nehan itu bisa terjadi dimana saja. Juga di  tempat
ini...!" berkata si kakek dengan garuk-garuk kepalanya.
Rambut coklatnya yang awut-awutan itu semakin ku-
sut.
"Apa maksud ucapanmu?" bentak Roro yang
sudah mengetahui gelagat.
"Heheheh... heheh... maksudku bukankah tidak
mustahil kalau kau pun bisa-bisa kena kepincut oleh-
ku! hahaha hehee..." Mengakak tertawa si kakek hing-
ga tubuhnya berguncangan.
Akan tetapi diam-diam Lutung Pancasona telah
kerahkan kekuatan ilmu batinnya untuk menyerang
Roro.
Tak sadar Roro Centil kalau diapun jadi ikut-
ikutan tertawa mengikik. Sementara sepasang mata
kakek itu semakin binal menjalari setiap lekuk-lekuk
tubuh Roro dan mengagumi wajahnya.
Melihat kekuatan ilmu batinnya mempengaruhi
syaraf si gadis pendekar itu membawa hasil, tiba-tiba
dia hentikan tertawanya secara mendadak. Dan... se-
konyong-konyong tubuhnya melentik bagaikan ikan
dari atas batu stupa yang diduduki. Lengannya terju-
lur ke arah Roro yang masih terpingkal-pingkal dengan
tubuh terhuyung memegangi perutnya. Tampaknya
Roro seperti geli sekali tanpa tahu apa yang ditertawa-
kan.
Akan tetapi mencelos hati Lutung Pancasona
karena serangan mendadak untuk menotok Roro Cen-
til tak mengenai sasaran. Aneh...!?" pikir si Lutung

Pancasona. "Dalam keadaan kena pengaruh kekuatan
batinku dia masih bisa menghindari serangan..." Tak
ayal segera Lutung Pancasona kembali julurkan len-
gannya ke beberapa arah dibagian tubuh Roro, bahkan
dibarengi  pula dengan pukulan  tangannya. Lagi-lagi
dia melengak, karena dengan masih mengikik tertawa
Roro bergerak terhuyung ke belakang  dan  ke depan,
bahkan menekuk tubuh sampai rambutnya terjulai ke
tanah tak ubahnya bagaikan orang mabok arak dan
serangan itu lolos tak menemui sasaran.
Tiba-tiba... BUK! Mengaduh si Lutung Pancaso-
na karena tahu-tahu kaki Roro telah melayang santar
menghantam punggungnya. Tak ampun tubuh si ka-
kek muka hitam brewok itu tersungkur mencium ta-
nah. Ketika bangkit lagi terperangah "kakek" ganjen ini
karena segera meraba wajahnya yang rusak. Di samp-
ing merasa sakit pada punggung, dia juga terkejut ka-
rena jenggot dan kumisnya yang lebat telah berlepasan
separuhnya. Sementara Roro Centil telah hentikan ter-
tawanya. Dia berdiri menatap pada si Lutung Pancaso-
na yang kulit wajahnya telah terkoyak mengelupas.
"Setan alas...! Kiranya kau pakai kulit muka
palsu...!?" bentak Roro dengan mata melotot. Lengan-
nya terangkat untuk menghantam manusia dihada-
pannya. Namun Lutung Pancasona bergerak lebih ce-
pat untuk selamatkan diri.
WHHUUKKK!... BHLARRR!
Saking marahnya Roro menghantam dengan
pukulan tenaga dalamnya. Tanah menyemburat di ba-
wah candi. Namun Lutung Pancasona telah melesat
kabur... Cepat sekali berkelebatnya tubuh Lutung Pan-
casona yang belum diketahui jelas wajahnya. Kulit
mukanya cuma tersibak sedikit, dan Roro menampak
satu kulit yang putih serta masih segar. Kulit muda!
yang berarti orangnya pun masih berusia muda. Den-

gan geram Roro mengejar ke arah "kakek" itu berkele-
bat.
Namun cepat sekali Lutung Pancasona berlon-
catan, lalu lenyap tak ketahuan kemana arah larinya.
Dengan kesal Roro banting-bantingkan kakinya
ke tanah, lalu berkelebat pergi dari tempat itu.

***

SEMBILAN

ADIPATI WIRALAGA   menyibak semak belukar,
menuruni lereng bukit menyeberangi pula anak sun-
gai.... Dengan keadaan terpaksa dia mencari jalan ke
arah desa terdekat. Hari sudah senja, dan dia memer-
lukan tempat menginap dalam perjalanannya.
"Heh!? Aku baru ingat...! Jalan ini menuju ke
desa Gombong dihilir sungai ini. Hm, bagus! Aku bisa
benar-benar menikmati istirahatku. Mengapa aku
sampai melupakan seseorang di desa itu?" berdesis
Adipati Wiralaga.
Ketika hari hampir gelap dia sudah memasuki
mulut desa. Adipati Wiralaga masih ingat benar akan
jalan-jalan di desa Gombong itu yang tidak banyak
menampakkan perubahan.
"Apakah bapak mengetahui dimana rumah Nyi
Denok Warsih?" bertanya sang Adipati pada seorang
tua yang berkeredong sarung ketika berpapasan dija-
lan. Sejenak orang tua itu memandang pada Adipati
Wiralaga, tampaknya agak terkejut mendengar perta-
nyaan itu.
"Siapakah ki sanak...?" bahkan dia balik ber-
tanya. Adipati Wiralaga tersenyum seraya menjawab.
"Aku SUHARA...! dulu pada belasan tahun yang lalu

pernah mempunyai seorang kekasih di desa ini, ber-
nama Nyi Denok Warsih! aku tak  mengingatnya lagi
karena kesibukanku di Kota Raja. Bahkan... bahkan
aku hampir melupakannya"
Terkejut laki-laki tua itu dengan membeliakkan
sepasang matanya memandang pada Adipati Wiralaga
yang memperkenalkan diri dengan nama kecilnya. Se-
belum menjadi abdi Kerajaan memang Adipati Wiralaga
bernama Suhara.
"Ah, sungguh tak kusangka... ki sanak ternyata
Suhara. Ya, aku ingat betul akan wajahmu. Marilah
singgah kerumahku, ki sanak. Kita bisa bicara panjang
lebar...!" berkata laki-laki tua itu.
Wiralaga alias Suhara mengangguk. Dan segera
mengikuti langkah laki-laki tua itu. Dalam perjalanan
yang memakan waktu tak lama segera tampak sebuah
pondok sederhana. Tersentak Wiralaga. Dia ingat betul
akan pondok itu, yang halamannya ada tiga batang
pohon kelapa berjajar. Dulu tiga batang pohon kelapa
itu masih kecil. Bentuk rumahnya pun tak jauh berbe-
da dengan keadaan waktu dulu.
"Apakah ini... ini rumah Nyi Denok Warsih?"
berkata Suhara alias Wiralaga dalam hati.
"Silahkan masuk, nak...!" Ujar laki-laki tua itu
seraya dia sendiri mendahului melangkah masuk ke
dalam. Seorang wanita keluar dari dalam.
"Ada tamu rupanya...! Siapakah, paman...?" ta-
nyanya pada laki-laki tua itu.
"WARSIH...!? Benarkah kau... Nyi Denok War-
sih?" Tiba-tiba Wiralaga berseru tatkala melihat wanita
setengah usia yang baru saja muncul menatapnya. Wi-
ralaga masih ingat betul akan raut wajah kekasihnya.
Sisa-sisa kecantikan gadis desa ini dulu masih mem-
bekas walau dia tampak tua.
Dan... ternyata wanita itupun mengenali Wira-

laga, walau usia laki-laki itu sudah sekitar empat pu-
luh lima tahun lebih. Namun kegagahan masih mem-
bayang pada wajah dan ketegapan tubuhnya. Adipati
Wiralaga memang selalu mencukur kumis dan jeng-
gotnya, hingga selalu tampak rapi. Cuma Wiralaga tak
memakai pakaian keadipatiannya saja dalam perjala-
nan ke pesisir laut kidul yang akhirnya singgah di desa
Gombong ini.
"Be... benar! Aku Warsih...!" sahutnya. "Apakah
yang muncul dihadapanku ini Su... Suhara...?" Agak
ragu wanita itu menatap laki-laki didepannya.
"Tak salah, Asih...! membenarkan laki-laki tua
itu yang membahasakan Nyi Denok Warsih dengan se-
butan itu. "Dialah Suhara...! Orang yang selalu kau
tunggu kedatangannya setiap saat..." ucap laki-laki tua
itu, lalu menatap pada Wiralaga. "Nak Suhara, Warsih
selalu setia menantikan kedatanganmu. Aku pernah
mendustainya mengatakan bahwa kekasih yang dinan-
tinya itu telah mati! Akan tetapi dia tak percaya. Dia
merasa yakin bahwa suatu saat kau akan datang. Ter-
nyata keyakinan hatinya itu menjadi kenyataan...!"

***

Adipati Wiralaga duduk dibalai-balai kayu bera-
laskan tikar pandan. Disampingnya duduk Nyi Denok
Warsih dengan menunduk. Pada pipinya mengalir air
mata... Entah air mata bahagia, entah air mata berdu-
ka.
Laki-laki Kadipaten ini menggamit dagu perem-
puan itu. Sebelah lengannya bergerak perlahan untuk
mengusap air mata yang meluncur turun seperti tiada
habisnya dari kelopak mata perempuan itu. Namun se-
telah beberapa saat kesedihan didada wanita itupun
mereda.

"Dua puluh tahun lebih aku menantikan keda-
tanganmu, kakang Suhara! Dan... benih yang kau ta-
nam dalam rahimku telah menjadi buah. Si kecil yang
lahir tanpa ditunggui sang ayah itu dapat sedikit
menghibur hatiku. Dia kuberi nama KEN AYU...!" ber-
henti sejenak wanita itu untuk mengusap air matanya
yang sekonyong-konyong kembali membersit keluar
dari kelopak matanya.
Tergetar hati Adipati Wiralaga. Akan tetapi dia
tak berani memotong pembicaraan Nyi Denok Warsih.
Walau bibirnya sempat membisik. "Ah, nama yang in-
dah..." Dada Wiralaga terasa berdegupan kencang.
"Te... teruskanlah Warsih...!" ucapnya dengan suara
agak parau tergagap.
"Baik kakang Suhara... " menyahut Nyi Denok
Warsih menegarkan hati. Lalu lanjutkan penuturan-
nya. "Kurawat baik-baik bocah perempuan mungil
yang belum mengenai dosa itu. Kubisikkan ditelin-
ganya bahwa dia masih mempunyai seorang ayah...!
Akan tetapi... musibah telah menimpa... empat orang
penjahat yang menamakan dirinya Empat Iblis Pulau
Menjangan telah memasuki desa...!  Dan... terjadilah
aib yang menimpa diriku..." sampai disini Nyi Denok
Warsih kembali berhenti untuk  menghapus air ma-
tanya yang kembali meluncur turun membasahi pi-
pinya. Tersentak hati Wiralaga. "Empat Iblis Pulau
Menjangan?" desisnya dengan mata membelalak.
"Dan... mereka mem... memperkosamu?" tan-
das Wiralaga dengan cepat. Nyi Denok Warsih tunduk-
kan wajahnya dalam-dalam seraya mengangguk.
"Keparat...!" memaki Wiralaga dengan mata ti-
ba-tiba menjadi membinar. "Dua dari Empat Iblis itu
telah mampus...! Yang dua lagi adalah bagianku untuk
membunuhnya!" berdesis Wiralaga dengan geram. "La-
lu... bagaimana anak kita? Kemana Ken Ayu? Apa pula

yang terjadi dengan kedua orang tuamu? kulihat be-
liau tak berada dirumah ini..." tanya Wiralaga seraya
pegang kedua pundak Nyi Denok Warsih.
"Ayah telah tewas ketika menghalangi perbua-
tan biadab keempat manusia itu. Ken Ayu... diculik
mereka. Dan... ibuku meninggal sebulan kemudian ka-
rena tak kuat menerima kenyataan yang dihadapi da-
lam musibah besar itu. Selanjutnya aku hidup sendi-
ri...! Untunglah masih ada paman dan bibiku yang se-
sekali datang menyambangiku...!" Demikian tutur Nyi
Denok Warsih. Ternyata laki-laki yang mengantar Wi-
ralaga adalah paman perempuan itu.
Mendengar penuturan Nyi Denok Warsih. Seke-
tika terhenyak laki-laki ini. Betapa ribuan perasaan
berkecamuk dihatinya. Kedua lengannya terkepal erat
dan diremasnya sampai berbunyi berkrotokan.
Selang sesaat Nyi Denok Warsih menengadah-
kan lagi wajahnya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Wi-
ralaga. Agaknya wanita itu sudah dapat menekan pe-
rasaannya.
"Kakang Suhara...! Tentunya kau sudah men-
dapat kebahagiaan di Kota Raja. Dua belas tahun lebih
menurut hitunganku sejak aku kehilangan Ken Ayu,
aku menantimu. Menantimu untuk meminta tanggung
jawabmu! Akan tetapi aku sudah tak mengharapkan-
mu lagi. Kita sudah tua... dan aku sudah ternoda! Aku
cuma ingin meminta tanggung jawabmu mencari di-
mana adanya Ken Ayu...!" berkata Nyi Denok Warsih
dengan nada tawar.
Wiralaga tak menyahuti, akan tetapi dia mang-
gut-manggut dengan menundukkan wajah. Tak terasa
sebutir air bening tersembul keluar dari sudut kelopak
matanya. Untuk pertama kalinya dia jatuhkan air ma-
ta, sejak dia bergelimang hidup di Kota Raja dan te-
rakhir menjabat sebagai Adipati yang mempunyai wi-

layah kekuasaan cukup luas. Selama ini dia terlalu
mementingkan urusannya sendiri. Bahkan ada berniat
menggulingkan Kerajaan. Diam-diam Adipati Wiralaga
memang telah mengadakan hubungan dengan seku-
tunya di pesisir laut kidul yang siap mendrop pasukan
laskar asing dari Hindia yang diminta bantuannya.
Namun kemunculan wanita misterius serta adanya
Tumenggung Dipayana yang menjadi orang Kadipaten
telah tersebar luas disetiap tempat bahwa Tumenggung
itu adalah salah seorang dari Empat Iblis Pulau Men-
jangan yang menjadi buronan Kerajaan dan tengah di-
lacak para pendekar.
Kekalutan fikirannya karena khawatir dirinya
sudah mendapat sorotan dari pihak Kerajaan, mem-
buat dia berniat berangkat ke pesisir laut kidul untuk
menggagalkan rencana itu pada sekutunya.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan,
surat yang dikirim melalui Tumenggung Dipayana itu
masih menjadi beban pikirannya. Itulah surat balasan
pada sekutunya di pesisir laut kidul yang membicara-
kan mengenai pendaratan kapal asing dari Hindia.
Adipati Wiralaga amat mengkhawatirkan surat itu ja-
tuh ke tangan orang Kerajaan yang bila diketahui akan
membuat celaka besar pada diri dan kedudukannya.
Kepergiannya ke pesisir laut kidul ada dua maksud.
Pertama Wiralaga bermaksud membatalkan rencana
pendaratan kapal-kapal Lasykar asing dari Hindia itu,
dan kedua adalah menghindar dari Kadipaten selama
beberapa waktu untuk melihat situasi. Bila keadaan
aman dia dapat kembali, tapi bila keadaan gawat dan
terbongkar rencananya oleh pihak Kerajaan, terpaksa
dia melarikan diri dari wilayah Kerajaan yang belum
dapat dipastikan kemana tujuannya. Kejadian diten-
gah perjalanan dengan terbunuhnya kuda tunggan-
gannya telah membuat hatinya semakin kebat-kebit

kalau dirinya selama itu telah dibuntuti orang.
Demikianlah... malam itu Adipati tak dapat
memicingkan mata dengan berbagi pikiran berkeca-
muk dibenaknya.
Dari balik tirai pintu kamar, dilihatnya Nyi De-
nok Warsih masih duduk melamun diberanda depan.
Ada sedikit gejolak didadanya untuk "mendekati" sang
kekasih yang lebih dari dua puluh tahun tak disam-
banginya. Ya, kekasih dalam arti kata-kata, tetapi se-
benarnya mereka tak lebih dari "Suami istri", walau
mereka belum pernah menikah. Entah mengapa hari
itu Adipati Wiralaga baru merasakan dirinya berdosa.
Selama itu dia tak pernah mengingat Nyi Denok War-
sih. Melulu kesibukan dalam tugas di Kota Raja yang
di gelutinya. Bahkan dia benar-benar melupakan wani-
ta desa yang setia  itu, yang telah dijanjikan akan di-
kawininya. Tapi nyatanya dia malah menikah dengan
anak gadis seorang bangsawan.
Ternyata rumah tangganya tidaklah membuat
dia bahagia, karena selama puluhan tahun tak dika-
runiai seorang anakpun untuk pelengkap kebaha-
giaannya. Belakangan timbul pikiran-pikiran kotor
dengan berkenalannya dia dengan seseorang yang
tinggal di pesisir laut kidul, yang membuat dia jadi ter-
libat dalam urusan pemberontakan menggulingkan Ke-
rajaan.
Wiralaga tercenung dalam kekalutan pikiran-
nya. Kini dia melihat Nyi Denok Warsih dengan hati te-
renyuh... Gadis desa yang dulu cantik itu kini telah
mulai keriput dan tua. "Ah, betapa berdosanya aku..."
bisik hati laki-laki itu. Sementara itu Nyi Denok Warsih
yang sedang termangu-mangu diberanda depan jadi
terkejut ketika mendengar suara berderit, dan pintu
terbuka secara mendadak. Terasa bersyiurnya angin
halus yang membuat kulit tubuhnya terasa dinginnya

udara malam. "Ah, aku lupa mengunci pintu..." pikir
wanita ini. Akan tetapi diam-diam hatinya tersentak.
"Aneh...? tak seperti biasanya pintu itu terbuka sendi-
ri...!" pikirnya.
Dia tahu betul pintu tua itu selalu menutup ka-
lau tak diganjal. Akan tetapi kini terbuka lebar-lebar,
tanpa ada orang yang membukanya. Kekuatan angin
sehalus itu tak mungkin sampai dapat menguakkan
daun pintu selebar itu.

***

SEPULUH

"IBUU..." panggilan bernada pedih itu membuat
Nyi Denok Warsih mengangkat wajahnya. Terperangah
seketika wanita tua ini melihat sesosok tubuh wanita
berambut beriapan, dengan tubuh telanjang bulat ber-
diri dihadapannya. Tentu saja membuat perempuan
tua ini tak bisa keluarkan suara, kecuali ternganga
dengan mata membeliak dan tubuh bergetaran.
"Ibuuu... apakah kau masih mengakui aku se-
bagai anakmu...?" terdengar suara wanita itu berkata.
Akulah KEN AYU, ibu... akulah anak yang hilang dicu-
lik si Empat Iblis Pulau Menjangan..."
"Hah... ?" tersentak kaget Nyi Denok Warsih.
Seperti tak percaya dia pada pendengarannya. Barulah
perempuan ini dapat keluarkan suara, dan menjerit
histeris.
"Oh... tti... tidak...! Tidak...! tak mungkin...!
Kau... kau pasti makhluk halus! Jangan ganggu kema-
ri! Pergilah yang jauh, rumahmu disana, di seberang
lautan...!" teriak Nyi Denok Warsih dengan wajah pucat
pias. Saat itu pula Wiralaga telah melompat keluar dari

dalam kamar.
Akan tetapi segera menindak mundur dua tin-
dak. Sepasang matanya membelalak melihat seorang
wanita berambut beriapan yang telanjang bulat berdiri
didepan Nyi Denok Warsih.
"Ssi... siapa kka... kau...?" sentak Wiralaga.
Jantungnya mendadak berdegupan kencang. Walau-
pun dia tak percaya adanya hantu, tapi melihat ke-
munculan wanita berambut beriapan dalam samarnya
cahaya lampu gantung diruangan itu membuat dia ra-
gu-ragu untuk tak percaya hantu.
"Hihihi... aku bukan hantu! jangan takut, ibu...!
Tiba-tiba wanita bugil itu kembali bicara, seraya mena-
tap pada Wiralaga. "Ayah...! hihihi... oh, inikah ayah-
ku, ibu...? Ah, ternyata ayah seorang lelaki yang gagah
dan belum terlalu tua!" ucapnya dengan sebentar-
sebentar mengikik tertawa. Sementara itu Nyi Denok
Warsih berkata dalam hati. "Ya, Tuhan... apakah ge-
rangan yang terjadi? Betulkah dia ini anakku... ?"
Dipandanginya sekujur tubuh wanita itu dari
kepala sampai ke kaki. Tersentaklah dia melihat sepa-
sang kaki wanita bugil itu menempel dilantai papan
ruangan. Kini yakinlah dia kalau makhluk dihadapan-
nya itu adalah manusia.
"Hihihi... percayalah, ayah... ibu...! Aku anak-
mu Ken Ayu! aku sudah berhasil membalaskan den-
dam ibu, juga dendamku...! Dua dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu telah kuracuni hingga mampus! Hi-
hihihi... hihihihi... kini tinggal tiga orang lagi musuh
besarku! Juga musuh besarmu, ibu...! Kelak aku akan
bawa dua buah batok kepala lagi untuk kau lihat wa-
jah orang yang telah menganiayamu, ibu! Dan... satu
lagi adalah yang bernama Sawor! Manusia itu akan
kupersembahkan kepalanya ke Istana kerajaan!"
Dan... kau ayah!" ucapnya seraya menatap pa-

da Wiralaga. "Sungguh tak kusangka kalau kau adalah
seorang Adipati!"
Selesai berkata demikian, tiba-tiba tubuh Ken
Ayu lenyap sirna dari pandangan mereka. Disertai
membersitnya angin keras, daun pintu itupun menu-
tup dengan suara menggabruk keras.
Sejenak keduanya saling berpandangan, den-
gan terperangah dan mata membelalak, seolah tak per-
caya dengan kejadian barusan.
"Jadi... jadi... Manusia Serigala Hantu itu ada-
lah... anakku... K... KEN AYU...?" berdesis suara Adipa-
ti Wiralaga.
Saat itu, Nyi Denok Warsih tiba-tiba jatuhkan
tubuhnya berlutut dihadapannya, seraya berkata den-
gan gemetar bercampur isak.
"Kakang Suhara... oh tak kusangka anak kita
masih hidup! Dan... kau benarkah kau seorang Adipa-
ti? Maafkan aku yang tak mengetahui sama sekali..."
"Haih...! Sudahlah Warsih, Adipati atau bukan,
sama saja..." ucap Wiralaga. "Betapa kita harus ber-
syukur anak kita ternyata masih hidup. Aku yakin!
Yakin sekali dia bukan hantu, atau arwah yang pena-
saran...!" berkata Wiralaga seraya mengangkat bangun
berdiri Nyi Denok Warsih.
"Akupun yakin, kakang Adipati... akan tetapi,
mengapa dia bisa lenyap seperti hantu...? Dan... dan,
dia tak mengenakan pakaian sama sekali..." Adipati
Wiralaga tak menjawab pertanyaan Nyi Denok Warsih.
Akan tetapi dia cuma tercenung, lalu beranjak mem-
buka daun jendela untuk menatap keluar. Sesaat ter-
dengar suara helaan napas laki-laki itu. Lalu menu-
tupkan lagi daun jendela dan menguncinya.
Nyi Denok Warsih masih menatapnya dengan
tatapan tegang, namun segera menundukkan wajah
ketika lengan Wiralaga mencekal pundaknya.

"Sudahlah, Warsih...! jangan terlalu memikir-
kan yang tidak-tidak. Bermacam ilmu banyak terdapat
didunia ini. Jangankan untuk melenyapkan diri seperti
hantu, merobah wujud manusia menjadi seekor seriga-
la pun bisa saja terjadi!" ucapnya lirih. Dan agar Nyi
Denok Warsih tak banyak bertanya lagi, cepat-cepat
Wiralaga berkata. "Hari sudah larut malam, Warsih!
marilah kita pergi tidur..." ajak Wiralaga seraya me-
nuntunnya memasuki kamar.
Perempuan itu tak dapat menolak, karena tera-
sa bulu romanya bangun berdiri mendengar penuturan
Wiralaga. Dia memang takut kalau tidur sendirian di-
kamarnya....
Dan... malam itu Nyi Denok tak dapat menolak
untuk memenuhi keinginan sang Adipati. Terasa di-
apun amat membutuhkan belaian tangan laki-laki
yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah me-
nyentuhnya, juga menikahinya...
Sudah dua hari Roro Centil berada di wilayah
Kota Raja. Selama itu dia sudah banyak "nguping"
mengenai berita-berita yang tersebar baik dari mulut
penduduk dari rakyat jelata, maupun dari kalangan
orang-orang Kerajaan. Dengan "menyamar" sebagai la-
ki-laki, Roro keluar masuk tempat-tempat ramai di wi-
layah sudut Kota Raja. Seperti pada suasana pasar
yang dikunjunginya, tampak Roro yang berpakaian ba-
ju warna putih dan celana pangsi warna hitam terbuat
dari bahan kasar. Rambutnya ditutupi dengan belitan
ikat kepala yang ditutupi pula oleh topi tudung atau
capil mirip seorang pemuda petani.
Diantara simpang siurnya orang dipasar, Roro
melihat seseorang berjalan cepat yang tampak mencu-
rigakan. Orang itu mengenakan topi tudung lebar me-
nutupi wajahnya. Mengenakan jubah warna abu-abu.
Dipunggungnya terdapat sebuah buntalan kain warna

hitam yang bertambal. Sepintas Roro melihat laki-laki
itu adalah mirip seorang pengemis tua yang berjanggut
putih.
Melihat caranya berjalan, tampak seperti terge-
sa-gesa, dan menyelinap cepat diantara simpang siur-
nya manusia di pasar ramai itu. Tentu saja Roro tak
mau melewatkan kejanggalan semacam itu. Roro pun
segera diam-diam menguntit pengemis itu.
Setelah melewati beberapa lorong, segera tiba
disudut kota. Roro cepat menyelinap kebalik reruntu-
han tembok ketika laki-laki itu menoleh. Melihat sua-
sana "aman" segera si pengemis enjot tubuh untuk se-
gera berlari cepat. Akan tetapi sebutir batu telah me-
layang menyambar buntalan dipunggungnya. Terden-
gar suara. CRING...! Dan berhamburanlah kepingan-
kepingan uang logam dari dalam buntalan.
Pengemis itu tampak terkejut, seraya hentikan
larinya. Tapi mendadak isi buntalannya berhamburan
keluar semua isinya. Tersentak si pengemis tua itu.
Sementara diam-diam Roro Centil tersenyum. Dialah
yang barusan menyambitnya dengan dua butir batu
kerikil. Melihat buntalan yang dicurigai dan kelihatan
berat itu Roro ingin tahu apa isinya. Tahulah Roro
Centil kalau setidak-tidaknya si pengemis itu bukan
orang baik-baik.
Sekejap dia sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Ah, kasihan...! Agaknya bapak kurang teliti
membungkus uang sebanyak itu pada kain buntalan
yang sudah rapuh. Mari kubantu mengumpulkan-
nya...!" berkata Roro seraya mendekati laki-laki pen-
gemis itu yang tengah terkejut melihat isi buntalannya
berhamburan dan kain buntalannya sobek besar.
WHUKK! Tiba-tiba lengan pengemis itu berge-
rak menghantam ke arah kepala Roro Centil yang baru

saja membungkuk, disertai bentakan.
"Orang usil! Mampuslah kau...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
CRRIIIING! Dibarengi suara menjeritnya laki-laki pen-
gemis itu. Selanjutnya si pengemis itu berteriak-teriak
kesakitan dengan suara tersumbat dan mata membela-
lak. Apakah yang terjadi?
Ternyata sekali gerakkan lengannya, Roro telah
menebarkan belasan keping uang logam perak itu yang
tepat mengenai beberapa jalan darah penting ditubuh
laki-laki pengemis itu, bahkan beberapa keping uang
itu telah menyumbat pula mulut si pengemis. Semen-
tara lengan si pengemis itu telah berubah kaku karena
uratnya tertotok.
"Hihihihi... hihi... bapak benar-benar keterla-
luan sekali, mengapa sampai uang logam  yang kau
makan?" berkata Roro dengan tertawa mengikik.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara benta-
kan-bentakan keras disertai berlompatannya beberapa
sosok tubuh.
"Pencuri licik! Masih semuda itu kau sudah be-
lajar merampok, bahkan mencelakai orang pula!"
"Jangan biarkan dia meloloskan diri! Cincang
sampai lumat!" Terkejut Roro Centil ketika tahu-tahu
angin bersyiuran dibelakang punggungnya. Ternyata
dua buah golok besar telah menyambar untuk mena-
bas punggung dan leher Roro. Cepat sekali Roro Centil
menghindar ke samping. Kakinya segera memain, men-
jegal kaki orang. Terdengar suara memekik keras ke-
dua orang itu disertai jatuhnya kedua tubuh itu yang
"ngusruk" ke atas tumpukan uang logam yang ber-
hamburan di tanah. Criiiiing...! Bahkan salah seorang
telah membentur tubuh si pengemis tua itu, hingga tak
ampun tiga tubuh jatuh bergedebukan di tanah. Dan
uang logampun berhamburan tertindih.

Dengan mengaduh kesakitan keduanya beru-
saha bangkit. Tampak hidung dua penyerang Roro itu
berlumuran darah. Bahkan salah seorang telah tanggal
giginya sebuah. Roro  memandang dengan melototkan
mata. Tapi segera tertawa geli dan berkata sinis. "Hihi-
hi... kau rasakan upahnya menuduh orang!"
"Kunyuk keparat!" memaki laki-laki kekar yang
telah melompat bangkit berdiri. "Pencuri busuk! Kau
berani mempermainkan kami... petugas Kerajaan?" Te-
riak pula kawannya yang telah pula bangkit berdiri
dan membentak garang.
Roro Centil jadi melengak karena baru dia me-
nyadari kalau kedua orang yang menyerangnya baru-
san adalah dua orang perwira Kerajaan.
"Ah, maaf, maaf! Aku sama sekali tak tahu ka-
lian dua orang petugas, akan tetapi kalian salah sang-
ka kalau menuduhku pencurinya!"
"Siapa percaya omongan maling? Jelas aku li-
hat sendiri kau yang merampok diujung pasar tadi.
Kami melakukan pengejaran dengan memotong jalan.
Akan tetapi ternyata kau terjatuh karena berlari tak
melihat jalan. Pengemis tua ini sedang lewat di tempat
ini, mengapa kau mengerjainya, dan kau mau jatuh-
kan kesalahan pada seorang pengemis tua renta ini...?"
berkata keras salah seorang dari perwira Kerajaan itu.
Roro Centil jadi garuk-garuk pantat yang tidak
gatal. Seraya leletkan lidah dia berkata.
"Kau ini petugas yang mau menangkap maling
atau pengarang cerita? Justru aku..." belum habis Ro-
ro berkata sudah disambar lagi dengan cepat.
"Cukup! Aku ampuni kesalahanmu untuk  kali
ini! Karena memandang kau masih berusia muda! Tapi
lain kali... Huh! Hayo cepat kau angkat kaki dari sini...!
Sebentar lagi satu regu pasukan keamanan Kerajaan
akan tiba disini, dan kau segera akan ditangkap...!"

hardik pengawal itu dengan mata mendelik.
Mendengar demikian si "pemuda" itu tampak
pucat wajahnya. Setelah celingukan kesana-kemari se-
gera tancap kaki untuk kabur pontang-panting hingga
sebentar saja sudah tak kelihatan lagi.
Kedua pengawal itu saling pandang dengan ter-
senyum, dan seketika meledaklah tawanya terbahak-
bahak.
"Hahahahah... hahaha... bisa saja kau menga-
kali orang, Bro...!" berkata kawannya pada laki-laki
yang barusan membentak pemuda tadi. Dia bernama
Subro. "Cuma saja aku yang sial! Gigiku copot se-
buah...!" ujarnya lagi.
"Alaaah! Cuma sebuah tak mengapa, hayo ce-
pat kau kumpulkan uang ini! Mumpung tak ada yang
melihat! Hahahaha ... kita akan kaya!"
Tak ayal kedua pengawal itu segera bekerja ce-
pat membenahi uang yang tercecer di tanah. "Akan ki-
ta bungkus dengan apa uang sebanyak ini?" berkata
Subro setelah semua kepingan uang emas dan perak
itu terkumpul.
"Hm..." mata pengawal yang satunya lagi segera
jelalatan mencari kain pembungkus. Memandang pada
kain sarung seragamnya adalah tak mungkin. Tiba-
tiba terpandang pada kain sarung si pengemis yang
masih terjengkang dalam keadaan tertotok. "Hehehe...
kain sarung si kambing tua yang sial ini bisa dipergu-
nakan! ujarnya seraya beranjak mendekati. Dan....
WEEEEK! BREBEET...! Sekejap saja Masdun sudah
membesetnya. Mendelik mata si pengemis  tua itu.
Seandainya mulutnya tak tersumpal kepingan uang
perak, tentu dia sudah memaki. Namun dia tak bisa
berbuat apa-apa karena sekujur tubuhnya terasa kaku
tak dapat digerakkan.
"Cepat bungkus!" perintah Masdun pada Subro

sang kawan seraya melemparkan kain sarung itu. Se-
mentara matanya sudah menatap pada si pengemis.
"Hahahaha... masih ada sisa uang disini,
Bro...!" ujarnya, dengan tertawa menyeringai. "He,
kambing tolol! Cepat kau buka mulutmu. Jatuhkan
uang itu!" bentaknya pada si pengemis. Namun yang
dibentak cuma melotot geram. Cuma suara ditenggo-
rokan saja yang terdengar.
"Oh, ya aku lupa, agaknya kau telah kena totok
rupanya...? Baiklah! Dengan cara ini sisa uang dalam
mulutmu bisa keluar!" ujarnya seraya lengannya men-
jambak rambut si pengemis, dan  satu lagi melayang
menghantam belakang leher orang. Buk! "Heek...!"
Dan... Criiiiing!
Berpentalanlah seketika beberapa keping uang
perak dari dalam mulut pengemis tua itu. "Hahaha ba-
gus! Kini tidurlah kau sampai matahari terbenam!"
ujarnya seraya menghempaskan kembali tubuh si pen-
gemis tua itu yang segera terdengar keluhnya.
"Auuuuh...!" Karena pukulan pada belakang leher dan
hempasan keras barusan telah mengenai batu tepat
pada belakang kepala, tak ampun seketika si pengemis
tua itu tak sadarkan diri.
Masdun tertawa menyeringai sambil tepuk-
tepukkan kedua tangannya membersihkan debu. Na-
mun segera cepat-cepat beranjak ke arah Subro untuk
bantu membenahi kepingan uang yang berceceran ba-
rusan.
Tak berapa lama seluruh kepingan uang sudah
masuk dalam buntalan. Masdun mempererat tali ika-
tannya. "Apakah sebaiknya tak dibunuh saja si kamb-
ing tua tolol ini? Dia bisa menyusahkan kita!" berkata
Subro.
Tertegun sejenak Masdun untuk berfikir. Akan
tetapi segera menjawab dengan wajah berubah mene-

gang. "Bagus! Usul yang baik sekali! Biarlah aku yang
menghabisinya!" berkata Masdun seraya memungut
golok besarnya dan beranjak mendekati si pengemis
tua.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Dan... tahu-tahu Masdun menjerit ngeri ketika satu
hantaman keras membuat kepalanya pecah, otaknya
berhamburan. Dan... Bruk! Laki-laki pengawal itu ro-
boh tewas seketika. Terperangah Subro ketika melihat
dua sosok tubuh berjubah hitam muncul dihadapan-
nya. Salah seorang adalah yang barusan menghantam
kawannya dengan senjata rantai berbandulan Kepala
tengkorak emas.
Belum sempat dia berbuat sesuatu, Subro su-
dah perdengarkan jeritannya ketika satu angin puku-
lan dari lengan salah satu dari kedua orang berjubah
hitam itu menghantam tubuhnya. Seketika tubuhnya
terlempar puluhan tombak. Ketika jatuh ke tanah, cu-
ma mampu menggeliat sejenak, lalu tewas seketika.
Karena pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu
telah meremukkan sekujur isi dalam bagian tubuhnya.
"Hm, si bodoh orang kita ini rupanya sudah ke-
na totok orang! Dia pingsan. Apakah dihabisi saja se-
kalian! Kukira dia sudah tak berguna!" berkata salah
satu dari si jubah hitam yang berwajah buruk, mem-
punyai dua buah codet besar yang melintang di wajah-
nya. Sebelah matanya picak.
"Kalau menurut pandanganmu baik, siapa yang
larang...?"  menyahut kawannya yang mempunyai wa-
jah hampir mirip namun tak seburuk
wajahnya. Laki-laki ini tertawa mengekeh se-
raya beranjak mendekati. Sekali lengannya terangkat,
terdengarlah suara PRAKKK...! Remuklah seketika ba-
tok kepala si pengemis tua itu. "Hm, hayo cepat kita
pergi dari sini...!" berkata si muka codet, seraya len-

gannya menyambar buntalan. Dan kedua manusia sa-
dis berjubah hitam itupun berkelebatan lenyap...

***

SEBELAS

RORO CENTIL BERKELEBAT menguntit kedua
manusia berjubah hitam itu. Dari tempat sembunyinya
dia telah menyaksikan kejadian tadi. "Siapakah dua
manusia keji itu?" desis Roro seraya berkelebatan den-
gan hati=hati agar tak menimbulkan suara. "Ingin ku
tahu dimana sarangnya...! Jelas dari kata-katanya si
pengemis tua itu adalah Konconya dua manusia ini...!"
Selang kira-kira semakanan nasi kedua orang
itu hentikan larinya. Mereka telah tiba disatu sisi hu-
tan dilereng bukit. Lalu berjalan cepat ke satu samping
batu besar. Ternyata disana ada sebuah mulut goa
yang tersembunyi. Akan tetapi belum lagi kedua orang
itu masuk, sudah terdengar suara tertawa mengikik
membuat mereka jadi terperangah.
"Hihihi... hihihi... Tunggir Ireng! Tunggir Ab-
ang...! Masanya kau membayar hutang sudah tiba! Hi-
hihi... hihihi..."
Membelalak kedua pasang mata laki-laki berju-
bah itu memandang ke mulut goa tempat sembunyinya
selama ini. "Siapa didalam...!" bentak si muka codet.
Dialah yang bernama Tungkir Ireng.
Tak ada jawaban. Tapi selang sesaat bersyiur
angin bergulung-gulung dari dalam goa yang menyebar
ke sekeliling kedua manusia jubah hitam itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang ini melengak. Kembali ter-
dengar suara tertawa mengikik yang terdengar dekat
sekali. Dan... tahu-tahu di hadapan mereka menjelma

sesosok tubuh wanita berambut berapian. Dan yang
membuat mata mereka membelalak lebar adalah wani-
ta itu dalam keadaan membugil tanpa sehelai benang-
pun melekat pada kulit tubuhnya.
Seketika tersentaklah masing-masing dari mu-
lut mereka suara tertahan karena terkejutnya. "Hihi-
hi... Lihat sekelilingmu!" membentak wanita itu. Dan...
terperanjatlah kedua manusia berjubah itu melihat pu-
luhan serigala telah mengurung mereka dari segenap
penjuru disekelilingnya.
"Manusia Serigala Hantu...!" serentak hampir
berbareng mereka berteriak kaget. Lemaslah sekujur
persendian kedua laki-laki berjubah itu. Karena sudah
didengarnya kalau si Manusia Serigala Hantu itu me-
mang tengah mencarinya untuk membalas dendam.
Dua orang diantara Empat Iblis Pulau Menjangan telah
tewas di tangannya juga si ketua Markas Partai Naga
Hijau berikut anak buahnya.
"Hihihihi... Iblis-iblis Pulau Menjangan, silah-
kan kau membela diri sebelum aku Ken Ayu memotes
kedua batok kepalamu untuk ku persembahkan pada
ibuku...!"
"Kau... kau Ken Ayu, anak si Denok Warsih...?"
sentak Tunggir Ireng terkesiap. "Hihihi baru tiga tahun
yang lalu aku lolos dari sekalian kalian di Pulau Nusa
Kambangan masakan kau sudah lupa? Nah, bayarlah
hutangmu berikut bunganya...!"
Sekejap saja tubuh si Manusia Serigala Hantu
lenyap sirna dari pandangan mereka. Tersentak Tung-
gir Ireng dan Tunggir Abang, dua dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu. Serentak mereka mencabut senjata
masing-masing. Lalu kerahkan ilmu batin setelah sal-
ing memberi tanda untuk melihat dimana adanya wa-
nita itu.
Namun sebelum mereka sempat melakukan pu-

luhan serigala itu telah menerjangnya bagaikan
bayang-bayang hantu. Seolah terdengar suara geram
"makhluk-makhluk" itu yang menerkam untuk meren-
cah tubuh mereka.
WHUK! WHUK! WHUK! Tunggir Ireng dan
Tunggir Abang putarkan senjata rantai masing-masing
untuk menerjang serigala-serigala itu. Akan tetapi me-
legak mereka karena bagaikan menabas angin saja, tak
satupun yang dari makhluk itu yang terkena hanta-
man kedua senjata bandulan tengkorak emas si iblis
Pulau Menjangan itu.
Bertubi-tubi serangan dilakukan tetap saja me-
reka menabas angin belaka. Bahkan serigala-serigala
itu semakin banyak jumlahnya ketika kembali mem-
bersit angin kencang yang bersyiur disekeliling mereka.
Diantara geram para "serigala" itu terdengar pula sua-
ra mengikik tanpa terlihat manusianya. Semakin gen-
tarlah hati kedua manusia ini.
Sementara itu sepasang mata sejak tadi terus
mengikuti kejadian di tempat itu dengan mata tak ber-
kedip. Dialah si pemuda berbaju putih hitam sederha-
na, alias Roro Centil.
"Gila...!" sentak Roro terkejut. Ilmu apakah
ini...? Ah, agaknya dia inilah si Manusia Serigala Han-
tu. Betapa mengerikan dan hebat ilmunya!" Sementara
pertarungan berjalan terus, dan kedua Iblis Pulau
Menjangan semakin terdesak. Disamping nyalinya su-
dah copot, juga bingung menghadapi lawan aneh yang
sekian banyaknya tanpa mampu memporak poranda-
kan laskar "serigala" itu.
Akhirnya mereka saling memberi tanda. Tiba-
tiba keduanya pergunakan ilmu lompatannya untuk
melambung setinggi delapan tombak. Tepat di udara
kedua lengan mereka saling lakukan hantaman pada
empat telapak tangan.

DHES...! benturan tenaga dalam itu telah
membuat kedua tubuh mereka terlontar sejauh lebih
dari sepuluh tombak. Dengan "akal" itu mereka beru-
saha melarikan diri dengan berpencar. Akan tetapi se-
gulung angin menggebu telah membumbung ke udara,
tepat disaat kedua Iblis Pulau Menjangan lakukan
hantaman tenaga dalam dengan kedua telapak tangan.
WWHUUKSS...! Terperangah seketika keduanya. Apa-
kah  yang terjadi...? Kedua tubuh Tunggir Ireng dan
Tunggir Abang dalam keadaan tergantung di udara
dengan keempat lengannya menempel satu sama lain.
"Celaka...!? kita tak dapat menggerakkan  tu-
buh...?!" teriak Tunggir Ireng dengan wajah pucat. Ke-
heranan yang amat luar biasa itu membuat mereka ke-
luarkan keringat dingin disekujur tubuh.
Sementara itu dibalik sebongkah batu Roro
Centil alias "pemuda" tersenyum simpul melihat kedua
Iblis Pulau Menjangan terapung-apung di udara.
Ternyata Roro Centil telah mencoba jurus baru
hasil ciptaannya di Pulau Air. Itulah jurus yang dina-
makan jurus. Kosongkan Perut Menahan Lapar. Ilmu
serangan tenaga dalam yang dapat mengosongkan
udara disekitar angin pukulan. Hingga mirip keadaan
diluar angkasa. Sekitar angin pukulan Roro Centil ko-
song tanpa udara. Dalam keadaan demikian mana
manusia mampu bertahan untuk tidak bernapas da-
lam waktu terlalu lama?
"Grrrr...! Terdengar geraman seekor serigala be-
sar yang tahu-tahu telah menjelma tepat di bawah ke-
dua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang. Dengan perden-
garkan suara melolong panjang, serigala besar itu me-
luncur ke udara untuk menerkam... Namun tubuhnya
tersangkut ditengah jalan dalam udara kosong buatan
Roro. Untunglah saat itu Roro telah tarik lagi kekuatan
dahsyat dari jurus pengosongan udara itu. Akibatnya

kedua tubuh yang terapung di atas itu meluruk jatuh
kembali ke  bawah. Samar-samar serigala besar yang
berada di bawah itu berubah ujud kembali jadi sosok
tubuh bugil alias Ken Ayu. Dan... cepat sekali kedua
lengannya menabas ke arah dua tubuh yang baru saja
meluncur turun...
DES! DES!
Terdengar suara jeritan parau sesaat, dan sebe-
lum kedua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang menyen-
tuh tanah, kepalanya telah terlepas, terpisah dari tu-
buhnya dengan darah segar berhamburan...
Bruk! Bruk! kedua tubuh tanpa kepala itu ja-
tuh bergedebukan ke tanah. Cepat sekali gerakan Ken
Ayu menyambar dua buah kepala.
Sekejap kemudian wanita bugil itu telah mele-
sat kembali ke atas batu di mulut goa. Berdiri disana
dengan kedua lengan mencekal rambut kepala dua
manusia Iblis Pulau Menjangan.
Tampaknya si Manusia Serigala Hantu menge-
tahui adanya orang yang sembunyi dibalik sebongkah
batu. Bahkan mengetahui kalau kejadian mengapung-
nya kedua musuh besarnya tadi di udara adalah aki-
bat hantaman angin pukulan orang yang sembunyi di-
balik bongkah batu besar itu.
"Orang baik siapakah yang ikut campur mem-
bantuku... hihihi keluarlah ingin kulihat manu-
sianya..." berkata dia dengan suara dingin. Terhenyak
Roro Centil. Tadinya dia tak mau menampakkan diri,
namun terpaksa dia harus keluar ujudkan wajah.
"Aiiii...! Aku tak bermaksud menolongmu, so-
bat! Aku sendiri tengah mengejar dua manusia itu.
Mana mungkin kubiarkan mereka melarikan diri?"
berkata Roro seraya melompat keluar dari tempat per-
sembunyiannya. Diam-diam Roro tertegun memandang
keadaan tubuh wanita yang membugil dihadapannya

yang amat risih bila di pandang. Hatinya membatin.
"Kasihan...! Ilmu apakah yang dianutnya hing-
ga dia tak mengenal rasa malu lagi...?" Sejenak Roro
tercenung menatap. Sekali pandang saja Roro telah bi-
sa menilai orang dihadapannya adalah seorang wanita
yang amat cantik parasnya. Namun dengan keadaan
rambut kusut tak terurus dan tubuh dekil berdaki de-
mikian seperti menghilang keayuannya.
"Hm, begitukah...?" tukas si wanita itu dengan
lebih tajam menatap Roro.
"Bolehkah aku tahu permusuhan apakah kau
dengan kedua orang ini...?" tanya Roro seraya melirik
pada dua tubuh tanpa kepala didekatnya.
Sejenak tercenung wanita itu mendengar perta-
nyaan Roro. Lalu terdengar suara helaan nafasnya.
"Kisahnya amat panjang, orang baik...! Aku tak
bisa menuturkannya padamu saat ini karena aku me-
mang belum kenal kau siapa! Tapi... seumur hidupku
baru aku melihat seorang laki-laki setampanmu! Hihi-
hihi...!"
"Hihihi...! Siapa bilang aku laki-laki? Aku juga
perempuan seperti kau, sobat!" berkata Roro seraya
meloloskan topi tudungnya, lalu lepaskan ikat kepala
pembungkus rambut, dan usap goresan hitam kecil di
bawah hidungnya. Sekejap lenyaplah si pemuda tam-
pan itu. Yang nampak jelas adalah seorang dara cantik
jelita dengan rambut terurai panjang sampai ke ping-
gang.
Si Manusia Srigala Hantu ini jadi melengak he-
ran. Akan tetapi segera mengikik tertawa. "Ah!? Sung-
guh tak kusangka kalau kau seorang gadis yang can-
tik!" ujarnya dengan memandang kagum.
"Kau juga cantik, sobat...!" ujar Roro dengan
menatap dan tersenyum. "Apa lagi kalau kau bersih-
kan tubuhmu, lalu memakai pakaian yang pantas. Ah,

siapapun pasti akan menyangkamu seorang dewi ka-
hyangan..."
Akan tetapi kata-kata Roro justru membuat wa-
jah si Manusia Serigala Hantu jadi berubah kaku.
Tampak bibirnya bergerak bergetaran seperti tak se-
nang dengan sanjungan kata-kata Roro barusan.
"Huh! Aku muak dengan kata-kata rayuan ma-
cam begitu! Kecantikanku cuma menjadikan aku men-
derita! Dan... kecantikan cuma menjadikan munculnya
bermacam bencana...!" ucapnya dengan suara pedih.
Dan Roro melihat jelas mata wanita itu tampak berka-
ca-kaca. Bahkan sebutir air mata telah meluncur tu-
run membasahi pipinya yang kotor.
Terhenyak seketika Roro Centil. Namun dengan
suara datar segera Roro berkata.
"Kau memang dilahirkan dengan keadaan can-
tik, mengapa harus menyalahkan takdir? Kehidupan
manusia memang banyak macam ragam jalan hidup-
nya. Akan tetapi kita tak boleh menyalahkan apa yang
telah diberikan Tuhan pada kita!" khotbah Roro den-
gan tersenyum.
Tercenung seketika si Manusia Serigala Hantu.
Dan tak sadar dia telah tundukkan wajahnya.
Kata-kata Tuhan seperti telah menyadarkan in-
gatannya. Dulu ketika dia masih tinggal dengan tente-
ram bersama gurunya di pulau Nusa Kambangan, sang
guru sering memberi wejangan untuk mengenal Tuhan
padanya.
Sejak kecil dia menganggap Marga Dewa si Ke-
tua Partai Gagak Sakti itu adalah kakeknya sendiri.
Belakangan setelah dewasa barulah dia menanyakan
siapa kedua orang tuanya. Marga Dewa akhirnya ber-
terus-terang padanya, bahwa dia sama sekali tak men-
getahui siapa kedua orang tuanya. Yang diketahuinya
ialah... dia direbut dari tangan si Empat Iblis  Pulau

Menjangan. Ketika itu Ken Ayu masih berusia sekitar
lima tahun. Marga Dewa tak dapat menewaskan keem-
pat manusia jahat itu, kecuali cuma melukainya saja.
Ternyata diketahui adik seperguruan Marga Dewa yang
bernama Rupaci telah tergabung dalam komplotan
Empat Iblis Pulau Menjangan. Demi keselamatan di-
rinya, sang guru telah membawanya sejauh mungkin
dan di tempat yang tersembunyi, yaitu di Pulau Nusa
Kambangan. Di Sana dia membentuk Partai Gagak
Sakti.
Hidup tenteram di tempat  terpencil dikelilingi
laut itu ternyata tak bisa selamanya dinikmati, karena
tiga belas tahun kemudian Empat Iblis
Pulau Menjangan berhasil mengetahui tempat
tinggal sang guru, hingga kemudian terjadi musibah,
dengan tewasnya sang guru, dan terjatuhnya  dia ke
tangan Empat Iblis Pulau Menjangan. Bersama-sama
seorang laki-laki tak diketahui asal usulnya bernama
Sawor, Ken Ayu jadi bulan-bulanan kelima manusia
hidung belang itu, yang kemudian menggabungkan diri
dengan julukan Lima Iblis Naga Setan.
Betapa berat penderitaan Ken Ayu yang harus
melayani nafsu bejat kelima manusia itu. Hingga me-
nimbulkan dendam yang amat luar biasa di hatinya.
Tiga pekan lebih selama disekap oleh manusia-
manusia bernafsu bejat itu, tak kurang dari belasan
kali dia pingsan tak sadarkan diri.
Akan tetapi terkejut Ken Ayu ketika disaat te-
rakhir kali dia siuman dari pingsannya didapati dirinya
sudah tak berada lagi di ruangan kamar Markas dima-
na dia disekap. Akan tetapi berada di sebuah goa yang
seram tanpa penghuni, tak diketahui siapa yang telah
membawanya ke tempat itu.
Tak diketahuinya pula berapa lama dia di tem-
pat itu. Selama itu Ken Ayu sudah tak ingat lagi apa

yang telah terjadi pada dirinya. Yang di ketahuinya
adalah dia sering mendengar bisikan-bisikan gaib un-
tuk mempelajari ilmu-ilmu aneh didalam goa itu, yang
dalam mempelajarinya dalam keadaan telanjang bulat.
Entah setan entah manusia, hingga setelah memakan
waktu panjang yang seperti tiada habisnya, suara gaib
itu telah mengusirnya keluar dari dalam goa.
Demikianlah hingga Ken Ayu "bergentayangan"
mencari musuh-musuh besarnya, dan mencari tahu
dimana adanya kedua orang tuanya...
Kembali mengiang berkali-kali kata-kata Roro,
yang telah membuat ingatannya kembali pulih ke alam
sadar sedikit demi sedikit. Bahkan Roro Centil telah
menambahkannya lagi.
"Ilmu boleh dimiliki setinggi langit, tapi menga-
pa harus mengorbankan harga diri sebagai manusia?
Binatang mempunyai bulu untuk pelindung aurat!"
Tiba-tiba si Manusia Serigala Hantu menenga-
dahkan wajahnya, menatap pada Roro dalam-dalam,
seraya ujarnya tergagap.
"Aku... aku... tak dapat melanggar janji pada
guruku yang telah mengajari ilmu-ilmu yang kumiliki
saat ini...! Bila ku langgar aku akan kehilangan semua
ilmu-ilmuku!"
"Hm, itu terserah keinginanmu! Berapa ba-
nyakkah musuh besarmu? Aku Roro Centil bersedia
membantumu menumpas sekalian musuh-musuhmu,
asalkan memang kenyataannya manusia yang harus
dibinasakan adalah manusia-manusia bejat!" berkata
Roro Centil dengan suara  mengandung belas kasih.
Dari air mata yang mengalir keluar serta dari kata-kata
marahnya wanita itu terhadap Roro ketika Roro memu-
ji kecantikannya, si Pendekar Wanita Pantai Selatan
sudah maklum kalau wanita itu mengalami goncangan
jiwa akibat perbuatan manusia-manusia durjana. Itu-

lah sebabnya Roro merasa simpati padanya, bahkan
bersedia membantu si Manusia Serigala Hantu.
Tampak wajah wanita itu membersitkan wajah
cerah menatap Roro. Betapa diapun amat mendamba-
kan hidup yang normal seperti layaknya manusia bi-
asa. Ilmu-ilmu yang dimiliki serasa memberatkannya.
Walaupun secara tak langsung si pemberi ilmu telah
menyelamatkan dirinya dari tangan lima manusia ter-
kutuk yang telah membuatnya menderita lahir batin.
"Ah, betapa mulianya hatimu, kakak...! Boleh-
kah aku memanggilmu "kakak"? Aku tak mempunyai
seorang saudara pun. Kalau kau mau menganggapku
saudaramu, betapa girangnya hatiku. Serasa aku be-
nar-benar menjadi manusia lagi! Dan... dan aku... aku
bersedia membuang ilmu-ilmuku!" Ucap wanita itu
dengan suara tergetar menahan perasaan girangnya
yang meluap.
"Aiii...! Syukurlah! Bagus...! Aku tak keberatan
mengangkat saudara denganmu, siapakah namamu
adik...?" tanya Roro seraya beranjak mendekati.
"Aku cuma tahu guruku memanggilku Ken
Ayu...! sahutnya dengan sepasang mata berkaca-kaca.
Roro manggut-manggut dengan tersenyum.
"Namaku sendiri adalah Roro Centil!" Ujar Roro
memperkenalkan diri. "Mari kita tinggalkan tempat ini!
Aku akan mencarikan pakaian yang pantas! Tapi se-
baiknya. kau mandi dulu yang bersih! Disebelah sana
ada sungai berair jernih...! Ayolah!" ajak Roro seraya
menyambar buntalan yang tergeletak di tanah tak jauh
didekatnya. Lalu beranjak mendekati Ken Ayu seraya
menggamit lengannya.
Ken Ayu tak dapat menolaknya lagi untuk me-
nuruti ajakan itu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek
menahan langkahnya.
"Ah, akan tetapi aku harus mengantarkan  ke-

dua buah kepala ini dulu pada ibuku! Aku telah ber-
janji untuk membawa dua batok kepala musuh besar-
ku ini padanya, karena selain musuh besarku kedua
manusia Iblis Pulau Menjangan ini juga musuh besar
ibuku!" berkata Ken Ayu.
"Hm, begitukah...? Haiih! Sudahlah! Kelak aku
akan menemanimu mengantarkannya! Bawalah kedua
buah kepala itu. Mari kita ke sungai. Sementara kau
mandi yang bersih, aku akan mengantarkan buntalan
uang ini dulu kepada pemiliknya sekalian mencarikan
pakaian yang baik untukmu...!" ujar Roro dengan ter-
senyum.
Ternyata usul Roro tak dapat Ken Ayu meno-
laknya. Tak berapa lama tampak dua sosok tubuh wa-
nita itu berkelebatan menuju ke arah sungai.

***

DUA BELAS

BENARLAH SEPERTI YANG ditakutkan Adipati
Wiralaga. Surat yang dikhawatirkan jatuh ke tangan
orang Kerajaan justru telah berada di tangan Mahapa-
tih Raksa Mandala. Segera saja Pembesar Kerajaan itu
mengutus Senapati Pamuji untuk menjalankan tugas
membekukan pemberontakan sebelum terlambat. Se-
mentara itu gedung Kadipaten segera disita oleh Kera-
jaan, dan dalam pengawasan serta penjagaan ketat.
Adipati Wiralaga dicari untuk di tangkap.
Sementara Senapati Pamuji dengan dua ratus
lasykar Kerajaan berangkat ke pesisir laut kidul untuk
menangkap sekutu Wiralaga dan menggagalkan pen-
dropan kapal-kapal asing yang bakal menyerbu wi-
layah kekuasaan Kerajaan. Tentu saja telah menghu-

bungi pula beberapa tokoh Pendekar dari kalangan
menyambut tugas itu dengan semangat baja.
Ketika itu didesa Gombong... Dua orang dara
jelita memasuki wilayah desa itu dengan wajah berseri.
Berpakaian rapi warna putih dan hijau. Tampaknya
kedua dara itu amat akrab sekali, bahkan berjalan
dengan bergandengan tangan memasuki mulut desa.
Mereka tak lain dari Ken Ayu dan Roro Centil. Roro
memang tengah mengantar Ken Ayu sang saudara
angkat itu untuk mengunjungi ibunya di desa Gom-
bong.  Untuk mengantarkan dua buah kepala si Iblis
Pulau Menjangan, seperti janjinya pada sang ibu.
Tampak sebuah buntalan dicekal pada sebelah lengan
Ken Ayu.
Akan tetapi terkejut mereka ketika mendengar
kegaduhan didalam desa. Beberapa orang berlarian,
dan berteriak-teriak ketakutan.
Apakah gerangan yang terjadi...?
Kiranya ditengah desa tengah terjadi pertarun-
gan hebat antara dua orang laki-laki. Yang ternyata
adalah Adipati Wiralaga dengan seorang laki-laki  tua
bermuka hitam keriput. Sementara seorang wanita
yang tidak terlalu tua tengah meringis kesakitan dalam
keadaan dicengkeram rambutnya oleh seorang wanita
pula yang berpakaian sutera warna kembang-kembang
yang pada sekujur tubuhnya penuh dengan perhiasan.
Perempuan yang menyeringai kesakitan itu tak lain da-
ri Nyi Denok Warsih. Sedangkan yang mencengkeram-
nya adalah istri Adipati Wiralaga. Entah bagaimana is-
tri Adipati itu bisa sampai ke desa Gombong? Baiklah
kita ikuti kisahnya.
Ternyata sebelum orang-orang Kerajaan men-
gepung gedung Kadipaten sang istri Adipati telah ang-
kat kaki terlebih dulu. Bersama siapa lagi keberangka-
tannya, kalau tak bersama si Lutung Pancasona!? Ten-

tu saja telah membenahi terlebih dulu barang-barang
berharga milik Adipati itu yang dibawa kabur melari-
kan diri. Karena ternyata telah tercium pula adanya
seorang laki-laki yang berada di gedung Kadipaten dan
di curigai sebagai orang buronan Kerajaan.
Justru suatu kejadian kebetulan yang sangat
tak diduga, ternyata keduanya bahkan mengungsi un-
tuk menyembunyikan diri di desa Gombong. Tentu saja
kemunculan istri Adipati itu menjadi perhatian yang
menyolok dimata penduduk desa itu. Dan... dengan
kebetulan sekali Adipati Wiralaga melihat kemunculan
istrinya didesa itu. Tak ayal dia sudah melompat ke-
luar dari dalam rumah Nyi Denok Warsih.
"Istriku, mau apa kau menyusulku kemari?
Dan... siapakah laki-laki yang bersamamu?" bertanya
Adipati Wiralaga.
Karena memang sudah tak menyukai lagi sua-
minya, apalagi telah diketahui oleh orang-orang Kera-
jaan akan pengkhianatan suaminya yang berniat
memberontak dan tengah dicari oleh orang-orang Kera-
jaan untuk ditangkap, membersitlah kemarahannya.
"He!? Siapa kau? Aku tak mengenalmu...! Lan-
cang sekali kau memanggil istri pada istri  orang...!"
bentaknya dengan marah.
Terhenyak Wiralaga. "Suridewi! Kau sudah tak
mengenaliku lagi? Sandiwara apakah yang kau per-
buat! Apakah gerangan yang terjadi?" teriak Wiralaga.
Keributan diluar itu membuat Nyi Denok War-
sih keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan
rambut tak tersisir rapi. Namun sekilas saja sang istri
Adipati Wiralaga telah melihatnya, karena suaminya
keluar dari dalam pondok itu. Hatinya jadi semakin
panas.
Tiba-tiba dia berkata pada laki-laki berkulit
muka hitam disampingnya. "Suamiku", hajarlah ma-

nusia kurang ajar ini! Mengapa kau diamkan saja dia
berkata lancang! Hm, kalau perlu aku tak melarang
kau membunuhnya!"
"Keparat! Kau sungguh-sungguh keterlaluan,
Suridewi! Kuhancurkan mulutmu! Apakah manusia itu
gendakmu?" Menggembor marah Adipati Wiralaga.
Lengan Wiralaga bergerak untuk mencengkeram wani-
ta itu, akan tetapi laki-laki tua berkulit muka hitam itu
telah gerakkan tangannya menangkis seraya melompat
menghadang.
"Hahaha hehehe... sabar, sobat! Kau tak layak
lagi berbuat demikian! Bukankah kau sudah menden-
gar sendiri dia menyebut suami padaku, siapa bilang
aku gendaknya?" berkata demikian, sebelah lengan la-
ki-laki tua bermuka hitam keriput itu segera memeluk
pinggang Suridewi yang bahkan senderkan kepalanya
ke dada si lelaki tua.
Merah padam seketika wajah Wiralaga. Giginya
bergemeretukan menahan geram. Sementara sepasang
mata Suridewi selalu mengarah pada perempuan dibe-
randa rumah yang memandang ke arahnya dengan wa-
jah pucat pasi.
"Siapakah kau manusia durjana? Kau berani
berbuat demikian pada seorang Adipati?"  membentak
Wiralaga. Akan tetapi justru bentakan itu membuat si
laki-laki tua itu tertawa berkakakan.
"Hahaha... hahaha... kau dengar istriku! Dia
menyebut dirinya Adipati? Hahaha... kau tak lebih dari
seorang pemberontak, Wiralaga! Gedung Kadipaten te-
lah disita Kerajaan, dan kau tengah dicari orang-orang
Kerajaan untuk ditangkap!"
Mendengar kata-kata itu seketika pucat pias
wajah Wiralaga. Akan tetapi dengan menggembor keras
dia telah mencabut kerisnya yang terselip di belakang
punggung, seraya melompat menerjang dengan diba-

rengi bentakan.
"Baik! Aku memang bukan Adipati lagi! Tapi se-
belum aku ditangkap kalian berdua harus mampus
terlebih dulu di tanganku...!"
Angin keras menderu tatkala keris di tangan
Wiralaga berkelebat menusuk ke arah  dada laki-laki
tua  itu. Sedangkan sebelah lengan Wiralaga  memba-
rengi dengan pukulan dahsyat.
Namun dengan gerakan sebat sekali laki-laki
tua itu melompat menghindar dengan menyambar tu-
buh Suridewi dalam pelukannya. Dan... hinggapkan
kaki dengan ringan tak jauh disamping rumah. Wirala-
ga menghambur untuk mengejar. Sementara laki-laki
tua itu lepaskan Suridewi seraya berkata. "Hm, kau
tontonlah aku, Suridewi! Bagaimana aku mengha-
biskan nyawa pemberontak ini!" berkata si laki-laki tua
itu. Seraya diapun melompat untuk menerjang....
Segera saja terjadilah pertarungan hebat antara
kedua laki-laki itu. Ternyata Wiralaga pun bukan seo-
rang yang berilmu rendah. Serangan pukulannya cu-
kup ganas, ditambah serangan kerisnya yang menim-
bulkan angin menggebu bersiutan menabas dan
menghunjam mengancam nyawa.
Dalam keadaan mereka tengah bertarung, ter-
nyata Suridewi telah melompat masuk ke dalam  be-
randa rumah Nyi Denok Warsih, seraya membentak.
"He! Rupanya kau ada main dengan pemberontak itu,
ya? Apamukah dia...?"
Mundur selangkah Nyi Denok Warsih dengan
wajah pucat pias. Akan tetapi dia tak mampu untuk
bicara apa-apa.
Karena pertanyaannya tak mendapat sahutan,
bahkan menampak wanita  itu justru mundur ketaku-
tan, Suridewi telah gerakkan lengan menjambak ram-
butnya, serta menyeretnya keluar rumah. Memekik pe-

rempuan Itu kesakitan. Akan tetapi Suridewi tak
memperdulikan. Dia memang ada mempunyai sedikit
kepandaian. Berbeda dengan perempuan desa itu yang
tak punya kepandaian apa-apa sama sekali.
Melihat Nyi Denok Warsih tengah disiksa di
tampari oleh istrinya, Wiralaga berteriak keras, dengan
kemarahan memuncak.
"Suridewi! Berani kau menganiayanya, ku han-
cur remukkan tubuhmu! Lepaskan dia! Dia tak bersa-
lah apa-apa .."
Suridewi tertawa sinis. "Hihihi... kini baru ku
tahu  kalau kau istrinya...! Mengakulah  kau, perem-
puan kampungan...!" lengannya bergerak menampar.
Dan kembali Nyi Denok Warsih menjerit kesakitan.
Wajahnya sudah bengap dan matang biru karena diha-
jar Suridewi yang melampiaskan kemendongkolan ha-
tinya pada perempuan itu. Padahal dia sendiripun ber-
buat khianat pada suaminya.
Pada saat itulah terdengar bentakan keras. Tu-
buh Wiralaga telah melesat tinggi melewati kepala la-
wannya, menerjang ke arah Suridewi.
"Perempuan laknat! Kubunuh kau...!" Terpe-
rangah Suridewi karena tahu-tahu ujung keris Wirala-
ga telah berada di depan matanya. Akan tetapi bersa-
maan dengan ujung keris Wiralaga menghunjam leher
Suridewi, laki-laki itu menjerit keras dan roboh tergul-
ing...
Dua jeritan terdengar saling susul, dan dua tu-
buh berkelojotan meregang nyawa. Ternyata disaat itu
juga si Lutung Pancasona telah lepaskan senjata raha-
sianya. Tiga larik sinar berkredepan meluruk ke arah
punggung dan belakang leher Wiralaga, dan menancap
tepat pada sasarannya.
Baru saja kedua manusia malang itu lepaskan
nyawanya, terdengar suara jeritan keras yang di-susul

dengan berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu.
"Ayaaaah...!" Teriakan santar itu tak lain dari
suara Ken Ayu, yang telah menghambur ke arah tubuh
Wiralaga. Terperangah Nyi Denok Warsih melihat seo-
rang gadis cantik menangis dengan memeluki laki-laki
Adipati itu dengan menyebutnya "ayah". Hatinya ter-
sentak seketika. Baru saja dia dalam keadaan terkejut
luar biasa dengan kejadian barusan, kini muncul lagi
seorang gadis yang memeluki mayat Suhara.
"Ibu...! Ini aku anakmu, ibu...! Aku Ken Ayu...!
Aku telah bawakan dua buah kepala si Iblis Pulau
Menjangan! Aku harus balaskan kematian ayah...!"
berkata Ken Ayu dengan mata berkaca-kaca menenga-
dah memandang pada Nyi Denok Warsih seraya mem-
buka buntalan kepala dihadapan wanita itu. Lalu alih-
kan tatapannya pada laki-laki yang masih tegak berdiri
tak jauh dihadapannya. Nyi Denok Warsih memandang
isi buntalan dengan mata membelalak.
Sementara itu Roro Centil melengak melihat ke-
jadian. Memandang pada laki-laki berkulit muka hitam
berkerut yang barusan lepaskan senjata rahasianya,
tahulah Roro kalau orang itu adalah si Lutung Panca-
sona. Tiba-tiba sekali lompat Lutung Pancasona sudah
melesat untuk kabur dari tempat itu. Ternyata dia te-
lah mengetahui kedatangan Roro Centil yang pernah
gagal di pecundanginya untuk jahatnya memperkosa
dara Pendekar Pantai Selatan itu. Akan tetapi Roro
Centil telah melesat terlebih dulu untuk menghadang.
"Tahan! Kau tak dapat lolos lagi, setan cabe!"
membentak Roro.
WHUUKK...! Lutung Pancasona hantam-kan
pukulannya.  Dan... set! set! set! Tiga senjata rahasia
berbentuk keris kecil meluncur ke arah  tiga tempat
berbahaya di tubuh Roro.
SYIUUUUT!... PRASH! Roro Centil kibaskan

rambutnya menghantam mental senjata-senjata raha-
sia Lutung Pancasona. Sebelah lengannya memapaki
hantaman pukulan lawan.
BHLARRR...! Terdengar suara beradunya dua
pukulan tenaga dalam. Terdengar teriakan  tertahan
Lutung Pancasona. Tubuhnya terlempar enam tombak
dan jatuh bergulingan. Sedangkan Roro Centil terpen-
tal sejauh tiga-empat tombak. Setetes darah tampak
tersembul disudut bibir Roro, yang rasakan dadanya
nyeri. Tak disangka kalau tenaga dalam lawan demi-
kian besar. Namun Roro Centil cepat melompat berdiri
dengan tubuh terhuyung.
Sementara dilihatnya Lutung Pancasona baru
saja mau beranjak bangun, setelah keluarkan darah
yang menggelogok dari mulutnya. Roro tak lewatkan
kesempatan baik ini. Dia memang amat penasaran se-
kali untuk mengetahui wajah dibalik topeng kulit mu-
ka si Lutung Pancasona. BREET! Terpelanting laki-laki
itu dengan kembali berteriak kesakitan.
Kulit mukanya seketika mengelupas yang me-
nyobek pula kulit kepalanya hingga mengeluarkan da-
rah. Segera terpampanglah wajahnya. Benar seperti
dugaan Roro, wajah dibalik topeng kulit muka itu ada-
lah wajah laki-laki yang masih muda, namun usianya
lebih dari sekitar 30 tahun lebih.
"Hah!? Kau... kau SAWOR!" satu teriakan kaget
terdengar santar. Itulah suara Ken Ayu, yang sedari
tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
"Kakak Roro Centil! Biarlah aku yang membu-
nuhnya!" teriak Ken Ayu yang sekejap sudah melompat
ke hadapan  laki-laki itu. Akan tetapi diluar dugaan
lengan Sawor alias si Lutung Pancasona telah bergerak
cepat ke balik bajunya, dan... Set! set! set! set!
Menghamburlah belasan senjata rahasia dari
keris-keris kecil beracun yang amat ampuh itu. Keja-

dian mendadak itu diluar dugaan Roro yang tak sem-
pat bertindak. Hingga tak ampun segera terdengarlah
jeritan ngeri yang saling susul, bersamaan dengan am-
bruknya dua sosok tubuh wanita. Ternyata hamburan
senjata rahasia itu mengenai pula pada Nyi Denok
Warsih.
"Manusia iblis...!" membentak Roro Centil. Ke-
dua lengannya bergerak ke depan yang telah dibarengi
tenaga dalam penuh. Itulah jurus pukulan Roro Centil
yang terdahsyat, yaitu jurus TAUFAN MELANDA KA-
RANG.
Tak Ampun lagi tanpa sempat menjerit lagi tu-
buh Sawor terlempar berpuluh-puluh tombak. Bahkan
angin pukulan itu telah pula merobohkan belasan ba-
tang pohon yang ambruk dengan suara gaduh bagai-
kan dilanda angin taufan dahsyat. Tubuh Sawor ber-
gulung-gulung menjadi satu dengan batang-batang
pohon disisi hutan itu. Lenyap tak ketahuan lagi ke-
mana jasadnya.
Sesaat kegaduhan itupun sirna...
Roro Centil tegak berdiri bagaikan arca, mena-
tap ke depan. Setitik air mata tampak tersembul dis-
udut mata dara Perkasa Pantai Selatan itu. Suara ga-
duh itu membuat kegemparan penduduk desa Gom-
bong yang terletak di sisi bukit. Mereka berhamburan
keluar, dan melarikan diri dengan berteriak-teriak ke-
takutan. Sementara tanpa seorangpun penduduk yang
sempat melihat, Roro Centil telah berkelebat menyam-
bar tubuh Ken Ayu... dan melesat lenyap dari tempat
itu, dengan diiringi satu lengkingan suara yang men-
gandung isak. Seperti suara iblis yang menangis yang
membuat bulu tengkuk meremang...



TAMAT