Roro Centil 24 - Geger Tombak Pusaka Ratu Shima(2)




T U J U H

"Hihihi... gertakanmu lumayan juga, Laba-laba Hitam.
Akan tetapi jangan bertarung disini. Aku khawatir meru-
sak Candi!" berkata Roro dengan suara merdu.
"Persetan dengan Candi!" memaki si kakek Laba-laba
Hitam. Lengannya bergerak menghantam ke arah  Roro.
Menggebu angin pukulan si kakek bagaikan angin praha-
ra. Terkejut Roro Centil. "Celaka!" mendesis suara Roro.
Betapa mendongkolnya dia karena si kakek tak menghi-
raukan kata-katanya. Candi itu adalah salah satu dari
peninggalan Kerajaan SRIWIJAYA. Harus dijaga kelesta-
riannya. Berpikir demikian, tiba-tiba Roro berteriak keras.
Sepasang lengannya terangkat. Dan... satu tenaga yang
tak kelihatan melebihi kekuatan angin pukulan si laba-
laba Hitam telah membersit keluar dari sepasang tangan-
nya.
WKHUUUUSSS...! Terkejut Ki Panembahan alias si La-

ba-laba Hitam. Angin pukulannya telah diterpa sambaran
angin panas yang dahsyat luar biasa. Bahkan kekuatan
anginnya sendiri berbalik menghantam tubuhnya. Da-
tangnya begitu cepat, hingga tak lagi dia sempat berbuat
sesuatu. Tak ampun tubuh si Laba-laba Hitam terlempar
keudara sejauh lebih dari dua puluh tombak.
Dalam keadaan membumbung keudara itu amatlah
beruntung si kakek dapat mengimbangi kekuatan serta
mengkonsentrasikan panca indranya. Hingga dengan rin-
gan dia telah daratkan kakinya keatas bukit.
Terengah-engah si Laba-laba Hitam. Lalu salurkan
hawa murni untuk sebarkan keseluruh tubuh. Hatinya
menggumam. Kakek ini bersyukur karena dia tak terluka
dalam. Angin panas itu cuma membuat tubuhnya tertolak
mental, karena dia telah lindungi tubuhnya dengan tena-
ga dalam inti yang membuat tubuhnya jadi sekeras batu.
"Hebat! luar biasa kekuatan  tenaga dalam bocah pe-
rempuan itu. Tak percuma dia bernama besar yang
menggoncangkan jagat!" Diam-diam hatinya memuji dan
terkejut bukan main.
"Nah! disini kita aman untuk bertarung! Sudah
siapkah kau kakek sakti...?" satu suara membuat dia ter-
perangah, karena ketika dia membalik, ternyata  Roro
Centil telah berada dibelakangnya.
"Edan...! begitu cepat dia menyusulku?" mendesis sua-
ra si kakek.
"Bagaimana Laba-laba Hitam? apakah kau mau serah-
kan Tombak Pusaka Ratu Shima itu dengan suka rela
ataukah kau tetap berkeinginan mengangkanginya?" ber-
tanya Roro. Namun si Laba-laba Hitam tak menjawab.
Mulutnya komat-kamit membaca mantera. Tiba-tiba tu-
buhnya mendadak lenyap sirna. Tak kelihatan lagi oleh
mata biasa.
"Hihihi... mau kabur kealam haluspun kau percuma
saja, Laba-laba Hitam. Aku takkan melepaskanmu begitu
saja sebelum benda Pusaka itu kau serahkan padaku!"

berkata Roro dengan tertawa mengikik. Dan...tubuh sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan itupun sirna pula dari
pandangan. Kini kedua tokoh Rimba Persilatan itu telah
berada dialam halus.
"Bagus! aku memang mau mengajakmu bertarung di-
alam yang tak kelihatan oleh mata manusia biasa", ujar si
kakek. Nah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku!"
bentaknya dengan suara dingin mencekam jantung. "Si-
lahkan! aku siap melayanimu, kakek Laba-laba Hitam
menyahut Roro dengan jumawa. Walau diam-diam dia ju-
ga harus waspada. Karena dia yakin kalau sang kakek itu
punya ilmu tinggi yang belum pernah dilihatnya.
Tampak Laba-laba Hitam telah selesai pula membaca
mantera. Lengannya bergerak memutar.
Menimbulkan segulung asap hitam yang menerjang ke
arah Roro. Asap yang bergulung-gulung itu mendadak be-
rubah menjadi seekor Laba-laba Raksasa. Tersentak Roro
Centil. Tahu-tahu dia telah terkurung oleh kaki-kaki hi-
tam berbulu yang menyeramkan. Sementara taring sang
Laba-laba Raksasa telah siap menerkamnya.
WHUUK! WHUUUK...!
Lengan sang pendekar Perkasa ini bergerak menghan-
tam ke arah tubuh makhluk itu. Akan tetapi terkejut Ro-
ro. Karena pukulannya hanya menghantam bayangan sa-
ja. Makhluk itu tetap tak merobah posisi menerkamnya. 
PRAASSH! kepala mukluk itu menyerang ganas. Batu
bukit itu hancur beserpihan, Namun Roro berhasil gu-
lingkan tubuhnya untuk menghindar.
"Heheheh...! keluarkan seluruh  kesaktianmu, nona
Pendekar Pantai Selatan!" terdengar suara tertawa menge-
jek mendesing ditelinga Roro. Makhluk menyeramkan itu
telah meluruk lagi untuk merencah tubuh Roro Centil
mentah-mentah. Empat pasang kaki makhluk itu berhasil
mencengkram tubuh wanita Pendekar ini. Roro terkejut
bukan main. Segala daya upayanya untuk menyerang La-
ba-laba Raksasa menemui jalan buntu. Hingga dia agak

ayal dan berhasil diterkam makhluk mengerikan itu. Be-
lum lagi dia sempat berbuat sesuatu. Tahu-tahu tubuh-
nya telah kena jerat benang laba-laba, hingga kaki dan
tangannya tak berkutik.
Keringat dingin menebar kesekujur tubuh Roro. Segera
dia berusaha konsentrasikan syaratnya yang membaur
tak keruan. Dengan berguling-guling Roro berusaha men-
jauh dari makhluk itu, walau tubuhnya tak leluasa berge-
rak. Sementara sang Laba-laba Raksasa tampaknya cuma
bertindak mempermainkan korbannya yang hampir tak
berdaya. Karena sekejap kaki-kaki sang makhluk Raksasa
telah kembali menerkamnya. Dan lagi-lagi Roro harus
menerima nasib lebih parah. Benang-benang sutera sang
laba-laba yang lengket itu kembali membelit dan mem-
bungkus tubuhnya. "Celaka! aku tak dapat berpikir nor-
mal, aku tak tahu apa yang harus kulakukan...!" memba-
thin Roro dalam keluh putus asanya.
Dalam keputus asaan itu Roro menjerit sekuatnya.
Sungguh diluar dugaan. Jeritan yang diraungkan itu ka-
rena kesal akan ketidak berdayaannya ternyata telah me-
nolong Roro dari bahaya maut. Cengkeraman kaki-kaki si
Laba-laba Raksasa mengendur. Bahkan tanpa disadari je-
ritan yang mirip raungan harimau itu telah memutuskan
benang-benang jerat si Laba-laba Raksasa. Tentu saja hal
itu membuat Roro tersentak girang. Tak ayal dia sudah
melompat bangkit. Kejap berikutnya Roro segera satukan
kekuatan bathinnya untuk menindih kekuatan bathin la-
wan yang telah mempengaruhi sirkuit otaknya hingga dia
tak dapat berpikir normal.
Sementara itu si kakek ternyata masih berdiri tegak
dengan Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya. Terhe-
ran dia melihat Roro berhasil melepaskan diri dan memu-
tuskan jerat sutra laba-laba ciptaannya. Herannya cuma
putus oleh suara jeritan yang mirip raungan harimau.
Melihat Roro tegak berdiri menghimpun kekuatan bathin
yang telah menindih kekuatan bathinnya, laki-laki tua ini

segera berkomat-kamit lagi. Sebelah tangannya menyilang
diatas dada. Tiba-tiba dia membentak keras. "ROBOH...!"
Lengan yang menyilang diatas dada itu digerakkan
menghantam Roro. Itulah pukulan ghaib yang dinamakan
Serapah Dewa Maut. Hebat akibatnya! Tubuh Roro tam-
pak tergetar hebat. Laba-laba Raksasa itu telah lenyap.
Namun segelombang angin pukulan telah membuat tu-
lang-tulangnya serasa lumpuh. Hampir saja dia jatuh
menekuk lutut. Untunglah dengan kekuatan tenaga ba-
thin yang telah dapat mengungguli tenaga bathin si kakek
Panembahan itu, Roro cuma terhuyung saja. Bahkan
dengan satu bentakan nyaring, Roro balas menyerang
dengan pukulan Sinar Perak.
"Kakek gundul! jaga seranganku!" WHUUUKK...!
BLUARRR!
Cahaya perak membersit menyambar tubuh si kakek
Laba-laba Hitam. Akan tetapi kakek itu, telah  berhasil
lemparkan tubuhnya bergulingan. Pukulan dahsyat itu
menghantam batu dan pohon hingga hancur beserpihan.
Sekejap si kakek itu telah menampakkan diri lagi dialam
nyata. Melihat keadaan yang tak menguntungkan dirinya,
si Laba-laba Hitam angkat langkah seribu menyelamatkan
jiwanya.
Tombak Pusaka Ratu Shima masih tercekal ditangan-
nya. Tampaknya dia tak mau melepaskan senjata itu be-
gitu saja pada Roro.
"Kakek gundul jangan lari...!" membentak Roro. Len-
gannya bergerak lagi. Dan, dari telapak tangan sang dara
perkasa ini membersit sinar Pelangi. Bagaikan sebuah se-
lendang saja layaknya.  Sinar Pelangi meluncur untuk
membelit tubuh kakek tua itu.
Akan tetapi tiba-tiba si kakek Panembahan berbalik.
Dan putarkan tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya.
Segera membersit segulung angin santar menghantam
buyar sinar Pelangi. Terkejut Roro mengetahui cahaya Pe-
langinya dapat dibuyarkan. "Dia, tak boleh lepas dari tan-

ganku!" membathin Roro dalam hati. Pada saat itu juga
sebuah benda meluncur, ke arah Roro yang disambitkan
oleh si Laba-laba Hitam. Benda itu jatuh tepat dihada-
pannya sejarak dua tombak. Dalam herannya, Roro terke-
jut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras. Asap hitam
membumbung. Untung Roro telah melompat kebelakang
sejauh tiga empat tombak. Roro mengkhawatirkan benda
itu bahan peledak yang membahayakan. Tapi cuma asap
hitam yang membumbung dari ledakan itu. Dan lagi-lagi
terpampang dihadapan Roro Centil seekor laba-laba Rak-
sasa.
"Keparat" ilmu sihir sialan! memaki Roro. Kali ini dia
tak biarkan makhluk itu menerkamnya seperti tadi. Sege-
ra dia merapal mantera. Dan... lengannya bergerak meng-
hantam dengan pukulan Malaikat Gurun Pasir Merambah
Iblis. Makhluk raksasa jejadian itu lenyap sirna tanpa be-
kas. Akan tetapi Roro terpaku membeliak, karena si ka-
kek Laba-laba Hitam telah lenyap melarikan diri tak keta-
huan kemana arahnya.
"Setan alas! aku terkecoh! dia berhasil meloloskan diri!
huh...!" memaki Roro dengan kesal. Dan membanting kaki
dengan wajah cemberut.
"Huuuh! huuuh! Roro! Roro...! mengapa kau masih ju-
ga bodoh dikibuli orang...?" berkata Roro memaki dirinya
sendiri. Namun tubuhnya segera berkelebatan mencari je-
jak si kakek itu dengan rasa penasaran. Akan tetapi per-
cuma saja! si Laba-laba Hitam telah lenyap tak ketahuan
kemana rimbanya... Dengan menggerutu panjang pendek
Roro Centil melesat pergi dari tempat itu. Suasana malam
itupun kembali hening mencekam. Bulan sabit menyeli-
nap dibalik awan hitam. Cuaca menjadi gelap, segelap ha-
ti Roro yang kehilangan jejak manusia buruannya....

DELAPAN

PAGI ITU disebuah penginapan disudut kota, seorang

laki-laki berkumis dan berjenggot lebat keluar dan pintu
kamar. Dan bergegas beranjak menghampiri seorang pe-
layan.
"Mana majikanmu?" bertanya dia dengan menepuk
pundak sang pelayan yang tengah asyik mengelap meja.
"Oh, ada didalam, Raden...! Apakah perlu hamba me-
manggilnya?" menyahut sang pelayan. Laki-laki jembros
itu termenung sejurus.
"Sebaiknya tak usahlah! aku toh sudah membayar se-
wa menginap semalam dipenginapan ini. Eh, apakah kau
tahu kemana arah Kota Raja?" bertanya laki-laki itu.
"Oooh, anda mau ke Kota Raja?" berkata si pelayan. Sua-
ranya agak keras, hingga membuat beberapa tetamu yang
pagi-pagi sudah minum kopi diruang makan itu jadi me-
noleh.
"He? tak usah bicara keras-keras!" berkata laki-laki
itu.
"Oh, maaf, maaf...! sebenarnya hamba bicara biasa.
Tapi ruangan ini memang aneh!" menyahut si pelayan.
"Suara pelahan pun terdengar keras! harap anda maaf-
kan, karena mungkin Raden tak suka...!"
"Sudahlah! apakah kau mengetahui kemana arah yang
harus kutempuh?" berkata laki-laki jembros itu.
"Ya, ya... ngng ... anda ikuti jalan didepan ini sampai
membelok  ke arah  timur. Anda akan menjumpai jalan
bercabang dua. Nah, arah yang kekanan itulah jalan me-
nuju Kota Raja!" sahut sang pelayan.
"Baik, baik...! terima kasih...!" ujar laki-laki itu. "Dan,
ini untukmu!" berkata laki-laki itu seraya merogoh sa-
kunya. Dan berikan dua keping uang receh pada pelayan
itu. Sang pelayan ucapkan terima kasih dengan wajah gi-
rang.
Laki-laki jembros itu bergegas keluar dari rumah pen-
ginapan itu. Tanpa menoleh lagi. Dan tentu saja mengiku-
ti petunjuk si pelayan tadi menurutkan jalan didepan
penginapan, hingga membelok ke arah timur. Tepat dija-

lan bercabang dua itu dia berhenti. Tampaknya seperti
memikir.
"Wah, wah aku lupa. Ke arah kiri ataukah kekanan si
pelayan tadi mengatakannya!" menggumam dia sambil
memijit-mijit keningnya. Pada saat itu sebuah  bayangan
merah berkelebat kehadapannya. Ternyata seorang wani-
ta.
"Hihihi...kalau mau ke Kota Raja jalan kesana yang
anda harus lalui, sobat Dewa Linglung..! aha! tampaknya
anda bingung ataukah linglung? Tapi pantas bila anda
linglung, karena bukankah julukan anda di Dewa Lin-
glung?" Wanita baju merah sambil gerakkan lengannya
menunjuk. Laki-laki ini jadi melengak, dengan membe-
liakkan matanya. Tentu saja dia mengenai pada wanita
baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Dan
laki-laki itu memang tak lain dari GINANJAR, yang se-
dang dalam penyamaran menuju ke Kota Raja. "He? dia
telah mengetahui penyamaranku? wah, berabe, nih...I"
membathin Ginanjar dalam hati.
"Benar, aku mau ke Kota Raja. Tapi aku bukan si De-
wa Linglung. Dari mana anda mengetahui dengan mener-
ka sembarangan?" berkata Ginanjar. Pemuda jembros ini
mendelikkan matanya. Akan tetapi wanita setengah usia
itu bahkan mengikik tertawa dan mengerling genit. Seraya
ujarnya. "Sudahlah, tak usah pakai pura-pura segala.
Bukankah kita pernah bertemu, dan kau pernah meno-
long diriku. Aku si Ruyung Emas telah mengetahui sama-
ranmu sejak kau injakkan kaki dikota ini!" menyahut wa-
nita itu. Ginanjar jadi merah wajahnya. "Sialan! tak guna
aku melakukan penyamaran lagi!" membathin pemuda
ini. Dan lengannya bergerak mengusap jenggot dan kumis
hingga rontok mengelupas. Selanjutnya dia tertawa.
"Hahahahaha sial dangkalan! memang nasibku sedang
sial! baiklah! aku mengaku. Aku memang si Dewa Lin-
glung. Tapi itu julukanku yang sudah tak kupakai lagi!
aku sudah tidak linglung lagi!" ujar Ginanjar.

"Hihihihi... kau katakan kau sudah tak linglung lagi,
mengapa kau masih ragu-ragu menemui jalan bercabang
dua untuk menentukan arah ke Kota Raja?"
"Hm, aku memang lupa...!" ujar Ginanjar dengan tersi-
pu. Ginanjar memang pernah berjumpa dengan wanita
ini, dan pernah menolongnya memberikan obat gatal un-
tuk kulit pada si Iblis Ruyung Emas, ketika wanita ini di
"kerjai" Surajaya alias si Berandal Edan Mata Satu. (baca:
kisah serial Roro Centil, dalam "Berandal Edan Mata Sa-
tu".)
"Kalau kau mau ke Kota Raja, kita bisa jalan bersama.
Apakah kau tak keberatan kalau aku menemanimu?"
berkata si wanita dengan suara manja. Sikapnya dibuat
sedemikian rupa agar Ginanjar terpikat.
"Mau apa kau kesana?"
"Kau sendiri ada perlu apa ke Kota Raja?" balas ber-
tanya si Iblis Ruyung Emas.
"Hm, itu urusanku!" sahut Ginanjar agak mendongkol.
Saat itu tiba-tiba beberapa sosok tubuh berkelebat ke-
luar dari balik semak kebun tebu dan langsung mengu-
rung mereka.
"He? apa-apaan ini? ada apa? siapa kalian! Apakah
mau membegal orang?!" bentak si wanita baju merah. Se-
raya memutar pandangan dengan wajah menampak ter-
kejut.
"He! silahkan kau menyingkir, dan tak usah turut
campur urusan kami. Kami hanya mengingini laki-laki
ini!" berkata salah seorang. Ternyata kesemua laki-laki itu
memakai topeng menutupi Wajahnya.
"Huh! enak saja! kami akan melakukan perjalanan
bersama ke Kota Raja. Kalau kawanku dikeroyok begini,
masakan aku diam berpeluk tangan..?" menyambut si Ib-
lis Ruyung Emas. Kesemua laki-laki bertopeng yang men-
gurung Ginanjar itu sebelas orang. Salah seorang segera
memberi isyarat. Dan empat orang segera mengurung si
wanita itu. Yang lainnya memecah untuk mengurung Gi-

nanjar.
"Habisi mereka!" berkata dengan suara dingin salah
seorang. Dan, serentak masing-masing segera menerjang
dengan senjata-senjatanya yang telah terhunus.
"Bagus! kalian rupanya inginkan aku bertindak! jan-
gan menyesal!" membentak si wanita baju merah. Dan...
Trang! Trang...! Dia telah cabut senjata Ruyung Emasnya.
Benda berkilauan itu menangkis serangan-serangan go-
lok, kapak dan pedang dari keempat penyerangnya. Ada-
pun Ginanjar tak ayal segera cabut pedangnya yang ter-
bungkus kain dipinggang, Ginanjar membathin dalam ha-
ti. "Heh! mereka pasti orang-orangnya Adipati Kiduling
Kuto yang menginginkan nyawa!" Pertarungan seru segera
terjadi. Kalangan pertarungan menjadi dua rombongan.
Sementara dalam pertarungan itu, Ginanjar memikir.
"Haiih! kedua pihak si wanita dan orang-orang ini bukan
dari golongan baik-baik. Aku harus secepatnya minggat
setelah merobohkan beberapa orang, urusanku tak seo-
rangpun boleh mengetahui!"
Memikir demikian Ginanjar segera robah gerakannya
untuk bertarung lebih cepat. Tak dinyana ketujuh lawan-
nya amat sukar dirobohkan. Mereka tampak terlatih dan
membentuk barisan semacam barisan TIN, yang sukar
baginya meloloskan diri.
Sementara pertarungan empat orang melawan si Iblis
Ruyung Emas telah menemui klimaxnya. Dua orang men-
jerit ngeri, dan roboh terjungkal. Ternyata senjata Ruyung
Emas si wanita itu telah berhasil menghantam batok ke-
pala kedua penyerangnya. Melihat demikian, dua dari
pengeroyoknya segera melompat membantu kedua ka-
wannya yang dicecar oleh serangan-serangan ganas si Ib-
lis Ruyung Emas.
Ginanjar agak bernapas lega. Saat barisan TIN lawan
terbuka, dia tak membuang kesempatan. Pedangnya ber-
kelebat kekiri-kanan seraya melompat ketempat kosong
dari barisan TIN itu.

"TUTUP jalan darah!" membentak salah satu dari orang
bertopeng dalam barisan itu yang agaknya menjadi Ketu-
anya. Tiga orang melompat menghadang  seraya mener-
jang ganas. Dua orang melompat kekiri, dan dua orang
lagi melesat kekanan. Ginanjar kertak gigi dengan geram.
Tiba-tiba ingatan Ginanjar mendadak lancar. Seperti dike-
tahui, Ginanjar pernah menjadi murid dari Ketua Rimba
Hijau golongan Putih. Satu bentakan menggeledek dari
pemuda itu mendadak membuat teriakan-teriakan segera
terdengar santar. Bagaikan kilatan-kilatan yang berkre-
depan terkena cahaya Matahari, pedang Ginanjar berke-
lebatan ke beberapa arah. Tubuh laki-laki ini bergulingan
ditanah dengan gerakan aneh yang teramat cepat. Menu-
suk dan menabas.
Tak ampun lima orang dari barisan TIN itu terjungkal
roboh. Dan berkelojotan bagai ayam disembelih. Darah
menghambur berpuncratan.
"Ha!? bagus, sobat Dewa Linglung!" berteriak girang si
Iblis Ruyung Emas. Senjatanya bergerak cepat memutar
disertai kelebatan tubuhnya. Dan dua orang lagi terjung-
kal roboh. Semakin bernafsu si Iblis Ruyung Emas untuk
membunuh habis lawan-lawannya. Dan, lagi-lagi seorang
terjungkal roboh. Terperangah para penyerang bertopeng
itu, melihat kehebatan si wanita baju merah. Sementara
beberapa orang sudah melompat mundur. Barisan TIN ja-
di kacau balau, karena lima orang kawan mereka roboh
berkelojotan meregang nyawa. Tak ayal mereka meng-
hambur melarikan diri.
"Hihihihi... sudah kukatakan, kalian akan tahu rasa
kalau mau main-main terhadap kami!" tertawa mengikik
si wanita. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dan...
Serrrr! Ratusan jarum berbisa meluruk ke arah si manu-
sia-manusia bertopeng. Dua orang terjungkal berkelojo-
tan. Dan langsung tewas. Tiga orang sisanya terus mela-
rikan diri dengan luka-luka. Beberapa jarum telah men-
gena dianggota tubuhnya. Mengikik tertawa si Iblis

Ruyung Emas.
Akan tetapi dia terkejut ketika melihat pada Ginanjar
alias si Dewa Linglung itu ternyata sudah tak nampak lagi
batang hidungnya.
"He? kemana pemuda linglung itu...?" sentaknya kaget.
Namun segera dia berkelebat untuk berlari cepat menyu-
suri jalan yang menuju ke arah Kota Raja....
Lewat tengah hari, Ginanjar telah tiba didepan pe-
sanggrahan Tumenggung Satryo. Setelah melapor pada
penjaga pintu, dia dipersilahkan menunggu. Sementara
salah seorang dan pengawal segera masuk ke ruang Pe-
sanggrahan untuk melaporkan maksud kedatangannya
pada Tumenggung. Tak lama Ginanjar dipersilahkan ma-
suk, dengan meninggalkan pedangnya pada penjaga pin-
tu. Puncratan darah mengering pada pakaian  Ginanjar
agak membuat pengawal itu curiga. "Apakah anda baru
saja mengalami pertarungan, sobat...?" tanya sang penja-
ga.
"Hm, benar sekali  dugaanmu, nyari aku tewas! Aku
perlu melaporkan hal ini pada Tumenggung." berkata Gi-
nanjar.
"Mari kuantar!" ujar penjaga itu. Lalu beranjak men-
gantar Ginanjar menuju ruangan Pesanggrahan. Semen-
tara dari ruangan pendopo Pesanggrahan telah melang-
kah keluar sang Tumenggung Satryo.
"Selamat datang, sobat Ginanjar...! benarkah anda
yang bernama itu?"
"Tak salah, sobat Tumenggung!" ujar Ginanjar seraya
menjura.
Dua orang penjaga tampak dibelakang Tumenggung ini
yang segera masing-masing berdiri berjaga dikedua sisi
pintu pendopo. Sementara Pengawal tadi segera beranjak
kembali kepenjagaan. Sang Tumenggung segera memper-
silahkan Ginanjar masuk keruang dalam. Melihat tak ada
sikap yang mencurigakan kedua prajurit pengawal itu
nampak menarik napas lega.

Demikianlah. Ginanjar segera membentangkan! prihal
sang Adipati Kiduling Kuto yang telah membawa mayat
buronan Kerajaan Mataram bernama Wira Pati itu tanpa
membunuhnya. Dan dia menjadi saksi sendiri akan apa
yang telah dilihatnya. Tentu saja Ginanjar tak lupa men-
ceritakan tentang Roro Centil, yang mengatakan mencuri-
gai sang Adipati Kiduling Kuto. Hingga dia berniat menye-
lidiki ke gedung Kedipatian.
Dalam bercakap-cakap itu terdengar suara ribut-ribut
diluar. Dua prajurit pengawal tampak berlari keluar un-
tuk melihat. Apakah sebenarnya yang tengah terjadi di-
pintu pesanggrahan Ketumenggungan Itu? Seorang wani-
ta berbaju merah tampak mengotot masuk ke Pesanggra-
han pada dua penjaga pintu.
"Kami harus melaporkan dulu pada Kanjeng Tumeng-
gung! Anda tak bisa sembarangan saja masuk! memben-
tak salah seorang dari penjaga.
"Hihihi... dimanapun aku berbuat bebas! tak usah pa-
kai laporan segala macam. Aku adalah sahabat laki-laki
yang tadi bertamu kemari. Aku tak kan mencari keribu-
tan...!"
"Ya, ya...! tapi kami harus melaporkan dulu. Dan anda
harus meninggalkan disini senjata apa saja yang menjadi
milik anda!" Agaknya penjaga telah mengetahui dan telah
menduga kalau wanita baju merah itu adalah orang kaum
Rimba Persilatan.

S E M B I L A N

"Suruh dia masuk, pengawal....!" Terdengar suara dari
dalam ruang pendopo. Dua orang prajurit yang barusan
keluar untuk mengambil tindakan, segera menahan diri
mendengar suara sang Tumenggung. Bahkan Tumeng-
gung Satryo dan Ginanjar telah berada didepan ruang pe-
sanggrahan.
"Hihihi... apa kataku! kalian tak perlu khawatir, bu-

kankah Tumenggung kalian pun telah mengizinkan aku
masuk...?" berkata si wanita dengan mencibir.
"Huh! silahkan lewat! Tapi awas. Tapi awas! jangan co-
ba-coba anda membuat keonaran dimarkas kami!" men-
gancam sang pengawal. Wanita baju merah ini melangkah
santai tanpa menghiraukan kata-kata pengawal itu. Dua
orang prajurit yang baru datang itupun memberi jalan.
Akan tetapi tertegun dia ketika tahu-tahu mendengar su-
ara tertawa mengikik  dihadapannya. "Hihihi... Iblis
Ruyung Emas! ada perlu apakah kau kemari? Tumeng-
gung dan laki-laki itu sedang ada urusan denganku! Ku-
kira kau bisa berkunjung kemari lain waktu saja...!" Seke-
jap wanita ini jadi hentikan tindakannya. Dan sepasang
matanya membeliak, karena tahu-tahu dihadapannya te-
lah berdiri sesosok tubuh semampai. Berpinggang ramp-
ing. Lekuk liku tubuhnya menandakan bahwa sosok tu-
buh dihadapannya adalah seorang perawan asli yang
amat cantik luar biasa. Siapa lagi kalau bukan RORO
CENTIL, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Hah!?" kka... kau... nno... nona Pendekar Ro... ro Cen-
til...?" tergagap si Iblis Ruyung Emas dalam tersentaknya
karena terkejut.
"Benar! sukurlah kalau sudah tahu!" menyahut Roro.
Sementara Ginanjar jadi berseru kaget juga bergirang.
"Roro...! Haiih!? kau sudah berada disini?" teriaknya.
Sedangkan sang Tumenggung Satryo cuma terperangah
terkejut, juga bercampur girang dan kagum. Hatinya
membathin. "Ah, Pendekar perkasa ini sungguh bagaikan
Malaikat saja. Tahu-tahu sudah berada disini. Dari mana
masuknya?" Adapun si Iblis Ruyung Emas jadi serba sa-
lah. Dia pernah melihat Roro Centil, ketika dalam perta-
rungan melawan si Berandal Edan Mata Satu alias Sura-
jaya beberapa hari yang lalu. Hatinya agak jerih dengan
sang Pendekar Wanita ini. Apa lagi kedatangannya adalah
hanya untuk mengejar dan mendekati Ginanjar. Akhirnya
dengan masygul dia "ngeloyor" lagi, keluar dari gedung

Ketumenggungan itu.
"Lho? mengapa balik lagi?" bertanya salah seorang
pengawal penjaga pintu, seraya memberi jalan. Wanita
baju merah ini cuma mendelikkan matanya dengan men-
dongkol. Akan tetapi dia tak lakukan tindakan apa-apa.
Selain bergegas meninggalkan tempat itu. Entah kalau
tak ada Roro Centil, mungkin si penjaga itu sudah kena
tamparannya.
"Aku telah menawan tiga orang prajurit Kadipaten, so-
bat Satryo. Mereka adalah saksi-saksi nyata yang menge-
tahui  perbuatan jahat Adipati Kiduling Kuto. Adipati itu
memang bekerja sama dengan seseorang dari tokoh kaum
Rimba Hijau golongan Hitam yang berjulukan si Laba-
laba Hitam....!" berkata Roro. Dia telah tuturkan hasil pe-
nyelidikannya ke gedung Kadipaten dan banyak mengeta-
hui rahasia kejahatan Adipati Kiduling Kuto, yang dengan
kelicikannya berhasil mengelabui orang-orang Kerajaan
termasuk Raja. Bagi Roro amatlah mudah untuk menyeli-
dik keadaan dikediaman Adipati itu karena Roro memper-
gunakan ajian halimunan, hingga tak nampak oleh mata
biasa.
Terangguk-angguk Tumenggung Satryo mendengar pe-
nuturan Roro. Satryo adalah sudah bersahabat dengan
Roro Centil sejak laki-laki ini menjabat sebagai seorang
Senapati di Kerajaan MATSYAPATI yang telah punah.
"Jadi otak dari pencurian harta benda Kerajaan Mata-
ram itu tak lain dari si Laba-laba Hitam!" tegaskan Roro
Centil pada Satryo. "Wira Pati yang bekas Senapati yang
dipecat itu telah dikendalikan kakek tua sakti dari golon-
gan Hitam itu! Tujuannya adalah untuk mengangkangi
Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kini berada ditangan-
nya!"
"Wah! kalau begitu tugas kita kaum Pendekar masih
panjang dan cukup berat! Kita harus menyelamatkan
benda Pusaka itu yang telah menjadi milik Kerajaan Ma-
taram..i" berkata Ginanjar.

"Ya, ya..! akan tetapi hal ini juga menjadi tugas kami
sebagai abdi Kerajaan untuk merampas kembali benda
pusaka itu!" ujar Satryo.
"Benar! semua ini menjadi tugas kita, sebagai rakyat
yang berlindung di bawah panji kebesaran Kerajaan Ma-
taram. Tanpa merebut kembali benda pusaka  itu akan
merusak "citra" keagungan Kerajaan Mataram. Juga dik-
hawatirkan si Laba-laba Hitam menyalah gunakan benda
Pusaka itu untuk kepentingan pribadinya!" ujar Roro
dengan serius.
Akhirnya perundingan itupun berakhir dengan sing-
kat. Tumenggung Satryo segera akan mengadukan hal itu
pada Maha Patih Cakra Bhuana, yang akan meneruskan
pada Raja. Sedangkan Roro dan Ginanjar segera meminta
diri pada Tumenggung muda itu untuk meninggalkan Ko-
ta Raja....
Tampaknya kemelut di Kerajaan Mataram agak mere-
da, dengan ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto. Dan di-
beri hukuman sesuai dengan kejahatannya. Walaupun
sebenarnya masih dalam ketidak puasan, karena salah
satu dari benda Pusaka Kerajaan Mataram belum dikete-
mukan. Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima, yang menjadi
benda sejarah buat Kerajaan Mataram. Seperti dikatakan
Roro Centil bukan karena benda pusaka itu saja yang
menjadi masalahnya. Namun tanpa diketemukannya
kembali benda Pusaka itu akanlah merusak "citra" dan
keagungan Kerajaan Mataram. Seolah tak becus menjaga
pusaka-pusaka Istana. Untuk itulah, dengan diam-diam
orang-orang Kerajaan dan kaum pendekar pembela keadi-
lan telah sama-sama melacak kemana lenyapnya benda
Pusaka itu. Terutama sekali adalah manusianya yang kini
menguasai Tombak Pusaka Ratu Shima itu. Yaitu si Laba-
laba Hitam. Karena dikhawatirkan si manusia dari kaum
Rimba Hijau golongan hitam itu akan mempergunakan
untuk kepentingan pribadinya.
Hari itu adalah pertengahan tahun sejak ditangkapnya

Adipati Kiduling Kuto. Cuaca dalam beberapa bulan yang
telah terlewat itu agak membaik. Petani menggarap sawah
seperti biasa. Kerbau melenguh membajak sawah yang
diolah petani. Suara seruling mengalun merdu disisi-sisi
bukit yang menghijau. Tampaknya suasana di wilayah
Kerajaan Mataram seolah damai tenteram.
Marilah kita melihat keatas puncak sebuah gunung
bernama Argasomala. Seorang kakek berkulit putih, ber-
jenggot panjang terurai dengan kumis bagaikan misai
yang putih bagaikan perak. Tampak duduk disebuah
pondok sederhana. Pondok satu-satunya yang terpencil
dipuncak Argasomala. Kakek inilah yang bergelar Ki Ku-
tut Praja Setha. Seorang tokoh golongan Putih dari kaum
Rimba Hijau yang berilmu tinggi. Peristiwa menggempar-
kan ketika munculnya sebuah Kerajaan Setan yang ber-
nama Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga Berkabut, te-
lah menewaskan banyak tokoh-tokoh Rimba Hijau golon-
gan Putih. Dalam upaya menghancurkan Istana Kerajaan
Pugar Alam ditengah Telaga yang misterius hampir seta-
hun yang silam, dan telah membuat kakek sakti ini kehi-
langan muridnya.
Ya! murid yang amat dikasihinya yang bernama Wibi-
sana. Alias si Penunggang Kuda Setan (baca: Misteri Tela-
ga Berkabut). Kini orang tua sakti ini tampaknya sudah
enggan berkecimpung di Rimba Hijau. Dia cuma duduk
untuk bersemadhi di pondok sederhananya. Menantikan
usia tuanya yang semakin lanjut.
Tak dinyana dalam ketenteraman itu, ternyata masih
ada manusia jahat yang datang menyatroni kepuncak Ar-
gasomala yang tenang dan damai itu.
Sesosok bayangan hitam berkelebatan menaiki puncak
gunung yang sunyi itu. Sekejap kemudian, sosok tubuh
itu telah tiba diatas. Dialah si kakek jubah hitam yang
berjulukan si Laba-laba Hitam. Ditangannya tampak ter-
cekal sebuah tombak yang juga berwarna hitam legam.
Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.

Sepasang mata kakek berusia tiga perempat abad ini
jelalatan memandang tempat sekitar itu yang sunyi men-
cekam.
Saat mana angin berhembus keras menerpa jubahnya.
Kakek ini kerutkan keningnya. Tiba-tiba terdengar suara
pelahan bersuara dengan nada parau dari dalam pondok
sederhana itu.
"Siapakah yang datang mengusik ketenanganku? ha-
rap segera perkenalkan diri..." Tampak sang kakek seperti
terkejut. Akan tetapi kembali wajahnya berubah dingin
membesi.
"Hehehe... aku si tua Ganda Rukmo datang berkun-
jung kepondokmu, Pendekar tua bangka keparat! Lebih
dari lima belas tahun, aku tak pernah berjumpa dengan-
mu! Tak kulihat ada Pesanggrahanmu?" menyahut kakek
ini dengan suara menggembor serak, lantang.
"Heh, tua bangka Edan! kau masih hidup rupanya?
Hahaha.... pesanggrahanku telah hancur musnah dibakar
tiga orang muridku yang murtad! aku membangunnya
kembali dengan mendirikan pondok buruk ini! Ada apa-
kah kau mencariku? Apakah sudah setua ini kau masih
juga mau mengejar keduniawian?"  menyahut suara dari
dalam. Dan tahu-tahu Ki Kutut Praja Setha yang menge-
nakan jubah putih bertambalan telah muncul didepan
pintu pondok.
"Heheheheh... dugaanmu tak salah, tua bangka kepa-
rat! aku ingin menjagoi sekolong langit ini. Kau lihatlah
tombak Pusaka ditanganku ini! Dengan senjata andalan-
ku ini mustahil kalau kau mampu bertahan dari sembilan
jurus seranganku! Hehehe ..hehehe..." mengekeh tertawa
si Laba-laba Hitam dengan jumawa. Tampaknya dia amat
berambisi sekali dengan cita-citanya yang boleh dibilang
gila itu. Ki Kutut Praja Setha tampak kerutkan keningnya.
Alisnya bergerak menyatu. Dan agak tersentak kaget me-
lihat senjata tombak hitam itu.
"Ah!? kalau tak salah itulah Tombak Pusaka Ratu

Shima. Tombak sakti yang pernah menggemparkan Rim-
ba Persilatan. Terakhir bukankah benda pusaka itu telah
dikuasai si Dewa Tengkorak, yang menurut berita telah
lama tewas...,! Benda pusaka itu menurut berita beberapa
tahun yang silam telah menjadi milik Kerajaan Mataram.
Dan dijadikan benda pusaka..." membathin Ki Kutut Praja
Setha.
"Kau kenal Tombak Pusaka ini, tua bangka keparat!"
berkata sinis Si Laba-laba Hitam.
"Ya! aku mengenal. Bukankah itu Tombak Pusaka Ra-
tu Shima?"
"Heheheh.... benar! matamu masih jeli juga!"
"Lumayan, sobat tua bangka gila! Kalau benda pusaka
itu bisa berada ditanganmu. tentu mudah sekali aku me-
nerkanya. Pasti kau telah mencurinya dari ruangan ben-
da-benda Pusaka di Istana Kerajaan Mataram...!"
"Hehehe.... tidak salah! mengenai urusan itu aku tak
perlu bentangkan padamu! kedatanganku adalah untuk
meminjam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang
kudengar pernah dimilikimu, juga tentunya masih berada
ditanganmu! berkata si Laba-laba Hitam.
"Ganda Rukmo...! tidak sadarkah bahwa kau sudah
tua bangka dan sudah dekat Uang kubur? mengapa ma-
sih mengurusi segala macam ilmu? Haiih! aku telah me-
musnahkan kitab pusaka itu! Aku tidak lagi memiliki
apa-apa. Kecuali aku sedang mendekatkan diri pada Yang
Maha Esa..!" menyahut Ki Kutut Praja Setha.
"Omong kosong! Siapa percaya ucapanmu! Heh! jauh-
jauh aku datang kemari, aku tak mau datang dengan per-
cuma! Apakah kau bicara benar?" membentak dingin si
Laba-laba Hitam yang ternyata bernama Ganda Rukmo
itu.
"Hm, untuk apa aku berdusta? Sudahlah, Ganda
Rukmo, kukira sebaiknya kau mulai menyadari akan apa
yang menjadi ambisimu itu! Kesaktian takkan ada batas-
nya. Karena diatas langit masih ada langit. Juga perlu

kau selami apakah hasilmu selama ini? Apakah cuma me-
lulu mengumbar napsu yang tak ada batasnya? Tiada ke-
hidupan yang kekal dialam Fana ini. Kembalikanlah ben-
da pusaka itu kepada Kerajaan Mataram. Dan kukira
dengan kau kembali kewilayahmu di Perairan Tenggara,
disana cukup membuat kau tenteram menghabiskan sisa-
sisa usia tuamu!" Akan tetapi kata-kata Ki Kutut Praja
Setha telah membuat si Laba-laba Hitam ini jadi merah
mukanya bagai kepiting direbus. Bahkan dia amat mera-
sa terhina dengan nasihat baik bekal sahabat yang sejak
muda memang selalu sering bertengkar itu.
"Kutut Praja Setha! aku bukannya bocah kecil yang
kau nasihati sedemikian rupa. Kau benar-benar amat
menghinaku! Susah payah aku dapatkan Tombak Pusaka
ini, mengapa harus kukembalikan lagi ke Istana Kerajaan
Mataram? Sudahlah tak perlu kau berkhotbah macam-
macam didepanku! Sekali lagi kukatakan, yang kuperlu-
kan adalah Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam ditan-
ganmu. Aku mau meminjamnya barang setahun, atau se-
tengah tahunpun cukuplah! Dimana kau simpan benda
itu?
Merahlah wajah Ki Kutut Praja Sheta. Akan tetapi ka-
kek jangkung ini masih bisa menahan diri.
"Ganda Rukmo! seperti kukatakan tadi, Kitab Pusaka
itu telah kumusnahkan. Sudah kubakar menjadi abu se-
jak hampir setahun yang lalu! Apakah kau masih tak
mempercayai?"
"Hm, lima belas tahun kita tak berjumpa, siapa tahu
kau kini pandai ngibul. Karena buktinya kau
menasihatiku macam-macam...! Kalau aku memeriksa
kedalam pondokmu apakah kau mengizinkan?" berkata
Ganda Rukmo.
"Aku tak pernah dihina sedemikian rupa oleh seorang
manusiapun, kecuali seorang tua bangka gila semacam-
mu! Aku sudah tak mencampuri urusan dunia Rimba Hi-
jau lagi, Ganda Rukmo. Pergilah! jangan mengganggu ke-

tenteramanku...!"

SEPULUH

"Hehehe ... kecuali kau mampu menahan sembilan ju-
rus serangan tombakku, barulah aku menyingkir dari si-
ni. Akan tetapi bila kau tak sanggup, jangan kau sesalkan
kalau Tombak Pusaka Ratu Shima ini menghirup darah-
mu! Kecuali kau berikan Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam ...!" berkata dingin Ganda Rikmo yang tampaknya
benar-benar tak mempercayai kata-kata Ki Kutut Praja
Sheta.
"Astaga ...! kau benar-benar manusia yang keterlaluan,
Ganda Rukmo!" Memaki gusar Ki Kutut Praja Sheta.
Agaknya kakek ini sudah tak kuat menahan kesabaran-
nya lagi. Sementara hatinya memikir. "Heh!? jelas kalau si
Ganda Rukmo ini sukar diinsyafkan dari jalan sesat! Aku
telah gagal untuk menyingkirkan diri dari kemelut Rimba
Hijau. Biarlah! kukira inilah jalan terakhir buat aku turut
membantu  menegakkan ketentraman manusia. Karena
sudah  dapat  dipastikan si Ganda Rukmo ini akan jadi
momok yang bakal meyebar kericuhan!  Apa lagi dengan
adanya Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya ...! Ka-
lau aku berhasil menumpasnya saat ini, aku termasuk
sudah menyelamatkan manusia dari ancaman kematian.
Juga punya  jasa yang kusumbangakan pada Kerajaan
Mataram. Karena aku yakin dia pasti menjadi buronan
Kerajaan Mataram, dengan mencuri benda Pusaka Kera-
jaan itu...!"
Berpikir demikian Ki Kutut Praja Sheta, diam-diam
kumpulkan kekuatannya lahir  bathin untuk siap meng-
hadapi  segala kemungkinan. Jelas pertarungan  takkan
dapat terhindar lagi. Dan Ki Kutut Praja Sheta telah siap
untuk menyambungkan nyawa. Nyawa tuanya, yang ma-
sih cukup berharga. Melihat pendekar tua itu telah siap
dengan kuda-kudanya, Ganda Rukmo tertawa sinis. Dia

yang sejak tadi telah siap diri untuk bertarung, tak ayal
segera mulai membuka serangan.
"Hehehe ... kau jaga serangan pembukaanku! Hati-hati
dengan mata tombak Pusaka ini. Ujungnya telah kuren-
dam dengan racun!" Memperingati Ganda Rukmo.
WHUUT! WHUUT! WHUUT ... . Serangkaian serangan
hebat telah dilancarkan. Senjata Tombak Pusaka itu  syi-
urkan hawa dingin yang menembus tulang. Meluncur ke-
tiga jalan darah kematian Ki Kutut Praja Setha ...
Serangan beruntun ini cukup membuat si kakek yang
pernah berjulukan si Pendekar Pedang kayu ini agak ter-
kesiap.  karena hawa racun yang bersyiur terasa menye-
sakkan pernapasannya.
Namun sebagai jago kelas tinggi yang  pernah meng-
gemparkan Rimba Persilatan, Ki Kutut Praja Sheta dapat
mematahkan serangan-serangan ganas itu. Jurus-jurus
mengelakkan diri yang dipergunakan serta hawa murni
yang telah dihimpun disekujur kulit tubuh, mampu me-
nahan rembesan hawa racun dari Tombak Pusaka Ratu
Shima. Bahkan kakek kosen ini balas lakukan serangan
menghantam dengan tasbih hijaunya. Sejak mengasing-
kan diri dari kemelut Rimba hijau kakek ini memang tak
pernah ketinggalan dengan untaian tasbih ditangannya.
Si laba-laba Hitam ini agak tersentak kaget, karena
ternyata tasbih dari batu giok itu mampu mengusir hawa
racun dari mata tombaknya. Bahkan kakek tua renta itu
masih punya kelincahan untuk menghindari serangan-
serangannya.
"Hehehe... ternyata kau masih punya senjata andalan,
tua bangka keparat! Kemana Pedang Kayumu? mengapa
tak kau pergunakan?" berkata sinis Ganda Rukmo. Den-
gan satu sontekan mata pedangnya, serangan tasbih hi-
jau telah ditarik kembali oleh Ki Kutut Praja Sheta.
Kini Tombak Ratu Shima mulai dimainkan dengan ju-
rus-jurus berikutnya. Hawa racun semakin menggebu
menyambar ke arah Ki Kutut Praja Setha karena dibaren-

gi dengan tiupan ke arah kakek itu. Sementara serangan-
serangan mendadak dari tombak semakin gencar menga-
rah leher dan setiap kulit tubuh lawan.
Melihat serangan Ganda Rukmo semakin hebat, ter-
paksa kakek puncak Argasomala ini segera robah gera-
kannya. Dan mainkan jurus-jurus dari Kitab Pusaka Pu-
lau Tengkorak Hitam.
Kini dari tubuh kakek ini keluar uap putih. Serangan
tasbihnya menindih serangan lawan. Akan tetapi kelema-
han si kakek jangkung ini adalah dia tak mau mengada-
kan benturan tasbih hijaunya dengan mata tombak la-
wan. Dia masih sangsi apakah tasbihnya mampu meng-
hadapi Tombak Pusaka Ratu Shima itu.
Hal mana adalah amat menguntungkan si Laba-laba
Hitam. Kini jurus keempat mulai dilancarkan. kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan semakin diperhebat mem-
buat sambaran tombak semakin menggiriskan hati. Hawa
racun seperti menempel dikulit tubuh kakek ini.
Sayang, Ganda Rukmo tak mengetahui kalau Ki Kutut
Praja Sheta banyak punya jurus lain yang luar biasa. Tu-
buhnya mendadak melesat keudara. Lengannya meng-
hantam batok kepala lawan, ketika  sekonyong-konyong
menukik lagi. BHLARR!
Tanah menyemburat keudara. Debu mengepul. Rant-
ing dan semak terbongkar.
Hantaman pukulan mematikan itu nyaris membuat
batok kepala Ganda Rukmo hancur remuk, kalau dia tak
cepat jatuhkan tubuh bergulingan.
Sementara tangannya meraih benda yang selalu terse-
lip dibalik jubahnya.
Dan ... dibantingkan benda itu kedepan Ki Kutut Praja
Sheta yang telah kembali meluncur untuk lakukan han-
taman keduanya. BHUSSS!
Asap hitam mengepul. Dan tubuhnya lenyap terbung-
kus. Kakek puncak Argasomala kertak gigi dengan gusar.
Dia tahu kalau Ganda Rukmo telah mulai main licik.

Benar saja! tahu ditempat itu telah muncul seekor La-
ba-laba Raksasa. Terperangah Ki Kutut Praja Sheta. Ka-
rena dia tak menyangka kalau Ganda Rukmo telah memi-
liki ilmu sihir hitam sedemikian rupa.
Namun cuma sekejap dia terkejut. Segera melompat
mundur.
Akan tetapi saat itu Ganda Rukmo telah berada dibe-
lakangnya. Dalam keadaan tubuh tak terlihat. karena dia
mempergunakan ajian Halimun. Tombak Pusaka Ratu
Shima telah dilancarkan dengan kecepatan kilat.
Dan ... Bless!
Tersentak kaget kakek tua ini. Matanya membeliak ka-
rena terkejut. Sadarlah dia kalau telah kena bokongan
lawan. Namun terlambat sudah! kakek ini balikkan  tu-
buh. Sementara tombak itu telah kembali disentakkan si
pemiliknya.
Darah menyemburat. Memancur dari luka di punggung
yang telah menembus sampai ke dada.
"Iblis pengecut! kau ... kau..."
Wajah kakek ini tampak membesi. Betapa geram dia
terhadap Ganda Rukmo sukar dibayangkan. Lengannya
mengepal mencengkeram tasbih hijau ditangannya hingga
berderak hancur. Dan, dengan kekuatan terakhir dia ge-
rakkan tangannnya melontarkan hancuran  tasbih itu
dengan kecepatan kilat.
Terdengar jeritan parau si Laba-laba Hitam dihada-
pannya, yang seketika menampakkan dirinya lagi. Apa-
kah yang terjadi?
Ternyata kakek tua berjubah hitam itu tengah ter-
huyung menutupi kedua matanya, yang mengalirkan da-
rah.
Meraung-raung Ganda Rukmo dengan berloncatan tak
tentu arahnya. Sementara si makhluk ciptaan berbentuk
Laba-laba Raksasa itu sekejap telah lenyap lagi karena
tiada lagi pengaruh dari si kakek itu. Sedangkan Ki Kutut
Praja Sheta tak dapat mempertahankan diri lagi. Seketika

tubuhnya ambruk kebumi.
Setelah beberapa kali menggeliat. Kakek perkasa  itu-
pun lepaskan nyawanya dengan kulit tubuh berubah hi-
tam. Darah yang juga berwarna hitam menggelogok dari
lukanya. Ternyata dia telah terkena racun yang teramat
hebat, disamping luka parah yang tak memungkinkan
baginya untuk bisa hidup.
Sementara itu Ganda Rukmo masih meraung-raung
menekap wajahnya. Ternyata sepasang matanya telah bu-
ta, tak dapat dipergunakan lagi. Tertatih-tatih dia me-
rayap kesana kemari. Tangannya menggapai mencari
tombak Pusaka Rati Shima yang terlepas dari tangannya.
Keadaannya sungguh amat mengharukan.
Sayang! dia tak tahu lagi dimana adanya benda itu.
Bahkan kakinya melangkah mendekati pondok dipuncak
Argasomala itu. Pondok Ki Kutut Praja Sheta yang me-
mang tak jauh dari tempatnya bertarung.
Saat itu sesosok tubuhnya bertopeng hitam berkelebat
ketempat itu. Gerakannya amat ringan. Cepat sekali len-
gannya menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang
tergeletak ditanah. Detik selanjutnya sudah melesat lagi
dari atas puncak gunung itu. Dan lenyap dalam sekejap.
Dua sosok tubuh terlihat pula bermunculan ditempat
itu. Akan tetapi cuma sekejap. Karena segera salah seo-
rang berteriak.
"Cepat kejar! Kita keduluan orang ...!"
Dan dua sosok tubuh itu berkelebatan menuruni pun-
cak Argasomala, mengejar sosok tubuh yang telah lebih
dulu menyambar benda pusaka itu.
Tersentak si Laba-laba Hitam ini. Dengan menggerung
keras lengannya menghantam kedepan seraya memben-
tak.
"Manusia-manusia keparat! kalian telah mencuri Tom-
bak Pusakaku...?" BLARRRR!
Puncak bukit itu bagaikan dilanda lautan prahara
yang seketika membuat balang-batang pohon berderak

patah. Semak menyibak, dan menghambur beserpihan.
Akan tetapi sosok-sosok tubuh tadi lelah lenyap dari
puncak gunung itu.
"Manusia-manusia keparat! kembalikan Tombak Pusa-
kaku...! menggembor keras si kakek ini. Tiba-tiba tubuh-
nya melesat kedepan. Lengannya bergerak menghantam
kesana-kemari. Keadaan disekitar tempat itu jadi rusak
binasa diamuk kakek yang kalap ini. Bahkan pondok Ki
Kutut Praja Shetapun rusak binasa.
Keadaan Ganda Rukmo tak lebih bagaikan manusia
setan yang mengerikan. Dengan wajah penuh mengalir-
kan darah. Mulut meyeringai. mengamuk menghantam
apa saja disekelilingnya.
Rasa jengkel membuat dia mengumbar kemarahan se-
jadi-jadinya.
Akhirnya dia keprak kepalanya sendiri dengan kedua
lengannya. Menjerit parau kakek yang telah  kehilangan
akal warasnya ini. Suara berderak keras terdengar. Kakek
itu roboh ketanah dengan batok kepala hancur. Dan te-
was seketika. Sesaat puncak Argasomala dicekam kesu-
nyian. Sungguh satu pemandangan yang menyedihkan,
karena sekejap saja puncak yang bersih, aman, tenang
dan damai itu kini bagaikan baru saja dilanda badai tau-
fan yang mengamuk.
Dua mayat terkapar ditempat itu.
Manusia-manusia dijagat ini memang aneh!
Dunia Rimba Hijau juga aneh!
Angin utara bertiup sepoi membauri puncak Argaso-
mala dengan bau anyirnya darah. Ternyata pula Tombak
Pusaka Ratu Shima telah menjadi penyebab penghantar
nyawa dua manusia dipuncak gunung yang sunyi itu.
Sementara Matahari agak meredup, ketika awan hitam
melintas.
Puncak Argasomala semakin lengang...! Teramat len-
gang...



S E B E L A S

SESOSOK TUBUH berkelebat tiba dipuncak gunung
yang sunyi itu. Ternyata seorang gadis muda yang berwa-
jah rupawan. Dipunggungnya tampak terselip sebuah se-
ruling. Dialah si Seruling Gading adanya. Gadis yang
mengenakan baju warna ungu ini tampak tatapkan ma-
tanya memandang kesekitar tempat itu. Dan terbenturlah
pada sosok tubuh yang telah terkapar jadi mayat itu. Wa-
jahnya menampakkan terkejut. Lalu melompat ringan
menghampiri mayat Ki Kutut Praja Setha. Kemudian me-
lompat lagi untuk melihat mayat satunya lagi. Sepasang
matanya semakin membelalak. Mulutnya ternganga. Dan
...
"Guru...!?" Terdengar suaranya tersendat dikerongkon-
gan. Seketika dia telah duduk bersimpuh dihadapan je-
nasah kakek tua itu.
"Guru...! Ah, tak dinyana kau akan tewas! Kalian pasti
bertarung hebat. Kau pernah menyelamatkan  nyawaku,
Guru...! Aku belum dapat membalas budimu, kau telah
berangkat terlebih dulu..." Terdengar suara gadis itu
menggumam lirih. Dan setitik air bening tersembul dis-
udut matanya. Lama dia tercenung menundukkan kepala.
Tapi tak lama kemudian tampak dara ini bangkit berdiri.
Mengusap air matanya.
"Sudahlah, adik manis..! mengapa harus menangisi
orang yang sudah tiada? Pandanganlah kedepan! Ta-
tapkan matamu kehari esok yang lebih baik! Dunia ini
cuma sandiwara! Agaknya takdir sudah mengharuskan
gurumu itu mati membunuh diri!" satu suara halus tiba-
tiba terdengar dibelakangnya, Gadis ini menoleh. Dan ter-
tegun dia karena telah melihat siapa adanya yang berdiri
menatapnya."
"Kakak Pendekar Roro Centil...!?" Ah, sejak kapan kau
kemari?"

"Hihihihi ... sejak terjadi pertarungan kedua jago tua
ini. Akan tetapi aku terlambat datang. Ki Kutut Praja She-
ta telah terkena hunjaman tombak pusaka Ratu Shima
ditangan gurumu. Dan belakangan aku melihat dia men-
gamuk hebat karena kedua matanya terluka terkena
sambitan tasbih Ki Kutut Praja Sheta. Seseorang lelah
menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang menggele-
tak ditanah, lalu melarikan diri. Saat aku mau mengejar,
dua sosok tubuh muncul lagi, dan mengejar orang yang
melarikan benda pusaka itu. Aku segera memburunya.
sayang, pencuri itu tak ketahuan kemana rimbahnya. Ke-
tika aku sedang melacak jejaknya, kudengar suara gaduh
dipuncak gunung ini, Kudapati gurumu tengah menga-
muk, Dan akhirnya dia membunuh diri dengan menghan-
tam kepalanya dengan kedua tangannya..!" tutur Roro.
"Dia adalah orang yang telah menyelamatkan  nyawa-
ku, kakak Pendekar Roro...!" ujar Seruling Gading dengan
masygul,
"Yah, kau memang berhutang budi padanya. Akan te-
tapi gurumu ini adalah orang buronan Kerajaan Mataram!
Tentu saja penjelasan Roro itu membuat di gadis ter-
sentak kaget,
"Sudahlah! nanti aku ceritakan hal-ikhwalnya. Kita ba-
ru berjumpa lagi sejak kejadian di CIPATUJAH, adik yang
baik! Banyak hal yang akan kutanyakan padamu. Juga
tentunya aku akan ceritakan mengenai suaminya SAMBU
RUCl ,..!" Ujar Roro yang segera bicara sebelum Seruling
Gading banyak ajukan pertanyaan.
"Marilah kita semayamkan kedua jenazah ini ...!" sam-
bung Roro dengan cepat.
"Oh baik, baik...! girang sekali aku berjumpa dengan
anda kakak Pendekar Roro..." sahut Seru ling Gading
dengan amat hormat. Dia memang amat menyegani pada
Roro. Apalagi mengingat akan nasib Sambu Ruci, ingin
sekali dia mendengar beritanya.
Seperti pernah dikisahkan pada judul: Duel dan Keme-

lut di Cipatujah; Seruling Gading telah menikah dengan
Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok atau si Pendekar
Selat Karimata. Akan tetapi adanya kemelut di Cipatujah
membuat pernikahan mereka yang telah sempat diresmi-
kan itu jadi berantakan karena ulah dari ayah angkatnya
sendiri.
Demikianlah, mereka segera menggali lubang untuk
penguburan kedua jenazah. Selang tak lama kedua jena-
zah mulai ditimbun. Dan menjelang gelincir matahari pe-
kerjaan itupun selesai  sudah. Roro mengajak Seruling
Gading untuk segera meninggalkan tempat itu. Ditepi
sungai mereka berhenti. Setelah mandi, kedua dara itu
tampak duduk saling berhadapan di bawah sebatang po-
hon. Sambil mengeringkan rambut,  Roro mulai bercerita
mengenai kejadian di Kota Raja. Mengisahkan semua ke-
jadian di Kota Raja. Mengisahkan semua kejadian dari
awal hingga akhir. Sementara Seruling Gading menden-
garkan dengan serius. Kini giliran Seruling Gadinglah
yang harus bercerita pada Roro.
Begitulah. Dara itu segera cerita kejadian, sejak dia lo-
loskan diri dari sekapan ayah angkatnya di Pesanggrahan
Cipatujah, yang ternyata dikuntit oleh dua orang murid
sang ayah angkat. Terjadilah pertarungan, karena Serul-
ing Gading mau diperkosa oleh kedua manusia brutal itu.
Dalam pertarungan itu seseorang  yang tak diketahuinya
diam-diam telah membantunya bertarung. Hingga kedua
murid ayah angkatnya tewas. Sayang dia tak mengetahui
siapa yang telah menolongnya. Namun Seruling  Gading
telah putus asa. Dalam keadaan tubuh lemah lunglai dia
menerjunkan diri dari atas tebing curam, dimana diba-
wahnya terbentang jurang yang dalam. Dia tak tahu apa-
apa lagi. Tapi ketika tersadar dia telah dapatkan dirinya
disebuah ruangan goa yang bersih. Dan seorang kakek te-
lah menungguinya. kakek itulah yang Ganda Rukmo alias
si Laba-laba Hitam yang telah menyelamatkan jiwanya.
Dan Seruling Gading telah mengangkat guru padanya.

Roro manggut-manggut mendengarkan dengan penuh
perhatian. Lalu menghela napas. Ujarnya; "Sungguh pri-
hatin aku mendengar kisahmu, adikku...! Akan tetapi
ayah angkatmu telah mendapat ganjaran yang setimpal
dengan perbuatannya!"
Matahari semakin menggelincir pertanda sebentar lagi
akan menjelang senja. Menampak demikian, dan setelah
agak lama bercakap-cakap, Seruling Gading berkata.
"Kakak Pendekar Roro Centil. Sebenarnya aku masih
rindu dengan pertemuan kita. Akan tetapi dengan sangat
terpaksa aku mohon diri. Aku akan berusaha membantu
anda untuk mendapatkan lagi Tombak Pusaka itu dan
menyerahkan ke Istana Kerajaan Mataram ...!"
"Aiihh, sukurlah kalau kau mau membantu. Akan te-
tapi mengapa tampaknya kau terburu-buru? Bukankah
kau masih rindu? Dan ... apakah tak ada hasratmu un-
tuk mencari Sambu Ruci? Kasihan dia! Dia amat bersu-
sah hati memikirkan nasibmu!" berkata Roro. Seruling
gading tundukkan wajahnya. Tampak tersirat perasaan
sedih yang sukar dilukiskan. Dan dara ini tengah berusa-
ha menahan perasaannya.
"Kelak pasti aku akan mencarinya...! menyahut Serul-
ing gading dengan suara lirih. Akan tetapi hatinya mem-
bathin. "Tidak! tak ada muka lagi aku untuk bertemu
dengannya. Apalagi mencarinya! aku merasa malu ...! Aku
sudah tak perlu diharapkan lagi. Karena aku telah terno-
da ...!"
"Hm, sukurlah kalau begitu, Kelak bila berjumpa aku
akan memberi khabar padanya kalau kau dalam keadaan
sehat-sehat saja. Dimanakah kau bertempat tinggal?"
tanya Roro, seraya turut bangkit berdiri mengikuti Serul-
ing Gading.
"Ah, sayang sekali, kakak Pendekar Roro. Aku tak
punya tempat tinggal, Goa tempat bernaungku selama ini
mungkin segera akan kutinggalkan. Seperti juga kakak
tentunya, aku akan mengembara, Menurutkan kemana

langkah kakiku ini..." sahut Seruling Gading dengan sen-
du.
"Baiklah! kalau begitu. Semoga Yang Maha Agung sela-
lu melindungimu dalam perjalanan, dan dimana saja! Se-
lamat jalan, adikku ...!" ujar Roro Centil. Seraya kemu-
dian ulurkan lengannya untuk menjabat tangan Seruling
Gading. Dara ini menyambutnya. Bahkan segera meme-
luk sang Pendekar wanita ini dengan linangan air mata.
"Selamat tinggal kakak Pendekar Roro ...! Kalau masih
ada usia semoga kita bisa jumpa lagi ...!"
"Tentu tentu, adikku hihihi ... dan semoga kalian bisa
cepat bertemu...!" ujar Roro sambil tertawa kecil. Seruling
Gading tersenyum tawar dan manggut-manggut. "Ya,
do'akanlah, kak ...!" sahut dara ini. Bibirnya tersenyum
tetapi hatinya menangis.
Tak lama Seruling Gading segera mohon diri. Lalu be-
ranjak meninggalkan Roro yang masih tercenung meman-
dangnya. Sikap dan rona diwajah dara itu tak dapat men-
gelabui hati Roro. Dia tahu Seruling Gading menyembu-
nyikan kesedihan hatinya diantara senyumnya. Setelah
beberapa kali berkelebat, tubuh Seruling segera lenyap
dibalik tikungan jalan disisi sungai itu,
"Aiih, pengantin baru yang malang..." mengguman Ro-
ro dengan hati trenyuh, lalu diapun berkelebat dari situ...
Akan tetapi baru beberapa saat berlari, Roro kembali
merandek hentikan langkahnya. Lalu berkelebat kebalik
semak. Dua orang laki-laki berpakaian serba singsat ber-
jalan cepat menyusuri jalan setapak disisi hutan itu.
"Kulihat jelas dia seorang perempuan berbaju merah!
Akan tetapi heran? Mengapa cepat sekali dia  berlari 
menghilangkan...?" berkata salah seorang.
"Heh! Dunia Rimba Hijau ini penuh dengan orang-
orang sakti, Guntar! Kini tombak Pusaka Ratu Shima te-
lah berganti majikan!" menyahut kawannya. Tersentak
Roro, karena segera teringat dia akan kejadian dipuncak
Argasomala. Dua orang itu adalah si pengejar sosok tu-

buh baju merah yang berkelebat duluan menyambar
Tombak Pusaka Ratu Shima.
Tanpa mengetahui Roro Centil yang bersembunyi, me-
reka terus lewat sambil bercakap-cakap tiada henti. Dan
menyesali mengapa kurang cepat mereka menyambar
benda pusaka yang tergeletak itu.
Roro  Centil tertegun sejenak. "Siapakah kedua orang
itu? apakah dia golongan Pendekar ataukah kaum golon-
gan hitam yang mencari kesempatan untuk mengangkan-
gi Tombak Pusaka?" berkata Roro dalam hati.
Akan tetapi Roro tak bertindak apa-apa. Segera dia
bangkit berdiri. Dan teruskan berlari cepat. Hari telah
menjelang senja. Roro perlukan tempat bermalam. Tentu
saja besok dia harus bekerja keras meneruskan lacakan-
nya mencari si baju merah yang melarikan tombak Pusa-
ka itu.
Dalam berlari-lari cepat itu diam-diam hatinya me-
nyentak kaget ketika teringat akan pembicaraan kedua
laki-laki tadi.
"Eh, kalau sipenyambar benda pusaka itu seorang pe-
rempuan, aku memang melihat. Tapi... hm, ya! Ya ...! je-
las kuingat kini. Sosok tubuh itu tak beda dengan pera-
wakan si Iblis Ruyung Emas! Kalau benar dia, tak sukar
mencarinya..." pikir Roro. Dan tersenyum dalam larinya.
Sekejap dia sudah melesat cepat sekali. Dan sebentar saja
tubuhnya lenyap dikeremangan senja yang semakin te-
maram.

DUA BELAS

Sementara disaat kepergian Roro Centil sesosok tubuh
muncul dari ujung jalan. Tepat pada ujung jalan yang
bakal dilalui kedua laki-laki pencari Tombak Pusaka Ratu
Shima.
Sosok tubuh ini sungguh sukar untuk dibayangkan,
karena ternyata sesosok tubuh wanita yang tak mengena-

kan selembar pakaianpun pada tubuhnya. Tentu saja ke-
dua laki-laki itu jadi melengak melihat tahu-tahu dihada-
pannya muncul sesosok tubuh wanita dalam keadaan
membugil.
"Hah..? Sssi... siapakah kka...kau...?" tergagap seorang
dari dua laki-laki itu. Keduanya menatap dengan mata
membelakak. Belum lagi mereka tersadar, kedua laki-laki
itu rasakan angin berkesyiur menerpa tubuhnya. Teren-
duslah bau harum semerbak. Seketika kedua laki-laki ini
jadi terpana. Dan belum lagi mereka sempat berbuat se-
suatu, keduanya perdengarkan keluhan. Karena yang me-
reka rasakan adalah mata mereka berkunang-kunang.
Pandangannya memutar. Serta kepala terasa pening. Te-
rakhir, kedua laki-laki itu jatuh menggeloso tak ingat apa-
apa lagi.
"Hihihi...hihi.. ternyata kalian adalah para pendekar
picisan. Akan tetapi kalian adalah laki-laki bertubuh ke-
kar yang menggairahkan! Malam ini kalian harus mene-
mani aku tidur. Kalian sungguh bernasib mujur, laki-laki
gagah...!" berbisik wanita bugil itu. Sepasang matanya
membinar memandang kedua tubuh yang menggeletak
pingsan dihadapannya. Dilain kejap dan sungguh diluar
dugaan, kalau wanita bertubuh semampai itu mampu
mengangkat kedua tubuh laki-laki itu sekaligus pada ke-
dua pundaknya. Dan detik selanjutnya dia telah memba-
wanya berkelebat dari tempat itu.
Dalam keremangan cahaya rembulan itu, terjadilah sa-
tu pemandangan yang menjijikkan. Karena kedua laki-
laki itu bagaikan dua buah robot manusia yang telah di-
kendalikan otaknya. Tampak menggeluti tubuh perem-
puan bugil itu silih berganti dengan napsu birahi yang
menggelora. Suara dengus napas dan rintihan nikmat da-
ri manusia-manusia yang dimabuk asmara gila itu ter-
dengar dalam desah-desahnya angin malam....
Malam semakin melarut...
Dua tubuh laki-laki itu dalam keadaan membugil ter-

kapar menggeletak diatas rerumputan dilereng bukit. Ke-
duanya telah mendengkur pulas tak ingat apa-apa lagi.
Bahkan mungkin tengah bermimpi melayang ke angkasa.
Dari balik semak perempuan itu muncul lagi, dan baru
saja mengenakan pakaiannya Ya! siapa lagi perempuan
itu kalau bukan si iblis Ruyung Emas! Tak lama si wanita
cantik ini telah melompat keluar mendekati kedua laki-
laki yang terkapar itu. Ditangannya tercekal  sebatang
tombak. Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.
"Hihihi... malam ini terlampias sudah hasratku. Aku
benar-benar amat puas!" mendesis suara wanita ini. Bi-
birnya nampak menyunggingkan senyuman. Lalu setelah
memandang kebawah bukit, kakinya beranjak untuk me-
ninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia meran-
dek. Kembali dia menoleh pada kedua laki-laki yang ma-
sih mendengkur pulas itu.
Lengannya  bergerak kebalik baju merahnya. Dan...
Serrr! belasan jarum meluruk deras ke arah kedua laki-
laki bugil itu
Tampak kedua laki-laki itu tersentak kaget seperti di-
gigit kala. Tapi sekejap setelah menggeliat, keduanya
kembali terkulai. Kali ini untuk terus tidur selamanya.
Karena nyawanya seketika langsung melayang...
Kemudian dengan mengikik tertawa si Iblis Ruyung
Emas segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Malam itu Ginanjar tak dapat memicingkan matanya di
ruangan Pendopo Kedipatian yang telah  kosong, bekas
tempat kediaman Adipati Kiduling Kuto yang telah dipen-
jarakan. Sampai saat ini ternyata belum terisi lagi. Belum
ada pengganti Adipati Kiduling Kuto. Hingga sampai saat
ini jabatan Adipati di wilayah itu masih kosong. Karena
tetap tak dapat memicingkan matanya, akhirnya Ginanjar
bangkit untuk duduk, disisi pembaringan. Sementara pi-
kirannya menerawang jauh. Sampai saat ini Ginanjar
agak aneh dengan sikap Roro Centil. Sejak lebih dari tiga
bulan yang lalu dia tinggal menetap di Kedipatian itu. Gi-

nanjar layaknya bagaikan putera mahkota saja, karena
segala Keperluannya dicukupi oleh para pembantu di Ka-
dipatian itu. Pengawal-pengawal Kadipaten masih tetap
berjaga seperti biasa.
Dia masih ingat pesan Roro Centil agar tak meninggal-
kan Kedipatian sebelum ada perintah dari Raja Mataram
yang akan disampaikan oleh Tumenggung Satryo. Walau-
pun Ginanjar dapat berbuat bebas untuk keluar masuk
dari pintu gerbang Kedipatian, akan tetapi lama-lama di-
rasakan bosan juga. Entah apa maksudnya dia disuruh
menunggu gedung Kedipatian itu, sementara Roro Centil
jarang menampakkan diri.
Tiba-tiba Ginanjar teringat akan pertemuan dua hari
yang lalu ketika dia tengah keluar dari Gedung Kedipa-
tian. Dia berjumpa dengan seorang wanita baju merah
yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas. Mengingat demi-
kian, pemuda ini menggumam." Haiih perempuan itu se-
lalu saja menguntitku...! tampaknya dia selalu mengejar-
ngejar aku...! Wah, gawat kalau dia jatuh cinta padaku!
aku sudah berjanji takkan main perempuan lagi. Roro
yang kugandrungi setengah mati ternyata sulit diduga isi
hatinya. Entah, apakah dia diam-diam mengujiku, atau-
kah memang tak ada secuilpun perasaannya terhadap.!.?"
Termangu-mangu pemuda ini sambil meremas ram-
butnya. Akhirnya dia beranjak mendekati jendela. Dibu-
kanya jendela kamar tidurnya untuk melihat keluar. Kea-
daan diluar sunyi mencekam. dua orang penjaga masih
tetap berjaga menjalankan tugasnya didepan pintu ger-
bang Kedipatian. Terlihat berdiri mematung. Tiba-tiba dia
mengendus bau harum semerbak. "Aiii, wangi benar. Pas-
ti bau wangi bunga disamping gedung yang terbawa an-
gin..." berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi seko-
nyong-konyong dia rasakan kepalanya pening. Pandangan
matanya memutar. "Ah, aku harus cepat tidur! Selama ini
aku kurang tidur setiap malam..." berdesis Ginanjar  se-
raya memijit keningnya. Dihempaskannya tubuhnya ke-

pembaringan. Agak lama dia berbaring, tiba-tiba tersen-
tak pemuda ini karena merasa ada sesuatu yang kurang
beres. "Heh! jangan-jangan bau harum itu baru obat bius.
Celaka aku kalau ada yang sengaja mau mengerjaiku...!
Dan jangan-jangan kedua penjaga itu telah ditotok
orang..!" sentaknya dalam hati. Cepat-cepat dia kerahkan
kekuatan tenaga dalamnya untuk  salurkan hawa murni
kesekujur tubuh. Dicobanya melawan kekuatan hawa
mengantuk yang luar biasa itu. Dia yakin kalau itu bukan
mengantuk sewajarnya.
Saat mana tiba-tiba pintu kamar yang tak terkunci itu
berderit terbuka. Dan sesosok tubuh memasuki pintu
kamarnya. Sosok tubuh wanita.
"Roro...? kaukah itu...?" tanya Ginanjar tersentak. Ma-
tanya menatap wajah orang. Karena pandangannya ten-
gah berputar akibat hawa aneh yang membuat mata
mengantuk itu, hingga dia perlu membeliakkan matanya
lebar-lebar.
"Hihihi... aku yang datang Dewa Linglung.." menyahut
wanita itu. Tentu saja membuat Ginanjar terlonjak kaget.
Segera dia bangkit untuk duduk.
"Kau... kkau.. si Ruyung Emas...?" tergagap Ginanjar
seraya mengucak-ucak matanya. "Hihihi... benar, aku si
Ruyung Emas, kekasihku..." ucapnya. Suaranya tergetar
seperti mengandung hawa cinta berahi yang menggebu.
Tiba-tiba lengan wanita itu mengibas. Dan bersyiurlah
bau harum yang lebih semerbak. Tersentak Ginanjar.
Cuping hidungnya kembang kempis terendus bau wangi
itu. Akan tetapi kali ini tergetar hatinya, karena sekejap
hawa birahi telah menimbulkan rangsangan hebat. Mem-
buat tubuh Ginanjar jadi bergetar dan dada bergemuruh,
Apa lagi wanita dihadapannya mulai membuka pakaian-
nya. Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap
Ginanjar. Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera.
Wanita ini tengah salurkan kekuatan ilmu hitamnya un-
tuk menundukkan hati si pemuda.

Berkali-kali Ginanjar meneguk air liurnya. Hawa rang-
sangan yang hebat telah mempengaruhi sirkuit otaknya
untuk menuruti kata-kata wanita itu.
"Dewa Linglung...! ayolah, kekasihku...! aku amat
mendambakanmu! aku mencintaimu setengah mati. Aku
kedinginan malam ini...! peluklah aku. Dekaplah diriku,
kekasihku yang tampan..." berkata si Iblis Ruyung Emas
dengan mengeluarkan bisikan ketelinga Ginanjar. Tu-
buhnya telah beranjak semakin mendekat. Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara sesuatu yang terhempas
pecah diruangan depan pendopo. Tersentak wanita ini.
Dan seketika mencabut lagi kekuatan ilmu hitamnya yang
telah  dipergunakan mempengaruhi Ginanjar. "Tombak-
ku...?" desis wanita ini seperti tersentak." Agaknya dia te-
ringat pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang disandar-
kan di dinding diluar pintu kamar.
Sementara itu sesosok tubuh ramping baru saja berke-
lebat melompat dari atas tembok. Karena kurang hati-hati
kakinya menyentuh pot bunga yang tergantung hingga ja-
tuh pecah kelantai. Namun tanpa memperdulikan dengan
cepat dia berkelebat kedepan pintu kamar. Sepasang ma-
tanya tertuju pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang ter-
sandar didinding.
Sayang dia terlambat. Karena dengan cepat si Iblis
Ruyung Emas telah melompat keluar untuk menyambar
terlebih dulu tombak pusaka itu.
"Heh?" tersentak sosok tubuh itu. Namun dengan ge-
rakan cepat dia lancarkan serangan menghantam wanita
telanjang bulat itu. Mulutnya membentak nyaring.
"Lepaskan benda itu!" Dan... WHUUUK! benda yang
panjangnya hampir tiga jengkal itu bergerak menghantam
ke arah kepala si Iblis Ruyung Emas mengeluarkan suara
mendesing. Itulah sebuah senjata seruling. Bahkan dia
hantamkan pula telapak tangannya untuk menjotos dada
wanita itu.
Namun dengan terkejut si wanita bugil itu dapat hin-

darkan serangan. Dengan gerakan sebat dia menangkis
Pletak! Bhuk!
Menjerit si Iblis Ruyung Emas karena terasa tulang
lengannya berderak patah. Dibarengi rasa sakit pada da-
danya yang terlambat dia mengelakkannya. Seketika tu-
buhnya terjengkang menggabruk kedalam kamar. Tom-
bak Pusaka itu cepat disambut sosok tubuh itu. Dan se-
gera tercekal ditangan
"Berhasil!" terdengar suara sosok tubuh itu berdesis.
Dan tak ayal dia sudah berkelebat melompat untuk ke-
luar dari ruangan itu.
"Bangsat licik! kembalikan tombakku.!" melengking
suara si Iblis Ruyung Emas. Tubuhnya telah melompat
cepat untuk mengejar... Akan tetapi sosok tubuh itu ba-
likkan tubuhnya. Dan. Serr! tiga pisau terbang telah me-
luruk deras ke arah si Iblis Ruyung Emas.
"Bedebah!" memaki wanita itu. Segera dia melompat
untuk menghindarkan diri dengan miringkan tubuh, dan
lakukan salto keudara. Serangan itu lolos. Akan tetapi dia
tak dapat menghindari serangan berikutnya. Karena baru
dia jejakkan kaki kelantai, kembali membersit dua pisau
terbang mengarah kedadanya. Menjerit wanita ini seketi-
ka. Dan tubuhnya menggabruk jatuh setelah terhuyung
beberapa langkah kebelakang.
Sementara dengan cepat sosok tubuh ramping itu ber-
kelebat melompat keatas tombak. Akan tetapi menjerit
dia... Dan tubuh itu  kembali terjatuh kebawah tembok
pagar gedung. Apakah yang terjadi? Tampak dua sosok
tubuh berkelebat melompat ketembok. Salah seorang
berkata.
"Kena...!" Dia seorang laki-laki yang memegang busur
dan anak panah dalam bumbung dibelakang punggung-
nya Sosok tubuh satu lagi adalah seorang wanita yang
berambut panjang terurai. Dia melompat lebih dulu un-
tuk memburu sang korban yang terjatuh. Ternyata dia
Roro Centil.

"Hah!?...kau ...kau Seruling Gading?" tersentak Roro
ketika mengenali siapa yang telah terkena panah itu. La-
ki-laki berpanah itu cepat melompat kesisi Roro.
"Siapa maksudmu, nona Roro...? apakah dia bukan si
Iblis  Ruyung Emas?" Tersentak laki-laki ini. Dan berdiri
memandang pada sosok tubuh yang barusan dipanahnya.
"Kau telah salah membunuh orang, sobat Satryo...!
dia... dia sahabatku. Ya! dia Seruling Gading!" sahut Roro
mengeluh. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara benta-
kan dibelakang mereka.
"Bangsat licik! kembalikan tombak Pusaka i...itu...!"
Tersentak mereka ketika menoleh, sesosok tubuh wanita
yang membugil telah berada dihadapannya. Dialah si Iblis
Ruyung Emas yang jadi tujuan sasaran anak panah laki-
laki itu, yang tak lain dari Tumenggung Satryo. Ternyata
si Iblis Ruyung Emas masih mampu untuk bangkit dan
mengejar si pencuri Tombak Pusaka itu. Kini dengan kea-
daan tubuh yang amat  memalukan dia berdiri terhuyung
dihadapan kedua orang itu. Wajahnya tampak mengeri-
kan. Tampak dua buah belati terhunjam didadanya yang
mengucurkan darah. Ketika memandang Roro, wajah wa-
nita itu jadi semakin pucat. "Aah... kkau... kau..."  tak
sempat lagi dia meneruskan kata-katanya. Karena tu-
buhnya segera terhuyung jatuh menggabruk ketanah. Se-
telah menggeliat, tubuh wanita itupun terkulai karena
nyawanya telah lepas dari raganya.....
Roro dan Satryo jadi saling pandang. Akan tetapi Roro
cepat balikkan tubuhnya ketika mendengar keluhan dibe-
lakangnya. Seruling Gading tampak berusaha bangkit
dengan mengerang. Didadanya tertancap anak panah
yang telah dl lepaskan Tumenggung Satryo.
Cepat Roro memburunya. Memeluknya dan menyangga
tubuhnya dipakuan.
"Seruling Gading...? aiih, kami tak menduga akan ke-
datanganmu kemari. Maafkan kami adikku...!" berkata
Roro dengan terharu. Air matanya telah menyembul dari

sudut kelopak matanya.
"Aku yang telah memanahmu, adik...! karena kukira
kau si wanita Iblis Ruyung Emas itu..." berkata Satryo se-
raya berjongkok menekuk lutut dihadapan Seruling Gad-
ing yang terlentang dipangkuan Roro. Dara cantik ini ter-
senyum, terdengar suaranya yang lemah.
"Tak apa...! Tak usah kalian sesali semua ini. Bukan-
kah kata kakak Pendekar Roro setiap manusia tak dapat
menghindari takdir? Agaknya inipun sudah menjadi tak-
dir buatku untuk pulang kealam Baka..." Roro mengang-
guk-angguk. Air matanya semakin deras mengalir.
"Kakak Roro... maukah kau menyampaikan pesanku
pada... pada ssua..miku?" berkata Seruling Gading den-
gan suara kian melemah.
"Tentu! tentu adikku...!" sahut Roro dengan isak ter-
sendat.
"Terima kasih, kakak Pendekar...! Aku amat bahagia,
karena aku telah turut ambil bagian membantu kalian
untuk merebut kembali benda Pusaka Kerajaan Mataram
itu. Aku berhasil membunuh si Iblis Ruyung Emas. Dia...
dia adalah perempuan jahat berhati kotor...! aku.. aku te-
lah mengenalnya..!" berkata Seruling Gading. "dan... aku
telah berhasil pula mengambil kembali Tombak Pusaka
itu! walau aku harus korbankan... nyawa..!" Roro mang-
gut-manggut. Satryo tak bergeming. Sementara Ginanjar
berdiri terpaku pada jarak tiga tombak menyaksikan se-
mua itu dengan terlongong.
"Apakah pesanmu itu, adikku...?" bertanya Roro, "ka-
kak pasti akan menyampaikan pada Sambu Ruci suami-
mu...", bertanya Roro dengan mengguncang-guncang tu-
buh Seruling Gading, karena wanita ini sudah menga-
tupkan matanya. Dan sepasang mata yang kian sayu itu
kembali membuka pelahan. Bibirnya menampakkan se-
nyum.
"Ka... takan padanya... bahwa aku amat mencin-
tainya..." ujarnya lirih. Dan kepala itupun terkulai. Pen-

gantin baru yang tak sempat mereguk nikmatnya cinta itu
telah hembuskan napasnya yang terakhir dipangkuan Ro-
ro. Tertunduk wajah Roro dalam-dalam. Air matanya me-
nitik membasahi wajah Seruling Gading. Bibir Roro ter-
dengar bersuara lirih. "Aku pasti akan sampaikan pesan-
mu itu, adikku..!" teramat lirih suara itu bercampur isak
tertahan.
"Dia telah tiada..." ujar Roro seraya menengadah me-
mandang Satryo. Roro kembali menunduk untuk men-
cium pipinya. Lalu gerakkan lengannya mengatupkan ma-
ta sang jenazah. Seraya berkata lirih.
"Tuhan! semoga Engkau ampunkan dosanya dan me-
nerima amal kebaikannya...!"
Suasana dicekam keheningan. Cuma suara jengkerik
yang bersahutan. Saat itu Ginanjar lambat-lambat meng-
hampiri.
Keduanya menoleh. Ginanjar bagaikan orang bisu me-
natap pada Roro. Pada Satryo, juga pada layon (jenazah)
Seruling Gading. Terakhir pada mayat si Iblis Ruyung
Emas. Akan tetapi cepat-cepat dia palingkan wajahnya
karena tubuh bugil itu membuat darahnya kembali ber-
desir. Tersipu-sipu Ginanjar bertanya.
"Ada apakah yang terjadi sebenarnya...?" ucapnya agak
kaku. Roro jadi tersenyum.
"Pergilah katakan pada pembaca! Sampai disini saja
kisah dalam judul Geger Tombak Pusaka Ratu Shima...!"
ucap Roro sambil tersenyum. Lalu saling pandang dengan
Tumenggung Satryo. Keduanya sama-sama tersenyum.
"Haiiih! kalau sudah begini apakah aku yang linglung
ataukah pendekar kita ini yang linglung...???" berkata Gi-
nanjar sambil garuk-garuk kepala. Sementara rembulan
dilangit semakin meninggi jua...
Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara kokok ayam
memanjang. Pertanda hari hampir menjelang shubuh.
Tumenggung Satryo raih tombak Pusaka Ratu Shima
yang tergeletak ditanah. Terdengar suaranya menghela

napas. Dan setitik air bening tersembul dari sudut pelu-
puk matanya.


T A M A T


Abu Keisel








convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com