Wisanggeni Bag. 10


Matahari sudah lama tenggelam. Sinar bulan malu-malu sembunyi di balik awan. Tampak rumah yang ditempati rombongan Lemah Tulis. Wisang Geni sejak sore semedi memulihkan tenaganya yang banyak terkuras beberapa hari belakangan. Prawesti bersila di depannya. Wajah gadis cantik ini kelihatan gundah, gelisah dan cemberut. Seharian ia cemburu mengetahui hubungan Geni dengan gadis India begitu akrab. Apalagi kecantikan Gayatri begitu menonjol.

Kemudian tadi malam sampai keesokan sore Geni berduaan bersama Sekar. "Pasti mereka bercinta," gumamnya. Dia bahkan cemburui Sekar yang dia tahu adalah isteri Wisang Geni.

Semua murid selesai santap malam. Mereka istirahat ngobrol di ruang tengah. Topik paling menarik tentulah pertarungan kemarin siang. Sepak terjang sang ketua yang luar biasa. Mereka takjub dan makin mengagumi Geni. Juga lega karena Lembu Agra dan Lembu Ampai sudah tewas.

Dengan demikian dendam berdarah matinya Walang Wulan sudah lunas. Mereka menebak-nebak ilmu silat yang dimainkan ketua waktu tarung lawan Lembu Ampai. Hebatnya ketua bisa mengelak dari serangan licik duabelas pisau terbang yang diolesi racun ganas. Dan siapa lagi si gadis India cantik yang menolong ketua. Tampaknya ketua punya hubungan intim dengan si gadis. Lalu muncul Sekar, isteri ketua yang sudah satu tahun menghilang.

Dyah Mekar tertawa geli. "Ada empat perempuan yang jadi isteri ketua, Sekar, Gayatri, Prawesti dan tiba-tiba saja Ekadasa muncul mengaku sudah bercinta dengan ketua. Ketua kita tak cuma hebat ilmu silatnya juga punya jurus penakluk perempuan yang ampuh."

Mereka mengakui Gayatri muda dan sangat cantik. "Kupikir ia cantik tak ada bandingan," komentar Dyah Mekar.

"Menurutku, Sekar lebih cantik," kata Prastawana suami Dyah. Tetapi dalam hati mereka prihatin akan nasib Prawesti. Bukankah Prawesti cukup lama berkorban mencintai ketua.

Bahkan keintiman ketua dengan Prawesti sudah seperti suami isteri. Bagaimana teganya sang ketua melupakan jasa baik Prawesti.

Prawesti sedang gundah. Sebagai wanita, perasaannya mengatakan ketuanya sudah jatuh cinta pada Gayatri.

Tampaknya Gayatri juga mencintai ketua, bahkan terang- terangan memperlihatkan perhatian dan cintanya pada ketua. Prawesti dibakar cemburu. Ia memandang lelaki yang dicintainya itu. "Tahukah dia aku sangat mencintainya, kenapa dia lebih mencintai Gayatri, apakah ia akan melupakan aku begitu saja, apa yang harus kuperbuat, aku bingung."

Selesai semedi, Wisang Geni berkata pada Prawesti. "Aku harus pergi menemui Gayatri." Ia melangkah ke jendela.

Prawesti berdiri, sambil berkata lirih dan agak sendu. "Ketua, aku mohon jangan tinggalkan aku, biarkan aku tetap melayanimu. Kau sudah berjanji padaku." Laki-laki itu memandang Prawesti. Ia menghampiri, memeluknya lembut. "Tidak, aku tak akan meninggalkan kamu, aku tak akan melupakan kamu Westi."

Lelaki itu melompat lewat jendela dan menghilang di kegelapan malam Prawesti menatap keluar jendela. Di luar gelap gulita, segelap hatinya yang gundah. Prawesti berbaring, mendadak ia bangkit, melompati jendela. Ia nekad membuntuti Geni. "Aku akan ngintip dari jauh, aku tak percaya gadis India itu, mungkin dia memasang perangkap."

Begitu Geni menginjak kaki di beranda rumah, tiba-tiba serangan bor maut mengancamnya. "Tahan seranganmu, ini aku." Urmila dan Shamita keluar dari ruangan dalam "Oh maaf, kami hanya berjaga-jaga, silahkan masuk, putri menunggumu di dalam."

Geni masuk. Ia melihat Gayatri duduk. Gadis itu tersenyum, ia senang melihat Geni. Di hadapannya sebuah meja dan sebuah kursi kosong. Di atas meja tersaji hidangan. "Kamu datang terlambat, tetapi tak apa, duduklah. Mari kita makan."

Keduanya duduk berhadapan. Malam itu Gayatri tampak cantik luar biasa. Penerangan obor damar yang remang- remang makin mempertegas kecantikannya. Ia mengenakan celana hitam dengan baju lengan pendek warna hitam, kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Rambutnya dikonde memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih bersih. Geni tak sadar memuji. "Kamu cantik sekali."

Gayatri tersenyum "Terimakasih atas pujianmu. Dan kamu laki-laki tampan paling licik dan paling kurangajar yang pernah kutemui dalam hidupku. Bagaimana, kamu bercinta semalaman bersama Sekar, sudah puas?"

Wisang Geni tertawa, mengalihkan pembicaraan. "Gayatri, makanan ini baunya harum, tetapi tampak asing bagiku, makanan apa dan siapa yang masak?" "Aku yang masak, itu resep India, rasanya enak, kamu pasti suka, cobalah. Makan yang kenyang supaya kalau kamu kalah tarung, kamu tidak punya alasan lapar atau belum makan."

"Memangnya aku mau diadu tarung lawan siapa?"

Gayatri tersenyum "Kita tarung. Kamu berbuat banyak kesalahan padaku. Kau harus bertanggungjawab. Sekarang makanlah, tak usah khawatir, makanan itu tidak ada campuran racun."

Geni melahap ayam panggang yang dimasak dengan bumbu khas India. "Lezat, ternyata tidak cuma cantik kamu juga pandai masak. Kamu belum mengatakan apa saja kesalahanku?"

Gadis itu menatap Geni. Matanya berkaca-kaca. "Aku sungguh mencintaimu. Aku sampai lupa daratan, memberikan tubuhku yang masih perawan dan yang belum pernah disentuh lelaki. Kamu tahu Geni, jika orangtuaku tahu aku sudah tidak perawan lagi, hukumannya mati." Airmata mengalir di pipinya. "Tetapi kamu mempermainkan aku"

"Tidak Gayatri. Aku tidak mempermainkan kamu, aku mencintaimu dengan sungguh-sungguh." Suara Geni meski lirih namun mengandung ketegasan.

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Jelas, kamu mempermainkan aku. Kamu sudah tahu aku sedang mencari Wisang Geni untuk tarung dan membalas dendam. Tetapi kamu memberi nama palsu, Ambara, kamu meniduriku, kamu pura-pura mencintaiku. Jika saat itu kamu mengaku Wisang Geni, aku pasti tak sampai terjebak dan kehilangan perawan. Kamu tega berbuat seperti itu, mengapa kamu lakukan padaku Geni? Sekarang ini apa yang harus aku lakukan?"

"Kamu tak perlu risau Sekarang ini kamu sudah menjadi isteriku." Gayatri menggerakkankepala membuat rambut yang di kondenya terlepas, terurai di bahu. Ia senyum dan bergaya, memperlihatkan semua pesona kecantikan yang dimilikinya. "Aku sudah menjadi isterimu? Tidak bisa begitu saja. Di Himalaya, untuk menjadi suami isteri harus lewat upacara perkawinan. Lagipula siapa pun lelaki yang menjadi suamiku dia harus bisa mengalahkan aku dalam suatu tarung ilmu silat."

Wisang Geni menggenggam tangan si gadis. "Lupakan tarung itu, bicara tentang kawin. Kita kawin dengan upacara, apa sulitnya? Tetapi yang penting, kamu kan sudah menjadi isteriku. Dan aku tidak main-main, aku sungguh-sungguh mencintaimu."

"Aku isterirnu. Sekar juga isterimu. Geni, bagaimana aku dibanding Sekar, siapa lebih cantik, siapa lebih panas dalam bercinta, Sekar atau aku?"

Geni menggeleng, ia menatap Gayatri. "Sekar itu cantik Jawa, kamu juga tak kalah cantiknya, kamu cantik Himalaya. Dalam bercinta, dia lebih panas, tetapi kamu lebih lembut.

Kalian berdua membuat aku tergila-gila."

"Kamu jujur, meskipun masih saja licik, kamu pintar bicara, pintar merayu." Gayatri tersenyum Ia tahu Sekar lebih cantik dan lebih molek tubuhnya namun ia puas bahwa Geni tetap terpikat akan kecantikannya. "Malam ini aku akan membuat dia tak bisa melupakan aku," katanya dalam hati.

Ia mengerahkan segenap pesona diri yang dimilikinya lewat mimik wajah dan gerak tubuh. Dan memang Geni terpesona memandang kecantikan di hadapannya. Kecantikan yang nyaris sempurna. Geni merasa getaran cinta dan kehangatan memancar dari sepasang mata coklat Gayatri yang indah.

Semakin Gayatri mencintainya semakin ia kasmaran akan gadis itu. Geni menghela nafas. Sejak pertemuan pertama, Geni tak pernah tidak memikirkan gadis ini. Dia bercinta dengan Ekadasa tetapi fantasinya mencari-cari wajah Gayatri. Bercinta dengan Gayatri, satu malam di desa Gondang dan satu malam dalam perjalanan, adalah petualangan sangat berkesan. Malam menjelang berangkat ke Argowayang, ia meniduri Prawesti lantaran rindu asmara kepada Gayatri. Tetapikemarin waktu bercinta dengan Sekar, pelepas rindu enambelas purnama, ia tahu bahwa Sekar lebih penting dari segala apa di muka bumi, juga lebih penting dari Gayatri. Namun ia tetap terangsang akan pesona Gayatri.

Geni menjawab jujur, "Gayatri, aku tergila-gila padamu, sekarang ini aku tidak peduli, meskipun harus menyeberangi lautan api asal memperoleh cintamu, aku mau. Aku ingin memiliki kamu, ingin kamu selalu ada di sisiku. Aku mencintai kamu sejak pertama kali bertemu di hutan itu."

Sepasang mata Gayatri berbinar, memancarkan sinar kebahagiaan. "Kamu sudah meniduri aku, kamu tahu betapa aku mencintaimu, cinta sepenuh hati sehingga aku mau saja memberikan perawan dan kehormatanku. Saat itu aku tahu kamu lelaki bernama Ambara, jika saat itu aku tahu kamu adalah Wisang Geni, aku tetap akan memberimu cinta dan perawanku. Aku mencintai kamu karena dirimu, dan itu tak akan luntur dan berubah walau kamu bernama Wisang Geni, pendekar yang harus kuajak tarung."

Geni memegang tangan Gayatri, mengecup tangannya.

Gayatri tersenyum memperlihatkan gerak mulut yang indah, ia berpindah duduk di samping Geni. "Aku tahu kau dicintai banyak perempuan dan kamu mengobral cintamu kepada siapa saja perempuan yang membuat birahimu terangsang.

Mungkin saja kamu hanya tergoda dan bernafsu meniduri aku dan pura-pura mencintai aku."

Ketika dia hendak memotong pembicaraan, jari tangan si gadis menutup mulurnya. "Aku belum selesai, kekasih. Kamu licik dan suka mempermainkan wanita. Waktu kamu menciumku di hutan, aku yakin kamu sedang pasang perangkap, setelah mendapatkan manis tubuhku, kau akan pergi."

Dia selesai makan. "Kamu benar, Gayatri, semua laki-laki normal akan bernafsu melihat kecantikanmu Aku juga bernafsu. Jika cuma ingin tubuhmu waktu itu aku bisa memerkosamu Tetapi aku belum pernah dan tak akan pernah melakukan pemerkosaan. Ada sesuatu daya tarik dalam kecantikanmuyang membuat aku ingin mengenalmu dan memiliki kamu"

"Kamu dengar Geni. Waktu itu ketika kau menciumku, tanganmu mengelus punggung dan meremas bokongku, aku marah, sangat marah. Tetapi aku tak berdaya, aku tak punya tenaga. Belakangan aku berpikir, bahwa bukan itu alasan aku tidak berontak, yang benar adalah aku tak mau berontak dengan kata lain aku menyukai kenakalanmu Sebenarnya saat itu kamu telah menaklukkan aku."

Mereka duduk bersanding. Geni melingkarkan tangan di punggung kekasihnya. Gayatri tersenyum Ia sudah memutuskan akan tarung keras dan mengalahkan Geni.

Membuat lelaki itu menjadi tawanan. Lalu ia akan memaksa Geni mengabulkan semua permintaannya. Ia membiarkan tangan Geni menggerayangi buah dadanya. Geli. Dia meneruskan kisahnya. "Waktu di hutan itu setelah kamu pergi, aku menyesal mengapa tidak ikut denganmu Aku berpikir mungkin aku sudah gila, tetapi nyatanya tidak. Aku sadar bahwa aku dilahirkan untuk kemenanganmu, dan bahwa kamu adalah pelindungku, kamu harus menjadi suamiku. Tetapi waktu itu kenapa kamu menciumku dan tanganmu begitu nakal?"

"Aku tak tahu, mendadak saja aku menyukaimu, aku merasa ingin memilikimu, lalu timbul akal nakal itu, lalu aku lakukan begitu saja, tanpa berniat buruk. Aku memang terpesona melihat wajah dan buah dadamu. Pemandangan itu melekat terus, bahkan sampai malam aku meniduri Ekadasa, aku membayangkan dirimu."

"Kamu gila!"

"Ya gila, tergila-gila padamu!"

"Setelah kamu mendapat perawanku, malam itu, apa pikirmu?"

"Aku makin kasmaran seperti ketagihan, aku tidak mau melepas kamu pergi, aku ingin kamu selamanya berada di sisiku."

"Waktu itu kau belum mengaku bahwa kamu adalah Wisang Geni, mengapa?"

"Aku khawatir menjadi masalah di antara kita. Tetapi aku tahu pada saatnya nanti aku tak bisa mengelak, hanya aku berharap kamu tidak akan berubah. Makanya aku senang kamu tidak berubah!"

"Kamu yakin aku jujur padamu? Kau yakin makanan yang kau telan tadi tak ada racunnya? Kau yakin aku tak membunuhmu atau berencana membalas dendam kakek Lahagawe?" Gayatri menatap lekat-lekat mata lelaki itu.

Geni menggeleng, "Aku yakin kamu mencintaiku. Aku tahu itu waktu bercinta denganmu. Kalau aku salah menilai dirimu, aku tidak menyesal mati di tanganmu.*'

Perempuan itu menghela napas. "Sekarang, kau yakin bahwa aku mencintaimu, amat mencintaimu?" Ia merapatkan tubuhnya ke tubuh Geni. Tangannya melingkar di leher Geni. Keduanya berciuman. Lama dan panjang. Birahi kelaki- lakiannya bergelora. "Gayatri, aku terangsang."

"Hati-hati, permainan cinta ini bagian dari rencana dan siasat tarung, jika kamu terangsang, kamu bisa kalah."

"Aku tak peduli dengan tarung itu, aku pasti akan kalah." "Kamu tidak boleh kalah, jika kalah kamu tak akan mendapatkan aku sebagai isteri, aku akan pulang dan mati di India. Tetapi kalau kamu menang, aku akan tetap mendampingimu sebagai isteri dan tiap hari memberimu nikmat kesenangan!"

"Kalau begitu aturan mainnya, aku pasti mengalahkan kamu! Tetapi katakan, mengapa ada aturan gila macam ini?"

"Urusanku dengan ayah, aku pernah bersumpah bahwa hanya lelaki yang mengalahkan ilmu silatku yang akan menjadi suamiku. Dan aku tak mau melanggar sumpah. Itu sebab, kamu harus menang. Kalau kamu kalah meskipun kamu sudah bercinta dan mengambil perawanku tetapi kamu tak boleh jadi suamiku, kita hanya sebagai kekasih saja."

Saat itu di kegelapan malam, di balik pepohonan seberang rumah, Prawesti mengintip dari jauh. Ia bisa memandang lewat jendela. Ia melihat Wisang Geni dan Gayatri bercakap- cakap, pelukan dan ciuman. Prawesti membuang nafas, gundah dibakar cemburu. Tiba-tiba terasa getar angin dan suara ranting patah, ia terkejut ketika seorang wanita muncul di dekatnya. Dia Ekadasa.

Pengawal keraton Tumapel ini memberi isyarat jari telunjuk di mulut. Prawesti mengerti Kedua wanita ini tanpa sadar langsung berteman, merasa senasib. Sama-sama menyukai Wisang Geni, tetapi sekarang merasa ditinggalkan lelaki itu, keduanya gundah dan cemburu Keduanya mengintai dari jauh, tak berani terlalu dekat karena tak mau ketahuan.

Di ruangan itu, Urmila dan Shamita sibuk mengerjakan sesuatu. Tampak seperti alat musik. Urmila membenahi gendang, Shamita mempersiapkan seruling. Dua gadis ini mengambil tempat duduk bersandar ke dinding rumah. "Putri, kami sudah siap," kata Shamita sambil menarik napas.

Tampak wajah dua gadis pembantu itu tegang dan serius. Geni dan Gayatri masih berpelukan. Geni melumat mulut kekasihnya. Tangan Gayatri mengelus dada dengan sentuhan lembut. Geni merasa birahinya tak terbendung lagi Ia sangat terangsang. Nafasnya terasa panas.

Gayatri tersenyum dalam hati "Kamu akan kalah dan menjadi tawananku. Aku akan membawa kamuke Himalaya. Pasti ayah akan senang. Wisang Geni, murid Suryajagad, menjadi tawanan dan suami Gayatri"

Ia melepaskan diri dari pelukan Geni. Ia memandang dengan penuh arti dan makna cinta. "Geni, kamu harus bisa mengalahkan aku untuk kebahagiaan kita berdua, dan aku akan menghadapimu dengan ilmu silat andalan perguruanku, jangan pandang enteng, bersiaplah, pertarungan dimulai," sambil berkata Gayatri melangkah ke tengah ruangan.

Berbarengan bunyi suling dan gendang mengumandang dalam irama yang asing bagi pendengaran Geni.

Lelaki ini heran, namun sebelum dia beranjak dari duduk, Gayatri telah menari mengikuti irama yang dimainkan dua pembantunya.

"Jurus ini namanya Dinak Din Naachu Mein Gae Dil Jumne Zamana, artinya aku menari, hati menyanyi dan dunia bergembira. Wisang Geni kamu harus hati-hati, jurus ini hebat, coba nikmati irama dan tarianku ini."

Gayatri mengerahkan tenaga batin kemudian menari dengan gemulai. Namun di dalam kelemasan gerak ada selingan hentakan gerak pinggul, dada dan pundak. Dua kaki bergerak lincah, tangan dan kepala seperti ular yang bergerak kian kemari mengikuti gerak mangsa. Meski sempat terpesona, Geni cepat-cepat mengerahkan tenaga batin membentengi diri.

Pesona itu semakin merasuk pikiran Geni. Gadis itu sangat cantik, seperti dewi yang diceritakan dalam dongeng. Tak pernah terpikir adanya makhluk cantik secantik Gayatri Tubuhnya indah molek. Membayang kembali kenikmatan malam itu ketika bercinta dengan perempuan cantik itu. Gerak tari makin lama makin memabukkan. Waktu terus berjalan.

Geni tenggelam dalam pesona kecantikan dan keindahan. Ia berusaha bertahan, memusatkan pikiran pada tenaga batin. Ia masih di kursi. Ia memejamkan mata, tak mau lagi menyaksikan goyang tubuh Gayatri Tetapi musik terus menerobos pendengaran yang otomatis memantulkan visual tarian yang penuh pesona dalam benaknya. Ia mulai mabuk, pikiran kalut, rangsangan birahi mulai menguasai dirinya.

Tepuk gendang dan nada suling makin tinggi, mengikuti gerak tari Gayatri yang makin agresif. Tenaga batin tiga gadis ini makin diumbar begitu melihat Geni mulai gelisah. Sesaat lagi Geni akan roboh. Saat itu Geni merasa dorongan birahi untuk menghampiri, memeluk dan mencium si gadis. Antara sadar dan tidak, ia bangkit dari kursi. Saat melangkah, ia terhuyung dan roboh ke tanah. Saat itu, ketika kepala terantuk di tanah, pikirannya tergugah bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia belum pernah mendengar ada ilmu silat mirip sihir seperti yang diperagakan tiga gadis India. Musik dan tari itu dimainkan dengan tenaga dalam. Makin tinggi tenaga batin yang dikerahkan semakin hebat pengaruh terhadap lawan. Irama pun berganti-ganti, meriah dan penuh pesona, kelembutan cinta diseling ratapan hati merana atau kemarahan yang memuncak.

Irama musik dan goyang tari makin lama semakin mengaduk-aduk pikiran dan batin si musuh. Pada klimaksnya, musuh itu akan mengalami keguncangan jiwa Ia bisa menangis, tertawa, marah, bergantian sampai akhirnya ia tak bisa lagi membedakan apa-apa. Ia gila atau tewas. Tetapi jurus ini juga bisa berakibat fatal bagi diri sendiri, khususnya si penari. Tadi waktu berembuk menggelar jurus ini, dua pembantunya menolak keras, mereka khawatir Gayatri terluka mengingat Wisang Geni memiliki tenaga batin mumpuni. Adu tenaga lewat jurus silat ini sangat berbahaya bagi si penari maupun orang yang diserang. Namun Gayatri tetap saja ngotot. Urmila dan Shamita tahu majikannya punya alasan yang tampaknya rahasia dan sangat pribadi. Merasa tak mungkin membantah, dua gadis ini bertekad membantu Gayatri dan mengerahkan segenap tenaga batin memainkan alat musiknya.

Keduanya tak tahu bahwa Gayatri menetapkan keputusan itu karena dalam keadaan bimbang. Ia bingung memilih antara cintanya pada Geni atau membalas dendam Pada akhirnya ia tak peduli lagi apa pun yang bakal terjadi.

Gayatri menari dengan penuh perasaan. Ia memang mencintai Geni dan perasaannya mengatakan Geni juga mencintainya. Tetapi ia tahu di antara cinta itu ada kemustahilan yang tak mungkin bisa ditembus. Gayatri menangis dalam hati ketika Geni mengutarakan cinta. Namun ia sembunyikan perasaannya dari pandangan Geni. Perasaan inilah yang ia tumpahkan dalam tarian maut itu.

Akibatnya fatal. Gayatri makin larut dibuai perasaan sendiri.

Pada sisi lain Urmila dan Shamita bingung. Tadi mereka sepakat Gayatri hanya memberi pelajaran dan mempermalukan Geni. Lantas tarian dan musik segera dihentikan jika Geni sudah roboh. Sebab jika dilanjutkan, Geni bisa gila atau tewas.

Untuk bisa menghentikan jurus, kendali ada pada Gayatri sebagai penari. Sementara Urmila dan Shamita hanya bertugas pengiring. Sesuai rencana, setelah Geni roboh di lantai, seharusnya Gayatri menurunkan tempo tahap demi tahap sampai akhirnya menghentikan tari. Tetapikenyataannya justru sebaliknya, membuat Urmila dan Shamita bingung. Wisang Geni sudah roboh tetapi Gayatri malah semakin meningkatkan tempo tarian, gadis itu seperti kesurupan.

Celakanya lagi, Urmila dan Shamita tidak mungkin bisa menghentikan. Sebab begitu musik berhenti sementara Gayatri masih menari, akibatnya bisa membahayakan.

Ketiganya terutama Gayatri akan luka parah, bisa-bisa tewas atau gila.

Memang ada yang tak pernah diketahui Gayatri bahkan si pencipta jurus silat ini pun tidak tahu. Bahwa jika si penari mencintai orang yang diserang, maka si penari akan dikuasai dan dimabuk perasaan sendiri. Makin besar tenaga dikerahkan makin dia terbuai rasa cinta, dan akibatnya bisa fatal. Sekali ia hanyut oleh perasaannya, tak ada lagi jalan berhenti. Bahkan seandainya orang yang diserang sudah mati pun, si penari tak pernah tahu dan tak bisa berhenti. Pada akhirnya si penari pun menjadi korban, gila atau mati

Gayatri dalam bahaya. Geni dalam bahaya. Urmila dan Shamita tidak tahu apa yang terjadi, mereka tak bisa menghentikan musik. Mereka tahu jurus itu hanya bisa dihentikan oleh si penari. Namun jika pengiring musik menghentikan musik, akan terjadi bencana, ketiganya luka parah, tenaga membalik menghantam diri sendiri.

Geni di ambang maut. Waktu ia roboh, kepalanya terantuk lantai. Goncangan itu menjernihkan pikirannya. Ia melihat kilatan cahaya, dalam gelap. Di benaknya ia masih melihat Gayatri meliuk dengan hentakan pinggul dan goyangan dada yang mempesona. Geni berada di batas sadar dan tidak. Tapi kilatan cahaya itu seperti peringatan ada yang tidak beres.

Serta merta Geni menggoyangkepala, berulang dan keras. Seketika tenaga Wiwaba bangkit. Geni sadar.

Berbareng saat kritis itu Ekadasa dan Prawesti menjerit. Ekadasa berteriak, "Geni!" Prawesti berseru, "Ketua!" Sambil berteriakkedua wanita ini melompat keluar dari persembunyian menyerbu masuk rumah lewat jendela. Dua wanita itu yang sedang dirasuk cemburu dan marah, punya alasan menyerang Gayatri. Keduanya menyerang dengan tamparan keras.

Jurus tari itu diciptakan untuk tarung langsung. Tiga gadis itu biasanya tarung sambil menari dan menyanyi Seharusnya Gayatri sanggup mengelak dan memukul balik membuat penyerangnya luka parah. Tetapi saat itu ia dalam keadaan tidak sadar meski masih menari mengikuti irama musik. Urmila dan Shamita terkejut mendengar teriak dua pendekar wanita itu Keduanya rhelihat Gayatri masih seperti orang mabuk Mereka tetap tidak berani menghentikan musik, hanya mampu berseru memperingatkan, "Putri awas!"

Wisang Geni mendengar teriakan Prawesti dan Ekadasa, juga peringatan Urmila. Ia melihat Gayatri seperti orang mabuk, mata tertutup, menarinya kacau. Pengaruh magis jurus masih melilit pikiran Geni, namun sudah banyak berkurang. Ia melihat Gayatri diserang Prawesti dan Ekadasa.

Tanpa sadar dia berseru, "Jangan serang dia!" Geni melompat, ingin menolong Gayatri namun terlambat beberapa langkah. Serangan itu menerpa telak pundak dan dada Gayatri. Gayatri terlempar, saat mana Geni tiba di sisinya, menghalau serangan susulan. Ia meraih tubuh Gayatri sebelum menyentuh lantai.

Gayatri muntah darah. Ia pingsan. Geni memandang tak percaya apa yang sudah terjadi. Prawesti dan Ekadasa terkejut melihat mata Geni merah dan berair. "Kenapa kamu berlaku kejam terhadapnya, apakah dia pernah berbuat salah pada kamu?"

Kedua perempuan itu tak mampu menjawab. Tak mengira, hanya dengan sekali pukul Gayatri langsung kena dan roboh. Mengapa gadis itu tidak menangkis atau menghindar, bukankah ia memiliki ilmu silat tangguh. Keduanya tidak tahu, saat itu Gayatri dalam keadaan tidak sadar. Hanya lantaran tubuhnya masih dibentengi tenaga batin yang tinggi maka Gayatri tidak sampai tewas. Namun tetap saja dia luka parah.

Urmila dan Shamita terkejut melihat majikannya kena pukul dan roboh muntah darah. Mereka luput dari bahaya terluka sebab tarian Gayatri berhenti seketika, dihentikan serangan Ekadasa dan Prawesti. Melihat majikannya terluka muntah darah, dua pembantu itu meradang menyerbu Ekadasa dan Prawesti. Urmila menyerang Prawesti, Shamita menggempur Ekadasa. Sekejap saja, dua gadis India itu unggul dan mendesak hebat lawannya.

Geni berteriak, "Urmila berhenti, lebih penting sekarang menolong Gayatri."

Siapa pun tak pernah tahu, Geni pun tak pernah tahu, bahwa dua pukulan itu telah menyelamatkan Gayatri dari ajal atau kegilaan. Hantaman itu tanpa sengaja telah membetot Gayatri keluar dari perangkap pengaruh tarian itu. Hantaman di pundak dan dada tak terlalu parah. Meski dalam keadaan tidak sadar, tetapi Gayatri masih menari dengan pengerahan tenaga batin tinggi. Itu sebab ia tidak sampai tewas meski tak terhindari luka parah.

Geni memeluk Gayatri dengan berbagai macam perasaan.

Marah terhadap Prawesti dan Ekadasa. Ia takut Gayatri mengalami nasib sama dengan Walang Wulan. Ia memeriksa nadi gadis itu. Kacau, tak beraturan. Darah segar masih merembes dari ujung mulutnya, meski sudah tidak banyak lagi. Mata Gayatri meram. Suara Geni panik, "Gayatri, bangun, jangan mati. Ayo bangun." Ia memeluk tubuh gadis itu, lebih erat, wajahnya sangat dekat dengan wajah cantik itu. Ia meneliti. Gayatri meram.

Geni makin panik, tangannya menempel punggung Gayatri lalu mengerahkan tenaga dalam Tenaga dingin menerobos punggung dan merambah ke seluruh tubuh Gayatri. Saat itu Gayatri sudah sadar. Tapi dia masih meram, pura pura pingsan. Ia ingin tahu reaksi Wisang Geni. Ia tahu Geni panik dan berusaha menolong dengan pengerahan tenaga dalam. Ia ingin tahu lebih banyak lagi. Geni makin panik ketika bantuan tenaga dalamnya tidak mampu menyadarkan Gayatri. "Bangun, kamu harus bangun, Gayatri, aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku."

Wisang Geni berpikir cepat. Tak ada jalan lebih cepat dan tepat dalam upaya menyadarkan Gayatri melainkan dengan pernafasan lewat mulut. Tanpa rasa kikuk, Geni mencium mulut Gayatri. Mulut itu terkatup erat, perlahan-lahan terbuka. Ia kaget begitu hendak menyalurkan nafas dan tenaga batin lewat mulut, Gayatri membuka mata, mengedip. Ia bahkan bereaksi membalas ciuman.

Keduanya berciuman. Empat perempuan itu menyaksikan dengan aneka macam perasaan. Ekadasa kabur, ia marah dan cemburu. Prawesti kabur dengan tangisan. Urmila dan Shamita lega, mereka sempat melihat majikannya main mata. "Tuan Putri, kamu pasti tidak apa-apa, kita berdua keluar, menunggu di beranda saja," kata Shamita dalam bahasa India.

Setelah ciuman panjang itu. Geni masih memeluk erat Gayatri. "Aku mencintaimu, bagaimana lukamu?"

Gadis cantik itu menggeleng kepalanya. "Dadaku sakit, rasanya ngilu. Coba kau panggil Shamita."

Kedua pembantu itu muncul. Gayatri meminta Shamita merogoh pil dari dalam kantong yang disimpan di dadanya. Ia mengambil dua buah. Ia tertawa, lirih. "Ini pil buatan ayah, manjur untuk luka dalam. Jika dibantu dengan tenaga dalam, aku rasa akan cepat sembuh, mungkin sekitar tujuh hari."

Geni menyahut cepat, "Aku akan membantumu."

Gayatri tertawa menggoda. Ia masih lemah namun tetap ceria. "Apakah harus lewat pernafasan mulut lagi?" Geni mengelus hidung bangir si gadis. "Ya, sulit, memang sulit, jadi harus lewat pernafasan mulut."

Keduanya tertawa. Tiba-tiba wajah Gayatri berubah serius. "Siapa dua perempuan itu, mengapa mereka mau membunuhku?" Ia memang tidak melihat dan tak tahu siapa yang memukulnya.

Geni menatap Gayatri mencium dua mata coklatnyayang indah. "Mereka Prawesti dan Ekadasa. Mungkin mereka mengira kau akan mencelakakan aku."

Suaranya lirih, "Mengapa kau membela mereka?"

Geni bingung. "Aku tidak membela, malahan aku tadi marah! Itu sebab mereka kabur."

Ia merangkul leher Geni, mencium mulutnya. "Mereka kabur karena melihat kamu mencium aku dengan bernafsu." Ia tertawa geli. Dalam benaknya dia menertawakan dua perempuan saingannya itu.

"Gayatri, kamu perlu istirahat Kubantu dengan tenaga dalam."

Ia mencium leher Geni. "Pengobatan bisa ditunda, aku sudah telan pil salju jadi aku tak akan mati. Geni, tadi kau panik, kau khawatir aku mati, iya?"

"Memang aku panik karena takut kehilangan kamu, sekarang ini kamu orang paling penting bagiku. Waktu menari tadi kulihat kau seperti kesurupan, kau bisa luka parah. Lain kali jangan mainkan jurus maut itu."

Gayatri tertawa cekikikan. "Kamu menang. Sesuai sumpahku, kamu pantas jadi suamiku."

"Sebenarnya aku tak perlu tahu siapa dirimu, karena cintaku tidak terpengaruh pada masa lalu atau siapa keluargamu. Aku mencintai kamu sebagaimana adanya dirimu. Tetapi Gayatri, aku ingin tahu lebih banyak tentang diri perempuan yang kucinta dan yang akan menjadi ibu dari anak-anakku."

"Usiaku duapuluh tahun, belum kawin, belum pernah disentuh lelaki, hanya kamu satu-satunya lelaki yang pernah menyentuh, mencium dan meniduriku, kamu memang licik," katanya lirih. Mendadak wajah gadis itu menjadi sendu dan muram. "Ceritanya panjang, aku sudah dijodohkan, tetapi aku tidak suka, itu sebab aku kabur ke negeri ini Ibu merestui kepergianku, ayahku tidak tahu. Aku benci lelaki itu, aku sungguh tidak suka." Gayatri mendadak memegang dadanya. "Sakit sekali, Geni."

Geni terkejut, berteriak memanggil Urmila "Kalian berjaga- jaga, jangan biarkan orang lain masuk mengganggu, aku akan menolong majikanmu dengan pengobatan tenaga dalam"

Urmila memandang majikannya yang mengangguk setuju. Geni menggendong Gayatri ke bilik dalam. Kamar itu sempit, hanya ada sebuah dipan kecil. Ia mendudukkan Gayatri, kemudian ia duduk di belakangnya. Dua tangannya menyusup di balik baju Gayatri mengurut punggungnya Samar ia melihat kulit punggung putih halus. Ia melirik bagian pinggul.

Pinggulnya padat, dihiasi bulu-bulu hitam yang halus. Gayatri berbisik lirih, "Geni jangan berpikiran macam-macam, sembuhkan aku dulu baru bercinta"

Geni menguasai birahinya "Aku ikut perintahmu, tuan putri." Ia memusatkan pikiran. Saat berikut tenaga dingin bagai air bah merasuk ke tubuh Gayatri, bergerak teratur ke seluruh bagian tubuh. Gadis itu merasa sejuk, makin lama makin dingin sampai akhirnya ia menggigil.

Mendadak tenaga dingin itu lenyap berganti hangat, makin lama makin panas. Keringat mengalir di sekujur tubuhnya. Bau harum tubuhnya merasuk penciuman Geni namun lelaki ini tetap memusatkan tenaganya. Pengerahan tenaga batin dingin dan panas bergantian merupakan obat mujarab. Gayatri kagum akan tenaga dalam sedahsyat itu, dingin dan panas bisa diubah sesuka hati. Sepanjang malam Geni mengobati Gayatri.

Saat menjelang pagi, Gayatri merasa banyak lebih baik. "Geni, cukup sekian dulu, aku sudah baikan, kamu perlu istirahat" Ia melepas tangannya dari punggung Gayatri.

Keduanya bersila. Geni mengatur kembali tenaga dalamnya.

Gayatri memeriksa tenaganya. Ia gembira sudah bisa mengerahkan tenaga dalam meski belum pulih sepenuhnya. Gayatri membalik tubuh. Ia melihat Geni sedang bersila.

Keringat membasahi wajah Geni dan seluruh tubuhnya, menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri mencium bebauan asing, tetapi yang merangsang birahi.

Ia pernah mencium bau tubuh Geni sewaktu bercinta.

Sekarang ia membaui lagi. Tanpa sadar ia menatap lelaki itu dengan penuh rasa cinta, ia mengeluh dalam hati. "Ooh betapa aku mencintai lelaki ini, tetapi sungguh suatu kemustahilan. Oh Dewa, tolong aku, beri aku petunjuk dan jalan keluar."

Ia melangkah turun dari dipan, bermaksud menuju beranda hendak memanggil dua pembantunya. Langkahnya terhenti, tubuhnya tertarik oleh tangan kuat Geni. Ia jatuh dalam pelukan kekasihnya. Geni merangkul dan membelai wajah kekasihnya. "Gayatri, aku tak akan mempermainkan kamu, matilah aku jika aku punya maksud buruk itu. Aku sangat mencintaimu"

Dua pasang mata saling tatap. Mata Gayatri basah. "Wisang Geni, aku juga mencintaimu, tetapi semua ini mustahil, umurku hanya tinggal tiga purnama lagi. Aku disuratkan mati, tiga bulan lagi, tak ada yang bisa mencegah." Gayatri menatap mata Geni.

Lelaki ini terkejut tetapi hanya sesaat. "Aku tak peduli, aku mencintaimu, kamu juga mencintaiku, itu sudah cukup. Jika umurmu hanya tiga purnama lagi, biarlah tiga purnama ini menjadi bagian paling indah dalam hidup kita."

Gayatri mengangguk. Geni tak kuasa menahan diri, menciumi wajah dan mulut Gayatri. Keduanya berciuman lama, ciuman yang penuh arti cinta. Geni memeluk kekasihnya. Keduanya dirangsang birahi saling menginginkan. Terengah-engah Gayatri merangkul erat kekasihnya. "Kekasihku, cintailah aku, aku seorang yang haus akan cinta, beri aku kepuasan cinta, Geni."

Geni menciumi rambut kekasihnya. "Bagaimana dengan lukamu?"

"Aku tidak apa-apa, sebagian tenagaku sudah pulih." Ia memegang tangan Geni, menuntun ke perut. Geni mengelus- elus perut kekasihnya. Gayatri berbisik. "Aku tak ingin mati muda, aku ingin hidup lama, aku ingin perut ini berisi anakmu, aku ingin melahirkan anakmu. Geni cintailah aku."

"Kamu tak akan mati, aku tak akan membiarkan kamu mati, sebenarnya apa yang menjadi beban deritamu, apa penyakitmu atau mungkin ada musuh yang mengancam kamu?"

"Tidak. Aku sehat, tak punya penyakit, aku juga tak punya musuh yang mengancam jiwaku. Tetapi kematian memang hampir pasti akan menjemputku tiga bulan lagi, bahkan mungkin saja sebelum tiga purnama!"

"Apa sebenarnya yang terjadi? Ceritakan padaku, Gayatri! Mumpung masih punya waktu tiga bulan, aku akan cari jalan menyelamatkan isteri yang kucinta."

Gayatri berbisik, "Geni urusan itu ditunda dulu, aku mau kamu membahagiakan aku, aku mau kaucintai sekarang ini, aku tak mau yang lain." Ia merangkulkan kakinya ke tubuh Geni, mencium mulut kekasihnya. Geni mengibas, angin dingin meniup lampu damar. Kamar gelap gulita. Hanya terdengar nafas dua insan yang kasmaran dan dilanda birahi Keringat membasahi tubuh. Mereka bercinta. Akhirnya tidur pulas sambil berpelukan.

Geni terjaga. Tangan lembut Gayatri mengusap dadanya. "Bangun kekasihku yang perkasa."

Geni menindih tubuh isterinya, tangan mengusap buah dada, menatap mata lalu mencium mulutnya. "Ada yang hendak kau ceritakan padaku?"

"Aku ingat Sekar, kemana ia pergi sehabis bersamamu?" "Ia mencari dua neneknya, Nenek Sapu Lidi dan Dewi Obat.

Setelah peristiwa aku terluka, kedua nenek itu pergi mencari

tempat terpencil menyembuhkan luka Dewi Obat Kata Sekar, ia akan mencarinya di desa di kaki gunung. Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Sekar?"

"Dia jujur dan menghormati hak orang lain. Ia bisa menerima aku sebagai isterimu meski beberapa hari sebelumnya kami bertarung seru. Ia menerimaku apa adanya. Ia jujur ketika memaksamu menentukan dirinya sebagai isteri utama. Aku menyukainya, kupikir ia benar dan berhak mendapatkan itu. Tetapi tampaknya aku akan kesulitan menghadapi Prawesti dan Ekadasa, karena mereka berdua sudah memendam cemburu dan iri hati"

"Lantas bagaimana sikap tindakanmu, terhadap kedua perempuan yang nyaris membunuhmu?"

"Aku tidak dendam, tetapi kupikir lebih baik aku menghindar dan tidak perlu bertemu keduanya sementara waktu ini."

Geni menghela nafas. "Tampaknya aku harus melepas Prawesti dan Ekadasa, biar mereka mencari jalan sendiri, mencari laki-laki lain yang lebih cocok."

Dia terkejut. "Geni, kamu tak bermaksud menceraikan mereka, iya kan? Jangan lakukan itu, terutama Prawesti, ia sudah berbakti dan melayanimu semasa kau sakit. Kau sudah meniduri merenggut perawannya, kau tak pantas menyia- nyiakan dirinya."

"Begini, aku putuskan menceraikan, kamu memilih memberi maaf. Dua pendapat ini sama kuat, satu satu. Aku akan minta pendapat Sekar. Apa pun yang dipilih Sekar, itulah keputusan atas Prawesti dan Ekadasa. Tetapi seharusnya kamu setuju dengan keputusanku, tidak mungkin kita hidup berkumpul bersama orang yang punya ganjalan sakit hati"

Dia mengalihkan pembicaraan. "Geni, kamu punya hutang padaku. Aku menagihnya sekarang, tetapi kau tak boleh marah. Jikalau kau tidak setuju, katakan saja, aku tak akan kecewa. Tetapi permintaan berikutnya pasti akan lebih sulit."

"Benarlah apa yang kukatakan, kamu cerdas dan pandai berhitung, selalu ada syarat dan hutang, baik katakan saja, semoga saja syarat itu bukan urusan menangkap widali, kalau itu aku tak sanggup."

"Aku tak peduli dengan widali, sekarang pun aku sudah merasa cukup dengan ilmu silat yang kumiliki, apalagi ada engkau di sisiku, siapa yang sanggup menghadapi kita berdua? Syaratnya mudah, pertama ceritakan tentang Prawesti dan Ekadasa dan mungkin perempuan lain yang sudah kautiduri. Kedua, aku minta agar kamu mengawiniku dalam upacara adat Himalaya. Namun hal ini harus bicara dulu dengan Sekar, karena setahuku kamu juga belum mengawini Sekar dalam upacara adat Jawa."

"Tidak sulit. Aku bisa mengabulkan permohonanmu itu." Ia menceritakan petualangan cintanya dengan Prawesti dan Ekadasa.

"Aku kasmaran sejak bertemu kamu di hutan. Kau masih ingat, aku harus pergi karena ada janji dengan seorang perempuan."

"Kamu bertemu Ekadasa?" "Salah! Aku janji bertemu permaisuri Raja Tumapel, namanya Waning Hyun, dia adik perguruanku tetapi sudah seperti adik kandung. Malamnya aku nginap di keraton, aku tak bisa tidur, wajah dan tubuhmu terbayang terus, aku akhirnya nyelinap ke kamar Ekadasa. Aku membayangkan meniduri Gayatri yang cantik. Aku hanya semalam saja bersama Ekadasa. Kau marah?"

Wisang Geni heran. Gayatri tidak marah, malah tertawa. "Aku tidak marah, hanya heran, apa yang membuat perempuan mau saja kau rayu, padahal kau bukan laki-laki yang tampan. Aku pun heran kenapa aku mencintaimu dan bersedia menjadi isterimu. Lantas bagaimana aku harus bersikap jika setelah menikah, kamu masih saja suka menggauli perempuan lain?"

"Ketika Walang Wulan masih hidup, aku hanya hidup bersama dia dan Sekar, tak pernah menggauli perempuan lain. Begitupun jika sudah beristeri kamu, aku tak akan menoleh ke perempuan lain."

"Tentu saja harus begitu, jangan sampai aku harus membunuh semua perempuan di negeri ini, atau mungkin kalau aku sudah sangat jengkel kamu kuracun biar mati" Gayatri tertawa renyah. "Ah ini cuma guyon."

"Sejak awal kamu suka mengancam, membunuh dan membunuh. Sudah berapa orang yang kau bunuh selama ini?"

"Aku tidak suka membunuh. Juga belum pernah membunuh."

'Lantas tiga orang di desa Gondang itu, siapa yang membunuh mereka?"

"Bukan aku, kamu yang membunuh mereka. Sebab kamu membuat aku marah, menunggumu selama tujuh hari, kamu ingkar janji membuat aku macam perempuan tolol. Dan tiga orang itu pantas mati, kurangajar mengatai dan mengolok- olok aku sundal." Geni menanyakan alasan kawin dengan upacara adat Himalaya. Padahal di dunia kependekaran, kawin adalah soal biasa. Tak perlu ada upacara macam-macam. Kalau sepasang lelaki dan perempuan sudah saling menyukai, maka langsung saja kawin. Kawin dengan upacara adat biasanya dilakukan orang-orang kaya, atau orang keraton atau pamong desa.

Upacara yang dilanjutkan dengan pesta makan dan minum diiringi musik dan tari.

"Aku hanya mau upacara adat Himalaya tanpa pesta, tanpa dihadiri banyak orang. Yang penting upacara sakralnya saja.

Tetapi kalau kau tak mau, tidak apalah, karena bagaimanapun juga aku sudah resmi sebagai isterimu Hanya kupikir, jika ada upacaranya maka kemarahan orangtuaku akan berkurang."

"Kenapa dengan orangtuamu, di mana mereka sekarang?" "Mereka masih di Himalaya, tetapi tak lama lagi mereka

akan datang ke negeri ini, mencari aku. Entah bagaimana

sikap ayah mengetahui aku sudah kawin dengan Wisang Geni cucu murid pendekar tua Suryajagad. Barangkali dia bisa mati saking marahnya."

"Jadi upacara Himalaya itu, bagaimana cara dan apa syaratnya?"

"Upacaranya sederhana, hanya pengantin mengitar api suci sambil didoakan oleh pendeta. Waktunya tidak lama, bahkan terkesan singkat Hanya persiapan yang agak lama. Pertama, kita mencari pendeta, bisa saja diwakili Kumara. Aku didampingi Shamita dan Urmila, mungkin juga Malini. Kita juga harus mencari Sekar, aku tak mau membuatnya tersinggung."

"Bagaimana jika ia mau ikut upacara kawin. Bagaimana jika ia minta upacara adat Jawa dengan kalian berdua sebagai pengantin perempuan?"

"Aku tak keberatan. Bagiku yang penting adalah upacara sakral itu, apakah itu adat Himalaya atau adat Jawa, aku mau saja." Geni memeluk kekasihnya. "Kamu punya sesuatu yang jarang dimiliki perempuan lain, mau mengerti perasaan orang lain dan tidak suka memaksakan kemauan sendiri kepada orang lain."

Samar-samar terdengar suara merdu seorang wanita berseru, "Banjao kisi ke kisi ko aapena banalo." Jelas bukan suara Shamita maupun Urmila. Gayatri tercenung, Geni bertanya, apa artinya itu. Gayatri menerjemahkan, "Jadilah milik seseorang dan milikilah seseorang. Itu kata-kata sastra dari buku Natyam Sasrayang kenamaan, buku falsafah tua dari India. Pepatah itu nama jurus yang handal dan menjadi tanda pengenal kami dari perguruan Yudistira di lereng Himalaya."

Suara itu terdengar jauh, dan bergerak sampai akhirnya terdengar gemanya di dalam rumah. Gayatri bergegas keluar kamar, Geni mengikuti dengan penuh tanda tanya. Di beranda, dua orang tamu yang baru tiba sedang bercakap dengan Urmila dan Shamita. Melihat dua tamu itu Geni mengenalnya sebagai Malini dan Kumara "Paman, bibi," seru Gayatri sambil lari memeluk Malini. Dua pendekar itu menatap Geni dengan waspada.

"Wisang Geni! Kamu berbuat apa di sini, apa yang kamu lakukan pada keponakanku?" suara Malini ketus dan tinggi. Kumara sudah pasang kuda-kudanya.

"Tidak, aku tak melakukan apa-apa, aku hanya mencintai Gayatri, cuma itu, aku tidak mencekoki dia dengan racun yang mematikan, aku tidak punya niat jahat."

"Mengapa kamu berada di kamar Gayatri?" Malini bertanya pada Geni, tetapi tanpa menanti jawabannya, ia menoleh dan bertanya dalam bahasa India kepada Gayatri. Sebelum gadis itu menjawab, Geni berseru sambil tertawa geli.

"Malini, kamu perlu tahu, Gayatri sekarang ini sudah menjadi isteriku, jadi tak usah heran kalau aku berada satu kamar dengan ponakanmu itu. Dan kamu tak perlu ikut campur urusanku."

"Apa? Kamu gila, apakah kamu sudah meniduri ponakanku?

Di kamar kalian berbuat apa?" Sekarang ini Kumara yang marah.

Wisang Geni diam, tidak bereaksi. Gayatri menarik lengan Malini dan suaminya. Mereka bicara bisik-bisik. Geni menggerutu, "Buat apa bisik-bisik segala, biar kalian berteriak pun aku tak akan mengerti, membicarakan apa pakai bahasa India, rahasia?"

Malini akhirnya bicara dalam bahasa Jawa. "Tidak bisa, ayahmu akan membunuh kami berdua, kamu sudah gila Gayatri, kamu sudah dijodohkan dengan Wasudeva. Kamu harus kawin dengan dia, kamu tak boleh kawin dengan orang Jawa, apalagi Wisang Geni, murid dari musuh kakekmu. Kamu sudah gila."

Kumara ikut-ikutan marah. "Kami tidak akan mengijinkan perbuatan gila ini. Tak ada ampun, ayahmu akan ngamuk besar dan kami berdua akan dicincang oleh ayahmu. Malini, kalau dia tetap ngotot, lebih baik kita kabur sekarang juga, biar kakak Yudistira tahu kita tidak ikut campur dan tidak terlibat dalam urusan gila ini. Dan memang kita tak tahu apa- apa dan juga tidak terlibat!"

Tumpah ruah kemarahan Malini kepada Geni. "Kamu adalah musuh bebuyutan kami, hutang kekalahan kami tahun lalu akan kami lunasi sekarang ini. Kamu tidak ksatria, sengaja menjebak keponakan kami, itu bukan sifat pendekar namanya."

Nada suara Geni tawar. "Aku tak pernah memusuhi kalian, kamu sendiri yang mencari permusuhan dengan aku, bahkan membunuh banyak orang. Ketika kalian kalah, apa yang aku lakukan? Aku malah menolong kalian agar pergi sebelum para pendekar negeri ini mengeroyok kamu berdua yang waktu itu sudah luka parah. Coba bayangkan jika aku buka rahasia kalian sebagai si Kidung Maut aku pastikan ratusan orang akan mengejar dan mencincang tubuhmu. Kalau tentang Gayatri, sejak pertama jumpa dia aku sudah mencintainya, aku mengawininya, nah apakah itu sesuatu yang melanggar aturan?"

Dua pendekar suami isteri itu diam. Mereka tidak yakin bisa mengalahkan Wisang Geni sekarang ini. Gayatri akhirnya berkata kepada Malini dengan nada tinggi. "Bibi, aku tidak mungkin kawin dengan Wasudeva, aku bukan hanya tidak cinta, tetapi aku muak dan benci. Dulu ia pernah menggoda kakakku, Manisha. Kakak sangat mencintainya, tetapi ia pergi berkelana dan tak pernah kembali ke kampung. Ia membiarkan kakak sengsara menantinya. Ketika ayah menjodohkan kakak dengan Mahesh, kakak menolak, ayah menghukumnya, kakak mati bunuh diri karena hidupnya yang merana. Apakah aku salah jika aku membenci lelaki itu?"

Ia bicara dengan semangat berapi-api, Malini dan Kumara diam. Gayatri melanjutkan, "Dan bagaimana mungkin aku mau menjadi isterinya, padahal ia pernah meniduri kakakku, membiarkan kakak hamil dan dia tak mau bertanggungjawab perbuatannya. Cerita ini ayah tidak tahu, sebab kakak hanya menceritakan deritanya padaku dan ibu. Sungguh lebih baik aku mati daripada kawin dengan orang itu. Dan sekarang ini, aku telah menemukan lelaki yang mencintai dan bersedia membelaku, jadi apa salahnya aku menjadi isterinya. Tetapi sekadar memenuhi persyaratan, aku mohon padamu bibi, kawinkan kami dalam upacara sederhana."

Mendengar cerita itu, bukan hanya Wisang Geni juga empat pendekar India itu terkejut. Ini peristiwa luar biasa. Kini Kumara dan Malini mengerti alasan Gayatri menolak Wasudeva. Tetapi orangtua Gayatri pasti akan ngamuk mengapa putrinya mau mengawini Wisang Geni, orang luar dan musuh perguruan. Tidak mustahil mereka akan menghukum Gayatri, bahkan juga semua yang terlibat dalam urusan ini.

Empat orang itu termenung, bingung tak tahu harus bersikap. Mereka suka dan bersedia menolong Gayatri, tetapi mereka lebih takut kepada ayah dan ibu Gayatri. Apa jalan keluarnya?

Kumara bertanya kepada Geni apakah sungguh-sungguh mencintai Gayatri. Geni mengiyakan. Kumara menanyakan kepada Gayatri apakah sudah berpikir matang menjadi isteri Geni, sebab itu sama artinya memutus hubungan dengan orangtua bahkan juga dengan perguruan. Gayatri mengiyakan. Kumara setuju menikahkan dua sejoli itu dalam upacara adat Himalaya

Wajah Urmila dan Shamita pucat "Kami pasti dihukum, tugas kami adalah melindungi Gayatri. Tetapi bagaimana mungkin kami membiarkan Putri menikah tanpa restu orangtua."

"Urmila, itu semua tanggungjawabku, aku punya alasan," kata Gayatri sambil maju memeluk dua pembantunya. Urmila berkata sambil menangis, "Putri, kamu majikanku tapi sudah seperti adik, pasti kamu sudah berpikir masak-masak waktu mau bercinta dan menjadi isterinya. Kami mencintaimu, kami pasti membelamu di depan orangtuamu, meskipun kami akan dihukum guru"

"Shamita, waktu itu kamu sendiri yang meyakinkan aku bahwa lelaki itu mencintaiku, selain itu hatiku berkata bahwa dia tak hanya mencintai aku melainkan juga mau mati membela aku."

"Kalau begitu lakukan saja, Putri, restuku untukmu Aku pun akan membelamu di hadapan guru." Shamita memeluk dan menciumi wajah Gayatri.

Kumara dan Malini lebih terkejut lagi mendengar pengakuan Gayatri, ia sebagai isteri kedua Wisang Geni. Isteri pertamanya adalah Sekar. Dan kedua isteri itu bersahabat satu sama lain. "Aku pikir Gayatri sudah tidak waras, urusannya sungguh gila," kata Kumara.

Enam orang itu berunding. Akhirnya disepakati Geni mencari dan membawa Sekar untuk diajak bicara. Setelah itu upacara kawin adat Himalaya akan dilaksanakan hari itu juga. "Lebih cepat lebih baik, sebelum gunung ini ribut oleh perburuan widali sakti."

Baru saja Geni berada di luar rumah, tampak Sekar berlari pesat ke arahnya. Gadis ini melompat memeluknya, berbisik, "Aku sudah rindu padamu, Geni, mana Gayatri katanya kau tarung dengannya, mengapa ada kejadian seperti itu?"

Sekar setelah berpisah dari kekasihnya, berkeliling mencari dua neneknya. Setelah bertemu dan memastikan Dewi Obat sudah sehat kembali, ia kemudian mengantar dua neneknya ke kaki gunung. Dua neneknya menuju Lembah Cemara. "Kamu hati-hati nduk, banyak orang jahat yang ngiler melihat kecantikanmu," kata Nenek Sapu Lidi sambil cekikikan. Sekar tertawa.

Sekar kemudian mencari Geni ke rumah tempat menginap murid Lemah Tulis. Ia mendengar cerita Prawesti dan Ekadasa bahwa Geni tarung lawan Gayatri dan bahwa Geni luka serta keadaannya kritis. Mereka kemudian menolong Geni, menghantam Gayatri, tetapi Geni malah kecewa dan marah. "Geni sudah kasmaran dan lupa daratan, kepincut kecantikan dan ilmu pelet Gayatri, kamu hati-hati terhadap perempuan Himalaya itu, Sekar," kata Ekadasa.

Sungguh terkejut Sekar mendengar cerita aneh ini. Hanya dalam semalam keadaan berubah menjadi sedemikian buruk. Itu sebab begitu jumpa Geni, ia langsung menanyakan keadaan yang sebenarnya.

Geni tertegun. Dua perempuan itu sudah bertindak jauh. "Sekar, jangan percaya pada dua perempuan itu. Semuanya salah faham." Ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga menceritakan niat dan permintaan Gayatri untuk upacara kawin. "Tetapi ia ingin bicara denganmu, ia ingin jika kamu mau, kalian berdua menjadi pengantin. Dan tentang adat Himalaya atau adat Jawa, ia serahkan padamu untuk memilih."

Di kolong langit ini Sekar hanya percaya pada Wisang Geni. Ia telah menyerahkan segala miliknya, cinta dan tubuh kepada lelaki ini. "Aku hanya percaya kamu saja. Apa yang kau katakan, itulah yang sebenarnya. Mari kita temui Gayatri."

Dua perempuan itu berpelukan. "Bagaimana nenekmu?" tanya Gayatri.

"Tak apa-apa, keduanya sehat" Sekar senyum saat pandangannya bertemu Malini dan Kumara. Dua pendekar ini takjub memandang Sekar. "Dari seorang gadis dekil dan burik, dia sekarang cantik jelita dengan tubuh yang begitu mempesona," kata Malini dalam hati Dia mengatakan dengan nada pujian.'Wisang Geni, kamu beruntung memperoleh dua isteri yang begitu cantik."

Geni tertawa menggoda. "Bukan aku yang beruntung, sebenarnya mereka berdua yang beruntung mendapatkan aku sebagai suami."

Godaan ini memancing Sekar dan Gayatri yang segera menyerang suaminya. Geni melangkah mundur. Kedua perempuan mendesak sampai akhirnya masuk kamar.

Keduanya mengeroyok, memegang dan membanting Geni ke lantai. "Kamu harus ngaku bahwa kamu yang beruntung mendapatkan isteri secantik aku dan Gayatri." Dua perempuan itu mencopot busana masing-masing. "Lihat tubuh kita, indah dan molek."

Geni terangsang. "Kalian benar, aku salah. Memang aku yang beruntung mendapatkan kalian sebagai isteri, kemarilah sayang." Dua perempuan itu melompat keluar kamar. Geni berseru "Hei tunggu dulu!" Dua gadis cantik itu tertawa cekikikan menatap Geni yang juga tertawa.

Tanpa berunding lagi, Sekar menyatakan setuju perkawinan adat Himalaya. Tetapi Kumara protes, "Bagaimana mungkin seorang lelaki kawin sekaligus dengan dua perempuan, aku belum biasa."

Tiga perempuan itu, Malini, Urmila dan Shamita membela Gayatri. "Lakukan saja, yang penting upacaranya sakral," kata Malini.

Pernikahan dilaksanakan malam itu juga. Urmila, Shamita dan Malini mencari perlengkapan. Bunga, dedaunan, kulit pohon warna warni ditumbuk, menyalakan api unggun.

Pakaian pengantin perempuan meminjam warna merah milik Urmila. Setelah upacara selesai, Geni membopong dua isterinya, masing-masing di kiri dan kanan masuk kamar. Dua perempuan itu mengeroyok habis suaminya. Percintaan dan pertemanan yang unik.

"Kamu sekarang sudah menjadi isteriku, apakah kau bahagia?" tanya Geni. Pengantinnya mengangguk. Gayatri mengingatkan masih ada syarat yang harus dipenuhi Geni yakni mengumumkan kepada semua orang, bahwa Gayatri dan Sekar kini resmi menjadi isterinya. Gayatri memaksa harus sekarang juga "Dalam keadaan masih belum pulih seperti sekarang ini, aku tak mau jadi korban widali, setelah kau umumkan pernikahan ini, kita pergi turun gunung, kita menyepi bertiga sampai lukaku sembuh total."

"Baik, aku setuju kita umumkan sekarang juga Tetapi mengenai widali mungkin kita harus menunggu pemunculannya nanti malam, siapa tahu aku bisa menangkap widali sakti itu dan meminumkan darahnya kepada kalian berdua" "Firasatku mengatakan widali itu tak akan tertangkap malam nanti, bahkan ada beberapa pendekar yang mati sia- sia. Aku tak mau mati konyol, aku mau kita pergi saja. Widali itu tak bisa dibunuh meskipun oleh pendekar berilmu lebih tinggi darimu. Jangan kamu terlampau tamak, keadaan sekarang sudah cukup membahagiakan aku, lukaku juga akan cepat sembuh dengan pengobatan tenaga dalammu serta pil salju. Kita pergi saja, Geni." Sekar sependapat Ia menganggap tak ada gunanya ikut dalam perburuan widali.

Malam itu juga mereka menuju penginapan Lemah Tulis. Di tengah jalan Geni cerita pada Sekar, bahwa ia akan menceraikan Prawesti dan Ekadasa. Tetapi Gayatri justru mengusul agar Prawesti diampuni. "Keadaan satu satu.

Tinggal kamu Sekar, apapun keputusanmu, maka itulah keputusanku," tegas Wisang Geni.

Tertegun sesaat Sekar berkata lirih, "Sulit, apabila pada awalnya sudah ada perasaan tidak suka atau tidak percaya. Lama-lama bisa bagaikan api dalam sekam, sekali waktu bisa meletus dan membakar kita sekeluarga. Ceraikan saja, Geni!"

Gayatri terkejut. Sekar mendekati dan memeluknya "Kamu dan aku, yang paling dirugikan nantinya"

Gayatri berbisik lirih, "Aku ikut apa katamu."

Wisang Geni dan dua isterinya tiba di rumah Lemah Tulis.

Mereka menyambut ketuanya Sedikit basa-basi, Geni mengumumkan dia baru saja melakukan upacara sederhana perkawinan dengan Sekar dan Gayatri. Kontan saja, semua murid terperanjat. Kabar ini mengejutkan meskipun tanda- tanda hubungan intim ketua dengan gadis India itu sudah tercium sejak hari kemarin.

Dyah Mekar menggenggam tangan Prawesti yang dingin dan basah. Tak seorang bisa membayangkan apa yang dirasa Prawesti. Jelas ia sangat terpukul. Jika Dyah Mekar tidak memeganginya, mungkin ia limbung dan roboh pingsan. Ekadasa tak ada di ruangan. Tetapi ia mendengar semuanya dari balik jendela rumah. Ia semakin dendam dan cemburu pada Gayatri.

Gerak-gerik Prawesti, wajah yang pucat, tubuh yang gemetar, tidak luput dari pengamatan Wisang Geni. Lelaki ini merasa kasihan, tapi bagaimanapun dia harus memilih dan mengambil keputusan. Memang pahit, terutama bagi Prawesti, tetapi tidak ada jalan lain. 

Dengan berat ibarat kaki dibebani batu puluhan kilo, enam murid melangkah maju. Satu per satu memberi selamat, menyalami Geni, dan dua isterinya. Ketika giliran Prawesti, gadis ini menyalami Geni dengan wajah tunduk. Geni merasa serba salah. Prawesti kemudian menyalami Gayatri dan Sekar. Ia berusaha tegar tetapi hatinya hancur berkeping. Ia melangkah gontai ke kamar. Ia tak menyangka Geni mengumumkan perkawinan secara terang. Ia juga malu, karena merasa dipermalukan di depan rekannya. "Mengapa aku tidak diberitahu, mengapa semua murid Lemah Tulis tidak diajak menyaksikan. Apakah kesalahanku itu tak bisa dimaafkan," tanya Prawesti dalam hati

Para murid Lemah Tulis kecewa melihat sepak terjang Geni.

Hal ini tak luput dari pengamatan Geni. Ia memanggil Prastawana, Dyah Mekar, Gajah Lengar, Kebo Lanang dan Jayasatru Agar tidak beredar kabar yang tidak benar, Geni menjelaskan perihal ia menceraikan Prawesti dan Ekadasa. Apa perbuatan dua perempuan itu dan alasan mengapa ia harus menceraikan mereka. Keduanya kini bebas untuk mencari jodoh lelaki lain.

Prawesti tak menyangka mendapat perlakuan setegas itu dari Wisang Geni. Malam itu kepada Dyah Mekar dan Prastawana, ia mengatakan menyesal mengikuti saran dan ajakan Ekadasa. "Aku tahu tak seharusnya malam itu aku dan Ekadasa memukul Gayatri muntah darah. Karena aku melihat bahwa ketua dan Gayatri tidak tarung, mereka seperti menikmati musik dan tari. Tak ada sesuatu pun yang membahayakan jiwa ketua. Aku marah dan cemburu, sehingga begitu Ekadasa mengajak menyerbu masuk dan menghantam Gayatri, seperti orang tolol aku ikut saja."

Prawesti menyesal, tetapi nasi sudah menjadi bubur. "Aku juga masih berlaku tolol ketika Ekadasa bercerita pada Sekar tentang tipu daya Gayatri memikat ketua, aku ikut-ikutan. Aku tahu itu cerita tidak jujur dan perbuatan tercela. Mengapa aku begitu tolol mau diajak Ekadasa berbuat hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan hati nuraniku. Atas semua kesalahanku itu, pantas jika ketua kecewa dan marah padaku, dan aku tak akan mungkin menyalahkan ketua atas keputusannya itu. Aku tak tahu harus bagaimana, karena aku hanya mencintai ketua, seluruh hidupku tak ada artinya kini jika tidak bersama ketua."

Dyah Mekar diam, ia menangis, terharu mendengar pengakuan Prawesti. Ia berjanji meski menghadapi resiko, ia akan mohon agar ketua mengampuni Prawesti.

Pada kesempatan itu, Prastawana melapor kepada ketuanya. "Maaf ketua, tadi tiga pendekar Cina mendatangi kami, menantang adu ilmu silat di desa Bangsal akhir bulan Waisaka, tiga puluh hari lagi. Katanya, terserah ketua jika ingin membawa bantuan. Jumlah mereka sebelas orang.

Tantangan juga telah disampaikan kepada perguruan Mahameru dan Brantas."

Sepasang mata Wisang Geni berkilat. Tampak dingin dan kejam "Tidak ada waktu untuk istirahat, ada-ada saja persoalan, mengenai tantangan para pendekar Cina aku akan bicara dengan kakek Padeksa dan Gajah Watu pada saatnya nanti."

Geni kemudian berpesan kepada semua murid, "Aku akan turun gunung, mencari tempat aman mengobati isteriku.

Kemudian aku ke Lemah Tulis membicarakan segala sesuatunya. Kalian hati-hati, widali itu ganas dan tak terkalahkan, mungkin lebih baik pulang saja ke Lemah Tulis. Hati-hati, sampai jumpa di Lemah Tulis." Geni menuntun tangan dua isterinya melenggang keluar rumah.

Murid-murid Lemah Tulis saling berdebat, kembali ke Lemah Tulis atau tetap di gunung. Prawesti ngotot bertahan. "Aku harus berjuang memperoleh widali, jika mati terbunuh tak ada bedanya, sekarang pun aku sudah mati setelah ditinggal pergi lelaki yang kucinta," kata Prawesti lirih pada Dyah Mekar yang mendampinginya.

Geni bersama Sekar, Gayatri dan dua pembantu turun gunung, Kumara dan Malini tetap berburu widali. Mereka sejak awal berencana berburu widali, jika beruntung darah widali akan membantu tenaga batin dalam upaya mengalahkan Wisang Geni. Tetapi dengan Wisang Geni sudah menjadi suami Gayatri, rencana tarung jadi batal, tetapi perburuan widali tidak berubah.

---ooo0dw0ooo---

Senja di hari terakhir bulan Caitra, matahari bersinar merah lembut. Desa Limo di lereng gunung Argowayang biasanya tenang dan damai. Semua penduduk sudah mengungsi. Tetapi kehadiran para pendekar membuat suasana ramai. Tidak lama lagi, saat tengah malam dan gelap menyelimuti gunung, itulah saat widali sakti keluar dari persembunyiannya, mencari mangsa atau dimangsa.

Di sana sini tampak para pendekar bersiap dan siaga. Ada yang mengasah senjata, ada yang semedi menata tenaga dalam Semua dengan kesibukannya. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara seruling yang merdu. Seorang lelaki usia empatpuluhan berbaju putih muncul dari kaki gunung. Ia diikuti sepuluh pria dan wanita yang semuanya berbaju hitam Mereka mendatangi rumah rombongan Lemah Tulis.

"Aku dari Gunung Lawu, namaku Daraka, aku murid pendekar Bagaspati dari gunung Lawu Aku datang untuk menemui Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis."

Prastawana dan Gajah Lengar memberi hormat. "Tak disangka kami mendapat kunjungan perguruan Lawu yang masyhur, selamat datang ke gubuk kami. Sayang sekali ketua kami sudah turun gunung sejak tadi siang. Apakah ada keperluan penting atau pesan yang bisa kami sampaikan nanti."

Daraka tampak kecewa, ia memberi tanda ke temannya, salah seorang perempuan maju ke depan. Wanita ini, perutnya besar. "Ini saudaraku, Kemini, ia diperkosa Ki Wisang Geni beberapa bulan lalu, kini ia hamil. Kami datang mengantarkan perempuan ini." Tentu saja kabar ini membuat semua murid Lemah Tulis gigcr. Terkejut. Semula tidak percaya, tetapi dalam hati mereka percaya mengingat sepak terjang Wisang Geni yang memang doyan wanita. Lima perempuan sudah terpikat menjadi kekasihnya, Walang Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan sekarang Gayatri.

Diam-diam mereka mencela perbuatan ketuanya. Kasak- kusuk tanda gelisah menjalar ke semua murid. Hanya Prawesti dan Gajah Lengar yang tidak percaya begitu saja berita mesum itu. Sebelum Prawesti maju, Dyah Mekar yang lebih pengalaman maju. Ia minta ijin memeriksa Kemini. Memegang nadi dan meraba perut perempuan itu. "Kamu hamil tua, sudah hampir melahirkan. Kamu diperkosa di mana?"

"Di desa Papar, waktu itu aku sedang menjalani tugas guru untuk menolong keluarga yang anaknya diculik perampok di hutan dekat desa Pagu. Di situlah aku bertemu Wisang Geni, ia menculik aku, ilmunya sangat tinggi sehingga aku tak berdaya, kemudian aku dibawa ke desa Papar, ia bersama tiga muridnya. Kemudian malam harinya aku diperkosa. Berulang kali sepanjang malam."

Prawesti memotong bicara, nadanya agak marah. "Jika kamu benar diperkosa, tentu kamu mengenal wajah dan tubuhnya, coba kamu ceritakan bagaimana bentuk wajah dan tampang Ki Wisang Geni."

"Ia memerkosa aku beberapa kali sampai pagi, setelah memerkosa, ia pergi dan berpesan supaya aku mencarinya ke Lemah Tulis, ia mengaku ketua Lemah Tulis, namanya Wisang Geni."

"Kamu kenal bentuk tubuh dan wajahnya?" Tanya ulang Prawesti.

Agak malu-malu Kemini menjelaskan sambil ia menatap ujung kakinya. "Ia tampan, kurus, langsing, rambutnya panjang dikuncir dan digelung di atas kepala."

"Usianya kira-kira berapa, sudah tua atau masih muda?" "Mungkin sekitar limapuluhan."

Terdengar suara kasak-kusuk lagi di rombongan Lemah Tulis. Gajah Lengar semakin tidak percaya itu perbuatan Wisang Geni. "Rambutnya hitam?"

"Ya sudah tentu rambutnya hitam!"

"Sebelum itu, apakah kamu pernah jumpa dengan lelaki tersebut?" Kemini menggeleng kepala. "Dadanya dirajah dengan lukisan seekor kuda."

Dyah Meka rberbisik pada Prawesti. Tampak Prawesti menggeleng kepala. Dyah Mekar kemudian berkata lirih kepada Kemini dan Daraka. "Ketua kami memang benar bernama Wisang Geni, tetapi laki-laki itu bukan ketua kami, dia orang lain." Suara Daraka agak tinggi, "Orang itu mengaku Wisang Geni ketua Lemah Tulis, mana bisa dia oranglain." Kemini menambahkan, "Lagi pula tiga muridnya itu memanggil dia guru, terkadang memanggil guru Geni."

Prastawana menyela. "Kami semua murid Lemah Tulis, memanggil Wisang Geni dengan panggilan ketua, kami tak pernah memanggilnya guru, sebab dia melarang, itu dianggapnya sebagai pantangan besar. Lagipula ketua kami belum punya murid dan belum mengangkat murid."

Semua murid Lemah Tulis yang tadinya dalam hati sempat mengutuk perbuatan ketuanya, diam-diam menyesal.

Prastawana melanjutkan penjelasan kepada Daraka. "Maaf pendekar, ketua kami memang benar bernama Wisang Geni, rambutnya gondrong tetapi tidak panjang dan tidak digelung, rambutnya penuh uban putih keperakan, yang di malam hari tampak jelas."

Kemudian ia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas lagi. "Ketua kami juga tidak jangkung dan tidak kurus, ia bertubuh gempal dan tidak terlalu tinggi, mungkin sama tinggi dengan aku. Di dadanya tak ada rajah gambar kuda. Dan yang paling penting, sembilan bulan atau satu tahun lalu, ketua kami selalu berada bersama kami di perdikan Lemah Tulis, ia sibuk melatih kami, dan selama itu ia didampingi isterinya, kami berani memastikan lelaki yang memerkosa saudara perempuan ini bukan ketua kami yang bernama Wisang Geni, mungkin lelaki lain yang sengaja mencemarkan nama ketua kami."

Daraka terkejut. "Gila. Jika benar demikian siapa lelaki itu Apakah kami bisa berjumpa dengan ketua Ki Wisang Geni?"

"Maaf tuan pendekar yang kami hormati, sudah kami katakan, ketua kami sudah turun gunung, ia tak mau ikut- ikutan berburu widali, begini saja, jika sampean masih belum percaya boleh saja datang berkunjung ke perdikan Lemah Tulis, mungkin sekitar sepuluh hari lagi ketua sudah pulang." Setelah mengucapkan maaf, Daraka dan rombongan pendekar gunung Lawu berlalu. Mereka tidak langsung turun gunung, barangkah mau ikut berburu widali. Sementara murid Lemah Tulis masuk kembali ke ruang dalam. Prawesti masuk ke bilik tempatnya bersama Dyah Mekar. Murid lainnya berkumpul di ruang tengah. Dalam hati merasa bersalah sempat menyalahkan ketuanya.

Prastawana dan Gajah Lengar membincangkan kejadian aneh itu.

Setelah berpikir sejenak, Prastawana mengatakan kemungkinan besar lelaki pemerkosa itu adalah Lembu Agra. "Dia amat dendam terhadap ketua, ciri tubuhnya persis seperti penuturan Kemini. Sembilan purnama lalu ia masih hidup, ia sengaja melakukan pemerkosaan untuk merusak nama ketua dan perdikan Lemah Tulis."

Gajah Lengar dan rekan lainnya setuju. "Tetapi bagaimana pun Lembu Agra sudah mati sehingga tak ada saksi kecuali perempuan bernama Kemini itu sendiri. Apakah tak mungkin itu adalah bagian rencana musuh tersembunyi yang ingin merusak nama ketua kita."

Di dalam bilik Prawesti bersemedi. Ia memusatkan pikiran menata tenaga dalamnya. Tetapi berulangkali gagal. Wajah Wisang Geni membayang terus. Ia marah kepada diri sendiri.

"Mengapa aku begitu tolol mengikuti ajakan Ekadasa?

Padahal aku ingin hidup bersama ketua. Tetapi mengapa dia tidak memaafkan aku, apakah dia tak tahu betapa aku mencintainya, dia harus tahu bahwa aku terperosok, mengapa mendapat hukuman begini berat? Dia tidak memaafkan, berarti dia tidak butuh aku. Mungkin ia tak mau diganggu, hanya ingin bercinta dengan dua isterinya yang memang lebih cantik dari aku. Aku memang melakukan hal yang bodoh. Aku memang pantas mati, tak ada harganya aku untuk hidup.

Semua orang Lemah Tulis akan melecehkan bahwa aku sudah dibuang ketua, ibarat habis manis sepah dibuang. Aku malu. Ke mana aku harus pergi?"

Prawesti termenung. "Sekarang apa yang harus kulakukan?

Aku pikir aku harus adu jiwa dengan widali sakti, biar aku mati, aku tak peduli, namun bila beruntung dan berhasil menghirup darahnya, aku akan menjadi tangguh, aku akan melatih semua ilmu silat yang diajarkan ketua, siapa tahu suatu waktu nanti aku berkesempatan menolong ketua, menolong Lemah Tulis."

Ia membayangkan saat ini Wisang Geni, Sekar dan Gayatri sedang bercumbu. Ia menangis dalam hari. "Aku tidak dendam, aku tidak sakit hati kepada ketua, karena cintaku kepadanya tak pernah mati Aku pernah mendengar bibi Wulan mengatakan, seorang wanita adalah sungguh-sungguh perempuan jika ia hanya mengenal satu lelaki saja, hanya mencintai satu lelaki saja dan tak ada lelaki kedua yang dicintainya. Apa pun yang terjadi cintaku kepada ketua itu akan kubawa sampai akhir hayatku"

Tak disangka Ekadasa berkunjung. Prawesti masih di kamar sedang semedi. Keduanya sama-sama mencintai Geni tetapi yang kemudian ditinggal pergi begitu saja. Ekadasa mencurahkan isi hatinya kepada Prawesti. Ia mencintai Geni sejak awal jumpa di Lemah Tulis ketika bokongnya diremas Geni. Ia tak pernah lupa kejadian itu. Bagi orang lain mungkin seperti pelecehan, baginya pertanda Geni punya perhatian padanya. Lagipula ia merasa bokongnya semok dan punya daya tarik tersendiri.

Ketika Wisang Geni berkunjung ke istana Tumapel, ia sempat menggoda lelaki itu dengan kerling matanya. Malam itu tercapai keinginannya, Geni mendatangi ia di kamarnya. Mereka bercinta dua hari, tak pernah puas. Tak habis- habisnya Geni mencumbu Lelaki itu sangat perkasa. "Aku pernah tidur dengan lelaki lain, tetapi Geni luar biasa. Aku harus mendapatkan dia. Prawesti aku tahu kamu juga mencintainya, aku pikir kita harus kerjasama, mengatur siasat memisahkan Gayatri dari Wisang Geni," katanya kepada Prawesti.

Ekadasa perempuan yang matang pada usianya yang duapuluhan, kulit kuning kecoklatan, cantik jelita, hidung sedikit bangir dengan mulut yang menarik, potongan tubuh montok dengan payudara menonjol, lingkar pinggangnya kecil, rambut panjang digelung. Ia cantik dan tahu persis bagaimana memanfaatkan kecantikannya itu.

Dia percaya kecantikan dirinya, ia tahu banyak lelaki mendambakannya. Tetapi ia hanya menginginkan Wisang Geni seorang. Ia marah melihat Geni mencium Gayatri malam itu, tetapi lebih marah lagi mengetahui keduanya telah menikah dan Geni telah menceraikan dia berdua Prawesti. Tanpa sadar ia berkata lirih, "Apa hebatnya Sekar dan perempuan India itu, keduanya memang cantik, tetapi malam itu di keraton aku telah perlihatkan kepada Geni bahwa akulah yang layak menjadi isterinya."

"Maksudmu tadi bekerjasama, apa dan bagaimana?" tanya Prawesti bingung.

"Kita pisahkan Gayatri dari Wisang Geni. Perempuan itu sekarang luka parah, aku akan kirim orang membunuhnya. Tetapi yang kita perlukan adalah saat perempuan itu berada sendirian, karenanya kiia harus pancing agar Geni pergi meskipun setengah hari saja."

Mata Prawesti terbelalak. "Tidak, akutakmaumengkhianatiketua, aku tak mau membunuh orang tak berdosa, kamu pergi saja Ekadasa, aku tidak tertarik."

Ekadasa marah. "Kamu perempuan lemah, apakah kamu mami saja dicampakkan begitu saja oleh lelaki setelah dia puas meniduri kamu, benar-benar kamu lemah dan tak bermartabat" Prawesti naik darah, setengah berteriak ia mengusir Ekadasa. "Iya, memang aku lemah, kamu pergi saja, aku tak mau berkawan dengan orang yang akan memusuhi ketua, pergilah kamu."

Mendengar suara bernada tinggi Prawesti itu, Dyah Mekar dan Gajah Lengar masuk kamar, "Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," tukas Prawesti. Saat bersamaan Ekadasa melangkah keluar kamar. "Aku pergi," katanya.

Malam di lereng Argowayang. Gelap gulita karena sinar rembulan terhalang mendung tebal. Hanya ada kelap-kelip lampu damar di rumah. Suasana seram dan mencekam Para pendekar berada di luar rumah, berjalan ke sana kemari, mencari kesempatan berjumpa widali, memangsa atau dimangsa.

Widali keluar dari persembunyian Sepasang matanyay ang bersinar gemerlap mengintai dari balik semak. Manjangan Puguh dan Mei Hwa saat itu berada di dekat semak, sekonyong-konyong Manjangan Puguh merasa udara bergetar di dekatnya. Kontan ia bereaksi cepat, memutar tubuh, merunduk dan melayang pergi. Pada zaman itu, selain gurunya sendiri pendekar Merapi, Ki Sagotra, tidak ada lagi pendekar yang mampu menandingi ilmu ringan tubuh Manjangan Puguh.

Mungkin pertama kali selama puluhan tahun, serangan widali gagal. Sergapan dan terjangan binatang itu sangat cepat dan sulit diikuti mata. Puguh hanya melihat ada benda terbang melesat di sisi tubuhnya, tetapi tidak jelas bentuknya. Puguh tidak berhenti sesaat pun, ia bergerak sambil berteriak memanggil Mei Hwa isterinya. Tangannya meraih tangan Mei dan keduanya melesat menjauh dari semak. "Gila. Jikalau saja aku tak curiga adanya getaran udara di sekitar tubuhku, dan jika terlambat sesaat, dan jika aku tak mengunakan Waringin Sungsang tingkat paling tinggi dengan pukulan Bang Bang Alum Alum, mungkin saat ini aku sudah mati. Binatang itu menghilang begitu saja, ke mana dia?"

Manjangan Puguh merasa tangan Mei Hwa dingin dan basah. ”Koko, aku merasa ngeri dan seram, binatang itu tak mungkin bisa dikalahkan, kurasa lebih baik kita turun gunung saja."

Puguh memikirkan hal yang sama. 'Lebih baik begitu, kita pergi saja, aku sudah kangen pada anak kita. Ayo Mei, sekalian kita ajak ibumu, widali itu sangat berbahaya."

Tetapi Sian Hwa memilih menetap bersama kawan- kawannya. "Aku sudah jumpa dengan kamu, aku sudah senang. Melihat kamu hidup bahagia, aku pun senang. Pergilah kalian, rawat cucuku baik-baik, di sini memang sangat berbahaya seperti katamu itu."

Malam kelam makin mencekam ketika turun hujan deras. Suara guruh dan kilat menambah seram suasana. Air hujan mengalir deras menuruni lereng. Tanah menjadi licin. Para pendekar makin kalang kabut dicekam rasa gentar, di sana sini terdengar jeritan orang, lolong serigala dan suara widali yang mirip jerit kucing. Widali bergerak cepat seperti kilat halilintar dan terkamannya tak pernah meleset. Satu persatu para pendekar tewas dengan luka menganga di bagian leher.

Hampir tengah malam, suasana masih mencekam. Tiba-tiba suasana senyap. Hujan, guruh dan kilat halilintar perlahan- lahan reda kemudian menghilang. Semua senyap. Hanya terdengar desir angin malam. Widali itu menghilang setelah memangsa korban. Tujuhbelas nyawa melayang, semuanya dengan luka menganga di leher. Widali itu menggigit dan mengisap darah, ia merobek leher korban sehingga hampir putus. Melihat bekas luka bisa dipastikan mulut widali itu cukup lebar, itu artinya binatang sakti itu lebih besar dari kucing atau musang biasa. Rombongan Kediri kehilangan lima punggawa dan seorang anggota Sinelir. Rombongan Tumapel kehilangan dua pendekar utamanya, Catur dan Sapta, rombongan Lemah Tulis kehilangan Kebo Lanang, rombongan Mahameru kehilangan Matangga, salah seorang murid utamanya, rombongan Berantas juga kehilangan dua muridnya. Masih banyak korban pendekar dari perguruan lain, jumlah seluruhnya tujuh belas nyawa. Semuanya dimangsa widali hanya dalam setengah malam. Dunia persilatan seakan berduka memperingati petaka hebat itu, betapa tinggi pun ilmu silat dan jumlah pendekar yang begitu banyak ternyata tidak cukup untuk menahan amuk dan sepak terjang widali sakti.

Ekadasa meratapi mayat Sapta, lelaki yang sebenarnya sangat mencintainya. Jikalau saja ia tidak terpikat oleh kejantanan Wisang Geni, ia pasti menerima lamaran Sapta. Semua sudah jadi bubui. Wisang Geni pergi dari pelukannya, Sapta tewas di gunung Argowayang. Tadinya ia memimpikan memperoleh darah widali yang akan membuat ia sakti mandraguna. Setelah itu ia akan mencari Wisang Geni, membunuh Gayatri dan menanyakan pada lelaki itu apakah ia masih mencintainya atau tidak. Ia yakin Geni pasti masih menginginkan tubuhnya yang penuh daya tarik itu. Ternyata mimpi itu hanya tinggal mimpi. Namun ia tetap bertekad akan mencari Wisang Geni.

---ooo0dw0ooo---

Setelah perjalanan santai dari lereng Argowayang, senja hari Geni dan empat perempuan itu tiba di desa Kipang, desa terpencil agak jauh dari gunung Argowayang. Tak ada warung makan, tak ada penginapan. Geni menyewa rumah penduduk, sekaligus membayar makanan untuk makan malam.

Selesai santap malam, Geni dan dua isterinya masuk kamar. Ia berpesan kepada Urmila dan Shamita agar berjaga- jaga sementara pengobatan dengan tenaga dalam berlangsung. Tangan Geni menempel di punggung halus isterinya, tenaga dalam menerobos bergantian panas dan dingin. Tubuh Gayatri menggigil kedinginan, saat berikut berkeringat kepanasan.

Geni menjelaskan akan lebih cepat sembuh jika bisa mengurut di tempat yang kena pukulan. Gayatri mengangguk. Ia merasa tak perlu malu, meskipun di kamar itu ada Sekar. Ia membuka kebaya, membiarkan tubuh atas telanjang.

Keduanya berhadapan. Gayatri melihat Geni memejam mata, satu tangan Geni menempel di pundak, satu lainnya di celah antara buah dada. Hampir separuh malam Geni mengobati isterinya. Tanda merah kebiruan di dua tempat itu mulai berkurang. "Cukup Geni, aku sudah baikan," sambil berkata Gayatri menata kembali letak bajunya.

Ia melihat Sekar tidur pulas. Sedangkan Geni masih bersila menata tenaga dalam. Keringat membasahi sekujur tubuh Geni menebar aroma kelaki-lakian. Gayatri berbaring di dipan berdampingan dengan Sekar. Sambil menatap punggung lelaki itu, Gayatri berpikir, " Dipan ini kecil dan sempit, tapi kalau dipaksakan cukup untuk tiga orang."

Geni membuka mata. Ia melihat Gayatri dan Sekar berbaring. Perempuan India itu menatap kekasihnya. "Tadi, mengapa kamu pejamkan mata, tak mau memandang buah dadaku padahal di kamar ini suasana gelap, tak ada penerangan?"

"Aku tak mau terganggu pemusatan pikiranku. Paling tidak kamu harus istirahat dua malam lagi, baru bisa sembuh."

Gayatri tertawa. "Apakah kau bisa tahan tidur bersamaku dan Sekar dua malam tanpa kamu berbuat apa-apa?"

"Supaya kamu cepat sembuh, aku harus berusaha menahan diri."

Pada saat itu Sekar sudah terjaga. Ia memeluk punggung Geni. Kakinya melingkar di paha Geni. "Kenapa harus menahan diri, apa yang ada mari kita nikmati Gayatri ayo kita keroyok suami ini." Ketiganya tenggelam dalam lautan birahi yang panas membara

Menjelang pagi tiga kekasih itu masih berpelukan. Geni di tengah di impit tubuh dua isterinya. Sambil mengelus dada Geni yang berbulu lebat, Gayatri berbisik, "Geni, kamu tahu apa yang membuat aku mencintaimu?" Geni menggeleng kepala. Gayatri melanjutkan, "Aku jatuh cinta lantaran kamu dengan cara yang licik dan kurangajar berhasil menciumku. Selama hidup aku belum pernah dicium laki-laki, sehingga ciuman itu menjadi candu yang membuat aku memikirkan kamu terus. Aku marah dan kesal tetapi rindu. Kamu telah memberiku sesuatu yang indah yang bahkan belum pernah ada dalam mimpiku."

"Lantas malam ini bagaimana?"

Gayatri tertawa. "Seluruh tubuhku sakit, sakit tetapi nikmat.

Aku bahagia karena tidak salah memutuskan hal penting dalam hidup, mendapatkan kau sebagai suami sekaligus kenikmatan tubuh, meskipun untuk semua itu aku harus menukar dengan nyawaku."

Geni menciumi wajah isterinya. "Kamu tak akan mati, aku tak akan membiarkan kamu mati, dalam waktu dua bulan ini aku akan mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalanmu"

Sekar ikut bicara, ingin tahu lebih banyak tentang Gayatri. "Kamu tak akan mati, apa sulitnya masalahmu itu? Di dunia ini terjadi banyak kecelakaan yang tidak bisa kita hindari. Tetapi juga ada kecelakaan yang bisa ditolong. Lihat contoh, suami kita ini, ia luka parah kena pukulan dingin Kalayawana dan telan pil racun Kumara dan Malini, usianya hanya bisa sampai tiga purnama, tetapi buktinya, ia sembuh bahkan mendapat ilmu dahsyat membuat ilmu silam ya sulit ditandingi dan menjadi suami yang perkasa seperti sekarang ini. Jadi aku pikir, masalahmu pasti akan teratasi, percayalah Gayatri." Gayatri memeluk erat, menyembunyikan wajahnya di dada Geni. "Terimakasih, Sekar, kamu sangat baik. Sesungguhnya aku tidak menyesal, setetes penyesalan pun tak ada dalam dadaku, aku bahagia hidup bertiga seperti ini. Untuk itu, tidaklah rugi jika aku harus menebus dengan nyawaku Aku anak bontot ketua perguruan Yudistira di Himalaya, ayahku berpegang keras pada tradisi kuno, anak perempuan harus patuh pada jodoh yang diatur ayah."

Gayatri berbaring terlentang, pikirannya menerawang jauh. Ia seperti melihat ayah dan kakaknya yang galak serta wajah ibunya yang lembut tetapi tak berdaya. "Dua bulan lagi, pada akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah jadwal kematianku sudah tertulis. Tak ada yang bisa menolongku."

Sekar penasaran. "Siapa bilang tidak ada yang bisa menolong, aku dan Geni dan juga kamu akan berupaya keras menyelamatkan kamu, jangan khawatir, kita pasti bisa."

"Aku punya seorang kakak perempuan, namanya Manisha dan dua kakak laki-laki, Arjun dan Shankar. Ada seorang laki- laki bernama Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan Arjapura Suatu hari, satu tahun lalu, Wasudeva datang bertamu untuk diskusi ilmu silat. Manisha jatuh cinta padanya, ia menjanjikan cinta yang tulus, ia meniduri kakak.

Berulangkali. Kemudian ia pergi, berjanji kembali dua bulan lagi, melamar dan mengawini Manisha.

"Tiga bulan kemudian Manisha hamil. Ayah dan dua kakakku tidak tahu. Manisha hanya menceritakan pada ibu dan aku, ibu menyuruh aku bersumpah tak boleh menceritakan pada ayah dan kakak. Sebab bisa terjadi pertumpahan darah antara dua perguruan. Ibu lalu mengutus aku bertiga Urmila dan Shamita menemui Wasudeva, memberitahu Manisha hamil. Ia tertawa sinis, malah menuduh Manisha tak punya kehormatan, yang bisa ditiduri lelaki siapa pun. Aku tak berdaya, aku pulang membawa kabar buruk "Tapi Manisha masih setia menanti. Hamil lima bulan, Wasudeva tetap tak muncul Saat itulah datang lamaran Mahesh, pendekar dari Himalaya Timur. Ayah menjodohkan kakak dengan Mahesh. Tak mungkin kakak menerima perkawinan itu, sebab aib hamil itu pasti akan terbongkar, tak ada jalan lain, setelah berpesan kepadaku, kakak diam-diam pergi dan bunuh diri terjun dari tebing."

"Kakakmu Manisha itu cantik?"

"Ia sangat cantik, lebih cantik dari aku, ia tidak bisa silat tetapi ia mahir sastra dan sangat cerdas. Ia mengajari kami semua, berbahasa Jawa. Saat itu kami sadar suatu waktu nanti mungkin kami akan melancong ke tanah Jawa mencari Ki Suryajagad menebus kekalahan kakek Lahagawe."

"Nasib kakakmu amat tragis, apakah sampai sekarang tak seorang pun dari keluargamu yang mengetahui kelakuan Wasudeva itu?" tanya Sekar sambil menciumi dada suaminya.

"Ceritanya panjang. Setelah kematian kakak, Wasudeva datang berkunjung. Ia merayuku, aku benci dan muak melihatnya. Ia melamar aku pada ayah Ayah setuju. Aku tak bisa menceritakan perlakuan buruknya terhadap Manisha kepada ayah. Tetapi tak mungkin aku menerima perjodohan ini, mustahil aku kawin dengan Wasudeva, dia bejat dan aku tidak suka tampangnya, tidak ada jalan lain, terpaksa aku kabur ke negeri Jawa."

"Kenapa ke negeri Jawa?"

"Aku ingin lari dari Wasudeva, makin jauh makin baik, mungkin dia tak akan berani kemari, semoga saja demikian."

"Lantas penyakitmu itu?" tanya Sekar.

"Aku sehat, tak ada penyakit. Tetapi yang pasti, ayah, ibu dan dua kakakku akan datang ke negeri ini, mereka akan menjemput aku, menghukumku. Mereka akan muncul pada akhir bulan Iyestha atau awal bulan Asadha, di situlah hari kematianku. Ayah membunuhku atau aku harus bunuh diri. Itu sebab aku cepat minta kau menikahi aku, agar bisa menikmati cinta yang indah selama dua bulan, aku ingin bersenang- senang sampai puncak kenikmatan, setelah itu jika harus mati bunuh diri, aku rela."

"Tidak Gayatri, kita akan hidup lama. Aku senang kamu sehat, tak punya penyakit, kalau hanya itu kesulitanmu, aku yakin bisa kita atasi bersama. Kita tinggalkan keramaian dunia ini, kita pergi ke suatu desa terpencil, tak akan ada orang bisa menemukan kita, kita bertiga menetap sampai hari tua," kata Geni.

"Kamu mau pergi meninggalkan perguruanmu Lemah Tulis, apakah kamu tidak takut dituduh sebagai ketua yang tidak bertanggungjawab, apa tanggung jawabmukepada leluhurmu, kepada guru-gurumu?"

"Aku akan meletakkan jabatan ketua ini dengan baik-baik, memberikan jabatan ini kepada orang lain, begitu kan?"

Gayatri menatap dalam-dalam mata suaminya. "Kamu mau melakukan itu semua untuk aku?"

"Sekar dan Gayatri, kalian dengar, sebenarnya aku bosan dan jenuh dengan pertarungan di dunia persilatan ini. Jika kalah, mati. Jika menang, pasti akan ada orang lain yang mencari untuk balas dendam. Begini terus, tak pernah berhenti. Satu bulan lagi aku harus berhadapan dengan para pendekar negeri Cina, ini juga urusan balas dendam karena aku pernah mengalahkan tiga pendekar utama Cina, satu di antaranya Sam Hong bahkan mati di tanganku. Semua itu tarung resmi di bukit Penanggungan. Sekarang para pendekar Cina datang menantang aku, balas dendam. Aku bosan.

Akhirnya aku berpikir untuk mengundurkan diri dari keramaian. Aku senang jika bisa hidup bersama kalian di suatu tempat terpencil." Gayatri terharu. Ia memeluk dan mencium kekasihnya.

Geni membalas dengan nafsu menggebu. Tiga insan itu larut lagi dalam nafsu birahi. Bercinta dalam suasana hati saling membutuhkan.

Pada saat itu, di pagi hari yang sejuk, Urmila dan Shamita telah memutuskan langkah. Keduanya berunding lama untuk sampai pada keputusan itu. Ketika Gayatri keluar dari kamar, ia melihat dua pembantunya sedang duduk menghadapi sarapan pagi yang baru saja diantar pemilik rumah. Lima orang itu melahap sarapan singkong dan ayam bakar.

Pada kesempatan itu Urmila dan Shamita menyampaikan maksud mereka hasil pemikiran semalam. Keduanya merasa tidak lagi layak mendampingi Gayatri. "Putri, kamu adik perguruan kami, tetapi ilmu silatmu lebih tinggi, kau juga putri guru kami, tugas kami selama ini adalah mengawalmu. Tetapi sekarang keadaan sudah lain, kamu sudah bersuami."

Gayatri memotong bicara Urmila yang mulai tersendat- sendat saking terharu. "Kamu ingin meninggalkan aku, begitu? Katakan saja kalau memang benar, aku tak akan marah."

Shamita memegang tangan Gayatri. "Suamimu akan melindungi dan dengan ilmu silat yang diniilikinya aku kira kamu cukup aman. Apalagi kamu juga punya ilmu silat mumpuni. Kami pikir tak enak mengganggu kalian yang sedang mabuk cinta, biarkan kami pergi, siapa tahu kami ketemu jodoh di negeri indah ini."

Selesai sarapan, dua pembantu itu memeluk Gayatri.

Perpisahan yang mengharukan. Tiga perempuan itu menangis. Urmila berkata di tengah tangisnya, "Putri, kami belum berencana pulang ke India, kami akan melancong di negeri ini, tapi kami tetap akan memantau dirimu, jika kamu dalam kesulitan kami rela berkorban jiwa untukmu, urusan dengan Wasudeva kami akan ikut membelamu meski untuk itu kami akan dihukum guru." Dua pembantunya pergi, Gayatri menangis dan berlari masuk bilik kamarnya. Sekar memburu, menghibur hatinya. "Selama ini kami selalu bersama-sama, sejak masih kecil, kami bermain bersama, setiap ada kesulitan, keduanya selalu membantu. Mereka sudah seperti kakak bagiku Kini mereka pergi, aku merasa kehilangan. Tetapi mereka punya hak untuk mencari masa depan sendiri, usianya masih duapuluh lima, semoga bisa mendapat kebahagiaan seperti yang aku cicipi sekarang ini."

Tiga hari di desa Kipang, Gayatri sudah hampir sembuh. Ia kini sudah bisa menggunakan tenaga dalam meski belum seluruhnya pulih. Rasa ngilu dan sakit di dada serta pundaknya sudah lenyap. Pagi hari itu Geni membawa dua isterinya menuju Lemah Tulis. Mereka menunggang kuda, dua hari kemudian tiba di perguruan. Hari sudah senja.

Wisang Geni dan dua isterinya langsung menghadap Padeksa dan Gajah Watu. Waktu itu Geni sudah mendandani Gayatri dengan pakaian pendekai Jawa. Ia tampak cantik gemerlap, kulitnya yang putih tampak mencolok di bawah baju dan celana warna hitam. Rambutnya yang panjang digelung dengan ikat kepala warna putih. Hidungnya bangir, bibir tebal, mulut lebar bagai busur serta dua bola mata berwarna coklat yang berlindung di balik bulu mata lentik, menegaskan kecantikan seorang perempuan India.

Padeksa dan Gajah Watu terperanjat ketika Wisang Geni memperkenakan Gayatri dan Sekar sebagai isterinya. Sesaat dua orang tua itu terdiam, keduanya mengamati Sekar dan Gayatri, mencoba membandingkan cantiknya dua isteri Geni itu. Mereka pernah mengagumi kecantikan Sekar. Gayatri tak kalah cantik. Dua wanita itu memang cantik dan jelita.

Kecantikan Gayatri adalah kecantikan wanita asing, cantik India. Kecantikan Sekar, cantiknya perempuan Jawa.

Dua kakek itu membatin mungkin Geni terpikat kecantikan yang luar biasa itu tetapi tidak tahu kelakuan dan isi hati si perempuan. Padeksa membatin, "Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi, Wisang Geni kawin dengan orang luar, ah kasihan si Prawesti, bagaimana perasaannya."

Keduanya lebih kaget lagi mendengar penjelasan Geni bahwa Gayatri adalah cucu pendekar Lahagawe yang pernah dikalahkan Eyang Sepuh Suryajagad di perang Ganter.

Sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup keduanya tidak memperlihatkan rasa curiga. Namun Geni dan Gayatri tahu bahwa dua kakek itu curiga perkawinan hanya alasan Gayatri membalas dendam. Dua kakek lebih heran mendengar Geni meninggalkan Argowayang saat di mana widali sakti keluar dari persembunyian. "Mengapa kau pergi meninggalkan anak buahmu?" tanya Padeksa kecewa.

Geni merasa aneh. "Kenapa kakek bertanya itu, aku memilih pergi dan mereka memilih berburu widali, itu pilihan masing-masing. Mereka juga bukan anak kecil yang harus kutemani dan kulindungi terus."

Padeksa terdiam Gajah Watu memecah kesunyian. "Geni, sejak dua hari lalu, perdikan kita kedatangan tamu, sampai hari ini sudah tujuh perempuan yang diantar keluarganya masing-masing. Mereka hamil dan menuduh seorang bernama Wisang Geni yang ketua Lemah Tulis telah memerkosa mereka."

Geni terkejut. Gayatri ikut terkejut. "Aku tak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu, aku belum sekali pun pernah memerkosa perempuan, aku pantang melakukan perbuatan terkutuk itu, pasti fitnah, pasti suatu kekeliruan."

Gajah Watu berkata dengan nada datar, "Perempuan- perempuan itu menantimu di pendopo, silahkan keluar temui mereka."

Geni seperti linglung, berdiri dan hendak melangkah.

Tangan Gayatri memegangnya. "Jangan sekarang, jangan temui mereka sekarang. Nanti saja, kau istirahat dulu." "Kenapa kamu menghalangi, dia harus berani bertanggungjawab atas perbuatannya," suara Padeksa ketus. Gayatri beringsut mendekati Sekar, keduanya bisik-bisik, kemudian Gayatri kembali dan berkata lirih, "Maaf, aku tak percaya suamiku melakukan perbuatan itu, aku punya alasan kuat, kakek mau dengar?"

Geni memandang isterinya. Ia berharap Gayatri dan Sekar bisa menolongnya. Ini aib besar. Terdengar suara Gayatri, "Tadi ketika masuk pintu gerbang dan melewati pendopo aku melihat banyak orang, aku melihat beberapa perempuan.

Tetapi saat kita lewat tak seorang pun yang berteriak menyebut nama suamiku, tidak seorang pun. Ini bukti, mereka melihat suamiku, tetapi mereka tidak mengenal suamiku, padahal hari masih senja, matahari masih terang. Ini bukti jelas. Itu sebabnya aku mencegah suamiku menemui mereka sekarang."

Dua orangtua itu mengagumi kecerdasan Gayatri. Tetapi sebelum mereka bicara, gadis India ini sudah melanjutkan bicara, "Aku katakan tadi, aku sangat yakin suamiku tidak melakukan perbuatan itu, mengapa aku yakin?" Ia menatap dua kakek itu yang menahan nafas ingin tahu penjelasannya. Ia kemudian menceritakan pertemuannya dengan Geni. Ketika ia nyaris diperkosa penjahat, "Aku tahu aku cantik, tubuh atasku telanjang, tetapi Geni bisa mengendalikan diri, jika saja moralnya rendah pasti dia sudah memerkosaku. Jika aku saja yang lebih cantik dengan kesempatan sebesar itu tidak ia perkosa, maka aku tidak percaya mengapa ia memerkosa perempuan di luar sana yang sama sekali tidak cantik dan entah berasal dari mana. Ini sebabnya aku yakin suamiku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Pasti ada orang lain yang sengaja merusak nama Wisang Geni."

Sekali lagi Gajah Watu dan Padeksa mengakui kecerdasan Gayatri. Sekar ikut mendukung alasan Gayatri. "Aku juga tidak percaya suamiku memperkosa perempuan. Itu jelas fitnah dan omong kosong besar!"

Geni gembira bahwa Gayatri dan Sekar percaya kepadanya. "Jadi bagaimana aku harus hadapi mereka?" katanya pada Gayatri. Gayatri tertawa geli. "Kamu semakin banyak berhutang padaku. Hutang yang lalu belum kamu bayar sekarang sudah berhutang baru lagi.”

"Sudahlah Gayatri, aku sudah katakan bahwa sampai mati pun aku tetap masih berhutang padamu. Katakan sekarang jalan keluarnya."

Gayatri berkata kepada dua kakek, "Ketika kami datang, perguruan ini sunyi. Aku sempat melihat beberapa murid yang menghindari kami, mereka sembunyi. Kakek bisa bantu memecahkan persoalan ini dengan mencari tiga murid, perawakan harus beda satu sama lain. Seorang harus mirip suamiku termasuk rambutnya dicat mirip uban. Dua lainnya, satu tinggi, satu pendek, dengan rambut hitam. Usianya tigapuluhan dan limapuluhan. Ajak perempuan-perempuan itu, satu per satu, menemui ketiga murid, katakan, ada tiga Wisang Geni, yang mana yang kalian cari. Lantas kita lihat sampai di mana kebenaran sandiwaranya?"

Gajah Watu mempersiapkan rencana Gayatri. Tiga murid mengaku Wisang Geni. Tujuh perempuan itu bingung. Empat perempuan mengaku ketiga murid itu bukan Wisang Geni.

Tiga lainnya menuding murid dengan rambut beruban sebagai Wisang Geni. Semua disaksikan Gayatri. Sementara Geni menanti di kamarnya.

Dibantu beberapa murid, Gayatri memisahkan dua kelompok. "Jelas, empat wanita itu tidak mengenal Wisang Geni, berarti bukan suamiku yang melakukan perbuatan itu tetapi orang lain yang mengaku sebagai Wisang Geni. Tiga lainnya juga tidak mengenal Wisang Geni, hanya mengetahui ciri rambut ubanan saja. Nah tugasku membersihkan nama suamiku sudah selesai, aku pamit menemui suamiku." Gayatri berdua Sekar meninggalkan pendopo, menemui Geni di biliknya. Sementara Padeksa dan Gajah Watu serta beberapa murid melakukan pemeriksaan. Kesimpulannya, ada orang yang sengaja memerkosa wanita-wanita itu sambil memperkenalkan diri sebagai Wisang Geni ketua Lemah Tulis. Pemerkosaan terhadap empat perempuan dilakukan lelaki berusia limapuluhan, di dadanya ada tanda rajah bergambar kuda. Kejadiannya sekitar sembilan bulan lalu. Lelaki itu berpesan agar pergi ke Lemah Tulis. Siapa lelaki itu tidak ada yang tahu. Tiga perempuan lain punya kisah berbeda. Mereka punya suami dan sedang hamil besar, berasal dari desa Gadang. Seorang wanita cantik berpakaian mewah membayar ketiganya untuk mengaku diperkosa dan dihamili Wisang Geni. Dia menggambarkan ciri Wisang Geni, rambutnya penuh uban. Itu sebabnya tiga wanita ini menuding murid yang rambutnya dicat uban sebagai Wisang Geni. Siapa perempuan cantik ini, tak seorang pun yang tahu.

Wisang Geni sedang duduk termenung ketika Gayatri dan Sekar masuk. Ia menyongsong isterinya. "Bagaimana hasilnya?"

"Beres, semua ketahuan bohong, ada orang yang merusak namamu Tetapi mengapa wajahmu kusut, apakah kau takut mereka mengenal wajahmu?" Gayatri menggoda. Sekar tertawa mendengar godaan nakal itu.

"Tidak. Bukan itu. Aku kecewa karena ternyata semua murid termasuk kakek percaya aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Mengapa bisa begitu? Itu sebab begitu melihat aku datang, semua murid menghindar, rupanya mereka percaya aku seburuk itu. Anehnya kakek juga tidak percaya padaku. Kalau begini, kalau tak ada kepercayaan yang tulus kepada seorang ketua, maka ketua itu tidak akan bisa memimpin anak buahnya dengan baik," kata Geni dengan nada kecewa. Gayatri memegang tangan suaminya. "Jangan berpikir demikian, mereka bukannya tidak percaya padamu, tetapi mungkin berita itu sangat mengejutkan, aku yakin mereka masih percaya padamu"

"Gayatri, Sekar, kalian berdua lebih suka aku sebagai ketua Lemah Tulis atau aku meninggalkan jabatan ketua ini?"

Sekar terkejut mendengar pertanyaan ini. "Aku senang dengan apa saja keputusanmu Kamu sebagai ketua Lemah Tulis atau bukan ketua, bagiku sama saja. Yang penting bagiku, aku tetap di sisimu Ke mana kamu pergi, ke situ aku mendampingimu." Gayatri mengangguk sependapat.

Saat itu Wisang Geni telah mengambil keputusan penting dalam hidupnya. "Aku tak mau lagi menjadi ketua Lemah Tulis, dalam beberapa hari ini aku akan menyerahkan jabatan ketua ini kepada kakek, biar mereka mencari ketua yang baru Aku akan bereskan hutang dendam dengan pendekar Cina sebagai Wisang Geni pendekar biasa bukan sebagai ketua Lemah Tulis. Aku lebih suka berkelana seperti Eyang Sepuh, tetapi berbeda dengan Eyang Sepuh yang sendirian, aku akan ditemani dua isteriku yang cantik dan cerdas, Sekar dan Gayatri." Pikiran ini tidak ia utarakan.

Malam itu Geni merasa ada yang kurang. Biasanya Prawesti yang menyediakan santap malam, terkadang mengambilnya dari dapur, pada kesempatan lain gadis itu sendiri yang masak.

Kali ini ia bingung. Sementara Geni bingung, Sekar mengajak Gayatri ke dapur. Keduanya menolak ketika Geni menawarkan diri mengantar. "Tidak perlu, kamu tunggu di sini saja, ini urusan perempuan."

Dua isteri itu gembira melihat suaminya makan dengan lahap. Keduanya tidak menceritakan sikap murid-murid wanita sewaktu bertemu di dapur. Mereka tidak menegur sapa, bahkan satu per satu meninggalkan dapur sambil mencibir mulut. Sekar jengkel, namun Gayatri memegang tangannya. "Kita tak perlu meladeni mereka. Aku pikir, mereka kecewa karena Geni meninggalkan Prawesti. Dikiranya kita berdua yang membuat ulah atau memengaruhi Geni," kata Gayatri.

Sesaat kemudian dia menambahkan, "Itu sangat manusiawi bagaimanapun juga mereka patut membela saudara perguruan sendiri, kita berdua kan orang luar, apalagi aku, orang asing."

Malam itu Gayatri merasa nyaman dan tenteram dalam pelukan suaminya. Rasanya aman. "Tak ada siapa pun yang bisa memisahkan lelaki ini dariku," pikirnya.

Sesaat ia teringat ibunya pernah berkata kepadanya, "Jika ada lelaki mencintaimu, tugasmu yang paling utama adalah menjaga dan memelihara cinta itu dengan perilaku dan pelayanan memuaskan. Dengan demikian ia tidak akan bisa meninggalkan kamu. Yang penting, kau harus pandai dan cerdas menempatkan diri sehingga lelaki itu merasa selalu membutuhkan dirimu. Ingat itu Gayatri."

Saat Geni, Sekar dan Gayatri berenang dalam birahi cinta di biliknya, saat itu rombongan Prastawana tiba. Ia melapor peristiwa di gunung Argowayang, sepakterjang Wisang Geni membunuh Lembu Agra, Lembu Ampai dan para pendekar yang hendak menyerang Lemah Tulis, tujuhbelas pendekar termasuk Kebo Lanang dimangsa widali, tantangan pendekar Cina kepada Geni dan semua pendekar tanah Jawa, pernikahan Geni dengan Gayatri dan Sekar. Kematian Kebo Lanang sempat membuat Padeksa dan Gajah Watu kecewa terhadap Geni. "Jika Geni bersama mereka, mungkin Kebo Lanang tak dimangsa widali," pikir Gajah Watu.

Mereka berpencar menuju bilik masing-masing. Prawesti tadinya melangkah ke bilik ketua, namun dia teringat bahwa Geni sudah punya isteri. Ia berbelok menuju dapur. Ia resah namun memaksa diri makan. Ketika itu tiga murid perempuan mendekatinya. "Mbak Westi, ketua sedang berdua di biliknya bersama dua isterinya. Kamu tidur bersama kami saja."

Prawesti tak peduli apakah sindiran atau maksud baik, ia menatap gadis itu dan mengucap terimakasih. Ia menyelesaikan makan lalu keluar ruangan tanpa menoleh lagi kepada tiga gadis itu. Ia berpikir akan nginap di rumah paman Jayasatru, rumah tempat tinggalnya sebelum ia menjadi kekasih Wisang Geni.

Di tengah jalan ia mengubah pikiran, ia merasa malu. Apa yang harus ia katakan kepada bibinya. Dalam perjalanan dari Argowayang, Jayasatru memperlihatkan perhatian kepadanya, melayani dan mengajaknya bicara namun tidak bicara soal pernikahan Geni. Ia merasa semua orang seperti meremehkan dan mengasihani dirinya. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan ini.

Sekonyong-konyong Prawesti berlari pesat ke gerbang, menerobos keluar menuju kegelapan malam. Ia tak tahu menuju ke mana, tetapi langkahnya menuntun ia menuju ke arah hutan dawuk di lereng gunung Arjuno. Tengah malam ketika Geni bertiga Sekar dan Gayatri meneguk cinta yang penuh birahi menuju puncak kenikmatan, saat itu Prawesti berlari dikejar nestapa cinta dalam pekatnya malam.

Esok hari saat matahari terbit, Lemah Tulis tampak sibuk Terlihat murid lelaki maupun wanita sedang berlatih. Teriak dan bentakan mewarnai kesibukan. Wisang Geni meninggalkan Gayatri dan Sekar yang masih terbaring letih. Ia menuju rumah Gajah Watu dan Padeksa.

Ia sudah memutuskan mundur dari jabatan ketua Lemah Tulis. Namun baru saja ia duduk, Padeksa memberitahu kabar buruk "Geni, sejak tadi malam Prawesti menghilang dari perguruan. Ada yang melihatnya tengah malam berlari ke luar gerbang. Sampai sekarang, Jayasatru dan isterinya sudah mencari ke semua bilik dan rumah, tetapi gadis itu tak diketemukan." Wisang Geni terkejut. "Ke mana dia pergi?"

Padeksa berkata dengan nada sendu, "Kasihan gadis itu, ia patah hati dengan perkawinanmu, hatinya hancur, aku tidak tahu ke mana dia pergi, ia tak punya keluarga, tak punya siapa-siapa."

Kata-kata Padeksa itu mengena tepat sanubari Geni. Lelaki ini bereaksi cepat. "Aku akan cari dia."

Geni balik ke rumahnya, mengajak Sekar dan Gayatri. Isterinya balik bertanya, "Kamu tahu ke mana dia pergi?"

"Barangkali aku tahu. Perjalanan makan waktu satu atau dua hari."

Gayatri menolak. "Kau pergi sendiri, aku capek, tadi malam kamu meniduriku habis-habisan, hampir membunuhku." Sekar juga menolak, alasannya letih. Mereka menyuruh suaminya cepat pergi.

Tetapi Geni masih berdiri di situ, tampaknya hendak mengatakan sesuatu. Gayatri memandang dengan kocak, "Geni, ajak ia tinggal bersama kita, Prawesti itu tak punya siapa-siapa lagi, di luar sana dia sendirian tak punya keluarga. Bagaimana pendapatmu mbakyu Sekar?"

Sekar memandang Gayatri dengan penuh haru. "Gayatri, kamu wanita istimewa, kamu tidak dendam malahan mengajak Prawesti bergabung dengan kita, kalau kamu sudah memaafkan dia, aku tak punya alasan lagi menolak," dia menoleh ke suaminya. "Geni, ajak dia pulang secepatnya.

Kami tunggu di sini."

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG