Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 01


SI PEMANAH GADIS 2
SENGKETA KITAB PUSAKA AIR API
Oleh : Gilang 

BAGIAN 1
Seorang pemuda dengan sepasang mata putih
berbaju biru laut dengan tongkat hitam di tangan berjalan
dengan santai, cara jalannya tidak jauh beda dengan
orang buta pada umumnya yang berjalan dengan
mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah. Namun kali ini
pemuda itu bukan orang buta sembarang buta meski
kedua bola matanya putih. Si pemuda bertongkat hitam
justru bisa melihat seluruh isi alam dengan sangat jelas
dan sama persis dengan orang bermata normal.
Siapa lagi pemuda bermata putih itu jika bukan Jalu
Samudra alias Si Pemanah Gadis adanya!
Sudah dua tahun ini ia berpisah dengan istri cantiknya
Kumala Rani, yang karena permintaan kakak istrinya
agar tinggal untuk sementara waktu di Partai Naga
Langit, melepas rindu dan hal itu sekalian dimanfaatkan
oleh Jalu Samudra, meminta sang istri cantik untuk
memperdalam ilmu-ilmu kesaktiannya yang baru. Meski
awalnya semua ilmu olah kanuragan yang dimiliki oleh
istrinya musnah akibat perbuatan Dewi Cabul Teratai
Merah, namun akhirnya justru Kumala Rani mendapat
ganti ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang puluhan kali
lebih hebat dari ilmu-ilmu sebelumnya.
Jika Ilmu 'Pukulan Tombak Akherat' yang awalnya bisa
menghanguskan segala macam benda, kini justru
bertambah kehebatannya, selain bisa menghanguskan
sekaligus membekukan benda yang diterjang jurus
pukulan yang dipelajarinya dari Pendekar Tombak Putih.
Belum lagi dengan jurus Ilmu 'Pedang Geledek Hitam'
yang apabila berpasangan dengan Pedang Geledek
Hitam semakin memperlihatkan keangkeran tatkala
digerakkan dengan lambaran Ilmu ‘Tenaga Sakti Kabut

Rembulan’. Kilatan sinar hitam panas membara disertai
sergapan hawa dingin membeku seakan membuat
wilayah seantero tubuh Kumala Rani berpusar-pusar
menimbulkan nuansa panas dingin yang saling tumpang
tindih.
Bahkan Rangga Wuni dan Nila Sawitri sampai
terlongong bengong dikala melihat Kumala Rani melatih
ilmu-ilmu barunya yang sangat mengerikan dengan Jalu
Samudra sebagai lawan tanding. Mereka hanya bisa
tercengang melihat paparan ilmu olah kanuragan yang
diperlihatkan pasangan suami istri itu. Dalam kepala
mereka berkecamuk segala macam kekaguman dan juga
tidak habis pikir dengan cara bagaimana Jalu Samudra
bisa menetralkan racun penuaan dari Ilmu 'Serap Sukma'
sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi
yang jarang dijumpai di dunia persilatan hanya dalam
tempo dua tahun saja.
Benar-benar sulit dipercaya!
Lebih-lebih saat Rangga Wuni menjajal sendiri
kemampuan tenaga sakti sang adik ipar dengan tenaga
sakti miliknya, ia harus mengerahkan tahap tertinggi dari
seluruh ilmu tenaga saktinya hanya untuk menahan
tingkat dua dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kabut Rembulan’
yang dilancarkan oleh Kumala Rani. Meski tidak beradu
keras, namun gesekan antara dua jenis tenaga yang
berbeda tetap membawa dampak bagi pemiliknya.
Jika Kumala Rani tenang-tenang saja, justru wajah
Rangga Wuni biru pucat kedinginan!
Seminggu kemudian, Jalu Samudra berpisah untuk
sementara waktu dengan Kumala Rani, dengan janji
bahwa setelah dua tahun tinggal di Partai Naga Langit,
Kumala Rani harus mencari Jalu.

“Hemm ... musim kemarau yang panjang, sehingga
hawa di tempat ini begitu panas,” gumamnya sambil
mengusap peluh, “Kalau di Istana Bawah Tanah, aku dan
Nimas Rani bisa berendam berlama-lama sambil
bercanda.”
Setelah clingak-clinguk sebentar, pemuda itu berjalan
ke arah pohon delima yang tumbuh subur di tepi hutan
bahkan beberapa terlihat masak kuning kemerahan.
“Lumayan buat mengganjal perut,” pikirnya sambil
memetik beberapa buah, lalu ia duduk begitu saja di
bawah pohon delima. Sambil berteduh dari teriknya sinar
matahari, pemuda yang akhir-akhir ini namanya
menjulang dengan gelar nyentrik Si Pemanah Gadis
begitu lahap menikmati buah delima yang ada di
tangannya.
“Sudah dua tahun lebih aku berpisah dengan Nimas
Rani,” pikirnya sambil berulang kali meludahkan biji
delima dari mulutnya, “Apa ia baik-baik saja, ya?
Pastinya makin cantik dan montok saja, he-he-he.”
Pada kali ke tiga barulah pemuda itu sedikit
menggerutu, “Buah brengsek! Kenapa makan saja harus
meludah berulang kali!? Makan bijinya sekalian kenapa,
sih!?”
Meski baru memaki panjang pendek, Jalu tetap saja
memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya, namun
kali ini tidak meludahkan biji-biji delima, tapi langsung
dikunyah tanpa perhitungan.
“Kalau mau mencret, mencret saja sekalian. Susah
amat!” gerutunya sambil terus mengunyah biji delima,
hingga dalam mulutnya rasa manis, asam dan pahit
campur aduk lumat menjadi satu!

Bersamaan dengan kunyahan ngawur itu, telinga
tajamnya menangkap sebentuk dengusan napas. Namun
dengusan yang tertangkap di telinga Si Pemanah Gadis
bukanlah sembarang dengusan, bukan dengusan orang
meregang nyawa, bukan pula dengusan napas orang
yang habis berlari kencang karena dikejar harimau atau
anak kecil yang mau digebuk matang pantatnya oleh
orang tuanya hingga lari ketakutan, tapi dengus napas
orang yang sedang memadu kasih!
“Walah ... siang-siang begini kok masih sempatsempatnya
main kuda-kudaan,” gumamnya sambil
bangkit berdiri, lalu sedikit memiring-miringkan kepala
mencari sumber suara dengus, “ ... agak dikit ke utara
rupanya.”
Sambil melangkah ke arah berlawanan, pemuda itu
justru bergumam, “Lihat ngga ya? Kalau lihat nanti di
kiranya pemuda yang suka usil ... tapi kalau ngga lihat
kok jadi penasaran.”
Ketika pada langkah ketiga pemuda itu mengambil
keputusan.
“Lihat sajalah, daripada mikir terus sambil bayangin
yang enggak-enggak.”
Pemuda itu berjalan dengan cepat, bahkan cenderung
setengah berlari meski tidak menggunakan jurus
peringan tubuh ke arah sumber suara yang asalnya
memang dari utara.
“Disini rupanya,” desisnya.
Beberapa saat kemudian, Jalu Samudra telah sampai
di tempat tujuan, lalu duduk manis begitu saja di atas
batu besar sejarak dua setengah tombak sambil
menonton dua sosok manusia berlainan jenis tanpa
busana secuil pun sedang memacu diri dalam sebuah

gua yang kebetulan sekali posisinya berhadap-hadapan
dengan batu tempat duduk Jalu Samudra.
Sosok tubuh pemuda dan gadis yang sama-sama
telanjang bulat dan sedang memacu gairah menjadi
tontonan gratis yang mengasyikkan bagi Jalu Samudra.
Tapi begitu melihat cara mereka bercinta, apalagi gerak
maju mundur si pemuda yang menindih si gadis, Jalu
langsung bertopang dagu sambil membatin, “Gerakan
maju-mundur pemuda itu terlalu bernafsu, tidak ada
seninya sama sekali. Gelengan kepala si gadis pun
terlalu dibuat-buat, benar-benar tidak alamiah. Jurus
asmara kacangan seperti itu saja masih dipakai. Dan
lagian pemuda itu terlihat hanya mementingkan dirinya
sendiri. Benar-benar egois dia!”
Dan tentu saja kehadiran Jalu yang duduk bertopang
dagu sambil menggeleng-gelengkan kepala segera
diketahui oleh si gadis yang dalam posisi bersandar di
dinding gua dan mukanya tepat menghadap keluar gua.
“Kakang ... ”
“Apa?” gumam si pemuda dalam dengus sambil
berulang kali menghunjam-hunjam pilar tunggal
penyangga langitnya ke dalam gerbang istana
kenikmatan si gadis. “Sudah mau ... ke ... puncak?”
“Ada ... ada yang melihat kita ... ” bisik si gadis ke
telinga si pemuda dalam dengusan.
“Apa?!”
Si pemuda kaget, lalu sontak menghentikan gerak
maju-mundurnya, kemudian menoleh dengan muka
beringas karena keasyikannya terganggu sambil
membentak keras, “Siapa yang berani mati mengganggu
Garan Arit yang sedang bercengkerama?”

Di mata sang pemuda terlihat pancaran hawa amarah
yang luar biasa saat melihat sesosok pemuda baju biru
laut sedang bertopang dagu mengintip kegiatan olah
asmaranya.
Kalau melihat di atas batu dan kelihatan seluruh
tubuhnya seperti itu bukan mengintip namanya!
Kontan, selebar wajah pemuda yang cukup tampan itu
menjadi merah padam menahan amarah antara gusar
dan malu. Malu karena ada orang yang terang-terangan
mengintip aktifitasnya dan gusar karena beberapa saat
lagi ia akan mencapai puncak asmara justru terhenti
mendadak. Tangan kanan kiri terkepal kencang siap
melontarkan pukulan jarak jauh ke arah pemuda tampan
yang sedang duduk menonton sambil bertopang dagu.
“Pemuda keparat! Rupanya kau sudah bosan hidup
hingga berani menganggu si Pendekar Dari Utara, hah!?”
Si gadis yang bermata tajam segera mencegahnya
begitu melihat sesuatu yang berbeda pada pemuda yang
sedang asyik bertopang dagu di atas batu.
“Jangan, Kakang!” kata si gadis sambil menutupi dada
putihnya dengan baju hijau. “Biarkan saja dia!”
Garan Arit bertanya dalam nada bentakan. “Beda,
kenapa kau membelanya?”
Pemuda itu betul-betul marah kali ini!
“Karena dia ... dia ... buta,” bisik gadis yang dipanggil
Beda ke telinga Garan Arit.
“Memangnya kenapa kalau dia buta? Toh dia juga lakilaki!?”
sentak Garan Arit kasar, sekasar Pendekar Dari
Utara mencabut pilar tunggalnya. “Apa kau terpikat
dengan pemuda buta itu?”

Gadis yang bernama Beda meringis menahan sakit
karena gerbang istana kenikmatannya laksana tersayat
pisau saat dengan kasar benda bulat panjang tercabut
keluar tanpa permisi.
“Kita mau telanjang bulat di depan matanya juga tak
bakalan ia melihatnya!”
Kali ini gantian Beda yang membentak Garan Arit.
Beda, lengkapnya Beda Kumala benar-benar marah
pada kekasihnya!
Hanya karena seorang pemuda buta yang ‘menonton’
acara memadu kasih mereka, membuat mereka
bertengkar hebat dan nampaknya dari nada suara yang
terdengar, jelas kalau pertengkaran selalu mewarnai
kisah kasih mereka. Padahal gadis itu sudah mulai bisa
menikmati hunjaman-hunjaman kasar yang dilakukan
Garan Arit, tapi baru beberapa saat langsung hilang
tanpa bekas.
Benar-benar mengecewakan!
“Orang tolol saja tahu, mana ada pemuda buta yang
bisa melihat? Paling banter kegelapan saja yang bisa ia
rasakan!” bentak Beda Kumala sambil meraih baju dan
celana panjang, lalu sambungnya, “Sampai melotot
hingga matanya copot juga tak bakalan bisa melihat kita
berdua sedang bercinta. Buat apa diributkan!?”
Sambil terus berkata, Beda Kumala terus membenahi
baju dan celananya. Tubuh putih mulus dengan
sepasang payudara menggelantung indah terlihat
bergoyang-goyang kesana kemari, mengikuti arah
tangan dan kaki gadis itu yang dengan tergesa-gesa
mengenakan baju dan celana yang berwarna hijau.
Termasuk pedangnya diselipkan di belakang punggung.

Garan Arit kaget melihat Beda Kumala justru
mengenakan pakaiannya kembali, sedang dirinya masih
telanjang bulat tanpa sehelai benang pun dan yang pasti
... hasrat jiwanya belum terpuaskan!
“Beda ... Beda ... maafkan aku ... ” kata Garan Arit
sambil merangkul Beda Kumala dengan maksud
meredakan kemarahan si gadis. “Kita lanjutkan sa ... ”
Gadis itu justru mengibaskan tangan, menepis
rangkulan Garan Arit.
“Dasar egois,” katanya dengan sedikit terisak.
“Baiklah! Kakang minta maaf ... ”
“Tidak perlu!” potong Beda Kumala sambil mengaitkan
kancing bajunya.
Belum lagi Beda Kumala mengaitkan kancing baju
terakhir, sebentuk benda panjang berkilat tertimpa sinar
matahari melesat cepat ke arah punggung Garan Arit
yang saat itu sedang kehilangan kewaspadaan.
Wutt! Crepp!
Benda panjang yang ternyata sebilah golok pendek
dengan gagang rumbai-rumbai hitam tepat menembus
punggung bagian kiri, melesak masuk hingga ujungnya
mencuat keluar.
“Uughh!!”
Garan Arit mengeluh sebentar sambil meraba
punggungnya yang nyeri, namun berikutnya ia jatuh
terlentang dengan posisi punggung terlebih dahulu, yang
tentu saja membuat golok pendek semakin menusuk ke
dalam. Pemuda itu menggeliat-geliat sebentar, kemudian
diam dengan mata melotot!
Tewas dengan jantung tertembus golok dari belakang!

Beda Kumala langsung menjerit ngeri melihat Garan
Arit tewas dalam kondisi seperti itu.
“Kakaaang ... !”
Gadis berbaju hijau segera memeluk dan
mengguncang-guncangkan tubuh telanjang sang
kekasih. Tubuh kekar yang sebelumnya dengan penuh
gairah meledak-ledak menggeluti seantero tubuh
mungilnya, namun sekarang justru tergolek lemah tanpa
nyawa. Berulang kali ia memanggil-manggil nama Garan
Arit dengan harapan pemuda itu membuka matanya.
“Kakaaang ... bangun ... !”
Gadis cantik bertubuh mungil yang bernama Beda
Kumala ini benar-benar terguncang setelah memastikan
bahwa tidak ada denyut kehidupan sama sekali di nadi
jantung Garan Arit yang sekarang sedikit demi sedikit
berubah kaku. Mata jelitanya nanar penuh dendam
kesumat kala memandang ke arah sosok pemuda yang
semula ia bela dari kemarahan Garan Arit. Sosok
pemuda buta itulah yang menjadi sebab-akibat tewasnya
Garan Arit, yang di kalangan persilatan berjuluk si
Pendekar Dari Utara, salah satu murid tingkat tiga dari
Aliran Danau Utara. Selain pemuda buta berbaju biru,
tidak ada satu orang pun di tempat itu, dan secara tidak
langsung pula dalam hati kecil gadis itu menetapkan
pemuda itulah sang pembunuh licik yang melemparkan
golok hingga menewaskan Pendekar Dari Utara.
Sambil terus mendekap kepala Garan Arit di dada
sekalnya, terdengar suara terisak dari bibir merah
merekah sang gadis.
“Kau ... ? Kenapa kau membokong Kakang Garan Arit
secara licik?” bentak Beda Kumala dengan deraian air

mata. “Ada silang sengketa apa antara kau dengan
Kakang Garan Arit hingga kau harus membunuhnya?”
“Bukan aku yang melakukannya!” sahut Jalu tenang,
karena memang bukan ia pelakunya.
“Jika bukan kau, siapa lagi yang melihat perbuatan
kami di tempat ini selain dirimu!?” nada bertanya dalam
bentakan kembali terlontar dari mulut Beda Kumala.
“Dasar laki-laki licik!”
“Sungguh! Bukan aku pelakunya!” kembali Jalu
membela diri sambil membatin, “Brengsek! Orang lain
yang berbuat justru aku yang kena getahnya! Harus
kucari biang keladinya ... ” pikir Jalu sambil kepala
menggeleng ke kiri-kanan, lalu teriaknya, “Hanya
pengecut yang main serang secara gelap seperti itu!”
Belum lagi ucapannya selesai, telunjuk tangan kiri
menuding ke jurusan timur, pada sebuah pohon berdaun
cukup lebat, bersamaan dengan tudingan selarik sinar
putih berbentuk mata anak panah menyambar, mengarah
ke bagian bawah pohon.
Wutt! Duarr!!
Pohon tumbang sambil memperdengarkan suara
derak patah disertai letupan keras. Dan bersamaan itu,
beberapa sosok kekelebatan bayangan hitam
berloncatan turun ke bawah, sejarak empat tombak dari
gua dan sejarak tiga tombak dari tempat Jalu duduk
manis di atas batu.
Jlegg! Jlegg!
Delapan orang berbaju hitam beludru mengkilat berdiri
kokoh di atas sepasang kaki masing-masing.

BAGIAN 2
“Hua-ha-ha-ha-ha!” tawa keras si Jalu dari atas batu,
“Ternyata cuma delapan ekor manusia berbulu monyet!
Pantas saja pintar nangkring di atas pohon, ha-ha-ha!”
Lalu katanya pada Beda Kumala, “Gadis cantik, kukira
delapan monyet ini yang telah membunuh kekasihmu!
Salah alamat jika kau menuduh aku sebagai pelakunya!”
Jalu berkata sambil tertawa keras.
Delapan orang itu menggeram marah disebut-sebut
sebagai manusia berbulu monyet, meski pakaian hitam
yang mereka kenakan terbuat dari kain beludru mengkilat
dan memang mirip sekali dengan bulu monyet.
Tiba-tiba saja, dari dalam gua terdengar suara
lengkingan keras penuh kemarahan.
“Orang-orang Istana Jagat Abadi keparat! Kalian harus
ganti nyawa Kakang Garan Arit dengan nyawa busuk
kalian!”
Beda Kumala yang mengenali siapa adanya mereka
berdelapan langsung mengibaskan golok pendek di
tangan kanan yang telah tercabut dari punggung
Pendekar Dari Utara disertai lambaran setengah bagian
tenaga dalamnya.
Wutt! Wushh ... !
Terdengar desingan disertai hawa golok membelah
udara dan mengarah ke salah seorang dari orang-orang
Istana Jagat Abadi, meluncur cepat seperti gelegak air
mengalir dari atas ke bawah.
“Huh! Serangan picisan seperti ini apa bagusnya!”
Salah seorang dari mereka yang paling muda
membentak sambil berkelebat dengan tangan kanan
terulur maju ke depan.

Tepp!
Gagang golok tertangkap tangan. Terlihat dengan
samar bagaimana tangan yang menggenggam gagang
golok pendek bergetar saking kerasnya daya luncur yang
dikerahkan Beda Kumala.
“Edan! Kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' gadis itu
sudah mencapai tiga! Tanganku seperti dirubung ratusan
semut api yang menjalar masuk melalui jalan darah,”
desis laki-laki itu sambil mengerahkan tenaga dalam
untuk menetralisir kekuatan yang menyertai golok
pendek di tangannya.
“Nampaknya kau sendiri juga harus menyusul Garan
Arit ke neraka, gadis manis!” bentak laki-laki yang
menangkap golok pendek sambil menyambitkan benda
tajam di tangan ke arah Beda Kumala.
Wutt! Wuss!!
Kali ini daya luncuran golok dua kali lebih cepat dan
lebih berbahaya dari lemparan Beda Kumala, bahkan
terlihat badan golok berpijar seperti nyala api unggun di
malam hari.
Beda Kumala yang saat itu sedang tepekur meratapi
kematian Garan Arit, merasakan hawa maut yang
mendekat dengan cepat ke arahnya. Begitu mendongak,
terlihat luncuran cahaya kuning kemerahan telah berada
sejarak satu tombak dari dirinya.
“Kakang, aku segera akan menyusulmu,” keluh Beda
Kumala dalam hati.
Melihat gadis cantik baju hijau hanya terlongong
bengong menunggu ajal, Jalu Samudra langsung
berkelebat dengan jurus 'Kilat Tanpa Bayangan' hingga
membentuk segulungan bayangan biru, menyambar

Beda Kumala, terus keluar dari dalam gua dengan
kecepatan tinggi.
Wuss ... !
Dalam waktu selisih sepersekian detik, luncuran golok
tiba.
Blamm ... !
Dinding gua runtuh saat golok berpijar menancap di
bekas tempat Beda Kumala terduduk. Dan tentu saja,
reruntuhan gua seketika mengubur rapat-rapat mayat
Pendekar Dari Utara.
“Kalau mau mampus jangan di hadapanku!?” sungut
Jalu sambil menurunkan tubuh mungil Beda Kumala dari
pondongannya. “Merepotkan saja kau!”
“Kenapa kau menolongku?” kata heran gadis mungil
berbaju hijau pada pemuda penolongnya. “Bukankah tadi
aku sudah menuduhmu telah membunuh Kakang Garan
Arit?” lanjut gadis yang ternyata tingginya hanya
sepundak kurang satu jari dengan Jalu Samudra.
Benar-benar gadis mungil!
“Justru karena kau menuduhku seperti itu membuatku
harus membuktikan bahwa diriku benar-benar bersih,”
sahut Jalu, lalu dengan ujung tongkat hitamnya
menuding ke arah delapan orang Istana Jagat Abadi, ia
berkata, “Nah ... sekarang silahkan kau balaskan dendam
kakangmu pada mereka berdelapan. Mumpung mereka
masih komplit!”
“Apa maksud kata-katamu, orang buta!?” bentak orang
nomor dua dari kanan.
“Yachh ... mungkin saja ada salah seorang dari kalian
yang terkencing-kencing karena ketahuan membokong

lawan secara licik,” kata Jalu dengan enteng, seenteng ia
membuang angin. “Siapa tahu!?”
“Bangsat!” maki pemuda yang tadi menangkap golok
terlihat begitu bernafsu sekali ingin melumatkan tubuh
pemuda berbaju biru.
“Sabar, Karang Kiamat! Kita tidak bisa memandang
enteng si buta itu,” bisik orang yang di samping kiri
dengan gelang akar bahar sambil memegang bahu
pemuda yang berjuluk Karang Kiamat. “Apa kau tidak
melihat jurus peringan tubuhnya tadi. Pastilah ia bukan
tokoh sembarangan.”
“Untung kau cegah, Gelang Bintang! Kalau tidak ... ”
“Kalau tidak, kalian berdelapan sudah lari sipat kuping,
begitu!?” jengek Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis.
“Haram jadah kau!”
Cuping hidung Karang Kiamat kembang kempis
menahan amarah!
Delapan orang laki-laki yang kini berdiri tegak di
hadapan Jalu dan Beda Kumala terlihat menyeringai
dengan tatapan buas terpancar kuat dari sorot mata
mereka, antara keinginan membunuh si pemuda buta
yang bermulut usil dan melampiaskan hasrat ragawi
mereka pada gadis cantik di sampingnya. Terutama
sekali pemuda disebut bernama Karang Kiamat, tatapan
matanya liar seolah menelanjangi tubuh mungil Beda
Kumala yang terbalut pakaian hijau.
Sepasang bola mata liar yang terlihat begitu bernafsu!
“Ada silang sengketa apa kau dengan mereka?” tanya
Jalu sambil memutar-mutar tongkat hitamnya pulang
pergi.

“Tidak secara pasti, hanya saja Kakang Garan Arit
pernah menggebuk matang pantat salah seorang di
antara murid Istana Jagat Abadi, karena didapati sedang
mengintip teman-temanku yang sedang mandi,” tukas
Beda Kumala dengan mata sembab karena tangis.
“Ooo ... jadi orang-orang dari Perusuh Abadi ini ... ”
“Buta bangsat! Lancang sekali kau mengganti nama
sakral istana kami seenak perutmu!” potong yang di
tengah karena mendengar nama perkumpulannya diganti
seenaknya.
“Ya ... ya .... ya ... kalian tak perlu memaki seperti itu,”
lalu pemuda itu bertanya pada Beda Kumala yang ada di
sampingnya, “ ... maksudku orang-orang dari Kolong
Sinting Abadi ini mau balas dendam maksudmu?”
Delapan wajah langsung mengelam membesi.
“Mungkin,” sahut gadis itu hanya mengulum senyum
mendengar logat bicara pemuda baju biru yang seenak
bodongnya mengganti-ganti nama Istana Jagat Abadi.
“Benar-benar pemuda bernyali besar,” pikir Beda
Kumala, “Mungkin ia belum tahu seberapa besar
kekuatan dari Istana Jagat Abadi ini!”
“Orang buta! Kami tidak ada urusan denganmu!
Silahkan kau angkat kaki dari sini dan jangan sekalisekali
mencampuri silang sengketa antara Perguruan
Sastra Kumala dan Istana Jagat Abadi!” kata yang di
tengah dengan nada tinggi. Julukannya Si Pedang Dewa.
Diantara mereka berdelapan, dialah yang paling tua
dengan kisaran usia tiga puluh dua tahunan.
“Pedang Dewa, buat apa kau pentang bacot di
hadapan mereka?” sela Gelang Bintang, lalu ia maju satu

langkah sambil berkata, “Silahkan kalian berdua cicipi
jurus 'Gelang Terbang'-ku ini!”
Gelang Bintang bergerak cepat, dimana sepasang
tangannya melontarkan dua gelang kecil hingga
menimbulkan suara desingan nyaring disertai sinar
berkeredepan. Gerakannya mirip sekali dengan jurus
ninja kala melemparkan shuriken (bintang berbentuk segi
lima). Jelas sekali, selain mengandalkan sisi tajam terluar
dari gelang miliknya, ketepatan sasaran disertai
lambaran hawa tenaga dalam juga menjadi perhitungan
tersendiri bagi Gelang Bintang yang memang sangat
mengandalkan teknik melontarkan senjata rahasia.
Wutt! Wutt!
Jarak antara Jalu duduk dan Beda Kumala berdiri
terlalu dekat dengan pihak lawan dan serangan jurus
'Gelang Terbang' terlalu cepat. Jika gadis cantik itu
tercekat dengan serangan menggelap lawan, lain halnya
dengan Jalu yang dengan tenang menggerakkan
sepasang tangannya berkelebat ke depan.
Tepp! Crepp!
Jurus 'Sepasang Capit Kepiting Kembar' dengan
manis berhasil menangkap lontaran senjata lawan yang
mengarah ke dada mereka berdua.
Melihat lawan berhasil menangkal jurus 'Gelang
Terbang'-nya, Si Gelang Bintang justru tersenyum sinis.
Tentu saja Beda Kumala melihat senyuman sinis
lawan.
“Lepaskan gelang itu, cepat!” bentak Beda Kumala
setelah menyadari hal janggal pada pihak lawan.
“Apa mak ... ”
Terlambat!

Dua gelang di tangan Jalu tiba-tiba meletup,
menimbulkan kepulan asap hitam keabu-abuan dan
langsung menebar ke sekujur tubuh si pemuda berbaju
biru.
Bluuub! Bwushh!
“Ha-ha-ha! Mampus kau!” kata Gelang Bintang.
Setiap tokoh silat mengetahui siapa adanya si Gelang
Bintang, bahwa dalam setiap senjata Gelang Terbang
andalannya memiliki bubuk racun yang bisa membutakan
mata dan membuat darah keracunan bagi siapa saja
yang memegang atau menangkis serangan senjata
rahasianya hingga menimbulkan kepulan asap hitam
keabu-abuan. Asap itulah sebenarnya sumber racun dari
Gelang Terbang.
Belum lagi suara tawa Gelang Bintang menghilang
dari pendengaran, terdengar suara mendesing disertai
kilatan cahaya biru kusam dan hitam cemerlang melesat
cepat bagai kilat.
Siing! Crass!
Telinga kanan kiri Gelang Bintang terlepas dari tempat
asalnya!
Duarr!
Sisi gua sebelah kanan langsung ambrol disertai
ledakan keras saat kilatan cahaya biru kusam dan hitam
cemerlang membentuk bayangan sepasang gelang
meluncur deras dan pada akhirnya tepat menghantam
sisi kanan gua.
“Racun busuk seperti itu mana sanggup melumpuhkan
aku?” damprat si pemuda buta, sambungnya, “Orangorang
istana ternama seperti kalian ternyata ada juga

yang main licik menggunakan racun untuk melumpuhkan
lawan.”
Tentu saja semua orang yang ada di tempat dilanda
keheranan, terutama gadis berbaju hijau itu.
“Kau sehat-sehat saja?” tanya Beda Kumala, heran.
“Apa aku terlihat meringis kesakitan?”
“Tidak.”
“Jadi ... aku memang sehat-sehat saja kalau begitu.”
Beda Kumala melihat seantero wajah tampan Jalu.
Tidak ada tanda-tanda keracunan sama sekali.
Menyeringai, meringis atau meratap-ratap kesakitan tidak
tertampak dari si pemuda tinggi tegap. Semuanya
normal-normal saja dan tidak ada perubahan sama
sekali.
Aneh!
Tentu saja gadis itu tidak tahu, bahwa setelah berhasil
menguasai Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' dengan
sempurna secara tidak langsung membuat Jalu Samudra
kebal racun luar dalam. Bahkan istrinya, Kumala Rani
bisa meramu sejenis racun dingin yang mematikan dari
udara sekitar dengan menggunakan Ilmu 'Tenaga Sakti
Kabut Rembulan' tingkat empat menjadi sebuah benda
padat putih bening tembus pandang.
“Apa kau tahu efek dari asap hitam keabu-abuan tadi?”
tanya Si Pemanah Gadis, seakan bisa membaca jalan
pikiran orang disampingnya.
“Orang akan mengalami kejang sambil menggarukgaruk
matanya hingga kedua mata copot ... ”
“Dan buta, begitu?!” tebak si Jalu.
“Benar.”

“Bukankah aku sudah buta? Jadi untuk apa aku
menggaruk-garuk mata yang tidak gatal? Apa tidak
kurang kerjaan namanya!?”
Gadis berbaju hijau tercekat saat memandangi
sepasang mata putih pemuda berbaju biru laut.
“Benar juga!” pikir gadis cantik yang saat ini melepas
pedang dari balik punggung dan ditenteng seperti tukang
jagal, lalu katanya lirih, “Kalau bubuk 'Racun Kelabu
Pembuta Mata' diarahkan pada orang yang buta, pastilah
tidak akan berhasil. Mana ada orang buta sampai dua
kali?”
“Tepat sekali!”
Dengan seulas senyum sinis, gadis itu berkata sambil
menudingkan sarung pedang ke arah delapan orang
yang berdiri di sana, “Dengan alasan apa kalian
membunuh Kakang Garan Arit!?”
“Tidak ada alasan untuk membunuh manusia culas
macam kekasihmu itu! Cuihh!” jengek Pedang Dewa.
Pemuda ini paling tidak suka jika ada orang
menodongkan senjata ke arah dirinya, apalagi jika yang
melakukannya seorang gadis, tentu semakin
membuatnya muak. Memang, diantara murid-murid
Istana Jagat Abadi, mereka berdelapanlah yang paling
tahu tabiat jelek dari si Pedang Dewa. Si Pedang Dewa
memang memiliki kelainan jiwa, dia lebih suka berduaan
dengan lelaki ganteng dari pada gadis cantik!
“Bagus! Kalau begitu aku pun juga tidak ada alasan
untuk menghabisi kalian semua!” katanya nyaring,
“Terutama untuk menghabisi lelaki tidak normal seperti
dirimu! Aku yakin semua ide ini berasal darimu.”
“Gadis keparat!”

“Jangan dikira aku tidak mengetahui bahwa kau
sangat menyukai Kakang Garan Arit, tapi kakangku
menolakmu mentah-mentah!” tukas Beda Kumala sambil
melintangkan pedang di depan dada.
“Dasar laknat!”
“Sekarang terimalah pembalasanku!”
“Huh! Memangnya kau sanggup, gadis cantik?” sahut
Gelang Bintang sambil menotok di beberapa bagian urat
dekat leher dan telinga untuk menghentikan darah yang
terus menetes.
“Rupanya kekasih gelapmu tidak terima, Pedang
Dewa! Kita lihat saja ... apakah aku sanggup mengirim
kalian ke neraka atau tidak?”
Beda Kumala segera mencabut pedang.
Sriing!
Dengan diiringi teriakan keras, tubuh gadis itu
melenting ke atas sambil melakukan gerakan menusuk
ke bawah dalam jurus 'Tusukan Mata Pedang' hingga
menerbitkan suara kesiuran tajam.
Sasarannya adalah Gelang Bintang, orang yang
terdekat dengannya!
Gelang Bintang yang saat itu sedang berkonsentrasi
menotok luka di telinganya menjadi sedikit kaget.
“Eh!?”
Belum hilang kekagetannya, ujung pedang Beda
Kumala sudah berada sejarak satu jengkal di depan
batang lehernya!

BAGIAN 3
Wutt!
Saat Gelang Bintang terancam putus nyawa, Karang
Kiamat segera memapaki ujung pedang dengan telapak
tangan kanan berwarna merah kehitaman merapat
sedang tangan kiri mendorong Gelang Bintang hingga ia
terjajar ke belakang.
Prangg!
Bagai besi ketemu besi, pedang di tangan Beda
Kumala tertahan hingga membuat pedang melengkung
setengah lingkaran ke atas akibat berbenturan dengan
telapak tangan milik Karang Kiamat.
Gadis murid Perguruan Sastra Kumala cukup kaget
melihat lawan berani memapaki tajamnya ujung pedang.
Namun tanpa tempo lama, Beda Kumala yang saat itu
masih melayang di udara segera memanfaatkan daya
lengkung pedang sebagai batu loncatan menggunakan
jurus 'Ayunan Pedang'.
Syuutt!
Dengan gerak indah, tubuh mungil Beda Kumala
berjumpalitan melewati kepala lawan sambil
mengayunkan pedang dalam bentuk tebasan lurus ke
arah leher belakang Karang Kiamat. Jurus ‘Gadis Cantik
Mengayunkan Pedang’ dilancarkan dalam waktu yang
tepat.
Karang Kiamat hanya mendengus lirih mengetahui
bahwa lawan berusaha memenggal lehernya.
“Seluruh tubuhku keras seperti batu karang! Coba saja
kau tebas kalau bisa!”
Criing! Criing!

Terdengar suara pedang beradu dengan kerasnya
kulit leher Karang Kiamat yang benar-benar keras seperti
batu karang. Memang diantara mereka berdelapan,
hanya Karang Kiamat saja yang menguasai Ilmu 'Karang'
tingkat tinggi sehingga tubuhnya keras seperti batu.
Semakin tinggi Ilmu 'Karang' yang dikuasainya, seluruh
tubuh menjadi semakin merah kehitaman, layaknya batu
karang yang tertimpa sinar matahari selama puluhan
tahun.
Melihat serangannya kandas, Beda Kumala mengubah
arah dan bentuk serangan. Begitu turun ke tanah, Beda
Kumala langsung memutar pedangnya hingga
membentuk ribuan bayangan pedang yang dengan rapat
mengarah ke seluruh tubuh Karang Kiamat. Jurus
‘Pedang Seribu Bayangan’ yang dikerahkan oleh Beda
Kumala bukan sembarang jurus pedang. Tiga orang
kakak seperguruannya tidak sanggup menahan jurus ini
meski hanya tiga jurus saja.
Criing! Crrring! Crangg! Triing!
Percikan api terlihat berloncatan kemana-mana saat
pedang Beda Kumala bentrok langsung dengan Ilmu
'Karang' milik lawan yang hanya diam saja tubuhnya
diserang dari segala arah. Tidak ada luka sama sekali,
hanya pakaian hitamnya yang tercabik-cabik tak karuan.
“Kurang ajar! Tubuhnya keras seperti batu karang!
Ilmu siluman macam apa yang digunakan pemuda ini?
Sampai-sampai jurus ‘Pedang Seribu Bayangan’ yang
paling kuandalkan tidak mampu menembusnya,” pikir
Beda Kumala sambil terus meningkatkan hawa saktinya
hingga bayangan pedang semakin cepat dan semakin
banyak.
Criing! Crrring! Crangg! Triing!

Namun tetap saja gadis cantik berbaju hijau itu masih
belum bisa melukai lawan barang setitik pun.
Tiba-tiba sebuah suara terdengar menyusup ke dalam
gendang telinga.
“Gadis tolol! Kenapa kau tidak menusuk mata
anjingnya atau rongga mulutnya yang bau busuk itu!”
Bisikan yang didengar oleh salah satu murid
Perguruan Sastra Kumala ini hanya bisa dilakukan oleh
tokoh silat rimba persilatan yang memiliki tataran ilmu
pilih tanding dan sekarang ini jarang sekali dijumpai
tokoh silat yang bisa melakukan ilmu mengirimkan suara
dari jarak jauh seperti itu. Namun Beda Kumala tidak
berpikir sampai sejauh itu. Yang ia tahu bahwa dirinya
sangat berterima kasih karena secara tidak langsung
mengetahui kelemahan ilmu lawan, meski dalam hatinya
ia sempat mengumpat panjang pendek, “Buta brengsek,
dia mengatai aku gadis tolol!?”
Toh begitu, murid dari Perguruan Sastra Kumala mau
saja mengarahkan ujung mata pedang ke mata Karang
Kiamat. Meski hanya sebuah tusukan sederhana tanpa
jurus atau gerak tertentu, namun karena dilakukan
dengan kecepatan tinggi serta berada diantara ribuan
bayangan pedang hingga membuat ujung pedang Beda
Kumala susah ditebak ke arah mana sasarannya.
Akan halnya Karang Kiamat yang percaya penuh
dengan Ilmu 'Karang' miliknya, hanya bisa tertawa sambil
mengejek, “Aduuh ... kenapa tubuhku seperti dipijit-pijit,
nih!”
Mendadak saja ...
Crass! Crass!

Dua bola mata Karang Kiamat langsung robek
mengucurkan darah segar!
“Aaakh ... mataku ... mataku ... huaghh ... !”
Lengking kesakitan terdengar dari mulut Karang
Kiamat. Namun sebagai murid tokoh silat kenamaan,
Karang Kiamat langsung mengesampingkan rasa sakit
sambil membentak keras, “Gadis sundal! Aku rencah
tubuhmu menjadi daging cincang!”
Mata Karang Kiamat yang bersimbah darah dan yang
pasti kegelapan akan menyapanya seumur hidup
membuat si pemuda berbaju hitam kalap. Sepasang
kepalan tangan semakin merah kehitaman disertai bau
amis menyengat hidung. Rupanya selain melatih Ilmu
'Karang', Karang Kiamat membubuhkan sejenis racun
ganas yang apabila mengerahkan tenaga dalam lebih
dari enam bagian, barulah racun yang berasal dari
sejenis ular karang bereaksi. Semakin besar hawa sakti
dikerahkan, semakin besar pula hawa racun keluar dari
kepalan tangannya!
Wussh! Wussh!
Crang! Criing!
Beda Kumala kalang kabut menghindari bogem
mentah maut yang dilancarkan Karang Kiamat dengan
membabi buta. Namun dengan tetap menggunakan jurus
‘Pedang Seribu Bayangan’ ia masih sanggup bertahan
dalam beberapa jurus di depan, bahkan beberapa kali
Karang Kiamat hampir saja kecolongan saat ia sedang
memaki-maki si gadis lawannya hingga membuat rongga
mulutnya terbuka dan itu dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya
oleh lawan.
“Mampus kau!” desis Beda Kumala.

Syutt! Wutt!
Pendengaran Karang Kiamat yang lumayan tajam
menangkap arah serangan lawan, lalu dengan manis ia
memiringkan kepala menghindari tusukan pedang sambil
tangan kirinya melakukan sodokan ke arah tengah dada
lawan lewat jurus 'Mengantar Nyawa Ke Hadapan Dewa'!
Buagh!!
Hawa pelindung Beda Kumala terkoyak hingga
pukulan berat Karang Kiamat masuk telak!
“Uuugh!!”
Si gadis terjajar beberapa langkah ke belakang.
Mukanya langsung merah padam.
“Setan! Pukulannya mengandung racun!” gumam
Beda Kumala sambil menekankan tangan kiri ke tengah
dada yang seperti dirambati semut api.
Belum lagi ia memperbaiki kedudukannya, Karang
Kiamat sudah menerjang maju, melancarkan ratusan
bayangan tinju mengarah pada tubuh Beda Kumala.
“Heeeaaa ... !”
Beda kumala meski dalam keadaan terluka cukup
parah, berusaha menggunakan jurus-jurus pedangnya
untuk menahan laju serangan dari Karang Kiamat.
Trang! Triing! Crring!
Suara dentingan beberapa terdengar nyaring.
“Apa kalian masih berpangku tangan saja?” bentak si
Pedang Dewa.
Bersamaan dengan selesainya bentakan, serangan
menggila Karang Kiamat terhadap anak gadis Perguruan

Sastra Kumala semakin menghebat, disusul pula dengan
Gelang Bintang, Trisula Kembar dan Tombak Sakti yang
masuk ke dalam kancah pertarungan membantu Karang
Kiamat menggempur Beda Kumala yang saat itu sedang
di bawah angin.
“Heeaa ... ! Ciaaatt ... !”
Tiga orang dari Istana Jagat Abadi mengarahkan
senjata masing-masing ke arah gadis cantik yang saat ini
sedang sungsang sumbel menghadapi serangan Karang
Kiamat. Akan halnya Pedang Dewa dan tiga orang
lainnya hanya tegak menonton.
“Dasar sial! Terpaksa aku mengerahkan kekuatan
sakti 'Air Panas Tenaga Surya'-ku yang belum
sempurna,” pikir gadis itu saat melihat empat orang
menekannya dengan rapat.
Gadis itu segera melenting keluar dari kepungan.
Setelah melayang turun di tanah, pedang langsung
ditancapkan ke tanah, lalu sepasang tangan diputar
pulang pergi di atas kepala dengan cepat.
Swoshh ... swoshh ... !
Terlihat kepulan asap berhawa panas seperti terik
matahari disertai semburan asap kuning tipis.
“Hiaatt ... !”
Diiringi teriakan melengking nyaring, Beda Kumala
menghentakkan hawa sakti dari 'Air Panas Tenaga
Surya' tingkat tiga ke arah empat yang mengerubutinya.
Wutt!
Mengetahui bahwa lawan menggunakan ilmu
kesaktian, empat orang Istana Jagat Abadi pun
melakukan hal yang sama.

Wutt! Wutt! Blarr! Jdlarrr!! Glarr ... !!
Terdengar suara dentuman keras saat mana kekuatan
sakti 'Air Panas Tenaga Surya' yang di lancarkan oleh
gadis berbaju hijau bentrok dengan hawa sakti milik
empat orang Istana Jagat Abadi.
Bruggh!
Tubuh Beda Kumala terhumbalang jatuh dengan luka
dalam yang semakin parah dengan adanya darah kental
hitam kemerahan tersembur keluar dari dalam mulut.
“Huaghh!!”
Sedang ke empat lawannya terjajar beberapa langkah
ke belakang dengan masing-masing mendekap dada.
Jelas sekali bahwa kekuatan sakti 'Air Panas Tenaga
Surya' tidak mampu menandingi gabungan empat hawa
sakti lawan.
“Ha-ha-ha! Rupanya benar apa katamu, Pedang
Dewa! Gadis ini tidak ada apa-apanya!” kata Karang
Kiamat dengan keras.
“Apa yang sebaiknya kita lakukan terhadap gadis ini,
kawan-kawan?” Tombak Sakti berkata.
“Bunuh saja untuk membungkam mulutnya!” kata
Trisula Kembar sambil mengurut dadanya yang merah
matang. “Buat apa repot-repot dibiarkan hidup!?”
“Jangan tergesa-gesa dibunuh! Kita nikmati dulu tubuh
indahnya bersama-sama! Betul tidak teman-teman!?”
ucap Gelang Bintang dengan mata nyalang merayapi
sekujur tubuh montok Beda Kumala yang terkapar di
tanah dengan napas satu-satu.
“Aku setuju! Tapi ... hitung-hitung sebagai penggantiku
mataku yang buta, akan kucongkel dulu biji matanya,
kemudian ... ”

“Kemudian biji matamu yang jelek itu bakal aku
pindahkan ke pantat!”
Sebuah suara terdengar dari belakang.
Belum sempat Karang Kiamat membalikkan badan,
sebuah tepukan lembut mendarat di belakang kepala.
Plakk!
Meski hanya tepukan pelan, namun akibatnya
sungguh luar biasa. Sepasang mata Karang Kiamat yang
sudah terluka akibat sabetan pedang, meloncat keluar
dengan sendirinya, seperti ada tangan gaib yang
mencongkel paksa supaya keluar dari dalam rongga
mata.
“Huaghh! Mataku ... mataku!!” teriak Karang Kiamat
sambil bergulingan di tanah dengan dua tangan
mendekap ke arah rongga matanya yang kini berlubang
mengerikan.
Tujuh orang Istana Jagat Abadi terlongong bengong
melihat salah satu saudaranya mengalami luka
mengerikan. Namun keterpanaan mereka hanya sekejap
saja saat melihat sekelebatan bayangan biru menyambar
sosok setengah pingsan Beda Kumala dan di bawa lari
ke arah selatan.
Blass ... !
Yang pertama kali tersadar adalah Gelang Bintang.
“Oooi ... jangan lari!” teriaknya sambil berusaha
mengejar sosok bayangan biru.
“Jangan dikejar! Kita bantu dulu Karang Kiamat!”
cegah Pedang Dewa sambil menotok pingsan Karang
Kiamat.

“Siapa dia? Gerakannya cepat sekali!” kata Trisula
Kembar sedikit gentar.
Mata Pedang Dewa mengitari ke sekelilingnya, tidak
didapatinya pemuda buta yang tadi duduk di atas batu.
“Pasti si buta yang menyelamatkan si gadis sundal
keparat itu!” kata geram Pedang Dewa.
Si Pedang Dewa geram karena memang gerakan si
pemuda buta yang tidak diketahui namanya itu begitu
cepat bagai kilat. Namun ia juga bergidik ngeri saat
membayangkan bahwa hanya dengan satu tepukan saja
sanggup membuat Karang Kiamat langsung tumbang
secepat itu.
“Lebih baik, kita kembali ke istana! Trisula Kembar,
gotong Karang Kiamat!”
Si Trisula Kembar yang memiliki tubuh tinggi besar,
langsung mengangkat tubuh pingsan temannya, lalu
diletakkan di pundak seperti meletakkan karung basah
saja.
--o0o--
Jalu Samudra memang sedari awal hanya duduk
manis saja menonton pertarungan antara Beda Kumala
dengan Karang Kiamat yang kemudian dibantu oleh tiga
temannya. Semula ia memang berniat membantu si
gadis. Tetapi karena ia sendiri belum mengenal si gadis,
hingga membuatnya ragu-ragu untuk membantu.
Terlebih lagi bahwa si gadis baru saja kehilangan
kekasihnya akibat perbuatan orang-orang yang diketahui
dari Istana Jagat Abadi, membuat gadis itu membutuhkan
penyaluran kemarahan. Dan satu-satunya yang bisa
meredakan hawa amarah hanyalah membiarkan gadis itu
mengumbar seluruh kemarahan dalam sebuah
pertarungan.

Tubuh pemuda itu berkelebatan di antara rimbunnya
pepohonan sambil memanggul tubuh mungil Beda
Kumala yang sedang setengah pingsan. Kelebatan angin
yang menampar-nampar, membuat gadis itu sedikit
tersadar dari kondisi pingsan.
“Tolong ... bawa ... ke perguruan ... ku ... ” kata lirih
gadis itu dekat telinga kiri Jalu. “Di arah ... sela ... tan ... ”
Begitu kata ‘selatan’ terucap, gadis itu benar-benar
pingsan!
“Lukanya cukup parah! Jika tidak segera diobati,
nyawanya bisa benar-benar melayang! Aku harus
berlomba dengan waktu,” batin Jalu Samudra sambil
mengempos jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’. Dalam tempo
sepeminuman teh, pemuda itu melihat sebuah setitik
bentuk sebuah bangunan dari arah kejauhan.
“Hemm, mungkin rumah besar itu yang dimaksud
gadis ini sebagai perguruannya,” pikirnya.
Belum lagi murid tunggal Si Dewa Pengemis
meneruskan arah pelarian, Jalu Samudra harus jungkir
balik menghindari sergapan anak panah yang mengarah
ke tubuhnya.
Serr! Serr! Jlebb!
“Hupp!”
Sambil jungkir balik menghindari serangan anak panah
yang lewat di bawah kaki terus meluncur cepat dan
akhirnya menancap pada pohon di seberang sana.
Dalam waktu yang hampir bersamaan tangan kanan Jalu
mengibas dari belakang ke depan.
Wutt! Wuss!
Serangkum hawa padat menggebah maju, mengarah
pada rerimbunan batang-batang bambu hijau di sisi

sebelah barat, tempat dari mana luncuran anak panah
berasal.
Brash! Brakk!
BAGIAN 4
Bersamaan dengan tubuh Jalu yang melayang turun di
tanah sejarak lima tombak, dari rerimbunan batang
bambu melesat keluar dua sosok bayangan hijau
meninggalkan rerimbunan batang bambu hijau yang
porak poranda seperti dihantam angin puyuh. Dua sosok
bayangan hijau selain menghindari lontaran pukulan
jarak jauh yang dilancarkan Jalu, juga mempunyai
maksud tertentu sehingga berdiri menghadang di depan.
Wutt! Wutt!
Jleg!
Dua sosok yang menghadang ternyata adalah dua
gadis yang memiliki kecantikan setara. Yang sebelah kiri
berambut panjang tergerai tanpa ikat kepala hingga
rambut hitam panjang tersibak kesana kemari mengikuti
tiupan angin. Belum lagi dengan sepasang mata yang
lebar hingga terkesan galak membuat gadis cantik yang
saat ini sedang merentang tali busur semakin cantik
mempesona. Apalagi dengan sebuah tahi lalat di pipi kiri
justru menambah kecantikannya. Kuning langsatnya kulit
sangat kontras dengan baju hijau yang dipakai pada
tubuh tinggi semampai tersebut.
Akan halnya gadis sebelah kanan berkulit putih bersih
dengan rambut diikat pita hijau di kiri kanan, terlihat lebih
tenang sarat keanggunan. Sepasang mata indahnya
berbinar-binar dengan bulu mata lentik ditingkahi
sebentuk hidung mancung terukir di atas bibir. Di tangan

kirinya juga tergenggam busur, meski dalam keadaan
tidak siaga seperti temannya.
Yang jelas, dua gadis cantik bertinggi badan hampir
setara mengenakan pakaian hijau sama persis dengan
yang dikenakan oleh Beda Kumala, gadis yang berada
dalam panggulan Jalu Samudra.
Gadis sebelah kiri yang merentangkan anak panah
berkata dalam bentakan, “Lepaskan dia!”
“Kalian kenal dengannya?” balik tanya Jalu.
“Kenal atau tidak, itu bukan urusanmu!” kata ketus
gadis yang kiri.
“Kalau begitu ... aku tidak akan melepaskan dia,” kata
Jalu sambil menyunggingkan senyum, pikirnya, “Cantikcantik
kok galak amat, ntar ngga dapat jodoh baru tahu
rasa kau!”
“Dia ... teman kami,” kata lembut gadis sebelah kanan.
“Tolong lepaskan, Beda ... ”
“Beda? Siapa yang beda?” potong Jalu dengan heran.
“Maksudku, gadis yang kau panggul itu bernama Beda
Kumala, sobat,” terang gadis sebelah kanan.
“Ooo ... namanya Beda Kumala ... kukira ... ”
“Kau kira apa!?” bentak gadis sebelah kiri, “Cepat
lepaskan teman kami atau tubuhmu bakal aku hiasi
dengan anak panahku ini!”
“Waduh, jangan dong!” sahut Jalu dengan cengarcengir,
lalu sambungnya. “Apa kalian berdua ini teman
gadis yang sedang terluka dalam ini?”
“Pemuda bego, apa matamu buta hingga kau tidak
bisa melihat kami berdiri menghadang di depanmu?”
bentak yang kiri dengan ketus.

“Gadis ini galak bener,” pikir Jalu, lalu ia berkata
dengan tenang, “Maaf, aku memang buta sejak kecil, jadi
tidak bisa membedakan kalian berdua teman gadis yang
kutolong ini atau bukan?”
Gadis sebelah kiri menjungkitkan alis, matanya
berusaha memastikan apa benar kata pemuda berbaju
biru di hadapannya.
“Hemm ... matanya putih ... pasti benar ia pemuda
buta,” gumam yang merentang busur, lalu dengan sedikit
menggeser tubuh mendekati temannya, ia berbisik,
“Bagaimana Ratih? Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa perlu kita rebut dengan kekerasan? Aku yakin
lesatan anak panahku pasti tepat sasaran.”
“Jangan! Kukira pemuda buta ini tidak jahat. Buktinya
ia mau menolong Beda Kumala hingga sampai ke tempat
ini,” bisik gadis sebelah kanan yang ternyata bernama
Ratih.
“Lalu sebaiknya bagaimana? Beda Kumala pasti
sedang terluka dalam hingga terkulai pingsan seperti itu.”
“Kau tenang saja. Biar aku saja yang tangani.”
Ratih maju tiga langkah ke depan.
“Maaf ... kami berdua tidak tahu kalau ... ”
“Maaf diterima. Tidak masalah bagiku,” potong Jalu
dengan agung-agungan. “Tapi yang jadi masalah,
semakin lama aku ditahan disini, semakin cepat nyawa
teman kalian pergi dari raganya. Dia keracunan!”
“Keracunan?”
“Benar.”
“Kalau begitu, cepat berikan Beda Kumala padaku,
sobat.” kata gadis sebelah kiri, setelah mengetahui

nyawa Beda Kumala berada di ujung tanduk akibat
terkena racun.
Karena Jalu memang berniat mengerjai gadis galak
itu, ia melanjutkan aksi jahilnya.
“Eit, tunggu dulu! Aku tidak bisa percaya begitu saja
dengan kalian berdua, maksudku ... kalau kalian memang
satu perguruan dengan gadis ini dan memang benarbenar
saudara seperguruannya.”
“Bukankah baju kami sama persis dengan baju gadis
yang kau panggul itu?” kata gadis sebelah kiri sedikit
kesal.
“Tinara, dia kan buta. Bagaimana bisa melihat baju
kita berdua?” sela Ratih.
Seakan baru menyadarinya, gadis galak yang
bernama Tinara menepak dahinya.
“Iya juga!” katanya. “Duh, gimana nih?”
Ratih sendiri hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu
harus berbuat apa. Sejenak Ratih dan Tinara terdiam.
Bingung dengan apa yang harus dikerjakan oleh mereka.
Di satu sisi teman mereka berada di ambang maut, di sisi
lain juga bingung menghadapi kenyataan bahwa pemuda
buta yang menolong temannya membutuhkan
pembuktian bahwa mereka berdua benar-benar teman si
gadis.
Dalam hati, Jalu tertawa ngakak.
“Rasain kalian berdua! Bingung nggak, tuh! Sekarang
saatnya rencana kedua,” kata hatinya.
Sambil mengalirkan hawa murni ke dalam raga
pingsan Beda Kumala untuk mencegah menjalarnya
racun lebih dalam lagi, pemuda yang berjuluk Si

Pemanah Gadis berkata, “Aku punya satu cara untuk
membuktikan kalian satu perguruan atau tidak.”
“Bagaimana caranya?”
“Biarkan aku meraba tubuh kalian.”
“Apa!?” kata kaget Tinara dan Ratih hampir
bersamaan.
“Aduh ... salah ngomong lagi, pikirannya jorok terus,
sih ... ” pikirnya, lalu Jalu meralat perkataannya,
“Maksudku ... biar aku meraba baju yang kalian pakai.”
“Kenapa harus meraba baju kami berdua?” tanya
heran Ratih.
“Lho, katanya kalian satu perguruan!? Biasanya dalam
satu perguruan kan punya lambang perguruan atau baju
yang bahannya sama jenis. Jadi itu saja sebagai
patokannya. Gampang khan?” sahut Jalu dengan
diplomatis.
Ratih dan Tinara saling pandang satu sama lain.
“Ayolah ... waktunya tidak banyak lagi!” kata Jalu
dengan nada mendesak, lalu dengan sedikit membual ia
pun berkata, “Jika kalian tidak mau, biar aku bawa saja
ke tabib kenalanku. Tapi aku tidak menjamin
keselamatan temanmu yang bernama Beda Kumala ini,
karena perjalanan bisa sampai sesorean.”
“Bagaimana, Ratih?” kata Tinara setelah mendengar
bualan si Jalu.
Sambil menghela napas, Ratih pun mengambil
keputusan.
“Apa boleh buat! Hanya itu caranya untuk membuat
pemuda buta itu percaya pada kita.”
“Apa tidak ada cara lain?” kata Tinara.

“Apa kau punya ide lain, Tinara?”
Tinara hanya menggeleng pelan sambil berkata pelan,
“Jadi memang hanya itu satu-satunya cara?”
Ratih mengangguk pasti. Gadis berkuncir dua itu tahu,
bahwa meski orang buta tidak bisa melihat, tapi
perasaannya lebih halus dan tajam daripada orang
normal, terlebih lagi punya telinga super tajam.
Buktinya pemuda buta di depannya sanggup
menghindari panah yang lepas dari busur mereka!
“Kau boleh meraba baju kami,” kata Ratih pada
akhirnya.
Keduanya segera maju mendekat, sejarak satu
jangkauan dengan Jalu Samudra berdiri.
Tentu saja pemuda berbaju biru itu bisa melihat
dengan jelas dua sosok ramping gadis jelita yang ada di
depan matanya.
“Tapi ingat, tidak boleh main-main!” ancam Tinara.
“Main-main bagaimana maksudmu?” tanya Jalu.
“Ya ... pokoknya tidak boleh main-main,” tukas Tinara,
“Bodoh benar kau jadi orang?”
“Kalau salah pegang bagaimana?” tanya Jalu seolah
bisa menebak ke arah mana pembicaraan gadis galak
itu.
“Tanganmu bakal pisah dari badanmu!” kata Tinara
sengit.
“Lho, aku kan buta, jadi untuk memegang suatu benda
memang harus meraba-raba,” bela Jalu.
“Kau?”
Jalu hanya menjungkitkan alis.

“Baiklah,” dengus Tinara kesal pada akhirnya.
Jalu menjalankan aksi jahilnya dengan pura-pura
memegang lengan baju Beda Kumala, lalu meremasremas
sebentar seperti merasakan tebal tipisnya kain.
“Lambang perguruan di sebelah mana?” tanyanya
setelah meraba-raba bagian pundak dan lengan Beda
Kumala.
“Di dada sebelah kiri,” jawab Ratih tenang. “Agak ke
atas.”
Setelah meraba sana sini, akhirnya Jalu berhasil
menemukan apa yang di carinya.
“Dadanya lumayan besar dan keras, meski kalah kelas
dengan istriku, hi-hi-hik,” pikirnya nakal setelah tadi
tangan kanannya ‘bermain’ di sekitar dada Beda Kumala.
“Sekarang giliran kalian.”
Ratih yang berada di sebelah kiri hanya diam saja saat
tangan kanan Jalu menyentuh lengan, kemudian
meremas-remas sebentar kain bagian lengan seperti
halnya ia meremas lengan baju Beda Kumala.
“Emm ... jenis kainnya hampir sama,” kata Jalu.
“Lambangnya di dada sebelah kiri, ya?”
Tanpa sadar, Ratih mengangguk pelan.
Dengan menelusuri sepanjang lengan kiri, tangan
kanan Jalu bergerak pelan ke atas hingga mendekati
bagian pundak. Begitu sampai disana, telapak tangan
Jalu bergeser ke kanan kiri seakan mencari-cari sesuatu
di atas gundukan kencang yang berada dibalik baju
Ratih. Namun anehnya, pemuda itu hanya meraba-raba
pulang balik di atas buah dada Ratih, seakan benda yang
dicarinya memang tidak berada di sana atau memang
sulit dicari keberadaannya.

“Duh ... lambangnya dimana sih? Susah amat
carinya,” gerutu Jalu, padahal dalam hati ia senang tiada
tara, “Wah ... dadanya masih kencang dan keras. Meski
ukurannya tidak sebesar milik Beda Kumala.”
Dengan muka merah padam karena malu, tangan
kanan Ratih memegang tangan Jalu, lalu meletakkan
tepat di lambang Perguruan Sastra Kumala miliknya.
Plekk!
“Letaknya disini,” kata lirih Ratih.
Suara Ratih terdengar lirih, atau lebih tepatnya sedikit
mendesis.
Meski cara Jalu meraba asal-asalan saja, tapi
bagaimana pun juga ia seorang gadis yang belum pernah
disentuh laki-laki yang tentu saja sentuhan tangan Jalu di
atas dada sekalnya sebelah kiri menimbulkan desirandesiran
halus yang secara tidak sengaja membangkitkan
kobaran api ragawi yang ada di dalam tubuh gadis itu.
Dadanya berdebar-debar dengan kencang, bahkan
degupannya makin kencang saat ia meraih tangan si
pemuda buta dan meletakkannya secara langsung di
atas dada kiri tepat dimana lambang perguruan yang
dicari Si Pemanah Gadis.
Sett!
Seakan tanpa sengaja pula, Ratih sedikit menekan
tangan nakal si Jalu!
“Ooo ... disini rupanya,” kata Jalu dengan enteng,
setelah memegang-megang sebentar, “Lambang ini
sama persis. Kalau begitu kau benar temannya.”
Si Pemanah Gadis mengangkat tangannya dari atas
dada sekal milik Ratih.

“Sekarang giliranmu,” kata Jalu sambil menuding ke
sisi kosong di kiri Ratih.
Memang disengaja sih!?
“Dia di sisi kananku,” kata Ratih semakin lirih.
“Ooo ... aku salah tunjuk kalau begitu,” kata Jalu malumalu.
Baru saja ia berniat mengulurkan tangan, Tinara
berkata, “Bukankah tadi kau sudah membuktikan kalau
temanku Ratih memiliki jenis kain dan lambang yang
sama persis dengan milik Beda Kumala, jadi otomatis
aku pun pasti memiliki jenis kain dan lambang yang sama
pula, bukan?”
“Hemm, gadis ini cerdas juga,” pikir Jalu, tapi mulutnya
berkata lain, “Belum tentu juga! Bisa saja itu hanya
alasanmu untuk mengelabui diriku!”
“Sudahlah, Tinara! Waktu kita tidak banyak,” kata
pelan Ratih, karena ia berusaha menenangkan debaran
dadanya.
“Bagaimana? Diteruskan tidak?” tanya Jalu.
“Terserah kau sajalah,” sahut Tinara sambil
mengangsurkan tangan kanan dengan maksud agar si
pemuda langsung menyentuh kain bajunya sehingga
tidak meraba-raba seperti apa yang dilakukan pada
Ratih. Namun, gerakan tangan menjulur Tinara
bersamaan dengan gerakan Jalu mengarah ke dada
montok sebelah kiri milik Tinara.
Plekk!
Tangan kanan Jalu tepat mendarat di dada montok
Tinara!

Bukan hanya menyentuh, tapi telapak tangan Jalu
sedikit menekuk membentuk mangkuk hingga
menangkupi penuh di atas dada Tinara disertai dengan
sedikit remasan lembut.
“Kau!?”
Hampir sama Tinara menampar jika tangan kanannya
tidak dipegangi oleh Ratih.
“Ingat, nyawa adikmu ada di tangannya,” bisik Ratih.
Mendengar hal itu, Tinara mendengus kesal meski
selebar wajah cantiknya merah padam karena malu.
Sedang Jalu sendiri dengan lagak seperti orang buta,
menjelajah kemana-mana dengan bebas. Tentu saja
pemuda itu bisa melihat bagaimana tangan gadis galak
itu hampir menampar tangannya, namun ditahan oleh
Ratih.
“Huh, mau main-main denganku?” kata hati Jalu.
Dengan masih meraba-raba di atas dada kiri Tinara,
Jalu Samudra menggunakan hawa lembut yang
disalurkan lewat syaraf-syaraf jari hingga menerobos
masuk ke dalam tubuh Tinara tanpa disadari oleh yang
bersangkutan.
Serrr ... !
Api birahi langsung berkobar dahsyat di dalam diri
Tinara hingga membuat napas gadis cantik berbaju hijau
sedikit memburu disertai keringat halus dingin keluar dari
dahi. Tinara kelihatan agak gelisah terlihat dengan cara
berdirinya yang tidak tenang. Bahkan badannya terlihat
sedikit menggeliat dan dari mulutnya terdengar desahan
setiap kali tangan Jalu menggeser-geser halus seperti
menyentuh dan memijit lembut dadanya.

Belum lagi dengan debaran jantung yang mengencang
bagai tambur yang dipukul bertalu-talu. Meski gadis
cantik itu pernah disentuh bahkan bercinta dengan lakilaki,
tapi selama hidupnya belum pernah ia merasakan
nikmat yang seperti dirasakan sekarang ini. Rasa nikmat
terus menjalar ke seluruh tubuh, hingga syaraf-syaraf
halus dalam tubuh bergetar nikmat. Bahkan matanya
sedikit sayu menikmati kenakalan yang dihadirkan oleh
Jalu Samudra.
“Edan! Meski cuma meraba-raba saja, aku bisa
merasakan kenikmatan tiada tara,” kata hati Tinara. “Baru
kali ini aku seperti hal seperti ini!”
“Hemm, dadanya lumayan padat dan kencang, kukira
ukurannya tidak jauh beda dengan milik temannya yang
bernama Ratih itu,” pikir Jalu dalam hati, diluarnya ia
berucap, “Lambangnya sebelah mana, dari tadi kucari
tidak ketemu?”
Seperti halnya Ratih, Tinara segera meraih tangan
Jalu yang masih bergerilya kemana-mana sambil berkata
dalam desah, “Disini ... ”
Sett!
Tanpa malu-malu lagi, Tinara justru menekan tangan
Jalu agar tetap melekat di ‘masa depan’-nya yang
membusung kencang!
Setelah memegang-megang sebentar seolah
memastikan lambang perguruan, barulah Jalu berkata,
“Lambangmu sama persis dengan milik temanmu dan
Beda Kumala. Aku baru percaya sekarang bahwa kalian
bertiga adalah teman satu perguruan.”
Jalu berkata sambil mengangkat tangannya dari atas
dada montok Tinara.

Saat diangkat, Jalu merasakan bahwa Tinara seakan
tidak rela jika tangannya dilepas dari atas dadanya.
Meski tidak terlalu kelihatan, namun Ratih melihat
bahwa Tinara begitu menikmati tangan jahil pemuda buta
itu.
“Silahkan kalian bawa teman kalian,” kata Jalu sambil
mengangkat turun tubuh pingsan, dipondong dan sedikit
diangsurkan ke depan, entah kepada Ratih atau Tinara.
Seperti satu hati, Ratih dengan sigap menerima tubuh
pingsan Beda Kumala, dan diletakkan di pundak kanan.
“Tinara, aku harus secepatnya kembali ke perguruan
untuk mengobati luka Beda, dan tolong kau bawakan
busur panahku,” kata Ratih sambil menyerahkan busur
panahnya pada Tinara dan dibalas dengan anggukan
lemah sambil menerima busur milik Ratih. Tanpa
menunggu jawaban dari mulut kawannya, Ratih segera
melesat menggunakan jurus peringan tubuhnya, beradu
cepat dengan waktu yang semakin sempit.
Blassh!
Tubuh gadis berbaju hijau langsung melesat cepat
seperti anak panah lepas dari busur hingga membentuk
sekelebatan bayangan hijau yang sebentar saja sudah
membentuk setitik kecil hijau di kejauhan.
“Nah, karena kawan kalian sudah aku serahkan,
sekarang aku mohon pamit,” ucap Jalu sambil berjalan ke
arah berlawanan, tentu saja tongkat kayu hitamnya
langsung berperan sebagai penunjuk jalan bagi orang
buta. Kalau ia langsung ngeblas begitu saja, tentu
bakalan ketahuan kalau tadi ia hanya membohongi dua
gadis dari Perguruan Sastra Kumala itu.

Sudah meraba-raba dada montok dua orang gadis
sekaligus, sekarang mau ngacir begitu saja?
Benar-benar pemuda berotak kancil!
Baru berjalan tiga langkah di muka, Tinara berkata
pelan, “Kau harus ikut denganku.”
“Lho, memangnya kenapa?” tanya Jalu sambil
menghentikan langkah.
“Kau harus mempertanggungjawabkan kenakalan
tanganmu!” ujar Tinara dengan sedikit ditekan.
“Wahh ... tanggung jawab bagaimana?”
“Pokoknya kau harus tanggung jawab. Titik!”
“Apa itu harus?”
“Harus dan wajib kau ikuti!”
“Bagaimana jika ... aku tidak mau!?”
“Maka anak panahku akan menembus batok
kepalamu!”
“Jadi ... mau tidak mau aku harus ikut denganmu.”
Jawaban yang diberikan Tinara adalah ... langsung
merentang busur lengkap dengan anak panahnya!
Dengan muka senyum tak senyum, Jalu pun harus
pasrah dengan keinginan gadis galak itu.
BERSAMBUNG