Hujan Darah Ditanah Bambu Bag. 03


“Sama, ‘kan?” kata si gadis setelah si Jalu terdiam beberapa saat. Tiba-tiba ia
menyadari sesuatu. “Bego benar aku ini! Dia kan buta, mana bisa melihat?”
Meski agak malu, gadis cantik yang mengaku bernama Trihasta berjalan
mendekati Jalu Samudra yang tetap memandang tanpa kedip dengan mata
putihnya. Kedua tangannya sudah tidak lagi menutupi bongkahan padat
menantang dengan ujung-ujung berwarna merah segar.
“Kalau begini bagaimana?” katanya dibuat berat seperti suara Trihasta yang
biasa di dengar Jalu.
“Aku percaya.”
“Kau benar-benar percaya?”
Jalu mengangguk.
“Lebih baik kau berpakaian dulu,” kata Jalu beranjak pergi dengan tetap
mengetukkan tongkat hitam, suatu kebiasaan yang tidak pernah lepas dari
tangannya dan duduk di kursi dekat ranjang dengan degup jantung yang sangat
cepat.
Sesaat kemudian terdengar langkah Trihasta Prasaja keluar dari kamar
mandi. Gadis itu menutupi sebagian tubuhnya dengan selembar kain pendek,
hingga bagian pahanya dengan jelas terlihat begitu indah.
Sementara itu si Pemanah Gadis terus memandangi tubuh Trihasta Prasaja,
memandangi paha mulus yang tertutup sekedarnya, jika saja gadis yang
menyamar ini agak membungkuk pasti pantatnya akan terlihat cukup jelas. Si
Pemanah Gadis terus menikmati pemandangan indah itu, rangsangannya begitu
kuat sehingga terasa sekali bagian bawah perutnya terasa menegang.
Jika saja tidak ditahan, pasti malu-maluin dech!
“Maaf tadi ... tadi nggak sengaja,” kata Jalu pelan.

“Iya ... udah ... nggak apa-apa ... “ sahut Trihasta Prasaja dengan suara merdu
sambil berdiri di depan Jalu Samudra. “Toh kau buta, jadi tidak bisa melihat
tubuhku. Tapi kau harus berjanji, tidak akan mengatakan kejadian ini pada
siapapun!”
“Iya deh ... iya ... “
“Jalu! Ada perlu apa kau mencariku?” kata lembut Trihasta Prasaja.
“Di bawah kapal ada ... “
Belum lagi suara Jalu terucap sepenuhnya, tiba-tiba saja terdengar suara
keras.
Brakk! Brakk ... !
“Celaka!” seru Jalu Samudra. “Kawanan itu sudah mengamuk.”
“Kawanan apa?”
Kembali terdengar suara keras berderaknya kayu. Namun belum lagi Jalu
Samudra beranjak dari duduknya dan Trihasta Prasaja bertanya lebih lanjut apa
yang terjadi, tiba-tiba ...
Brakkk ... ! Brakkk ... ! Brakkk ... !
Rupanya, kawanan Ikan Gajah Putih menjadi liar saat mendengar suara-suara
sorak-sorai penumpang kapal Surya Silam bahkan ada diantaranya yang
melempari berbagai jenis makanan ke laut. Seekor Ikan Gajah Putih yang
berukuran lebih kecil, melesat cepat dari bawah air dan membenturkan
moncongnya ke lambung kapal.
Brakk!
Beberapa orang terjatuh ke dalam air dan tanpa sempat menyelamatkan diri
lagi, mereka yang terjatuh ke laut dalam waktu kurang dari satu kedip telah
menjadi penghuni perut kawanan Ikan Gajah Putih.
Mungkin besok pagi sudah jadi kotoran ikan!
Brakk! Brakk!
Beberapa ekor ikan putih raksasa berebutan menghantamkan moncong ke
lambung kapal Surya Silam, hingga dalam waktu tidak kurang dari tiga puluh
detik, kapal Surya Silam pun karam!
Blubb! Blubb!
Kapal tenggelam begitu cepat.
Bahkan si Pemanah Gadis sendiri yang entah bagaimana, tahu-tahu sudah
berada di dalam air. Begitu menyentuh dinginnya air, Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’
kembali menunjukkan kelasnya.
“Dimana gadis itu?” gumam Jalu Samudra. Kepala mengedar, lalu menangkap
sesosok tubuh sedang sibuk mengikat kain yang melilit tubuhnya. “Itu dia!”

Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga berenang ke
arah gadis yang bernama Trihasta Prasaja, lalu mendekap erat tubuh si gadis.
Krepp!
Trihasta Prasaja tentu saja kaget, namun melihat siapa yang telah
mendekapnya, dia hanya memandang penuh terima kasih.
“Atur napasmu,” kata Jalu Samudra dalam air.
Si gadis mengangguk sambil menjungkitkan alis keheranan, pikirnya, “Gila!
Dalam air pun ia bisa berbicara seperti biasa! Kesaktian macam apa yang dimiliki
si buta ganteng ini?”
Beberapa orang pesilat yang memiliki tenaga dalam cukup tinggi, masih bisa
bertahan di dalam air. Namun, sergapan ganas dari kawanan Ikan Gajah Putih
membuat mereka salang-tunjang tak karuan. Bagaimana pun juga, penguasa
laut ini merupakan biangnya mahkluk buas penghuni laut. Gerakan mereka gesit
meski tubuhnya besar luar biasa.
Crakk! Crakk!
Cukup dengan membuka mulut saja, lima orang langsung tertelan sekaligus
dan dengan gigi-gigi tajam sebesar batang kelapa, langsung mengunyah
‘makanan gratis’ yang ada.
Dia kejauhan, sejarak tujuh tombak terlihat satu bola cahaya warna hijau
pupus membungkus sosok tubuh seseorang. Beberapa Ikan Gajah Putih
berusaha menelan bola cahaya hijau, namun dengan gesit pula, bola cahaya
hijau berhasil menghindar sambil melontarkan poukulan-pukulan mematikan ke
arah kawanan Ikan Gajah Putih.
Blamm! Blamm!
Meski tidak membuat matinya ikan, namun cukup menyakitkan juga dan pada
akhirnya kawanan ikan meninggalkan bola cahaya hijau pupus, mengarahkan
pada buruan lain yang paling gampang.
Jalu sendiri belum pernah melihat ilmu kesaktian seperti itu, namun setidaknya
ia bisa menduga siapa orang yang berada di dalam bola cahaya hijau pupus.
Siapa lagi jika bukan Adiprana, murid Naga Terkutuk Dari Neraka!?
Seekor Ikan Gajah Putih berukuran sedang menerjang dengan mulut terbuka
lebar siap mencaplok tubuh Jalu dan Trihasta sekaligus.
Srattt!
Dengan sigap, Jalu melesat ke atas menghindar. Namun, sosok Ikan Gajah
Putih ternyata berlaku cerdik. Mangsa pertama lolos, sosok lain telah menerjang
dari belakang.
“Weeee ... ikan kurang ajar! Beraninya main keroyokan!?” seru Jalu sambil
berkelebat kesana-kemari sambil mendekap erat Trihasta Prasaja.
Namun pada sergapan yang kesekian kali, dekapannya pada Trihasta
terlepas, yang terpegang cuma selembar kain yang tadi dipakai si gadis.

Lepas dari perlindungan Jalu Samudra membuat Trihasta Prasaja yang kini
telanjang bulat menjadi kelimpungan. Tidak ada waktu untuk malu, yang ada
dalam otaknya hanya menyelamatkan selembar nyawanya. Namun ...
Crasss!
Secepat-cepatnya Trihasta bergerak dalam air, toh tetap kalah cepat dengan
sambaran ikan raksasa ini.
Tak pelak lagi, dada kiri yang membusung tersayat sirip ikan! (Aduuh ... emaneman
rek ... !!)
Seketika, gadis yang mengaku bernama Trihasta Prasaja segera merasakan
sakit yang merejam di dada kirinya. Darah merah tersembur keluar, dan praktis
saja air langsung masuk ke dalam paru-paru karena tanpa sadar tatkala Trihasta
menjerit kesakitan.
Akan tetapi belum lagi rasa sakitnya bisa diatasi, dari bawah kaki si gadis,
kembali menerjang cepat ikan putih raksasa dengan mulut terbuka lebar ke arah
sepasang kaki si gadis.
--o0o—
BAGIAN 22
Crakkk!
Karena dua kakinya bergerak terus, kaki kiri selamat tapi kaki kanan Trihasta
Prasaja langsung putus!
Kembali Trihasta menjerit kesakitan, namun yang keluar justru suara seperti
orang tercekik disertai gelembung-gelembung udara keluar dari mulut.
Pertahanannya jebol sudah!
Trihasta jatuh pingsan di dalam air!
Jalu yang sedang sibuk dan mendengar ’jerit kesakitan’ dari Trihasta Pasaja
segera bergerak menghindar cepat.
“Kalian memang tidak bisa diberi hati!” bentaknya sambil mengerahkan tingkat
pertama dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ sehingga tangan kiri
memancarkan sinar biru kusam sedang tangan kanan bersinar hitam cemerlang.
Lalu dengan sigap tangan kanan-kiri mengibas ke belakang!
Wutt! Wutt ... !
Dua bentuk hawa naga warna biru kusam menerjang ke arah kawanan Ikan
Gajah Putih yang ada di belakang sedang hawa naga yang berwarna hitam
cemerlang menerjang ke arah Ikan Gajah Putih yang menyerang Trihasta
Prasaja.
Blamm! Blamm ... !!

Jurus ‘Naga Sakti Menggoyang Ekor (Shen Long Bai Wei)’ dari Ilmu ‘18 Jurus
Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ yang digunakan si Pemanah
Gadis memang tidak sedahsyat jika dilakukan di atas permukaan tanah, namun
efek daya ledak yang menggelora tetap menjadi daya hancur tersendiri.
Empat ekor Ikan Gajah Putih langsung hancur berantakan terkena sambaran
hawa dahsyat dari jurus ‘Naga Sakti Menggoyang Ekor (Shen Long Bai Wei)’
bahkan yang menyerang Trihasta Prasaja luluh-lantak kecuali bagian mulutnya.
Jalu segera berkelebat cepat lalu menyambar tubuh pingsan si gadis.
Tappp!
“Kakinya hilang satu!” kata Jalu kaget.
Matanya bergerak memandang ke sekeliling.
Sesaat matanya terpaku pada sosok kepala ikan yang melayang-layang tanpa
badan lagi.
“Rupanya dia yang gigit. Brengsek! Sempat-sempatnya ikan kampret ini
memilih gadis cantik di saat begini!” gumam Jalu sambil berenang mendekat.
Diambilnya potongan kaki milik Trihasta Prasaja.
Di ujung sana, masih terlihat empat ekor Ikan Gajah Putih yang berpesta pora
daging teman-temannya yang hancur akibat pukulan maut si Pemanah Gadis,
namun Jalu tidak melihat satu sosok pun manusia yang bisa diselamatkan.
Baru kali ini murid Dewa Pengemis menyadari satu hal.
Bagaimana pun juga ia juga manusia biasa yang memiliki keterbatasan.
Sehebat-hebatnya dia, tetap juga tidak bisa mendahului kehendak Sang
Penguasa Jagad.
Kali ini Jalu Samudra mengakui keunggulan mahkluk penghuni laut!
Jalu segera berenang ke permukaan air sambil membopong Trihasta Prasaja
termasuk potongan kaki si gadis.
Sejenak matanya mengedar. Seulas senyum kecil terhias saat sejarak lima
tombak di depan melihat potongan papan yang lumayan lebar. Kesanalah ia
berenang dengan ’barang bawaannya’.
“Hemm ... kukira papan ini cukup lebar dan kokoh,” gumamnya sambil
meletakkan sosok pingsan Trihasta Prasaja yang telanjang bulat. Diperiksanya
luka si gadis, “Gila! Dadanya ampe terbelah lebar begini! Benar-benar ikan
kurang ajar!”
Jalu segera duduk bersila sambil mengerahkan jurus pertama dari Ilmu ‘Tapak
Sembilan’ yang bernama ‘Sambung Nyawa’ untuk mengobati luka robek yang
diderita Trihasta Prasaja. Saat dua tangannya memancarkan sinar ungu
transparan segera saja mengusap-usap lembut dada yang robek besar.
Srett!

Dua kali usapan, luka menganga di dada kiri Trihasta Prasaja langsung sirna.
Namun dasar jahil, Jalu justru keenakan mengusap-usap dada membusung si
gadis yang sudah kembali normal.
Tangan kirinya mengambil potongan kaki kanan dan diletakkan dekat paha si
gadis. Kali ini, si Pemanah Gadis mengerahkan jurus ‘Sambung Tulang dan
Nadi’ untuk menyambung kembali tulang dan urat-urat yang terputus.
--o0o--
“Uhhh ... dimana aku ini?” desis seorang gadis saat terbangun dari
pingsannya.
Tiba-tiba saja ...
“Aaaahhh ... kakiku ... kakiku .... !”
Tanpa sebab yang jelas, gadis itu berteriak-teriak seperti orang gila.
Atau dia memang benar-benar gila?
Namun, saat melihat kakinya utuh, dia justru menghela napas lega.
Tiba-tiba ia meraba dada kirinya.
“Heran, tidak sakit,” gumamnya.
Disibaknya baju di bagian dada kiri.
Srett!
Yang terlihat hanya dada putih kencang membusung tanpa luka alias mulus
total. Sesaat terlihat rona kebingungan di wajah cantik itu.
“Aku masih ingat, dada kiriku robek besar tersambar sirip ikan putih raksasa
dan ... kaki kananku putus,” gumamnya. “Tapi kenapa sekarang pulih seperti
sedia kala? Seperti tidak pernah terjadi apa-apa padaku! Aneh!”
Saat memandang berkeliling, ia mendapati dirinya berada di atas kasur kapas
empuk. Di kiri kanannya hanya ada papan panjang yang ditancapkan begitu saja
seakan papan panjang itu sudah menyatu dengan papan kayu yang menjadi
alasnya.
Di paling pojok sebelah kanan, ada tiga guci besar yang entah apa isinya. Di
sebelahnya ada tungku yang masih merah menyala. Di sebelah tungku, ada
tumpukan arang yang cukup untuk menimbun kerbau. Beruntunglah barangbarang
di pojok ‘ruangan’ di sekat tersendiri sehingga tidak mengotori ‘ruangan’
yang lain.
Kembali mata indah si gadis memandang mengedar.
Di tiap sudut papan kayu selebar lima kali lima tombak terdapat tiang
penyangga setinggi dua tombak yang menyangga sebentuk kotak berongga
berbentuk limas. Jika dilihat sekilas, seperti sebuah gubuk dari kayu yang biasa
dibuat para petani.
Yang jadi masalah cuma satu, gubuk aneh itu mengapung di atas air!

“Lalu ... ini baju siapa?” gumamnya. Ia masih ingat dirinya tidak memakai apaapa
kala diserang Ikan Gajah Putih. Tanpa sadar, si gadis berdiri sambil
memandang suasana ke sekelilingnya. Dan saat berdiri, ia merasakan sensasi
semilir di bawah perutnya.
“Brengsek! Ternyata aku cuma pake baju saja,” desisnya kembali.
Sesaat setelah desisan si gadis yang cuma pakai baju atas saja, tepatnya di
bagian depan gubuk aneh, dari bawah terlihat sebentuk tonjolan di permukaan
air yang semakin lama semakin membesar. Bahkan sekarang menyerupai
gunung kecil yang terbuat dari air.
Mata si gadis membelalak!
“Apa lagi itu!?” desisnya. “Jangan-jangan ikan kemarin datang lagi?”
Hingga pada akhirnya ... dari dalam gunung air melesat keluar satu sosok
tubuh kekar.
Byarrrr!!!
Setelah berjumpalitan di udara beberapa kali, terus melesat cepat ke arah
gubuk di atas air.
Plekk!
“Sudah sadar?” tanya sosok tubuh yang ternyata pemuda bertelanjang dada.
“Lama sekali kau pingsan. Dua hari dua malam aku menunggumu bangun, jadi
bosan sendiri.”
“Jalu!?” kata si gadis, heran.
“I ya ... kaget ya?” sahut si pemuda bertelanjang dada yang ternyata Jalu
Samudra adanya.
“Kau ... kau yang menolongku?”
“Betul.”
“Kau yang membuat gubuk antik ini?”
“Tidak salah!”
“Kau pula yang memakaikan baju padaku?”
“Seperti yang kau pakai sekarang.”
“Lalu ... kenapa kau tidak memakaikan celana sekalian!” bentak si gadis.
“Enak aja! Emangnya aku harus telanjang bulat apa?” sahut Jalu, enteng.
“Inget, Non! Yang kau pakai itu bajuku. Bisa saja aku memintanya kembali. Lagi
pula, di sini kalau malem dingin menusuk tulang.”
“Jadi kau ... kau telah melihat semua?” kata si gadis makin lirih setelah
menyadari kalau perkataan yang baru saja terlontar tidak pantas diucapkan.
“Lho, bukannya pas mandi kemarin aku juga sudah melihatnya?”
Keduanya terdiam beberapa saat.

“Kita makan dulu,” kata Jalu memecah kesunyian.
“Tapi ... “
“Apalagi sih ... “
“Apa ... benar-benar tidak ada celana disini?” tanya si gadis kembali.
Jalu menghela napas, lalu berkata, “Trihasta ... “
“Nagagini!” kata si gadis. “Namaku Nagagini.”
“Baiklah! Gini ... “
“NAGAGINI!” bentak Nagagini, mulutnya langsung meruncing. “Jangan
panggil namaku dengan sepotong-sepotong seperti itu!”
“Oke ... oke ... ! Nagagini! Sekarang kau tinggal pilih, pakai baju tanpa celana
atau pakai celana tanpa baju?” kata Jalu memberi pilihan. “Sebab disini cuma
ada satu baju dan satu celana, yaitu milikku sendiri.”
“Apa tidak ada pilihan lain?”
Jalu menggeleng.
Setelah menimbang beberapa saat, barulah Nagagini berkata, “Yach ...
terpaksa dech. Ga ada yang lain. Lagipula kita cuma berdua di tengah laut ini.”
“Hehehehe, pasrah juga dia,” kata hati Jalu Samudra.
Pada awalnya Nagagini agak rikuh karena berulang kali angin laut yang nakal
menerjang dari bawah hingga baju biru lautnya yang kebesaran menggelembung
kemasukan angin yang tentu saja segala macam perabotnya yang ada dibawah
perut karena tidak bercelana jadi tontonan gratis.
Akan halnya Jalu sendiri sering tertawa melihat tingkah gadis muda yang
sebelumnya menyamar menjadi laki-laki dengan nama Trihasta Prasaja itu.
Berulang kali mata putihnya melihat sebentuk ‘pemandangan yang luar biasa
indahnya’.
Akhirnya, Nagagini capek sendiri dan membiarkan saja angin laut berbuat
semaunya.
Keduanya duduk di tepian gubuk sambil kaki dimasukkan ke dalam air.
Sambil makan ikan laut yang telah matang karena dibakar di atas tungku, Jalu
berkata, “Kenapa kau menyamar jadi laki-laki?”
“Supaya aman dari laki-laki jahil macam dirimu,” tukas Nagagini sambil
mengunyah daging ikan.
“Ada maksud lain?”
“Ngga ada. Cuma itu saja,” sahut Nagagini sambil tangan kirinya membalik
ikan bakar agar tidak gosong, “Hanya saja, aku kehilangan teman-teman dari
Perguruan Golok Tanpa Bayangan. Kasihan mereka.”
“Aku turut berduka cita.”

“Terima kasih,” jawab Nagagini. “Boleh kupanggil Kakang Jalu? Tidak enak
rasanya dengan orang yang lebih tua berbicara ceplas-ceplos.”
“Aku tidak keberatan. Dipanggil kangmas boleh, kakanda juga tidak menolak,
kakang juga tidak salah,” sahut Jalu sekenanya. “Apalagi dipanggil ‘suamiku’!?
semakin ngga bisa nolak, hahahahah!”
“Ahhh ... brengsek kau!” seru Nagagini sambil mendorong pelan bahu Jalu.
Keduanya bercanda hingga sore pun menjelang.
“Nagagini, aku sempat melihat ilmu cambukmu ada kalanya macet atau
tenaga dalam tidak tersalur dengan sempurna,” tanya Jalu Samudra. “Apa ada
hal-hal yang membuatmu tidak bisa menguasai ilmu cambukmu dengan baik.”
“Benar, Kang! Jurus cambuk yang kupelajari dari Nini Guru Parikesit yang
warga persilatan menggelarinya sebagai Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal
adalah jurus yang luar biasa aneh,” terang Nagagini.
“Anehnya dimana?”
“Jurus cambuk ini akan mudah dikuasai oleh orang cacat,” ucap Nagagini
sambil memandang kaki kanannya yang kini telah utuh kembali. “Nini Guru
sendiri berhasil menguasai 19 jurus Ilmu ’Cambuk Cacat’ tangan kirinya putus
akibat serangan lawan.”
“Apa kau ... menyesal kaki kananmu kusambung lagi?” tanya Jalu Samudra
sambil melirik kaki kanan Nagagini yang sebelumnya putus.
“Tidak, lebih baik aku tetap seperti ini dari pada berkaki tunggal,” sahut
Nagagini, masgul. “Jadi gadis cacat apa enaknya?”
”Kan jadi orang sakti,” potong Jalu, cepat.
”Tetep ga enak,” sahut Nagagini dengan mata melotot indah.
Enak buat dicolok!
“Apa ada cara lain menguasai Jurus ’Cambuk Cacat’ selain memutuskan
salah satu anggota tubuh?” tanya Jalu Samudra kembali.
“Menurut Nini Guru Parikesit ... tidak ada.”
Jalu sedikit heran dengan ilmu ’Cambuk Cacat’ yang dimiliki oleh gadis yang
cuma memakai baju atas itu. Selama hidupnya, baru kali ini ia mendengar kalau
ingin menguasai ilmu silat harus menjadi cacat dulu.
Apa jangan-jangan dirinya juga begitu?
Cuma bedanya, ia cacat mata sejak lahir, meski sekarang bisa melihat dunia
seperti orang bermata normal.
Cuma ... ya cuma ini ... matanya tetep aja putih!
Mata putih yang sering bikin orang salah sangka kalau ia bermata buta.
“Bisa memperagakan salah satu jurus cambukmu? Itu kalau tidak keberatan,
lho! Mungkin saja aku bisa membantumu meningkatkan kemampuan,” kata Jalu

Samudra sambil mengulurkan sebuah tali tambang sepanjang tiga tombak.
“Kalau mau ... nih, anggap saja ini cambuk.”
Nagagini tersenyum manis.
Dia tahu seberapa hebat Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis ini. Tokoh
hitam sekelas Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil saja sanggup
ditumbangkan dengan mudah, pastilah pemuda ganteng bermata putih yang
sekarang bertelanjang dada ini memiliki kesaktian tanpa tanding.
“Baiklah,” ucap Nagagini sambil berdiri, “Tapi kalau salah jangan diketawain.”
”Tidak, tidak, tidak,” kata Jalu sambil menggoyangkan tangan kiri pulang-pergi.
”Jurus ini bernama ’Antara Ada Dan Tiada’. Coba Kakang Jalu perhatikan!”
Tubuh Nagagini berkelebat ke tengah gubuk, lalu menggerakkan tali tambang
pengganti cambuk ke sana kemari dengan sigap. Ujung tali tambang mematukmatuk
liar tak tentu arah.
Wertt! Wertt!
Ada kalanya menyerang ke sudut mati yang jelas-jelas tidak bisa dicapai
dalam satu serangan. Menginjak ke pertengahan jurus, ujung tali tambang
mendadak kehilangan kontrol. Ujung tali tambang bergerak liar tanpa sebab yang
jelas. Pada akhirnya justru menjerat kaki kiri Nagagini dan akibatnya ...
Brughh!
Tubuh gadis baju biru kedodoran itu jatuh meninju lantai. Untung saja tidak
jebol.
Jalu segera memburu dan membantu bangun Nagagini.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa, Kang.” kata Nagagini sambil bangkit berdiri. “Sudah
tradisi.”
”Tradisi?”
”Maksudku ... tradisi jatuh, hihihi ... ” sahut Nagagini sambil terkikik geli.
Jalu pun tertawa lirih.
--o0o—
BAGIAN 23
“Sudahlah, nanti kita pikirkan cara menguasai jurus cambukmu yang aneh itu
tanpa membuatmu menjadi gadis cacat,” hibur Jalu Samudra setelah tawanya
hilang.
Tanpa terasa, malam pun menjelang.
Jalu menyulut obor dengan sebagian kecil tenaga dalamnya lalu
menancapkan di tiap ujung gubuk sehingga gubuk terlihat terang benderang.

“Sebenarnya aku punya tujuan lain naik kapal Surya Silam,” tutur Nagagini
setelah Jalu Samudra duduk di sampingnya.
“Boleh ... aku tahu?”
“Sebenarnya tidak boleh, tapi karena Kakang telah menolongku, kukira tidak
ada salahnya aku katakan,” jawab gadis murid Ratu Cambuk Api Lengan
Tunggal ini.
Jalu diam menanti kelanjutan cerita Nagagini.
Tidak bertanya, hanya menunggu kelanjutan perkataan si gadis berbodi
mantap ini.
“Aku sedang mencari sebuah pulau yang bernama Kepulauan Tanah Bambu,”
sahut Nagagini kemudian. “Hanya aku sendiri tidak tahu tempatnya. Yang
kudengar letaknya di tengah laut dan selalu diselimuti kabut gaib. Itu saja.”
Jalu Samudra tersentak kaget!
Ternyata tidak hanya dirinya yang mencari Kepulauan Tanah Bambu. Gadis
cantik yang tidak pakai apa-apa di bagian bawah tubuhnya ini juga tengah
mencarinya. Jangan-jangan bukan hanya dirinya dan Nagagini saja yang berniat
ke pulau itu? Mungkin pula Adiprana alias si Naga Terbang dan yang lainnya
memiliki tujuan yang sama?
“Kakang Jalu terlihat kaget ... atau jangan-jangan Kakang juga mempunyai
tujuan yang sama denganku?” tebak Nagagini saat melihat rona kekagetan di
wajah si Pemanah Gadis.
“Aku juga punya tujuan yang sama,” tutur Jalu kemudian setelah
mempertimbangkan masak-masak untuk mengatakan maksud dan tujuannya,
“Tapi sebelum kukatakan apa tujuanku mencari tempat yang konon katanya
diselimuti kabut gaib itu, apa kau bisa mengatakan tujuanmu terlebih dahulu?”
“Aku hanya mencari seseorang, tepatnya saudara seperguruan guruku yang
memilih jalur sesat akibat pengaruh seseorang,” terang Nagagini.
”Pasti dia oorang yang dikenal di rimba persilatan.”
“Warga persilatan menjulukinya ... Nyai Kembang Hitam.”
“Nyai Kembang Hitam? Rasa-rasanya pernah dengar. Dimana ya?” desis Jalu
sambil berusaha mengingat-ingat. Namun hingga kepalanya pening, ga ketemu
juga.
“Kupret! Udah mikir ampe pusing ga tahu juga,” pikirnya.
“Dari kabar yang berhasil kusirap, ia berhasil menyusup masuk ke wilayah
Kepulauan Tanah Bambu. Tujuannya hanya satu! Mencuri kitab sakti yang
bernama Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’. Dengan menguasai intisari dari kitab ini,
kabarnya bisa membuat orang awet muda dan memiliki umur panjang serta
menguasai ilmu kesaktian tanpa tanding.”
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala mendengar keterangan dari
Nagagini.

“Kalau begitu, tujuanmu berbeda denganku,” lalu sambil memperbaiki
duduknya, kembali pemuda telanjang dada ini berkata, “Aku disuruh ... tepatnya
diminta seseorang untuk mengembalikan sebuah benda ke pemilik syah
Kepulauan Tanah Bambu.”
“Sebuah benda?”
“Tepatnya ... sebuah kujang.”
“Kujang?” tanya heran Nagagini dengan kening berkerut. “Setahuku, senjata
kujang hanya dimiliki para petinggi dari Tanah Pajajaran nun jauh di ujung barat
Pulau Jawadwipa.”
“Tepat! Perkataanmu sama persis dengan ucapan Ki Gegap Gempita ... “
“Oooo ... dari Kitab Pengelana rupanya.”
“Kau kenal?”
“Bukan hanya kenal, tapi Ki Gegap Gempita dari Aliran Danau Utara masih
terhitung pamanku ... tepatnya adik ipar dari ayahku.”
“Oooo ... pantes ... ”
“Boleh kulihat senjatamu, Kang?”
“Yang ini ... ” sahut Jalu sambil menuding bawah perutnya. Tentu saja ia
bermaksud bercanda.
Selebar muka sontak Nagagini merah matang.
Maklum aja, masih perawan ting-ting!
Jadi kalau disinggung dengan ’kata-kata ajaib’ seperti itu, mukanya sedikitsedikit
merah. Waktu diliat Jalu pas mandi saja malunya sudah kagak
ketulungan, apalagi pas sesi penyelamatan diserang Ikan Gajah Putih yang
pakai acara peluk-pelukan segala yang secara tidak sengaja menyentuh
langsung dada kencangnya, makin membuat dirinya malu bukan main.
“Maksudku ... kujang yang Kakang ceritakan,” katanya dengan sedikit
menunduk malu. Pikirnya, “Duuuh ... mukaku pasti merah nih ... “
Jalu sedikit terperangah melihat rona merah semburat di wajah si gadis. Rona
itu semakin menambah kecantikannya di antara bias cahaya obor. Sulit sekali
mengungkapkan dengan kata-kata yang tepat untuk keadaan Nagagini saat ini.
Intinya ... benar-benar memukau!
Murid Dewa Pengemis segera mengusap telapak tangan satu sama lain
sebanyak tiga kali.
Settt!
Pada usapan ketiga, seolah keluar dari alam gaib tahu-tahu di telapak tangan
kanan pemuda sakti dari Goa Walet ini tergeletak benda berbentuk huruf ‘S’.
Sebuah senjata berbentuk unik. Di bagian bawah melengkung sedikit bertolak
belakang di bagian depan. Sedang dekat ujung yang tajam dan runcing terdapat

sembilan lubang kecil-kecil. Panjang dari ujung hingga hulu tidak lebih dari
sejengkal. Sedangkan gagang senjata unik ini hanya setengah jengkal saja.
“Ini pasti merupakan benda pusaka yang jarang tandingannya,” kata Nagagini
sambil mengambil benda di tangan Jalu. Diamati dan ditimang-timang sebentar,
lalu dikembalikan ke telapak tangan kanan Jalu Samudra. “Berat dugaanku,
benda ini seperti sejenis kujang yang ada di Tanah Pajajaran.”
“Menurut Ki Gegap Gempita juga begitu,” kata Jalu sambil mengusap-usap
dua telapak tangan yang didalamnya terdapat kujang dan dalam usapan ketiga,
benda itu lenyap.
“Hihihi, kau ini seperti tukang sihir saja,” gurau Nagagini sambil tertawa merdu.
“Kapan-kapan aku juga mau belajar ilmu seperti itu.”
“Boleh,” sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, “ ... tapi ngomong-ngomong
...“
“Apa?”
“Sudah saatnya kau mandi,” kata Jalu Samudra sambil mendorong Nagagini
dengan tiba-tiba.
Byurrr ... !
Tak pelak lagi, Nagagini langsung terjatuh ke air dengan sukses!
“Dasar brengsek!” seru Nagagini saat muncul ke permukaan air. Tangannya
bergerak pelan memercikkan air. Namun karena Jalu Samudra sudah
menghindar menjauh sambil tertawa terbahak-bahak.
“Dari tadi aku mencium bau kecut, rupanya kaulah sumbernya.”
“Ahhh ... bodo!” gerutu Nagagini, setelah beberapa saat merasakan kesegaran
air, murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal keluar dari air. Baju yang basah
mencetak denagn sempurna segala sesuatu yang ada di tubuh Nagagini.
Katanya gusar, “Liat nih ... bajuku jadi basah kuyup begini. Mana ga ada ganti
lagi?”
“Gampang-lah. Lepas aja bajunya. ’Kan beres!?” timpal Jalu.
“Huh, lepas baju!? Enakan Kakang Jalu dong!”
“Kalau ga di lepas, ga cepat kering,” sahut Jalu kembali.
“Kalau cuma keringin baju, ahh ... kecil!” katanya sambil menjentikkan jari.
Segera saja Nagagini pasang kuda-kuda kokoh dengan dua tangan terkepal di
samping. Disertai tarikan napas lembut, dua tangan di dorong ke depan secara
perlahan.
Woshhh ... !
Pelan tapi pasti, keluar asap tipis berhawa panas dari tubuh si gadis. Gerakan
tangan dan tarikan napas dilakukan terus-menerus hingga gumpalan uap
semakin lama semakin banyak.

“Cerdik juga dia! Pakai tenaga dalam sejenis inti api untuk mengeringkan
baju,” kata hati Jalu Samudra melihat olah jurus yang dilakukan Nagagini. Dan
setelah sepenanakan nasi, barulah ia menghentikan olah jurus dan napas.
“Gimana? Kering, bukan?” katanya sambil merentangkan tangan, lalu
memutar-mutar tubuhnya.
Tanpa terasa, malam pun menjelang tiba.
Benar seperti apa yang dikatakan si Pemanah Gadis, jika malam hari, angin
laut terasa dingin menusuk tulang. Yang jelas, angin berhembus keras sekali
malam itu. Dinginnya terasa sekali menusuk tulang dan sumsum. Belum lagi
dengan bunga-bunga es beterbangan seperti pasir putih di sekitar gubuk aneh
tempat mereka berdua bermalam. Jalu sengaja membiarkan Nagagini bertahan
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ia berniat melihat seberapa jauh
Nagagini sanggup bertahan dalam situasi seperti itu.
Kadang-kadang, ia merasa Nagagini adalah seorang lemah yang perlu
dilindungi!
Apalagi, si gadis melihat suasana malam untuk pertama kalinya mengaku
agak ngeri melihat cuaca malam ini. Di tengah laut --apalagi cuma berdua
dengan seorang pemuda-- cuaca seperti ini memang menambah suasana
semakin mencekam. Suara angin seperti raungan raksasa yang sedang marah.
Gelap-gulita di sekeliling gubuk, tak terdengar suara apa-apa selain badai angin
yang mengamuk!
Beruntung jalu sudah memberi pemberat di tiap sudut gubuk hingga tidak
begitu terguncang-guncang terkena tiupan angin.
Jalu mendengar gigi Nagagini bergemeletuk menahan dingin.
Tidak tega, Jalu mendekati sang gadis, dan memeluknya dengan hangat.
Nagagini sendiri pada mulanya merasa bagai dimasukkan ke dalam air beku,
namun begitu pemuda yang kemana-mana selalu mengetukkan tongkat
hitamnya ini memeluk tubuh menggigilnya, terasa kehangatan menjalari tubuh
hingga dalam dua helaan napas saja, rasa membeku hilang seketika.
Bagaimana pun, perkara hangat-menghangati, Jalu Samudra adalah
pakarnya!
Dengan mengerahkan sedikit saja dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’,
sudah lebih dari cukup untuk menahan hawa dingin akibat amukan badai angin
dan terpaan bunga-bunga es. Baginya, hawa dingin di laut tidak seberapa dingin
jika di banding dengan hawa dingin kalau Kumala Rani mengalami
penyempurnaan Ilmu ’Tenaga Sakti Kabut Rembulan’ yang sanggup
memaksanya mengerahkan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ hingga beberapa
tingkat.
Kemudian, jalu membimbing nagagini ke kasur empuk dari kapas yang
diletakkan menyudut dan terhalang oleh papan tebal. Tahulah sekarang nagagini
fungsi dari papan yang dibuat memanjang.

Untuk menahan angin rupanya.
Desah nafas Nagagini dekat sekali di pipi Jalu. Harum mulut gadis itu juga
sampai samar-samar di hidung Jalu. Entah sengaja atau tidak, bibir Nagagini
yang agak basah itu sesekali menyentuh pipi Jalu.
“Takut?” bisik Jalu di telinga Nagagini.
Jalu merasakan gadis itu mengangguk. Juga merasakan nafasnya agak cepat.
“Walah ... jangan-jangan dia ... “ pikir Jalu.
“Cium aku, Kang ... ” gadis itu berbisik, hampir tak terdengar.
Jalu tersenyum dalam keremangan.
“Ada-ada saja permintaan Nagagini. Tetapi ... mengapa tidak?” pikirnya.
“Mungkin perlu juga berciuman di tengah badai di tengah laut.”
Perlahan Jalu menyentuh bibir Nagagini dengan bibirnya. Nafas gadis itu
menyerbu mukanya, terasa semakin panas. Lalu, bibir gadis itu terbuka sedikit.
Jalu mengecupnya ringan, membiarkan masih ada jarak di antara kedua mulut
mereka.
Nagagini terdengar mendesah.
Gelisah.
Terasa gadis itu menggeser tubuh sintalnya semakin rapat ke tubuh Jalu. Di
bandingkan Kumala Rani yang secantik bidadari atau Beda Kumala yang sedikit
liar, Nagagini pastilah kalah (kalah pengalaman maksudnya ... ), meski dadanya
sama-sama padat membusung. Walau begitu, jantung Jalu bergetar juga
merasakan lengannya menekan dada Nagagini yang turun naik dengan cepat.
Nagagini kini merangkul leher Jalu --dan seperti tak sabar-- ia menarik
pemuda itu sehingga bisa sepenuhnya berciuman. Jalu membiarkan gadis itu
mengulum bibirnya dengan desah yang semakin gelisah.
Diam-diam Jalu khawatir juga, kemana arah percumbuan ini?
Lidah keduanya secara otomatis saling memagut, seperti dua ekor ular yang
sedang bercengkrama. Jalu sebenarnya hanya ingin berciuman di bibir, tetapi
tampaknya Nagagini ingin lebih dari itu. Dengan mau-tak-mau, Jalu
menggunakan jurus ‘Lilitan Lidah Ular’ untuk mengimbangi gaya silat lidah
Nagagini yang menurutnya masih amatir. Dengan jurus ini pula, Nagagini
merasakan sebentuk kenikmatan yang semakin membuatnya merem-melek.
Sesaat kemudian, satu kakinya sudah naik, menumpang di paha Jalu.
Tangannya semakin kuat merengkuh leher si pemuda. Nafasnya juga sudah
semakin memburu.
Lalu, entah bagaimana mulanya, tangan Jalu telah menelusup ke balik baju
biru laut yang membungkus tubuh Nagagini. Kini telapak tangan pemuda itu
mengusap-usap benda kenyal di dada Nagagini yang memang sudah terbebas
dari halangan apa pun karena memang si gadis tidak memakai apa-apa di balik
bajunya. Gadis itu mengerang pelan, mulutnya semakin bersemangat menciumi

Jalu. Nafasnya kini tersengal-sengal, dan badannya gelisah bergerak kesanakemari.
Jalu membalas pagutan Nagagini. Dihisapnya kedua bibir gadis yang punya
lesung pipit itu yang awalnya tidak ia ketahui karena ia memakai bedak tebal
waktu ia menyamar sebagai Trihasta Prasaja. Dikulumnya lidah gadis itu yang
sejak tadi menerobos masuk ke mulutnya. Kadang-kadang digigit perlahan salah
satu bibir Nagagini, membuat gadis itu mengerang manja.
Nagagini merasakan tubuhnya dibungkus kenikmatan yang baru pertama kali
ia rasakan, hingga tanpa sadar kedua pahanya menjepit erat salah satu paha
Jalu. Karena di bagian bawah tubuhnya tidak mengenakan apa-apa, gerbang
istana kenikmatan Nagagini mulai melembab terasa sekali di celana hitam si
Pemanah Gadis. Cairan hangat terasa mengalir perlahan dari dalam pinggulnya.
Selangkangannya terasa dipenuhi geli-gatal yang menggelisahkan. Dengan
gerakan tak karuan, Nagagini menggosok-gosokan bagian depan gerbang istana
kenikmatan ke paha Jalu.
“Oh ... seandainya saja Kakang Jalu ini mau memasukkan tangannya ke
sana!” jerit Nagagini dalam hati.
Tetapi rupanya Jalu cepat sadar. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa melihat
tingkah-polah gadis itu yang sedikit kasar, bisa dipastikan Nagagini benar-benar
masih ‘utuh’!
Maka cepat-cepat ia menghentikan usapan tangannya di dada Nagagini, lalu
menjauhkan mukanya dari muka gadis itu. Namun rupanya Nagagini sedang
berpacu menuju titik puncak asmara pertamanya. Tubuh gadis itu sedang
meregang ketika Jalu melepaskan ciumannya. Kedua pahanya erat
mencengkeram paha Jalu, membuat pemuda itu meringis karena merasa agak
pegal. Lalu, terdengar Nagagini mengerang pelan dan panjang.
“Ooooh ... ! Aaaaaaggh ... !”
Dan kedua kakinya kaku mengejang, menyusul guncangan di seluruh tubuh.
“Kakang Jalu ... jangan berhenti ... cium aku ... ” gadis itu mengerang di
tengah guncangan tubuhnya.
Nagagini tampak menikmati momen itu.
Beberapa saat kemudian, Nagagini tersadar dari puncak kenikmatan
asmaranya.
“Waaa, kok basah!?” jerit Nagagini saat ia merasakan sesuatu.
“Lhah, emang mau kekeringan?” canda Jalu sekenanya.
Gemas, Nagagini mencubiti pinggang si pemuda, yang hanya bisa mengaduh.
Si pemuda hanya pasrah diserang demikian rupa.
Maklum, sakit-sakit nikmat!
“Nagagini, udahan belum?”
“Udahan apa?” Nagagini sedikit terkejut. ”Cubitnya!?”

“Mau diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi?”
Nagagini bisa merasakan desiran darah di wajahnya.
Ke tempat tingkat yang lebih tinggi?
Jauh di lubuk hatinya, ia merasa jengah. Membayangkan dirinya, seorang
gadis, yang notabene masih benar-benar gadis, main peluk-cium dengan
seorang laki-laki yang memang ia kagumi sejak awal meski belum kenal begitu
lama. Tapi dalam benaknya mendorong untuk menerima tawaran itu.
Kapan lagi waktu yang lebih baik untuk mengenal seorang lelaki selain di
rumah dan di ranjang?
“Nggak mau? Ya udah ... ” Jalu berkata selembut mungkin, pura-pura
menekan nada kecewa dalam suaranya.
Wah ... buaya darat juga dia!
--o0o—
BAGIAN 24
Nagagini terdiam beberapa saat, memikirkan apakah menerima ajakan Jalu
dengan segala macam resiko atau menolak tapi kehilangan kesempatan
menuntaskan hasrat jiwanya yang sudah menginginkan tindakan lanjutan yang
entah bagaimana ia tidak tahu.
”Duh, umpan terbaikku ditolak mentah-mentah,” batin Jalu Samudra gundah.
Resiko perjuangan, meen!!
Tetapi ...
“Boleh ... “ pada akhirnya Nagagini berteriak menyaingi deru angin di sekitar
mereka.
“Eh? Oke ... “ balas Jalu juga berteriak, “ ... horeee!” sambungnya norak dalam
hati.
“Tapi sebelumnya, aku minta tolong boleh?” ucap Nagagini.
Dengan posisi berpelukan seperti sebelumnya, Jalu menunduk, mencium pipi
Nagagini sekilas.
“Hmmm ... apa’an?” Jalu menatap kepada gadis itu dengan raut serius.
Memang hanya dalam situasi romantis seperti itu, seluruh kesadaran si
pemuda terkumpul. Tak ada ulah konyol, kekanakan, atau pun melamun kotor
sendirian sambil tertawa-tawa.
“Ceritain dong, soal diri Kakang, yang nggak ketahui orang-orang diluar
sana?” Nagagini menatapnya penuh harap.
Jalu tertunduk.
”Gadis ini cerdas,” batinnya. ”Lebih dari gadis-gadis lain yang kukenal.”

Menghirup napas dalam-dalam, Jalu membalas, “Boleh. Tapi aku pengen
cerita sambil tetep meluk kamu.”
Nagagini seketika tersenyum sambil memeluk erat si pemuda.
“Begini?” tanya gadis itu manja.
Jalu tersenyum lembut seraya mengangguk. Lengannya balas mendekap
Nagagini.
“Aku nggak bisa cerita semua, kecuali ... “
“Apa lagi, Kakang?” Nagagini menunggu was-was.
“Ah tidak, nanti saja. Mau cerita yang mana dulu?” Jalu melemparkan umpan
pamungkasnya.
Menggigit ujung bibirnya, sedikit kecewa, gadis itu berkata, “Apa saja yang
mau Kakang Jalu ceritakan.”
Si Pemuda tersenyum. Toh nanti akan datang waktunya.
Lalu segala cerita mengenai dirinya, dan sejarahnya di masa lalu, mengalir
dengan runtut. Nyaris semua. Gadis itu mendengarkan semuanya dengan
seksama. Sesekali tertawa kecil, mengangguk serius, juga ikut tercenung,
berempati pada kisah hidup pemuda itu. Hampir tiga jam, Jalu berkicau sendiri.
Hebat, bisa saingan ama beo, nih!?
Nagagini menikmati saat-saat ini, dengan segenap rasa. Misteri yang sempat
dipikirkannya, tersingkap satu demi satu. Tentang istri Jalu yang bernama
Kumala Rani, tentang gadis-gadis yang pernah bercinta dengannya, tentang
gurunya yang bergelar Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga pun tak
luput.
Kecuali satu hal terakhir, yang memang sengaja disembunyikan untuk hal-hal
penting!
“Kakang Jalu, mau nanya lagi ... boleh?” ucap Nagagini, ketika Jalu sudah
menyelesaikan novel hidupnya.
Jalu mengangkat sebelah alisnya.
Menunggu.
“Kenapa tadi Kakang menghentikan ... ciuman Kakang?” ada kegusaran
dalam nada si gadis. ”Padahal saat itu aku sedang berada dalam titik yang
menentukan.”
Jalu menggelengkan kepala pelan.
“Tanya aja yang lain, ya?”
Nagagini mengerutkan kening tak sabar.
“Kenapa?” kejar gadis itu lagi.
Sekali ini, Jalu terdiam. Ia membuang muka.

Nagagini semakin penasaran.
“Kang Jalu! Jawab! Ayo!” kata si gadis sambil jemari mungilnya
mencengkeram lengan Jalu Smudra erat-erat.
Gadis itu tersengal, egonya terusik. Bola matanya berkaca-kaca, diayun
emosi.
Si Pemanah Gadis menatapnya kembali.
“Hei, hei ... bukan itu masalahnya,” tukasnya sabar. Diusapnya perlahan
rambut panjang gadis itu.
“Terus? Apa?!” Nagagini menatap penuh tantangan. Berapi-api.
“Akhirnya, seperti yang sudah kuduga,” batin Jalu dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Jalu menjawab, “Karena itu ... pasti yang pertama
buatmu.”
Sedetik setelah mengucapkannya, Jalu sadar, tak ada kata mundur setelah
ini!
”Kakang ... ” desis lirih Nagagini sambil mengangsurkan wajahnya.
Si Pemanah Gadis yang berpengalaman segera paham, bahwa Nagagini telah
pasrah. Dengan lembut, ia kembali mengulum bibir merah merekah gadis murid
Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal dengan penuh perasaan. Mempermainkan
lidah di dalam rongga mulut Nagagini dengan liar, lalu keluar ke dagu, leher, dan
belakang telinga gadis itu.
Kembali ... Nagagini mengerang tertahan.
Ada rasa geli yang mengalirkan listrik ke seluruh syaraf di tubuhnya. Ia
menggigit bibir, menahankan desiran dalam aliran darah di sekitar kuduk yang
meremangkan bulu-bulu halus di sana, berbarengan dengan jurus ’Tarian Lidah
Kekasih’ Jalu di bagian belakang lehernya. Jurus ini adalah jurus pembangkit
paling dahsyat untuk daya asmara yang lebih tinggi. Kali ini, si Pemanah Gadis
menggunakan jurus-jurus bercinta yang berada pada taraf awal 30 Jurus
‘Asmara Pemanah Gadis’. Dengan jurus ini pula, Jalu berusaha untuk membuat
Nagagini serileks dan senyaman mungkin dalam olah asmara.
Karena ia tahu, Nagagini belum pernah tersentuh laki-laki selain dirinya!
Sementara dengan Nagagini sendiri, ini adalah pengalaman pertama baginya.
”Oooohhh ... apakah begini rasanya dipeluk dan dicium laki-laki?” keluhnya
dalam hati, ” ... cara Kakang Jalu memperlakukan diriku begitu lembut dan penuh
perasaan. Ada rasa getar-getar aneh-nikmat yang menelusuri seluruh aliran
darahku.”
Kembali Nagagini tenggelam dalam desah napas kenikmatan.
Jalu berbisik lirih di samping telinga gadis itu, “Bajunya ... ”
Tanpa membuka mata, gadis itu menarik lepas kancing-kancing baju biru laut
yang dikenakannya dalam satu tarikan.

Tarik begitu saja.
Srett!
Lalu melepas baju dengan cekatan.
Jalu menatap sepasang bukit kembar yang kini terbuka lepas, lalu dengan
pelan ia menggeserkan hidungnya bergantian pada sepasang buah dada yang
tertata dengan sempurna.
Menghembuskan nafasnya yang hangat.
”Ahhh .... Ka ... kang ... ”
Nagagini semakin tak tahan. Di dekapnya erat kepala si pemuda, lalu
menekannya kuat-kuat dalam pelukannya. Sesaat kemudian, ia menggelinjang
berkepanjangan disertai desahan tertahan.
”Aaa ... uughhh ... hmmph ... ”
Jalu paham artinya. Dikecupnya ujung-ujung gumpalan padat menantang
serta menjilatinya dengan penuh hasrat.
Tangan Nagagini yang bebas, bergerak menarik celana yang dikenakan Jalu
ke bawah. Namun, baru saja celana turun sedikit, tiba-tiba saja ...
”Aaaaa ... ” kali ini bukan jeritan nikmat, tapi lebih ke arah kaget mendekati
aroma ketakutan.
”Apa ada?” tanya Jalu tak kalah kagetnya.
Wajah Nagagini pucat-pasi seperti tidak pernah dialiri darah, dengan tatapan
matanya melotot lebar-lebar ke arah sebentuk benda panjang di bawah perut
Jalu.
”Itu ... apa?” tanyanya dengan ngeri-ngeri pengin tahu.
Gimana ga ngeri, meski baru keliatan kepalanya doang, udah jumbo begitu!?
Nagagini sendiri pernah secara tidak sengaja memergoki murid ayahnya
kencing di sembarang tempat dan untuk pertama kalinya ia melihat ’barang
pribadi’ milik laki-laki. Waktu itu menjelang dini hari, seorang murid penjaga yang
sudah tidak tahan langsung buka celana dan kencing begitu saja di bawah
pohon. Tak tahunya di bagian depan pohon, anak gadis sang guru justru sedang
asyik menikmati udara dini hari.
Mungkin karena sudah menuh-menuhin tempat dalam perut atau malah
bermimpi memeluk bidadari, pilar tunggal si murid terlihat menegang kencang
dengan bentuk kecil-mungil sehingga waktu buang air seni terlihat seperti
pancuran air dengan suara gemericik yang khas.
Saat itulah, Nagagini langsung melotot melihat benda antik murid ayahnya.
Beruntung ia segera mendekap mulut menahan jerit.
Kalau tidak ... mau diletakkan dimana mukanya!?
Ntar di tuduh ngintip, lagi!?

Saat itulah, dalam otak Nagagini terbersit bagaimana bentuk pilar tunggal
penyangga langit seorang laki-laki. Namun saat melihat wujud benda antik milik
Jalu Samudra meski cuma ujung, sontak ia kaget bukan kepalang karena bentuk
dan ukurannya jauh beda dengan murid sang ayah dahulu.
Sontak, gambaran kecil-mungil langsung lenyap bagai disapu setan!
Jalu yang menyadari arah pandang Nagagini, justru tertawa lirih sambil
berkata, ”Tidak apa-apa.”
Lalu dengan tarikan pelan, celana hitamnya turun ke bawah.
Tuiiing ... !
Sebentuk benda tumpul bulat panjang terlihat berdiri gagah. Segagah
orangnya!
Bentuk dan ukuran pilar tunggal penyangga langit milik Jalu Samudra yang
super jumbo semakin membuat Nagagini ketakutan. Bahkan secara tidak sadar,
ia menggeser tubuh polosnya ke belakang.
”Itu ... itu ... itu ... ”
Hanya kata ’itu’ saja yang terdengar dari bibir indah si gadis.
Jalu segera bergerak cepat.
Sett!
Sebentar saja, keduanya saling kini tindih, di atas kasur empuk dan hangat.
Sementara, badai angin di luar sana belum juga reda. Deru angin yang kini
diikuti hujan di luar, semakin menggila meski tidak sanggup menggoyahkan
gubuk ajaib di tengah laut itu.
Meski begitu, tetap kalah dahsyat dengan badai dalam dada masing-masing
dari mereka.
Jalu menatap mata gadis yang terlentang di bawahnya.
”Masih ingin yang lebih?”
Terlihat keraguan di mata si gadis.
”Sakit?”
”Tentu saja,” kata Jalu Samudra dengan mata menatap lurus ke bola mata
Nagagini. Sambungnya, ” ... tapi tidak lama.”
Kembali Nagagini tercenung.
Dengan lembut Jalu mencium bibir merah merekah yang semula terkancing.
Hanya sebentar saja, Nagagini sudah bergelora kembali.
“Aku ingin ... lebih lagi,” satu bisikan, pernyataan sebuah keinginan.
“Yakin?”
Gadis itu mengangguk yakin. Lalu pejamkan mata.

”Selama Kakang Jalu tidak meninggalkan aku, aku rela ... ” katanya dengan
terpejam.
”Meski aku sudah punya istri dan beberapa gadis?”
”Aku cuma ingin ... menjadi bagian seperti mereka.”
Jalu mengangguk pelan.
Bibirnya tersungging senyum tipis.
Ia kembali menelusuri tubuh si gadis dengan bibirnya, lalu tangan yang satu
lagi mulai bergerilya menyusuri paha kenyal, sedikit meremas-remas merasakan
lembut dan halusnya daerah itu. Terus bergerak lambat-lambat hingga pada
akhirnya sang tangan menemukan gundukan lunak dekat pintu gerbang
kenikmatan dengan belahan tepat ditengah-tengahnya.
Kembali, tangan si Pemanah Gadis meremas-gemas disana.
“Apa ... yang kakang ... oughh .. lakukan ... “ tanya Nagagini dengan dengus
napas memburu karena merasakan nikmat di bawah sana.
“Sedang ... mancing.”
“Mancing?”
“Mancing .. alias mainin alat kencing ... “ bisik Jalu.
Pada tahap ini, Jalu Samudra tetap menggunakan jurus-jurus dasar bercinta
yang ada dalam Kitab Dewa-Dewi. Karena ia tahu, apa sebabnya harus berbuat
begitu.
Nagagini memejamkan matanya rapat-rapat dan menggigit bibir bawahnya.
Tangan kekar itu terus menyusuri belahan tersebut dari luar, naik-turun
dengan perlahan.
“Hsss ... oooh!”
Tanpa sadar, erangan halus pun keluar dari bibir murid Ratu Cambuk Api
Lengan Tunggal sambil semakin melebarkan pahanya, seakan mempersilahkan
tangan si pemuda bermata putih untuk menjelajahi daerah itu sepuasnya. Dan
disana, Jalu melakukan jurus ’Menjentikkan Jari Mengulur Nadi’ di bagian depan
pintu gerbang kenikmatan si gadis. Yang kemudian membuat Nagagini semakin
melonjak-lonjak dan merintih tak karuan.
Penuh kenikmatan!
“Ahhh ... Ahhh ... ” hanya suara erangan yang muncul dari bibirnya. Perlahan
namun pasti, terasa cairan lembab yang menguarkan aroma khas seorang gadis
perawan.
Pada akhirnya ...
Tangan itu merayap pelan mencari wilayah yang berada tepat di tengah pintu
gerbang kenikmatan milik Nagagini. Dan ketika menemukannya, jari-jari tangan
si pemuda mula-mula mengusap-usap permukaannya, terus mengusap dan
ketika sudah terasa membasahi jari tangan, menyusuri belahan pada gerbang

kenikmatan itu. Susuran jari lembut di sepanjang belahan gerbang istana
kenikmatan itu perlahan semakin dalam dan dalam, hingga akhirnya bergerak
masuk setengah jari, sedikit menusuk ke dalam.
Masih teramat sempit memang, bahkan jari telunjuk murid Dewa Pengemis
hampir-hampir tidak bisa masuk. Namun dengan perlahan, sedikit demi sedikit,
jari itu pun sedikit menembus gerbang istana kenikmatan yang masih perawan
itu, merayap masuk untuk kemudian menyentuh dinding-dinding dalam liang
meski hanya sedalam kuku jari telunjuk, terutama sekali pada sebentuk benda
kecil sebesar kacang tanah.
Itulah tempat titik puncak milik Nagagini!
“Ahhh ... Ahhh ... Hmmph ... ”
Nagagini semakin liar gerakannya saat merasakan sebuah sensasi yang luar
biasa. Sesaat kemudian, untuk ketiga kalinya, ia mengejang-kencang bagai
gerak kuda liar.
Titik puncak asmara kembali tercapai!
Jeritan tertahan terlontar untuk yang kesekian kali dan akhirnya ... tergeletak
lemas.
Entah sejak kapan, posisi Jalu sudah dalam siaga tempur.
Posisi khas lelaki penakluk!
“Tidak bisa langsung terjang begitu saja,” pikir Jalu sambil memandang wajah
merona Nagagini. Terlihat di mata Jalu, si gadis sedang mengatur napasnya
yang memburu cepat-lambat sehingga sepasang bukit kembarnya yang sudah
keras-mengencang terlihat turun-naik.
Posisi Jalu yang berada di atas dan Nagagini di bawah memang sengaja
dipilih si Pemanah Gadis, karena dengan posisi jurus yang bernama ’Lebah
Jantan Memetik Sari Kembang’ memang tepat dilakukan saat itu. Jurus ini
memposisikan Nagagini telentang di bawah sementara Jalu Samudra menopang
pada kedua sikut dan lutut.
”Setelah dalam serangan awal, aku harus membantu si cantik ini mengubah
posisi kaki supaya bisa tertarik sampai lutut dan mendekati telinga atau
setidaknya melingkari pinggangku,” kata hati Jalu Samudra membuat rencana,
”Jika tidak, dia tidak akan mendapatkan titik asmara yang sama dengan titik
asmara awal. Hemmm ... aku harus mengajarinya dari awal.”
Jalu mencium lembut bibir murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal.
Nagagini yang telah menyerahkan jiwa raganya dengan mata terpejam dan
bulu mata lentik seketika berkerejap.
Jalu sendiri merasakan betapa harum sergapan nafasnya yang hangat
menerpa wajah, bagai memberikan siraman air yang mampu menghapus
kemarau terpanjang sekali pun. Betapa lembut-basah bibir ranum dan merekah
menampakkan keindahan mulut yang selalu bisa menghasilkan kata-kata
berbunga-bermanik-beruntai itu.

Ah, jika begini, rasanya dunia jadi milik mereka berdua!
Yang lainnya ... ngontrak!
--o0o—
BAGIAN 25
Nagagini merengkuh leher murid ganteng Dewa Pengemis, memiringkan
sedikit kepalanya agar pemuda pujaannya bisa leluasa melumat bibir seksinya.
Ia ingin menikmati ciuman pemuda yang bisa memberikannya rasa amannyaman,
menghilangkan segala keraguan dan kekuatiran. Rasanya cuma Jalu
Samudra yang bisa mencium begitu penuh perasaan dan lumatan bibirnya bukan
cuma curahan birahi.
Ada kehangatan kasih di sana, di antara gairahnya mengulum bibir.
Ada semburat cinta di sana, di antara gigitan-gigitannya yang nakal.
Ada penegasan pula di sana, di antara keliaran permainan lidah yang
mempesona!
Maka itu Nagagini mengerang manja, mempererat pelukannya, merapatkan
tubuhnya ke tubuh kokoh pemuda pujaannya.
“Aduh!” tiba-tiba Nagagini mengeluh lirih, dan Jalu Samudra tersentak kaget,
terburu-buru melepaskan ciumannya.
“Ada apa?” sergah Jalu Samudra penuh kekuatiran sambil merenggangkan
jarak di antara mereka.
“Bagian bawah ... ” desis Nagagini dengan muka merah padam.
“Kenapa?” tanya Jalu Samudra, bahkan ia hendak melihat ke bawah.
Tapi dua tangan Nagagini semakin erat memeluknya sambil berbisik lirih,” ...
tadi sedikit kena sodok ... “
“Sakit?”
“Tidak! Cuma ... sedikit aneh dan ngilu-ngilu nikmat,” desis Nagagini sambil
kian merapatkan diri ke tubuh Jalu. “Ta ... “
Belum lagi ia melanjutkan kata-katanya, si cantik ini menjerit kembali.
“Kakang ... !” jerit Nagagini seperti orang yang kaget melihat rumahnya
kebakaran, tetapi selanjutnya gadis itu diam saja, bahkan membiarkan Jalu
Samudra menggesek-gesekkan pilar tunggal penyangga langitnya ke depan
pintu gerbang istana kenikmatan.
“Ohhh ... !” Nagagini mengerang keras, campuran antara kaget-senang, ketika
salah satu ujung-ujung bukit kembarnya tahu-tahu sudah terasa hangat dikulum
mulut si pemuda bermata putih.
Si Pemanah Gadis memainkan lidah di bagian paling ujung dari sepasang
bukit kembar yang tegak-kenyal-padat menggairahkan itu. Setiap gerakan lidah

membuat Nagagini menggelinjang gelisah. Tangan gadis itu mencengkeram
rambut si pemuda pujaan itu. Tidak ada penolakan dari tangan itu, melainkan
sebaliknya ada ajakan untuk lebih bergairah lagi.
“Mmmmh ... “ Nagagini mendesah, memiringkan tubuh bagian atasnya agar
Jalu bisa lebih leluasa memainkan mulutnya di seluruh permukaan bukit kenyal.
Serbuan kenikmatan segera menyebar di seluruh tubuh. Kali ini kenikmatan itu
bahkan terasa lebih indah dari sebelumnya. Dari rasa takut yang sangat dalam,
kini muncul rasa nikmat yang tak kalah dalamnya, menelusup ke sela-sela setiap
bagian paling rahasia di tubuhnya.
Inilah sebentuk kekontrasan yang menakjubkan.
Ibaratnya ... bagai api dan es!
Kekontrasan yang memberikan nuansa lebih tegas pada setiap noktah
kenikmatan di tubuh Nagagini. Kekontrasan yang menyediakan ruang-relung
kontemplasi untuk lebih menghargai setiap getar birahi. Tidak cuma bertemunya
dua permukaan kulit.
Tepatnya ... pertemuan dua hati!
Sementara itu, di bawah sana, tepat dimana pilar tunggal penyangga langit
Jalu Samudra berhasil sedikit menguak pintu gerbang istana kenikmatan
Nagagini. Pemuda sakti pewaris tunggal Kitab Dewa-Dewi mengerahkan jurus
’Perjaka Murni’ dimana jurus ini mampu menghantarkan sebentuk hawa
keperkasaan yang sanggup membuat gadis atau wanita yang bersatu raga
dengannya mengalami lonjakan titik puncak asmara dengan cepat namun tetap
mengesankan. Pada dasarnya hawa ini hanya sebuah saluran tenaga lembut
yang berasal dari tekanan udara yang diolah dalam perut, seperti orang
mengolah hawa sakti. Untuk memancarkan hawa keperkasaan membutuhkan
pengaturan tenaga yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang.
Yang jelas, Jalu adalah pakarnya dalam menggunakan jurus ’Perjaka Murni’!
Akibat utama dari hawa keperkasaan tentu saja adanya rasa nyaman yang
menjalari seluruh tubuh. Yang pasti, dalam tiga-empat helaan napas, raga sang
pasangan seketika bagai dilambungkan di antara gumpalan awan-awan di langit.
Srassh ... !
Sebentuk hawa aneh segera menerobos masuk.
Sontak Nagagini berjengkit kaget!
”Apa ini?” pikir Nagagini dalam hati, ”Kurasakan sebuah hawa aneh
menyelusup masuk lewat pintu bawah ... oohh ... kenapa ... kenapa tubuhku
menjadi terasa ringan, terasa nyaman dan ... rasanya ada sesuatu yang ingin
meledak di bawah sana ... ”
Dan ...
”Aahhhh ... !”
Terdengar erangan keras dari mulut Nagagini.

Lebih keras dari sebelumnya!
Tanpa dapat dicegah, tubuhnya menggelinjang-nikmat dengan liar.
Jalu sendiri sampai kewalahan menghadapi keliaran Nagagini yang berada
dalam titik puncak asmara. Akibatnya, bagian kepala pilar tunggalnya secara
tidak sengaja terdorong masuk begitu saja akibat gelinjangan liar yang dilakukan
Nagagini.
Dakk!
Jalu Samudra merasakan membentur sesuatu.
Sebuah pintu penghalang!
Setelah beberapa saat kemudian, keadaan Nagagini sudah lumayan tenang,
hanya sekarang ia mengkernyitkan alis.
”Kakang ... ” bisiknya lirih.
”Hemmm ... ”
”Kurasa ... ada ... ada yang mengganjal di bawah sana.”
”Sakit?”
Kepala Nagagini menggeleng.
”Kalau begitu ... biarin aja,ya ?” pinta Jalu.
Kembali si pemuda menjelajahi seluruh bukit indah di dada si gadis, bagai
seorang pengembara yang tersesat tetapi menyukai ketersesatan itu. Bagai
seorang yang dahaga tetapi tak ingin melepas dahaga itu. Harum semerbak
sepasang bukit putih membuat Jalu senang berlama-lama bermain di sana,
sambil menyimak degup jantung sang gadis yang semakin lama semakin jelas
terdengar. Berdentam-dentam seperti tabuhan genderang perang. Betapa asyik
rasanya mendengar irama jantung kehidupan sambil memagut-magut bagian
sensitif, membangkitkan gairah menjadi kobaran api. Terlebih-lebih lagi, betapa
asyik rasanya memberikan begitu banyak kenikmatan kepada seseorang yang
menyerahkan dirinya secara sukarela.
Kembali Nagagini mengerang manja, mendesah-desah gelisah. Sekujur
tubuhnya terasa penuh dengan keinginan yang mendesak-desak. Tidak hanya
dadanya ... Nagagini ingin lebih dari sekedar itu.
Ia memang ingin bercinta, sekarang juga, di tempat ini juga!
Meski cuma di atas gubuk di tengah laut!
Apa pun risikonya, ia ingin sekali.
Maka ... memohonlah ia lewat erangan dan desahan!
“Ahhh ... shhh ... !”
Dalam desah kenikmatan dari bibir Nagagini yang berkepanjangan, Jalu
berniat menuntaskan pelayaran kali ini.

“Hemmm ... sudah waktunya,” kata Jalu dalam hati. Kembali Jalu Samudra
menggunakan jurus ‘Perjaka Murni’, bukan untuk membuat Nagagini kembali
menggeletar dalam kenikmatan tapi untuk mengurangi rasa sakit akibat benteng
kegadisannya tertembus ujung pilar tunggal penyangga langit yang super jumbo.
“Tekuk sedikit lututmu,” kata lembut Jalu memberikan aba-aba pada Nagagini.
Meski sambil mengerang nikmat, murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal
menekuk sedikit lututnya sehingga daerah di sekitar gerbang istana kenikmatan
semakin terkuak.
“Jika kau merasakan sesuatu yang menerobos masuk, nikmati saja,” kembali
Jalu Samudra memberikan instruksi. ”Jangan di lawan. Paham?”
Gadis cantik itu hanya mengangguk pelan.
“Hemm ... pintu gerbangnya yang telah kebanjiran seharusnya
memudahkanku untuk menyelinap lebih ke dalam,” pikir Jalu sambil tarik-ulur di
bagian bawah, namun setelah berulang kali justru tidak mau masuk-masuk.
“Ughh ... sebenarnya punyaku yang kegedean atau punya dia yang
kesempitan, sih?” pikir Jalu Samudra setelah berulang kali tidak sukses.
Berulang kali pula ia merasakan sebentuk dinding yang menghalangi jalan.
Akhirnya, Jalu terus menyodok ... sodok lagi terus hingga Nagagini pun
merintih-rintih.
“Ahh ... aahh ... ”
Akhirnya si Pemanah Gadis merasakan pilar tunggalnya sedikit menekanmenerobos
masuk ke dalam belahan gerbang istana kenikmatannya, tapi baru
sedikit saja rintihan si gadis sudah berubah jadi jeritan tertahan.
Sedikit demi sedikit Jalu mendorong maju, mundur sedikit, maju lagi, mundur,
maju, mundur. Dan akhirnya ...
Cress ... !
Terdengar suara robek lembut di dalam istana kenikmatan. Meski baru masuk
seperempatnya namun jeritan Nagagini pun tak tertahankan.
“Kaanngg! Saakiiitt ... !”
Meski Jalu Samudra sudah mendahului dengan hawa keperkasaan dari jurus
‘Perjaka Murni’, namun tetap saja rasa sakit menjalari ke seluruh tubuh Nagagini,
terutama pada bagian yang tersobek. Si gadis yang telah terenggut
kegadisannya pun meronta berusaha mengeluarkan pilar tunggal penyangga
langit dari dalam gerbang istana kenikmatannya.
Melihat hal itu, Jalu segera menindih tubuh indah si gadis dan memegang
kedua tangannya, hingga ia tak bisa bergerak bebas.
Murid Dewa Pengemis sendiri berusaha menenangkannya dan berkata,
“Tahan ... Nagagini ... tahan! Cuman sebentar kok ... ”
Terlihat air mata bening meleleh dari sudut matanya.

”Sakit ... ” desis Nagagini sambil menggigit bibir bawahnya.
Jalu sendiri bergegas menggunakan jurus ‘Perjaka Murni’ untuk mengurangi
rasa sakit yang dialami Nagagini.
Srashh ... !
Hawa dingin-sejuk menjalar ke dinding-dinding nun jauh di dalam.
Roman muka Nagagini yang semula meringis-ringis menahan sakit, kini sudah
banyak berkurang.
Akan halnya Jalu sendiri begitu menikmati sebentuk jepitan kuat-keras
sehingga bagian pilar tunggalnya yang sudah masuk terlebih dahulu seperti
diremas-remas rasanya di dalam sana. Bisa dibayangkan rasanya jika ’benda
sebesar’ itu sanggup masuk ke dalam ’ruang sekecil’ itu.
“Lanjutkan lagi ... ?” tanya Jalu memberi pilihan. “ ... atau berhenti ... ?”
Nagagini hanya tersenyum manis. Lalu mengangguk sambil berkata,
“Teruskan, Kang.”
Kembali Jalu bergerak. Saat menarik keluar hingga tertinggal kepalanya saja,
terlihat cairan merah kental melumuri benda tumpul besar yang baru keluar dari
dalam sana.
Serrr ... !
Kemudian menetes keluar dari celah-celah yang ada.
Darah keperawanan!
Dilumatnya bibir ranum Nagagini untuk meredam rintihan yang keluar.
Sejenak yang terdengar dalam gubuk aneh di tengah laut itupun hanya erangan
dan rintihan yang tersumbat.
“Nagagini! Kaitkan kakimu ke punggungku,” kata Jalu kemudian.
Nagagini segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda bermata putih.
Pelan-pelan, pilar tunggal penyangga langit Jalu Samudra yang luar biasa itu
ditarik lalu majukan lagi. Tarik lagi, majukan lagi.
Akan halnya Nagagini, ia merasakan sebuah sensasi luar biasa antara sakit
dan nikmat. Ada kalanya ia pun mengernyit kesakitan dan mendesis keras saat
sedikit demi sedikit benda bulat kenyal itu semakin lama semakin menerobos
masuk ke dalam.
“Aahh ... ahh ... ahhkkhh ... ”
Pilar tunggal si pemuda yang bergerak keluar-masuk dengan perlahan, terasa
sangat nikmat sekali, seakan-akan Jalu sendiri terbang di antara gumpalangumpalan
awan berarak.
“Enak?” kata si pemuda.
Nagagini cuma mengangguk pelan sambil tetap mengeluarkan suara-suara
kenikmatan.

“Aahh ... aahh ... ohhh ... hsshhh ... ”
Jalu semakin menambah daya dobrak di bawah sana, yang pelan namun
pasti, semakin ia menusuk ke dalam, semakin dalam dan semakin ... dalam!
Hingga akhirnya, benda bulat panjang yang sanggup membawa berjuta
kenikmatan itu terbenam sepenuhnya!
Benar-benar perjuangan yang luar biasa!
Perjuangan dari Jalu Samudra dan juga pertahanan dari Nagagini.
Begitu masuk ke dalam secara menyeluruh, Jalu menarik diri dengan sedikit
cepat dan menghunjamkan dalam-dalam.
Srakk!
Erangan Nagagini pun berubah jadi jeritan. (Jeritan nikmat maksudnya,
heheheh ... )
Jalu benar-benar penakluk seorang gadis!
Kenikmatan yang tak ada duanya telah merasuki tubuh mereka masingmasing.
Untuk sesaat dalam tiga-empat helaan napas, Jalu tidak melakukan gerakan
apa-apa.
Tidak maju juga tidak mundur!
Sebentar kemudian, barulah bergerak lambat-lambat.
Dengan tetap menjaga irama permainan maju-mundur dengan perlahan sekali
menikmati setiap gesekan demi gesekan. Istana kenikmatan itu sempit sekali
hingga setiap berdenyut membuat Jalu Samudra seperti melayang. Denyutan
demi denyutan membuatnya semakin tak mampu lagi menahan luapan gelora
ekaraga (persetubuhan).
Terasa beberapa kali Nagagini mengejankan dinding-dinding istananya,
mungkin menahan rasa sakit dan nikmat dari serbuan benda asing yang
bergerak keluar masuk ’dengan buas’ itu, tapi bagi si Pemanah Gadis malah
memabukkan karena bagian dalam itu jadi semakin keras menjepit pilar tunggal
penyangga langitnya.
Bahkan Jalu sendiri tanpa sadar juga mendesah nikmat.
”Aaaa ... ughh ... ”
Erangan, rintihan, dan jeritan gadis murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal
terus menggema, seakan berpacu liar dengan desahan badai angin yang
menerpa gubuk mereka. Rupanya ia pun menikmati setiap gerakan maju-mundur
pilar tunggal milik Jalu. Rintihannya mengeras setiap kali pilar tunggal melaju
cepat ke dasar gerbang istananya dan mengerang lirih ketika si pemuda menarik
pilar tunggalnya. Karena sudah terasa licin, Jalu melakukannya dengan kadang
cepat, kadang lambat.
Cepat-lambat silih berganti!

Satu lambat, dua cepat, tiga lambat, empat cepat, lima lambat, enam cepat.
Begitu seterusnya dalam hitungan-hitungan tertentu.
Beberapa saat kemudian, kembali Nagagini mendapatkan titik puncak
asmaranya!
”Aaahh ... oooohhh ... ”
Jalu Samudra merasakan air hangat menyembur keluar dari dalam istana
kenikmatan yang langsung saja mengguyur batang kenyal-keras yang terus
bergerak keluar-masuk.
Lalu di saat bersamaan Jalu menggerakkan hawa keperkasaan dengan jurus
’Perjaka Murni’.
Srasshh .. !
Jalu mendorong-menekan pilar tunggalnya dalam-dalam sambil
menyemburkan hawa keperkasaannya ke dinding paling terujung.
”Ahhh ... ooughhh ... !”
Sontak, Nagagini merasakan sensasi luar biasa bersamaan dengan titik
puncak asmaranya.
Tuntas sudah jurus ’Lebah Jantan Memetik Sari Kembang’!
Setelah beberapa saat, Nagagini kembali ke jatidirinya.
Posisi Jalu tetap menindih Nagagini dengan pilar tunggalnya masih dijepit oleh
dinding-dinding kenyal di dalam istana kenikmatan si gadis meski telah
memuntahkan lahar keperkasaan.
Tetap kokoh bagai batu karang!
”Gila, Kakang! Apa begini rasanya bercinta?” tanya Nagagini dengan mata
berbinar-binar.
”Seperti yang kau rasakan,” sahut Jalu dengan lembut.
”Tapi ... ”
”Tapi apa?”
”Apa ... kakang tidak capek dengan posisi seperti itu?”
”Apa kau mau posisi yang lain?”
”Memangnya ada?” tanya Nagagini, heran.
”Bukan hanya ada, banyak malah!”
”Seberapa banyak?”
”Kurang lebih ada 30 jenis posisi ... tepatnya 30 jurus yang kukuasai,” kata
Jalu Samudra. ”Dan puluhan jurus kembangan.”
”Hah!? 30 jurus!?” kata Nagagini, kaget. ” ... dan puluhan jurus kembangan?”
Tidak pernah terbersit dalam otaknya bahwa dalam bercinta pun ada jurusnya.
Setahunya, jurus hanya berlaku untuk ilmu silat, tidak untuk bercinta. Jika

memang seperti itu adanya, Nagagini justru penasaran dengan jurus-jurus yang
lain!
”Aku mau jurus yang lain, tapi ... ”
”Apalagi?”
”Kakang yakin benar-benar kuat!?”
Jalu justru tertawa lembut, lalu dengan spontan ia menarik mundur, lalu
dengan cepat melesakkan dalam-dalam pilar tunggalnya.
”Aoowww ... ”
Tentu saja Nagagini menjerit kaget.
Pada tarikan ketiga, Jalu mencabut keluar pilar tunggalnya.
Plokk!
Terlihat warna merah melumuri sekujur batang kenyal yang masih tegak
dengan gagah.
Nagagini mengerutkan alisnya, ”Kok ada merah-merah, Kang? Itu darah!?”
”Ya jelas darah, to! Emangnya saus tomat, apa?”
“Darah darimana?”
“Wuuuhh … bego dipiara!” tukas Jalu sambil tertawa-tawa.
Nagagini mengerucutkan bibir!
Tahu kalau gadis itu bingung, Jalu segera membisiki sesuatu ke telinga
Nagagini.
”Hah, jadi ... Nagagini sudah ... tidak perawan lagi?” sentaknya kaget.
”Edan! Ditabrak barang segini gedhe masih bilang perawan,” kata Jalu
Samudra, tapi tidak ia ungkapkan. Takut menyinggung perasaan gadis yang
benar-benar polos dalam hubungan suami-istri ini.
Dengan sabar, pemuda sakti dari Goa Walet ini menerangkan kepada
Nagagini tentang ekaraga yang baru saja mereka lakukan.
Semuanya ... dari A sampai Z!
”Nah ... sudah jelas, Neng!?”
Nagagini mengangguk pelan.
”Nah, sekarang kakangmu ini akan mengajarimu jurus ke dua,” kata Jalu,
sambungnya, ” ... sekarang berbaring miring.”
”Kenapa harus miring?”
”Udaahhh .. jangan banyak tanya!”
Tanpa banyak tanya lagi, gadis yang baru saja dapat pelajaran kilat ini
berbaring miring sedang Jalu sendiri pun ikut berbaring miring di belakang dan

mengarahkan batang kenyal-keras dari belakang ke arah belahan gerbang istana
kenikmatan yang masih terlihat bercak-bercak darah.
Slepp ... slepp ... slepp ... !
Dengan beberapa kali tarik-ulur, pilar tunggal penyangga langit yang masih
perkasa itu kembali menerjang dinding-dinding istana kenikmatan yang kini
terasa licin akibat cairan asmara yang semakin membanjir keluar. Jalu
menggerakkan pusakanya keluar masuk perlahan-lahan namun semakin lama
gerakannya semakin liar, bahkan dipercepat hingga tubuh Nagagini terguncangguncang
akibat terjangan Jalu dari belakang.
Srakk! Srakk!
Sesekali ia memutar-putar gerakan pinggul seolah-olah sedang mengadukngaduk
bagian dalam dinding istana milik Nagagini.
Jurus yang dilakukan murid Dewi Binal Bertangan Naga ini adalah jurus ’Naga
Berbaring Sambil Bersalto Ke Belakang’. Dimana dalam jurus ini, Nagagini --
menurut ajaran si Pemanah Gadis-- harus menarik kedua kakinya, sehingga
pahanya berada di sudut dan tegak lurus dengan badan. Sementara posisi Jalu
sendiri tidur menyamping tepat di belakang Nagagini. Variasi pada jurus ini akan
memberikan kesan rileks dengan gerakan ringan. Bila Jalu berada di sebelah kiri
Nagagini, ia memberi instruksi pada si gadis untuk meletakkan kaki kiri di atas
kedua kaki Jalu.
Kembali pertarungan digelar!
Jalu melihat bibir Nagagini terbuka disertai erangan tertahan.
“Errghhh ... !”
Tubuhnya meliuk-liuk binal menyambut gerakan maju-mundur si pemuda
bermata putih.
Hingga sekitar sepenanakan nasi kemudian gadis yang pernah putus kakinya
akibat gigitan Ikan Gajah Putih ini melengking panjang dan tubuhnya bergetar
hebat.
Gelombang asmara datang lagi!
”Eeergghh ... !”
Dan kembali Jalu merasakan air hangat menyempot keluar dari dalam.
Denyutan-denyutan yang kuat memberikan sensasi tersendiri pada pilar tunggal
penyangga langit yang masih asyik keluar-masuk dengan ritme yang berbedabeda
di dalam lubang hangat milik Nagagini, hingga akhirnya Jalu sendiri sudah
berniat menuntaskan jurusnya kali ini.
Jalu yang merasakan bahwa gelombang asmara akan datang lebih besar lagi
dari sebelumnya dan ia ingin bisa saat yang bersamaan menggapai gelombang
asmara yang sama dengan pasangannya.
Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai.
Srepp!

Begitu tenaga ditarik, ia mengganti dengan sebuah tarikan napas lembut,
mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah
denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga
langit.
“Terima ini, sayang!” kata Jalu sambil mempercepat gerakan.
Nagagini sampai terguncang-guncang, tapi justru inilah yang diharapkannya.
Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih cepat!
“Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... “
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dindingdinding
gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... !
Sebentuk cairan panas menggelegak tersembur keluar diiringi dengan
sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam,
menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan.
Dan bersamaan dengan itu pula, Nagagini mengalami hal yang sama untuk
kedua kalinya dalam jurus yang sama.
Serr ... !
Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam.
Saling sembur dan saling semprot!
Tubuh Jalu menegang sambil dua tangan mendekap-meremas kencang dada
padat-kencang gadis itu semakin membusung sehingga punggung si gadis
menempel erat di dada bidang Jalu yang membuat pilar tunggal penyangga
langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung, lain halnya
dengan Nagagini. Tubuhnya menggeliat-melengkung indah ke depan dengan
kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher jenjang serta
tangan kanan melingkar kuat di leher si Jalu, seakan dengan begitu, ia bisa
memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit si pemuda dan kandas
di dasar jurang, sebuah kenikmatan tanpa cela, sempurna.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas.
--o0o—
BAGIAN 26
Di waktu yang bersamaan ...
Di Perguruan Tanah Bambu terjadi kegemparan!
Kegemparan apakah?
“Wah, suara apa tuh, kayak bayi nangis aja dech … “ gerutu kesal seorang
pedagang buah. Maklum, dari tadi cuma laku lima dua buah semangka, dua biji
nanas dan satu renteng salak hutan.

“Suara bayi, mbahmu!” cetus pedagang sayur, “ … itu kan suara orang
berteriak-teriak.”
“Lho, suara teriak kok mirip suara bayi nangis,” tukas pedagang buah tak mau
kalah. “Ga mungkin-laaahhh ... “
“Lha emang jatah suara dari sononya dah cempreng macam kaleng rombeng,
mau diapakan lagi?”
“Wuuuh ... mbok dulu itu milih suara yang bagusan dikit ... “ gerutu pedagang
buah sambil celingak-celinguk. Entah apa yang dicarinya.
Saat melintas di depannya seorang laki-laki baju hitam, ia bertanya, “Kang,
memangnya ada apa, to? Pagi-pagi kok dah pada ribut!?”
Laki-laki baju hitam tanpa berhenti langsung saja menjawab, “Ada yang mati.”
“Di mana?”
“Di pintu selatan agak ke utara sedikit.”
“Memangnya yang mati siapa?”
“Orang,” jawab pendek laki-laki baju hitam sambil terus berjalan tergesa.
“Lho ... memangnya orang mati bisa teriak, to?” kejar pedagang buah dengan
muka kebodoh-bodohan. “Aneh juga!?”
Si laki-laki baju hitam yang dikuntit terus, sontak menghentikan langkahnya.
Brugh!
Si pedagang buah langsung menabrak punggung orang di depannya.
“Hei, tolol!” bentak si laki-laki baju hitam sambil tangan kanan mencengkeram
kerah baju si pedagang buah. “Denger, ya! Dimana-mana orang mati tidak bisa
teriak, yang bisa teriak itu cuma yang hidup! Otakmu itu dimana, hah!?”
“E-e-e-e ... kang! Damai, kang ... damai ... “ ucap si pedagang buah ketakutan.
“Jangan melotot begitu, lah!”
Tanpa menggubris sama sekali kata-kata pedagang buah, tangan kiri laki-laki
baju hitam njulekin jidat makhluk bodoh yang masih dicengkeramnya dengan
seenaknya hingga kepala si pedagang buah berulang kali terdorong ke belakang.
Ga’ sakit sih, tapi malunya ... minta amplop, eh ... ampun!
“Makanya punya otak dipake!” bentak si baju hitam, “Jika tidak, kepalamu
yang soak ini bakal aku ganti dengan buah semangka tanpa biji! Jelas!?”
“Jelas, Kang! Jelas! Pokoknya jelas, dech! Suwer!” sahutnya dengan dua jari
kanan membentuk huruf ’V’.
“Bagus!” sahut si laki-laki baju hitam sambil melepas kerah baju pedagang
buah, lalu ngeloyor pergi begitu saja.
Namun, baru saja lima langkah ...
“Kang, emangnya yang mati … “

Belum lagi suaranya lenyap, laki-laki baju hitam langsung menyambar buah
semangka di dekatnya.
Wutt!
Lalu dengan ’gaya manis’ seperti orang memasukkan bola ke dalam keranjang
(inget gaya Michael Jordan waktu mau dunk!), ia mengayunkan semangka besar
di tangan ke bawah.
Bluss!
Buah semangka yang ternyata benar-benar tanpa biji langsung melesak
masuk ke kepala pedagang buah dengan sukses.
Tentu saja pedagang buah langsung kaget karena tiba-tiba kepalanya
berubah bentuk!
“Emmm ... emmhhh ... “ (maksudnya : tolong ... tolong ... )
Beberapa pedagang --terutama pedagang sayur-- tertawa geli melihat
kejadian sebabak tadi. Bukannya kasihan, tapi malah ngetawain temannya yang
sedang sial!
“Makanya, kalau tanya-tanya lihat-liat orang dong!” serunya sambil tetap
ketawa keras.
“Tapi, lama-lama kasihan juga si Karjo,” ujar pedagang kain. “Cepat, bantuin.
Ntar kehabisan napas, tuh.”
Si pedagang sayur berjalan mendekat, lalu dengan seenaknya ia kemplang si
Kepala Semangka dengan keras.
Prakk!
Tentu saja buah semangka yang lunak itu, langsung pecah berantakan.
Terlihat roman muka Karjo yang pucat pasi belepotan daging semangka.
“Apa yang terjadi?” katanya heran.
“Ga terjadi apa-apa, cuma tadi ada semangka jatuh dari langit dan tepat
menimpa kepalamu,” jawab pedagang sayur sambil senyum-senyum geli campur
kasihan. “Tapi ... besok lagi hati-hati, ya.”
“Hati-hati kenapa?” tanya Karjo, heran sambil mulutnya pulang-balik masukin
buah semangka ke dalam mulut. Mungkin saking kagetnya sampai ia lupa
dengan kejadian yang barusan terjadi menimpa dirinya.
“Ya ... hati-hati aja!” sahut si pedagang sayur sambil membalikkan badan.
“Lha, iya ... hati-hati kenapa?” kejar Karjo.
“Ya ... hati-hati supaya tidak kejatuhan semangka lagi. Untung semangkanya
cuma kecil,” sahut pedagang sayur sambil membenahi barang dagangannya,
sambung. “ ... coba kalau sebesar rumah, tubuhmu langsung hilang di telan
bumi.”
“Wah, kalau begitu aku jadi orang sakti, dong!” celoteh Karjo makin ngelantur.

Mungkin otaknya terbuat dari kuaci ’kali ya!?
Masa’ kejatuhan semangka segedhe rumah dianggap sakti?
“Maksudku, kau langsung ... modar!” ucap pedagang sayur, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
Bahkan beberapa orang yang ada di tempat itu, sontak tersenyum melihat
roman muka pucat bin bego si pedagang buah.
Huh ... dasar kepala semangka!
Sementara itu ...
Seorang perempuan usia sekitar enam puluhan tahun berjalan mendekat.
Meski terlihat ringkih dengan usia yang terus menanjak, tapi roman mukanya
terlihat muda belia seperti gadis usia dua puluh tahun. Jarang-jarang ditemui
nenek muka segar kayak gitu.
Terhitung barang langka, tuh!?
Meski tidak terlalu cantik, tapi raut mukanya cukup sedap di pandang, apalagi
dengan roman terlihat santun. Orang-orang Kepulauan Tanah Bambu
mengenalnya dengan nama Nyai Gugur Gunung. Julukannya Dewi Kecapi
Hitam.
Dewi Kecapi Hitam bertanya dengan lembut, “Ada apa?”
Beberapa orang berseragam hitam yang mengerumuni sesuatu, terkuak
membuka jalan saat mengenali sosok perempuan ini.
“Oh, Nyai Gugur Gunung!” kata salah seorang baju hitam mengenali siapa
sosok perempuan baju hitam garis-garis putih yang menyandang kecapi di
punggungnya. Ternyata laki-laki yang tadi mengerjai Karjo di pasar. “Ada yang
tewas. Tepatnya ... terbunuh.”
Nyai Gugur Gunung sekilas memandang sosok mayat tanpa kepala yang
tergeletak di pinggir jalan. Belum lagi ia mengatakan sesuatu, terdengar lagi
teriakan.
“Ada mayat! Ada mayat!”
Namun belum lagi suara pertama hilang, kembali terdengar teriakan dimanamana.
“Ada lagi ... !”
“Di sini juga ada ... !”
Kadar teriakan bukannya surut, justru sekarang malah tambah banyak.
Orang-orang saling berlarian ke arah suara yang saling sahut menyahut.
Namun, intinya cuma satu. Ditemukan sesosok mayat!
“Wah, disini juga ada. Tapi lumayan kecil,” seru orang yang berada di paling
timur. “Cuma ... “

Orang-orang kembali berlarian mendekat sambil berteriak keras, “Mana?
Mana!?”
Dengan muka tak bersalah, orang tadi menunjuk sesosok mahkluk kecil di
depannya dengan sebatang ranting.
“Ini.”
Saat melihat sosok yang ditunjuk, sontak orang langsung jengkel bukan main!
Ternyata cuma ... bangkai kucing!
“Brengsek kau!” sentak salah seorang temannya. “Bangkai kucing aja pakai
acara teriak-teriak segala!”
“Dasar kurang kerjaan!” seru beberapa orang dengan kesal.
Nyai Gugur Gunung dengan sigap memberikan perintah.
“Kau! Cepat lapor ke Penguasa Tapal Batas Selatan!” katanya dengan nada
cepat namun masih menunjukkan kesantunan seorang perempuan lanjut usia.
“Dan kau! Panggil Bandar Mayat kemari,” kembali Nyai Gugur Gunung
memberi perintah. “Dan lainnya, cari mayat-mayat yang kemungkinan masih ada
di sekitar tempat ini dan kumpulkan mayat-mayat menjadi satu.”
“Siap, Nyi!”
Tanpa diperintah dua kali, satu orang langsung melesat pergi ke tempat
kediaman Dewa Periang karena dialah penguasa wilayah Tapal Batas Selatan.
Satunya lagi segera menghubungi si Bandar Mayat. Sedang sisanya
mengumpulkan mayat-mayat yang bertebaran dimana-mana.
“Hemm ... “ gumam Nyai Gugur Gunung dengan mata mengedar ke sekitar.
Terlihat beberapa orang menggotong sosok-sosok tanpa nyawa dari tempat yang
berbeda.
“Lumayan banyak ... “ gumamnya lagi setelah melihat sejumlah mayat yang
terjajar rapi di depannya.
Sesaat Nyai Gugur Gunung memeriksa mayat satu per satu. Tidak ada luka
dalam atau pun luka luar selain sebuah luka lebar pada leher yang menyebabkan
kepala bisa terlepas dari tempatnya bertugas sehari-hari.
Kesamaan semua mayat cuma satu : selain kehilangan nyawa, semuanya
tanpa batok kepala!
“Penggalan yang rapi ... “ gumam Dewi Kecapi Hitam. “ ... atau jurus
serangannya yang terlalu cepat?”
Total mayat yang berhasil dikumpulkan oleh orang-orang baju hitam ternyata
cukup banyak. Jumlahnya mencapai puluhan, tepatnya dua puluh sembilan
mayat telah terkumpul menjadi satu. Jadi tiga puluh jika di tambah dengan
bangkai kucing.
Beberapa saat kemudian, orang yang diminta memanggil Bandar Mayat telah
kembali. Mukanya pucat pasi plus napas terengah-engah.

Dewi Kecapi Hitam mengkerutkan keningnya.
“Mana si Bandar Mayat?”
Sambil mengatur napas yang masih memburu, ia menjawab, “Maaf ... Nyi ... si
Ban ... dar Mayat ... telah jadi ... mayat ... “
“Apa?” terdengar suara Nyai Gugur Gunung agak meninggi.
“Kepalanya hi ... lang ... “
Untuk kedua kalinya, Nyai Gugur Gunung terkaget-kaget.
“Kepalanya juga hilang,” desisnya sambil memandangi mayat-mayat tanpa
kepala yang berjajar rapi. Gumamnya lagi. “Bandar Mayat juga telah pensiun jadi
orang.”
Sekelebat bayangan datang mendekat dari arah selatan. Kecepatannya
laksana angin puyuh, karena setiap ia tempat yang dilewatinya pasti
dibelakangnya terlihat debu mengepul tebal. Jelas tenaga peringan tubuhnya
tidak bisa dianggap enteng.
Wutt! Jleegg ... !
Roman muka yang kemerah-merahan seperti bayi baru lahir sedikit terkejut,
namun cuma sesaat saja sudah berganti dengan roman riang tanpa beban.
Sosok kakek rambut putih yang baru datang adalah Dewa Periang adanya.
“Dewi Kecapi Hitam! Siapa yang punya pekerjaan seperti ini!?” Dewa Periang
bertanya. “Weleeh-weleeh-weleeh! Ni kepala pada kemana?”
Mata-matanya berputar-putar lucu memelototi sosok-sosok terbujur kaku
dekat kakinya.
“Mana aku tahu?” jawab Dewi Kecapi Hitam.
“Kepalanya dimana?” tanya kembali Dewa Periang.
“Aku juga tidak tahu, masih di cari orang-orang disana,” kata Dewi Kecapi
Hitam.
“Kenapa kau tidak memanggil si Bandar Mayat?” kejar Dewa Periang. “Dia
’kan paling ahli dalam urusan kayak gini.”
“Heh, si Bandar Mayat tidak bisa datang.”
“Lho, kok bisa?” sentak Dewa Periang kaget. “ ... ini ’kan sudah jadi bagian
dari tugasnya.”
“Karena si Bandar Mayat sudah malas jadi orang.”
“Malas?”
“Dia juga ikut-ikutan mati tanpa kepala,” jawab Dewi Kecapi Hitam, enteng.
Dewa Periang tersenyum manyun.
Lalu ia memanggil salah seorang yang ada di dekatnya.
“Kau! Ke sini sebentar,” katanya.

“Saya, Tuan?”
“Iya, kau kesini.”
Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.
“Ada apa, Tuan.”
“Aku mau minta tolong. Bisa?”
“Bisa, Tuan. Bisa!”
“Tolong kau hubungi Galah Mayat dan Ratu Kuburan. Suruh mereka kemari.
Ada pekerjaan buat mereka. Jelas!?”
“Jelas sekali, Tuan.”
“Sip, kalau gitu,” ucap Dewa Periang sambil menepuk-nepuk pundak tebal si
gemuk.
Si gemuk langsung putar badan.
“Eh, tunggu dulu! Siapa namamu?”
Si gemuk membalik badan.
“Jenggrik. Tapi orang-orang disini sering memanggil saya ... Mata Maling,
Tuan.” terang orang berbadan bongsor bermata bundar kecil yang bernama
Jenggrik ini.
Selebar muka Dewa Periang sontak langsung menahan tawa. Pikirnya,
“Pantes aja di panggil Mata Maling. Matanya bundar kecil kayak gitu, mirip mata
maling jemuran.”
“Baiklah, Ki Jenggrik. Kami tunggu disini,” kali ini yang bersuara Dewi Kecapi
Hitam karena melihat dari tadi Dewa Periang mukanya merah-padam menahan
tawa.
Mata Maling langsung bergegas pergi. Jangan dilihat postur tubuhnya yang
besar macam gajah beranak lima, tapi ilmu lari cepatnya bisa dibilang luar biasa.
Blasssh ... !
Dalam empat helaan napas, sosok bundarnya sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kenapa kau ini? Telat buang hajat?” ucap Dewi Kecapi Hitam.
Akhirnya ...
“Huahahahahaha ... hahahahaha ... !”
Meledaklah tawa keras Dewa Periang yang membuat semua orang yang
berkumpul di tempat ini jadi terlonjak kaget. Bahkan laki-laki bermuka kemerahan
ini sampai terbatuk-batuk saking keras dan panjangnya ia tertawa.
“Huahahah ... uhukk ... uuhukkk ... “
“Kau ini kenapa? Kesambet!?”
“Huahha ... dia .... huhuh ... matanya ... hahah ... lucu ... sekali ... “

Dewa Periang tertawa terus, hingga akhirnya ia jatuh kelelahan.
Saat itulah, dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh beda tinggi beda jenis.
Yang sebelah kiri terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki pada umumnya.
Mengenakan rompi buntung hitam kusam yang dikancingkan sehingga kulit
pucatnya terlihat jelas. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak ganteng-ganteng amat
juga tidak jelek-jelek amat. Sedang-sedang sajalah. Kalau urusan tua, jelas.
Karena warna rambut sudah dua warna pastilah berusia lima puluh tahun ke
atas.
Di pinggangnya terdapat galah bambu sepanjang dua tombak sebesar jari
kelingking. Fungsi galah bambu ini selain sebagai alat ukur panjang mayat juga
sebagai senjata yang memiliki daya bunuh hebat. Konon kabarnya benda antik
ini di dapat dari mendiang kakaknya yang tewas terbunuh oleh lawan.
Selain tinggi tubuh menjulai laksana bambu kering tanpa daun, ada yang lebih
luar biasa di bagian wajah.
Tepatnya ... di hidung!
Hidungnya terlalu besar untuk ukuran hidung manusia, mirip-mirip paruh
burung betet gitulah, warnanya kuning kecoklatan.
--o0o—
BAGIAN 27
Sedang yang sebelah kanan, justru tinggi tubuhnya tidak lebih dari bocah usia
tiga tahun. Wajahnya terlihat tua dan keriput macam siput minta diurut agar tidak
kisut. Mulutnya tidak pernah berhenti bergerak-gerak. Entah apa yang ada dalam
mulut nenek berbadan sekelumit ini.
Mereka berdua adalah pasangan tidak serasi yang biasa dipanggil Galah
Mayat dan Ratu Kuburan.
“Ketua, dimana Bandar Mayat?” tanya Ratu Kuburan. “Kenapa tidak
kelihatan!?”
Dewa Periang hanya menggerakkan tangan kanan sejajar leher dengan pelan.
Ratu Kuburan terlihat menundukkan muka sedih.
Sementara itu, tanpa banyak cakap, Galah Mayat langsung mendekati sosok
yang paling kiri. Hidungnya mengendus-endus sesaat, lalu tangan kanan
menjulur menekan ke arah urat nadi.
“Ni orang goblok apa tolol, sih! Sudah jadi mayat begitu mana ada denyut
nadinya?” pikir Dewi Kecapi Hitam.
“Ratu Kuburan! Sudah jangan sedih!” kata Galah Mayat dengan suara yang
tidak sedap di dengar. “Mayat-mayat ini terbunuh menjelang fajar menyingsing.
Denyut nadinya masih terasa bergetar. Gunakan Ilmu ’Membalik Sukma’!”

Dengan sigap, Ratu Kuburan mengikuti perintah Galah Mayat. Dia terlihat
jingkrak-jingkrak macam nenek sinting kesurupan dengan suara meracau tak
karuan (mungkin merapal mantra ’kali, ya!?). Belum lagi semua heran dengan
tingkah lakunya, si nenek berbadan secuil ini melompati semua mayat dalam
satu sentakan.
Wutt! Jleg!
Begitu kaki Ratu Kuburan menyentuh tanah, tiba-tiba saja mayat yang paling
kanan menggeliat cepat berdiri.
Tentu saja semua orang yang ada di tempat itu terlonjak kaget!
Bagaimana mungkin orang yang sudah tidak punya nyawa dan tidak punya
kepala masih bisa bangun dan sekarang berdiri tegak?
Tentu saja ini adalah ulah dari Ratu Kuburan yang mengerahkan ilmu gaib
andalannya yang bernama Ilmu ’Membalik Sukma’ dimana ilmu ini sanggup
mengembalikan sukma orang meski untuk beberapa saat. Yang menguasai ilmu
ini selain Bandar Mayat adalah dirinya. Namun orang-orang tahunya hanya
mendiang Bandar Mayat saja yang menguasainya.
Orang-orang baju hitam kontan lari serabutan sambil berteriak-teriak
ketakutan.
“Ada mayat hidup ... !!
“Ada setan kesiangan ... !”
Benar-benar kacau-balau.
Sedang Dewi Kecapi Hitam sendiri yang notabene memiliki ketabahan tinggi
merasa ngeri juga, bahkan tanpa sadar kakinya mundur dua langkah.
“Ilmu setan,” desisnya tanpa sadar.
Si mayat terlihat membungkuk hormat pada Ratu Kuburan, orang yang
membangkitkannya.
Tanpa peduli dengan sekitarnya, Ratu Kuburan bertanya, “Kau tahu yang
membunuhmu?”
Karena tidak punya kepala, si mayat hanya menggoyang-goyangkan dua
tangan yang artinya tidak tahu.
“Kau bisa jelaskan bagaimana kau kehilangan kepala?” tanya kembali Ratu
Kuburan.
Si mayat tiba-tiba menggenggam tangan kiri seperti orang memegang senjata,
lalu digerakkan dalam posisi menebas lurus dari kiri kanan.
“Ada yang lain?” kembali si nenek bertanya.
Kembali si mayat menggoyang-goyangkan tangan pertanda tidak tahu.
“Satu lagi pertanyaanku. Ada berapa orang yang melakukan pembunuhan,
terutama yang membunuhmu?”

Si mayat hanya menunjukkan jari telunjuk yang artinya cuma satu orang.
“Terima kasih. Kau boleh kembali.”
Begitu kata ’kembali’ terucap, si mayat langsung menggelosoh begitu saja di
tanah.
Ratu Kuburan tiba-tiba menghentakkan tanah tiga kali berturut-turut.
Dugh! Dugh! Dugh!
Aneh bin ajaib, si mayat yang tadi nglumpruk begitu saja di tanah, seperti di
angkat oleh tangan-tangan gaib, berpindah ke posisi semula.
Dewa Periang dan Dewi Kecapi Hitam dibuat kagum oleh demonstrasi ilmu
gaib milik Ratu Kuburan.
“Galah Mayat!” kata Ratu Kuburan dengan muka sedikit mendongak.
“Sekarang bagianmu!”
Galah Mayat yang sedari awal hanya terdiam, segera merangkap tangan di
dada sambil bertanya, “Ketua, semua mayat ini mau dikuburkan dimana?”
“Ke pemakaman umum saja,” sahut Dewa Periang.
“Baik.”
Mulutnya berkomat-kamit sebentar, lalu tangan kanan menarik galah bambu
sepanjang dua tombak dari pinggang.
Sett!
Bersamaan dengan itu, keluar larikan-larikan benang abu-abu kusam
berjumlah hingga ratusan dan yang langsung membelit mayat-mayat yang
berjajar.
Sratt! Sratt!
Cepat sekali cara kerja benang-benang abu-abu kusam itu, sebab sebentar
saja seluruh mayat sudah terbungkus rapi seperti ulat dalam kepompong. Begitu
melihat hasil kerjanya selesai, Galah Mayat menghentakkan kakinya ke tanah.
Dugh! Dugh!
Pada hentakan yang kedua, tanah di sekitar mayat terlihat bergelombang
seperti riak air tersapu angin. Dan tiba-tiba saja ...
Bless ... !
Dalam waktu bersamaan, mayat-mayat itu langsung tenggelam begitu saja ke
dalam tanah.
Sontak, keterkejutan semakin melanda semua orang yang ada di tempat itu.
Bahkan orang-orang baju hitam ada yang terkencing-kencing kala para mayat
amblas ke dalam tanah.
“Edan! Ilmu macam apa itu?” desis Dewi Kecapi Hitam.

Namun belum lagi keterkejutan semua orang yang ada di tempat itu lenyap,
Galah Mayat melanjutkan hentakan kaki ke tanah untuk ketiga kalinya.
Dugh!
Belum lagi lenyap suara hentakan, justru kini Galah Mayat yang amblas
masuk ke dalam tanah.
“Dewi Kecapi Hitam! Kau tidak perlu khawatir tentang Galah Mayat. Dia sendiri
yang mengirim mayat-mayat itu ke pemakaman,” suara Ratu Kuburan terdengar.
“Galah Mayat menggunakan jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’ untuk masuk ke
dalam tanah.”
Dewa Periang tidak begitu terkejut melihat jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’
yang digunakan Galah Mayat, karena mendiang Bandar Mayat sendiri pernah
menggunakan jurus itu, hanya waktu itu Bandar Mayat tidak sempat mengatakan
apa nama dari jurusnya.
“Sudahlah!” tukas Dewa Periang. “Lebih baik kita temui Empat Tua Raja
Tanah Bambu yang masih di Balairung Ranting Bambu untuk membicarakan
masalah ini.”
Dewi Kecapi Hitam mengangguk.
“Ratu kuburan! Kau ikut kami atau menyusul Galah Mayat!?” tanya Dewa
Periang.
“Saya ikut Ketua saja.”
“Baiklah.”
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya segera melesat pergi.
Sepenanakan nasi kemudian, ketiganya sampai di Balairung Ranting Bambu.
Dan benar dugaan saja, di tempat itu masih terdapat Tua Raja Pedang Bintang
dan Tua Raja Tabir Mentari yang sedang bercakap-cakap santai dengan Nini
Cemara Putih.
Melihat kedatangan Dewa Periang, Dewi Kecapi Hitam dan Ratu Kuburan,
ketiga petinggi Perguruan Tanah Bambu saling berkerut kening.
“Ada apa, Dewa Periang!?” tanya Tua Raja Tabir Mentari.
“Mohon maaf jika kedatangan kami bertiga mengganggu,” jawab sopan Dewa
Periang.
“Katakan.”
“Telah terjadi pembunuhan massal di wilayah selatan,” ujar Dewa Periang
kembali.
Nini Cemara Putih, Bramageni dan Barka Satya saling pandang satu sama
lain.
“Tepat sekali dugaanmu, Nini Cemara Putih,” desis Tua Raja Pedang Bintang.
“Rupanya wilayah kita ingin dibuat banjir darah.”

Belum lagi suara desis hilang dari pendengaran, dari arah timur dua sosok
bayangan hitam dan kuning bergerak cepat mendatangi. Dan tujuannya adalah
dimana orang-orang itu berkumpul. Ternyata mereka berdua adalah guru-murid
Kakek Kocak dari Gunung Tugel yang bernama asli Gayam Dompo dan murid
cantiknya Kaswari.
“Celaka, celaka, celaka!” begitu datang, suara keluh-kesah Gayam Dompo
langsung terdengar. “Lima puluh anak buahku mati tanpa kepala.”
“Apa!?” bentak Barka Satya dengan keras.
Tua Raja Pedang Bintang kaget.
Dewa Periang dan Dewi Kecapi Hitam juga kaget.
Semua kaget!
Bahkan Gayam Dompo sampai terlonjak kaget sambil mengelus-elus
dadanya.
“Buju buneng! Bikin kaget saja,” kata Gayam Dompo sambil mengatur napas.
Cuma Barka Satya yang tidak kaget, karena memang dia yang bikin kaget.
“Dewa Periang ... “
Belum lagi kata-kata Barka Satya berlanjut, Dewa Periang langsung
memotong, “Tiga puluh orangku juga kehilangan kepala.”
Kembali keterkejutan melanda.
Keadaan mendadak terpenggal karena di sebelah timur terlihat luncuran
panah api dan meledak di angkasa.
Duaaarr!!
“Celaka! Tapal Batas Timur diserang,” desis Tua Raja Pedang Bintang.
Tanpa banyak kata, semua orang yang ada di tempat itu langsung melesat
pergi kecuali Nini Cemara Putih.
“Kalian bantu Contreng Nyawa! Aku mau melihat daerah terlarang perguruan
kita,” seru Nini Cemara Putih dengan mengirimkan suara jarak jauh. “Perasaanku
mengatakan akan terjadi sesuatu disana.”
Sementara itu, di wilayah Tapal Batas Timur, terlihat puluhan orang tergeletak
tanpa kepala. Sedang di sudut tenggara terlihat empat laki-laki berbaju hitamhitam
dengan penutup kepala hitam pula sedang berdiri menonton pertarungan
yang terjadi. Yang luar biasa, di punggung masing-masing terlihat
menggelantung potongan-potongan kepala manusia yang diikat dengan benang
putih.
Rupanya mereka berlimalah para penjagal kepala!
Terlihat salah seorang manusia baju hitam berpedang lebar sedang adu
nyawa dengan seorang laki-laki baju kuning bersenjata aneh. Sulit sekali
mengatakan kalau benda ditangannya adalah senjata tajam karena meski lurus
sepanjang setengah tombak, namun bentuknya bulat memanjang bersegi enam

dengan ujung runcing hitam mengkilat. Mirip dengan pensil yang telah diraut
tajam. Benda itulah yang dikenal dengan nama Pedang Pensil.
Siapa lagi pemilik benda langka itu jika bukan Contreng Nyawa adanya?
Werr! Werr!
Srattt!
Ujung pedang tajam si baju hitam menggores lengan kiri Contreng Nyawa.
“Hahaha! Lebih baik kau serahkan saja kepalamu sebagai tumbal, Orang
Tua!” bentak si baju hitam, “Kami ... Lima Penjagal Kepala akan dengan senang
hati melakukannya!”
“Heh, cuma luka kecil mana bisa membunuhku dengan semudah itu!” dengus
Contreng Nyawa sambil menudingkan pedang di tangan kanan. “Justru kalian
semua yang harus menyerahkan kepala busuk kalian!”
Tiba-tiba, salah seorang dari Lima Penjagal Kepala berteriak, “Jagal Empat!
Cepat selesaikan pekerjaanmu! Waktu kita tidak banyak lagi.”
“Tenang, Kakang! Dalam dua jurus dimuka, kepala orang tua usil ini akan
menjadi kepala ke seratus!” seru orang yang dipanggil Jagal Empat, lalu sambil
mendengus bengis, ia berkata pada Contreng Nyawa, “Orang Tua! Bersiaplah
kau menjumpai raja neraka!”
“Justru kau yang harus menjumpai raja neraka!” balas bentak Contreng Nyawa
sambil mengayunkan pedang dari bawah ke atas.
Werr!
Sebentuk hamparan angin tajam yang sanggup membelah batu menerjang ke
arah Jagal Empat yang sambil mengumpat panjang-pendek bergegas
menghindar dengan melenting ke atas.
Wutt!
Dari arah ketinggian, pedang lebar di tangan jagal empat bergerak cepat.
Dalam satu tarikan napas saja, bayangan pedang telah memenuhi angkasa dan
semaunya meluruk tajam ke arah Contreng Nyawa.
“Kurang ajar! Membunuh satu bangsat saja harus mengerahkan jurus ’Pedang
Memenuhi Delapan Penjuru’!” desis yang paling pojok.
Akan tetapi Contreng Nyawa bukanlah tokoh kemarin sore. Hampir dari tiga
puluh tahun malang melintang di rimba persilatan dengan mengukir nama besar
si Pedang Pensil. Tentu saja tidak bakalan mudah mempecundangi apalagi
membunuhnya. Begitu melihat bayangan pedang tajam yang mengincar
nyawanya, Pedang Pensil di tangannya kembali bergerak cepat memutar
membentuk kubah.
Wutt! Wutt!
Sebentuk hawa padat kekuningan melingkupi tubuh Contreng Nyawa..
Cring! Criing ... criing ... !

Suara dentingan nyaring terdengar.
“Kurang ajar! Luka beracun di lengan kiriku seperti ulat menggerogoti tulang,”
kata hati Contreng Nyawa. “Jika begini terus, jurus ’Kubah Pedang Pelindung
Jiwa’-ku rasa-rasanya tidak akan mampu bertahan lebih dari dua helaan napas ...
atau memang inilah saaat-saat terakhirku di tempat ini!?”
Cring! Criing ... criing ... !
Kembali terjadi benturan nyaring dan terlihat kubah yang melindungi Contreng
Nyawa retak-retak di beberapa bagian. Dan akhirnya ...
Blarrr ... !
Kubah pelindung hancur berkeping-keping.
Terlihat disana, Contreng Nyawa tergeletak dengan napas kembang-kempis.
Sedang lawan terlihat berdiri angkuh dengan pedang menempel di leher kanan
Contreng Nyawa.
“Bagaimana? Ada permintaan terakhir!?” ejek Jagal Empat.
Jika bukan karena luka sayat beracun di lengan kiri, tak bakalan Contreng
Nyawa bisa takluk secepat itu. Apalagi ketika ia menggunakan jurus ’Kubah
Pedang Pelindung Jiwa’ yang justru membuat racun cepat sekali menjalari aliran
darah.
“Bunuh ... saja ... aku ... tapi aku tidak ... rela ... “ kata Contreng Nyawa
terbata-bata, “Rohku ... akan mengejar-ngejarmu ... seumur hidupmu ... “
Jagal Empat sedikit terhenyak mendengarnya. Ada rasa aneh menggelayuti di
dalam dirinya, namun dalam dua kedipan mata ia menepiskan rasa aneh itu.
“Jika itu permintaanmu ... berangkatlah sekarang ... Orang Tua!” desis Jagal
Empat.
Pedang lebar direnggangkan sejarak satu jengkal, lalu dalam satu tarikan
saja, kepala Contreng Nyawa menggelinding di tanah.
Sett! Crass!
Blugh!
Sebentuk kepala menggelinding di tanah.
Contreng Nyawa sendiri yang sudah pasrah memang berniat tidak menutup
mata saat pedang tajam lawan menebas lehernya. Di saat terakhirnya ia
memang berniat menantang kematian dengan mata terbuka. Benar-benar lakilaki
yang tabah.
Namun bagaimana pun juga, penentu hidup mati seseorang adalah hak Yang
Maha Kuasa, bukan hak manusia mencabut nyawa seseorang.
Yang menggelinding di tanah bukan kepala Contreng Nyawa tapi justru kepala
Jagal Empat!
Lho, kok bisa!?

--o0o—
BAGIAN 28
Satu sosok tubuh gemuk dengan seluruh kulit kuning emas berdiri gagah.
Tangan kirinya yang mengencang rapat terlihat diselimuti bara api berpijar.
Tangan itulah yang tadi memenggal kepala Jagal Empat dalam satu kali tebas.
Jagal Empat tidak menyangka kalau justru kepalanya sendiri tertebas dan jatuh
menggelinding di tanah sejauh empat langkah.
Sosok ini menatap tajam ke arah empat orang baju hitam yang berdiri sejarak
dua belas langkah dari hadapannya.
“Rupanya kalian yang membuat wilayah Tanah Bambu menjadi tidak tenang
akhir-akhir ini,” desisnya geram.
Kakinya melangkah dengan berdebam.
Bummm .... bummm ... !
Jelas sekali hawa kemarahan telah menyungkup dalam jiwa si laki-laki gemuk
kuning emas yang tidak lain Tua Raja Tabir Mentari. Seluruh tubuhnya
memancarkan api berkobar-kobar sehingga hawa di sekitar tempat itu bagaikan
matahari diturunkan di atas kepala.
Kepala Jagal Empat diinjak begitu saja.
Kress! Blub!
Langsung hancur lumat di sertai bau daging terbakar.
“Kalian mau kepala?” desis kembali Tua Raja Tabir Mentari. “Ini ... ambil
kepalaku.”
Empat orang itu terpana tidak bisa bergerak untuk beberapa saat. Mereka
semua melihat bagaimana kepala Jagal Empat di tebas tangan gemuk seperti
orang menebas rumput.
“Kita harus lari,” gumam laki-laki yang tengah. “Bersiaplah kalian.”
“Memangnya kalian mau lari kemana?”
Terdengar teguran halus di belakang mereka berempat.
Ke empatnya dengan gerak refleks segera berloncatan kesana-kemari.
Wutt!
Terlihat satu sosok tubuh seperti baru saja keluar dari alam gaib. Jelas sekali,
ilmu ringan tubuh yang dimiliki sosok tinggi kurus berjenggot putih dan
berpakaian serba putih tidak bisa dianggap sebelah mata. Buktinya, empat dari
Lima Penjagal Kepala tidak menyadari kalau di belakang mereka telah berdiri
sosok agung ini.
Terlihat tangan kiri disembunyikan di belakang punggung namun tidak bisa
menutupi gagang pedang yang tergenggam. Sosok tua penuh wibawa memakai

topi tinggi keperakan seperti pejabat istana ini sulit sekali diterka berapa usianya,
karena meski bersosok tua namun paras wajah tampannya seperti pemuda usia
puluhan tahun.
Dialah ... Tua Raja Pedang Bintang!
Belum lagi ke empatnya berpikir bagaimana cara meloloskan diri dari tempat
itu, dalam waktu yang hampir bersamaan telah mengepung rapat Dewa Periang,
Dewi Kecapi Hitam, Ratu Kuburan dan Galah Mayat. Menyusul kemudian Kakek
Kocak dari Gunung Tugel dan Kaswari.
“Jadi ini keparat-keparatnya!?” sentak Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
“Bagus! Kalau begitu aku bisa berpesta pora sekarang.”
“Guru, lebih baik kita tolong Paman Contreng Nyawa dulu,” bisik Kaswari.
“Kelihatannya dia terluka parah.”
“Tapi ... “
“Aaahh ... tidak ada tapi-tapian!” tukas Kaswari sambil menyeret tangan
gurunya. “Ayo ... !”
“Iya deh ... iya ... “ kata si kakek sambil bersungut-sungut. “Huh ... tidak bisa
unjuk gigi di hadapan Nyai Gugur Gunung, nih.”
Lagi-lagi Kakek Kocak dari Gunung Tugel memang paling tidak bisa menolak
kemauan dari si murid tunggal yang sudah dianggapnya seperti cucunya sendiri
ini.
“Tua Raja Tabir Mentari! Aku ambil bagian lebih dulu!” seru Dewa Periang
sambil mengebutkan selendang kuning panjang yang semula tersampir di
lehernya.
Wutt!
Dalam waktu sepersekian detik, sebentuk tongkat tercipta kala tenaga dalam
mengalir lepas. Begitu terbentuk sempurna, senjata aneh yang disebut dengan
Tongkat Gulungan Kain di tangan Dewa Periang segera menerjang orang paling
kiri.
Srazz!
“Tongkat Gulungan Kain!? Kau pasti ... Dewa Periang!” seru orang yang
diserang sambil memapaki serangan dengan ayunan pedang. “Jagal Lima siap
melayanimu!”
Trang! Crang!
Orang yang menyebut dirinya Jagal Lima segera mengerahkan jurus-jurus
pedang tingkat tinggi.
“Bagus kalau kau sudah tahu siapa diriku!” bentak Dewa Periang sambil
memutar tubuh setengah lingkaran dan bersamaan dengan itu tongkat di
tangannya bergerak cepat ke arah punggung lawan.
Werr!

Sebentar saja, Dewa Periang dengan jurus dan senjata Tongkat Gulungan
Kainnya saling terjang dengan lawan. Bisa dikatakan Dewa Periang menemui
lawan yang seimbang, baik tenaga sakti mau pun jurus-jurus silat bisa dikatakan
setara.
Akan halnya Dewi Kecapi Hitam sendiri langsung menyergap salah seorang
dari Lima Penjagal Kepala. Namun baru bentrok beberapa jurus, terlihat kalau
Dewi Kecapi Hitam berada di bawah angin. Barulah ketika Ratu Kuburan dan
Galah Mayat datang membantu, keadaan terlihat seimbang. Perpaduan jurus
ketiga penyerangnya membuat Jagal Tiga lintang-pukang menyelamatkan diri.
Tua Raja Tabir Mentari sendiri yang sejak tadi siap mengumbar amarah, justru
menatap lawannya dengan tajam.
“Aku menginginkanmu ... menginginkan nyawa busukmu, keparat!” desis Tua
Raja Tabir Mentari.
“Tidak segampang itu kau mengambil nyawa milik Jagal Satu, Tua Raja Tabir
Mentari!” dengus orang baju hitam yang menyebut diri: Jagal Satu. “Tidak
segampang itu!”
“Kita buktikan, siapa yang benar!”
Tubuh Tua Raja Tabir Mentari mendadak berkobar-kobar diselimuti api.
Swoshhh ... !
Jurus ‘Sinar Matahari Menembus Bumi’ adalah jurus ke tiga dari Ilmu ‘Iblis
Matahari’ dimana jurus ini sanggup membumihanguskan area sejarak empat
tombak bahkan lebih. Semua area yang dirambati hawa sepanas matahari akan
langsung terbakar hangus. Kali ini, jurus pembawa maut langsung dikerahkan.
Tua Raja Tabir Mentari paling tidak suka bertele-tele, mengumbar segala
macam jurus yang tidak berguna adalah hal paling tidak disukainya. Barka Satya
yakin kalau tokoh berselubung hitam di hadapannya berbeda dengan para
Penjagal Kepala yang lain. Entah mengapa, dari lubuk hatinya yang paling
dalam, ia merasa bahwa laki-laki yang menjuluki diri Jagal Satu merupakan
lawan tangguh.
Dua tangan yang dikobari menyala segera mendorong ke depan.
Wuttt!
Sebongkah bola api menerabas udara.
Jagal Satu mendengus pelan, lalu di saat berikutnya dua tangan di tarik dari
atas ke bawah seperti orang meninju bumi. Berikutnya dengan gerakan seperti
mencongkel tanah, kedua tangannya yang telah diselimuti butiran-butiran hitam
bernuansa dingin segera di dorong ke depan.
Wesss ... !
Jegerrr ... !
Terdengar benturan keras memekakkan telinga.

Barka Satya terkejut bukan alang kepalang melihat lawan sangguh memapaki
jurus pukulan ‘Sinar Matahari Menembus Bumi’. Bahkan yang membuatnya lebih
terkejut lagi, tangannya yang masih memendarkan hawa panas api justru terasa
dingin membeku.
“Kau ... kau ... !?” bentaknya keras. “Kau memiliki Ilmu ‘Baju Es Hitam’! Apa
hubunganmu Penghuni Gerbang Surga!?”
“Huh! Memangnya yang bisa jurus seperti itu hanya orang-orang sok suci
itu!?” ejek Jagal Satu. “Jurus picisan seperti itu apa hebatnya!? Anak kecil saja
juga bisa!”
Tua Raja Tabir Mentari yakin sekali bahwa hawa dingin yang menyengat
tangannya adalah salah satu rangkaian dari Ilmu ‘Baju Es Hitam’ yang hanya
dimiliki orang-orang dari Gerbang Surga.
“Dia berbohong,” pikir Tua Raja Tabir Mentari, “Jika begitu, aku harus
membuktikan kalau dugaanku benar.”
Seiring dengan naiknya porsi kemarahan, hawa panas yang melingkupi Tua
Raja Tabir Mentari semakin meningkat tajam. Bahkan dua orang terdekat dari
Tua Raja Tabir Mentari harus menjauh beberapa tombak.
Swoshhh ... !
Sekilas, tubuh Tua Raja Tabir Mentari bagai di bakar api menyala-nyala yang
kadang menjilat-jilat udara di sekitarnya. Meski begitu, tak satu pun bagian dari
bulu rambut Barka Satya terbakar. Itulah hawa sakti tingkat dua dari Ilmu Sakti
’Iblis Matahari’ yang bernama jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’. Untuk
menguasai jurus ini, Barka Satya harus berlatih keras di dalam perut kawah
gunung berapi selama satu tahun penuh.
Salah sedikit dalam berlatih ... nyawa taruhannya!
Namun hasilnya memang tidak mengecewakan.
Setelah setahun penuh menyabung nyawa demi meningkatkan ilmu kesaktian,
Tua Raja Tabir Mentari berhasil menguasai ilmu ini.
Lima tahun kemudian, barulah Barka Satya mencoba masuk ke tahap akhir
dari Ilmu Sakti ’Iblis Matahari’ yang bernama ’Kekuasaan Sang Matahari’. Jurus
ini cara melatihnya justru bertolak belakang dengan jurus ’Matahari Tunggal
Tanpa Tanding’. Jika jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’ harus berada
dalam perut kawah api maka jurus ’Kekuasaan Sang Matahari’ semakin dalam
lagi.
Tepatnya ... di inti kawah gunung berapi!
Benar-benar ilmu sakti yang mempertaruhkan nyawa untuk menguasainya.
Meski waktunya tidak selama mempelajari jurus ’Matahari Tunggal Tanpa
Tanding’, toh tetap saja berbahaya. Tiga kali sudah Barka Satya hampir gagal.
Pada kali ke empat, barulah jurus ’Kekuasaan Sang Matahari’ bisa dikuasai
sepenuhnya.

“Selama ini, belum satu kali pun jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’
kugunakan selain untuk latihan. Hemm .. ada baiknya manusia busuk ini sebagai
tikus percobaan,” pikir Tua Raja Tabir Mentari sambil terus mengempos kekuatan
terpendam dari jurus ’Matahari Tunggal Tanpa Tanding’-nya.
Begitu mencapai hampir delapan bagian, Tua Raja Tabir Mentari melesat
cepat laksana peluru meriam lepas dari sarang.
Wuuung ... !
Suara mengaung laksana lebah menggebah.
Jagal Satu sedikit terhenyak.
“Bangsat! Jurus apa yang digunakan manusia buntal ini!? Panasnya bagaikan
matahari di atas kepala!” desis Jagal Satu sambil melangkah mundur dua tindak
ke belakang tanpa disadarinya. “Brengsek! Satu-satunya ilmu tandingan yang
kumiliki cuma Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan. Andai saja tingkat sepuluh
sudah berhasil kutembus, tak bakalan aku gentar seperti ini.”
Kegentaran melanda hati Jagal Satu, namun sebagai salah seorang tokoh
persilatan yang disegani tak membuatnya patah arang. Meski ia tahu
kemampuannya tidak sebanding dengan lawan, tapi harga dirinya sebagai
seorang tokoh silat yang mengharuskannya menghadapi setiap kenyataan yang
ada. Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan dikerahkan hingga melebihi batas
kemampuannya.
Sraaakk! Srakk!
Dalam waktu satu kedip saja, seluruh tubuh Jagal Satu terbungkus lapisanlapisan
es hitam pekat. Inilah Ilmu ‘Baju Es Hitam’ tingkat delapan yang disebut
dengan nama jurus ’Bongkahan Es Abadi’.
Sepasang telapak tangan terpentang lebar digerakkan beruntun dalam
gerakan mendorong.
Wutt! Wutt! Wuss!
Tujuh-delapan bayangan tapak es hitam melesat cepat, menyongsong arah
kedatangan Tua Raja Tabir Mentari!
Duarrr ... duarr ... jduarrr ... !
Tiga letusan beruntun terdengar saling susul-menyusul di sertai sengatan
panas-dingin silih berganti. Benar-benar sebentuk pertarungan tingkat tinggi
yang jarang sekali terjadi.
Sosok bola api terpental sejauh enam tombak lebih, menggelinding bagai bola
sepak dan akhirnya berhenti setelah melindas hancur sebongkah batu sebesar
gajah. Begitu kobaran api padam, terlihat sosok Tua Raja Tabir Mentari dalam
posisi berjongkok. Terlihat jelas kalau dirinya baik-baik saja.
Akan halnya nasib Jagal Satu, sudah bisa di tebak.
Begitu benturan pertama terjadi, tubuh yang diselimuti oleh lapisan es hitam
seketika hancur menyerpih lembut. Bahkan saking lembutnya, menjadi debuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
debu kuning-hitam yang menyebar ke mana-mana. Jelas sudah, jurus ’Matahari
Tunggal Tanpa Tanding’ lebih unggul dari jurus ’Bongkahan Es Abadi’!
Pertarungan yang singkat memang, tapi sudah menunjukkan kelasnya sendiri!
Sementara itu, sisa dari Penjagal Kepala masih tarik-ulur dengan masingmasing
lawannya. Namun, mengetahui Jagal Satu tewas, bukannya membuat
nyali mereka kendor, justru Tiga Jagal yang tersisa semakin gencar membangun
serangan. Sebab mereka yakin, kesempatan untuk lolos dari tempat itu sangat
kecil. Apalagi yang menjadi lawan mereka bisa dikatakan tokoh silat kelas atas
Perguruan Tanah Bambu.
Jagal Dua yang adu tanding dengan Tua Raja Pedang Bintang pun tidak bisa
berbuat banyak. Bagaimana pun juga tingkat ilmu kesaktiannya masih dua
tingkat di bawah Jagal Satu, sedangkan Jagal Satu saja tewas di tangan Tua
Raja Tabir Mentari.
Bisa dipastikan nyawanya juga di ujung tanduk!
Cara bertarung Tua Raja Pedang Bintang pun cukup aneh. Tidak ada gerakan
sama sekali dari tubuhnya yang berdiri tenang dengan pedang tetap berada di
belakang punggung. Namun setiap kali Jagal Dua menerjang dengan ayunan
kapak kembarnya, sebentuk hawa pedang tanpa ujud menghadang.
Crang! Crang!
“Gila! Orang macam apa yang ada didepanku ini!?” desis Jagal Dua sambil
matanya mengamati lawan. “Dia tidak bergerak sedikit pun, tapi sanggup
menyerang balik.”
“Kenapa kau bengong, Jagal Dua!?” kata lembut Bramageni. “Bukankah kau
menginginkan kepala manusia. Ini kepalaku, silahkan kau ambil.”
“Tua Raja Pedang Bintang! Jangan dikira dengan ilmu picisanmu membuatku
gentar!” bentak Jagal Dua. “Yang tadi aku lakukan barulah pemanasan!”
“Ooo ... baru pemanasan?” ejek Tua Raja Pedang Bintang. “Lalu kenapa kau
lintang-pukang macam monyet buduk menari?”
“Bangsat!”
Jagal Dua segera melemparkan dua kapaknya ke arah Tua Raja Pedang
Bintang.
Wutt!
Craaang! Traang!
Lagi-lagi sebentuk hawa pedang melesat dan saling tabrak dengan dua kapak
hingga terdengar suara nyaring.
Tentu saja Jagal Dua tahu kalau lemparan kapaknya tidak akan sanggup
menembus benteng pertahanan lawan. Namun bukan itu tujuannya. Begitu tidak
ada senjata di tangan, Jagal Dua memasang kuda-kuda kokoh. Sepasang
tangannya di tangkupkan di depan dada dengan mulut berkomat-kamit seperti
membaca sesuatu.

Apa yang dilakukan oleh Jagal Dua hanya dipandang saja oleh Tua Raja
Pedang Bintang.
“Ilmu apalagi yang digunakan manusia satu ini,” kata hati Bramageni.
Belum lagi kecamuk dalam hati bramageni terjawab, dari bawah kaki Jagal
Dua tiba-tiba menyembur asap tebal bergulung-gulung dan membungkus sosok
lagi-lagi berpakaian hitam-hitam ini.
Blubb ... bluubb ... !
“Duh ... pake main asap pula ... “ gumam Tua Raja Pedang Bintang tanpa
sadar. “Kayak anak kecil aja.”
Tiga-empat helaan napas, asap pun buyar. Dan satu sosok yang diluar
perkiraan siapa pun --termasuk Bramageni tentunya-- telah berdiri kokoh
menggantikan sosok Jagal Dua.
Bramageni secara tidak sadar mundur dua langkah.
Sosok yang sekarang berdiri kokoh dihadapannya bukanlah sosok yang bisa
disebut dengan istilah : MANUSIA, tapi lebih tepat disebut dengan istilah :
BINATANG LANGKA!
--o0o—
BAGIAN 29
Satu sosok binatang berkaki empat dengan sepasang mata kecil dan ekor
belakang yang kecil pula berdiri garang. Mata kecilnya terlihat beringas dengan
napas sedikit mendengus. Kulit hitam terlipat dan kasar menunjukkan
ketebalannya. Badannya cukup besar untuk ukuran binatang aslinya dimana
memiliki ukuran mendekati dua kali dari sosok asli binatang berkaki empat.
Dengan melihat cula putih besar di atas hidungnya, bisa dipastikan dia adalah
binatang langka yang disebut orang sebagai ... badak!
“Badak?” desis Tua Raja Tabir Mentari yang tertarik melihat kepulan asap
membungkus tubuh Jagal Dua. Saat dirinya sampai dekat Bramageni, barulah
sosok badak ini tercipta sempurna.
“Rupanya kau tahu tentang binatang jelek ini, Adi Barka Satya!?”
“Tentu saja, Kakang Bramageni.” potong Barka Satya. “Untung saja dia
berubah jadi badak, coba kalau jadi tikus sawah. Kutampar moncongnya ... pasti
langsung celeng.”
“Hahahahah!”
“Silakan kalian tertawa sepuasnya, toh sebentar lagi nyawa kalian akan
berpindah tempat,” terdengar satu suara menggema.
“Ternyata ini badak ajaib. Buktinya bisa ngomong!”
“Baru kali ini aku ngomong sama binatang,” ucap Bramageni sambil tetap
tertawa tanpa suara.

“Kakang, apa kau sesuatu tentang hewan sial ini!”
“Jeleknya, maksudmu!?”
“Bukan! Apa Kakang Bramageni masih ingat dengan Sepuluh Ilmu Terlarang
Rimba Persilatan?” tanya Barka Satya alias Tua Raja Tabir Mentari.
“Ya. Aku ingat. Manusia sinting ini telah bersekutu dengan Setan Badak untuk
mendapatkan Ilmu ’Raga Badak’ yang konon katanya kebal dari senjata apa pun.
Pukulan sakti juga tidak bisa membunuhnya,” tutur Bramageni sambil mengamati
sosok badak ajaib di depannya.
Belum lagi ia melanjutkan ucapannya, terdengar seruan tertahan.
Terlihat Dewa Periang, Nyai Gugur Gunung, Ratu Kuburan dan Galah Mayat
berloncatan menghindari lawan.
Saat itu, ajang tarung hampir mencapai puncak dengan terdesaknya Jagal
Tiga dan Jagal Lima oleh lawan masing-masing. Dan di saat kritis, keduanya
tiba-tiba diselimuti asap tebal dan begitu asap buyar, terlihat dua sosok binatang
yang luar biasa besarnya.
Seekor gajah dan seekor kerbau!
Dua binatang jelmaan ini mendengus keras hampir bersamaan sambil berjalan
mendekati si badak dan bergabung dengannya.
Rriiieeeeng ... !
Nggoooekkk ... !
Dewa Periang dan kawan-kawannya berloncatan mendekati Tua Raja Tabir
Mentari dan Tua Raja Pedang Bintang.
“Waduh, bagaimana ini?” kata khawatir Nyai Gugur Gunung.
“Apanya yang bagaimana?” tukas Gayam Dompo yang berjalan beriringan
dengan Contreng Nyawa yang keadaannya sudah lebih baik. “Tinggal kemplang
satu-satu, ’kan beres?”
“Kemplang kepalamu!” kata Dewa Periang sambil jari telunjuknya mendorong
jidat Gayam Dompo. “Apa kau tidak tahu ilmu apa yang dipakai oleh mereka!?”
“Tidak,” kata Kakek Kocak dari Gunung Tugel dengan wajah bego. ”Paling
juga ilmu sihir.”
“Celaka! Tiga dari Sepuluh Ilmu Terlarang Rimba Persilatan ada di depan
mata kita!” desis Tua Raja Pedang Bintang. “Entah cobaan apa yang diberikan
Yang Kuasa pada wilayah Tanah Bambu ini.”
“Tua Raja Pedang Bintang! Cobaan atau bukan, kita tetap harus
menghadapinya,” kata sopan Dewi Kecapi Hitam.
“Benar.”
“Kita hadapi bersama-sama!” kata tegas Dewa Periang.
“Andaikata Adi Dahana Lungit ada disini ... “

“Aku sudah datang dari tadi.”
Satu sosok suara terdengar jelas, namun tidak kelihatan batang hidungnya.
Selain Dua Tua Raja, semua orang celingak-celinguk kesana-kemari tapi
orang yang dicari tidak kelihatan.
“Sudahlah ... kalian tidak perlu mencari,” ujar Tua Raja Pedang Bintang. “Dia
sudah ada di belakang tiga makhluk jelek itu.”
Benar saja!
Satu sosok tubuh tinggi tegap melesat keluar dari dalam tanah dan sebentar
kemudian, sosok tinggi besar yang tinggi tubuhnya di atas manusia normal ini
telah berdiri kokoh. Baju balutan rompi dari kulit beruang putih tidak kotor sama
sekali meski ia baru saja keluar dari dalam tanah. Tanpa banyak kata, sepasang
tangan yang mengepal memancarkan cahaya merah terang dan langsung
dihantamkan ke arah tiga binatang jelmaan itu.
Bukk! Bukk! Bugh!
Hantaman Tua Raja Bedah Bumi bukan sembarang hantaman biasa, tapi
sanggup membuat kubangan besar untuk mengubur empat gajah sekaligus.
Namun luar biasanya, tiga binatang itu hanya bergetar saja, tidak terluka parah
sedikit pun.
Benar-benar aneh!
Begitu selesai menghantam, sosok Tua Raja Bedah Bumi langsung amblas
bumi begitu saja dan belum sampai satu kedip, sudah muncul begitu saja di
samping Tua Raja Pedang Bintang.
“Guru!” sapa Ratu Kuburan dan Galah Mayat hampir bersamaan.
Weit, apa lagi ini!?
Usia Ratu Kuburan dan Galah Mayat bisa dikatakan dua puluh tahun lebih tua
dari Tua Raja Bedah Bumi, tapi mereka berdua menyebut Guru pada laki-laki
tinggi besar ini.
Kok bisa!?
Masalahnya cuma satu!
Mereka berdua pernah kalah bertarung dengan Tua Raja Bedah Bumi dan
jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’ milik Galah Mayat dan mendiang Bandar
Mayat adalah ilmu yang diajarkan Tua Raja Bedah Bumi. Meski tidak mau
mengakui ke dua orang itu menjadi murid, tapi untuk melegakan hati keduanya
(habisnya waktu itu ngancem bunuh diri, sih ... ), laki-laki dengan baju kulit
beruang ini hanya ikut saja bahkan dengan senang hati mengajarkan jurus ’Alam
Gaib Di Tengah Bumi’.
Tua Raja Bedah Bumi hanya mengangguk sekilas dan itu lebih dari cukup
untuk sekedar sapaan.
“Kalian bisa lihat, bukan!? Aku hantam dengan Ilmu ’Tinju Bumi’ saja mereka
cuma bergoyang saja. Terluka saja tidak,” tutur Tua Raja Bedah Bumi.

“Hahaha! Kalian semua tidak akan bisa mengalahkan kami!” seru Jagal Dua
yang menjelma menjadi badak.
“Betul! Kami bertiga menguasai tiga ilmu sesat paling hebat dan paling sesat
yang ada di muka bumi ini!” sambung Jagal Tiga yang menjelma menjadi seekor
gajah. “Cuma mimpi saja kalian bisa membunuh kami bertiga.”
“Mana bisa kalian membunuh kami?” bentak si kerbau jelmaan Jagal Lima.
“Ilmu sesat ’Raga Badak’, Ilmu ’Sukma Gajah’ dan Ilmu ’Setan Kerbau’
kembali muncul di rimba persilatan,” tutur Tua Raja Bedah Bumi. “Jika benar
dugaanku, pastilah tujuh ilmu sesat yang lain telah memiliki penerusnya.”
“Jika benar seperti yang Kakang Dahana katakan, maka rimba persilatan akan
dilanda prahara besar,” sambung Tua Raja Tabir Mentari.
“Benar.”
“Kakang Dahana! Jika mereka kubakar hidup-hidup, apa mereka bisa mati!?”
“Tidak.”
“Jika menggunakan Pedang Raja Tujuh Langit?”
“Juga percuma.”
“Dengan ... Gelang Hitam Belenggu Hawa?” usul Gayam Dompo.
“Apa gelang pusakamu sanggup menahan gempuran Ilmu ’Tinju Bumi’?”
“Jelas tidak.”
“Kalau begitu ... bagaimana cara mengatasinya, Guru?” sela Galah Mayat.
“Aku tidak yakin dengan pemikiranku ini ... tapi ini patut dicoba.”
“Katakan saja, siapa tahu kami bisa melakukannya.”
“Kalian tidak akan bisa ... cuma Galah Mayat dan aku yang bisa.”
Semua yang ada di tempat itu tahu seberapa tinggi kesaktian Galah Mayat.
Hanya lebih tinggi empat tingkat dari murid Gayam Dompo.
“Guru ... tidak main-main!?”
“Tidak.”
Galah Mayat semakin bingung.
“Di antara kita semua yang ada di sini, hanya saya dan Kaswari yang rendah
ilmunya, kenapa ... “
Tua Raja Bedah Bumi membisikkan sesuatu ke telinga Galah Mayat.
“Benarkah!?”
“Bukankah itu patut dicoba!?”
“Betul.”
“Kalau begitu ... lakukan!” lalu bisiknya pada yang lain. “Tolong kalian rapatkan
tubuh untuk menutupi Galah Mayat.”

Meski bingung dengan perkataan Dahana Lungit, namun toh melakukan apa
diperintahkan oleh laki-laki berbaju kulit beruang putih itu. Galah Mayat segera
berpindah tempat ke belakang, lalu tubuh mendadak lenyap amblas bumi.
Sementara itu ...
“Jagal Lima, bagaimana sekarang?” bisik Jagal Tiga.
“Kita serang mereka. Mumpung mereka belum siap.”
“Lihat, mereka membentuk barisan,” ujar Jagal Dua pada dua kawannya.
“Mungkinkah mereka hendak menyatukan ilmu kesaktian untuk menggempur kita
bertiga?”
“Sesakti apapun mereka, tidak akan sanggup membunuh kita. Pokoknya
kalian tenang saja,” tandas Jagal Lima. “Lagi pula, dengan mereka saling
menghimpun kesaktian, justru memudahkan kita untuk membantainya.”
“Kalau begitu ... serang!” perintah Jagal Dua.
Dua belas kaki melangkah berdebam menggetarkan bumi.
Badak menerjang cepat dengan cula besar.
Kepala gajah sedikit merunduk, mengedepankan sepasang gading besar
berkilau.
Sedangkan kerbau?
Tentu saja setelah menguak panjang dengan kepala digelengkan kanan-kiri,
mengikuti langkah gajah dan badak menerjang ke arah tokoh silat dari Perguruan
Tanah Bambu. Posisi penyerangan yang dilakukan ketiga binatang jelmaan ini
bisa dikatakan teratur. Badak di posisi paling depan sebagai ujung tombak, akan
halnya gajah dan kerbau berlari sejajar sejarak tiga jengkal. Jelas bahwa ketiga
tokoh sesat ini telah cukup lama berlatih formasi penyerangan seperti ini.
Namun, belum lagi ketiganya mendekati sasaran, tiba-tiba saja ... tanah yang
diinjak kerbau mendadak bergelombang seperti air.
Dan akibatnya ...
Blass ... ! Blasss ... !
Dalam sedetik saja, sepasang kaki belakang binatang jelmaan ini telah masuk
sebatas paha, dan pelan namun pasti semakin terhisap ke dalam tanah. Sontak,
kerbau jelmaan Jagal Lima meronta-ronta, berusaha keluar dari lubang tanah
yang tiba-tiba saja ada begitu saja.
“Kawan-kawan! Tolong!” teriaknya disertai dengusan kuat.
Gajah dan badak yang baru sebentar lagi menerjang ke arah para tokoh-tokoh
silat tingkat atas Perguruan Tanah Bambu langsung balik badan. Keduanya
kaget melihat keadaan si kerbau.
“Keparat! Kenapa bisa seperti ini?” terdengar suara gema dari mulut badak.
Gajah dengan sigap menggunakan belalainya, melilit badan kerbau dan
berusaha menarik keluar. Namun tubuh kerbau justru sedikit demi sedikit

semakin tenggelam, bahkan kini dua pertiga tubuh hitamnya sudah masuk ke
dalam tanah. Gajah dan badak sedikit demi sedikit juga terseret.
Di bawah tanah, Galah Mayat menarik kaki kerbau dengan tenaga luar-dalam
hingga mukanya sampai pucat kehijauan.
“Edan! Kerbau sial ini kuat sekali!” pikir Galah Mayat. “Tapi jika kulepas, nasib
Guru dan kawan-kawan jadi taruhan. Aku tidak boleh menyerah. Harus bisa!
Harus bisa!”
Kata-kata semangat itulah yang membuat Galah Mayat semakin kesetanan
hingga kekuatan yang melebihi batas kemampuannya tercurah hingga urat-urat
kehijauan di tangan bersembulan keluar.
Di permukaan tanah ...
“Galah Mayat sudah beraksi!” ucap Dewa Periang. ”Tua Raja Bedah Bumi,
tampaknya Galah Mayat sedikit kesulitan.”
“Aku tahu! Baiknya kalian coba serang pada titik-titik lemah yang barusan
kuberikan! Kemungkinan salah satunya bisa berhasil,” bisik Tua Raja Bedah
Bumi. Belum lagi suaranya lenyap, tubuhnya sudah amblas di telan bumi.
“Hem, enak juga jadi dia,” cetus Gayam Dompo tanpa sadar.
“Emangnya apa enaknya?” tanya Dewa Periang.
“Ya enak dong! Coba kalau pas jalan-jalan sore di bawah tanah lalu ketemu
janda cantik lagi mandi. Khan rejeki tuh!” Kata Gayam Dompo sambil terkekeh.
“Bisa dilihat dari bawah, komplit lagi!”
“Dasar tua bangka berotak mesum!” bentak Dewi Kecapi Hitam, “Sudah bau
tanah, otakmu masih ngeres saja.”
Sambil mengendus-endus tubuhnya, Gayam Dompo berkata, “Hidung pesek!
Aku tidak mencium bau tanah, tapi kalau bau kecut ... i-ya!” lalu katanya dengan
nada menggoda, “Tapi kau suka, ’kan!?”
“Cih! Emang gue pikirin!”
“Kalian kalau sudah pentang bacot, bisa seharian penuh!” bentak Tua Raja
Pedang Bintang. “Kita selesaikan dulu dua siluman keparat ini, setelah itu ...
Kalian adu mulut berhari-hari pun tidak ada yang bakal ngurus!”
Tubuh Tua Raja Pedang Bintang segera berkelebat cepat ke arah badak. Lalu
sepasang tapak tangannya tepat menghajar ke arah batok kepala si badak.
Bugh! Bugh! Plakk!
Derr!
Justru tubuh Tua Raja Pedang Bintang terpental.
“Gila! Delapan bagian hawa saktiku tidak bisa menembusnya!” desis Tua Raja
Pedang Bintang sambil mengibas-ngibaskan tangannnya yang ngilu sesaat.
“Jurus ’Tapak Bintang Menggusur Awan’ kandas begitu saja? Tampaknya saran
Tua Raja Bedah Bumi ada benarnya juga.”

Lainnya, dengan serta merta menerjang ke gajah dan juga badak yang baru
saja menerima terjangan dari Tua Raja Pedang Bintang.
Bugh! Bugh!
Criing! Criing!
Pukulan bertenaga dalam tinggi, hantaman tongkat dan sabetan pedang tidak
sanggup menerobos tebalnya hawa pelindung gajah dan badak yang sedari awal
cuma cuek bebek sambil sesekali merem-melek meski dihantam begitu rupa.
Keduanya masih asyik membantu kerbau untuk keluar dari jebakan tanah yang
dibuat Galah Mayat. Sekarang ini, tubuh kerbau tinggal sebatas leher dan dua
kaki depan di luar, sisanya sudah ‘dimakan’ tanah.
“Bagaimana ini?” ucap Jagal Tiga khawatir.
“Brengsek! Siapa keparat yang berbuat seperti ini?” sentak Jagal Dua. “Kita
tarik terus!”
Di bawah tanah ...
Begitu Tua Raja Bedah Bumi datang membantu, Galah Mayat bisa bernapas
lega.
“Kita tarik sama-sama!”
“Siap!”
“Dalam hitungan ketiga!”
Galah Mayat tidak menjawab tapi justru mempererat pegangan pada dua kaki
belakang, sedang Tua Raja Bedang Bumi memegang kencang ekor kerbau.
“Satu ... dua ... tigaaa ... !”
Pada hitungan ketiga, kerbau merasakan sentakan kuat dari bawah. Karuan
saja libatan belalai gajah dan kaitan cula badak tidak sanggup menahan
hentakan keras dari bawah tanah dan akibatnya ...
Bluuub!
--o0o—
BAGIAN 30
Tubuh kerbau amblas ke dalam tanah.
Anehnya, tanah bekas tempat kerbau berkutat kembali merapat seperti sedia
kala, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
“Setan!” maki badak sembari cula badaknya didongkelkan ke tanah yang
membuat tanah berhamburan ke mana-mana.
Sementara itu, tubuh kerbau meronta-ronta kuat, namun apalah arti kekuatan
seekor kerbau jika sudah berada di dalam tanah karena gerakan di dalam tanah

tidak sebebas di atas tanah. Sanggup menggerakkan kaki saja sudah bisa
dianggap hebat.
“Tarik terus ke bawah, Guru!?”
“Yup!”
Keduanya semakin dalam menarik tubuh kerbau yang semakin lama semakin
lemas. Jika kerbau sulit bergerak dan bernapas, justru Galah Mayat dan Tua
Raja Bedah Bumi dengan seenaknya bergerak kemana saja mereka mau dan
bernapas sebanyak yang mereka butuhkan. Begitu mencapai DBPB alias Di
Bawah Permukaan Bumi sedalam dua puluhan tombak, keduanya mendengar
suara meletus.
Bluub! Pashh!
Asap hitam berbuntal-buntal keluar. Tubuh kerbau diselimuti asap dan pada
akhirnya ... jadi orang dech!
Begitu sempurna berubah wujud menjadi manusia, keduanya terkejut!
“Eh!?”
Yang dipegang Galah Mayat yang awalnya kaki belakang berubah menjadi
sepasang tangan dan ekor kerbau yang dipegang Tua Raja Bedah Bumi menjadi
hidung Jagal Lima!
“Apa dia sudah ... mati, Guru!?”
“Coba kau pastikan.”
Galah Mayat memegang leher.
Tidak ada denyut nadinya.
“Dia ... Benar-benar sudah berhenti menjadi setan,” kata Galah Mayat.
“Kita ke atas.”
“Baik,” sahut Galah Mayat cepat, tapi mendadak ia berhenti. “Tunggu
sebentar, Guru.”
“Apa lagi!?”
“Saya mau melakukan ini ... ”
Tangan Galah Mayat bersinar terang, lalu berkelebat cepat ke arah leher,
tangan dan kaki si mayat Jagal Lima.
Cras! Crass!
Tubuh Jagal Lima terpotong menjadi lima bagian!
Lalu potongan kaki, tangan dan kepala di lempar ke lima arah yang berbeda.
“Kenapa kau lakukan hal itu?” tanya Tua Raja Bedah Bumi melihat aksi sadis
Galah Mayat. “Bukankah dia ... ”
Galah Mayat segera memotong, “Saya takut dia memiliki ilmu setan yang lain.
Jadi ular misalnya.”

“Lalu?”
“Cuma antisipasi saja, Guru.”
Tua Raja Bedah Bumi menggeleng lemah sambil berkata, “Seharusnya kau
tidak boleh berbuat seperti itu ... “
“ ... Maaf guru, saya cuma ... ”
“ ... Tapi seperti ini ... ”
Jari telunjuk Tua Raja Bedah Bumi menunjuk ke arah tubuh buntung itu, lalu
dari telunjuk melesat sinar perak terang, dan ...
Buuummm ... !
Hancur deh berkeping-keping!
“Harusnya begini!” kata Tua Raja Bedah Bumi sambil tertawa.
“Ah ... Guru bisa aja,” kata Galah Mayat sambil tertawa lepas.
“Antisipasi ... antisipasi ... “ tiru Tua Raja Bedah Bumi pada ucapan Galah
Mayat sebelumnya.
Perlu diketahui, Galah Mayat adalah jenis manusia langka --langka tertawa
maksudnya--. Cuma Tua Raja Bedah Bumi saja yang tahu bagaimana cara
membuat Galah Mayat tertawa yaitu dengan membiarkannya berbuat kejam dan
diikuti oleh orang terdekatnya, barulah bisa tertawa.
Benar-benar aneh!
Sepuluh Ilmu Terlarang Rimba Persilatan memang bukan sembarang ilmu
sesat biasa!
Dahulu kala, sepuluh tokoh kosen aliran sesat yang menggelari diri sebagai
Sepuluh Iblis Dasar Neraka bersekutu dengan para penghuni alam gaib Lembah
Dasar Neraka untuk menciptakan sebuah ilmu kesaktian paling mengerikan yang
belum pernah ada. Meski bersekutu pada alam kegelapan Lembah Dasar
Neraka, dalam artian bahwa pengamal harus bersekutu dengan taruhan nyawa
dengan para penghuni alam gaib Lembah Dasar Neraka, tetap saja menjadi
incaran para pemburu ilmu sesat.
Dan sekarang ini ...
Tiga dari Sepuluh Ilmu Terlarang Rimba Persilatan yaitu Ilmu sesat ’Raga
Badak’, Ilmu ’Sukma Gajah’ dan Ilmu ’Setan Kerbau’ yang kini digelar oleh tiga
orang dari sisa para Penjagal Kepala --yang entah dari mana asal mereka dan
dari mana mereka masuk-- tahu-tahu sudah bikin onar di wilayah Perguruan
Tanah Bambu yang selalu diselimuti kabut gaib yang tidak sembarang orang
sanggup menembusnya.
Kerbau atau jelmaan dari Jagal Lima tewas terkubur dalam tanah, sedang
gajah atau jelmaan Jagal Tiga dan badak jelmaan Jagal Dua masih terlihat santai
’menerima’ setiap hantaman yang mampir ke tubuh kebal keduanya.

Akan tetapi, kematian Jagal Lima tidak membuat mereka kecut, bahkan
cenderung masa bodo!
“Sobat gajah! Ternyata apa yang digembar-gemborkan selama ini, ternyata
cuma tong kosong!”
“Benar, sobat badak! Garukan di tubuhku semakin lama semakin nikmat saja,”
ejek gajah sambil sesekali memekik nyaring.
“Mungkin ... habis makan satu bakul, jadi tenaga mereka berlebih.”
“Kalau nasinya sudah jadi kotoran, tentu tenaganya juga jadi angin.”
“Benar!”
“Tepatnya angin busuk alias ... kentut! Hahahaha!!”
“Hahahahah!”
Dalam bentuk jelmaan Ilmu ’Raga Badak’ dan Ilmu ’Sukma Gajah’ keduanya
masih bisa tertawa santai.
“Apa kita tetap membiarkan tubuh kita digaruk seperti ini?” tanya pemilik Ilmu
’Sukma Gajah’. “Lama-lama jadi geli, nih.”
“Biarkan saja! Toh sebentar lagi kita juga membalas perbuatan mereka,” sahut
pemilik Ilmu ’Raga Badak’, sambungnya, “ ... setelah itu gantian kita yang
menggaruk mereka ... menggaruk nyawa!”
Para tokoh silat yang menyerang dua penyusup ini tidak habis pikir,
bagaimana mungkin seantero tubuh lawan bisa menahan segala macam
sergapan maut yang mereka lancarkan, bahkan dengan jurus paling mematikan
sekali pun.
Tua Raja Tabir Mentari-lah yang berada dalam posisi paling sulit. Jika ia
mengerahkan Ilmu Sakti ’Iblis Matahari’ jelas-jelas akan membahayakan orang
terdekat darinya. Peluh membasah, berlomba dengan hawa panas. Tua Raja
Tabir Mentari yang tidak bisa mengumbar Ilmu ’Iblis Matahari’ terlihat marah
dengan muka merah padam. Sebentar menguning tembaga, sebentar kemudian
memerah saga.
“Ilmu setan ini benar-benar hebat,” desisnya dengan napas sedikit terengahengah.
Sementara di samping kanan terlihat Pedang Pensil terduduk di tanah
dengan napas kembang-kempis.
Akan halnya Gayam Dompo sudah terkapar tanpa daya dengan napas
megap-megap mirip ikan emas terlempar keluar dari air. Sedang Kaswari berdiri
bersandar pada sebatang pohon yang sudah sulit disebut pohon karena sudah
gosong dan gompal disana-sini.
Dewi Kecapi Hitam pun tergeletak dengan napas senin-kemis saking
capeknya,
Hanya Tua Raja Pedang Bintang dan Dewa Periang yang masih ngotot
mencari titik lemah lawan.

“Huh ... huh ... ! Dasar setan sialan!” maki Gayam Dompo dengan terengahengah.
“Apa mereka ... benar-benar ... tidak bisa mampus!? Brengsek ... betul!”
“Aku ... aku ... lelah sekali,” desis Dewi Kecapi Hitam, “Tidur ... “
“Pengin tidur?” potong Gayam Dompo cepat.
“He'eh.”
Gayam Dompo sedikit menggeser tubuh dengan susah payah.
“Apa yang ... kau lakukan?”
“Menemanimu tidur, tentu saja.”
“Cih! Minggir sana,” tukas Dewi Kecapi Hitam sambil bangkit berdiri.
Tanpa sengaja matanya menatap ke arah pertarungan aneh di depan sana.
Mendadak, matanya melebar selebar-lebarnya!
“Apa itu?” gumamnya, lalu diteruskannya ia bangkit berdiri. Gumamnya lagi
tanpa sadar, “Aneh, saat jongkok tadi aku lihat sosok bayangan samar sejarak
lima tombak dari badak sial itu. Tapi ... kenapa saat berdiri, aku tidak bisa
melihatnya lagi.”
Tanpa disadari, Dewi Kecapi Hitam kembali berjongkok, lalu berdiri lagi.
Berjongkok-berdiri, berjongkok-berdiri, berjongkok-berdiri.
Begitu terus berulang-ulang.
Gayam Dompo yang melihat tingkah Dewi Kecapi Hitam --yang tanpa sadar
pula-- malah ikut-ikutan ’ritual jongkok-berdiri’ Dewi Kecapi Hitam.
“Tua bangka! Apa yang kau lihat!?”
“Aku hanya melihat bidadari cantik sedang jongkok-berdiri. Makanya aku juga
ikut-ikutan ... “
“Brengsek kau!” sentak Nyai Gugur Gunung sembari mengacungkan kecapi
hitamnya. Lalu sambungnya dengan nada bisik. “Coba kau jongkok dan lihat ke
belakang dua siluman sial itu.”
“Hanya itu!?”
“Ikuti saja perintahku!” bisik Dewi Kecapi Hitam sedikit keras.
Gayam Dompo mengikut juga saran sang kawan. Mendadak, matanya yang
sebesar jengkol jadi semakin melebar besar. Dewi Kecapi Hitam sampai ngeri
melihatnya.
“E-e-e ... Lhadalah... ! Kok bisa begitu?”
“Mana kutahu,” ucap Dewi Kecapi Hitam sambil berjongkok.
Begitu Dewi Kecapi Hitam berjongkok, justru Gayam Dompo malah berdiri
tegak. Begitu juga sebaliknya. Hingga akhirnya, cuma Gayam Dompo sendiri
yang jongkok-berdiri, sedang Dewi Kecapi Hitam hanya berdiri dengan dahi
berkerut. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Tentu saja acara jongkok-berdiri yang dilakukan Gayam Dompo membuat si
Pedang Pensil yang melihatnya jadi terheran-heran.
“Tingkah sinting apa lagi yang dilakukan manusia brengsek ini?” desisnya
seraya bangkit berdiri. Meski harus bertelekan pada pedangnya, si Pedang
Pensil bisa juga bangkit berdiri dan dengan langkah diseret seperti halnya ia
menyeret pedangnya, beranjak mendekat ke arah Kaswari.
“Gurumu ... sedang main .. gila ... rupanya ... ”
“Heh! Tingkah Guru kadang memang suka aneh-aneh,” celetuk Kaswari
sambil memandang jauh ke langit. “Mungkin Guru lagi stress hingga berbuat
begitu.”
“Maksudmu ... rada begini,” sahut Pedang Pensil sambil membuat garis
melintang di dahi.
Kaswari cuma tersenyum tanpa suara. Malu juga gadis baju kuning itu punya
guru setengah waras separo gendeng. Tapi bagaimana pun juga, Kakek Kocak
dari Gunung Tugel adalah gurunya. Guru yang dikasihinya. Karena jasa Gayam
Dompo-lah yang merawat dirinya sejak ia masih bayi merah.
“Tua bangka! Apa kau tidak capek jongkok-berdiri terus seperti itu?” tukas
Dewi Kecapi Hitam.
“Capek juga sih ... tapi asyik ... hehehe ... ”
“Huh, dasar orang aneh,” ujar Dewi Kecapi Hitam, lalu sambungnya. “Apa kau
bisa menyimpulkan sesuatu.”
Sambil terus melakukan jongkok-berdiri, Gayam Dompo berkata, “Emmm ...
tidak ada ... “
“Sudah kuduga.”
“Apa yang kau duga?”
“Kalau isi kepalamu emang ga pernah terpakai.”
“Siapa yang bilang?”
“Aku yang bilang!”
“Itu artinya kau sirik dengan kecerdasan otakku,” kata Gayam Dompo sambil
menunjuk hidungnya.
“Bah! Cerdas apanya?” cibir Dewi Kecapi Hitam.
“Ga percaya?”
“Engga!”
“Aku juga engga, heheheh ... “
Selesai berkata, Gayam Dompo --dengan masih jongkok-berdiri-- segera
melesat cepat.
Wutt!

Tentu kelihatan lucu sekali, orang melesat dengan masih tetap jongkok-berdiri
seperti itu.
Larinya bukan ke arah Tua Raja Pedang Bintang dan Dewa Periang tapi justru
menerobos begitu saja di tengah-tengah pertarungan. Dan hampir saja
kepalanya tersambar ayunan Tongkat Gulungan Kain milik Dewa Periang.
“Brengsek kau!” maki Gayam Dompo sambil bergulingan di tanah.
“Kau yang brengsek!” balas memaki Dewa Periang sambil menarik cepat
ayunan tongkat ke atas.
Wutt!
Sambil terus memaki panjang-pendek, Gayam Dompo melesat cepat, kali ini
dengan sambil berjongkok menyamping. Sekilas mirip kepiting mau beranak.
Begitu sejarak setengah tombak dari bayangan samar, tangan kanannya
menggerakkan Gelang Hitam Belenggu Hawa.
Werr ... !
Bayangan hitam tersentak kaget, namun ia terlambat menghindar!
Crass!
Dari pangkal lengan kiri hingga leher kanan terpenggal putus!
Crass... crasss ... !
Gelang Hitam Belenggu Hawa kembali beraksi setelah berputar cepat di
udara. Kali ini, pinggang dan sepasang kaki bayangan samar hitam menjadi
target lanjutan.
Blugh! Blugh!
Tapp!
Gelang Hitam Belenggu Hawa kembali ke pemiliknya dan berikutnya ...
terdengar suara berdebam meninju bumi. Bersamaan dengan itu pula, badak
jelmaan tiba-tiba terpenggal begitu saja menjadi 3 bagian.
Blugh, bukk!
Bluuub ... !
Asap hitam menggumpal keluar dan ... sosok badak besar lenyap tanpa
bekas.
Dan kini ... di dekat kaki Gayam Dompo berdiri, tergeletak sosok samar yang
ternyata perubahan wujud Jagal Dua yang tubuhnya terpotong menjadi 3 bagian.
Tua Raja Pedang Bintang kaget.
Dewa Periang juga kaget.
Tapi ... si Gajah jelmaan justru lebih kaget!
Matanya liar menatap potongan tubuh yang tergeletak dalam potongan besar.

“Apa yang terjadi?” ucapnya tanpa sadar. Matanya kembali jelalatan, “Apa
yang terjadi?”
Mengulang kata yang sama, tentu saja.
“Kelemahan Jagal Dua telah diketahui,” pikirnya Jagal Tiga. “Ada
kemungkinan rahasia ilmuku juga telah terkuak. Hemm ... aku harus lari dari sini.
Persetan dengan Tumbal Seratus Kepala yang dibutuhkan Ketua.”
”Rrriiieeeng ... rriiienggg ... !”
Gajah mengangkat belalainya tinggi-tinggi diikuti teriakan keras. Untuk
pertama kalinya, Gajah melakukan penyerangan.
Arah yang dituju adalah ... Kaswari!
”Kaswari, awas ... !” teriak Gayam Dompo, kaget.
Tanpa pikir panjang lagi, Kakek Kocak dari Gunung Tugel melemparkan
Gelang Hitam Belenggu Hawa.
Werr!! Werr!
Karena didasari kekhawatiran keselamatan murid cantiknya, membuat
lemparan gelang tajam melingkar melesat cepat bagai lejitan cahaya kilat.
Brakk!
(Kisah selanjutnya belum diselesaikan oleh pengarangnya)
--o0o—
TAMAT