Oleh Joko Lelono
1. ORANG ASING
“Tara-Tari ke Kotaraja, Ja
Jangan lari kalau berdua, A
Ada yang melirik, Rik
‘Ri-kanan gadis cantik, Tik
Tinggal pilih siapa boleh, Leh
SUARA renyah gadis-gadis. Di udara pagi yang dingin.
Nyaris berkabut. Berlagu seadanya. Dengan lirik sea-
danya. Diselingi tawa. Dan pukulan telapak tangan pa-
da permukaan air telaga. Bung, tak, tak, bung, tak,
BLUNG! Kemudian suara tawa lagi.
Telaga kecil terpencil. Hanya nyempil di dataran
sempit di antara lereng-lereng curam dan terjal. Di atas
sana puncak Gunung Rahtawu sudah disentuh mata-
hari pagi. Tapi di sini selapis tipis embun masih mene-
pis kegelapan. Tapi gadis-gadis itu bukan main ceria
bermain di air jernih yang sedingin air sewindu.
“Kok aku saja sih yang diolok-olok?” seorang gadis
berumur enam belasan muncul dari dalam air. Diki-
baskannya rambutnya yang basah kuyup. Rambut hi-
tam tebal itu memuncratkan air begitu banyak hingga
teman-teman di kiri-kanannya berjerit menghindar. Wa-
jahnya cantik kuning langsat. Walaupun alisnya yang
tebal berkerut, matanya berseri menikmati olok-olokan
teman-temannya.
“Siapa yang mengarang lagu tolol itu?” gadis itu ber-
tanya lagi. Berenang kecil ke air terjun kecil di padas di
pinggir telaga.
“Kami kan bukan mengolok-olok kamu!” seorang ga-
dis lain menyahut. Ia bertubuh nyaris bundar, kulitnya
sehat segar, matanya berbinar-binar. “Kan Kakang Tara
sendiri yang mengajarkannya pada kita ya?” ia bertanya
pada gadis-gadis yang mengelilinginya, empat-lima ga-
dis yang umurnya sebaya.
“Kakang Tara? Kenapa baru sekarang kudengar?”
tanya si gadis cantik tadi.
“Nah, itulah sebenarnya yang lucu, Tari,” seorang
gadis dengan kulit hitam manis menahan tawa. “Kakang
Tara ingin melagukannya padamu, tapi ia tak berani.
Jadi... bisa kita simpulkan apa sesungguhnya yang ter-
jadi, kan? Masakan kalau memang hanya bercanda, pa-
da saudara sendiri tidak berani? Ya tidak, kawan-
kawan?”
“Benar kata Sunti,” kata si bundar. “Lagi pula, Ka-
kang Tara jelas-jelas menceritakan artinya pada kita.”
“Lalu, apa kata Kakang Tara, Gendar?” Sunti ber-
tanya. Tapi jelas dari sikapnya bahwa ia hanya ingin
menggoda Tari.
“Katanya...” Gendar seolah-olah berpikir, matanya
dimeramkan dan ujung jari telunjuknya dirapatkan di
dahi. “Tara-Tari ke Kotaraja itu artinya... artinya anu...
Suatu hari nanti Tari akan dilamarnya....” Gendar tak
kuat menahan tawa. Begitu juga yang lain. Hanya Tari
makin cemberut jadinya.
“Ngaco!” dengus Tari menghantam permukaan air
hingga air menyemprot keras ke arah Gendar.
“Lalu apa lagi katanya, Pudak?” Gendar tertawa
menghindar ke balik seorang kawannya yang bertahi la-
lat besar di atas bibirnya.
“Kata Kang Tara, kalau Sang Guru menampik lama-
rannya, maka ia akan melarikan Tari, begitu kan ya ka-
tanya?” Pudak ini kalau berbicara kepalanya selalu ber-
gerak-gerak. “Benar kan, Udup?”
“Awas, Udup, kalau kau ikut menggangguku....” Tari
menyelam dan para dara itu ribut sekali menjerit-jerit
serta berhamburan berenang menghindar. Tak urung si
Udup, seorang dara bertubuh paling kecil-mungil di an-
tara mereka, akhirnya meronta-ronta dan menjerit-jerit.
“Kak Tari! Lepaskan! Aku tak akan bicara apa-apa!”
teriak Udup, sementara kawan-kawan lainnya tertawa
geli dari kejauhan.
Tari muncul di belakang Udup, mengembus-embus-
kan air dan tangannya sigap menyambar rambut Udup.
“Awas, kalau kau berani, ya!” ancam Tari.
“Tidak, aku tak berani,” kata si kecil Udup dengan
pandang mata nakal. “Tolong lepaskan, Kak, sakit ram-
butku! Aku hanya disuruh Kak Gendar kok... kata-
nya...” Udup menelengkan kepala, mengeluarkan air da-
ri kupingnya. Saat itu Tari telah melepaskan gengga-
mannya. Dan tiba-tiba saja tubuh Udup melesat melun-
cur keluar dari air, melesat ke arah Gendar dan kawan-
kawannya! Betul-betul melesat lurus bagaikan anak
panah!
“Udup!” sesaat Tari ternganga.
“Katanya Kang Tara takut membawamu ke Kotaraja
karena mungkin di sana kau akan tergoda oleh para je-
jaka ibu kota itu!” Udup yang kini aman di antara ka-
wan-kawannya berkata keras dan tertawa lepas.
“Dan kau akan dimakan mentah-mentah oleh me-
reka, seperti le-le-pahf’ Di samping Udup seorang gadis
bertubuh kurus berambut keriting tertawa terpingkal-
pingkal hingga hampir saja kain basahannya terlepas.
“Untung yang dimakan bukan kamu, Rati, bisa copot
semua gigi le-le-pah itu memakanmu.... Kau hanya ber-
modal tulang, sih!” Gendar main hantam kromo, seka-
rang malah mengolok-olok si kurus.
“Sudahlah, jangan mengolok-olok Tari terus. Lihat,
dia sudah hampir menangis tuh...,” seorang gadis yang
dari tadi tampak paling tenang kini ikut berbicara. Ga-
dis yang ini tampak yang terbesar di antara semua me-
reka—tinggi besar bagaikan pria, namun dengan wajah
yang tenang dan ayu.
“Alaaaa... si Lati sih... paling-paling akan merasa se-
nang jika Kang Tara tidak jadi melamar Tari!” goda
Gendar.
Semua tertawa dan saling menyemburkan air. Tapi
terlihat bahwa kini Tari tidak memperhatikan mereka.
Kepalanya dimiringkan. Matanya yang berkilauan itu
melirik tajam ke atas perbukitan, di mana ujung-ujung
sinar matahari mulai memanjang menyentuh ujung pe-
pohonan.
Lati segera melihat sikap aneh Tari ini. Ia pun segera
mengangkat tangan dan berkata, “Ssst, dengarkan!”
Ajakannya disambut dengan teriak-teriak ramai serta
pukulan pada air yang semakin ramai.
“DENGARKAN!” Lati kini membentak. Tangannya
menghantam air. Bentakan dan hentakan itu terasa be-
gitu berwibawa. Bahkan Gendar terdiam tanpa sempat
menutup mulutnya. Dan ketujuh gadis itu mematung.
Sunyi kini di tempat itu. Terdengar gemeresik angin.
Dan beberapa kicau burung kecil. Dan gemercik air.
Enam pasang mata bergerak liar ke sana-kemari.
Mata Tari terpejam memusatkan perhatian. Sunyi.
Udup tak tahan dan berbisik takut, “Ada apa sih?” Ia
merangkul Gendar erat-erat.
“Ssst,” Lati mendesis. Kini ia memperhatikan Tari.
Tari mempererat kain yang melilit tubuhnya. Tak terasa
gerakan ini diikuti oleh yang lain. Lati menggerakkan
badan meluncur mendekati Tari.
“Kau dengar?” bisik Lati.
“Di sebelah utara. Dekat pohon pakis itu,” bisik Tari.
“Siapa?” Udup berenang mendekat. Matanya membe-
lalak.
“Kalian ini bercanda atau tidak sih?” Gendar juga
mendekati, langsung diikuti yang lain.
“Bergeraklah yang wajar,” kata Tari. “Ayo berenang
ke tempat pakaian kita. Duduki gelar Rahula Wayu.
Udup, kau di kepala. Gendar, kau di leher. Rati dan Pu-
dak di punggung. Kemudian Lati dan Sunti. Dan aku di
ekor. Udup, kau harus segera menyelamatkan pakaian
kita. Ayo.”
Hanya sekilas tampak ketujuh orang dara itu meme-
jamkan mata. Memusatkan pikiran. Kemudian mereka
bergerak.
Mereka berenang. Mereka beriringan. Tetapi gerakan
mereka seakan saling menutup. Berirama. Serasa me-
reka hanya gemerlap sisik ikan yang membalik tubuh.
Gemerlap. Lenyap. Gemerlap. Tahu-tahu sudah mele-
sat.
Mereka bergerak cepat. Seolah tak teratur. Tapi sa-
ling melindungi. Cepat. Tapi ada yang lebih cepat.
Di batu padas yang mereka tuju tiba-tiba saja berdiri
seorang pria.
Udup langsung menghentikan gerakannya. Gendar
cepat memutar tubuh menggeser ke kiri hingga ia tak
menubruk gadis cilik itu. Rati dan Pudak juga men-
gayun tangan ke samping. Berenang miring.
Dan kini mereka membentuk garis sejajar dengan ga-
ris pinggir padas. Dalam keadaan siaga.
Lelaki itu bertubuh pendek. Kepalanya besar dengan
rambut digelung bundar di puncak kepala. Pada gelung
itu ditusukkan beberapa batang bilah bambu kuning.
Alisnya lebat. Matanya bagaikan tersembunyi. Hi-
dungnya pesek dan pendek. Kumisnya tegak semrawut.
Mulutnya selalu ternganga, memperlihatkan gigi yang
besar-besar dan kuning.
Lehernya hampir sebesar kepalanya. Dan pendek.
Kalung akar hitam melingkar di pangkal leher. Bahunya
bidang penuh bulu. Kain kasar menutupi dadanya, ter-
sampir di bahu. Kakinya tertutup oleh kain gelap.
Dan orang itu tertawa. Suaranya parau.
“He he he hehe...,” tawanya. “He he he he....”
Ketujuh dara itu terus mengawasinya.
“He he he he he...,” orang itu tertawa lagi. “He he he
he he....”
“Hei, apakah kau tak bisa bersuara lain kecuali... he
he he he he?” Gendar menirukan tawa orang itu. Begitu
tepat ia menirukan, hingga tak terasa Udup tertawa ter-
kikik. Tapi si kecil mungil ini langsung menekap mulut-
nya ketika ternyata yang lain tak ada yang ikut tertawa.
Para dara itu seolah tak bergerak. Tapi kedudukan ba-
dan dan tangan mereka telah berubah. Tubuh-tubuh
segar itu kini setiap saat seakan siap menghadapi ben-
turan. Sementara tangan-tangan halus mereka siap me-
lontarkan serangan.
“He he he he...,” si lelaki buruk rupa terkekeh-kekeh
lagi. “Tak heran kalau orang bilang daerah ini adalah
daerah Indrokilo,” katanya. Suaranya tetap parau. “Cu-
ma kalian tidak cocok sebagai para bidadari keindraan!”
“Kenapa tidak cocok?” Gendar langsung menyahut.
“He he he he... kamu sendiri... kamu kira rupamu
cukup cantik jika dianggap sebagai bidadari? He he he...
ha, coba lihat bayanganmu di air... apa kamu tidak ta-
kut melihat mukamu sendiri... he he he he....”
“Kurang ajar! Kamu... coba saja lihat mukamu!” de-
ngus Gendar.
“He he he he... ha ya tak usah. Untuk apa? Kamu
pasti kagum, ya? Kamu pasti kagum, ya? He he he
he....”
“Kagum? Apa yang bisa kukagumi pada mukamu?”
sahut Gendar.
“He he he he... ha, jangan berdusta... kamu pasti ka-
gum melihat mukaku. Tidak banyak lho muka sejelek
aku ini... he he he he.... Coba bilang, pernah kaulihat
muka yang lebih jelek dari mukaku? Kamu kagum toh
ya? He he he he he... kalau mukamu masih jauh... tapi
ya sudah cukup jelek! Aku heran, kamu kok tidak bu-
nuh diri saja melihat teman-temanmu yang... yah... cu-
kupanlah... he he he he... terutama yang itu, yang kun-
ing langsat itu... wah, cukup lumayan, he he he he....”
Tiba-tiba kaki Gendar bergerak. Dan sebutir batu
meluncur. Melesat. Tak terlihat. Menyibak permukaan
air. Langsung menyambar ke arah si buruk muka.
“He he he he... Kau... ekkk! Thak! Auuuuuuu!”
Akibatnya tak terduga. Batu itu telak menghantam
gigi si buruk rupa yang langsung menutupi mulutnya
dengan tangan-tangan yang berjari-jemari pendek dan
tebal-tebal berbulu.
Si buruk muka itu terus menjerit-jerit. Dan ketujuh
orang dara itu tertegun. Di antara jari-jemari tangan ta-
di mengalir darah. Ya. Darah.
Lati melirik Tari. Pada saat Tari juga melirik Lati.
Serangan Gendar tadi sangat sederhana. Memang
cepat. Tapi sederhana. Dan jelas terlihat goyangan tu-
buhnya. Bagi mata yang tajam pun pasti terlihat gerak-
an air saat batu tadi melesat dari dalam air menuju ke
permukaan. Dan, walaupun cepat, jelas kecepatan batu
sudah terhambat oleh air.
Namun batu itu masih bisa tepat mengenai gigi si
buruk muka. Terdengar tadi suara gemertak. Dan kini
terlihat darah mengalir. Serta orang itu meraung-raung.
Sama sekali tidak cocok dengan perkiraan mereka.
Gunung Rahtawu memang bukanlah Mahameru.
Toh tidak sembarang orang bisa sampai ke daerah ini.
Toh daerah ini harus dicapai melewati berbagai rintang-
an alam yang mengandung maut.
Dan si buruk rupa telah berada di depan mereka.
Tanpa terlihat cedera apa pun. Bahkan lebih segar.
Bahkan masih galak. Bahkan sempat tertawa tergelak-
gelak.
Kemudian dengan suatu serangan sangat sederhana
dari Gendar, giginya putus.
Kesunyian daerah itu kini hanya diisi oleh raungan
kesakitan si buruk muka.
Lalu, Gendar tertawa.
“Hi hi hi hi... biar kubuat makin buruk mukamu!”
Tubuh bundar Gendar meluncur dari air.
“Gendar! Jangan!” teriak Tari.
“Gendar!” teriak Lati.
Ada dua kemungkinan tidak menyenangkan, jika se-
seorang meninggalkan kedudukannya pada gelar Rahu-
la Wayu. Dia akan terbinasa oleh lawan. Atau gelar itu
sendiri seluruhnya akan hancur oleh lawan.
Itu, tentunya, kalau lawan tangguh.
Tetapi Gendar berhasil hinggap di batu padas itu.
Kaki kirinya mantap menapak menjulur ke depan. Ba-
dannya miring dengan tangan kanan tertarik ke bela-
kang. Sikap keenam tata gerak Bantala Liwung.
Sekali lagi Tari menahan napas. Memang semuanya
berlangsung sekilas. Tapi setiap gerak rekannya tere-
kam oleh matanya. Bantala Liwung adalah tata gerak
kegemaran Gendar. Ia sangat mahir. Dan tata gerak itu
sangat cocok dengan tubuhnya yang tegap gempal serta
gimbul itu.
Tapi tentunya harus diukur dulu kekuatan lawan.
Kedudukan Gendar sangat lemah. Suatu serangan yang
mungkin tak berarti pun rasanya akan membuat Gen-
dar terjungkal.
Ternyata tidak. Pada saat sekilas itu, saat kelemahan
Gendar terbuka lebar, ternyata si buruk muka tak
mengubah kedudukan. Tetap menekap mulut dan me-
raung-raung.
Maka tendangan beruntun Gendar tak terelakkan la-
gi. Tendangan kaki kanan menghajar pinggang si buruk
muka hingga orang itu terlempar ke samping. Disusul
tendangan kaki kiri yang seakan menyambut dada
orang tersebut. Disusul pula oleh meluncurnya tinju
Gendar yang kecuali besar juga sekeras batu.
“Gendar! Hentikan!” Lati ikut melompat. Disusul
yang lain. Hingga kini mereka bertujuh telah berada da-
lam kedudukan Rahula Wayu lagi, di permukaan batu
padas yang sempit.
Mereka mengepung si buruk muka yang kini meng-
gerung-gerung terguling-guling di tanah, bingung me-
megang gigi ataukah perutnya.
“Biar saja,” kata Gendar dengan dada kembang-
kempis. “Dia begitu bangga akan mukanya yang buruk.
Mungkin ia lebih bangga lagi kalau sudah jadi mayat!”
Tari menjentikkan jarinya.
Serentak mereka bergerak. Mengikuti kedudukan Ta-
ri yang kini berada di tumpukan pakaian dan barang-
barang mereka. Dengan jari-jemari kakinya Tari mem-
buat sebuah pundi-pundi kain meloncat dari tanah.
Dan jatuh tepat di telapak tangannya. Dari pundi-pundi
berwarna hijau itu dikeluarkannya dua butir tablet ber-
warna kelabu. Tari mengangguk pada Lati.
“Maafkan saudaraku ini, Ki Sanak,” kata Lati yang
walaupun bertubuh tinggi besar ternyata dapat bertutur
lemah-lembut. “Ini hanya salah paham. Kuharap kau
dapat memaafkan. Ini dua butir obat penghilang rasa
sakit. Harap diterima. Mohon kemudian Ki Sanak me-
ninggalkan tempat ini.”
“He... henak saja... ha!” Si buruk rupa itu terengah-
engah menahan rasa sakit. Kini tangannya turun dan
menekan tanah. Mukanya yang buruk terlihat sangat
menyeramkan. Darah dari mulutnya berhamburan ke
mana-mana. Bercampur ludah dan air mata. Dan me-
mang, sebutir giginya hilang. “Kahu pihikir hini tempa-
hat kahamu hapa ha... haku mahau membahalas ha!
Kahu pahasti hiri yaha kaharenaha hanyaha haku ya-
hang buhuruk mukaha, ha ya!”
Orang itu menggeram. Tari menjentikkan jari. Semua
berpindah tempat.
“Tak ada gunanya diteruskan, Ki Sanak, kami tak in-
gin mencari gara-gara...,” kata Lati. Ia agak khawatir.
Gelar Rahula Wayu memerlukan pemusatan pikiran.
Dan biasanya perubahan hanya dilakukan dengan ke-
japan mata atau gerakan bahu. Kini Tari harus menjen-
tikkan jari. Ia tahu salah satu sebabnya mungkin kare-
na mereka kini hanya memakai kain basahan. Kain tipis
melilit tubuh mereka. Dan hanya digunakan untuk
mandi. Tipis. Dan basah. Tak heran jika Gendar jadi be-
gitu pemarah. Mungkin hanya Udup yang tak begitu
terganggu. Tubuhnya yang kecil-mungil bagaikan tubuh
seorang anak-anak. Rasanya tak ada yang bisa dipakai
sebagai alasan untuk malu. Tapi yang lain?
Juga orang itu. Siapa dia? Betulkah ia tak bisa apa-
apa?
Atau hanya berpura-pura? Mata Tari yang meman-
dang padanya seolah berkata.
“Hawas kahau!” si buruk rupa itu menjerit. Dengan
bertumpu pada kedua tangannya di tanah. Dan ia me-
nerjang.
Gerakannya terasa berat. Kakinya serabutan berlari.
Menghambur ke arah Gendar. Sama sekali berlari biasa!
Tari menjentikkan jari. Semua bergerak. Tapi Gendar
tak bisa menahan diri. Ia melangkah menghindar. Dan
memutar. Serta menghajar orang itu dengan tendangan
Tatit Katiga.
“Gen...!” hampir serentak Tari dan Lati yang terus
mengawasi gerak-gerik orang itu berseru tertahan. Tapi
terlambat. Tendangan termaut dari Bantala Liwung te-
lah dilepas oleh Gendar. Dengan kekuatan penuh. De-
ngan arah yang sangat tepat. Tulang belakang di ping-
gang belakang si buruk rupa! Pada saat orang itu kedua
kakinya berat menapak ke tanah!
Yang terdengar bukan jeritan. Hanya batuk tertahan.
Dan degup keras saat tumit Gendar menghantam pung-
gung orang itu. Dan kembali seakan ada derak tulang
patah.
Orang itu terlempar melambung melampaui batu pa-
das melayang ke arah telaga. Kemudian tercebur.
“Hei!” Ketujuh dara itu terpaku di tempat masing-
masing. Seakan patung mereka melihat dari balik bahu
mereka ke arah telaga. Hanya Gendar yang telah berpu-
tar dan benar-benar menghadap ke telaga.
Sesaat air telaga sedikit bergolak. Kemudian tenang
kembali. Saat ini sinar matahari telah menyentuhnya.
Permukaan bening bagai kaca.
Satu saat. Dua saat. Beberapa saat berlalu. Permu-
kaan telaga tetap bening bagai kaca.
Orang itu tak muncul lagi.
“Tari... apakah... dia... tewas?” bisik Gendar.
“Tetap di kedudukan masing-masing...,” bisik Lati. Ia
melangkah ke tepi batu padas. Dan yang lain bergerak
sesuai perubahan itu.
Mereka menunggu lama. Air telaga kini tenang. Ha-
nya ada riak kecil dari air terjun kecil di sela-sela batu
padas.
Keadaan pun terasa sunyi. Walaupun sesekali ada
decit burung terbang melintas. Dan air pun masih ge-
merisik. Dan sesekali daun-daun pepohonan berdesir.
“Kok... tidak keluar-keluar?” bisik Udup.
“Gendar, Udup, Sunti, dan Pudak. Pakai pakaian ka-
lian. Yang lain tunggu,” bisik Lati. Matanya terus men-
gawasi permukaan air. Apakah orang itu menyelam dan
akan muncul di tempat lain? Tari melihat ke semak-
semak di belakang mereka. Wajahnya yang cantik sebe-
ku batu.
Mereka yang disebut tadi telah berlompatan turun ke
suatu celah di antara dua batu padas besar di mana
mereka menyimpan pakaian. Terdengar Gendar berseru
tertahan. Sangat lemah. Tetapi Tari mendengarnya.
“Ada apa, Gendar?” tanya Tari dari atas batu padas.
Ia tak bisa melihat kawan-kawannya itu memang.
“Ah... anu... tidak apa-apa... ada semut merah,” kata
Gendar setelah beberapa saat.
“Kau tak melihat apa-apa?” bisik Tari kini pada Rati
yang memperhatikan perbukitan di kiri mereka.
“Aku merasa seperti diawasi,” bisik Rati. Gadis kurus
itu tangan kirinya menggenggam beberapa cundrik kecil.
Keris-keris sangat kecil itu khusus dibuat untuk dilem-
parkan.
“Aku juga,” kata Lati, Matanya masih nanar menga-
wasi permukaan air. “Gila. Apakah kita harus menca-
rinya ke sana?”
“Pokoknya, apa yang harus kita lakukan?” bisik Tari.
Gendar muncul memakai pakaian kering. Disusul
oleh Udup, Sunti, dan Pudak.
“Gendar, pimpin ketiga adikmu,” kata Lati. “Kami
akan berganti pakaian. Ingat. Jangan bergerak semba-
rangan. Dan kalau ada apa-apa, cepat beri tahu kami.”
Gadis bertubuh tinggi besar itu sekali lompat masuk
ke dalam celah tempat pakaian mereka berada. Tari dan
Rati menyusul. Tapi sesaat Tari berhenti di pinggir pa-
das. Memperhatikan Gendar. Namun kemudian ia ikut
masuk.
“Di mana sesungguhnya orang itu?” bisik Lati sambil
membuka kain basahan yang menutupi tubuhnya. Di-
gosoknya tubuhnya yang sudah kering oleh angin itu
dengan kain pengering. “Hei, jangan memperhatikan
aku terus. Ada yang aneh?” dengusnya pada Rati yang
memang sedang merenunginya.
“Ah, tidak... aku cuma... membayangkan bagaimana
keadaan... orang itu... kini....” Rati cepat-cepat meng-
ambil kainnya sendiri.
“Gila! Kaupikir aku mirip mayat, ya?” sahut Lati ke-
tus.
“Aku tahu maksud Rati,” kata Tari. “Ia paling mem-
bayangkan bagaimana tubuh lelaki tanpa busana. Con-
toh paling dekat hanya tubuhmu, hi hi hi....” Tari terta-
wa.
“Bangsat!” desis Lati. “Dalam keadaan seperti ini kau
sempat bercanda!”
Tari hanya tertawa dan meloncat kembali ke atas.
Ia tertegun.
Padas itu kosong. Gugup ia melihat ke kiri ke kanan.
“Gendar! Di mana kalian?!” bisiknya.
Lati dan Rati muncul. Mereka pun terbelalak.
“He. Ke mana mereka?”
Tempat itu sepi. Hanya air telaga gemercik hampir
tak terdengar. Dan semak-semak serta pepohonan yang
sekali-sekali tergoyang angin. Dan burung-burung yang
satu-dua terbang melintas.
Tak ada yang lain.
“Heh!” Ketiga dara itu gugup kini. Mereka melihat ke
tepi air. Ke semak-semak dan hutan. Ke perbukitan.
“Gendar! Udup! Sunti! Pudaaaak!” tak tertahankan
lagi mereka berteriak-teriak.
Hanya gema suara mereka yang menyahut.
Tari akan meloncat turun, ke tanah.
“Mau ke mana?” cegah Rati kaget.
“Mencari mereka.” Tari agak kasar menarik tangan-
nya.
“Aku takut,” bisik Rati.
“Tari, tenang, jangan gugup,” bisik Lati. “Jangan-
jangan si Gendar itu hanya bercanda. Bersembunyi dan
menahan tertawa melihat kegugupan kita.”
Sesaat Tari diam. Tapi ia menggelengkan kepala. “Ka-
lau Udup diajak berkomplot dalam canda ini, tak
mungkin. Ia tadi sudah sangat ketakutan.”
Lati mengangguk.
“Gendaaaar! Uduuuuuup! Di mana kalian?” Rati tak
tahan berteriak. Keras. Gemanya memantul. Tak ada
jawaban.
Beberapa saat ketiga gadis itu mematung.
“Apakah... mereka ditarik ke... ke dalam telaga?” bi-
sik Rati.
“Rasanya... tak mungkin. Kita tak terlalu lama di
bawah. Mestinya... air akan... bergolak... dan tak ada
bekasnya...,” Lati menjawab tetapi tidak begitu meya-
kinkan.
“Dan... misalnya memang begitu... takkan bisa dito-
long lagi,” bisik Tari, memperhatikan batu padas yang
diinjaknya. Matahari telah menyinari batu itu. Bekas
kaki basah tak ada lagi. Tak ada bekas apa pun.
“Kemungkinan mereka... pergi ke arah hutan,” kata
Lati. “Kita cari jejak mereka.”
“Jangan berpencar, kita cari bersama-sama saja,”
pinta Rati.
Lati dan Tari berpandangan. Kemudian mereka
mengangguk.
“Kalau tak ada petunjuk yang kita temukan, kita ce-
pat-cepat pulang ke padepokan. Kita minta tolong E-
yang Guru,” usul Rati.
Lati dan Tari mengangguk. Mereka pun menyiapkan
senjata-senjata cundrik kecil seperti Rati.
2. TAMU
MATAHARI telah mencapai tinggi sejengkal di atas pun-
cak Gunung Rahtawu. Tapi hawa masih begitu dingin.
Tidak bagi orang-orang yang bekerja di sebuah ladang
di lereng dekat puncak gunung itu.
Ladang itu luas. Menyelimuti sebuah punggung le-
reng. Bagaikan hamparan permadani yang diletakkan
begitu saja di antara kungkungan rimba lebat di sekeli-
lingnya.
Keadaan pun tidak sepi.
Sekitar tiga puluh orang lelaki bekerja di ladang itu.
Mereka kini sedang membersihkan rumput-rumput dan
tanaman liar yang tumbuh di antara padi lahan kering
itu. Mereka bergerak seirama. Dan mereka menggumam
berirama. Bukan gumaman sekadar meringankan pe-
kerjaan mereka. Tapi gumaman ajaran guru mereka
yang dibentuk menjadi semacam senandung agar mu-
dah dihapalkan.
Senandung tentang tata-cara hidup yang baik.
Senandung tentang cara mendekatkan diri pada ke-
selamatan dunia.
Senandung tentang tata-cara bertani.
Mereka adalah murid-murid dari Padepokan Rah-
tawu. Rata-rata berbadan segar dan kekar. Muka me-
reka bagaikan memancarkan kemantapan dalam meng-
hadapi kehidupan dunia.
Seorang muda tampak menonjol di antara mereka.
Ia saja yang bertubuh kecil dalam arti tak ada tonjol-
an otot berlebihan di tubuhnya yang bertelanjang dada
itu. Kulitnya pun kuning langsat sementara yang lain
berwarna gelap. Rambutnya yang digelung bulat di atas
kepalanya lebih menampilkan wajahnya—tampan dan
halus, bahkan lebih mendekati ayu.
Ia berdiri di belakang baris-baris orang-orang lain-
nya. Tapi ia-lah yang memimpin semua gerakan me-
reka. Ia juga yang membetulkan kata-kata gumaman
mereka. Dan kadangkala, salah seorang dari mereka
berhenti bergerak dan bergumam, bertanya dengan sua-
ra lantang. Jika ini terjadi maka semua pun berhenti
bergerak dan bergumam. Semua mendengarkan jawab-
an si anak muda tanpa harus menoleh kepadanya. Ja-
waban diberikan dengan suara lantang. Hampir berlagu.
Kemudian gerakan dan gumaman pun berlanjut.
Pagi itu mereka sudah mencapai hampir dua pertiga
ladang luas itu ketika tiba-tiba si anak muda memberi
aba-aba berhenti.
“Kawan-kawan, agaknya pagi ini kita beruntung un-
tuk dikunjungi Sang Maha Bijak,” katanya lembut.
Semua berhenti bekerja. Mengusap-usapkan tangan
membersihkannya dari tanah dan rumput. Merapikan
kain putih yang melilit pinggang mereka dan menutupi
separuh kaki. Dan masih dalam gerakan yang serempak
mereka kemudian mengikuti si anak muda berjalan ke
tepi ladang.
Di situ ada sebuah tanah lapang kecil, sebelum hu-
tan kembali menghadang. Dan sebuah jalan setapak ke-
cil keluar dari hutan membelah tanah lapang itu untuk
kemudian menuju ke puncak gunung, kembali mema-
suki pepohonan yang lebih teratur tumbuhnya. Jauh di
atas sana, sekali-sekali terlihat menara pemujaan, yang
menandai juga tempat Padepokan Rahtawu berada.
Dari antara pepohonan di sebelah atas itulah muncul
serombongan pria dan wanita.
Melihat mereka, orang-orang yang tadi bekerja di la-
dang telah bersimpuh di tanah.
Mereka yang datang itu pun segera tiba.
Terdepan seorang lelaki tua berwajah segar. Ram-
butnya putih bagaikan kapas dibusur. Mukanya bersih
dari jenggot dan kumis. Tubuhnya tertutup oleh lilitan
kain putih dan manik-manik kependetaan. Dan ia ter-
senyum memandang pada si anak muda.
“Tara, sepagi ini kau sudah menyelesaikan sebanyak
itu?” tanyanya dengan suara lembut.
“Berkat bimbingan Bapa Guru, para siswa sungguh
bersemangat dan mampu melakukan yang terbaik,” si
anak muda menjawab.
“Kadang-kadang aku sangsi, mungkin kau memang
dilahirkan untuk menjadi petani—kau begitu suka pada
pekerjaan mengolah tanah daripada melancarkan ilmu
kewiraan yang aku ajarkan. Kau tidak takut akan kalah
dengan Anengah?” sang pendeta tersenyum, berpaling
pada seorang lelaki muda bertubuh kekar yang berdiri
di sampingnya. Lelaki ini gagah sekali. Berdirinya tegak
hingga tingginya hampir satu setengah kali sang pende-
ta. Dadanya bidang dengan rambut lebat di dada itu.
Wajahnya keras dengan tonjolan tulang-tulang mu-
kanya. Rambutnya sebagian digelung dan sebagian ber-
gerai menambah berwibawanya guratan mukanya. Se-
pasang matanya tajam bagai mata elang di bawah alis
yang hitam tebal.
“Walaupun hamba belajar sejak di penghidupan yang
lalu pun rasanya hamba tak berani berpikir bisa menga-
lahkan ilmu Kakang Anengah,” pemuda bernama Tara
itu berkata sambil menyembunyikan senyum.
Anak muda yang disebut Anengah itu tidak berusaha
menyembunyikan dengusnya. “Hamba rasa dalam hati
Adik Tara sudah mengalahkan hamba tiga puluh dua
kali, Bapa Guru,” katanya. Suaranya pun berat berwi-
bawa. “Hamba rasa suatu saat Bapa Guru harus me-
nyuruhnya bertanding dengan hamba. Dan pasti ia bisa
mengalahkan hamba.”
“Hamba tak akan berani, Bapa Guru,” kata Tara. “Te-
tapi jika Kakang Anengah sudi bertanding menanam
padi hamba sanggup kapan saja. Coba, Bapa Guru, pe-
tak di sebelah timur itu hamba tanami padi hasil silan-
gan hamba. Padi Cempa dengan padi Pasundan. Sebu-
lan lagi sudah dapat Bapa Guru rasakan. Begitu lem-
but, pasti.”
“Dasar anak ingusan, ingatannya hanya makanan
saja,” seorang wanita gemuk yang berdiri di belakang
pendeta dan Anengah ikut berbicara. Wanita itu nyaris
bundar, matanya bersinar-sinar lucu dan tak pernah
berhenti. Kini walaupun berbicara dengan Tara tetapi
matanya melayang ke arah ladang. “Mengapa tidak
kaukawinkan saja padi dengan cabai agar kau tak usah
mencoba-coba membuat sambal yang tak keruan itu....”
“Tapi menurut apa yang kudengar Bibi Madraka ter-
nyata suka juga pada sambal kedelai yang hamba cip-
takan, bukan?” Tara menahan geli.
“Anak kurang ajar. Satu pekan aku terpaksa terba-
ring lemas karena perutku murus,” yang disebut Bibi
Madraka mendengus. “Sudah, Kakang Resi, katakan
maksud Kakang pada anak ini daripada omongan berla-
rut-larut ke berbagai macam bumbu dapur. Sudah ku-
katakan padamu, kau mendidiknya untuk menjadi lela-
ki sejati, tapi aku yakin kelak ia hanya mampu jadi
guru tari. Itu pun kalau ia beruntung. Paling-paling ia
akan membuka warung di Kambang Putih. Kau pernah
mencoba membuat masakan Tartar, Tara?”
“Hamba menunggu sampai Bapa Guru menurunkan
ilmu Dharmacakra, dan hamba dapat menguasainya de-
ngan sempurna, baru hamba bisa mempersembahkan
hidangan orang Tartar pada Paduka, Bibi,” sembah
Tara.
“Apa pula hubungan ilmu itu dengan makanan orang
Tartar?”
“Dengan ilmu itu hamba akan menyerbu ke Atas A-
ngin. Akan hamba tawan juru masak istana mereka.
Dan hamba persembahkan pada Bibi,” jawab Tara.
“Wah, wah, wah! Kalau yang berjanji itu si Anengah,
aku mungkin sabar menunggu. Kalau kamu... apa aku
harus menunggu sampai tiga penitisan lagi?” Bibi Ma-
draka tertawa.
“Bibi lupa, hamba juga sangat lumayan dalam ilmu
perbintangan. Bukankah hamba dengan tepat dapat
meramal kedatangan Bibi di padepokan ini?” Tara ini
walaupun tampaknya pendiam agaknya senang juga
berbicara tak keruan.
“O? Dan kauramalkan bahwa kau bisa memenuhi
janjimu itu sebelum aku muksa?” Bibi Madraka mena-
han tawa.
“Menurut ramalan hamba, malah hamba takkan
mampu melaksanakannya, Bibi. Ilmu itu habis diserap
oleh Kakang Anengah,” sembah Tara.
Tiba-tiba senyum Bibi Madraka lenyap. Ia menghela
napas panjang dan berpaling pada Sang Pendeta.
“Kakang Resi, maafkan aku telah mempergunakan
waktumu,” katanya. “Kalau saja aku tadi tutup mulut,
mungkin kau sudah selesai berbicara dengan Tara.”
“Ada dua hal yang ingin kuketahui. Tidak biasanya
sepagi ini kau sudah menyelesaikan begitu banyak pe-
kerjaan. Aku tahu. Kau dan siswa lainnya berangkat
jauh lebih pagi dari biasanya. Katakan,” kata Sang Pen-
deta.
“Hamba ingin segera menyelesaikan tugas hamba ini,
agar hamba siap untuk tugas berikutnya, yang agak-
nya...” Tara melirik ke arah matahari, “takkan lama lagi
tiba.”
“Anengah, apa yang kaulihat di antara siswa-siswa
yang dipimpin adikmu ini?” tanya Sang Pendeta.
“Mmm... mereka... mereka... mereka nampaknya le-
lah, Guru,” kata Anengah bingung.
“Perhatikan lagi, apa yang kaulihat?” kata Sang Pen-
deta lagi.
“Oh...” kini Anengah berpikir. “Oh, ya. Katengeng,
Mayang, Semi, dan Pelana tidak ada.”
“Benar,” Sang Pendeta tersenyum. “Di mana mereka,
Tara?”
“Hamba... hamba memberanikan diri memberi mere-
ka tugas di luar tugas yang diberikan Guru.” Tara me-
nunduk. “Mohon Guru dapat mengampuni kelancangan
hamba ini.”
“Tergantung kekeliruanmu nanti. Ke mana mereka?”
suara Sang Pendeta lebih dingin dari hawa gunung itu
terasa.
“Mereka hamba sebar ke empat penjuru perbatasan
wilayah padepokan kita ini... karena... hamba menilik
perbintangan dan menurut perkiraan hamba... kita
akan kedatangan tamu. Yang pasti bukan Bibi Madra-
ka... sebab menurut bintang, tamu-tamu itu akan
membawa petaka ke Padepokan Rahtawu ini.”
“Hh!” dengus Anengah. Terdengar nyata. Tetapi Bibi
Madraka mengerutkan kening dan beberapa saat ber-
temu pandang dengan Sang Pendeta.
“Oh, biar aku berjalan-jalan dulu, Kakang Resi. So-
drakara, ayo ikut aku,” kata Bibi Madraka pada seorang
pendeta wanita yang sejak tadi berdiri mematung di be-
lakang mereka.
“Harap hati-hati saja, Yayi,” kata Sang Pendeta.
“Tara, coba katakan ke mana kau menyuruh kawan-
kawanmu itu.”
Tara agaknya tak mendengar kata-kata Sang Pende-
ta. Ia asyik memperhatikan gerak kaki Bibi Madraka
dan pengiringnya. Gerak kaki mereka seakan lamban.
Melangkah hampir tak bertenaga. Tetapi anehnya me-
reka tahu-tahu sudah berada di tempat yang jauh. Se-
saat keduanya telah berada di tengah ladang. Dan pada
saat lain mereka telah menghilang di hutan di seberang
ladang.
“Wah, ilmu lari Sura-caya Bibi Madraka demikian
sempurna,” gumam Tara seolah pada dirinya sendiri.
“Itukah ilmu Sang Kertarajasa dahulu?”
“Aku bertanya padamu, Tara,” Sang Pendeta mengu-
lang.
“Oh, mohon ampun, Guru... hamba begitu terpesona
akan ilmu Bibi Madraka...,” gugup Tara mengangkat
kedua tangannya menghaturkan sembah.
“Kau begitu mengagumi ilmu orang hingga ilmumu
sendiri tak kauperhatikan?” Anengah berkata ketus.
“Aku tidak setuju, Kakang. Bibi Madraka adalah sau-
dara kandung Bapa Guru... mengapa kaukatakan orang
lain? Terus terang aku mengagumi ilmu lari itu, itu
memang benar. Karena kurasa hanya dengan berlari sa-
ja aku kelak bisa menyelamatkan diri darimu, jika kita
kelak harus bertanding. Kuharap saja itu tak akan ter-
jadi, tetapi siapa tahu....” Tara tersenyum licik.
“Tara, kau jangan terlalu lancang. Katakan ke mana
keempat kawanmu itu kausuruh?” sela Sang Pendeta.
“Ya, Bapa Guru, mohon diampuni. Kakang Kate-
ngeng hamba minta ke selatan sampai ke Beringin Ker-
dil. Kakang Mayang ke timur sampai ke Batu Besar.
Kakang Semi ke utara sampai ke Telaga Biru. Kakang
Pelana ke barat sampai Randu Hutan,” jawab Tara tak
berani main-main.
Sang Pendeta memejamkan matanya berpikir. Ta-
ngannya bergerak-gerak seolah-olah sedang menghi-
tung. Kemudian tangan itu berhenti menghitung. Dan
matanya terbuka memancarkan kesedihan.
“Kau salah hitung, Tara. Mestinya yang terkuat di
antara keempat orang itu kaukirim ke Telaga Biru. Dan
itu mestinya bukan si Semi. Kedua, kau terlalu takabur
untuk menanyakan pendapatku tentang perhitungan-
mu. Bukankah itu bisa kaulakukan tadi malam? Kuli-
hat kau tadi malam berada di menara pemujaan, bu-
kan? Ketiga, ramalan tidak berarti kita harus membuat
apa yang mungkin akan terjadi batal. Itu bertentangan
dengan kehendak para dewata. Keempat, kakangmu
Anengah benar. Seharusnya kau menekuni ilmumu da-
hulu sebelum kau kagum akan ilmu orang. Aku tidak
berbicara tentang bibimu. Aku berbicara tentang ilmu
perbintanganmu. Sesungguhnya bukan itu yang harus
kaupelajari di sini. Karena kau kagum akan ilmu itu,
kau jadi melalaikan ilmu yang semestinya kaupelajari.
Akibatnya, dua-duanya tidak sempurna.”
“Hamba mohon kemurahan ampun Paduka, Bapa
Guru,” Tara menyembah hingga menyentuh tanah.
“Setidak-tidaknya kau benar. Akan ada tamu. Dan
kakangmu Anengah yang akan menyambutnya. Kau tak
boleh ikut campur. Sekarang juga kau harus kembali ke
asrama. Suranggana!”
“Ampun, Bapa Guru....” Salah seorang pengiring
Sang Pendeta, seorang yang bertubuh tinggi besar dan
berkulit hitam-legam, maju menyembah.
“Kaubawa Tara kembali ke asrama. Jaga jangan
sampai ia meninggalkan asrama itu. Sekejap pun ia tak
boleh hilang dari matamu,” kata Sang Pendeta.
“Baik, Bapa Guru. Mari, Tara.” Suara Suranggana ini
juga sebesar tubuhnya. Berat, keras.
“Bapa Guru, apakah ini hukuman?” Tara belum be-
ranjak dari duduknya.
“Kenapa?” tanya Sang Pendeta.
“Jika ini hukuman, maka sukarela hamba melaksa-
nakan. Permintaan hamba, biarkan hamba berada di
sini sampai tamu itu tiba. Sesudah itu, jika Paduka in-
gin menghukum hamba empat puluh hari empat puluh
malam sekalipun hamba akan menurut.”
“Tidak, Tara. Jika kau membantah, pamanmu Su-
ranggana aku beri wewenang menghajarmu,” kata Sang
Pendeta.
“Hamba sangat ingin melihat siapa tamu itu,” kata
Tara.
“Aku harus tegas padamu, Tara, kalau tidak, orang
akan bilang Resi Rhagani pilih kasih,” kata Sang Pende-
ta.
Sesaat Tara terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu.
Tetapi tak jadi. Ia merasakan sesuatu yang lain. Kata-
kata gurunya tadi. Memang lemah-lembut. Dan seolah
biasa saja. Tetapi betapapun lembutnya, kalimat itu
adalah kalimat menyombongkan diri. Dan ini tak biasa
dilakukan Sang Pendeta.
“Kalau begitu... hamba mohon pamit,” Tara meng-
haturkan sembah. “Kalau boleh, hamba ingin bertitip
pesan kepada Ki Kanigara....”
“Katakanlah,” sahut Sang Pendeta.
Tara menyembah lagi, kemudian berpaling pada seo-
rang pria tua yang duduk bersimpuh di belakangnya.
“Paman Kanigara, kalau Paman meneruskan pekerjaan
menyiangi ladang kita, jangan lupa membuka sumber
air yang di utara itu. Jagalah agar aliran airnya baik.
Paman ingat itu?”
“Tentu, Ananda.” Kanigara mengangguk hormat.
“Hamba mohon diri, Bapa Guru... Kakang Anengah
... dan Paman-paman semua.” Beberapa kali Tara mela-
kukan sembah, kemudian ia berjalan mundur, diikuti
oleh Suranggana.
Beberapa saat tempat itu sunyi. Sang Pendeta meme-
jamkan matanya. Beberapa orang memperhatikan Tara
dan Suranggana yang berjalan semakin jauh.
“Anengah,” kemudian Sang Pendeta berkata. “Bawa
para siswa ini ke ladang. Pimpin mereka bekerja seperti
yang dilakukan adikmu tadi.”
“Baik, Bapa Guru,” Anengah menghaturkan sembah
dan berpaling pada rombongan yang tadi bekerja di la-
dang. “Mari, kawan-kawan, Bapa Guru telah menyam-
paikan petunjuk.”
“Kanigara, ingat kata-kata Tara tadi. Kurasa ada ba-
iknya jika kaulaksanakan nanti,” kata Sang Pendeta.
“Baik, Bapa Guru.” Kanigara menghaturkan sembah.
Satu per satu mereka mundur. Kembali ke ladang.
Sang Pendeta berjalan ke sebatang pohon. Ada
bayang-bayang rindang di sekitar pohon itu. Sang Pen-
deta duduk di akar pohon. Bersandar pada batangnya.
Dan para pengikutnya duduk mengelilinginya.
Mereka tak berbicara. Mereka memperhatikan siswa-
siswa yang mulai bekerja sambil menggumam seperti
tadi. Sekali-sekali ada yang bertanya. Dan Anengah
menjawab pertanyaan tersebut. Jika tanya-jawab ber-
langsung, maka kelompok yang ada di bawah pohon itu
terlihat memasang kuping. Sekali-sekali tampak Sang
Pendeta tersenyum. Sesekali ia mengerutkan kening.
Sampai tiba-tiba Sang Pendeta berdiri dan berkata,
“Ah, itu mereka datang!”
Semua berhenti bergerak. Dari arah selatan, di ba-
wah mereka, muncul segerombolan orang. Dari kejau-
han pun mereka tampak berbeda. Sinar matahari se-
kali-sekali berkilauan di badan mereka.
Rombongan itu mungkin terdiri dari kurang-lebih
sepuluh orang. Tapi hanya tiga orang yang melanjutkan
perjalanan, mendekat.
Tiga orang. Seorang bertubuh gagah dan matanya
sangat berwibawa. Gaya jalannya pun bagaikan orang
yang terlatih kewiraan. Kalung emas menutupi dadanya
yang bidang dan berbulu. Demikian juga gelang bahu
dan gelang tangan. Begitu mewah.
Kedua orang yang mengapitnya lebih sederhana.
Namun mereka pun memakai kalung emas. Dan rambut
mereka digelung rapat di kepala.
Mereka kini berada di hadapan Sang Pendeta.
“Terimalah salamku, wahai Sang Resi. Tentunya Ba-
pa yang bernama Resi Rhagani, bukan?” suara orang itu
berat dan seakan mengguncangkan dada siapa pun
yang mendengarnya.
“Selamat datang, wahai orang gagah,” sambut sang
Resi. “Selamat datang. Dengan siapakah aku berbica-
ra?
“Hm. Namaku Rangga Prawangsa. Ini kedua penga-
walku. Gubar Baleman dan Kali Limpuk. Sungguh he-
bat ilmu Paduka, Bapa Pendeta, Bapa bisa meramalkan
kedatangan kami hingga sudah menyambut jauh dari
Padepokan.”
“Ah, hanya kebetulan. Memang kami biasa bekerja
pagi,” Sang Pendeta berkata.
“Bagus, bagus... kalau memang begitu, ya, bagus.
Hanya, hamba lihat, para siswa yang berada di ladang
itu agaknya telah menduduki tata letak pengepungan,”
kata Rangga Prawangsa.
“Mereka sesungguhnya bekerja sambil menghapal-
kan pelajaran. Jika kedudukan mereka Tuan anggap
memiliki rencana kewiraan, sekali lagi itu memang ke-
betulan.”
“Ah, ya, sudahlah. Walaupun mereka mengambil ke-
dudukan kewiraan, mungkin juga tak ada gunanya
nanti.”
Rangga Prawangsa memelintir kumisnya. “Apakah
aku akan Bapa persilakan masuk ke Padepokan Rah-
tawu, ataukah Bapa ingin berbicara di sini?”
“Jika Tuan hanya ingin berbicara, di mana saja ten-
tunya memadai. Jika Tuan ingin bertamu, tentunya
kami akan mempersilakan Tuan berkunjung ke pade-
pokan kami. Kami hanya tuan rumah. Tuanlah sebagai
tamu yang akan menentukan.”
“Hmmmm, segar sekali hawa di sini.” Alih-alih me-
nyambut pembicaraan Resi Rhagani, Rangga Prawangsa
mengangkat muka dan menghirup udara dalam-dalam.
Dengan demikian mukanya kini menghadap ke arah la-
dang. Dan terpandang olehnya Anengah yang berdiri
terpaku di antara batang-batang padi serta sedang
memperhatikannya. “Ah, hawa segar dan kerja keras
membentuk orang-orang gagah. Apakah pemuda itu
murid utama Bapa, Sang Resi?”
“Semua muridku sama. Tidak ada yang utama atau-
pun yang kurang utama,” jawab Resi Rhagani.
“Aha! Aku yang keliru. Maafkan. Bolehkah aku ber-
bicara dengannya?” Rangga Prawangsa tersenyum.
“Anengah, kemarilah,” kata Sang Resi. Walaupun ka-
ta-katanya itu perlahan, tetapi cukup jelas terdengar
oleh Anengah yang berada agak jauh dari tempat itu.
“Baik, Guru,” sahut Anengah. Dan dengan kepala
menunduk ia berjalan mendekat, bersimpuh di depan
gurunya dan menghaturkan sembah. “Hamba mengha-
dap, Guru.”
“Nah, Tuan Rangga, apa yang ingin Tuan katakan
pada muridku ini?” tanya Resi Rhagani.
“Namanya Anengah....” Rangga Prawangsa mengang-
guk-angguk memperhatikan pemuda itu. “Hanya inikah
murid Bapa? Yang umurnya sekitar... dua puluhan ta-
hun? Atau ada lagi di padepokan?”
“Seperti yang kukatakan tadi, jika Tuan kehendaki,
Tuan boleh berkunjung ke padepokan,” kata Resi Rha-
gani.
“Kalaupun aku ke sana, toh aku takkan tahu apakah
ada yang Bapa sembunyikan atau tidak,” Rangga Pra-
wangsa tertawa.
“Maaf, Tuan Rangga, kukira tak ada alasan bagi
Tuan untuk menghina guruku seburuk itu,” Anengah
menyela.
“Anengah, kau tak perlu ikut berbicara,” sanggah Re-
si Rhagani.
“Waduh, ada anak macan kiranya.” Rangga Pra-
wangsa bertolak pinggang kini. “Kalau kau tersinggung,
maafkan aku, bocah. Sudah menjadi adatku untuk ber-
bicara terus terang.”
“Mohon ampun, Bapa, izinkan hamba berbicara lang-
sung dengan Tuan Rangga ini, karena beliau toh me-
mang ingin berbicara dengan hamba,” Anengah me-
nyembah pada Resi Rhagani.
“Engkau bukan budak belian, mengapa harus minta
izin segala hanya untuk berbicara,” ejek Rangga Pra-
wangsa. “Hanya guru yang pendek pikirannya saja yang
mencegah siswanya berkembang. Bukankah demikian,
Bapa Resi?”
“Tuan datang dari jauh, jadi adat Tuan mungkin ti-
dak sama dengan kami,” tiba-tiba Anengah memberani-
kan diri untuk menyahut. “Karena Tuan bukan dari
daerah ini pulalah agaknya Tuan menyembunyikan
lambang Syangkha Tuan.” Anengah berhenti sesaat.
Terkesan bibirnya tersenyum. “Sungguh Tuan orang
yang suka berterus terang.”
Tak terasa Rangga Prawangsa menekap tinju kanan-
nya. Hanya di cincinnyalah ada lambang Syangkha,
lambang kerang bersayap yang merupakan lambang
Daha. Dan memang cincin itu diputarnya agar lambang
tersebut tak terlihat.
“Tajam lidahmu, tajam pula matamu, anak muda,”
Rangga Prawangsa mengepalkan kedua tinjunya. “Kalau
tahu aku dari mana, tentu saja kau pun bisa memperki-
rakan kepangkatanku, bukan?”
“Tuan seorang rangga, itu kalau Tuan berterus te-
rang. Kita tak boleh terlalu yakin dan percaya pada kata
orang. Dari cara Tuan berbicara, agaknya Tuan pun ti-
dak yakin bahwa yang ada di hadapan Tuan ini adalah
Sang Resi Rahtawu. Jika Tuan yakin, tentunya Tuan
akan lebih menghormat, bukan?”
“Anengah, kembalilah ke ladang,” Resi Rhagani me-
nyela. “Tuan Rangga agaknya tak ingin berbicara de-
nganmu.”
“Tunggu,” tiba-tiba-orang yang tadi disebut sebagai
pengawal Rangga Prawangsa, Gubar Baleman, men-
cegah. “Anak muda ini harus minta maaf karena me-
nyindir Tuan Rangga. Bukankah ia seakan berkata bah-
wa semua orang bisa saja mengaku Rangga tetapi se-
sungguhnya hanya seorang pengemis? Hayo. Minta
maaf!”
“Minta maaf mengapa harus dipaksa?” bantah Ane-
ngah.
“Anengah, kau kembali!” tukas Resi Rhagani tegas.
Dan kepada Rangga Prawangsa resi itu berkata, “Sekali
lagi maafkan muridku. Biar aku yang menghukumnya
nanti.”
“Tidak,” kata Rangga Prawangsa tegas. “Kata Gubar
Baleman benar. Anak muda ini menghina aku. Apa aku
harus membuktikan diri bahwa aku seorang rangga? Itu
mudah saja. Aku biasa menghajar orang yang kurang
ajar padaku. Nah, pasti tendangan seorang rangga
lain.... Yattth!”
Anengah masih duduk di tanah. Tendangan itu begi-
tu cepat. Anengah duduk dan seakan tak bergerak. Na-
mun sesungguhnya ia menekan tanah dengan kedua te-
lapak tangannya. Badannya bertumpu pada jari-jema-
rinya. Dan jari-jari itu bergerak. Bagaikan berjalan.
Dengan langkah-langkah Sura-caya.
Tubuh Anengah seakan tak bergerak. Tetapi sesung-
guhnya tubuh itu meluncur ke kiri dan ke kanan. Maju
dan mundur. Dan kaki-kaki Rangga Prawangsa yang
dengan deras melakukan tendangan beruntun hanya
membentur angin.
Rangga Prawangsa semakin kalap. Gerakannya se-
makin cepat. Angin bagaikan menderu dari kakinya.
Agaknya ia terpaksa hanya menggunakan kaki saja, ka-
rena Anengah tetap juga tampak duduk di tanah. Anen-
gah bagaikan melayang-layang rapat dengan tanah itu.
Selalu dengan tepat bergerak menghindari tendangan
Rangga Prawangsa.
Sampai suatu saat.
Anengah agaknya terpaksa menghindar ke dekat Re-
si Rhagani. Dan tiba-tiba saja Resi Rhagani menjulur-
kan kakinya. Jari jempolnya menyentuh paha Anengah.
Akibatnya tubuh Anengah berputar. Tepat ke arah ke
mana tendangan kilat Rangga Prawangsa tertuju. Tak
pelak lagi terdengar suara bagaikan tulang berderak.
Anengah menjerit keras dan terhempas. Ia bangkit, na-
mun terhuyung roboh. Ia bangkit lagi dan merayap ber-
diri dengan merambat di batang pohon. Lemas ia me-
rangkul batang pohon itu. Dari mulutnya mengucur da-
rah. Matanya sayu tak percaya memandang pada Resi
Rhagani.
3. BIDADARI
TARA berjalan gemas. Jalan setapak itu dipagari oleh
semak-semak. Dan secara iseng sekali-sekali Tara me-
nebaskan tangan. Beberapa kali tebasannya terlihat
menghasilkan keanehan. Pucuk semak sudah putus
terbang beberapa saat sebelum dua ujung jarinya melin-
tas menyentuh. Sesekali ia berhenti untuk memeriksa
hasil tebasannya. Semak-semak dengan ranting liat itu
kebanyakan terpotong bersih bagaikan diiris pisau ta-
jam. Tapi ia sendiri agaknya tidak kagum.
Suranggana memperhatikan itu semua dengan wajah
dingin tanpa perasaan. Wajahnya yang hitam tak ber-
ubah sedikit pun.
Sekali Suranggana tak sabar.
“Cepat, Tara, kau diperintahkan Bapa Guru untuk
ke padepokan, bukannya menghabiskan waktumu di ja-
lan ini,” katanya.
“Sama saja, kan? Aku tahu, Bapa Guru hanya tidak
menghendaki aku berada di sana, saat tamu yang ku-
ramalkan akan datang itu datang,” kata Tara seenak-
nya.
“Pasti bukan itu maksud Bapa Guru. Mungkin rama-
lanmu meleset. Ayo, berjalan!” Dengan tangannya yang
besar Suranggana mendorong punggung Tara. Sesaat
Tara ingin mengerahkan tenaga untuk memusnahkan
dorongan itu. Tetapi pada saat itu juga terasa betapa te-
lapak tangan Suranggana melemas dan lengket.
“Paman Suranggana, berapa lama Paman mengikuti
Bapa Guru?” tanya Tara melanjutkan perjalanan. Jalan
mereka menanjak terjal. Dan mereka telah menempuh
separuh perjalanan. Pohon-pohon besar mereka ting-
galkan. Kini mereka berada di hutan kecil, pohonnya ja-
rang, dan di kejauhan gapura utama Padepokan Rah-
tawu telah terlihat.
“Aku telah mengikuti beliau sebelum beliau mendiri-
kan padepokan ini,” jawab Suranggana.
“Aku dengar Bapa Guru sesungguhnya adalah seo-
rang pangeran Wilwatikta?” tanya Tara.
“Apa yang berkenaan dengan Bapa Guru sepenuhnya
berada dalam wewenang beliau. Aku tak berhak menga-
takannya,” sahut Suranggana.
“Paman tak usah mengatakannya. Bilang saja ya
atau tidak,” kejar Tara.
“Jika kau berbicara tentang pribadi beliau, aku tak-
kan segan melemparkanmu ke jurang sana. Kau tahu
aku selalu melakukan apa pun yang kujanjikan.”
“Itulah yang aku heran,” Tara tiba-tiba melompat.
Tinggi. Berputar di udara. Dan hinggap di sebuah batu
besar di antara pepohonan, di kiri jalan setapak itu. Ia
hinggap dengan lunak sekali kemudian melompat kem-
bali ke depan Suranggana. “Paman mestinya sudah me-
nyerap semua ilmu beliau. Tetapi tidak. Terus-terang,
Paman hanya menang tenaga saja melawan kami siswa-
siswa Sang Pendeta. Bahkan Paman tak diperkenankan
mengajar kami. Lalu, sesungguhnya Paman itu ada hu-
bungan apa dengan Guru?”
Suranggana mengangkat tangannya. Mengepal keras.
Tara segera meloncat mundur.
“E, e, e, e... tunggu dulu,” kata Tara tergesa-gesa.
“Paman tadi memang berjanji akan melemparkan aku
ke jurang. Tetapi itu jika kita membicarakan Bapa
Guru. Padahal yang berbicara hanya aku. Bukan kita.
Jadi Paman tak usah marah. Biar saja aku bicara terus.
Aku tak menunggu jawaban.” Ia menyeringai. “Jadi, jika
Paman memukulku, Paman yang salah lho!”
“Jalan!” perintah Suranggana.
Tara melompat kembali ke jalan dan berbicara seo-
lah-olah pada dirinya sendiri.
“Jadi... baiklah. Kita anggap saja bahwa Sang Resi
dari Wilwatikta. Kalau dia pangeran, maka pantas ia
memiliki begitu banyak ilmu kewiraan. Dan menilik il-
mu keagamaannya, kemungkinan besar beliau datang
dari Singasari. Ilmu kewiraan Paman lain dari beliau.
Tetapi Paman tidak mencoba belajar ilmu beliau. Dan
beliau tidak mengajar Paman. Paman hanya belajar
pengetahuan agama dari beliau. Berarti Paman dahulu
kurang pengetahuan tentang itu. Kesimpulannya, Pa-
man hanyalah seorang pengawal dahulunya. Tetapi
pengawal yang sudah begitu dicinta hingga bagai sau-
dara. Demikian juga sikap Paman-paman Drawalika
dan Pawungsari. Paman-paman bertiga berilmu tinggi
sejak dulu. Rasanya jarang ada orang yang memiliki
pengawal dengan ilmu setinggi Paman-paman. Kesim-
pulannya, Sang Guru adalah seorang pangeran dengan
kedudukan sangat tinggi di Singasari. Jika aku mau,
akan mudah bagiku untuk menyelidiki siapa se-
benarnya Resi Rhagani itu. Aku bisa ke Singasari, me-
nanyakan pada orang-orang tua di sana siapa yang se-
kitar dua-tiga puluh tahun yang lalu adalah pangeran
kuat di istana, yang memiliki tiga orang pengawal yang
setia. Orang seperti Bapa Guru pasti terkenal di masa
mudanya. Dan dengan demikian aku bisa membuka ra-
hasia Paman. Tetapi akhirnya mungkin Paman akan
malu bila aku berhasil membuka rahasia Paman. Jadi...
lebih baik ceritakan saja langsung sekarang. Ini mum-
pung aku mau mendengarkannya, lho!”
Sebagai jawaban tiba-tiba Suranggana menghantam
Tara. Tara menjerit. Lebih karena dibuat-buat daripada
terkejut. Atau terkena. Sebab dengan sekali gerakan
kaki maka tubuhnya melejit ke udara, berputar dan ja-
tuh menjauh. Suranggana tidak berhenti. Ia pun ter-
bang menyerang.
“Paman! Paman! Ampun, Paman!” Tara berteriak-
teriak sambil berkelit ke sana-kemari. “Jangan pukul
aku, Paman!” Kembali ia menjerit. Tetapi ternyata ia ti-
dak hanya menghindar. Sekali-sekali ia memasang kaki
atau tinjunya hingga walaupun tidak menyerang toh
Suranggana terpaksa menangkis atau menghindar.
“Bocah ingusan, kau mencoba aku ya!” kata Surang-
gana geram. Gerakannya semakin gesit. Pukulannya
semakin getas. Tebasan tangannya terdengar menderu.
Dan kini Tara tak bisa lagi bercanda. Ia betul-betul me-
musatkan diri untuk meladeni Suranggana. Agaknya ia
memang membatasi diri untuk tidak balas menyerang.
Tapi serangan Suranggana yang makin ganas membuat
ia lebih banyak berlompatan mundur. Makin lama me-
reka makin mendekati gapura Padepokan Rahtawu.
Wajah hitam Suranggana tampak semakin seram. Ia
semakin bersungguh-sungguh melontarkan berbagai
serangannya. Sekali ia berhenti sejenak, mengucapkan
rapal kewiraan. Dan melihat ini Tara menjerit ketakut-
an. “Paman! Jangan!”
Terlambat. Tinju Suranggana meluncur deras. Tara
melompat dan memutar tubuhnya ke samping. Batu
besar tempatnya berdiri langsung semburat pecah ber-
keping-keping.
“Wah, ampun, Paman, ampun!” Tara langsung lari.
Dan kini Suranggana tertegun. Bukan hanya untuk me-
luruhkan ajiannya tetapi juga karena melihat gerakan
lari Tara.
“Anak alas! Kau mencuri ilmu bibimu, ya!” geram Su-
ranggana.
Tahu-tahu Tara sudah berada di telundakan pintu
gerbang padepokan. Ia tertawa. Tak terlihat lelah di ba-
dannya walaupun kini ia bersimbah keringat.
“Ilmu Sura-caya kan juga ilmu Bapa Guru kita, Pa-
man.... Siapa yang mencuri?” teriak Tara. Mereka me-
mang sudah terpisah jauh.
“Itu tadi Sura-caya dengan gaya wanita. Kaukira aku
buta?” Suranggana melangkah berat mendekat.
“Tunggu, Paman, biar kujelaskan dulu.... Paman,
tunggu... ceritanya begini...” Tara tampak ketakutan.
Tiba-tiba Suranggana berhenti. Terdiam. Mematung.
“Paman, Paman kan tahu...”
Suranggana memberi isyarat agar Tara diam. Dan
tampak ia mendengar-dengarkan. Tara melompat turun
mendekat.
“Ada apa, Paman?” ia langsung mengerti bahwa wak-
tu untuk bercanda telah selesai. Dan ia segera tahu apa
yang membuat Suranggana tertegun.
Keadaan begitu sepi.
Memang daerah di puncak gunung itu sepi. Tapi ti-
dak sesepi ini. Mestinya, paling tidak di gapura itu ada
Ki Danu yang tua, yang selalu berhenti sejenak di gapu-
ra dalam perjalanannya mengambil air yang tak pernah
selesai. Paling tidak di sana mestinya ada seorang siswa
yang membersihkan pagar dari lumut-lumut, atau en-
tah apa kerjanya tetapi selalu tiap hari ada seorang sis-
wa di sudut pagar itu. Paling tidak terdengar celoteh pa-
ra penghuni padepokan di balik pagar. Apalagi jika Sang
Guru keluar, mereka pasti merasa lebih bebas. Bi-
asanya jika Sang Pendeta keluar, maka halaman dalam
akan ramai dengan pembicaraan simpang-siur para
pembantu.
Sekarang sepi.
Suranggana memberi isyarat. Dikencangkannya ikat
pinggangnya. Disingsingkannya kainnya agar ia dapat
bergerak lebih bebas. Dan kerisnya pun dipindahkan-
nya ke samping. Tara yang tidak membawa senjata juga
membereskan kain dan ikat pinggangnya.
Hampir bersamaan mereka maju ke pintu gerbang.
Di pintu gerbang mereka tertegun.
Di situ terkapar tubuh Ki Danu, tepat di bagian da-
lam telundakan hingga tadi tak terlihat dari luar. Tem-
pat airnya pecah. Dan tanah berbatu di sekelilingnya
basah. Masih basah! Suranggana dan Tara saling pan-
dang. Mereka melompat masuk. Dan nyawa mereka
seakan lenyap.
Di halaman dalam berserakan tubuh-tubuh. Tak
bergerak. Dan mungkin... Tara cepat membungkuk
memeriksa Ki Danu. Ya. Tak bernyawa! Suranggana
bergegas mendekati tubuh terdekat di halaman itu. Ini
pun tak bernyawa!
Tara akan bersuara, tetapi Suranggana memberinya
isyarat untuk tutup mulut dan menggamitnya untuk
berlindung di balik arca di depan balai pertemuan be-
sar.
“Apa pun yang terjadi, agaknya baru terjadi. Pela-
kunya mungkin masih ada di sini. Cepat kau ke bagian
belakang. Selidiki dari sana. Aku mulai dari sini. Jika
kau bertemu sesuatu yang mencurigakan, jangan ta-
ngani sendiri. Panggil aku. Mengerti? Jangan berusaha
jadi pahlawan!” Suranggana berbisik pada Tara. Dan air
muka Suranggana yang begitu dekat dengan mukanya,
membuat Tara tak berani membantah. Muka hitam itu
begitu seram. Dan napas Suranggana memang tidak ha-
rum, hingga sesak napas Tara. “Kalau tidak apa-apa, ki-
ta bertemu dekat balai pertemuan dalam. Sudah. Pergi.”
Suranggana tak menunggu. Ia langsung meloncat.
Dan dengan gerak tak bersuara berlari ke arah menara
pemujaan. Tara juga tak menunggu lagi. Ia berlari ke
dinding pagar kiri. Dan dengan kecepatan tinggi menyu-
suri pagar itu hingga sampai ke sudut paling belakang.
Pagar tadi cukup panjang memang. Mungkin ada dua
ratus depa. Memang padepokan tersebut nyaris meru-
pakan perkampungan kecil. Beberapa bangunan dikeli-
lingi pagar. Bahkan terdapat asrama di belakang.
Di halaman belakang ini Tara berhenti. Begitu ia
muncul belasan ekor ayam terkejut dan berteriak ribut.
Disusul oleh embikan kambing di kandang belakang.
Tara merapat ke batang sebatang pohon trembesi. Di-
perhatikannya sekelilingnya.
Kandang sepi. Mestinya kambing-kambing itu sudah
dikeluarkan. Kini mereka gelisah di dalam. Tara berlari
ke kandang itu.
Di pintu kandang tergolek sesosok tubuh. Tara kenal
dia, Pangon. Dan ia tak bernyawa. Tak ada bekas apa
pun di tubuhnya. Seperti yang lain.
Berdiri bulu kuduk Tara. Ia merasa seolah sedang
diperhatikan seseorang. Dan kambing-kambing itu ribut
sekali.
Dibukanya pintu kandang, sambil melompat berlari
ke dapur besar. Kambing-kambing ikut berlarian keluar
sambil mengembik-embik.
Tara sudah berada di dapur. Dapur itu besar, karena
digunakan untuk memasak makanan bagi seluruh isi
padepokan. Api di tungku-tungku besar masih memba-
ra. Dan di atas tungku-tungku itu kuali-kuali mengge-
legak airnya. Dua orang tukang masak tergeletak di de-
kat pintu.
Sesaat pikiran Tara melayang pada warga wanita pa-
depokan ini. Tari dan kawan-kawannya! Ia menahan
langkah. Ah, mungkin tidak. Mereka tadi pamitan pergi
ke Telaga Biru. Kalau pulang pastilah melewati ladang
tempatnya bekerja. Tapi tidak. Ia belum melihat mereka.
Tak urung Tara berlari ke rumah besar untuk kaum
wanita—Bibi Madraka satu pekan dalam sebulan selalu
membawa murid-muridnya kemari, dan untuk itu me-
reka dibuatkan asrama tersendiri. Pintu asrama terbuka
lebar. Tak ada mayat di sini. Entah ke mana Bibi Cingur
dan Bibi Sari yang biasa menjaga asrama ini.
Tara berlari ke menara pemujaan belakang. Ruang di
bawah menara itu gelap. Sekilas Tara memperhatikan
rak-rak berisi berbagai perlengkapan pemujaan. Tak
ada yang mencurigakan. Tara melompat ke telundakan
batu yang menuju ke atas. Sesaat ia tertegun.
Apa pun yang telah terjadi, mungkinkah pelakunya
ada di atas? Mungkin tergantung si pelakunya ingin
mencapai apa dengan perbuatannya ini. Membunuh pa-
ra warga padepokan. Untuk apa? Mungkin mencari se-
suatu rahasia. Rahasia apa? Sejauh ini Rahtawu agak-
nya tak menyimpan rahasia apa pun. Tapi... ya... dan
juga kemungkinan bahwa Resi Rhagani punya musuh.
Ini mungkin sekali. Lalu... apakah si pembunuh ingin
membunuh Resi Rhagani atau hanya menghancurkan
Padepokan Rahtawu? Kalau itu yang terjadi, mungkin
buang-buang waktu saja pergi ke atas, jangan-jangan
pelakunya berada di ruang-ruang utama.
Tapi... berapa orangkah mereka? Tak mungkin satu
orang dapat membunuh begitu banyak orang yang ter-
pisah begitu jauh.
Tara berpaling, akan melangkah turun.
Tidak, ia harus melihat ke atas dahulu. Paling tidak
dari sana toh ia bisa melihat ke berbagai tempat di pa-
depokan ini.
Tara berlari menaiki tangga batu itu.
Menara pemujaan itu sekitar satu setengah kali ting-
gi pohon kelapa. Dari puncak sana ia akan bisa melihat
bahkan sampai ke ladang. Mungkin ia bisa memberi
isyarat pada mereka yang ada di sana.
Ketika berada di pertengahan ketinggian menara,
Tara merasa mencium suatu bau yang aneh. Bau ha-
rum yang serasa belum pernah dikenalnya. Bukan du-
pa. Bukan pula harum bunga. Bukan minyak wangi
yang biasa dipakai untuk upacara.
Apa?
Ia berhenti di ruang tengah, yang digunakan untuk
menyucikan diri sebelum melanjutkan diri ke ruang
pemujaan di atas. Ruang ini pun tak menunjukkan apa-
apa.
Ia naik lagi.
Dan sampai di tempat pemujaan.
Tempat pemujaan itu semacam panggung terbuka.
Berbentuk segi empat dengan masing-masing sisi seki-
tar tiga depa. Setiap sisi berpagar setinggi pinggang.
Atap tempat itu atap rumbia yang didukung oleh empat
tiang kayu berukir.
Tara sangat terkejut.
Di tengah mang tersebut berdiri seseorang. Seseo-
rang wanita. Membelakangi dia. Berpakaian putri—
atau, paling tidak, begitulah perkiraan Tara. Pokoknya
pakaiannya jauh lebih mewah dari siapa pun yang per-
nah dilihatnya. Rambutnya terurai sampai ke pinggang,
menutupi ikat pinggang yang berhiaskan emas dan
mungkin permata. Kulitnya terlihat kuning-putih, segar
dan sehat. Dan yang mencolok, harum itu.
Beberapa saat Tara harus menenangkan pikirannya.
Dadanya berdebar keras. Tangannya gemetar.
“Si... siapakah kkk... kau?” akhirnya ia bertanya.
Dan orang itu berpaling.
Disambar petir pun rasanya Tara takkan sekaget itu.
Wajah orang itu begitu cantik... rasanya tak akan ada
yang bisa menyamai kecantikannya. Rasanya tak akan
ada manusia yang bisa secantik itu. Ini bukan manu-
sia... ini... ini pasti bidadari! Ya. Dan pakaiannya sung-
guh gemerlap. Mukanya bagaikan dilingkupi oleh ca-
haya yang begitu menyilaukan. Ini pasti bidadari!
“Kau bertanya padaku?”
Dan suara itu begitu merdu. Bagaikan nyanyian.
Atau mungkinkah ini memang nyanyian?
“Oh, kau tak mau berbicara padaku?” Dan bidadari
itu tersenyum!
“Ehh... maksudku... siapakah kau?” Tara memaksa-
kan diri untuk bertanya.
“Namaku rasanya tidak penting... kau sendiri siapa?
Apa hubunganmu dengan Padepokan Rahtawu ini?”
Tara merasa dadanya sesak oleh kecantikan wanita
itu. Tapi dengan diucapkannya nama Padepokan Rah-
tawu, sebagian semangatnya kembali.
“Aku adalah anggota Padepokan Rahtawu ini. Jika...
jika... kau ada hubungan dengan... bencana yang ada di
bawah sana... maka aku harus mena... menanyaimu...
kkau siapa?”
“Itulah yang kukatakan... namaku tidak penting. Se-
bab, jika kau anggota Padepokan Rahtawu ini... maka
kau harus kulenyapkan!” Bidadari itu masih tersenyum.
Tetapi dari matanya memancar kekejaman. Tak terasa
Tara mundur selangkah.
“Tapi... kkkenapa?”
“Untuk apa kau bertanya?” tiba-tiba tangan bidadari
itu bergerak. Ada semacam selendang di ikat pinggang-
nya. Dan selendang itu tiba-tiba meluncur ke arah mu-
ka Tara. Sesaat perhatian Tara tidak pada kecantikan
sang bidadari. Ia melihat kilasan serangan. Maka ia
langsung memusatkan perhatian pada pertahanan. Dua
kali melangkah dengan Sura-caya dan sambaran selen-
dang itu tak mengenai sasaran.
Sang bidadari, seperti yang dijulukkan oleh Tara,
seakan tertawa mengejek. Dan tiba-tiba saja selendang-
nya meluncur ke sana-kemari. Menyerang dengan kece-
patan tinggi dan sasaran tak tanggung-tanggung. Keci-
pukan Tara bergerak dengan tata-gerak Sura-caya. Be-
berapa kali selendang itu nyaris mengenai tubuhnya,
dan Tara merasakan betapa anginnya saja membuat
kulit serasa terbakar.
“Hei, kaukira dengan berlompatan begitu saja kau
bisa selamat,” desis sang bidadari, dengan suara lembut
dan senyum dikulum. Tara tak berani menjawab. Berge-
rak saja sudah cukup sulit. Ia harus memusatkan per-
hatian agar gerakannya tak bisa diduga oleh bidadari
itu. Akibatnya ia sungguh terdesak ke sudut pagar
panggung.
Dalam suatu kesempatan Tara mencoba. Sambil
membungkuk rendah tangannya mencoba menebas ka-
ki sang bidadari. Diteruskan dengan sapuan kaki Ban-
tala Liwung. Pada akhirnya ia terpaksa mengalihkan se-
rangan sebab dengan tertawa sang bidadari malah me-
nyambut serangan itu dengan sambaran selendangnya.
“Katak dalam tempurung!” desis bidadari itu. “Kau
pasti tidak tahu nama gerakanku, dan kau mencoba
menyerangku dengan Bantala Liwung? Rhagani agak-
nya terlalu pelit jadi guru!”
Sang bidadari mempercepat gerakannya kini. Bah-
kan kaki dan tangannya pun ikut menyerang. Di tempat
yang sempit itu terpaksa Tara begitu repot berjumpali-
tan dan berlompatan. Dan ia terus saja terdesak ke pa-
gar. Suatu saat bahkan sambaran selendang sang bida-
dari menghancurkan salah satu sudut pagar. Dengan
keringat dingin Tara terpaksa nekat menerobos ke sebe-
rang. Akibatnya kulit di bahunya bagaikan dikelupas
oleh sambaran selendang sang bidadari.
“Hai, kau cukup hebat jika harus kujatuhkan de-
ngan mengeluarkan darah!” Sang bidadari tertawa ter-
gelak-gelak berdiri di tepi panggung, membelakangi su-
dut yang pagarnya hancur itu. Di seberangnya Tara
memasang kuda-kuda dan memikirkan bagaimana ha-
rus menyerang. “Kaukira kau bisa bertahan sekian lama
hanya karena kekuatanmu semata, heh? Ketahuilah,
kalau aku mau kau sudah menghadap Yama begitu kau
menginjakkan kaki di halaman dalam padepokan ini.
Semua tingkahmu yang lucu terlihat dari sini, dan aku
bisa membunuhmu dari jarak jauh. Tetapi kulihat wa-
jahmu cukup tampan. Sayang kalau kau mati tanpa ta-
hu siapa yang membunuhmu. Sekarang, sudahlah. Su-
dah cukup lama kau hidup. Jadi... eh!” kata-kata bida-
dari itu terhenti. Seakan ia tak percaya sesuatu. Ma-
tanya yang indah terbelalak. Kemudian meredup. Terli-
hat tubuhnya melemas.
Ia masih sadar untuk memutar tubuhnya. Agaknya
ingin melihat ke belakang. Tapi kemudian ia tak sadar-
kan diri. Gerakan terakhirnya itu membuat ia jatuh ter-
telentang saat roboh ke lantai panggung.
Dan sebutir peluru besi menggelinding di lantai.
Beberapa saat sunyi.
Tara begitu terpukau hingga ia tak bergerak sedikit
pun. Matanya membelalak pada si bidadari yang kini
terkapar di lantai panggung. Tampaknya tidak merasa
kesakitan. Bagaikan tidur nyenyak. Begitu cantik. Ram-
butnya tergerai di sekeliling kepalanya. Dan dari rambut
yang hitam kelam itu memancar beberapa permata. Ju-
ga anting-anting yang berbentuk bulan sabit, dengan
permata berwarna hijau. Wajahnya begitu halus, lem-
but, dengan alis hitam yang lebat. Dan bulu mata lentik
menghiasi mata yang kini terkatup rapat. Bibirnya me-
merah segar, seakan tersenyum.
Lehernya yang jenjang berhias kalung yang menjun-
tai ke dada putih dibalut kain penutup dada.
Tara menggelengkan kepala. Mengapa ia malah
memperhatikan wajah gadis itu?
Pandang matanya tertuju pada peluru besi itu, yang
kini menggelinding dan berhenti dekat dengan ujung
tangan sang bidadari.
Ia kenal peluru itu. Ini adalah senjata khas milik Su-
ranggana. Suranggana punya keahlian melontarkan pe-
luru-peluru besinya secara tepat, mengenai titik-titik
terlemah di badan manusia dan melumpuhkannya.
Agaknya sang bidadari ini pun terkena senjata itu de-
ngan lemparan dari bawah, saat ia membelakangi pe-
lemparnya.
Terdengar langkah kaki di belakang Tara. Dan Su-
ranggana muncul.
“Gila! Kenapa belum kauringkus dia?” geram orang
berkulit hitam itu. Dihunusnya kerisnya dan ia pun ma-
ju serta siap untuk menusukkan senjatanya. “Aku ya-
kin dia yang punya ulah. Dan ia harus kita lumpuhkan
dulu. Kenapa kau malah termangu-mangu....”
“Paman... jangan dulu....” Tara tergagap maju men-
cegah terhunjamnya keris di dada yang putih itu. “Dia
toh pingsan....”
“Kaukira dia macam apa? Seisi padepokan dilum-
puhkannya, pasti ia begitu sakti. Kita lumpuhkan dulu
baru aman hatiku.”
“Tunggu, Paman.”
“Akhhhh...!” Suranggana mengangkat tangannya.
Tak terasa Tara menepis tangan yang menggenggam ke-
ris itu saat ujung keris hampir terhunjam di dada sang
bidadari. Dan tiba-tiba saja Suranggana menjerit.
Entah bagaimana, peluru besi yang tadi berada di
lantai panggung telah melesat langsung menghajar ke-
pala Suranggana! Pada saat yang sangat kritis Su-
ranggana memang memiringkan kepalanya, namun tak
urung pelipisnya terhantam pelurunya sendiri.
Suranggana terpental dan langsung tak sadarkan di-
ri. Tara ternganga. Sang bidadari itu tiba-tiba terse-
nyum dan membuka mata. Begitu sadar akan hal itu,
Tara langsung melompat mundur.
Sang bidadari dengan gerak lemah gemulai bangkit.
Berdiri. Merapikan kainnya. Dengan kakinya yang putih
bagai pualam ditendangnya tubuh Suranggana ke ping-
gir. Kemudian ia berpaling pada Tara.
“Kalian memang katak di bawah tempurung. Tak ta-
hu besarnya langit! Kaukira peluru tanah liat begini bi-
sa menggangguku?” sekali sentil dengan jari kakinya,
peluru besi yang kini berdarah itu melompat dan lang-
sung disambut dengan tangannya. Sekali remas peluru
besi itu hancur. “Kau Ingin mampus? Minggir!” bentak-
nya pada Tara yang memang menghadang di ujung te-
lundakan ke bawah.
“Tidak,” kata Tara kini tegas. “Kau harus memper-
tanggung-jawabkan perbuatanmu. Kau harus... harus
dihukum untuk semua perbuatanmu ini!” dengan ge-
ram Tara mulai merapal aji-aji Birawadana.
Sesaat sang bidadari tertegun melihat sikap Tara
yang bagaikan orang akan mencangkul itu. Kemudian ia
tertawa tergelak-gelak, memperlihatkan giginya yang
putih-putih bagaikan mutiara. “Ya ampuuun! Kau anak
ingusan ini punya aji-aji juga?”
Tara tak peduli lagi. Dengan kemurkaan hebat di-
hantamkannya pukulan Birawadana. Tak terpikir oleh-
nya bahwa sesungguhnya ia belum begitu menguasai
ilmu itu. Atau bahwa lawannya agaknya sudah tahu
benar tingkatan kewiraannya, hingga dapat mence-
moohkannya. Gerakannya memang hebat. Dan puku-
lannya mampu menerbitkan wibawa guncangan keras.
Dan hawa teramat panas. Hanya itu.
Sang bidadari tidak mengelak. Diulurkannya tangan
kirinya. Cepat menangkap tinju Tara yang terluncur. Di-
remasnya hingga Tara menjerit—hawa dingin bagaikan
air sewindu merasuk menyusup ke sungsum. Dan ta-
ngan kanan sang bidadari melecut menampar. Tara
menjerit lagi. Tubuhnya berputar bagai gasing dan ia
terhempas roboh, pipinya bagaikan terbakar bara.
“Kuampuni kau, karena kau ternyata punya cukup
rasa kasihan padaku,” kata sang bidadari. “Tetapi lain
kali jika kita bertemu, jangan harap aku akan bermurah
hati. Nah, aku tak punya banyak waktu. Jika gurumu
yang tua renta itu datang, kalau ia masih bisa datang,
katakan padanya untuk mengingat peristiwa Wukir Po-
laman. Katakan, siapa yang berutang, cepat atau lam-
bat harus membayar utangnya.”
Sekilas sang bidadari mengibaskan selendangnya.
Dan Tara pun jatuh pingsan.
4. SI MUKA BURUK
HUTAN itu memang cukup lebat. Walaupun ada jalan
setapak yang tampaknya sering digunakan. Jalan seta-
pak itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan
padepokan di puncak Rahtawu dengan dunia luar. Wa-
laupun sesungguhnya bagi mereka yang tidak takut ba-
haya lebih menyukai mencari jalan sendiri-sendiri de-
ngan berpedoman matahari.
Bibi Madraka dan Sodrakara berjalan di jalan seta-
pak itu. Bukan karena mereka takut menerobos hutan,
tetapi Bibi Madraka punya pertimbangan lain.
“Si Tara itu sungguh berbakat,” kata Bibi Madraka
pada Sodrakara. “Hanya, dia masih kekanak-kanakan.
Kakang Resi pernah berkata, Tara itu bagaikan anak-
anak abadi....” tiba-tiba Bibi Madraka tersenyum. “Ka-
lau kau ingat, Sodrakara, Kakang Resi dahulu juga diju-
luki anak-anak abadi, bukan?”
“Benar, Guru,” kata Sodrakara. Ia mengimbangi jalan
cepat tanpa suara Bibi Madraka, sementara matanya je-
lalatan memperhatikan hampir setiap sudut kegelapan
bayang-bayang pepohonan yang mereka lalui. “Tetapi
kini beliau kan sudah berubah.”
“Itu pun karena Kakang Resi menemukan guru yang
bisa menaklukkannya... dalam arti menaklukkan sifat-
sifat kekanak-kanakannya itu. Kalau hanya ditakluk-
kan dengan kekerasan... hmmhh, jangan harap. Sung-
guh perubahan manusia begitu tak diduga....” Tiba-tiba
Bibi Madraka berhenti dan termenung. Seakan ada be-
ban pikirannya yang tiba-tiba memberat.
Sodrakara juga berhenti. Sesaat keduanya terdiam
mematung. Dua orang wanita tua, sebaya, memakai ju-
bah pendeta. Di tengah kegelapan bayang-bayang po-
hon raksasa. Dalam hutan yang begitu sunyi, suara bu-
rung pun tiada.
“Aku memikirkan ramalan Tara. Yang kuherankan
adalah, justru ramalannya itu tepat sekali dengan ra-
malanku. Dan memang untuk itulah aku berkunjung ke
Rahtawu ini sebelum waktunya. Menurut perhitungan-
ku, suatu bencana akan tiba. Sesungguhnya bukan un-
tuk Rahtawu saja... tapi untuk beberapa keluarga yang
tersebar luas namun berkaitan dalam suatu hubung-
an.” Bibi Madraka merunduk. “Bintang-bintang menun-
jukkan bahwa mereka akan menerima petaka. Itulah
yang aku tak bisa mengerti. Apa hubungan mereka se-
mua?”
Sodrakara tidak menjawab. Dan ia tahu bahwa ja-
wabannya memang tak diperlukan.
“Beberapa keluarga kami masih mengambil jalan
dunia, jadi mereka setidak-tidaknya punya sandaran
untuk menghadapi cobaan. Maksudku, cobaan yang
bersifat kasar. Entahlah. Aku jadi ingin mengunjungi
Kakang Resi di sini, kemudian Bapa Panembahan Mega-
truh dan keluarga beliau di Gunung Lawu... ah... sudah
puluhan tahun rasanya tak berjumpa dengan mereka.
Mereka belum pernah mengirim berita batin pada ka-
mi.... Mudah-mudahan Dewata Agung melindungi me-
reka.”
“Tentunya Guru sangat rindu bertemu dengan Bibi
Sinom,” Sodrakara mencoba mengikuti pembicaraan ini.
Dan nama itu memang mengundang senyum di bibir
tua Bibi Madraka.
“Ya. Bibi Sinom. Entah apakah beliau masih senakal
dulu.... Kurasa... kurasa jika sekarang bertemu dengan-
nya, beliau akan lebih cocok jadi muridku.” Bibi Ma-
draka menggelengkan kepala. “Kau tahu, jasad kasar
Bibi Sinom tak bisa bertambah tua lagi sejak beliau ber-
umur belasan tahun. Walaupun beliau berumur hampir
delapan puluhan... mungkin kini takkan lebih tua dari
Tari tampaknya....”
“Ah, ya... hamba perhatikan Guru mengambil jalan
yang menuju ke Telaga Biru... apakah Guru mengkha-
watirkan anak-anak itu?” ucap Sodrakara.
“Memang benar. Dari arah sanalah menurut perhi-
tunganku petaka akan tiba.”
Seakan disentakkan dari lamunan, Bibi Madraka ti-
ba-tiba melesat melanjutkan perjalanan. Sodrakara pun
bergegas menyusul.
Beberapa jurang telah mereka lalui ketika tiba-tiba
Bibi Madraka menghentikan langkah lagi. Sodrakara
pun langsung berhenti.
Mereka mematung. Tempat ini sudah begitu jauh da-
ri padepokan. Hutan masih lebat, namun tidak seseram
tadi.
“Ada sesuatu yang aneh, Sodrakara?” bisik Bibi Ma-
draka.
“Mungkin Guru juga mengetahuinya... hamba men-
cium suatu keharuman yang aneh... bukan suatu bu-
nga,” kata Sodrakara.
“Kau benar.... Aku seakan pernah mencium keharu-
man ini, tetapi aku lupa di mana,” Diam-diam Bibi Ma-
draka mengencangkan ikat pinggang yang menutupi ju-
bahnya. Dan kebutan pendetanya disiapkannya di ping-
gangnya. Sesaat ia berpandangan dengan Sodrakara.
Mata itu seakan berkata bahwa ia mengkhawatirkan
suatu bahaya yang mungkin tak bisa diatasinya. Agak-
nya Sodrakara bisa menangkap sorot mata itu. Dan ia
mengangguk, kepalanya sesaat menunduk seakan
menghaturkan sembah. Ia rela berkorban nyawa untuk
gurunya itu.
“Wahai siapa pun yang ada di sekitar kami,” Bibi
Madraka mendongak dan berkata nyaring. “Kami tidak
bermaksud buruk pada siapa pun. Kami harap, tak ada
yang bermaksud buruk pada kami. Tetapi jika kami be-
gitu malang untuk menerima suatu perlakuan buruk,
kami akan terima dengan tulus ikhlas. Hanya, perke-
nankan kami melihatmu....”
Suara itu seakan lembut. Tapi terasa menusuk. Be-
berapa daun kering gemerisik rontok. Dan suatu wiba-
wa yang menekan rasa pun seakan mengungkung. Sepi
tak ada jawaban.
Bibi Madraka memejamkan mata, memantapkan
ajiannya. Ilmu bicara Guntur di Balik Langit bukan se-
suatu yang terlalu musykil. Intinya hanyalah menebar-
kan wibawa saja, dan bila orang lain berada di sekitar-
nya, maka ia akan terpaksa mendengar apa yang di-
ucapkannya. Tergantung dari kekuatan kejiwaan orang
itu, maka ia akan terpengaruh atau hanya tergugah saja
untuk mendengarkan. Dilakukan oleh seseorang seperti
Bibi Madraka, maka ilmu ini berlipat ganda pengaruh-
nya, hingga bukan saja manusia, hewan pun akan ter-
pengaruh. Bahkan pada puncak kekuatannya, ilmu ini
bisa menggetarkan benda-benda mati. Seperti kemudian
terjadi dengan rontoknya daun-daun kering.
Beberapa saat tak ada reaksi apa pun. Bibi Madraka
masih memejamkan mata rapat-rapat. Kemudian ia
memutar badannya, ke arah timur. Ia pun tersenyum.
Dan berkata tanpa membuka mata, masih dengan
menggunakan ilmunya.
“Aku merasakan getaran kehadiranmu, Ki Sanak...
mengapa kau tak segera menampakkan diri? Jika kau
tak ingin bertemu dengan kami, baiklah. Biarlah kita
berpisah dengan rasa damai. Tanpa saling menyakiti.”
Tak ada jawaban. Beberapa ranting kering patah oleh
suara Bibi Madraka.
“Baiklah. Jika kau tak ingin menemui kami, terse-
rah. Tetapi ketahuilah, bahwa ini masih daerah Padepo-
kan Rahtawu. Dan aku akan mewakili tuan rumah un-
tuk menyambutmu. Tunggulah kedatanganku, Ki Sa-
nak!” tiba-tiba Bibi Madraka membentak. Dan beda
dengan caranya berlari tadi, maka kini tubuhnya betul-
betul melesat—bagaikan anak panah meluncur dari bu-
surnya, melesat ke sebatang pohon untuk kemudian
terpental ke sebatang pohon lainnya, menerobos dedau-
nan dan semak-semak dengan sangat cepat.
Sodrakara pun belum pernah melihat kecepatan se-
perti ini. Ia hanya terpaku di tempatnya sambil berseru
terkejut, “Guru!”
Tetapi Bibi Madraka telah jauh. Sekilas bagaikan
bayang-bayang kelabu saja beterbangan. Sampai akhir-
nya ia berhenti di sebuah tempat terbuka, lapangan ke-
cil dikelilingi pepohonan rapat. Dan di bawah sebatang
pohon beringin raksasa duduk seseorang—seorang lela-
ki bertubuh pendek bundar dengan muka sangat—
sangat buruk.
Beberapa saat Bibi Madraka terdiam di tepi lapangan
kecil itu, memperhatikan si buruk rupa. Jelas terlihat
baju orang yang mukanya sangat buruk itu sedikit ba-
sah. Demikian pula rambutnya yang awut-awutan. Bibi
Madraka merasakan sesuatu yang aneh pada orang ini.
Karenanya ia terdiam, tak menyapa.
Beberapa saat mereka berdua saling pandang. Si bu-
ruk muka dengan matanya yang hampir tertutup oleh
alis dan rambut. Bibi Madraka dengan mata yang me-
mancarkan sinar welas asih.
“He he he he....” tiba-tiba si buruk muka itu tertawa,
tanpa mukanya tertawa. “Aku dengar suaramu yang bu-
ruk. Kau mengaku mewakili tuan rumah. He he he he...
jadi kau ada hubungan dengan Resi Rhagani?”
“Terima kasih jika kau sudah tahu tentang Padepo-
kan Rahtawu, Ki Sanak.” Bibi Madraka terdengar agak
ragu-ragu. Betulkah ini orang yang dicarinya? Memang
benar, bau harum itu ada di sini. Tapi makhluk yang
mirip gandarwa inikah pemiliknya? “Resi Rhagani ada-
lah kakakku.”
“Oh, oh, oh oh! He he he he... jadi aku berhadapan
dengan Dewi Isyana?” Si buruk muka itu seakan tak bi-
sa menahan geli.
“Dewi Isyana telah mangkat puluhan tahun yang la-
lu,” Bibi Madraka berkata sabar.
“He he he he he... aku lupa... Dewi Isyana tiada, yang
ada adalah Batari Madraka, he he he he.” Si buruk mu-
ka mengorak sila dan melangkah mendekati Bibi Ma-
draka, memperhatikan mukanya, sementara Bibi Ma-
draka pun memperhatikan si buruk muka. Sesaat Bibi
Madraka terkejut. Sinar mata di muka yang sangat bu-
ruk itu tampak begitu cemerlang dan tajam, seakan ti-
dak tepat jika berada di wajah yang begitu buruk.
“Ah, kau masih secantik dulu,” gumam si buruk mu-
ka.
“Jadi... kau mengenal aku, dulu?” Bibi Madraka
mengerutkan kening. “Mungkin aku bisa menebak siapa
sebenarnya yang ada di balik topeng buruk ini.”
“Matamu cukup tajam, Madraka... tapi otakmu tak-
kan bisa menebak aku. Lagi pula... tak akan ada guna-
nya.”
“Kenapa?” Bibi Madraka masih mencoba mengingat-
ingat.
“Sebab sekaranglah saatmu menghadap Dewa Ya-
ma!” si buruk muka memekik, dan mendadak tubuhnya
yang bulat bundar itu melesat menerjang!
“Eiiiit!” Bibi Madraka sesungguhnya sedang mela-
mun, mencoba memikirkan siapa gerangan si buruk
rupa ini. Serangan itu begitu cepat. Bibi Madraka ter-
paksa menjatuhkan diri ke samping untuk menghindar.
Kemudian tendangan beruntun dilepaskannya untuk
menjaga diri. Si buruk rupa bagaikan bola karet. Mem-
bal dan kembali menyerang dengan kedua tangan terju-
lur kejang dan jari-jemari berkuku panjang terentang
mengarah titik-titik maut di tubuh Bibi Madraka. Bibi
Madraka berhasil menyusun sikap dan semakin teratur
menghindar serta balas menyerang. Ia pun tak sung-
kan-sungkan lagi. Dari hawa pukulan lawan yang me-
nyebarkan maut, ia menarik kesimpulan lawan ini luar
biasa. Serta sang lawan betul-betul menginginkan nya-
wanya. Maka ia pun langsung mempersenjatai diri de-
ngan kebutan kependetaannya. Kedua kebutan di ta-
ngannya itu bergerak bagaikan baling-baling. Ia me-
lindungi diri sambil sekali-sekali mengubah kebutan
menjadi serangan yang meluncur deras mencoba me-
nembus pertahanan si buruk muka. Si buruk muka
sendiri seakan tak memikirkan pertahanan. Apa yang
menjadi pertahanannya adalah serangkaian serangan
yang tak kunjung putus. Mengalir bagaikan semburan
air terjun—dahsyat dan tak berkeputusan.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sangat cepat.
Ajian-ajian pun beruntun dilontarkan dan memberi wi-
bawa dahsyat—pukulan-pukulan Bibi Madraka mem-
bawa wibawa panas menggelora, sementara hantaman
si buruk muka memberikan rasa miris yang hebat.
Semakin lama si buruk muka semakin merasa bah-
wa ia takkan bisa segera menaklukkan pendeta wanita
ini, walaupun ia terlihat selalu mengepungnya. Ini
agaknya membuat ia kesal dan semakin gencar melan-
carkan serangan.
Sebaliknya, terasa gerakan Bibi Madraka semakin
lambat. Bukan hanya karena diam-diam ia mencoba
memusatkan perhatiannya untuk melontarkan aji Bira-
wadana perguruannya, tetapi usaha itu sendiri justru
buyar oleh pikiran kedua yang sangat mengganggu: ia
seolah-olah semakin ingin tahu siapa lawannya ini. Ma-
kin lama ia merasa semakin kenal, tetapi begitu Ingatan
itu akan muncul, maka langsung bubar lagi hingga ia
semakin kesal. Karena itulah ia bertempur bagaikan da-
lam mimpi saja.
Ini sangat berlawanan dengan lawannya, yang me-
rasa bahwa Bibi Madraka seakan asal bergerak saja.
Dan si buruk muka pun semakin gencar menghambur-
kan serangan.
Tapi suasana pertempuran berubah saat tiba-tiba
dari balik semak-semak terdengar beberapa kaki berlari
mendatangi dan suara-suara berseru.
“Nimas Madraka, aku datang. Jangan takut, adikku,”
seru seorang lelaki.
“Guru, aku datang! Dan Paman Guru juga!” sebuah
suara wanita berseru.
“Kawan-kawan, cepat susun Nawa BajraV’ sebuah
suara serak berkata.
“Hi hi hi... Madraka, lawan seperti itu saja kau tak
mampu?” sebuah suara yang tak keruan terdengar.
Baik Bibi Madraka maupun si buruk rupa tertegun.
Si buruk rupa lebih dahulu sadar. Tangannya bagaikan
baling-baling menyambar. Bibi Madraka menjerit. Ta-
ngannya yang secara serta-merta terangkat langsung
tergores oleh empat buah kuku seruncing pisau baja. Ia
cepat menggulingkan diri menjauh. Tapi si buruk rupa
tidak meneruskan serangan. Ia melompat dan lenyap.
Dari balik semak-semak bermunculan Sodrakara,
Tari, Lati, dan Rati.
Mereka beringas melihat ke sekeliling tempat itu. So-
drakara memberi isyarat pada Rati untuk mengurus Bi-
bi Madraka yang roboh di tanah. Kemudian ia berseru
keras—dengan suara yang mirip suara lelaki, “Anak-
anak, urus bibimu, biar kami kejar dia. Mari, Paman...”
dan ia melompat ke arah dari mana tadi si buruk rupa
lenyap.
Tari dan Lati beberapa saat terpaku, sementara Rati
telah bersimpuh di samping Bibi Madraka, ternganga
melihat lukanya.
Tangan Bibi Madraka robek oleh empat garis luka
yang memanjang terbuka. Yang menggetarkan hati ada-
lah darahnya—darah yang keluar berwarna hitam dan
berbau amis sekali.
Ketika tak terdengar apa pun lagi, Tari dan Lati ikut
bersimpuh di samping Bibi Madraka. Pendeta wanita itu
tak sadarkan diri. Gugup Lati mengeluarkan tablet pe-
nawar racun. Tapi ia pun tertegun. Bagaimana ia me-
maksa bibi gurunya itu menelan tablet? Dan apakah
nanti akan berguna? Tari sendiri sudah merobek kain-
nya untuk membalut luka. Tapi ia pun tertegun. Luka
macam apa ini?
Tak terdengar apa pun, tiba-tiba Sodrakara telah be-
rada di situ. “Tak ada jejaknya,” bisik Sodrakara. “Lati,
kaupaksakan tablet pemunah racunmu itu masuk ke
mulut Bibi Gurumu. Kurasa tak ada gunanya, tetapi le-
bih baik kita coba. Melihat hitamnya darah itu, kurasa
ini adalah akibat racun Upas Gemet. Atau semacamnya.
Kauikat erat-erat bagian atas luka itu, Tari. Kemudian
kita bawa Guru lari ke padepokan. Semi!”
“Ya, Bibi...,” terdengar jawaban jauh dari balik se-
mak-semak.
“Kau tetap berjauhan dari kami. Apa pun yang terja-
di, salah seorang dari kita harus mencapai padepokan.
Mengerti? Berangkat!”
Tari telah selesai mengikat lengan Bibi Madraka. Lati
langsung mengangkat pendeta wanita itu dan mena-
ruhnya di atas bahunya yang bidang. Dengan isyarat
dari Sodrakara, mereka pun berangkat. Berlari-lari ke-
cil, bergegas.
Rati berada di depan membuka jalan. Kemudian Lati
yang mendukung Bibi Madraka, didampingi Tari. Dan di
belakang Sodrakara bersiap sedia dan waspada.
Akhirnya mereka mencapai jalan setapak dan bisa
bergerak lebih cepat. Lati mulai terengah-engah, dan
Tari langsung menyambar Bibi Madraka untuk didu-
kungnya.
Mereka terus berlari. Sampai kemudian terdengar je-
ritan mengerikan dari semak-semak jauh di sebelah kiri
mereka. Rombongan kecil itu berhenti seketika. Sodra-
kara, Lati, dan Rati bersiap mengelilingi Tari yang
menggendong Bibi Madraka.
Sunyi.
Kemudian terdengar suara desir dan derak ranting
kayu.
Rati menjerit ketakutan.
Sesosok tubuh lelaki terhempas di depannya. Semi!
Terdengar suara tawa dari kejauhan.
“Kalian cerdik,” sayup-sayup sebuah suara berkata,
tak bisa dikenali apakah suara pria ataukah wanita.
“Aku sungguh malu tertipu oleh monyet-monyet seperti
kalian. Aku sungguh malu atas kenyataan bahwa kalian
menduga tepat—aku takkan sanggup menghadapi kero-
yokan Resi Rhagani, paman gurunya, dibantu beberapa
siswa. Sungguh aku malu... he he he he....”
Suara tawa itu bagaikan berputar mengelilingi me-
reka.
“Kalian tikus-tikus kecil memang licik, tapi aku suka
itu. Aku akui kalian menang. Lagi pula, tujuanku sudah
tercapai. Madraka takkan hidup lama. Dan Resi Rha-
gani dapat peringatannya. Baiklah. Kuampuni jiwa ka-
lian, he he he he he....”
Sunyi lagi. Sunyi.
“Bibi....” Tari gemetar memandang Sodrakara.
“Kita tak usah khawatir lagi,” Sodrakara berkata te-
nang kini. “Orang itu agaknya beberapa angkatan di
atas kita, tikus-tikus cilik ini. Sebagai angkatan yang
lebih tinggi, pasti ia akan memegang janjinya. Ia tak
akan mengganggu kita lagi. Kalau tidak, ia pasti jadi
bahan tertawaan orang sejagat!”
Agaknya Sodrakara sengaja berkata jelas-jelas agar
terdengar oleh orang yang berkata tadi. Dan harapan-
nya terwujud. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup
suara tawa mengejek yang makin lama makin jauh.
Keempat orang itu lama terpatung di situ. Kemudian
Lati bergegas mendekati sosok tubuh Semi. Tewas. Tapi
tanpa bekas.
“Ini Paman Semi, Bibi,” kata Lati. Entah kenapa ia
berbisik. “Apakah ia kita bawa?”
Setelah agak lama, Sodrakara mengangguk. “Kita tak
akan diganggu lagi. Kita bisa berjalan leluasa. Kau bawa
dia, Lati.”
“Baik, Bibi.” Dengan mudah gadis bertubuh tinggi
besar itu mengangkat tubuh Semi dan memanggulnya.
Mereka pun berangkat.
“Apakah... apakah Bibi Guru masih bisa tertolong?”
tanya Rati kemudian.
“Racun itu begitu jahat,” Sodrakara menjawab.
Rati berjalan beberapa langkah. Kemudian tiba-tiba
ia bersimpuh di pinggir jalan dan menangis tersedu-
sedu.
“Rati, diam!” bentak Lati.
Tapi Rati masih juga menangis.
Tari memandang Sodrakara. Akhirnya Sodrakara
mengangguk. “Kita istirahat dulu. Orang itu berjanji tak
akan mengganggu kita. Tempat ini sudah tak begitu
jauh dari ladang padepokan. Lati, kau larilah lebih da-
hulu. Minta Paman Guru menjemput kami.”
Lati menurunkan tubuh Semi. “Baiklah. Harap hati-
hati, Bibi... Tari, dan Rati....”
“Kau pun hati-hati, Lati,” kata Tari.
Lati telah berlari pergi.
Rati masih menangis. Tari meletakkan Bibi Madraka
di pangkuan Sodrakara dan merangkul Rati.
“Sudahlah, Rati, diamlah,” bisik Tari tak tahu harus
berkata apa.
Rati masih terus menangis. “Oh... Gendar... dan Pu-
dak... dan Uduup...,” tangis Rati makin menjadi-jadi.
Tari memeluknya erat-erat.
“Diamlah, Rati... ini sudah kehendak Dewata,” bisik
Tari.
“Bukan! Ini kehendak si penyebar maut itu. Aku...
aku... akulah yang berdosa... aku yang mengajak kalian
mandi di Telaga Biru itu,” tangis Rati.
“Jangan salahkan dirimu, ini sudah kehendak Dewa-
ta! Bahkan... jangan kau menaruh dendam... sebab
mungkin ini semua adalah buah karma kita semua....
Bukan kita yang berhak mengatakan bahwa orang yang
melakukan ini semualah yang bersalah dan harus kita
balas. Biarlah Dewata menghukumnya jika ia benar-
benar bersalah,” Tari kehabisan kata-kata untuk meng-
hibur Rati.
“Tari, sebagai seorang anak-anak, kata-katamu tadi
cukup lucu terdengar,” kata Sodrakara selesai meng-
urus luka Madraka yang masih tak sadarkan diri. “Se-
betulnya, apa yang telah terjadi? Beruntung sekali ka-
lian tadi muncul hingga kita bisa menipu orang itu. Ka-
lau tidak, bukan tidak mungkin kita semua akan men-
galami nasib yang sama. Dan ingat, siasat ini tadi pun
siasatmu. Jadi aneh jika kau menganjurkan kita tidak
mendendam dan tidak mencari balas.”
“Memang aneh, Bibi... tapi... ya, dalam pikiranku
yang picik ini, rasanya balas-membalas dendam suatu
tindakan yang sia-sia serta mendahului kehendak De-
wata. Bibi ingat apa yang terjadi di Singasari waktu
itu... Sang Rajasa membunuh Tunggul Ametung, Anu-
sapati membunuh Rajasa, Tohjaya membunuh Anusa-
pati... dan seterusnya. Bukankah pusing para Dewata
akhirnya untuk meluruskan sejarah hingga akhirnya
kerajaan Singasari dapat berdiri tenteram dan jaya?”
“Anak kecil, kau tahu apa tentang para Dewata hing-
ga kau bisa mengatakan mereka pusing?” Sodrakara tak
terasa terpaksa tersenyum mendengar uraian gadis be-
rumur enam belas tahun itu. “Apa yang terjadi tadi di
telaga?”
“Kami... kami sedang mandi....” tiba-tiba suara Tari
tidak setegas tadi. “Tiba-tiba... kami rasakan sesuatu
yang aneh. Aku tak tahu. Entah itu suara atau bau ha-
rum... aku dan Lati merasakan keanehan itu....”
“Hm, kami tadi mencium bau harum itu...,” kata So-
drakara.
“Yah. Mungkin itu... kemudian... kemudian waktu
kami naik... kami lihat seorang yang... berwajah sangat
buruk. Gendar paling tidak sabar di antara kami. Ia
menyerang orang itu. Dan menendangnya hingga ma-
suk ke telaga,” Tari berhenti sejenak. Rati merapat me-
megang lengannya. Menahan napas.
“Lamaaaa sekali ia tak muncul. Dan memang tak
muncul lagi,” Tari berkata lirih. “Kami putuskan untuk
meninggalkan tempat itu.... Kami atur... empat di anta-
ra kami berganti pakaian dulu... kemudian yang tiga
berjaga-jaga. Gendar, Udup, Sunti, dan Pudak berganti
pakaian. Setelah mereka selesai... mereka naik, kami
berganti pakaian. Ketika... ketika...”
Tari tak bisa meneruskan ceritanya.
“Ketika kami keluar lagi, keempat kawan kami itu te-
lah lenyap... tanpa bekas!” Rati mulai menangis tersedu-
sedu. “Kami bertiga mencarinya. Tak ada hasil sedikit
pun. Kemudian kami memutuskan untuk pulang sa-
ja....”
“Dan kami bertemu dengan Bibi yang berkata bahwa
Bibi Guru sedang bertempur. Oh, betulkah orang yang
melawan Bibi Guru itu si buruk rupa seperti yang
menghadang kami?”
“Aku tak melihat jelas wajahnya, Tari... hanya sekilas
waktu ia lari.... Yang jelas orang itu bertubuh pendek
gendut bagaikan bulatan besar. Yang jelas orang itu
sakti sekali hingga Guru pun kewalahan melawannya.
Untung kalian datang, dan akal cerdik Tari menyela-
matkan kita!”
“Kakak Tari memang luar biasa. Ia tahu orang itu,
siapa pun namanya, akan ngeri berhadapan dengan pa-
ra tetua... karena itu sungguh cocok ajakan Tari agar
kita meniru suara-suara para pemimpin padepokan
itu,” Rati memandang bangga pada Tari.
“Oh, kalau Bapa Guru tahu, pasti aku akan dihu-
kumnya berat-berat,” kata Tari menunduk.
“Jangan takut, aku dan Bibi Gurumu pasti akan
membelamu. Paling tidak, kau akan menerima huku-
man ringan.”
“Ah, Tari sesungguhnya tidak takut pada hukuman
itu. Ia hanya malu. Malu sekali kalau dihukum. Apalagi
kalau disaksikan oleh Kakang Tara!” Rati tertawa. Agak-
nya rasa takutnya telah lenyap.
“Sudahlah, yang penting kita harus memikirkan per-
soalan yang kita hadapi,” kata Sodrakara tenang. “Mu-
dah-mudahan Lati segera datang dengan membawa
bantuan, hingga kita tak perlu terlalu takut begini.”
“Bibi takut? Padahal, menurut cerita... Bibi pernah
bertarung di atas kapal yang sedang terbakar!” mata
Rati membulat besar.
“Ketakutan dan keberanian itu harus ada pada wak-
tu dan tempat yang tepat. Kalau tidak, hanya akan
menjadi rasa takabur atau ketakutan yang tak ada ala-
sannya.”
“Mengapa Bibi menyusul kami?” tanya Tari.
“Bukan menyusul. Saudaramu Tara meramalkan
bahwa kita akan kedatangan malapetaka dari arah sini.
Bibi Gurumu dan aku ingin agar kami menegakkan jasa
pada Padepokan Rahtawu. Karenanya kami mencoba
mencegat malapetaka itu... eh, kiranya kami bertemu
kau di sini.”
5. UTUSAN
SUNYI. Semua bagaikan mematung. Juga Rangga Pra-
wangsa yang baru saja berhasil menyarangkan tenda-
ngan maut pada Anengah. Kedua pengawalnya tadi in-
gin ikut campur saat mereka melihat Anengah sulit di-
taklukkan oleh Rangga itu. Namun kini mereka pun
terdiam. Pertama, mereka berjaga-jaga akan sambutan
dari orang-orang Padepokan Rahtawu melihat Anengah
terkulai dengan mulut mengucur darah. Kedua, mereka
tak mengerti mengapa tiba-tiba Resi Rhagani membantu
Rangga Prawangsa. Para pengikut Resi Rhagani juga
tertegun. Apa arti tindakan Sang Resi itu? Dan mereka
harus bagaimana?
Mata Anengah memandang tak percaya pada Resi
Rhagani. Ia tak percaya bahwa gurunya akan mencela-
kakannya. Ia tak percaya bahwa ia dikorbankan untuk
sesuatu maksud.
Resi Rhagani sendiri terdiam dengan mulut terpejam.
Dan mulutnya tak habis-habisnya membaca doa.
Rangga Prawangsa tiba-tiba tertawa. “Hah, dasar
anak gunung. Baru punya ilmu sedikit sudah besar ke-
palamu, he? Entah kalau dibiarkan kau kelak jadi apa...
jadi, lebih baik kuhabisi kau sekarang juga!”
Tiba-tiba rangga itu mencabut kerisnya langsung
menerjang ke arah Anengah. Rasanya Anengah takkan
dapat menghindar lagi. Tapi yang kemudian menjerit
terkejut ternyata malah Rangga Prawangsa sendiri! Se-
kilas terlihat sesosok bayangan menyelinap di depan-
nya. Dan terasa kerisnya seakan menusuk sesuatu
yang sangat empuk. Tapi kemudian sama sekali tak da-
pat digerakkan. Dan ketika ia mulai sadar ternyata
ujung keris itu telah digepit oleh dua ujung jari Resi
Rhagani yang tahu-tahu telah menghadang di depan
Anengah.
“Tua bangka! Minggir kau!” bentak Rangga Prawang-
sa dengan sengit.
“Aku sudah menjanjikan untuk menghukum keku-
rangajaran muridku. Dan kurasa ia sudah terhukum.
Kesalahannya tidaklah layak untuk diberi hukuman
mati,” kata Resi Rhagani dengan sabar.
“Akhhhhh! Dasar kau juga sudah bosan hidup!” de-
ngan geram Rangga Prawangsa akan mencabut keris-
nya. Tetapi jepitan kedua jari Resi Rhagani bagaikan je-
pitan baja. Keris itu sama sekali tidak dapat bergerak.
Rangga Prawangsa mengerahkan kekuatannya. Mata-
nya melotot. Otot-ototnya menggelembung. Keringatnya
mengucur. Keris itu tak bergerak. Sementara Resi Rha-
gani masih memejamkan mata sambil membaca doa.
Rangga Prawangsa mengganti siasat. Tiba-tiba ia
berputar dan tendangan geledeknya dihajarkannya ke
pinggang Sang Pendeta. Akibatnya hebat. Sebelum ka-
kinya menyentuh tubuh Sang Pendeta, ia menjerit keras
dan tubuhnya sendiri terhempas berguling-guling di ta-
nah. Gubar Baleman dan Kali Limpuk gugup mengejar
majikan mereka.
“Ada apa, Tuanku?” Gubar Baleman mengulurkan
tangan menyentuh tubuh Rangga Prawangsa yang me-
ringkuk di tanah. “Akhhhhhh!” Gubar Baleman menjerit
keras... begitu tangannya menyentuh Rangga Prawang-
sa. Terasa tangan itu bagaikan memegang api membara!
“Jangan... jangan sentuh aku!” Rangga Prawangsa
terhuyung berdiri. Matanya liar memperhatikan Resi
Rhagani.
Resi Rhagani seolah tak memperhatikan mereka. Ju-
ga tak memperhatikan kala Rangga Prawangsa
mengangkat tangan dan dari tepi hutan bermunculan
beberapa belas prajurit berseragam siaga perang. Me-
reka datang mendekat.
Resi Rhagani berpaling. Dipegangnya punggung
Anengah. Anengah terlihat mengangkat kepala dan me-
regang dada, mereguk napas dalam-dalam. Suatu hawa
hangat yang nyaman merasuk masuk ke dalam tubuh-
nya. Ia terbatuk. Dan rasanya tiada lagi luka di dalam.
Pandangan mata Resi Rhagani membuat ia menunduk.
Bersimpuh dan menyembah.
Melihat majunya belasan prajurit yang agaknya akan
membantu Rangga Prawangsa, Kanigara memberi isya-
rat pada siswa-siswa yang sedang bekerja di ladang.
Mereka pun bergerak. Seolah tanpa arah. Tetapi dengan
membawa berbagai peralatan bertani sebagai senjata,
mereka lebih mengancam dari sekadar berpencar. Juga
para pengiring Resi Rhagani.
Di tengah itu semua, Rangga Prawangsa telah berdiri
tegak kembali, berhadapan dengan Resi Rhagani. Me-
reka berdua saling pandang.
“Rasanya hal ini tidak usah diteruskan, Tuan Rang-
ga,” kata Resi Rhagani lembut. “Ini hanyalah salah pa-
ham. Tuan merasa dipertuan hingga mengharap kami
menghamba. Murid kami terlalu mendunia hingga tak
tahan menanggung beban malu palsu. Jika Tuan lupa-
kan semuanya, maka kami bisa menerima Tuan sebagai
tamu yang layak kami hormati.”
Tiba-tiba Rangga Prawangsa tersenyum. “Mpungku*
hamba minta lebih dari sekadar kehormatan yang
Mpungku berikan pada kami. Kami minta persahabatan
dan persaudaraan. Sebab kami membawa salam sejah-
tera dari junjunganku Bhre Daha....”
Tak diduga siapa pun, Rangga Prawangsa berlutut
dan menghaturkan sembah pada Resi Rhagani. Bahkan
Resi Rhagani pun gugup menerima sembah itu. Ia ce-
pat-cepat mengulurkan tangan untuk mengangkat
Rangga Prawangsa. Namun Rangga Prawangsa telah
mengeluarkan sebutir permata berbentuk bunga tan-
jung dengan warna hijau cemerlang. Melihat permata
itu Resi Rhagani tertegun. Sang pendeta pun menghela
napas dalam-dalam dan tersenyum, berkata lirih, “Putri
junjungan kawula Daha itu ternyata masih memikirkan
orang tak berguna seperti aku. Katakan, Tuan Rangga,
apakah junjunganmu itu sehat?”
“Tidak kurang suatu apa pun, Mpungku ,” sembah
Rangga Prawangsa, begitu hormat kini. “Mohon ampun
akan tingkah hamba. Hamba khusus diperintahkan un-
tuk mencoba ketangguhan siswa-siswa Mpungku, teru-
tama seorang siswa yang termuda, yang hamba kira
pastilah anak muda yang hebat ini.”
Kening Resi Rhagani berkerut. “Apakah junjunganku
Bhre Daha menyebutkan suatu nama?”
“Beliau tidak berkenan menyebutkan suatu nama,
Mpungku, beliau hanya menyebutkan bahwa siswa itu
pastilah yang termuda, dan tersakti.”
Resi Rhagani merenung.
“Apakah Tuan juga diberi pesan khusus oleh Sang
Agung Raja Wengker?”
“Mohon diampun, Mpungku, junjungan hamba Yang
Dipertuan Wengker tak tahu-menahu akan kepergian
hamba,” Rangga Prawangsa semakin tunduk.
“Rasanya kata-katamu mengandung suatu rahasia,
Tuan Rangga?” kata Resi Rhagani.
“Memang ada yang tak patut dikatakan di tempat
terbuka seperti ini, tetapi yang jelas adalah... junjungan
hamba Bhre Daha mengkhawatirkan kalau-kalau
Mpungku akan memperoleh malapetaka.”
“Ya, Dewata Agung... apa kiranya yang dikhawa-
tirkan oleh sarika(ssarika=brlisu)?”
“Junjunganku bersabda bahwa beberapa belas tahun
yang lalu ada seseorang bersumpah untuk membasmi
keluarga junjunganku Bhre Daha. Dan dendamnya ke-
mungkinan lebih tertuju pada Mpungku. Hamba datang
untuk memperingatkan Mpungku tentang itu. Dan
memberi bantuan jika diperlukan. Tapi rasanya... ban-
tuan hamba tak terlalu diperlukan.”
Resi Rhagani memejamkan mata. “Ya, Dewata
Agung... adakah dendam itu akan selalu hadir? Tuan
boleh berkata bebas di sini. Rangga, mereka semua ada-
lah aku dan aku adalah mereka semua. Katakan apa
pesan junjunganmu, dan apa yang kauketahui.”
Rangga Prawangsa memberi isyarat agar anak-anak
buahnya menjauh. Tinggal Gubar Baleman dan Kali
Limpuk yang ada di situ.
Rangga Prawangsa terdiam sejenak. “Mpungku... du-
nia luar tidak setenang padepokan yang tenteram damai
dan sejuk ini. Mungkin Mpungku belum tahu itu. Ada
suatu gerakan yang sangat mengganggu kehidupan pe-
merintahan Wilwatikta. Semua bersumber dari suatu
desas-desus. Bahkan... sekarang pun masih desas-de-
sus....” Rangga Prawangsa menundukkan kepala. “Jun-
jungan hamba Bhre Daha, seperti juga Mpungku, tidak
selalu berpikir segaris dengan pemikiran Sang Hyang
Daha ibunda maharaja. Angin membawa berita bahwa
Sang Wirabhumi telah menanamkan benih dan benih
itu tumbuh berkembang di Pantai Selatan. Dari Pacayita
muncul bunga dengan semerbak wangi mengandung
racun. Racun yang sungguh ampuh dan membawa
maut. Demang Wirapramuda di Lawor, beserta seluruh
keluarganya yang berjumlah empat puluh tujuh orang,
telah tewas. Tumenggung Wuyaranggarit dari Walingi,
ditebas beserta seluruh isi rumah besarnya. Demang
Wulung Rat, dari Akusya, begitu juga. Ratap tangis ra-
tusan jiwa telah sampai di telinga junjunganku. Dan
Panembahan Stopaka dari Wilwatikta khusus berkun-
jung pada junjunganku untuk menunjukkan suatu ke-
samaan—mereka yang secara mengerikan dibasmi itu
adalah keluarga dekat junjungan hamba, sedang garis
kematian akan menjulur terus ke utara. Junjungan
hamba tak membuang waktu lagi, segera mengutus
hamba kemari.”
“Hmm... lalu kenapa kau bersikap memusuhi kami,
Tuan Rangga?” Resi Rhagani bertanya.
“Hamba tak mengerti. Junjungan hamba meng-
inginkan hamba mencoba kewiraan seorang siswa muda
di padepokan Mpungku. Hamba harus mengetahui seca-
ra jelas kemampuan kewiraan si muda. Karenanya,
hamba bersikap bermusuhan. Hamba pikir, dengan ja-
lan begitu akan jelas tampak pribadi serta kekuatan si
muda.”
Kini Resi Rhagani lama termenung.
“Mengapa junjunganmu Bhre Daha berkata begitu?”
katanya akhirnya. “Memang ada dua orang muridku
yang paling muda dari antara semua. Tapi, kemungki-
nan yang mana yang dimaksudkan oleh Bhre Daha,
tentunya Tuan tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apa
hubungan mereka dengan Bhre Daha. Aku menerima
mereka atas usulan Dinda Madraka.... Seingatku... Din-
da Madraka menemukan keduanya dalam suatu perja-
lanan baktinya.”
Tak terasa Rangga Prawangsa mengangkat muka.
Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata
Anengah yang kebetulan juga mengangkat muka. Anak
muda itu langsung menundukkan muka kembali. Rang-
ga Prawangsa melihat kilatan mata yang tajam pada
anak itu. Kilatan mata yang menandakan kecerdasan
dan kemantapan diri.
“Lalu... di manakah yang seorang lagi, Mpungku?”
“Yang seorang lagi bernama Uttara. Usianya hanya
berbeda beberapa bulan dari Anengah. Saat ini ia se-
dang kusuruh pulang ke padepokan.”
“Baiklah, hal ini kita bicarakan nanti saja,” sembah
Rangga Prawangsa. “Hamba sungguh bersyukur bahwa
ternyata petaka itu belum sampai kemari. Dan hamba
akan berusaha sekuat tenaga agar ramalan Panemba-
han Stopaka gugur.... Junjungan hamba Sang Hyang
Madraka... di manakah pwangkulun?”*
“Sebentar lagi akan datang berita tentang sarika.”*
Resi Rhagani menundukkan kepala. “Dan berita itu ra-
sanya tak begitu menyenangkan.”
Semua yang kebetulan ikut mendengar terlihat terke-
jut dan saling pandang.
“Bapa Guru, apa yang Guru maksud?” tanya Ane-
ngah.
“Lihat itu,” Resi Rhagani memalingkan kepala ke
arah ladang.
Di tengah hamparan padi, terlihat seseorang berlari
dengan tak memakai peraturan tata lari lagi.
“Lati!” Anengah terkejut. Gugup ia menghaturkan
sembah dan beringsut mundur langsung berlari me-
nyambut Lati.
Semua terdiam. Di kejauhan terlihat Lati telah ber-
henti berlari. Berdiri terengah-engah dan hampir roboh.
Anengah langsung menyambarnya. Agaknya Anengah
berbicara sesuatu, dan Lati menjawab. Tak sabar Ane-
ngah membopong Lati serta membawanya kembali ke
depan Resi Rhagani, berlari secepat ia dapat.
“Guru,” kata Anengah gugup. “Lati berkata... Bibi
Madraka... Bibi Madraka mengalami bencana... di Hu-
tan Radesa... pwangkulun... diserang... gandarwa....”
Resi Rhagani membungkuk, mengusap dahi Lati
yang ternyata sudah pingsan. Tetapi kena sentuhan
Sang Resi, Lati membuka matanya, berusaha untuk
bangkit namun tersungkur di depan kaki Resi Rhagani.
“Sembah putu maharsi* harap diterima...,” sulit sekali
Lati mencoba menyembah.
“Tak usah banyak basa-basi, Lati... apa yang terja-
di?” bisik Resi Rhagani lembut.
“Putu maharsi... mandi bersama... saudara-saudara
yang lain... di... di Telaga Biru.... Ada... ada gandarwa
muncul... lalu... lalu bentrok dengan... Gendar.... Gan-
darwa itu jatuh ke telaga.... Kemudian... kemudian hi-
lang... dan... ketika kami berganti pakaian... empat
orang saudara kami lenyap...,” Lati berkata megap-
megap.
“Bagaimana Adik Tari?” Anengah bertanya gugup.
“Adik Tari... se... selamat... juga Rati... yang lain le-
nyap....”
Semua saling pandang, kecuali Resi Rhagani yang
masih membungkuk dan membelai kepala Lati.
“Lalu... waktu kami sudah putus asa mencari... kami
pulang.... Kami berjumpa dengan Bibi Madraka dan Bibi
Sodrakara. Bibi Madraka bertempur dengan gandarwa
itu. Bibi Sodrakara menyuruh kami menyamarkan sua-
ra menjadi... Guru. Gandarwa itu lari, tapi sempat...
mencakar Bibi Madraka hingga pingsan....”
Sunyi. Lati mencoba menangis, tetapi suaranya tak
keluar. Resi Rhagani menghela napas panjang, berpa-
ling pada Anengah.
“Anengah. Ajak pamanmu Kanigara, Drawalika, dan
Pawungsari. Susul bibimu ke Hutan Radesa. Berangkat-
lah,” kata Resi Rhagani tegas.
Keempat orang itu langsung menyembah dan mele-
sat berlari meninggalkan tempat itu.
“Mpungku... biar hamba ikut mereka,” Rangga Pra-
wangsa siap untuk bangkit.
“Jangan. Tuan lelah. Lagi pula Tuan merupakan te-
naga tambahan jika terjadi sesuatu di sini. Mari duduk
di bawah beringin itu.”
Resi Rhagani memberi isyarat. Para siswa kembali
bekerja di ladang. Ia dan pengikutnya pergi ke sebatang
pohon beringin yang sangat besar dan rindang, di tepi
tanah lapang kecil itu. Pohon tersebut begitu besar
hingga dua puluh orang dewasa mungkin tak bisa me-
lingkari batangnya dengan saling bergandengan. Seo-
rang pembantu Sang Resi membopong Lati yang ping-
san lagi.
Keadaan sunyi. Sang Resi duduk di salah satu akar
yang menonjol ke luar, para pengikutnya duduk me-
ngelilinginya. Rangga Prawangsa berada di depan be-
liau, duduk bersila dan menundukkan kepala. Di la-
dang para siswa kini bekerja seperti tanpa gairah.
Sang Resi mulai menggumamkan sebuah lagu pu-
jaan keagamaan. Satu demi satu para pengikutnya ikut
menyanyi. Kemudian para siswa pun ikut menyanyi,
hingga suasana agak lebih meriah.
Tapi semua tiba-tiba terdiam, kecuali Sang Resi, saat
beberapa lama kemudian muncul beberapa orang di tepi
hutan. Makin dekat dan makin dekat. Ya. Itu Anengah
yang mendukung Bibi Madraka. Dan Kanigara mendu-
kung seseorang lelaki. Drawalika agaknya membantu
Tari berjalan. Sedang Pawungsari menggendong Rati
yang mungkin sudah pingsan. Yang tampak masih ga-
gah berjalan adalah Sodrakara.
Semua mematung saat rombongan itu makin dekat.
Beberapa orang siswa menghambur untuk membantu
Anengah dan Kanigara. Rati mungkin sudah sadar dan
kini minta turun, ikut berlari terhuyung-huyung.
Rati dan Tari seakan melemparkan tubuh mereka ke
tanah di depan Resi Rhagani. Tangis mereka menjadi-
jadi.
Resi Rhagani mengusap kepala kedua gadis itu, ber-
kata, “Rati, Tari... tabahkan hati kalian. Ini masih bu-
kan apa-apa dibandingkan cobaan yang harus kalian
terima jika ingin menjadi manusia yang utuh. Diamlah.”
Mungkin lagu bicara Resi Rhagani begitu menyejuk-
kan hingga Rati dan Tari sanggup bangkit dan duduk
bersandar pada Lati. Bertiga mereka menahan tangis.
Resi Rhagani bangkit untuk memeriksa Bibi Madraka
yang tak sadarkan diri. Diperiksanya luka bekas cakar-
an besi di lengan Madraka. Diciumnya. Dan ia menge-
rutkan kening.
“Upas Gemet,” bisiknya. “Ya Dewata Mulia Raya... ini
Upas Gemet tingkat lima! Sesuatu yang sangat langka
ada di dunia ini. Ya Dewata Mulia Raya, ya Dinda Resi...
maafkan aku!”
Cepat sekali tangan Sang Resi bekerja. Mula-mula
seakan memijat seluruh lengan Bibi Madraka. Gerakan-
nya makin lama makin cepat. Jari-jemarinya bagaikan
menari. Napasnya sendiri pun semakin memburu. Ke-
ringat mulai membersit di mukanya. Dan jari-jemari itu
semakin cepat juga.
Kemudian Sang Resi mencengkeram pangkal lengan
Bibi Madraka. Memejamkan mata. Mengucapkan man-
tra.
Lalu ia mengulurkan tangan pada Rangga Prawang-
sa.
“Tuan Rangga, aku minta pinjam pedangmu,” kata-
nya tanpa membuka mata. Sesaat Rangga Prawangsa
ternganga. Kemudian dengan gemetar ia mencabut pe-
dang yang ada di pinggang Gubar Baleman. Pedang itu
pedang keprajuritan. Bukan pedang pusaka. Tajam.
Mengkilap. Sang Resi menerimanya dengan tangan kiri.
Mengusapnya dengan tangan kanan. Tak lama pedang
itu merah membara. Sang Resi meniupnya. Pedang itu
mendesis bagaikan dicelupkan ke air.
Dan mendadak saja Sang Resi Rhagani mengayun-
kan pedang itu. Tari, Rati, dan Lati menjerit. Bahkan
Sodrakara sampai ternganga. Lengan Bibi Madraka
langsung putus.
Tepat di pangkal bahu.
Darah mengucur deras. Tapi Sang Resi segera sibuk
lagi dengan pijatannya. Dan darah itu pun berhenti
mengucur. Dari sebuah kantung di balik jubahnya Sang
Resi mengeluarkan beberapa butir tablet berwarna me-
rah muda. Dengan paksa dibukanya mulut Bibi Madra-
ka. Dan tablet-tablet itu dilemparkannya masuk ke da-
lam mulut.
Sang Resi bersemadi. Suasana menjadi sangat sunyi.
Bahkan Tari, Rati, dan Lati menahan isakan tangis me-
reka.
Akhirnya Sang Resi membuka mata kembali. Di-
usapnya keringat yang ada di dahi Bibi Madraka. “Ti-
durlah, Adikku...,” bisiknya. Kemudian seolah terkejut
ia berpaling pada Sodrakara. Perlahan ia bangkit dari
duduknya, meletakkan kepala Bibi Madraka di tonjolan
akar. “Rawatlah gurumu, Sodrakara,” katanya. “Kaniga-
ra, kaupimpin sepuluh siswa menunggu Bibi Gurumu
di sini. Jika ia sudah sadar, bawa dengan tandu pulang
ke padepokan. Sebelumnya, jangan sekali-sekali dige-
rakkan badannya. Tuanku Rangga...”
“Hamba, Mpungku....”
“Aku mohon pinjam anak buah Tuan untuk mem-
bantu Kanigara dan siswa lainnya. Tuan sendiri silakan
pergi ke padepokan bersama kami.”
Semua hanya mengangguk mengiyakan. Agak lama
Sang Resi memperhatikan Bibi Madraka, sebelum per-
lahan berdiri dan berjalan lemah ke arah puncak gu-
nung. Yang lain bergerak sesuai tugas yang ditentukan.
Rombongan itu bagaikan rombongan yang mengan-
tar seseorang menghadap Dewata Agung.
Terdepan Sang Resi dengan jubah yang penuh ber-
cak darah. Menunduk seakan tak melihat jalan yang di-
tempuh. Kemudian Rangga Prawangsa. Jalannya gagah.
Tapi matanya suram. Wajahnya muram. Kemudian para
pengikut lainnya. Di antara semua, tampak Anengah ge-
lisah. Sesekali ia mencuri pandang melirik pada Rangga
Prawangsa. Sekali-sekali ia melirik Tari. Keduanya tak
memperhatikannya.
Di pintu gerbang padepokan, rombongan itu bagai-
kan tersambar halilintar. Bahkan Sang Resi pun tak
kuasa menahan kekagetannya.
Di halaman depan, Tara agaknya sedang sibuk
mengangkut mayat-mayat yang bertebaran di mana-
mana. Dan ia langsung mematung saat Sang Resi mun-
cul.
Sesaat hening. Dan kemudian pecahlah kesunyian
dengan jeritan tangis dan kekagetan. Kaki-kaki pun ri-
but berlarian. Teriakan pertanyaan dilontarkan pada
Tara. Beberapa orang menyerbu pemuda itu. Meneriaki-
nya. Mengguncang lengannya. Memukul dadanya. Ber-
teriak lebih keras lagi. Tapi Tara bagaikan kena sihir.
Diam. Ternganga. Matanya terbelalak memandang Sang
Resi yang berjalan mendekat.
“Tara, kenapa kau?” Sang Resi mengulurkan tangan
menyentuh bahu Tara.
“Oh... oh... Gu... Guru!” tiba-tiba Tara menjerit. Ber-
balik. Dan lari ke arah bagian dalam padepokan.
Beberapa orang mencoba menahannya. Dengan ge-
rakan geram Tara menghantam kalang-kabut. Orang-
orang menjerit dan bertumbangan.
“Tara! Tunggu!”
“Berhenti, Tara!”
“Awas, minggir, kawan!”
“Minggir!”
Beberapa orang mulai membalas hantaman Tara.
Kemudian semua seakan mengeroyok Tara. Menubruk-
nya. Merangkulnya. Mendekapnya. Menghantamnya.
Tara menjerit-jerit. Makin ganas menghantam kiri-
kanan. Makin gesit meloloskan diri dari kepungan. Ane-
ngah agaknya tak sabar. Ia langsung menyerang Tara.
Tara telah berada di pendapa utama. Sebuah ruang
luas yang terbuka di empat sisinya. Lantainya terbuat
dari batu hitam yang disusun hingga halus mengkilap.
Memang sering pula digunakan untuk berlatih ke-
wiraan.
Dan saat Tara kalap menghindar dari penyergapnya,
Anengah menyerangnya. Tara bergerak gesit. Langkah-
langkahnya gemulai namun tegas. Licin sekali ia mele-
sat ke kiri-ke kanan, maju dan mundur.
Gerakan Anengah tampak berbeda. Mantap dan be-
rat. Kasar dan ganas. Anengah menyiarkan hawa panas
yang terus memburu. Ia membuat para penyergap Tara
lainnya melompat minggir tak tahan. Hingga akhirnya di
ruang luas itu tinggal Tara dan Anengah saling berha-
dapan.
Sementara itu Resi Rhagani telah memberi isyarat
agar para pengikutnya menyelidiki apa yang terjadi. Di
sana-sini sekali-sekali terdengar jeritan memilukan saat
sosok mayat seorang kenalan diketemukan. Di pendapa
sendiri Anengah dan Tara masih bertarung ketat. Jelas
Anengah mendesak terus. Tara mundur, menghindar,
dan menjerit-jerit tak keruan.
Sang Resi merenungi pertarungan itu dan menghela
napas panjang. Resi tua itu seakan menyesali telah me-
nurunkan ilmunya pada kedua murid yang dikasihinya
itu.
Rangga Prawangsa menahan napas memperhatikan
kedua pemuda tersebut. Gerakan mereka memang enak
dilihat. Indah. Matang. Maut. Lincah dan gesit. Sesekali
ia berdecak kagum.
Terdengar jeritan panjang dari bangunan dalam. Be-
berapa siswa ribut. Dan muncul rombongan orang-
orang yang menggotong Suranggana.
“Suranggana!” desis Resi Rhagani. Cepat ia mening-
galkan kedua siswanya yang bertarung dan mendekati
Suranggana.
Suranggana bagaikan bermandikan darah. Darah
mengucur dari kepalanya, tempat tadi ia terserempet
peluru besi yang dilontarkan sang bidadari. Dan ia ba-
gaikan akan pingsan. Yang terdengar hanya gumamnya,
“Tangkap dia... dia pengkhianat! Hei... hei... kau bisa
membunuhnya... kenapa tak kaulakukan? Ayo... ayo...”
Resi Rhagani menyambar lengan Suranggana. Dipi-
jatnya tangan itu dan ia berbisik, “Ayo, bicaralah de-
ngan baik.”
Rabaan Sang Resi menggetarkan jiwa Suranggana.
Jeritannya lenyap. Sesaat matanya berputar-putar. Ke-
mudian ia meronta-ronta. Dan ia menjatuhkan diri di
depan Resi Rhagani.
“Haduh, Bapa Pendeta... maafkan hamba... haduh...
ha ha ha ha... Ampuuun, Gusti, ampuuun, Pangeran...
Dewi Wita sudah menunggu....”
Terlihat sorot mata Sang Resi seakan tersentak. Dan
ia mengulurkan tangan untuk memegang kepala Su-
ranggana. Suranggana tunduk, menangis tersedu-sedu.
Dan roboh.
Di samping mereka, Anengah dan Tara masih gegap
bertarung. Sang Resi agaknya sudah bosan. Ia memben-
tak keras, “Diam kalian!”
Anengah bagaikan dihantam palu godam. Ia terlem-
par ke samping membentur tiang pendapa. Tara sendiri
hanya menghentikan langkah dan kemudian berputar.
Ia tertegun mengamat-amati Sang Resi.
“Jangan seperti anak kecil! Tara, apa yang terjadi?”
tukas Sang Resi.
Lama Tara berpikir, megap-megap bagaikan orang
akan kelelap.
“Ya ampun... Bapa Guru... muridmu ini lalai... hu-
kumlah hamba, Guru....”
“Dia pengkhianat!” tiba-tiba Suranggana bangkit dan
berteriak. Tara sangat terkejut, dia melompat ke sam-
ping namun dihadang oleh Rangga Prawangsa. Kembali
ia beringsut ke hadapan Sang Resi.
“Guru... sewaktu hamba datang kemari...” kata Tara.
“Bohong!” teriak Suranggana, geram. “Ia yang men-
datangkan dewi penyebar maut itu. Dia! Dia berkhianat!
Dia tak mampu membunuh musuh!”
“Apakah sebenarnya yang terjadi?” tanya Sang Resi.
“Waktu hamba datang... sudah banyak yang terbu-
nuh... tanpa luka...,” kata Tara.
“Dusta licik!” teriak Suranggana.
“Aku dan Paman Suranggana langsung mencari...
hampir semua isi padepokan ini tewas!” Tara menun-
duk.
“Ia punya kesempatan membunuh gandarwa itu...
cepat!” kata Suranggana.
“Aku... aku... aku kemudian bertemu dengan wanita
yang... yang... yang cantik... cantik.... Dia... dia menco-
ba membunuhku tapi tak berhasil!” kata Tara.
“Oh, duniaaaa, banyak sekali tukang dusta di sini.
Dia dusta, Panembahan... dia licik... dia tak memikirkan
saudara-saudaranya yang tewas.... Dia punya kesempa-
tan membunuh dia, tetapi dia tak tega... karena dia
itu... sangat cantik!”
“Tidak demikian, Bapa Guru... aku ingin menangkap
wanita itu hidup-hidup.”
“Ya, Panembahan... aku takkan rela hidup di dunia
ini jika laknat itu tidak dihukum.... Aku berhasil me-
lumpuhkan gandarwa perempuan itu... aku sudah
hampir membunuhnya... tapi dia... dia melindunginya!
Dia melindungi orang yang telah membunuh sekian ba-
nyak saudara-saudara kita! Ya, Dewata Agung! Aku
takkan puas sebelum bisa minum darahnya!” Surang-
gana menangis tersedu-sedu. Badannya gemetar mena-
han marah, sakit, dan penyesalan. Luka di kepalanya
seakan tak pernah kering, darah mengucur terus wa-
laupun Resi Rhagani berusaha meredakan luka itu.
“Tara! Jelaskan apa yang terjadi! Kalau benar kata
Paman Suranggana...” Anengah tak bisa melanjutkan
kata-katanya karena begitu geram.
Resi Rhagani mengangkat tangan. Semua yang di
pendapa itu diam. Semua memandang dengan sorot
mata membenci pada Tara. Tara sendiri seperti orang
linglung, berdiri terhuyung, matanya kosong sesekali
memandang Suranggana. Di luar terdengar lolongan
dan jeritan mereka yang merasa kehilangan saudara
ataupun teman.
“Ya, Panembahan...” Suranggana meratap lagi. “Tak
banyak aku meminta sesuatu pada Panembahan... ka-
bulkan yang satu ini.... Aku ingin minum darah bangsat
cilik itu!”
Tiba-tiba Suranggana berhasil mengumpulkan selu-
ruh kekuatan terakhirnya. Tiba-tiba ia berdiri kaku.
Wajahnya yang hitam penuh darah. Rambutnya sudah
tak tersanggul lagi, semburat tak keruan menutupi se-
bagian muka.
Dan tangannya teracung kaku ke arah Tara.
Bersambung ke jilid 2.
Emoticon