Wisanggeni Bag. 04


Begitu tiba di kaki gunung, Wisang Geni pamitan pada Gajah Watu dan rombongannya. Ada satu perasaan yang sulit dilukiskan yang membuat dia merasa enggan berjalan bersama-sama tiga bangsawan itu. Dia merasa lebih bebas melakukan perjalanan sendiri. Apalagi dia juga tidak perlu bergegas mengingat hari pertemuan Mahameru masih lama.

Malam itu ia tidur di atas pohon. Keesokan harinya dia terjaga pada saat matahari sudah agak tinggi. Ia melanjutkan perjalanan dengan melangkah santai. Siang hari ia tiba di Ngadas, sebuah desa kecil di timur laut gunung Lejar dekat kali Bango. Meski tergolong kecik tapi Ngadas adalah desa yang padat penduduk.

Ketika sedang mencari warung makan, di tengah jalan ilmum dia berpapasan dengan seorang lelaki. Geni merasa tak asing melihat wajah tampan lelaki berusia lirnapuluhan itu.

Tapi ia lupa di mana pernah bertemu. Lelaki itu sudah agak jauh saat mana Geni teringat siapa orangnya. Dialah lelaki yang bergandengan mesra dengan Wulan di keramaian pesta tahunan gunung Lejar. Tanpa sadar Geni berbalik arah, mengikuti lelaki itu dari jauh.

Tak lama kemudian mereka tiba di luar desa. Lelaki itu melesat cepat menggunakan ilmu ringan tubuh. Tak ayal Geni pun menggelar Waringin Sungsang mengejar lelaki itu. Mudah bagi Geni karena ternyata ilmu ringan tubuhnya masih satu tingkat di atas lelaki itu. Namun ia tak berani terlalu mendekat

Lelaki itu tiba di tengah hutan. Dari jauh tampak sekumpulan orang duduk-duduk. Khawatir kehadirannya kepergok, Wisang Geni melesat ke kerimbunan pohon menggunakan Waringin Sungsang yang paling handal. Dia melesat dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan. Diam-diam dia bersyukur pernah melatih ilmu ringan tubuh dengan mencontoh gerakan kera bermain di pepohonan. Ternyata ilmu itu kini bermanfaat. Ia mengendap di salah satu pohon terdekat yang memungkinkan dia melihat dan mendengar dengan jelas.

Sampai saat itu dia masih belum sadar apa dan mengapa alasan dia membuntuti dan mengintip lelaki itu. Pada awalnya Geni hanya merasa ingin tahu, siapa lelaki yang sanggup membetot cinta Wulan darinya. Dia juga berpikir adanya kemungkinan lelaki itu menuntunnya ke tempat Wulan berada. Namun setelah melihat situasi di tengah hutan itu, dia merasa curiga Dia merasa aneh melihat banyak orang berkumpul di tengah hutan. Jumlahnya sekitar limapuluh orang. Semua mengenakan pakaian dan ikat kepala serba hitam Lebih lanjut dia memerhatikan, rupanya lelaki yang dibuntutinya adalah pemimpin. Orang-orang itu bangkit dari duduk. Mereka berdiri sambil memberi hormat kepada lelaki itu. Sesaat kemudian suasana lengang dan sunyi Seorang lelaki tua tampil ke depan. Setelah memberi hormat kepada si pemimpin, ia berseru, "Karena saudara ketua sudah tiba dan hari sudah agak siang maka pertemuan dimulai. Silahkan saudara ketua bicara"

Lelaki itu maju dan duduk di atas batu besar. Orang-orang itu mengucap salam dan memberi hormat kepada ketuanya, kedengarannya riuh. Suasana kembali hening saat si ketua mengangkat tangan dan mulai bicara, suaranya tidak keras tapi lantang dan jelas. "Saudara dan kerabatku, pertemuan hari ini tidak akan lama. Aku hanya ingin mengetahui apakah beberapa anggota sudah melaksanakan tugasnya dan apa hasilnya? Apakah sudah menghubungi Ki Sempani dan pendekar Sapikerep, dan juga bagaimana hasil penyelidikan di Alas Irengan, apakah si Padeksa itu masih tinggal di sana?"

Tiga orang maju, mereka memberi hormat Salah seorang melapor. "Saudara ketua, kami bertiga telah melaksanakan tugas. Kami jumpa langsung dengan Ki Sempani dan dua pendekar Sapikerep. Mereka bertiga berjanji menghadiri pertemuan Mahameru dan mereka merasa gembira telah diajak serta dalam upaya membasmi perguruan Lemah Tulis." Setelah berkata demikian, mereka mundur ke dalam barisan. Beberapa orang lain maju. Salah seorang melapor. "Kami sudah menyelidik perdikan Lemah Tulis dan Alas Irengan. Tak sejengkal tanah pun yang lolos dari pengamatan kami, tapi Padeksa tak kami temukan. Di Lemah Tulis tak ada lagi murid. Hanya orang-orang desa biasa. Di perdikan Alas Irengan, kata orang di sana, sudah lima tahun lebih Padeksa bepergian.

Sepanjang perjalanan pulang kami mencari kabar, tetapi Padeksa lenyap seperti ditelan bumi." Ketua itu mengibas tangannya. Ia berseru, "Baik, terimakasih kalian telah melaksanakan tugas. Rencana kita tidak berubah. Aku harapkan Padeksa dan Gajah Watu akan muncul di Mahameru. Kalau mereka muncul, kalian sudah tahu bagaimana harus bertindak. Sekali ini mereka tidak boleh lolos, harus mati!" Dengan penuh semangat dia melanjutkan, "Kalian ingat, saat ini adalah saat kebangkitan perguruan kita, inilah saat menentukan bagi kita semua untuk menebus malu dan membayar hutang darah keluarga dan perguruan kita.

Tapi satu hal yang kalian tidak boleh lupa, perempuan bernama Wulan itu sekali-sekali tak boleh dilukai. Ingat siapa melanggar perintah ini, akan menerima pukulan Pitu Sopakara dan itu berarti mati dengan tubuh hancur!"

Setelah melalui pembicaraan singkat yang hanya menyangkut tata aturan perguruan, pertemuan kemudian diakhiri. Semua orang termasuk ketua perguruan duduk bersila dalam sikap semedi. Mereka seperti menggumam, mulanya terdengar suara mendengung, suara makin lama semakin keras sampai akhirnya mereka berteriak membahana, "Turangga jaya!" Mereka bubar, satu demi satu meninggalkan hutan.

Wisang Geni terpaku di atas pohon. Bulu kuduknya berdiri. Tanpa sengaja dia menemukan keuntungan. Secara kebetulan bisa menyaksikan sendiri pertemuan partai Turangga yang sedang menyusun rencana jahat menghancurkan Lemah Tulis. Bahkan secara tersembunyi orang-orang partai Turangga ini mengincar nyawa gurunya, Padeksa dan Gajah Watu, dua tokoh paling sepuh dari Lemah Tulis.

Untung Padeksa tidak ada di Alas Irengan. Tetapi ke mana perginya? Geni risau memikirkan keselamatan Padeksa. Ia berharap gurunya hadir di Mahameru supaya ia bisa memastikan keselamatannya. Tetapi hati kecilnya berharap Padeksa tidak hadir di Mahameru mengingat ancaman partai Turangga. Tetapi kenapa harus takut? Apa hebatnya Turangga? Dulu pun orang-orang hebat di Turangga tak ada yang lolos dari kematian ketika Rama Balawan dan murid- murid Lemah Tulis menyerbu dan membasmi habis perguruan sesat itu.

Tetapi yang ditakuti Wisang Geni adalah musuh bersembunyi dari tidak ketahuan identitasnya. Musuh-musuh itu pasti akan menyerang, tetapi kapan waktunya dan di mana tempatnya, adalah hal tersembunyi.

"Orang-orang itu tidak punya malu, mereka bisa menghalalkan segala cara meskipun melanggar tata- carakependekaran. Aku harus memberitahu guru dan semua murid Lemah Tulis tentang ancaman tersembunyi ini. Tetapi apakah aku masih punya kesempatan memberitahu mereka, semoga aku akan bertemu guru dan paman Gajah Watu di Mahameru nanti."

Di balik ketakutan akan serangan gelap musuh-musuhnya, dia merasa gembira. Di Mahameru nanti kemungkinan besar Sempani dan sepasang pendekar Sapikerep akan hadir. Dia akan memanfaatkan pertemuan itu untuk balas dendam.

Dengan ilmu Wiwaha dia yakin akan sanggup mengalahkan musuh-musuhnya. Geni tak pernah lupa cerita Padeksa. Tiga nama itu masuk dalam rombongan yang membumighanguskan Lemah Tulis. Hutang darah bayar darah. Sempani, Bango Samparan dan Tambapreto dibantu para punggawa mengeroyok mati Gubar Baleman dan Mahisa Wlungan. Satu sudah mati, Tambapreto, tetapi Sempani dan Bango Samparan masih hidup. Begitupun Sepasang Iblis Sapikerep yang mengeroyok mati Kebo Jawa, adik perguruan ayah Geni.

Jantung Wisang Geni berdegup kencang. Hari pembalasan sudah dekat. Tubuhnya menggigil menahan geram. Namun ia sadar, ia belum tahu seluruhkekuatan lawan. "Aku harus hati- hati, tidak boleh memandang enteng lawan." Geni melihat sekeliling. Sunyi, tak ada orang. Sesaat ia berpikir, menculik salah seorang lawan yang lemah untuk diperas rahasianya atau membuntuti ketua Turangga itu. "Siapa tahu Wulan dalam bahaya besar?"

Berpikir begitu Geni segera menggelar Waringin Sungsang mengejar ketua Turangga. Tak lama kemudian ia melihat sosok lelaki yang dicarinya. Rupanya ketua Turangga itu tidak bergegas. Geni membuntuti dari jauh. Ia sampai di desa.

Lelaki itu menuju sebuah rumah besar di pinggiran desa. Rumah dikelilingi pagar bambuyang tinggi sehinggakegiatan apa pun yang terjadi di balik pagar itu, tidak akan terlihat dari jalanan.

Geni memandang keliling. Dekat rumah itu ia melihat sebuah pohon cemara besar yang menjulang tinggi Tak ayal lagi Geni melesat memanjat pohon. Dari ketinggian itu ia bisa leluasa melihat lintas pagar. Rumah itu besar, pekarangannya luas. Tak heran kalau banyak penghuninya. Geni mencium sesuatu yang kurang wajar. Semua orang berpakaian rombeng seperti pengemis.

Geni melihat dua pengemis keluar dari rumah. Mereka berlari menuju ke arah Timur. "Aku punya akal," gumam Geni. Cepat ia melompat turun membuntuti dua pengemis. Dari gerakannya tampak kepandaian mereka rendah. Sesampai di luar desa, di tempat sunyi, Geni menyerang. Cepat dan telengas. Hanya dalam satu gebrakan saja dua pengemis itu bisa dilumpuhkan. "Aku akan bertanya dan kalian harus menjawab jujur. Awas, kalau jawaban kalian tidak sama, itu berarti kalian berbohong. Hukumannya, kalian mati tersiksa, lihat ini!" '

Berkata demikian sambil mengerahkan tenaga panas Geni mencengkeram pohon kecil yang ada di situ. Seketika saja, pohon itu layu dan kering. Pengemis yang muda usia memandang dengan ketakutan sedang yang tua tampaknya tidak gentar. Geni tersenyum dingin. Ia mencengkeram lengan pengemis tua yang seketika juga menggigil kedinginan. Saat berikut wajahnyamerah kepanasan, keringat membasahi tubuhnya. "Kamu rupanya mau menderita panas dingin bergantian seilmur hidupmu, tak akan ada obat pemunahnya. Aku adalah raja racun yang paling ganas di kolong langit. Kalau itu mailmu maka aku tak punya pilihan lain."

Pengemis tua itu ketakutan. "Jangan, jangan!"

Geni memisahkan dua orang itu, jaraknya cukup jauh sehingga satu sama lain tak bisa saling mendengar. Dia bertanya pertanyaan yang sama kepada dua pengemis itu. Dari jawabannya dia bisa meneliti mereka berbohong atau menceritakan hal yang benar. Setelah memperoleh banyakketerangan, Geni melepas dua pengemis itu. Ketika mereka melangkah, mendadak Geni melayangkan pukulan. Lawan jatuh tertelungkup. Dua pengemis itu kaget. Geni tertawa. "Tidak! Aku tidak membunuh kalian. Itu pukulan ringan, tapi kalian sudah kena racun panas. Kalian bisa sembuh dengan sendirinya apabila pergi dari sini dan tinggal di daerah dingin di lereng gunung, lebih cepat lebih baik sebelum racun itu mengganas."

"Tetapi kami..."

"Tidak perlu takut, kalian tidak akan mati kalau menuruti apa kataku. Pergilah ke lereng gunung, tinggal di sana selama satu bulan, maka kalian akan sembuh. Jika tidak pergi sekarang, aku khawatir terlambat dan kalian akan mati tersiksa."

Dua pengemis itu pergi bergegas. Geni tertawa dalam hati. Ia mengusir dua pengemis agar mereka tidak membocorkan rahasia. Dari keterangan yang diperoleh Geni mengetahui rumah itu milik Ki Demung Pragola, tokoh sakti ketua perguruan Daridra. Dua hari lagi di rumah itu akan diselenggarakan pesta kawin Pengantin pria adalah Ki Jaranan ketua partai Turangga, sahabat Ki Demung Pragola. Siapa si pengantin wanita, pengemis itu tidak tahu karena belum pernah melihat wajahnya. "Tetapi menurut kawan- kawanku si pengantin sangat cantik," tutur si pengemis. Tapi pengemis muda merasa ada yang aneh karena sempat mendengar isak tangis dari balik jendela kamar pengantin.

Mendengar pengakuan pengemis itu, Geni merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Ia bertekad menyelidiki. Menanti sampai hari gelap, Geni menyelinap lewat pagar.

Geni beruntung, malam itu bulan bersembunyi di balik awan tebal. Keadaan agak gelap. Dia menggunakan Waringin Sungsang menyelinap mendekati kamar pengantin.

Sebagaimana cerita pengemis itu, ada dua pengawal yang menjaga di sekitar jendela kamar. Geni menanti kesempatan. Begitu dua pengawal berbalik badan, ia melesat cepat Ia menggunakan jurus paling handal dari Waringin Sungsang hingga gerakannya cepat bagai siluman serta jurus Garudamukha agar sekali gebrak dua lawan roboh. Ia tak mau ambil resiko. Dua lawan itu jatuh lemas. Ia menahan tubuh mereka agar tidak menimbulkan suara.

Dia mengendap di bawah jendela. Dia mendengar percakapan lelaki dan perempuan. Suara lelaki dikenalnya sebagai ketua partai Turangga. Tetapi dia merasa seperti bumi yang dipijaknya amblas, saking terkejutnya. Dia mengenal suara perempuan itu, suara Wulan, "Kangmas, cukup, tapi... oh... jangan."

Geni bergerak pelan-pelan menjaga agar tak ada suara sekecil apa pun, dia mengintip. Dilihatnya lelaki itu sedang menggilmuli perempuan yang dari suaranya sudah pasti Wulan. Keduanya berpelukan. Lelaki itu menciumi wajah dan leher Wulan. Perempuan itu menggeliat Keduanya berciuman. Tangan lelaki itu menjamah dan mengelus buah dada Wulan. Nafasnya memburu

Saat itu Geni merasa ulu hati seperti ditikam belati Perlahan ia beringsut dan mengendap pergi Ia tak pernah membayangkan Wulan bercinta dengan lelaki lain. Dan lelaki itu adalah orang yang sedang menyusun rencana membunuh Padeksa, Gajah Watu, serta menghancurkan Lemah Tulis. Ia sudah hampir ke luar pagar ketika samar-samar mendengar jeritan. Ia memasang telinga, suara datang dari arah kamar pengantin. Apakah Wulan? Ketika suara terdengar lagi, dia yakin itu suara Wulan. Kenapa? Apakah Wulan dalam bahaya? Apakah ia perlu kembali? Tanpa sadar Geni kembali ke jendela.

Ia melihat pemandangan aneh. Wulan berontak. "Jangan Mas, cukup, jangan dilanjutkan." Tetapi ia tak berdaya, si lelaki punya kekuatan lebih. Lelaki itu menggilmuli, memeluk kasar, tangannya merambah kasar tubuh Wulan. Pakaian Wulan sudah berantakan, tidak utuh lagi, banyak bagian yang sudah tercabik-cabik. Ia nyaris bugil.

Si lelaki terengah-engah berkata dengan nada tinggi, "Kenapa kau menolak, Wulan. Kau tahu betapa cintaku padamu, aku kasmaran, aku tak bisa hidup tanpa kamu. Dari dulu sejak masih di Lemah Tulis, aku sudah mencintaimu, kau tahu itu kan. Dulu kita pernah bercinta, berulang kali aku menidurimu, tetapi belakangan kamu selalu menolak, kau mengulur-ulur waktu, menunda-nunda! Kenapa? Apakah ada lelaki lain?"

"Kangmas, jangan berkata demikian. Sekarang ini aku belum siap, aku belum bisa "

"Wulan aku tak bisa bersabar lagi, sudah bertahun-tahun rindu dan cintaku ini kupendam, dan ini sangat menyiksaku, Wulan maafkan aku, malam ini aku akan mengambil hak milikku atas tubuhmu meskipun aku harus memaksamu."

"Kamu tak punya hak atas diriku, aku belum menjadi isterimu."

"Sebenarnya aku tak memerlukan upacara Dunia kependekaran tak memerlukan upacara kawin, dan upacara besok hanya untuk memperlihatkan kepada semua orang bahwa kamu sudah resmi milikku. Besok malam kita rayakan upacara, tapi malam ini aku bersenang-senang dulu dan kamu harus melayaniku Wulan, kamu tak perlu pura-pura tidak mau karena sebelumnya aku sudah berulangkali menidurimu, bahkan waktu itu kamu menjerit saking bahagianya"

"Itu dulu, Mas. Sekarang tidak lagi. Jika kau jamah tubuhku lagi, aku akan bunuh diri, aku bersungguh sungguh Mas"

"Kamu ngaco, bagaimana mau bunuh diri, menggerakkan tenaga saja kau tak bisa. Lagi pula setelah malam ini aku akan menjagamu siang dan malam, jika kebetulan aku keluar rumah maka ada anak buahku yang menjagamu, dan agar supaya kamu benar-benar jinak maka aku tak akan memberi obat pemunah, untuk selamanya tenagamu tak bisa pulih "

"Mas, apa enaknya kamu mengawini aku dalam keadaan lemah tak punya tenaga seperti ini. Mengapa tidak kau sembuhkan aku, kemudian beri aku kesempatan satu bulan untuk berpikir."

"Tak ada waktu lagi. Malam ini aku harus menikmati tubuhmu, besok malam upacara kawin, setelah itu kita berdua menuju Mahameru sebagai pasangan suami isteri. Opo ora hebat?"

Geni melihat lelaki itu merobek kebaya Wulan yang memang sudah compang camping. Ketua Turangga itu tertawa,"Wulan kamu cantik dan sungguh montok, aku makin terangsang."

Tidak bisa menahan sabar Geni menghantam jendela menerobos masuk. Ia melihat pemandangan yang membangkitkan amarahnya. Wulan terbaring di dipan, tubuhnya hampir bugil, dua tangannya berusaha menutupi buah dada. Celana panjangnya robek, kelihatan pangkal pahanya. Rambutnya yang panjang riap-riapan. Wajahnya pucat, airmata membasahi pipi. Ia gembira melihat ada seseorang yang menolongnya. Ia tak kenal Geni, karena sejak keluar dari jurang Geni belum memangkas rambut, brewok dan kumisnya yang acak-acakan tak terurus.

Geni tak sempat mengawasi lama-lama karena saat itu terdengar bentakan. Lelaki bernama Jaranan itu gesit melompat dan menyerang Geni. "Siapa kamu, berani lancang masuk kamarku!" Tak cuma membentak, ketua partai Turangga itu menyerbu dengan serangan ganas. Geni mencium hawa pukulan berbau busuk. Ini pasti pukulan beracun dan ganas. Tak ayal lagi Geni menggelar Bang Bang Alum Alum dengan tenaga inti Wiwaha. Bentrokan tak terhindar, keduanya mundur selangkah. Ternyata ketua Turangga ini ilmunya jauh lebih hebat dari yang dibayangkan. Tadinya Geni agak memandang enteng karena melihat ilmu ringan tubuhnya yang tak begitu handal.

Saat berikut keduanya terlibat tarung lagi. Cepat, ganas dan berkekuatan dahsyat. Sekejap saja kamar itu dibuat berantakan. Beberapa jurus sudah lewat Pertarungan makin beringas. Geni lebih unggul dalam ringan tubuh dan tenaga pukulan. Tetapi dari kematangan jurus, ketua Turangga lebih unggul.

Suara hingar bingar di kamar memancing orang berdatangan. Seorang lelaki berjenggot putih menerobos masuk. Ia tertegun sesaat kemudian membentak, suaranya mengguntur, "Hentikan! Siapa orang ini?" Dua lelaki itu memisahkan diri. Geni mundur ke dekat Wulan yang sibuk menutupi tubuhnya dengan kain seprei.

Geni menatap orang tua itu dengan tajam Wajah lelaki itu tampak teduh dan berwibawa. Jenggot dan kumisnya menyatu, putih. Tubuhnya tinggi tegap. Pakaian penuh tambalan tetapi bersih. Dari sinar matanya yang bening dan sikap berdirinya, Geni yakin ilmu silat orangtua itu cukup tinggi. Geni memberi hormat "Maaf aku terpaksa masuk kamar ini karena mendengar suara jerit perempuan minta tolong." Tiba-tiba Wulan berteriak "Geni, kau Wisang Geni, oh jagad dewa batara terima kasih." Ternyata sekilas menyaksikan jurus Bang Bang Alum Alum dimainkan ia sudah curiga.

Setahunya hanya tiga orang di dunia yang mahir memainkan jurus gunung Merapi itu, Ki Sagotra, Manjangan Puguh dan Wisang Geni. Tetapi penampilan Wisang Geni yang mirip pengemis berewok membuatnya bingung. Wulan segera mengenali Geni dari suaranya. Suara yang sering dikenangnya. Geni memandang Wulan dengan sinar mata bahagia Ia gembira karena meskipun pakaian dan dandanan kumal macam pengemis, Wulan bisa mengenalinya Itu artinya Wulan tak pernah melupakannya. Ingin Geni memeluk perempuan yang dicintainya itu. Tetapi ia menahan diri.

Bahaya masih mengancam.

Wulan membalas tatapan Geni dengan sinar mata berbinar dan hati berbunga Tak sehari pun berlalu tanpa ia memikirkan Geni kekasihnya Malam ini, ia menolak si pengantin pria juga sebab teringat akan Geni. Di luar dugaan justru lelaki yang datang menolongnya adalah Wisang Geni. Ia senang. Namun berbarengan hatinya ketar ketir memikirkan keselamatan Geni. Setahu dia, ilmu silat Wisang Geni tak mungkin bisa menandingi kepandaian lelaki itu. Karena lelaki itu adalah paman guru Geni, yakni Lembu Agra Apalagi orang-orang di rumah itu semuanya pendekar berilmu tinggi. Tidak mungkin Geni bisa lolos begitu saja dari kepungan orang-orang itu.

Pada saat itu seorang gadis kecil menerobos masuk kamar. "Kakek ada apa? Kenapa pengantin berkelahi?"

Jaranan tadi sempat melihat bagaimana pandangan Wulan terhadap pengemis berewok itu. Ia juga menangkap getar suara Wulan ketika menyebut nama Wisang Geni. Sesaat ia tahu, Wisang Geni adalah putra Gajah Kuning dan Sukesih. "Rupanya laki-laki ini yang sering disebut-sebut Wulan. Kurang ajar!" Tiba-tiba ia merasa tak bisa menahan diri lagi, hatinya dibakar cemburu. Ia menyerang Geni dengan hebat Pukulannya mengancam dada, ulu hati, pelipis dan leher. Semuanya titik kematian. Pukulannya ganas dan telengas.

Sebelum serangan tiba, Geni telah menemukan jalan keluar dan situasi yang tak menguntungkan. Begitu diserang, ia justru melihat adanya kesempatan. Ia bergerak secara naluriah dengan jurus Antarlina dari Waringin Sungsang, tubuhnya seperti lenyap dari pandangan. Tak berhenti di situ saja, sambil mengelak ia menyerbu ke depan dengan jurus Warajangungas (Anak panah menembus) dari Garudamukha, sasarannya orang tua berjenggot putih itu.

Si orang tua mendengus dan menyampok sambil balas menendang. Angin pukulan dan tendangannya mengeluarkan hawa panas. Tetapi Geni tak meladeni. Tujuannya lain, serangan kepada si orangtua hanya siasat. Geni berlaku nekad. Kesempatan ini sangat kecil, tetapi harus digunakan. Geni mengelak dari tendangan lawan dan sengaja menerima sampokan orang tua itu di pundaknya.

Pada saat sampokan mengenai pundaknya, Geni melempar tubuh ke sisi orang tua. Ia menyergap si gadis kecil! Orang tua itu sadar tetapi sudah terlambat! Begitu juga Ki Jaranan. Gadis itu memapak Geni dengan tusuk konde panjang yang digenggamnya sejak memasuki kamar. Geni mengibas.

Lengan si gadis kesemutan dan tusuk konde itu terlempar. Geni melejit ke samping dipan berada di dekat Wulan, ia mencekal leher si gadis. "Kalian mundur semua, aku tak ingin mencelakai gadis ini, jangan paksa aku membunuh anak tak berdosa ini!"

Orang tua itu marah besar, wajahnya merah marong. "Hei sedikit saja kau sakiti cucuku, jangan harap kamu lolos dari siksaanku! Aku Demung Pragola akan melumat tubuhmu."

"Kamu tenang saja Ki Demung. Aku hanya ingin membawa kawanku ini pergi dari sini tanpa diganggu anak buahmu Kalian tak boleh menghalangi kami. Ki Demung jika masih mau melihat cucilmu hidup, sekarang juga perintahkan anak buahmu menjauh."

Demung Pragola segera memerintahkan anak buahnya keluar dan menjauh dari kamar. Saat itu terdengar Jaranan tertawa. "Kamu pasti Wisang Geni, putra kangmas Gajah Kuning dan mbakyu Sukesih. Kau sudah dewasa bahkan berpakaian macam pengemis, tentu saja aku tak mengenali keponakanku sendiri. Tentu saja kamu tak mengenalku, aku pamanmu, Lembu Agra. Nah, lepaskan gadis kecil itu dan semua urusan bisa kita selesaikan dengan aturan"

Wisang Geni terkesiap. "Inikah Lembu Agra, adik perguruan ayahnya. Dan kakak perguruan Wulan? Lembu Agra murid Bergawa. Tetapi bagaimana mungkin ia bisa jadi ketua partai Turangga dan bernama Jaranan? Lantas apa hubungannya dengan musuh perguruan, Sepasang Iblis Sapikerep dan Sempani? Dan kenapa ia berniat membunuh guru Padeksa?"

Ketika itu Lembu Agra alias Jaranan melangkah maju. Geni berseru "Awas, sekali pencet leher gadis ini remuk!"

Demung Pragola berseru, "Ki Jaranan, jangan mendekat!" Lembu Agra berhenti dan mundur kembali ke tempat ia berdiri.

Pragola berkata perlahan namun sangat berwibawa. "Kalian semua diam di tempat, jangan bergerak. Ikuti apa maunya.

Geni, namamu Geni ya, kamu putra Gajah Kuning dan Sukesih, mereka adalah sahabatku, lepaskan cucuku itu, aku jamin kalian berdua akan meninggalkan rumah ini tanpa ada yang menghalangi. Ini semua kan persoalan Lemah Tulis, tak ada hubungan dengan aku, hayo Wisang Geni lepaskan cucuku!"

Geni masih bingung, tapi cekalan pada si gadis tetap erat Malah sebelah tangannyayang lain berada di atas ubun-ubun kepala si gadis. Seperti ancaman! Sekali tangan itu turun maka batok kepala cucu Ki Demung Pragola berantakan. Melihat Geni dalam keadaan bingung, Lembu Agra mempersiapkan suatu serangan maut. Untuk itu ia hanya memerlukan kelengahan Geni. Lengah sesaat saja! Itu saja yang diperlukan. Ia berusaha memecah perhatian Geni.

"Wisang Geni, kau harus tahu, yang kau hadapi ini, Ki Demung Pragola, sahabat baik ayah dan kakek gurilmu Kamu tak pantas mengancam cucunya, lepaskan saja. Lagipula urusanku dengan Wulan adalah urusan pribadi, kami berdua akan menikah, kamu sebagai keponakan murid tak pantas ikut campur."

"Omongan apa itu, aku memang putra ayahku, tetapi kamu murid paman Bergawa, aku murid guru Padeksa, artinya kita sederajat, aku bukan keponakanmu dan kamu bukan pamanku!"

Saat itu Wulan berseru, "Ki Demung, aku tak mau tinggal di sini, aku mau ikut Wisang Geni pergi dari sini." Lalu ia berseru kepada Geni. "Kamu jangan lepaskan gadis kecil itu, dia adalah kunci untuk kita meloloskan diri. Sekarang bawa aku keluar dari tempat ini."

Dalam keadaan bingung, tak bisa mengambil keputusan, Geni gembira mendengar perintah Wulan. Tak ragu lagi, ia membentak Lembu Agrayang dari tadi bersiap-siap akan menyerangnya. "Kamu menyingkir jauh-jauh, kalian semua menyingkir ke dinding sana. Wulan mendekat kemari! Ki Demung, aku mohon maaf atas kelancanganku, aku hanya membawa adik kecil ini sampai di batas desa, tolong kamu siapkan dua ekor kuda buat kami, begitu kami sudah bebas dan tidak diikuti, maka adik kecil ini akan segera aku serahkan padamu”

"Geni kamu jangan nuiu mani denganku, seujung rambut cucuku copot, nyawamu jadi ganti!"

"Tidak usah khawatir, akan kutepati janjiku!" Orang-orang itu patuh pada perintah Ki Demung, mereka tidak merintangi kepergian Geni dan Wulan. Tiba di batas desa, Geni memanggil empat orang anak buah Ki Demung yang membuntuti dari jauh. Ketika hendak kembali ke rombongan, si gadis kecil menatap Geni. "Apakah benar kamu akan membunuh aku seandainya keadaan tidak menguntungkan kamu?"

Geni tersenyum, mengusap kepala si gadis. "Aku belum pernah membunuh orang tak berdosa, apalagi adik kecil yang manis seperti kamu. Jika keadaan tidak menguntungkan mungkin aku akan mendorong kamu kepada kakekmu, selanjutnya terserah pada nasib keberuntunganku."

Gadis itu belum mau pergi. Ia bertanya pada Wulan. "Bibi kenapa kamu membatalkan perkawinan?"

Wulan memeluk si gadis. "Orang kawin itu harus suka sama suka, tak boleh main paksa."

"Jadi bibi tak suka pada paman itu, lalu paman mau memaksa bibi, kemudian paman yang ini datang menolong bibi?" Gadis kecil itu tersenyum Wulan juga tersenyum dan mengangguk. Si gadis kecil pergi diiringi empat pengawal itu.

Suasana malam sepi dan lengang. Geni menatap Wulan. Ini dia perempuan yang paling ia rindukan selama ini Wulan menangkap pancaran kehangatan cinta dalam sinar mata Geni. Tanpa sadar ia menghela napas panjang. Wulan merunduk,

Geni memegang lengan perempuan itu. "Kenapa Wulan, kamu menyesal meninggalkan dia?"

Wulan memegang ujung kain seprei yang membungkus tubuhnya. "Sudah berapa lama kau berada di luar jendela?"

Geni menatap Wulan "Lama. Aku tadinya sudah pergi setelah melihat kau berpelukan dan berciuman, aku cemburu. Tetapi aku kembali lagi karena mendengar suara jeritanmu." Wulan menatap Geni dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tak menyesal meninggalkan Lembu Agra, lagipula setelah kejadian itu aku tak akan bisa memaafkan dia. Aku berterimakasih padamu, Geni, nanti setelah aku sembuh dan tenagaku pulih, kamu boleh pergi tinggalkan aku."

"Lho kenapa begitu?"

"Kamu kan sudah mendengar semua apa yang diucapkan Lembu Agra. Ia telah meniduri aku, berulang-ulang."

Geni bertanya spontan, "Kamu menyukainya?"

Wulan menggeleng kepala. Namun sebelum dia menjawab, Geni memegang lengannya. "Kita harus cepat pergi dari sini, sebelum mereka datang mengejar."

Keduanya melecut kuda menembus kepadatan hutan. Sinar rembulan samar menerobos pepohonan, namun tak cukup terang. Kuda tak bisa berlari cepat karena Wulan yang tenaganya belum pulih tampak kesulitan. Ia bahkan terhuyung-huyung. Melihat itu Geni tak sampai hati Ia menghentikan kuda. "Wulan, kita naik seekor kuda saja, satunya lagi dituntun, biar lebih cepat"

Wulan diam saja ketika Geni membopongnya. Berjalan beberapa langkah, Geni memeluk lebih erat. Ia merasakan tubuh montok yang lunak, tubuh perempuan yang sudah lama ia rindukan. Ia memeluk lebih erat lagi. Wulan membalik tubuh, pahanya di atas paha Geni, tangannya menggelayut di leher Geni. Ia menatap lelaki itu dengan sinar mata penuh bara cinta. "Keadaan masih berbahaya, sewaktu-waktu mereka bisa mengejar kita, aku sekarang tak punya tenaga terkena racun pelemas tulang."

"Baik, kita cari tempat yang sunyi, nanti aku akan membantu mengeluarkan racun dari tubuhmu."

"Peluk aku, Geni, bawalah ke mana kamu mau membawa diriku." . Hati-hati dan waspada, Geni mengendalikan kuda menembus kegelapan hutan. Malam itu bagi sepasang kekasih itu suatu malam yang tak mungkin dilupakan. Tengah malam di tengah hutan Geni menghentikan kudanya, mereka sudah jauh dari desa tadi. Geni turun dari kuda kemudian melecut dua ekor kuda itu yang kontan berlari cepat. Wulan tak bertanya, ia mengerti Geni sedang menyesatkan lawan. Jika lawan mengejar, mereka akan melacak jejak kuda dan memburu kuda tanpa tunggangan itu.

Keduanya melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, ke arah lain dari yang ditempuh dua kuda tadi. Geni membopong kekasihnya. Wulan menggelayut manja, kepalanya rebah di dada bidang sang kekasih. Tak lama kemudian, keduanya istirahat Di tengah gelapnya hutan, Geni memeluk dan menciumi kekasihnya. Dua insan itu bergilmul dalam panasnya birahi.

"Apa kau merindukan aku, Geni?"

"Oh Wulan, tiada hari tanpa aku merindukan kamu."

"Geni, apakah kamu masih mencintaiku setelah mengetahui kisahku dengan Lembu Agra?"

Geni mencium mulut Wulan. "Aku sangat mencintaimu, tetapi aku juga sangat cemburu dan kesal."

Wulan berbisik lirih, "Geni, setelah berpisah dengan kamu, secara kebetulan aku bertemu Lembu Agra. Aku ingin melupakan kamu, itu sebab aku menjalin hubungan dengan Agra."

Dengan nafsu birahi membara, Geni memeluk erat kekasihnya. "Aku tak mau mendengar itu, biarkan itu berlalu Wulan."

"Tidak Geni. Kamu harus mendengarkan ceritaku, agar kamu bisa menentukan sikapmu. Dengarkan aku Geni. Sekarang ini aku sudah tahu, sudah yakin bahwa aku hanya mencintai kamu, tetapi kamu harus mendengarkan ceritaku."

Ia berbisik di telinga kekasihnya. "Wulan, masih banyak waktu untuk menceritakan itu." Ia melepas seprei yang membungkus tubuh molek itu, mencium semua bagian tubuhnya. Perempuan itu menggelinjang, bibirnya bergetar. "Cintailah aku, oh betapa aku merindukan kamu, Geni, aku mengingatmu selalu."

Keduanya bergilmul dan berpelukan sampai fajar menyingsing. Malam itu mereka temukan lagi pesona cinta dan panasnya birahi yang tadinya pernah diselimuti keraguan. Geni pernah begitu sengsara dan cemburu melihat Wulan digandeng seorang lelaki di pesta tahunan gunung Lejar.

Sampai tadi pun Geni masih bimbang dan meragukan cinta Wulan. Ketika ia melihat Wulan dan lelaki itu berpelukan dan berciuman di kamar pengantin, ia merasa dunia kiamat Tetapi keajaiban saja yang menuntunnya kembali ke jendela dan tiba pada saat yang tepat menolong Wulan yang hendak diperkosa.

Ketika fajar menyingsing. Udara dingin dan lembab. Kedua insan masih berpelukan dan berselimutkan seprei. Wulan menceritakan betapa sengsaranya dia setelah berpisah dari Geni. Ia memeluk Geni. "Dulu sewaktu sama-sama berlatih di Lemah Tulis, beberapa kali aku bercinta dengan Lembu Agra, ia memang kasmaran padaku, tetapi aku tak pernah mencintainya. Setelah Lemah Tulis hancur, aku bertemu dengannya satu kali, aku bersamanya selama lima hari tapi hanya sekali-sekali bercinta. Setelah itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Baru di pesta gunung Lejar itu kami bertemu lagi. Saat itu aku masih bingung, aku ingin melupakan kamu. Tapi aku tak bisa menipu diri sendiri.

Semakin berupaya melupakan kamu, makin aku sadar betapa aku sangat mencintai kamu. Aku tak hanya membiarkan Agra merayu dan menggauliku, bahkan aku berusaha agresif dalam bercinta. Tetapi bayangan kamu selalu hadir di antara desah nafas Lembu Agra. Wajahmu seakan menertawakan dan mengejek aku."

"Jadi kamu tidak mencintai Lembu Agra, kamu mencintai aku."

"Kamu percaya sekarang ini, bahwa aku sangat mencintaimu?"

"Aku percaya, apalagi melihat semalaman kamu begitu kasmaran."

Wulan mencubit paha kekasihnya. "Kamu yang gila Geni.

Kamu seakan hendak melumat habis tubuhku. Tetapi aku memang merindukan kamu, sudah lebih dari tiga purnama aku mendambakan pertemuan denganmu, bercinta denganmu."

Ia menceritakan kisah pelarian asmaranya dengan Lembu Agra. Mereka bercinta hanya beberapa hari setelah pesta tahunan bukit Lejar. Kemudian mereka berpisah. Saat itu ia sudah sadar betapa ia sangat mencintai Geni. Ia bertekad mencari kekasihnya itu. Lima hari lalu, ketika ia menginap di desa Ngadas, beberapa orang masuk menyergapnya. Ia heran tenaganya seperti lenyap begitu saja, ia tak mampu melawan. Orang-orang itu membawanya ke hutan dan akan memerkosanya. Tetap entah kebetulan atau keajaiban, Lembu Agra muncul sebagai penolong.

"Dia membawa aku ke rumah Demung Pragola. Ia membujuk aku, merayuku, tetapi aku tak bisa lagi meladeninya. Aku selalu ingat padamu. Ia memaksa akan mengawiniku dalam upacara resmi, tetapi aku menolak. Malam itu rupanya dia sudah tidak sabar lagi, selanjurnya kamu tahu apa yang terjadi"

"Aku melihat kamu berpelukan dan berciuman, itu yang membuat aku kabur karena cemburu" "Ia memeluk dan menciumku, kuakui aku memang sempat terangsang. Tetapi hanya sesaat, kemudian bayangan wajahmu muncul membuat aku sadar. Ketika aku menolak dan meronta melepaskan diri, ia memaksa, hendak memerkosaku, ia merobek kebaya dan celanaku, itulah kenapa aku menjerit, jeritan yang membuat kamukembali dan menolongku. Jika kamu tidak kembali, aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku."

Fajar menyingsing, Geni mendukung kekasihnya. Wulan memeluk makin erat Geni melangkah tak tahu ke mana arah tujuan. Hutan itu lebat Ia berhenti, menatap perempuan dalam pondongannya. Wulan membuka mata. "Geni, kalau letih, biar aku berjalan saja, kalau hanya berjalan aku masih kuat"

Berkata demikian, bukannya melonggarkan pelukan, Wulan malah lebih erat memeluk kekasihnya. Ia menciumi leher Geni.

"Kau tak perlu berjalan, biar aku mendukungmu sampai kita menemukan tempat berteduh." Tak pernah sebahagia itu, Geni melangkah terus. Ia keberatan melepas Wulan berjalan. Ia lebih suka memeluk menggendong kekasihnya. Wulan pun merasakan hal yang sama, ia tak mau turun dari dekapan lelaki yang dicintainya. Ia merasa aman terlindung dalam pelukan kekasihnya. Wulan membayangkan betapa perkasanya Geni ketika menolongnya dari perkosaan Lembu Agra. "Dia inilah lelaki yang akan menjadi pelindungku, aku tak akan mau berpisah lagi darinya," gumamnya dalam hati Ia berbisik lirih. "Geni, aku ngantuk, semalaman bercinta denganmu, aku kelelahan, apalagi tenagaku belum pulih, kamu juga letih?"

Geni menggeleng kepala. "Aku tak pernah letih bercinta denganmu. Malahan membuat aku lebih bersemangat dan kuat"

Pagi itu Geni terus mengayunkan langkah. Ia melangkah teratur, khawatir Wulan dalam pondongannya terbangun oleh guncangan. Geni memandang kekasihnya yang tidur lelap. Wulan tampak cantik diterangi matahari pagi. Geni merasa bahagia. Bagaimana tidak, separuh malam dia berdua Wulan menunggang seekor kuda. Selama itu dia memangku dan memeluk Wulan. Lantas di tengah malam, ia menggilmuli tubuh montok, menciumi kaki dan buah dada Wulan, dua bagian tubuh yang paling indah milik perempuan itu.

Malam itu ia tahu persis, ia tak mungkin mencintai perempuan lain. Hanya perempuan ini! Walang Wulan inilah yang paling ia maui. Ia merasa garis tangan dan nasibnya sudah ditentukan. Ia tahu hidupnya tak akan bahagia tanpa Wulan di sisinya.

Matahari siang sudah berada di titik paling tinggi. Geni melangkah terus, Wulan masih tertidur. Geni memandang keliling. Ia tak tahu berada di hutan bagian mana. Di kejauhan ia melihat bukit kecil. Ia membawa Wulan ke sana.

Pemandangan di sekitar indah. Bukit itu padat dengan pepohonan dan ilalang yang tinggi dan kasar. Tampaknya jarang dilewati manusia. Ia menemukan tempat persembunyian, sebuah goa kecil.

"Tempat ini bagus, Geni, kita nginap di sini saja." Rupanya Wulan sudah terjaga Ia meronta turun dari pondongan Geni. Wijahnya yang cantik tampak bersinar diterpa matahari siang yang agak terik. Geni terpesona memandang kecantikan tubuh perempuan di hadapannya. Wulan tersipu-sipu. Ia merunduk. Tiba-tiba ia menjerit. Seprei pembungkus tubuhnya terbuka.

Tubuh bagian atasnya telanjang, hanya celana sebatas lutut itu pun compang camping.

Tampak buah dadanya menyembul. Tangannya bergerak mendekap dada. Tetapi kemudian ia tertawa kecil ketika Geni memegang dan menurunkan tangannya. Geni memandang buah dada montok itu dan menggumam, "Sungguh indah, kamu sungguh cantik, Wulan." Tak tahan menahan keinginannya, Geni memeluk perempuan itu, mencium mulutnya. Keduanya berciuman lama. Wulan mendorong Geni, melepaskan diri. "Geni, goa itu harus dibersihkan dulu, supaya bisa dijadikan rumah kita, ayo kau bantu aku."

Wulan melangkah, namun Geni menahannya. "Biar aku yang bekerja, kamu duduk saja di situ."

Wulan duduk bersandar di pohon memerhatikan Geni yang bekerja cepat Goa itu kecil di bagian mulut, tetapi luas di dalam. Kotor dan bau busuk. Bekas tinggal binatang. Ia mengumpulkan rumput dan dahan kering, membakar mengasapi agar bau busuk itu hilang. Kemudian ia merancang tempat tidur dengan menumpuk ranting kecil, dedaunan dan rumput kering.

Ia menutup mulut goa dengan batu besar yang ditemukan tak jauh dari situ. Kemudian menumpuk daun dan ranting sehingga tak terlihat dari luar.

Geni mengajak Wulan masuk goa, membiarkan kekasihnya istirahat Hari sudah senja, ia cepat mencari daun obat dan binatang buruan. Namun ia tak berani terlalu jauh dari goa, khawatir ada binatang atau manusia mengganggu Wulan.

Sebab dengan keadaan tubuh yang belum pulih tenaga dalamnya, Wulan tak akan mampu bertarung.

Ia juga tidak terburu-buru mengobati Wulan. Semalam ketika bercumbu dengan kekasihnya ia memastikan Wulan hanya kena racun pelemas tulang yang ringan. Tanpa diobati pun tenaga Wulan akan pulih dalam beberapa hari. Jika dengan bantuan tenaga dalamnya mungkin tiga hari sudah pulih seluruhnya.

Tak lama kemudian Geni masuk goa. Wulan sedang memeriksa celananya yang robek. Samar-samar dalam cahaya matahari senja Geni terpesona akan kecantikan tubuhnya.

Wulan tertawa. "Jangan melotot memandangku, kamu kan sudah sering melihatnya. Kamu lihat Geni, kebaya dan celana ini sudah tak mungkin bisa kupakai lagi, sudah robek di banyak tempat. Kurang ajar si Lembu Agra," kata Wulan yang tidak berusaha menutupi tubuhnya yang bugil.

"Aku sudah lapar, biar kusiapkan makanan," Geni keluar. Ketika ia sedang memanggang ayam hutan, Wulan keluar menemuinya. Ia menggunakan kain seprei menutupi tubuh bagian atasnya. Ia duduk berhadapan dengan Geni, matanya memandang dengan jenaka. "Biar aku saja yang memanggang ayam, ini kan pekerjaan perempuan, supaya kamu bisa membuat ramuan obat"

Geni tak puas-puasnya memandang Wulan. Ia menyodorkan ayam tanpa mengalihkan mata dari kecantikan perempuan di hadapannya. Wulan memanggang ayam. Ia merunduk karena mengetahui Geni sedang menatapnya.

Setiap matanya bentrok dengan mata kekasihnya, ia merunduk dan berkata lirih, "Geni, kenapa kau memandangku terus seperti itu, kamu seperti ingin menelan aku."

"Kamu terlalu cantik untuk tidak kupandang. Sudah lama kita berpisah, hampir empat bulan lamanya."

"Kapan kamu akan mulai menyembuhkan aku?"

"Tak perlu tergesa-gesa, racun itu racun ringan. Aku akan membantilmu dengan tenaga dalam supaya lebih cepat sembuh." Setelah menyantap habis ayam panggang, Geni menyodorkan segenggam rumput yang siang tadi sudah ia kumpulkan. Kemudian ia mengajak Wulan masuk goa. Agar cepat sembuh, Geni melepas kain seprei yang menutupi tubuh bagian atas kekasihnya. Wulan bersila hanya mengenakan celana rombeng, tubuh atasnya bugil. Sesaat Geni terganggu pemandangan punggung kekasihnya yang mulus, tetapi dia kemudian memusatkan perhatian, dua tangannya menempel di punggung. Tenaga panas membanjir menerobos tubuh kekasihnya, kemudian ia mengurut punggung. Ketika Geni mengurut bagian pingang, Wulan merasa perutnya mual. Rasanya ingin muntah. Keringat mengucur keluar dari seluruh pori tubuhnya. Mendadak saja tenaga panas itu lenyap begitu saja. Wulan merasa seperti jatuh ke jurang yang dalam. Ia hendak menjerit tetapi belum sempat suaranya keluar, ada tenaga dingin merembes dari punggung masuk ke tubuhnya. Makin lama makin dingin. Tenaga itu kemudian berpencar merambah ke seluruh tubuh. Rasanya enak, tetapi makin lama makin dingin. Saat ia sudah tak tahan lagi, tenaga itu lenyap dan berganti tenaga panas. Demikian seterusnya, Wulan tak mengerti dari mana Geni memperoleh tenaga batin sedahsyat itu.

Saat pengobatan selesai, hari sudah malam. Di luar goa, gelap gulita. Wulan merasa tubuhnya segar. Ia mengerahkan tenaga dalam, ternyata tenaganya sudah pulih meski belum seluruhnya. Wulan kagum, tak disangkanya ilmu silat Geni maju begitu pesat hanya dalam waktu empat bulan perpisahan. Dilihatnya Geni memejam mata, semedi mengembalikan tenaganya yang cukup terkuras tadi.

Wulan memerhatikan wajah kekasihnya. Di balik brewok lebatnya terlihat raut wajah yang keras. Tampak lebih tegas dan lebih keras ckbanding saat pertama jumpa di air terjun. "Beberapa bulan berpisah telah membentuk dia semakin dewasa dan matang. Apa saja pengalaman lelaki ini setelah berpisah dulu, apakah ia merasa kehilangan seperti yang kurasakan?" gumamnya.

Hari-hari yang dilaluinya setelah perpisahan dengan Geni adalah saat-saat yang memeras perasaan dan pikiran. Dari hari ke hari ia tak bisa melupakan lelaki ini. Bayangan Geni tetap melekat di benaknya meski berulangkah' ia berupaya melupakan. Hari-hari itu ia masih tetap bimbang. Tak bisa memutuskan antara dua pilihan. Mengakui Geni sebagai keponakan murid dan melupakan cintanya. Atau mengingkari hubungan keponakan murid demi memperoleh cinta yang begitu diidamkan sejak dia masih gadis.

Dalam keadaan bimbang itu ia berjumpa Lembu Agra, kakak perguruannya. Ia memang merindukan Agra, karena sejak masih sama-sama menuntut ilmu silat di Lemah Tulis, Agra sudah menyatakan cinta dan bercinta dengannya.

Bahkan melamarnya menjadi isteri. Tetapi ia selalu menunda dan belum bisa menerima cinta Agra. Entah mengapa setiap Agra mencium mulurnya, meraba bagian tubuhnya, bercinta dengannya, ia merasa sesuatu yang asing. Ada sesuatu dalam diri Agra yang tak disukainya, yang sulit ia mengerti, membuat seperti ada jarak antara dia dengan Agra. Ia tak tahu.

Mungkin semacam firasat terselubung dan penuh misteri. Belakangan ia tahu, perasaannya terhadap Lembu Agra hanya kasihan, bukannya cinta.

Geni membuka mata, memandang Wulan yang sedang melamun. "Wulan, kamu sudah sembuh, tetapi belum pulih seluruhnya, mungkin empat atau lima kali pengobatan dengan tenaga dalam, tenagamu akan pulih."

"Bagus, Geni. Paling tidak jika tenagaku sudah pulih, aku merasa lebih percaya diri, tak ada orang bisa sembarangan menghinaku."

"Wulan, ada sesuatu yang ingin kutanyakan, apakah dia benar Lembu Agra, kakak perguruanmu dan adik perguruan ayahku?"

"Maksudmu dia palsu? Tidak. Tak mungkin dia palsu. Aku kenal betul. Dia Lembu Agra!"

"Tunggu! Ketika bertarung denganku, kamu menyaksikan sendiri ia begitu perkasa dan memiliki pukulan ganas. Tenaga dalamnya juga sangat besar. Padahal menurut ceritamu dulu, ia cacat, dia tak bisa mengerahkan tenaga dalamnya secara maksimal. Ia cuma bisa kerahkan separuh kekuatannya. Tetapi malam itu, aku rasa Agra sehat, bahkan tenaga dalamnya jauh lebih besar dari tenagamu yang sebenarnya."

"Memang benar, cacat luka dalam itu diperolehnya sebelum kejadian Lemah Tulis dibumihanguskan. Menurut ceritanya dia kena pukulan dingin Kalayawana. Tetapi kau benar Geni, malam itu ia sangat perkasa, tak ada tanda bahwa ia cacat Mungkin ia menemukan keajaiban yang membuatnya sembuh. Ketika ia mengusir para penjahat, kemudian membawaku ke rumah Demung Pragola, ia mengaku cacatnya belum sembuh."

"Aku rasa dia bukan Lembu Agra yang sebenarnya." "Tak mungkin Geni, aku yakin dia Lembu Agra yang asli,

tak mungkin keliru sebab ia bisa menceritakan pengalamannya

di masa lalu, ketika kami masih sama-sama belajar di Lemah Tulis."

Geni menghirup nafas panjang kemudian menghembus perlahan, ia merasa gundah. Tetapi ia harus menceritakan pertemuan partai Turangga di hutan di luar desa Ngadas itu. Bagaimana secara kebetulan ia membuntuti Lembu Agra yang ternyata punya nama lain Ki Jaranan yang juga ketua partai Turangga dan rencana partai Turangga yang berniat membunuh Padeksa dan Gajah Watu serta menghancurkan Lemah Tulis sampai ludas dari muka bumi

Wulan menatap Geni dengan mimik penuh teka teki. Ia hampir tak percaya apa yang didengarnya. "Geni, kamu sungguh-sungguh? Tidak main asal tuduh?"

Geni merasa tidak nyaman. "Kebenaran harus diungkap betapapun pahitnya. Aku tidak main-main, aku menceritakan sesuatu yang benar. Kau ingat jurus yang dimainkan Lembu Agra ketika tarung dengan aku? Coba ingat-ingat dan katakan jurus apa itu, apakah itu jurus Lemah Tulis?"

Wulan membayang ulang pertarungan di kamar pengantin itu. Ia yakin jurus itu memang bukan jurus Lemah Tulis. Bahkan ia sempat mencium kesiuran angin berbau bacin. Jurus itu cenderung dari golongan kaum sesat. Wulan memandang Geni, menggeleng kepalanya, "Itu bukan jurus Lemah Tulis."

"Kamu perlu tahu, itulah jurus Pitu Sopakara ilmu andalan partai Turangga."

Wulan makin heran. Ia tahu ilmu silat Geni kini sudah maju pesat bahkan sudah melewati kemampuan dirinya Diam-diam ia bangga pada Wisang Geni. Tetapi baru sekarang ia tahu bahwa Lembu Agra sudah mewarisi ilmu dahsyat Pitu Sopakara. Ia sendiri belum pernah melihat ilmu sesat itu karena konon sudah puluhan tahun hilang dari dunia kependekaran. "Geni, ilmu dahsyat itu sudah lama hilang, bagaimana kau bisa mengenal bahwa itu Pitu Sopakara?"

"Di pertemuan itu aku mendengar ia menyebut ilmu itu sebagai warisan leluhurnya para pendiri perguruan Turangga. Wulan, di belakang hari kamu akan mengetahui apakah aku berbohong untuk menjelekkan lelaki itu atau memang berkata benar."

Wulan tertawa. Ia merasa lucu melihat wajah Geni yang cemberut. Tapi Geni justru lebih tersinggung, mengira Wulan menertawakan. "Wulan, aku ini lelaki sejati, aku tidak akan mau menjelekkan lelaki lain dengan tujuan supaya kau tidak menyukai lelaki itu dan agar..."

Wulan memotong perkataan Geni. "Kamu jangan salah sangka Geni, aku tidak bermaksud demikian. Aku percaya padamu. Kamu mau buktinya? Kemarin malam itu buktinya. Apakah kau tidak melihat waktu bercinta, bagaimana aku melepas rinduku padamu." Selesai berkata, Wulan membalik tubuhnya. Ia menghadap dinding goa, membelakangi Geni.

"Wulan, maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu." Geni mendekat dan memeluk kekasihnya dari belakang, menciumi lehernya Wulan berkata lirih. "Aku tidak meragukan ceritamu, aku ingin tahu lebih jelas. Sejak dulu Agra sudah mencintaiku, tetapi aku tak pernah mencintainya, apalagi sekarang setelah ia mau memperkosa aku, aku tak akan pernah memaafkan dia"

Geni membelai rambut kekasihnya "Seharusnya aku yakin kau mempercayai aku. Tetapi terus terang saja, setiap mendengar kau menyebut namanya, aku merasa cemburu."

Geni tak melihat wajah Wulan yang berseri mendengar pengakuan cemburu itu. Perempuan itu gembira, itu tanda Geni sangat mencintainya. "Geni, ceritakan bagaimana kamu bisa sampai di rumah itu dan datang tepat waktu menolong aku."

"Semua serba kebetulan. Di pesta gunung Lejar, aku melihat kamu bergandengan dengannya Aku sempat memanggil namamu, tetapi kau tak mengenalku, mungkin mengira aku pengemis."

Wulan membalik tubuh, memandang Geni. "Aku ingat waktu itu ada seseorang memanggil namaku, nama Sari, kaukah itu?"

Geni mengangguk. "Aku cemburu dan sakit hati, itu sebab wajah lelaki itu kuingat terus. Kemarin ketika aku berpapasan dengannya di jalanan, seketika aku mengenalnya Aku membuntutinya dengan harapan barangkah dia tahu climana kamu berada Ternyata akhirnya aku menemukanmu."

Wulan memandang dengan berbagai perasaan dalam sanubarinya. Ada rasa haru tapi ada juga geli. "Kuperhatikan selama ini, kamu tak pernah memanggil Lembu Agra dengan panggilan paman, bukankah dia adik seperguruan ayah ibilmu?"

Geni memandang lekat perempuan di hadapannya. "Aku tak akan pernah memanggil paman kepada seseorang yang punya niat buruk membunuh guru Padeksa dan paman Gajah Watu." Wulan tertawa menggoda. "Kamu salah, bagaimanapun juga kau harus memanggilnya paman perguruan."

"Lalu setelah itu aku harus memanggilmu bibi, bukan?" "Kenapa kamu takut memanggilku bibi, aku kan sudah

milikmu, apakah kau takut kehilangan aku?" Geni mengangguk.

"Kamu tak perlu khawatir Geni, aku mencintaimu, aku tak akan pernah mencintai lelaki lain selain dirimu. Kalau tak bisa menjadi isterimu, aku tak akan pernah mau menjadi isteri lelaki lain."

Geni menatap mata kekasihnya. Sepasang mata indah yang memancarkan sinar ketulusan cinta. Wulan telah memperlihatkan cintanya dalam bercinta kemarin malam, namun baru saat ini ia mendengar langsung dari mulurnya.

Geni bahagia. Malam gelap di goa, namun ia bisa melihat sinar mata yang gemerlap di mata Wulan. Ia memeluk dan menciumnya. Wulan mengimbanginya. Tangan Geni mengelus dan meraba. Jemari Wulan mengelus lembut. "Geni aku ingin mendengar kau memanggilku bibi, ucapkan kata-kata bibi, aku ingin mendengarnya, kekasihku."

"Kau aneh."

"Aku ingin mendengarnya."

Geni berbisik, "Bibi, aku mencintaimu, aku mencintaimu bibi."

"Aku bahagia. Aku mau setiap bercinta, kau memanggilku bibi, bibi guru, supaya ketakutan menjadi bibi guru itu bisa lenyap dari benakku."

"Baiklah. Aku laksanakan perintahmu, bibiku yang cantik dan montok."

Keduanya bergilmul Dua insan itu sangat bernafsu. Mencumbu, merayu, dengan cara lembut dan kasar. Mengarungi lautan cinta dan birahi, keduanya terdampar. Kelelahan. Wulan tertawa. "Aku senang mendengar panggilan bibi itu, coba ulangi lagi, sayangku."

Geni tertawa. "Bibiku, bibi aku mencintaimu." "Bibimu ini lebih tua usianya dari kamu," katanya.

"Aku tak peduli. Lagi pula kamu masih seperti gadis belasan tahun, Cantik, montok dan segar."

Wulan cekikikan. "Hanya beberapa bulan berpisah, kamu sudah pandai merayu, pandai bicara, hayo mengaku dari mana kamu belajar jurus rayuan itu."

"Aku belajar dari kera-kera di lembah kera."

Wulan tersenyum mendengar gurauan itu, lantas ia teringat jurus Geni yang aneh ketika bertarung lawan Lembu Agra. "Geni waktu bertarung lawan Lembu Agra, kau menggunakan jurus Bang bang Alum-alum dan Garudamukha tetapi hawa pukulanmu panas lalu sesaat kemudian berubah dingin, tadi mengobati aku, tenagamu juga panas lalu bisa dingin. Tenaga dalammu itu pasti bukan ajaran Lemah Tulis."

"Cintaku padamu tulus dan sangat besar sehingga aku mendapat pertolongan, keajaiban. Dari seorang yang sekarat hampir mati berubah menjadi pendekar dengan tenaga dalam Wiwaha yang dahsyat kekuatannya."

Geni menutur pengalamannya sejak berpisah dengan Wulan. Hanya bagian ia bercinta dengan Sekar, ia sembunyikan. Ia hanya menceritakan bertemu Sekar yang membawanya berobat ke Dewi Obat di Lembah Cemara. Sesaat ia terdiam, teringat Sekar, tubuh gadis itu begitu indah dan permainan cintanya yang begitu merangsang di Lembah Cemara masih terbayang di matanya. Mata Geni yang berbinar-binar tidak luput dari penglihatan Wulan meski gelap malam menyelimuti goa.

"Kamu melamun, Geni, kamu ingat Sekar, iya kan?" Geni terkejut. Ia gugup, mencoba melanjutkan cerita namun lupa sampai di bagian mana. "Tidak, tidak, aku hanya lupa sampai di mana ceritaku tadi"

Wulan tertawa, mengingatkannya, "Kamu keluar dari Lembah Cemara, menuju ke mana?"

Geni melanjutkan cerita. Agak rikuh, sebab Wulan memeluk sambil mengusap dadanya. Wulan mendengar dengan setia, terkadang ia bertanya. Ketika Geni menyelesaikan cerita, Wulan mencium kekasihnya. Pengalaman Geni sangat dramatis. Ia terharu dan bangga. "Kamu menjadi murid Lemah Tulis paling berjasa karena telah menemukan jurus pusaka Garudamukha Prasidha. Sungguh luar biasa pengalamanmu."

Geni melihat sepasang matakekasihnya berkaca-kaca. Ia meraba, mata itu basah. "Kamu menangis."

Wulan menengadah, mencium wajah kekasihnya "Kau sangat menderita, gara-gara aku, gara-gara bibimu yang bodoh ini."

Geni mengelus buah dada Wulan. "Tidak, kau tidak bersalah, memang jalan hidupku harus demikian supaya aku menemukan ilmu silat yang lebih tinggi dari kamu."

Wulan menggoda, "Kamu yakin ilmu silatmu lebih tangguh dari aku?"

"Sudah tentu, supaya aku bisa mengendalikan isteriku." Mendadak Wulan bertanya, "Geni, tentang gadis bernama

Sekar itu, kau pasti sudah bercinta dengannya, menidurinya,

berulang kali dan sangat mengesankan, jangan bohong padaku!"

Bagai disambar halilintar, saking terkejutnya. Geni merasa bumi yang dipijaknya terbalik, langit-langit goa runtuh. Dunia kiamat! "Bagaimana dia bisa tahu!" gumamnya dalam hati. Sebelah kaki Wulan melingkar ke pinggang Geni. "Ayo ceritakan, aku ingin mendengarnya, hebat enggak Sekar, kekasihmu itu?"

Geni merasa gugup, tak sanggup bicara.

Perempuan itu mendadak membalik tubuh menindih tubuh Geni. "Aku tidak marah. Aku mencintaimu, tetap mencintaimu, jika kau pernah bercinta dengan Sekar, atau mungkin gadis lain, aku tidak marah. Selama kamu masih mencintaiku, masih kasmaran dengan Walang Wulan, aku tetap setia di sisimu.

Jika kamu sudah bosan padaku dan tidak lagi mencintaiku, barulah aku pergi."

Ia masih bingung. Ia seperti tak percaya apa yang didengarnya. "Kamu tidak marah, Wulan?"

Wulan mencium lelaki itu. "Geni, ceritakan saja, aku hanya ingin mendengar ceritamu, apakah dia cantik? Tentu dia masih muda dan perawan, iya?"

'Wulan, kamu keliru. Dia memang cantik tetapi wajahnya penuh dengan bintik bekas cacar, tetapi mungkin sekarang ini sudah sembuh. Tetapi Wulan, kamu tak boleh meninggalkan aku lagi."

Wulan menggeleng kepala, "Tidak, aku tak mau berpisah denganmu lagi."

Agak canggung ia menceritakan pengalaman dengan Sekar sejak tarung dan dilukai Kalayawana serta dua pendekar India itu sampai harus berobat di Lembah Cemara. "Aku bercinta dengan Sekar, berulang-ulang, ia sangat mencintaiku, aku pun mencintainya. Tapi aku juga mencintaimu Wulan. Cintaku padamu tak pernah berubah meskipun aku juga mencintai Sekar."

Wulan merapat dan memeluk kekasihnya. "Geni, jika kita hanya berdua dan sedang bercinta, kamu panggil aku dengan sebutan bibi, itu membuat aku lebih terangsang. Dan lebih menikmati."

Geni heran, namun tak mau berpikir panjang, karena Wulan masih menindih tubuhnya. Geni merasakan rangsangan birahi membuat jalan darahnya merambah kencang. "Bibi, aku mencintaimu bibi."

Keduanya bergelut, bergilmul, bercinta, memburu kenikmatan dan kebahagiaan. Fajar menyingsing keduanya tidur berpelukan, lelap.

Matahari pagi sudah tinggi ketika keduanya terbangun. Geni berburu mencari makanan. Wulan memanggang anak kambing hutan. Geni menceritakan pengalamannya berjumpa Gajah Watu dan Waning Hyun serta dua pangeran keraton.

"Jadi paman Gajah Watu sudah muncul di dunia kependekaran. Dan Lembu Agra sedang menyusun rencana jahat akan membunuh dua sesepuh perguruan. Geni, kita harus cepat mencari mereka."

"Mencari ke mana? Lagipula, sekarang ini yang paling penting menyembuhkan racunmu dulu, setelah itu baru kita pergi mencari dua sesepuh itu sekalian menuju Mahameru, aku pikir guru dan paman Gajah Watu juga bakal hadir di Mahameru."

Hari ketiga di goa. Wulan gembira, karena tenaganya sudah pulih seperti sediakala. Keduanya berlatih tarung. Geni mengajari Wulan jurus Garudamukha Prasidha. Keduanya masih tinggal di goa itu beberapa hari lagi. Dari pagi sampai sore berlatih silat, malam hari bercinta memadu kasih asmara.

Dalam beberapa hari itu Wulan telah menguasai Garudamukha Prasidha. Seperti pengalaman sebelumnya, kalimat misterius Parahwanta Angentasana Dukharnaiva tetap tidak terpecahkan. Wulan pun tak bisa menembus misteri kalimat itu. Meskipun demikian, Wulan telah mencatat kemajuan pesat dalam penguasaan jurus pusaka Prasidha itu. "Kau hanya perlu berlatih melancarkan jurus dan memadukan dengan pikiran sampai suatu saat jurus itu bisa kau mainkan cepat dan lancar berdasarkan naluri."

Hari kesepuluh, keduanya meninggalkan goa. "Kita harus mencari desa, membeli kebaya untuk aku, pakaianmu dan pisau tajam untuk mencukur jenggot, kumis dan berewokmu."

Malam hari keduanya tiba di sebuah desa. Mencuri uang di rumah orang kaya, esoknya membeli pakaian. Dalam perjalanan menuju Mahameru, Wulan mencukur jenggot dan brewok kekasihnya.

Hari itu, tengah bulan Srawana, limabelas hari sebelum pertemuan Mahameru yang akan berlangsung pada hari pertama bulan Bhadrapada. Sepasang kekasih itu tiba di hutan pinggiran kali Beji di kaki pegunungan Tengger. Melihat air sungai yang jernih dan udara yang sejuk, keduanya memutuskan untuk istirahat beberapa hari. Geni berkeliling. la menemukan sebuah goa kecil. Keduanya bekerja membersihkan goa untuk tempat tinggal sementara. Senja hari mereka berenang di sungai, teringat perkenalan pertama di air terjun gunung Arjuno. Mereka bercengkerama memadu cinta.

Malam hari keduanya duduk menghadap api unggun.

Wulan dengan rambutnya yang basah, tampak cantik berseri. Ia bersandar di pundak Geni. "Kau masih ingat, dulu aku pernah menceritakan dua lelaki pernah menjadi kekasihku, tapi kau tak menanyakan siapa dan bagaimana perasaanku pada mereka?"

"Aku ingin bertanya, tetapi takut kamu tersinggung atau salah faham. Kupikir, aku tak perlu tahu masa lalilmu, yang penting aku tahu sekarang kau mencintaiku, itu sudah sangat berarti bagiku."

"Aku perlu menjelaskan ini padamu, karena kamu harus tahu, karena kamu akan menjadi satu-satunya suamiku dan supaya kamu membantu aku mengatasi masalah ini. Ada dua lelaki yang pernah meniduriku. Yang pertama adalah Gajah Watu, dia yang menikmati perawanku. Yang kedua, kamu sudah tahu dia, Lembu Agra."

Geni terkejut. "Apa? Gajah Watu? Paman Gajah Watu?"

Wulan menghela nafas. "Ini memang sangat rahasia, tetapi aku harus jujur padamu, cerita tentang paman Gajah Watu cukup panjang." Wulan menangis. Geni memeluk, memegang dagu dan menengadahkan wajah Wulan. Ia mengecup air mata kekasihnya, kemudian mengecup mulurnya. "Tak usah kau ceritakan aku juga tak peduli, aku tetap mencintaimu."

"Aku percaya akan cintamu. Tetapi harus kukeluarkan isi hati ini supaya aku bebas dari pikiran yang memberatkan ini."

Ketua Lemah Tulis, Bergawa, mempunyai tiga adik perguruan, Branjangan, Padeksa dan Gajah Watu. Sebagai ketua dan yang memiliki ilmu silat paling mumpuni, Bergawa punya tujuh murid, Gubar Baleman, Ranggaseta, Gajah Kuning, Kebo Jawa, Sukesih, Lembu Agra dan Walang Wulan

Di antara tujuh muridnya, Bergawa sangat menyayangi si bungsu Wulan. Itu sebab ia sering memerintahkan tiga adiknya membantu melatih Wulan. Tanpa disadari Gajah Watu, yang usianya hanya terpaut sepuluh tahun lebih tua dari Walang Wulan, jatuh cinta pada gadis remaja yang waktu itu berusia enambelas tahun. Suatu ketika, Gajah Watu mengajak Wulan turun gunung mencari pengalaman. Dalam petualangannya, Gajah Watu meniduri dan merenggut perawan keponakan muridnya. Wulan tak berdaya malahan lama-lama menyukainya. Selama tiga bulan perjalanan itu, Gajah Watu memuaskan cliri meniduri Wulan.

Teringat pengalaman itu Wulan menangis. "Ia tidak memerkosaku, tetapi ia merayuku, membuat aku lupa, membuat aku ketagihan. Dia lelaki pertama yang menggauli tubuhku. Lambat laun aku tahu bahwa Gajah Watu, paman guruku itu, hanya butuh tubuhku, butuh melampiaskan birahinya, ia tidak mencintaiku. Pada suatu hari, aku lari dan kembali ke Lemah Tulis. Aku merahasiakan aib ini, tetapi guru Bergawa sangat arif. Tak seorang pun bisa membohongi guru. Entah bagaimana caranya, guru mengetahui rahasia ini."

Ketika Gajah Watu kembali ke perguruan, Bergawa memanggilnya masuk kamar rahasia. Bergawa marah besar, menampar, menendang Gajah Watu lalu mengusirnya pergi dari perguruan. Tak seorang pun yang mengetahui ini. Ketika hendak pergi dari Lemah Tulis, Gajah Watu mendatangi Wulan. Ia minta maaf pada Wulan. Sejak hari itu Wulan melupakan Gajah Watu. Dan rahasia itu hanya diketahui Wulan, Bergawa dan Gajah Watu. Setelah kejadian dengan Gajah Watu, Wulan jatuh dalam pelukan Lembu Agra, kakak seperguruannya. Namun hubungan tidak bisa lama, karena Lemah Tulis akhirnya hancur lebur. Beberapa tahun mengembara, Wulan sampai di suatu tempat di mana dia menolong seorang tua yang sedang sakit. Orangtua itu, ternyata pendeta Panawijen, membalas budi dengan mengajarinya Karma Amamadang ilmu melatih tenaga dalam yang bisa membuat seorang wanita menjadi cantik berseri, bercahaya dan awet muda.

"Mengapa kau ceritakan padaku, Wulan?"

"Aku ingin jujur padamu, sehingga jika nanti kita jumpa paman Gajah Watu, kamu bisa membantu aku mengatasi rasa benciku padanya." Wulan memeluk erat kekasihnya. "Geni, bagaimanapun masa laluku, aku mohon jangan tinggalkan aku. Begitu kamu tinggalkan aku, saat itu juga aku mati."

"Tidak, aku tak akan pernah meninggalkan kamu lagi, kita berdua akan selalu bersama, selamanya."

"Benar?"

"Iya benar, aku bersumpah demi orangtuaku yang sudah mati." Wulan melanjutkan ceritanya. Setelah peristiwa itu Wulan sangat pendiam. Ia sangat terpukul Pada saat itu Lembu Agra yang sudah lama menaruh hati pada adik perguruannya, menyatakan cinta. Lembu Agra berhasil mencairkan kebekuan hati Wulan. Bujuk rayu Agra membuat Wulan membalas cinta bahkan mau diajak bercinta. Agra menidurinya. Wulan terkejut mendapatkan Agra beringas seperti binatang. ternyata tidak hanya sekali, tetapi dalam setiap bercinta Agra berlaku kasar bahkan seperu memerkosa. Wulan mulai menghindari pertemuan. Ia sering ikut Sukesih dan Gajah Kuning berkelana.

"Agra melamar aku, menyatakan cintanya padaku, tetapi aku tak bisa menerimanya. Ketika Lemah Tulis porak poranda, guru Bergawa menyuruh aku dan Agra kabur agar ilmu Lemah Tulis tidak punah. Aku berpencar. Akhirnya aku bertualang sendiri. Satu tahun aku belajar dari guru pendeta Panawijen, kemudian turun gunung aku jumpa Lembu Agra. Aku berjalan bersamanya beberapa hari, kami bercinta, hanya beberapa hari kemudian kami berpisah. Aku masih berjumpa Gajah Watu, aku luluh oleh bujuk rayu, dua tahun aku hidup bersamanya. Namun sekali lagi dia memperlihatkan wataknya, bahwa dia hanya membutuhkan tubuhku. Dia menghinaku, aku pergi. Aku bersumpah tak akan mau ketemu Gajah Watu lagi."

Wulan memeluk kekasihnya dan berbisik di telinganya. "Kamu bosan mendengar ceritaku?"

Geni menggeleng kepala, "Teruskan ceritamu, supaya semua kekesalan itu kau buang keluar."

Wulan melanjutkan. "Pertemuan terakhir dengan Agra di bukit Lejar dan beberapa hari hidup berdua dengannya, adalah perbuatanku yang paling bodoh. Aku ingin melupakanmu, mengganti kamu dengan kehadirannya. Waktu ia merayuku, aku memutuskan menjadi isterinya. Namun aku tak bisa menggantikan dirimu, aku tetap mencintaimu Aku bahkan tak bisa bercinta dengannya. Beberapa hari kemudian aku tetapkan keputusan berpisah dengannya. Aku kabur dan bertekad mencarimu. Beberapa hari lalu, ia menolong aku dari penjahat yang telah membius aku. Sejak itu, beberapa malam ia merayuku tetapi aku menolak halus. Aku mencari jalan meloloskan diri. Aku tak mau memancing kemarahannya sebab ada tanda-tanda dia hendak memerkosaku. Tetapi malam itu ia tak bisa dikendalikan lagi, ia pasti akan memerkosaku. Sebenarnya tak begitu menjadi masalah karena sebelum itu pun ia pernah dan sering meniduriku, tetapi sejak mengetahui besarnya cintaku padamu Geni, aku tak bisa menerimanya lagi, aku merasa jijik. Itu sebab malam itu ia akan memerkosaku, jika kamu tidak datang tepat saatnya, aku sudah nekat bunuh diri"

Wulan menangis. Geni memeluk kekasihnya. "Sudah kau tumpahkan seluruh isi hatimu?"

Wulan mengangguk. "Setelah kuceritakan semua ini, apakah kamu masih mau mencintaiku, Geni?"

geni masih memeluk kekasihnya. "Tidak ada perubahan apapun, aku tetap mencintaimu, malah sekarang aku semakin mencintaimu setelah begitu panjang penderitaan yang kau alami."

----ooo0dw0ooo-

Tiga hari di penghujung bulan Srawana sepasang kekasih itu tiba di desa Tumpang. Siang itu banyak orang lalu lalang di alun-alun desa. Sebagian besar adalah para pendekar, tampak dari dandanan yang singsat dan senjata bawaannya.

Dipastikan mereka singgah dalam perjalanan ke Mahameru. Dari desa Tumpang, jarak ke perguruan Mahameru bisa ditempuh satu hari perjalanan cepat. Jika santai diperkirakan dua atau tiga hari.

Saking banyaknya para pendatang yang mengunjungi desa itu, tidak heran jika semua kamar penginapan sudah terisi.

Walang Wulan dan Wisang Geni beruntung mendapat satu kamar yang hanya berisi satu dipan. Kamarnya sempit, dipan juga kecil. Tetapi lebih nyaman ketimbang bermalam di hutan. "Dua hari tinggal di sini, ditambah dua hari perjalanan ke Mahameru maka kita akan tiba tepat pada hari pertemuan itu berlangsung," kata Geni.

Keduanya makan malam di warung dekat alun-alun. Alun- alun itu pusat keramaian di mana banyak orang berjualan.

Mereka berjalan di antara keramaian. Sekonyong-konyong Geni menarik tangan Wulan dan menyusup di dalam kerilmunan orang.

Wulan heran, "Kenapa? Ada apa?"

Geni berbisik lirih. "Aku melihat Lembu Agra bersama temannya, tak tahu berapa jumlahnya. Aku rasa tujuan mereka juga ke Mahameru."

Wulan berbisik, "Lebih baik kita menghindari mereka, kita kembali ke penginapan saja."

Keduanya mengambil jalan lain menuju penginapan.

Langsung masuk kamar. Wulan mengeluarkan bungkusan kue yang tadi ia beli.

Geni berbaring di dipan. Wulan membawa kue, menyuapi kekasihnya.

"Dipan ini sempit untuk kita berdua, kau tidur di atas, biar aku di lantai," kata Wulan sambil mengejapkan mata. Geni meraih tubuh kekasihnya, "Aku tak mau tidur pisah dari kamu, kita berdua berhimpit supaya hangat. Cuma kuharap dipan ini tidak patah atau ambruk." Ia mencium mulut kekasihnya, tangannya merambah ke bagian dalam kebaya.

Wulan menyembunyikan wajah di dada Geni, "Kau selalu berhasrat meniduri aku, kau menyukainya?"

"Ya tentu saja, aku tak pernah puas, aku ingin selalu memelukmu dan bercinta denganmu."

"Apakah kau juga punya keinginan yang sama terhadap wanita yang kau jumpai, misalnya Sekar?"

"Kenapa menanyakan Sekar pada saat seperti ini, kau cemburu?"

"Sedikit cemburu," Wulan mencium leher kekasihnya. "Aku mau kamu jadikan isteri, isteri utama. Aku tak mau kamu tinggal pergi. Aku mau tetap di sisimu, sampai kapan pun."

Geni menciumi wajah kekasihnya. "Sekarang ini, bahkan sejak hari-hari kemarin, kamu sudah jadi isteriku. Dan tentu saja aku tak akan pergi meninggalkanmu."

"Bagaimana dengan Sekar?"

"Sekar? Ia sudah kuberitahu bahwa ada seorang perempuan yang paling kucinta, namanya Wulan"

"Lantas apa tanggapannya?"

"Ia menerima kenyataan ini, bahwa aku lebih mendahulukan Wulan, bibi dan isteriku yang montok."

"Di depanku kau bicara begitu, di depan Sekar mungkin kamu bicara sebaliknya."

"Aku akan katakan ini, mengulanginya di hadapan kalian berdua, biar semuanya jelas."

"Tetapi Geni, usiaku lebih tua dari kamu." "Aku tak peduli. Sudah berkali-kali kukatakan aku tak peduli akan usiamu."

Wulan mulai terangsang. Ia menciumi tubuh Geni. Sambil melucuti pakaian Wulan, Geni berbisik di telinga.

"Wulan, aku heran, kau mengatakan lebih tua dari aku, dan kamu sepuluh tahun lebih muda dari paman Gajah Watu, tetapi bagaimana mungkin kamu masih tampak seperti gadis remaja, tubuhmu sekal, montok dan segar. Sungguh semua orang pasti mengira usiamu masih dua puluh tahun "

Perempuan ini senang mendengar pujian dari orang yang ia cintai. Ia memeluk Geni, "Belasan tahun lalu, dalam pengembaraanku seorang diri, aku kebetulan berjumpa pendeta tua dari desa Panawijen. Ia sakit parah. Aku menolong merawatnya. Ketika sembuh ia memberiku hadiah ilmu tenaga dalam Karma Amamadangi. Konon menurutnya ilmu itu hanya ia sendiri yang memilikinya, dan sudah mewariskan kepada cucunya, Ken Dedes. Jadi aku adalah perempuan kedua yang menerima warisan ilmu dahsyat itu.

Saat itu aku tak punya tujuan hidup, perguruanku luluh lantak, guru dan kerabatku mati semua, aku benci setiap mengingat Gajah Watu, aku tak mau ketemu Lembu Agra. Dan karena guruku itu tinggal sendiri, maka aku menemaninya. Satu tahun aku berlaku sebagai anak pungut berlatih tenaga dalam Karma Amamadangi. Setelah satu tahun dan rampung melatih ilmu itu, aku turun gunung."

"Karma Amamadangi, semacam ilmu tenaga dalam?" "Ilmu ini bisa membuat perempuan awet muda. Latihan

ditekankan pada pengendalian pikiran dan pengendalian hawa nafsu. Dalam segala urusan harus bisa mengendalikan diri, tidak marah, tidak sedih meskipun keadaan memaksa kita untuk marah dan bersedih. Dalam urusan cinta kita harus bisa mengendalikan diri dengan demikian bisa menikmati seni bercinta, tidak asal mengumbar nafsu saja." Geni teringat ketika ia membantu mengobati Wulan dengan tenaga dalamnya Ia menemukan adanya gumpalan hawa dalam tubuh kekasihnya yang sering berpindah-pindah seperti bola. Gumpalan itu tak bisa dihancurkan, selalu melejit lari jika dibentur tenaga Geni. Ia menceritakan dan Wulan mengiyakan bahwa itulah hasil latihan Karma Amamadangi.

"Kata guru pendeta, Karma Amamadangi bisa menghasilkan tenaga dalam ampuh apabila gumpalan itu bisa digempur menyebar ke seluruh jalan darah. Tapi bagaimana caranya, ia tak menjelaskan dan aku amat bodoh karena tak bertanya Tetapi ia mengatakan, jika gumpalan itu pecah, khasiat awet muda itu akan lenyap dan sebagai gantinya memperoleh tenaga dalam mumpuni. Terus terang aku lebih suka tetap awet muda supaya bisa melayanimu selamanya Supaya tubuhku ini selalu merangsang birahimu."

Geni termenung. "Dalam dunia kependekaran memang banyak keanehan yang tak terpecahkan, bahkan oleh orang yang paling pandai pun. Aku yakin pendeta Panawijen itu tak tahu cara menghancurkan gumpalan itu, jika tahu mungkin sudah mengajarkannya kepadamu. Misteri itu hampir sama dengan pengalamanku, lihat saja kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa juga tak terpecahkan."

"Aku tak mau kehilangan gumpalan itu, nanti aku cepat keriput dan kamu akan pergi meninggalkan aku mencari gadis yang lebih muda dan segar."

Geni menyusup kepalanya ke dada kekasihnya dan menggumam lirih. "Ilmu itu hebat. Pantas kamu membuat aku kasmaran setiap terbayang tubuhmu"

Wulan berbisik di telinga kekasihnya "Katakan dengan jujur, aku mau kamu jujur, apakah Sekar selalu memberimu kenikmatan asmara lebih istimewa dari yang kuberikan?"

Ia meneruskan menelusuri bagian kaki Wulan, menciumi tumit, telapak, betis dan paha sambil berkata lirih. "Kamu hebat bibi, tapi Sekar juga tak kalah hebat. Kalian berdua membuat aku mabuk, dan aku bisa mabuk sepanjang hari, tak pernah bosan."

Ciuman itu dan bisikan "bibi" itu membuat Wulan merasakan api birahinya tak terbendung lagi. "Geni suatu saat nanti orang akan tahu hubungan cinta kita, paman Padeksa juga paman Gajah Watu, tak mungkin kita bersembunyi selama-lamanya," Wulan berbisik.

Geni menggumam di antara nafasnyayang panas memburu. "Aku akan minta restu guru Padeksa, dan ilmumkan bahwa kamu sudah menjadi isteriku. Aku pura-pura tidak tahu rahasiamu dengan Gajah Watu, dan akan minta restunya juga. Kamu isteriku dan aku suamimu"

Dua hari berlalu. Kamar itu menjadi saksi bisu bagaimana dua insan itu bercinta dengan gairah birahi yang begitu mempesona. Hari itu, pagi-pagi sekak sepasang kekasih itu berangkat menuju Mahameru, santai dan tidak bergegas.

Sepanjang perjalanan keduanya hanya membicarakan cinta dan ilmu silat. Wulan makin menguasai jurus pusaka Garudamukha Prasidha, ilmu silatnya maju pesat.

Hari masih siang ketika mereka tiba di hutan yang menjadi batas desa Wajak. Dari jauh tampak gunung Mahameru menjulang tinggi menembus awan seperti menopang langit. Dari desa Wajak diperlukan dua hari perjalanan kaki untuk sampai di lereng gunung Mahameru yang menjadi markas perguruan Mahameru

Di jalanan setapak menuju desa, Geni melihat pemandangan yang membuat hatinya gembira. Dari jauh tampak dua orang sedang berjalan. Geni mengenali. Orang itu jangkung, bahunya lebar dengan rambut digulung di atas kepala. Tidak bisa mengendalikan diri lagi, Geni berteriak, "Guru " Dua orang itu menoleh ke belakang. Ia tak salah. Orang itu memang guru Padeksa. Tetapi Geni merasa seperti disambar petir mengenali lelaki di samping Padeksa. Dia, Lembu Agra.

"Celaka!" Secara naluriah Geni berteriak. "Guru, awas!" Sambil berteriak Geni melesat dengan Waringin Sungsang.

Ia bergerak pesat, Wulan tanpa sadar ikut melesat. Tetapi

Lembu Agra lebih cepat lagi Ia memukul pinggang Padeksa. Orangtua itu tak menyangka bakal dibokong secara keji. Tadi sewaktu Geni berteriak memperingatkan, ia sudah bersiap datangnya serangan musuh. Tetapi ia tak melihat adanya musuh. Ia tak menyangka jika Lembu Agra itulah yang dimaksud Geni. Ia tak menyangka keponakan muridnya sendiri yang membokong. Tak pelak lagi ia terpukul, pinggangnya kena gelontor. Ia terhuyung mundur. Dari mulutnya muntah darah segar. Lembu Agra tidak cuma memukul satu kali.

Pukulan berikutnya menyusul ke dada Padeksa. Saat itu Wisang Geni masih terpaut jarak agak jauh.

Padeksa dalam keadaan terhuyung-huyung masih bisa beraksi. Ia menahan nafas sambil mengirim pukulan dengan jurus Manusup mendahului serangan lawan. Jurus Padeksa itu cepat dan telengas. Lagipula tak perlu tenaga besar, karena sasarannya adalah mata. Menurut perhitungan, pukulan Lembu Agra akan sampai lebih dahulu. Itu jelas akan melumat habis tulang dada Padeksa, orangtua ini akan mati sehingga jari tangannya tak akan sampai menyentuh mata Lembu Agra.

Tetapi Lembu Agra tidak yakin. Bagaimana kalau hitungannya meleset. Pasti celaka. Ia bisa kehilangan mata. Ini resiko cedera yang lebih mengerikan dibanding kematian misalnya. Lembu Agra tak berani menanggung resiko, ia mengubah jurusnya. Tadinya menggunakan Sambarataka (Rusak, kiamat) kini diganti dengan jurus Sanvakrura (Segala Perbuatan yang buas) keduanya dari ilmu andalan Pitu Sopakara. Gerakannya sebat, membebaskan diri dari serangan tusukan mata, ia lalu mengirim pukulan mematikan ke pelipis Padeksa.

Pergerakan Geni yang begitu pesat membawanya mendekat tempat kejadian. Belum juga kaki menginjak tanah, tanpa basa-basi lagi Geni menggelontor lawan dengan jurus Gongkrodha. Marah, ia sangat marah, seluruh tenaga Wiwaha membanjir keluar lewat dua tangannya. Dalam menyerang, ia bahkan tak memikirkan lagi pertahanan. Jurus Gongkrodha dari Garudamukha bukan jurus adu jiwa atau sama-sama mati, tetapi tanpa sadar Geni telah mengubahnya dalam sekejap. Dia justru mau adu jiwa, kalau perlu sama-sama mati asalkan Padeksa lolos dari bahaya. Biasanya tangan kiri melintang di dada untuk menjaga serangan balasan atau untuk mengirim serangan susulan, kini Geni menggunakan dua tangan untuk menyerang dengan tenaga Wiwahaymg dahsyat.

Serangan ini sangat dahsyat, angin pukulannya terasa di sekeliling. Lembu Agra terkesiap. Ia tak pernah menyangka tenaga Geni bisa sedemikian hebatnya. Geni belum tiba tetapi hawa pukulannya mendatangkan angin maha dingin. Lembu Agra tak berani ayal, memutar tubuh, berjongkok dan melentingkan tubuh ke belakang. Ia melompat mundur dan menjauh.

Lembu Agra terpisah empat tombak. Mata Geni melotot seperti hendak melahap mentah-mentah lawannya. Saat itu Wulan sudah berjongkok dan memeluk Padeksa. Orangtua itu kembali muntah darah segar, sudah empat kali. Lukanya sangat parah. Wulan berseru, "Geni kau tolong paman guru, biar aku yang hadapi bangsat keji dan pengecut ini."

Urat dan otot di tubuh Geni mengejang. Ia membalik tubuh dan memondong Padeksa. Meraba nadi gurunya, ia tahu nyawa orangtua itu di ujung tanduk. Tak ayal lagi, Geni memeluk gurunya. Dada Padeksa ditempel ke dadanya, kemudian mengerahkan tenaga dalam dingin. Itulah ilmu pengobatan tingkat paling tinggi melalui penyaluran tenaga dalam Namun ada bahayanya, pada saat itu tak boleh ada gangguan. Sebab begitu ada gangguan yang menghalangi penyaluran tenaga maka tenaga akan berbalik melukai keduanya. Padeksa akan mati dan Geni akan menderita luka dalam.

Sekilas melirik Wulan tahu keadaan Geni dan Padeksa. Ia harus mengulur waktu. Ia menatap tajam Lembu Agra. "Kenapa kau melakukan perbuatan sekeji itu? Siapa kamu sebenarnya dan apa maksudmu?"

Lembu Agra tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggema seantero desa dan hutan. Bulu kuduk Wulan berdiri. Ngeri menyaksikan perubahan wajah dan watak lelaki yang dulu dikenalnya sebagai kakak perguruan yang santun. "Tenagamu itu, kamu tidak seperti seseorang yang tenaga dalamnya cacat."

"Aku tak pernah luka, dan aku tak pernah dipukul Kalayawana, itu hanya cerita bohong!"

"Jadi kamu sekongkol dengan para penyerbu, mengkhianati guru, menghancurkanmu sediri, kenapa?"

Sepasang mala Lembu Agra memancarkan rasa dendam. "Aku harus membasmi semua mang Lemah Tulis, kecuali kamu Wulan. Kamu akan kuperisteri, kamu akan menjadi isteri ketua partai Turangga. Partai yang nantinya menguasai dunia kependekaran dan diagung-agungkan orang."

Wulan memandang tak percaya. Wisang Geni benar. Apa yang diceritakan Geni semuanya benar. Tetapi mimpikah dia? Tadinya Lembu Agra begitu baik, lembut dan penuh kasih sayang. Sifat baik itu tak ada lagi, yang tampak adalah sifat angkara murka dan keinginan membunuh.

"Kemarilah Wulan, tetap bersama kangmas-mu ini. Kamu akan menikmati hidup disanjung orang, semua anak buahku akan berlutut bersimpuh di kakimu, mereka bersedia kamu perintah meskipun harus masuk kubangan api pun. Kemarilah, bagaimanapun juga aku tetap mencintaimu, cintaku tak pernah akan luntur."

Wulan berteriak, "Berhenti di situ, jangan maju lagi. Kamu maju lagi, kita adu jiwa."

"Kenapa kau begitu ketus. Kamu bukan lawanku. Tak ada gunanya melawanku, lebih baik menjadi isteriku daripada menjadi lawanku. Jangan kepincuk dengan bocah ingusan itu. Aku lebih pengalaman dan lebih hebat dari Wisang Geni yang masih ingusan itu."

"Seorang pendekar harus berani berterusterang, mengapa kamu membokong paman Padeksa, mengapa memusuhi Lemah Tulis?"

"Kamu ikutan gila! Dengar Wulan, ketika kakek gurilmu, Rama Bakwan bersama empat muridnya dan orang-orang Lemah Tulis lain menumpas habis perguruan Turangga, membasmi dan membunuh orangtua dan sanak keluargaku, semua murid perguruanku, apakah waktu itu ada yang mempertanyakan tentang sikap pendekar? Pembasmian itu membuat aku sengsara, anak kecil usia sepuluh tahun, sebatangkara dan lemah di tengah kehidupan pendekar yang keras dan kejam. Puluhan tahun aku memendam dendam ini."

Wulan mendelik. Dia gemetar menahan marah. "Jadi kamu sudah lama menyusup ke Lemah Tulis?"

Lembu Agra tertawa. "Kamu cerdik Wulan, kamu mau mengulur waktu sementara laki-laki binatang itu menolong Padeksa. Usahamu percuma, pukulan Pitu Sopakara tak ada obatnya, Padeksa akan mati!"

Sekali lagi Wulan terkejut. Lembu Agra benar-benar menguasai ilmu sesat itu. "Ketika romo guru memaksa kita berdua melarikan diri saat Lemah Tulis sudah tak mungkin dipertahankan lagi, waktu itu romo guru mengatakan adanya seorang murid pengkhianat yang meracuni air minum dengan racun pelemas tulang, kamu kah pengkhianat itu?"

Agra tertawa sinis. "Huh siapa lagi kalau bukan aku. Tak ada orang yang bisa menerobos Lemah Tulis, yang paling mungkin adalah perbuatan orang dalam Bergawa memang pintar, tetapi aku lebih pintar. Hari itu, saat meracuni gudang air minum, sungguh aku bahagia. Belasan tahun aku memendam dendam berdarah ini, pura-pura belajar ilmu silat dari Bergawa, tetapi aku diam-diam melatih Pitu Sopakara ilmu warisan leluhurku."

Mata Wulan merah, air mata membasahi pipinya. Ia gemetar. Tangannya mencabut keris di pinggang. Padeksa dan Geni yang sedang berkutat dalam proses penyembuhan ikut mendengar semuanya. Tubuh Padeksa gemetar menahan amarah. Geni pun tak sanggup menahan rasa gemasnya.

Inilah murid pengkhianat yang dicari-cari selama ini. Tubuh Padeksa semakin gemetar, bergetar hebat. Geni mencelos, gurunya dalam keadaan kritis. Mendengar kisah pengkhianatan itu perhatian Padeksa terpecah. Hal ini bisa mencelakakan mereka berdua. Geni cepat mengempos seluruh tenaga dingin ke tubuh gurunya.

Lembu Agra tertawa. "Padeksa, percuma tak ada obatnya, kamu akan mati, aku titip pesan agar di kubur nanti kau beritahu Bergawa dan Branjangan apa yang kuceritakan tadi."

Wulan tak bisa mengendalikan diri lagi. Ia melesat menyerang Agra. Keris di tangannya mematuk semua jalan darah kematian. Lembu Agra berkelit sambil berkata sinis. "Kau bukan tandingku, keris itu cuma mainan anak-anak. Lebih baik jadi isteriku, kamu sudah merasakan keperkasaanku di tempat tidur, ketika itu kamu mendesah berteriak saking nikmatnya, kau sudah lupa itu? Wulan aku lebih perkasa dari bocah ingusan itu!"

Wulan merasa malu sekaligus marah dan kalap. "Lelaki jahanam ini harus kubunuh," katanya dalam hati Ia menyerang gencar, tetapi dengan penuh perhitungan. Ini pertarungan hidup atau mati, dan bukan hanya menyangkut dirinya namun juga nyawa Wisang Geni dan Padeksa. Dua orang itu tak boleh diganggu. Dan semua itu tergantung pada dirinya seorang. Seberapa lama ia bisa bertahan dan mengulur waktu. Tetapi sampai kapan Geni bisa menyelesaikan pekerjaannya menolong Padeksa? Wulan tak mau berpikir lebih lanjut, ia tahu peluangnya tipis, awan kematian sudah muncul seperti mendung tebal yang menutup cahaya mentari.

Lembu Agra juga tahu tak ada lagi sesuatu yang bisa menghalangi kemenangannya. Ia tak bergegas. Ia menguasai keadaan dan waktu. Ia bisa menjatuhkan hukuman mati kapan ia mau. Ia menikmati saat-saat kemenangannya, saat di mana dia adalah pemegang keputusan hidup dan mati orang lain! Ia telah memutuskan Geni dan Padeksa mati! Wulan harus hidup!

Wulan bertarung dengan tekad bulat. Ia tahu kepandaian lawan lebih unggul. Karenanya ia lebih mementingkan bertahan ketimbang menyerang. Yang perlu baginya adalah mengulur waktu sampai Geni selesai menolong Padeksa. Ia tak peduli seandainya harus bertarung sampai titik darah penghabisan, sampai ajal menjemputnya. Pikiran ini membuatnya lebih tenang.

Geni melihat perkembangan yang tidak menguntungkan pihaknya. Padeksa sudah agak lumayan tetapikeadaanya masih kritis. Kesalahan sekecil apa pun, bisa menyebabkan gurunya tewas. Ia tak mungkin menghentikan pengobatan. Ia juga tahu, Lembu Agra memegang kendali waktu. Begitu Agra menyerang, Wulan pasti akan kalah.

"Rupanya kau masih saja menyukai bocah ingusan itu.

Padahal dewa sudah menetapkan kamu akan menjadi isteriku. Mau atau tidak mau, kamu akan kupaksa! Sekarang kamu harus menjadi milikku! Awas serangan!" Hawa pukulannya menebar bau bacin. Serangan ganas. Tetapi pada batas-batas tertentu ia menahan diri agar tidak melukai Wulan. Hal ini tentu saja sangat membantu Wulan meski dalam hati ia sangat marah lantaran dipandang remeh.

Wulan mengerahkan segenap kemampuan. Ia tak lagi memikirkan hidup. Lebih baik mati daripada tertawan hidup- hidup. Duapuluh jurus berlalu. Wulan mulai terdesak mundur ke arah Geni. Jarak dengan Geni semakin dekat, hanya terpaut satu kaki. Suatu saat ketika Wulan mengelak dengan gerakan menyamping, Lembu Agra menggunakan peluang dengan melepas pukulan ke arah Geni. Wulan terkesiap. Ia tak bisa menolong karena terpisah oleh jarak. Secara naluriah ia menyambit kerisnya ke dada lawan. Lembu Agra tak peduli, tetap menyerang Geni, pikirnya sekali pukul Geni dan Padeksa modar. Keris itu bergerak lurus mengeluarkan kesiuran angin keras. Mendadak saja Lembu Agra menjerit. Ia melompat mundur. Matanya melotot menatap Geni. Dahi dan mulutnya mengeluarkan darah. Ia bahkan meludahkan dua giginya yang patah. Apa yang terjadi?

Tadi pada saat Lembu Agra menyerang. Geni sebenarnya sudah pasrah. Lantas matanya sempat melihat empat butir batu tergeletak di tanah dekat tangannya. Ia berlaku nekad. Tak ada bedanya ia tetap akan mati, kecuali jika peluang ini bisa dimanfaatkan. Ia memindahkan seluruh tenaga ke tangan kanan yang memeluk Padeksa, tangan kiri yang tak bertenaga turun, meraup empat kerikil. Lalu tenaganya dikembalikan pada posisi sebelumnya, jeriji tangan kiri menyentil ke arah lawan. Semua gerakan dilakukan dengan cepat dan tepat.

Tenaga Wiwaha memperlihatkan keajaiban.

Lembu Agra tak mengira Geni bisa menyerang. Dua batu pertama dengan tepat menghantam dahi dan mulurnya. Agra terkejut bagai disambar halilintar. Tetapi ia hebat, ia bisa mengelak dua batu susulan begitupun lemparan keris Wulan. Untung bagi Agra, sentilan itu tidak sempat menggunakan tenaga sepenuhnya, hanya sebagian tenaga saja. Meskipun demikian cukup membuat semangat Agra terbang sesaat. Ia kalap. "Kubunuh kamu anak jahanam!"

Saat itu Wulan sudah bergerak menghadang di depan Geni.

Kali ini Agra menyerang dengan jurus ganas dan tenaga penuh, ia cuma ingin melumat mati Geni dan Padeksa. Mati dengan sekali pukul. Ia melihat Wulan menghadang, tetapi ia tak bisa lagi menarik pukulannya yang bertenaga besar.

Pukulan itu akan melanda Wulan terlebih dahulu, baru menyusul Geni dan Padeksa.

Di saat kritis itu, Geni memegang tumit Wulan sambil berbisik, "Wulan mainkan jurus Mangapeksa.

Wulan sedang bingung. Ia mendengar bisikan Geni, tetapi bisikan Mangapeksa (Menanti) didengarnya sebagai Agniwisa (bisa api). Dua jurus itu agak mirip sebutannya. Jurus Mangapeksa dari Garudamukha adalah jurus menanti serangan untuk kemudian mengirim serangan balik. Sedang jurus Agniwisa adalah tamparan kemarahan dari Garudamukha Prasidha.

Pada saat Wulan memainkan jurus Agniwisa saat bersamaan tenaga maha panas Geni sudah menerobos melalui tumit kakinya merangsak ke seluruh tubuh dan bermuara pada dua tangan yang sedang memukul. Akibatnya luar biasa.

Lembu Agra mengeluh dan terpukul mundur dua langkah. Matanya kunang-kunang, tubuhnya terasa panas seperti terbakar matahari terik. Kalau saja dia tidak cepat melangkah mundur menyeimbangkan pukulan, bisa-bisa dia terluka.

Ini gila bagaimana mungkin Wulan mendadak bisa punya tenaga sehebat itu. Dari mana datangnya tenaga Wulan itu? Dan jurus apa tadi yang digunakan Wulan, jurus aneh tetapi sangat ampuh? Dia memang tak pernah mengenal dan belum sempat mempelajari Garudamurkha Prasidha yang handal itu. Mata Lembu Agra menangkap sebab musababnya. Tangan Wisang Geni memegang tumit kaki Wulan. Rupanya dari situ Wulan memperoleh tenaga besar itu.

Tetapi ia tetap saja heran, tak mungkin ada kejadian aneh begitu. Geni sedang menolong Padeksa dengan pengerahan tenaga dalam, tak mungkin bisa membantu tenaga dalam lewat tumit kaki Wulan. Karena begitu Geni mengalihkan sedikit saja perhatian apalagi tenaga dalamnya ke tempat lain, maka Padeksa akan muntah darah. Dan Geni pun akan menderita luka dalam yang parah akibat tenaga dalamnya yang memukul balik.

Bukan cuma Lembu Agra yang heran, Geni dan Wulan pun tak habis heran. Tadi sebenarnya ketika Geni menyambit dengan batu, ia berlaku nekad lantaran keadaan kritis. Pada pikirnya ia pasti akan mendapat luka dalam karena mengalihkan tenaga dengan menyambitkan batu. Tetapi aneh, kenyataannya ia sama sekali tidak luka. Itu sebabnya Geni kembali berlaku nekad, untung-untungan. Pikirnya, serangan Agra sudah pasti akan menelan korban, bukan cuma Wulan saja bahkan dia dan Padeksa pun ikut tewas. Apa salahnya kalau adu untung, siapa tahu kejadian seperti tadi terulang kembali?

Ternyata tak ada tenaga membalik yang melukai tubuhnya. Tentu saja Geni heran sekaligus gembira. Ini penemuan aneh, suatu bukti hebatnya tenaga Wiwaha yang diwarisinya dari pendekar Lalawa. Sekarang ia tahu, tenaga Wiwaha panas dan dingin sudah menyatu dalam tubuhnya tetapi pada saat tertentu bisa memisahkan satu sama lain. Tenaga dingin tetap membantu Padeksa, sementara tenaga panas membantu Wulan menghadapi tenaga Lembu Agra

Keajaiban Wiwaha itu telah menolong Geni. Kesalahan Wulan mendengar bisikan Geni sehingga melancarkan jurus Agniwisa dari ilmu Prasidha juga bagian dari keberuntungan. Dua keberuntungan ini tak hanya menolong Wulan, Geni dan Padeksa dari bahaya maut tetapi juga memukul mundur Lembu Agra

Memang aneh. Tadinya Geni apalagi Wulan, tak bisa memainkan jurus Prasidha dengan pengerahan tenaga penuh lantaran intisari kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa belum terserap. Tetapi kenapa tadi itu jurus Agniwisa bisa dimainkan dengan tenaga penuh, tenaga panas Wiwahayang sampai memukul mundur Lembu Agra

Sebabnya tidak lain karena Prasidha pada prinsipnya adalah ilmu meminjam tenaga dari luar yang diolah dengan tambahan tenaga sendiri menjadi serangan balik. Dan karena Wulan yang memainkan jurus sedang tenaganya adalah tenaga Geni, maka jurus itu bisa dimainkan sempurna dengan tenaga penuh. Sayang sekali Geni tidak mengerti sebab musabab keberhasilan jurus tadi, dan ia pun tak punya waktu memikirkan keberhasilan dan keajaiban tadi. Lembu Agra pun tak mau berpikir mencari tahu sebab musabab jurus yang membuat ia terpukul mundur.

Lembu Agra melotot. Ia bisa menebak sebagian saja. Ia tahu di belakang Wulan ada tenaga Geni. Artinya kalau ia menyerang hebat maka ia akan adu tenaga batin dengan Geni. Dalam hal ini Wulan pasti tak akan terluka. Ia memang tak mau Wulan sampai luka parah atau tewas. "Tetapi kalaupun Wulan sampai terluka ya apa boleh buat.

Bagaimanapun juga aku harus tuntaskan urusan ini. Kalau Geni dan Padeksatak kubunuh sekarang, kelak mereka akan menjadi musuh berat. Mumpung sekarang ada kesempatan."

Berpikir demikian Lembu Agra segera melangsir serangan dahsyat Salah satu jurus paling mematikan dari Pitu Sopakarayakm Taragnyana (Penenung yang mendatangkan penyakit). Jurus ini mengandung sihir ilmu hitam, membuat lawan terpesona padahal justru terancam kematian. Hawa pukulan Lembu Agra yang berbau bacin telah menenung Wulan, membuat perempuan ini terlena. Pada saat kritis itu Geni berteriak. "Gunakan Sanakanilamarta”

Wulan yang sedang tertegun, kaget mendengar bentakan Geni. Suara itu menerobos menghantam gendang telinganya menggugah sarafnya. Bagai robot Wulan segera mainkan Sanakanilamarta (Sebesar angin yang terkecil) salah satu jurus dari Garudamukha Prasidha itu. Terdengar benturan tenaga.

Lembu Agra terhuyung mundur empat langkah. Ia tak percaya. Ia memandang Geni dan Wulan bergantian. Matanya merah beringas tetapi wajahnya pucat. Dari mulutnya menetes darah. Tanpa sepatah kata pun ia berbalik tubuh dan kabur.

Geni melepas pegangan pada tumit Wulan, menarik pulang tenaganya. Wulan seperti kehilangan tenaga, jatuh terduduk lemas. Ia mendelong memandang Geni. Lelaki ini tersenyum, kemudian memejamkan mata, memusatkan perhatian pada Padeksa.

Kejadian begitu mengejutkan, serba cepat dan dadakan. Tarung tadi sangat mencekam telah membuat Wulan lemas. Ia lelah, tenaganya terkuras banyak. Batinnya juga terpukul. Memang ia tidak mencintai Agra, tetapi kenyataan kakak perguruan yang bersamanya belajar ilmu silat di Lemah Tulis, ternyata seorang pengkhianat dan pengecut rendah, sangat memukul batinnya.

Tadinya ia sulit percaya Lembu Agra adalah penyusup dari partai Turangga, yang punya niatan jahat menghancurkan Lemah Tulis dan semua orang-orangnya. Tetapi kenyataan itu sulit dipungkiri. Lembu Agra adalah pengkhianat kotor yang moralnya lebih rendah dari binatang melata. Wulan sangat terpukul, karena ia pernah berpikir akan menerima lamaran Agra dan menjadi isterinya. Apa jadinya kalau sampai kejadian. Apa yang akan diperbuatnya jika di belakang hari ia mengetahui suaminya adalah pengkhianat yang telah mencelakakan gurunya dan seisi perdikan Lemah Tulis. Diam- diam ia bergidik, bulu romanya berdiri, tubuhnya menggigil.

Membuang pikiran tadi, ia menatap Wisang Geni. Dilihatnya lelaki itu sedang memejam mata, tangannya nempel di dada Padeksa. Ia takjub mendengar suara nafas Geni yang teratur, hilang dan timbul, lembut dan perlahan. Pertanda tenaga dalamnya sulit diukur. Setahu Wulan, hanya mendiang gurunya saja yang tenaga dalamnya mumpuni seperti itu.

Wulan menoleh ke Padeksa yang masih berada di pangkuan Wisang Geni. Orangtua itu kelihatan membaik. Matanya terpejam. Nafasnya teratur meskipun kadang tersendat.

Wajahnya yang tadinya pucat bagaikan mayat kini mulai memerah dan berkeringat

Wulan menghela nafas lega Ia memandang kekasihnya dengan mata berkaca-kaca Ia merasa semakin mencintai lelaki itu, cintanya makin subur. "Sungguh, aku tak bisa hidup tanpa dia," gumamnya dalam hati. Ia memejamkan mata, semedi, menghimpun semua tenaganyayang sudah cerai-berai disebabkan pertarungan keras dan pertentangan batin dalam dirinya

Matahari mulai doyong ke Barat. Wulan sudah selesai semedi. Ia bangkit dari duduk, melonjorkan kaki dan tangan. Tubuhnya terasa segar. Ia melirik Geni dan Padeksa Geni tak lagi memeluk sang guru. Posisinya berubah. Padeksa sudah bisa duduk bersila Geni bersila di belakang gurunya, dua tangan menempel di punggung gurunya Keduanya masih memejam mata

Tidak lama kemudian ketika matahari sudah hampir tenggelam dan hari sudah mulai gelap, dua orang itu membuka matanya "Guru, bagaimana keadaanmu sekarang?"

Geni bertanya

"Lumayan, sudah membaik." "Guru, racun pukulan itu sudah keluar semuanya Keadaan sudah tidak berbahaya lagi, tetapi masih butuh waktu untuk memulihkan tenagamu. Aku akan membuat ramuan yang harus di minum."

Padeksa menghela nafas. Wajahnya tampak kesal. "Tak kusangka justru Lembu Agra, murid yang berkhianat itu. Geni tadi kamu berteriak memperingatkan aku, dari mana kau tahu bahwa dia akan membokong aku?"

Agak tersendat Wisang Geni menceritakan kejadian ketika ia secara kebetulan mengintai pertemuan partai Turangga.

Namun ia tidak menceritakan bagian yang melibatkan Wulan. Belum waktunya, pikir Geni.

Melihat paman gurunya sudah sehat, Wulan menghampiri memberi sungkem "Terimalah sungkem keponakan muridmu, Walang Wulan. Paman, tadinya aku juga sulit mempercayai bahwa Lembu Agra adalah pengkhianat busuk itu."

"Kamu tidak salah, mungkin aku juga sulit mempercayai Geni karena tampaknya mustahil. Tidak mungkin Lembu Agra berkhianat Tetapi pada akhirnya kebenaran pun muncul.

Rahasia siapa pengkhianat itu terungkap lewat pengakuannya sendiri." Dia menoleh memandang Geni dengan pandangan menyelidik. "Tenaga dalammu sangat tinggi dan aku yakin itu bukan pengajaran dari Lemah Tulis, dari mana kau pelajari itu?"

Suaranya tegas berwibawa. Memang ada peraturan Lemah Tulis, bahkan mungkin di semua perguruan pada masa itu, seorang murid dilarang belajar ilmu silat dari orang lain tanpa seijin gurunya. Geni merunduk. Ia menceritakan semua pengalaman sejak luka parah oleh Kalayawana dan dua pendekar India, kemudian terdampar di lembah kera dan mempelajari tenaga Wiwaha-warisan pendekar tanpa tanding Lalawa. Padeksa mendengar cermat bahkan juga bagian Geni menemukan tari Kinanti yang menyempurnakan Garudamukha Prasidha jurus pusaka Lemah Tulis. "Sudah suratan Dewa! Tak salah firasatku!"

Sepasang kekasih memandang orangtua itu dengan heran, tak mengerti Padeksa tertawa. Suaranya ringan, tidak bertenaga karena tubuhnya masih lemah. "Kamu sudah disuratkan Dewa akan tampil sebagai penyelamat Lemah Tulis. Aku yakin sekarang, kamulah Wisang Geni, murid yang akan membangun kembali kejayaan perguruan, mengangkat Lemah Tulis dari keterpurukan sekian lama ini. Kalau kau tunaikan baktimu untuk perguruan dan menuntaskan semua tugasmu, aku akan mati puas. Tidak percuma aku mendidikmu."

Wisang Geni menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya, memegang lutut gurunya. "Guru, aku tidak berani. "

Kalimat itu tidak selesai karena Padeksa memotong. "Berdiri Geni, berdirilah dan terima tugasmu dengan jantan. Seorang lelaki sejati, pendekar sejati, tak akan pernah menolak tugas seberat apa pun yang diberikan kepadanya. Sekarang kamu masih memanggil aku sebagai guru, tetapi tak lama lagi kau akan menjadi ketua Lemah Tulis. Aku hanya perlu berjumpa dengan dimas Gajah Watu untuk menjelaskan persoalan ini. Ia pasti setuju!"

Mendengar nama Gajah Watu disebut mendatangkan perasaan berbeda dalam sanubari sepasang kekasih itu. Wulan merasa kikuk, bagaimana menghadapi Gajah Watu yang pernah melampiaskan nafsu bejat menikmati tubuhnya. Geni senang lantaran bisa menceritakan pertemuannya dengan paman gurunya itu. Tak lupa ia menceritakan pengalaman Gajah Watu yang didengarnya sendiri dari cerita paman guruku. Malam hari ketiganya menginap di rumah salah seorang penduduk di batas desa. Keadaan Padeksa membaik. Lukanya sembuh hanya tinggal tenaganya saja yang belum pulih. Geni memperkirakan tiga bulan lagi baru tenaga sang guru bisa pulih.

Pertemuan dengan Padeksa dimanfaatkan dua sejoli itu untuk bertanya segala sesuatu tentang ilmu silat terutama menyangkut Garudamukha Prasidha. Tapi dari Padeksa tidak banyak yang bisa diperoleh. Hal ini semakin membuat Wisang Geni penasaran. Kenapa Prasidha tak bisa dimainkan, kenapa begitu sulit?

"Ilmu kelas atas, sulit dipelajari, apalagi ilmu pusaka perguruan kita. Banyak ilmu yang untuk mempelajarinya harus menyita seluruh ilmur kita. Itu sebab mengapa banyak orang tersesat atau mati saat berlatih lantaran bernafsu menguasai ilmu. Padahal tak seharusnya demikian. Ilmu itu harus dipelajari dengan tekun, teliti dan penuh kesabaran," kata Padeksa

"Guru, jurus Prasidha itu tak bisa dimainkan dengan tenaga dalam sepenuhnya. Aku dan Wulan tak pernah bosan mencoba tetapi selalu gagal. Mungkin lantaran belum memahami makna kalimat Parahwanta Angentasana Duk.harnawa maka aku tak bisa memainkan Prasidha dengan tenaga penuh."

"Ada lagi yang aneh, tadi ketika terdesak, aku memegang tumit Wulan, mengerahkan segenap tenaga Wiwaha dan hasilnya bagus, pukulan Prasidha telah melukai Lembu Agra Tenagaku bisa keluar sempurna melalui tubuh Wulan, tetapi aku tak bisa memainkannya dengan tenagaku sendiri, ini sungguh aneh, guru?"

Kemudian Padeksa menyuruh Geni memainkan Garudamukha Prasidha. Orangtua itu membayangkan kembali penuturan Manjangan Puguh yang pernah melihat jurus Prasidha ketika Eyang Sepuh Suryajagad merobohkan pendekar Lahagawe. Tapi Padeksa bagai membentur tembok, makna kalimat Parahwanta A ngentasana Dukharnawa sebagai inti pemahaman jurus Garudamukha Prasidha tetap tak bisa ditembus. "Guru, apa hebatnya ilmu Pita Sopakara dan kenapa hawa pukulannya berbau busuk? Tadi Wulan bersikap aneh, ia seperti ditenung ketika diserang Lembu Agra. Mungkinkah jurus itu mengandung sihir ilmu hitam?"

"Semua ilmu pada mulanya bersih tetapi bila jatuh di tangan orang jahat akan berubah menjadi ilmu yang membinasakan. Bila jatuh ke tangan orang bersih akan digunakan untuk membela keadilan. Ilmu Pita Sopakara pada mulanya diciptakan seorang pendeta asal India sekitar duar atus tahun lalu. Aku tidak tahu persis ilmu itu, tapi konon ada tujuh tingkatan untuk mencapai kesempurnaan. Entah bagaimana ilmu itu jatuh ke tangan seorang pendekar kalangan hitam bernama Turangga. Ia sakti luar biasa, konon ia sampai di tingkat tujuh. Di tangan Turangga, ilmu itu menjadi senjata pembunuh yang mengerikan. Ia menggabungkan unsur racun dan sihir ke dalam ilmu Pita Sopakara yang tadinya begitu lurus dan bersih."

"Kenapa ia begitu mendendam Lemah Tulis?"

"Itu permusuhan turun temurun. Dalam pertarungan terbuka, satu lawan satu, Turangga babak belur dihajar Eyang Harsa, kakek guruku yang menggunakan jurus Prasidha. Ia luka parah, sebelum kabur ia bersumpah akan balas dendam Tapi ia mati satu bulan kemudian. Di belakang hari putranya yang bernama Nanggala mendirikan partai Turangga. tapi kegiatan partai ini tak banyak diketahui ilmum Belakangan dua putranya Pasek dan Tampi sering muncul dan membuat kejahatan. Akhirnya guruku, Rama Belawan bersama kami berempat dan beberapa pendekar menyerbu dan menghancurkan sarang partai Turangga."

Wisang Geni mengerutkan dahi. "Tetapi guru, aku tak mengerti kenapa Lembu Agra bisa menjadi murid di Lemah Tulis, apakah tak seorang pun mengenalnya?"

"Bagaimana sampai Lembu Agra bisa menyusup menjadi murid Lemah Tulis, itu cerita lain. Suatu hari kakang Bergawa mendapat kunjungan seorang bocah berusia sepuluh tahun yang ngotot minta diterima sebagai murid Lima hari lima malam ia tidak beranjak ditimpa panas dan hujan, tidak makan dan tidak minum Ia bertekad mati di pintu masuk perdikan Lemah Tulis apabila tak diterima sebagai rnund kakang Bergawa. Memang benar kata pepatah, kalau mau menerima murid kita harus tahu latar belakang dan sejarah keluarganya. Bocah itu dikenal kemudian sebagai Lembu Agra." Padeksa menghela nafas panjang menyesali masa lalu.

"Paman, kita harus memberitahu paman Gajah Watu agar terhindar dari bokongan Lembu Agra."

"Tapi di mana menemukan dimas Gajah Watu? Semoga kita menemukannya di pertemuan Mahameru."

"Guru, kau ikut ke Mahameru?"

"Ya kenapa tidak? Semua orang ingin menyaksikan pemenang yang menyandang gelar lima pendekar paling agul di tanah Jawa. Kenapa? Kamu khawatir akan keselamatanku?"

"Tetapi kalau jumpa musuh-musuhmu, sedang kau belum sembuh, hal ini bisa menyulitkanmu, guru."

"Geni, semua yang hidup ini akan mati. Tak ada kecualinya.

Aku sudah lama hidup. Aku tidak menyesal kalau harus mati sekarang, apalagi setelah tahu Lemah Tulis sudah punya ahli waris sejati. Aku ingin menyaksikan adu ilmu silat itu, kupikir semua pendekar akan tumpah ruah di Mahameru. Tak usah khawatir akan diriku. Biarlah, apa yang harus terjadi, terjadilah."

Apa yang dikatakan Padeksa benar semata. Seluruh pendekar tanah Jawa akan tumpah ruah di Mahameru menyaksikan perebutan gengsi yang paling jago di tanah Jawa. Para pendekar kalangan atas sejak jauh hari mempersiapkan diri untuk tarung adu ilmu. Semua orang yang bergelut di dunia persilatan akan hadir, baik dari kalangan lurus maupun golongan hitam. Bagi pendekar sejati, pertemuan Mahameru bukan hanya ingin menjadi yang paling jago di tanah Jawa, juga untuk menyumbang darma bakti membela gengsi tanah Jawa dari tantangan pendekar daratan Cina.

Perdikan Mahameru sudah berusia lebih dari dua abad dan yang selalu melahirkan pendekar-pendekar ternama. Murid Mahameru tidak hanya dikenal sebagai pendekar berilmu tinggi, tetapi dilengkapi budi pekerti luhur yang menjunjung nilai kependekaran di atas segalanya. Mahameru adalah perguruan besar dengan anak murid yang terbilang ratusan orang. Namun sebesar apa kekuatan yang sebenarnya, orang sulit menduga.

Hampir selama duaratus tahun pendekar-pendekar Mahameru malang melintang tanpa tandingan dan menjadi yang paling disegani di tanah Jawa. Seiring berkembang dan makin harumnya perguruan

Mahameru, muncul perguruan Lemah Tulis yang didirikan oleh pendeta Mpu Bharadha.

Persaingan antara dua perguruan ini makin hari makin memuncak. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang dari kalangan hitam, terutama mereka yang pernah merasakan pahitnya dihajar para pendekar dua perguruan tersebut. Intrik dan siasat licik dirancang khusus untuk mengadu dua kekuatan besar itu makin lama makin tampak hasilnya. Tanpa sadar murid-murid dua perguruan itu makin hari makin tersuruk masuk ke lubang permusuhan yang sulit dicari jalan keluarnya.

Klimaksnya terjadi kira-kira empatpuluh tahun lalu. Pendeta Mahisa Lanang, guru besar Mahameru mengundang Rama Bakwan dari Lemah Tulis untuk adu ilmu silat. Waktu itu hampir semua pendekar ternama di tanah Jawa hadir untuk menyaksikan siapa yang lebih piawai di antara dua pendekar hebat itu. Tapi semua orang kecewa, ternyata Mahisa Lanang dan Rama Balawan justru menjalin persahabatan. Sejak itu ada semacam perjanjian tak tertulis, anak murid Lemah Tulis dilarang tarung lawan murid Mahameru, begitu sebaliknya. Siapa melanggar aturan ini, akan dihukum oleh gurunya sendiri. Perjanjian itu masih berlaku sampai hari-hari di masa kepemimpinan pendeta Macukunda dan Bergawa.

Tetapi malapetaka yang menghancurkan Lemah Tulis telah mengubah jalan sejarah. Maliameru merasa menjadi perguruan tanpa tanding. Hal itu pun tak dapat dipungkiri oleh sekalian ahli silat. Tak seorang pun yang ragu bahwa di balik kerimbunan pepohonan di gunung Mahameru bersembunyi banyak pendekar jago. Itu sebab, mereka menganggap Mahameru pantas menjadi pelopor pertemuan sesama pendekar tanah Jawa untuk mencari lima pendekar paling jago yang mewakili tanah Jawa menghadapi tantangan jago-jago daratan Cina.

Dari jauh tampak gunung Mahameru bagai menyundul langit. Seperti gunung tak bermahkota, puncaknya tersembunyi di antara semaraknya awan, ada suatu kekuatan raksasa yang terpendam di dalamnya. Mahameru hanya sebuah gunung, tapi bukan sekedar gunung.

Hari itu Mahameru dikunjungi banyak tamu. Tak pernah sebanyak itu sebelumnya. Orang-orang itu mendaki lereng Selatan dengan membisu seribu bahasa. Kawan dengan kawan tak saling tegur. Kawan dan lawan pun pura-pura tak kenal. Dari dandanan maupun gerak, lak salah lagi hampir semua tamu adalah mereka yang menguasai ilmu silat.

Meskipun ada beberapa orang awam ikut datang untuk menonton keramaian atau pedagang yang menjual makanan dan minuman.

Hampir seluruh penjuru tanah Jawa mengetahui adanya perang tanding adu kepandaian untuk memilih lima pendekar paling jago di tanah Jawa. Hari itu orang mulai berdatangan, meskipun hari pertarungan baru akan dimulai dua hari lagi. Wisang Geni bertiga Padeksa dan Wulan mendaki lereng dengan tak bergegas. Keadaan Padeksa yang belum bisa mengerahkan tenaga berlebihan membuat perjalanan tiga orang itu cukup lambat. Banyak orang yang mendahului mereka terutama yang bergegas.

Selama dua hari berkumpul bersama, baik Wisang Geni maupun Wulan tak berani menampakkan perasaan cinta. Takut ketahuan Padeksa. Tetapi mata Padeksa tak bisa tertipu. Ia lebih menangkap getaran cinta yang terpancar dari mata dua sejoli itu. Padeksa merasa gundah dan agak bingung begitu ia yakin bahwa Wisang Geni dan Wulan saling mencintai.

Hubungan ini tidak biasanya, Wisang Geni adalah putra Gajah Kuning dan Sukesih. Sedang Walang Wulan adalah saudara perguruan dengan Gajah Kuning dan Sukesih. Itu artinya Wisang Geni adalah keponakan muridnya Wulan.

Padeksa penasaran. Tangan kanannya meraih tangan Wisang Geni, satu lainnya memegang Wulan. Sambil tetap berjalan ia bertanya, "Aku tahu kalian saling mencintai, tapi sadarkah kalian, hubungan karian sebagai bibi guru dan keponakan murid, bagaimana mungkin bisa menjalin percintaan, ini tidak lazim, sesuatu yang akan menjadi bahan gunjing dan tertawaan orang?"

Wisang Geni tidak menyangka pertanyaan itu begitu langsung dan mendadak ditanyakan. Apalagi Wulan. Keduanya tergugu, tak bisa menjawab. "Wulan, kau sebagai yang lebih tua, jawablah!"

"A...a ...aku..." Wulan gugup sehingga tak mampu menjawab. Ia memang sudah lama membayangkan kejadian seperti ini, bahwa guru dan sesepuh perguruan Lemah Tulis akan mempertanyakan hubungan ini. Tetapi ketika menjadi kenyataan, ia bahkan tak siap untuk menjawabnya. Secara naluriah timbul keberanian Wisang Geni melihat kekasihnya dipersalahkan. "Guru, aku yang bertanggung jawab. Wulan sekarang sudah menjadi isteriku. Maafkan aku, ampuni aku, karena belum minta restu dari guru. Kalau itu salah, aku terima salah, hukum atau bunuhlah aku. Tapi menurutku tidak salah, hubungan itu bisa ada, dan bisa juga tiada. Tergantung dari mana kita memandangnya."

Padeksa menghentikan langkahnya sejenak kemudian melangkah lagi. "Bisa ada, bisa juga tiada, Geni, coba jelaskan padaku!"

Semangat Geni tergugah melihat gurunya bersikap biasa. Tadinya ia membayangkan Padeksa akan marah. "Hari ini aku harus jelaskan semuanya, hari ini aku menang atau aku kalah. Kalau saja ia merestui hubungan ini, maka segalanya akan mudah," pikirnya.

Geni mengumpulkan segala keberaniannya. Di dunia ini hanya Padeksa saja yang ia segani. Padeksa sudah seperti ayah, kakek, guru, sahabat dan teman sepermainan. Padeksa yang mendidiknya sejak kecil.

Tiba-tiba Geni menjatuhkan diri, sungkem "Guru, aku tak mengingkari jasa ayah dan paman Gubar Baleman mendidikku dari kecil. Tapi sesungguhnya, hanya kau dan guru Manjangan Puguh yang resmi sebagai guruku. Sewaktu kecil aku memanggilmu kakek, bahkan sampai sekarang pun terkadang menyebutmu kakek. Tetapi yang sebenarnya kau adalah guruku, aku selalu harus memanggilmu guru, kau adalah guruku meski kau lebih suka mengakui aku sebagai cucu murid. Aku mohon demi ayah dan ibuku, akuilah aku sebagai muridmu dan ilmumkan kepada semua murid Lemah Tulis termasuk kepada paman Gajah Watu, bahwa secara resmi aku adalah muridmu, murid tunggal."

Padeksa tercengang ia tak mengerti maksud permohonan Geni. Tetapi Wulan mengerti. Ia bisa menebak jalan pikiran Geni. Ia ikut berlutut di samping Geni. "Paman guru, Wisang Geni pantas dan layak menjadi muridmu, terimalah permohonannya. Dia tak akan mengecewakanmu, paman."

Awal mulanya heran, lama-lama Padeksa mulai mengerti.

Ia tahu dengan mengakui Geni sebagai muridnya, berarti hubungan dua orang muda itu berubah. Dari hubungan bibi guru dan keponakan murid berubah menjadi hubungan sesama saudara perguruan. Padeksa tertawa. Ia terpingkal- pingkal sampai keluar airmata.

Orang-orang yang lalu lalang di sekitar lereng gunung memandang heran. Geni dan Wulan tak berani mengangkat kepala meski tak mengerti apa sebab Padeksa tertawa.

Setelah puas tertawa, Padeksa kemudian memegang kepala Geni. "Seilmur hidupku, baru hari ini aku tertawa puas. Baiklah Wsang Geni mulai hari ini kamu resmi menjadi muridku dan kamu adalah satu-satunya murid Padeksa, kamu adalah satu- satunya murid Pradheksa karena aku tidak punya murid lain."

Bukan kepalang senangnya Geni dan Wulan. Serentak keduanya memegang dan mencium tangan Padeksa.

Sekonyong-konyong terdengar orang bertepuk tangan. Padeksa menoleh. Geni dan Wulan melompat, berdiri dan bersiap. Padeksa berseru perlahan, setengah tak percaya siapa yang dilihatnya. "Dimas Watu!"

Ada belasan orang berjajar di pinggir jalan. Seorang di antaranya, Gajah Watu maju, menghambur dan merangkul Padeksa. Tiba-tiba Gajah Watu mundur selangkah, memandang kakak perguruannya. "Kangmas, kau luka?"

"Ya, aku dibokong Lembu Agra!" "Apa katamu? Lembu Agra?"

"Ya, Lembu Agra murid kangmas Bergawa, dialah pengkhianat yang disebut-sebut meracuni gudang makanan dan air minum perguruan kita. Ceritanya panjang, adikku." Pertemuan yang tak disangka-sangka itu cukup menggembirakan semua orang. Bersama Gajah Watu adalah Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Waning Hyun serta delapan pendekar Tumapel. Yang seorang lagi dikenal sebagai Sang Pamegat, tokoh sakti yang serba misterius. 

Geni dan Wulan memberi hormat kepada Gajah Watu.

Tampak oleh Geni mata Gajah Watu yang penuh penyesalan bercampur malu ketika menerima sungkem Walang Wulan. Agak serak suara Gajah Watu ketika mengucap kata maaf. "Sudah lama tak pernah ketemu, Wulan, maafkan aku, maafkan pamanmu ini."

Walang Wulan tetap merunduk, tak berani dan enggan melihat wajah paman gurunya itu. Ia masih membayang perlakuan lelaki itu setiap menikmati pelampiasan birahi atas tubuhnya. Ada rasa jijik di mata Wulan dan ia tak ingin memperlihatkan rasa jijik itu kepada paman gurunya itu. Ia tetap merunduk dan tak bersuara. Adalah Geni yang berkata, "Paman Gajah Watu, sekarang ini aku adalah murid resmi guru Padeksa dan Walang Wulan sudah menjadi isteriku, aku minta restilmu paman."

Gajah Watu memandang Padeksa yang tampak manggut- manggut. Tak ayal lagi, Gajah Watu pun memberi restu. "Aku merestui kalian, Wisang Geni dan Walang Wulan sebagai suami isteri. Semoga kalian hidup berbahagia selamanya." Tak hanya dua sesepuh itu, Waning Hyun dan rombongan juga memberi ucapan selamat berbahagia.

Wisang Geni menggenggam tangan Walang Wulan. Pada akhirnya semua beres, semua persoalan yang mengganjal telah disingkirkan.

Mereka kini resmi diakui sebagai suami isteri. Restu dari Gajah Watu juga sangat penting dan kuat secara tradisi.

Hubungan suami isteri, Geni dan Wulan, sesama saudara seperguruan, itu semakin kuat dan absah karena mendapat restu dari dua sesepuh perguruan. Bagi Wulan, restu dari Gajah Watu sedikitnya mulai mengurangi rasa benci dan jijiknya terhadap paman gurunya itu. Ia bahkan berterirnakasih atas restu itu.

Rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju Mahameru. Wulan cepat akrab dengan WaningHyun. Sedangkan Padeksa, Gajah Watu dan Geni berjalan sambil saling menutur pengalaman.

Karena perjalanan dilakukan dengan tidak terburu-buru, maka baru sore hari mereka tiba di pelataran perguruan Mahameru. Sambutan cukup hangat dari tuan rumah setelah Padeksa memperkenalkan diri sebagai ketua rombongan Lemah Tulis. Penerima tamu mengantar dan mempersilahkan mereka menuju sebuah lapangan terbuka. Di situ tersedia banyak kemah, sebagian sudah diisi, sebagian lain masih kosong.

Malam itu sunyi sepi. Semua tamu benar-benar menggunakan waktunya untuk istirahat. Wisang Geni semedi.

Esok harinya masih banyak tamu lain yang berdatangan.

Dari pagi sampai sore tak pernah putus. Senja itu Wisang Geni seorang diri berkeliling di sekitar kaki gunung. Tiba-tiba ia terkejut melihat empat orang berjalan berpapasan dengannya. Tanpa sadar ia berseru, "Sekar!"

Gadis itu memang Sekar. Gadis itu lari menyongsong Geni.

Ia melompat memeluk Geni. "Geni, kamu masih hidup!"

Sesaat kemudian Sekar sadar, ia melepas pelukannya. Geni takjub melihat kecantikan gadis di depannya. Tak ada lagi bekas penyakit cacar di wajahnya. Wajahnya berseri semakin membias kecantikan alaminya, rambutnya ikal terurai sebatas bahu. Ia cantik, sangat cantik dengan kulit kuning sawo dan tubuhnyayang kurus, langsing namun montok. "Sekar kamu cantik sekali, kamu sudah sembuh, eh katamu dulu perlu waktu satu tahun." Ia masih saja segar dan ceria. Ia tertawa senang. "Nenek menyembuhkan aku dalam waktu tiga bulan, lagipula aku tak jadi dipingit satu tahun sebab aku berhasil membujuk nenek untuk melihat keramaian Mahameru." Tawanya membuat kecantikannya bersinar. Geni mendelong memandang kekasihnya yang seakan salin rupa menjadi seorang dewi yang mempesona.

Geni memberi hormat kepada Dewi Obat. "Kamu penolongku, Dewi Obat, tanpa pertolonganmu aku mungkin sudah mati. Terimalah hormat sungkemku."

Ketika memerhatikan dua orang dalam rombongan Sekar, ia terkesiap. Ia ingat benar. Dua orang itu, si gadis penari dan satu lainnya Ki Dalang. Sungguh suatu kebetulan, dua orang itu adalah orang yang ia cari selama ini. Tetapi saat itu ia memutuskan membiarkan Sekar dan rombongan istirahat dulu.

Ia berbisik kepada Sekar, "Aku kenal dua kawanmu itu, si gadis penari dan Ki Dalang. Nanti malam aku akan mengunjungi kemahmu, kamu tunggu saja."

Gadis itu berkata lirih, "Kamu datang untuk aku atau untuk urusan Kinanti Prasidha itu?"

"Kamu tunggu saja."

Malam harinya, setelah makan malam, Geni keluar kemah.

Wulan mengikutinya, "Mau ke mana kamu?"

Geni diam sesaat. "Aku ada urusan, kamu tunggu di sini saja!" Tanpa menanti jawaban Wulan, ia menggelar Waringin Sungsang dan lenyap ke pekatnya malam.

Sekar dan Dewi Obat terkejut melihat Geni berdiri di luar kemah. Gadis itu hampir lupa diri saking gembiranya, tapi ia cepat menguasai diri. Geni mengucap terimakasih kepada Sekar dan Dewi Obat yang telah menolongnya. "Kau sudah ucapkan tadi sore, tetapi apakah hanya itu maksud kedatanganmu anak muda?" Dewi Obat berkata tanpa berusaha supaya ramah.

Geni menatap tajam Ki Dalang dan si gadis penari. Ki Dalang berusia limapuluhan. Sedang si penari seorang gadis usia sekitar duapuluh lima tahun. Cantik, segar dengan potongan tubuh agak gemuk. Raut wajahnya mirip Sekar.

"Namaku Wisang Geni. Aku murid tunggal Padeksa dari Lemah Tulis. Aku sangat beruntung memperoleh pertolongan dan petunjuk Dewi Obat sehingga bisa menemukan kisanak berdua dalam pesta tahunan di lereng gunung Lejar. Dan cerita Ghatotkacasraja sangat menarik perhatianku. Aku beruntung bisa menyaksikan tari Kinanti Prasidha yang kucari- cari selama ini."

Empat orang itu terdiam. Ki Dalang mendehem kemudian bertanya, "Aku tak mengerti, apa maksudmu?"

Geni bisa menebak pikiran orang tua itu. Ia berdiri kemudian memperlihatkan separuh dari jurus Agniwisa sebelum digabung dengan sepenggal tari Kinanti.

"Ini namanya jurus Agniwisa tetapi belum sempurna. Jurus ini baru sempurna setelah digabung dengan salah satu gerak tari Kinanti yang kau mainkan malam itu." Berkata demikian Geni mempertontonkan gerak tari yang merupakan perpaduan jurus tadi. Geni melanjutkan penjelasannya. "Sekarang coba bandingkan dan perhatikan jurus Agniwisa yang lengkap, hasil gabungan separuh jurus tadi dengan tarian Kinanti".

Kemudian ia duduk kembali dan menatap empat orang itu. Ia lantas menanyakan arti kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa. Kini mereka benar-benar percaya. Empat orang itu serempak mengucap selamat. Mereka gembira, pada akhirnya ada seorang pendekar Lemah Tulis yang berjodoh dan menguasai Prasidha dari manfaat tari Kinanti itu.

Ki Dalang menghela nafas, wajahnya kelihatan muram "Maaf pendekar Wisang Geni, sebenarnya kami tidak tahu apa arti tari Kinanti tersebut, kami juga tak mengerti arti kalimat itu. Yang diajarkan kepada kami hanya gerak tubuhnya saja, tak ada keterangan apa pun perihal sikap mental. Maaf, kami benar-benar tidak tahu, jika tahu pasti akan kami jelaskan."

Kepala Wisang Geni ibarat disiram air dingin. Hilang sudah harapannya. Sebenarnya dua orang inilah yang diharapkan bisa membuka tabir rahasia Prasidha. Tapi ternyata lagi-lagi ia membentur tembok karang, Jalan buntu. Menghampiri Geni, Sekar berbisik di telinga kekasihnya, "Geni, aku akan membantumu, tetapi kamu harus ingat janjimu dan kamu harus menepati janjimu itu, aku lihat kekasihmu Wulan sudah berada di sampingmu, pantas saja kamu lupa padaku."

Memeluk pinggang gadis itu, Geni berbisik, "Aku tidak ingkar janji, tetapi apa mungkin aku mencium kamu di depan kerabatmu ini atau bercinta sekarang juga?"

Sekar menampar pundak Geni. "Kamu ngaco!" Ia menoleh kepada Ki Dalang dan si gadis penari. "Geni mungkin kamu perlu tahu bagaimana sikap tubuh, kaki, tangan dan kepala waktu kalimat itu diucapkan Mbakyu, apakah kalimat itu setiap diucapkan selalu pada ayunan tubuh dan langkah serta gerak tangan yang sama?"

"Benar, selalu pada posisi dan gerak tubuh yang sama. Pertama aku ucapkan kalimat itu waktu tubuhku doyong ke kanan, yang kedua kali ketika doyong ke kiri, kemudian doyong ke depan dan ke belakang." Gadis penari itu kemudian memberi contoh dengan menari Kinanti. Tetapi Geni masih saja tak bisa menembus arti dan maknanya. Mereka berusaha membantu Geni, tetap sia-sia, Garudamurkha Prasidha tetap jadi misteri.

Menghampiri Geni yang sedang bingung, Sekar berkata lirih, nadanya menggoda. "Maaf kekasih, aku gagal membantilmu, jadi terserah kamu mau menepati janji atau ingkar." Ia menarik Geni keluar tenda. Geni memegang lengan Sekar, "Aku akan memperkenalkan kamu dengan Walang Wulan, Aku sudah bicara dengannya tentang kamu, jadi tak akan ada masalah."

"Kamu bicara apa saja?"

"Aku cerita bagaimana hebatnya kamu memasang perangkap cinta, membuat aku kasmaran dan mencintaimu habis-habisan." Geni memandang mata Sekar yang kedip- kedip bercahaya, ada rasa bangga dan cinta di situ.

"Terus, kamu bilang apa lagi?"

"Aku katakan bahwa aku akan hidup bersama dua perempuan yang kucintai dan mencintai aku, Wulan sebagai isteri pertama, Sekar isteri kedua, begitu dulu yang kamu katakan padaku, iya kan?"

Saat itu Dewi Obat sudah berdiri di samping Sekar. Ia muncul begitu saja. Ia mendengar sebagian perkataan Wisang Geni. Ia berkata tawar. "Wisang Geni, aku peringatkan kamu, jangan kamu mempermainkan cucuku, aku akan mengejar kamu!"

Geni tersenyum. Ia melihat sepasang mata Dewi Obat menatapnya dengan bersinar ceria. Nenek itu tidak marah, malah memperlihatkan wajah gembira. "Sejak bertemu cucumu, aku sudah kasmaran, mana mungkin aku mempermainkan dia. Dewi, seharusnya kau mengancam cucumu agar tidak meninggalkan aku."

Sekar menarik tangan Geni, menghindar dari neneknya. "Ayo Geni, ajak aku temui dia, mbakyu Wulan, sekarang juga!"

"Jangan sekarang, besok pagi, sekarang kita kabur ke hutan, aku sudah rindu padamu." Geni mencekal lengan Sekar, membawanya kabur turun gunung. Di gelapnya malam, mereka menemukan tempat tersembunyi jauh dari daerah perdikan Mahameru. Geni memeluk kekasihnya, mencium mulutnya dengan bernafsu. Gadis cantik itu bergerak liar. Ia terengah-engah menahan gejolak nafsunya "Geni, peluk aku erat-erat, aku tak tahan lagi, lima purnama aku merindukan kamu, tak ada lelaki lain yang bisa mengobati rindu ini, apalagi aku cuma ditemani pepohonan cemara."

Geni menanggalkan pakaian Sekar. Keduanya bugil di tengah hutan, dan gelapnya malam. Memadu cinta mengarungi lautan birahi yang tertunda selama lima bulan. Keduanya berangkulan, kelelahan. Geni menciumi buah dada kekasihnya, "Sekar kamu masih saja hebat mempesonia seperti saat perpisahan di hutan cemara dulu."

Sambil mengelus dan menjambak rambut kekasihnya, Sekar menangis bahagia. "Aku takut kamu sudah mati, Geni. Tetapi aku sangat yakin, bahwa kamu masih hidup dan pasti akan ketemu aku di Mahameru"

Geni memeluk tubuh montok dan molek itu. "Kamu sangat cantik, seperti kataku dulu, kamu memang cantik."

"Aku tahu itu, dulu aku tak mau diobati nenek, tetapi setelah aku bertemu kamu, bercinta dengan kamu, aku malah ngotot minta diobati nenek, karena aku ingin mempersembahkan kecantikanku ini hanya untuk kamu, kekasihku."

"Bagaimana kamu begitu yakin aku akan sembuh dan hidup?"

Sekar berbisik di telinga. "Aku yakin, karena aku yakin akan cintaku, aku yakin masih ada hari esok dan banyak lagi hari esok yang tersedia untuk membuatmu bahagia."

"Kenapa, kamu mengatakan membuat aku bahagia, kenapa kamu tidak mengatakan membuat kamu bahagia?"

Sekar menindih tubuh Geni, dua tangannya memegang wajah kekasihnya. Ia mengecup mulut Geni. "Sebab, aku akan bahagia jika kamu bahagia. Jadi harus kamu yang bahagia dulu, baru aku merasa bahagia"

Geni menggilmuli tubuh Sekar. Sekali lagi dan berulang- ulang, tak pernah bosan. Seperti ketika perpisahan di Lembah Cemara, di hutan Mahameru gelapnya malam menjadi saksi jerit halus dan deru nafas serta degup jantung dua kekasih itu mengarungi lautan asmara. Keduanya kembali ke kemah masing-masing menjelang munculnya cahaya merah matahari pagi.

Pagi itu sekembalinya ke kemah, Geni mendapatkan Wulan sedang menunggunya. "Geni, kamu pergi ke mana semalaman?"

Ia tak menjawab. Dalam perjalanan pulang tadi, pikirannya seperti menemukan suatu rahasia menyangkut Garudamukha Prasidha. Ada sesuatu melintas di benaknya. Ia coba menangkapnya tetapi sia-sia. Ia masih terbenam dalam pikiran itu ketika dikejutkan suara keras Wulan. "Aku bertanya padamu, Geni, kamu sedang melamun apa?"

Geni menoleh. Ia minta maaf karena tidak mendengar pertanyaan tadi, pikirannya masih memikirkan jurus pusaka itu. Wulan bertanya lagi. "Siapa orang-orang yang kau temui tadi malam?"

Geni menceritakan pertemuannya dengan empat orang itu, Dewi Obat, Ki Dalang, si penari dan Sekar. Mereka berusaha membantu menemukan makna kalimat misterus, tapi gagal.

Tak ada yang tahu apa itu arti dan makna kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa.

Wulan ikut berduka. Ia merunduk kemudian berkata lirih. "Aku tahu kamu pergi berdua Sekar, bercinta semalaman, kenapa harus takut berkata jujur kepadaku?"

Geni menatap Wulan lekat-lekat di matanya. "Aku tidak takut mengatakan sesuatu padamu, aku memang bercinta dengan Sekar, semalaman. Aku pikir hal ini tak perlu kuceritakan padamu sebab kamu sudah tahu hubunganku dengan Sekar. Lagipula aku tidak akan melapor kepadamu untuk apa saja yang akan kulakukan dan yang telah kulakukan. Aku suamimu. Kamu yang harus melapor tentang apa saja yang telah dan yang akan kauperbuat, karena itu kewajiban seorang isteri yang setia."

Tak menduga akan mendapat jawaban tegas seperti itu, Wulan terkejut. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca. Ia belum menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia masih diam. Geni memecah kesunyian pagi. "Wulan, isteriku, aku punya penyakit buruk yakni aku tidak suka didesak. Mengertilah Wulan, jangan desak dan menyudutkan aku, apa saja yang aku suka akan kulakukan, kemarin kamu sudah berkata padaku bahwa kamu bersedia menerima Sekar sebagai isteriku. Kamu isteri utama, Sekar yang kedua. Nah, kenapa sekarang ini kau mendesak aku?"

"Aku cemburu." Diam-diam Wulan terkesima, merasa keder dan takut melihat ketegasan serta wibawa suaminya.

"Buang saja jauh-jauh rasa cemburilmu, kamu malah menyiksa diri sendiri. Bagaimanapun juga kamu harus menerima Sekar. Besok aku akan memperkenalkan dia kepadamu, kuharap tak ada lagi persoalan menyangkut Sekar."

Esok paginya, Geni memperkenalkan Sekar pada Wulan. Mulanya Wulan seperti hendak menerkam Sekar. "Ia sangat cantik, pantas saja Geni kasmaran padanya." Tanpa sadar wajahnya cemberut, dingin dan kaku.

Gadis muda ini terkejut melihat sikap Wulan, namun ia juga pasang kuda-kuda. "Katanya usianya lebih tua dari Geni, tetapi ia tampak seperti gadis remaja, cantik dan montok.

Tetapi kenapa ia galak, apa dia pikir aku takut, wuah kalau untuk berebut cinta Wisang Geni, jangankan satu, sepuluh Wulan pun akan kuladeni." Dua wanita itu seperti mau saling terkam, persis dua macan betina sedang berebut pejantan. Tetapi ketegangan mencair setelah Geni menegaskan keduanya harus saling bantu.

Wulan, isteri utama, Sekar yang kedua. "Tak boleh ada pertengkaran! Jika ada pertengkaran, aku tidak mencari siapa benar siapa salah, itu kesalahan kalian berdua, kalian isteri Wisang Geni jadi harus ikuti aturan Wisang Geni. Camkan itu!" Dua perempuan itu memandang Geni dengan rasa tak percaya bahwa laki-laki itu bisa bicara begitu tegas.

Sekar memandang Wulan dengan ramah. "Mbakyu Wulan, aku mohon maaf, kalau sikapku tadi kurang ajar."

"Dik Sekar, aku juga minta maaf, seharusnya aku menyambutmu dengan gembira." Wulan membentang dua tangan, Sekar menghampirinya. Keduanya berpelukan.

Sekar berbisik, "Baru hari ini aku melihat sikap Geni yang tegas dan wibawa."

Wulan tertawa lirih, "Sejak dia menguasai ilmu dahsyat Wiwaha itu sikapnya jadi tegas dan sangat jantan."

"Ilmu apa itu, mbak?"

"Namanya ilmu Wiwaha, tenaga dalamnya maju sangat pesat dan dalam urusan bercinta dia makin perkasa dan beringas. Benar demikian Sekar?"

"Memang, dia lebih perkasa dibanding sebelum berpisah dengan aku lima bulan lalu." Sekar tertawa geli.

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG