Hujan Darah Ditanah Bambu Bag. 02


Dengan ringan Jalu menjawab, “Ini panahnya.”
Segera saja, Si Pemanah Gadis mengerahkan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat
Matahari’ tingkat lima dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan
melontarkan hawa matahari yang ada di pusar.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa aura api kuning keemasan bagai sinar matahari di
langit disertai kilatan bunga api hijau kebiru-biruan merambat keluar melewati
tangan kanan dan kiri, lalu membulat kecil memanjang sepanjang setengah
tombak. Jalu Samudra membuat anak panah dengan bentuk kepala burung
rajawali pada ujungnya dengan tangkai yang memancarkan cahaya api emas
bercampur hijau kebiru-biruan berpendar-pendar.
Hawa memadat yang dilihat semua orang dengan takjub ini adalah salah satu
bagian dari ‘18 Jurus Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya
dari mendiang Dewa Pengemis.
“Hemm, kukira dengan jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ cukup menjangkau jarak
sekian jauhnya,” pikirnya sambil mengarahkan mata akan panah sedikit
terangkat naik. Matanya sedikit menyipit waktu mengincar sasaran. “Emmm ...
pasti pas deh.”
“Apakah tepat di bagian tengah kapal ada kumpulan tong besar berisi
minyak?” tanya Jalu entah pada siapa.

Satari yang merasa dirinya yang ditanya, tanpa sadar menjawab, “Ada empat
tong besar. Ada tepat di tengah.”
Bagaimanapun juga, kemampuan yang dimiliki Jalu membuat Satari dan
semua orang yang ada di tempat itu bagai disihir terpana. Beberapa saat
kemudian, anak panah pun terbentuk sempurna, dan dengan sedikit tarikan yang
semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali hitam yang direntang.
Sett! Twanggg ... !
Anak panah terlepas, melesat cepat laksana rajawali laut mengincar ikan di
kejauhan. Bahkan air laut dibawahnya sampai tersibak ke kiri kanan saking
cepatnya daya lesat.
Wess ... ! Wesss ... !!
“Sakti juga anak ini! Bisa membuat anak panah dari hawa saktinya,” kata hati
Gandarwa. “Siapa adanya pemuda buta ini! Aku yakin kehadirannya sudah
cukup dikenal di rimba persilatan.”
Ketika mencapai jarak lima puluhan tombak, panah hawa yang dilepaskan si
Pemanah Gadis lewat jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ bukannya mengendor
kehabisan tenaga, tapi justru semakin cepat dan meningkat tenaganya. Semua
orang di atas kapal Surya Silam yang mulanya berpikir bahwa panah yang
dilepaskan Jalu pasti kandas dalam jarak lima puluh tombak, langsung
menjerengkan mata melihat anak panah tetap melesat laksana rajawali terbang
di atas permukaan air laut.
“Edan! Ilmu si buta ini benar-benar edan-edanan!” gumam Lembing Nakhoda
Berhulu Panjang dengan kagum. “Makin kagum saja aku dengan anak ini!”
Lesatan panah kian lama mendekat ke kapal Perompak Tujuh Lautan. Dan
pada akhirnya ...
Wess ... ! Jrabbb!!
Duaaarr ... ! Duaaarr ... !
Terdengar letusan keras dikala anak panah yang terbentuk dari hawa sakti
yang digunakan Jalu Samudra tepat menancap pada tong yang tengah. Tentu
saja karena tongnya meledak, kapalnya juga ikut-ikutan meledak, apalagi dalam
tong terdapat bahan cair yang mudah meledak.
Ni kapal ga mau kalah ama tong!
“Hebat!” puji pemuda berkumis tipis. “Luar biasa! Benar-benar tepat sasaran!”
Duarrr ... duarrr ... !
Kembali terdengar dua kali letusan keras berturut-turut, bahkan kali ini lebih
besar dari sebelumnya. Dari kejauhan terlihat kepingan-kepingan kayu
berhamburan ke atas memenuhi angkasa seolah saling berlomba dengan lidah
api raksasa yang membentuk jamur menghiasi langit.
Benar-benar indah, namun mengerikan!

“Hancur sudah,” desis Gandarwa. “Andaikata dalam kapal masih ada
orangnya, tidak mungkin ia bisa selamat dari ledakan seperti itu.”
“Setidaknya dengan hancurnya satu kapal akan membuat pukulan hebat bagi
Jenggot Perak Mata Satu.”
“Benar.”
“Tapi kita harus siap-siap menghadapi kemurkaan Jenggot Perak Mata Satu,”
kata Adiprana, masgul. “Kita tidak tahu, apakah yang ada di kapal ini mampu
menghadapi kemurkaan dari biang kejahatan di laut itu. Namun, bagaimana pun
hasilnya, aku tidak akan menyerah begitu saja.”
Jari tangan Adiprana yang berjuluk si Naga Terbang terlihat tergenggam
kencang hingga tedengar suara berkerotokan. Samar-samar terlihat api dendam
di bias matanya.
“Setuju! Aku juga tidak bakalan diam menyerahkan leher,” desis Gandarwa.
“Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!”
Sementara itu, Jalu yang baru saja menunjukkan kehebatannya langsung
dirubung oleh anak buah kapal Surya Silam.
--o0o--
Bagian 12
Sudah dua hari lamanya Kapal Surya Silam mengarungi lautan sejak kejadian
gagalnya perompakan Kapal Tujuh Lautan. Dalam dua hari ini, keadaan benarbenar
mencekam menegangkan. Semua yang ada di kapal hilir mudik dengan
senjata terhunus. Tidak ada satupun dari mereka yang mengendorkan
kewaspadaan.
Semuanya serba menegangkan!
Pemuda baju merah menyala dengan kumis tipis yang bernama Trihasta
Prasaja kini semakin akrab dengan Jalu Samudra. Bahkan si Naga Terbang pun
ada kalanya ikut nimbrung ngobrol dengan mereka.
“Jurus-jurusmu kemarin benar-benar luar biasa, Jalu.” kata Trihasta Prasaja.
Si Pemanah Gadis hanya meringis saja.
“Masa’ sih? Perasaan biasa-biasa saja, deh.”
“Eh, bener kok! Tanya saja sama si Adiprana.”
“Benar, Jalu. Aku sendiri yang sudah cukup lama berkecimpung di rimba
persilatan dengan mengangkat nama besar Naga Terbang, merasa kagum
dengan kemampuanmu,” tutur Adiprana, tulus. Sambungnya, “... namun, jika
boleh aku tahu, kau berasal dari perguruan mana? Atau setidaknya nama besar
dari gurumu.”
“Aku sendiri saja berasal dari Perguruan Tongkat Hijau di wilayah selatan,”
tutur Trihasta Prasaja memperkenalkan diri terlebih dahulu.

“Aku dari Persilatan Naga Lahar,” tutur Adiprana memperkenalkan
perguruannya dengan nada bangga. “Bisa dibilang aku adalah murid utamanya.”
“Wah, ternyata kalian berasal dari perguruan silat ternama. Aku tahu
Perguruan Tongkat Hijau yang dipimpin oleh tokoh tua berjuluk Tongkat Kayu
Baka dan juga Persilatan Naga Lahar di lereng Gunung Lahar,” sahut Jalu sambil
tersenyum.
“Lalu ... kau sendiri dari perguruan mana, Jalu?”
“Sebenarnya aku tidak punya perguruan, jadi bisa dibilang tidak dari
perguruan silat mana pun. Tapi ... “
“Masa’?” potong Trihasta Prasaja. “Lalu yang mengajarimu ilmu silat siapa?”
“Yang mengajari ilmu silat adalah sepasang kakek-nenek nelayan yang
mengasuhku sejak kecil. Aku sendiri tidak tahu siapa namanya. Tapi mereka
digelari sebagai Tombak Utara Tongkat Selatan.”
Jalu pun mengisahkan sedikit tentang dua orang yang mengasuhnya sejak ia
masih bayi dan memberinya nama Jalu Samudra. Tentu saja tentang Dewa
Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga serta Kumala Rani tidak ikut ia
sertakan.
“Apa!?” seru Trihasta Prasaja kaget setelah mendengar penuturan dari
pemuda mata putih. “Kau berkata yang sebenarnya, kan!?”
Jalu sendiri justru terkaget-kaget melihat keterkejutan dari pemuda berkumis
yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki itu.
“Memangnya kenapa? Ada yang aneh dengan nama itu?” tanya Jalu dengan
alis berkerut.
“Bukan begitu! Jika memang yang mengasuhmu adalah pasangan pendekar
berjuluk Tombak Utara Tongkat Selatan, maka kita masih terhitung saudara
seperguruan.”
Kini gantian Jalu yang kaget, “Ahh ... yang bener?”
“Sungguh!” kata Trihasta Prasaja dengan mimik muka serius.
“Bisa kau katakan alasannya, sobat Trihasta?” kali ini Adiprana yang bertanya.
“Begini ... “ sahut Trihasta Prasaja sambil memperbaiki duduknya,
“Sebenarnya aku ditugaskan oleh Nini Guru Parikesit untuk ... “
“Tunggu-tunggu-tunggu!” cegah Adiprana.
“Ada apa?”
“Kau katakan Nini Parikesit adalah gurumu?”
“Benar.”
“Maksudmu Nini Parikesit yang digelari orang Ratu Cambuk Api Lengan
Tunggal itu?”
“Iya, kau benar lagi.”

“Lhooo ... katamu kau dari Perguruan Tongkat Hijau, kok ... “
“Itu juga benar.”
“Kok aku jadi bingung, ya?” potong Adiprana sambil garuk-garuk kepala. “Dari
Perguruan Tongkat Hijau kok gurunya orang luar? Aneh!”
“Ooohh ... itu,” ucap Trihasta Prasaja sambil menepuk pelan dahinya. “Begini
ceritanya. Ayahku bersahabat dengan Nini Guru Parikesit dan ayah
menginginkan aku belajar jurus cambuk milik Nini Guru dengan syarat setelah
empat tahun, ayah atau aku harus membantu Nini Guru membantunya
melakukan satu buah pekerjaan. Aku dan ayah telah berjanji, seberapa pun ilmu
cambuk yang bisa kukuasai dari Nini Guru Parikesit, asal tidak bertentangan
dengan kebenaran, kami siap membantunya.”
“Memangnya harus membantu apa?” tanya Jalu.
“Membantunya mencari kakak kandungnya yang bernama Aki Dangdang dan
istrinya Nini Dungdung.”
“Wah, siapa lagi itu?” ucap Adiprana sambil tersenyum geli saat mendengar
nama aneh.
“Teruskan ... “ pinta Jalu sambil menahan tawa.
“Menurut penuturan Nini Guru Parikesit, nama Nini Dungdung dan Aki
Dangdang tidak bakalan dikenal orang. Namun jika menyebut gelar mereka,
maka semua orang pasti kenal,” sambung Trihasta Prasaja.
“Memangnya siapa gelar mereka?”
“Tombak Utara Tongkat Selatan, itulah gelarnya.”
Jalu Samudra langsung melengak kaget!
Saat Trihasta Prasaja berceloteh macam burung berkicau, Jalu Samudra
semakin terperangah saja. Ternyata, kisah petualangan dari orang yang sudah
dianggap sebagai pengganti orang tua sekaligus gurunya begitu heroik dan
penuh dengan pernak-pernik dunia persilatan. Tentang jiwa kependekaran dari
Tombak Utara Tongkat Selatan diuraikan panjang lebar oleh Trihasta Prasaja
secara gamblang.
“Tidak menyesal aku dididik dan diasuh oleh kakek dan nenek,” kata hati Jalu
Samudra sambil berusaha membayangkan wajah sepasang tua renta yang
menemukannya di tengah laut dan mengasuhnya di Gua Walet. Masa kecilnya
yang dipenuhi dengan kegelapan karena kebutaan sehingga Jalu harus merekareka
seperti apa bentuk wajah dari pasangan tua itu.
“Kek, Nek! Semoga kalian tenang di alam sana,” batinnya. “Lihatlah sekarang
cucumu sudah dewasa dan bisa hidup sesuai dengan jalan yang kakek dan
nenek tempuh. Jalan kependekaran aliran putih.”
Kedua pemuda itu menyimak setiap jengkal kata dari Trihasta Prasaja, bahkan
dari A sampai Z. Hampir tak satu kata pun terlewatkan oleh mereka berdua.

“Kalau melihat bocah ini berkicau, kok lama-lama mirip dengan perempuan,
ya?” pikir Adiprana. Sebentar matanya sesekali melirik ke bagian dada Trihasta
Prasaja. “Hemm, dadanya datar-datar saja. Tidak ada tonjolannya.”
“ ... itulah sebabnya tadi aku katakan kalau sebenarnya kita masih saudara
perguruan, Jalu.” kata Trihasta Prasaja menutup ceritanya. “Gimana, paham ga?”
Namun melihat tampang bego dua pemuda di depannya, Trihasta Prasaja
malah tertawa geli.
“Sebenarnya, kalian mendengar ceritaku ga’, sih?”
“Denger-denger,” jawab Jalu dan Adiprana bersamaan.
Namun melihat cara dua pemuda itu menjawab, Trihasta Prasaja malah
menjadi cemberut. Apalagi dengan cara memandang keduanya seperti orang
kena hipnotis itu --terutama sekali sorot mata Adiprana sedang untuk Jalu dia
menganggapnya pemuda buta biasa-- membuat pipi Trihasta Prasaja bersemu
merah.
“Huh, kalian benar-benar menjengkelkan.”
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda berkumis tipis bangkit berdiri, lalu pergi
begitu saja tanpa pamit.
Kepergiannya tentu saja diikuti dengan tatapan aneh Jalu dan Adiprana.
Setelah menghilang di kelokan tangga, barulah keduanya menghela napas lega.
“Jalu, kau tahu apa yang ada di kepalaku?”
“Kukira tidak jauh beda dengan apa yang ada di kepalaku.”
Keduanya sambil pandang, lalu sama-sama berucap, “Dia ... banci!”
Keduanya langsung melepas ledakan tawa setelah mengucapkan kata-kata
‘sakti’ barusan.
“Seumur-umur, baru kali ini aku liat pemuda berwajah cantik,” kata Adiprana
sambil terus tertawa berderai.
“Aku sendiri juga sama,” sahut Jalu. “Bahkan aku sempat berpikir kalau dia
seorang gadis yang tengah menyamar. Dari tadi kuliat-liat di bagian dada, ga ada
tonjolan sama sekali. Kecil pun juga tidak.”
Keduanya kembali tertawa berderai.
“Ngomong-ngomong, kau ini benar-benar buta atau ... pura-pura buta?”
serobot Adiprana di sela-sela tawanya.
“Menurutmu, gimana?” tukas Jalu sambil menjerengkan sepasang mata
putihnya, yang memang cukup sering mengecoh lawan mau pun kawan.
“Menurutku, kau ini ... orang buta yang punya banyak otak mesum,
hahahaha!!”
Kembali keduanya tertawa keras. Bahkan saking kerasnya, air mata keduanya
sampai keluar dari sudut mata.

Selebihnya, cuma tawa dan tawa saja yang terdengar dari keduanya.
Tiba-tiba saja ...
“Ada orang datang! Ada orang datang ... !!”
Sebuah teriakan keras terdengar.
Tentu saja semua orang yang sudah siaga dari dua hari yang lalu, langsung
sigap mencari-cari ke segala arah. Walau bagaimana pun juga, tentu saja
mereka merasa aneh mendengar teriakan barusan.
Orang datang?
Bukannya lebih tepat ... kapal datang?
Namun, keanehan yang merambati mereka akhirnya tersunat kala di kejauhan
terlihat dua orang sedang berdiri di atas permukaan air laut!
Berdiri ... benar-benar berdiri di atas air!
Jika bukan orang berilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa melakukan hal itu!?
Semua orang di kapal Surya Silam menjerengkan mata lebar-lebar.
“Berikan teropong kaca laut!” seru Gandarwa pada salah seorang anak
buahnya yang dengan sigap memberikan sebentuk benda bulat yang bisa
memanjang jika ditarik ujungnya. Benda itu dibeli Gandarwa dari pedagang
Daratan Tiongkok yang menumpang di kapal mereka. Benda itu di kedua ujung
terdapat cermin bulat yang bisa membesar dan mengecil jika di putar di bagian
ujung depan.
“Heeemm ... mereka tidak berdiri di atas air, tapi ... menunggang seekor ikan
besar berbentuk pipih selebar tiga kali layar kapal,” desis Gandarwa.
Mendengar ukuran ikan tersebut, Jalu langsung memotong cepat, “Apa
bukannya ikan pari raksasa?”
“Ikan pari raksasa?” gumam Gandarwa sambil sesekali memutar-mutar ujung
teropong. Lalu sahutnya, “Yang kau maksud dengan ikan pari adalah ikan pipih
besar dengan ekor panjang serta dua tanduk depannya, mungkin juga benar.”
“Benar! Itulah ikan pari raksasa,” kata Jalu. Namun dalam hatinya ia berkata
lain, “Berarti perairan laut air tawar sudah dekat. Tapi di sebelah mana letaknya?
Apa harus menunggu kemunculan ikan gajah putih terlebih dahulu baru diketahui
letaknya?”
Saat Jalu asyik berkutat dengan kata hatinya, terdengar seruan kaget dari
mulut Gandarwa.
“Itu ... Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil!” katanya kembali.
Mendengar nama Raksasa Laut Hitam saja sudah membuat yang ada di situ
terkaget-kaget dengan jantung berdetak kencang, namun di tambah dengan
nama keren Demit Mungil semakin membuat senam jantung saja. Sebab belasan
tahun lamanya nama seram Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil tidak

terdengar. Entah menyembunyikan diri, entah pergi kemana tidak ada satu pun
warga persilatan yang tahu.
Yang gelarnya Raksasa Laut Hitam tidak seperti yang dibayangkan orang.
Meski menggunakan nama raksasa, namun sosoknya benar-benar jauh berbeda
dengan gelarnya. Sosok Raksasa Laut Hitam kecil-mungil saja. Ga’ tinggi-tinggi
amat, yah ... satu tombak lewat satu jengkal lebih beberapa helai rambut gitu-lah.
Gemuk-gemuk amat juga tidak meski berperut sedikit buncit karena kelebihan
lemak (kurang olah raga ‘kali). Kulitnya juga lumayan hitam meski tidak sehitam
jelaga. Yang luar biasa justru hidungnya, besar menggelembung menggantung
macam paruh kakatua.
Baju putih doreng-doreng antara hijau-merah tidak dikancingkan hingga
berkibar-kibar macam sayap kelelawar memperlihatkan gambar tato entong
bersayap di bagian dada. Entah apa maksudnya menggambar tato selucu itu,
mungkin juga untuk menakuti-nakuti lawan atau cuma salah cetak, hanya
Raksasa Laut Hitam yang tahu. Namun yang jelas, Raksasa Laut Hitam terkenal
dengan jurus silatnya yang bernama Jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ yang
konon kabarnya di wilayah Laut Hitam nun jauh disana tidak ada satu pun yang
sanggup membendungnya.
Akan halnya Demit Mungil justru bertolak belakang dengan sang kawan.
Meski menggunakan embel-embel ‘mungil’ biar berkesan manis, namun
sosoknya yang tinggi besar macam pohon beringin benar-benar tidak ada
manisnya sama sekali.
Bener-bener ga’ match gitu-loh!
Demit Mungil terlihat tinggi menjulai dengan kulit putih bersih sehingga saking
bersihnya, tidak ada tahi lalat -- apalagi tahi kebo, hihih ... amit-amit deh -- yang
ada di tubuhnya. Gambar panu pun tidak ada. Meski bertubuh tinggi besar
dengan otot-otot bersumbulan, raut mukanya yang oval justru terlihat kalemkalem
saja lengkap dengan rambut tersisir rapi. Tidak ada cambang atau pun
kumis, bahkan bibirnya merah membasah seperti bibir perempuan usia belasan
tahun.
Baju dan celananya pun bersih, beda jauh dengan Raksasa Laut Hitam yang
bercelana hitam dekil. Meski semua terlihat bersih dan rapi, tapi … nah ada
tapinya, matanya itu lho.
Gede-gede macam jengkol!
Di setiap tangan kiri-kanan terdapat tiga besi panjang kuning emas macam
cakar yang diselipkan. Itulah senjata andalan Demit Mungil yang bernama
Tanduk Singa. Meski masing-masing cuma sepanjang dua jengkal, jangan
dianggap remeh. Senjatanya sih tidak seberapa hebat, namun racun yang
melumuri seluruh Tanduk Singa yang wajib diwaspadai. Cukup kena tusuk dikit
aja, sebesar jarum sajalah, dalam waktu dua helaan napas sudah bisa mengirim
orang ke rumah masa depan alias kuburan!
Hebat, ‘kan?

Ngomong-ngomong jurus andalan, ni orang juga punya. Namanya Ilmu Silat
‘Singa Laut’. Entah sehebat apa, tidak ada yang tahu, barangkali kalah pamor
dengan Tanduk Singanya.
Konon kabarnya, Demit Mungil ini juga memiliki pukulan sakti yang namanya
Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’. Nah, kayak apa sih pukulannya?
Ntar liat aja, gitu aja kok repot!
Sebentar saja, lesatannya telah berada sejarak delapan tombak dari kapal
Surya Silam.
--o0o--
Bagian 13
“Hahahahahah!” sebuah tawa keras terdengar berkumandang dari kejauhan,
namun getarannya sampai membuat membuat berdebar-debar orang-orang yang
ada di kapal Surya Silam.
“Mana keparat-keparat yang menggagalkan pekerjaan Sepasang Hiu Baja?
Mana!?” bentak si tinggi besar Demit Mungil.
“Aku!” balas Gautama, lalu ia menudingkan lembingnya sambil berseru keras,
“Jika kalian berdua ingin mencari siapa orangnya, akulah orang kau cari!”
“Huh, cuma Lembing Nakhoda Berhulu Panjang apa hebatnya?” bentak Demit
Mungil. “Mana yang lain? Biar sekalian aku bereskan!”
“Aku!” bentak Gandarwa.
“Si Kapak Pencabut Nyawa! Bagus, bagus!” seru Raksasa Laut Hitam dengan
suara cempreng. “Pantas berani unjuk gigi di hadapan kami!”
“Sudah tahu Kapak Pencabut Nyawa dan Lembing Nakhoda Berhulu Panjang
ada di kapal ini, kalian masih berani mengganggu kami!” gertak Gandarwa yang
bergelar Kapak Pencabut Nyawa. “Benar-benar tidak memandang sebelah mata
pada kami.”
“Cuih!” Demit Mungil meludah. “Apa hebatnya? Perompak Tujuh Lautan tidak
pernah takut pada siapapun! Jika berani, silahkan turun kemari!”
Selebar muka Kapak Pencabut Nyawa merah padam dihina seperti itu.
“Bangsat! Kuterima tantanganmu!” bentak Gandarwa.
Namun, sebelum niat Gandarwa terlaksana, sesosok bayangan hijau melesat
cepat diiringi teriakan mengguntur, “Heeaaahh ... !”
Lalu, dua hawa berbentuk bayangan naga hijau terlihat meliuk cepat ke arah
Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam.
Wuss ... wusss ... !!

Demit Mungil menghentak kaki pelan, lalu tubuhnya meluruk maju ke depan
dengan sepasang tangan mengeluarkan sinar kuning emas menadahi hawa
naga hijau.
Bummm! Bummm ... !!
Dua dentuman terdengar keras.
Sosok Demit Mungil berjumpalitan di udara tiga kali, lalu melayang turun dan
tepat berdiri di atas hewan tunggangannya. Sedang lawan melakukan hal yang
sama, berjumpalitan tiga kali dan melayang turun kemudian berdiri tegak di atas
air!
Sosok pemuda baju hijau berdiri kokoh di atas air membuat sepasang mata
Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam membelalakkan mata. Namun setelah
melihat sepasang caping di bawah kaki si pemuda, keduanya tertawa terbahakbahak,
meski dalam hati mereka mengakui kehebatan jurus peringan tubuh
lawan cukup tinggi. Jarang dijumpai tokoh muda yang sanggup berdiri di atas air
dengan caping kecil seperti itu.
“Kukira siapa, tak tahunya bocah ingusan yang tak tahu tingginya langit
dalamnya samudra!” ejek Demit Mungil. “Bocah, siapa kau?”
“Aku adalah bocah ingusan yang tak tahu tingginya langit dalamnya samudra!”
balas mengejek si pemuda baju hijau yang ternyata Adiprana atau si Naga
Terbang. “Jelas?”
“Buaaangsaatt ... !” amarah Demit Mungil meninggi cara menjawab Adiprana.
“Jangan bilang kalau Demit Mungil membunuhmu tanpa sempat menanyakan
nama, anak muda keparat!!”
“Buat apa namaku dikenalkan padamu! Lagian, gelar Demit Sinting Kurang
Sajen lebih bagus daripada Demit Tengil,” lagi-lagi Adiprana mengejek.
“Kurang ajar!”
Selebar muka Demit Mungil merah-padam penuh kemarahan. Benar-benar
diejek luar-dalam dia!
“Sobat, jika melihat jurusnya, tampaknya aku tahu dia berasal darimana,” bisik
Raksasa Laut Hitam.
“Teruskan,” desisnya sambil menahan geram. “Siapa setan baju hijau itu
hingga mulutnya berani pentang bacot di depan kita!”
“Kau tahu Persilatan Naga Lahar di lereng Gunung Lahar? Kurasa dia dari
sana,” jawab Raksasa Laut Hitam. “Jelasnya ... murid Naga Terkutuk Dari
Neraka!”
“Ooo ... murid manusia keparat yang berjuluk Naga Terkutuk Dari Neraka
rupanya,” kata Demit Mungil dengan geram. “Pantas berani petentang-petenteng
di hadapanku!”
Mendengar nama Naga Terkutuk Dari Neraka disebut-sebut, Naga Terbang
terperanjat!

“Dia tahu jatidiriku sebagai murid Naga Terkutuk Dari Neraka,” pikir si Naga
Terbang. “Celaka! Aku harus berhati-hati menghadapinya.”
“Hahahaha! Cuma murid ingusan Naga Terkutuk Dari Neraka apa bagusnya!?
Juehh ... !!” Demit Mungil meludah. “Kukira Ilmu Silat ‘Naga Hijau’-mu belum
sehebat gurumu yang murtad dari aliran hitam! Siap-siaplah kau kurencah dan
kulemparkan mayatmu ke depan hidung manusia busuk itu!”
“Setan laknat!” balas memaki Adiprana, sebab guru yang sangat dihormati di
caci-maki lawan di depam hidungnya. “Sudah bosan hidup kau rupanya!”
Prinsip si Naga Terbang, siapa saja boleh mencaci-maki dirinya, tapi jangan
sekali-sekali menyinggung nama Naga Terkutuk Dari Neraka di hadapannya!
Naga Terkutuk Dari Neraka memang awalnya termasuk gembong sesat kelas
kakap, bahkan sudah malang melintang sejak usia muda. Jaman itu, siapa yang
tidak kenal dengan gelar seram Naga Terkutuk Dari Neraka?
Hanya orang tuli saja yang ga’ kenal!
Namun semenjak usianya mendekati lima puluhan tahun, dia insyaf dari
kesesatannya lalu memutuskan mengasingkan diri di Gunung Lahar serta tidak
mau lagi turut campur di rimba persilatan. Laki-laki parobaya ini berniat
mengubur dalam-dalam nama jahatnya dan menggunakan nama asli : Ki
Mandira.
Setelah lima tahun mengasingkan diri timbul niat diri Ki Mandira untuk
mewariskan segala ilmu silat dan kesaktian yang dimilikinya agar tidak musnah
dimakan usia, lalu didirikanlah Persilatan Naga Lahar. Diawal pendirian, Ki
Mandira menerima tiga murid yang rata-rata berusia dua puluhan tahun. Namun
setelah tahu gelagat bahwa ketiga muridnya cenderung berada di jalan sesat
meniru dirinya, mantan tokoh sesat yang ditakuti ini mengeluarkan ketiga orang
muridnya dari perguruan dan dijanjikan diterima kembali jika hatinya sudah
bersih.
Meski terjadi pertentangan dengan sang guru, namun ketiga murid Persilatan
Naga Lahar tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi mereka tahu nama besar dari
Naga Terkutuk Dari Neraka!
Jelas, belum apa-apa sudah nge-peer duluan!
Dua tahun berselang, bertemulah si tua dengan bocah usia enam tahun yang
saat itu sedang sekarat karena gigitan ular kobra. Diselamatkanlah anak itu dan
diangkatnya menjadi murid tunggalnya setelah melihat bakat dan kecerdasan si
bocah.
Dialah Adiprana yang sekarang berjuluk si Naga Terbang!
Dididiknya Adiprana dengan kasih sayang dan budi pekerti luhur. Meski ia
bekas tokoh sesat namun ia tidak malu dicela muridnya jika melakukan
kesalahan. Hingga tiga tahun kemudian, jumlah murid Ki Mandira menjadi lima
orang termasuk Adiprana sebagai saudara seperguruan yang paling tua. Saat
usianya mencapai enam puluh lima tahun, jumlah muridnya mencapai dua belas
orang dan Ki Mandira berketetapan tidak menerima murid lagi.

Pada Adiprana seorang ia menceritakan siapa jati dirinya. Karena sebab itu si
Naga Terbang ini langsung memuncak amarah ketika nama Naga Terkutuk Dari
Neraka disinggung dan dijelek-jelekkan lawan.
Semua orang mendengar dengan jelas percakapan mereka. Tidak disangka
sama sekali kalau Adiprana ternyata murid dari Naga Terkutuk Dari Neraka.
Bahkan Gautama sampai terperanjat mendengarnya.
“Pantas dia begitu kejam! Membunuh orang seperti membunuh lalat saja ... “
gumam Gautama saat teringat melihat gebrakan pemuda baju hijau saat
pertempuran kemarin. “Belum apa-apa beberapa nyawa melayang di tangannya.
Kejadian kemarin masih membekas dalam ingatanku.”
Bahkan ia masíh ingat sosok tubuh hancur lebur karena pukulan maut yang
dilancarkan si Naga Terbang.
Hiih, ngeri deh!
“Kukira Adiprana tidaklah kejam, Paman. Hanya sifat ilmunya saja yang masih
memiliki keganasan. Setidaknya ia tidak tersesat seperti gurunya,” sahut Jalu
Samudra, lalu imbuhnya, “ ... lagi pula, sedikitnya kita tahu semua tentang
Persilatan Naga Lahar. Ki Mandira memang benar-benar telah bertobat dari jalan
kesesatan. Coba Paman pikirkan lebih dalam, meski ilmu aliran putih namun jika
digunakan untuk kesesatan, apa bedanya? Demikian pula sebaliknya. Setiap
ilmu apa pun bentuknya, tergantung dari siapa pemakainya.”
Si Pemanah Gadis masih ingat betul dengan laki-laki tua pendiam berambut
putih dengan raut muka terkesan kalem-kalem sadis waktu kasus Perguruan
Sastra Kumala dengan Aliran Danau Utara. Dari Ki Gegap Gempita pula, ia tahu
nama Ki Mandira yang adalah Ketua Persilatan Naga Lahar. Hanya saja Ki
Mandira pergi begitu saja setelah lolos dari penjara bawah tanah.
“Yah, ucapanmu memang benar, Anak Muda!” sahut Gautama kembali. “Jika
saja Naga Terkutuk Dari Neraka masih seperti waktu masa mudanya, entah jadi
apa rimba persilatan ini!?”
“Semoga saja muridnya ini bisa mengharumkan nama Persilatan Naga Lahar,”
kata Gandarwa.
“Semoga.”
Sementara itu, Demit Mungil sudah saling gebrak dengan si Naga Terbang
hingga puluhan jurus. Pun tubuh keduanya melesat kesana-kemari sambil
mengirimkan pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Bahkan beberapa kali
sepasang Tanduk Singa di tangan Demit Mungil berulang kali nyaris menggores
kulit Adiprana. Belum lagi kepiawaian Demit Mungil mengendalikan satwa pipih
lebar patut diacungi jempol. Setiap kali menghentak, maka dengan sigap si
hewan air langsung bergeser sesuai arah yang diinginkan Demit Mungil.
Namun ilmu silat Adiprana juga tidak bisa dipandang rendah. Beberapa kali
serangan hawa tapak Adiprana dengan sengit mendesak lawan. Belum lagi
dengan jurus peringan tubuh handal khas Persilatan Naga Lahar yang unik. Alur
gerak langkah sulit ditebak. Meski pertarungan berada di atas air, seolah tidak

mengurangi kelincahan kaki si Naga Terbang melesat kesana-kemari
menghindari sergapan lawan mau pun mengirimkan serangan-serangan
mematikan.
Meski begitu, ada satu hal yang dilupakan oleh Adiprana.
Tempat dimana ia bertarung yaitu ... di atas air!
Meski si Naga Terbang bisa mengimbangi serangan lawan selama puluhan
jurus, namun lama-kelamaan keteteran juga. Air adalah hal baru baginya,
sedang bagi Demit Mungil, air adalah sahabat karib yang kemana-mana selalu
menemaninya dengan setia.
Akibatnya, pelan namun pasti, Demit Mungil berada di atas angin!
Suatu saat, sebongkah hawa padat Demit Mungil tepat mengenai bahu kiri
lawan saat berkelit ke kanan menghindari sergapan Tanduk Singa.
Bukk!
Akan tetapi arah gerak lawan sudah bisa terbaca oleh lawan hingga tangan
kirinya menyusul bergerak mendorong secepat kilat menerbitkan angin padat
menghajar dada.
Dess!!
Akibatnya ... Adiprana yang kehilangan daya keseimbangan langsung masuk
ke air tanpa malu-malu lagi.
Byurr!
Bagaimanapun juga, pemuda baju hijau ini adalah murid tokoh kosen yang
pernah malang melintang dengan segala kesaktian dan kejahatannya tentu tidak
hanya dengan sekali pukul langsung keok. Kesadarannya cukup tinggi, meski
sergapan rasa sakit mendera di bahu dan dada. Begitu mencapai kedalaman
enam tujuh tombak Adiprana segera memutar tubuh, lalu menghimpun tenaga
dalam tingkat tinggi di dalam air hingga telapak tangan sebatas siku berpijar
hijau. Selang beberapa saat, tangan berubah menjadi cakar kokoh yang
digerakkan membeset air silih berganti.
“Hewan keparat itu harus aku hancurkan terlebih dahulu,” pikir Adiprana
sambil terus membeser-beset air yang semakin lama semakin cepat.
Srett! Srett!
Jurus ‘Pisau Naga Merobek Langit’ paling afdol digunakan di udara terbuka
namun sekarang justru dikerahkan dalam air, yang meski kehilangan sebagian
kekuatan karena tekanan air yang kuat namun keganasannya tidak bisa
dipandang ringan.
Werrr ... ! Werrr ... !
Di atas permukaan air, Demit Mungil yang masih mengatur napas mendengar
suara gemuruh dari bawah air.
“Suara apa itu?” desisnya.

Namun kepanikan justru terlihat pada ikan pari raksasa tunggangannya.
Hewan itu terlihat gelisah dengan mengibaskan ekor berulang kali dan pada
akhirnya, tanpa diberi perintah oleh Demit Mungil mau pun Raksasa Laut Hitam
lagi, dua hewan raksasa itu telah memisah ke kiri kanan dengan cepat.
Bersamaan dengan itu, puluhan pisau air menerjang cepat!
Srakk! Srakk!
Daaarr ... darrr ... !
Namun, serangan pisau air yang semakin banyak terus saja mengejar ikan
pari raksasa yang sibuk menghindar kesana-kemari. Bagaimana pun juga, naluri
hewani ke dua binatang lebih tajam dari sekedar perintah-perintah yang
diberikan manusia. Apalagi jika untuk mempertahankan selembar nyawa. Meski
Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam berulang kali memaki hewan
tunggangannya agar tenang, namun tetap saja gagal.
“Keparat!” bentak Raksasa Laut Hitam sambil menghentakkan sepasang
tangannya ke depan. “Ini tidak bisa dibiarkan!”
Wutt!
Jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ tingkat tiga milik Raksasa Laut Hitam
langsung menggebah maju membentuk gulungan-gulungan ombak besar.
Duarr! Duarrr! Duarrr!
--o0o--
BAGIAN 14
Meski tingkat tiga saja, namun bunyi dentuman yang terjadi cukup keras.
Bahkan Adiprana yang berada di bawah air merasakan dadanya semakin
tertekan sakit. Selain bagian dalam dada yang seperti meledak karena terlalu
lama menahan napas, suara gema ledakan begitu memekakkan saat berada
dalam air.
Tiba-tiba saja, tubuhnya meluncur cepat ke atas.
Byarrr!!
Tubuh basah pemuda itu melesat keluar dari bawah air dan saat sejarak tiga
tombak, sepasang tapak tangannya digerakkan cepat ke delapan penjuru.
Sebuah jurus maut yang sebelumnya meluluh-lantakkan tubuh para Perompak
Tujuh Lautan.
Jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’!
“Jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’!” seru Demit Mungil. “Kita lihat mana yang
hebat, jurusmu atau jurus ‘Singa Laut Membelah Angkasa’ milikku!”
Sepasang Tanduk Singa digesekkan satu sama lain hingga menimbulkan
bunyi nyaring laksana dengkingan suara singa laut dan bersamaan itu pula
terlihat larikan-larikan sinar kuning emas berhamburan keluar.

Weess! Weess!
Blamm! Blamm! Blamm!
Benturan antara bayangan tapak dari jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’ dengan
larikan sinar kuning emas jurus ‘Singa Laut Membelah Angkasa’ lagi-lagi
membuncah angkasa. Air laut pun sampai bergolak membentuk gelombang
tinggi. Bahkan getaran ledakan yang merambat di air sampai ke kapal Surya
Silam.
Kembali, Adiprana terpelanting dan jatuh ke dalam air. Namun kali ini, karena
akibat daya benturan yang sangat keras membuatnya pingsan diikuti semburan
darah kental waktu melayang jatuh.
Byurr!
Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah tenggelam ke dalam air.
“Celaka! Dia bisa mati kehabisan napas,” kata Jalu Samudra, cemas.
Melihat Adiprana tenggelam, si Pemanah Gadis yang sedari awal pertarungan
sudah menduga kalau sobat barunya bakalan dikeroyok, langsung melesat
cepat.
Wutt!
“Jalu, jangan ... !” cegah Gautama, namun terlambat.
Byurr!!
Tubuh pemuda baju biru laut langsung amblas ke dalam air!
Begitu merasakan dinginnya air, Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ yang diberikan Dewi
Binal Bertangan Naga kepadanya bereaksi secara alamiah. Sebuah ilmu sakti
yang membuat Jalu Samudra bisa bernapas dalam air sesuka hatinya. Tubuhnya
meliuk cepat laksana ikan terbang, tangan kiri menyambar tubuh pemuda baju
hijau dan dengan ayunan kaki ringan dibawanya naik ke permukaan air.
Byarr! Jligg!
Jalu Samudra berpijak di atas air. Berdiri tegak-kokoh sambil memondong
sosok pingsan Adiprana. Lalu dengan seenaknya ia berjalan di atas air seperti
berjalan di atas tanah. Begitu berada tepat di bawah kapal Surya Silam, ia pun
berteriak, “Paman, tolong obati Adiprana! Biar dua ikan kesiangan ini aku yang
urus!”
Tangan Jalu menyentak sedikit ke atas, lalu tubuh Adiprana melambung ke
atas dengan cepat.
Wutt!
Tapp!
Sigap, Cideng menerima tubuh pingsan Adiprana.
Begitu Adiprana sudah berada di tangan yang aman, Jalu kembali berjalan
lenggang kangkung. Dan anehnya, gerakan tongkat mengetuk tidak pernah
terlupa sedikit pun.

Tentu saja perbuatan Jalu yang luar biasa itu semakin membuat mata
terbelalak. Bagaimana mungkin orang bisa berjalan diatas air seperti berjalan di
atas tanah, dengan tongkat pula!?
“Jika bukan orang berilmu tinggi, tidak mungkin orang bisa berjalan di atas air
seperti itu,” desis Trihasta Prasaja yang keluar dari kamarnya saat mendengar
suara ledakan keras pertama kali. “Tapi apa benar dia murid dari Tombak Utara
Tongkat Selatan? Setahuku Nini Guru Parikesit tidak pernah menceritakan
tentang ilmu kesaktian kakak kandungnya ada yang seperti itu!?”
“Kakang Cideng, apa itu yang namanya jurus ‘Menapak Di Air’?” tanya
Sampurna, heran.
“Kemungkinan besar ... tidak, Adi! Sebab jurus ‘Menapak Di Air’ tidak bisa
digunakan untuk berjalan biasa, tapi harus berlari cepat. Itu pun harus
menguasai tenaga peringan tubuh tinggi. Meleset sedikit saja, pasti tercebur,”
terang Cideng sambil menyalurkan tenaga dalamnya ke punggung Adiprana.
“Jelas sekali kalau terlihat Jalu Samudra berjalan, bukan berlari.”
“Benar-benar edan tuh orang!” kata Satari tidak sadar.
“Edan?”
“Maksudku ... ilmunya benar-benar edan!” sahut Satari.
Tiba-tiba saja, Gandarwa mengernyitkan alis sambil mendesis pelan, “Apa
jangan-jangan dia orangnya?”
“Ada apa, Paman? Siapa yang dimaksud dengan ‘dia’?” tanya Sampurna.
“Dua tahun belakangan ini rimba persilatan dihebohkan dengan kemunculan
seorang pendekar muda bermata buta yang konon kabarnya telah mewarisi Ilmu
Sakti ‘Mata Malaikat’ ... ” terang Gandarwa. “ ... dan dari ciri-ciri yang dimiliki Jalu,
kuat dugaan dialah orangnya.”
“Pewaris Ilmu Sakti ‘Mata Malaikat’!?” terperanjat Sampurna mendengar hal
itu. “Maksud Paman, dia itu ... murid mendiang Dewa Pengemis? Tapi itu tidak
mungkin!”
“Kemungkinan itu bisa saja terjadi,” sahut Gandarwa diplomatis sambil terus
memperhatikan langkah Jalu yang lambat namun pasti mendekat ke arah
Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil. “Ilmu orang-orang sakti tidak akan
musnah begitu saja ketika mati, tapi menggumpal dalam wujud-wujud tertentu.
Bisa berupa pedang, golok atau apa saja. Bahkan ilmu-ilmu titisan bisa berwujud
gumpalan cahaya atau sebentuk mimpi yang selalu hadir kala yang
bersangkutan tertidur. Sebagai contoh nyata adalah pemilihan Ketua Istana
Elang yang dari generasi ke generasi selalu berbeda-beda namun cara
penurunan ilmu kesaktian cenderung sama. Semua calon Ketua Istana Elang
harus digodok di Lembah Badai yang konon kabarnya hanya Ketua dan Empat
Pengawal Gerbang yang sanggup menembusnya.”
Sampurna yang mendengarnya manggut-manggut. Meski belum pernah
bertemu dengan tokoh selegendaris Ketua Istana Elang dan Empat Pengawal
Gerbangnya, namun Sampurna meyakini betul kebenaran ucapan Gandarwa.

Gautama yang sedari tadi tercengang dengan pamer kesaktian (kalau
sekarang namanya ‘show of power’ gitu-lah) yang ditunjukkan Jalu Samudra, dan
saat mendengar ucapan Gandarwa, mendadak saja teringat pada satu nama
yang akhir-akhir ini menjulang tinggi karena kesaktiannya.
“Jangan-jangan ... dia ... “
“Dia siapa, Paman?” tanya Sampurna sambil memandang Gautama dengan
sorot mata ingin tahu.
“Dia itu pemuda yang berjuluk ... si Pemanah ... “ kata Gautama dengan
sedikit merendahkan kata terakhir bahkan cenderung di telan. “ ... Gadis ... “
Gautama takut kalau salah ucap. Jika hanya dirinya saja yang tahu tidak
menjadi masalah, namun jika semua orang tahu ia memberi julukan asal saja
pada seseorang dan yang bersangkutan tidak terima, bisa panjang buntutnya.
“Si Pemanah ... siapa?” tanya Sampurna dengan mimik muka heran. “ ...
Gadis?”
Gautama hanya memandang dengan senyum-tak senyum saja. Antara mengiya-
kan dan tidak.
Pokoknya serba nanggung, deh!
“Jadi Jalu Samudra itu yang berjuluk si Pemanah Gadis?” sahut Sampurna
agak keras, membuat semua orang menoleh ke arahnya.
“Brengsek, kau! Kenapa dikeras-kerasin!?” seru Gautama dengan suara agak
ditekan plus mata melotot, “Ntar semua orang denger gimana? Iya kalau bener ...
lha kalau salah!?”
“Lho, tadi ‘kan Paman yang bilang sendiri,” elak Sampurna tidak mau
disalahkan. “Kok malah aku yang dibentak-bentak?”
Muka Gautama merah padam karena malu.
“Sudah! Aku tidak mau bicara lagi!” kata Gautama sambil pergi menjauh.
Tentu saja debat antara Sampurna dengan Gautama tadi sedikit banyak
terdengar oleh orang-orang yang berada di kapal Surya Silam. Suara gemuruh
macam lebah kawin terdengar.
“Yang bener aja? Masa’ julukan kok si Pemanah Gadis?” tukas yang di pojok
kanan.
“Lha, emang bagusnya apa. Mbul?”
“Julukan tuh yang heboh, kalau perlu mengerikan. Biar lawan pada takut!”
terang yang di pojok kanan yang disebut ‘Mbul’, lengkapnya : Jumbul.
“Misalnya?”
“Si Pemanah Sakti Bertangan Maut bisa, Dewa Panah Berwajah Tampan juga
tidak jelek, Pemanah Buta juga cocok. Pemanah Baju Biru tak buruk-buruk amat
... “

“Wah, kalau aku lebih setuju disebut si Pemanah Gadis,” sahut kawannya
yang bernama Junta.
“Kamu?”
“Bukan! Ya ... si Jalu itu, goblok! Liat aja! Jalu itu ganteng, kulitnya bersih,
badannya tegap, berilmu tinggi. Gelar si Pemanah Gadis cocoklah buat dia, klop
gitu looh! Dari pada si Pemanah Janda atau malah si Pemanah Nenek, kan
bagusan si Pemanah Gadis,” cerocos Junta panjang lebar. Sambungnya,
“Lagian, jika disejajarkan dengan aku, nilai ketampanan Jalu dan diriku pastilah
bernilai sembilan.”
“Lho ... kok bisa?” tanya heran Jumbul sambil memandang pulang balik wajah
Junta. “Dilihat dari segi mana pun, wajahmu ga ada nilai sembilan, tuh! Empat
aja juga engga!”
“Maksudku ... kalau si Jalu nilainya sembilan di atas nol, kalau aku sih ...
sembilan di bawah nol, hehehehe!” kata Junta sambil meringis.
“Ahhh ... kampret loe!”
Sementara itu, yang dibicarakan malah justru sedang tantang-tantangan adu
mulut. Yach, maklum ajalah, namanya juga baru kenal. Saling menantang dulu,
boleh dong!
”Siapa kau, Anak Muda?” tanya Raksasa Laut Hitam. ”Mau apa kau? Kau mau
apa? Apa mau kau?”
Karena bentakan yang serak-serak sember itu, tentu saja membuat Demit
Mungil gaplok kepala sang teman.
Plok!
”Kalau bentak yang bener, bego!!” bentaknya dengan mata melotot, lalu
bisiknya, ”Kalau keder jangan diperlihatkan, malu-maluin nama besar kita.”
”Aku sih maunya juga begitu,” balas bisik Raksasa Laut Hitam.
Tentu saja melihat pameran tenaga dalam si pemuda baju biru laut berambut
kuncir ekor kuda yang diikat robekan kain warna biru laut sudah membuat
Raksasa Laut Hitam menduga seberapa tinggi kesaktian lawan.
”Buat apa kalian perlu tahu siapa aku?” sahut Jalu dengan gaya
menjengkelkan.
Bagaimana tidak menjengkelkan, dia justru duduk berjongkok sambil tangan
kanan yang memegang tongkat memukul-mukul air laut, menggoda hewan
tunggangan dua kaki tangan Jenggot Perak Mata Satu. Jika orang lain berpikir
ribuan kali untuk bisa duduk di atas air, justru si pemuda murid Dewa Pengemis
ini dengan seenaknya melakukan hal yang dianggap mustahil semua orang!
Benar-benar menghina dia!
Dengan jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dan tenaga dalam super tinggi bukanlah
hal yang mustahil dilakukan anak didik Tombak Utara Tongkat Selatan ini. Jurus

‘Kilat Tanpa Bayangan’ bukan hanya berlari secepat kilat tapi bisa membuat
pemiliknya seringan kapas seenteng bulu.
”Bangsat! Jangan dikira dengan kau bisa nangkring di atas air sudah membuat
kami menjadi keder!” bentak Raksasa Laut Hitam menutupi rasa gentarnya,
padahal dalam hatinya ia sudah nge-peer duluan, ”Brengsek! Kenapa aku jadi
gelisah begini!?”
”Memangnya kau bisa!?” ledek si Pemanah Gadis sambil terus menusuknusuk
‘mainan barunya’.
Tentu saja ikan pari jadi gelisah. Sebentar-sebentar menggeser ke kiri kanan,
adakalanya sedikit menenggelamkan diri hingga sebatas pinggang Raksasa Laut
Hitam yang notabene membuat panik sang penunggang.
”Sini kau!” ledek Jalu semakin keterlaluan.
Selebar muka Raksasa Laut Hitam mengelam. Marah. Bahkan terlihat dari
ubun-ubunnya keluar asap tipis.
Marah tingkat tinggi, bro!
”Ini tidak bisa dibiarkan! Mau dibawa kemana nama besar kita jika hanya
melawan bocah ingusan sepertimu saja sudah membuat gentar!” bentak Demit
Mungil sambil pasang kuda-kuda.
”Melawan? Emangnya kita sudah bertarung!?” tanya Jalu, heran. ”Boro-boro
bertarung, lha wong dari tadi kalian cuma pentang bacot buang kentut saja!
Sudah! Lebih baik kalian pulang saja!! Hush ... hush ... hushh ... !”
Sambil berkata begitu, Jalu Samudra memukul-mukul air didepannya
membuat percikan-percikan air hingga sepasang ikan pari menggoyang ekor
sambil mundur perlahan sedang tangan kirinya bergerak seperti menggusah
ayam yang mau dimasukkan kandang.
”Setan keparat!”
Demit Mungil langsung menerjang lawan dengan sebat. Tubuh kekar itu
bergerak cepat di atas air. Meski tidak bisa seperti yang dilakukan Jalu Samudra,
namun langkah kaki yang dilakukan oleh Demit Mungil tergolong ringan. Sebab,
bagaimana pun juga, laut adalah kampung halamannya.
Sepasang Tanduk Singa mencecar lawan dengan sabetan dan tusukan cepat
membawa hawa maut.
Wuss!!
Harapan Demit Mungil adalah Jalu Samudra bersalto ke belakang
menghindari serangannya sehingga ia bisa melakukan serangan susulan yang
lebih mematikan. Namun harapan tinggal harapan. Bukannya Jalu menghindar,
tapi justru melepas tenaga peringan tubuh jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dan
akibatnya ...
Blungg ... !

Langsung amblas ke dalam air dan tahu-tahu sudah muncul di belakang
Raksasa Laut Hitam.
Took!
Tongkat di tangannya langsung menggetok kepala Raksasa Laut Hitam
dengan sukses tanpa halangan.
Raksasa Laut Hitam serasa terbang nyawanya!
”Laknat!” bentaknya sambil mengelebatkan tangan kanan ke belakang.
Wutt!
Namun, lagi-lagi Jalu menjatuhkan diri ke air dan tahu-tahu telah muncul di
belakang Demit Mungil yang matanya masih nyalang mencermati air di
depannya.
Took!
Jalu menggetok kepala Demit Mungil, sama halnya yang dilakukan terhadap
Raksasa Laut Hitam.
”Buuuaaaajingannn ... !!” seru Demit Mungil sambil memutar tubuh, namun
sosok Jalu Samudra kembali menyelam ke dalam air.
Begitu berturut-turut hingga masing-masing mendapat lima ketokan!
Saking jengkelnya, Raksasa Laut Hitam mengumbar pukulan-pukulan sakti
sehingga berulang kali terdengar deburan keras, termasuk pula jurus ‘Pukulan
Gelombang Laut’ tingkat enam berceceran dimana-mana. Akan tetapi sosok Jalu
Samudra alias si Pemanah Gadis seakan bisa muncul dimana saja. Meliuk-liuk
bagai bulu ayam terbawa angin diantara celah-celah sempit yang bisa dimasuki.
Bahkan kata-kata sakti dari kebun binatang lebih lancar mengalir mulut Demit
Mungil sembari Sepasang Tanduk Singanya berulang kali melontarkan larikanlarikan
sinar kuning emas yang menyebar ke segala penjuru. Tentu saja larikan
bukan sembarangan larikan sinar tapi sarat tenaga dalam tinggi.
Tentu saja yang dilakukan si Pemanah Gadis membuat panas dingin bulu
kuduk Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam. Belum pernah dalam sejarah hidup
mereka dipermalukan seperti itu. Puluhan tahun mengangkat nama seram di
rimba hitam, toh pada akhirnya hanya jadi mainan pemuda tak dikenal yang
dengan dengan seenak perutnya menggetok kepala atau ubun-ubun tanpa
diketahui bagaimana ia muncul, tahu-tahu ada telur bundar tercetak rapi di
kepala!
Jika diitung-itung, dah koit lima kali ‘tuh!
--o0o--
BAGIAN 15
Namun karena pada dasarnya mereka adalah tokoh sesat yang selalu
memandang tinggi diri sendiri dan meremehkan orang lain, tidak bisa menerima

begitu saja perlakuan lawan. Tindakan si pemuda yang seperti mempermainkan
mereka sebagai tokoh hitam kelas kakap jelas laksana menyiram api dengan
minyak.
”Anak muda keparat! Jika kau laki-laki, bertarunglah secara jantan!” seru
Demit Mungil. Jelas sekali ia berkeinginan menohok harga diri Jalu Samudra.
”Ahhh ... yang beneerrr ... !?!?! Yakin nih ... ?” sebuah suara terdengar
menggema di seantero lautan, bahkan semua orang yang berada di kapal Surya
Silam mendengarnya dengan jelas. Namun batang hidung si pemuda tidak
kelihatan di mana pun. ”Jangan-jangan itu cuma kilah kalian saja supaya aku
tidak menambah jumlah telur busuk di kepala kalian.”
”Bangsat! Tunjukkan dirimu!” bentak Raksasa Laut Hitam sambil memutar
tubuh mencari asal suara.
”Betul, tunjukkan dirimu!” kata latah Demit Mungil.
Senyap kembali meraja di tempat itu.
Namun, beberapa saat kemudian, dari bawah air sebelah kanan perlahan
namun pasti keluar sebentuk kepala, terus ke bawah hingga air sebatas leher,
dada, perut terlihat jelas. Naik terus ke atas, hingga pada akhirnya... terlihat
sosok pemuda baju biru laut dengan senyum cengar-cengir dengan mata
putihnya terbuka lebar. Tak lama kemudian, sebentuk sosok tubuh berdiri tegak
sambil menggendong tangan di belakang.
Dan lagi-lagi, berdiri di atas pemukaan air laut!
Tentu saja, cara keluar dari air yang spektakuler itu mengundang decak
kagum semua orang yang ada di kapal Surya Silam. Bahkan Satari dan kawankawan
sampai bertepuk tangan saking senangnya.
Jelas sekali permainan tenaga dalam Jalu Samudra atau si Pemanah Gadis
tidak bisa dianggap main-main lagi!
”Benar-benar sinting tu orang,” cerocos Junta. ”Kayak setan laut aja.”
”Ho’oh! Bisa nongol dimana-mana,” sahut sang kawan. ”Apa dia keturunan
ikan, ya?”
”Iya, ‘kali!”
Sementara itu, Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam terkesiap!
”Brengsek! Anak muda ini membuatku makin keder saja,” Raksasa Laut Hitam
berkata dalam hati. ”Kurasa ... Ketua hanya yang sanggup menandinginya.”
Kegentaran demi kegentaran terus membumi dalam diri anak buah Jenggot
Perak Mata Satu yang paling diandalkan untuk sesi gertak menggertak. Namun
justru kali ini malah mereka kena gertak!
”Ayoh, kalau kau mau menunjukkan kelaki-lakianmu,” ucap Jalu, ringan.
Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam yang sudah diamuk kemarahan
langsung pasang kuda-kuda. Tarik napas dalam-dalam, siap melontarkan jurus
atau pukulan maut kalau perlu.

”Eee ... ee-ee ... eee ... tunggu dulu!” kata Jalu sambil menggoyanggoyangkan
tangan kiri.
”Apalagi!?” bentak Raksasa Laut Hitam jengkel. Kulitnya yang sehitam jelaga
semakin menghitam saja karena kemarahan yang memuncak.
”Lho ... bukankah tadi kau bilang mau menunjukkan kejantanan kalian? Nah,
sekarang lorotkan celana dan tunjukkan kejantanan kalian. Ayo ... ayo ... !!”
”Diamput!” entah kata ajaib darimana keluar dari mulut Demit Mungil. Mungkin
saking mendongkolnya sampai-sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.
Raksasa Laut Hitam yang sudah terpancing hawa amarahnya, sudah tidak
dapat berkata-kata lagi. Tanpa ba-bi-bu, diterjangnya pemuda baju biru laut
dengan cepat.
Wutt! Wutt!
Dua hawa pukulan beruntun sarat tenaga dalam maju terlebih dahulu sebelum
tinju Raksasa Laut Hitam mencapai sasaran.
Terpaan angin yang lebih dahulu sampai membuat Jalu Samudra sadar
bahwa lawan menggunakan jurus silat tingkat tinggi dalam pertarungan kali ini.
Namun belum lagi melakukan gerak hindar, seleret sinar kuning sampai lebih
dahulu.
Rett!
”Edan!” gerutu si pemuda sambil melayang mundur.
Pada awalnya, si Pemanah Gadis berpikir dua lawannya akan tetap berada di
atas tunggangan masing-masing. Namun kenyataan sungguh berbeda dengan
apa yang ada dibenaknya. Tubuh Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil
sanggup berloncatan ringan di atas air sembari melancarkan serangan-serangan
mematikan. Jelas sekali ilmu ringan tubuhnya tidak bisa dipandang sebelah
mata.
Debb ... debb ... !
Werrr!!
Tanpa terasa sepuluh jurus berlangsung dengan cepat, namun selama
pertarungan berlangsung Jalu Samudra lebih banyak menghindar dengan gerak
miring-miring ala kepiting meski sesekali melakukan serangan-serangan kilat ke
arah lawan.
Apa lagi jika bukan Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ andalannya?
Namun, yang dilakukan oleh Jalu Samudra bukan semata-mata memancing
kemarahan lawan. Hanya saja ia ingin melihat sejauh mana dua lawannya
sanggup bertarung di atas permukaan air. Namun sampai pada jurus ke lima
puluh, gerakan dua lawan beda kualitas itu tetap berbahaya, seakan tidak
terpengaruh dengan kondisi sekitar.
Mereka bertarung layaknya berada di atas tanah!

Akal halnya tokoh silat hitam andalan Jenggot Perak Mata Satu ini semakin
terkaget-kaget saja. Lawan mereka yang masih muda selain sanggup membuat
keder keduanya yang notabene tokoh silat kelas tinggi yang jika dihitung-hitung
lebih lama berkecimpung di rimba persilatan ternyata tidak sanggup menekan
lawan, menyentuh seujung rambutnya saja sulit.
Belum lagi dengan hawa sakti yang dimiliki lawan yang menurut sanggup
menerobos hawa pelindung yang dimiliki oleh Demit Mungil dan Raksasa Laut
Hitam. Belum lagi dengan cara bertempur Jalu Samudra yang miring-miring
seperti gaya kepiting berjalan membuat serangan-serangan yang dilancarkan
bisa dinetralisir dengan mudah. Belum lagi dengan setiap terjadi benturan tenaga
mau pun dengan tongkat, tubuh mereka serasa dimasukkan ke dalam tungku
membara malah kadang kala disertai rasa seperti disambar ratusan petir.
Demit Mungil dengan Sepasang Tanduk Singa pun tidak sanggup menembus
daya pelindung yang dimiliki lawan. Bahkan kala Sepasang Tanduk Singa saling
bentrok dengan tongkat hitam di tangan si pemuda buta, rasanya seperti
tersengat belut api.
Panas membara dan aliran darah terasa menggeletar!
Ilmu Silat ‘Singa Laut’ yang terdiri dari dua puluh jurus sampai diulang untuk
ke dua kalinya, namun hasilnya ... nihil!
Paras mukanya yang bersih terlihat pucat pasi. Bukan karena gentar, namun
karena berulang kali tersengat hawa panas yang berasal dari tongkat hitam si
Pemanah Gadis membuat aliran darahnya makin lama makin kacau balau.
”Brengsek! Apa pemuda ini pernah menelan hewan langka yang bernama
Belut Api? Hawa tenaga dalamnya begitu panas seperti dipanggang api. Darahku
rasanya seperti mendidih jika bersentuhan dengan tongkatnya,” Demit Mungil
berkata dalam hati sambil mengelebatkan Tanduk Singa di tangan kanan.
Werr!
Trakk!
”Uughh ... !!” Demit Mungil mengeluh saat kembali merasakan sengatan
panas.
Sementara itu, Raksasa Laut Hitam yang terus membangun seranganserangan
cepat, mengalami nasib yang tidak jauh beda dengan sang kawan
karib.
”Gila!” desisnya, ”Ilmu apa yang dimiliki pemuda buta ini? Jurus ‘Pukulan
Gelombang Laut’ seperti tidak berarti apa-apa padanya. Jika seperti ini terusmenerus,
mau ditaruh mana nama besar Raksasa Laut Hitam, hah!?”
Sementara itu, para penonton yang ada di atas kapal Surya Silam saling
kasak-kusuk melihat ajang pertarungan tingkat tinggi yang mungkin belum
pernah seumur hidup dilihatnya.
Jika pertarungan di darat sudah pasti biasa, tapi di atas air laut?
Ini baru ... luar biasa!

Namun yang luar biasa lagi, justru pertarungan yang terjadi adalah antara
orang buta melawan orang bermata normal!
”Duuh ... bener-bener hebat nih orang buta, lama-lama gua kawinin dia ... ”
pikir Trihasta Prasaja tanpa sadar.
Aneh, masa’ laki-laki doyan laki-laki?
Apa mau main pedang-pedangan di atas ranjang?
”Di atas kapal saja sudah hebat ... ternyata di atas air lebih hebat lagi!” desis
Gandarwa semakin menjerengkan mata lebar-lebar. ”Benar-benar pemuda luar
biasa.”
Di arena pertarungan ...
Wutt! Wutt!
Dua rangkum hawa padat warna kuning keemasan melesat cepat bagai taringtaring
singa laut siap menelan mangsa. Jurus ‘Singa Laut Bertaring Emas’
dikerahkan Demit Mungil dengan seluruh muatan tenaga dalam yang dimilikinya.
Akibatnya, air laut tersibak tepat di bawah lesatan dua rangkum pukulan milik
Demit Mungil.
Si Pemanah Gadis pun sudah tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam
menghadapi lawan.
”Dari pada menjadi bibit penyakit berilmu tinggi, mending ditamatkan saja
riwayat hidup mereka,” gumam Jalu Samudra.
Sontak, dibangkitkannya kesaktian terpendam yang didapatkannya secara
tidak sengaja waktu terjatuh di lobang ular dan pada akhirnya terkurung di Istana
Bawah Tanah. Sebentar saja, Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ yang dikerahkan
pada tingkat dua serta merta membuat seluruh tubuh si pemuda murid Dewa
Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga diselubungi percikan-percikan sinar
biru bening.
Lalu, tongkat kayu hitamnya berkelebat menyamping.
Akibatnya ...
Dhuarr ... ! Dhuuaarr ... !
Dua dentuman keras terdengar memekakkan telinga.
Sosok Demit Mungil terpental jauh disertai semburan darah kental dari
mulutnya. Saat tubuhnya hampir melayang jatuh ke air, terdengar suitan kecil
dari mulut laki-laki ini.
”Suuiiitt ... !”
Dari bawah air, sesosok bayangan besar terlihat dan mengapung di atas air.
Plukk!
Tubuh Demit Mungil tepat jatuh di atas tubuh lunak htam kecoklatan. Apa lagi
sosok besar itu jika bukan ikan pari raksasa tunggangannnya?

Melihat sang kawan karib terluka parah, Raksasa Laut Hitam langsung
menggeram marah, ”Pemuda keparat! Rasakan pembalasanku!”
Raksasa Laut Hitam menarik napas dalam-dalam sambil sepasang telapak
tangannya di buka lebar-lebar di samping pinggang. Beberapa saat kemudian,
terlihat pancaran sinar biru pucat yang menggumpal di tapak tangannya.
”Heeaaa ... !”
Dan diiringi teriakan mengguntur seolah menyaingi suara salakan petir, Ilmu
‘Tapak Gelombang Laut’ yang paling diandalkan dan jarang digunakan Raksasa
Laut Hitam pada akhirnya dikeluarkan juga. Menurut perhitungannya, tidak ada
satu pun manusia yang sanggup menahan ilmu saktinya yang satu ini, kecuali
Jenggot Perak Mata Satu yang kini menjadi atasannya.
Wurrrsss ... !! Durrr ... !!
Hawa sakti berbentuk tapak tangan raksasa menggebah maju diiringi suara
gemuruh bagai badai topan di laut, bahkan air laut sampai terseret mengikutinya.
”Wah, serangan mematikan, nih,” gumam Jalu Samudra. ”Naga-naganya
memang jurus ’Penjara Petir Tersembunyi’ harus kugunakan.”
Si Pemanah Gadis segera menarik tali pada tongkat kayu hitam hingga
membentuk busur terentang disertai Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat
dua yang semula sudah dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan
melontarkan hawa matahari yang ada di pusar kembali siap digunakan.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya biru bening merambat keluar melewati
tangan kanan-kiri, lalu membentuk dua buah benda bulat kecil memanjang
sepanjang setengah tombak dengan mata anak panah berbentuk kepala burung
rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya biru bening. Jurus ’Penjara
Petir Tersembunyi’ adalah salah satu rangkaian dari ’18 Jurus Panah Hawa’ dari
Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis dan merupakan
jurus paling favorit murid ganteng Dewa Pengemis ini meski untuk pertama
kalinya digunakan. Karena di dalam jurus ’Penjara Petir Tersembunyi’ berprinsip
di dalam jurus ada jurus.
Begitu dua anak panah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang
semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang.
Sasarannya adalah ... dua hawa tapak tangan raksasa yang tercipta dari Ilmu
‘Tapak Gelombang Laut’ yang semakin mendekat ke arahnya!
Srett! Twanggg!
Dua anak panah terlepas dari busur bagaikan lesatan rajawali terbang.
Bummm ... ! Bummm ... !
Sepasang hawa tapak tangan yang tercipta dari Ilmu ‘Tapak Gelombang Laut’
buyar diiringi dentuman keras serta muncratan air membentuk menara air
raksasa setinggi puluhan tombak.

Akibatnya, tubuh Raksasa Laut Hitam terpental deras ke belakang disertai
muncratan darah kental kehitaman. Jelas sekali, luka dalam yang dideritanya
teramat parah terutama bagian dalam dada serasa rontok, mungkin butuh waktu
beberapa bulan untuk menyembuhkannya.
Seperti halnya tunggangan Demit Mungil, ikan pari raksasa tunggangan
Raksasa Laut Hitam dengan sigap mengejar maju menyambut tubuh sang
majikan. Namun belum lagi tubuh Raksasa Laut Hitam mendarat di punggung
ikan pari raksasa, dari balik menara air melesat cepat sebentuk benda yang
memancarkan sinar biru bening. Lesatannya disertai suara mendesis seperti api
bertemu air.
Werrr ... !
”Awaassss ... !” Demit Mungil yang melihatnya berteriak ngeri.
Namun terlambat!
--o0o--
BAGIAN 16
Peringatan sang kawan memang didengarnya, namun saat itu kondisi
Raksasa Laut Hitam dalam posisi melayang, tidak ada tempat untuk berpijak
untuk menghindar.
Dan akhirnya ...
Jrabbb!
Jderrr ... !!
Tubuh Raksasa Laut Hitam hancur berkeping-keping!
Demit Mungil sampai tergugu tidak bisa bergerak melihat nasib naas Raksasa
Laut Hitam. Sedih sekali melihat kawan karibnya tewas dengan tubuh jadi cuilancuilan
kecil seperti itu.
Dari kesedihan berubah menjadi kemarahan!
”Keparat!” bentaknya. ”Kau harus mati di tanganku pemuda keparat! Ilmu
‘Pukulan Pasak Bumi’ tidak cukup pantas untukmu!”
Tangan Demit Mungil berubah bercahaya kuning keemasan hingga sebatas
siku.
Akan tetapi sebelum pukulan maut ‘Pukulan Pasak Bumi’ dilontarkan, sosok
pemuda berpakaian biru laut itu tiba-tiba melesat cepat laksana sambaran kilat di
atas air dengan kecepatan tinggi.
”Eh ... !?”
Demit Mungil terlonjak kaget!

Namun belum lagi kekagetan tokoh sesat ini sirna, sejarak kurang dari satu
tombak dari Demit Mungil, si Pemanah Gadis justru melompat tinggi ke atas
secara tegak lurus.
Wuut ... !
Saat mencapai ketinggian enam tombak, dengan gerakan manis tubuh si
pemuda baju biru laut berbalik menukik dengan posisi kepala di bawah dan
kedua kaki di atas. Tangan kanan yang menggenggam tongkat kayu hitam
terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh si Pemanah Gadis tepat
tegak lurus di atas lawan. Dalam kedudukan seperti itu, tubuhnya meluncur turun
ke arah Demit Mungil yang tepat berada di bawahnya. Yang lebih mengerikan
lagi, dalam keadaan seperti itu tubuh si Pemanah Gadis justru berputar cepat
laksana gasing disertai percikan-percikan sinar biru bening yang menyambar
laksana kilat.
Jalu Samudra mengerahkan jurus ‘Kepiting Terjun Dari Langit Sambil
Berputar’ dimana jurus ini digelar murid tunggal Dewa Pengemis ini dengan
mengerahkan tingkat dua dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’!
”Makan pukulanku!” seru Demit Mungil sambil mendorongkan sepasang
tangan yang sarat dengan Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’!
Dubb ... dubb ... !
Clarrr, clarrr ... !
Lesatan sinar kuning keemasan yang menggumpal sebesar bola sepak
langsung tersibak bagai dikibaskan tangan-tangan tak kasat mata. Demit Mungil
sendiri sampai terlonjak kaget mengetahui Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’ melenceng
saat mendekati ujung pusaran.
Benar-benar sulit dipercaya!
Sedangkan serangan berputar si Pemanah Gadis sudah semakin dekat ke
arah Demit Mungil berdiri.
Rett! Rettt ... ! Rett ... !!
Si tokoh sesat berjuluk Demit Mungil menyadari betul serangan pemuda buta
bertongkat hitam sangat berbahaya bagi selembar nyawanya. Ingin mengelak
pun rasanya sudah tidak memungkinkan karena hawa serangan seperti
menekannya dari atas.
Namun, kehebatannya sebagai tokoh sesat memang patut diacungi jempol. Ia
tidak gugup meski serangan lawan begitu mengerikan, bahkan semakin
mengempos seluruh hawa sakti yang ada dalam dirinya. Berikutnya ... sepasang
tangannya yang sudah terangkum hawa kuning keemasan yang semakin
cemerlang dihantamkan ke arah lawan.
Wutt! Wutt!
Jderrr! Jderrr! Jderrr!! 
Kali ini terjadi ledakan keras hingga berulang kali, bahkan kapal Surya Silam
yang jaraknya cukup jauh merasakan getaran tersebut. Namun yang jelas,
sebagian besar bongkahan sinar kuning keemasan terbuang keluar begitu saja.
Mendadak saja, terdengar suara mendesis pelan.
Cesss ... !
Dan putaran tubuh Jalu Samudra berhenti mendadak.
Hingga terlihat sebentuk posisi tubuh yang benar-benar spektakuler!
Sosok tubuh Jalu Samudra yang bergelar si Pemanah Gadis sekarang dalam
posisi tegak lurus dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Namun yang
lebih luar biasa lagi, justru ia berdiri di atas ujung tongkat hitam yang tergenggam
di tangan kanan dan ujung tongkatnya menempel di kepala Demit Mungil.
Tepatnya ... di ubun-ubun!
”Am ... pun ... tuan pendekar ... ” ratap Demit Mungil. Ia tahu betul, menambah
tenaga dalam sedikit saja, ujung tongkat lawan pasti tembus ke batok kepala.
”Telat!” sahut Jalu Samudra pendek sambil jungkir balik, dan ...
Tep!
Berdiri di atas air.
Lalu dengan santai, ia berjalan ke arah kapal Surya Silam berada. Sejarak
satu tombak, ia berbalik badan dan melambaikan tangan!
”Dadaaahh ... ” kata Jalu Samudra.
”Terima ka ... ” belum lagi suara Demit Mungil terucap, mendadak saja seluruh
tubuhnya memancarkan cahaya biru bening, ”Eh ... apa yang ... ”
Dhuaarrr ... !
Tubuh Demit Mungil langsung hancur berantakan. Tentu saja nyawanya ga
mau bertahan karena tubuhnya ancur-ancuran begitu.
Sebenarnya ... apa yang terjadi?
Dalam jurus yang digunakan Jalu Samudra yaitu jurus ‘Kepiting Terjun Dari
Langit Sambil Berputar’ terkandung daya penghancur raga dari dalam dimana
terjadi kala Jalu Samudra menempelkan ujung tongkat ke ubun-ubun Demit
Mungil. Tersalurnya tenaga sakti memang tidak begitu terasa oleh lawan, paling
juga griming-griming kayak digigit semut, akan tetapi begitu ujung tongkat
sebagai sumbu utama penyalur energi dilepas, maka hawa sakti yang tertanam
dalam tubuh lawan langsung bergolak mencari jalan keluar.
Dan akibatnya ... seperti yang terjadi pada Demit Mungil!
Bahkan ikan pari raksasa tunggangan si tokoh sesat yang kini jadi makan ikan
juga mengalami nasib yang sama dengan tuannya.
Maksudnya ... sama-sama kehilangan nyawa, gitu loh!

Tentu saja pertarungan yang ditunjukkan oleh si Pemanah Gadis ini benarbenar
pertarungan yang luar biasa bagi penonton yang berada dia atas kapal
Surya Silam.
Bahkan saat Jalu melenting tinggi dan melayang turun dekat geladak dimana
semua orang berkumpul dengan mulut melongo tanpa mengucakan sepatah kata
pun.
”Hai ... ” Jalu Samudra berkata memecahkan kesunyian.
--o0o—
BAGIAN 17
Wutt! Wutt!
Dua sosok bayangan berloncatan di atas atap bangunan yang memanjang
bagai ular. Gerakan kaki yang ringan dan tidak terdengar suara saat menginjak
genting, membuat suatu keyakinan bahwa dua sosok bayangan yang sulit
ditentukan laki-perempuannya tergolong pesilat kelas wahid. Setidaknya memiliki
tataran ilmu ringan tubuh handal.
Saat berada di bagian paling tengah, kedua berhenti sebentar. Lalu saling
tatap. Di malam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang terlihat sorot mata kuning
kehijauan dari keduanya dari balik kedok hitam yang dikenakannya seolah takut
dikenali orang.
”Disini tempatnya?” bisik yang kiri.
Yang kanan mengangguk.
”Kau jaga dan aku yang masuk?”
Kembali yang kanan menganggukkan kepala.
”Yakin aman?”
Yang ditanya hanya mengacungkan jempol kanan.
Sosok yang kiri membuka genting.
Srekk!
Empat genting terkuak lebar, cukup untuk masuk tubuh manusia. Lalu dengan
gerakan ringan, ia melayang turun ke bawah.
Tepp!
Tubuhnya menyentuh dinginnya lantai. Namun belum lagi ia bernapas lega,
terdengar desingan halus.
Serr ... serr ... !
Tubuhnya langsung dijatuhkan sejajar lantai.
Creb! Crebb!

Lima pisau terbang menancap di tiang penglari.
Namun, belum lagi ia bernapas lagi untuk kedua kalinya, dari kiri kanan
kembali terdengar suara mendesis pelan.
Sirr ... sirr ... sirr ... !
Kali ini ratusan jarum terbang menyala kuning menerjang dari kiri-kanan. Tidak
ada waktu bagi penyusup ini melenting menghindar dari situ.
”Brengsek!” desisnya. Tiba-tiba saja sekujur tubuh si penyusup gelap dilapisi
hawa padat dingin hitam pekat.
Ilmu ’Baju Es Hitam’!
Criing! Criiing! Triing!
Ratusan jarum terbang langsung rontok.
”Laknat! Kenapa dia tidak bilang kalau tempat ini penuh dengan jebakan!?”
desisnya.
Seperti sudah mengenal tempat itu sebelumnya, dia langsung berjalan ke arah
kiri. Di sana tergantung rapi papan nama sebuah perguruan yang tertulis :
’PERGURUAN TANAH BAMBU’. Di bagian kiri terdapat rak senjata namun tidak
ada satu pun senjata di sana kecuali sebatang tombak panjang yang bersandar
di pojok ruangan. Sedang sebelah kanan berjajar puluhan kitab berbagai jenis.
Namun agaknya si penyusup tidak tertarik pada kitab atau tombak panjang
tersebut, justru ia memandang lekat-lekat pada papan nama Perguruan Tanah
Bambu.
”Hehehe, siapa pun tidak akan menyangka kalau pemilik tempat ini
menyimpan barang pusaka di dalam sebuah papan nama,” desisnya lirih. ”Benarbenar
naif.”
Diturunkannya papan nama yang terbuat dari kayu jati tua, lalu dengan satu
sentuhan ringan ...
Krakk ... prusss ... !
Papan nama hancur berantakan menjadi bubuk halus.
Plekk!
Tiga buah benda jatuh ke lantai secara bersamaan.
Ternyata ... kitab!
Rupanya di dalam papan nama Perguruan Tanah Bambu tersimpan tiga buah
kitab bersampul tebal dari kulit beruang coklat yang selama ini diidam-idamkan
oleh kaum rimba pendekar.
Si penyusup tersenyum menyeringai di balik kedok hitamnya, lalu memungut
ke tiga kitab yang terjauh ke lantai. Meski gelap gulita, sosok itu masih sanggup
membaca tulisan yang tertera pada sampul kitab.
”Hemm ... yang ini Kitab Ilmu ‘Bayu Buana’ dan yang ini Kitab Ilmu ‘Seribu
Bulan’ dan yang ketiga ... oohhh ... Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’!”

desisnya dengan mata berbinar-binar. ”Benar-benar keberuntungan yang luar
biasa!”
Lalu dimasukkannya ke tiga kitab ke balik bajunya. Mendadak saja, ia
menghentikan gumaman kegembiraan.
”Keparat! Dimana beradanya Kitab Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat
Sembilan Matahari’?” desisnya dengan mata mengedar ke seliling.
Bahkan dijelajahinya seantero ruangan hingga saking gemasnya ia
mengobrak-abrik seluruh ruangan, namun keberadaan kitab yang dicarinya tidak
ada.
Lagi asyik-asyiknya mengobrak-abrik ruangan, terdengar suara aneh dari
atas.
”Kuuukkk ... kuuukkk ... !!”
Suara burung hantu!
Cukup dua kali, tapi sudah membuat si penyusup kaget!
”Brengsek!” rutuknya saat tahu arti kode tersebut bahwa ada seseorang yang
mendekat ke tempat itu.
Tubuhnya segera melayang naik ke arah dimana tadi ia masuk.
Wutt!
Tepp!
”Ada apa?” bisiknya dengan nada jengkel.
”Tabir Mentari datang!” kata pelan sang kawan yang berada diluar. ”Kita harus
segera pergi.”
”Huh, biar bandot tua aku selesaikan saja sekalian,” ketus suara si pencuri
kitab saat melihat ke utara. Di kejauhan terlihat satu bayangan kuning keemasan
melesat cepat.
”Kau tinggal pilih! Mempelajari kitab yang kau curi atau mengurusi bola bekel
itu?” tanpa menunggu jawaban dari si pencuri kitab, ia langsung berkelebat cepat
ke arah selatan.
Zlappp!
Pencuri kitab berkedok hitam menggerutu tidak jelas, toh pada akhirnya ia
mengikuti jejak langkah sang kawan yang lebih dulu berkelebat.
Sementara itu di bawah ...
”Setan laknat!”
Suara keras laksana auman singa itu terdengar hingga ke delapan penjuru.
Bahkan setiap dinding sampai tergetar saking kerasnya luapan amarah si pemilik
suara.
”Ada apa, Barka Satya?”

Terdengar teguran halus menggema meski tidak ketahuan keberadaan si
pemilik suara. Namun belum lagi suara gema menghilang, satu sosok tubuh telah
berada di tempat itu seperti baru saja keluar dari alam gaib. Jelas sekali, ilmu
kepandaian yang dimiliki sosok tinggi kurus berjenggot putih dan berpakaian
serba putih tidak bisa dianggap enteng. Tangan kirinya yang disembunyikan di
belakang tidak bisa menutupi gagang pedang yang tergenggam.
Sosok tua penuh wibawa memakai topi tinggi keperakan seperti pejabat istana
ini sulit sekali diterka berapa usianya, karena meski bersosok tua namun paras
wajah tampannya seperti pemuda usia puluhan tahun.
Dialah yang disebut ... Tua Raja Pedang Bintang!
Namun belum lagi teguran Tua Raja Pedang Bintang terjawab, dari kejauhan
terdengar hembusan angin membadai dan belum lagi tiupan angin hilang di
tempat itu telah bertambah dua orang.
Mereka adalah ... Tua Raja Bedah Bumi dan Tua Raja Tinju Kayangan!
Empat Tua Raja Tanah Bambu telah berkumpul karena teriakan kemarahan
Tua Raja Tabir Mentari.
Tua Raja Bedah Bumi sendiri seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan
raut muka menunjukkan ketegasan dan kejujuran dalam bertindak. Yang luar
biasa adalah tinggi tubuhnya di atas manusia normal hingga tinggi tubuh Tua
Raja Pedang Bintang cuma sebatas pinggang Tua Raja Bedah Bumi.
Belum lagi balutan rompi dari kulit beruang putih seolah tidak sanggup
menutupi dada bidang kekar berotot. Tua Raja Bedah Bumi tidak memiliki
senjata pusaka atau sejenisnya karena dia beranggapan setiap anggota
tubuhnya adalah senjata. Yang jelas, sepasang kepalan tangannya sanggup
membuat tanah rengkah seperti membuat kubangan kerbau.
Itulah sebabnya ia dijuluki Tua Raja Bedah Bumi!
Akan halnya Tua Raja Tabir Mentari justru kebalikannya dengan Tua Raja
Pedang Bintang dan Tua Raja Bedah Bumi. Tubuh gemuk dengan perut
membuncit seperti di dalamnya berisi bakul nasi, belum lagi dengan lengan dan
kaki penuh dengan lemak hingga terlihat begitu subur. Seluruh kulit Tua Raja
Tabir Mentari dibalut pakaian kuning keemasan termasuk pula celana pun kuning
keemasan. Bahkan rambut dan alis serta kulitnya juga berwarna kuning
keemasan. Hanya mata saja yang hitam dan cuma giginya putih bersih.
Coba kalau gigi ikut kuning keemasan, bisa dikilo’in deh!
Tentu saja kulit kuning emas Tua Raja Tabir Mentari bukan bawaan sejak
lahir, tapi karena si gemuk ini menguasai satu jenis ilmu yang bernama Ilmu Sakti
’Iblis Matahari’!
Lain Tua Raja Tabir Mentari, lain pula Tua Raja Tinju Kayangan. Sosoknya
biasa-biasa saja. Tidak yang istimewa darinya.
Kalau tua, jelas ... !
Orang berilmu tinggi, apalagi ... !

Kalau urusan ketampanan, jelas kalah sama Tua Raja Pedang Bintang.
Lha wong wajahnya di bawah standar, jeee ... !
Muka aja pake codet menyilang dari pipi kiri ke pelipis kanan dan dari pelipis
kiri menyilang sampai pipi kanan, mana bisa disebut ganteng!?
Tapi di antara Empat Tua Raja Tanah Bambu yang memang rata-rata suda
tidak muda lagi, dialah yang paling menonjol sendiri.
Maksudnya ... menonjol keberangasannya!
Apalagi jika kesenangan pribadinya di utik-utik ... wuihhhh ... harimau betina
beranak aja kalah seram, cing!?
”Dasar bola bekel Barka Satya! Buat apa kau teriak-teriak tengah malam
seperti ini?” bentaknya sambil menyebut nama asli Tua Raja Tabir Mentari. ”Ini
saatnya orang tidur, tahu!”
”Hei, Kakang Bayu Rakta!” bentak Tua Raja Tabir Mentari menyebut nama asli
Tua Raja Tinju Kayangan. ”Jaga bicaramu!”
”Huh!” Tua Raja Tinju Kayangan hanya mendengus saja.
”Buka matamu! Apa kau tidak melihat tempat kediaman Tuan Majikan porak
poranda seperti ini, hah!” ucap Tua Raja Tabir Mentari dengan nada jengkel.
”Pasti ada seseorang yang telah masuk kemari.”
”Bagaimana bisa seperti ini?” desis Tua Raja Bedah Bumi. ”Jangan-jangan ... ”
Tua Raja Pedang Bintang yang paling tenang mengamati sekelilingnya, lalu
gumamnya sambil mengusap-usap jenggot putihnya, ”Hemmm ... tempat ini
seperti bekas diobrak-abrik tikus kepala hitam. Pasti ada sesuatu yang dicari di
tempat ini.”
”Tikus ... kepala hitam?” tanya Tua Raja Tinju Kayangan, heran. ”Maksud
Kakang Bramageni ... maling begitu!?”
Tua Raja Pedang Bintang tidak menjawab, tapi justru melangkah semakin
masuk ke dalam ruangan.
”Nyalakan obor,” katanya kemudian.
Tua Raja Tabir Mentari segera menjentikkan jari kelingking beberapa kali.
Ctiik! Ctikk!
Sinar kuning sebesar lidi melesat ke empat penjuru. Dan ...
Blub, blub, bluuub!
Empat obor di sudut ruangan langsung menyala terang.
Ke Empat Tua Raja Tanah Bambu saling membelalakkan mata melihat
keadaan ruangan.
Dipan terbalik tak tentu arah.
Kitab-kitab berserakan dimana-mana.

Meja kursi sudah bergeser dari tempat semula.
Pokoknya mirip kapal pecah, dech!
Tua Raja Bedah Bumi berjongkok sambil mengamati bubuk-bubuk halus di
lantai.
”Bubuk apa ini?” gumamnya sambil menyentuh serbuk di lantai. Lalu jari-jari
tangannya saling menggesek pelan. ”Ini ... serbuk kayu.”
”Dimas Dahana Lungit,” kata Tua Raja Pedang Bintang menyebut nama asli
Tua Raja Bedah Bumi. ”Apa yang kau temukan?”
”Hanya serbuk kayu biasa,” sahut Dahana Lungit alias Tua Raja Bedah Bumi
sambil bangkit berdiri. Matanya mengedar berkeliling, hingga pada akhirnya
terpaku di tengah ruangan. Didekatinya tempat bekas papan nama Perguruan
Tanah Bambu yang semula memang ada di tempat itu.
”Hemmm, dari papan nama perguruan rupanya,” ujarnya membuat
kesimpulan. ”Lalu ... dengan maksud apa papan nama perguruan dihancurkan
menjadi serbuk halus begini? Tidak ada untungnya.”
Tiga Tua Raja yang lain pun memeriksa seluruh ruangan yang biasa ditempati
Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu. Namun sejauh ini mereka tidak
menemukan kejanggalan apa pun selain ruangan yang tetap berantakan dan
puluhan senjata rahasia yang menancap di dinding. Jelas jika si penyusup
berilmu tinggi karena bisa menghindari sergapan senjata gelap, setidaknya
memiliki peringan tubuh handal.
Tua Raja Pedang Bintang berjalan mendekati Tua Raja Bedah Bumi.
”Apa yang kau temukan, Adi?” tanyanya.
--o0o—
BAGIAN 18
Tua Raja Bedah Bumi tidak menjawab, tapi justru memandang tajam-tajam
pada serbuk-serbuk halus yang berserakan di lantai. Mata tajamnya melihat
sesuatu yang janggal disana.
Lalu ia berjalan kembali ke tempat serbuk-serbuk halus bertebaran, lalu
berjongkok dengan mata tetap terpapaku di satu tempat.
”Emm ... sepertinya posisi serbuk-sebuk ini agak aneh.”
”Aneh gimana?”
”Coba Kakang Bramageni perhatikan!” kata dahana lungit sambil tangannya
menunjuk ke arah serbuk halus. ”Seharusnya serbuk ini berada dalam tempat
yang berdekatan. Anggaplah satu wilayah. Tapi disini justru terdapat keanehan.
Serbuk-serbuk ini seperti menyibak atau menepi ke sisi-sisi di sebelahnya
membentuk sudut-sudut tertentu hingga bagian tengah tetap bersih.”
Bramageni menganggukkan kepala tanda setuju.

”Lalu?”
”Disini ada beberapa kemungkinan. Tapi aku cuma punya satu.”
”Apa itu?” sela Barka Satya alias Tua Raja Tabir Mentari yang tertarik dengan
percakapan dua Tua Raja.
”Ada benda yang terjatuh dari dalam papan nama perguruan,” tutur Tua Raja
Bedah Bumi. ”Dan menurut dugaanku, jika dilihat dari banyak sudut luang yang
ada, kemungkinan ada dua atau tiga kitab yang terjatuh.”
”Kitab!?” tanya heran Barka Satya.
”Tidak hanya kitab. Bisa saja lempengan besi yang berbentuk kotak atau
benda-benda sejenisnya yang mempunyai empat sudut,” ujar Dahana Lungit
sambil bangkit berdiri.
”Jika yang Kakang Dahana katakan benar, aku berani bertaruh bahwa yang
hilang di tempat ini adalah kitab pusaka perguruan kita,” sahut Tua Raja Tabir
Mentari.
”Kemungkinan itu juga ada, tapi ... ”
Mendadak saja, langkah Tua Raja Bedah Bumi terhenti.
”Apa ada, Adi?”
Bukannya menjawab, justru ia memandang ke arah Tua Raja Tabir Mentari.
Tentu saja dipandang langsung mengerutkan alis kuningnya sambil berkata,
”Apa?”
”Kau menguasai Ilmu ’Iblis Matahari’ hingga tingkat terakhir, masakan tidak
merasakan sesuatu?” balik tanya Tua Raja Bedah Bumi.
”Memangnya ada-apa dengan ilmuku?” tanya heran Barka Satya.
”Coba kau rasakan lantai yang kau pijak,” ujar Dahana Lungit berteka-teki.
Semakin bingung saja semua orang yang ada di tempat itu. Bahkan Tua Raja
Tinju Kayangan yang biasanya berangasan justru lebih pendiam dari biasanya.
Beberapa saat kemudian ...
”Aaaahh ... brengsek kau!” bentak Tua Raja Tinju Kayangan. ”aku tidak
merasakan apa-apa di sini.”
Dahana Lungit memandang Bramageni dan Barka Satya bergantian. Namun
jawaban yang diberikan hanyalah gelengan kepala tanda tidak tahu.
”Coba kalian bertiga melangkah ke tempatku berdiri, lalu kembali ke tempat
semula.”
”Kurang ajar! Katakan saja terus terang! Buat apa berteka-teki!” keras juga
sentakan Tua Raja Tinju Kayangan, namun ia menurut juga pada perintah
Dahana Lungit.
Berturut-turut ketiganya melakukan apa yang diperintahkan sang kawan.

”Bagaimana?”
Ketiganya saling pandang satu sama lain.
”Aku merasakan hawa dingin di lantai yang kau pijak,” jawab Tua Raja Pedang
Bintang.
”Sama,” sahut Tua Raja Tinju Kayangan dan Tua Raja Tabir Mentari
bersamaan.
Tua Raja Bedah Bumi tersenyum simpul lalu berkata, ”Adi Barka Satya! Bisa
kau membantuku?”
”Apa yang bisa kubantu?”
”Uapkan hawa dingin ini dengan jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’! Tepat
di depanku!”
Tua Raja Tabir Mentari terperanjat kaget!
Jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’ adalah jurus ke tiga dari Ilmu ’Iblis
Matahari’ dimana jurus ini sanggup membumihanguskan wilayah sejarak empat
tombak bahkan lebih. Semua area yang dirambati hawa sepanas matahari akan
langsung terbakar hangus.
”Apa kau sudah gila!?” bentak Tua Raja Tinju Kayangan.
”Memangnya Kakang mau aku menghancurkan tempat tinggal Tuan Majikan?
Aku tidak mau!” tolak mentah-mentah Tua Raja Tabir Mentari.
Tua Raja Pedang Bintang yang lebih bijaksana paham maksud perkataan Tua
Raja Bedah Bumi.
”Lebih baik ... kau lakukan saja,” tuturnya lembut.
”Tapi Kakang ... ”
”Gunakan saja tenaga jari ... ” katanya lagi. ”Bisa, ’kan?”
Tua Raja Tabir Mentari hanya mendengus saja sambil berkata, ”Baiklah!
Cuma dengan tenaga jari.”
Tua Raja Tabir Mentari menghela napas beberapa saat, lalu jari manisnya
terlihat bersinar kuning terang.
Cusss .... !
Sinar kuning terang sebesar ikan teri melesat dan menghantam tepat di depan
Tua Raja Bedah Bumi berdiri kokoh.
Blubb!
”Eh ... !?” Tua Raja Tabir Mentari melengak kaget.
Tidak ada lidah api yang membakar lantai kayu, tapi justru padam seketika
seperti api disiram air.

Sontak, selebar muka Tua Raja Tabir Mentari memerah saga. Kembali jari
manisnya diacungkan. Kali ini dengan pelipatan tenaga dalam hingga tiga kali
sebelumnya.
Cusss ... !
Blubb!
”Setan!” makinya gusar, lalu terlihat sekujur tangan kanan menguning terang.
”Cukup, Adi! Cukup!” kata Tua Raja Bedah Bumi.
”Tapi ... ”
”Aku tahu! Kau tidak terima bukan?” tebak Dahana Lungit.
”Huhh!” dengus sang adik. Sambungnya, ”Apa kau meremehkan
kesaktianku?”
”Bukan begitu maksudku ... ”
”Lalu apa maksud Kakang sebenarnya? Mau coba-coba denganku, hah?”
tantang Tua Raja Tabir Mentari.
Tentu saja Tua Raja Bedah Bumi tidak bermaksud meremehkan saudara
mudanya. Dalam kepalanya terlintas pun tidak. Namun, jika ada orang berani
menantang dirinya, pantang ditolak!
Namun kali ini ia harus membuat pengecualian, jika tidak pertikaian akan
semakin meruncing.
Sambil menghela napas dalam untuk meredakan gelojak amarah, dia pun
berkata, ”Adi Barka Satya! Coba pikirkan masak-masak? Apa mungkin lantai
kayu yang notabene dari kayu kering bisa tahan terhadap api, tidak bukan!?”
Tiga Tua Raja saling pandang satu sama lain. Dalam hati membenarkan
ucapan Tua Raja Bedah Bumi.
Mana ada kayu kering bisa tahan terhadap amukan api, kecuali ada apaapanya!
Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing saudaranya, kembali
Tua Raja Bedah Bumi melanjutkan perkataannya.
”Satu-satunya musuh utama api adalah sesuatu benda yang bisa mencair. Air,
salju dan es misalnya ... ”
”Es ... !?” gumam Tua Raja Pedang Bintang seolah bisa menebak jalan pikiran
Dahana Lungit. ”Jangan-jangan ... ”
Bayu Rakta dan Barka Satya mengangguk membenarkan.
Kembali ketiganya dengan tenang mendengarkan apa yang ingin dilontarkan
oleh Dahana Lungit.
”Setahuku, jurus silat yang memanfaatkan unsur-unsur air tidaklah banyak.
Misalnya Kuil Air yang terkenal dengan jurus ’Pukulan Es Neraka’ serta para
penghuni Lembah Es dengan jurus ’Kristal Es’. Demikian juga dengan Penghuni

Gerbang Surga yang salah satu ilmu andalannya adalah Ilmu ’Baju Es Hitam’!”
ucap Tua Raja Bedah Bumi sambil berjalan melingkari ruangan dan pada
akhirnya berhenti pada sekumpulan jarum yang menancap di tiang penglari.
Mata tajamnya mengamati jarum-jarum itu dengan seksama.
”Barka Satya! Menurutmu, dari ketiga tempat yang aku sebutkan tadi, mana
yang sekiranya setara dengan jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’?”
Barka Satya yang di tanya terdiam sesaat. Lalu ia menjawab, ”Heeeehh ... !
Kau benar-benar membuatku mati kutu, Kakang Dahana Lungit! Nama-nama
perkumpulan persilatan besar seperti Kuil Air, Lembah Es dan Penghuni
Gerbang Surga adalah nama perkumpulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
satria. Meski mereka berada di tempat yang jauh dari kita di seberang laut,
namun nama harum mereka bukanlah isapan jempol saja. Bisa dikatakan jika
bertarung dengan mereka satu lawan satu, aku pun belum tentu menang dan
belum tentu kalah. Bisa dikatakan seimbang. Itu menurut perkiraanku, karena
selama ini kita mengikat tali persahabatan dengan mereka, bukan tali
permusuhan.”
”Tepat sekali!” sahut Tua Raja Bedah Bumi. ”Ilmu ’Iblis Matahari’ yang kau
kuasai bisa dikatakan mendekati setara dengan mereka. Bisa dikatakan ... kau
unggul setingkat!”
Tua Raja Tabir Mentari hanya tersenyum kecil, terlihat rona kebanggaan
diwajahnya.
”Diantara ketiganya, manakah yang menggunakan sifat udara dan
mengubahkan menjadi benda padat?” tanya Tua Raja Bedah Bumi sambil tetap
dalam posisi berjongkok membelakangi ketiga tua raja lainnya. Matanya terus
mengamati dengan teliti rentetan jarum yang menancap di tiang penglari, bahkan
kadang kala jari tangan menyentuh ujung-ujung jarum yang berada di posisi luar.
”Jika menurutku ... hanya Penghuni Gerbang Surga saja yang sanggup
melakukannya. Akan halnya Kuil Air dan Lembah Es lebih cenderung
menggunakan Inti Es Bumi dari pada sifat udara atau angin,” tutur Tua Raja
Pedang Bintang.
”Sebenarnya ... apa maksud dari perkataanmu, Adi Dahana?” tanya Tua Raja
Tinju Kayangan sambil duduk di kursi yang ada di pojok setelah sebelumnya ia
letakkan pada tempat yang semestinya.
”Baiklah! Aku akan langsung mengatakan hasil penyelidikan,” jawab Tua Raja
Bedah Bumi sambil bangkit berdiri. Ditangannya terdapat satu jarum yang
dicabutnya dari tiang penglari.
”Jarum ini tetap dingin meski sudah beberapa lama menancap di tiang
penglari,” ucap Tua Raja Bedah Bumi. ”Kita semua tahu berada lama benda
dalam kondisi tertentu menjadi beku. Dan jarum ini seharusnya sudah sedari tadi
hilang dari sifat beku. Dan itu artinya, hanya ilmu dengan sifat udara saja yang
sanggup membekukan benda dalam waktu yang cukup lama. Paling sedikit
sehari semalam barulah kembali ke sifat besi yang sebenarnya.”

Ketiga orang itu terperanjat kaget!
”Coba lihat baik-baik jarum ini!” kata Dahana Lungit sambil mengacungkan
jarum di tangan kanan.
Terlihat seluruh jarum diselimuti asap putih tipis bernuansa dingin, bahkan
beberapa bagian tampak bercak-bercak putih bening seperti es.
”Satu-satunya kesimpulanku adalah ... jarum ini terkena Ilmu ’Baju Es Hitam’!”
--o0o—
BAGIAN 19
Ketiga Tua Raja menarik alis masing-masing hingga nyaris bertaut. Jelas
dalam hati dirambati sebentuk keraguan mendengar penuturan Tua Raja Bedah
Bumi yang meski bertubuh bongsor tapi justru otaknya seencer bubur bayi.
Bramageni atau Tua Raja Pedang Bintang membuka suara, ”Dengan alasan
apa kau mengatakan jarum itu terkena jurus ’Baju Es Hitam’?
Sambil tersenyum kecil, Dahana Lungit menjawab, ”Mudah saja. Jawabnya
adalah ... uap air!”
”Uap air?” tanya heran Tua Raja Tinju Kayangan. ”Kok bisa?”
Sambil menimang-nimang jarum di tangan, ia pun berkata dengan tenang.
”Air memiliki kadar tertentu terhadap penguapan --dalam hal ini disebabkan
oleh panas-- namun ada kalanya air tidak bisa menguap begitu saja jika meski
terkena sengatan panas. Air perlu proses menguraikan diri dengan menurunkan
suhu dan barulah mencair,” tutur Tua Raja Bedah Bumi. ”Sehingga proses
menjadi air sendiri memerlukan waktu yang cukup lama.”
”Jadi, dengan kata lain, jarum yang kau pegang itu dipengaruhi suhu udara
yang mendadak menurun drastis dengan tidak alami seperti umumnya air embun
di pagi hari, begitu?” terabas Tua Raja Tabir Mentari.
”Pintar!” kata Tua Raja Bedah Bumi.
”Dan satu-satunya ilmu unik di rimba pendekar yang sanggup melakukan hal
mustahil itu hanya dimiliki orang-orang dari Penghuni Gerbang Surga?” tebak
Tua Raja Tinju Kayangan.
”Yap,” kata Tua Raja Bedah Bumi sambil menjentikkan jarum di tangan kanan.
Tiiik!
Splashh!
Jarum menembus masuk tiang penglari hingga terbenam keseluruhan. Dari
sini saja sudah bisa diraba seberapa tinggi kesaktian dari sosok tinggi besar ini.
”Yang jadi pertanyaan adalah ... apa yang dilakukan si pencuri di tempat ini?
Semua barang-barang disini masih lengkap semua. Tidak hilang satu pun juga,”
ucap Tua Raja Tabir Mentari, lalu dilanjutkan dengan desahan pelan. ” ... entah

yang dilakukan Tuan Majikan jika papan nama Perguruan Tanah Bambu menjadi
serpihan seperti ini? Beliau pasti marah besar!”
”Benar. Apa yang mau dicuri dalam ruangan ini?” kata Tua Raja Tinju
Kayangan sambil memunguti kitab yang berserakan dan ditata kembali di rak.
Tua Raja Tabir Mentari menata dipan serta meja kursi yang terbalik.
”Sebenarnya ... ada yang hilang di tempat ini ... ” desis Tua Raja Pedang
Bintang.
”Hah!?” ketiga Tua Raja terperanjat kaget.
”Ada yang hilang!?” sentak Tua Raja Bedah Bumi dan Tua Raja Tabir Mentari
hampir bersamaan. ”Apa!?”
”Tiga kitab pusaka ... telah hilang!” desis Tua Raja Pedang Bintang dengan
tatapan berapi-api.
”Kitab pusaka apa?” bentak Tua Raja Tinju Kayangan dengan tidak sabar.
”Kitab pusaka yang berisi catatan ilmu sakti yang paling dicari di rimba
persilatan hingga sekarang ini ... ”
”Maksud Kakang Bramageni ... Kitab Ilmu ’Bayu Buana’?” tebak Tua Raja
Bedah Bumi.
Tua Raja Pedang Bintang mengangguk pelan sambil berkata, ”Bukan hanya
itu saja, termasuk pula Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’ dan Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang
Malaikat’ ikut lenyap dari tempat penyimpanan.”
”Apaaa!”
Jika mendengar suara geledek mungkin cukup membuat orang terkejut. Tapi
kejutan kali ini bukan hanya sekedar sambaran geledek. Tapi masih ditambah
dengan salakan petir, guncangan bumi dan letusan gunung berapi. (weleeh ...
banyak amir!?)
Dengan ringkas, Tua Raja Pedang Bintang mengatakan sebuah rahasia yang
disimpan rapat-rapat selama ini atas perintah Tuan Majikan Kepulauan Tanah
Bambu meski perintah yang datang lewat sebuah mimpi.
Ya, sebuah mimpi!
Tapi meski cuma sebuah, tapi mimpi ini betah sekali datang berulang kali
dalam tidur nyenyak Tua Raja Pedang Bintang yang pada mulanya dianggap
sebagai bunga tidur saja. Namun ternyata ’bunga tidur’ yang ini lain, karena
merasa dicuekin terus sama si Bramageni, akhirnya justru menteror sepanjang
malam. Hingga pada akhirnya, Bramageni harus percaya pada mimpinya.
Gimana ga mau percaya, lha wong bunga tidurnya cuma itu-itu aja, kok?
Dalam mimpinya pula, Bramageni berada di Ruang Pribadi Tuan Majikan dan
di sana muncul sesosok bayangan hitam yang tidak di ketahui bagaimana sosok
aslinya, mengatakan tempat penyimpanan tiga buah catatan ilmu sakti yang
awalnya memang diturunkan dari mulut ke mulut antar sesama Ketua Perguruan
Tanah Bambu yang biasa disebut Tuan Majikan. Tuan Majikan yang terakhir

membuat keputusan paling heroik dari sepanjang sejarah Kepulauan Tanah
Bambu.
Tiga ilmu sakti andalannya ditulis dalam bentuk catatan!
Dan dalam mimpi itu pula, Tua Raja Pedang Bintang ditunjukkan tempat
penyimpanan dari tiga kitab catatan ilmu sakti yang ternyata berada di dalam
papan nama Perguruan Tanah Bambu.
Tiga Tua Raja Kepulauan Tanah Bambu terdiam dalam keterpanaan!
Tidak disangka sama sekali bahwa Tuan Majikan berani mengambil
keputusan seperti itu. Padahal mereka tahu seberapa berbahaya Empat Pusaka
Perguruan Tanah Bambu jika terjatuh ke tangan tokoh sesat. Jika itu sampai
terjadi, apa bukan berarti Tuan Majikan telah menciptakan bibit bencana di kelak
kemudian hari.
Ketiganya terdiam membisu mendengarkan penuturan orang tertua dari
Empat Tua Raja. Setelah sepenanakan nasi lamanya Tua Raja Pedang Bintang
berceloteh panjang lebar, barulah mereka paham apa maksud dan tujuan dari
Tuan Majikan menuliskan ilmu saktinya ke dalam bentuk kitab ilmu silat.
Yang jadi pertanyaan adalah ... bagaimana dengan ilmu ke empat?
Ilmu yang paling mengerikan sepanjang sejarah dunia persilatan apakah juga
ditulis dalam lembaran kitab?
Jika benar, maka jelas kali ini wilayah Kepulauan Tanah Bambu khususnya
dan jagat persilatan pada umumnya akan banjir darah!
Sebab, yang paling tahu seberapa mengerikan dan dahsyatnya Ilmu Sakti
‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ adalah orang-orang Kepulauan
Tanah Bambu, itu pun andaikata kitab ke empat ikut pula tercuri ... !
Selepasnya, hanya terdengar desahan napas pelan dalam Ruang Pribadi
Tuan Majikan.
Tua Raja Pedang Bintang-lah yang pertama kali memecah keheningan.
”Malam ini juga, kita harus mengumpulkan semua Penguasa Tapal Batas,”
katanya sambil melangkah keluar dari ruangan, lalu gumamnya seolah pada
dirinya sendiri, ”Aku yakin, pasti ada musuh dalam selimut di tempat kita ini.”
Ke Tiga Tua Raja saling pandang satu sama lain.
”Kita berkumpul di Balairung Ranting Bambu!”
--o0o---
Malam itu pula, Empat Tua Raja dan Tiga Penguasa Tapal Batas hadir di
Balairung Ranting Bambu, termasuk pula pemuda berperiuk Riung Gunung dan
si cantik manis Kaswari juga hadir diantara para tokoh sentral Perguruan Tanah
Bambu. Awalnya Ki Ajar Lembah Halimun dari Lembah Halimun Kegelapan turut
di undang, namun laki-laki yang sudah teramat sepuh ini menolak dengan halus
dan mewakilkan pada Riung Gunung, murid sekaligus putra dari mendiang
Pemulung Nyawa.

Mereka duduk melingkar meja bundar dari kayu jati yang sudah tua di makan
usia. Secara berurutan dari kiri ke kanan adalah Dewa Periang, Contreng Nyawa,
Gayam Dompo yang bergelar Kakek Kocak dari Gunung Tugel dan Dedengkot
Dewa yang juga pimpinan dari empat penguasa Tapal Batas. Sedangkan Riung
Gunung dan Kaswari duduk bersebelahan di belakang Gayam Dompo sambil
kasak-kusuk ala anak muda.
Akan halnya Empat Tua Raja Kepulauan Tanah Bambu yang telah datang
terlebih dahulu.
”Siapa yang belum datang?” tanya Bramageni dengan pandangan mengedar.
”Hanya tinggal Nini Cemara Putih, Paman Sepuh,” sahut Riung Gunung dari
belakang.
”Hemmm ... kita tunggu sebentar ... ”
Tiba-tiba, sebuah suara menyahut halus, namun terdengar menggema di
setiap sudut Balairung Ranting Bambu.
”Tidak perlu! Aku sudah datang!”
Belum lagi suaranya lenyap, sesosok bayangan putih yang entah bagaimana
caranya, tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
”Aku belum terlambat, bukan?”
”Belum, Nini.” sahut Bramageni dengan suara halus.
Biasanya, orang yang bergelar ’Nini’ pastilah berwajah keriput, jalan
sempoyongan kayak orang mabuk meski sudah bertumpu pada tongkat, tubuh
bongkok kayak udang goreng dan yang jelas terdengar adalah suara batuk yang
memiliki nada beraneka ragam. Belum lagi dengan kunyahan susur yang
kadangkala sering nyungsep di bibir peotnya.
Tapi yang namanya Nini Cemara Putih ini ... lain daripada yang lain, bro!
Nini Cemara Putih ternyata masih seorang gadis muda, cantik lagi!
Swearrr ... sumpah ditabrak nyamuk deh kalau ga cakep!
Kulit tubuhnya sangat putih, bisa dikatakan seputih pualam tanpa cela sedikit
pun ditingkahi mata jeli, hidung bangir dan bibir memerah segar alami dan yang
jelas ... tinggi langsing!
Masa’ cewek cakep bodynya kayak gajah bengkak!?
Mahkota hitam di atas kepala alias rambut hitam sebahu tergerai menguarkan
bau harum semerbak. Selain anugerahi wajah cantik jelita plus bongkahan dada
padat menantang ditambah pantat yahud menggoda karena si gadis memang
mengenakan pakaian putih super ketat. Nini Cemara Putih paling suka pake baju
yang ketat-ketat untuk membalut tubuh mulus super indahnya, itu pun harus
warna putih agak sedikit tipis hingga sanggup mengekspos bentuk tubuh ramping
si pemilik.
Riung Gunung sendiri seringkali curi-curi pandang jika bertemu dengan Nini
Cemara Putih apalagi jika sedang mengenakan pakaian super seksinya. Bahkan

saking terpesonanya ketika gadis itu memandang dirinya meski cuma sekejap,
seperti mau copot saja jantung Riung Gunung waktu diliat kayak gitu.
Mereka mulai berbasa-basi tanpa melepas pandangannya dari gadis itu. Lakilaki
normal mana yang tidak tergiur melihat gadis cantik berambut sebahu dan
bermata bening yang menawan, apalagi ni cewek pake baju yang potongan
dadanya dibuat sedikit rendah hingga memperlihatkan belahan dadanya yang
’wooow’ banget.
Belum lagi dengan tongkrongan yang agak judes-judes manja bisa membuat
laki-laki mana pun gemas setengah mampus!
Yakin!
Yang jadi pertanyaan ... kenapa gadis cantik semlohai bin montok seperti itu
dipanggil Nini?
Begitu ceritanya!
Waktu dulu, kira-kira seratus tahun silam (wuih ... lama ya!?), saat gadis cantik
yang bernama asli Wikataksini berhasil menguasai Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’
yang diajarkan oleh Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu. Saat Wikataksini
mempelajari kitab sakti itu usianya baru sembilan tahun dan berhasil dengan
sempurna menguasai isi kitab tepat berusia delapan belas tahun. Kontan Ilmu
‘Seribu Bulan’ berhasil ditelan dalam waktu sembilan tahun saja.
Sebenarnya, apa yang diajarkan oleh Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu
bersifat untung-untungan semata mengingat sifat ilmu yang hanya bisa dikuasai
oleh mereka yang memiliki tautan darah dengannya. Berhasilnya uji coba Ilmu
‘Seribu Bulan’ pada Wikataksini membuat Tuan Majikan Kepulauan Tanah
Bambu semakin penasaran. Dicobanya pada bocah perempuan dan laki-laki usia
sembilan, sepuluh, sebelas dan dua belas tahun dengan rentang waktu yang
sama dengan Wikataksini. Namun hasilnya, setelah lima puluh tahun kemudian,
bocah yang diajar belakangan tetap mengalami penuaan sedang Wikataksini
justru tetap awet muda.
Tentu saja Tuan Majikan semakin penasaran!
Kok bisa?
Akhirnya ... setelah usut punya usut ketahuan penyebab utama keberhasilan
Wikataksini. Ternyata bocah Wikataksini terlahir tepat saat terjadinya gerhana
bulan dan Tuan Majikan beranggapan faktor itulah yang membuat Wikataksini
berhasil menguasai sifat Ilmu ‘Seribu Bulan’.
Jika umur Tua Raja Pedang Bintang --orang tertua dari Empat Tua Raja--
sudah mendekati sembilan puluh lima tahun, padahal saat bergabung dengan
dengan Perguruan Tanah Bambu, Nini Cemara Putih sudah berusia lima puluh
tahunan dan waktu itu pun Bramageni justru menganggap si gadis berusia
delapan belas tahun. Namun seiring waktu berjalan, Tua Raja Pedang Bintang
makin tua tapi Nini Cemara Putih tetap awet muda.
Bisa dibayangkan usia Nini Cemara Putih sekarang ini!

Dengan langkah lambat-lambat penuh keagungan, Nini Cemara Putih lantas
duduk di kursi yang memang disediakan khusus untuknya.
”Ada perlu apa Bramageni, hingga kau kirim utusan ke Wisma Tanah Cemara
dan memintaku kemari?” tutur kata Nini Cemara Putih halus.
Dengan sedikit menundukkan kepala, Bramageni membuka mulut.
”Kita kecolongan, Nini.”
”Apa maksudmu dengan ’kita kecolongan’?”
”Tiga kitab pusaka perguruan hilang.”
”Hilang bagaimana?”
”Tepatnya ... dicuri orang, Nini.”
Nini Cemara Putih sedikit mengangkat alis kirinya, lalu berkata, ”Maksudmu ...
di tempat kediaman Tuan Majikan, begitu?”
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Bramageni mengangguk pelan.
Anggukan Tua Raja Pedang Bintang sudah cukup mewakili semua rentetan
pertanyaan yang ada dalam benak Nini Cemara Putih.
”Ke tiga kitab yang dicuri adalah kitab sakti paling berbahaya yang pernah ada
di jagat persilatan sekarang ini. Jika semudah itu dipelajari oleh orang, bukan
kitab sakti namanya,” tutur Nini Cemara Putih dengan pandangan mengedar.
”Kurasa, Pencuri Kitab belum mengetahui bahaya yang terkandung dalam ke tiga
kitab itu.”
”Maksud, Nini?” sela Tua Raja Tinju Kayangan.
”Dalam setiap lembar kitab telah diolesi dengan racun paling mematikan.”
”Racun?” desis Dedengkot Dewa. Matanya sedikit mengernyit, lalu berkata,
”Maaf, Nini. Jika boleh saya bertanya.”
”Silahkan, Dedengkot Dewa.”
Setelah memperbaiki duduknya, ia pun bertanya, ”Darimana Nini mengetahui
kalau ke tiga kitab tersebut beracun?”
”Karena aku yang meletakkan racun itu,” sahut Nini Cemara Putih, enteng.
”Nini yang meletakkannya?” tanya heran Dedengkot Dewa.
”Benar.”
Semua mata saling pandang satu sama lain.
”Kenapa kalian heran?” ucap Nini Cemara Putih sambil memandang satu
persatu semua yang hadir di tempat itu. Tanpa menunggu siapa yang membuka
pertanyaan, Nini Cemara Putih pun melanjutkan ucapannya, ”Karena ke tiga
kitab itu ... aku yang menulisnya atas permintaan Tuan Majikan dan aku pula
yang meletakkannya di balik papan nama perguruan kita.”
Semua khalayak terhenyak di tempat!

”Jika empat ilmu sakti dari Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’ yang tiga sudah
hilang dari tempat penyimpanan, besar kemungkinan si pencuri ilmu juga
mengincar ilmu ke empat,” gumam Dewa Periang seolah pada dirinya sendiri.
”Kemungkinan itu ada, hanya ... ”
”Hanya apa, Nini?” tanya Tua Raja Tinju Kayangan.
”Rapalan dari Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ belum
sempat aku tulis,” tutur Nini Cemara Putih sambil matanya melirik langit-langit
ruangan. Pikirnya, ”Seperti ada yang mencuri dengar pembicaraan ini.”
”Apa Nini Cemara Putih juga mendapatkan rapalan dari ilmu ke empat?” tanya
Gayam Dompo. Tidak ada raut kocak seperti biasanya.
--o0o—
BAGIAN 20
“Kebetulan sekali ... tidak,” jawab nini cantik berbodi semlohai ini. “Tuan
Majikan belum sempat memberikan rapalan ilmu tersebut dengan alasan yang
aku sendiri tidak tahu, tapi beliau terlanjur pergi tanpa memberikan alasan apa
pun ... kecuali sebuah pesan.”
Semua yang berada di tempat itu terdiam. Tidak ada satu pun yang memotong
perkataan dari Nini Cemara Putih, orang paling dihormati dari Perguruan Tanah
Bambu.
“Tuan Majikan hanya berpesan, yang memimpin selanjutnya wilayah
Kepulauan Tanah Bambu dan Perguruan Tanah Bambu adalah orang yang
membawa Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana.”
“Medali Tiga Dewa!” seru semua orang yang ada di tempat itu. “ ... dan Pasir
Kujang Duta Nirwana!”
Pada dasarnya, Perguruan Tanah Bambu tidak seperti perguruan silat pada
umumnya yang menerima murid untuk belajar silat. Meski menggunakan embelembel
perguruan, Perguruan Tanah Bambu justru condong ke arah perkumpulan
yang memiliki keanekaragaman ilmu silat pengikutnya, yang artinya tidak ada
ilmsu silat baku atau andalan dari perguruan yang tempatnya selalu tertutup
kabut gaib ini. Di mana dalam perguruan sendiri selain dibagi menjadi beberapa
wilayah yang bernama Tapal Batas, juga setiap Tapal Batas memiliki pasukan
tersendiri yang siap berani mati membela majikan masing-masing. Itulah
sebabnya di Perguruan Tanah Bambu tidak ada istilah ’Guru’ yang ada hanya
’Tuan Majikan’!
Selain itu Kepulauan Tanah Bambu --tempat berdirinya Perguruan Tanah
Bambu-- memiliki dua benda pusaka dan sebuah kitab sakti yang dijunjung
tinggi. Yaitu pusaka Medali Tiga Dewa dan pusaka Pasir Kujang Duta Nirwana
sedangkan kitabnya bernama Kitab Pusaka Ilmu ‘Seribu Indera’ yang didalamnya
di bagi menjadi empat bab.

Tentu saja mereka semua tahu tentang Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang
Duta Nirwana, dua benda pusaka warisan leluhur dari Tuan Majikan Kepulauan
Tanah Bambu yang konon moksa dan kabarnya tinggal di alam gaib. Medali Tiga
Dewa adalah medali segi delapan yang sanggup menyerap Delapan Unsur
Penggerak Bumi dimana medali ini terbuat dari lempengan besi hitam berukiran
naga, rajawali dan harimau yang disebut Tiga Petinggi Satwa Gaib oleh orangorang
Perguruan Tanah Bambu.
Akan halnya senjata sakti yang bernama Pasir Kujang Duta Nirwana dulunya
pernah dilarikan oleh Iblis Mara Kahyangan ratusan tahun silam dari alam gaib.
Dan pada akhirnya justru sang iblis sendiri bersatu raga dengan kujang sakti saat
menjelang ajal dan kembali hidup di dunia serta mengganti nama : Raja Iblis
Pulau Nirwana yang merajalela dengan segala keangkaramurkaannya. Pada
akhirnya kujang sakti berhasil dimurnikan kembali oleh seorang pemuda sakti
bernama Jalu Samudra yang dijuluki si Pemanah Gadis (mau tahu kisahnya,
coba liat ke jilid 2 dech ...!)
Riung Gunung yang berada di belakang sendiri berbisik pada Kaswari.
“Wah, kalau begitu kebetulan dong.”
“Apanya yang kebetulan, Kang?” bisik Kaswari.
“Jika Nini Cemara Putih benar-benar penulis kitab sakti yang hilang, bukankah
sama artinya dia adalah kitab sakti berjalan,” ucap Riung Gunung lirih.
“Maksudmu?”
“Yahh ... minta diajari satu-dua ilmu bolehlah, hihihi!!”
“Aaahh .. paling-paling juga Kakang maunya nggodain nini cantik itu,” sungut
Kaswari dengan mulut meruncing.
“Ahhh ... tau aja kau!” gerutu Riung Gunung ketahuan belangnya.
“Memangnya kau ini cacing di perutku apa?”
“Justru Kakang ini yang cacing kegatelan! Liat jidat mulus dikit aja sudah
blingsatan kayak mata maling,” bisik gemas Kaswari sambil mencubit paha
pemuda berperiuk. “Dasar pemuda mata bongsang ... !”
Dasar pemuda rada gendeng, justru ia malah berkata, “Wadaoww ... !! Jangan
... jangan ... jangan ... “
“Jangan apa!?” potong Kaswari cepat.
“Jangan hanya disitu saja, naikin dikit dech ... “ desis Riung Gunung.
Bukannya mengerang kesakitan, wajahnya malah terlihat mupeng!
“Gayam Dompo!” panggil Nini Cemara Putih.
“Iya, Nini?”
Suara sember Gayam Dompo yang lumayan keras membuat semua orang
kaget.

Tidak terdengar suara apa pun terlontar dari bibir sexy Nini Cemara Putih,
namun mengapa Kakek Kocak dari Gunung Tugel ini berkata seolah menjawab
sebuah pertanyaan. Namun sedetik kemudian, semua orang yang ada di situ
maklum, kalau nini cantik berbody semok ini menggunakan ilmu mengirim suara
dari jarak jauh.
“Jika murid cantikmu sudah pengin kawin, kawinkan saja. Daripada kasakkusuk
di belakang seperti orang sinting kebelet kawin,” ucap Nini Cemara Putih
yang hanya bisa didengar oleh orang yang dituju. Di wajahnya tidak terlihat nada
marah, hanya seulas senyum kecil saja.
Gayam Dompo sekejap melirik ke belakang, lalu kepalanya mengangguk
meng-iya-kan.
“Baik, Nini. Baik.”
“Baiklah. Kita kembali ke topik semula,” kata Nini Cemara Putih sambil bangkit
berdiri. “Beberapa hari yang lalu aku sempat mendengar adanya pihak-pihak luar
yang berhasil menyusup kemari. Perlu diketahui, orang-orang yang bisa
menyusup ke tempat kita ini pasti ada hubungannya dengan orang-orang yang
ada Kepulauan Tanah Bambu. Sebab tidak mungkin mereka bisa keluar masuk
seenaknya jika tidak mengetahui jalan masuk. Ingat! Tuan Majikan yang pertama
kali menemukan pulau ini telah menanam pagar gaib yang tidak bisa ditembus
dengan cara apa pun. Jangankan senjata sakti, ilmu-ilmu kesaktian dan ilmu gaib
apa pun tidak bisa menembusnya.”
“Lalu bagaimana dengan pertarungan akbar yang terjadi dahulu kala antara
Matahari Sabit dengan Biksu Shaolin, Nini?” potong Tua Raja Tabir Mentari.
“Itu adalah lain hal,” tukas Nini Cemara Putih. “Pertarungan itu terjadi karena
Biksu Shaolin selain memiliki kesaktian tinggi, juga berhasil menemukan jalan
tembus masuk ke wilayah Tanah Bambu. Namun, toh mereka sudah berkalang
tanah dan rahasia itu pun ikut terbawa ke alam kematian ... “
Semua orang yang ada di tempat itu diam membisu seribu bahasa.
Nini Cemara Putih kembali berkata memecah kesunyian.
“ ... dan rupanya, ada pihak luar yang berkepentingan masuk ke tempat ini.
Selain mencuri kitab, aku yakin mereka pasti punya tujuan lain.”
Tua Raja Pedang Bintang yang sedari tadi diam saja, menyeruak membuka
kata.
“Lalu ... apa yang seharusnya kita lakukan, Nini?”
“Kita harus menyusun rencana untuk menghadapi setiap kemungkinan yang
ada. Tepatnya ... menghadang orang-orang yang berniat makar!”
“Baik!” sahut Tua Raja Bedah Bumi, “Aku akan mem ... “
“Kurang ajar! Ada yang menguping pertemuan kita!” bentak Nini Cemara Putih
setelah yakin bahwa atas langit-langit mendekam sosok yang mencuri dengar
pembicaraan mereka.
Sontak tangan kirinya mengibas ke atas.

Wutt!
Sinar putih sebesar kepala melesat cepat dan melabrak atap.
Brakk!
Bersamaan dengan itu, Dedengkot Dewa berseru, “Biar saya yang
menangani, Nini!”
Sosok laki-laki tampan berkumis tipis yang sekarang mengenakan baju biru
gelap langsung melesat naik.
Wusss!
Menerobos langit-langit yang jebol, bersalto beberapa kali dan akhirnya
melesat cepat mengejar si pengintip.
Tua Raja Tinju Kayangan bangkit berdiri sambil berkata, “Nini Cemara Putih!
Saya rasa dua orang lebih baik dari pada satu orang. Mohon ijin!”
“Silahkan!”
Begitu kata-kata si nini cantik berbaju sedikit menerawang ini selesai, Tua
Raja Tinju Kayangan sudah berkelebat cepat. Sebagai salah seorang dari Empat
Tua Raja Tanah Bambu, tidak sopan rasanya jika harus pamer ilmu di depan
pakarnya. Akhirnya ia melesat ke pintu depan dan menyusul kelebatan
Dedengkot Dewa yang lebih dahulu mengejar.
“Riung! Kaswari!” perintah Dewa Periang. “Kalian selidiki sekitar tempat ini!”
“Siap, Paman!”
Pemuda berperiuk dan gadis baju kuning segera menjura, lalu berkelebat
cepat. Namun tak lama kemudian, mereka berdua kembali ke tempat pertemuan.
Riung Gunung berkata, “Aman, Paman!”
“Yakin!?”
Murid Ki Ajar Lembah Halimun menganggukkan kepala.
Belum sampai rapat dimulai, terdengar dentuman keras yang sanggup
menggetarkan meja kursi yang ada di tempat itu.
“Hemmm ... pakai kekerasan! Pasti ini ulah Kakang Bayu Rakta,” desis Barka
Satya.
“Benar, Tua Raja Tabir Mentari!” Contreng Nyawa mendesis. “Dari
getarannya, tukang marah itu tengah mengumbar kesaktian.”
“Aku setuju dengan perkataanmu! Si tukang marah lagi beraksi,” sahut Tua
Raja Tabir Mentari sambil kembali duduk. “Entah bagaimana nasib si pengintip.”
“Paling juga jadi dendeng manusia,” seloroh Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
“Baiklah! Biar penyusup itu di urus oleh mereka berdua,” kata Nini Cemara
Putih mengalihkan pembicaraan. “Kita bahas langkah-langkah yang perlu
diambil.”

Sementara itu ...
Di sebelah selatan sejarak ratusan tombak dari tempat pertemuan, tepatnya di
sebuah hutan Bambu Hitam yang notabene berada di daerah kekuasaan
pimpinan tertinggi dari Empat Penguasa Tapal Batas yaitu Dedengkot Dewa,
tampak dua sosok tubuh berdiri berhadapan.
Tidak ada posisi serang atau jurus yang digelar, tapi justru percakapan yang
terasa akrab!
Yang berbaju biru gelap jelas Dedengkot Dewa adanya, sedang lawan bicara
ternyata seorang perempuan bertubuh tinggi semampai berambut digelung
sedemikian rupa dengan menyisakan juntaian rambut di pelipis kiri kanan yang
berkibar lembut tertiup angin malam. Sosok perempuan yang memakai baju ketat
tanpa dalaman dari bahan jaring rapat yang membungkus tubuh dari ujung
rambut sampai ujung kaki hingga mencetak setiap lekuk lengkung tubuhnya.
Namun yang paling menonjol adalah sepasang bukit kembar tercetak rapi sesuai
bentuknya. Yang jelas, baju jaring hitamnya tidak sanggup menutupi sosok kulit
putih bersih si pemakai baju jaring hitam.
Jelas, tongkrongan wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahunan
dengan raut muka cantik jelita ini sangat menggiurkan setiap laki-laki yang
memandang. Terlebih lagi dengan baju jaring super ketat menerawang sudah
lebih dari cukup untuk membuat mata laki-laki jadi hijau.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam.
Nyai Kembang Hitam!
“Buat apa kau datang malam-malam begini?” bentak halus Dedengkot Dewa,
namun hatinya sedikit bergetar melihat tongkrongan Nyai Kembang Hitam yang
wooow sekali.
Gimana ga gemetar, wong serba keliatan semua. Karena jelas-jelas di balik
baju jaring hitamnya, Nyai Kembang Hitam tidak memakai apa-apa!
“Jangan marah dulu, Kakang Yama Lumaksa!” bisik Nyai Kembang Hitam
dengan dua tangan terkembang. “Aku sudah kangen denganmu!”
Lalu tanpa permisi, dipeluknya Dedengkot Dewa yang bernama asli Yama
Lumaksa sambil bibirnya menutup bibir Dedengkot Dewa.
Waahhh ... rujak bibir nih!
Setelah beberapa saat, Dedengkot Dewa atau Yama Lumaksa melepaskan
diri dari sergapan bibir Nyai Kembang Hitam.
“Bagaimana dengan Dedengkot Dewa?”
“Beres! Panji Tilar telah men-sukabumi-kan musuh bebuyutannya,” kata Nyai
Kembang Hitam sambil menggelendot manja.
“Bagus!”

Aneh, jika memang Dedengkot Dewa sudah di-sukabumi-kan alias di bunuh
oleh Panji Tilar alias Pawang Racun Kecil, lalu siapa Dedengkot Dewa yang
sekarang bertemu dengan Nyai Kembang Hitam?
“Kita pergi sekarang?” tanya Nyai Kembang Hitam kepada Yama Lumaksa.
“Sudah ga tahan, nih ... “
“Sebentar,” kata Yama Lumaksa sambil meraih ke tubuh sang Nyai, tangan
kanan meluncur ke bawah seperti ular menelusuri belahan dada membusung,
terus turun ke perut ramping dan akhirnya sedikit bermain di tempat paling ujung
di bawah pusar. Dengan cuek-bebek jari tangan Dedengkot Dewa merobek
sebagian baju ketat yang tepat menutupi gerbang istana kenikmatan yang kini
sedikit basah.
Srett!
“Nah, ini lebih baik ... “ kata Yama Lumaksa sambil memasukkan jari tangan
sedikit ke dalam yang tentu saja membuat Nyai Kembang Hitam semakin
mendesah-menggelinjang kenikmatan. Namun, belum lagi meneruskan
pekerjaannya, sesosok bayangan telah berkelebat mendekat.
Jleg!
“Brengsek kalian!” bentaknya dengan suara sedikit di tekan.
“Apa ada Tua Raja Tinju Kayangan?” sindir Dedengkot Dewa. “Kau mau?”
“Heh, ini bukan tempatnya, bangsat!” kembali Tua Raja Tinju Kayangan
membentak. “Kalian harus pergi dari tempat ini secepatnya! Jangan
membantah!”
Dengan bahu sedikit diangkat, entah karena nikmat atau meng-iya-kan
perkataan Tua Raja Tinju Kayangan, Nyai Kembang Hitam langsung berkelebat
pergi diikuti Dedengkot Dewa yang sambil berulang kali mengendus-endus jari
tangannya.
Wuss ... !!
Di tinggal sendirinya, tentu saja Bayu Rakta semakin meradang, gerutunya,
“Dua bangsat itu jika sudah saling sosor tidak ingat tempat dan waktu. Hemmm
... aku harus segera menyusul mereka.”
Baru satu tindak melangkah, kembali Bayu Rakta berdiam diri.
“Jika langsung pergi begitu saja, pasti orang-orang goblok itu akan curiga. Aku
harus menghilangkan jejak.”
Dua tangan Tua Raja Tinju Kayangan mengepal kencang. Tenaga dalam di
hempos sampai seperempat bagian hingga terbersit sinar terang berkilauan.
Diiringi dengusan napas terbuang, dua tangannya berkelebat saling susulmenyusul
ke empat penjuru.
Wurr ... wuss .... !!
Blamm! Blammm ... !
Jajaran Bambu Hitam sontak terdongkel disertai bau hangus menyengat.

Suara ledakan inilah yang terdengar hingga ruang pertemuan dan orangorang
disana beranggapan kalau terjadi pertarungan sengit dengan si pencuri
dengar.
“Aku harus menyusul mereka. Sepenanakan nasi baru kembali ke tempat
pertemuan,” desisnya. “Jika Dedengkot Dewa tidak mau juga melepas dari
dekapan wanita genit itu, biar aku seret saja dia!”
Laki-laki muka codet itu segera berkelebat menghilang dari pandangan.
Keesokan harinya ...
Dua sosok bayangan tampak berkejar-kejaran di balik rimbunnya jajaran
Bambu Hitam yang berada di daerah kekuasaan Dedengkot Dewa. Salah
seorang diantaranya seorang pemuda baju buntung coklat tua dipadu dengan
celana putih. Yang sedikit mencolok adalah sebuah periuk besar bertengger di
punggung. Sedang satunya seorang gadis yang bisa dibilang cantik rupawan
berbaju kuning ketat tanpa lengan dengan balutan baju dalam merah tua. Di
punggungnya tersoren sebilah pedang dengan rumbai-rumbai tali biru.
Siapa lagi jika bukan Riung Gunung dan Kaswari!
Wutt! Wuutt!
Sosok Riung Gunung tiba lebih dulu diikuti tubuh ramping Kaswari.
“Ilmu ringan tubuh Kakang Riung makin hebat,” puji si gadis dengan senyum
menghias bibir.
“Masa’ sih? Perasaan biasa-biasa tuh,” elak Riung Gunung sambil mengamati
seantero batang-batang bambu hitam yang semakin hitam menghangus seperti
bekas habis terbakar.
“Kakang, memangnya Paman Contreng Nyawa menyuruh kita menyelidik
tempat ini ada tujuannya?” tanya Kaswari sambil menyeka peluh di dahinya.
“Disini tidak ada apa-apa selain kumpulan batang bambu hangus.”
“Tentu saja ada, dong ... “ sahut murid Ki Ajar Lembah Halimun sambil
matanya terus mengedar seakan sedang mencari-cari sesuatu.
“Lalu apa yang kita cari disini?”
“Entahlah ... “ ujar Riung Gunung sambil berjalan berkeliling. “Mungkin sebuah
petunjuk barangkali ... “
“Petunjuk apa?”
“Biasanya, benda mati bisa juga menjadi petunjuk berharga.”
“Lha ... iya! Tapi mana buktinya?” tukas Kaswari jengkel karena sedari tadi
pemuda berperiuk itu hanya memandang berkeliling saja tanpa melakukan apaapa.
“Ada,” sahut Riung Gunung, pendek.

“Mana?” kembali gadis murid Kakek Kocak dari Gunung Tugel berucap
dengan sedikit jengkel. Lalu sambil memandang berkeliling, ia tidak menemukan
apa-apa. “Ga ada apa-apa di tempat ini.”
“Coba kau liat arah tumbangnya batang bambu di tempat ini,” kata Riung
Gunung berteka-teki. “Kau merasakan sesuatu yang aneh?”
Kaswari diam sesaat, lalu kembali memandang berkeliling, lalu
menggelengkan kepala dengan cepat.
“Ga ada yang aneh, tuh.”
“Heeeh! Punya otak kok ga pernah dicuci,” kata Riung Gunung sekenanya.
Lalu berjalan ke depan sepuluh langkah, lalu duduk di atas batu datar seukuran
anak kerbau.
“Brengsek! Kakang mengejek, ya?” sungut Kaswari mendekati Riung Gunung
dan duduk menyebelahi si pemuda. “Mau kucubit apa!?!”
“Jangan aaah ... “
“Cepat katakan, apa yang Kakang temukan!”
“Baik-baik-baik!” kata Riung Gunung sambil meringis melihat mata bundar
Kaswari yang semakin bundar kalau melotot.
Sumpah, makin cakep lho!
“Kau liat bambu-bambu hangus itu?”
“Tentu saja liat! Emangnya aku buta apa!?”
“Lalu batang bambu itu tumbang kena apa?”
“Tentu saja disini semalam terjadi pertarungan hebat dan bambu-bambu itu
hangus akibat terkena pukulan sakti yang nyasar! Jelas!?” tukas Kaswari, lalu
sambungnya, “Kakang ini makin lama makin bego aja, deh!”
Riung Gunung hanya tersenyum.
“Jika benar perkataanmu, Kakang mau tanya,” jawab Riung Gunung.
“Pertarungan hebat yang mana yang kau katakan?”
Mendapat pertanyaan ini, sontak Kaswari terjengkit bagai disengat
kalajengking!
Benar!
Pertarungan hebat yang mana?
Kembali mata Kaswari mengedar. Kali ini diamati setiap jengkal tanah,
tumpukan daun bambu kering serta posisi batu-batu besar tetap seperti tidak
tersentuh tangan sama sekali. Bahkan di bagian pojok agak sedikit ke ujung,
sarang laba-laba pun masih ada, tidak koyak sedikit pun. Jelas aneh jika
memang ada pertarungan, posisi runtuhan daun bambu kering dan batu-batu
sekitarnya tidak ada yang bergeser meski sedikit.
“Eemm ... benar juga!” gumam Kaswari kemudian. “Ada yang aneh disini.”

“Bagaimana?”
“Kakang Riung benar. Jangan-jangan ... “
“Jangan menduga-duga yang jelek. Paling-paling juga ... “ ucapan Riung
Gunung terhenti saat matanya melihat sesuatu warna hitam di dekat kakinya, lalu
diambil dan diamati dengan seksama.
Secuil kain bentuk jaring warna hitam yang lebarnya sepanjang jari telunjuk
saja.
“Kain apa ini?” desis Riung Gunung mengamati kain hitam ditangannya.
Direntang dikit, dilepas, direntang-dilepas, lalu dibolak-balik.
“Apa yang Kakang temukan? Petunjuk lagi?”
“Cuma sobekan kain,” jawab Riung Gunung pendek. “Tapi aneh juga, kenapa
bisa berada di tempat ini? Atau jangan-jangan ini sobekan baju atau sapu tangan
yang tersangkut ranting pohon barangkali? Tapi di sekitar sini ga ada pohon,
cuma bambu hitam melulu.”
Lalu sobekan kain hitam didekatkan hidung. Tercium aroma aneh di sana.
Sniiff ... snifff ... ! (ini suara hidung mengendus, heheheh!!)
Karena penasaran, sobekan kain semakin didekatkan dan pada akhirnya
menempel di ujung hidung Riung Gunung. Andaikata Riung Gunung tahu itu
sobekan kain apa, asalnya darimana dan posisi awalnya dimana, pasti selebar
mukanya sudah merah padam!
Karena itu sama artinya dia mencium ... (tebak sendiri deh ...!)
“Baunya aneh,” gumam Riung Gunung sambil berulang kali mengendus. “ ...
tapi ... emmm ... aneh-aneh harum ... gimana ya ... “
“Coba kesinikan,” kata Kaswari penasaran sambil merebut sobekan kain di
tangan si pemuda. Lalu diendusnya beberapa saat.
Sebentar kemudian, selebar muka Kaswari langsung merah padam!
“Apa yang kau temukan!?” tanya Riung Gunung melihat raut muka Kaswari
merona merah mendadak.
“Dasar jorok! Kakang Riung benar-benar jorok!”
“Jorok gimana?” tanya Riung Gunung, heran. Bahkan tangan bekas
memegang sobekan kain kembali diendusi. “Baunya sedap. Ga busuk, kok! Coba
dech sekali lagi!”
Kembali selebar muka Kaswari merah padam melihat tingkah laku si pemuda
yang pulang-balik menciumi jari-jari tangannya. Wajahnya semakin merah dari
sebelumnya.
Benar-benar persis udang goreng tanpa tepung!
“Pokoknya jorok, ya ... jorok! Titik!” sentak Kaswari sambil melempar sobekan
kain ke tanah. “Sudah! Aku mau pulang!”

Tanpa banyak kata, Kaswari langsung melesat pergi.
“Ooooiii ... Wari! Apanya yang jorok!?” teriak Riung Gunung. “Pegang tahi
ayam juga kaga’!”
Dipungutnya kembali sobekan kain hitam, diamati sesaat, kembali didekatkan
ke hidung, diendus sebentar, lalu bergumam, “Heran ... joroknya dimana sih?”
Riung Gunung melangkah pergi dan tanpa ia sadari berulang kali menciumi
sobekan kain di tangannya.
Tentu saja Kaswari mengatakan perbuatan Riung Gunung ‘jorok’ karena ia
tahu bau yang keluar dari sobekan kain adalah bau khas cairan kenikmatan
seorang perempuan!
Kegemparan yang diciptakan si Pencuri Kitab membuat kesiapsiagaan
Perguruan Tanah Bambu meningkat tajam, bahkan Nini Cemara Putih sendiri
yang memimpin penyelidikan dibantu Empat Tua Raja Tanah Bambu. Namun,
hingga tiga berselang tidak juga menemukan petunjuk yang berarti. Kecuali
sebuah petunjuk sementara yang diberikan Tua Raja Bedah Bumi bahwa si
pencuri menguasai Ilmu ‘Baju Es Hitam’ yang hanya dimiliki para Penghuni
Gerbang Surga.
--o0o—
BAGIAN 21
Sore itu, langit cerah tanpa awan.
Angin bertiup sepoi-sepoi.
Si bulat bundar di langit pun tidak segarang seperti tadi siang.
Beberapa burung camar terlihat saling berlomba memburu ikan. Beberapa kali
terlihat menyambar-nyambar ke arah permukaan air laut, lalu melesat naik
dengan kaki mencengkeram hasil tangkapan.
Jalu Samudra, Adiprana dan Cideng terlihat berdiri dekat anjungan menikmati
sore. Tiga laki-laki muda ini saling bercerita satu sama lain, namun toh pada
intinya cuma satu.
Apalagi jika bukan perkara ... cewek!
Baru diketahui oleh Adiprana dan Cideng kalau Jalu Samudra atau yang kini
mereka kenal dengan nama besar si Pemanah Gadis ternyata telah beristri.
“Wah ... hebat juga kau!” seru Cideng sambil menepuk pelan pundak Jalu.
“Tapi ada satu pertanyaan dariku. Kau mau jawab?”
“Apa?”
“Gini! Eeee ... waktu kau malam pertama, kerepotan ga?”
“Lho, kenapa kau bilang begitu?” tanya Jalu, heran. Mata putihnya sedikit
melebar. “Ada yang aneh begitu?”

“Yach ... engga sih. Cuma ... “ kata Cideng sedikit menggantung. Apalagi jika
takut menyinggung perasaan Jalu Samudra.
“Cuma apa?”
“Anu ... hehehehe ... apa kau tidak salah tempat waktu memasukkan senjata
pusakamu ... “ sahut Cideng sambil nyengir kuda.
“Hahahahaha!”
Bukannya marah, justru si pemuda bertongkat hitam ini tertawa keras.
Beberapa burung camar sampai kaget mendengar suara tawa yang bebas lepas.
“Kalau perkara itu, kau jangan khawatir sobat! Pasti pas! Ga mungkin
meleset!” ucap Jalu dengan tetap tertawa.
Adiprana sendiri tersenyum geli saat melihat muka Cideng justru merah
padam.
“Hayooo, kau bayangin apa?” goda Adiprana sambil menyenggol bahu
Cideng.
“Ahhh ... engga ... ga bayangin apa-apa.”
“Ah ... masak?” kembali goda Adiprana.
Meski kadangkala terlihat angkuh, namun setelah mengenal pribadinya
beberapa waktu, Jalu berpikir kalau Adiprana menjadi angkuh karena didikan
dari gurunya yang mantan orang aliran hitam yang --tentu saja-- masih memiliki
sifat-sifat keangkuhan meski tidak seperti dahulu.
Kembali ketiganya tertawa lebar.
Saat itulah, tanpa sengaja mata Adiprana menangkap suatu gerakan di bawah
air.
“Apa itu?” desisnya dengan mata sedikit menyipit.
“Apa ada?”
Jari telunjuk Adiprana menunjuk ke bawah sambil berkata, “Itu ikan, bukan?”
Terlihat disana, sesosok bayangan putih yang diyakini seekor ikan tampak
berenang pelan. Namun yang membuat ketiganya kaget adalah bentuk sosok
ikan itu hampir sama besar dengan kapal Surya Silam!
Belum lagi ikan putih raksasa menghilang lenyap, muncul empat ekor ikan
putih raksasa yang bentuknya sedikit lebih kecil dari yang pertama.
“Jangan-jangan itu ... Ikan Gajah Putih!?” gumam Jalu Samudra, sedang
dalam otaknya kembali berkecamuk. “Menurut guru Dewa Pengemis, wilayah
Kepulauan Tanah Bambu berada tidak jauh dari lintasan Ikan Gajah Putih. Jika
memang ini yang namanya Ikan Gajah Putih, pasti tempat yang aku tuju sudah
tidak jauh lagi.”
Matanya mengedar ke sekelilingnya. Namun yang dicarinya tidak ada.

“Setahuku, Ikan Gajah Putih atau Ikan Gajah Putih Pembunuh paling senang
berada di wilayah yang sedikit tawar airnya,” kata Adiprana sambil terus
memandangi sosok-sosok raksasa yang berenang kesana-kemari di bawah
kapal Surya Silam. “ ... dan setiap kawanan ini melintas, pasti akan melakukan
hal yang mengerikan.”
“Apa itu?” tanya Cideng tanpa sadar.
“Ikan Gajah Putih senang bercanda dengan membenturkan tubuh ke bendabenda
yang bergerak,” kata Adiprana enteng. “Syukur-syukur bisa makan gratis.”
“Makan gratis?” tanya Jalu Samudra.
“Ya. Maksudku ... makan orang secara gratis!” sahut si Naga Terbang.
“Beritahu Kakang Gautama, agar menghentikan laju kapal sebelum terlambat.”
“Aku saja!” kata Cideng, segera ia berkelebat cepat ke arah juru mudi yang
jaraknya memang tidak begitu jauh.
Sedang Jalu Samudra dan Adiprana mengawasi gerak-gerik kawanan
pembawa maut ini.
“Kita harus memberitahu yang lain agar tidak panik. Sebab kepanikan justru
memancing keberingasan kawanan liar ini,” tutur Adiprana.
“Apa sebaiknya kita biarkan saja orang-orang di kapal ini agar tidak
memancing kepanikan?” usul Jalu Samudra sambil terus memandang kawanan
ikan yang berada tepat di bawah kapal.
Adiprana tidak menjawab, tapi memandang lekat-lekat ke arah Ikan Gajah
Putih paling ujung. Sosok penguasa laut paling besar diantara para kawanan lain
terlihat tenang di bawah sana.
“Kurasa tidak perlu, Sobat! Gerakan kapal ini pada dasarnya sudah
memancing hasrat para kawanan Ikan Gajah Putih untuk membenturkan
tubuhnya,” kata Adiprana. “Coba kau lihat ikan yang paling besar di sana. Dia
terlihat memutar tubuh.”
“Lebih baik aku beritahu teman-teman yang lain,” ucap Jalu Samudra.
Sebentar saja, puluhan orang sudah berkumpul di setiap sisi kapal Surya
Silam untuk melihat kawanan Ikan Gajah Putih. Namun dasar orang tidak tahu
bahaya, justru mereka melempar beragam jenis makanan ke arah kawanan Ikan
Gajah Putih yang menurut mereka jinak.
Jalu Samudra dan Adiprana geleng-geleng kepala melihat tingkah laku para
penumpang.
“Aku tidak melihat Trihasta. Kemana dia?” tanya Adiprana dengan mata
mengedar.
“Mungkin masih di kamar,” sahut Jalu Samudra. “Biar aku beritahu dia.”
Tanpa menunggu jawaban dari si Naga Terbang, Jalu Samudra melayang
naik ke lantai tiga. Menuju kamar Trihasta Prasaja yang memang letaknya hanya
bersebelahan dengan kamarnya.

“Trihasta, kau ada di dalam?”
Tidak ada sahutan sama sekali.
“Jangan-jangan dia lagi molor?” pikirnya. “Lagian pintunya sedikit terbuka.
Buka engga ya?”
“Trihasta! Kalau kau tidak menjawab, aku masuk nih,” panggil si Pemanah
Gadis.
Setelah menunggu beberapa lama dan tidak ada sahutan dari dalam, Jalu
mendorong pintu kamar yang memang awalnya agak terbuka, setelah di dalam ia
kembali memanggil nama Trihasta beberapa kali.
“Trihasta ... kau dimana ... ?” panggil Jalu Samudra.
Kembali tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara gemericik air
mengalir di kamar mandi sehingga Jalu berkesimpulan Trihasta Prasaja tidak
bisa mendengar karena terhalang suara gemericik air jatuh.
Namun saat mengetuk pintu kamar mandi, alangkah terkejutnya Jalu Samudra
karena ternyata pintunya terbuka sendiri, mungkin karena si penghuni tidak
menutupnya dengan benar, sehingga dengan sedikit sentuhan saja pintunya jadi
terbuka.
Begitu pintu terkuak lebar-lebar, terlihat sesosok gadis sedang membasuh
tubuh putih mulus di bawah pancuran air dengan posisi tepat menghadap ke
arah Jalu Samudra.
Jalu Samudra justru terperanjat kaget bukan alang kepalang!
Mata putihnya melihat jelas tubuh telanjang seorang gadis muda lengkap
dengan sepasang bukit kembar padat menantang!
“Jaluuuu ... !” terdengar jeritan khas seorang gadis. “Apa-apa’an kau ini!?”
Si gadis sendiri terlihat kaget, segera saja ia menutup sepasang bukit kembar
membulat dengan kedua tangan, sedangkan kaki kanannya agak disilangkan
dengan maksud untuk menutupi wilayah gerbang istana kenikmatan yang
terpampang jelas, lalu posisi tubuh dibalik membelakangi. Namun akibatnya kini
terlihat bongkahan pantat padat nan seksi.
Saat itu si Pemanah Gadis sangat kaget, takut si gadis menyangka dirinya
sengaja berbuat kurang ajar.
“Eh ... ma ... maaf ... itu ... ee ... aku ada perlu dengan Trihasta ... dia ada ... ?”
kata Jalu Samudra terbata-bata sementara tubuhnya mematung tanpa bisa
digerakkan dengan sepasang mata putih tetap menatap tubuh si gadis tanpa bisa
dikendalikan.
“Wah, berabe nih ... “ pikir Jalu Samudra. “Ga tahunya dia sembunyi’in gadis di
kamarnya. Cantik dan sexy betul dia! Dapat darimana dia? Perasaan waktu
datang cuma sendirian deh ... “

Melihat yang masuk adalah Jalu Samudra, si pemuda buta yang memiliki
kesaktian edan-edanan, hati si gadis sedikit lebih tenang. Meski tidak bisa
menyembunyikan rasa malunya, gadis itu tetap berusaha setenang mungkin.
“Oh ... iya ... ada perlu apa?” suara merdu terdengar dari bibir sang gadis
dengan tetap membelakangi Jalu Samudra sambil menutupi sepasang bukit
kembar. Sementara itu, air dari pancuran terus mengguyur tubuh sekal si gadis,
sehingga memantulkan segala keindahan yang dimiliki tubuh mulusnya.
“Trihasta dimana?”
“Aku ini ... Trihasta Prasaja!” bentak si gadis yang mengaku bernama Trihasta
Prasaja.
“Ah, masa’ kau Trihasta?” ucap Jalu meragu. “Bo’ong nih!?”
“Dasar Jalu brengsek! Lihat mata dan wajahku!” tukas gadis yang mengaku Trihasta sambil membalik pinggang namun tetap menutupi sepasang bukit kembar dengan ke dua tangan.

BERSAMBUGNG KE BAG. 3