Wisanggeni Bag. 08


Lembu Agra duduk semedi. Dua tangan terentang ke samping. Kepalanya tengadah. Nafasnya lembut, nyaris tak ada suara sedikit pun. Dari ubun-ubun kepala tampak uap tipis. Uap tipis itu melingkar-lingkar dan melayang di atas kepalakemudian lenyap. Uap tipis itu bermunculan lagi, demikian seterusnya.

Dia lelaki berusia separuh abad, tampan dan agak kurus. Wajahnya bulat telur, sepasang matanya cekung dan sipit. Rambutnya panjang dikuncir. Kumisnya tipis tercetak di bawah hidung yang agak bangir dan mulut yang berbibir tebal.

Dia bersemedi di salah satu kamar dalam lingkungan keraton Kediri Kamar yang indah dan tertata rapi. Dua gadis, muda dan cantik, duduk di pojok kamar. Keduanya dayang yang siap melayani semua kemauan Lembu Agra.

Lelaki itu menggerakkan tangan. Posisi tangannya berubah menjadi terentang ke depan. Sesaat kemudian wajahnya berubah merah seperti kepiting direbus. Uap tipis semakin banyak dan tebal keluar dari mulut dan hidungnya.

Tak lama kemudian wajahnya berubah lagi dari merah menjadi hijau lantas kelabu dan beralih ke pucat Dia sedang melatih tenaga dalam tingkat tinggi bagian dari ilmu Pitu Sopakara. Sudah dua bulan dia memperdalam latihan semedinya. Sejak matahari terbit sampai terbenam Seharian ia bersemedi. Menjelang malam Lembu Agra membuka matanya. Ia telah menyelesaikan latihannya.

Setelah pertarungan di hutan ketika ia membunuh Walang Wulan, ia berlatih keras. Ia tahu bahwa Wisang Geni sangat perkasa. Ilmu Pitu Sopakara tingkat lima yang dikuasainya, masih kalah. Hari ini tepat dua bulan sejak peristiwa di hutan itu, ia menyelesaikan tenaga Pitu Sopakara tingkat enam.

Hanya tinggal satu tangga lagi menuju tingkat tujuh yakni kesempurnaan tenaga dengan sebelas jurus Pitu Sopakara. Ilmu Pitu Sopakara pada tingkatan awal membutuhkan waktu sampai dua tahun untuk mendalaminya. Pada tingkat dua sampai empat, pencerahan ilmu semakin pelik sehingga bagi orang yang cerdas dengan bakat istimewa diperlukan waktu sembilan tahun. Pada tingkat lima dibutuhkan waktu lebih lama lagi, lima tahun.

Pada tingkat berikutnya waktu yang diperlukan sangat singkat karena hanya merupakan pendalaman dan penyempurnaan apa yang sudah diperoleh pada tingkat sebelumnya. Tingkat enam, pendalaman tenaga inti dan meleburkannya ke sebelas jurus, bisa diperoleh dalam waktu sekitar dua bulan. Pada tingkat tujuh, tingkat penyempurnaan diperlukan waktu sekitar empatbelas sampai duapuluh hari.

Untuk sampai pada penyempurnaan tingkat tujuh diperlukan persyaratan berat Selama tujuh hari pertama, harus dilakukan semedi melatih tenaga batin terus menerus tanpa henti. Tak boleh diganggu, bahkan makan dan minum pun harus dilupakan. Lulus dari tahapan sulit ini, boleh istirahat dan boleh melakukan apa saja. Tahap berikutnya mempersiapkan diri memasuki latihan yang paling sulit.

Tahapan akhir, menggunakan tenaga batin menerapkan daya magis dan sihir ke dalam setiap jurus Pitu Sopakara. Pada tahapan ini seseorang bisa berhasil menguasai ilmu ini dengan sempurna, tetapi jika gagal maka dia bisa gila bahkan bisa kehilangan nyawa, karena tenaga inti yang sudah dikuasainya pada enam tingkatan sebelumnya akan berbalik menghantam diri sendiri.

Lembu Agra tahu persis bahaya ini, tetapi dia telah memutuskan menempuh jalan nekad. Dia yakin jika telah menguasai tingkat tujuh, bukan hanya Wisang Geni yang bisa dihadapinya, dia bahkan tak akan menemukan tandingan di rimba persilatan. Dan untuk mimpi besar seperti itu layak jika ia mempertaruhkan nyawa. Begitu yang pernah dituturkan ayahnya ketika menurunkan ilmu ini secara lisan saat dia masih berusia sepuluh tahun.

Selama satu tahun dia harus menghafal Pitu Sopakara. Ayahnya, ketua partai Tur angga, juga pewaris tunggal ilmu Pitu Sopakara. Ilmu ini memang hanya diturunkan secara turun-temurun. Dari kakek sampai ke ayahnya dan kini dia satu-satunya pewaris.

Lembu Agra sadar bahwa jika dia gagal di tingkat tujuh, bukan hanya nyawanya yang melayang bahkan mungkin saja ilmu Pitu Sopakara ikut terkubur bersamanya. Tetapi dendam itu telah membakar dirinya sepanjang hidup, sejak masih kecil ketika menyaksikan ayah dan keluarganya serta hampir seluruh murid Turangga mati mengenaskan. Selama ini dia hidup hanya karena dendam. Tidur, makan dan berlatih silat dibakar dendam. Dendam itu menjadi kawannya paling setia, menjadi bagian dari hidupnya, seperti bayangan dirinya.

Peristiwa tragis itu terjadi ketika ia berusia duabelas tahun.

Orang-orang Lemah Tulis dan beberapa pendekar tangguh dari perdikan lain datang meluruk dan menghancurkan perguruan Turangga. Alasannya, Turangga adalah perguruan sesat, murid-muridnya banyak melakukan kejahatan.

Ayahnya mati di tangan Rama Balawan, ketua Lemah Tulis.

Paman, ibu serta beberapa selir ayahnya mati dalam tarung dengan Bergawa dan kawan-kawannya. Dia masih ingat sebelum ajal, ayahnya memberi wejangan yang selalu diingatnya. "Anakku, aku mati lantaran malas berlatih, aku hanya sampai di tingkat lima. Maka kau harus berlatih keras, jika menyelesaikan tingkat tujuh, kau tidak akan menemukan tandingan, kau akan menjadi pendekar nomor satu" Partai Turangga punah. Semua murid-muridnya mati atau lari cerai berai. Sedikit yang berhasil meloloskan diri. Seorang di antaranya yang lolos, Lembu Agra. Dua lainnya saudara perguruan ayahnya, Jaran Dawuk dan Cakarwa juga lolos.

Usai tragedi berdarah itu, ia mendatangi Lemah Tulis. Ia menyamar sebagai anak yang tak punya orangtua dan diterima sebagai murid Dia berlatih ilmu andalan Garudamukha namun diam-diam juga berlatih Pitu Sopakara. Belasan tahun, tak seorang pun di Lemah Tulis yang curiga. Sampai hari itu, ia mulai melancarkan balas dendam. Ia menabur racun pelemas tulang ke dalam kendi-kendi air minum

Racun itu membuat para tokoh Lemah Tulis dan semua muridnya keracunan sehingga mudah menjadi korban serangan pasukan dari keraton Ken Arok Tetapi ia belum puas, karena tidak semua orang Lemah Tulis mati. Belakangan orang Lemah Tulis mengetahui siapa dia sebenarnya, tetapi ia tak peduli. Sekarang ia tak perlu sembunyi lagi.

Dua tahun belakangan ini Lemah Tulis menjadi kuat kembali. Semua murid-muridnyayang dulunya cerai berai kembali ke perdikan Wisang Geni diangkat menjadi ketua. Di perdikan itu juga masih ada dua u >koh sepuh yang ilmunya tak kalah dari Wisang Geni, yakni Padeksa dan Gajah Watu. Dan masih banyak murid angkatan kedua, yakni murid Bergawa, Branjangan, Padeksa dan Gajah Watu.

Tujuan hidup Lembu Agra, hanya balas dendam. Dia telah bersumpah akan menumpas habis Lemah Tulis sampai lenyap dari muka bumi Tak boleh ada yang tersisa. Kematian ayahnya, ibunya, kakak-kakaknya harus dibalas. Matinya Bergawa dan Branjangan serta sebagian besar murid utamanya, belum cukup. Lemah Tulis masih berdiri bahkan sekarang ini makin megah dan kuat. Ratusan murid berlatih silat di perdikan itu. Sekarang ini Lemah Tulis bersama Mahameru dan Brantas disebut sebagai tiga perdikan besar di Tanah Jawa.

Dendamnya bahkan lebih besar ketimbang cinta dan nafsunya terhadap Wulan, perempuan yang bertahun-tahun dicintainya. Dia begitu mencintai Walang Wulan, tetapi ketika perempuan itu memutuskan menjadi isteri Wisang Geni, perasaan cintanya berubah menjadi kebencian.

Dendam semakin membara. Sebagian dendam terlampiaskan ketika dia menikmati saat-saat membunuh Wulan sekaligus melukai batin Wisang Geni. Tetapi itu belum cukup, dia berjanji akan membunuh lebih banyak lagi murid Lemah Tulis.

Lembu Agra tertawa puas. "Hari ini aku selesai dengan tingkat enam. Aku butuh duapuluh hari untuk menyempurnakan tingkat akhir, jika gagal pun aku tak menyesal. Gila atau mati pun aku tak menyesal. Aku hanya mengharap arwah ayah, ibu dan saudaraku membantuku. Setelah itu hanya waktu dan nasib yang akan menjadikan aku pendekar nomor satu tanah Jawa."

Dia memberi isyarat kepada dua pelayan wanita, minta dipijat. Seorang memijat pundaknya, seorang lainnya di bagian betis dan telapak kaki. Tak hanya memijat, pelayan itu merangkap budak seks. Lembu Agra bebas memilih dan meniduri semua pelayan di bagian keraton itu.

Malamku berlangsung jamuan makan di bangunan sebelah kanan keraton, bangunan mewah dan cukup besar, tempat tinggal Lembu Ampai Sebagai mapatih, kekuasaan dan kewenangannya sangat besar. Dia orang kedua yang paling dipercaya Raja Kediri Panji Tohjaya. Orang pertama adalah penasehat raja, Mahamenteri Pranaraja, tokoh sakti yang jarang muncul di depan umum

Di ruangan dalam di meja utama yang terletak di pojok bagian dalam, Lembu Ampai, Lembu Agra dan Kalandara sedang bersantap.

Di meja lain di bagian tengah ruangan, duduk tiga murid Kalandara yakni Kemara, Dumilah dan Manohara. Empat lelaki menemaninya. Dua di antaranya berusia lebih dari separuh abad adalah paman guru Lembu Agra yakni Jaran Dawuk dan Cakarwa Dua lainnya, kepala pasukan elit keraton Kediri, Patlikur Sinelir. Ketuanya adalah seorang lelaki berusia empatpuluhan, Senopati Samba, julukannya si Pedang Hitam. Ia duduk berdampingan dengan wakilnya, Hanggada, julukannya si Kera Sakti. Di serambi depan sekitar tigapuluh orang berjaga-jaga

Sambil menikmati santapan yang lezat, Lembu Ampai bertanya kepada Kalandara dan Lembu Agra, siapa saja tokoh silat yang bisa diajak kerjasama mengabdi kepada Raja Kediri. Setelah bertukar-pikiran akhirnya dicapai kesepakatan bersama. Tujuh pendekar utama yang dipastikan mau bergabung.

Karta dijuluki Si Gila dari Ujung Kulon, pendekar aneh yang suka mabuk-mabukan terkenal dengan senjata cemeti beracun. Pendekar Ujung Kulon ini diharap datang bersama dua saudara perguruannya yang sama hebat, Parma dan Sakerah. Seorang lainnya, pendekar yang tidak dikenal namanya, tetapi lebih dikenal dengan julukan Belut Putih, hebat tenaga dalam dan ilmu gulatnya. Dua nenek kembar dari Segoro Kidul, Prameswari dan Kameswari, yang memiliki ilmu tampar dan permainan keris bersatu-padu. Bayangan Hantu, pendekar baju hitam yang terkenal ilmu ringan tubuhnya sehingga dijuluki bayangan, senjatanya pedang tipis dan serbuk pasir beracun.

"Kita tak perlu mengajak mereka bergabung ke Keraton Kediri karena belum pasti mereka bersedia. Tetapi mereka mau gabung jika kita bangkitkan dendam amarah dan rasa permusuhan terhadap Lemah Tulis dan Mahameru," kata Kalandara tertawa

"Sambil menanti orang-orang itu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Lembu Agra

Kalandara menyingsingkan lengan baju. Ia melonjorkan lengannya yang putih mulus. Tanpa menyentuh apa pun, sepotong paha ayam yang berada di ujung meja tersedot ke tangannya "Aku akan memulai perang dengan Lemah Tulis, membunuh setiap murid Lemah Tulis yang kujumpai di tengah jalan, mengirim mayatnya ke sana. Selain itu aku akan mengutus muridku menyelidiki keberadaan Wisang Geni, sampai hari ini aku tak mendengar sesuatu pun tentang pendekar itu, ia seperi lenyap ditelan bumi."

Lembu Ampai memberi hormat kepada Kalandara. "Nyi Kalandara, jika engkau sudah memulai perang, maka aku akan sangat berterimakasih. Sementara ini aku dan adik Lembu Agra akan tetap di keraton, menanti kedatangan para tamu Jangan lupa, setiap waktu kau bisa datang ke rumahku ini."

Usai jamuan makan, Kalandara bersama tiga muridnya diantar ke kamar masing-masing. Lembu Agra berkata kepada Lembu Ampai. "Kangmas Ampai, aku minta bantuanmu, aku akan mengunci diri selama duapuluh hari, tak boleh ada gangguan, apa pun yang terjadi di kamarku tak boleh ada orang yang masuk."

"Ah itu perkara gampang, aku akan perintahkan orang- orang kuat untuk mengawal kamarmu Dinas."

Lembu Agra menyendiri di kamar. Lembu Ampai menyusup ke kamar Kalandara. Senopati Samba ke kamar Dumilah.

Hanggada di kamar Kernara. Hanya Manohara si perawan cantik itu tidur bersama dua murid wanita. Kalandara memang menjaga ketat murid perawan ini yang sebenarnya adalah putri pungutnya. Ia memaksakan agar kamar Manohara bersebelahan dengan kamarnya.

---ooo0dw0ooo---

Keraton Tumapel sedang berpesta. Raja Sri Jayawisnuwadhana Sang Mapanji Seminingrat yang nama kecilnya Ranggawuni hatinya sedang berbunga-bunga. Karena tujuh hari lalu dia baru saja dikaruniai seorang bayi lelaki Seorang putra mahkota. Sudah tujuh hari tujuh malam Ranggawuni menggelar pesta rakyat dan membagi-bagi hadiah kepada seluruh rakyatnya. Hampir separuh dari seluruh beras yang bertumpuk di gudang keraton, dibagikan kepada rakyat. Dan orang yang dipercaya untuk melaksanakan amanah itu adalah Narasing amurti alias Mahisa Campaka, iparnya yang setia.

Di dalam keraton, di keputren kamar permaisuri, Waning Hyun sedang dilayani beberapa pelayan. Minum jamu, pijat khusus, sampai pesolekan mempercantik diri dikerjakan dayang-dayang yang semuanya masih muda-muda dan cantik. Tiga dayang yang menjadi pimpinan berusia sekitar empatpuluhan.

Bagi dayang-dayang itu menjadi abdi dalem yang khusus melayani permaisuri adalah kebanggaan dan kehormatan.

Apalagi junjungan mereka, sang permaisuri, telah melahirkan seorang putra mahkota. Semua dayang-dayang itu mendapat hadiah dari permaisuri.

Waning Hyun, perempuan muda yang cantik. Tidak ada tanda-tanda ia baru melahirkan. Tubuhnya yang dibungkus kulit putih mulus masih tampak indah. Wajahnya cantik bersinar-sinar memancarkan makna kebahagiaan. Seperti umumnya, permaisuri raja akan sangat bahagia dan merasa aman jika anak pertamanya adalah laki-laki. Dapat dipastikan anak itu akan menjadi putra mahkota. Itu artinya kedudukan permaisuri akan aman sepanjang usianya. Apalagi jika saatnya tiba, putranya menjadi raja.

Santapan malam sudah siap di meja besar. Raja Sang Mapanji Serniningrat duduk berdua permaisuri. Tampak sekali pasangan nomor satu keraton Tumapel berada di puncak kebahagiaan. Tetapi dalam rasa bahagianya, Ranggawuni tampak sedikit kesal.

Waning Hyun mengetahui ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya. Sudah lima tahun dia mengenal watak dan sikap Ranggawuni meski baru satu tahun ini menjadi isterinya. Sejak petualangan mereka ketika dikejar-kejar orang bayaran Panji Tohjaya sampai saat-saat menjadi Yang Dipertuan Agung di keraton Tumapel ia selalu mendampingi kekasihnya itu. "Ada apa Mas, kamu kelihatan kesal, pasti ada urusan besar."

Memang selama ini Waning Hyun jika hanya berduaan dengan suaminya tak pernah menggunakan bahasa keraton. Mereka lebih suka berbahasa kasar sebagaimana di dunia kependekaran. "Gila benar, Lembu Ampai orang kepercayaan Panji Tohjaya semakin gila. Dia kini mengundang banyak tokoh silat kelas utama ke istana Kediri, sepertinya dia menyusun kekuatan. Terus terang aku merasa khawatir."

"Sumber berita itu dari mana, Mas?"

"Tentu saja sumber yang pasti kebenarannya, kangmas Mahisa Campaka yang menceritakan. Dia punya mata-mata di kalangan istana Kediri."

Waning Hyun terkejut mendengar berita itu. Apalagi suaminya menceritakan tidak lama lagi orang-orang itu sudah berkumpul di istana Kediri. Semuanya pendekar kelas utama. Sudah pasti Pranaraja, penasehat keraton yang terkenal cerdas dan menguasai ilmu silat tingkat tinggi berada di balik rencana itu. Juga ada Lembu Ampai, mapatih yang ilmu silatnya tinggi Para pendekar undangan itu antara lain Lembu Agra, Kalandara, Si Gila Ujung Kulon dan dua saudaranya,

Belut Putih, Nenek Kembar dari Segoro Kidul, Bayangan Hantu

"Kelihatannya kekuatan Kediri bukan main-main, sekarang apa rencanamu, Mas?"

"Aku berbincang dengan Dimas Mahisa Campaka dan paman Pamegat, kita juga akan menghimpun para pendekar kelas utama sahabat kita. Tetapi itu hal yang tidak mudah mengingat biasanya mereka tak mau terlibat pertarungan kekuasaan macam ini. Aku bingung." Waning Hyun tersenyum, teringat seseorang. "Ada orang yang pasti mau membantu kita. Dia Wisang Geni, kakak perguruanku. Mungkin juga sebagian murid utama Lemah Tulis, juga guru Gajah Watu dan paman Padeksa."

"Mana mau Wisang Geni membantu, sejak dulu ia sudah pasang jarak dengan keraton Tumapel. Kau ingat kan dia selalu kaku. Kita juga tak tahu bagaimana keadaannya setelah isterinya terbunuh dua bulan lalu. Aku dengar dia bertapa menyendiri, entah di mana."

"Aku tahu dia di mana, dia tidak pergi ke mana-mana, dia tetap di Lemah Tulis hanya tak mau ditemui orang. Dia pasti mau membantu kita."

"Diajeng, aku sedang berpikir apakah perlu minta bantuan dari perdikan Mahameru dan Brantas, selama ini hubunganku dengan dua perguruan itu berjalan baik."

"Begitu pun bagus, pasti Mahameru dan Brantas mau membantu karena setahuku para pendekar yang bergabung ke Kediri punya hutang piutang darah dengan Mahameru dan Brantas. Tetapi tentang Wisang Geni, kau tak usah khawatir, suamiku. Kau tahu, Wisang Geni itu masih punya hutang janji padaku. Aku boleh minta apa saja dan akan dia laksanakan, itu janjinya padaku. Sekarang ini aku akan menagihnya, dia pasti mau. Lagipula hitung-hitung dia itu kakak perguruanku, wajib baginya membantu kesulitan adiknya."

Ranggawuni meninggalkan keputren. Ia memanggil iparnya, Mahisa Campaka dan pembantu setianya Panji Patipati alias Sang Pamegat. Dia menuturkan pembicaraannya dengan isterinya. Terutama perihal minta bantuan dari Wisang Geni, Mahameru dan Brantas. Dua pembantunya sangat setuju terutama jika bisa memperoleh bantuan Wisang Geni.

Untuk menemui Wisang Geni, diutuslah dua pendekar wanita, anggota dari delapanbelas pasukan elit Tumapel. Trini pendekar nomor tiga dan Ekadasa pendekar kesebelas. Keduanya membawa tusuk konde permaisuri. Jika benda itu diperlihatkan kepada Wisang Geni, pasti dia akan mengabulkan permintaan permaisuri. Untuk menemui ketua perdikan Mahameru dan Brantas, juga diutus masing-masing dua anggota pasukan istana Tumapel. Diharapkan dalam waktu satu bulan sudah ada kabar kepastiannya.

Perahu layar itu merapat di pelabuhan Jedung, di muara sungai Porong. Ukurannya yang besar tampak mencolok dibanding semua perahu layar yang berlabuh di pelabuhan. Kapal itu datang dari Kuangchou, singgah di Pucet dan Malaka. Pelayaran ditempuh ligapuluh hari lebih sejak dari Kuangchou. Semua penumpang adalah pedagang asing, dari Cina, India, Melayu, Gujarat.

Pelabuhan tampak ramai. Kuli-kuli memanggul barang dagangan memindahkan ke perahu-perahu kecil. Sebagian pedagang memilih jalan sungai Porong untuk mencapai desa tujuan. Sebagian lain menggunakan kereta kuda, tergantung letak desa yang dituju.

Seorang lelaki berewok bertubuh tambun berdiri di jembatan kecil yang menghubungkan kapal dengan dermaga. Dia mempersilahkan semua penumpang untuk makan siang. Dia memberikan potongan kulit yang sudah diberi tanda sebagai alat bayar makan gratis di warung makan di dermaga yang berada tidak jauh dari kapal.

Serombongan orang asing, jumlahnya empatbelas orang memasuki rumah makan. Sebelas di antaranya, tujuh lelaki dan empat wanita, berpakaian celana longgar dan baju lengan panjang longgar, warnanya aneka macam. Dari dandanannya membedakan mereka datang dari daratan Cina. Tiga orang lainnya, wanita semua, pakaian serta dandanan sangat beda. Mereka mengenakan celana longgar. Bagian atas hanya dililit kain panjang sebatas perut, sehingga bagian sekitar pusar terbuka. Ketiganya berambut panjang dibiarkan terurai melewati bahu. Salah seorang mengenakan pakaian warna hitam, sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Dua temannya sama berbusana warna hijau. Mereka datang dari India.

Dua rombongan itu duduk di meja berdekatan. Rombongan dari Kuangchou berkumpul di satu meja. Kelompok tiga wanita tadi ditempatkan di meja panjang bersama lima pedagang yang dari tampang serta pakaiannya adalah penduduk setempat. Salah seorang dari lima pedagang itu, memperlihatkan sikap genit. Tampaknya dia pemimpin rombongan. Empat orang lainnya adalah anak bualan ya. Dia menatap gadis berbaju hitam dengan penuh kagum. "Aduh cantiknya, aku mau satu malam bersamanya ditukar dengan separuh barang dagangan yang aku bawa."

Temannya yang berewok dengan golok panjang di dekatnya, tertawa kecil. "Pak Lurah, tahu persis barang bagus. Nanti aku yang menjadi mak comblangnya, tapi aku mau pakai bahasa apa, dia datang dari mana ya, dari Malaka ya?"

Temannya yang seorang, kurus jangkung dengan kumis tebal, ikut tertawa. "Wah, kalau aku, aku mau sama perempuan kawannya yang berbaju hijau di ujung sana, lihatlah, dia tak kalah cantiknya."

Orang-orang itu terkejut ketika wanita cantik yang berbaju hijau itu berkata sinis, "Kau mau tahu harga sewa majikanku, harganya sama dengan nyawamu"

Berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangannya.

Pada saat sama, lelaki berewok menyambar goloknya. Tetapi sebelum dia sempat menggerakkan senjatanya, seutas tali tipis menyambar tangannya. Lelaki berewok itu merasa tangannya kesemutan. Goloknya terlepas melayang ke wanita itu yang dengan sekali menggerakkan jari tangan, golok patah dua.

Tidak berhenti di situ, tali tipis itu bagaikan ular menyambar dan mematok mulut lelaki pemimpin itu. Tak sempat menangkis, lelaki itu berteriak. Mulurnya berdarah, enam gigi bagian depan, copot.

Lelaki itu tak sempat berdiri. Empat temannya pun tertegun di kursi. Mereka takjub. Tanpa berdiri dari duduknya, tanpa dia menggerakkan tubuh, hanya dengan sebelah tangan memainkan seutas tali tipis, wanita itu telah mempecundang dua lelaki perkasa.

Wanita berbaju hitam mengangkat tangannya memberi tanda menghentikan kawannya. Dia tertawa sinis. "Tak perlu heran, sam tahun kami belajar bahasa negeri ini. Aku belum mau membunuh. Aku akan melepas kalian, tetapi kalian harus keluar dari warung ini dengan jalan merangkak."

Kelima lelaki itu berdiri dan masih seperti orang bingung. Terdengar bentakan wanita baju hitam. "Cepat atau "

Lima lelaki itu cepat menjatuhkan diri, merangkak keluar warung.

Seorang dari rombongan Kuangchou, berdiri dan memberi hormat. "Pertunjukan ilmu yang hebat, nona-nona juga tak perlu heran, kami juga belajar bahasa negeri ini. Rupanya kita sama-sama mempersiapkan diri dengan baik. Kalau boleh tanya apa tujuan nona datang ke tanah Jawa ini?"

Wanita baju hitam masih tetap duduk, membalas hormat, "Sejak kami naik dari pelabuhan Malaka, aku sudah tahu bahwa kalian adalah pendekar kelas utama dari Cina. Kami datang dan India, memang ada tujuan, tetapi tidak sopan jika aku harus memberitahukan apa tujuanku, lagipula aku tidak akan bertanya apa tujuan kalian. Kita tak perlu berkenalan."

Lelaki Kuangchou itu memegang gelas berisi tuak, menawarkan minuman dengan membungkuk. "Nona terimalah hormatku, mari bersulang."

Gelas itu melayang ke nona baju hitam. Si nona baju hitam mengulurkan tangan, menyambut. Tetapi gelas itu pecah persis saat di sentuh jemarinya. Tuak di dalam gelas muncrat. Gadis baju hitam menggetarkan tubuh membuat tetes tuak menjauh darinya. Bajunya tidak terkena walau setetes pun.

Pendekar Cina, sengaja memperlihatkan tenaga dalam yang tinggi. Tetapi gadis India juga memperagakan kekuatan tenaga dalam yang mumpuni. Nona baju hitam tidak bereaksi. Tidak marah. Dia menggamit dua anak buahnya. "Di sini tidak nyaman lagi, banyak orang iseng, ayo kita pergi melancong."

Rombongan dari Cina itu tidak menyangka tiga gadis India itu mau mengalah dan pergi begitu saja. Mereka diam, memandang kepergian tiga gadis. Mendadak terdengar suara gemeretak, ternyata meja dan kursi yang tadi diduduki tiga gadis India itu patah berantakan. Itu pertunjukan tenaga dalam hebat. Meja kursi sudah dirusak tetapi masih berdiri tegar. Selang beberapa saat baru rubuh berantakan. Di ambang pintu, nona baju hitam berkata kepada lima pedagang lokal tadi. "Kalian bayar ganti rugi meja kursi itu, jika masih sayang nyawamu." Lima pedagang itu hanya bisa manggut.

---ooo0dw0ooo---

Prawesti mengerti mengapa Geni menyuruhnya mengintai gerak-gerik dua kakak perguruannya, Raditin dan Kirana.

Keduanya mendapat tugas berat, mengawasi perdikan. Itu sebab ketua ingin memastikan dua perempuan itu melaksanakan tugas dengan baik.

Siang itu Prawesti pergi ke bilik Kirana, tetapi justru berjumpa Raditin di ujung jalan. "Kangmbok, mau ke mana, aku ikut ya."

"Aku mau ke gerbang, katanya ada dua tamu yang memaksa ingin ketemu ketua, lagaknya memaksa."

Di pintu gerbang tampak dua tamu perempuan sedang berdebat dengan murid penjaga. Melihat dua murid wanita datang, dua tamu itu memberi hormat. "Kami datang dari jauh, aku Trini dan dia ini adikku Ekadasa. Kami mau jumpa Ki Wisang Geni."

"Maaf, apa perlunya menemui ketua kami?"

Trini memandang adiknya. Ekadasa menjawab dengan nada kesal. "Tadi sudah kami beritahu kepada penjaga ini bahwa tujuan kami ini rahasia dan hanya bisa kami ceritakan pada Ki Wisang Geni."

Raditin dan Prawesti memerhatikan dua wanita pendatang itu. Trini berusia sekitar empat puluhan, langkah dan geraknya sigap. Wajahnya tampak kaku dan dingin. Ekadasa, berusia duapuluhan, cantik jelita, suka senyum mempertontonkan giginya yang putih dan mulutnya yang menarik. Ada kesan genit.

Raditin tertegun, menduga-duga apakah tetamu ini kenalan dekat ketua. Dia khawatir berlaku kasar yang nantinya malah ditegur sang ketua. Lain halnya Prawesti yang mendongkol melihat lagak genit Ekadasa. Prawesti menduga mungkin perempuan genit ini punya hubungan masa lalu dengan Wisang Geni, hal ini membuat dia makin mendongkol Cemburu

Tidak bisa menahan sabar lagi, Prawesti menegur dengan suara tegas. "Di sini ada aturan, siapa pun tetamu yang bertamu harus menjelaskan asal-usul dan keperluannya, harap kalian berdua mengikuti aturan."

Ekadasa naik darah. Di keraton Tumapel dia ditakuti dan dihormati para bawahan. Dia biasa dimanja dan dipuji para atasan karena kecantikannya. Tidak biasa dia menerima perlakuan kasar, Ekadasa menyahut ketus, "Kau siapa kok lagakmu macam nyonya besar, kulihat-lihat kau masih remaja bau kencur." "Tamu kurangajar!" Prawesti bergerak cepat, mendadak dia sudah berada di depan Ekadasa. Tangannya bergerak menampar mulut Ekadasa.

Ekadasa tidak berdiam diri. Dia berkelit sambil menendang selangkangan dan meninju wajah Prawesti. Dalam sekejap dua perempuan ini terlibat pertarungan sengit. Trini dan Raditin diam di tempat. Salah tingkah, ingin memisah namun khawatir dikira melakukan pengeroyokan. Keduanya saling pandang, siap siaga. Berjaga-jaga jika rekannya terancam bahaya.

Raditin terheran-heran melihat sepak terjang Prawesti. Dia tak mengira ilmu silat gadis itu setinggi itu. Tetapi begitu mengingat hubungan Prawesti dengan ketua, dia tidak heran lagi. "Tentu saja, karena ketua sendiri yang melatihnya langsung."

Prawesti dengan gesit memainkan jurus-jurus Garudamukha. Karena kesal maka Prawesti tak segan memainkan jurus telengas. Serangan gencar ini membuat Ekadasa terdesak mundur. Meski sudah berupaya keras meladeni, dua pukulan Prawesti mengena pundak dan lengan Ekadasa. Ekadasa terpukul mundur dua langkah. Sebelum serangan Prawesti datang lagi, Ekadasa mencabut pedang dari pinggangnya. "Aku terbiasa menggunakan pedang, silahkan kamu ambil senjatamu."

"Menghadapi keledai macam kamu, aku tidak perlu senjata."

Ekadasa benar-benar marah, disebut keledai. "Kamu cari mati." Ia menerjang dengan jurus pedang Bianglala. Kilatan pedang dan suara desir angin membuat Prawesti terkejut. Gadis Lemah Tulis ini belum punya pengalaman bertempur, apalagi tangan kosong menghadapi pedang. Pertarungan baru berlangsung beberapa jurus, Prawesti sudah kedodoran.

Pedang itu seperti punya mata, memburu Prawesti ke mana dia berkelit. Suatu saat pedang itu mengincar perut dan dada, Prawesti nekad menggunakan jurus Manusup (Menyelinap) dan Gongkrodha (Kemarahan luar biasa). Jurus Prawesti itu akan menghantam selangkangan dan dada lawan, sementara pedang lawan akan mengenai perutnya. Prawesti memang nekad tetapi punya perhitungan, bahwa pada saatnya nanti dia akan bergerak menyamping sehingga pedang hanya akan merobek kulitnya. Meskipun demikian, tetap saja resikonya maut. Kedua perempuan itu terancam maut.

Raditin dan Triniyang berdiri agak jauh, terkesiap.

Keduanya ingin bergerak, tetapi sudah terlambat. Pada saat kritis itu, mendadak datang angin kencang membuat debu beterbangan. Terdengar suara jeritan dua perempuan ku.

Seorang lelaki separuh baya muncul, Padeksa. "Jika diteruskan kalian berdua akan sama terluka, bisa-bisa luka parah."

Padeksa datang tepat pada saat kritis. Ia memukul dengan tangan kosong menggunakan tenaga dalam yang tinggi. Ia berhasil mendorong tebasan pedang sekaligus merampas senjata itu, sedang tangan kirinya mementahkan pukulan Prawesti. Tentu saja gerakan Padeksa membuat Ekadasa dan Prawesti terpental beberapa langkah mundur.

Raditin dan Prawesti membungkuk memberi hormat.

Raditin memanggil orangtua itu dengan sebutan guru sedang Prawesti menyebut kakek. Mendengar itu Trini dan Ekadasa memastikan orangtua itu pasti tokoh sepuh perdikan.

Keduanya yakin yang datang itu bukanlah Wisang Geni, karena menurut kabar ketua Lemah Tulis seorang muda tampan dan berilmu tinggi.

Mau tidak mau Trini dan Ekadasa memberi hormat. Trini bertutur dengan basa-basi, "Kami tak punya maksud cari keributan di sini, tetapi salah faham telah terjadi, jadi harap maafkan adik saya." Padeksa tertawa. "Nona mau jumpa ketua kami, apakah nona pernah mengenal ketua kami, dan apa maksud kedatangan nona?"

"Kami membawa pesan rahasia dari seorang kenalan karib ketua Lemah Tulis, kami ingin menyampaikan langsung kepada Ki Wisang Geni, harap bapak bisa membantu mempertemukan kami dengan beliau."

Padeksa menugaskan Raditin dan Prawesti mengantar dua tamunya ke bilik penerima tamu Dia sendiri menuju ke bilik Wisang Geni. Tak lama menunggu, Trini dan Ekadasa melihat Padeksa datang bersama Geni.

Trini dan Ekadasa hampir tak percaya melihat tampang Wisang Geni. Lelaki itu tampak muda. Meskipun rambutnya beruban seluruhnya, tetapi Ekadasa menaksir usia Geni sekitar tigapuluhan. Padahal menurut permaisuri Waning Hyun, usia ketua Lemah Tulis sekitar tigapuluh lima. Tubuh Geni yang tegap dan berotot, wajah yang tampan, kulit tubuh sawo matang agak gelap membuat jantung Ekadasa berdegup keras. Perempuan cantik ini berusaha tersenyum semanis mungkin.

Raditin dan Prawesti masih berada di ruangan itu. Prawesti memerhatikan gelagat Ekadasa, tanpa sadar gadis ini berbisik pelan namun bisa didengar Ekadasa. "Huh, tidak punya malu."

Ekadasa merasa wajahnya panas. Marah dan malu. Tetapi dia tak membalas sindiran itu. Apalagi saat itu Trini memberi hormat. "Kami berdua utusan keraton Tumapel, aku Trini dan ini adikku Ekadasa, apakah kami berhadapan dengan Ki Wisang Geni?"

"Ya, aku Wisang Geni, ada keperluan apa?"

Trini menoleh ke kiri dan kanan, agak ragu-ragu. Geni merasa geli. "Kau katakan saja apa tujuanmu, semua yang berada di ruangan ini orang kepercayaanku." "Kami membawa benda kiriman dari permaisuri keraton Tumapel, paduka yang mulia Waning Hyun, kata beliau, benda ini berikan langsung kepada Ki Wisang Geni, nanti tunggu apa pesan dia untuk aku." Trini merogoh benda dari kantung bajunya, tetapi mendadak saja benda itu melompat ke tangan ketua Lemah Tulis.

Trini terkejut. Ekadasa lebih kaget lagi. Dia tahu batas kepandaian kangmbok-nya, di Tumapel Trini sangat disegani. Jabatan sebagai orang ketiga di pasukan elit Tumapel tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui penghargaan atas kepandaiannya.

Wisang Geni menimang-nimang tusuk konde emas berhias berlian itu. Dia tertawa. "Aku sudah lupa benda ini, tapi Waning Hyun belum lupa. Akhirnya datang juga saatnya aku membayar hutang. Katakan kepada permaisuri junjunganmu, aku akan datang menemuinya secepat mungkin."

Ekadasa berusaha menarik perhatian Wisang Geni, dia menyela sebelum Trini. "Kalau boleh bertanya, kapan kira-kira sampean datang ke istana, supaya kami bisa menjemput di gerbang, apakah boleh kami meminta benda tadi, akan kami kembalikan ke istana."

Wisang Geni tertawa. "Tak perlu repot-repot menjemput aku, aku bisa mengubah diri menjadi burung dan bisa masuk langsung ke keputren. Dan benda ini akan kusimpan, atau kalau kalian mau ambil silahkan mengambil dari tanganku."

Trini diam bahkan tegang. Tidak demikian Ekadasa yang memang berniat berkenalan dan menarik perhatian Wisang Geni. "Ayo kangmbok, kita ambil."

Ekadasa menyerbu ke depan. Trini yang memang sedikit penasaran dan agak tidak percaya bahwa Geni yang kelihatan muda usia itu bisa dijuluki jago nomor satu tanah Jawa ikut menerjang. Geni tertawa. Ia memang ingin menguji ilmu Prasidha dan Penakluk Raja yang baru dipelajarinya. Ia memainkan dengan rasa gembira, karena memang hanya ingin bersenang-senang. Geni tidak menggunakan tenaga berlebihan, takut melukai dua perempuan itu. Tangan kirinya menerima tenaga pukulan Ekadasa, memutar tubuh dan memegang bokong perempuan itu, kemudian mendorongnya ke arah Trini. Dua perempuan itu nyaris bertubrukan.

Ekadasa merah wajahnya, malu karena pantarnya ditepuk dan diremas. Tetapi diam-diam dia girang, paling tidak dia tahu lelaki itu punya perhatian padanya. Ia tahu dari bagian tubuhnya yang selalu menarik perhatian lelaki adalah wajahnya yang cantik, lingkar pinggangnya yang kecil dan bokongnya yang semok. "Suatu waktu kamu pasti akan mencari aku," gumamnya dalam hati

Trini juga serba salah. Maju lagi, tak mungkin, ilmu lelaki itu jauh di atas kemampuannya. Tidak bisa tidak, suka atau tidak suka, Trini memaksa senyum dan memberi hormat. "Terimakasih atas pelajaran ketua, kami mohon diri."

---ooo0dw0ooo---

Tebing karang itu tinggi di atas permukaan air laut. Sekar duduk termenung. Ia menengadah ke langit menatap awan putih yang berarak menutupi matahari siang. Jauh di bawah tampak debur ombak Segoro Kidul yang menghantam kaki tebing. Sekar sering duduk di situ menyaksikan dan mempelajari gemuruh ombak.

Sifat dan gerak ombak menjadi inti pelajaran tenaga batin.

Ombak datang dari tengah laut, gelombang di belakang mendorong yang di depan, bergulung-gulung dan bertumpuk menghasilkan kekuatan dahsyat yang menghantam tebing karang seakan hendak melumat dan meruntuhkannya. Limabelas purnama silam, pertama kali menginjak tebing curam yang tinggi itu, neneknya membeber inti kekuatan tenaga dalam. "Kamu akan memiliki tenaga dalam mumpuni, menyerang seperti terjangan ombak dan gelombang Segoro Kidul, bertahan bagaikan tebing yang tegar. Kamu lihat tebing itu, dia tidak goyah meski begitu hebatnya terjangan ombak."

Tanpa terasa Sekar sudah menyelesaikan seluruh pencerahan ilmu silat neneknya. Tenaga inti Segoro membuat Sekar salin rupa menjadi seorang pendekar wanita yang kekuatan tenaga dalamnya sangat mumpuni. Ilmu ringan tubuh dikuasainya setelah mahir bermain-main di atas ombak ganas Laut Kidul. Entah sudah berapa banyak air laut yang tanpa sengaja telah diteguknya ketika berlatih bersama neneknya. Neneknya memberi nama ilmu ringan tubuh ciptaannya Wimanasara mengibaratkan gerak secepat panah sakti. Setelah menguasai dua ilmu itu, barulah si nenek mewariskan ilmu Sapwa Tanggwa yang terdiri tujuhbelas jurus. Ilmu itu banyak mengandung perubahan sehingga tidak mudah dipelajari. Satu jurus dikuasai setelah pendalaman sekitar duapuluh hari. Uniknya jurus itu tidak berurutan.

Nama-nama jurusnya pun aneh dan unik bahkan tidak sesuai dengan gerakannya.

Waktu itu, ia sempat protes ketika neneknya mengajarkan jurus Cumangkrama (Menyetubuhi). Jurus itu indah tetapi dahsyat dan mematikan sebab tujuannya titik kematian lawan, hanya namanya yang agak gila. "Nek, mengapa jurus itu dinamai Cumangkrama, itu kotor dan agak gila, lebih baik diganti saja Nek."

Nenek Sapu Lidi marah. "Tidak boleh. Itu ada artinya, ada sejarahnya, tak boleh diganti, sampai kapan pun tak boleh diganti. Awas kamu, nduk. Semua jurus itu kunamai sesuai suasana hatiku pada saat menciptakan jurus itu."

Ada jurus lain yang namanya unik Manguswapujeng lantaran lutut dan belakang lutut Murni sering diciumi sang suami. Atau jurus Sasabsasab karena suaminya telah mencuri keperawanan miliknya. Atau Raganararas karena sifat suaminya yang mudah tertarik pada perempuan cantik.

Sekar merasa ada yang aneh dan tragis dalam hidup neneknya. Sedikit demi sedikit ia mengorek keterangan dari mulut neneknya sampai akhirnya ia bisa merangkum cerita kehidupan sang nenek yang nama aslinya Murni.

Murni seorang gadis lugu dan polos pada usia limabelasan, cantik dengan tubuh yang molek. Ia terpikat bujuk rajai seorang pendekar yang dijuluki orang Pendekar Matahari. Usia lelaki itu tigapuluhan, tampan dan sangat piawai ilmu silatnya. Keduanya jatuh cinta. Bagi Murni itulah cinta pertama yang berlangsung abadi sampai di hari tuanya. "Aku tak pernah mengenal lelaki lain selain dia, suamiku itu," tutur neneknya.

Pendekar Matahari malang melintang di dunia kependekaran, tak ada tandingan. Murni banyak memperoleh pencerahan ilmu silat dari suaminya, sampai suatu waktu sang suami menganjurkannya untuk menciptakan jurus sendiri yang sesuai dengan perasaan dan pikirannya. Waktu itu ia tak begitu tertarik nasehat sang suami.

Sebagai pendekar terkenal, lihai dan tampan'udak heran kalau ia punya banyak isteri. Tetapi ia tak pernah bisa melupakan Murni. Karena Murni selalu memberi kepuasaan dan kebanggaan sebagai seorang lelaki. Murni tak pernah cemburu Ia tahu, banyak gadis lain yang cantik, lebih cantik yang sanggup melarikan suaminya. Itu sebab ia mempelajari cara bercinta bermacam cara. Pemikiran ini amat membekas sehingga tigapuluh tahun kemudian ketika menciptakan ilmu Sapwa Tanggwa salah satu jurusnya ia namai Harwuda (Seratus ribu juta).

Hubungan cinta itu berlangsung duapuluh lima tahun.

Mereka tak pernah hidup bersama, namun dalam pengembaraannya si suami tak pernah bisa berlari jauh dan selalu pulang ke pelukan Murni. Murni melahirkan sepasang putra putri. Putranya kawin dengan gadis biasa, melahirkan Sekar. Putrinya masih perawan remaja ketika hari naas itu tiba. Tragedi besar menimpa Murni, seluruh keluarganya terbunuh, hanya Sekar yang lolos dari kematian.

Ia dan suaminya mencari si pembunuh, Sekar yang masih kecil dan menderita penyakit cacar dititipkan padi Kunti, adiknya yang berjuluk Dewi Obat. Tragisnya, si pembunuh ternyata salah seorang selir atau kekasih sang suami.

Pendekar Matahari tanpa ampun membunuh selirnya itu. Tetapi tragedi membawa akibat panjang. Mungkin kecewa dengan tewasnya sang putra, Pendekar Matahari menghilang, tak pernah lagi bisa ditemui.

Murni mencari dan mencari, tetapi tak pernah bisa menemukan lelaki yang dicintainya itu. Murni juga dilanda kekecewaan berat, dua anaknya mati, suami tercinta menghilang. Untuk mengatasi kekecewaan itu Murni menumpahkan semua perhatian pada penciptaan ilmu silat Duapuluh tahun kemudian ia berhasil, lahirlah tenaga batin Segoro, ilmu ringan tubuh Wimanasara dan tujuhbelas jurus Sapwa Tanggwa.

Suatu malam dalam tidur lelapnya, seseorang membelai rambut dan mencium lututnya. Ia tahu orang itu adalah suaminya, tetapi ia tak kuasa bangun. Tubuhnya lemas, tak bertenaga. Pasti perbuatan sang suami. Ia tak kuasa bicara. Tetapi ia mendengar semua perkataan suaminya.

Laki-laki itu mengaku, sejak perpisahan itu, ia tak pernah bercinta dengan wanita lagi. Seluruh waktu ia curahkan untuk ilmu silat. Ia berpesan kepada Murni agar menyempurnakan ilmu silat Sekar. Ia juga memberitahu bahwa Sekar telah menjadi isteri seorang pendekar sejati, Wisang Geni. Ia menegaskan bahwa cucu mereka, Sekar, tidak salah pilih.

Murni berusaha bergerak, duduk atau berdiri tetapi mana mampu melawan kepandaian si suami. Murni tak bisa bergerak, hanya bisa menangis. Dan lelaki itu menghapus airmata di pipi isterinya, lalu mencium kedua matanya. Ia berbisik pada isterinya, "Aku bercinta dengan banyak perempuan, tetapi aku cuma mencintai satu perempuan di dunia ini, kamu Murni."

Ia pergi begitu saja. Murni tak bisa menahan kepergiannya karena tak bisa menggerakkan tubuh bahkan jari pun. Murni kesal dan hampir gila memikirkannya. Tapi malam itu Murni mengerti, duapuluh lima tahun bercinta dan saling mencinta, sudah lebih dari cukup. Suaminya sudah memilih hidup untuk membantu orang lain. Murni harus legowo.

Ia memutuskan melaksanakan pesan si suami. Ia mencari Sekar di Lembah Cemara, tetapi Sekar dan Dewi Obat sudah pergi entah ke mana. Ia mendengar adanya pertarungan para pendekar tanah Jawa lawan jago-jago daratan Cina di bukit Penanggungan. Ia tiba di bukit pada hari pertarungan. Ia mengenali Dewi Obat, adiknya. Dari jauh ia memerhatikan gadis cantik yang berjalan bersama Dewi Obat Ia terperanjat ketika Dewi Obat memanggil nama gadis itu, Sekar. Dia itu Sekar, cucunya.

Sepuluh tahun lalu saat ia mengantar cucunya ke Lembah Cemara, Sekar masih gadis usia delapan tahun dengan wajah penuh totol hitam, burik. Kini ia melihat seorang gadis dewasa dengan paras cantik bersih. Tak ada lagi totol dan bercak hitam. Ia takjub dan kagum menyaksikan sepak terjang Wisang Geni. Ia gembira dan bahagia melihat besarnya cinta Wisang Geni terhadap cucunya. Ia membuntuti dari jauh dan tepat pada saatnya menolong Sekar yang akan diperkosa Lembu Agra.

Sekar terenyuh mendengar kisah neneknya. Dan ia sangat terkejut, mengetahui Pendekar Matahari itu adalah Ki Suryajagad, tokoh misterius yang menjadi legenda hidup perdikan Lemah Tulis yang ternyata adalah kakeknya. Waktu itu si nenek senyum menggoda. "Sudah suratan dewata, bahwa kamu menjadi isteri Wisang Geni, murid Lemah Tulis. Tetapi lucu juga, suamimu itu suka mencium lututmu, sama seperti Suryajagad yang selalu terangsang setiap mencium lututku, aneh ya nduk?"

Sekar terdiam, lalu mendadak ia berteriak dan melompat memeluk neneknya. Ia malu tetapi merasa geli. Neneknya ini memang aneh. "Kamu ngawur Nek, kamu ngintip ya Nek?"

Neneknya tertawa geli. Sekar menyembunyikan wajahnya di leher sang nenek. Ia berbisik. "Kamu ngintip yang di mana, Nek?"

"Aku lupa, banyak yang kuintip," katanya sambil tawa cekikan.

Kejadian itu sudah lama berselang, tetapi Sekar masih ingat akan kenakalan sang nenek. Sekar tertawa sendiri. "Kalau aku ceritakan pada Geni, bahwa nenek sering ngintip, tidak bisa kubayangkan bagaimana air mukanya," gumamnya sendiri.

Dalam kesendirian di atas tebing Sekar terbayang wajah Wisang Geni. Rasa rindu itu datang menyerbu seperti tikaman sembilu. Sekar mengeluh, betapa ia mencintai lelaki itu. Ia sungguh rindu. Tetapi ia merasa heran dirinya bisa melalui perasaan rindu itu selama limabelas purnama lebih.

Pada awalnya, perpisahan dengan suaminya membuat ia tak bisa tidur. Bayangan Geni tak pernah tanggal dari ingatannya. Hari-hari berikutnya, rasa rindu itu mulai berkurang karena neneknya mulai menderanya dengan latihan silatyang sangat berat, setiap pagi, siang bahkan malam hari. Tak pernah berhenti. Istirahat bagi Sekar hanya pada waktu tidur.

Siang itu di tebing Sekar menanti neneknya. Hari ini latihan dan pembelajaran silat selesai. Tamat! Neneknya menjanjikan ia boleh turun gunung. Dan ia akan menuju Lembah Cemara bertemu nenek Kunti. Setelah itu ia akan mencari Geni.

Muncul rasa rindu dan kasmaran akan suaminya. Rindu yang menggerogoti benaknya, membuatnya hampir gila. Tiba-tiba terdengar siulan panjang, melengking tajam mengatasi suara debur ombak dan desir angin laut. Tak lama kemudian, nenek muncul dari arah laut. Ia memanjat tebing menggunakan sapu lidi. Gerakannya cepat dan bertenaga, sekejap ia sudah berdiri di samping Sekar.

Sekar melompat menghambur ke pelukan neneknya. "Nenekku yang cantik, akhirnya kau datang juga. Aku sudah hampir mati menunggumu, ke mana kamu pergi selama dua hari."

"Aku mencari perbekalan untuk satu minggu lagi," sambil memperlihatkan bungkusan kain di tangannya. "Nduk, aku tahu akal bulusmu, kalau kamu sudah menyebutku nenek cantik, itu pasti ada permintaannya."

"Nek, kau membawa bekal untuk satu minggu, buat apa? Jangan, jangan Nek, aku tak mau lagi tinggal di sini, aku mau pulang hari ini. Kamu sudah janji. Bahkan seharusnya duapuluh hari lalu aku sudah boleh pulang, aku sudah tamat belajar."

Si nenek tidak menjawab malah tawa cekikikan. Sekar cemberut, mencubit lengan neneknya. "Kamu janji pada suamiku hanya duabelas purnama, tetapi lihat sekarang ini sudah limabelas purnama. Lagi pula aku sudah tamat belajar seluruh ilmu silatmu"

"Belum, belum semua!"

"Nenek, kamu sendiri mengatakan, semua ilmu sudah kamu wariskan padaku, jangan ingkar janji Nek!"

"Ada satu yang belum kuajarkan padamu, nduk. Dan ini yang paling penting dari semua ilmu silatku"

"Apa lagi, Nek? Semua kan sudah kauajarkan." "Sekar, jawab yang jujur, kau rindu suamimu?" "Tentu saja, aku rindu dan kasmaran memikirkan dia. Aku takut, dia lupa padaku, khawatir dia tak menginginkan aku lagi."

Nenek tua itu memandang dengan mimik serius. "Kalau itu yang terjadi, dia lupa padamu, apa yang kamu lakukan?"

Sekar tertegun. Saat berikutnya ia merunduk. "Aku tak tahu, lantas menurutmu apa yang harus kulakukan?"

"Justru ini yang akan kuajarkan padamu Pengalamanku selama duapuluh lima tahun bercinta dengan hanya satu lelaki, patut kau pelajari. Hal itu akan bermanfaat untukmu, nduk."

Sekar masih harus menunda keberangkatan satu hari. Wejangan nenek menyangkut hubungan asmara dan seni bercinta menjadi bahan pelajaran penting bagi Sekar. Ia semakin mengerti bahwa seorang perempuan ataukah dia itu isteri atau kekasih, akan membuat kesalahan besar jika berusaha menguasai dan menjajah kekasihnya. "Bukan begitu caranya! Kamu harus bisa melayani suamimu kapan saja dan di mana saja, tanpa batas. Kamu membuat kekasihmu selalu membutuhkan kamu, selalu bergantung padamu karena kamu setiap saat siap membantu dan melayani dia. Kamu ingat Sekar, jika merebut dan mendapatkan cinta kekasihmu itu sesuatu yang gampang, maka mempertahankan cinta yang sudah kamu rebut itu adalah pekerjaan yang teramat tidak gampang. Tetapi itu bisa dilaksanakan jika kamu berlaku cerdas, memberii padanya semua apa yang ia sukai, dan yang ia inginkan."

---ooo0dw0ooo---

Desa Bangsal letaknya di tepi kali Brantas. Waktu itu pertengahan musim hujan. Sejak pagi, desa kecil itu tak hentinya diguyur hujan gerimis. Siang hari gerimis berhenti. Mentari mulai terik. Dari arah Timur desa datang serombongan orang, sebagian menunggang kuda, lainnya di atas kereta kuda. Seluruhnya limabelas orang. Sebelas di antaranya para pendatang dari Cina. Empat penunjuk jalan adalah murid-murid perguruan Brantas yang menguasai daerah di sepanjang kali Brantas. Di kawasan itu semua pedagang akan terpeliharakeamanannya jika menyewa murid Brantas sebagai pengawal dan penunjuk jalan.

Seorang di antara penunjuk jalan memasuki warung makan yang tidak banyak pengunjung. Tak lama kemudian, dia keluar dan mengundang makan seluruh rombongan. Salah seorang yang usianya paling tua berkata dalam bahasa Cina, "Kita harus hati-hati di sini. Kita sudah mendengar cerita kehebatan Wisang Geni, tak perlu ragu tentang Wisang Geni tetapi aku yakin masih banyak lagi pendekar berilmu tinggi di daerah ini."

Pemimpin rombongan itu, Ciu Tan, kakak perguruan dari Sam Hong, ketua Wuthan yang mati dalam tarung lawan Wisang Geni di bukit Penanggungan dua tahun silam Usianya 60 tahun, tubuhnya yang jangkung masih tampak segar dan gempal. Tujuannya ke tanah Jawa ini untuk membalas dendam kematian Sam Hong. Dia mendengar berita kematian Sam Hong dari mulut Sin Thong, Pak Beng dan Liong Kam, waktu itu darahnya bergolak karena marah. Ia kemudian merencanakan berangkat ke tanah Jawa. Dua tahun ia melakukan persiapan. Mencari teman, memperdalam ilmu silat serta mencari ongkos perjalanan.

Tiga pendekar yang pernah terlibat pertarungan lawan Wisang Geni di hutan Penanggungan, yaitu Sin Thong, Pak Beng dan Liong Kam serta merta mendaftar diri. Sin Thong terkenal dengan sepasang golok, Pak Beng dengan jurus tangan salju, keduanya babak belur dihajar Wisang Geni dua tahun lalu dalam pertarungan bergengsi di bukit Penanggungan. Liong Kam bersenjata pedang.

Bersamanya ikut dua pendekar kembar Mok Tang dan Mok Kong yang berusia limapuluh tahun dan terkenal dengan ilmu golok bersatupadu. Karuan saja hadirnya dua saudara kembar ini menambah rasa percaya diri Ciu Tan karena selama ini di Tiongkck dua pendekar yang dijuluki si Kembar Aneh belum menemukan tandingan setimpal. Pria yang satunya lagi, Siauw Tong, sastrawan muda berusia tigapuluh tahun, senjatanya sepasang pit panjang. Mungkin tidak sehebat enam lelaki lainnya, namun Siauw Tong tak bisa dianggap remeh karena otaknya yang cerdas. Dia juga mahir berbahasa Jawa dan paham budaya Jawa, salah satu sebab mengapa ia diajak ikut serta.

Ciu Tan mengajak empat pendekar wanita, seorang di antaranya Sio Lan berusia 20 tahun, putrinya sendiri, senjatanya pedang tipis. Kim Mei, berusia 30 tahun janda cantik yang patah hati, julukan Pendekar Wanita Baju Merah, senjatanya golok dan ilmu tangan kosong Cakar Elang. Li Moy berusia empatpuluhan, terkenal sebagai Belalang Beracun mahir ilmu ringan tubuh dan duapuluh Jurus Belalang serta senjata jarum beracun. Sian Hwa, usia limapuluh tahun, dijuluki Dewi Pedang Gurun Gobi, jurus pedang Topan Gurun Gobi-nya sulit dicari tandingan.

Sebelas pendekar Cina ini tidak sama tujuan. Siauw Tong dan Kim Mei menyukai petualangan. Kedua saudara kembar Mok Tang, Mok Kong dan Li Moy tujuannya mencari keris sakti Gandring yang konon bisa membelah batu besar selain mencari harta kekayaan yang bisa dibawa pulang ke Cina.

Sian Hwa, sudah lama menyembunyikan diri, turun gunung untuk mencari putrinya yang hilang di tanah Jawa. Pak Beng, Sin Thong, Liong Kam dan Ciu Tan ingin membalas dendam kepada Wisang Geni. Tetapi sebenarnya mereka semua diam- diam memendam niat merebut keris sakti itu. Apa pun resikonya, bahkan jika harus membentur kawan sendiri. Karena keris itu terlampau bernilai. Kesaktian keris Gandring sudah sampai ke daratan Cina, diberitakan para pedagang.

Setelah selesai makan dan menerima bayaran, empat murid Brantas itu pamit. Tinggallah sebelas pendekar Cina itu dengan pikiran masing-masing. Ciu Tan memecah kesunyian, "Dari sini ke Lemah Tulis, arahnya ke Timur, perjalanan normal memakan waktu sekitar satu hari perjalanan."

Si Kembar Aneh Mok Tang menggeleng kepala. "Aku pikir kita tidak perlu cepat-cepat menuju Lemah Tulis. Itu perguruan besar dengan murid yang ratusan jumlahnya, di sana juga banyak orang pandai, aku rasa itu bukan rencana yang bagus."

Pak Beng yang pernah dihantam sampai muntah darah oleh Geni, tidak senang dengan penolakan Mok Tang. "Hei kenapa kamu berubah pikiran, dari Kuangchou kita semua sepakat dan satu tujuan mendatangi Lemah Tulis menantang Wisang Geni dan menaklukkan semua jagoan di negeri ini, kenapa sekarang kau menolak, apa kau takut?"

Mok Kong naik darah mendengar saudaranya dimaki penakut. "Kurangajar, kalau kamu si kura-kura saja tidak takut, tentu saja kami lebih tidak takut lagi"

Ciu Tan menengahi Selain berilmu tinggi, mungkin paling lihai di antara mereka, Ciu Tan juga disegani karena usianya yang tua. Dia juga kakak seperguruan dari ketua partai Wuthang yang kesohor di daratan Cina. "Coba kita dengar apa kata adik Siauw," katanya sambil menunjuk Siauw Tong.

"Aku pikir lebih baik kita bersabar dulu. Jika kita ke Lemah Tulis sekarang, maka kita berada di tempat terang. Wisang Geni dan semua orang Lemah Tulis akan tahu maksud kita. Padahal sekarang ini kita berada di tempat gelap, tidak ada yang tahu siapa kita dan apa maksud kedatangan kita. Jadi aku pikir lebih bagus jika kita tetap mempertahankan posisi di tempat gelap saja."

Ciu Tan menghela napas. "Aku setuju, baiklah sementara kita menunggu kesempatan dan mencari berita, kita sepakat untuk menetap di desa ini, pura-pura sebagai pedagang. Kita sewa rumah yang besar, mulai berjualan pakaian dan alat rumah-tangga. Kita bergaul dengan masyarakat setempat, bagi kalian yang hendak bepergian, boleh-boleh saja, tapi harap diingat markas tempat kumpul kita adalah di desa ini."

Siang itu hujan deras membasahi hutan di batas desa Bangsal. Tiga penunggang kuda melewati hutan. Mereka murid Lemah Tulis, Gajah Lengar disertai suami isteri Prastawana dan Dyah Mekar.

Tampak mereka bergegas ingin cepat sampai di desa.

Tetapi setiba di batas desa mereka dihadang tiga perempuan.

Tiga perempuan itu berdiri di bawah siraman hujan, pakaian mereka basah kuyup menempel ketat di tubuhnya. Mereka murid lembah Bunga yaitu Kemara, Dumilah dan Manohara "Kalian pasti orang orang Lemah Tulis!" Suara Kemara ketus.

Prastawana sebagai yang paling tua menjawab sopan tetapi tak memperlihatkan rasa takut. "Benar, kami dari Lemah Tulis, apa sebab kalian menghadang perjalanan kami, dan siapa kalian?"

Kemara dan dua temannya langsung menerjang. "Kalau begitu kalian harus mati."

Prastawana dan dua rekannya melompat dari kuda. Dyah Mekar mencabut kerisnya. Sejak awal dia sudah curiga.

Sekarang melihat tiga perempuan binal itu menerjang dengan ganas, ia yakin tiga perempuan inilah orang yang mereka cari. "Apakah kalian bertiga yang kemarin membunuh empat murid Lemah Tulis?" "Benar. Kami yang membunuh mereka. Dan kami akan membunuh kalian bertiga dan juga semua murid Lemah Tulis. Bersiaplah untuk pergi ke neraka." Dumilah menerjang maju yang langsung disambut Gajah Lengar.

Prastawana menyambut serangan Kemara. Dia yakin Kemara adalah pemimpin dari tiga perempuan itu. Dyah Mekar dengan keris terhunus menyambut serangan Manohara.

Dalam sekejap terjadi pertarungan sengit, tiga lawan tiga. Jurus Garudamukha adu kebolehan lawan jurus dari Lembah Bunga.

Prastawana, murid mendiang Ki Branjangan yang kini dilatih langsung oleh Wisang Geni sudah menguasai Garudamukha Prasidha. Dalam tiga gebrakan tenaga dalam, dia mendesak Kemara "Kalian siapa, mengapa memusuhi Lemah Tulis?"

"Jangan banyak omong, rasakan jurus Lembah Bunga ini," teriak Kemara sambil menggelontorkan serangan jurus mautnya Grahaprawesa (Buaya menyerang), Pangrahata (Cara mendapat jasa) dari ilmu Ghandarwapati. Serangan ini mendatangkan angin keras. Namun yang lebih mengagetkan Prastawana, angin itu berbau busuk.

Prastawana melihat dua temannya juga diserang dengan jurus serupa dari Ghandarwapati. Dia berseru kepada dua temannya "Awas, bau busuk itu beracun, gunakan Sanakanilamatra dan Prasadha Atishasha."

Meskipun belum menguasai seratus persen, namun dua jurus Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil) dan Prasadha Atishasha (Menara sangat tinggi) sangat ampuh. Dua jurus dari Prasidha itu membelah angin berbau busuk dan mengembalikan hawa beracun itu kepada pemiliknya.

Pertarungan berlanjut. Prastawana di atas angin. Gajah Lengar dan Dyah Mekar juga bisa mengatasi dua lawannya meskipun tidak terlalu unggul. Setelah berlangsung hampir limapuluh jurus Prastawana berhasil melukai Kemara di bagian pundak dan lengan. Dyah Mekar menusuk lengan Manohara dan tendangan Gajah Lengar melukai paha Dumila. Perlahan tetapi pasti tiga murid Lembah Bunga itu makin terdesak dan terancam. Mendadak saja terdengar tertawa nyaring dan bergelombang. Suara perempuan. Situasi segera berubah. Dumila yang kakinya terluka, Manohara yang sebelah tangan terluka dan Kemara yang luka dalam, mendadak menjadi bersemangat, berseru, "Guru!"

Yang datang memang guruketiga perempuan itu, Kalandara, ketua Lembah Bunga. Tertawa yang disertai pengerahan tenaga dalam dahsyat Tawa Sembilan Bunga sangat ampuh, langsung membuat Prastawana dan dua adiknya terdesak hebat.

Saat itu pertarungan sudah masuk ke batas desa, banyak orang datang nonton. Di antaranya adalah Ciu Tan, Pak Beng dan si kembar aneh Mok bersaudara. Hebatnya tawa Kalandara tidak mempengaruhi penonton, karena memang hanya ditujukan kepada tiga murid Lemah Tulis. Sesaat setelah terdengarnya tawa khas, Kalandara muncul di belakang tiga muridnya. Suara tawa berhenti, pendekar wanita itu mengenakan pakaian merah, kontras dengan kulit tubuhnya yang putih. Gaya dan lagaknya yang genit membuat penampilannya tampak semakin sej^.

"Kamu tiga bekicot Lemah Tulis, main curang. Itu sebab tiga muridku terdesak. Sekarang kalian harus menerima hukuman dari aku si Penguasa Kegelapan Lembah Bunga. Bersiaplah."

Prastawana bersikap jantan, dia berada di depan. Istri dan adiknya berjajar setengah meter di belakangnya. Ketiganya merobek ujung baju, membasahi dengan ludah dan menyumpal telinga. Prastawana menjawab tegas. Tidak ada rasa takut dalam getar suaranya. "Ilmu Lemah Tulis datang dari aliran bersih, tidak ada yang main curang. Jika kamu tidak datang, aku pastikan tiga muridmu ini bakal mati."

"Kalian yang akan mati," berkata demikian Kalandara menyerang sengit. Gerakannya lincah bagai pegas.

Serangannya ganas. Cengkraman dan cakarnya menebarkan bau busuk. Lebih busuk ketimbang yang dimainkan tiga muridnya.

Keadaan sekarang berubah. Tiga muridnya mengundurkan diri, ganti Kalandara yang menghadapi tiga murid Lemah Tulis. Sepak terjang ketua Lembah Bunga lincah dan ganas. Semua jurusnya mengandung hawa kematian. Setelah duapuluh jurus tampak Prastawana dan dua adiknya terdesak hebat.

Kalandara sendiri tak menyangka ketangguhan Prastawana. Dia belum juga bisa melukai tiga lawannya itu. Saking marahnya perempuan ini mengeluarkan Tawa Sembilan Bunga dengan kekuatan tenaga penuh. Dia ingin secepatnya membunuh tiga lawannya.

Pertarungan semakin sengit. Tawa khas Sembilan Bunga semakin keras, membuat Gajah Lengar dan Dyah Mekar yang tenaga dalamnya tidak setangguh Prastawana, menjadi limbung. Meski sudah menyumpal telinga, tetap saja daya magis Tawa Sembilan Bunga Kalandara merasuk ke dalam pikiran dan mengguncang tenaga batin Gajah Lengar dan Dyah Mekar.

Tawa itu disalurkan dengan tenaga dalam tingkat tinggi, mendayu dan merangsang birahi lawan. Sampai saat di mana lawan sudah terpengaruh, tahap berikutnya darah merangsang otak, kemudian darah merembes keluar dari tujuh lubang di tubuh manusia, tubuh kejang dan akhirnya mati..

Melihat istri dan adiknya limbung dan kacau, Prastawana berlaku nekad. Dia bertekad menjadi tumbal, biar dia mati asalkan istri dan adiknya bisa lolos. Dia memusatkan pikiran dan tenaga batin lalu menggelar jurus Agniwisa (Bisa api) dan Sikhwiriya (Cintaku adanya) dari Prasidha digabung dengan Shuhdrawa (Hancur luluh) dari Garudamukha. Bentrokan itu akan makan korban. Kalandara bisa terluka, sebaliknya Prastawana bisa mati

Pada saat kritis bagi murid Lemah Tulis itu, terdengar suara lengking seperti teriakan seekor kera yang marah. Lengking itu begitu keras dan berbobot sehingga menggentarkan semua orang yang mendengarnya. Suara lengking itu belum juga reda, terasa angin topan melanda arena pertarungan.

Kalandara berteriak marah, "Binatang dari mana berani ikut campur, sampean mau cari mati!"

Tiga murid Lemah Tulis bangkit semangatnya. Pengaruh Tawa Sembilan Bunga lenyap begitu saja. Terusir oleh tawa kera marah Prastawana terdesak angin keras dan mundur lima langkah. Gajah Lengar dan Dyah Mekar berlindung di balik tubuh Prastawana. "Ketua datang, syukurlah."

Tiga murid Lembah Bunga tadinya berniat menyerang Prastawana, tetapi menjadi batal. Mereka melihat Kalandara diserang bayangan seseorang yang bergerak pesat, sangat pesat. Bayangan itu, tak lain Wisang Geni.

"Ya, akulah binatang itu, tapi binatang raksasa yang akan memangsa kamu, nenek tua genit." Wisang Geni melanjutkan lengking kera dan merangsek Kalandara dengan jurus-jurus dahsyat dari Penakluk Raja. Perempuan itu terdesak hebat.

Melihat gurunya terdesak, tiga muridnya turun tangan membantu.

Geni dikeroyok empat, malah timbul rasa gembira.

Bermrutan dia memainkan jurus Harta (Gembira), Syura (Berani), Prabhawa (Kekuasaan) dan Raga (Nafsu berahi).

Kalandara kelabakan menangkis, dia seperti menangkis angin. Tenaganya seperti lenyap begitu saja ditelan Geni. Dia terkesiap, "Ilmu apa ini?" bisiknya dalam hati. Dia lebih heran lagi, ketika tiga muridnya saling serang, bahkan pukulan Kemara nyaris menghantam dirinya.

Kalandara berteriak, "Ilmu iblis!"

Ciu Tian bergumam kepada Mok Bersaudara dan Pak Beng, "Itu jurus memindahkan tenaga lawan, mirip-mirip Si-nio-po- cian-kin (Empat tail menghantam seribu kati) tetapi tenaga dalam yang digunakan sangat lihai. Siapa orang ini, jelas dia pendekar kosen."

Geni menghentikan lengking kera, namun tetap menyerang dan mengacaukan pikiran lawan dengan Jurus Penakluk Raja yang digelar dengan tenaga dahsyat Wiwaha. Empat lawan itu seperti terkurung dalam lingkaran tenaga yang tak berwujud. Tetapi Kalandara dan tiga muridnya tak mudah ditaklukkan.

Pertarungan sudah berlangsung limapuluh jurus. Geni tetap berada di atas angin. Namun belum juga bisa merobohkan lawan.

Suatu ketika Geni melihat kesempatan, serangan Kemara dia alihkan ke Dumilah dan serangan Kalandara diteruskan ke Manohara. Keempat perempuan itu berseru kaget. Tenaga pukulan Kemara dan Dumilah saling benturan. Pukulan Kalandara yang disertai hawa amarah dan tenaga berlipatganda tertuju ke Manohara. Kalandara kaget, muridnya bisa luka parah balikan bisa mati. Ketua Lembah Bunga mengubah jurusnya, melakukan putaran dan memukul selangkangan Geni. Jurus Mahhairawa (Mengerikan) ini indah tapi sangat ganas apalagi dikerahkan dengan pengaruh sihir dan hawa beracun.

Geni teramani. Geni dengan berani dan gembira melancarkan jurus Sumujugtundagatha (Menukik ke bawah) dari Prasidha. Tangan kiri menarik Manohara, memutar tubuh lawannya, tangan kanan memegang bokong lawan, merobek pakaian di bagian itu sambil mendorong ke arah Kalandara.

Sang guru kaget, tak mau mencelakai muridnya, Kalandara merunduk dan merangkul tubuh Manohara. Luar biasa. Pertarungan terhenti

Muka Manohara yang cantik merah padam saking malu dan marah. Pakaiannya robek, bokongnya dielus dan diremas Geni, ini hinaan luar biasa. Tidak seperti saudara perguruannya yang tampak genit, Manohara kelihatan masih lugu. Ia menangis, namun melotot menatap Geni. Kemara dan Dumilah terseok-seok menghampiri gurunya, keduanya luka dalam. Kalandara terdiam. Dia kalah total. Belum pernah seumur hidup dia mengalami hari naas seperti ini. "Kamu siapa, apa hubunganmu dengan Lemah Tulis?"

Geni tertawa, dia puas mempermainkan empat lawannya ini Dari ilmu silatnya dia tahu nenek genit itu adik perguruan Kalayawana. "Ya, aku Wisang Geni, ketua Lemah Tulis, kenapa kamu mau mencelakai murid perguruanku?"

Manohara terkesiap, 'Diakah Wisang Geni? Tampan, jantan dan lihai." Tiba-tiba wajahnya memerah saking malu, dia takut pikirannya dibaca orang, tangannya tetap di belakang menutupi bokongnya.

Kalandara, Kemara dan Dumilah pun tak pernah menyangka Wisang Geni begitu lihai. Tadinya mereka pikir sanggup menandingi bahkan menaklukkan ketua Lemah Tulis. Tetapi kenyataan yang ditemuinya hari ini, sangat di luar dugaan.

Dyah Mekar menyela, "Ketua, mereka sudah membunuh empat murid perguruan kita." Geni memandang Mekar kemudian beralih ke Kalandara. "Seharusnya aku bertindak lebih kejam."

Kalandara bersiap. "Hutang nyawa kakakku harus dibalas, akan kutagih dan membunuh setiap murid Lemah Tulis."

"Kematian Kalayawana di tanganku terjadi dalam pertarungan kependekaran yang resmi. Tapi kalau kau mau perang, aku bersedia, mulai sekarang untuk setiap murid Lemah Tulis yang kau bunuh, aku akan menagihnya langsung kepada kalian berempat." Geni menuding Manohara. "Kalau tadi aku hanya meremas bokongmu, lain kali aku akan menelanjangi kamu dan saudaramu, aku akan mempermalukan kalian di depan umum"

Kalandara diam Tiga muridnya pucat. Mereka yakin lelaki ini sanggup dan tega berbuat apa yang dia katakan. Jikalau kejadian seperti itu maka lebih baik bunuh diri daripada menanggung malu.

Mereka berempat bingung, tak tahu harus berbuat apa.

Mau melanjutkan tarung, jelas ilmu Geni lebih unggul. Kabur, akan menjadi cemooh orang. Kalandara akhirnya memutuskan pergi, kembali ke Lembah Bunga. "Suatu saat aku akan tebus kekalahan ini, tunggulah." Tetapi dalam hati dia tidak yakin bisa mengalahkan Geni meskipun berlatih lima tahun lagi.

Wisang Geni menoleh dan menggamit Prastawana dan dua adiknya. "Kalian kembali ke perdikan, katakan kepada kakek Padeksa dan Gajah Watu agar selalu bersiap-siap, musuh sudah semakin mendekat."

Prastawana dan dua adiknya masih takjub dan terpesona menyaksikan sepak terjang sang ketua. Mereka takjub bercampur geli. Takjub akan ilmu silat ketuanya yang dahsyat tak terukur tingginya. Tadi ketuanya bisa saja membunuh Manohara, namun hanya meremas bokong dan merobek pakaian di bagian bokong.

Mekar, istri Prastawana tertawa geli. "Ketua, aku jamin, empat perempuan itu tak akan berani membunuh saudara- saudara kita lagi, iya kalau cuma diremas bokongnya, tetapi kalau ditelanjangi, wuah bisa bunuh diri saking malunya."

Prastawana dan Gajah Lengar menahan tertawa. Cara ketuanya mengalahkan empat perempuan itu menimbulkan rasa geli. Prastawana memberi hormat. "Ketua, terimakasih telah datang menyelamatkan kami tetapi bagaimana ketua bisa sampai di sini?"

"Aku kebetulan sedang keluar jalan-jalan." Geni membalik tubuh, Kalandara dan tiga muridnya sudah pergi tanpa pamit. Prastawana dan dua adiknya langsung menuju Lemah Tulis. Geni berjalan menjauhi desa. Tadi dia secara kebetulan melewati desa Bangsal dalam perjalanan rahasia menuju istana Tumapel menjumpai permaisuri Waning Hyun.

Di tengah kerumunan penonton, Ciu Tan, Pak Beng dan saudara kembar Mok memandang Wisang Geni. "Dia Wisang Geni," kata Pak Beng. "Tapi heran, ilmunya maju pesat, dia makin lihai."

---ooo0dw0ooo---

Dari desa Bangsal menuju keraton Tumapel bisa enam hari perjalanan biasa. Pada hari keempat, Geni tiba di hutan di batas desa Dayu Hari mulai senja. Geni melihat sebuah rumah tua. Mendadak saja telinganya yang sangat peka mendengar suara perempuan memaki-maki. Datangnya dari rumah reyot itu.

Geni mendekat. Terdengar suara lelaki. "Dimas, aku sudah nggak sabar, aku milih si baju hitam, kulitnya putih singkong, tubuhnya montok. Kamu yang lain saja!"

Temannya menjawab dengan tertawa kecil. "Kangmas, aku juga mau yang baju hitam. Sebaiknya kita undi saja, pemenangnya boleh menikmati si baju hitam, setuju atau tidak?"

Geni mengintip dari sela-sela dinding bambu. Dua lelaki berewokan dan berambut gondrong. Di lantai tergeletak dua perempuan berbaju hijau, di kursi reyot perempuan baju hitam terduduk lemas. Tiga perempuan itu seperti tak bertenaga, Geni yakin dua lelaki itu bekerja menggunakan obat bius. Mereka jelas akan memerkosanya. Geni tak bisa membiarkan hal ini.

Geni menerobos masuk. Dua lelaki itu terkejut. "Siapa kamu, kurangajar, berani mengganggu, aku hajar kamu!"

Si berewokyang bertubuh gemuk, menampar kepala Geni.

Melihat gerakan yang pelan dan tak bertenaga, Geni tak berani memandang enteng. Dia menyambut dengan Bahni Anempuh Toya (Api menyerang air) salah satu jurus Bang Bang Alum Alum. Terdengar suara tulang patah. Tangan si berewok patah di dua tempat, tulang dadanya patah, nyawanya melayang. Kawannya terkejut, dia menjatuhkan diri berlutut. "Ampun tuan pendekar, aku menyerah kalah, ampun, ampun, kau boleh ambil tiga perempuan ini, tetapi tolong ampuni aku"

Sesaat kemudian Geni sadar, dua lelaki itu tak punyakepandaian. Serangan tadi bukan ilmu yang aneh, tetapi benar-benar tamparan orang biasa yang hanya belajar sedikit jurus berkelahi. Geni kesal dan menghantam lelaki itu hingga pingsan. Dia menoleh ke dua perempuan baju hijau. Keduanya masih muda dan cantik. Tampak dari wajahnya mereka bukan orang Jawa. Orang asing. Pakaian dua gadis itu robek di beberapa tempat memperlihatkan kulit tubuh yang kuning sawo. Ketika menoleh ke perempuan baju hitam, Geni terkesiap. Dua gadis berbaju hijau itu cantik, tetapi yang baju hitam ini jauh lebih cantik.

Perempuan itu sangat cantik, rambutnya panjang riap- riapan. Tubuh bagian atas telanjang, ditelanjangi penjahat itu, tampak buah dadanya yang montok. Kulit tubuhnya putih macam singkong yang dikupas. Geni sangat terpesona. Belum pernah ia bertemu perempuan secantik gadis itu. Geni menatap sepasang mata indah yang melotot memandangnya. "Hei kurangajar, kamu lihat apa?" Geni terkejut dengan teguran itu, lalu menjawab sekenanya. "Aku memandang kecantikan seorang dewi, kamu sungguh cantik."

"Kurangajar, jangan memandang aku, cepat tutupi tubuhku."

"Loh kamu kau orang asing, lapi kenapa bisa bahasa Jawa." "Hei, aku bilang, cepai lutupi tubuhku, jangan kamu

pandang terus, kamu kurangajar, lelaki tak punya malu."

Geni mendekati wanita itu. Dia menatap. Kecantikan itu lebih jelas lagi. Wajah cantik dan tubuh yang montok. Benar- benar sangat cantik. Saking terpesona Geni lupa segalanya, ia memandang wajah dan dada wanita asing itu. "Bagaimana mungkin ada perempuan secantik kamu di bumi ini." Ia menatap mata gadis itu.

Sepasang mata gadis itu melotot, marah namun ada rasa takut. Suaranya gemetar ketakutan, "Kamu mau apa?"

Geni tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. "Kamu cantik, sangat cantik." Tangan Geni menjulur ke wajahnya, gadis itu menutup mata. Bibirnya bergerak, "Jangan lakukan itu, jangan sentuh aku, jangan lakukan perbuatan terkutuk itu, lebih baik kau bunuh aku."

Geni memegang rambutnya yang panjang, menggerainya menutup dada si gadis. Wanita itu membuka mata.

Sepasang mata saling menatap. "Apa yang kau lakukan?" "Aku menutup dadamu, supaya tidak dilihat orang, eh

supaya aku tidak memandang terus-terusan."

Gadis itu berusaha berkata ramah. "Di pojokan itu ada bungkusan, ambil selembar kain dan tutupi tubuhku. Cepat ambilkan, kalau kau main-main, kubunuh kamu"

Geni mengikuti isyarat lemah si wanita. Dia melangkah ke sudut, membuka bungkusan dan menarik selembar kain lebar semacam selendang panjang. Geni menutup tubuh wanita itu. Dia kemudian melangkah keluar. Terdengar suara wanita itu. "Hei kamu jangan pergi, tolong bebaskan aku."

Geni berhenti. "Kamu harus belajar sopan, nona cantik. Kamu beruntung aku kebetulan lewat di sini dan menolong kamu Jika tidak, pasti mereka sudah memerkosamu Kamu juga beruntung, lelaki itu adalah aku, jika orang lain malah dia akan memerkosa kamu. Kamu cantik dan menggairahkan, kamu juga tak berdaya, tentu saja dia akan memerkosamu.

Jadi kamu beruntung dua kali, aku datang menolong kamu mencegah dua perampok memerkosa kamu, dan yang kedua, aku tidak akan memerkosa kamu, lalu bukannya berterimakasih malahan kamu memaki-maki aku?"

Perempuan berbaju hijau berusaha bangkit namun sia-sia. "Tuan pendekar, maafkan nona majikanku, dia panik, maafkan dia, maukah tuan pendekar menolong kami?"

"Baik aku akan menolong majikanmu." Ketika Geni memegang lengannya, selendang itu melorot. Mau tak mau mata Geni menatap payudara indah itu.

"Hei, kau sengaja ya? Jangan lihat saja, tutupi tubuhku."

Geni memperbaki letak selendang. Ia memegang lagi lengannya, meraba nadinya, terasa kulitnya halus dan kenyal. Geni tersenyum, hanya obat bius kelas rendah. Korban hanya kehilangan tenaga untuk sementara waktu. Setelah satu hari, bius itu akan lenyap dan tenaga korban pulih dengan sendirinya.

Geni bersandiwara. Wajahnya serius. Gadis cantik itu bertanya, "Racun apa itu?"

"Kalian semua mahir berbahasa Jawa, belajar di mana?"

Gadis baju hitam tak sabar. "Aku belajar di negeriku, di daerah Himalaya, aku mau tahu racun apa itu? Apakah kau bisa menyembuhkan aku?" "Aku bisa menyembuhkan, tapi sulit." "Sulit? Bagaimana sulitnya?"

Geni berbisik, mulutnya hampir menempel di telinganya.

Harum rambut menggelitik hidungnya. Timbul humor nakalnya. "Aku akan menolongmu dengan tenaga dalam, tetapi satu-satunya jalan harus melalui mulut, artinya dari mulut ke mulut."

"Gila! Mana ada pengobatan macam itu, kau main-main, kubunuh kau nanti, kucincang kamu"

Geni melangkah menjauh. "Sudah kukatakan sulit, ya itu sulitnya, kalau kamu marah-marah bahkan mau membunuhku, ya lebih baik aku pergi saja, nanti kalau ada lelaki jahat masuk kemari dan dia memerkosamu, aku tidak tanggungjawab." Ia sudah hampir sampai di pintu, terdengar suara gadis baju hitam "Hei, kemari kamu, tolong sembuhkan aku."

Geni mendekat. Dalam hati dia tertawa. Tetapi dia tampak serius ketika menatap mata si baju hitam. Mata itu indah, warnanya kecoklatan. "Namamu siapa?"

Dua pasang mata saling tatap. Mata si baju hitam berkedip, dia tampak gugup dan malu. "Namaku Gayatri. Dua gadis itu, Urmila dan Shamita."

"Jadi kamu bersedia kutolong, dengan cara lewat mulut?"

Gadis itu diam membisu. Matanya melotot. "Tidak bisa pakai cara lain, cuma itu caranya, jika kamu tidak mau, ya aku pergi saja."

Gadis itu berkata perlahan, "Ya aku bersedia, cepat tolong aku." Dalam hati ia berpikir, ”begitu sembuh akan kubunuh lelaki kurang ajar ini, enak saja mempermainkan aku."

Geni memegang kepala Gayatri dan menciumnya. Mulut itu terkatup erat. Geni merenggang. Dia menepuk pipi si gadis. "Kalau kau tidak membuka mulutmu, aku tak bisa menolongmu"

Gayatri berbisik, "Awas jika kau main-main."

Geni tak menjawab, tangannya memegang dagu si gadis, lalu mencium mulutnya. Geni memeluk, tubuh gadis itu terangkat dari kursi. Tangannya melingkar di punggung telanjang si gadis. Tanpa diminta lagi Gayatri membuka mulut. Mulurnya wangi. Geni merasakan bibir yang hangat dan basah. Lama. Ciuman yang panjang. Gayatri mulai bereaksi, tubuhnya gemetar. Geni memeluk makin erat, dadanya menghimpit buah dada si gadis, sebelah tangan melingkar menahan bobot tubuh, sebelah lain menempel punggungnya. Sambil terus mencium, Geni menyalurkan tenaga Wiwaha.

Gayatri merasa hawa panas dan dingin menerobos punggung, berputar di perut dan dadanya. Ia tahu laki-laki itu memiliki tenaga dalam tinggi. Ia tahu lelaki itu membohonginya, ciuman itu hanya akal-akalan belaka. "Kurangajar, ia kan bisa menolong dengan tangan menempel di punggungku." Katanya dalam hati, namun tak dipungkirinya adanya kenikmatan yang ia rasakan saat berciuman. Tanpa sadar ia membalas, ia mulai dirangsang birahi.

Geni merasakan hal yang sama, kenikmatan tersendiri. Ia merasa rangsangan birahi merambah ke seluruh tubuh. Tapi ia berhasil mengendalikan diri. Ia melepas rangkulan dan ciumannya. Gayatri menolak tubuh Geni. Lelaki itu mundur, menjauh. Dua pasang mata saling tatap. Wajah Gayatri memerah, malu. Ia duduk semedi. Tenaga dalam yang disalurkan Geni tadi telah membangkitkan tenaga dalamnya sendiri. Dalam seminuman teh, tenaga dalam Gayatri telah pulih sebagaimana sediakala. Dia melompat berdiri. Sambil membenahi pakaiannya, sepasang matanya yang coklat melotot menatap Geni. "Sebutkan namamu, sebelum kurampas nyawamu" Geni tersenyum nakal. "Kau mau membunuhku, aku tak bersalah, malah aku sudah menolongmu, kenapa mau membunuhku?"

Dua nona baju hijau berseru dalam bahasa India. Geni, meski tidak mengerti namun bisa menebak Urmila dan Shamita mohon Gayatri menolong mereka lebih dahulu. Tetapi si majikan menolak.

"Kenapa aku mau membunuhmu? Kau telah membuat dua dosa, memandangi tubuhku yang paling rahasia, belum pernah ada lelaki yang melihat dadaku. Dosa nomor dua kamu menciumku. Aku belum pernah dicum orang, kamu sudah kelewat batas." Pipinya merah karena malu. Ia berhenti, matanya yang indah itu berkedip gugup menatap Geni. "Sebenarnya aku harus berterimakasih kau telah menolongku, tetapi kamu telah menodai kehormatanku, mempermalukan aku."

"Baik, kamu benar, aku salah, silahkan ambil nyawaku, Gayatri."

Gayatri melancarkan pukulan ke dada Geni, ia menggunakan separuh tenaga. Entah mengapa rasanya ia enggan melukai lelaki itu. Sesungguhnya ia hanya ingin memberi pelajaran pahit kepada Geni. Pukulan itu menerpa dada Geni yang terlempar beberapa langkah. Geni tahu persis pukulan itu tidak membahayakan dan melihat dari wajahnya dia yakin Gayatri tidak berniat membunuh. Lagipula dia percaya tenaga Wiwaha bisa mengatasinya. Itu sebab dia menerima pukulan si gadis tanpa mengelak atau membalas.

Gayatri terkejut. Ia heran mengapa pukulannya bisa mengena, mengapa Geni tidak mengelak. Gayatri melihat Geni bangkit, berdiri dengan senyum menggoda. "Rupanya kamu tidak sungguh-sungguh hendak mencabut nyawaku, terimakasih Gayatri." Sesaat kemudian Gayatri sadar lelaki itu sedang mempermainkannya. Gayatri marah. "Kau kurangajar, kamu mempermainkan aku."

Kali ini Gayatri menyerang dengan jurus ganas. Dia tahu, Geni pendekar berilmu tinggi. Tahu bahwa gadis itu marah, Geni kini tak berani main-main, dia tak mau celaka.

Pertarungan tangan kosong di dalam rumah tua makin lama makin seru Dinding dan tiang rumah tua itu patah kena hantaman tenaga dua pendekar itu. Rumah akan roboh.

Gayatri berteriak, "Tunggu dulu, kamu jangan lari, awas kalau kamu lari."

Sambil berteriak ke arah Geni, Gayatri melepas ikat pinggangnya, menyabet ke arah dua anak buahnya. Dia memegang bagian tengah tali, dua ujung tali itu melilit tubuh kedua gadis baju hijau, menarik mereka keluar dari reruntuhan rumah. Saat yang sama rumah itu roboh. Gayatri kemudian menotok punggung dua anak buahnya itu. Dia mulai menolong, menyalurkan sebagian tenaga dalam.

Seminuman teh dia menolong anak buahnya. Masing- masing tangannya menempel di punggung anak buahnya. Setelah merasa cukup, ia berdiri, matanya mencari-cari Geni. Tetapi lelaki itu tak kelihatan. "Hei kemana kamu pengecut, jangan lari kalau memang jantan." Gayatri membanting kakinya, kesal.

"Aku di sini, kau melarang aku lari, jadi aku tidak lari, aku menunggumu disini, aku tidak akan lari meninggalkan perempuan yang cantik macam kamu"

Gayatri menoleh ke arah suara. Dia melihat Geni duduk di atas dahan pohon.

Geni menggapai dengan tangan. "Hai, sudah kau sembuhkan mereka?" Gayatri marah. Dia menyerang dengan senjata tali tipis.

Ujung tali itu terikat sebuah bor dari logam baja. Bor berbentuk kerucut itukecil, tapi tampaknya tajam sekali, mengkilap ditimpa cahaya senja. Bor itu berputar mengeluarkan suara desis. Tali bergerak seperti ular. Tali juga bersifat pegas, bisa ditarik dan diulur. Geni hampir tidak bisa melihat tali itu saking tipisnya. Dia hanya merasa getaran udara mendekati tubuhnja K ali ini tak berani main-main.

Ancaman senjata itu sangat serius. Geni bergerak dengan ringan tubuh Waringin Sungsang melompat dari pohon.

Gerakannya cukup cepat, tetapi bor itu mengikutinya seperti bayangan.

Geni teringat perempuan India bernama Malini yang pernah dia kalahkan dua tahun lalu. Malini juga bersenjatakan bor yang disebutnya bor maut karena setiap menyerang selalu mengambil nyawakorban. Tapi ukuran bor Malini lebih besar. Ia menebak pasti Gayatri ada hubungan dengan Malini dan Kumara. Geni mengelak, berlari mengelilingi arena. Gayatri tertawa, suaranya merdu. "Kamu lari macam anak kijang dikejar harimau. Lebih baik menyerah dan mencium kakiku, baru boleh kuampuni."

Geni berhenti bergerak, berdiri diam. Dia telah menyalurkan tenaga Wiwaha ke seluruh tubuhnya. Lalu memainkan Jurus Penakluk Raja. Tangan kiri terentang seperti menerima senjata lawan sementara tangan kanannya bergerak dalam putaran kecil. Daya pegas dan tenaga bor yang mengancam tubuhnya dipindah ke arah pohon. Bor itu melesat kencang ke arah pohon.

Gayatri terkejut, senjata bornya seperti membentur udarakosong. Lalu mendadak bor itu mengarah ke pohon. Dia menarik talinya dengan kedutan, lalu menggerakkan ujung tali yang lain. Kini Gayatri mengendalikan tali dari bagian tengah dan menyerang Geni dengan dua ujung tali. Dua bor itu bagaikan bayangan hidup yang mengincar seluruh tubuh Geni. Luar biasa. Geni kagum ilmu gadis ini cukup tinggi. Jurus bor itu sangat langka, dan tenaga dalam si gadis juga cukup ungkulan. Geni timbul kegembiraan menguji lebih lanjut Jurus Penakluk Raja. Dia mengerahkan tenaga Wiwaha sepenuhnya, mengisap dan menolak, mendorong dan menarik. Gerakan itu mendatangkan angin keras yang mengombang-ambingkan dua bor maut itu.

Duapuluh jurus berlalu. Dua gadis berbaju hijau berdiri di luar arena, tenaga mereka sudah pulih. Mereka terkesima menyaksikan dua muda mudi itu adu kebolehan. Salah seorang berseru dalam bahasa India. Gayatri menjawab dengan suara bernada tinggi, tampaknya dia marah. Geni menebak bahwa Urmila dan Shamita ingin membantu mengeroyok, Gayatri menolak dengan marah.

"Gayatri jangan malu, biarkan mereka maju membantumu, biar kita menjadi imbang." Geni menggoda.

"Huh, kau pikir kau sudah menang, dasar lelaki tak tahu diri, lihat ini," sambil berkata Gayatri mengubah jurusnya. Kini dua bor tak lagi berputar-putar, tetapi menusuk macam tombak panjang. Tali itu bisa lemas, bisa tegang, lunak dan keras bergantian. Kini Geni terancam. Pada jurus ke duapuluh sembilan salah satu bor melukai lengan Geni. Kulit dan daging terkelupas. Gadis itu tak pernah tahu Geni sengaja mengalah.

Geni sendiri merasa aneh, dia tak tahu mengapa timbul kenakalan dan kegembiraannya menggoda gadis cantik ini. Luka di lengan itu tak akan membuat ia mati atau luka parah.

Begitu lengannya terluka, Geni teriak kesakitan. Darah menetes dari lukanya. Gayatri berhenti menyerang. "Bagaimana jurusku, hebat enggak, itu namanya jurus Memukul Buaya Mata Keranjang." Gadis itu tertawa.

Geni memegang lengannya. Darah. "Aku menyerah kalah, kamu hebat Gayatri, kamu tampak gembira bisa mengalahkan aku tetapi tolong ampuni kesalahanku, jangan kau cincang aku, silahkan bunuh saja aku karena kebetulan aku sudah bosan hidup." Geni lalu menyentuh lukanya, membawa jarinya ke lidah. Mendadak dia merasa lidahnya gatal. "Ada racun, kamu memakai racun," Kaki Geni gemetar, berdirinya limbung. Geni lemas, pelan-pelan ia jatuh terlentang. "Racun apa ini?"

"Sekarang kau kena batunya. Racun laba-laba hitam ini akan membuat kau mati dalam waktu dua hari. Hanya aku yang punya pemunahnya, aku akan menolongmu tetapi ada syaratnya." Gayatri tertawa dan bertingkah seperti seorang ibu memarahi putranyayang nakal.

Geni mengeluh. "Aku lemas, tenagaku hilang. Apa syaratnya, sebutkan, jika terlalu sulit ya aku terima mati saja, mati bagiku juga enak karena kebetulan aku memang sudah bosan hidup."

Gayatri berdiri di dekat Geni. Dua pembantunya bergerak mendekat. Gayatri membentak. Pembantu itu mundur agak jauh dari tempat kejadian. Geni mengerti bahwa Gayatri tak mau pembicaraan didengar dua pembantunya. Gayatri meniru gaya bicara Geni sewaktu hendak menolongnya tadi.

"Sulit, sangat sulit."

"Apanya yang sulit, sebut saja."

Gayatri tersenyum, memandang Geni yang terbaring di dekat kakinya. "Pertama, kau harus mencium kakiku, mohon ampun atas dua dosamu itu."

"Aku pasti mau, tadi sudah mencium mulutmu sekarang kakimu, mencium kaki perempuan cantik macam kau, aku mau saja malah senang."

Gayatri heran. Apakah di tanah Jawa para pendekar tidak merasa malu mencium kaki lawan mohon ampun. Gayatri tak mau menyerah begitu saja. "Tidak semudah itu, masih ada syarat lain, tetapi sekarang belum terpikir, hitung-hitung kau berhutang padaku, kamu bersedia?" "Aku tak mau. Bagaimana kalau nantinya kau minta nyawaku, aku tak mau mati konyol."

"Sekarang sebenarnya kamu sudah mati, racun itu tak ada obatnya. Jadi seandainya nanti aku menagih nyawamu, kan sama saja. Lagipula tadi kau katakan kau sudah bosan hidup."

Geni tertawa. "Kau pintar bicara. Baiklah, hitung-hitung kau meminjamkan hidup padaku, begitukan, suatu waktu nanti kau akan mengambilnya lagi, baik aku bersedia."

"Belum tentu aku menagih nyawamu, bisa saja permintaan lain, pekerjaan yang mudah kaulakukan atau yang sulit. Nah sekarang lakukan syarat pertama dulu, mencium kakiku dan mengemis mohon ampun.”

Wisang Geni membalik tubuh, bergerak seperti hendak jongkok. Mendadak dia melenting. Gayatri kaget. Terlambat, Geni sudah mencolek pipinya. Gadis itu menampar kepala, Geni merunduk dan mendorong pundak. Gayatri menangkis. Dalam sesaat keduanya sudah saling menyerang. Sepuluh jurus berlalu, Geni memainkan Jurus Penakluk Raja dengan tenaga Wiwaha yang utuh. Gayatri mengerahkan segenap ilmu dan tenaga dalamnya.

Memasuki jurus duapuluh, Gayatri mulai terdesak. Geni masih ingat ketika bertarung lawan Malini dua tahun lalu. Sama seperti Malini, Gayatri juga memainkan jurus tenaga bumi, yang intiya mengalihkan tenaga lawan dan memunahkannya ke bumi. Geni menggunakan jurus Prabhawadan Raga, menerima tenaga lawan dan mengirim kembali ke lawan.

Geni menambah sedikit tenaga sehingga jika terkena telak Gayatri tidak akan terluka parah. Gadis itu terkejut, tenaga pukulannya lenyap ke tempat kosong, saat berikutnya pukulan Geni datang bagai air bah. Gayatri tak sempat menghindar, hanya bisa menutup diri dengan tangan di depan dada. Melihat majikannya terancam dua gadis baju hijau menyerang Geni dengan pukulan jarak jauh.

Geni mengubah jurus, tetap memukul Gayatri dengan kanan, tangan kirinya dengan gerak memutar mengisap pukulan dua gadis berbaju hijau. Gayatri kritis. Tetapi Geni tak berniat melukai, saat terpaut beberapa jengkal dari tubuh Gayatri, Geni mengalihkan serangannya ke pohon di samping gadis itu. Saat bersamaan tangan kiri mengalihkan pukulan dua baju hijau ke pohon lain. Dua pohon yang besarnya sepelukan manusia itu patah dan tumbang. Geni tak berhenti, ia menerjang dan sekali cengkeram berhasil menawan Gayatri yang lemas tak berdaya. Ia memeluk gadis cantik itu.

Keduanya saling tatap. Gadis itu merunduk.

Gayatri berkata lirih, "Kenapa kamu tidak meneruskan memukul? Huh, belum tentu aku akan terluka." Gadis ini tetap belum mau mengaku kalah. Ia tetap membiarkan tubuhnya dipeluk Geni.

"Ya, ilmu silatmu tinggi, aku yakin kau tidak akan terluka, cuma aku memang tidak suka memukul perempuan cantik."

Gayatri mengalihkan pembicaraan. "Siapa nama kamu?

Apakah kau orang yang bernama Wisang Geni?"

Wisang Geni tidak terkejut. Dia sudah menduga sejak awal, begitu mengetahui ilmu silat Gayatri satu aliran dengan yang dimiliki Malini. "Dia pasti datang mencari aku, pasti urusan balas dendam kekalahan Lahagawe oleh Eyang Sepuh Suryajagad. Dulu Malini dan Kumara yang diutus membalas dendam, gagal karena kukalahkan. Kini Gayatri, yang diutus bersama dua pembantu dan mungkin beberapa orang lain yang tak tahu seberapa tinggi ilmu silatnya."

"Aku orang tidak dikenal, panggil saja aku orang tak punya nama, eh tadi kau menanyakan Wisang Geni? Apa sih hebatnya orang bernama Wisang Geni itu, mau apa kau mencarinya, kau mengenalnya di mana?" Gayatri meronta melepaskan diri dari pelukan. Ia menyentuh lengan Geni. "Lukamu masih berdarah. Biar kubalut," sambil gadis ini merobek sebagian selendang yang melilit tubuhnya. Dia membalut lengan Geni. Dia melakukan itu dengan lembut dan cekatan. "Aku baru datang dari Hirnalaya, belum punya teman, dan baru kamu orang pertama yang kukenal si pendekar tanpa nama. Aku belum kenal Wisang Geni, aku lihat kepandaianmu sangat tinggi, bagaimana kalau kamu dibandingkan Wisang Geni, apa benar dia pendekar berilmu tinggi? Apakah kau pernah tarung dengannya?"

"Aku tidak bisa mengalahkan dia, dan dia juga tidak bisa mengalahkan aku."

Gayatri terdiam Pikirannya menerawang. Dari pertarungan tadi, dia bisa mengukur kepandaian lelaki itu. Dia tidak yakin bisa mengalahkan lelaki penolongnya, sehingga kata-kata si lelaki tadi ibarat penjelasan tingginya ilmu silat Wisang Geni. "Dia tidak bisa mengalahkan Wisang Geni dan Wisang Geni juga tak bisa mengalahkannya, berarti mereka berdua sama imbang. Jika demikian masih ada peluang aku mengalahkan Wisang Geni, apalagi jika aku maju bertiga dengan jurus Hirnalaya." Berpikir demikian Gayatri merasa lega.

Geni ingin tahu lebih banyak tentang Gayatri. "Ada urusan apa kau mencari Wisang Geni, apakah kalian bermusuhan?

Kalau perlu aku akan membantumu!"

Gayatri menghela nafas. "Urusan balas dendam. Tetapi aku sebenarnya pergi diam-diam, pasti ayah ibuku akan mencariku. Aku tinggalkan pesan, aku ke tanah Jawa mau balas dendamnya kakek."

Geni semakin yakin Gayatri ini ada hubungannya dengan Malini dan Kumara. "Aku pernah tahu ada sepasang pendekar dari negerimu, kalau tidak salah mereka suami isteri.

Perempuannya bernama Malini, dia cantik tetapi tidak secantik kamu, ilmunya tinggi, ia juga jahat dan kejam, banyak pendekar negeri ini mati dibunuhnya."

"Suami Malini bernama Kumara, mereka murid adiknya kakek. Beberapa bulan lalu Kumara pulang ke Himalaya, sendirian, isterinya masih di tanah Jawa. Dia menceritakan kekalahannya dari Wisang Geni, yang konon murid kesayangan pendekar tua Suryajagad. Aku penasaran mendengar ceritanya. Ketika dia kembali ke Jawa, diam-diam aku mengikutinya. Dia sekarang ini pasti sudah berada di negeri ini, katanya Malini sudah melahirkan seorang putra."

"Dia pasti tahu kau mengikutinya, tak mungkin kau bersembunyi di perahu tanpa dia mengenalmu"

"Tidak. Dia berangkat dengan perahu lain, aku berangkat belakangan. Sekarang aku menyesal tidak bersama-sama dengannya, aku ingin mencarinya, jika bersama Malini dan Kumara, pasti aku lebih aman."

"Kau ingin membunuh Wisang Geni?"

"Aku bukan pembunuh, aku tak punya niat membunuh. Kakek juga tiak pernah menyuruh aku membalas dendam, lagipula kakek sudah mati. Aku hanya ingin menjajal kepandaiannya, tetapi kalau dalam pertarungan dia mati terbunuh, ya itu kan resiko kita yang mempelajari ilmu silat,"

Geni penasaran. "Tadi katamu, kakekmu itu pernah dikalahkan oleh guru Wisang Geni, begitu?"

"Itu duapuluh lima tahun silam, mungkin aku belum dilahirkan. Kakek menjadi penasehat seorang raja di tanah Jawa, dan Ki Suryajagad berada di pihak lawan. Kakek kalah dalam tarung, menurut cerita, kakek mengakui Suryajagad seorang pendekar sejati. Itu sebab kakek tak pernah dendam."

"Lantas mengapa Malini dan Kumara datang ke negeri ini, katanya mau membalas dendam kakekmu" "Ceritanya lain, sebenarnya yang paling penasaran terhadap Ki Suryajagad adalah adik seperguruan kakek. Dia bertekad menebus kekalahan, mungkin beliau yang mengutus Malini dan Kumara. Tapi aku heran, mengapa kau bertanya terus, sepertinya kau tertarik cerita ini."

Geni tersenyum "Aku suka melihat gayamu bicara, lagipula aku ingin tahu semua tentang dirimu, hanya itu."

Gadis itu merasa jantungnya berdebar keras. Ia suka pujian itu, "Mengapa?"

Geni tertawa. Dia membawa telunjuk jari ke mulutnya.

Gayatri mengerti isyarat itu. "Kau kurangajar, kau berulangkali menghina aku." Saking kesalnya gadis itu membanting kaki. Dua pembantu berbaju hijau itu bergerak maju, Urmila berkata dalam bahasa India. Tetapi sekali lagi Gayatri membentak.

Geni ingin tahu. "Apa kata anak buahmu itu?"

Gayatri tersenyum sinis. "Mereka mau maju serentak, mengeroyok kamu menggunakan jurus tiga bersatu padu, tetapi aku bilang, kurcaci macam kamu belum pantas dikeroyok"

"Mengapa kau tak mau membunuh aku?"

"Terus terang, aku tidak yakin bisa mengalahkan kamu Kedua, kamu tak boleh mati sebelum membayar hutang dua dosamu itu."

"Bayar hutang? Bagaimana caranya?"

"Hutang pertama, kamu antar aku ketemu Wisang Geni, aku akan menantang tarung. Katakan kepadanya jangan main keroyok memanfaatkan banyaknya murid Lemah Tulis. Hutang dosa kedua, belum bisa kukatakan sekarang, lain waktu saja."

"Baik, aku akan antar kamu menemui Wisang Geni, nanti beberapa hari lagi kita ketemu di sini." "Hei, tidak bisa begitu, aku mau sekarang juga kamu antar kami."

"Sekarang tidak bisa, aku sudah ada janji. Janji ini lebih dahulu dari janjiku padamu, jadi kamu harus menunggu giliran."

"Kamu janji dengan siapa, dengan perempuan?"

Geni tertawa, dia heran gadis ini bisa menebak jitu. "Iya memang janji dengan perempuan, bagaimana kamu bisa menebak jitu?"

"Apa dia cantik, lebih cantik dari aku?"

"Dia memang cantik, perempuan paling utama di negeri ini, tetapi kalau cantik, aku pikir kamu lebih cantik, lagipula dia belum pernah kucium" Geni tertawa.

Gayatri merasa jengah dan malu. "Kamu harus datang menemuiku, jangan ingkar janji, awas kamu kalau ingkar janji."

"Aku pasti akan mencari kamu Tetapi sebaiknya kamu jangan menunggu aku di hutan ini, lebih baik di desa Gondang jaraknya dua hari perjalanan dari sini."

"Baik kita ketemu di desa Gondang, berapa hari lagi?" "Desa Gondang arah ke Barat, dua hari perjalanan dari

hutan ini. Kamu istirahat tiga hari, pada hari kelima atau keenam, kita sudah akan jumpa lagi. Aku pergi." Geni melesat pergi.

Gayatri berteriak, "Hei kamu jangan bohong."

Terdengar sahutan, "Lima hari dari sekarang aku akan menjumpai kamu"

Gayatri menghela nafas. Dia merasa lelaki itu telah merebut hatinya. Dia membayangkan tubuhnya, tegap, kulit sawo matang dan wajah tak begitu tampan, rambut putih ubanan, aroma tubuhnya yang keras. Ia jantan dengan ilmu silat yang tinggi. Gayatri tak pernah bayangkan ada orang memiliki tenaga dalam setinggi itu yang bisa mengusir racun laba-laba dengan pengerahan tenaga hanya dalam waktu yang begitu singkat "Aku sudah berjanji pada orangtua, hanya lelaki yang bisa mengalahkan aku saja yang akan kupilih menjadi suamiku, apakah dia yang menjadi jodohku?" Gayatri tersenyum sendiri membayangkan kenakalan Wisang Geni.

Dan ciuman itu, begitu menggelitik dan menggugah birahinya. Tanpa terasa jari Gayatri meraba bibirnya, seakan-akan bibir Wisang Geni yang hangat itu masih menempel. Urmila dan Shamita saling pandang dan tersenyum geli melihat tingkah laku Gayatri.

Tak tahan merasa geli, Urmila berbisik, "Putri, aku lihat dia sudah menaklukkan hatimu, Putri sehebat apa sih ciumannya?"

Shamita tertawa. "Putri, kulihat kamu diam saja dipeluk lelaki itu, bahkan tubuhmu gemetar. Putri, kupikir kamu sudah jatuh cinta."

Pipi Gayatri memerah saking malu. "Siapa bilang aku jatuh cinta, tiru niina teringat ayah dan ibu" Ia memburu dua pembantunya.

"Berhenti menggoda atau aku hajar kalian," kalanya sambil tertawa. Ia menambahkan, "Jika lelaki itu mempermainkan aku, akan kubunuh dia."

Urmila menjawab, "Akuyakin dia tak main-main, percayalah. Aku melihat dia begitu terpesona akan kecantikanmu Putri."

---ooo0dw0ooo--- 

BERSAMBUNG