Tabir Sakti Ilmu Rimba Persilatan Bag. 03


Bab 16 
Begitu menginjakkan kaki di tanah, Catur Tujuh berjalan ke arah dua utusan Kuil Langit dan mengangsurkan kitab pemberian Raja Elang Besar. 
“Silahkan Paman Maharsi menerima.” 
Si Telapak Langit dan Si Dewa Kaki Kilat sangat berterima kasih pada Catur Tujuh saat laki-laki itu memberikan bagian awal Kitab Ilmu Silat 'Elang Dewa'. 
“Entah dengan cara bagaimana Kuil Langit bisa membalas budi baik Tujuh Dewa Catur.” kata lembut Si Telapak Langit. 
“Mengikat tali persaudaraan dan persahabatan dengan Kuil Langit sudah merupakan budi yang tidak terkira bagi Perguruan Catur Bawana, Paman Maharsi.” tutur halus Catur Tujuh. 
Dua pihak saling memberi hormat satu sama lain. 
Pertikaian antara Tujuh Gembong Bandit dan Tujuh Dewa Catur memang tidak direncanakan sebelumnya oleh Ki Gagak Surengpati sehingga membuatnya memaki panjang pendek di dalam hati, “Sial, perhitunganku meleset! Ini semua gara-gara Tujuh Dewa Catur membuat bala bantuan yang kuharapkan tenaganya menjadi berkurang banyak.” pikirnya saat mengetahui tujuh orang terhebat dari Sarang Elang Langit hancur di tangan dua orang anggota Dewa Catur. 
Sambil menekan perasaannya, ia berkata lantang, “Pedang Naga Perkasa! Tanpa perlu kami katakan apa maksud kedatangan kami ke tempat ini, tentu kau sudah tahu dengan sendirinya, bukan?” 
“Apa maksudmu?” 
“Huh! Tak perlu bertele-tele, anak muda! Cepat serahkan Kitab Ilmu 'Mata Malaikat' padaku!” 
Mendengar kata 'Mata Malaikat' disebut-sebut, kakek berdayung baja langsung mengumpat, “Bangsat tua! Kenapa kau tidak mengatakan tujuanmu yang 
sebenarnya, Gagak Surengpati! Rupanya kau berniat mengangkangi sendiri ilmu itu!” 
“Sabar, Kakang! Aku tidak bermaksud begitu! Sebab menurut wangsit gaib yang aku terima, ilmu itu akan muncul di tempat ini, perkara hasilnya bisa kita pelajari bersama,” kata Ki Gagak Surengpati saat kedoknya terbongkar. “Setan tua! Cepat benar dia sadar kalau aku bermaksud menipunya,” pikirnya. 
“Aku sudah sering mendengar kehebatan ilmu nujummu, tapi yang kudengar banyak yang meleset dari pada yang betul.” kata Kakek Nelayan Dari Laut Utara. “Dari seratus ramalanmu, semuanya cuma omong kosong! Mungkin karena waktu mudamu banyak kau gunakan mengumbar nafsu hingga ilmu setanmu tidak manjur!” 
Selebar muka Ki Gagak Surengpati merah padam mendengar boroknya diungkit-ungkit di depan orang banyak. Tapi karena pada dasarnya laki-laki culas itu mengharapkan bantuan dari si kakek berdayung baja, ia hanya tersenyum masam saja. 
“Itu cuma kabar diluaran, Kakang, jangan dipercaya! Yang pasti ... ilmu itu akan muncul di tempat ini!” sergah Ki Gagak Surengpati, pikirnya, “Selesai masalah disini, kepalamu bakal kupenggal dan kuberikan pada anjing-anjing peliharaanku, bangsat!” 
“Gagak Surengpati ... !” kata Rangga Wuni sambil maju ke depan, “Jika memang hal itu yang kau inginkan, maaf ... di Partai Naga Langit tidak ada ilmu yang kau maksud ... “ 
“Pasti ada ... tidak mungkin ilmu nujumku salah!” bentak Ki Gagak Surengpati, “Cepat serahkan! Kalau tidak ... “ 
“Kalau tidak apa? Mau menghancurkan partaiku seperti halnya kalian menghancurkan Perguruan Gunung Putri?” bentak Nila Sawitri sambil mengerahkan jurus 'Mulut Guntur'. 
Tentu saja lawan yang ada didepannya langsung merasakan desakan suara bertalu-talu berusaha menjebol dinding telinga. Meski tidak berlangsung lama, tapi sudah cukup membuat orang-orang Gagak Cemani kelimpungan, bahkan beberapa orang yang paling depan sampai berdarah-darah telinga mereka. 
“Rupanya kau gadis sundal dari Perguruan Gunung Putri. Pantas wangsit yang kuterima ... “ 
“Gara-gara wangsit sintingmu itu ... seluruh teman-temanku habis kalian bantai!” potong istri Pedang Naga Perkasa, sambil bersiap melakukan serangan. 
“Tenang, istriku! Kita harus bisa menahan diri saat ini! Ingat dengan murid-murid kita,” bisik Rangga Wuni mencekal lengan istrinya saat ia melihat bahwa Nila Sawitri berniat melabrak orang tua penujum itu. 
Melihat perkembangan yang sudah menjurus ke pertarungan hidup mati, Suro Keong dan Suro Bledek saling pandang. 
“Kau siap, kawan,” bisiknya pada Suro Bledek, “Siapkan penangkal ilmumu!” 
Suro Bledek mengambil sesuatu dari saku baju dan ternyata ... bulatan dari tanah padas yang dibuat bulat sebesar kelereng. 
Sambil berjalan pelan, mereka mendekati murid-murid Partai Naga Langit sambil berbisik agar memasukan benda bulat tanah padas ke dalam lubang telinga dan dibebat dengan ikat kepala supaya tidak jatuh, karena 
semua murid Pedang Naga Perkasa memang mengenakan ikat kepala sehingga perbuatan mereka tidak mencurigakan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani. 
Hanya mereka memang melihat orang-orang Partai Naga Langit mengencangkan ikat kepala, itu saja! 
Bahkan Suro Keong langsung memberikan kata 'bunuh' jika ada kesempatan! 
Sebenarnya dua orang itu menyiapkan satu kantong besar untuk berjaga-jaga jika kekurangan. Namun ternyata justru kelebihan jumlah, sebab murid-murid Partai Naga Langit sekitar delapan puluhan orang telah turun gunung menuruti perintah sang guru, sedang yang tersisa tidak lebih dari dua puluh lima orang yang ingin membela kehormatan partai. 
“Sisa banyak!” bisik Suro Bledek. 
“Kita gunakan saja sebagai senjata rahasia.” 
“Bagus, aku juga begitu! Jurus ‘Kelereng Arwah’ paling cocok digunakan dalam pertarungan seperti ini.” 
“Tapi jangan salah sasaran!” 
“Jangan khawatir, lah!” kata Suro Bledek, enteng. 
Lalu laki-laki itu mendekati pasangan suami istri itu dan berbisik, “Jika terjadi perkelahian, gunakan jurus 'Mulut Guntur' tingkat tertinggi ... “ 
“Tapi Paman, bagaimana dengan murid-muridku, mereka ... “ 
“Mereka akan aman-aman saja. Percayalah!” katanya sambil kembali ke belakang. 
“Cepat berikan kitab itu!” kali ini Dewi Cabul Teratai Merah yang membentak. 
“Bagaimana jika kami menolak?” tantang Rangga Wuni sambil melolos pedang dari sarung. 
Srakk! 
“Jika tidak ... maka partai kalian akan kubuat karang abang!” 
“Kalau begitu ... kami memilih menolak!” 
Begitu kata 'menolak' selesai diucapkan, Rangga Wuni langsung menerjang maju ke arah dengan pedang menusuk lurus ke arah wanita cabul berbaju merah sambil mengeluarkan teriakan lantang sarat dengan jurus 'Mulut Guntur' tingkat ke enam, “Serbu ... !” 
Dewi Cabul Teratai Merah cukup kaget mendapat dua serangan mendadak, tusukan pedang dan suara mendenging di telinga yang langsung berusaha menerobos ke dalam dinding-dinding telinga. Namun, sebagai tokoh kosen yang diperhitungkan jago-jago persilatan, serangan dadakan itu bukanlah hal berat baginya. Sambil tertawa cekikikan, nenek cantik itu langsung berjumpalitan ke belakang. 
Wutt! Wutt! Jleg! 
“Tidak perlu tergesa-gesa begitu, pemuda tampan,” katanya sambil mengumbar senyum manis disertai kerlingan manja. 
Tentu saja Rangga Wuni jengah diperlakukan seperti itu oleh musuhnya. 
“Kakang, biar nenek genit ini aku saja yang menanganinya!” 
Sekelebat bayangan kuning gading menerjang cepat disertai larikan-larikan sinar putih patah-patah sepanjang satu tombak. 
Syutt! Syutt! 
Darr! Daarrr! 
“Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’!” pekik Dewi Cabul Teratai Merah melenting ke atas, lalu turun ke tempat semula, “Kau apanya si Pendekar Tombak Putih?” 
“Dia adalah ... Pamanku!” kata gadis cantik berbaju kuning gading, “Masak kau tidak bisa melihat kedua pamanku sedang membantai orang-orangmu, nenek peot!” 
Wanita cantik itu geram disebut nenek peot. 
“Kau ... kau harus membayar penghinaan ini, gadis kecil!” kata si nenek setelah mengetahui Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur ternyata berada di tempat itu. “Setelah kau mampus, giliran ke dua paman keparatmu itu menyusulmu ke akhirat!” 
“O ya? Apa tidak kebalik, Nek?” goda Kumala Rani. 
“Bangsat! Kurobek mulutmu!” 
Dewi Cabul Teratai Merah langsung baku hantam dengan Kumala Rani dengan saling tukar jurus-jurus maut. 
Gagak Setan Tangan Seribu bertemu dengan lawan yang sepadan. Jika ia mahir menggunakan dua tangan besarnya lewat Ilmu Silat 'Tangan Seribu', justru lawan handal menggunakan jurus kaki lewat Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ yang dikerahkan Si Dewa Kaki Kilat dari Kuil Langit. 
Prakk! Prakk! Brakk! 
Beradunya kaki dan tangan bagai suara besi ketemu besi. 
Keras lawan keras! 
Sedang Suro Keong memilih lawan yang lebih ringan. Berulang kali jurus ‘Kelereng Arwah’ mencabut nyawa orang-orang Gagak Cemani dengan mudah. 
Jruub! Jrubb! 
“Aaah ... “ 
Akan halnya Nila Sawitri dan Suro Bledek memimpin murid-murid Partai Naga Langit menghadapi serbuan yang datang bagai banjir bandang. Memang ini adalah untuk pertama kalinya murid-murid Partai Naga Langit menghadapi suasana pertempuran yang sebenarnya, tapi dengan adanya bantuan dari istri guru dan pamannya membuat semangat mereka kian membara. 
Apalagi kedua orang itu selalu membantu mereka dengan jurus 'Mulut Guntur'. Saat lawan sedang berusaha menutupi telinga akibat desakan suara yang bagai merobek-robek telinga, dengan mudahnya orang-orang Partai Naga Langit menyarangkan senjata mereka ke tubuh lawan. 
Crass ... croook ... jrabb ... bless ... ! 
Bahkan sambil mengeluarkan jurus 'Mulut Guntur', Nila Sawitri mengelebatkan pedang telanjang kesana kemari membantai lawan. Kali ini penyaluran dendam kesumat bekas murid Perguruan Gunung Putri langsung menyeruak keluar bagai letusan gunung api, bahkan trisula yang ada di tangan kiri turut berkelebatan membantai lawan. Jurus 'Pisau Pedang Membedah Gunung' yang seharusnya menggunakan pasangan pedang dan pisau, tidak kehilangan keganasannnya meski digantikan oleh trisula. 
Crass ... crass ... !! 
“Aaakh ... uughh .... “ 
Berulang kali Ilmu ‘Pisau Pedang Jalan Tunggal' dari Perguruan Gunung Putri memperlihatkan taringnya. Tak pelak lagi, korban mulai berjatuhan sehingga darah mulai menggenangi pelataran Gunung Naga yang asri. 
Jerit lengking kesakitan dan kematian bagai menghiasi langit biru. 
Roh-roh keluar dari raga karena dicabut paksa. 
Dan yang pasti ... tubuh tanpa nyawa berjatuhan satu demi satu! 
Rangga Wuni pun menghadapi lawan yang tidak enteng. Tiga murid utama Perkumpulan Gagak Cemani menggempurnya dari tiga jurusan yang berbeda. Serangan mereka yang susul-menyusul cukup membuatnya cukup kerepotan. 
Set! Sett! 
Beberapa kali pemuda yang juga Ketua Partai Naga Langit berkelit cepat menghindari serangan lawan yang datang bagai gelombang pasang. Untunglah ia telah menguasai tingkat enam dari jurus ‘Mulut Guntur’ hingga sesekali ia melancarkan bentakan-bentakan maut sambil menggerak-gerakkan pedang yang meliuk-liuk bak naga terbang. 
Rett! Rett! 
Jurus ke tujuh dari Ilmu 'Pedang Aliran Naga' yang bernama 'Naga Menerobos Kerumunan Ular' yang digunakan Pedang Naga Perkasa bergerak lincah, menyusup diantara celah-celah pertahanan tiga murid utama Gagak Cemani. Kali ini, Gagak Dewa menjadi korban pertama. Kepalanya menggelinding ke tanah saat Gagak Dewa dalam posisi tidak siap dimana ia menghindari sergapan pedang dari kiri ke kanan dengan 
cara menundukkan kepala. Namun rupanya jurus 'Naga Menerobos Kerumunan Ular' adalah jurus yang unik, begitu tahu lawan berhasil menghindar, tahu-tahu ujung pedang mematuk tengkuk dengan telak 
Cras! 
Kepala Gagak Dewa langsung terpisah dari raga. 
Melihat Gagak Dewa tewas, Gagak Limau dan Gagak Ungu langsung melontarkan pukulan maut andalan perkumpulan mereka ke arah Rangga Wuni. 
Pukulan ‘Gagak Cemani’! 
Dubb! Wutt! 
Dua sinar hitam melesat cepat saat Pukulan ‘Gagak Cemani’ dilontarkan hingga mengeluarkan suara menggebubu bagai raungan lebah menggebah. 
Rangga Wuni terkesiap. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk menggunakan jurus pukulan, sebab selang waktu antara kematian Gagak Dewa dengan luncuran Pukulan ‘Gagak Cemani’ terlalu singkat dan cepat. Satu-satunya jurus siap pakai adalah ... jurus ‘Mulut Guntur’ tingkat enam! 
“Huaa ... haaaa ... haa ... !!!” 
Gelombang suara bertenaga dalam tinggi langsung bertemu dengan dua sinar Pukulan ‘Gagak Cemani’. Detik berikutnya dua dentuman lumayan keras langsung menghentak keluar. 
Blarrr! Blarr!! 
Tubuh Gagak Limau dan Gagak Ungu terhempas ke belakang disertai muncratan darah kental dari mulut, telinga dan hidung. Begitu jatuh menyentuh tanah, berkelojotan sebentar lalu diam untuk selama-lamanya. 
Rupanya saat terjadi benturan tadi, dua sinar Pukulan ‘Gagak Cemani’ menghantam balik pemiliknya hingga membuat mereka tewas dengan tulang tengkorak hancur di bagian dalam. 
Sedang Rangga Wuni pun mengalami nasib yang tidak kalah parah dari lawan. Dari telinga, hidung, sudut mata dan mulut keluar darah segar. Pedang langsung ditancapkan tanah, selanjutnya si pemuda duduk bersila mengatur napas melakukan pemulihan tenaga dan penyembuhan luka dalam. Lima murid Partai Naga Langit yang menganggur, dengan sigap membuat pagar betis melindungi. 
Memang saat itu, dewi keberuntungan tidak sedang berpihak pada Perkumpulan Gagak Cemani. Murid-murid Gagak Cemani hanya tinggal beberapa gelintir saja, itu pun sekarang hanya Nila Sawitri seorang yang menghadapi empat orang murid tingkat dua. Tanpa tempo lama, empat murid itu akhirnya tumbang satu demi satu. 
Crass! Jrubb! 
Pada akhir pertempuran di Partai Naga Langit ... seluruh murid tingkat satu dan dua dari Perkumpulan Gagak Cemani tewas semua! 
Bab 17 
Akan halnya Suro Keong dan Suro Bledek membantu beberapa murid Partai Naga Langit yang terluka ringan dan parah. Meski ada lima orang murid tewas di medan laga, gugur sebagai pembela kehormatan partai. 
Sementara itu, pertarungan antara Kakek Nelayan Dari Laut Utara dengan pemuda bermata putih 
bersenjata tongkat hitam berlangsung seru dan unik. Bagaimana tidak unik, jika si kakek selalu menggebah maju dengan dayung baja yang bersliweran mengurung tubuh si pemuda dengan desiran angin kuat, justru si pemuda dengan santainya bergerak miring-miring mirip kepiting berjalan di selokan. 
Bisa dikatakan seru, sebab setiap si kakek mengayunkan dayung baja, selalu terdengar raungan angin yang tersibak bagai lolongan setan dari neraka, sedang si pemuda tetap bergerak miring-miring secepat kilat menyambar. Meski belum melancarkan serangan balasan satu kali pun, pemuda bertongkat hitam itu tetap dengan senyum ramah tersungging melayani serangan-serangan si kakek. 
“Ayoo kek, yang semangat ... “ serunya sambil menggeser kaki kiri ke samping kanan diikuti dengan badan membungkuk. “Aduuuh ... meleset ... coba lagi kek ... “ 
Kakek itu berhenti menggerakkan dayung baja dengan napas sedikit terengah-engah! 
Fiuhh .... capek, deh! 
“Setan buta keparat! Dia bisa menduga arah seranganku dengan tepat,” pikirnya, “Jurus Silat 'Dayung Baja' selalu meleset saja saat hampir menghantam tubuh. Apalagi tubuhnya yang bergerak miring-miring seperti orang sinting ... entah ilmu macam apa yang dipakainya.” 
“Ayo, kek! Kenapa diam? Capek, ya?” kata si pemuda yang tak lain si Jalu sambil berkacak pinggang. 
“Setan buta sialan! Murid siapa kau ini?” bentak Kakek Nelayan Dari Laut Utara. 
“Wah ... guruku yang mana, kek? Aku punya banyak, tuh!” 
“Kenapa kau ngomong plintat-plintut seperti anak gadis sulit buang air besar, hah!” 
“Lho ... kakek ini gimana, tho? Tadi nanya siapa guruku, kok bilangnya seperti itu?” sahut Jalu Samudra dengan suara dikenes-keneskan. “Memang guruku ada banyak, jadi sulit mengatakannya satu persatu ... “ 
“Bangsat buta! Katakan yang mana saja, biar aku tidak kesalahan tangan waktu membunuhmu!” 
Kali ini kakek besenjata dayung benar-benar marah. 
“Guru yang mana, ya?” kata Jalu Samudra sambil pura-pura berpikir keras, “ ... ahh, aku tahu! Itu tuh ... guruku!” katanya sambil menunjuk ke arah tempat Kumala Rani berkelahi. “Yang cantik di sana tuch, lagi berantem sama nenek-nenek baju merah!” 
Si Kakek menoleh sebentar, lalu mendengus, “Guru macam apa dia? Ilmunya lebih jelek daripada dirimu!” 
“Dia itu guruku yang paling kusayangi, Kek!” 
“Guru silat?” 
“Bukan!” 
“Lalu guru apa?” 
“Guru .... bercinta alias memadu kasih! Hua-ha-ha-ha!” 
Jalu Samudra tertawa terbahak-bahak, sukses mempermainkan kakek nelayan di hadapannya. 
“Pemuda bangsat! Bercintalah kau dengan setan-setan di neraka!” bentak si kakek sambil tangan kanan mengayunkan dayung baja ke arah kepala si pemuda berbaju biru. 
Wutt! 
Tangan kiri pun juga ikut bekerja dengan melancarkan beberapa pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Pukulan ‘Ombak Laut Utara’ datang silih berganti dengan kibasan dayung baja, sehingga Jalu Samudra yang saat itu sedang mengerahkan Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ menjadi kelabakan. 
Wesshh ... werr ... wreett! 
Blamm! Blaaamm! 
Dua larik cahaya kelabu menghantam tanah kosong di belakang anak muda yang dihindari dengan cara berguling-guling di tanah. 
“Kalau begini caranya, mau tidak mau aku harus mengeluarkan '18 Jurus Tapak Naga Penakluk'!” pikirnya sambil mengelebatkan tongkat hitam di tangan kanan, menangkis dayung baja yang siap menggemplang kepala. 
Trakk! 
“Tapi jangan, ah! Ilmu ini terlalu berbahaya. Lebih baik aku tingkatkan saja 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' hingga mendekati tingkat tiga. Kukira sudah cukup!” pikirnya. 
Trakk! 
Kembali dayung baja bertemu tongkat hitam menimbulkan percikan api. 
“Gila! Tenaga bocah ini cepat laksana kilat menyambar,” batin si kakek merasakan rambatan tenaga menyengat. “Tenaga sakti macam apa ini? Baru kali ini aku merasakan tenaga aneh seperti ini.” 
“Aku harus cepat membereskan pak tua berdayung ini,” pikir Jalu Samudra, “Kukuras dulu tenaganya dengan jurus 'Kilat Tanpa Bayangan'!” 
Begitu selesai ia menahan serangan dayung, mendadak saja tubuh pemuda itu berkelebat cepat, lima kali lebih cepat dari sebelumnya, membentuk segulungan bayangan biru yang mengurung lawan sambil melancarkan serangan-serangan aneh. 
Wuss ... ! 
Tentu saja hal ini membuat Kakek Nelayan Dari Laut Utara kaget bukan alang kepalang. Sehingga tanpa jeda, ia melontarkan puluhan Pukulan ‘Ombak Laut Utara’ menghujani kelebatan bayangan biru. 
Blamm! Blamm! Blamm! 
Meleset! 
“Kurang ajar! Cepat sekali dia bergerak!” pikirnya, dan kembali kakek itu melontarkan Pukulan ‘Ombak Laut Utara’ ke berbagai arah. 
Blamm! Blamm! 
Lagi-lagi meleset! 
Bagaimana pun juga, kondisi fisik kakek itu sudah jauh berkurang dari masa mudanya, hingga tenaganya merosot cukup banyak. Apalagi menghadapi pemuda buta yang gerakannya secepat kilat menyambar semakin menguras tenaga luar dalam. Sebentar saja, nafasnya sudah kembang-kempis. 
“Sekarang, giliran jurus 'Capit Kepiting Mengebor Batu' baru beraksi,” pikir si Jalu saat melihat kakek nelayan itu berhenti melontarkan jurus pukulannya. “Kakek ini harus kutaklukkan tanpa membunuh atau melukainya.” 
Jalu Samudra menggeser kaki kiri saling silang dengan kaki kanan mundur-mundur, sedang tongkatnya bergerak cepat membentuk bulatan mengerucut di depan. 
Wutt! 
Belum sempat Kakek Nelayan Dari Laut Utara bergerak menghindar, ujung tongkat sudah berada tepat sejarak dua jari dari leher lawan. 
Selebar wajah kakek itu langsung pusat pias! 
“Jika kau benar-benar berniat membunuhku, gampang sekali kau melakukannya, anak muda.” katanya sambil menghela napas. 
“Aku memang tidak berniat membunuhmu, Kek.” kata Jalu Samudra sambil menurunkan ujung tongkat hitamnya, “Kau kalah, Kek!” 
“Aku mengakui kekalahanku, anak muda!” sahut si Kakek Nelayan Dari Laut Utara. 
Meski termasuk golongan hitam, tapi Kakek Nelayan Dari Laut Utara termasuk orang yang kesatria, jika kalah ia akan mengaku kalah, jika ia menang dan lawan meminta ampun, dengan senang hati ia akan mengampuninya. Tapi jika lawan minta di bunuh, dengan senang hati pula ia akan membunuhnya. 
“Jika boleh kutahu, siapakah kau sebenarnya ini, anak muda? Siapa pula gurumu hingga bisa mendidikmu sehebat ini?” tanya Kakek Nelayan Dari Laut Utara. “Tentu saja selain guru bercintamu itu.” Tambahnya lagi sambil melirik pada Kumala Rani di kejauhan. 
“Maaf, Kek! Tadi saya cuma bercanda, kok.” ujar Jalu Samudra, malu hati, “Sebenarnya guruku adalah kakek nenekku sendiri yang bergelar Tombak Utara Tongkat 
Selatan, merekalah yang mengajari hingga bisa seperti ini.” 
Jalu memang tidak berbohong, sebab Tombak Utara Tongkat Selatan memang termasuk gurunya juga, guru pertama. Justru akan dianggap tukang ngibul jika ia mengatakan bahwa Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga adalah guru yang sebenarnya. 
“Pantas saja, sekilas aku melihat gerakmu kadang lentur seperti tombak, kadang kaku seperti tongkat. Tak tahunya mereka adalah kakek-nenekmu, anak ... “ 
“Jalu!” 
“Nak Jalu.” kata Kakek Nelayan Dari Laut Utara, “Baiklah, Jalu. Saya mohon diri! Sebelum berpisah, boleh kutahu nama gelar kehormatanmu?” 
“Gelar kehormatan?” tanya heran Jalu Samudra, “Kalau gelar kesayangan, saya punya, Kek.” 
Lagi-lagi kakek berdayung baja menghela napas dalam-dalam. 
“Pemuda ini tolol apa goblok, sih?” pikirnya. “Yach, gelar kesayangan bolehlah ... “ katanya kemudian. 
“Kekasih saya menamai Si Pemanah Gadis, Kek ... “ 
Tiba-tiba saja, pipi si kakek menggembung besar menahan tawa, tapi akhirnya justru meledak keras tanpa bisa di cegah! 
“Hua-hah-ha-ha, Si Pemanah Gadis ... Si Pemanah Gadis! Benar-benar gelar yang aneh!” sahut si kakek berdayung baja itu sambil berkelebat pergi, menuruni lereng Gunung Naga diikuti suara tawa keras bercampur dengan teriakan 'Si Pemanah Gadis' berulang-ulang. 
“Hemm, apa anehnya gelarku?” pikir si Jalu Samudra. 
-o0o- 
Bab 18 
Sementara itu, pertarungan dua tokoh tua juga terjadi di sebelah selatan, dekat dengan pintu gerbang Partai Naga Langit. Ki Gagak Surengpati sendiri sudah berjibaku dengan Maharsi Manikmaya. Pertarungan mereka justru berjalan lebih lambat daripada yang lainnya, tapi justru yang paling berbahaya dan paling menentukan hidup mati dua petarung tua ini. 
Debb! Debb! 
Desiran-desiran hawa sakti saling bentrok dan labrak hingga menimbulkan guncangan-guncangan dahsyat. 
Derr ... derrr ... !! 
Berkali-kali guncangan dahsyat terjadi, dan berkali-kali pula dua kakek itu kembali terseret ke belakang tiga-empat tombak jauhnya. 
Keduanya berimbang! 
“Tenaga dalammu boleh juga, Si Telapak Langit!” kata Ki Gagak Surengpati sambil menyusut darah di sudut bibirnya. 
“Kau terlalu memuji, Ki Gagak Surengpati! Tenaga tuamu juga tidak kalah kuatnya,” kata halus Si Telapak Langit sedikit bergetar. “Namun bagaimana pun juga, kejahatan tidak akan menang melawan kebaikan, lebih baik kau segera bertobat! Ingat dengan usiamu yang sudah tidak lama lagi,” lanjut Maharsi Manikmaya berkotbah. 
“Bah! Simpan saja kotbahmu di neraka, orang sial!” bentaknya sambil melontarkan jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’ dari arah kiri dan kanan. 
Dubb! Dubb! 
Dua larik cahaya kuning dari jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’ bila dihantamkan ke batu cadas akan hancur lumat seperti bubur, entah bagaimana jadinya jika mengenai tubuh manusia. Sulit sekali dibayangkan. 
“Hemmm ... jurus keji!” gumam Si Telapak Langit sambil mendorongkan sepasang telapak tangan dari atas ke bawah dengan pelan. 
Wutt! 
Sebentuk cahaya pijar keemasan berbentuk perisai yang berasal dari jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ melindungi diri sang Maharsi dari Kuil Langit dari serangan maut yang dilancarkan Ki Gagak Surengpati lewat jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’. 
Klang! Claang! 
Bukannya bunyi letupan seperti biasa, tapi nyaring bagai besi bertemu dengan baja. Rupanya saat melontarkan jurus bercahaya kuning, Ki Gagak Surengpati secara diam-diam melontarkan pula dua bola berduri yang beracun ganas menyertai jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’. Untunglah jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ yang digunakan oleh Maharsi sakti dari Kuil Langit bukanlah sembarang jurus, selain bisa membalikkan arah serangan lawan, juga bisa melindungi pemiliknya dari serangan senjata gelap lawan. 
Begitu mendapati serangannya berhasil dimentahkan lawan, Ki Gagak Surengpati tersentak. 
“Gila! Senjata rahasiaku malah mental balik,” pikirnya sambil memutar cepat dua pasang tangannya di depan dada. 
Srepp! 
Dua bola berduri bagai dimasukkan ke dalam kantong saat menyentuh telapak tangan laki-laki cabul itu. Begitu berhasil ditangkap kembali, sambil memutar badan untuk menambah daya luncur lagi-lagi Ki Gagak Surengpati melemparkan bola berdurinya di sertai jurus ‘Cakar Gagak Terkembang’. Kali ini jumlahnya puluhan kali lipat dari serangan pertama dan larikan cahaya kuning juga semakin membesar. 
Wutt! Wutt! Wutt! 
Klang! Claang! Crangg! Trakk! 
Kali ini, jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ harus bertahan dari serangan yang datang bagai hujan deras, bahkan Maharsi Manikmaya sampai-sampai menambah hawa tenaga dalam demi mempertahankan jurus saktinya. Puluhan kali serangan senjata gelap Ki Gagak Surengpati kandas dan mental balik ke pemiliknya, tapi berulang kali pula senjata maut itu bisa ditangkap dan digunakan kembali sebagai alat penyerang yang berbahaya. 
Wutt! Wutt! Wutt! 
Klang! Klang! Crangg! Trakk! 
Setelah dihantam ratusan bahkan mungkin ribuan kali, jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ akhirnya jebol. 
Krakk! Krakk! 
Terdengar retakan disana-sini, dan pada akhirnya ... 
Dhuaarr ... !! 
Begitu hawa tenaga dalam yang menopang jurus ‘Telapak Sakti Dewa Bertapa’ berada di titik puncak kemampuan, Maharsi Manikmaya tidak menarik tenaga, tapi justru melanjutkan hawa jurus yang sudah terpancar dengan jurus baru, 'Telapak Sakti Dewa Menjungkirkan Langit'! 
Blarrr ... jdarrr ... !! 
Puluhan senjata rahasia bola berduri hancur berkeping-keping. 
Meski berhasil menghancurkan jurus 'Cakar Gagak Terkembang', tak urung Maharsi Manikmaya harus menanggung akibat yang tidak sedikit. Tubuh Maharsi berilmu tinggi dari Kuil Langit terhumbalang ke belakang, berguling-guling di tanah hingga jubah pendeta miliknya kotor terkena debu. 
Brakk! 
Baru berhenti setelah menabrak sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, itu pun pada akhirnya pohon itu juga ikut tumbang, berderak roboh di bagian tengah. 
Brukkk ... ! 
Maharsi sakti segera bangkit dengan darah kental keluar dari mulut. Kali ini luka dalam yang diderita sang Maharsi Manikmaya terhitung parah. Terlebih lagi di lengan kiri tertancap satu buah bola berduri, meski hanya masuk setengah saja. 
“Ya Dewa ... Ilmu Ki Gagak Surengpati benar-benar pilih tanding! Jika hari ini aku tidak mengenyahkan bibit angkara, aku tidak tahu bencana apa lagi yang akan diderita umat manusia,” kata hatinya sambil mengalirkan 
hawa murni ke seluruh tubuh, berusaha mengurangi rasa sakit dan rasa tertusuk-tusuk duri di dalam dada. 
“Senjata gelapnya beracun cukup ganas.” pikirnya setelah ia mengetahui bahwa akibat jejak luka di lengan kiri mengeluarkan bau bangkai saat teraliri hawa murni. 
Sedang kondisi Ki Gagak Surengpati tak kalah parahnya dengan Maharsi Manikmaya. Tubuhnya terkapar bersimbah darah dimana puluhan bola berduri hampir memenuhi seantero tubuh. Untunglah ia sebelumnya telah menelan penawar racun, sehingga terhindar dari kematian, namun efek dari adu tenaga dalam tetap di derita. Ki Gagak Surengpati dengan tertatih-tatih bangkit berdiri sambil menghentakkan tenaga sakti. 
“Heaaa ... !!” 
Plukk .... pluukk ... ! 
Bola-bola berduri terlepas dan berjatuhan dari tubuhnya. Memang yang namanya adu tenaga dalam akan mengakibatkan salah satu atau kedua-duanya bisa mengalami luka dalam yang acap kali merenggut nyawa. Sebenarnya hal ini diketahui betul oleh Ki Gagak Surengpati, tapi untuk menghadapi manusia sekelas tokoh dari Kuil Langit, mau tidak mau ia harus menggabungkan kekuatan hawa murni dengan senjata gelapnya. Andai cuma beradu jurus saja, bisa memakan waktu tiga hari tiga malam tanpa henti. 
“Setan keparat! Minggat kemana nelayan tua itu?” kata hatinya sambil mengatur napas dalam-dalam. “Jika cuma mengandalkan Dewi Cabul Teratai Merah dan Gagak Setan Tangan Seribu, tak bakalan mungkin bisa melibas Partai Naga Langit. Menghadapi pendeta botak ini saja 
hanya berjalan seimbang. Lagi pula, murid-muridku sudah pada tergeletak mati. Benar-benar brengsek!” 
Setelah melihat bahwa tidak ada kemenangan yang bisa diraih di Partai Naga Langit, Ki Gagak Surengpati berniat melarikan diri dari arena pertarungan. 
Tentu saja niat licik tukang nujum itu diketahui oleh Maharsi Manikmaya. 
“Apakah kau mau lari dari sini, sobat?” sindir Si Telapak Langit. 
“Lari? Huh! Tidak ada kata 'lari' dalam hidupku! Aku hanya ingin memperpanjang sedikit saja umurmu agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu di Kuil Langit sana,” elak Ki Gagak Surengpati. 
Bersamaan dengan itu, Gagak Setan Tangan Seribu mengalami nasib yang tidak kalah mengenaskan dengan gurunya. 
Bahkan lebih buruk lagi! 
Si Gagak Setan Tangan Seribu secara mendadak mendorongkan sepasang tangannya ketika tubuh besarnya hampir mengenai tanah hingga tubuhnya melentik di udara, ia bersalto ke belakang Dewa Kaki Kilat sambil mengeluarkan tendangan ke arah belakang kepala lewat jurus 'Kaki Seribu Mencabut Nyawa'! 
Whutt!! 
Dewa Kaki Kilat menundukkan kepala, kemudian bersalto ke depan sambil mengeluarkan jurus tendangan ke arah pangkal paha belakang lawan. Dalam gerak lambat sungguh tampak indah. Posisi kepala Dewa Kaki Kilat berada di bawah, sementara tumit kaki kanannya mengarah ke pangkal paha sebelah belakang lawan. 
Wutt! Jduaaakkk ... !! 
Jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ Dewa Kaki Kilat masuk telak! 
Si Gagak Setan Tangan Seribu bersalto ke belakang beberapa kali mengikuti daya tendangan Dewa Kaki Kilat untuk mengurangi akibat jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’. 
Wutt! 
Dewa Kaki Kilat sengaja tidak mengejar lawan, ia ingin melihat dampak tendangan yang barusan dihasilkan. Kaki kanan Gagak Setan Tangan Seribu yang terkena tendangan tampak meleset tulangnya, ia berdiri terseok-seok. Wajah jelek si mata satu kembali menyeringai menahan sakit, ia menarik nafas sebentar untuk mengurangi rasa ngilu akibat tulangnya meleset dari persendian. 
“Kau tidak akan menang adu jurus tendangan denganku, Gagak Setan!” kata Si Dewa Kaki Kilat. “Cukuplah jika kakinya patah, setidaknya ia takkan bisa lagi menyerangku,” pikirnya. 
“Brengsek, jurus tendangannya cepat juga,” gumam si Gagak Setan Tangan Seribu, “ ... terpaksa ilmu milik leluhur yang selama ini aku rahasiakan, harus kukeluarkan juga.” 
Ia menarik napas sebentar mengatur tenaga, lalu menjejakkan kaki kanannya di udara sebentar, terdengar suara keras. 
Kraaakkk!! 
Kaki kanannya kembali normal seolah tak pernah terkena jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ milik Si Dewa Kaki Kilat. 
Ki Jliteng terhenyak kaget, “Itu ... jurus 'Sambung Tulang Dan Sendi' dari Aliran Pulau Hantu!” 
Hampir tak mungkin rasanya, jika ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi' yang terkenal kehebatannya bisa menyambung segala jenis tulang patah dan remuk yang konon sudah punah, kini justru terpampang di depan mata. Ia menyaksikan sendiri kehebatan ilmu ini. 
Dampak jurus ’Tendangan Tumit Pemecah Batu’ yang dilancarkannya tadi tidaklah main-main. Meski hanya sepertiga dari tenaga dalam yang dipergunakan, kalau mengenai orang biasa, pastilah kaki itu sudah patah total. Tetapi si Gagak Setan Tangan Seribu berhasil mengurangi dampak tendangan itu dengan cara mengikuti tenaga tendangan dan ia bersalto beberapa kali ke belakang tadi dan mengembalikan persendian dengan ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi'! 
Bab 19 
“Rupanya kau kenal juga dengan leluhurku, manusia tanpa tangan!” 
“Huh, aku tidak yakin bahwa ilmu 'Sambung Tulang Dan Sendi' yang kau kuasai benar-benar sempurna!” kata Ki Jliteng yang bergelar Si Dewa Kaki Kilat yang tersohor lewat Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ meradang. 
Dengan tiba-tiba Si Dewa Kaki Kilat bergerak sangat cepat melayangkan tendangan kaki kanan ke arah ulu hati lawan. 
Wuttt!! 
Gagak Setan Tangan Seribu melompat ke kiri bersamaan dengan arah tendangan ke arah sambungan lututnya. 
Wett!! 
Meleset! 
Sungguh di luar dugaan. Gagak Setan Tangan Seribu sanggup membuat gerak hindar yang sangat cepat. 
Tenaga dari tendangan yang tidak tepat sasaran tadi dimanfaatkan Dewa Kaki Kilat untuk mengangkat tubuhnya, dan di udara ia berputar melayangkan tendangan dengan kaki kirinya mengarah ke ulu hati lagi. Kali ini jurus ‘Naga Api Terbang Menendang Rembulan’ diulang untuk kedua kalinya oleh Ki Jliteng. 
Wuss!! 
Tubuhnya melayang, tendangan dilayangkan menuju ulu hati dengan gerakan tendangan berputar cepat laksana kilat. 
Weess ... !! 
Serangan kilat itu sulit dihindari oleh laki-laki tinggi besar bermata satu. Segera saja nafas ditarik dalam-dalam. Begitu tendangan Si Dewa Kaki Kilat masuk, meski masih sempat terhalang dengan ke dua tangan sarat hawa pelindung agar tidak menyentuh ulu hati. 
Jderr ... !!! 
Tubuh Gagak Setan Tangan Seribu terlempar beberapa tombak, seperti sebuah kapas yang terhembus angin, tubuh itu terlempar dengan memanfaatkan tenaga dari tendangan maut lawan. 
“Sungguh hebat tendangan si tanpa tangan ini.” batinnya. “Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa mati mengenaskan!” 
Belum lagi sempat bernafas, ia bersalto beberapa kali menuju ke arah Gagak Setan Tangan Seribu, dan sebuah tendangan yang disertai angin deras menuju ke arah leher. 
Weeesssss!! 
Gagak Setan hanya bisa bergulingan menghindar ke kiri. Tendangannya yang tidak tepat sasaran terus membentur mengenai tanah keras. 
Blarrr ... !!! 
Tanah mengeluarkan asap sedikit mengepul, dan terlihat ada bekas kaki melesak ke dalam. Memanfaatkan tenaga benturan itu, kembali ia melayangkan tendangan berputar, mengangkat kaki kirinya dari atas dan dihunjamkan sekali lagi tepat ke arah ulu hati. Lagi-lagi tujuannya cuma ulu hati saja. Jurus ‘Naga Api Terbang Menendang Rembulan’ dilancarkan kembali oleh Si Dewa Kaki Kilat. 
“Gila ... !” pekik Gagak Setan Tangan Seribu tanpa sempat nafas. 
Angin panas berdesir mengikuti arah tendangan kakinya, sekali lagi dengan sedikit kewalahan ia bergulingan ke kanan menghindari tendangan itu, sambil menekankan dua tangan di permukaan tanah dan bersalto beberapa kali menjauh dari jangkauan rentetan serangan kaki dari Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ dari Si Dewa Kaki Kilat. 
Jleg! 
Tanpa mau kehilangan buruan, kembali dikejarnya lawan. Beberapa kali tendangan di arahkan ke ulu hati, leher, dan termasuk pula jurus ‘Kera Hutan Mengincar Buah’ mengarah selangkangan dan titik-titik lemah tubuh lainnya, seolah serentak dilakukan tanpa jeda. 
Brakk! Brukk! Krakk! 
Entah berapa puluh tendangan mendarat telak di tubuh Gagak Setan Tangan Seribu. Meski dilindungi dengan tenaga luar dalam tingkat tinggi, tetap saja tubuh besar itu bagai dihantam ribuan palu godam panas membara secara beruntun, dan pada akhirnya, sebuah tendangan ke arah belakang kepala mengakhiri penderitaan Gagak Darupaksa untuk selama-lamanya. 
Prakk ... ! 
Kepala mantan bajak laut itu pecah diikuti dengan ceceran cairan otak dan darah merah berhamburan. 
Brughh! 
Bersamaan dengan tewasnya Gagak Setan Tangan Seribu, Ki Gagak Surengpati terlempar akibat adu tenaga dalam dengan Si Telapak Langit. 
“Muridku ... “ seru Ki Gagak Surengpati saat mengetahui murid kesayangannya tewas mengenaskan. 
Bersamaan dengan tewasnya Gagak Setan Tangan Seribu, sebuah jerit lengking terdengar keras. 
Jerit penderitaan Kumala Rani! 
“Aaaakh ... “ 
“Mampus kau, Cah Ayu!” seru Dewi Cabul Teratai Merah saat beradu tapak tangan dengan Kumala Rani. “Kali ini ... seluruh kecantikan dan kemolekan tubuhmu akan menjadi milikku selamanya, hi-hi-hik ... “ 
Sebentuk cahaya hijau tua berpendar-pendar dan bergaris-garis menjalar keluar masuk ke dalam tubuh Kumala Rani secara bergantian. Gadis berbaju kuning gading merasakan seluruh jaringan otot dan darah dalam tubuhnya bagai berlomba-lomba keluar dengan paksa, termasuk pula hawa murni mengalir keluar dengan deras bagai bendungan jebol. 
Rupanya Dewi Cabul Teratai Merah berniat menyedot segala apa yang dimiliki gadis cantik berbaju kuning gading. Kulit putih, wajah cantik jelita, dada membusung kencang dan segala apa yang dimiliki oleh Kumala Rani ingin dimilikinya semua, tanpa peduli bahwa apa yang dilakukannya merupakan perbuatan biadab, dan ia menggunakan ilmu sesat yang paling dikutuk kaum rimba pendekar. 
Ilmu 'Serap Sukma'! 
Ilmu yang bisa menyerap kemurnian seorang gadis hingga kering kerontang dan raganya berubah seperti nenek tua renta menjelang ajal. 
Srasss ... srashh ... ! 
Penderitaan Kumala Rani sungguh tidak terkira. Sedikit demi sedikit tubuhnya mengeriput, kulit menjadi kusam, pipi kempot dan segala apa yang dimilikinya seolah berpindah kepemilikan. 
Semua menyusut, termasuk pula nyawa si gadis! 
Semua yang ada di tempat itu terpana melihat hamparan ilmu sesat yang digunakan oleh si nenek berbaju merah. Semua terpaku diam, tidak tahu apa yang mesti diperbuat untuk menolong gadis cantik yang sebentar lagi kehilangan pesona kehormatan sebagai seorang dara ayu. 
Dewi Cabul Teratai Merah betul-betul menikmati penderitaan Kumala Rani. Di saat si gadis sedang menggeliat-geliat meregang nyawa, si nenek justru tersenyum penuh kemenangan. Sedikit demi sedikit tubuhnya berubah. Jika pada awalnya ia hanya cantik biasa-biasa saja, kini jadi luar biasa cantiknya. Tubuh bagus, mata lentik, hidung bangir, dada kencang, tinggi langsing dan rambut hitam legam bagai dicurahkan semua ke tubuh Dewi Cabul Teratai Merah. 
Benar-benar ilmu sesat yang luar biasa! 
“Sempurna ... sempurna ... ! Tubuhku benar-benar sempurna!” serunya dengan suara merdu. 
Tiba-tiba sebuah teriakan keras membahana memecah suara merdu Dewi Cabul Teratai Merah, menimbulkan getaran-getaran dahsyat di bumi. 
“Nenek keparat! Lepaskan kekasihku!” 
Sebuah raungan keras bagai naga mengamuk, diikuti dengan sambaran kilat kuning kebiru-biruan membentuk hawa naga dengan mulut terbuka lebar mengarah Dewi Cabul Teratai Merah. 
Hroaagghhh ... ! 
Blammm ... ! Blamm ... ! 
Dewi Cabul Teratai Merah yang sedang asyik-asyiknya menyedot inti sari kehidupan Kumala Rani bagai diterkam sebentuk naga murka hingga menimbulkan dentuman keras dan tanah membuncah, semburat ke mana-mana. 
Begitu luruhan tanah sirap, terlihat Jalu Samudra sedang membopong tubuh renta Kumala Rani! 
Rupanya, saat mendengar jerit penderitaan kekasihnya, pemuda bertongkat hitam ini sempat dibuat 
terpana, tapi akhirnya ia tersadar saat mendengar suara tawa kemenangan nenek baju merah. Dan yang lebih membuatnya naik pitam, tubuh nenek itu sedikit demi sedikit menyerupai bentuk tubuh dan wajah kekasihnya. 
Sosok tubuh gadis yang dicintainya! 
Hingga tanpa bisa dicegah lagi, tapak tangannya berkelebat cepat melontarkan salah satu jurus maut dari '18 Jurus Tapak Naga Penakluk' (Xiang Long Shi Ba Zhang) yang bernama 'Naga Meraung Menyesal' (Kang Long You Hui)! 
Dewi Cabul Teratai Merah terpental dengan luka dalam parah. Dadanya bagai dihantam sebuah kekuatan raksasa, menggedor keras tanpa sempat melakukan aksi perlawanan. Saat tangan kiri mendekap dada kanan, darah kental berleleran sudah membasahi bibir dan baju merahnya. Nenek cantik yang kini berubah sama persis dengan Kumala Rani tersenyum tipis saat mengetahui bahwa yang menyerang dirinya ternyata seorang pemuda tampan meski bermata buta. Pemuda berbaju biru terlihat membopong tubuh Kumala Rani yang kini tinggal tulang pembalut daging. 
Benar-benar mengenaskan! 
“Kau akan merasakan Ilmu 'Serap Sukma'-ku pemuda tampan,” pikirnya, “Kau akan jadi kuda binalku yang perkasa, hi-hi-hik!” 
Tunggu punya tunggu, tidak terjadi apa-apa pada pemuda itu. Mukanya tetap kelam membesi, tidak merah seperti seperti pemuda yang diamuk birahi. 
Tentu saja Dewi Cabul Teratai Merah tercekat. 
“Kau ... kau ... siapa?” tanyanya sambil bangkit berdiri terhuyung-huyung. “Kenapa kau ... tidak mempan ... terhadap ilmuku?” 
Pemuda berbaju biru hanya diam seribu bahasa. Rasa penyesalan teramat sangat menggelayuti jiwa. Tiba-tiba saja, tubuh si pemuda bergetar, seperti menahan suatu guncangan dahsyat yang bergejolak dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu pula, tiba-tiba di langit meloncat bunga api warna-warni tanpa suara. 
Crakkk ... crakkk ... !! 
Entah bagaimana caranya, tubuh Jalu Samudra mengeluarkan percikan-percikan bunga api warna-warni, seperti kilat yang berloncatan di langit dibarengi pula dengan suhu udara yang mendadak berubah panas membara bagaikan matahari diturunkan di atas kepala. 
Crakkk ... crakkk ... !! 
Fenomena itu hanya berlangsung sekejap, tapi sudah membuat perubahan yang menakjubkan. Tubuh Jalu serta Kumala Rani yang ada dalam pondongan diselimuti loncatan bunga api sejumlah sembilan warna, mengitari tubuh mereka berdua, bagaikan mengikatnya menjadi satu. 
Tentu saja kejadian tak masuk akal ini sangat mengejutkan semua orang yang ada ditempat itu, termasuk Suro Keong dan Suro Bledek-lah yang paling terkejut. 
“Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan!” desis Suro Keong. 
“Seperti itukah yang kau maksud dengan ilmu langka legendaris itu?” tanya Suro Bledek berdecak kagum. 
“Benar!” sahut Suro Keong, dengan mata tidak beralih dari sosok Jalu, “Rupanya Jalu-lah orang yang berhasil menguasai ilmu itu.” 
Semua percakapan dua sobat karib tentu terdengar oleh semua orang. 
Si Telapak Langit dan Dewa Kaki Kilat berdecak kagum dengan keberuntungan si pemuda. 
Pedang Naga Perkasa dan istrinya bahkan sampai lupa berkedip melihat satu bentuk hamparan ilmu sakti paling langka di rimba persilatan. 
Tujuh Dewa Catur sendiri yang sangat menyukai segala macam ilmu kesaktian, sampai geleng-geleng kepala melihat seorang pemuda belia yang tidak terkenal sebegitu beruntungnya bisa memiliki ilmu yang konon kabarnya tanpa tanding sejagad. Dari sesepuh perguruan mereka pernah berkata, barang siapa bisa menguasai Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan dengan sempurna, secara tidak langsung menjadi pendekar nomor satu rimba persilatan. 
Sementara itu, Ki Gagak Surengpati begitu terkesima, hingga tanpa sadar jerit sedih karena kematian Gagak Setan Tangan Seribu musnah berganti dengan rasa heran. 
“Itu ... ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’!” katanya, lalu dengan suara sedikit keras, ia menyambung, “Ilmu nujumku kali ini benar-benar tepat! ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ benar-benar muncul di Partai Naga Langit!” 
Tentu saja kata-kata Ki Gagak Surengpati tentang ilmu yang paling diburu kaum rimba persilatan membuat para pendekar yang ada di tempat itu terhenyak kaget sambil bertanya-tanya dalam hati, benarkah Ilmu ‘Tenaga Sakti 
Kilat Matahari’ adalah sama dengan ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’? 
Tidak ada yang bisa menjawabnya! 
Jalu Samudra sendiri dalam puncak kemarahannya dengan tidak sengaja mengerahkan kekuatan dari sepasang buah Naga Kilat dan Bibit Matahari yang sudah bersatu jiwa dan raga dengannya. 
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan! 
Tiba-tiba saja, Jalu berteriak keras, “Nenek keparat! Kembalikan milik kekasihku!” 
Suara Jalu menggema di antara celah tebing yang jaraknya ratusan tombak, bahkan pelataran Partai Naga Langit berguncang hebat seperti dilanda gempa bumi skala besar, termasuk beberapa bangunan roboh akibat tidak kuat menahan daya guncangan tersebut. 
Dewi Cabul Teratai Merah pontang-panting menyeimbangkan diri. 
“Edan! Pemuda itu telah gila!” pekiknya. 
Tiba-tiba saja, mata kiri Jalu Samudra mengeluarkan kilat berwarna putih perak berpijar sedang mata kanan mengeluarkan kilat berwarna hijau keemasan dan langsung menyambar Dewi Cabul Teratai Merah. 
Sratt! Sratt! 
Blaamm ... blamm ... ! 
Tubuh wanita yang serakah terhadap kecantikan ragawi langsung hancur lebur. Menyerpih lembut seperti debu tertiup angin. Sampai-sampai tempat berdirinya nenek berbaju merah membentuk kawah yang lebar dan dalam. 
Mati tanpa bentuk utuh! 

ooOOOoo