Wisanggeni Bag. 05


Pagi itu embun masih bergayut di udara. Hawa dingin pegunungan menusuk sampai tulang sumsum. Di lapangan terbuka di depan pintu gerbang perguruan Mahameru di situ tersehat puluhan tenda tempat nginap para tamu undangan. Bahkan mereka yang tak diundang, asalkan punya nama yang cukup dikenal akan diberi tempat nginap di tenda.

Puluhan tenda diatur dalam lingkaran berlapis. Di tengah lingkai.m sebuah tanah lapang dikosongkan, untuk arena tarung. Tenda-tenda yang berada di lingkaran dalam, di pinggir arena tarung disediakan bagi perguruan besar dan pendekar perorangan yang punya nama besar. Tenda-tenda itu terdiri tiga macam ukuran, yang paling bcsa i untuk rombongan yang anggotanya banyak. Tenda ukuran sedang untuk rombongan yang sedikit anggotanya. Selain itu disediakan tenda kecil untuk satu atau dua pendekar perorangan.

Pagi itu semua tenda sudah terisi. Suasana sunyi dan sepi. Para pendekar duduk di luar tenda menghadap gelanggang. Mereka memperlihatkan wajah yang tegang. Tak ada yang bicara apalagi tertawa. Kalaupun ada yang bicara dengan rekannya, dilakukan dengan suara rendah dan bisik-bisik.

Terdengar suara trompet tanduk. Semua mata memandang ke pintu utama perguruan Mahameru. Dari situ keluar beberapa orang dengan langkah tegas menuju sebuah tenda paling besar dan yang mencolok warnanya. Itu tenda tuan rumah, perguruan Mahameru yang terkenal.

Seorang bertubuh tinggi besar berjalan paling depan.

Dialah ketua perguruan Mahameru, pendeta Macukunda yang kesohor. Empat pengawal dengan langkah jumawa mengiringi dari belakang. Mereka saudara perguruan sang ketua, Antasena, Rawaja, Bragalba dan Matangkis. Di belakang empat orang ini, delapanbelas murid angkatan pertama melangkah dalam barisan yang tidak teratur. Begitu tiba di depan tendanya Macukunda memberi hormat kepada semua tamu kemudian duduk di kursi yang disediakan. "Selamat datang semua tamu. Maaf kalau beberapa hari ini sampean semua tidak dilayani dengan baik. Maklum banyak orang yang hadir, melebihi perkiraan, dan kami tak punya makanan. Sekali lagi aku mohon maaf, jika ada kekurangan selama berada di Mahameru. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengan begini banyak pendekar yang sudi berkunjung atas undangan aku yang rendah."

Ia berhenti sejenak, memandang semua tamu, tatapannya berwibawa. "Semua pendekar di tanah Jawa mengetahui adanya tantangan dari para pendekar daratan Cina. Mereka nantang adu ilmu silat, lima jago Cina lawan lima jago tanah Jawa. Nah, untuk itulah aku mengundang sampean semua, untuk sama-sama kita memilih lima jago kita yang akan mewakili gengsi tanah Jawa menghadapi pendekar Cina."

Suara pendeta Mahameru tidak keras namun semua mendengarnya jelas. Bisa menjangkau jarak jauh namun tidak memantulkan suara Wisang Geni berbisik pada Wulan dan Sekar yang duduk di sampingnya "Hebat tenaga dalam pendeta itu."

Terdengar suara tertawa "Sudah jelas, salah satu dari lima jago adalah pendeta Macukunda. Siapa sanggup menghadapi jurus Brahmanagrha hanya bisa dihitung dengan jari. Setelah Lemah Tulis tak terdengar lagi, perguruan Mahameru boleh dibilang kini tak ada tandingan. Aku pastikan pendeta Macukunda sudah terpilih, tetapi sisa yang empat orang harus diadu! Siapa paling jago, dia boleh mewakili tanah Jawa!"

Semua orang memandang lelaki pembicara itu. Dia lelaki kekar bercambang, baju dan ikat kepalanya serba merah.

Sesaat kemudian seorang lelaki botak berteriak, "Aku tak setuju dengan Jayawikata Aku tidak ragu akan kehebatan pendeta Macukunda, tetapi lebih adil jika semua orang ikut tarung. Lebih banyak peserta kan lebih seru!" Di sana sini terdengar suara bisik-bisik. Rupanya orang terpancing untuk memilih satu dari dua usulan tadi. "Tidak usah khawatir, dan memang supaya adil, aku setuju dengan usul Ki Sawung, kebetulan aku sudah lama ingin mendapat lawan tarung," tukas Macukunda.

Seorang wanita tua bangkit dari duduk. "Sebelum adu ilmu silat dimulai sebaiknya kita tentukan aturan mainnya. Aku usul, seorang pendekar yang sudah memenangkan pertandingan maka dia memperoleh hak istirahat. Ia boleh istirahat atau jika ia mau boleh saja tarung terus. Sebab tidak mungkin seorang itu bertarung terus, lagipula lawan bisa memanfaatkan tenaganya yang sudah terkuras dan lelah."

"Bagus, bagus aku setuju usul Nyi Pujawati. Itu usul bagus.

Kutambahkan lagi, pertarungan harus satu lawan satu dan bebas. Siapa terbunuh tidak perlu disesali, hitung-hitung ilmu silatnya yang dangkal."

Wulan berbisik kepada Geni, "Dia itu Sempani!" Mendengar itu Geni mengepal tinjunya. Sudah dua lawan yang dipergokinya di sini, Jayawikata dan Sempani. Dua orang ini bertanggungjawab atas pembantaian di Lemah Tulis. Hutang nyawa bayar nyawa!

Peraturan tarung telah disepakati bersama. Tarung bebas dengan menggunakan senjata apa saja, tak ada batasan.

Keroyokan pun boleh jika lawan tidak keberatan. Siapa menang, ia boleh istirahat. Lawan yang kalah dan meninggalkan gelanggang tidak boleh dikejar. Lawan yang sudah menyerah tak boleh dibunuh. Harus memilih lawan sepadan, seangkatan dan sederajad. Dan untuk menyingkat waktu agar tidak sembarang orang masuk arena maka hanya pendekar undangan yang boleh masuk arena menantang.

Sebagai pimpinan pertemuan, Macukunda berhak menghentikan pertarungan apabila dianggap perlu.

Seorang lelaki berusia empatpuluh tahun lompat ke tengah arena, ia memutar sepasang pedang pendek. "Aku Sindu dari Ujung Pangkah, aku menantang Kalabendana si licik dari kuburan Gondomayu Hayo Kalabendana keluar kamu, jangan sembunyi di balik jubah gurilmu. Hayo keluar, hadapi aku!"

Terdengar tertawa keras. Sesosok bayangan berkelebat masuk arena, "Sindu kamu cari mati! Dulu kamu kulepas agar usiamu panjang tetapi kamu sendiri yang memperpendek ilmumu." Tanpa basa-basi Sindu menyerbu Kalabendana.

Keduanya bertarung rapat. Sindu bersenjata pedang pendek. Kalabendana menghadapinya dengan keris luk tujuh.

Pertarungan imbang. Sampai jurus limapuluh Sindu di atas angin. Kalabendana keteter. Pundaknya berdarah kena sabet pedang pendek. Beberapa jurus berikut paha Kalabendana tertusuk. Kalabenda kritis. Gerakannya tidak leluasa, ia pincang di lengah serangan gencar Sindu. Mendadak Sindu limbung. Permainan pedangnya kacau. Mendadak Macukunda berseru, "Kalayawana hentikan ilmu Begananta itu, kamu telah berbuat curang!"

Ketika itu di tengah gelanggang terjadi perubahan besar.

Sindu melepas pedangnya dan membekap telinganya. Keadaannya aneh. la bukan hanya terdesak bahkan jiwanya terancam. Meski pincang namun keris Kalabendana sigap mencari lubang kematian di tubuh Sindu. Tiga tusukan makin membuat pendekar Ujung Pangkah itu limbung. Tusukan keempat, Sindu jatuh terduduk. Tubuhnya bersimbah darah. Macukunda meledak marahnya. "Kalayawana! Kamu berani mengaco pertemuan yang kuselenggarakan!"

Terdengar suara tawa yang datang dari kemah yang berada di lingkaran dua. Seorang lelaki tua kurus kering dan tirus. Dia Kalayawana! "Ah Macukunda, tak perlu sampai marah. Aku tak melanggar aturan, tadi aku cuma tertawa dan kebetulan ilmu Begananta keluar begitu saja. Lagi pula kan tak ada aturan yang melarang orang tertawa, iya kan?"

Macukunda terdiam. Kalayawana benar, memang tak ada aturan yang melarang seseorang dari luar gelanggang membantu rekannya yang sedang tarung. Tak ada aturan melarang ia membantu muridnya dengan tertawa dari luar gelanggang. Dua anak murid Mahameru melompat ke dalam arena menggotong mayat pendekar Ujung Pangkah itu.

Kalabendana melompat keluar arena sambil berseru, "Aku mau istirahat dulu."

Seorang lelaki botak, Tongkat Besi dari Gunung Limas menerobos arena menantang Kebo Bantala. Pertarungan berlangsung imbang dan ketat, tongkat besi lawan golok. Setelah tarung puluhan jurus, Kebo Bantala berhasil melukai dada lawan Darah mengucur dan lukanya tetapi Tongkat Besi tak mau menyerah. Makin lama k makin melemah, di pihak lain Kebo Bantala tak mau turun tangan kejam. Akhirnya Macukunda memerintah adik perguruannya melerai perkelahian.

Pertarungan berlanjut. Ada perkelahian lantaran dendam, ada yang memang ingin adu kepandaian semata. Waktu berjalan cepat. Matahari makin condong ke barat dan para pendekar yang masuk gelanggang makin lihai. Pendekar yang bertarung makin terpilih dan makin sedikit.

Dari tadi Wisang Geni duduk terpaku. Tanpa disadarinya matanya sering memandang ke dua tempat, tenda Jayawikata dan Sempani. Dilihamya seorang lelaki menghampri Sempani. Meski agak jauh tetapi Wisang Geni bisa mengenalinya. Dia Lembu Agra, rupanya murid pengkhianat itu baru muncul.

Sekonyong-konyong Sempani masuk gelanggang. Ia bertolak pinggang. Suaranya bening dan lantang. "Aku Sempani dari Tanjung Ligit, aku punya hutang piutang darah dengan Padeksa, maka aku menantang Padeksa dari Lemah Tulis, ayo cepat keluar, kita bikin perhitungan, kamu atau aku yang mati!"

Wisang Geni berkata lirih, "Bangsat, pasti pengkhianat itu yang memberitahu keadaan guru yang belum sehat." Lalu kepada Padeksa ia berkata dengan nada khawatir. "Guru, kamu tak boleh masuk, biar aku saja, sekalian kulunasi hutang darah Lemah Tulis."

Suara Sempani terdengar lagi. "Mana Padeksa? Kenapa tidak berani keluar, apa kamu sudah tak punya kehormatan lagi?"

Wisang Geni dan rombongan, serba salah. Tak mungkin Padeksa masuk gelangang dalam keadaan tubuh belum pulih, sama dengan mengantar nyawa percuma. Waning Hyun menghampiri Geni, ia berbisik halus. "Kalau aku menolongmu sekarang ini, apa terhitung kamu berhutang budi padaku, suatu saat aku akan minta tolong padamu maka kau harus bersedia, ya atau tidak?"

Wisang Geni memandang Waning Hyun dengan penuh tanda tanya. Tetapi ia tak punya pilihan. Geni mengangguk. Waning Hyun bertanya lagi, "Kamu yakin bisa mengatasi Sempani?" Sekali lagi, Geni mengangguk mantap.

Tak ayal lagi Waning Hyun berteriak. Suaranya nyaring namun cukup jelas didengar semua orang. "Hai Sempani, kamu belum berharga untuk menantang Ki Padeksa. Semua orang tahu kamu adalah penjahat cabul, pemerkosa, mana bisa disejajarkan dengan Ki Padeksa. Satu syarat dan aturan tarung di sini adalah sepadan. Kau tidak sepadan dengan Ki Padeksa. Kamu orang jahat, penjahat cabul, dan entah apalagi kejahatanmu. Sedang Ki Padeksa adalah orang jujur yang selalu menjaga kehormatannya."

Orang-orang yang mendengar ucapan Hyun tertawa keras. Riuh tawa itu membuat Sempani meluap amarahnya. "Jangan banyak bacot, bilang saja Padeksa takut. Itu saja yang aku perlukan bahwa Padeksa tidak punya kehormatan. Biar semua orang tahu kini bahwa Lemah Tulis memang sudah tak punya kehormatan lagi. Ayo Padeksa, keluar kau!"

Waning Hyun berteriak lagi, "Sempani goblok, aku sudah katakan bahwa Ki Padeksa itu tidak sepadan dengan kamu. bukan karena takut tetapi ia merasa jijik berhadapan denganmu Begini saja, biar muridnya saja yang tarung lawan kamu. Sebenarnya ia juga tidak sepadan dengan kamu, ia masih perjaka dan belum kawin, tetapi kamu, toh semua orang tahu kelakuan penjahat cabul macam Sempani si pendekar gadungan."

Bagaikan kebakaran jenggot saking marahnya, Sempani berteriak, "Mana dia, biar muridnya dulu yang kupatahkan batang lehernya, nanti baru menyusul gurunya. Mana dia?"

Waning Hyun tertawa nyaring. "Jangan-jangan tangan dan kakimu yang patah."

Sempani teriak lagi, suaranya mengguntur. "Mana dia?"

Wisang Geni berdiri. Ia melirik Wulan dan Sekar. Ia mengucap terimakasih kepada Waning Hyun. Tak lupa ia mohon diri pada Padeksa. Dua perempuan itu, Wulan dan Sekar hampir berbareng mengingatkan agar hati-hati.

Pada saat itu sesosok bayangan berkelebat. Orang hanya merasa kesiuran angin, tahu-tahu di tengah gelanggang telah berdiri seorang lelaki jangkung dan tampan dengan jubah hijaunya bergerai ditiup angin. Dialah Manjangan Puguh. Ia memberi hormat kepada Macukunda. "Maaf, aku terlambat datang karena ada yang harus kukerjakan."

Macukunda berdiri membalas hormat. "Ho, ho, ho, kau sudah datang, merupakan kehormatan bagiku, Ki Manjangan Puguh, silahkan kamu istirahat dulu." Sambil ia memerintah dua anak muridnya untuk mengantar Manjangan Puguh.

Manjangan Puguh menoleh pada Sempani. "Maaf Ki Macukunda, sudah bertahun-tahun aku mencari orang ini yang namanya Sempani, ia tak boleh tarung dengan siapa pun , ia harus membayar hutang darah padaku!"

Berkata demikian Manjangan Puguh langsung menyerbu Sempani dibuat kalang kabut menangkis. Dalam gelanggang tarung terjadi perkelahian sengit. Macukunda berteriak keras. "Ki Manjangan kuharap dengan segala hormat, pandanglah mukaku, jangan merusak jamuanku, semua pertarungan harus ada tata kramanya. Hentikan dulu amarahmu Ki."

Bersamaan dengan itu empat pendekar yang dari tadi berdiri di belakang Macukunda melesat ke dalam gelanggang. "Tahan!"

Manjangan Puguh menghentikan serangannya Tadi orang hanya melihat bayangan berkelebat mengurung Sempani.

Tahu-tahu bayangan itu hilang dan Manjangan Puguh terlihat berdiri tenang lima tombak dari Sempani yang masih kalang kabut menangkis. Hebat gerakan Manjangan Puguh. Sebagian orang meleletkan lidah, kagum, melihat ilmu ringan tubuh yang begitu tinggi

"Benar-benar nama Manjangan Puguh bukan nama kosong." Hanya itu yang diucapkan empat pendekar Mahameru itu. Selanjutnya mereka diam menanti perintah Macukunda.

"Apa maksudmu Ki Macukunda? Bukankah jamuan ini kau selenggarakan untuk pertarungan. Nah aku sudah memilih Sempani sebagai lawan, kenapa kamu mengatakan aku mengaco jamuanmu?"

Macukunda tertawa. "Kau terlambat datang makanya kamu tidak tahu bahwa Sempani sudah menantang Ki Padeksa dari Lemah Tulis. Kubu Ki Padeksa menganggap Sempani tidak sepadan dan menyodorkan murid Padeksa untuk menghadapi Sempani. Maka pertarungan ini sudah resmi, tak bisa diubah lagi kecuali memang Ki Sempani mau tarung denganmu lebih dahulu tapi kulihat Ki Sempani sudah kewalahan melawanmu tadi, mana berani dia menerima tantanganmu." Macukunda tertawa geli "Eh Ki Sempani apakah kamu mau berganti musuh, kini menghadapi Ki Manjangan Puguh?" Sempani tertawa keras. "Manjangan Puguh boleh menanti giliran. Sebenarnya aku ingin juga menjajal ilmu dari perguruan Merapi, tetapi sekarang biar kuminum darah murid Padeksa itu, aku memang sedang haus, hayo mana dia orangnya, keluar kamu."

Wisang Geni melangkah lebar memasuki gelanggang. Ia tidak menggunakan ilmu ringan tubuh, tetapi mengerahkan tenaga Wiwaha di setiap langkahnya. Setiap ia melangkah, tanah bergetar dibuatnya. Begitu sampai di dekat Manjangan Puguh, ia berlutut menyentuh ujung kaki gurunya. Tentu saja sang guru terkejut, "Geni mengapa kamu yang maju?"

"Tidak usah khawatir, guru, aku bisa menjaga diri." Sambil berkata Geni mengerahkan tenaga maha dingin melalui ujung kaki Manjangan Puguh. Gurunya terkejut ketika ada tenaga maha dingin merembes kuat dari kakinya. Ia tak mengerti dari mana Geni memperoleh tenaga dalam sehebat itu. Jelas itulah tenaga dalam pendekar kelas satu. Manjangan Puguh tak bisa berbuat sesuatu pun. Itu pertarungan resmi. Ia hanya bisa berpesan agar muridnya hati-hati dan waspada.

Wisang Geni menatap Sempani. Wajah lelaki itu dipenuhi bintik warna hitam Ketika ia tertawa tampak giginya jarang dan kuning.

Rambutnya jarang tetapi panjang bergerai sampai pundak sehingga tampak lucu. Wajah yang buruk.

Pendekar buruk rupa itu tertawa keras. "Ini caranya Padeksa dari Lemah Tulis menghindar dari tantangan. Dia takut menerima tantanganku sampai rela mengorbankan muridnyayang masih begini muda dan berbau kencur."

Geni tertawa keras. Lebih keras dari tawa Sempani.

Tertawa khas yang dipelajarinya di lembah kera Tawa itu dikerahkan dengan tenaga Wiwaha tingkat paling tinggi. Suara tawa itu mengalun dan bergelombang, panjang dan mendirikan bulu roma yang mendengarnya Itu memang tawa khas kera apabila sedang marah.

Tertawa Sempani terhenti. Ia mendelong menatap Geni. Ia cukup terkejut mendengar pameran tawa Geni yang begitu menakjubkan. Bahkan hampir semua orang di situ tercengang akan tenaga dalam Geni. Hampir tak masuk akal ada seorang muda yang memiliki tenaga dalam setinggi itu. Kalau muridnya saja sudah begitu jago, bagaimana lagi dengan Padeksa gurunya, gumam sebagian orang.

Sempani menatap wajah anak muda di depannya Ia melihat sinar mata yang tenang, bening dan sangat dalam. Tiba-tiba ia sadar, anak muda ini memiliki kepandaian yang sulit diukur tingginya Melihat dari sinar matanya maka pameran tenaga dalam lewat tertawa tadi itu bukan isapan jempol belaka. Ada rasa enggan menyeruak dalam sanubarinya, ia merasa gentar. Sempani cepat mengusir dan mengubur perasaan enggan dan takut itu. "Aku harus waspada, tak boleh main-main, kalau perlu satu tak kemplang, ia modar, itu lebih baik!"

Berpikir demikian, ia merogoh senjata dari balik jubahnya yang longgar. Sebatang tongkat dihiasi kepala burung elang. Mulut elang itu terbuka, mengkilap ditimpa sinar matahari siang. "Hayo keluarkan senjatamu, bocah jelek, sebelum ku- kepruk kepalamu!"

"Guruku memerintah aku agar bertarung dengan tangan kosong, jika hanya melawanmu saja aku harus menggunakan senjata maka itu akan mengurangi harga diri dan kehormatan Lemah Tulis." Kata-kata Geni sengaja diucapkan keras agar didengar semua orang. Tentu saja orang-orang yang hadir di situ geger, ucapan Geni itu agak sombong, namun melihat tenaga clalamnya ketika tertawa tadi, jelas Geni punya ilmu silat yang sangat mumpuni.

Sempani tersenyum dingin. Ia tahu anak muda itu memancing dia agar kalap. Itu siasat kuno sebab orang kalap akan kehilangan banyak tenaga dan berkurang konsentrasinya Sempani tak banyak omong. Langsung menyerang ke bagian tubuh yang mematikan. Dalam beberapa gebrakan awal, Geni bisa mengukur kehebatan lawan. Tak begitu hebat, masih bisa diatasi, begitu pikirnya.

Geni tak ragu lagi, mengeluarkan jurus Bang Bang Alum Alum bergantian Garudamukha dengan ilmu ringan tubuh Waringin Sungsang dan tenaga Wiwaha, semuanya jurus andalan. Dua puluh jurus berlalu, tongkat pendek Sempani tak bisa mendesak Geni. Bahkan dilihat lebih teliti, sedikit demi sedikit Geni mulai menguasai pertarungan. Sempani sendiri terkejut. Tak disangkanya ilmu silat Geni setinggi itu Ia sadar kini ia dalam kesulitan. Ini pertarungan paling berbahaya seumur hidupnya. Ketika bertarung dalam perang Genter maupun ketika menyerbu memorakporanda Lemah Tulis, ia tak sendirian. Banyak kawan. Tetapi sekarang ini ia harus bertarung sendirian. Dan lawan yang dihadapi meski muda usia namun ilmu silat dan tenaga dalamnya sangat tinggi.

Tiba-tiba Wisang Geni menarik diri, melompat mundur agak jauh ke belakang. Bukan hanya Sempani yang kaget, semua yang hadir merasa heran. Tidak biasanya seorang yang sudah unggul dan berada atas angin melompat mundur memberi kesempatan lawan berbenah diri. Ada apa?

Sambil memandang sekeliling, Geni menengadah langit dan berkata dengan pengerahan tenaga Wiwaha, kedengarannya seram "Hari ini satu lagi dari musuh Lemah Tulis akan kukirim ke kuburan. Kamu Sempani, kamu bertanggungjawab atas kematian orangtuaku dan ikut menyerbu Lemah Tulis. Kamu akan mati hari ini, hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa!"

Suara Geni terdengar menyeramkan. Sempani merasa keder. Untuk mengatasi rasa takutnya, ia berteriak. "Kamu siapa? Apa kamu pikir kamu sudah mengalahkan aku?" Geni berkata keras, nada dingin. "Namaku Wisang Geni, ayahku adalah Gajah Kuning, ibuku Sukesih. Hari ini kamu harus mati, hutang nyawa bayar nyawa!"

Perasaan keder itu kembali menghantuinya, untuk mengatasinya Sempani berteriak keras. "Bukan aku yang mati, tetapi kau yang akan kukirim ke neraka, anak bangsat!"

Geni menyerbu dengan jurus Gongkrodha. Hawa panas keluar dari sepasang tangannya. Sempani terkejut, mundur dengan menggelinding ke belakang. Orang-orang terkejut melihat Sempani begitu terdesak. Hebat anak muda ini, begitu gumam penonton.

Pukulan Geni tegas mengarah kepala Sempani yang mau tidak mau harus menangkis dengan tongkat. Sempani mengeluh, karena kalah tenaga. Sedang Geni merasa senang dan yakin akan segera menghabisi lawannya. Ia tak tahu bahwa Sempani sedang memasang perangkap. Ketika terjadi benturan tangan dengan tongkat, kaki Sempani naik ke atas. Ia bukan menendang, tetapi menyaruk tanah dengan kaki dan menghantamkannya ke wajah Geni. Sementara tangan yang memegang tongkat mengemplang kepala Geni.

Dalam sekejap saja, dari posisi terdesak, Sempani berubah menjadi unggul mutlak. Kini posisi berbalik. Geni dalam bahaya. Matanya terancam buta, kepalanya bisa remuk! Geni sendiri tak menyangka keadaan bisa berbalik seperti itu. Tapi ia tidak gugup. Ia mengerahkan tenaga Wiwaha dan meniup keras tanah yang mengarah wajahnya. Tangan menyampok menangkis tongkat lawan. Tetapi serangan Sempani masih berlanjut. Saat tongkatnya ditangkis, ia sengaja menghentak ujung tongkat. Mulut elang di ujung tongkat itu seperti menghembus asap halus. Itu bubuk racun! Sempani berteriak, "Mampus kamu!"

Geni terkesiap. Tongkat hanya sejengkal dari wajahnya.

Tak ada ruang untuk mengelak. Apalagi Sempani masih menyusul dengan serangan lain, tendangan mematikan ke selangkangan dan pukulan tangan mengancam dada Geni.

Geni berlaku nekad. Ia yakin tenaga Wiwaha bisa mengendalikan asap racun itu, seganas apa pun racun itu. Tiga gerakan dilakukan Geni berbarengan. Ia meniup sekuat tenaga membuyarkan asap beracun, mengangkat kaki kiri menangkis tendangan dan dua tangannya berputar di depan dada. Itulah jurus Nyakra Manggilingan (Berputar seperti kincir) dari Bang Bang Alum Alum. Ada lagi gerak lanjut Geni dan yang sangat mengejutkan Sempani.

Setelah meniup satu kali, Geni masih menambah lagi tiupan susulan yang lebih bertenaga. Asap racun bergerak dengan tenaga besar ke wajah lawan. Sempani bukannya takut akan asap racun itu, karena ia tadi sudah menelan pemunahnya.

Tetapi ia terkejut karena tak menyangka Geni dalam keadaan tarung, masih bisa meniup dengan tenaga besar. Hampir tak masuk akal.

Bagi lain orang mungkin tak masuk akal dan mustahil, tetapi bagi Geni yang telah menguasai Wiwaha hal itu tak terlalu sulit. Semua berlangsung ringkas dan cepat. Tiga gerakan Geni itu bukan cuma meloloskan diri dari ancaman bahaya, malahan berbaik mencelakakan Sempani.

Terdengar teriakan Sempani. Tangannya seperti masuk ke dalam pusaran berkekuatan tenaga dahsyat. Ia lak berdaya mengatasinya. Tulang tangannya patah di beberapa bagian.

Tetapi itu belum semua! Tangan Geni yang berputar mendadak diluruskan ke depan. Sekali lagi Sempani berteriak. Beberapa tulang dadanya remuk.

Sempani terlempar ke tanah. Darah keluar dari mulutnya.

Matanya melotot memandang tak percaya kepada Wisang Geni. Mulutnya serasa terkunci. Dia sudah malang melintang di dunia persilatan selama bertahun-tahun dan telah mengalami banyak pertarungan dahsyat, tapi kini terbaring sekarat. Ia memandang tak percaya.

Geni tertawa sinis. "Kamu tadi mengatakan ingin menjajal ilmu dari gunung Merapi. Itu salah satu jurus dari Bang Bang Alum Alum. Kau juga mengatakan Lemah Tulis tak punya kehormatan lagi, asal kamu tahu itu tadi jurus Garudamukha. Pergilah ke neraka, Sempani. Aku sudah melunasi hutang nyawa orangtuaku!"

Sempani membuka mulut. Suaranya pelan tapi terdengar jelas, karena ketika itu suasana lengang, tak ada suara.

Semua orang terdiam

"Bunuh aku, bunuh aku, jangan biarkan aku begini!"

Wisang Geni menggelengkan kepala. "Aku tak bisa membunuh lawan yang sudah tak berdaya. Lagi pula kau tidak punya kehormatan lagi untuk meminta sesuatu dari murid Lemah Tulis!"

Saat itu dua murid Mahameru melompat ke arena. Mereka menghampiri dan akan menggotong Sempani keluar arena. "Jangan, jangan angkat aku. Bunuhlah aku, bunuh aku!"

Suara Sempani memelas. Ia lebih ingin mati di dalam arena daripada digotong keluar sebagai pecundang. Dua murid Mahameru itu memandang kepada Macukunda. Melihat ketua Mahameru manggut, seorang diantaranya menunduk dan menekan dada Sempani. Pendekar itu mati!

Semua mata memandang Wisang Geni dengan kagum Orang tak pernah menyangka ia bisa menang. Pertarungan berlangsung singkat tapi begitu mencekam dan dipenuhi saat- saat berbahaya. Bahkan disebut yang paling seru dan bahaya sejak tadi pagi.

Wisang Geni memandang ke tenda Kalayawana. Dilihatnya lelaki itu, kurus kering bertelanjang dada dan bercelana hitam sebatas lutut. Kalayawana duduk dengan pongah. Tiga muridnya berdiri di dekatnya. Amarah Geni meluap.

"Kalayawana, keluar kau, hayo kita jajal siapa lebih jago!" Tantangan Geni itu menggema ke mana-mana. Semua mata memandang bergantian, dari Wisang Geni ke arah Kalayawana.

Tapi Kalayawana duduk tenang, ia meludah ke tanah. "Puuii! Kau pikir dengan mengalahkan Sempani pendekar goblok itu, kau sudah bisa melawanku? Aku malas meladenimu!"

Murid Kalayawana yang paling tua, Kalabendana, berseru lantang. "Hei, dulu aku tendang pantatmu, kau lari terkencing- kencing. Sekarang tak tahu diri menantang guruku."

Murid yang kedua, Kalajudha ikut nimbrung. "Kau belum pantas melawan guruku. Biar kami bertiga yang memperkosamu. Atau kau tak punya nyali menghadapi kami bertiga?"

"Sudah jangan banyak bacot, turunlah kalian bertiga. Hari ini akan kubayar lunas, darah orangtuaku! Ayah dan Ibu, saksikan hari ini hutang nyawa ini kutagih sekaligus bersama bunganya!"

Tiga murid Kalayawana memasuki arena dengan sikap pongah dan takabur. "Heh, heh, heh, ternyata dia ini anak Sukesih si bahenol itu. Sayang waktu itu aku tak sempat mencicipi tubuhnya, dia terlalu cepat mati di Ganter, sungguh sayang!"

Suara Kalamasura itu mengiang di telinga Wisang Geni. Kata-kata itu merasuk sampai ke otak dan membangkitkan kemarahan yang luar biasa. Wisang Geni melesat, menggunakan Waringin Sungsang dan jurus Manusup (Masuk nyelinap) dari Garudamukha. Pukulannya mengarah pelipis dan dada Kalamasura. Kalabendana dan Kalajudha menyergap dari samping.

Keduanya menggunakan Pangrahata (Cara untuk memperoleh jasa) satu dari sebelas jurus ilmu Ghandarwapati. Sekejap saja terjadi pertarungan seru, satu lawan tiga. Pertarungan berjalan imbang.

Meski menghadapi tiga lawan, tetapi dengan keunggulan ilmu ringan tubuh dan tenaga dalamnya, Geni memberikan perlawanan hebat. Dalam duapuluh jurus terlihat tiga murid Kalayawana itu selalu menghindari bentrokan tangan. Tahu rupanya kalah dalam tenaga, tiga orang itu secara diam-diam menguras tenaga Geni. Mereka mengurung rapat dan secara cerdik bergantian menyerang. Dengan cara ini Geni menjadi tidak berdaya, setiap ia menyerang lawan, dua lainnya menyerang secara bebarengan.

Lambat laun Wisang Geni mulai keteter. Ia mulai frustasi.

Ia tak pernah bisa menyerang tuntas. Karena dalam menyerang sesaat kemudian ia menjadi yang diserang. "Kalau begini terus, aku akan cepat lelah. Dan ini berbahaya."

Sambil bertarung Geni berpikir. Tapi sampai limapuluh jurus, ia belum juga menemukan cara bertarung yang terbaik untuk mengatasi keroyokan tiga lawan. Orang mulai melihat Geni jatuh di bawah angin Wisang Geni tak lagi bisa menyerang. Ia hanya bisa menangkis dan bertahan rapat dari serangan lawan.

Mendadak terlihat perubahan drastis. Geni yang cuma bisa bertahan semakin kewalahan. Gerakan Geni mendadak kacau. Tiga pukulan telak mengena tubuhnya, paha, punggung, dan pundak. Hanya sebab dilapisi tenaga Wiwaha Geni masih bisa mengatasi pukulan tersebut. Tetapi itu saja sudah pertanda bahaya lebih besar sedang mengancam murid Lemah Tulis itu.

Wulan dan Sekar, tampaknya paling panik di kubu Lemah Tulis. Begitu juga Padeksa, Manjangan Puguh, Waning Hyun dan rombongannya. Geni tampaknya bertarung tidak wajar. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran lelaki itu. Apa itu? Wulan melihat-lihat ke sekeliling. Matanya menetap di tenda Kalayawana. Ia melihat iblis tua itu sedang memejamkan mata dengan duduk bersila. Wulan berbisik pada Manjangan Puguh yang duduk di sampingnya. "Kakang, kau lihat Kalayawana! Aku yakin ia sedang mengirim ilmu jarak jauh untuk mengacau pikiran Geni. Seperti kecurangan yang ia lakukan kepada Sindu pendekar Ujung Pangkah itu."

Bukan saja Wulan dan Manjangan Puguh, tetapi Padeksa, Gajah Watu dan rombongan Ranggawuni juga bisa membaca ketidakberesan yang sedang mengganggu Geni. Tiba-tiba Waning Hyun berkata kepada tokoh separuh baya yang dari tadi berdiam diri. "Paman Pamegat, berbuatlah sesuatu, tarung itu tidak adil!"

Sang Pamegat, tokoh misterius itu menjawab dengan menggumam. "Tak usah khawatir, aku pikir tak lama lagi Wisang Geni akan tertawa keras yang pasti akan melenyapkan pengaruh sihir kuburan Gondomayu."

Suara yang seperti bergumam itu hanya didengar oleh Wulan dan orang sekitarnya. Orang lain tidak mendengar karena suaranya cukup lirih. Tetapi anehnya, suara itu mampu menerobos telinga Wisang Geni. Pemuda ini mendengar ucapan Sang Pamegat. Ia sadar kini, rupanya Kalayawana telah main gila.

Iblis Gondomayu itu menggunakan Angampuhan, ilmu menguasai gelombang aliran udara dalam radius tertentu. Dan Kalayawana hanya perlu mempengaruhi udara sekitar Wisang Geni. Hal ini yang menyebabkan Geni tak bisa menguasai pendengaran dengan baik. Akibatnya ia tak lagi bisa membaca atau mendengar serangan dari belakang dan samping yang memang tidak bisa dilihatnya.

Mendadak orang mendengar "Wisang Geni berkata, "Terimakasih tuan atas petunjukmu!" Orang-orang tak tahu kepada siapa ucapan terimakasih itu ditujukan. Orang juga tak tahu bagaimana caranya, mendadak terjadi perubahan di gelanggang tarung. Wisang Geni tiba-tiba berteriak keras. Teriakan seperti kera sedang marah. Lalu tampak pemandangan unik Geni memainkan jurus sambil berteriak, terkadang ia tertawa di lain saat dia marah.

Pertarungan berubah. Kali ini Geni kembali mengimbangi lawan-lawannya.

Sambil teriak dan tertawa menirukan kera, pikiran Geni mencari jalan keluar. Keadaaan seperti ini tak boleh tanpa perubahan. Ia harus menemukan cara secepatnya sebelum keletihan membelit tubuhnya "Kalau saja aku bisa mainkan Garudamukha Prasidha pasti lain keadaannya"

Tiba-tiba seberkas cahaya melintas dibenaknya belakangan ini, setiap ia memikirkan Prasidha selalu cahaya itu seperti berkelebat dibenaknya. Apa itu?

Dalam benak Geni saat itu terlintas ucapan penari Kinanti bahwa ia mengucapkan kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa selalu pada saat tubuhnya seperti terdorong ke samping atau ke depan atau ke belakang.

Geni seperti menemukan jalan keluarnya, ia menemukan cahaya itu kembali, tetapi mendadak lenyap. Geni merasa frustasi. Tanpa sadar ia berhenti tertawa dan berteriak.

Akibatnya ilmu Angampuhan Kalayawana kembali mengganggu indera pendengarannya

Saat itu pertarungan memasuki jurus keseratus dan detik- detik paling genting. Kalabendana menerjang dengan hantaman keras ke pinggang kiri. Pada saatyang sama Kalajudha menyerang dari depan ke bagian bawah Geni, dua kakinya menggunting sambil tangannya memukul perut dan selangkangan. Kalamasura menghajar pelipis dan pinggang dari samping kanan. Tak ada jalan keluar lagi, Geni harus menghadapi tiga pasang kaki dan tiga pasang tangan dalam satu serangan yang serentak. Juga gangguan Ilmu Angampuhan yang mengacau keseimbangannya Geni dalam bahaya besar!

Mendadak, cahaya itu datang kembali. Pikirannya menjadi terang. Kalimat itu cuma menjelaskan bagaimana sikap jiwa yang pasrah pada saat kematian akan datang. Kalimat itu terpecahkan sudah! Terpecahkan justru pada saat Geni dalam keadaan kritis! "Hendaknya aku menjadi perahumu untuk menyeberangi lautan kesusahan ". Kalimat itu artinya sederhana sekali. Geni sadar, "menyeberangi kesusahan' artinya Menyeberangi dunia Menjalani Kematian. Dan ’Aku menjadi perahumu’ artinya sesuatu yang kosong. Sesuatu yang hampa! Ternyata kalimat itu hanya satu sikap jiwa, kunci lain yang tak kalah penting adalah gerak yang diperlihatkan penari Kinanti.

Tadi malam, penari itu menuturkan bahwa ia bergerak ke kanan karena ia sepertinya menerima tenaga dorong dari kiri. Ia bergerak ke depan juga lantaran karena adanya tenaga dorong dari belakang atau dari arah berlawanan.

Geni berlaku nekad. Ia yakin ampuhnya tenaga Wiwaha. Ia pernah merasakan bobot pukulan Kalajudha sebelumnya dan ia yakin bisa menahannya lagi apabila rencananya gagal.

Tetapi kalau ia berhasil maka itulah penemuannya yang paling penting. Geni nekad menggunakan jurus Prasidha, ia tak lagi takut tenaganya tak akan tersalur. Karena kini ia mainkan jurus Kacakrawartyan tanpa memaksakan penyaluran tenaga dalam. Satu kakinya diangkat melindungi selangkangan.

Tangan kirinya membuat lingkaran kecil ke samping menyambut pukulan Kalabendana. Tangan kanannya mendorong ke kanan. Jurus Kacakrawatyan (Menguasai dunia) digelar Geni tanpa tenaga sedikit pun!

Tanpa tenaga! Geni bersikap pasrah, tak ada paksaan untuk menggunakan tenaga melindungi tubuh atau menerima pukulan lawan. Tubuhnya kosong! Geni pasrah! Ia rela mati! Ia tahu kematian akan mengantarnya menemui ayah bundanya!

Mata Wulan membelalak. Ia melihat kekasihnya menggelar ilmu Prasidha dan ia tahu persis Geni belum mampu memainkan ilmu itu. Geni bunuh diri! Tubuh Wulan kejang, dia tahu dia tak lagi akan melihat Geni. Wulan menutup mata dan menghela napas. Habis sudah segala-galanya. Tamat!

Manjangan Puguh, Gajah Watu, Waning Hyun, dan semua orang di kubu Wisang Geni menghela napas membayangkan matinya seorang murid Lemah Tulis yang begitu penuh bakat. Tubuh mereka membeku! Perasaan mereka semua mati!

Hanya dua orang di situ yang menatap dengan harap-harap cemas, Padeksa dan Sang Pamegat!

Terdengar pekik mengerikan dari gelanggang tarung.

Kalamasura terlempar dua tombak. Darah menyembur dari mulurnya. Ia mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Apa yang terjadi?

Itulah saat di mana misteri Garudamukha Prasidha terkuak oleh Wisang Geni. Pada akhirnya terlihatlah betapa sederhananya ilmu Prasidha itu. Intinya hanya "meminjam tenaga lawan" dan mengeluarkannya kembali dengan sama besar. Bahkan bisa lebih besar lagi apabila ditambah tenaga sendiri.

Pada saat Geni dalam keadaan kritis. Tiga serangan berbarengan itu tidak datang pada saat bersamaan. Pukulan Kalabendana datang lebih dulu masuk ke dalam putaran tangan kiri Geni. Disusul serangan Kalajudha yang menghantam perut dan kaki Geni. Yang terakhir adalah pukulan Kalamasura

Jurus Kacakrawartyan telah memakan korban Kalamasura, sebab pukulan dialah yang paling terakhir mengena tubuh Geni. Ternyata jurus Garudamukha Prasidhaitu telah menyerap tenaga Kalabendana dan Kalajudha kemudian diteruskan ke Kalamasura

Kalabendana dan Kalajudha memekik dahsyat. Kalayawana yang sedang memusatkan perhatian terkejut setengah mampus. Mana mungkin di dalam keadaan di atas angin, mendadak saja Kalamasura bisa mati?

Kejadian itu begitu cepat. Semua orang terkejut. Lagi-lagi Wisang Geni memperlihatkan hasil di luar dugaan. Dalam keadaan terdesak hebat dan terancam jiwanya, bukannya dia yang mati malahan lawan yang mati. Mati secara mengerikan!

Ketika mendengar jeritan mengerikan, tanpa kontrol lagi Wulan membuka matanya Ia tahu, itu bukan suara Wisang Geni. Tapi toh matanya membelalak melihat Wisang Geni segar bugar, malahan salah satu lawannya mati.

Tanpa sadar mata Wulan basah. Ia menangis melihat keberhasilan kekasihnya "Oh Jagad Dewa Batara, akhirnya ia berhasil menembus misteri itu!"

Sekar tak mengerti perkataan Wulan. "Apa, kenapa mhakyu?"

"Dia berhasil memecahkan misteri ilmu silatnya, bahkan jurusnya menjadi dahsyat!" tutur Wulan sambil tersenyum

Di gelanggang tarung, Kalabendana dan Kalajudha tak sempat berpikir kenapa keadaan bisa berbalik seperti itu. Dari posisi unggul mendadak menjadi terpuruk bahkan saudaranya mati mengenaskan. Amarah telah menggerakkan tangan dan kaki mereka dalam serangan paling dahsyat Kalabendana menggelar jurus Bhayattaka (Hebat menakutkan) yang mengerikan. Kalajudha dengan Durghanda yang menguarkan bau busuk.

Wisang Geni masih terpesona dengan hasil yang diperolehnya. Ia melihat serangan datang. Sekali lagi ia mencoba Prasidha seakan ia tak mau membiarkan penemuannya lenyap lagi Sekarang ia mainkan jurus Ahwamatyana (Biarlah aku yang membunuh).

Sebagian dari serangan lawan itu sempat terangkis, sebagian lagi menerpa tubuh Geni. Pada saat yang hampir bersamaan, hanya terpatu sepersekian detik, tangan Geni bergerak seperti mengusir ayam. Dari tangannya keluar tenaga maha dahsyat, satu maha dingin dan satunya lagi maha panas.

Sekali lagi terlihat pemandangan mengerikan. Kalabendana dan Kalajudha terpental dua tombak. Tubuh Kalabendana menggigil hebat, dari mulut keluar darah hitam, matanya melotot. Dua tangannya rusak hebat, hampir tak ada tulang yang utuh. Tapi ia masih hidup. Jika ia masih hidup, saudaranya justru tewas. Kalajudha mati sebelum menyentuh tanah. Darah membusa dari mulurnya. Tubuhnya seperti hangus. Ia mati mengerikan!

Semua kejadian itu berlangsung cepat. Orang belum sempat berpikir jernih, ketika terdengar jeritan berbarengan. Wulan menjerit melihat Wisang Geni jatuh terduduk seperti orang kehabisan tenaga Satu jeritan lagi keluar dari mulut Kalayawana yang seperti terbang melesat memasuki arena.

Belum pernah dalam hidupnya, ia kalap seperti saat itu ketika menyaksikan tiga murid kesayangannya mati dihajar Wisang Geni. Kalayawana kalap. Ia tak mampu membendung keinginan menghancurleburkan tubuh dan jasad Wisang Geni. Ia menerjang dengan ilmu paling telengas. Jeritan Akashawakya (Suara di mana-mana) seperti menguasai delapan penjuru angin serta jurus Daitya Naraka (Raksasa dari neraka). Amuknya Kalayawana saat itu seperti sosok raksasa yang menerjang keluar dari neraka

Pada saat bersamaan tiga bayangan berkelebat Manjangan Puguh melesat dengan Waringin Sungsangyang paling handal. Macukunda dan Gajah Watu seperti terbang menggunakan Kilat Tatit, ilmu ringan tubuh yang mungkin bisa disejajarkan dengan Waringin Sungsang.

Manjangan Puguh sampai lebih dulu di samping Wisang Geni. Tak ada orang yang boleh mengganggu selembar pun rambut Wisang Geni, putra dari perempuan yang pernah dicintainya Kalau saja muridnya ini sampai mati, Manjangan Puguh tak akan sanggup menemui Sukesih kelak di alam baka. Apa kata Sukesih kepadanya nanti.

Hampir bersamaan Macukunda pun tiba di sisi Wisang Geni. Mau tak mau pendeta Mahameru ini memuji ilmu ringan tubuh Manjangan Puguh. Sungguh benar kata orang Waringin Sungsang ilmu ringan tubuh dari perguruan Merapi tak ada tandingannya. Bagaimana lagi kalau dimainkan oleh Ki Sagotra, pendekar Merapi yang menjadi guru Manjangan Puguh?

Gajah Watu sengaja memotong jalannya Kalayawana Pertemuan antara dua jago di tengah udara ini cukup menggemparkan. Terdengar beberapa kak bentrokan tangan dan kaki, sebelum dua jago itu memisahkan diri. Keduanya saling tatap!

"Kalayawana, kau berilmu tinggi. Anak muda itu sudah kehabisan tenaga menghadapi empat lawan!" Sambil bicara pendeta Macukunda memasang kuda-kuda

Kalayawana terdiam Matanya melotot. Ia memandang tak percaya kepada tiga muridnya. Dua sudah mati Kalabendana masih hidup tapi seperti sudah mati. Kalayawana menghampiri Kalabendana. Airmatanya berlinang melihat penderitaan muridnya. "Guru, sempurnakanlah aku. Maafkan aku, guru.

Aku belum sanggup membalas budimu. Sempurnakan aku, guru!"

Kalayawana dengan berlinang airmata menekan dada muridnya Kalabendana mati sudah! Orangtua kurus itu menatap Wisang Geni dengan sinar mata yang sulit dibaca artinya Tatapan mata itu punya arti tunggal, kematian mengerikan. Kebetulan Wisang Geni pun sedang menatapnya. Tak terhindarkan lagi bentrokan mata dua pendekar yang saling dendam! 

"Kalayawana, separuh dari hutangmu pada ayah bundaku sudah terbayar! Tinggal separuh lagi, yaitu jiwamu yang kotor!" kata Geni dengan datar dan dingin.

Kalayawana sudah berhasil mengendalikan diri. Mendadak ia melepaskan tawanya yang mengerikan yang dilapisi ilmu Angampuhan. Pekiknya terdengar dahsyat dan bergelombang serta memantulkan gema ke mana-mana. Sambil mengumandangkan teriakannya ia melangkah terus menuju tendanya. Beberapa pelayan perempuan dan beberapa murid angkatan keduanya tak berani bergerak melihat paras mengerikan sang guru.

Wisang Geni bangun berdiri. Ia terduduk tadi bukannya kehabisan tenaga tetapi disebabkan terlalu gembira akan keberhasilannya

Ia merunduk menyentuh kaki Manjangan Puguh. Gurunya menyuruhnya berdiri. Geni kemudian membungkuk ke arah Gajah Watu. Ia juga menoleh ke tenda di mana Sang Pamegat berdiri, ia tahu pendekar itulah yang memberitahu cara mengatasi pengaruh sihir Kalayawana tadi, Geni memberi hormat.

”Terimakasih atas peringatanmu tadi."

Wisang Geni kemudian menoleh dan membungkuk hormat kepada pendeta Macukunda. "Terimakasih, paman pendeta sudah bersusah payah melindungiku"

Macukunda mengelusus-elus jenggotnya. Ia heran melihat Wisang Geni sudah dalam keadaan segar seperti tak mengalami pertarungan melelahkan. Ia senang dan simpati melihat kelakuan anak muda ini yang sopan dan begitu tahu aturan dan tak memperlihatkan rasa sombong meski memiliki ilmu begitu tinggi. "Ho... ho... anak muda, kau boleh istirahat sekarang. Nanti akan datang giliranmu lagi!"

Dalam sekejap saja, gelanggang sudah kosong. Tiga mayat murid Kalayawana itu sudah digotong keluar. Pertarungan masih berlanjut dua partai lagi ketika matahari masuk ke peraduan. Macukunda mengumumkan pertarungan diistirahatkan, akan dilanjutkan esok pagi.

Malam itu, satu malam paling bahagia bagi orang-orang Lemah Tulis, Padeksa dan Gajah Watu sebagai yang paling tua dikunjungi banyak orang. Tigapuluh orang lebih mengaku murid Lemah Tulis yang lolos dari pembantaian duapuluh lima tahun silam. Selama ini mereka terpencar cerai berai, tak tahu harus ke mana. Mereka bersembunyi dan menyamar sebagai petani atau pedagang biasa yang tidak mengerti silat.

Pertemuan itu sangat menggembirakan Usia mereka masih muda ketika meloloskan diri duapuluh lima tahun lalu, kini rata-rata usianya sudah di atas empatpuluhan bahkan tidak sedikit yang berusia lebih dari separuh abad. Padeksa, Gajah Watu, Geni dan Wulan sibuk memeriksa dan melakukan tanya jawab.

Tidak sulit menentukan benar tidaknya mereka sebagai murid Lemah Tulis sebab satu sama lain di antara mereka sendiri sudah saling kenal. Bahkan semua mereka berpeluk- pelukan kangen sambil menutur pengalaman. Sangat mengharukan memang.

Mereka benar-benar murid Lemah Tulis. Empat di antaranya adalah murid Gubar Baleman, murid tertua Bergawa yang mati di medan perang Ganter. Tiga orang murid Ranggaseta, murid kedua Bergawayang gugur di Lemah Tulis. Dua orang murid Gajah Kuning, murid ketiga Bergawayang mati di Ganter. Dua orang murid Kebo Jawa, murid keempat Bergawayang gugur di Ganter. Tiga murid Bergawa lainnya, Lembu Agra, Sukesih dan Walang Wulan tidak punya murid karena waktu itu masih terlalu muda. Dua murid Gajah Kuning memeluk hangat Wisang Geni. Keduanya sudah berusia lebih dari empatpuluhan dengan perawakan sedang. Yang bercambang lebat, orangnya agak hitam, Gajah Nila. Yang seorang lag;, rambutnya jarang, bernama Gajah Lengar. Keduanya gembira bahwa putra guru mereka, sudah berangkat dewasa dengan ilmu silat yang begitu menakjubkan. Wisang Geni pun sangat senang menjumpai Gajah Nila dan Gajah Lengar yang bagaikan keluarga mendiang orangtuanya.

Ia memaksa Gajah Nila dan Gajah Lengar bercerita perihal orangtuanya. Malam itu Wisang Geni mengumpulkan kembali serpihan kenangan yang telah hilang belasan tahun silam.

Dalam hati ia bangga. Ayahnya adalah pendekar yang menjunjung kebenaran, tak mengenal takut selama hidupnya. Ibunya seorang pendekar wanita berhati singa. Mereka gugur secara jantan di Ganter. Orangtuanya itu sering menjadi penolong rakyat dalam setiap pengembaraan. Mereka tidak menyukai penindasan dan kejahatan yang dilakukan si kuat terhadap si lemah.

Di malam dingin itu, Padeksa dan Gajah Watu mengumpulkan semua murid Lemah Tulis. Sementara itu sejak tadi, rombongan Sang Pamegat, Ranggawuni, Mahisa Campaka dan delapan pendekar Tumapel sudah memisahkan diri, tak mau mencampuri urusan Lemah Tulis. Sekar juga memisahkan diri, kepada Geni ia berpesan agar menjemputnya nanti di tenda Dewi Obat.

"Sudah suratan dewa, malam ini kita bertemu di sini.

Setelah kangmas Branjangan dan ketua Bergawa meninggal, kini tinggal aku dan dimas Gajah Watu sebagai yang paling tua di Lemah Tulis. Muridku cuma seorang yaitu Wisang Geni. Dimas pun cuma punya satu murid, yakni Waning Hyun. Ada dua murid kakang Branjangan yang masih hidup, Dipta dan Prastawana. Sedang murid kakang Bergawa yang masih hidup, hanya Lembu Agra dan Walang Wulan. Kalian perlu tahu, Lembu Agra itu murid pengkhianat, dia seorang penyusup yang puluhan tahun tidak kita ketahui, malam itu dialah yang meracuni air minum kita dengan racun pelemas tulang, itu sebab kita tak berdaya ketika diserbu pasukan Arok dan para begundalnya."

"Kalau tak diracun pelemas tulang itu kangmas Bergawa dan Branjangan sulit dikalahkan. Jelas kini bahwa Lembu Agra bukan lagi orang Lemah Tulis. Nama aslinya, Ki Jaranan, dia adalah keturunan ketua partai Turangga dan kini ia ketua partai itu. Ilmunya tinggi, karenanya kalian jangan coba membenturnya."

Di tengah-tengah pertemuan itu, Prastawana melontarkan suatu gagasan yang ternyata disambut baik semua orang. "Paman guru sudah lama kita semua, murid-murid Lemah Tulis kehilangan arah. Selama ini kita bagaikan anak ayam kehilangan induk. Kenapa paman Padeksa sebagai yang tertua tidak tampil sebagai ketua Lemah Tulis dan memimpin kami "

Padeksa menolak. "Tak bisa! Aku sudah tua lagi pula yang kalian butuhkan adalah seorang ketua yang masih punya harapan hidup lebih lama. Kakang Bergawa ketika ditunjuk sebagai ketua, pada saat itu usianya baru duapuluh delapan tahun. Aturan tak tertulis di perguruan kita menegaskan perihal ketua yang harus dipilih secara bulat adalah seorang murid setia yang masih muda dan dari generasi berikut.

Kangmas Bergawa adalah ketua lama, maka ketua baru harus murid dari angkatan di bawah kangmas Bergawa. Karenanya aku tidak layak untuk dipilih."

"Tapi paman, Lemah Tulis sekarang ini sangat butuh seorang ketua. Kita harus bisa memanfaatkan pertemuan ini yang jarang bisa terselenggara Ini jelas restu dewa semata Bagaimana kalau saat ini kita manfaatkan untuk memilih seorang ketua?" Padeksa dan Gajah Watu saling pandang kemudian menyetujuinya "Kami berdua sudah tua, kami hanya mengarahkan pemilihan ini agar berlaku adil dan bebas tanpa tekanan seseorang. Biarlah waktu saja yang menentukan!"

Terdengar kasak-kusuk. Orang membicarakan figur ketua Tapi tak ada yang lebih cocok dari Wisang Geni. Kehebatan ilmu silatnya sudah terbukti Apalagi ia sudah menguasai Garudamukha Prasidha pusaka perguruan yang paling tinggi. Sebagai putra dua pendekar Lemah Tulis tak perlu diragukan, apalagi ia dibesarkan bahkan menjadi murid tunggal Padeksa.

Keberanian Wisang Geni pun sukar dicari duanya, seperti saat ia menantang Kalayawana. Pekertinya patut jadi teladan, ia tidak sombong meski berilmu tinggi Lima syarat utama itu, berasal dari keturunan baik-baik, memiliki sifat berani, berkepandaian tinggi, muda usia dan baik budi pekertinya membuat Wisang Geni tak tersaingi. Semua murid Lemah Tulis, tanpa kecuali, sepakat memilih Wisang Geni sebagai ketua perguruan

Padeksa dan Gajah Watu gembira mengetahui semua murid memilih Wisang Geni sebagai calon tunggal Kedua tetua Lemah Tulis pun sama pendapatnya Suara bulat telah memilih Wisang Geni sebagai ketua Lemah Tulis membuat anak muda itu merasa kikuk dan malu.

Makin banyak orang mendesak, Wisang Geni makin tak mau menerima jabatan itu. "Tidak mungkin aku bisa! Kalian pilih orang lain saja! Masih banyak yang lebih pantas dari aku! Masih banyak orang yang lebih tua dan lebih pandai daripada aku!"

Namun begitu Walang Wulan, Waning Hyun, Padeksa, Gajah Watu dan Manjangan Puguh memaksanya, Wisang Geni tak bisa lagi mengelak. Malam itu Wisang Geni dengan upacara sederhana diangkat jadi ketua Lemah Tulis yang ketujuh. Wisang Geni kemudian mengucap pidato singkat "Kawan- kawan, di antara kalian ada yang lebih tua daripadaku. Hal ini membuat aku agak kikuk memimpin. Tetapi kepercayaan kalian kepadaku dan tanggungjawabku sebagai murid Lemah Tulis, aku akan berusaha mengembalikan kejayaan perguruan kita. Kawan-kawan, bantulah aku, tanpa, bantuan kalian aku tak mungkin berhasil."

Malam itu suasana meriah di kubu Lemah Tulis. Hampir tak ada seorang murid pun bisa memejamkan mata. Mereka ngobrol satu sama lain, menceritakan masa lalu dan pengalaman masing-masing. Ketika cerita bergeser kepada ketuanyayang baru, mereka menyebut nama Wisang Geni dengan rasa kagum.

Saat itu Wisang Geni duduk ngobrol dengan gurunya Manjangan Puguh. Lelaki ini tak kuasa menahan harunya, ia memeluk Geni dengan penuh perasaan. "Aku bangga padamu, Geni!"

Mendengar cerita perjalanan dan pengalaman pahit Geni sampai ia memperoleh dan mempelajari jurus Wiwaha ilmu kelas tinggi itu, Manjangan Puguh makin mengagumi keberuntungan muridnya. "Aku rasanya pernah mendengar cerita guru Sagotra, bahwa pendekar Lalawa itu sangat tinggi ilmu silatnya dan hampir tak punya tandingan, ia adalah pendekar pembela kebenaran. Banyak musuh dari golongan hitam mati di tangannya, yang masih hidup akan segera kabur bersembunyi ke mana pendekar hebat itu lewat. Kamu beruntung mewarisi ilmunya, Geni."

Malam semakin larut, Padeksa menyuruh Wisang Geni istirahat "Kau perlu mengumpulkan tenaga, besok kau akan menghadapi pertarungan yang lebih berat"

Saat itu seorang gadis cantik menghampiri Wisang Geni yang duduk bersama Padeksa, Gajah Watu dan Manjangan Puguh. Gadis itu membawa nampan berisi makanan yang masih hangat Ketika gadis itu meletakkan nampan di dekat kakinya, ia harus merunduk. Saat itu Geni sempat melihat belahan buah dada si gadis. Anak itu masih remaja namun dadanya penuh dan montok. "Kamu siapa?"

Gadis itu terkejut mendengar sapaan ketuanya. Ia gugup dan tak berani menengadah memandang wajah tampan sang ketua. "Aku, namaku Prawesti."

Padeksa tertawa. "Ketua menanyakan siapa kamu, murid siapa?"

Saat itulah, Prastawana mendekal. "Dia cucu kangmas Gubar Baleman, sejak kecil dia tinggal bersama suami isteri Jayasatru, murid Ranggaseta. Hei, Westi, beri hormat pada ketua."

Di tenda juga berkumpul murid angkatan dua, seperti Dyah Mekar putri Ranggaseta, Kebo Lanang dan Jayasatru murid pertama dan kedua Ranggaseta, kemudian Daraka dan Margana murid Gubar Baleman. Mereka adalah murid-murid yang kebetulan keracunan sehingga dipaksa Bergawa untuk meninggalkan perguruan. Wisang Geni memerhatikan gerakan bokong Prawesti ketika gadis itu beringsut mundur kemudian melangkah menjauh keluar tenda. "Gadis itu tak hanya cantik juga montok dan subur," kata Geni dalam hati.

Mendadak saja ia teringat Walang Wulan dan Sekar. Ia ingat Sekar sedang pulang ke tenda neneknya, tetapi ke mana Wulan? Ia memandang sekeliling tetapi Wulan tak terlihat. Ia keluar mencari keliling tenda. Ia melihat seorang perempuan duduk di bawah pohon. Tak salah lagi itu Wulan!

Malamku cahaya rembulan cukup terang. Wisang Geni mendekat, ia terkejut melihat air mata mengalir dari sepasang mata indah itu. "Kenapa menangis, Wulan?"

Wulan menoleh memandang Geni. Wajahnya yang cantik berbinar ditimpa cahaya rembulan. Wulan menggeleng kepala, rambutnya menyibak ke sana kemari. "Tak apa-apa. Aku hanya memikirkan kebahagiaanmu. Kau kini jadi ketua Lemah Tulis dan aku bawahanmu. Kau akan banyak disanjung orang, perempuan yang cantik-cantik dan muda-muda akan mengelilingi engkau. Aku tak tahu di mana nanti aku berdiri."

Wisang Geni memegang dagu kekasihnya. "Kau tetap berdiri di sampingku. Dengan kau di sisi, aku akan lebih kuat dan lebih tegar menantang kesulitan. Wulan, jangan berpikir yang bukan-bukan. Sekali aku mencintaimu, sampai mati pun tak akan luntur."

Terdengar suara mendehem. Manjangan Puguh tiba-tiba saja sudah berada di situ. Dua sejoli itu sama sekak tak mendengar langkah orang. Keduanya tersipu-sipu malu. "Geni dan Wulan, aku sudah tahu hubungan kalian. Ada yang perlu kusampaikan, suatu rahasia tentang dirimu, Wulan. Tak mungkin aku menyimpannya lebih lama. Wulan, kau bukan adikku!"

Perkataan itu membuat ledakan di telinga Geni dan Wulan. Dua sejoli itu kaget luar biasa. Manjangan Puguh melanjutkan. "Wulan, ayahmu seorang pendekar paling banyak musuhnya. Ia tak mau orang tahu bahwa ia punya anak, ia khawatir dendam musuh-musuhnya akan ditimpakan kepada putrinya. Itu sebabnya kau dititipkan kepadaku, ia memaksaku untuk mengakuimu sebagai adik kandung. Rahasia ini hanya aku yang tahu, kini rahasia itu menjadi milik kita bertiga!"

Wajah Wulan pucat. Ia ingin tahu siapa orang tuanya. Tetapi ia takut bertanya. Ia takut jawabannya akan tidak menggembirakan. Wisang Geni tidak bisa menahan diri. "Siapa orangtua Wulan, guru?"

Manjangan Puguh menengadah menatap bulan. "Ayahmu adalah seorang yang paling kuhormati dan kusegani. Dia, adik baginda raja Kertajaya."

Mulut Wulan terkunci. Wisang Geni bagai disambar geledek. "Maksud guru, pendekar Mahisa Walungan?"

"Ya, Wulan masih berdarah biru, darah keraton!" Wulan makin tenggelam dalam kebingungan. Selama ini Manjangan Puguh mengatakan orang tuanya telah mati sejak ia kecil. Dia ingat usianya sepuluh tahun ketika dua pendekar datang menjemput dari tangan kakeknya. Sang kakek memperkenalkan Manjangan Puguh sebagai kakak kandungnya. Pendekar yang satunya, tidak dikenal, meski tampak akrab dengan sang kakek. Sejak itu dia dipelihara oleh guru Sagotra dan Manjangan Puguh sampai kemudian diserahkan kepada pendekar Bergawa, ketua Lemah Tulis.

Dan sejak itu Wulan hanya tahu ia adalah murid Ki Bergawa dari Lemah Tulis. Wulan tak pernah tahu siapa orangtuanya, dimana ia di lahirkan. Suatu waktu ia bertanya kepada Manjangan Puguh, "Kangmas kamu kan kakakku, tentu kamu tahu siapa orangtua kita, ayo ceritakan padaku." Manjangan Puguh tidak menjawab, hanya mengatakan, "Belum saatnya kamu tahu!"

Kini sudah saatnya, begitu pikir Wulan. Namun ia tetap bingung dihadapkan pada cerita baru, cerita yang sebenarnya, tentang orangtuanya. Ia hampir tidak percaya, bahwa ia masih berdarah keraton. Ayahnya adalah Mahisa Walungan yang terkenal. Tetapi apa hebatnya, toh tak ada perubahan dalam dirinya. Ia masih saja Wulan yang kemarin. "Siapa ibuku, kakang, oh, aku harus memanggilmu apa?"

"Apa artinya panggilan, panggil aku sesuka hatimu. Wulan, ayahmu adalah sahabatku. Kami bersahabat sejak masih muda. Kamu masih ingat ketika aku dan seorang pendekar datang menjemputmu, kakekmu tampak akrab dengannya tetapi mereka tak mau memperkenalkan diri. Dialah ayahmu, kakang Mahisa Walungan."

Mahisa Walungan, adik kesayangan baginda raja Kertajaya.

Ia gemar merantau, sambil menambah kepandaian ilmu silatnya. Dia sering bertarung membela kebenaran. Ia tak suka melihat penindasan dari yang kuat terhadap si lemah, atau si kaya terhadap si miskin Tak jarang ia menghukum pejabat desa yang ketahuan menggui uk.m kekuasaan semena-mena. Ia seorang yang menyukai kebebasan dan tak suka diikat dalam adat istiadat keraton yang kaku.

Suatu saat Walungan memergoki sekelompok perampok yang menjarah desa. Desa kacau, hiruk pikuk penduduk yang hei larian dikejar penjahat. Mereka merampok binatang ternak, sapi, ayam, bebek, kambing, sapi, kerbau, babi.

Mereka menjarah harta benda Mereka juga memerkosa para wanita. Mahisa Walungan datangtepat pada saat para penjahat belum lama beraksi.

Hari itu Walungan ngamuk, hampir seluruh perampok itu tewas ditebas pedang hitamnya yang tajam luar biasa.

Perampok yang masih hidup lari serabutan ke hutan. Ia mendengar suara tangis di mana mana. Banyak perempuan menangisi suaminya yang luka sebagian bahkan tewas.

Mendadak seorang perempuan tua berlumuran darah menghampiri Walungan. "Tuan pendekar, kamu tolong putriku, ia dibawa lari penjahat, ke arah sana."

Tidak ayal lagi, Walungan berkelebat mengejar ke arah hutan yang ditunjuk perempuan tua itu. Tak berapa lama ia mendengar jeritan perempuan. Ia belum terlambat. Setelah menghajar penjahat itu sampai tewas, ia menghampiri perempuan. Ia terpesona melihat kecantikan gadis itu yang hampir telanjang lantaran pakaiannya sudah dicabik-cabik si penjahat Walungan membuka sarung yang melingkat di pinggangnya, kemudian menutupi tubuh gadis itu. Dua pasang mata saling menatap.

Pendekar penolong jatuh cinta pada gadis yang ditolong. Si gadis jatuh cinta pada sang pendekar. Walungan menetap di desa itu, kawin dan bercinta dengan gadis cantik itu.

"Ayahmu tak pernah berpisah dari ibumu, sampai ketika ibumu meninggal satu hari setelah melahirkan kamu. Sesaat sebelum maut merenggut nyawanya, ibumu memeluk kamu dan memohon pada suaminya agar memberi nama Walang Wulan," tutur Manjangan Puguh.

"Siapa nama ibu?"

"Namanya indah, Wulan Sari, nama indah seperti kecantikannya. Ayahmu memperkenalkan aku dengan ibumu, sungguh aku belum pernah melihat wanita secantik ibumu.

Dia juga wanita dan isteri yang sangat setia dan telaten melayani suaminya. Tidak heran ayahmu tak mau berpisah dengan ibumu

"Ibumu setia dan sangat mencintai suaminya. Ia tak pernah bertanya asal-usul suaminya. Ia tidak tahu bahwa lelaki yang mengawini dirinya adalah seorang pangeran, adik dari raja yang paling berkuasa pada jamannya. Pada saat hendak melahirkan ia bertanya pada suaminya dan ia tidak heran ketika mengetahui suaminya seorang pangeran. Selama itu ibumu dan penduduk desa mengenal ayahmu sebagai pendekar Nagapasa yang kesohor membela kebenaran dan pembasmi penjahat"

Wulan terpesona akan cerita itu. Ia menangis. Tapi ia tak tahu kenapa ia menangis. Ia tak pernah mengenal siapa orangtuanya.

"Wulan, ada titipan penting dari ayahmu untukmu. Ia menitipkan ilmu Nagapasa ciptaannya sendiri. Ia meramu jurus hebat itu dan seluruh pendalamannya atas semua jurus silat yang ia pelajari selama pengembaraan. Kini hanya kamu pemilik tunggal ilmu dahsyat itu, bersiaplah aku akan mengajarimu"

Pada saat itu Geni pamit diri. Dalam adat istiadat kependekaran, tabu bagi Geni ikut mendengar latihan ilmu Nagapasa.

"Ayahmu mengajarkannya kepadaku setelah aku membawamu ke Lemah Tulis. Ia memaksaku berjanji." "Apa janjimu, kangmas?"

Manjangan Puguh tersenyum "Iya, kau mau tahu apa janjiku? Aku tak boleh mati dalam perang, aku harus melindungimu sampai kau dewasa dan kawin kelak."

Walang Wulan berdiam diri. Manjangan Puguh menghela nafas. Tak sanggup membendung kenangan lamanya, ia menceritakan juga tentang cintanya kepada Sukesih, istri sahabatnya. Dan Sukesih juga meminta hal yang sama, menyuruh ia melarikan diri dari perang untuk menyelamatkan Wisang Geni

Wulan menatap lelaki itu dengan pandangan iba. "Itu sebabnya kau begitu memerhatikan Wisang Geni?"

"Kalian berdua adalah putra dan putri dari sahabatku. Aku senang mengetahui hubunganmu dengan Geni. Sekarang kamu bersiaplah, Wulan, menerima ilmu warisan dari ayahmu."

Manjangan Puguh kemudian mengajarkan ilmu Nagapasa yang seluruhnya terdiri dari 18 jurus. Inilah ilmu yang menggunakan telapak tangan sebagai senjata. Pada tingkat yang tinggi, tamparan Nagapasa bisa mematahkan pedang atau golok. Tenaga yang digunakan adalah tenaga panas.

Semalaman Wulan berlath ilmu silat dibimbing Manjangan Puguh. Pada saat yang sama, Geni berlari ke tenda Dewi Obat dan mengajak Sekar ke hutan. Semalaman Geni bercinta meluapkan birahi dan cintanya pada Sekar. Bagi Wisang Geni, Sekar adalah seorang dewi yang nyaris sempurna. Perempuan yang tubuhnya indah dan molek, membuat dia tergila-gila. Di dalam tubuh indah itu, terkumpul kesetiaan dan kepasrahan yang membuat Geni kasmaran hampir setiap saat. Sekar ibarat danau yang membuat Wisang Geni ingin berenang, menyelam dan meminum air sebanyak-banyaknya. Dan semakin banyak dia menenggak air danau itu, semakin dia ketagihan. Sekar ibarat candu bagi Geni. 

---ooo0dw0oooMatahari pagi masih malu-malu, embun dan kabut belum sepenuhnya pergi. Udara masih sangat dingin, tetapi di sekitar arena tarung tampak kesibukan orang. Murid Mahameru lalu lalang di sana sini, melayani semua tamu. Meskipun di hari kemarin sudah jatuh banyak korban, baik yang mati atau pun yang luka, tetapi tampaknya tamu tidak berkurang.

Setelah pertarungan kemarin, hari kedua ini tidak banyak pendekar yang tersisa. Hanya penonton yang banyak. Semua orang tahu, pertarungan hari ini akan melibatkan para pendekar kelas wahid Akan ada tontonan jurus-jurus tanah Jawa yang paling hebat yang selama ini hanya didengar orang tetapi jarang terlihat

Saat pendeta Macukunda mengucap kata-kata pembukaan dimulainya pertarungan, seorang lelaki melompat masuk arena. Lelaki itu sudah tua, seluruh rambut dan kumisnya putih. Usianya lebih separuh abad. Wajah lelaki itu ada bekas bacokan memanjang dari dahi sampai ke dagu. "Aku jauh-jauh datang dari Ujung Kulon. Aku masih punya hutang piutang dengan Nyi Pancasona. Mana dia, kemarin aku melihatnya ada di sini?"

Sebuah bayangan melesat masuk arena. Ia mendarat seperti daun kering. "Mau apa kau, Grajagan? Kita sudah tua- tua begini, masih saja kau tak mau melupakan peristiwa dulu?"

"Ha... ha... siapa bilang kau sudah tua? Sona aku cuma ingin memperlihatkan jurus baruku ini. Limabelas tahun kulatih ilmu Sewubraja ini dan belum sekalipun aku menggunakan jurus ini. Aku liati ya ingin kamu sendiri yang menjajalnya, ayo mari kita main-main!"

Nyi Pancasona mencabut pedangnya. Lelaki yang bernama Grajagan itu memasang kuda-kuda kosong. Saat berikutnya terjadi pertarungan sengit. Jurus pedang Dala-dala perguruan Goranggareng cukup terkenal di dunia persilatan. Banyak pendekar di situ yang sangat ingin melihat sendiri jurus pedang dahsyat yang dimainkan langsung oleh ketua perguruannya sendiri.

Bisa dibayangkan kehebatannya. Sinar pedang berkelebat menyilaukan, mengurung tubuh Grajagan. Jurus demi jurus berlalu tampak Nyi Pancasona menguasai pertandingan.

Pedangnya mengurung, tidak memberi peluang Grajagan meloloskan diri. Tetapi bagi mata para ahli, justru pendekar bernama Grajagan itu yang unggul.

Itulah pertarungan antara dua sifat yang bertentangan.

Ilmu pedang Dala-dala mengutamakan kecepatan dan ketajaman pedang. Sedang jurus tangan kosong Sewubraja menggunakan telapak tangan sebagai senjata lebih memanfaatkan kelambatan untuk mengatasi kecepatan.

Ilmu Sewubraja itu dimainkan dengan tenaga dalam yang hebat sehingga terlihat lambat Telapak tangan yang dilatih hebat itu bahkan tak perlu takut ketebas pedang. Telapak tangan itu kebal senjata dan bisa digunakan menyabet atau menangkis pedang.

Manjangan Puguh mencolek pundak Wulan, "Jurus si lelaki itu agak mirip jurus Nagapasa tapi ada bedanya. Telapak tangan sama punya kekebalan, hanya ilmu ayahmu mengutamakan gerak yang cepat dan tepat Sedang ilmu orang itu mendasari gerak dari sifat lambat dan kaku."

Wulan mendengar petuah dan pelajaran Manjangan Puguh sambil tetap memerhatikan arena pertarungan. Sinar pedang itu makin lama makin memudar. Tiba-tiba sinar pedang itu terhenti. Nyi Pancasona melihat kutungan pedang di tangannya. Grajagan melihat wajah perempuan itu yang tampak kecewa. "Hei, Sona, kamu tidak kalah, kita sama-sama menang. Pedangmu patah, tetapi telapak tanganku luka. Kau lihat tanganku!"

Nyi Pancasona tertawa hambar. "Grajagan, kau sengaja melukai dirimu, aku akui kau sekarang sudah hebat!"

"Sungguhkah jurusku hebat? Bagaimana kalau dipadu dengan Sagotra? Hai, ke mana Sagotra sembunyi?"

Nyi Pancasona memutar tubuh sambil melempar kutungan pedang yang amblas ke dalam tanah. "Aku tidak tahu, kau cari sendiri".

Tahu-tahu sesosok bayangan melesat ke dalam arena.

Gerakannya sulit diikuti mata. Mirip gerakan Manjangan Puguh ketika masuk arena. Bedanya, ketika menginjak tanah Manjangan Puguh masih membuat debu sedikit mengepul.

Tetapi kaki orang tua itu sama sekali tidak mengusik debu.

Bayangan yang baru masuk itu memandang Nyi Pancasona dan Grajagan bergantian. Mendadak ketiganya tertawakeras. "He... he... tak terasa kita sudah sama-sama tua," kata orang itu.

Pancasona memandang lelaki tua itu dengan mata berbinar. "Kemana kau sembunyi selama duapuluh tahun? Kau sengaja sembunyi dariku, Sagotra! Aku tidak terima baik!"

Kecuali Manjangan Puguh, semua orang di situ terkejut. Ternyata orang tua itu, Ki Sagotra, yang terkenal dengan julukan pendekar Merapi. Ditegur Nyi Pancasona, Sagotra gugup. "Aku... ketagihan mancing... main dengan ombak. Oh... hebat, mancing di pulau Sempu? Kalian pasti suka di sana." "Hei, Sagotra, begini saja. Kita bertarung, kalau kau menang kau ajak aku dan Sona ke pulailmu. Tapi kalau aku menang maka kalian berdua jadi tamuku di Ujung Kulon.

Tempatku juga di tepi pantai, bisa mancing dan ombaknya setinggi Mahameru ini. Hayo, apa kau berani jajal jurus Semibraja ini?"

"Baik, hayo, kita tarung. Orang-orang ini perlu juga melihat Bang Bang Alum Alum yang asli. Kemarin, murid si Manjangan Puguh yang dari Lemah Tulis memainkan jurusku itu, buruk sekali!"

Sesaat kemudian dua jago tua itu bertarung sengit.

Terdengar suara tangan beradu tangan, kaki beradu kaki. Mereka bertarung sengit, tapi kaki mereka tidak membuat debu naik dari permukaan tanah. Pertanda keduanya punya ilmu ringan tubuh yang mumpuni. Namun orang bisa membedakan bahwa ilmu ringan tubuh Ki Sagotra masih jauh di atas lawannya. Gerak kakinya tak mengusik debu, sementara gerak kaki Grajagan membuat sebagian debu mengepul. Mata Wisang Geni dan Manjangan Puguh tak berkedip. Tampaknya Ki Sagotra memperlihatkan cara yang paling benar memainkan ilmu Bang Bang Alum Alum. Diam- diam Geni dan Manjangan Puguh berterimakasih.

Suatu ketika Grajagan menampar dada Sagotra. Tangan yang satu lagi mendorong ke arah pinggang. Pendekar Merapi ini menangkis dengan jurus Lokamandhala (Muka permukaan bumi) dari Bang Bang Alum Alum. Dua tangan beradu keras. Sagotra terlempar dua tombak ke belakang. Tubuhnya melayang ringan kena dorongan tenaga lawan.

Tapi, tubuh itu terhenti di udara, dan anehnya tanpa kakinya memijak tanah, Sagotra melayang balik ke arah Grajagan. Sungguh ilmu ringan tubuh yang tak mungkin bisa digelar manusia.

Aneh tapi nyata ilmu Waringin Sungsang yang tadi diperlihatkan Sagotra itu tak pernah dilihat orang sebelumnya. Kontan saja Grajagan berteriak marah, "Bangsat kau Sagotra, kau menipuku, sampai mampus pun aku tak akan bisa menyamai kepandaianmu."

Pada saat itu pendeta Macukunda melesat masuk arena. "Ki Sagotra, kau harus ikut bertarung lawan orang-orang negeri Cina. Kau tak boleh lari bersembunyi lagi."

"Aku tak mau..."

"Kau harus mau, Ki Sagotra. Ini menyangkut gengsi tanah Jawa, bukan persoalan pribadi kita. Kalau kau menolak, berarti kau bukan pendekar tanah Jawa!"

Nyi Pancasona melesat masuk gelanggang, ia menggenggam tangan dua lelaki sahabatnya itu, Sagotra dan Grajagan. Tiga orang itu bergendengan tangan meninggalkan gelanggang tarung. Sambil melesat pergi, Nyi Pancasona berkata, "Hai Pendeta Macukunda kamu tak usah khawatir, pada saatnya nanti kamu hanya perlu kirim kabar ke pulau Sempu dan pendekar Merapi pasti akan datang membantu."

Di gelanggang tarung tinggal pendeta Macukunda seorang.

Merasa tak pantas keluar gelanggang sebelum bertarung, Macukunda memberi hormat ke sekeliling. "Aku pendeta buruk terpaksa menyediakan tulangku yang tua ini untuk dijajal orang, hanya sebab ingin membela gengsi tanah Jawa. Tak ada ambisiku untuk memperlihatkan ilmu. Silahkan siapa yang ingin menjajal tulang tua ini."

Tak ada orang bersuara. Sunyi senyap. Macukunda kembali mengulang tantangannya. Sesosok bayangan melesat masuk arena. Dialah Sang Pamegat, tokoh sakti yang misterius yang menyertai rombongan Ranggawuni. "Pendeta berbudi luhur, semua orang tahu kehebatanmu. Tapi belum ada yang melihat secara langsung caramu bertarung. Mereka ingin melihat kehebatanmu, tapi tak ada yang berani mencoba. Biar aku, Panji Patipati, yang menjadi mitra tandingmu, maafkan aku dan tolong berlaku murah padaku!" "Kau terlalu merendah, Ki Panji. Aku sudah lama mengagumimu!"

Dua pendekar ternama langsung saling gebrak membuat semua orang meleletkan lidah. Macukunda tanpa segan-segan memainkan ilmu Brahmanagrha yang terdiri 21 jurus. Ilmu Mahameru ini mengambil panutan pada sifat Gereh dan Sedung. Itu sebabnya terkadang pukulan Macukunda berbunyi bagai suara guntur dan badai. Tenaga besar dan bunyi yang mengguntur membuat gebrak Macukunda ini sangat berwibawa.

Panji Patipati, tokoh misterius dari keraton Tumapel ini, tidak kalah galak. Ilmu Tanding Tinanding dan Jala Ampir digelar bergantian dengan ilmu simpanannya yang membuat ia digelari orang Sang Pamegat. Tujuhbelas jurus Pamegat itu termasuk ilmu kelas atas, menggunakan kecepatan dan kejelian burung elang serta terkaman macan kumbang sebagai panutan.

Tak terasa limapuluh jurus telah berlalu. Macukunda pun mulai mengeluarkan ilmunya yang lain Sasraludira yang terdiri dari duapuluh lima tata cara mencengkeram titik kematian.

Berulang kali terjadi bentrokan tangan dan kaki di tanah maupun udara. Sungguh pertarungan tingkat atas. Lewat seratus jurus, mendadak keduanya memisahkan diri. Baju di pundak kanan Sang Pamegat hancur. Begitu pula baju di bagian perut Macukunda. Kedua pendekar ini saling hormat, kemudian sama-sama meninggalkan gelanggang tarung.

Pertarungan demi pertarungan berlangsung. Jayawitaka dihajar sungsang sumbal oleh Geriting, pendekar dari Utara. Dan Geriting tak ungkulan menghadapi ilmu Pedang Tanpa Suara dari Ki Antaboga, ketua perguruan Ngantang.

Berikutnya, Harsup, tokoh kebanci-bancian dari Nusa Barung dengan tipu muslihatnya yang licik menghajar mampus Ki Sawung. Harsup kemudian kabur ketika berhadapan dengan sepasang Setan Sapikerep. Tadinya Wisang Geni hendak turun gelanggang menghadapi dua Setan Sapikerep itu tetapi kedahuluan oleh Banjalit, yang dijuluki pendekar Selatan.

Hampir duaratus jurus lebih bertarung akhirnya Banjalit harus menyerah. Dadanya kena hantaman kaki sang isteri, Lembani, disusul pukulan sang suami, Lembusana. Melempar diri ke belakang beberapa tombak, Banjalit berjongkok Ia memasang kuda-kuda dalam sikap adu jiwa, apalagi lawan masih akan menyerang. Melihat sikap lawan yang garang dan siap adu jiwa, pasangan suami isteri itu, batal menyerang.

Saat berikut Banjalit keluar gelanggang dengan sikap gagah.

Menghadapi sepasang suami isteri Sapikerep itu, Ki Antaboga masuk arena bersama isterinya, Nyi Kudadu. Terjadi pertarungan antara dua pasang suami isteri. Antaboga dengan Pedang Tanpa Suara sedang Nyi Kudadu menggunakan ilmu Seribu Pedang Sejuta Bunga. Suami isteri Sapikerep menggunakan sepasang tombak pendek.

Seratus jurus berlangsung, pasangan dan Ngantang itu terlihat unggul dan mendesak habis pasangan Sapikerep. Pada akhirnya dua tebasan beruntun dari Ki Antaboga berhasil melukai telak Lembusana yang jatuh bergulingan. Darah mengucur dan pundak dan lengannya. Lembani menggotong suaminya keluar arena

Matahari telah berada di puncaknya ketika Macukunda melompat masuk gelanggang. Ia memberi hormat berkeliling. "Sampai saai mi hanya tinggal beberapa orang yang belum terkalahkan. Aku dan Ki Pamegat, dalam pertarungan kami tadi tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Aku menantang siapa yang mau menantang aku si pendeta Macukunda atau siapa juga yang mau menantang sang Pamegat."

Tak seorang pun yang keluar menantang dua tokoh sakti itu. Ilmu dua orang itu sudah terbukti kehebatannya. "Baik, kalau demikian, sudah tiga orang yang terpilih dari luna yang kita cari. Aku si pendeta Macukunda, Sang Pamegat dan Pendekar Merapi. Siapa yang tidak setuju atau keberatan silahkan angkat suara."

Hening, tak ada suara. Kemudian terdengar suara tertawa bagaikan ringkik kuda, panjang, kering dan bergelombang.

Begitu suara tawa itu berhenti, dari kemah sebelah timur melayang sesosok bayangan ke arena. Kalayawana!

"Pendeta Macukunda, tiga orang pilihan itu kurasa tidak ada lagi yang menantang. Itu artinya semua orang setuju. Kini masih tersisa dua lowongan, aku mau satu. Kalau tak ada yang menantangku, berarti aku terpilih. Sebenarnya aku ingin tarung lawan pendekar Lemah Tulis yang kemarin membunuh muridku dan menantang aku, mana dia, apakah masih berani maju menantang aku?"

Suara Kalayawana menggaung dan mengema ke empat penjuru, itu ilmu Angampuban yang menjadi andalannya. Dalam hati ia mengharap agar Wisang Geni masuk gelanggang tarung, sungguh ia akan remas batang lehernya.

Dan memang Wisang Geni sudah bersiap dari tadi. Geni sudah pamit pada Padeksa. Ketika itu Manjangan Puguh memegang lengan muridnya. "Geni, jangan maju, biar aku saja yang menghadapinya."

"Tidak guru, ini kewajibanku sebagai seorang anak, ini dendam berdarah yang sudah lama kuinginkan. Tak ada keinginan yang lebih kuinginkan selain membunuh Kalayawana! Guru biarkan aku maju!"

Gajah Watu menyela, "Ilmu silatnya sangat tinggi, apa kau yakin bisa mengatasinya?"

Geni tertawa lirih. "Aku yakin akan kemampuan Wiwaha dan ilmu Prasidha, aku bisa mengatasinya!" Padeksa berkata lirih, "Geni, hati-hati, dia punya ilmu sihir yang bisa membuat lawan lupa ingatan."

"Aku akan mengingatnya guru!"

Geni melangkah sambil melirik Wulan dan Sekar dengan mesra. Bibir Wulan bergerak, "Geni hati-hati!" Tetapi suaranya tersumbat di kerongkongan. Dua kekasih Geni itu merasa tegang yang amat sangat. Karena mereka tahu betapa tinggi kepandaian silat Kalayawana, tanpa sadar Wulan menggumam, apakah Geni mampu menahannya.

Wisang Geni melompat masuk arena. Ia menggunakan jurus handal Waringin Sungsang yakni Mesat (Meloncat dengan kecepatan tinggi). Dalam sekejap mata ia sudah berdiri beberapa tombak berhadapan dengan Kalayawana. Geni menatap tajam mata Kalayawana. Mata musuh yang hanya satu itu mencorong bagai bola matahari yang panas dan siap membakar apa saja di depannya. Tetapi Geni tak merasa takut sedikit pun. Ia merasa mampu mengatasi musuh besarnya itu.

"Kau, berani juga mengantar jiwamu. Sebentar lagi akan kupatahkan batang lehermu, mengantar kamu ke kubur, di sana kamu harus minta maaf pada tiga muridku."

"Kalayawana, jangan banyak bacot. Kau hutang nyawa ayah ibuku, kau juga ikut andil menghancurkan perguruanku. Selain itu perbuatanmu membuat banyak orang lain sengsara. Kau terlalu, banyak berbuat kejahatan, aku tidak bisa membiarkan kamu hidup lebih lama lagi di dunia."

Kalayawana tertawa keras. Ia mulai mengalunkan aji Begananta, suaranya bagai jarum yang menusuk-nusuk gendang telinga. Geni tidak ayal lantas mengeluarkan suara Tawa Kera. Sambil tetap perang tertawa, dua seteru yang sama-sama punya dendam kesumat sebesar gunung ini saling gebrak menggunakan jurus-jurus telengas dan sengit. Seluruh ilmu simpanan dari kuburan Gondomayu dikeluarkan Kalayawana dengan pengerahan tenaga besar. Jurus dari ilmu Ghandarwapati seperti hendak meluluh lantakkan tubuh Wisang Geni. Tetapi anak muda yang sudah makin pengalaman dalam pertarungan tak mau terburu nafsu. Itu memang pesan gurunya, Padeksa. "Jangan marah, jangan terburu nafsu, tenang seperti air danau yang tidak terusik bahkan oleh angin semilir pun."

Setelah tadi secara tidak langsung memperoleh petunjuk pendekar Sagotra, kini Wisang Geni lebih mulus dalam menggelar Bang Bang Alum Alum. Jurus handal dari gunung Merapi ini kadang diselingi Garudamukha dengan kegesitan enam jurus gerak Waringin Sungsang. Pertarungan berlangsung ketat dan sengit. Sampai seratus jurus, kedudukan masih imbang.

Dalam hati Kalayawana heran, empat bulan lalu ia menghajar Wisang Geni hanya dengan sekali pukul. Bagaimana mungkin, sekarang anak muda ini bisa mengimbanginya sampai seratus jurus lebih. Tadinya ia menganggap kematian tiga muridnya sebagai keteledoran dan kesemberonoan muridnya. Tetapi kini ia tahu, memang kepandaian Geni sudah tergolong kelas satu.

Dalam ilmu ringan tubuh, Wisang Geni lebih unggul. Tenaga dalam sama imbang. Kalayawana unggul dalam pengalaman. Itu sebab pertarungan berlangsung imbang. Memasuki jurus seratus limapuluh Geni sedikit demi sedikit mulai meningkatkan kadar tenaga dan kecepatan dalam tiap geraknya. Kalayawana mulai keder.

Mengetahui dirinya mulai berada bawah angin, Kalayawana mulai menggunakan ilmu hitamnya. Lewat tertawa Angampuban yang bergantian dengan Akashawakya, Kalayawana menggunakan ilmu sihir. Matanya menatap Geni dengan berkedip-kedip mesra. Ia mengubah cara berkelahinya, tidak lagi menggunakan tinju atau cakar, melainkan pukulan telapak tangan.

Wisang Geni merasa aneh. Kalayawana yang buruk rupa itu terkadang bisa salin wajah menjadi Wulan. Makin lama wajah dan tubuh Wulan lebih sering menggantikan Kalayawana.

Wisang Geni tahu ini sihir buatan lawan, tetapi ia tak tahu cara mengatasinya. Suatu saat Geni menarik pukulannya karena takut melukai Wulan. Sebaliknya pukulan keras Kalayawana menghantam dadanya.

Penonton menjerit Wisang Geni melempar diri empat langkah ke belakang. Ia muntah darah. Untung baginya tenaga Wiwaha telah melapis dirinya sehingga pukulan tidak sampai telak dan merusak. Sedang Kalayawana melihat pukulannya berhasil mengena lawan, kontan menyerbu dengan geram Ia ingin membunuh dan melumat Geni.

Mengetahui kondisi kritis Geni melejit dengan Antarlina jurus melenyapkan diri dari Waringin Sungsang.

Kalayawana memburu, Geni melejit dengan Antarlina. Geni merasa dadanya masih sakit. Beberapa saat kemudian rasa sakit itu lenyap. Ia tahu tenaga Wtwiiba telah menyembuhkan lukanya,

Geni kembali bertarung rapat, kali ini ia mengeluarkan jurus Sikhwiriya (cintaku kepadanya) dari ilmu Garudamukha Prasidha.Jurus ini dilukiskan sebagai luapan rasa cinta Abhimanyu kepada Ksiti Sundari dalam cerita Gatotkacasraya. Tanpa sadar Geni memilih jurus ini karena melihat Kalayawana berubah menjadi Wulan di hadapannya.

Pada saaat itu Kalayawana menyerang dengan Daitya Naraka (Raksasa dari Neraka) jurus telengas dari Ghandanvapati. Tangan kanan mencengkeram dada, tangan kiri memukul pelipis, disertai tendangan ke selangkangan.

Hebatnya jurus ini masih dibantu pengaruh sihir serta tertawa Angatnpuhan. Wisang Geni seperti melihat Wulan mendekat kepadanya. Tangan Wulan hendak mengelus dada, tangan yang lain mengelus kepalanya.

Dari pikiran sadarnya Geni tahu Kalayawana menyerang dengan jurus mematikan. Tapi pandangannya melihat Wulan melompat hendak membelai dan mengelusnya, Geni tidak tega menggunakan jurus maut, takut melukai Wulan seandainya itu benar Wulan. Tapi Geni juga takut jika bukan Wulan, maka ia akan kena hajar Kalayawana.

Akhirnya Geni pasrah. Sikap jiwa saat menggunakan Prasidha itu Geni memilih sikap Sikhwiriya sebagai pernyataan cintanya, "Kalau pun mati tak apalah asal kau tahu betapa cintaku padamu". Dua tangan Geni menyongsong pukulan lawan. Kakinya ditekuk ke bawah sehingga tendangan Kalayawana yang mengarah ke selangkangan akan mendarat di perut.

Kalayawana melihat sepasang mata Geni berbinar namun bergoyang. Ia yakin Geni masih dalam pengaruh sihirnya.

Tanpa belas kasihan Kalayawana menyalurkan seluruh tenaganya ke dua tangan. "Mampus kamu!" teriaknya.

Saat berikut Kalayawana mencelos, tenaganya seperti menerobos ke dalam sumur yang tak berdasar. Ia sangat terkejut, berniat hendak menarik kembali tenaganya, tetapi semua sudah terlambat Tenaganya seperti ditarik dan disedot masuk dalam sumur. Kemudian dari tangan Geni muncul keluar gelombang tenaga besar yang luar biasa dinginnya.

Tenaga itu menerobos melalui tangan Kalayawana dan melanda seluruh tubuhnya. Kalayawana berteriak. Teriakan yang membangkitkan bulu roma.

Kalayawana terlempar dua tombak, terletang di tanah dengan darah keluar dari semua lobang tubuhnya.

Kalayawana memandang Wisang Geni dengan heran dan penasaran. "Ilmu apa itu, ilmu siluman dari mana, katakan ilmu apa itu biar aku tidak penasaran?" Wisang Geni yang baru saja terbebas dari sihir memandang Kalayawana dengan kasihan. Ia menjawab dengan suara yang agak keras, supaya didengar banyak orang. "Itu ilmu paling handal dari Lemah Tulis namanya Garudamukha Prasidha dan jurus yang kugunakan namanya Sikwiriya, sudahlah Kalayawana, aku sudah membayar lunas kematian dua orangtuaku, pergilah ke neraka membawa serta semua kejahatanmu, tanah Jawa tak memerlukan orang jahat seperti kamu, Kalayawana!"

Saat itu juga Kalayawana memejamkan mata. Mati! Sesaat penonton membisu, kemudian menyambut kemenangan Wisang Geni dengan tepuk tangan. Orang-orang Lemah Tulis yang paling getol menyambut kemenangan ketuanya.

Padeksa, Gajah Watu, Walang Wulan dan Sekar berdiri bertepuk tangan.

Memang mencengangkan, suatu kejutan besar, seorang anak muda yang belum punya nama ternyata mampu menghabisi petualangan Kalayawana yang selama ini tidak pernah terkalahkan. Meskipun ia dari Lemah Tulis, perguruan yang pernah begitu populer, hal itu tetap kejutan yang paling menggegerkan.

Wisang Geni kendati telah unjuk kebolehan dengan membunuh Sempani dan tiga murid Kalayawana, pada mulanya tetap diramalkan hanya akan menghantar nyawa di tangan Kalayawana. Tetapi kenyataan justru terbalik, Geni akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebagian penonton merasa senang, bagi mereka satu dari sekian orang jahat dan telengas di kolong langit akhirnya mati juga

Sebagian pendekar menduga-duga ilmu apa yang digunakan Wisang Geni dalam tiga pertarungan yang begitu mencekam Ketika Geni menjawab pertanyaan Kalayawana yang sekarat, tak ada lagi keheranan dari wajah mereka.

Kalau itu memang ilmu paling handal dari Lemah Tulis, maka tidak salah lagi kalau perdikan itu pernah berjaya duapuluh tahun silam.

Berdiri dari kursi, Pendeta Macukunda mengucap selamat kepada Wisang Geni sebagai pendekar muda pendatang baru di dunia persilatan. Macukunda kemudian berseru kepada Padeksa dan Gajah Watu. "Berbahagialah sampean berdua, aku melihat masa depan yang cerah menanti Lemah Tulis di depan mata."

Padeksa mengucapkan terimakasih sekaligus permisi untuk suatu berita perguruan. "Hari ini kepada para pendekar sekalian yang ada di sini, kami berdua, Padeksa dan Gajah Watu memberitahu bahwa sejak kehilangan ketua duapuluh lima tahun yang lalu, baru kini kami memiliki seorang ketua. Dialah ketua perdikan Lemah Tulis yang ketujuh, namanya Wisang Geni."

Wisang Geni memberi hormat ke seluruh arena, "Aku yang muda ingin mengumumkan bahwa sejak hari ini Lemah Tulis tak lagi punya ikatan perguruan dengan Lembu Agra. Dia murid busuk yang berkhianat yang menaruh racun pelemas tulang ke sumur perguruan. Akibatnya kami semua keracunan sehingga lawan dengan mudah mengalahkan kami. Perlu diketahui bahwa ia sebenarnya adalah murid keturunan partai Turangga, nama aslinya Jaranan, kini ia menjabat ketua partai itu."

Pengumuman itu sangat mengejutkan. Baru sekarang terungkap tabir misteri mengapa perguruan sehebat Lemah Tulis sampai hancur dan nyaris punah duapuluh lima tahun yang lalu.

Macukunda memecahkan kesunyian "Hayo, siapa lagi yang mau menantang Ki Wisang Geni, ketua Lemah Tulis yang baru ini. Atau mungkin menantang Ki Antaboga ketua perguruan Ngantang?" Wisang Geni beranjak hendak meninggalkan gelanggang tarung, ketika terdengar suara bentakan nyaring, "Tunggu!"

Seorang wanita cantik melangkah masuk gelanggang tarung. Ia berjalan biasa, sepertinya tak peduli akan pandangan orang yang kagum melihat kecantikannya. Pakaiannya aneh. Celana panjang longgar sebatas perut. Bagian perutnya terbuka, memperlihatkan perut yang rata dan putih bersih. Di bagian dada, baju ketat yang memperlihatkan bentuk buah dada yang montok. Ia mengenakan selendang dari sutera warna putih sama seperti warna pakaiannya. Ia cantik, hidung bangir, mulut agak lebar, rambut panjang dibiarkan terurai melebihi pundak. Tinggi semampai. Matanya berbinar memandang Wisang Geni.

"Kita ketemu lagi, Wisang Geni yang tampan." Wisang Geni gugup menjawab, "Kau... kau..."

"Kenapa kau gugup, aku tetap Malini yang dulu. Kalau dulu kau tak kuberi obat penawar racun, tentu sekarang ini kau sudah mati. Seharusnya kau berterima kasih padaku."

Wisang Geni meluap amarahnya. "Kau perempuan bangsat, kau telah meracuni aku dan Sekar. Kalau saja tak ada Dewi Obat yang menolong, aku pasti sudah mati! Aku tak suka bertempur dengan perempuan, panggil keluar lakimu!"

"Ah lagi-lagi kamu cemburu, Geni. Sudah berulang kali kukatakan Kumara itu cuma teman perjalanan."

Wisang Geni kewalahan, ia berpikir keras. "Perempuan ini gila dan tak tahu malu, ia ingin mempermalukan aku di depan umum Apa kata orang nanti tentang aku? Apa kata Wulan dan Sekar?"

Wisang Geni tak tahu apa yang harus diperbuat. Mendadak terdengar suara bisikan Malini di telinganya. Ini ilmu mengirim suara jarak jauh. "Wisang Geni, cepat kamu beritahu di mana kakek gurumu bersembunyi, kalau kau masih membandel juga, akan aku umumkan bahwa dulu kita pernah bercinta dan sekarang ini aku hamiL"

Tubuh Wisang Geni gemetar, keringat membasahi dahinya. Tanpa sadar ia menoleh ke tenda mencari-cari wajah Wulan. Terdengar bentakan nyaring Malini. "Hayo! Tunggu apa lagi!"

"Baik akan aku bawa kamu ke gunung Lejar. Tapi besok baru kita berangkat," jawab Geni dengan gugup.

Malini tertawa dingin suaranya nyaring sehingga semua orang mendengar. "Tidak! Aku tak mau besok! Aku mau sekarang juga kita berangkat!"

Pada saat yang kritis itu tiba-tiba melesat sesosok bayangan masuk gelanggang. Ia berdiri di samping Wisang Geni. Gadis itu Sekar. Mendadak sekilas Wisang Geni melihat Malini menggerakkan tangan, menyerang Sekar. Tidak ayal lagi Geni memotong serangan Malini dengan serangan. Sekar tertawa. Ia tampak cantik, lebih cantik dari Malini karena Sekar tampak masih muda, segar dan ceria. Mata Sekar melotot marah, berlagak seperti seorang ibu yang sedang memarahi putrinya yang nakal.

"Malini, rupanya kau masih mengenali aku. Itu sebab kamu menyerangku, kamu ingin membunuhku, agar kau bisa memfitnah Wisang Geni dengan leluasa, bukan? Aku heran di dunia ini ada perempuan macam kamu yang tak kenal malu."

"Kau belum mati rupanya, seharusnya kamu jangan muncul supaya bisa hidup lebih lama lagi."

"Maksudmu, kamu mau membunuh aku?"

"Hari ini aku sungguh akan mencabut nyawamu!" Berkata demikian perempuan dari negeri Jambudwipa itu menyerbu Sekar dengan serangan beruntun. Wisang Geni tak tinggal diam, ia tahu Sekar tak akan bisa menangkal serangan dahsyat itu. Segera terjadi pertempuran sengit antara Geni dan Malini. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, tanpa terasa pertarungan memasuki jurus yang ketigapuluh.

Pada saat itu melayang sesosok bayangan ke arena.

Seorang lelaki dengan pakaian aneh masuk arena. Bercelana longgar yang diikat di pergelangan kaki. Bajunya sempit, tanpa lengan dengan dada terbuka, memperlihatkan bulu dadanya yang lebat. Rambutnya hitam pekat, keriting dan digelung di atas kepala. Hidungnya mancung. Banyak persamaan dengan perempuan asing itu.

Empat bayangan menerobos gelanggang tarung. "Siapa kalian yang berani mengacau di Mahameru? Apa kalian pikir tak ada orang yang bisa mengusirmu?" Empat orang itu tak lain, saudara seperguruan Macukunda yang selama dua hari ini tidak pernah jauh dari sang ketua Mahameru.

Lelaki asing itu, Kumara, memandang tajam empat pendekar Mahameru. Pada saat itu, Malini menarik serangannya, melakukan salto ke belakang dan tepat berdiri di samping Kumara. "Hebat, ilmu kamu sudah jauh maju.

Jawablah dengan jujur, Wisang Geni. Kamu seorang ketua Lemah Tulis, harus punya kehormatan. Kami berdua punya hutang piutang dengan seorang ketua Lemah Tulis yang duapuluh lima tahun silam mengalahkan pamanku Lahagawe di perang Ganter, katakan di mana kami bisa temui orang tua itu!"

"Aku tak pernah ketemu dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Aku tak tahu beliau ada di mana. Kalau kau memang punya hutang piutang dengan beliau, kamu alihkan padaku. Aku yang bertanggungjawab atas semua hutang piutang Lemah Tulis!"

"Begitu pun bagus. Kamu sebagai ketua Lemah Tulis, kamu yang bertanggungjawab. Juga kudengar kamu tadi mengatakan kamu sudah menguasai ilmu tingkat tinggi perguruanmu yang bernama jurus Prasidha. Baiklah kita akan berjumpa satu bulan lagi di tempat pertama kali kita jumpa". Selesai berkata, Kumara memegang tangan Malini, keduanya bergandengan meninggalkan gelanggang tarung seperti melayang saja. Ilmu ringan tubuh yang diperlihatkan tidak berada di bawah jago-jago tanah Jawa.

Wisang Geni mengucap terima kasih kepada empat pendekar Mahameru itu. Ia menggenggam tangan Sekar dan meninggalkan gelanggang tarung.

Ki Antasena, yang tertua dari keempat pendekar itu melontarkan pertanyaan ke sekeliling arena. "Kalau tidak ada lagi pendekar yang menantang maka pertarungan ini akan segera ditutup!"

Arena pertarungan lengang dan sepi. Mendadak terdengar bentakan memecah kesunyian, "Tunggu!"

Seorang lelaki berpakaian penuh tambalan dengan jenggot dan kumis yang sudah putih semua, melangkah cepat memasuki gelanggang urung. Tubuhnya tinggi dan tegap, langkahnya lebar, mengingatkan orang pada tokoh Pandawa yang tinggi besar, Bratasena. Tak salah lagi dialah Ki Demung Pragola! Ia menoleh ke sekeliling. "Mana dia Wisang Geni, jangan lari kamu. Mana kejantananmu, ke mana kau bawa kabur cucuku? Hayo tunjukkan rupamu, sedikit saja kau ganggu rambut cucuku, jiwamu ku kirim ke neraka! Geni keluar kau, ayo temui aku!"

Wisang Geni masuk kembali ke gelanggang, ia merasa heran. Ia memandang Wulan yang juga keheranan. "Bukankah cucilmu sudah kulepaskan waktu itu, malah dijemput oleh anak buahmu sendiri!"

"Bohong kamu, anak buahku kamu bunuh, mana bisa ada urusan seperti itu! Ternyata Lembu Agra benar, kau memang penjahat yang berpura-pura menjadi pendekar berjiwa ksatria!"

Mendengar nama Lembu Agra, secara naluriah Geni berpaling memandang kemah di mana ia melihat Sempani menginap bersama Lembu Agra kemarin. Sekilas ia melihat bayangan berkelebat dan jerit suara anak kecil memanggil, "Kakek!"

Saat itu juga Geni melesat menggunakan jurus Mesat disambung dengan Warayang dua jurus hebat dari Waringin Sungsang. Gerakan Geni susah diikuti mata. Dalam keadaan terdesak tenaga Wiwaha memperlihatkan keampuhannya, dorongan tenaga yang begitu besar membuat gerakannya cepat dan pesat seperti kelebatnya kilat.

Sesaat kemudian Geni sudah mengancam Lembu Agra yang lari sambil memondong seorang gadis kecil. Dalam hal ilmu ringan tubuh Lembu Agra berada di bawah kemampuan Wisang Geni, apalagi dengan memondong tubuh gadis kecil itu, maka dalam sekejap mata Wisang Geni sudah mendekat. Tahu sulit meloloskan diri dari kejaran Geni, Lembu Agra melempar tubuh gadis kecil itu. Tubuh gadis kecil itu melesat ke arah batu besar.

Wisang Geni terkejut, tak ayal lagi ia berbelok arah, menggunakan jurus Antarlina dengan segala kekuatan tenaganya. Tapi ia terlambat, tubuh gadis kecil itu melayang lebih cepat. Terdengar jerit banyak orang, mereka membayangkan kepala gadis itu akan pecah berantakan.

Mendadak tubuh Geni seperti terlontar ke depan, sambil kedua tangannya mengirim pukulan jarak jauh. Itu jurus Warayangungas dari Garudamukha. Batu itu pecah berantakan dan hancur menjadi debu Tubuh gadis kecil itu melesat melewati pecahan batu yang berantakan. Sesaat kemudian Geni menjambret tubuh gadis kecil itu yang pingsan saking kagetnya.

Beberapa saat kemudian Demung Pragola tiba di tempat itu diikuti hampir semua orang. Ki Demung yang tinggi besar itu segera merebut cucunya dari tangan Geni dan memeluknya erat. "Untung kamu selamat, nduk", katanya dengan suara penuh haru. Setelah ketenangan mereda, semua orang kembali ke tempat masing-masing. Demung Pragola mengucap terima kasih kepada Geni. Ia juga menyapa Wulan, Padeksa, dan Gajah Watu dengan akrab. Memang benar, Demung Pragola adalah sahabat mendiang Bergawa. Pada mulanya Pragola heran, mengapa Lembu Agra menyandera cucunya. Tetapi setelah mendengar cerita perihal pengkhianatan itu, Pragola mengerti duduk persoalannya.

Pendeta Macukunda menghampiri dan menyapa Demung Pragola dengan akrab, "Hei, Pragola, kenapa baru sekarang datang? Tarung belum berakhir, masih ada kesempatan kalau kau mau ikut bersaing. Kau tinggal pilih menantang pendekar yang mana di antara lima pemenangnya. Aku Macukunda atau sang Pamegat atau Ki Sagotra dari gunung Merapi atau Ki Wisang Geni ketua Lemah Tulis atau Ki Antaboga ketua Ngantang? Hayo kau pilih yang mana?"

"Ha... ha... aku tak tertarik. Mereka yang kau sebut tadi semuanya pendekar yang pantas mewakili tanah Jawa. Satu- satunya yang belum kukenal cuma Ki Wisang Geni. Tetapi kepandaian yang diperlihatkan tadi ketika menyelamatkan cucuku, itu ilmu silat kelas atas. Aku tak perlu ragu lagi! Dia pantas mewakili tanah Jawa." Setelah basa-basi secukupnya, Demung Pragola bersama cucu dan beberapa anak buahnya pamit mundur. Tetapi Macukunda mengajak Pragola sahabatnya itu untuk nginap satu hari lagi.

"Hb... ho... orang bilang habis gelap akan datanglah terang, Lemah Tulis sekarang sedang kejatuhan bintang. Kamu tahu, riwayat dan petualangan Kalayawana dari Gondowayu berakhir di tangan Ki Wisang Geni, begitu juga Sempani, opo ora hebat itu?"

Akhirnya pertarungan para pendekar di puncak Mahameru selesai sudah. Macukunda mengucap terimakasih kepada semua orangyang telah menghadiri pertemuan. Ia mengumumkan lima nama pemenangnya, yang nantinya akan mewakili tanah Jawa dalam adu kepandaian lawan jago-jago dari daratan Cina.

Tetapi sebelum kumpulan orang-orang itu bubar turun gunung, lima orang dengan dandanan dan wajah yang asing mendekati gelanggang tarung. Semua orang memandang kelompok orang asing itu dengan heran dan takjub.

Seorang di antaranya perempuan. Ia cantik berkulit putih bersih mengenakan celana dan kemeja panjang, warna hitam Ia maju sambil merangkap dua tangan memberi hormat kepada semua orang di sita. "Kami utusan dari Kuangchou, kami ingin berjumpa dengan pimpinan persilatan tanah Jawa."

Suara gadis itu terdengar bening dan empuk, meski logatnya kaku dan patah-patah. Ki Demung Pragola menjawab spontan, "Di tanah Jawa ini belum ada seorang pemimpin persilatan atau yang disebut sebagai orang nomor satu Kami belum pernah melakukan pemilihan sepertiitu. Tapi nona bisa ketemu dengan ketua Mahameru, pendeta Macukunda yang cukup bijaksana dan berilmu tinggi, ini dia orangnya."

Gadis itu membungkuk menghormat. "Nama saya Mei Hwa, saya mengucap selamat panjang umur bagi ketua Mahameru dan semua pendekar di tanah Jawa ini. Saya bersama empat orang teman, yang ini Liong Sam, ini Put Hai, Siong Bu Kam, dan itu Tan Bing. Kami datang membawa pesan dari pemimpin rimba persilatan di negeri kami, Sam Hong."

Macukunda memerhatikan satu per satu orang asing di hadapannya. "Apa pesannya, nona. Boleh dijelaskan di sini juga, apakah itu rahasia penting?"

Ketika itu sepasang mata Mei Hwa yang indah memandang Manjangan Puguh. Mei Hwa menegur dengan ramah, "Tak tahunya kembali saya berjumpa dengan pendekar budiman Ki Manjangan Puguh, hormat saya untuk anda semoga panjang umur, terimakasih atas pertolongan tuan pendekar." Manjangan Puguh agak gugup menjawab, "Nona, itu tak perlu terlalu diingat, setiap orang harus menolong orang lain yang sedang memerlukan pertolongan. Aku hanya membantu kalian mengusir sekelompok penjahat dan menunjuk jalan ke Mahameru ini, bukan sesuatu yang terlalu besar."

Mata sipitnya berbinar ketika ia mengangguk, "Bagaimanapun juga pertolongan itu tetap suatu jasa baik yang harus diingat." Mei Hwa memandang Manjangan Puguh dengan senyumnya yang manis.

Mei Hwa kemudian menoleh ke arah Macukunda dan tersenyum ramah. "Maaf, saya harus mendahulukan pendekar yang telah menolong kami dari kesulitan. Tentang apakah itu rahasia, penting atau tidak, saya serahkan kebijaksanaan kepada bapak pendeta."

Mei Hwa merogoh surat dari balik bajunya, lalu diserahkan kepada Macukunda. Pendeta ini membuka surat dan membaca pesan yang ditulis dalam aksara Jawa. Macukunda menghela nafas.

"Pendekar sekalian, surat ini berisi pesan adu tanding antara pihak tanah Jawa dengan Kuangchou. Pertandingan dimajukan dua Inilah lantaran perhitungan arus dan angin dalam pelayaran. Dengan demikian pertandingan akan berlangsung tepat di malam purnama bulan Aswina, berarti masih ada waktu empatpuluh lima hari lagi. Tempatnya di hutan bagian selatan bukit Penanggungan".

Hari masih belum senja, sehingga semua orang masih sempat pamitan turun gunung. Tanpa malu-malu Mei Hwa mendekati Manjangan Puguh, menanyakan di mana ia bisa menginap supaya pagi-pagi sekali bisa turun gunung. Sebelum Manjangan Puguh menjawab, Wulan mendahului mengajak Mei Hwa bergabung. "Kamu ikut kami turun gunung, nanti malam kita sama-sama mencari tempat bermalam" Wisang Geni mengajak Sekar. Keduanya kemudian pamit pada nenek Dewi Obat. Sambil memeluk neneknya Sekar menangis dan berbisik, "Aku harus mengikuti suamiku, nek."

Rombongan besar Lemah Tulis bersama kelompok Ranggawuni dan lima utusan Kuangchou sama-sama turun gunung. Di tengah jalan Wisang Geni melihat wajah Wulan agak muram Tak seperti biasa, diam-diam Geni mendekati. Tetapi Wulan tidak memberi reaksi seperti biasa, malahan menjauh. Dalam hati Geni berpikir mungkin Wulan malu jalan berdampingan. Geni menoleh mencari di mana Sekar, dilihatnya gadis itu berjalan bersama Prawesti, cucu Gubar Baleman itu.

Malam itu rombongan bermalam di sebuah desa. Kebetulan kepala desanya adalah anggota dan anak buah Demung Pragola sehingga tidak sulit untuk meminjam balairung balai desa yang luas dan terbuka untuk tempat bermalam

Sehabis santap malam, semua orang duduk dalam beberapa kelompok. Semua tampak gembira, cerita tentang pertarungan Mahameru seakan tak pernah habis. Ada seorang yang malam itu justru sangat gundah, dia Walang Wulan.

Wajahnya murung, seperti halnya mendung yang menutupi kecantikan bulan. Malam sudah agak larut tapi Wulan tak bisa memejamkan mata.

Pikirannya menerawang ke mana-mana. Ia berpikir macam- macam Ia melihat bagaimana Sekar tadi siang berani menghadapi bahaya maut demi menolong Wisang Geni.

Kepandaian Sekar terlalu rendah, tetapi ia berani menerobos arena menghadapi Malini yang kosen dan berilmu tinggi.

Masih banyak gadis-gadis lain yang lebih muda yang mau berkorban jiwa demi Geni. Masih banyak gadis muda lainnya yang mau menyerahkan diri menjadi isteri atau selir dari ketua Lemah Tulis yang perkasa itu.

Wulan makin mengenal diri sendiri, ia adalah tipe perempuan pencemburu Ia tahu akan banyak gadis memburu Geni. "Bisa bisa aku mati lantaran cemburu setiap hari," bisiknya. Wulan menarik kesimpulan sepihak, kedudukannya sebagai ketua Lemah Tulis membuat Wisang Geni kini bukan milik Walang Wulan sendiri, tetapi milik orang banyak.

Entah bagaimana tiba-tiba Waning Hyun sudah duduk di sampingnya. "Mbakyu Wulan, aku tahu apa yang kau pikirkan. Biar kutebak, tapi kau harus jujur, jika tepat kamu harus membenarkan ?"

"Mana mungkin kamu tahu apa yang kupikirkan?" Wulan tadinya memiliki rasa tidak suka pada Waning Hyun setelah mengetahui dirinya adalah putri Mahisa Walungan sementara Hyun adalah cucu Ken Arok. Dendam perang Ganter menjadi sebab. Tetapi Wulan akhirnya bisa menerima kenyataan bahwa sejarah masa lalu Kertajaya, Mahisa Walungan, Ken Arok tak ada sangkut paut dan hubungan langsung dengan dia dan Waning Hyun. Pelan pelan Wulan mulai menyukai putri keraton ini.

"Mbakyu, kamu memikirkan Wisang Geni, dia sekarang ketua Lemah Tulis yang mungkin akan melupakan kamu, benar kan?"

Wulan memandang heran pada adik seperguruan ini. "Bagaimana kamu bisa menebak jitu?"

Waning Hyun menghela nafas, duduk menyandar kepalanya ke pundak Wulan. "Mbakyu, aku juga sering memikirkan nasibku kalau kelak menjadi isteri raja.

Ranggawuni suatu hari pasti akan menjadi raja. Seorang raja di tanah Jawa harus memiliki banyak selir. Dan aku harus menerima kenyataan ini, rela melihat suamiku membagi cintanya kepada perempuan lain. Bukan itu saja, suamiku juga bukan milikku lagi, dia milik kerajaan, milik rakyat, dia harus menyisihkan banyak waktu untuk kerajaan dan rakyatnya. Aku mungkin hanya kebagian sisa waktunya yang lowong.

Keadaanmu dengan Wisang Geni masih jauh lebih ringan ketimbang yang kuhadapi, mbakyu." Wulan terkejut, ia menatap Waning Hyun dengan nanar. "Tetapi kamu tahu dari mana kalau aku sedang memikirkan Geni?"

"Aku perempuan, mbakyu. Aku melihat wajahmu yang gundah seharian ini, padahal Geni begitu hebat mengangkat citra dan derajat Lemah Tulis. Kau bahkan menjauh dari Geni. Aku lantas menarik kesimpulan, pasti ada yang tidak beres menyangkut hubunganmu dengan Geni."

"Kupikir memang Geni kini bukan lagi milikku, aku harus rela dan ikhlas melepasnya."

"Kalau itu keputusan kalian berdua, aku tak bisa komentar apa-apa. Tetapi kalau itu keputusanmu sendiri, tanpa setahu Geni, maka itulah keputusan paling bodoh!"

Walang Wulan terkejut, ia mengerutkan kening. Waning Hyun tampaknya tak peduli kata-katanya telah membuat wajah Wulan memerah saking malu dan tersinggung. Ia melanjutkan dengan wejangan yang bermaknakan falsafah hidup. Sulit dibayangkan gadis muda memiliki wawasan hidup yang begitu luas.

"Hidup ini cuma mengenal dua sisi. Mimpi dan kenyataan.

Kalau sedang memburu sesuatu yang kita inginkan, itu namanya mengejar mimpi. Kalau gagal, kita tidak rugi, sebab kita cuma kehilangan mimpi. Lain hal kalau kehilangan sesuatu yang sudah dalam genggaman, yang sudah kita miliki. Itu namanya rugi. Kata guru, kejarlah mimpi dengan ngotot dan kerja keras, hasilnya bisa gagal, bisa sukses. Kalau gagal jangan putus asa. Di sisi lain kita harus ngotot dan berupaya keras mempertahankan apa yang sudah menjadi milik kita.

Dalam hal ini kita tak boleh gagal, kita harus berjuang keras mempertahankannya!"

Wulan memandang Waning Hyun dengan takjub. "Dari mana kau peroleh pelajaran hidup itu?" "Siapa lagi kalau bukan guru Gajah Watu. Kamu tahu, mbakyu, guruku itu pernah mencintai seorang gadis pendekar, tetapi dia telah menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan gadis itu sebagai isteri. Dia menyesal, itu sebab sampai sekarang dia tak mau terikat oleh seorang wanita pun, padahal di keraton banyak gadis yang mau menjadi isterinya."

Wulan terkejut, tetapi menyembunyikan wajahnya. Dia takut jangan sampai Waning Hyun membaca pikirannya. Sebab dia tahu, siapa gadis yang dimaksud Gajah Watu itu. "Jadi sebenarnya dia mencintai aku? Seandainya dia melamar aku, pasti aku bersedia waktu itu. Tetapi dia hanya membutuhkan tubuhku saja," katanya dalam hati. Dia tanpa memandang adik seperguruannya, dia bertanya dengan berdebar-debar. "Gurumu, menyebut siapa gadis itu, aku jadi ingin tahu?"

Waning Hyun menggeleng kepala. 'Tidak. Kata guruku, itu rahasia yang akan dibawanya sebagai kenangan pribadi.

Tetapi dari pengalaman itu, dia memberiku nasehat, jangan melepas apa yang sudah ada di dalam genggaman, jangan bodoh!"

"Kira-kira apa yang harus kuperbuat, adik manis?" "Bukan lagi kira-kira, tapi suatu keharusan! Kamu harus

mempertahankan Wisang Geni, apapun rintangannya! Kamu

sudah memperoleh cintanya, kini tinggal kamu pertahankan itu! Kamu mimpi hidup berdampingan dengannya, nah kejarlah mimpi itu dengan larimu yang paling kencang!"

"Adik Hyun, kamu masih begini muda tapi pandanganmu tentang hidup, bukan main luas dan bijaksananya!"

Waning Hyun menghela napas. "Mbakyu, aku tadinya hanya mempersiapkan diri menjadi isteri seorang lelaki. Tetapi belakangan ini aku harus menerima kenyataan lain, menjadi isteri seorang pangeran yang tak lama lagi akan menjadi raja. Aku harus siap melepas kebebasan dan kemerdekaan yang sudah membesarkan aku selama ini."

Wulan memeluk Hyun. "Apalagi yang membuat kau gelisah.

Mimpi seorang puteri keraton adalah menjadi isteri seorang raja, kau seharusnya bahagia!"

"Ya, seharusnya demikian." Suara Waning Hyun terdengar agak parau. Ada suara duka di dalamnya.

Keduanya beranjak masuk ke dalam kamar. Wulan masih memikirkan pembicaraannya dengan Waning Hyun dan bagaimana sikapnya menghadapi Wisang Geni. Ia sudah hendak tidur ketika terdengar suara orang menyanyikan kidung Jurus Penakluk Raja. Suaranya dingin dan sinis, ciri suara seorang pembunuh. Suara itu bening dan jernih, pertanda tenaga dalam orang itu dari pendekar kelas atas.

Di tengah gelapnya malam, udara yang dingin serta heningnya suasana, kidung itu membangkitkan bulu roma. Ada hawa pembunuhan yang terbawa dalam nada suara si penyanyi.

Dari gunung Lejar Jurus penakluk

Raja Ilmu dari segala ilmu Melenggang ke Barat Meluruk ke Timur Merangsak ke Utara Merantau ke Selatan

Tak ada lawan Tak ada tandingan

Ilmu dari segala ilmu Tiga perempuan di kamar iiu melompat bangun, terutama Mei Hwa yang dari tadi sudah pulas. Gadis dari Kuangchou ini tak mengerti apa persoalannya. Ia bangun karena mendengar suara ribut yang ditimbulkan tiga rekan sekamarnya, Waning Hyun, Sekar dan Walang Wulan.

Wulan berseru perlahan, "Itu Kidung Maut!" "Tiga kali kidung dinyanyikan Berarti malam ini sebelum fajar menyingsing, ada tiga orang yang jiwanya bakal melayang di rumah ini. Sungguh temberang si Kidung Maut, tidak tahukah dia bahwa di rumah ini berkumpul banyak jago dari kalangan kelas atas?" Kata-kata Wulan itu semakin membuat Mei Hwa bingung.

Tetapi gadis Kuangchou itu tak sempat bertanya lebih lanjut. Terdengar suara Ki Demung Pragola membelah kesunyian malam yang sudah mulai hangat suasananya. "Harap semua orang berkumpul di ruang tengah! Kita bentuk lingkaran dengan setiap orang menghadap keluar."

Ruangan itu memang besar dan luas. Semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Seluruhnya terhitung tigapuluh tujuh orang, termasuk tuan rumah dan keluarganya, Ki Demung Pragola mendudukkan cucunya di dekatnya. "Nduk, kau tak boleh berpisah dengan kakek, biar sesaat pun! Ingat itu, nduk”

Demung Pragola memandang semua orang. Di situ ada Padeksa, Gajah Watu, Sang Pamegat, Manjangan Puguh, Wisang Geni, Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Waning Hyun, Walang Wulan, delapan pendekar Tumapel, lima utusan dari Kuangchou, beberapa murid Lemah Tulis dan beberapa murid perguruan DemungPragola.

Melihat wataknya yang agak berangasan, tak heran Demung Pragola kesal bagai kebakaran jenggot. "Sungguh sombong dan temberang si Kidung Maut itu. Ia terlalu memandang enteng kita semua yang ada di sini. Aku Demung Pragola merasa terhina kalau sampai ada orang yang menjadi korban sementara aku ada di sini. Tuan-tuan apa yang harus kita lakukan?"

Sang Pamegat seperti juga Ki Demung Pragola merasa sangat terhina dengan kejadian ini. "Kita tunggu saja, sampai di mana kehebatan si Kidung Maut itu. Aku ingin melihat apakah darahnya juga merah seperti darahku?"

Manjangan Puguh memandang Wisang Geni yang kebetulan sedang menatapnya. Hampir tujuh purnama silam dia bertiga Padeksa dan Wisang Geni menghadapi situasi sama. Waktu itu si Kidung Maut berhasil memenuhi kebiasaannya, membunuh orang sesuai jumlah kidung yang dia lembangkan. Apakah kali ini ia juga akan berhasil lagi membunuh orang sesuai keinginannya?

Manjangan Puguh berjalan hilir mudik, tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya kepada muridnya, "Ketika tadi bertempur dengan perempuan Jambudwipa itu, apakah kau temukan sesuatu yang aneh, Geni?”

"Tidak, tak ada yang aneh guru!" Mata Geni melihat Sekar dan Wulan yang duduk jauh dari tempatnya. Ia menggapai dua gadis itu agar duduk di dekatnya. Dua perempuan itu beranjak mendekati tempat Geni.

Manjangan Puguh melanjutkan pembahasannya, hanya berdua Wisang Geni, tak ada orang yang mendengarnya karena pembicaraan dilakukan dengan ilmu pendam suara. "Maksudku begini, setahun lalu kita bertiga bersama Ki Padeksa pernah tarung dengan si Kidung Maut. Waktu itu kita sepakat si Kidung Maut sesungguhnya adalah seorang perempuan. Sejak hari itu aku mengejar pembunuh kejam itu. Dari beberapa kejadian aku yakin pembunuh itu terdiri dua orang. Keduanya berilmu tinggi Satu di antaranya perempuan. Satunya lagi kuyakin laki-laki. Dan aku yakin malam ini, keduanya akan turun tangan bersama." Wisang Geni terkesiap. "Kalau begitu malam ini kita menghadapi lawan berat. Satu Kidung Maut saja sudah sulit di lawan, apalagi kini dua orang. Kita tak boleh lengah, benar- benar harus waspada."

"Geni, setahun lalu kau mengatakan mencium wewangian perempuan waktu kau bergebrak dengan si Kidung Maut, kamu masih ingat? Tadi waktu kau bertarung dengan Malini, adakah kau mencium aroma wewangian yang sama?"

Wisang Geni berdiam, mencoba mengingat-ingat. Saat itu semua orang diam, masing-masing sibuk menata diri, mempersiapkan tenaga menghadapi serangan yang mendadak dari iblis pencabut nyawa itu. Geni bertanya pada gurunya, "Guru, kenapa kau mencurigai perempuan dari negeri Jambudwipa itu?"

Tetapi sebelum dia menjawab, dia terkejut dengan kehadiran Mei Hwa yang melangkah mendekatinya dan duduk di sampingnya. "Pendekar Puguh, siapa orang yang menyanyi tadi, mengapa semua orang panik dan bersiap-siap seperti mau bertarung?"

Pendekar ini terkejut mendengar pertanyaan Mei Hwa, ia heran melihat sikap wanita Cina ini yang memperlihatkan perhatian kepadanya. Ia menjawab dengan tersenyum "Penyanyi kidung itu adalah pembunuh kejam, dia selalu membunuh dengan terlebih dahulu menyanyikan kidung tersebut, tadi tiga kali dia mengulang kidung itu artinya dia akan membunuh tiga orang di antara kita, dan itu akan dia lakukan sebelum fajar menyingsing."

Puguh menoleh kepada Wisang Geni. Dia bicara lirih, sengaja biar Mei Hwa juga bisa mendengar. "Selama penyelidikan aku temukan keanehan bahwa orang Jambudwipa itu sering kali berada di sekitar tempat pembunuhan. Seperti malam ini, bukankah tadi siang kita bertemu mereka?" Tiba-tiba Wisang Geni berseru, suaranya agak keras, "Guru, memang dia!" Dia kemudian menyambung bicaranya dengan suara lirih. "Tadi memang aku mencium wewangian. Tapi wewangian yang tadi masih asing bagiku, tak bisa kuingat atau membandingkannya. Lain hal saat aku dan Sekar dipaksa menelan racun oleh Malini dan Kumara, waktu itu Malini berdiri dekat denganku, sehingga aku mencium wewangian yang rasanya pernah kukenal. Hanya saat itu aku lupa. Kini aku ingat, wewangian itu sama, wewangian yang dipakai Malini sama wanginya dengan wewangian yang dipakai si Kidung Maut. Tetapi guru mungkinkah dua pendekar asing itu yang menyamar sebagai Kidung Maut?"

Manjangan Puguh manggut-manggut. "Tadinya, aku sedikit ragu, kini tidak lagi. Aku berani mempertaruhkan kepalaku, si Kidung Maut adalah dua pendekar Jambudwipa itu, aku pasti!"

Mei Hwa penasaran. "Tapi apa kira-kira alasan mereka?

Mengapa mereka suka membunuh?"

Wisang Geni berseru, "Guru, aku tahu sebabnya! Ketika aku terluka, mereka membujuk aku, mereka akan menyembuhkan lukaku kalau kuberitahu di mana tempat Eyang Sepuh Suryajagad bertapa. Tadi pagi, kembali ia menanyakan hal yang sama dengan ancaman akan memfitnah diriku di depan umum Ia juga menyebut Resi Lahagawe yang pernah dihajar Eyang Sepuh di perang Ganter. Hubungannya jelas, dengan menyanyikan kidung Jurus Penakluk Raja yang pernah dinyanyikan Eyang Sepuh, mereka memancing agar Eyang Sepuh mau keluar dari pertapaan."

Manjangan Puguh tertawa. "Itu sebabnya, setiap menyanyikan kidung itu, kepala kidung tidak ikut dinyanyikan!"

Mei Hwa memegang tangan Manjangan Puguh, "Kangmas Puguh, aku ingin mendengarkan kidung Penakluk Raja yang lengkap." Jantung Manjangan Puguh berdebar kencang. Dia juga merasa heran dengan dirinya, mendadak saja dia timbul birahi dan rangsangan nafsu saat Mei Hwa duduk di dekatnya. Bahu Mei Hwa sesekali menempel dengan bahunya. Kini tangan gadis Kuangchou itu malah menggenggam tangannya. Puguh menggunakan ilmu pendam suara ditujukan kepada gadis cantik itu. Dia menyanyikan kidung yang lengkap.

Ilmu dari seberang Tak boleh tepuk dada Di Tanah Jawa ini Dari Gunung Lejar Jurus Penakluk Raja Ilmu dari segala Ilmu Melenggang ke Barat Meluruk ke Timur Merangsak ke Utara Merantau ke Selatan Tak ada Lawan

Tak ada Tandingan Ilmu dari segala Ilmu

Suara Puguh kasar dan gemetaran, tetapi Mei Hwa meleletkan lidah. Dalam hatinya ia kagum terhadap pencipta kidung. Kagum bahwa orang itu begitu percaya pada ilmunya. Dan bahwa ilmu tiada tandingan tentu bukan sembarang ilmu. Ilmu dari segala ilmu

Mei Hwa masih mau bertanya, tetapi dicegah oleh Puguh.

Karena saat itu dia melihat Wisang Geni berjalan keluar menuju alam terbuka. Gerak gerik Wisang Geni tidak luput dari pengamatan Wulan dan Sekar. Keduanya saling memberi isyarat, keduanya mengikuti Geni melangkah keluar. Wulan bertanya. "Geni, ke mana kau?" Ada rasa khawatir dalam getar suaranya.

Wisang Geni menoleh, dia menggapai dua kekasihnya itu.

Ketiganya menjauh dari rumah besar. Dua perempuan itu terkejut ketika Wisang Geni tertawa, menggunakan tenaga dalam. Tertawanya, khas tertawa lembah kera. Tawa itu berkumandang ke segala penjuru, panjang bergelombang, jernih dan lepas. Geni sengaja menggunakan tenaga Wiwaha sehingga siapa pun yang mendengar pasti akan meleletkan lidah kagum akan kekuatan tenaga dalam Geni Bahkan tokoh seperti Sang Pamegat, dan Demung Praloga, sampai terpaku di tempatnya.

Mendadak tertawa itu terhenti, saat berikutnya terdengar suara Geni. "Kalian berdua hentikan pembunuhan yang tak ada gunanya ini Satu purnama mendatang, aku akan menemui kalian berdua untuk melunasi segala hutang piutang di antara kita. Tempatnya di warung tempat kita bertemu dulu."

Suara Geni ini terdengar jelas, lantang dan jernih menerobos ke empat penjuru angin. Gemanya terdengar jauh nun di sana saling bersahutan. Lama sekali baru gema itu lenyap. Semua orang di situ termasuk Mei Hwa dan empat kawannya, mengakui hebatnya tenaga dalam Geni.

Demung Pragola menghela napas. "Sungguh benar kata orang, gelombang di belakang selalu menghempas gelombang di depannya. Dari mana Lemah Tulis bisa memperoleh murid seperti Wisang Geni. Sayang aku tak melihat bagaimana ia menghabisi riwayat Kalayawana."

Malam sunyi sepi. Tak lama terdengar suara kidung dinyanyikan orang. Makin lama suara kidung makin menjauh sampai akhirnya lenyap ditelan kebisuan malam

Manjangan Puguh tampak kesal. "Mereka sudah pergi!" Demung Pragola dan Padeksa hampir bersamaan menyahut, "Tak boleh percaya. Kita harus tetap waspada dan tetap berkumpul bersama-sama di ruangan ini."

Mei Hwa menegur Manjangan Puguh. "Kenapa kau kesal, kangmas. Dengan perginya iblis pembunuh kan kita tak perlu bertempur lagi."

Manjangan Puguh menatap wajah cantik di depannya. Ia tak bisa menyembunyikan perasaan tertariknya. Dua kali gadis itu memanggilnya kangmas. Agak gugup Manjangan menjawab. "Benar katamu. Tapi aku khawatir keselamatan Wisang Geni dalam pertarungannya dengan dua orang itu."

"Kamu tak usah khawatir. Muridmu itu memiliki ilmu silat yang jarang bisa dicari bandingannya. Tenaga dalam seperti itu di negeriku mungkin hanya dimiliki oleh ketua Sam Hong saja. Tetapi mas, jika muridmu sebegitu hebatnya tentu kamu sebagai gurunya memiliki ilmu silat yang lebih hebat lagi."

"Tidak bisa mengukur ilmu silat seseorang dengan cara begitu. Dulu, memang dia pernah kudidik sebagai murid, tetapi waktu berjalan terus, dia punya jalan lain, aku menempuh jalan lain. Aku senang bahwa muridku memperoleh keberuntungan sehingga ilmu silatnya meningkat pesat, aku rasa sekarang ini dia sudah mencapai tingkatan di atasku. Dan aku sangat bangga padanya."

Mei Hwa tersenyum Ia memegang tangan Manjangan Puguh yang tentu saja bertambah gugup. "Mas, kamu pendekar yang bermoraL Aku bersyukur kamu tidak termasuk dalam lima jago tanah Jawa yang akan pibu adu silat dengan jagoan kami."

"Kenapa kamu berkata demikian."

Mei Hwa merunduk. "Aku tak mau kamu terluka."

Manjangan Puguh terkesiap. Ia bertanya-tanya, apakah gadis cantik ini menyatakan perasaan cinta kepadanya? Ia masih gugup ketika Mei Hwa menggenggam tangannya dan menarik menjauh dari orang-orang. "Kangmas Puguh, ketika kamu menolong kami dari keroyokan penjahat, kamu sudah memeluk tubuhku Terus terang selama ini, tubuhku belum pernah dipeluk seorang lelaki. Aku mau tanya, kamu harus jawab jujur, kamu bisa melakukan pertolongan itu tanpa harus memeluk aku, kenapa kamu memeluk aku?"

Manjangan Puguh tersenyum "Mei Hwa, aku tahu kamu punya ilmu silat yang mungkin tidak berada di bawah tingkatanku, mengapa kamu tidak menghajar penjahat itu, tetapi pura-pura lemah dan memberi kesempatan aku menolongmu, kamu juga tidak berontak malah membiarkan aku memelukmu?"

Mei Hwa tersipu-sipu. Ia merunduk. "Aku yang bertanya dulu, kamu tak boleh balik bertanya, kamu harus menjawabnya dulu."

Manjangan Puguh menoleh sekeliling. Tak ada orang yang memerhatikan. Ia memegang tangan Mei Hwa, menciumi tangan itu. "Aku menyukaimu sejak pertama melihatmu, Mei Hwa." Berikutnya dua insan itu terlibat dalam pembicaraan akrab.

Di sudut sana Ranggawuni juga sedang ngobrol dengan Waning Hyun. Sedang di luar ruangan, dekat taman, Wisang Geni dan Walang Wulan saling menatap. Ternyata Waning Hyun berhasil mengubah sikap Wulan, yang tadinya serba ragu kini hangat kembali.

"Geni, kau kini sudah jadi ketua, aku bawahanmu Dalam soal ilmu ilmu silat, kamu pun lebih kuat. Sebagai suami, kamu tentu punya banyak kelebihan, aku mau tanya apakah nantinya kamu akan berlaku galak terhadapku?"

Geni tak menjawab, malahan balas bertanya, "Kenapa seharian ini kau menjauh dariku, apakah aku berbuat sesuatu yang membuatmu marah atau tersinggung?" "Kau belum menjawab pertanyaanku!" "Kau jawab dulu pertanyaanku!" Wulan menggeleng.

Geni tersenyum "Kamu terkadang memang keras kepala." Dia meraih tubuh Wulan, memeluk erat. "Wulan, aku tak akan pernah galak terhadapmu, sekarang atau pun kelak. Aku akan batasi diri bergaul dengan perempuan. Tapi ada syaratnya."

Wulan bertanya manja. "Apa?"

"Tidak di sini, mari kuajak kamu ke suatu tempat." Geni menggandeng tangan kekasihnya. Keduanya melesat ke kerimbunan hutan. Sekar memandang kepergian dua insan itu dengan senyum

Di kerimbunan pepohonan, Geni melucuti pakaian Wulan. Mereka bercinta dan menikmati birahi yang panas membara. Sambil mengerang, terengah-engah, Wulan berbisik, "Kamu belum katakan syaratnya tadi."

"Kamu tak boleh menyimpan persoalan, jika ada persoalan, utarakan saja padaku."

"Cuma itu?" "Ya cuma itu."

Sembari memeluk suaminya, Wulan berbisik lirih, "Geni, tadi, saat kita bergandengan menuju hutan, aku melihat Sekar, artinya ia melihat kita pergi berduaan."

"Tidak ada masalah, Sekar sudah mengerti. Sekar dan kamu harus mengerti bahwa aku harus melayani dua isteri. Lain kali, aku akan mengajak Sekar dan kamu yang melihat kepergianku berdua Sekar."

Wulan berbisik, menggelitik telinga kekasihnya. "Terbalik, bukan kamu yang melayani dua isteri tetapi kami berdua yang harus melayani kamu. Bahkan mungkin dalam masa datang, akan ada perempuan lain lagi yang masuk ke dalam keluarga ini."

"Kenapa mengatakan adanya perempuan lain lagi?"

Wulan tertawa geli ketika tangan Geni menggelitik tubuhnya. "Aku tahu, sebab melihat gelagat birahimu, setelah memahami ilmu Wiwaha tampak perubahan dalam dirimu, kamu semakin cepat terangsang birahi dan makin perkasa." Keduanya tertawa lirih sambil tetap. menikmati pelukan asmara di tengah malam yang remang-remang disinari cahaya rembulan.

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG