LIMA
“Pandan...!” Rangga kaget setengah mati, begitu kembali ke tempat Pandan
Wangi tadi ditinggalkannya. Dan gadis itu tidak lagi terlihat di sana. Yang
ditemukan hanya senjata-senjatanya saja yang tertinggal. Pendekar Rajawali
Sakti lalu mengambil senjata-senjata milik Pandan Wangi itu. Rangga
memandangi Kipas Maut dan Pedang Naga Geni milik Pandan Wangi. Dia tidak
tahu, di mana kini Pandan Wangi berada. Tapi tempat ini sudah kelihatan
berantakan sekali. Jadi, jelas kalau tadi habis terjadi pertarungan.
Pendekar Rajawali Sakti memalingkan kepala, ketika telinganya mendengar
langkah-langkah kaki yang begitu ringan dari belakang. Dan tubuhnya langsung
berputar, saat melihat Nyai Samirah datang menghampiri. Perempuan tua itu
juga kelihatan heran melihat keadaan tempat ini yang begitu berantakan,
seperti baru saja terjadi pertarungan besar. Ketua Padepokan Tongkat Perak
itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi di
depan Pendekar Rajawali Sakti. Dipandanginya pemuda berbaju rompi putih itu,
kemudian beralih pada dua senjata yang sudah dikenalinya di tangan
Rangga.
“Apa yang terjadi, Rangga?” tanya Nyai Samirah.
“Semua ini tidak akan terjadi kalau kau tidak pergi terlalu lama begitu
saja, Nyai,” Sahut Rangga agak mendengus. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti
terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Nyai Samirah. Seakan-akan
ingin dilahapnya seluruh tubuh perempuan tua itu.
Sedangkan Nyai Samirah kelihatan terkejut atas jawaban Rangga yang bernada
ketus dan dingin tadi. Bahkan belum pernah dilihatnya sorot mata yang begitu
tajam menusuk. Dia yakin, pasti telah terjadi sesuatu yang membuat Pendekar
Rajawali Sakti jadi kelihatan marah.
“Maaf. Memang seharusnya aku tadi minta izin dulu padamu. Aku tadi berusaha
mencari tempat persembunyian Nyai Purut,” ucap Nyai Samirah lagi. Nada
suaranya masih terdengar merendah.
“Kau temukan?” tanya Rangga masih terdengar agak ketus nada suaranya.
“Sudah,” sahut Nyai Samirah.
“Hhh...!” Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja. Terasa begitu
berat hembusan napas Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar dipandanginya dua
senjata maut Pandan Wangi. Kemudian diikatnya Pedang Naga Geni ke pinggang,
sedangkan senjata kipas andalan Pandan Wangi itu diselipkan di balik sabuk
ikat pinggangnya.
“Apa yang terjadi pada Pandan Wangi, Rangga?” tanya Nyai Samirah agak
hati-hati suaranya.
“Dia hilang,” sahut Rangga datar.
“Hilang? Hilang kenapa...?” tanya Nyai Samirah lagi, meminta
penjelasan.
“Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, telah terjadi sesuatu terhadap Pandan
Wangi. Senjatanya tidak pernah ditinggalkan begitu saja kalau dirinya tidak
mengalami kesulitan yang sangat berat. Kau tahu, Nyai. Kalau Pandan Wangi
sudah meninggalkan semua senjatanya, itu berarti sudah merasa tidak ada
harapan hidup lagi,” kata Rangga dengan suara pelan menjelaskan.
“Hm.... Ini pasti perbuatan perempuan-perempuan iblis itu,” desis Nyai
Samirah dingin dan terdengar datar sekali.
Sedangkan Rangga hanya diam saja memandangi wajah perempuan tua itu.
Pikirannya masih tertuju pada Pandan Wangi yang saat ini nasibnya entah
bagaimana. Hatinya benar-benar mencemaskan gadis itu. Pendekar Rajawali
Sakti tahu, kalau Pandan Wangi sudah meninggalkan senjata-senjatanya, pasti
sangat berat keadaan yang sedang dihadapinya.
“Nyai! Kau tadi mengatakan, sudah tahu tempat tinggal Nyai Purut...,” kata
Rangga memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat tadi.
“Benar,” sahut Nyai Samirah singkat.
“Sebaiknya kita tidak perlu membuang-buang waktu lagi, Nyai. Antarkan aku
ke sana,” ajak Rangga meminta.
“Tapi, Rangga....”
“Tidak ada waktu lagi, Nyai! Keselamatan Pandan Wangi lebih penting dari
semuanya,” desak Rangga cepat, memutuskan ucapan perempuan tua itu.
“Cukup sulit untuk sampai ke sana, Rangga. Dan terlalu berbahaya kalau
malam hari. Aku saja hampir tidak sanggup tadi,” sergah Nyai Samirah.
“Sebaiknya tunggu saja sampai besok pagi.”
“Tidak ada waktu lagi, Nyai. Malam ini juga kita harus pergi ke sana. Aku
khawatir telah terjadi sesuatu pada diri Pandan Wangi,” desak Rangga
terus.
“Rangga...”
“Baiklah. Kalau kau keberatan, aku akan pergi sendiri. Tunggu saja aku di
sini, Nyai. Aku pasti akan kembali lagi bersama Pandan Wangi,” potong
Rangga, cepat.
“Rangga...!” Tapi Rangga sudah tidak peduli lagi. Yang ada dalam kepalanya
hanya keselamatan Pandan Wangi belaka. Hatinya benar-benar cemas, karena
gadis itu kini berada dalam cengkeraman tangan Nyai Purut yang kekejamannya
sudah terkenal. Perempuan tua itu tidak segan-segan menggorok leher siapa
saja, asalkan keinginannya tercapai. Dan Rangga khawatir kalau-kalau Nyai
Purut menjatuhkan tangan kejamnya pada Pandan Wangi.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, dan melangkah. Ayunan
kakinya lebar-lebar dan cepat. Sementara, Nyai Samirah masih tetap berdiri
memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti. Dan malam pun terus merambat
semakin larut, membuat udara di sekitar hutan lereng Bukit Menjangan ini
jadi bertambah dingin.
“Rangga, tunggu...!” seru Nyai Samirah, seraya bergegas berlari mengejar
Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sedikit pun tidak berpaling. Kakinya terus saja melangkah
cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat
kesempurnaan. Melihat itu, Nyai Samirah segera mengempos ilmu meringankan
tubuhnya dan cepat mengejar. Tapi meskipun seluruh kekuatan ilmu meringankan
tubuhnya sudah dikerahkan, tetap saja tidak bisa mengejar Pendekar Rajawali
Sakti. Padahal, kelihatannya Rangga hanya berjalan seperti biasa.
“Rangga, tunggu...! Kau tidak bisa seorang diri ke sana!” seru Nyai
Samirah.
Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat Nyai Samirah berlari cepat
menerobos lebatnya hutan di lereng Bukit Menjangan ini. Dan Rangga kemudian
menghentikan ayunan kakinya. Nyai Samirah juga baru berhenti berlari setelah
dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti itu. Sebentar jalan pernafasannya
diatur.
“Kau mengambil jalan yang salah, Rangga. Ikut aku,” kata Nyai
Samirah.
Tanpa menunggu jawaban lagi, perempuan tua yang pernah memimpin sebuah
padepokan itu langsung saja berjalan menuju ke arah lain dari yang diambil
Rangga tadi. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera mengikuti. Lalu ayunan
kakinya disejajarkan di samping kanan perempuan tua ini. Mereka terus
berjalan tanpa berbicara lagi. Tanpa mempedulikan keadaan hutan yang semakin
lebat dan sulit dilalui.
Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Bahkan tidak terlihat satu bintang
pun di langit. Cahaya bulan pun tidak sanggup menembus tebalnya kabut yang
menyelimuti seluruh permukaan Bukit Menjangan ini. Tapi semua keadaan alam
yang tampaknya tidak ramah itu, sama sekali bukan halangan berarti bagi
Rangga dan Nyai Samirah. Mereka terus berjalan cepat, seperti tidak
mendapatkan rintangan sedikit pun.
***
Tepat tengah malam, Rangga dan Nyai Samirah sampai di puncak Bukit
Menjangan ini. Begitu berhenti melangkah, mereka meneliti keadaan
sekitarnya. Dengan pengerahan aji ‘Tata Netra’, Pendekar Rajawali Sakti
mampu melihat jauh dan menembus tebalnya kabut yang menyelimuti puncak bukit
ini. Namun sama sekali tidak terlihat adanya tanda-tanda seorang pun di
sekitar puncak bukit ini. Bahkan pendengarannya yang juga menggunakan aji
‘Pembeda Gerak dan Suara’, tidak mendapatkan satu suara pun yang
men-curigakan. Benar-benar sunyi keadaan di puncak bukit ini.
“Di mana tempatnya, Nyai?” tanya Rangga pelan. Tapi dalam keadaan yang
begitu sunyi, suara Rang-ga yang sangat pelan terdengar jelas sekali di
telinga Nyai Samirah. Dan wanita tua itu berpaling menatap Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa saat, dipandanginya wajah tampan pemuda itu, kemudian
dialihkan lurus ke depan.
“Kabut tebal sekali. Aku lupa arah jalannya, Rangga,” kata Nyai Samirah
pelan.
“Hmmm...,” Rangga hanya menggumam kecil saja. Bisa dimaklumi. Memang
keadaan di puncak Bukit ini sangat tidak menguntungkan. Bukan hanya Nyai
Samirah yang bisa lupa. Bahkan mungkin, Pendekar Rajawali Sakti sendiri
tidak akan sanggup lagi mengingat jalan yang telah dilalui tadi. Kabut yang
menyelimuti begitu tebal, hingga menghalangi pandangan mata. Kalau saja
tidak mengerahkan aji ‘Tatar Netra’, tidak akan mungkin Pendekar Rajawali
Sakti bisa melihat jauh.
“Ada yang kau kenali di sekitar sini, Nyai?” tanya Rangga lagi.
“Entahlah...,” sahut Nyai Samirah tidak yakin pada diri sendiri. Perempuan
tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba mencari sesuatu yang
bisa menyegarkan ingatannya kembali. Tapi sudah dicoba dengan keras, tetap
saja sulit. Bahkan udara yang begitu dingin, membuat tubuhnya jadi
bergetar.
“Rangga....”
“Ssst..!” Rangga cepat-cepat meminta Nyai Samirah diam. Dan secepat kilat,
ditariknya tangan perempuan tua itu. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti melesat
begitu cepat, membuat Nyai Samirah jadi terkejut setengah mati. Dan belum
juga keterkejutannya hilang, tahu-tahu mereka sudah berada di balik sebatang
pohon yang cukup besar ukurannya.
“Ada apa...?” tanya Nyai Samirah dengan suara berbisik pelan.
“Kau tidak mendengar ada orang berjalan ke sini, Nyai...?” Rangga malah
balik bertanya.
Nyai Samirah terdiam. Telinganya segera dipasang tajam-tajam, mencoba
mencari suara langkah kaki yang tadi dikatakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
udara yang begitu dingin dan ditambah kabut yang sangat tebal, membuat
pendengarannya jadi berkurang. Namun tidak berapa lama kemudian, adanya
langkah-langkah kaki baru bisa terdengar jelas di telinganya.
Langkah-langkah kaki orang yang jumlahnya sekitar dua puluh orang atau
lebih. Dan sepertinya mereka berjalan cepat, disertai pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Sehingga, hampir tidak
dapat diketahui sama sekali. Nyai Samirah berpaling menatap Pendekar
Rajawali Sakti yang berada di sebelah kirinya.
Entah kenapa, di dalam hatinya terselip rasa kagum pada pemuda ini. Dia
sendiri tadi sama sekali tidak bisa mendengar langkah-langkah kaki itu.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dapat mengetahui. Dan ilmu
yang dimiliki memang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada yang
dimilikinya sendiri.
“Mereka sudah dekat, Nyai. Hati-hatilah...,” ujar Rangga
memperingatkan.
“Hhh...,” Nyai Samirah hanya menghembuskan napas saja.
Suara langkah kaki itu semakin jelas sekali terdengar. Dan sekarang, sangat
jelas kalau mereka tidak lagi menggunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga,
hentakan-hentakan langkah begitu jelas terdengar di telinga. Dan tak berapa
lama kemudian, terlihat orang-orang berpakaian serba hitam berjalan cepat,
keluar dari gumpalan kabut.
“Nyai Purut...,” desis Nyai Samirah, begitu mengenali orang yang berjalan
paling depan.
“Ssst...!” Rangga cepat memperingatkan agar Nyai Samirah tidak
bersuara.
“Rangga! Bukankah itu Pandan Wangi...?”
“Ssst, diam. Aku sudah tahu,” desis Rangga berbisik. Nyai Samirah langsung
diam.
Sementara, orang-orang berbaju serba hitam yang semuanya wanita itu sudah
kelihatan semakin dekat sekali. Dan begitu lewat di depan pohon itu, Nyai
Samirah langsung mena-han nafasnya. Wanita-wanita itu terus saja berjalan
cepat melewati pohon tempat Rangga dan Nyai Samirah bersembunyi. Mereka baru
keluar dari balik pohon, setelah Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya
lewat cukup jauh.
“Mereka sudah tidak kelihatan lagi, Rangga. Kenapa tidak diikuti saja...?”
ujar Nyai Samirah.
“Tunggu, biar mereka lebih jauh lagi,” ujar Rangga.
“Tapi mereka sudah tidak terlihat lagi, Rangga. Nanti kita bisa kehilangan
jejak.”
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Nyai Samirah tidak mampu melihat dari
jarak jauh di dalam kabut setebal ini. Sedangkan baginya, tidak ada
persoalan sedikit pun juga. Dengan menggunakan aji ‘Tatar Netra’, Pendekar
Rajawali Sakti masih bisa melihat rombongan wanita-wanita berpakaian serba
hitam itu.
“Gunakan ilmu meringankan tubuhmu, Nyai. Jangan sampai kehadiran kita
diketahui mereka,” kata Rangga meminta.
“Baik,” sahut Nyai Samirah.
“Ayo,” ajak Rangga akhirnya.
Mereka segera bergerak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sudah barang
tentu, Rangga harus mengimbangi perempuan tua itu agar tidak tertinggal.
Sedangkan rombongan gadis berbaju serba hitam yang membawa Pandan Wangi
terus bergerak cukup jauh di depan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui
kalau dibuntuti dari belakang. Sementara, Rangga terus menggunakan aji
‘Tatar Netra’ agar tetap bisa melihat jelas, walaupun di sekitarnya kabut
sangat tebal menyelimuti.
***
Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya baru berhenti berjalan, setelah tiba
di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di Puncak Bukit Menjangan
ini. Wanita tua berbaju jubah panjang warna hitam itu duduk di atas
sebongkah batu pipih berbentuk bulat. Sementara, empat orang gadis
pengikutnya mengikat Pandan Wangi yang masih terbungkus jaring hitam di
tiang.
Sedikit pun si Kipas Maut itu tidak berusaha memberontak. Dia kelihatan
pasrah, tapi matanya malah beredar memandang ke sekeliling. Kemudian,
tatapannya tertumbuk pada Nyai Purut yang duduk bersila di atas batu dengan
tongkat kayunya diletakkan melintang di atas kedua pahanya yang
terlipat.
Sementara, gadis-gadis pengikut perempuan tua itu sudah duduk, membuat
setengah lingkaran di depannya. Tidak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka duduk bersila sambil agak tertunduk. Sementara, Nyai Purut bangkit
dari duduknya dan turun dari atas batu itu. Baru saja Nyai Purut berlutut,
tiba-tiba saja di depannya mengepul asap berwarna kemerahan dari da-lam
tanah. Asap itu menggumpal, menjadi satu dengan kabut.
Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Dan
begitu asap berwarna kemerahan itu lenyap seperti tertiup angin, tahu-tahu
di depan Nyai Purut sudah berdiri seorang perempuan muda yang sangat cantik
bagai bidadari.
“Oh...!” Pandan Wangi sampai tersedak. Dia tahu, wanita cantik itulah yang
telah menghancurkan padepokan milik Nyai Samirah. Dan kini baru diketahui
kalau antara wanita cantik berbaju merah muda yang mengaku bernama Ratu
Intan Kumala itu ada hubungannya dengan Nyai Purut.
“Berhasil juga kau membawanya ke sini, Nyai Purut,” kata Ratu Intan Kumala
seraya melangkah menghampiri Pandan Wangi. Bibir Ratu Intan Kumala yang
merah merekah, menyunggingkan senyuman sangat manis sekali. Dia berdiri
sekitar lima langkah lagi di depan Pandan Wangi.
Sementara, Nyai Purut berada di belakangnya. Seperti tengah menilai suatu
barang, diamatinya Pandan Wangi dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dan
bibirnya terus menyunggingkan senyuman manis sekali.
“Bagaimana kepandaiannya, Nyai?” tanya Ratu Intan Kumala lagi, tanpa
berpaling sedikit pun.
“Cukup sulit juga mengatasinya, Gusti Ratu,” sahut Nyai Purut.
“Hmmm..., kemana senjatanya?”
“Dia membuangnya sendiri, Gusti Prabu.”
“Kau tidak mencarinya?”
“Sudah.”
“Ya, sudah. Aku toh, tidak butuh senjatanya. Yang kubutuhkan orangnya. Biar
dia sendiri nanti yang membunuh Nyai Samirah dan Pendekar Rajawali
Sakti.”
“Rencana yang bagus, Gusti Ratu. Memang, kita tidak perlu mengotori tangan
dengan darah mereka. Biar saja dia yang melakukannya untuk kita,” sambut
Nyai Purut gembira.
Sambil tersenyum, Ratu Intan Kumala menghampiri Pandan Wangi yang masih
terikat di tonggak kayu dengan tubuh terbungkus jaring hitam. Diambilnya
sebuah bungkusan kulit dari balik sabuk emas yang membelit pinggang
rampingnya. Kemudian, diambilnya sebuah pil berwarna merah bagai darah dari
dalam kantung kulit itu.
“Buka mulutnya, Nyai. Obat ini akan menghilangkan kesadarannya. Dan tentu
dia akan patuh pada perintahku,” kata Ratu Intan Kumala.
Nyai Purut bergegas menghampiri, dan langsung menjambak rambut Pandan
Wangi. Lalu, perempuan tua itu berusaha membuka mulut gadis itu. Kali ini,
Pandan Wangi tidak tinggal diam begitu saja. Dia meronta berusaha melawan,
dan tidak membuka mulutnya barang sedikit pun. Susah payah Nyai Purut
berusaha membuka mulut si Kipas Muat. Sedangkan Ratu Intan Kumala hanya
tersenyum saja melihat kegigihan Pandan Wangi yang tidak sudi menyerah
walaupun keadaannya sangat tidak menguntungkan.
“Diam, Setan!” bentak Nyai Purut jadi gusar.
Plak!
“Auwh...!” Pandan Wangi terpekik kecil, ketika satu tamparan keras mendarat
di wajahnya. Sebelah pipinya langsung memerah terkena tamparan keras itu.
Tapi Pandan Wangi tetap saja memberontak, begitu Nyai Purut kembali mencoba
membuka mulutnya. Dan ini membuat perempuan tua itu jadi semakin berang
saja.
“Gusti Ratu! Dia tidak menyerah begitu saja. Sebaiknya, lumpuhkan saja
dulu. Biar mudah,” ujar Nyai Purut seperti putus asa.
“Obat ini tidak ada artinya kalau dia dilumpuhkan dulu, Nyai. Biar saja dia
terus sadar begitu. Dan jangan sedikit pun mengalami gangguan,” sahut Ratu
Intan Kumala kalem.
“Tapi, Gusti....”
“Usahakan terus, Nyai. Kalau dia lelah, pasti berhenti sendiri.” potong
Ratu Intan Kumala cepat.
Nyai Purut memanggil dua orang gadis pengikutnya. Dan kini, dibantu dua
orang pengikutnya, perempuan tua itu kembali berusaha membuka mulut Pandan
Wangi. Dan Pandan Wangi sekarang benar-benar tidak berdaya. Dalam keadaan
tubuh terikat dan dipegangi dua orang, akhirnya Nyai Purut bisa juga membuka
mulut gadis dan terus menahannya supaya tetap terbuka.
Sementara, Pandan Wangi terus berusaha memberontak sekuat tenaga. Ratu
Intan Kumala tersenyum sambil melangkah menghampiri lebih dekat lagi.
Perlahan tangannya menjular ke depan, hendak memasukkan obat berbentuk pil
sebesar kacang berwarna merah darah itu ke mulut Pandan Wangi. Tapi belum
juga bisa memasukkan pil itu, tiba-tiba saja....
Tuk!
“Heh...?!” Ratu Intan Kumala terlompat mundur, dan obatnya terlempar dari
tangannya. Sedangkan Nyai Purut jadi terkejut melihat junjungannya terlompat
ke belakang.
“Ada apa, Gusti?!” tanya Nyai Purut tidak mengerti.
“Setan keparat...! Ada monyet busuk di sini!” umpat Ratu Intan Kumala
berang.
“Heh?! Apa...?!” Nyai Purut jadi semakin tersentak kaget, begitu melihat
kepala Pandan wangi terkulai lemas. Padahal, dia tadi tidak melakukan
apa-apa kecuali hanya memegangi kepala gadis itu saja dan terus menahan agar
mulutnya tetap terbuka. Tapi sekarang, gadis itu terkulai seperti....
“Siaga...!” seru Nyai Purut cepat, begitu menyadari apa yang telah terjadi.
Seketika itu juga, semua gadis pengikutnya berlompatan membentuk lingkaran.
Mereka langsung mencabut pedang masing-masing, dan melintangkannya di depan
dada. Sementara, Ratu Intan Kumala menghampiri Pandan Wangi yang kini
terkulai seperti tidur.
“Keparat...!” dengus Ratu Intan Kumala geram. Dia tahu, Pandan Wangi sudah
tertotok pusat jalan darahnya. Cepat-cepat dicobanya untuk membebaskan
totokan itu. Tapi beberapa kali jari-jari tangannya bergerak, kepala si
Kipas Maut itu tetap terkulai lemas tak bertenaga lagi.
“Setan! Siapa yang berani melakukan ini padaku, heh...?!” geram Ratu Intan
Kumala berang.
***
ENAM
Suasana terasa begitu sunyi di puncak Bukit Menjangan ini. Tak ada seorang
pun yang bersuara. Sementara Ratu Intan Kumala sudah melangkah ke depan,
setelah beberapa kali gagal melepaskan totokan di tubuh Pandan Wangi. Entah
siapa yang melakukannya. Tapi yang jelas, sekarang Pandan Wangi tidak
mungkin lagi bisa dipengaruhi obat ampuh yang dimiliki.
“Kau jaga dia, Nyai,” perintah Ratu Intan Kumala.
“Baik, Gusti,” sahut Nyai Purut.
Ratu Intan Kumala berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Sorot matanya
terlihat begitu tajam, merayapi sekitarnya yang begitu sunyi dan berselimut
kabut tebal. Sama sekali tidak terlihat adanya orang lain di sekitar puncak
Bukit Menjangan ini. Keadaan begitu sunyi, sampai desir angin yang begitu
halus pun terdengar jelas mengusik telinga.
“Tikus busuk! Keluar kau...!” bentak Ratu Intan Kumala lantang
menggelegar.
Suara wanita cantik bagai bidadari itu menggema, terpantul hingga jauh
mengambang. Tapi, tidak juga terdapat jawaban, walaupun suaranya sudah
lenyap dari pendengaran. Dan keadaan sekitar puncak bukit itu terus terasa
sunyi mencekam. Ratu Intan Kumala jadi semakin gusar. Wajahnya sudah
terlihat memerah, menahan kemarahan yang amat sangat.
“Huh!” Sambil mendengus kesal. Ratu Intan Kumala memutar tubuhnya dan
melangkah menghampiri Pandan Wangi. Sedangkan gadis-gadis berpakaian hitam
yang mengelilingi si Kipas Maut segera menyingkir memberi jalan. Ratu Intan
Kumala langsung menjambak rambut si Kipas Maut itu, dan mendongakkannya ke
atas dengan kasar.
“Lihat..! Kalau kau tidak menunjukkan batang hidungmu, leher gadis ini akan
kupatahkan!” teriak Ratu Intan Kumala mengancam.
“Jangan bertindak seperti pengecut, Intan Kumala...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara bernada berat dan penuh wibawa. Suara itu
terdengar menggema, seperti datang dari segala arah. Jelas, orang itu
mengerahkannya disertai tenaga dalam yang sudah tinggi sekali tingkatannya.
Dan dari suaranya, bisa ditebak kalau orang itu pasti laki-laki.
“Siapa kau?! Tunjukkan batang hidungmu...!” seru Ratu Intan Kumala.
Suaranya tetap lantang menggelegar.
“Sejak tadi aku di sini, Intan Kumala.”
“Hhh!” Ratu Intan Kumala mendengus pendek. Cepat tubuhnya diputar ke kanan.
Dan entah dari mana dan kapan datangnya, tahu-tahu sudah berdiri seorang
laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di atas batu pipih yang
biasa diduduki Nyai Purut.
Laki-laki itu mengenakan baju ketat warna putih, yang bagian belakangnya
dibuat panjang. Wajahnya cukup tampan, dan memiliki garis-garis ketegasan
yang memancarkan kewibawaan. Dan herannya tidak terlihat adanya satu bentuk
senjata pun melekat di tubuhnya. Tapi di dalam genggaman tangan kanannya,
terdapat sebuah seruling dari bambu kuning.
“Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku...!” bentak Ratu Intan
Kumala, seraya melangkah menghampiri.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia lalu melompat turun dari atas batu
dengan gerakan indah dan ringan sekali. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
kakinya mantap menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan Ratu
Intan Kumala.
“Semua orang selalu memanggilku Pendekar Seruling Sakti,” kata pemuda itu
memperkenalkan diri. “Maaf, kalau kehadiranku telah mengganggu. Tapi, aku
tidak bisa melihat ada orang teraniaya tanpa dapat membela diri.”
“Phuih! Kau telah lancang mengganggu pekerjaanku, Kisanak. Kau harus
menerima hukumannya!” dengus Ratu Intan Kumala, ketus.
“Hukuman apa yang pantas untukku, Intan Kumala?” Terdengar tenang sekali
nada suara Pendekar Seruling Sakti. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman
yang begitu menawan, sehingga membuat paras wajahnya semakin terlihat
tampan. Dan sikapnya juga kelihatan begitu tenang sedikit pun tidak merasa
gentar menghadapi wanita setengah siluman ini. Padahal, di sekelilingnya
sudah ada sekitar dua puluh orang gadis yang semuanya sudah menghunus
pedang, dan tinggal menunggu perintah menyerang saja.
“Kau pantas untuk mati, Kisanak!” desis Ratu Intan Kumala. Kedua tangan
Ratu Intan Kumala yang halus dan lembut sudah naik dengan gerakan yang
begitu lembut. Sementara sorot matanya terlihat sangat tajam, menusuk
langsung ke bola mata Pendekar Seruling Sakti.
Tapi pada saat itu, Nyai Purut menghampiri. “Gusti Ratu, izinkan hamba
memberi sedikit pelajaran pada bocah lancang itu,” pinta Nyai Purut.
“Hm...,” Ratu Intan Kumala menggumam kecil, seraya melirik perempuan tua
ini.
“Baiklah, Nyai Purut Tapi aku tidak ingin dia lama-lama ada di sini,” sahut
Ratu Intan Kumala.
“Secepatnya hamba akan mengirimnya ke lubang kubur, Gusti Ratu,” sahut Nyai
Purut.
Ratu Intan Kumala melangkah mundur beberapa tindak. Sedangkan Nyai Purut
mengayunkan kakinya ke depan dua langkah. Dan....
“Hiyaaat..!” Tanpa berkata-kata lagi, perempuan tua berjubah hitam itu
langsung saja melompat secepat kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan
secepat kilat pula, tongkat kayunya dikebutkan ke arah kepala Pendekar
Rajawali Sakti.
“Hapts...!” Tapi, hanya sedikit saja Pendekar Seruling Sakti mengegoskan
kepala, maka sabetan tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya.
Dan Nyai Purut cepat memutar tongkatnya, lalu kembali membabatkannya ke
arah pinggang disertai pengerahan tenaga dalam.
“Uts...!” Manis sekali Pendekar Seruling Sakti menarik tubuhnya ke
belakang. Sehingga, tebasan tongkat Nyai Purut tidak sampai mengenai
tubuhnya. Dan belum juga Nyai Purut bisa menarik tongkatnya pulang, Pendekar
Seruling Sakti sudah cepat melompat. Lalu bagaikan kiat, dilepaskannya satu
tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
“Hiyaaat...!”
“Ikh...!” Bet!
Nyai Purut jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tongkatnya
dikebutkan ke depan, untuk melindungi dadanya dari tendangan kaki kanan
pemuda yang mengaku berjuluk Pendekar Seruling Sakti. Tapi tanpa diduga sama
sekali, Pendekar Seruling Sakti bisa cepat menarik pulang kaki kanannya. Dan
hampir bersamaan, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang mengarah ke
kepala.
“Hapts!” Nyai Purut cepat-cepat menarik kepala ke belakang, hingga pukulan
keras yang dilepaskan Pendekar Seruling Sakti tidak sampai mengenai kepala.
Saat itu juga, tongkatnya dikebutkan ke depan sambil melompat sedikit.
Wuk!
“Hih!” Tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling Sakti untuk
berkelit menghindar. Dengan cepat sekali, seruling bambu kuningnya yang
terselip di pinggang dicabut. Dan secepat itu pula, dikebutkannya untuk
menangkis sabetan tongkat Nyai Purut.
Trak!
“Hih! Yeaaah...!” Nyai Purut langsung melengking ke udara, begitu serangan
tongkatnya bisa ditangkis. Dan bagaikan kilat, tongkatnya kembali dikebutkan
ke kepala pendekar muda itu.
“Hap!” Bet...!
Cepat-cepat Pendekar Seruling Sakti mengebutkan seruling bambu kuningnya ke
atas kepala, hendak menangkis serangan tongkat perempuan tua itu. Tapi tanpa
diduga sama sekali, tiba-tiba saja Nyai Purut memutar tubuhnya. Dan bagaikan
kilat, tangan kirinya dikebutkan ke bawah.
Slap! Seketika itu juga terlihat dua buah benda berwarna putih keperakan
melesat begitu cepat dari telapak tangan kirinya yang terbuka. Akibatnya,
Pendekar Seruling Sakti jadi terkejut setengah mati.
“Hup!” Cepat-cepat pemuda itu melenting ke udara, menghindari serangan
senjata rahasia perempuan tua ini. Tapi pada saat tubuhnya melayang di
udara, tanpa dapat diduga sama sekali kedua telapak tangan Nyai Purut
melepaskan satu pukulan dahsyat.
“Yeaaah...!” Begitu cepat serangan yang dilancarkan perempuan tua itu,
sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Seruling Sakti untuk dapat
menghindar. Dan....
Plak!
“Akh...!” Pendekar Seruling Sakti seketika terpental ke belakang, begitu
dadanya terkena pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Sementara, Nyai Purut berputaran beberapa kali di udara. Lalu, manis sekali
kakinya menjejak tanah kembali. Saat itu, Pendekar Seruling Sakti mencoba
bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri sempurnanya, Nyai Purut sudah
melepaskan satu tendangan lagi disertai pengerahan tenaga dalam sekali.
Begitu cepatnya tendangannya sehingga Pendekar Seruling Sakti benar-benar
tidak dapat lagi menghindari.
Dugkh!
“Akh...!” Kembali Pendekar Seruling Sakti terpekik dan terpental sejauh dua
batang tombak, begitu bagian tulang iganya terkena tendangan keras dan
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau saja tidak memiliki
kepandaian dan pengerahan tenaga dalam tinggi, pasti seluruh tulang-tulang
sudah remuk. Dan mungkin tidak akan bisa melihat matahari lagi esok
pagi.
Tapi Pendekar Seruling Sakti memang bukan orang sembarangan. Walaupun baru
saja terkena dua kali serangan dahsyat, dia mampu cepat bangkit berdiri
lagi. Hanya saja, berdirinya sedikit terhuyung-huyung. Tampak darah segar
mengalir keluar dari mulut dan lubang hidungnya.
“Huh!” Sambil menyeka darah, Pendekar Seruling Sakti mendengus. Ditatapnya
Nyai Purut yang berdiri tegak dengan sikap angkuh, sekitar satu setengah
tombak di depannya. Kemudian diangkatnya seruling bambu kuning, dan
ditempelkan ke bibirnya yang merah seperti bibir seorang gadis belia. Dan
saat itu juga, terdengar alunan seruling yang merdu. Tapi, kemerduan alunan
irama seruling itu tak berlangsung lama. Suaranya cepat berubah melengking,
membuat telinga jadi berdenging.
“Cepat ke belakangku...!” seru Ratu Intan Kumala tiba-tiba.
Semua gadis pengikutnya segera berhamburan, dan berbaris di belakang wanita
cantik itu. Demikian pula Nyai Purut, yang sudah berada di sebelah kanannya.
Dan saat itu juga, Ratu Intan Kumala mengangkat kedua tangannya
tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
“Hiyaaa...!” Ketika alunan seruling yang dimainkan Pendekar Seruling Sakti
sudah hampir tidak tertahankan lagi, mendadak saja dari kedua telapak tangan
Ratu Intan Kumala memancarkan cahaya yang begitu terang menyilaukan. Cahaya
itu terus memendar, membentuk lingkaran di depannya. Dan tiba-tiba saja,
suara seruling itu sama sekali tidak menyakitkan telinga Nyai Purut dan
gadis-gadis yang berada di belakangnya. Bahkan kini terdengar begitu
merdu.
“Ha ha ha...!” Ratu Intan Kumala tertawa terbahak-bahak, diikuti Nyai Purut
dan gadis-gadis pengikutnya ketika mendengarkan pemuda itu memainkan
serulingnya.
Melihat kenyataan yang tidak diduga sama sekali ini, Pendekar Seruling
Sakti jadi terkejut setengah mati. Seluruh kekuatannya segera dikerahkan,
dengan memainkan irama-irama maut dari seruling saktinya. Tapi semakin kuat
kekuatannya dikerahkan, semakin sulit pula menembus benteng cahaya yang
dibuat Ratu Intan Kumala.
“Setan...! Perempuan iblis itu benar-benar sukar ditaklukkan. Huh...!”
Pendekar Seruling Sakti jadi menggerutu sendiri dalam hati. Sudah seluruh
kekuatannya dikerahkan, tapi wanita-wanita itu malah tertawa-tawa
kesenangan, seperti mendapat hiburan saja. Dan ini membuat wajah Pendekar
Seruling Sakti jadi memerah bagai biji saga. Cepat permainan serulingnya
dihentikan.
Sementara itu, Ratu Intan Kumala mencabut tirai cahayanya. Dia berdiri
tegak sambil berkacak pinggang disertai senyum menawan tersungging di
bibir.
“Hanya sampai di situ sajakah kepandaianmu, Pendekar Seruling Sakti...?”
ejek Ratu Intan Kumala sinis.
“Iblis..!” desis Pendekar Seruling Sakti.
“Aku rasa, sudah saatnya kau menerima hukumanku,” kata Ratu Intan Kumala
lagi.
Pendekar Seruling Sakti hanya berdiri tegak saja. Dengan sorot mata tajam
tanpa berkedip sedikit pun juga, ditatapnya bola mata wanita cantik setengah
siluman itu. Sementara, Ratu Intan Kumala sudah mengayunkan kakinya,
mendekati pemuda ini. Wajahnya terlihat begitu tegang, memancarkan nafsu
membunuh. Perlahan namun pasti, kakinya terus melangkah semakin dekat.
“Bersiaplah untuk mati, Bocah Lancang! Hiyaaat...!”
Begitu selesai kata-katanya, bagaikan kilat Ratu Intan Kumala menghentakkan
kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak
tangannya memancar cahaya merah menyala bagai api. Begitu cepat serangannya,
sehingga membuat Pendekar Seruling Sakti jadi terperangah. Dan pemuda itu
tidak sempat lagi mengambil tindakan menghindar.
Tapi begitu ujung cahaya merah bagai api itu hampir menghantam dadanya,
mendadak saja sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat
menyambar tubuhnya. Sehingga, cahaya merah yang memancar dari kedua telapak
tangan Ratu Intan Kumala hanya lewat dan menghantam batu pipih yang biasa
digunakan Nyai Purut untuk memanggil junjungannya.
Glaaar!
Satu ledakan yang begitu keras pun terdengar menggelegar dahsyat, membuat
seluruh puncak bukit ini jadi bergetar bagai terguncang gempa. Batu
berukuran besar dan tampak kokoh itu seketika hancur berkeping-keping,
menyebar ke segala arah. Abu dan kepingan batu bercampur api, tampak
membubung tinggi ke angkasa. Sehingga, suasana malam yang pekat jadi terang
untuk sesaat oleh percikan api yang menghancurkan batu itu.
“Setan alas...! Siapa berani kurang ajar padaku, heh...?!” bentak Ratu
Intan Kumala berang setengah mati. Belum juga wanita cantik itu bisa
mengetahui siapa yang menyelamatkan Pendekar Seruling Sakti dari kematian
tiba-tiba saja....
“Gusti Ratu....”
“Setan! Ada apa, Nyai Purut...?” bentak Ratu Intan Kumala, seraya memutar
tubuhnya cepat berbalik.
Tampak Nyai Purut berlutut, sambil menyembah dengan tubuh menggeletar
seperti kedinginan. Dan semua gadis yang menjadi pengikutnya juga berlutut
dengan sikap sama. Hal ini membuat Ratu Intan Kumala jadi mendelik, tidak
mengerti sikap para pemujanya.
“Ada apa ini...?!” sentak Ratu Intan Kumala.
“Ampun, Gusti. Tawanan kita...,” sahut Nyai Purut, terbata-bata tanpa
menyelesaikan kata-katanya.
“Heh...?!” Kedua bola mata Ratu Intan Kumala jadi terbeliak lebar, begitu
melihat tonggak kayu tempat Pandan Wangi terikat di sana tadi, kini sudah
kosong. Bahkan tonggak kayu itu hancur berkeping-keping, seperti baru saja
terkena satu pukulan dahsyat yang mengandung pengerahan tenaga dalam sangat
tinggi. Bergegas Ratu Intan Kumala menghampiri kepingan tonggak kayu itu.
Kedua bola matanya terbeliak berputaran, seperti tidak percaya dengan semua
yang telah terjadi di tempat ini. Dia seperti bermimpi, menghadapi beberapa
peristiwa yang sama sekali tidak terduga.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Nyai Purut...?” tanya Ratu Intan Kumala seraya
mengarahkan pandangan pada Nyai Purut.
“Hamba sendiri tidak tahu, Gusti. Perhatian hamba sedang terpusat pada
pemuda setan itu tadi,” sahut Nyai Purut.
“Bodoh! Seharusnya kau jaga dia! Huh, sial...!”
“Maafkan hamba, Gusti Ratu. Hamba akan berusaha mendapatkannya lagi.”
“Sudah...! Biar ku tangani sendiri!” bentak Ratu Intan Kumala berang. Belum
lagi hilang suaranya, tahu-tahu wanita cantik yang setengah siluman itu
sudah lenyap dari pandangan mata. Entah ke mana perginya, tanpa meninggalkan
bekas sedikit pun. Memang tinggi sekali ilmu yang dimiliki, sehingga bisa
melesat begitu cepat bagaikan terhembus angin. Sedangkan Nyai Purut hanya
bisa diam dengan wajah merasa bersalah, atas hilangnya Pandan Wangi akibat
kelalaiannya.
“Jangan diam saja! Ayo kita cari lagi dia!” bentak Nyai Purut memberi
perintah pada gadis-gadis pengikutnya.
Tanpa mendapat perintah dua kali, gadis yang semuanya berbaju serba hitam
itu segera berdiri dan mengikuti ayunan kaki Nyai Purut yang lebar dan cepat
di depan. Ke mana sebenarnya Pandan Wangi? Mungkinkah dia bisa melepaskan
diri sendiri setelah mendapatkan totokan pada pusat jalan darahnya secara
aneh tadi...?
***
TUJUH
Tuk!
“Oooh....” Pandan Wangi menggeliat sambil merintih lirih. Beberapa kali
matanya dikerjapkan. Cepat gadis itu bangkit duduk, begitu melihat seraut
wajah tampan yang sudah begitu dikenalnya, bersama seorang wanita tua yang
juga sudah dikenalnya. Mereka adalah Rangga dan Nyai Samirah. Rupanya,
Pendekar Rajawali Sakti inilah yang menyelamatkan Pandan Wangi.
“Di mana aku...?” tanya Pandan Wangi lirih, sambil memegangi kepalanya yang
terasa sedikit pening.
“Kau di tempat aman, Pandan,” kata Rangga lembut memberi tahu.
“Oh! Kukira, aku sudah mati...,” desah Pandan Wangi.
“Sang Hyang Widi masih melindungimu, Pandan,” ujar Nyai Samirah.
Pandan Wangi mengedarkan pandangan ke sekelil-ing. Gadis itu baru tahu,
kalau saat ini berada di sebuah gua yang tidak begitu besar. Tapi,
sepertinya gua ini dihuni seseorang. Dan tubuhnya sendiri berada di atas
sebuah balai-balai bambu beralaskan selembar tikar yang sudah lusuh. Dan
tidak jauh dari tempatnya, juga terdapat sebuah balai-balai bambu yang di
atasnya menggeletak seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Dia mengenakan baju warna putih bersih, dan kelihatannya seperti sedang
tidur pulas.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Dialah yang memberi kesempatan padaku untuk menyelamatkanmu dari tangan
Ratu Intan Kumala,” sahut Rangga.
“Namanya Pendekar Seruling Sakti,” sambung Nyai Samirah.
“Terpaksa jalan darahmu kutotok dengan kerikil, untuk mencegah Ratu Intan
Kumala memasukkan obat ke dalam mulutmu, Pandan. Jadi, kau tidak tahu apa
saja yang telah terjadi,” Rangga menjelaskan singkat.
“Kita masih di Bukit Menjangan, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Ya! Tidak berapa jauh dari tempat tinggal mereka,” sahut Rangga.
“Ini di mana?”
“Tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti,” Nyai Samirah yang
menyahuti.
“Dia terluka?” tanya Pandan Wangi lagi, seraya menatap Pendekar Seruling
Sakti yang terbaring seperti tidur.
“Hanya luka dalam ringan. Tidak begitu mengkhawatirkan. Sebentar lagi juga
akan bangunan dan pulih kembali,” sahut Rangga.
“Syukurlah kalau begitu,” desah Pandan Wangi.
Mereka semua terdiam. Cukup lama juga mereka tidak bicara lagi, sampai
Pendekar Seruling Sakti bangun. Pemuda yang hampir sebaya Rangga itu segera
duduk di atas pembaringannya. Bibirnya lantas tersenyum begitu melihat
Pandan Wangi sudah bisa duduk di samping Nyai Samirah. Kepalanya terangguk
sedikit, dan langsung dibalas Pandan Wangi. Juga dengan anggukan kepala,
disertai senyum kecil yang cukup manis.
“Bagaimana...? Kalian suka tempat ini?” ujar Pendekar Seruling Sakti
bertanya.
“Cukup bagus dan bersih juga,” puji Rangga.
“Terima kasih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku benar-benar senang dapat
bertemu dan berkenalan denganmu. Sudah lama aku mendengar tentang dirimu,
Pendekar Rajawali Sakti. Dan juga kau, Kipas Maut. Tapi sayang, pertemuan
kita ini dalam waktu yang tidak menyenangkan. Kita berhadapan dengan orang
yang sama, tapi dengan tujuan dan persoalan berbeda,” kata Pendekar Seruling
Sakti.
Pendekar Seruling Sakti hendak bangkit turun dari pembaringan bambu ini,
namun Nyai Samirah buru-buru mencegah. Hanya saja pemuda itu sudah lebih
dulu mengangkat tangannya, meminta perempuan tua itu duduk kembali.
“Keadaanku sudah pulih kembali, Nyai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan
lagi,” kata Pendekar Seruling Sakti.
“Luka dalam mu cukup parah, Anak Muda.”
“Tidak lagi, setelah Pendekar Rajawali Sakti mengobatiku.”
“Ah! Hanya sedikit yang kulakukan,” ujar Rangga merendah. Semua pengobatan
ada pada dirimu sendiri.”
“Tapi tanpa mu, aku tidak akan mungkin bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Bahkan mungkin saat ini sudah menghuni lubang kubur.”
“Ah, sudahlah.... Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang yang terpenting,
kita pikirkan cara yang tepat untuk menghadapi Ratu Intan Kumala dan
pemuja-pemujanya. Ini yang paling penting untuk dibicarakan,” cepat-cepat
Rangga mengalihkan pembicaraan.
Pendekar Rajawali Sakti memang paling tidak suka jika pembicaraan berkisar
hanya saling memuji, dan saling merendahkan diri masing-masing. Baginya,
pembicaraan seperti itu hanya akan membuat kepala menjadi besar.
“Ya! Memang seharusnya kita menyusun suatu rencana yang tepat untuk
menghadapi mereka, sebelum kembali ke dunia bebas lagi,” sambut Pendekar
Seruling Sakti mantap.
“Memang harus ada yang mengatasi mereka secepatnya. Kalau tidak, seluruh
jagat raya ini bisa hancur,” sambung Nyai Samirah.
“Dia bisa menghancurkan padepokan mana saja yang membangkang. Yahhh...,
seperti padepokanku. Sekarang, yang ada hanya puing-puing saja.”
“Kau bisa membangun padepokan baru, Nyai. Setelah semua urusan ini
selesai,” ujar Rangga membesarkan hati perempuan tua itu.
Nyai Samirah hanya tersenyum saja, tapi terasa getir sekali. Entah, apakah
hatinya yakin akan bisa mendirikan padepokan lagi atau tidak. Sedangkan
untuk mendirikan sebuah padepokan, tidak sedikit waktu, tenaga, dan pikiran
yang terkuras. Di dalam hati, Nyai Samirah sendiri tidak yakin akan mampu
bangkit kembali memimpin sebuah padepokan. Tapi yang pasti, mungkin
pilihannya adalah menjadi pertapa wanita dengan meninggalkan semua urusan
yang berkaitan dengan keduniawian.
Dan mereka pun mulai membicarakan tentang Ratu Intan Kumala, Nyai Purut
serta gadis-gadis pengikutnya yang rata-rata memiliki tingkat kepandaian
mengagumkan. Seorang pendekar seperti Pendekar Seruling Sakti saja, harus
berpikir tiga kali untuk menghadapi. Sepuluh orang saja dari mereka, bisa
sebanding dengan satu pasukan prajurit kerajaan yang sudah terlatih puluhan
tahun.
Mereka memang gadis yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Sehingga, tidak
mudah untuk mengenyahkannya begitu saja. Dan mereka memang bukanlah
gerombolan biasa, yang biasanya hanya mengacau orang-orang desa. Mereka
bahkan berani menantang satu pasukan prajurit, walaupun jumlahnya sangat
sedikit sekali.
Dan memang, mereka sudah seringkali merampas harta benda pihak kerajaan
manapun juga, walaupun dikawal ketat satu pasukan prajurit terlatih. Bahkan
sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak padepokan silat beraliran putih
yang dihancurkan, dan berapa desa yang diduduki.
Tapi kini, mereka harus tinggal di puncak Bukit Menjangan yang dingin dan
selalu berselimut kabut. Sekarang, mereka benar-benar sudah tidak punya
tempat lagi. Tapi, hal itu bisa saja tidak berlangsung lama, kalau tidak
segera dicegah. Bahkan bila perlu, dilenyapkan dari muka bumi ini untuk
selama-lamanya.
***
Hingga menjelang pagi, pembicaraan mereka baru selesai. Semua beristirahat
tidur, mempersiapkan tenaga dan perhatian dalam menghadapi Ratu Intan Kumala
dan para pengikutnya yang tangguh-tangguh. Hanya Rangga saja yang tidak
dapat memicingkan matanya barang sekejap pun. Melihat tidak ada lagi yang
masih terjaga, Pendekar Rajawali Sakti melangkah keluar dari dalam gua yang
letaknya tersembunyi. Malah, sulit untuk dicapai oleh orang-orang yang tidak
memiliki kepandaian tinggi.
“Ahhh...!” Rangga menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
perlahan-lahan begitu berada di luar gua.
Matahari yang sudah menampakkan diri di sebelah timur, terlihat bersinar
indah mencoba mengusir kabut yang selalu menyelimuti sekitar puncak Bukit
Menjangan ini. Kemunculan matahari membuat udara di sekitar puncak bukit ini
jadi terasa lebih hangat.
Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya, sambil menikmati udara segar
pagi ini. Bibirnya tersenyum memandangi burung-burung yang riang berlompatan
dari satu dahan ke dahan lain sambil berkicauan menyambut datangnya sang
Surya. Dan tanpa terasa, Rangga sudah cukup jauh berjalan meninggalkan gua
tempat tinggal Pendekar Seruling Sakti.
“Memang indah pemandangan di sini....”
“Eh...?!” Rangga jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja terdengar sebuah
suara yang tidak begitu jauh di sebelah kanannya. Cepat wajahnya berpaling
ke kanan. Tapi pada saat itu juga, terlihat secercah cahaya keperakan
meluruk deras ke arahnya. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti jadi ternganga
kaget tidak menyangka. Dan....
“Hap...!” Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke belakang, maka benda
berbentuk bulat pipih berwarna keperakan itu lewat sedikit saja di depan
dadanya. Segera Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang begitu lolos
dari serangan yang begitu cepat dan sangat tiba-tiba. Pandangannya langsung
menyorot tajam, menatap ke arah datangnya senjata rahasia itu.
“Aku di sini, Pendekar Rajawali Sakti....”
“Heh...?!”
Diegkh!
“Akh...!”
Rangga jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba saja punggungnya terasa
menerima satu pukulan yang sangat keras. Pendekar Rajawali Sakti langsung
jatuh tersungkur, dan bergulingan beberapa kali di tanah. Untung saja,
pukulan itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam sedikit pun juga.
Sehingga Pendekar Rajawali Sakti masih bisa cepat bangkit berdiri.
Dan tahu-tahu, di depannya kini sudah berdiri seorang wanita berparas
cantik bagai bidadari. Pakaian wanita itu berwarna merah muda, dan begitu
tipis bahannya. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya sangat jelas terlihat.
Sungguh indah, membuat mata siapa saja yang memandangnya tidak akan
berpaling sekejap pun. Tapi tidak demikian halnya Rangga. Karena dia tahu,
siapa wanita yang kini sudah berada sekitar setengah batang tombak di
depannya. Dialah Ratu Intan Kumala...!
“Pagi yang indah begini, sayang sekali kalau tidak dinikmati. Bukan begitu,
Pendekar Rajawali Sakti...?” ujar Ratu Intan Kumala.
Suara wanita itu terdengar begitu lembut di telinga. Dan gerak-gerak
bibirnya saat berkata-kata juga langsung membangkitkan gairah birahi. Wanita
ini memang memiliki daya pikat yang begitu dahsyat. Bahkan Rangga sendiri
sempat bergetar saat pandangannya bertemu pandangan mata wanita itu.
“Di mana yang lain, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Ratu Intan Kumala. Nada
suaranya terdengar begitu lembut di telinga.
“Ada.... Mereka aman dan tidak bisa terjangkau olehmu,” sahut Rangga
langsung ketus nada suaranya.
“Tidak ada tempat yang tersembunyi dan luput dari pengamatanku di sekitar
Bukit Menjangan ini, Bocah Bagus. Aku tahu, di mana mereka.”
“Kalau sudah tahu, kenapa harus bertanya...?”
Ratu Intan Kumala tertawa renyah. Begitu merdu suaranya, membuat jantung
Rangga sempat berdetak kencang. Tapi cepat-cepat daya pesona yang
ditimbulkan wanita ini diusirnya. Perasaannya tidak ingin terpancing,
apalagi terpikat daya pesona kecantikan, serta lekuk-lekuk tubuh wanita yang
begitu indah menggairahkan ini.
“Aku tahu, siapa namamu yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Ah...!
Memang sebaiknya aku memanggilmu Rangga saja. Bukankah itu lebih baik? Kau
tentu suka kalau aku memanggilmu demikian, Rangga...?”
“Hmmm...,” Rangga hanya menggumam sedikit saja.
“Bertahun-tahun aku tinggal di bukit ini, dan menguasainya secara penuh.
Dan semua orang mengakui, akulah pemilik bukit ini. Bahkan tidak pernah ada
seorang pun yang berani menodainya. Aku selalu menjaganya agar tidak pernah
ternoda. Tapi belakangan ini, entah sudah berapa orang yang menodai bukit
ini dengan darah. Dan itu terjadi setelah kau ada di sini, Rangga. Ah...!
Tapi, aku tidak mutlak menyalahkanmu. Aku tahu, apa yang membuatmu terpaksa
harus menodai bukit ini. Dan aku ingin, agar kita bersama-sama
menghentikannya,” kata Ratu Intan Kumala, masih terdengar begitu
lembut.
“Kau bicara seperti dirimu yang paling suci saja di dunia ini, Ratu Intan
Kumala,” sinis sekali suara Rangga terdengar.
“Aku memang bukan orang suci, Rangga. Tapi paling tidak, aku masih
menghargai keindahan dan kesucian alam. Aku senang kalau semua yang ada di
dunia ini berjalan sesuai kodratnya. Tapi, telah ada tangan-tangan jahil
yang merusaknya. Dan aku selalu berharap agar bukit ini tetap bersih, tanpa
ternoda sedikit pun juga. Tapi sekarang..., aku tidak bisa mencegahnya lagi.
Kesucian bukit ini sudah ternoda. Dan semua ini sangat ku sesali,
Rangga.”
“Kau menginginkan tempatmu tetap bersih. Tapi, kenapa kau selalu membuat
kotor tempat lain? Malapetaka kau sebarkan di mana-mana. Kau banjiri bumi
dengan darah orang-orang yang tidak berdosa. Aku rasa, kau sama sekali tidak
menghargai kesucian dan keindahan alam, Ratu Intan Kumala. Bahkan kau
sendirilah yang menodainya,” tegas Rangga.
“Kata-katamu sudah menyinggung perasaanku, Rangga...!” desis Ratu Intan
Kumala tidak senang.
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Jadi, kau merasa tersinggung...? Itu
memang hakmu,” balas Rangga tetap mantap dan tegas.
“Semula, aku hendak mengajak damai denganmu. Tapi, tampaknya kau terlalu
sulit diajak berdamai. Kau lebih memilih banjir darah di bumi ini,” desis
Ratu Intan Kumala mulai terasa dingin nada suaranya.
“Sampai kapan pun bumi akan tetap dibanjiri darah, kalau orang-orang
sepertimu masih tetap ada.”
“Kau sudah membuka tantangan, Pendekar Rajawali Sakti.” Rangga hanya
mengangkat bahu sedikit saja.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Tapi kuminta, jangan menyesal kalau
mulai saat ini orang-orang hanya akan mengenal namamu saja.”
“Aku khawatir malah sebaliknya, Ratu Intan Kumala.”
“Hhh. Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti!”
Bet!
Ratu Intan Kumala langsung saja mengebutkan kedua tangannya, memperlihatkan
gerakan-gerakan jurus yang begitu indah dan lembut. Tapi dari setiap gerakan
tangannya, mengandung satu kekuatan yang tidak bisa dipandang rendah. Dan
Rangga juga segera bersiap-siap menerima serangan. Dia berdiri tegak dengan
tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, memperhatikan
setiap gerakan yang dilakukan wanita itu.
“Hmmm...”
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!”
Wuk!
“Haiiit..!”
Rangga cepat-cepat meliuk ketika tangan kanan Ratu Intan Kumala menghentak
ke depan. Dan seketika dari telapak tangan kanannya memancar cahaya merah
yang begitu deras, meluruk dan lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dan cahayanya itu langsung menghantam sebongkah batu yang
cukup besar di belakang Rangga, sampai hancur berkeping-keping,
memperdengarkan ledakan yang begitu dahsyat.
“Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Secara bersamaan, mereka melesat ke udara dan langsung saling melontarkan
serangan-serangan pukulan beruntun yang cepat sekali. Tubuh mereka
meliuk-liuk menghindari dan saling memberi serangan cepat yang sukar diikuti
pandangan mata biasa.
“Hup!”
“Hap...!”
Secara bersamaan pula, mereka kembali meluruk turun dan menjejak tanah
kembali. Dan mereka langsung saja bertarung menggunakan jurus-jurus cepat
dan dahsyat. Dan tentu saja, mereka sama-sama mengerahkan jurus-jurus
tingkat tinggi. Beberapa kali pukulan yang dilepaskan saling berbenturan,
hingga memperdengarkan ledakan yang begitu keras dan dahsyat.
Tapi, tampaknya kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain sudah
mencapai tingkatan yang seimbang. Sehingga, mereka sama-sama kembali saling
melontarkan serangan cepat dan beruntun. Jurus demi jurus cepat berlalu.
Tanpa terasa, mereka sudah menghabiskan lebih dari sepuluh jurus. Tapi,
tampaknya pertarungan itu masih terus berlangsung sengit. Dan tampaknya,
belum ada tanda-tanda kalau pertarungan bakal terhenti. Mereka benar-benar
memiliki kepandaian setingkat. Sedikit pun belum terlihat, siapa lebih
tinggi tingkat kepandaiannya.
Suara-suara teriakan dan ledakan-ledakan keras menggelegar menjadi satu,
rupanya terdengar sampai ke dalam gua tempat tinggal Pendekar Seruling
Sakti. Sehingga, membuat mereka yang ada di dalam gua tadi terbangun dari
tidur, dan langsung berlarian keluar begitu menyadari kalau Rangga tidak ada
di dalam gua ini. Mereka terus berlarian menuju sumber suara yang
mengejutkan itu. Dan betapa terkejut mereka, begitu melihat Rangga tengah
bertarung sengit melawan Ratu Intan Kumala.
Dan pada saat sampai, saat itu pula Nyai Purut bersama gadis-gadis
pengikutnya tiba di sana. Mereka jadi saling berhadapan. Sementara, Rangga
dan Ratu Intan Kumala terus saja bertarung, tanpa menghiraukan kedatangan
mereka semua. Memang, tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk menghentikan
pertarungan.
“Di sini kalian rupanya, heh...?!” dengus Nyai Purut dingin
menggetarkan.
“Tanpa kau cari, kami juga akan mendatangi mu, Nyai Purut!” sambut Pandan
Wangi.
Gadis itu sudah mengembangkan kipas mautnya di depan dada. Dan memang,
Rangga sudah menyerahkan senjata-senjata gadis ini. Di punggungnya juga
sudah bertengger Pedang Naga Geni. Sementara, Pendekar Seruling Sakti juga
sudah menggenggam seruling bambu kuningnya yang memang bukan seruling biasa,
tapi juga merupakan senjata yang sangat berbahaya.
“Kalian benar-benar penghalangku yang paling utama. Kalian harus mampus
lebih dulu!” sentak Nyai Purut geram.
“Aku rasa, kau yang akan lebih dulu ke neraka, Nyai Purut,” balas Pandan
Wangi tak kalah dingin.
“Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat...!” Sambil memaki dan berteriak
nyaring melengking, Nyai Purut langsung saja melompat menyerang Pandan Wangi
dengan kebutan tongkatnya.
Wuk!
“Haiiit..!”
Hanya sedikit saja si Kipas Maut mengegos, maka kebutan tongkat Nyai Purut
tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan dengan kecepatan yang tidak kalah
tinggi, gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu langsung balas menyerang.
Senjata kipasnya terus di kebutkan beberapa kali dengan cepat.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Wuk! Bet!”
“Edan...! Hup! Yeaaah...!”
Nyai Purut terpaksa berjumpalitan menghindari serangan-serangan Pandan
Wangi yang beruntun dan sangat cepat. Sungguh tidak disangka kalau gadis ini
ternyata memiliki kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya dari yang diduga
sebelumnya.
Sementara itu, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah sudah menggempur
gadis-gadis pengikut dan pemuja Ratu Intan Kumala. Dengan senjata berupa
suling bambu, pemuda itu berkelebat cepat bagaikan burung elang. Sementara,
Nyai Samirah juga tidak kalah garangnya. Bagaikan seekor singa tua yang
kelaparan, dia terus merangsek pengikut-pengikut Nyai Purut.
Teriakan-teriakan pertarungan pun semakin menggema memecah udara di Bukit
Menjangan ini. Bumi bagaikan hendak runtuh oleh suara pertarungan. Walaupun
tidak begitu banyak jumlahnya, tapi mereka bagaikan dua pasukan kerajaan
yang sedang berperang. Sebentar saja, tidak terhitung lagi pepohonan yang
tumbang. Bahkan batu-batuan pun ikut hancur terkena pukulan-pukulan
berkekuatan tenaga dalam tingkat tinggi.
***
DELAPAN
Pertarungan masih terus berlangsung sengit. Jerit-jerit melengking tanda
kematian, mulai terdengar di antara hiruk-pikuk pertarungan dan
ledakan-ledakan. Tampak gadis-gadis pemuja Ratu Intan Kumala mulai
berjatuhan dengan tubuh berlumuran darah tanpa nyawa lagi. Dalam keadaan
seperti ini, Pendekar Seruling Sakti dan Nyai Samirah benar-benar sukar
sekali dicari tandingannya. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan begitu
cepat.
Bahkan gadis-gadis berpakaian serba hitam itu jadi kewalahan menghadapinya.
Akibatnya, cara pertarungan mereka benar-benar tidak lagi beraturan. Mereka
sudah mulai berusaha menyelamatkan diri sendiri-sendiri. Dan keadaan ini
tentu saja sangat menguntungkan bagi Pendekar Seruling Sakti dan Nyai
Samirah.
“Hiya!”
“Yeaaah...!”
Bet! Wuk!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking tinggi yang terakhir pun terdengar. Tampak gadis
pengikut Nyai Samirah yang paling akhir terjungkal bermandikan darah, dan
langsung tidak dapat bangkit lagi.
“Ayo kita bantu Pandan Wangi, Nyai,” ajak Pendekar Seruling Sakti.
“Kau saja, Seruling Sakti. Biar aku mengawasi Ratu Intan Kumala,” sahut
Nyai Samirah.
“Baiklah. Jaga jangan sampai perempuan iblis itu curang,” sambut Pendekar
Seruling Sakti.
Nyai Samirah hanya mengangguk saja, kemudian melangkah menghampiri
pertarungan antara Rangga dan Ratu Intan Kumala. Sementara, Pendekar
Seruling Sakti menghampiri Pandan Wangi yang masih menghadapi Nyai
Purut.
“Hmmm.... Tampaknya Pandan Wangi juga tidak memerlukan bantuanku. Tapi,
memang sebaiknya aku tetap saja berada di sini. Biar mereka bertarung secara
jujur dan ksatria,” gumam Pendekar Seruling Sakti.
“Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pandan
Wangi melenting ke atas. Dan bagaikan kilat, tubuhnya berputar seraya
mengebutkan kipas mautnya ke bagian kepala dan kaki Nyai Purut Begitu cepat
kebutan-kebutan kipasnya, sehingga yang terlihat cahaya putih keperakan saja
yang berkelebatan.
Bret! “Ikh...!”
Tiba-tiba saja Nyai Purut terpekik agak tertahan. dan langsung melompat ke
belakang sejauh tiga langkah. Agak terkejut juga hatinya begitu melihat baju
bagian dadanya telah sobek, terkena sabetan ujung senjata kipas maut di
tangan Pandan Wangi.
“Setan! Hiyaaa...!”
Nyai Purut jadi berang setengah mati. Cepat perempuan tua itu melompat, dan
mengebutkan tongkatnya ke arah kepala si Kipas Maut. Tapi secepat itu pula
Pandan Wangi merunduk. Sehingga, tongkat kayu itu lewat sedikit di atas
kepala. Dan bagaikan kilat pula, tubuhnya berputar. Langsung dilepaskannya
satu tendangan berputar dengan bertumpu pada kaki kiri. Dan....
Begkh! “Ugkh...!”
Tendangan kilat Pandan Wangi tepat menghantam perut Nyai Purut. Akibatnya,
perempuan tua itu terdorong ke belakang dengan tubuh terbungkuk. Dan pada
saat itu juga, cepat sekali Pandan Wangi melompat ke depan sambil melepaskan
satu buah pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
Plak!
“Aaakh...!”
Nyai Purut tidak dapat lagi bertahan. Pukulan yang dilepaskan Pandan Wangi
tepat menghantam wajahnya. Akibatnya, perempuan tua itu menjerit keras
dengan wajah terdongak ke atas. Kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang beberapa langkah. Dan saat itu juga, Pandan Wangi sudah melompat
cepat sambil mencabut Pedang Naga Geni.
“Mampus kau sekarang, Perempuan Iblis! Hiyaaat...!”
Wuk!
Pedang yang memancarkan api itu bagaikan kilat berkelebat, dan langsung
menyambar leher Nyai Purut Sementara, Pandan Wangi segera melompat mundur
sambil menyarungkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.
Cring!
Sementara, tampak Nyai Purut hanya berdiri saja seperti patung. Matanya
terbuka lebar menatap lurus ke depan dengan mulut terbuka. Tampak ada satu
garis merah pada lehernya. Dan tak lama kemudian, tampak tubuh perempuan tua
itu mulai goyah, lalu ambruk ke tanah dengan kepala langsung terpisah dari
leher. Seketika, darah muncrat dari leher yang sudah tidak berkepala lagi
itu.
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan napas berat, melihat lawannya sudah
tergeletak tidak bernyawa lagi dengan kepala terpisah dari leher. Pendekar
Seruling Sakti menghampiri si Kipas Maut itu, dan berdiri di samping sebelah
kirinya. Dia juga memandangi mayat Nyai Purut yang kepalanya terpisah cukup
jauh dari lehernya.
“Tinggal satu lagi, Pandan. Dan ini yang paling berbahaya,” kata Pendekar
Seruling Sakti.
Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke pertarungan antara Rangga
melawan Ratu Intan Kumala. Dan tanpa bicara lagi sedikit pun juga, kakinya
melangkah menghampiri Nyai Samirah yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan Pendekar Seruling Sakti
mengikutinya dari belakang. Dan mereka kemudian berdiri bersisian,
menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu.
***
Pertarungan antara Rangga melawan Ratu Intan Kumala memang masih
berlangsung sengit sekali. Entah, sudah berapa puluh jurus dikeluarkan, tapi
pertarungan malah berjalan semakin sengit saja. Pukulan-pukulan mereka pun
tidak lagi hanya disertai pengerahan tenaga dalam saja, tapi sudah
menggunakan pukulan-pukulan yang dibarengi aji kesaktian. Entah, berapa
jurus sudah berlalu dan berapa jenis ilmu kesaktian yang sudah dikeluarkan.
Tapi, pertarungan masih saja terus berlangsung sengit sekali.
Sementara, Pandan Wangi, Nyai Samirah, dan Pendekar Seruling Sakti mulai
diliputi kecemasan, melihat pertarungan belum juga ada tanda-tanda akan
berhenti. Padahal, mereka sama-sama sudah mengeluarkan senjata. Rangga sudah
mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Sedangkan Ratu Intan Kumala sudah
mengeluarkan batu mustikanya yang berbentuk bulat sebesar kepalan tangan,
memancarkan cahaya berkilauan bagai intan tersiram cahaya matahari. Hingga
pada satu saat, mereka sama-sama berlompatan mundur dan menghentikan
pertarungan. Tapi, satu sama lain masih tetap berdiri berhadapan dengan
jarak kurang dari satu batang tombak jauhnya.
“Sebaiknya kau menyerah saja, Intan Kumala. Tidak ada lagi orang-orangmu
yang masih hidup,” kata Rangga dingin sekali nada suaranya.
“Hhh!” Ratu Intan Kumala hanya menghembuskan napas panjang saja. Sekilas
pandangannya beredar ke sekeliling. Memang, tidak ada lagi pengikutnya yang
hidup. Mereka semua sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Bahkan Nyai
Purut sendiri, tewas dengan kepala terpisah dari leher. Geram juga hatinya
melihat kenyataan pahit yang harus diterima. Kini, dia tinggal seorang diri.
Sedangkan lawannya, tidak kurang seorang pun juga. Walaupun kini hanya
berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti saja, tapi baru seorang saja sudah
sangat sulit menghadapinya.
“Baiklah. Kita tentukan sekarang, siapa di antara kita yang paling unggul,
Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Ratu Intan Kumala tegas.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja perlahan. Pendekar Rajawali Sakti
tahu, kata-kata barusan merupakan sebuah tantangan untuk mengadu jiwa yang
tidak bisa ditolak. Mereka memang sudah berada pada puncak pertarungan. Dan
hanya tinggal ilmu-ilmu andalan saja yang masih tersisa. Sedangkan Rangga
sendiri, tidak punya pilihan lain lagi. Pendekar Rajawali Sakti sadar,
lawannya kali ini sangat tangguh. Dan sekarang, dia tidak mau lagi
tanggung-tanggung menghadapinya. Pertarungan kini sudah meningkat pada
pertarungan nyawa. Salah seo-rang dari mereka harus mati dalam pertarungan
yang jujur ini. Dan kini mereka sudah bersiap-siap mengadu jiwa.
“Hhh...!” Rangga merentangkan kedua kakinya ke samping dengan pedang yang
memancarkan cahaya biru melintang di depan dada. Lalu, telapak tangan
kirinya ditempelkan di mata pedang itu. Sedangkan sorot matanya begitu
tajam, memperhatikan gerakan-gerakan yang dilakukan Ratu Intan Kumala dalam
mempersiapkan ilmu pamungkasnya. Perlahan Rangga mulai menggosok mata pedang
pusakanya. Dan begitu telapak tangannya berada kembali di pangkal tangkai
pedang, cahaya biru mulai menggumpal dan membentuk bulatan di ujungnya.
Sudah dapat dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti akan mengerahkan aji
‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat dan merupakan andalan baginya.
“Terimalah seranganku ini, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat!” “Aji ‘Cakra
Buana Sukma’! Yeaaah...!”
Tepat, ketika Ratu Intan Kumala menghentakkan kedua tangannya yang
menggenggam batu mustika, Rangga juga menghentakkan pedangnya ke depan. Maka
seketika itu juga, dua berkas sinar meleret deras. Dan....
Glaaar..!”
Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terjadi ketika dua berkas sinar
itu beradu tepat di tengah-tengah. Tampak Ratu Intan Kumala terdorong
sedikit ke belakang. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri kokoh dan masih
tetap menjulurkan pedangnya ke depan. Sinar biru yang menggumpal di ujung
pedangnya terus merambat cepat sekali, menghampiri Ratu Intan Kumala.
“Ikh...!”
Ratu Intan Kumala jadi terpekik, begitu merasakan cahaya biru yang
.memancar dari pedang Pendekar Rajawali Sakti mulai menyentuh tubuhnya.
Bergegas wanita cantik ini hendak menyingkir. Tapi belum juga bi-sa berbuat
sesuatu, cahaya biru yang memancar dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti
sudah menerkam dan menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Hhh...!” Rangga mengempos tenaganya untuk menambah kekuatan, begitu
merasakan adanya perlawanan. Dan memang, Ratu Intan Kumala tampak
menggeliat-geliatkan berusaha melepaskan diri dari belenggu sinar biru yang
terus memancar dan semakin banyak menggumpal dari pedang Pendekar Rajawali
Sakti.
“Ukh...!” Ratu Intan Kumala mulai melenguh. Semakin kekuatannya dikerahkan
untuk melepaskan diri dari belenggu aji ‘Cakra Buana Sukma’ semakin kuat
pula tenaga dan kekuatannya tersedot keluar. Dan Ratu Intan Kumala baru
menyadari, apa yang telah terjadi pada dirinya saat ini. Tapi kesadarannya
sudah terlambat. Kini, tak ada lagi yang bisa dikerjakan. Dan dia harus
berusaha untuk bisa keluar dari selubung cahaya biru ini. Keringat terus
mengucur semakin deras, membasahi sekujur tubuh wanita itu.
Sementara, tenaganya terus mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Ratu Intan Kumala merasakan kekuatannya berkurang jauh sekali. Dan
kelihatannya dia sudah tidak mungkin lagi bisa keluar dari belenggu sinar
biru ini. Semakin berusaha keluar, semakin besar pula tarikan yang menyedot
kekuatannya. Sementara, Rangga mulai melangkah mendekati
perlahan-lahan.
Seluruh tubuhnya juga sudah bersimbah keringat. Bahkan tarikan nafasnya
begitu kencang memburu, bagai kuda yang dipacu seharian penuh tanpa
istirahat sedikit pun. Menghadapi wanita ini, seluruh kekuatan dan
kepandaian yang dimilikinya benar-benar dikerahkan. Ayunan kakinya terlihat
begitu mantap, walaupun perlahan-lahan. Dan Pendekar Rajawali Sakti semakin
dekat dengan wanita yang dikenal bernama Ratu Intan Kumala itu.
“Waktu sudah habis, Intan Kumala...,” desis Rangga dingin menggetarkan.
“Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti
melompat dan menghentakkan pedangnya ke atas kepala. Seketika itu juga,
cahaya biru yang menyelimuti seluruh tubuh Ratu Intan Kumala terlepas dari
tubuhnya. Tapi belum juga wanita itu dapat menarik napas lega, mendadak
saja....
Bet! Cras! “Hegkh...!”
Ratu Intan Kumala hanya dapat melenguh sedikit. Kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar, dan mulutnya ternganga seperti melihat hantu, tepat di saat
kilatan cahaya biru terlihat berkelebat begitu cepat di depan lehernya. Saat
itu, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil berputaran di udara tiga
kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak
lagi menggenggam pedang pusaka yang kini sudah kembali tersimpan di dalam
warangka di punggung.
Sementara, Ratu Intan Kumala masih tetap berdiri mematung. Terlihat jelas,
garis merah yang mengelilingi lehernya yang putih jenjang. Tapi tak berapa
lama kemudian, tubuh wanita cantik itu mulai limbung, lalu ambruk ke tanah
dengan kepala terpisah dari leher. Sedikit pun tubuhnya tidak bisa bergerak
lagi, karena nyawanya sudah lepas dari badan sejak tadi.
“Kakang....”
Rangga berpaling sedikit dan tersenyum melihat Pandan Wangi, Nyai Samirah,
dan Pendekar Seruling Sakti datang berlari-lari kecil menghampiri.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini,” ajak Rangga setelah mereka
mendekat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka meninggalkan puncak Bukit Menjangan ini.
Meninggalkan semua yang telah terjadi. Meninggalkan mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih. Dan, meninggalkan satu pengalaman yang
cukup mendebarkan.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon