SATU
"Yeaaah... !"
Glarrr!
Ledakan keras menggelegar tiba-tiba terdengar menggetarkan bumi. Rasanya saat
ini bagai terjadi gempa dahsyat saja. Seluruh pepohonan berguncang disertai
guguran daun-daunnya. Batu-batuan bergetar. Bahkan tidak sedikit yang retak,
akibat teriakan keras disertai ledakan dahsyat menggelegar tadi. Ternyata,
suara yang membuat alam seakan-akan jadi murka itu berasal dari seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih. Kedua tangannya tampak masih terentang, menjulur
lurus ke depan.
Bahkan kedua telapak tangannya sudah terlihat menjadi merah membara, bagai
besi terbakar. Asap tipis kemerahan tampak masih terlihat mengepul dari kedua
telapak tangan terbuka yang menjulur ke depan itu. Perlahan-lahan tangan itu
bergerak ke depan, lalu lunglai di samping tubuhnya. Kelihatannya, dia bagai
tak bertenaga lagi, namun tetap berdiri dengan tubuh bersimbah keringat.
"Jaka Anabrang.... Kalau kau sampai menyentuh Pandan Wangi, tidak ada ampun
lagi bagimu...!" desis pemuda itu, terdengar menggeram.
Pemuda tampan berbaju rompi putih yang tak lain Rangga, tampak mengepalkan
telapak tangannya kuat-kuat. Hingga, otot-ototnya kelihatan bersembulan ke
luar. Keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, membuat otot-ototnya jadi
berkilatan terjilat cahaya matahari pagi. Sorot matanya masih terlihat begitu
tajam memandang ke satu arah tanpa berkedip sedikit pun.
"Hm.... Mereka pergi ke arah utara. Aku tidak boleh membuang-buang waktu, agar
jangan sampai terjadi sesuatu pada Pandan Wangi," gumam Rangga perlahan.
Kepala Rangga langsung terdongak ke atas. Sebentar kemudian napasnya mulai
ditarik dalam-dalam, lalu ditahannya beberapa saat. Dan....
"Suiiit...!"
Terdengar siulan nyaring yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Siulan
panjang bernada aneh itu menggema menyelusup dan menembus hutan yang lebat
ini. Dua kali Rangga mengeluarkan siulan panjang dan nyaring itu. Dan bibirnya
kemudian tersenyum, begitu di angkasa terlihat sebuah titik hitam bercahaya
putih keperakan tengah melayang-layang.
"Rajawali! Cepat ke sini...!" panggil Rangga, sambil melambaikan tangannya.
"Khraaagkh...!"
Terdengar suara serak menggelegar, bagai hendak membelah angkasa. Dan tak lama
kemudian, terlihat seekor burung rajawali berbulu putih tengah meluncur.
Kecepatannya bagai kilat, menuju ke arah Rangga. Semakin dekat rajawali putih
ini, semakin terlihat jelas bentuknya kalau itu adalah rajawali raksasa.
"Khraaagkh...!"
Walaupun tubuhnya hampir sebesar bukit, tapi tidak sedikit pun terdengar suara
saat kedua cakarnya menyentuh tanah. Rangga bergegas menghampiri, dan menepuk
leher Rajawali Putih beberapa kali. Dan kepala burung itu jadi
terangguk-angguk.
"Ayo, Rajawali. Bantu aku mencari Pandan Wangi," ajak Rangga.
Khrrr...!
"Iya, nanti semuanya kuceritakan," kata Rangga lagi, seakan mengerti apa yang
baru saja disuarakan burung rajawali raksasa itu. Kembali Rangga menepuk leher
Rajawali Putih beberapa kali, kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
Dan....
"Hup!" Dengan gerakan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke
punggung rajawali putih raksasa ini. Dan Rangga langsung duduk di punggung
tunggangannya.
"Ayo, Rajawali. Ke arah utara dulu...!" pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
Hanya beberapa kali kepak saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke
angkasa dengan Rangga di punggungnya. Memang luar biasa sekali kecepatan
terbang burung tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dalam waktu sekejap
mata saja, sudah berada di atas awan!
"Khraaagkh...!"
***
Seharian penuh, Rangga mencoba mencari jejak Pandan Wangi dari udara. Tapi,
sedikit pun tidak didapat adanya tanda-tanda, ke mana Pandan Wangi dibawa
pergi Jaka Anabrang. Hatinya benar-benar geram melihat kepengecutan Jaka
Anabrang yang menahan Pandan Wangi, dan dijadikan sandera untuk melemahkan
dirinya.
Walaupun baru sekali bertarung, tapi Rangga sudah bisa membaca tingkat
kepandaian Jaka Anabrang yang memang sudah sangat tinggi. Jadi, mustahil jika
Pandan Wangi bisa menghadapinya seorang diri. Bahkan Rangga sendiri saja
hampir tidak dapat mengimbanginya, walaupun sudah menggunakan Pedang Rajawali
Sakti. Pedang Halilintar yang dimiliki Jaka Anabrang memang sangat dahsyat,
sehingga sanggup menandingi kesaktian Pedang Rajawali Sakti. Hal inilah yang
membuat hati Pendekar Rajawali Sakti cemas. Dan, bukan hanya itu saja. Masih
banyak kecemasan yang saat ini bergelayut di dalam hatinya.
Sampai matahari hampir tenggelam di kaki sebelah barat, Rangga belum juga bisa
menemukan jejak-jejak Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Padahal,
seluruh sudut hutan ini sudah dijelajahinya dari udara. Tapi, tanda-tanda
tempat persembunyian Jaka Anabrang kali ini belum juga terlihat. Kecemasan di
dalam hatinya tidak dapat lagi tertahankan. Maka Rangga meminta Rajawali Putih
turun, begitu terlihat sebuah padang rumput yang tidak begitu luas.
"Khraaagkh...!"
Sambil mengeluarkan suara yang menggeledek, Rajawali Putih menukik turun
dengan kecepatan kilat dari angkasa. Dan sebentar saja, burung Rajawali
raksasa berbulu putih keperakan itu sudah mendarat di tengah-tengah padang
berumput tebal bagai permadani terhampar ini.
"Hup!"
Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rangga.
Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat melompat turun, dan menjejak
tanah berumput.
"Hmm." Rangga mengedarkan pandangan berkeliling. Sedikit pun tidak terlihat
adanya tanda-tanda kehidupan di sekitarnya. Bahkan suara binatang atau
serangga juga tidak terdengar. Suasana yang begitu lengang, membuat Pendekar
Rajawali Sakti langsung meningkatkan kewaspadaannya.
"Kau pergi dulu, Rajawali. Tapi jangan jauh-jauh," kata Rangga. Suaranya
terdengar setengah berbisik.
"Khragkh...!"
Hanya beberapa kali mengepakkan sayap, Rajawali Putih sudah melambung begitu
tinggi di angkasa. Dalam sekejap saja, burung raksasa itu sudah terlihat
begitu kecil di antara awan.
Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas, memastikan kalau Rajawali Putih
tidak meninggalkan sendirian di padang rumput yang tidak dikenalnya. Dan pada
saat Pendekar Rajawali Sakti baru mengalihkan perhatian dari Rajawali Putih,
mendadak saja telinganya yang setajam telinga rajawali, mendengar suara
mendesir halus dari arah sebelah kanan.
"Hap!"
Cepat Rangga menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil menarik tubuhnya
sedikit. Dan saat itu juga, terlihat sebuah benda bercahaya keperakan melesat
begitu cepat bagai kilat, lewat sedikit di depan dadanya.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat sambil berputar ke belakang, begitu
merasakan adanya aliran hawa panas saat benda yang memancarkan cahaya
keperakan itu lewat di depan dadanya. Tiga kali Pendekar Rajawali Sakti
berputaran ke belakang, lalu manis sekali kembali menjejak tanah berumput
tebal ini. Sorot matanya yang tajam, langsung tertuju ke arah datangnya benda
bercahaya keperakan tadi.
"Hm...." Namun belum juga pikiran Pendekar Rajawali Sakti bisa berjalan,
mendadak saja....
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja
merasakan ada sesuatu yang membelit kakinya. Dan lebih terkejut lagi, ketika
kedua kakinya terlihat sudah tercengkeram oleh sepasang tangan yang kotor
berlumpur dan sudah rusak.
"Hih!" Rangga menyentakkan kakinya, berusaha membebaskan cengkeraman sepasang
tangan kotor berlumpur yang sudah membusuk itu. Tapi, cengkeraman itu sangat
kuat, sehingga Pendekar Rajawali Sakti mulai merasakan pedih pada kulit
kakinya yang mulai tersayat
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil menghentakkan kakinya dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai
tingkat sempurna, Rangga melesat begitu cepat setinggi dua batang tombak ke
udara. Tubuhnya kemudian berputaran beberapa kali, sebelum meluruk turun
dengan gerakan indah sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga sedikit pun tidak bersuara saat menjejak tanah berumput ini.
"Hm.... Mana dia...?" Rangga jadi celingukan sendiri. Ternyata sepasang tangan
kotor yang tadi mencengkeram kedua kakinya sudah tidak terlihat lagi. Malah
sedikit pun tidak ada bekas, kalau tadi ada tangan berlumpur yang sudah busuk
menyembul keluar dari dalam tanah. Dan di saat Pendekar Rajawali Sakti tengah
kebingungan, tiba-tiba saja...
Brull!
"Uts! Hap...! Cepat Rangga melenting ke atas, ketika tiba-tiba saja dari dalam
tanah menyembul sesosok tubuh yang bentuknya sudah tidak beraturan. Sosok
makhluk yang bisa dikatakan sebagai mayat hidup! Rangga sampai bergidik
melihat bentuk tubuh dan raut wajah yang mengerikan, dipenuhi lumpur dan
ulat-ulat kecil. Bahkan tingginya dua kali di banding manusia biasa.
Benar-benar makhluk mengerikan!
"Ghrrr...!"
Sambil menggereng bagai lebah, makhluk yang lebih layak mayat hidup itu
bergerak lamban mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kedua tangannya menjulur ke
depan, dengan jari-jari rusak dan penuh lumpur serta ulat-ulat kecil.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti sambil terus memperhatikan
dengan sorot mata begitu tajam. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip,
memperhatikan makhluk mayat hidup yang terus bergerak semakin mendekati.
"Siapa pun dia, pasti tidak akan bisa diajak damai. Hm.... Aku, atau dia yang
harus berkalang tanah," gumam Rangga pelan.
Memang melihat dari bentuk makhluk mayat hidup itu, Rangga tidak mungkin lagi
bisa mendapat dua pilihan. Maka langsung saja kakinya direnggangkan dengan
kedua lutut tertekuk ke depan. Kedua telapak tangannya sudah menyatu di depan
dada. Semen-tara, sorot matanya masih tetap tajam, menatap makhluk mayat hidup
yang terus melangkah perlahan menghampiri.
"Haaap...!"
Sambil menahan napas dalam-dalam, Rangga merenggangkan kedua telapak tangan
yang terus bergerak sampai sejajar pinggang. Tampak kedua tangannya yang kini
terkepal, memancarkan sinar merah bagaikan terbakar. Rupanya, saat itu juga
Rangga sudah mempersiapkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat
terakhir.
"Ghraaagkh...!" Begitu keras makhluk mayat hidup itu menggerung. Dan tiba-tiba
saja, kedua tangannya yang menjulur ke depan bergerak begitu cepat mengibas ke
arah leher Rangga.
"Hiyaaa...!"
Namun, Rangga yang sudah siap sejak tadi cepat meliuk setengah berputar. Dan
dengan kecepatan bagai kilat, langsung diberikannya pukulan dahsyat sekali,
disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga makhluk mayat hidup ini tidak dapat lagi berkelit. Dan....
Glarr...!
Satu ledakan yang sangat dahsyat seketika terdengar, begitu satu kepalan
tangan kanan Rangga tepat menghantam dada makhluk mayat hidup itu. Dan
kesunyian padang rumput itu seketika jadi pecah.
"Aaargh...!" Makhluk mayat hidup itu meraung keras sekali, hingga menggetarkan
seluruh padang aimput di tengah hutan yang sangat lebat dan mengerikan. Begitu
kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga tadi, sehingga membuat tubuh mayat
hidup itu terpental ke belakang sejauh lima batang tombak. Luncurannya baru
berhenti, setelah menghantam sebatang pohon yang sangat besar, hingga hancur
berkeping-keping.
"Hup!" Rangga cepat-cepat melompat mengejar. Tapi begitu baru saja akan
melepaskan satu pukulan dahsyat, mendadak saja mayat hidup itu sudah cepat
melesak masuk ke dalam tanah kembali.
"Uhhh...!"
Rangga kembali melompat ke belakang sejauh lima langkah. Pandangannya langsung
beredar ke sekeliling, merayapi tanah berumput tebal di sekitarnya. Tapi,
sedikit pun tidak ada tanda-tanda kalau mayat hidup tadi bakal muncul kembali.
Entah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti merayapi tanah berumput di
sekitarnya dengan sorot mata tajam sekali. Dan sampai sejauh ini, tetap saja
makhluk mayat hidup itu tidak menampakkan wujudnya. Namun di saat Rangga
tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mendadak saja dari belakang
terasakan adanya desiran angin yang sangat halus.
"Hap!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan saat itu juga,
dari belakangnya melesat cepat sebuah benda berbentuk bulat pipih, melewati
bahunya. Rangga cepat menghindar dengan menarik kakinya, sehingga benda bulat
pipih bercahaya keperakan dan mengandung hembusan hawa panas itu, menancap
begitu dalam, pada batang pohon tidak jauh darinya.
Pendekar Rajawali Sakti bergegas memutar tubuhnya berbalik Dan pada saat itu,
terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat dari balik pepohonan yang
begitu rapat. Bayangan berwarna keperakan itu langsung meluruk, hendak
menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu cepat Rangga melenting ke samping, menghindari terjangan bayangan
keperakan itu. Dan dengan sengaja, dirinya dilempar ke atas tanah berumput,
lalu bergulingan beberapa kali. Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri.
Gerakannya indah sekali saat kedua kakinya kembali menjejak tanah dengan
kokoh.
"Hih! Yeaaah...!"
Tepat di saat bayangan keperakan itu kembali meluruk hendak menerjang ke
arahnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya
yang terkepal. Saat ini jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang siap
dikerahkan, hingga kedua kepalan tangannya jadi merah membara, bagai besi baru
dikeluarkan dari dalam tungku. Begitu cepat dan tidak terduga tindakannya,
sehingga membuat bayangan keperakan itu jadi tersentak. Tapi, terjangannya
sudah tidak mungkin lagi dihentikan. Hingga....
Glarr...!
Kembali ledakan dahsyat terdengar keras menggelegar, sampai menggetarkan
seluruh tanah di padang rumput ini. Dan saat itu, tubuh Rangga terdorong
sampai lima langkah jauhnya ke belakang. Sedangkan bayangan keperakan itu
terpental sejauh dua batang tombak, lalu bergulingan di tanah berumput tebal.
"Hap!" Rangga cepat-cepat membuat beberapa gerakan dengan kedua tangan untuk
menguasai keseim-bangan tubuh dan pernapasannya. Sementara, sekitar dua batang
tombak lebih di depannya terlihat seorang laki-laki berusia lanjut. Tubuhnya
tengah terbungkuk dengan kedua lutut menyentuh tanah. Pakaiannya panjang bagai
jubah, berwarna putih keperakan dan berkilatan. Seluruh rambutnya yang panjang
tampak sudah berwarna keperakan.
Perlahan orang tua itu bangkit berdiri, langsung menatap Rangga dengan sorot
mata merah dan tajam. Tampak pada bagian sabuk perak yang membelit
pinggangnya, berjajar benda bulat pipih berwarna putih keperakan. Di tangan
kanannya, tergenggam sebatang tombak pendek berwarna putih keperakan bermata
pada kedua ujungnya.
"Setan Perak Lembah Mayat..," desis Rangga.
***
DUA
"Tidak percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti dan disegani hampir
seluruh tokoh rimba persilatan. Tapi bagaimanapun digdayanya, tidak
sepantasnya kau menjarah wilayah kekuasaan orang lain seenaknya sendiri," kata
Setan Perak Lembah Mayat, terasa begitu dingin suaranya.
Tiba-tiba saja, Rangga jadi tersentak. Benar-benar tidak disangka kalau saat
ini sudah berada di Lembah Mayat. Dan memang, baru kali ini Pendekar Rajawali
Sakti datang ke daerah yang sudah sangat terkenal keangkerannya. Hingga, tak
ada seorang pun yang berani datang, walaupun hanya sekadar lewat saja.
Sudah seringkali Rangga mendengar tentang keangkeran Lembah Mayat ini. Konon,
siapa saja yang datang, tidak akan pernah kembali lagi. Tak seorang pun bisa
keluar dari dalam lembah ini dalam keadaan hidup. Tapi, sebenarnya bukan
lembah itu yang membuat semua orang harus berpikir seribu kali jika hendak
melewatinya, melainkan penghuninya yang sudah teramat dikenal.
Orang itu adalah Setan Perak Lembah Mayat yang terkenal tidak pernah memberi
ampun pada siapa saja yang berani memasuki Lembah Mayat. Dan lembah itu memang
diakui sebagai daerah kekuasaannya. Sementara, Rangga benar-benar baru
menyadari. Padahal dia tahu, Setan Perak Lembah Mayat memiliki ilmu
kedigdayaan yang sangat tinggi tingkatannya. Hingga sampai saat ini, belum ada
seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
"Maafkan atas kelancanganku memasuki daerahmu, Setan Perak. Aku benar-benar
tidak tahu kalau padang rumput ini masih termasuk wilayah Lembah Mayat, daerah
kekuasaanmu. Benar-benar tidak kusengaja. Masalahnya, aku sedang mencari
temanku yang dibawa kabur," Rangga mencoba menjelaskan, dan tidak ingin
melanjutkan keributan.
Bukannya Pendekar Rajawali Sakti gentar menghadapi Setan Perak Lembah Mayat,
tapi memang tidak ingin berurusan dengan tokoh tua yang kesaktiannya sudah
teramat terkenal ini. Apalagi, dia sedang menghadapi satu persoalan berat yang
tidak ingin terus berlarut-larut
"Huh! Semua orang yang datang ke sini, selalu berkata begitu. Padahal aku
tahu, mereka ingin membunuhku! Termasuk juga kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"
ketus sekali nada suara Setan Perak Lembah Mayat
"Tidak...! Aku berkata yang sesungguhnya, Setan Perak," bantah Rangga tegas.
"Phuih! Kau pikir aku bisa percaya begitu saja, heh...? Kedatanganmu ke sini
pasti karena dikirim pendeta-pendeta busuk yang sok suci itu!" sentak Setan
Perak Lembah Mayat lantang.
Rangga jadi terdiam. Bukannya karena tidak memiliki kata-kata bantahan lagi,
tapi baginya memang tidak ada gunanya meyakinkan laki-laki tua penguasa Lembah
Mayat ini. Sudah begitu banyak didengarnya tentang Setan Perak Lembah Mayat.
Dan dia tahu, laki-laki tua ini tidak bisa menerima penjelasan apa pun juga.
"Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan
dengan para pendeta itu. Tapi mereka selalu saja mencari persoalan. Dan
sekarang, mereka mengirimmu untuk membunuhku. Huh...! Kau datang ke sini hanya
untuk mengantarkan nyawa saja," kata Setan Perak Lembah Mayat, masih tidak
sedap terdengar di telinga.
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Setan Perak. Aku benar-benar tidak
tahu, dan..."
"Cukup...!" bentak Setan Perak Lembah Mayat, memutuskan kalimat Rangga.
"Hm.... "
"Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak
Lembah Mayat dingin menggetarkan. "Tahan ini! Hiyaaat..!"
Begitu cepat tangan kanan Setan Perak Lembah Mayat mengibas ke depan.
Sehingga, membuat Rangga jadi terhenyak sesaat. Cepat-cepat Pendekar Rajawali
Sakti menarik tubuhnya ke kanan, ketika dari telapak tangan kanan Setan Perak
Lembah Mayat yang terbuka melesat cepat cahaya keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Rangga langsung melompat ke samping, begitu cahaya keperakan itu lewat di kiri
tubuhnya. Tapi belum juga keseimbangan tubuhnya bisa terkuasai, kembali Setan
Perak Lembah Mayat menyerang. Langsung dilontarkannya benda-benda bulat pipih
secara beruntun dan cepat sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah..!"
Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan berjumpalitan menghindari
serangan senjata-senjata maut Setan Perak Lembah Mayat Entah sudah berapa
puluh benda-benda bulat pipih berwarna putih keperakan itu berhamburan di
sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tak satu pun yang berhasil
menyentuh tubuhnya. Namun demikian, Rangga harus berjumpalitan di udara
menghindari senjata-senjata itu dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Tuk!
Trak!
Beberapa kali senjata-senjata maut itu berhasil disampok kedua tangan Rangga
yang terkembang lebar, hingga berpentalan sebelum dapat menyentuh tubuhnya.
Dan melihat tidak satu serangan pun yang berhasil bersarang di tubuh Pendekar
Rajawali Sakti, Setan Perak Lembah Mayat langsung menghentikan serangan.
Sementara, Rangga manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berumput
tebal.
"Hm.... Kau memang benar-benar tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, itu
baru seujung kuku yang kumiliki," ejek Setan Perak Lembah Mayat datar. "Nah!
Sekarang, terimalah seranganku yang lain. Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Setan Perak Lembah Mayat melompat menyerang dengan satu tangan
kiri menjulur ke depan. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak menanti
datangnya serangan. Dan begitu dekat, tiba-tiba saja tangan kanan Setan Perak
Lembah Mayat menghentak, langsung mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ups! Haiiit..!"
Cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kiri. Langsung tangan kanannya
dihentakkan ke depan dada untuk menangkis pukulan menggeledek yang dilepaskan
Setan Perak Lembah Mayat. Begitu cepat serangan dan tangkisan itu terjadi,
sehingga benturan dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi
tidak dapat dihindari lagi. Dan....
Plak!
"Uts!"
"Hap...!"
Mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan berputaran beberapa kali di
udara. Dan hampir bersamaan, mereka kembali menjejak tanah yang berumput tebal
bagai permadani ini. Tampak mereka sama-sama mengurut pergelangan tangan
masing-masing dengan bibir meringis menahan nyeri.
"Hap!"
"Hih...!"
Dan secara bersamaan pula, mereka kembali siap-siap melakukan pertarungan
tingkat tinggi. Kali ini, satu sama lain telah menyadari tingginya tingkat
kepandaian masing-masing. Maka sudah barang tentu, mereka tidak ingin
bertindak ceroboh, yang bisa mengakibatkan celaka yang teramat parah
"Kita tentukan sekarang. Siapa di antara kita yang paling tangguh di jagat
raya ini, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Perak Lembah Mayat dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah..!"
Begitu cepat Setan Perak Lembah Mayat melompat sambil melepaskan satu pukulan
keras dan dahsyat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Sementara,
Rangga juga sudah siap menerima serangan. Cepat-cepat kedua tangannya
dihentakkan ke depan, disertai pengerahan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
tingkat terakhir. Akibatnya, dua jurus pukulan tingkat tinggi itu pun bertemu
tepat pada satu titik. Dan...
Glarr...!
Kembali terjadi ledakan sangat dahsyat menggelegar. Begitu dahsyatnya jurus
yang dikerahkan hingga dari benturan dua pasang tangan yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu sampai mengeluarkan percikan bunga api yang menyebar ke
segala arah.
Tampak Rangga terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara, Setan
Perak Lembah Mayat terjungkal, dan bergulingan di tanah beberapa kali. Entah
berapa kali pula Rangga berjumpalitan di udara. Dan dengan satu gerakan manis
sekali, Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun
tubuhnya sempat terhuyung-huyung, sebelum bisa menguasai keseimbangannya.
Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah.
Sedangkan Setan Perak Lembah Mayat memuntahkan darah kental berwarna
kehitaman. Tubuhnya jadi limbung, begitu melompat bangkit berdiri. Kepalanya
menggeleng beberapa kali mengusir rasa pening dan pandangannya yang
berkunang-kunang. Dari lubang hidungnya pun terlihat darah kental agak
kehitaman mengalir keluar.
Sementara itu, Rangga sudah duduk bersila dengan kedua telapak tangan merapat
di depan dada. Melihat Pendekar Rajawali Sakti tengah mengembalikan kekuatan
tenaga dalamnya, Setan Perak Lembah Mayat merasakan kalau ini adalah saat yang
tepat untuk menghabisinya.
"Huh! Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaat...!" Sambil memaki dan berteriak
lantang meng-gelegar, Setan Perak Lembah Mayat melompat.
Kecepatannya bagai kilat, saat menyerang Rangga yang masih tetap duduk bersila
dengan sikap semadi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap duduk bersila,
seperti tidak peduli oleh datangnya serangan maut yang mengancam. Dan begitu
pukulan menggeledek yang dilepaskan Setan Perak Lembah Mayat hampir menghantam
tubuh Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja....
"Khraaagkh...!"
Wusss...!
"Heh...?!"
Plak!
"Akh...!"
Setan Perak Lembah Mayat tidak sempat menyadari lagi, begitu tahu-tahu
tubuhnya sudah terpental balik ke belakang sambil menjerit keras agak
tertahan. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun dengan gerakan
gesit sudah cepat bangkit berdiri. Dan saat itu juga, kedua bola matanya jadi
terbeliak lebar. Mulutnya pun ternganga, seakan-akan tidak percaya dengan
pandangan matanya sendiri.
Memang sulit dipercaya. Di belakang Rangga yang masih tetap bersila dengan
sikap bersemadi, tahu-tahu sudah ada seekor rajawali raksasa berbulu putih
keperakan. Kedua bola matanya yang besar, terlihat memerah menatap tajam bagai
hendak membakar seluruh tubuh Setan Perak Lembah Mayat
Sementara itu, Rangga mulai membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Sebentar
ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Dan sebelum kedua
bola matanya bisa terpentang lebar lagi, Pendekar Rajawali Sakti bangkit
berdiri dengan gerakan ringan sekali. Kini pemuda tampan itu berdiri tegak
dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat berada di depan Rajawali
Putih yang tadi menggagalkan serangan Setan Perak Lembah Mayat.
"Kekuatanku sudah pulih kembali, Rajawali. Kau boleh pergi sekarang. Tapi,
jangan jauh-jauh," ujar Rangga seraya berpaling sedikit, menatap wajah
Rajawali Putih yang berada di atas kepalanya.
"Khrrrk...!"
"Tidak perlu khawatir, Rajawali. Aku bisa mengatasinya sendiri sekarang," kata
Rangga, seakan bisa mengerti kekhawatiran Rajawali Putih.
"Khragkh...!"
Setelah merasa yakin kalau Rangga bisa ditinggalkan, Rajawali Putih kembali
mengangkasa dengan hanya beberapa kali mengepakkan sayapnya saja. Begitu cepat
terbangnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah jauh tinggi di antara awan.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak sekitar tiga batang tombak jauhnya dari
Setan Perak Lembah Mayat
"Bagaimana, Setan Perak? Kau masih ingin melanjutkan perselisihan yang tidak
ada gunanya ini...?" terdengar tenang sekali nada suara Rangga.
Setan Perak Lembah Mayat tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya pemuda
tampan berbaju rompi putih itu dalam-dalam. Kemudian, kepalanya sedikit
mendongak, lalu kembali menatap Rangga. Sinar matanya tampaknya kini sangat
sulit diartikan. Kemunculan Rajawali Putih yang melindungi Rangga dari
serangan mautnya tadi, membuat Setan Perak Lembah Mayat sedikit bergetar.
Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat seekor burung yang begitu besar
bagai sebuah bukit. Dan serangan mautnya tadi, begitu mudah dipatahkan burung
rajawali raksasa itu. Sungguh tidak diketahuinya kalau pemuda tampan yang
julukannya sudah sering terdengar itu memiliki pelindung seekor burung
rajawali raksasa yang sangat mengerikan.
"Sejak semula, aku enggan berurusan denganmu, Setan Perak. Aku sendiri masih
ada persoalan yang lebih penting, daripada harus melayanimu," kata Rangga
lagi. Kali ini, nada suaranya terdengar agak ditekan.
"Lain kali kita akan bertemu lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku ingin
kepastian, siapa di antara kita yang lebih tangguh," desis Setan Perak Lembah
Mayat dingin menggetarkan.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata bernada tantangan
itu.
"Hap!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Setan Perak Lembah Mayat melesat begitu
cepat Hingga, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan mata.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak. Ditatapnya arah kepergian
laki-laki tua yang dikenal berjuluk Setan Perak Lembah Mayat itu.
"Hm... Sempurna sekali ilmu meringankan tubuhnya. Hhh...! Hampir saja aku tadi
tidak mampu meng-hadapinya," desah Rangga berbicara sendiri. Suaranya perlahan
sekali, dan hampir tidak terdengar oleh telinganya sendiri.
Perlahan Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perhatiannya kini
kembali terpusat pada Jaka Anabrang yang membawa lari Pandan Wangi dalam
keadaan tidak berdaya.
"Hm.... Ke mana lagi aku harus mencarinya...?" gumam Rangga bertanya-tanya
sendiri dalam hati.
Hingga senja datang menyelimuti bumi, Rangga belum juga bisa menemukan jejak
Jaka Anabrang yang membawa kabur Pandan Wangi. Sudah seluruh pelosok hutan di
sekitar Lembah Mayat dijelajahinya, tapi tetap saja tidak bisa menemukan.
Walaupun begitu, tidak sedikit pun terlihat adanya keputusasaan tergambar di
wajahnya.
Semakin sulit menemukan jejak Jaka Anabrang, semakin besar pula tekadnya untuk
terus mencari. Terlebih lagi, hatinya sangat mengkhawatirkan keselamatan
Pandan Wangi di tangan laki-laki itu. Bayangan-bayangan buruk pun begitu cepat
muncul dalam benak, tapi cepat pula Rangga menyingkirkannya jauh-jauh. Pemuda
itu tidak ingin membayangkan hal-hal buruk pada diri Pandan Wangi. Dan
sekarang ini, Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada diri gadis
itu.
"Hm.... Tampaknya di depan sana ada per-kampungan," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya dengan mantap. Pandangannya
tidak berkedip, lurus ke depan. Rangga memang sudah berada di luar hutan
sekitar Lembah Mayat. Dan tidak jauh lagi di depannya, terlihat sebuah
perkampungan kecil yang kelihatannya sangat kumuh. Maka, Rangga kini semakin
mempercepat ayunan kakinya. Saat ini, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk
barat Cahayanya yang kemerahan, begitu indah dinikmati. Namun Pendekar
Rajawali Sakti tidak bisa menikmatinya, karena pikirannya terus terpusat pada
Pandan Wangi.
Rangga menghentikan ayunan kakinya, ketika melihat seorang laki-laki tua
berjalan ke arahnya dari depan. Semakin dekat, semakin jelas orang tua itu
terlihat. Laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun itu tidak mengenakan
baju. Hanya celana hitam lusuh sebetas lutut saja yang melekat. Tubuhnya yang
kurus, memperiihatkan baris-baris tulang yang seperti hanya terbalut kulit
saja.
"Maaf, Ki. Boleh aku bertanya...?" Rangga mencegat langkah kaki orang tua itu.
"Hm...," gumam laki-laki tua itu perlahan. Orang tua itu menghentikan ayunan
kakinya, dan mengangkat kepalanya sedikit. Sorot matanya terlihat begitu
tajam, memandangi Rangga dari kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-akan, pemuda
tampan yang menghentikan jalannya ini tengah dinilainya. Beberapa saat
Pendekar Rajawali Sakti terus dipandangi dengan sinar mata memancarkan
kecurigaan.
"Maaf kalau aku mengganggu perjalananmu, Ki. Aku hanya ingin tahu, desa apa
ini...?" ujar Rangga dengan sikap sangat sopan.
"Desa Singkep," sahut orang tua itu singkat. Nada suaranya terdengar sangat
datar, seakan enggan menjawab.
"Terima kasih, Ki. Silakan jika ingin meneruskan," ucap Rangga tetap sopan.
"Hm...," kembali orang tua itu hanya menggumam saja.
Tapi orang tua itu tidak melanjutkan perjalanannya. Malah kembali
dipandanginya Rangga dengan sinar mata seperti sedang menyelidiki. Mendapat
pandangan yang demikian menyelidik, Rangga jadi jengah juga. Tapi, dia tidak
bisa berbuat apa-apa. Maka dibiarkannya saja dirinya dipandangi begitu.
"Apakah ada yang aneh pada diriku, Ki...?" tanya Rangga, tidak tahan juga
dipandangi terus-menerus begitu.
"Kau datang dari mana, Anak Muda?" orang tua itu malah balik bertanya.
Suara laki-laki tua itu masih tetap terdengar datar dan kering sekali.
Walaupun sudah berusia lanjut, tapi sedikit pun tidak ditemukan adanya getaran
pada nada suaranya. Hanya saja hal itu benar-benar di luar perhatian Rangga.
Apalagi semua perhatiannya kini masih terpusat pada nasib Pandan Wangi yang
sampai saat ini belum juga jelas.
"Dari Karang Setra," sahut Rangga.
"Di mana itu Karang Setra?"
"Di daerah selatan."
"Hm.... Lalu, apa maksudmu datang ke sini?"
"Aku sedang mencari adikku yang hilang diculik orang," sahut Rangga.
Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Kembali dipandanginya Rangga
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Lalu, tatapan matanya tertumbuk pada
bola mata Pendekar Rajawali Sakti ini. Sinar matanya begitu dalam, menembus
bola mata Rangga. Seakan, dia ingin mencari kejujuran dari jawaban yang
diberikan tadi.
"Kelihatannya kau sangat lelah, Anak Muda. Kau tentu membutuhkan tempat
bermalam," kata orang tua itu memecah kebisuan yang terjadi beberapa saat.
"Benar, Ki," sahut Rangga.
"Kau tidak akan mendapatkan penginapan di desa ini. Tapi kalau suka, kau boleh
tinggal di rumahku malam ini," kata orang tua itu menawarkan,
"Terima kasih," ucap Rangga seraya membungkuk sedikit, memberi hormat.
"Ayo," ajak orang tua itu.
Tanpa menunggu jawaban lagi, orang tua itu langsung saja melangkah melewati
pemuda ini. Sementara, Rangga segera mengikutinya dari belakang. Mereka terus
berjalan beriringan tanpa bicara sedikit pun, dan semakin jauh dari Desa
Singkep. Jalan yang ditempuh kini justru menyusuri tepian hutan Lembah Mayat.
Sementara, matahari semakin jauh tenggelam di ufuk barat. Dan suasana pun
semakin meremang. Suara binatang malam mulai terdengar saling bersahutan.
"Jauhkah rumahmu, Ki?" tanya Rangga. Pertanyaan itu terlontar karena Pendekar
Rajawali Sakti merasakan sudah cukup jauh berjalan, tapi belum juga sampai.
"Tidak seberapa jauh lagi," sahut orang tua itu. Rangga diam. "Siapa namamu,
Anak Muda?" tanya orang tua itu mengisi kebisuan.
"Rangga"
"Aku Ki Andak."
Sementara mereka mulai memasuki jalan setapak yang sangat kecil. Mau tak mau,
Rangga terpaksa harus berjalan di belakang orang tua yang mengenalkan dirinya
sebagai Ki Andak. Dan dari jalan setapak ini, sudah terlihat sebuah rumah
kecil berdinding bilik bambu, dan beratapkan rumbia. Tampak dari wuwungan atap
rumah itu mengepul asap. Dan sepertinya, tidak terlihat ada rumah lain di
sekitarnya. Kini mereka terus berjalan menuju rumah yang kelihatannya tidak
begitu besar itu.
"Itu rumahmu, Ki?" tanya Rangga.
"Benar," sahut Ki Andak.
"Sepertinya, kau tidak seorang diri tinggal di sana, Ki."
"Aku ditemani cucuku."
"Apakah aku tidak mengganggumu nanti, Ki..?"
"Rumah itu memiliki satu kamar kosong yang bisa kau gunakan selama berada di
sini mencari adikmu."
"Terima kasih, Ki."
***
TIGA
Rangga benar-benar tidak menyangka, kalau cucu yang dikatakan Ki Andak
ternyata seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Wajahnya sangat
cantik, bagaikan seorang putri bangsawan. Sikapnya pun teramat lembut. Sungguh
sulit dipercaya kalau di tempat terpencil yang sangat jauh dari pemukiman
penduduk, tinggal seorang gadis yang sangat cantik bagai bidadari.
Ki Andak mengenalkan cucunya pada Pendekar Rajawali Sakti. Saat menyebutkan
namanya, suara gadis itu terdengar sangat halus dan lembut. Begitu halusnya,
sampai-sampai Rangga hampir tidak bisa menyebutkan namanya sendiri. Rara Ayu
Ningrum.... Nama yang sangat cocok untuk seorang gadis cantik seperti cucu Ki
Andak ini.
Sementara itu, senja sudah berganti. Dan malam pun sudah datang menyelimuti
sebagian permukaan bumi. Malam yang begitu pekat, sedikit pun tak terlihat
cahaya bulan maupun bintang di langit. Seluruh angkasa terselimut awan tebal
menghitam. Dan angin pun bertiup sangat kencang, sebuah pertanda kalau malam
ini akan diwarnai guyuran air hujan.
Saat itu, Rangga masih duduk di beranda depan rumah Ki Andak. Hanya sebuah
pebta kecil saja yang menemani. Nyala apinya pun redup, dan seringkali hampir
padam tertiup angin malam yang cukup kencang. Rangga memalingkan kepala
sedikit, saat telinganya mendengar suara langkah kaki keluar dari dalam. Agak
terkejut juga hatinya, begitu melihat Rara Ayu Ningrum datang menghampiri
membawa sebuah baki berisi gelas bambu yang mengepulkan uap hangat. Gadis itu
duduk tidak jauh di samping Pendekar Rajawali Sakti. Lalu disodorkannya baki
kayu itu ke depan Rangga.
"Untukku...?" tanya Rangga memastikan.
Rara Ayu Ningrum hanya mengangguk saja sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya mengambil gelas bambu itu. Dihirupnya
sedikit minuman hangat itu. Dengan sudut matanya, diliriknya wajah yang cantik
dan selalu tertunduk ini.
Sementara, angin malam yang kencang mempermainkan rambut Rara Ayu Ningrum yang
tergerai. Bau harum langsung menyeruak menusuk lubang hidung Pendekar Rajawali
Sakti.
"Sudah cukup malam. Kau belum tidur...?" tanya Rangga seraya mengarahkan
pandangan lurus ke depan.
"Aku sudah biasa tidur sampai larut malam," sahut Rara Ayu Ningrum.
"Ki Andak sudah tidur?" tanya Rangga.
"Sudah. Kakek selalu masuk kamar setiap kali pulang dari bepergian. Baru besok
pagi keluar dari kamarnya."
"Kakekmuu pergi setiap hari?"
Rara Ayu Ningrum hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Dan Rangga pun hanya
melihat dengan lirikan matanya saja. Kembali mereka terdiam membisu, menikmati
hembusan angin yang menyebarkan udara cukup dingin ini. Saat itu, terlihat
percikan kilat menyambar bagai hendak membelah langit yang kelam. Dan
titik-titik air pun mulai jatuh menyiram bumi.
"Sebaiknya kau masuk saja, Rara Ayu Ningrum. Udara di depan sini terialu
dingin untukmu," ujar Rangga.
"Aku sudah terbiasa keadaan di sini," tolak Rara Ayu Ningrum. "Sebaiknya,
jangan panggil aku dengan nama lengkap begitu. Panggil saja Ningrum." Rangga
hanya tersenyum saja. "Dan aku akan memanggilmu kakang. Bagaimana...?"
"Boleh," sahut Rangga diiringi senyum.
Dan kembali mereka terdiam untuk beberapa saat. Sementara di luar beranda,
hujan sudah turun lebat sekali. Kilat pun semakin sering berkelebat membelah
angkasa, diiringi ledakan guntur yang memekakkan telinga.
"Kakang.... Tadi kakek mengatakan kalau kau sedang mencari adikmu. Benar...?"
tanya Rara Ayu Ningrum sambil menatap wajah Rangga dalam-dalam.
"Ya...," sahut Rangga agak mendesah, sambil menghembuskan napas panjang.
"Adikmu perempuan?"
Rangga menjawab dengan anggukan kepala.
"Sudah berapa lama?"
"Baru siang tadi."
"Kau tahu, siapa yang menculiknya?"
Lagi-lagi Rangga menganggukkan kepala, menjawab pertanyaan gadis itu. Dan
pandangannya pun terus tertuju ke depan, seakan hendak menembus tirai curah
hujan yang turun lebat sekali.
"Siapa orang yang menculik adikmu, Kakang?"
"Jaka Anabrang," sahut Rangga berterus terang.
"Jaka Anabrang...," desah Rara Ayu Ningrum mengulangi nama yang disebutkan
Rangga.
Dan kembali mereka terdiam. Entah kenapa, Rangga suka sekali memperhatikan
wajah cantik yang berada di sebelahnya dengan sudut matanya. Saat itu, Rara
Ayu Ningrum tengah mengarahkan pandangannya lurus ke depan, sehingga tidak
menyadari kalau Rangga tengah menjilati wajahnya dengan ekor matanya.
"Jaka Anabrang...," kembali Rara Ayu Ningrum menggumamkan nama orang yang
membawa kabur Pandan Wangi.
"Kau kenal dengannya, Ningrum?" tanya Rangga.
"Entahlah, Kakang. Aku seperti pernah mendengar nama itu," sahut Rara Ayu
Ningrum, agak mendesah suaranya.
Sepertinya gadis itu ragu-ragu atas jawabannya sendiri. Sedangkan Rangga sudah
tidak lagi melirik, tapi menatap dalam-dalam wajah cantik gadis itu. Tapi yang
dipandangi tetap memandang lurus ke depan, bagai memperhatikan curahan air
hujan yang semakin deras turun menghantam bumi.
"Mungkin kakek tahu nama itu, Kakang," duga Rara Ayu Ningrum, seraya
berpaling.
Saat itu juga, pandangan mata mereka bertemu. Tapi mereka sama-sama cepat
mengalihkan ke arah lain.
"Seharusnya persoalanmu kau ceritakan pada kakek, Kakang. Barangkali saja
kakek dapat membantu," kata Rara Ayu Ningrum lagi.
"Sudah," sahut Rangga singkat.
"Tapi kau belum jelas menceritakannya, bukan...? Kau hanya mengatakan kalau
sedang mencari adikmu yang diculik orang. Hanya itu yang kakek katakan
padaku," kata Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Memang semua yang terjadi belum diceritakan pada Ki
Andak. Bahkan juga belum mengatakan yang sebenarnya pada gadis ini. Dia hanya
mengatakan sedikit dari semua yang telah terjadi, sampai terpisah dengan
Pandan Wangi sekarang ini.
"Aku sudah cukup merepotkan kalian berdua, Ningrum. Aku tidak ingin menambah
repot lagi," tolak Rangga, halus.
"Sama sekali tidak, Kakang. Kakek memang sering menolong orang yang sedang
mengalami kesulitan. Aku yakin, kakek pasti bisa menolongmu," tegas Rara Ayu
Ningrum. Rangga hanya diam saja. "Kakek bukan hanya seorang tabib, tapi dulu
juga seorang pendekar. Ilmu-ilmu yang dimilikinya sangat tinggi. Bahkan di
sekitar Lembah Mayat ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Kecuali...," Rara
Ayu Ningrum tidak melanjutkan.
"Kecuali apa, Ningrum?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kecuali si Setan Perak Lembah Mayat, yang menguasai seluruh daerah Lembah
Mayat yang ada di tengah-tengah hutan sana," sahut Rara Ayu Ningrum seraya
menunjuk ke depan.
"Ki Andak pernah bertarung dengannya?" tanya Rangga.
"Pernah. Hanya kakek saja orang satu-satunya yang bisa keluar dari Lembah
Mayat dalam keadaan hidup. Entah sudah berapa puluh orang yang mencoba
menantangnya, namun tidak pernah terdengar lagi namanya. Termasuk...," kembali
Rara Ayu Ningrum memutuskan kata-katanya.
"Termasuk siapa, Ningrum...?" desak Rangga ingin tahu.
"Ah...!"
Plak!
Rara Ayu Ningrum menepak keningnya sendiri, seakan baru teringat sesuatu.
Sedangkan Rangga memandangi wajah cantik gadis itu dalam-dalam.
"Aku baru ingat sekarang, Kakang. Pantas sejak tadi nama orang yang menculik
adikmu pernah kudengar. Huh...! Aku ingat sekarang, Kakang. Aku tahu. Tapi...,
apa benar Jaka Anabrang yang menculik adikmu, Kakang...?"
"Aku tidak pernah menuduh orang sembarangan, Ningrum. Bahkan aku sempat
bertarung dengannya," tegas Rangga.
"Mustahil...," desis Rara Ayu Ningrum seraya menggelengkan kepala beberapa
kali.
"Kenapa mustahil...?" tanya Rangga jadi heran.
"Itu bisa saja terjadi, Ningrum..."
"Heh...?!"
"Oh...!"
Rangga dan Rara Ayu Ningrum jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja
terdengar suara dari belakang. Bersamaan mereka berpaling ke belakang.
Ternyata, tahu-tahu Ki Andak sudah berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang
sudah lanjut usia itu melangkah menghampiri, duduk bersila di antara Rangga
dan Rara Ayu Ningrum.
"Aku sudah mendengar semua pembicaraan kalian berdua sejak tadi," kata Ki
Andak
"Maaf, Ki. Kalau pembicaraan kami mengusik tidurmu," ucap Rangga sopan.
"Tidak, Rangga. Aku memang tidak tidur, dan mendengar semua yang dibicarakan.
Dan aku begitu tertarik setelah kau menyebutkan nama Jaka Anabrang," sahut Ki
Andak.
Rangga terdiam. Dan Rara Ayu Ningrum juga tidak bicara lagi. Gadis itu lalu
bangkit, dan masuk ke dalam. Tapi, tidak lama kemudian dia keluar lagi sambil
membawa dua gelas bambu dan sebuah kendi dari tanah liat yang mengepulkan uap
hangat dari lubang yang terdapat di atasnya. Dituangnya minuman hangat dari
dalam kendi tanah liat itu ke dalam dua gelas bambu yang dibawanya dari dalam.
Satu gelas disorongkan ke depan Ki Andak, kemudian diisinya kembali gelas
Rangga yang telah kosong
"Sebenarnya, aku sendiri sedang mencari anak itu, Rangga. Sudah sejak lama aku
curiga padanya. Dan semua kecurigaanku ternyata menjadi kenyataan. Sayang...,
mereka tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Dan setelah semuanya terjad,
kesalahannya dilimpahkan pada Pendeta Gondala," kata Ki Andak dengan suara
terdengar pelan.
Hampir sulit ditangkap telinga suara Ki Andak, karena hampir hilang ditelan
suara air hujan yang turun bagaikan dituang dari langit. Dan, Rangga bisa
mengerti semua yang diucapkan Ki Andak (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam kisah Pedang Halilintar).
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, ada persolan apa sebenarnya antara Ki
Andak dengan Jaka Anabrang. Hanya saja, pertanyaan itu tidak terlalu lama
bersemayam di benak Rangga. Buktinya tanpa diminta, Ki Andak menceritakan
kejadiannya, hingga juga terlibat dalam urusan Jaka Anabrang
"Aku dan para pendeta benar-benar menyesal telah mendidik Jaka Anabrang.
Walaupun aku sendiri sebenarnya sudah menentang dan memperingatkan para
pendeta. Dan aku terpaksa mengikuti mereka, untuk mendidik Jaka Anabrang.
Hampir semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan padanya. Dan sudah semua ilmu
para pendeta diserapnya. Tapi, ternyata harapan kami semua hanya sia-sia
belaka. Anak itu bukannya menjadi benar, tapi malah berputar balik. Bahkan
sekarang menjadi musuh kami nomor satu," jelas Ki Andak bernada menyesalkan.
"Jadi, Jaka Anabrang juga termasuk muridmu, Ki...?" tanya Rangga ingin
meyakinkan.
"Jaka Anabrang bagaikan sembilan orang berada dalam satu tubuh manusia,
Rangga. Sembilan aliran ilmu sudah terserap ke dalam aliran darahnya. Jadi
sangat sulit menaklukkannya. Bahkan aku sendiri, tidak mungkin bisa
menandinginya. Terlebih lagi, sekarang Pedang Halilintar dipegangnya. Senjata
yang teramat dahsyat, dan sukar sekali dicari tandingannya," kata Ki Andak
menjelaskan.
"Lalu, kenapa dia sampai berbalik seperti itu, Ki? Bukankah para pendeta tidak
hanya membekali ilmu-ilmu kedigdayaan saja...? Paling tidak, jiwa dan
pikirannya sudah terisi. Jadi, bagaimana mungkin bisa beralih aliran begitu
jauh, Ki?" tanya Rangga masih belum juga mengerti.
"Mungkin inilah kesalahan kami semua, Rangga. Jaka Anabrang memang
dipersiapkan untuk menandingi Setan Perak Lembah Mayat. Bertahun-tahun kami
menggemblengnya dengan berbagai ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Begitu
inginnya aku dan para pendeta melenyapkan Setan Perak Lembah Mayat, sehingga
lupa membekali Jaka Anabrang dengan pelajaran yang sangat penting. Dan jiwanya
ternyata benar-benar tak terkendali. Kosong, seperti tempayan yang belum
tersentuh air," jelas Ki Andak dengan suara pelan bemada menyesal.
Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Hingga pada hari yang dianggap cukup baik, Jaka Anabrang kami bawa ke Lembah
Mayat Tapi, perhitungan kami ternyata meleset jauh. Setan Perak Lembah Mayat
masih terlalu tangguh, dan sukar ditaklukkan. Jaka Anabrang terluka parah. Dan
untungnya, dia masih bisa diselamatkan keluar dari Lembah Mayat..."
Ki Andak berhenti sebentar, mengatur jalan napasnya yang terdengar mulai
memburu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih diam, belum bersuara.
Mereka begitu seksama mendengarkan cerita laki-laki tua itu.
"Setelah pertarungan itu, Jaka Anabrang jadi berubah. Sikapnya jadi pendiam,
dan tidak banyak bicara. Bahkan seringkali menyendiri dan tidak mau berteman.
Tiga purnama Jaka Anabrang selalu menyendiri. Dan suatu ketika, peristiwa yang
menggemparkan pun terjadi. Jaka Anabrang telah mencuri Pedang Halilintar dari
tempat penyimpanan senjata pusaka di puri. Bahkan telah membunuh lebih dari
sepuluh orang murid dan tujuh orang pendeta. Dia berhasil membawa lari pedang
itu," sambung Ki Andak.
"Apa tidak ada yang mengejar, Ki?" tanya Rangga.
"Sudah. Tapi, dia malah masuk ke dalam Lembah Mayat. Dan sejak itu, kabarnya
tidak lagi terdengar sampai sekarang ini. Aku benar-benar tidak tahu kalau
Jaka Anabrang sudah mulai bertindak. Semula, kukira dia sudah mati di Lembah
Mayat," sahut Ki Andak terus menjelaskan.
Dan suasana pun menjadi sunyi, saat Ki Andak tidak membuka suara lagi.
Sementara, hujan yang tadi turun begitu deras sudah berhenti sama sekali.
Hanya titik-titik air dari dedaunan saja yang masih terlihat jatuh menghantam
bumi. Langit pun kelihatan mulai cerah. Kerlip cahaya bintang mulai terlihat
menghias. Angin berhembus semakin dingin, tapi sama sekali tidak dirasakan
oleh mereka yang duduk di beranda depan rumah Ki Andak ini
"Ki! Apa mungkin Jaka Anabrang bergabung dengan Setan Perak Lembah Mayat..?"
tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kemungkinan itu memang ada, Rangga. Mengingat Jaka Anabrang masih tergolong
muda. Dan lagi, dia haus akan ilmu kedigdayaan," sahut Ki Andak.
"Mungkin karena kekalahannya, hingga ingin menimba ilmu si Setan Perak, Kek,"
selak Rara Ayu Ningrum.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Ningrum. Yang jelas, dunia pasti kiamat
kalau mereka berdua sampai bergabung. Tidak ada lagi pendekar yang bisa
menandingi kesaktiannya. Walaupun hanya berdua, tapi mereka sanggup menghadapi
dua puluh pendekar berkepandaian tinggi sekaligus.
"Gila ..!" desis Rara Ayu Ningrum.
"Jaka Anabrang sudah muncul. Hm... Pasti tidak lama lagi, Setan Perak Lembah
Mayat juga akan muncul. Dan setiap kemunculannya, selalu menimbulkan bencana
yang tidak kecil," kata Ki Andak, dengan suara mendesis.
Sementara Rangga jadi terdiam. Sama sekali tidak disangka kalau Ki Andak dan
Rara Ayu Ningrum sudah mengetahui tentang Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah
Mayat. Tapi walaupun begitu, Rangga tidak juga menceritakan peristiwa yang
terjadi seluruhnya. Juga, tentang pertarungannya dengan Setan Perak Lembah
Mayat.
Sementara, malam terus merambat semakin larut Hujan pun sudah berhenti sama
sekali. Dan, udara malam ini masih terasa begitu dingin menggigilkan sampai
menusuk tulang. Tapi semua itu seperti tidak dirasakan sama sekali. Mereka
begitu asyik membicarakan Jaka Anabrang dan Setan Perak Lembah Mayat. Namun,
kali ini Rangga lebih banyak diam mendengarkan. Dan dari cerita Ki Andak yang
selalu diseling Rara Ayu Ningrum, Rangga jadi bisa mengetahui lebih banyak
lagi tentang Jaka Anabrang.
"Ssst..!"
Tiba-tiba saja Ki Andak mendesis sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya
sendiri, pertanda memberi isyarat agar semuanya diam. Saat itu juga, Rara Ayu
Ningrum yang tengah bicara langsung diam. Sedang-kan Rangga langsung
mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Dengan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa
menangkap adanya langkah-Iangkah kaki yang begitu halus dan ringan. Jelas, itu
adalah langkah kaki seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi sekali. Begitu tingginya, sampai-sampai langkah itu hampir tidak
terdengar sama sekali.
"Tampaknya malam ini kita kedatangan tamu, Rangga," kata Ki Andak pelan,
seperti untuk diri sendiri
Pandangan Ki Andak tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang tetap diam,
duduk bersila tepat di depannya. Sedikit Rangga memiringkan kepala ke kanan,
dan suara langkah kaki yang sangat ringan itu semakin jelas terdengar.
"Ningrum, masuklah ke dalam," kata Ki Andak memerintah, seraya menatap gadis
cantik yang duduk di sebelahnya.
Tanpa diperintah dua kali, Rara Ayu Ningrum segera bangkit berdiri. Tapi baru
saja berdiri, mendadak saja....
Wusss!
"Awasss...!" seru Rangga.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengibaskan tangan
kanannya dengan kecepatan tinggi. Memang, saat itu terlihat seleret cahaya
keperakan tengah meluncur begitu cepat bagai kilat ke arah Rara Ayu Ningrum.
Tapi, kilatan cahaya keperakan itu langsung lenyap begitu tangan kanan Rangga
mengibas. Sementara, dua kali Rangga melenting berputaran di udara. Lalu,
manis sekali kakinya kembali menjejak lantai beranda depan rumah Ki Andak yang
terbuat dari belahan papan yang diseiut halus.
"Apa itu, Rangga?" tanya Ki Andak yang juga cepat bangkit berdiri.
Rangga membuka telapak tangan, dan menyorongkannya ke depan pada Ki Andak.
Tampak di atas telapak tangan pemuda itu terdapat sebuah benda bulat pipih
berwarna keperakan yang kecil bentuknya.
"Setan Perak Lembah Mayat.," desis Ki Andak langsung mengenali pemilik benda
itu.
Ki Andak segera menatap cucunya. Melihat sorot mata laki-laki tua itu, Rara
Ayu Ningrum sudah bisa mengartikannya. Segera gadis itu masuk ke dalam rumah,
dan menutup pintunya. Sementara, Rangga dan Ki Andak tetap berdiri di beranda,
memandang lurus ke dalam kegelapan malam. Sedikit pun mereka tidak membuka
suara, tapi segera memasang pendengaran tajam-tajam.
"Hm...," Rangga menggumam pelan.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti masih mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan
Suara', tapi suara langkah kaki yang tadi terdengar begitu ringan, sudah tidak
lagi terdengar sedikit pun juga. Bahkan Rangga juga tidak bisa mengetahui
keberadaan orang itu.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya hendak keluar dari
beranda depan ini. Tapi belum juga sampai di luar, tiba-tiba saja kembali
sebuah benda bulat pipih yang memancarkan cahaya keperakan melesat begitu
deras. Arahnya adalah menuju pemuda berbaju rompi putih ini
"Hup! Yeaaah...!"
Cepat sekali Rangga melenting ke udara, sambil berputaran beberapa kali.
Tampak benda bercahaya keperakan itu melesat begitu cepat, dan menancap pada
tiang penyangga beranda yang terbuat dari kayu jati.
"Hap! Hiyaaa. .!"
***
EMPAT
Begitu cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat, sehingga dalam sekejap saja
sudah berdiri tegak di tengah-tengah halaman depan rumah yang tidak begitu
luas ini. Sementara, Ki Andak sudah berdiri di tepian beranda. Pandangannya
pun begitu tajam beredar berkeliling.
Kesunyian begitu mencekam di malam yang sangat gelap ini. Begitu sunyinya
sehingga desir angin begitu jelas mengusap daun telinga. Bahkan sisa-sisa
titik air di dedaunan yang jatuh pun begitu jelas terdengar suaranya. Cukup
lama juga kesunyian yang menegangkan ini berlangsung. Sementara, Rangga
mengarahkan pandangan pada Ki Andak yang masih berdiri di tepian beranda depan
rumahnya.
"Kau lihat ada orang, Rangga?" tanya Ki Andak dengan suara agak keras.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja. Memang, tidak terlihat seorang pun di
sekitarnya. Keadaan begitu gelap, dan berkabut. Sulit untuk melihat jarak
jauh. Bahkan juga tidak terdengar suara yang mencurigakan. Benar-benar sulit
Tapi Pendekar Rajawali Sakti kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan
tetap memasang telinganya tajam-tajam. Dan ketika pandangannya tertuju ke atap
rumah....
"Heh...?!"
Wusss!
"Haits...!"
Cepat sekali Rangga melentingkan tubuh, begitu tiba-tiba dari atap rumah
melesat secercah cahaya keperakan bagai kilat ke arahnya. Begitu cepat cahaya
kilat keperakan itu meluruk, sehingga hanya sedikit saja lewat di antara
putaran tubuh Rangga di udara.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas atap, begitu berhasil
menghindari serangan cahaya kilat keperakan. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya sehingga dalam waktu sekejap saja sudah mendarat di atas atap rumah
Ki Andak. Sedikit pun tidak terdengar suara, saat kedua kakinya menjejak atap.
Belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik napas, dari bawah melesat
sebuah bayangan begitu cepat ke arahnya. Dan tahu-tahu, di samping pemuda
berbaju rompi putih itu sudah berdiri Ki Andak. Dan pada saat itu, mereka
melihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat di belakang rumah, lalu
langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
"Tidak perlu dikejar," kata Ki Andak cepat-cepat
Rangga yang akan mengejar bayangan itu, jadi mengurungkan niatnya. Ditatapnya
laki-laki tua yang baru sore tadi ini dikenalnya. Dan tanpa bicara sedikit pun
juga, Ki Andak melompat turun dari atap nimahnya, diikuti Rangga. Hampir
bersamaan mereka kembali menjejakkan kaki di tanah, dan kembali masuk ke dalam
beranda. Mereka duduk lagi di beranda itu tanpa bicara sedikit juga. Namun,
terdengar beberapa kali tarikan napas dan hembusan napas yang agak memburu.
Jelas sekali kalau malam ini mereka didatangi dua orang yang tidak jelas
maksudnya. Begitu tiba-tiba menyerang, dan begitu cepat pula menghilang tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun.
"Aku tahu orang kedua yang muncul tadi, Ki," kata Rangga baru membuka suara,
setelah cukup lama terdiam.
"Jaka Anabrang...," desah Ki Andak, langsung menebak tepat
"Ya! Dialah yang selama ini kucari," sahut Rangga, juga dengan suara pelan,
agak mendesah.
Ki Andak terdiam. Tatapan matanya langsung menembus bola mata Pendekar
Rajawali Sakti yang memancar kosong dan lurus ke depan. Saat itu, dari dalam
rumah keluar Rara Ayu Ningrum. Gadis itu duduk di sebelah kanan Ki Andak.
Sementara Rangga hanya melirik sedikit saja. Sedangkan gadis itu memandanginya
dengan sinar mata sukar sekali diartikan.
Entah berapa lama mereka terdiam membisu, sibuk dengan jalan pikiran
masing-masing. Sementara, malam terus merambat naik semakin larut Dan udara
pun semakin terasa dingin menggigit kulit. Hanya suara-suara serangga malam
saja yang terus mengisi kekosongan dan kesunyian malam ini.
***
Semalaman penuh Rangga tidak bisa memicingkan matanya sekejap pun juga. Badan
dan pikirannya terasa lelah sekali, tapi sedikit pun tidak bisa
mengstirahatkannya. Hatinya masih merasa belum bisa tenang, sebelum bisa
mengetahui keadaan Pandan Wangi yang sampai saat ini masih berada di dalam
cengkeraman Jaka Anabrang.
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum juga menampakkan dirinya, Pendekar
Rajawali Sakti sudah keluar dari rumah Ki Andak. Di depan, tampak Rara Ayu
Ningrum tengah membereskan beranda. Gadis itu hanya melirik saja saat Rangga
melewatinya tanpa menegur sedikit pun. Seketika pekerjaannya dihentikan begitu
melihat Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan keluar tanpa menoleh sedikit
pun padanya.
"Kakang...," panggil Rara Ayu Ningrum.
Rangga menghentikan langkahnya tanpa sedikit pun berpaling. Dan dia tetap
berdiri tegak, tanpa memutar tubuhnya. Sementara, Rara Ayu Ningrum terus
memandangi dari beranda sambil melangkah perlahan-lahan menghampiri pemuda
tampan berbaju rompi putih yang pada punggungnya bertengger sebilah pedang
bergagang kepala burung. Rara Ayu Ningrum sengaja melewatinya sedikit,
kemudian berdiri sekitar tiga langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau akan ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Pergi," sahut Rangga datar
"Pergi? Ke mana?" tanya Rara Ayu Ningrum lagi.
Kedua bola mata indah milik gadis itu terusmenerus memandangi sepasang bola
mata Pendekar Rajawali Sakti yang memandang lurus ke depan. Sinar matanya
kelihatan kosong, seperti tidak memiliki arti sama sekali. Entah kenapa, pagi
ini sikap Pendekar Rajawali Sakti jadi berubah. Dan tentu saja membuat Rara
Ayu Ningrum jadi bertanya-tanya dalam hati.
"Kau ingin meninggalkan kami begitu saja, Kakang? Apa sudah tidak ingat lagi
pesan kakek...?" terdengar agak ditahan nada suara Rara Ayu Ningrum.
Rangga hanya diam saja. Dihembuskannya napas panjang, yang terasa begitu
berat. Sama sekali kata-kata Ki Andak semalam tidak dilupakannya. Laki-laki
tua itu menginginkannya untuk bersatu, menghadapi Jaka Anabrang dan Setan
Perak Lembah Mayat. Dan malam itu, Rangga memang tidak berkata apa-apa sedikit
pun juga. Keinginan Ki Andak tidak disetujuinya, juga tidak ditolaknya. Tapi
entah kenapa, dia merasakan kalau urusannya dengan Jaka Anabrang adalah urusan
pribadinya sendiri. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak memerlukan siapa pun
juga untuk menemaninya. Yang jelas, Jaka Anabrang ingin dihadapinya seorang
diri.
Walaupun disadari kalau tidak mudah menghadapi pemuda yang bersenjatakan
Pedang Halilintar yang dahsyat itu, tapi tetap saja dalam hati Rangga hanya
ingin sendirian saja menghadapinya. Terutama, membebaskan Pandan Wangi dari
cengkeramannya. Walau maksud dan tujuannya sangat baik, tapi yang jelas tujuan
Ki Andak berbeda jauh sekali dengan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun,
sama-sama bersifat pribadi.
"Aku akan mencari Jaka Anabrang, di manapun kini berada," kata Rangga pelan,
seperti bicara pada diri sendiri.
"Aku tahu, Kakang. Tapi kakek bilang, kita harus menghadapinya bersama-sama.
Jaka Anabrang terlalu tangguh bila Pedang Halilintar bersamanya. Terlebih lagi
sekarang ini, dia sudah mempunyai pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Kau
harus pikirkan itu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum mengingatkan.
"Semuanya sudah kupikirkan, Ningrum. Terima kasih atas perhatianmu," ucap
Rangga seraya menatap gadis itu dan memberikan senyuman manis.
Dan ternyata, jelas sekali terlihat garakan di bibir Pendekar Rajawali Sakti
saat memberikan senyuman. Dan Rara Ayu Ningrum tahu, senyuman itu teramat
dipaksakan. Bisa dirasakan juga kepedihan hati pemuda tampan ini, walaupun
tidak tahu tentang Pandan Wangi yang sesungguhnya. Dan yang diketahuinya,
Pandan Wangi adalah adik Pendekar Rajawali Sakti ini.
Di sisi lain, Rara Ayu Ningrum juga tidak tahu kalau pemuda tampan yang kini
berdiri di depannya adalah seorang pendekar muda digdaya yang sudah begitu
kondang sekali julukannya di dalam rimba persilatan. Gadis itu tidak tahu,
Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga sendiri memang tidak pernah
menceritakan tentang dirinya yang sebenarnya, baik pada Ki Andak sekalipun.
"Aku pergi dulu, Ningrum," pamit Rangga.
"Kakang..."
Rara Ayu Ningrum cepat mencegah langkah Rangga, dengan mencekal pergelangan
tangan kanan. Seketika, Rangga jadi menghentikan langkahnya yang baru dua
tindak. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Kemudian dipandanginya
pergelangan tangannya yang dipegang gadis itu kuat-kuat. Halus sekali Pendekar
Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangan gadis itu. Sementara bibirnya
terlihat me-lepaskan senyuman.
"Kau hanya akan mengantarkan nyawa saja bila pergi sendiri, Kakang," kata Rara
Ayu Ningrum masih mencoba mencegah.
Tapi kekhawatiran Rara Ayu Ningrum hanya dibalas senyuman saja. Pendekar
Rajawali Sakti menarik kakinya sejauh tiga langkah dari gadis ini, setelah
pergelangan tangannya tidak dipegangi lagi.
"Aku tahu kau cemas, Ningrum. Tapi, percayalah. Aku bisa menjaga diri," kata
Rangga mencoba menenangkan.
"Tapi, Kakang..."
Belum selesai kata-kata Rara Ayu Ningrum, tiba-tiba saja terlihat sebatang
anak panah meluncur cepat bagai kilat ke arahnya. Rangga yang melihat lebih
dulu, segera cepat melesat dan mengibaskan tangannya.
Tappp!
Anak panah itu berhasil ditangkap, tepat di saat ujungnya hampir saja
menyentuh dada Rara Ayu Ningrum yang membusung indah. Cepat Pendekar Rajawali
Sakti menarik tangan gadis itu, dan membawa ke belakangnya. Sedikit matanya
melirik anak panah yang kini berada dalam genggaman tangan kanannya.
Kemudian...
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat
sempurna, Rangga melemparkan anak panah itu ke arah datangnya tadi. Begitu
sempurna pengerahan tenaga dalamnya, sehingga anak panah yang dilemparkan
kembali meluncur deras bagai kilat. Anak panah itu terus meluncur, dan
langsung menembus segerumbul semak belukar di antara pepohonan. Maka seketika
itu juga...
Srak!
Crab!
"Aaakh...!"
Satu jeritan panjang dan melengking tiba-tiba terdengar begitu menyengat,
disusul munculnya seorang laki-laki dari dalam semak. Tampak sebatang anak
panah tertancap tepat di tenggorokannya. Orang itu kemudian jatuh terguling,
menyemburkan darah dari lehernya yang tertembus anak panah. Rangga dan Rara
Ayu Ningrum bergegas menghampiri, tapi ternyata orang itu sudah tidak bernyawa
lagi.
"Kau kenal dia, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya wajah laki-laki yang masih muda
itu. Dan memang, sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi melihatnya. Pendekar
Rajawali Sakti memeriksa mayat laki-laki itu, tapi tak ada yang bisa
ditemukan. Perlahan kemudian kepalanya berpaling, dan memandang Rara Ayu
Ningrum yang ternyata juga tengah memandangnya. Saat itu, terlihat Ki Andak
keluar dari dalam rumah dengan langkah lebar-lebar menghampiri. Mungkin
jeritan orang ini telah didengarnya tadi, sehingga cepat-cepat keluar dari
dalam rumahnya.
"Ada apa...?!" tanya Ki Andak langsung, begitu dekat
"Orang ini menyerangku dengan panah, Kek. Dan Kakang Rangga yang mengembalikan
panahnya," sahut Rara Ayu Ningrum, seraya menunjuk mayat pemuda yang
tergeletak dengan leher tertancap anak panah.
"Kau kenal dia, Rangga?" tanya Ki Andak, seraya merayapi wajah mayat pemuda
itu.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Hm...," Ki Andak menggumam pelan.
Laki-laki tua itu membungkuk sedikit, dan memeriksa beberapa bagian tubuh
mayat ini. Tak lama, tubuhnya kembali tegak. Langsung ditatapnya Rangga,
kemudian beralih pada Rara Ayu Ningrum. Satu tarikan napas panjang terdengar,
disertai hembusan napas yang begitu be rat
"Dia salah seorang pengikut Jaka Anabrang," jelas Ki Andak.
"Kau mengenalinya, Ki?" tanya Rangga.
"Aku tidak kenal orangnya. Tapi tanda pada dada kiri itu menyatakan kalau dia
pengikut Jaka Anabrang," sahut Ki Andak, seraya menunjuk sebuah tanda hitam
bergambar seekor kelelawar pada dada kiri mayat itu.
"Hm...," Rangga menggumam pelan, seraya melirik tanda bergambar kelelawar itu.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali menatap Ki Andak yang masih terus
memperhatikan mayat pemuda ini. Sedangkan Rara Ayu Ningrum diam saja, tidak
membuka suara sedikit pun juga. Pandangannya selalu berpindah dari Ki Andak ke
Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dan
untuk beberapa saat, tidak ada seorang pun yang membuka suara.
"Ayo ke dalam," ajak Ki Andak.
Tanpa menunggu jawaban sedikit pun, laki-laki tua itu melangkah kembali ke
rumahnya. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum mengikuti dari belakang,
meninggalkan begitu saja mayat pemuda pengikut Jaka Anabrang. Sementara dalam
benak Rangga terus bertanya-tanya, kenapa Jaka Anabrang malah mengejarnya?
Bukankah justru dirinya sendiri yang telah mengejar pemuda penculik Pandan
Wangi itu....? Begitu banyak pertanyaan bergayut di dalam benak Pendekar
Rajawali Sakti, tapi semuanya tidak ada yang terjawab. Dan semua pertanyaan
itu hanya tersimpan dalam kepalanya.
Sementara, mereka sudah berada di depan, duduk di lantai yang hanya beralaskan
selembar tikar pandan. Rara Ayu Ningrum masuk ke dalam. Tapi tidak lama
kemudian, sudah keluar lagi sambil membawa sebuah baki kayu berisi beberapa
buah gelas bambu dan makanan-makanan kecil. Gadis itu mengambil tempat, duduk
di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau masih akan pergi juga setelah kejadian tadi, Rangga?" tanya Ki Andak,
langsung menatap mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah dibalasnya tatapan orang tua itu dengan
sinar mata yang begitu sulit diartikan. Dan untuk beberapa saat, tidak ada
yang membuka suara. Sementara, Ki Andak tampaknya terus menunggu jawaban
Pendekar Rajawali Sakti.
"Entahlah, Ki. Tapi, secepatnya aku harus membebaskan Pandan Wangi," kata
Rangga, menjawab pertanyaan Ki Andak tadi.
"Kau tahu, di mana Jaka Anabrang menyembunyikan adikmu itu?" tanya Ki Andak
lagi.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja.
"Tapi aku yakin tidak jauh dari sini, Kek," selak Rara Ayu Ningrum.
"Hm.... Bagaimana kau bisa menduga demikian, Ningrum?" tanya Ki Andak.
"Sudah dua kali terjadi, Kek. Dan aku yakin, bukan hanya Kakang Rangga saja
yang menjadi incaran. Tapi juga kita," sahut Rara Ayu Ningrum. "Bukankah Kakek
juga salah satu dari gurunya...?"
"Kau benar, Ningrum. Aku memang sempat mengajarkan jurus-jurus ilmu
kedigdayaan tingkat tinggi yang bisa dikuasainya dengan sempurna. Bahkan lebih
sempurna dari yang kumiliki," kata Ki Andak.
"Dari semua gurunya, sudah ada tujuh orang yang tewas, Kek. Dan aku merasa
pasti semua gurunya hendak dilenyapkannya," kata Rara Ayu Ningrum mengemukakan
pendapatnya.
"Aneh...," desis Rangga tanpa sadar, seperti hanya dirinya sendiri saja yang
ada di beranda depan ini.
"Apanya yang aneh, Kakang?" tanya Rara Ayu Ningrum.
"Ya... Rasanya sangat aneh kalau seorang murid hendak melenyapkan gurunya,"
sahut Rangga. "Bukankah seharusnya murid harus berbakti pada gurunya? Bukan
malah melenyapkannya...! Tapi, Jaka Anabrang justru sebaliknya. Semua gurunya
didatanginya, setelah berhasil menguasai Pedang Halilintar untuk dibunuhnya
dengan pedang itu. Apa ini tidak aneh...?"
"Kau benar, Rangga. Memang tindakan Jaka Anabrang sangat aneh, dan sukar
diterima akal. Hm... Apa kau ada pemikiran lain, Rangga?" ujar Ki Andak.
Rangga tidak langsung menjawab. Malah ditatapnya Rara Ayu Ningrum. Sedangkan
gadis itu malah menundukkan kepalanya. Seakan, dia tidak ingin bertatapan
dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pandangan Rangga pun kembali beralih pada
Ki Andak.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya, Ki. Tapi..., entahlah," ujar
Rangga, seakan-akan ragu mengucapkannya.
"Kek, apa mungkin jiwa dan pikiran Jaka Anabrang sudah dikendalikan orang
lain?" selak Rara Ayu Ningrum, juga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Kalau memang benar, siapa yang bisa mengubah dan menguasai jiwa serta pikiran
seseorang...?" Ki Andak malah balik bertanya. Tapi, nada suaranya seperti
bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Ki Andak. Kini mereka semua
terdiam, memikirkan jawabannya. Sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab,
karena saat ini mereka semua masih meraba-raba. Tapi yang jelas, semua
pertanyaan itu akan terjawab kalau mereka sudah bertemu Jaka Anabrang. Dan ini
yang menjadi persoalannya, tidak ada seorang pun yang tahu keberadaan Jaka
Anabrang kini.
Jaka Anabrang sudah bagaikan siluman saja. Kemunculannya tidak pemah
diketahui. Bahkan kepergiannya pun sangat sulit dicari jejaknya. Dan di saat
mereka tengah terdiam, tiba-tiba saja....
Wusss...!
Jleb!
Mereka jadi terkejut. Serentak mereka berlompatan bangun, begitu-tiba-tiba
sebatang anak panah melesat cepat, dan menancap tepat di tempat Ki Andak duduk
tadi. Untung saja, orang tua itu cepat melompat. Sehingga, anak panah itu
hanya menancap di lantai beranda yang tadi didudukinya. Ki Andak bergegas
menghampiri anak panah dari besi baja itu, dan mencabutnya dengan sedikit
pengerahan tenaga.
"Ada suratnya...," gumam Ki Andak sambil memperhatikan anak panah itu.
Ki Andak segera membuka gulungan daun lontar yang terikat pada bagian tengah
batang anak panah itu. Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum sudah
menghampiri. Hati-hati sekali Ki Andak membuka. Keningnya langsung berkerut,
begitu melihat baris-baris tulisan yang tertera pada lembaran daun lontar ini.
"Apa isinya, Ki?" tanya Rangga.
"Peringatan..., atau mungkin tantangan untukku," sahut Ki Andak, seraya
menyerahkan lembaran daun lontar kering itu pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil, dan langsung membaca tulisan yang tertera
pada lembaran daun lontar ini. Sebentar kemudian ditatapnya Ki Andak.
Sementara Rara Ayu Ningrum cepat merebut daun lontar itu, dan membaca
tulisannya dengan kening berkerut. Juga, ditatapnya Ki Andak setelah membaca
tulisan pada daun lontar itu. Kemudian tatapannya beralih pada Rangga yang
berdiri di sebelahnya.
"Kau ingin membalasnya, Ki?" tanya Rangga setelah beberapa saat semuanya diam.
Ki Andak tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja penuh arti. Hanya saja,
senyumnya terlalu sulit diartikan. Bahkan untuk membaca jalan pikirannya pun
tidak mudah. Laki-laki berusia lanjut itu kembali duduk bersila di beranda
depan ini. Hanya selembar tikar anyaman daun pandan saja yang menjadi alasnya.
Sementara, Rangga dan Rara Ayu Ningrum masih tetap berdiri memandanginya.
***
Emoticon