SATU
SIANG ini udara terlihat cerah. Matahari terhalang awan putih yang bergerumbul
membentuk hamparan permadani lebar. Gelombang laut pun terlihat tenang ketika
angin semilir berhembus. Sebuah kapal berukuran cukup besar terlihat di
kejauhan. Pada tiang yang paling tinggi, berkibar sebuah bendera berwarna
hijau dengan lambang pedang melintang dan di atasnya bergambar bangau putih
yang sedang mengepakkan kedua sayapnya.
Sepintas, lambang itu mengingatkan orang pada sebuah perguruan silat dari
negeri seberang yang amat terkenal. Bukan saja karena murid-muridnya yang
berilmu tinggi, tapi juga mereka terkenal sebagai pembela kebenaran yang suka
membantu orang-orang lemah dan tertindas. Perguruan itu bernama Bangau Sakti,
dan diketuai oleh orang tua sakti bernama Ki Sanjung Lugai.
Saat itu, seorang pemuda berwajah keras tampak berdiri gagah di buritan kapal.
Rambutnya yang sepanjang bahu tergerai ditiup angin. Pemuda itu memakai baju
lengan pendek yang terbuat dari bahan tebal dan dipenuhi sisik seperti ular.
Dipunggungnya tersandang sebatang pedang berukuran besar. Sementara sepasang
matanya menatap tajam ke depan dengan kedua tangan bersedakap di dada. Di
belakangnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun.
“Berapa lama lagi kita akan sampai di negeri itu, Paman?”
“Hm.... Kalau tak ada badai, barangkali besok subuh kapal sudah bisa
mendarat,” jawab laki-laki tua berusia lima puluh tahun.
“Rasanya perjalanan kita akan lancar...,” gumam pemuda itu. Perlahan kepalanya
mendongak, mengamati langit di ujung pandangan nun jauh di sana.
“Ya! Paman kira juga begitu. Pada bulan-bulan seperti ini badai tak akan
datang.”
“Apakah perjalanan kita ke negeri itu ada gunanya? Kalau saja ayah tak terlalu
memaksa, sebenarnya aku enggan. Memamerkan kemampuan bukanlah perbuatan baik,
Paman.”
“Ada hal yang belum kau ketahui, Sisik Naga. Perguruan Batu Kumala saat ini
sedang mengadakan pesta ulang tahun ketuanya, yaitu Ki Satya Dharma. Mereka
bermaksud mengadakan adu kepandaian, bukan untuk gagahan atau pamer, tapi
sekadar menambah erat persahabatan antar perguruan. Hal itu soal biasa dalam
dunia persilatan, kita harus maklum."
Pemuda yang dipanggil Sisik Naga hanya terdiam tanpa memalingkan wajah.
“Kau adalah wakil ayahmu, orang terkenal di negeri kita dan pendekar yang
dihormati di negeri yang akan kita tuju. Tunjukkan jiwa ksatriamu saat
pertandingan diadakan. Jangan memalukan nama perguruan dan ayahmu...,” lanjut
si orang tua sambil menepuk pundak Sisik Naga.
“Kehormatan yang bagaimana menurut mereka di sini? Apakah kematian bagi
lawan?”
Si orang tua tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sisik Naga memang baru
berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun. Dan jarang sekali terjun dalam
dunia persilatan, sehingga tidak mengerti tata cara tentang bagaimana
sebaiknya bersikap.
“Tidak begitu. Dalam pertandingan yang sifatnya persahabatan, dilarang saling
mencelakai. Bila kita berhasil mengalahkan lawan dengan cara yang baik, itu
akan lebih terhormat dan terpuji.”
“Bagaimana caranya, Paman?”
“Seumpamanya dia memakai ikat kepala, maka kau cukup menanggalkan ikat
kepalanya tanpa dia mampu menahan. Atau mencabut senjatanya tanpa dia sadari.
Nah, hal-hal semacam itu sudah membuktikan bahwa kepandaian kita lebih unggul
darinya. Mereka yang menyaksikan pertandingan akan mengerti,” jelas orang tua
itu.
Sisik Naga mengangguk kecil. “Apakah Paman tahu, sampai di mana kemampuan
orang-orang negeri ini?”
“Hm.... Siapa yang tahu kepandaian setiap orang? Seperti yang terjadi di
negeri kita, di sini pun sama. Kepandaian orang atau seorang tokoh sulit
diduga. Bahkan tak menutup kemungkinan banyak terdapat tokoh-tokoh persilatan
yang berwatak aneh,” jelas si orang tua.
“Berwatak aneh seperti apa, Paman?”
“Suka mencampuri urusan orang lain tanpa sebab, mencari gara-gara sekadar
untuk memenuhi nafsu pribadi, atau bertingkah yang tak sewajarnya serta
berbuat sesuka hatinya,” jawab si orang tua.
Sisik Naga mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. “Kalau di negeri kita
seperti si Gila dari Muara Tembong ya, Paman? Ayah pernah membicarakan tokoh
itu padaku. Dia seorang tokoh sakti yang tiada terkalahkan sampai saat ini.
Bahkan, ayah sendiri segan berurusan dengannya.”
“Tapi ayahmu bukan orang sembarangan. Si Gila dari Muara Tembong sendiri
sungkan mengganggunya.”
“Ki Simbul Lumut, beberapa perahu kecil mendekat ke kapal kita!” teriak
seseorang yang berdiri pada tiang paling tinggi di kapal.
“Semua bersiap...!” Laki-laki tua yang ternyata bernama Ki Simbul Lumut
langsung memberi aba-aba dengan suara keras.
Sepasang matanya memandang nyalang. Begitu juga dengan Sisik Naga. Lebih dari
lima buah perahu kecil semakin jelas terlihat, bergerak ke arah mereka.
“Siapa mereka dan apa maunya?” tanya Sisik Naga.
“Hm.... Siapa yang tahu? Tapi kita harus waspada. Kau jaga di bagian belakang
kapal, biar Paman menjaga di sini. Dan perintahkan Sopeng Langit serta Watan
Kijang untuk berjaga di tiap sisi yang berlawanan di tengah kapal!”
“Baik, Paman!” Sisik Naga segera memanggil dua orang yang dikatakan pamannya,
dan memberi perintah pada yang lain untuk bersiaga penuh.
Dalam sekejap saja suasana kapal menjadi tegang. Wajah-wajah mereka kaku
dengan sepasang mata tajam, mengawasi perahu-perahu kecil yang terus mendekat
dari berbagai arah.
“Orang-orang yang berada di kapal, turunlah kalian ke laut dengan sukarela,
atau kami harus memaksa dengan kekerasan...?!” Salah seorang yang berada dalam
perahu kecil berteriak lantang, dengan kedua tangan bertolak pinggang.
Ki Simbul Lumut tersenyum kecil sambil menyipitkan mata. Tapi Sisik Naga
langsung bangkit amarahnya, mendengar kata-kata yang dianggapnya suatu
penghinaan. Inikah salah satu tokoh aneh yang barusan diceritakan pamannya?
“Kisanak, siapakah kalian dan mengapa menghadang perjalanan kami?” tanya Ki
Simbul Lumut dengan tenang.
Perahu-perahu kecil itu berhenti ketika jarak mereka telah begitu dekat. Orang
tua itu dapat melihat jelas, siapa yang tadi berteriak keras. Dia adalah
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan memakai baju dari kulit binatang.
Di dadanya bergelantungan tengkorak dan tulang-belulang yang diuntai menjadi
sebuah kalung. Begitu juga dengan ikat pinggangnya. Wajahnya tampan, namun
sorot matanya tajam menusuk dan sangat angker. Rambutnya yang panjang digelung
ke belakang.
Laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu membawa sebilah parang
besar di pinggangnya. Dan yang lainnya terlihat sama, meski mereka
bertelanjang dada dan mengenakan cawat dari kulit binatang. Seluruh tubuhnya
dipenuhi hiasan tulang-belulang serta tengkorak-tengkorak manusia. Wajah
mereka angker dan tampak bermusuhan, dengan sorot mata liar seperti manusia
yang tak beradab. Parang-parang besar telah siap tergenggam di tangan. Ada
juga yang memegang sumpritan yang mengeluarkan bau busuk menyengat Bisa
dipastikan kalau sumpritan itu mengandung racun yang hebat.
“Aku Tato Begananda, raja di lautan dan daratan. Kuperintahkan kalian
meninggalkan seluruh harta benda dan barang berharga di kapal ini, dalam tiga
hitungan. Kalau tidak, jangan harap aku akan memberi ampun!” perintah
laki-laki berbaju kulit binatang itu sombong.
“Kisanak, kami tak peduli kau raja lautan dan daratan. Tapi jika kau
perintahkan kami meninggalkan seluruh harta dan barang-barang bawaan, maka kau
harus melangkahi mayat kami dulu!” sahut Ki Simbul Lumut garang.
Orang tua itu sudah menduga, siapa gerombolan ini sebenarnya. Mereka tak lain
bajak laut yang biasa terdapat di perairan selat ini. Meski nama Tato
Begananda tak dikenalnya, tapi bisa diduga dari sorot matanya kalau orang itu
memiliki ilmu olah kanuragan yang tak rendah. Begitu juga anak buahnya. Mereka
bukan orang-orang liar sembarangan.
“Huh! Begitukah keputusanmu, Orang Tua? Baik, jangan sesalkan nanti di
neraka!” dengus Tato Begananda.
“Huh, apa yang perlu kutakutkan dari kalian?”
“Bangsat!” Tato Begananda memaki. Dan bersamaan dengan itu, memberi isyarat
pada anak buahnya.
Slup! Slup!
“Aaakh...!”
“Yeaaa...!”
Beberapa anak buah Tato Begananda langsung meniup sumpritan yang berada di
tangan mereka. Seketika, jarum-jarum beracun yang dihiasi bulu-bulu halus,
berhamburan ke arah orang-orang Ki Simbul Lumut. Terdengar pekik kesakitan
ketika dahi, leher, dan dada mereka tertembus senjata maut itu. Lima orang
langsung ambruk tak berdaya, dua di antaranya jatuh ke laut.
“Awas! Lindungi diri kalian dari sumpritan beracun!” teriak seseorang
memperingatkan kawan-kawannya.
Tapi ketika mereka akan mencari alat yang mampu melindungi diri dari serangan
sumpit beracun, saat itu juga anak buah Tato Begananda melompat dengan ringan
ke atas kapal sambil mengayunkan pedang dengan dahsyat. Dua orang kepercayaan
Ki Simbul Lumut, yaitu Sopeng Langit dan Watan Kijang langsung menyambut.
Begitu juga Sisik Naga. Putra Ki Sanjung Lugai itu mengamuk habis-habisan
dengan hati penuh kegeraman.
“Keparat-keparat laknat! Mampuslah kalian semua...!”
Seluruh anak buah Perguruan Bangau Sakti yang berada di kapal, berjuang sekuat
tenaga menghadapi serbuan para bajak laut itu. Kepandaian mereka rata-rata
cukup bisa diandalkan, tapi orang-orang liar itu pun bukan orang sembarangan.
Gerakan mereka amat cepat dan lincah menghindari serangan bagaikan kera yang
melompat-lompat dari satu cabang ke cabang lain. Mereka dengan mudah
menghindari kelebatan senjata lawan. Tak heran bila dalam sekejap korban
terlihat bergeletakan di sana sini. Orang-orang liar itu semakin riuh
bersuara, seperti binatang buas terluka.
“Keparat! Orang-orang liar jahanam, mampuslah kalian!” teriak Ki Simbul Lumut
seraya mengayunkan pedang dan berhasil menyambar seorang lawan, hingga
terjungkal.
Namun saat ujung pedang berkelebat hendak menyambar seorang korban, saat itu
pula Tato Begananda memapaki dengan parang di tangan kanannya.
Trang!
“Orang tua busuk! Kau pikir aku akan mendiamkan kelakuanmu? Kau bagianku!”
“Huh! Kenapa tak maju sejak tadi?!”
Tato Begananda berkelebat cepat sambil mengayunkan parang di tangannya ke arah
Ki Simbul Lumut. Orang tua itu bukanlah tokoh sembarangan. Di negerinya
termasuk orang yang dihormati, selain Ketua Perguruan Bangau Sakti. Beliau
adalah salah seorang adik seperguruan tokoh sakti itu. Maka tak heran kalau
ilmu silat dan ilmu olah kanuragannya cukup tinggi. Meski Tato Begananda telah
mendesak dengan sekuat daya dan kemampuan, tapi orang tua itu tidak terdesak.
Kenyataan itu membuat kemarahan Tato Begananda semakin meluap. Apalagi ketika
melihat seorang pemuda berbaju kulit ular mengamuk dan membinasakan banyak
anak buahnya.
“Hm.... Kau lihat? Sebentar lagi anak buahmu akan habis satu persatu. Kini
tiba saatnya bagimu untuk menyerah. Kami bukanlah orang-orang kejam. Kalian
boleh pergi sekarang juga!” ujar Ki Simbul Lumut memberi peringatan.
“Ha ha ha...! Kau pikir siapa dirimu, berani berkata begitu padaku?” Tato
Begananda tertawa terbahak-bahak.
Lelaki itu mengeluarkan sebuah topeng berwajah seram yang terbuat dari kayu
dari balik bajunya. Lalu dikenakannya. Wajah tampan Tato Begananda seketika
berubah menjadi wajah setan yang menakutkan. Sepasang matanya bulat lebar
dengan alis tebal dan tajam. Coreng-moreng di topeng kayu itu melukiskan
gambar yang tak jelas. Namun dari gigi bagian bawah, menyembul sebuah taring
yang mencuat ke atas melewati bibir, hidung, hingga ke dahi.
Ki Simbul Lumut pada mulanya menduga kalau lawan adalah orang yang tidak
waras. Apalagi, kemudian menari-nari beberapa saat lamanya. Namun ketika
tiba-tiba saja menyerang, terkesiap juga orang tua itu. Dari bola mata di
balik topeng kayu, menyebar suatu pengaruh yang membuat pikirannya mengawang
tak menentu. Tenaganya perlahan melemah, dan gerakannya seperti orang mabuk.
Ki Simbul Lumut berusaha memukul-mukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Tapi,
tenaganya terus menyusut dengan cepat seperti diserang kelumpuhan total.
“Mampus! Hihhh...!”
Cras!
“Akh...!”
Orang tua itu hanya bisa menjerit lemah ketika parang Tato Begananda membabat
lehernya hingga terpisah dari tubuh. Setelah menewaskan orang tua itu tanpa
perlawa-nan yang berarti, tubuh Tato Begananda melesat dan menghajar anak buah
kapal besar satu persatu. Banyak di antara mereka yang tak berdaya melawan
pengaruh gaib yang dipancarkan topeng kayu yang dikenakannya. Sehingga, Tato
Begananda tak ubahnya seperti membasmi orang-orang yang tak memiliki
kepandaian silat.
“Bedebah laknat! Dia pikir siapa kami!” Sisik Naga menggeram dan langsung
melompat sambil mengayunkan pedang ke leher lawan.
“Yeaaa...!”
Wuttt!
Tato Begananda dengan mudah mengelak, kemudian mengayunkan parangnya untuk
menangkis.
Trang!
Sisik Naga terkejut merasakan telapak tangannya nyeri bukan main akibat
benturan itu. Tapi mana sudi dia menunjukkan kesakitan di wajahnya. Sebaliknya
pemuda itu menggeram dan menyerang lawan semakin hebat, dengan mengerahkan
segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi aneh, pikirannya mengawang dan
tenaganya terus melemah dengan cepat ketika beradu pandang dengan topeng kayu
yang dipakai lawan.
“Ha ha ha...! Siapa pun tak akan mampu melawan pengaruh Topeng Setan yang
kukenakan ini!” teriak Tato Begananda sambil tertawa lebar.
“Keparat...!” maki Sisik Naga. Pemuda itu mengayunkan pedang, tapi dirasakan
pedang itu terlalu berat Sedangkan tenaganya lemah sekali, dan langkah kakinya
tak mampu mengangkat tubuh. Pemuda itu terjungkal, tepat ketika Tato Begananda
mengayunkan pedang dan menebas lehernya tanpa belas kasihan.
Cras!
“Akh...!” Sisik Naga mengeluh pelan. Darah membanjiri lantai kapal ketika
kepalanya menggelinding. Dua orang terkuat di kapal itu tewas dalam waktu
singkat. Akibatnya, anak buah Tato Begananda semakin merajalela. Apalagi
ketika dia turun tangan sendiri. Dalam waktu singkat penumpang kapal itu
binasa di tangan mereka.
“Habisi mereka, tak seorang pun boleh tertinggal!” perintah Tato Begananda.
“Semua tewas tak ada yang tersisa!” lapor salah seorang anak buahnya.
“Buang ke laut dan angkut semua barang berharga di kapal ini!” Anak buah Tato
Begananda langsung menyampaikan perintah pimpinannya. Tanpa banyak tanya lagi
mereka membagi dua rombongan. Sebagian membuang mayat-mayat ke laut, dan yang
lain mengangkuti barang-barang berharga yang berada dalam kapal. Barang-barang
itu dipindahkan ke dalam perahu-perahu kecil yang tadi mereka gunakan. Suara
hiruk-pikuk terdengar beberapa saat. Air laut di sekitar kapal terlihat merah,
dan dari kejauhan terlihat sirip ikan hiu berbondong-bondong mendekati mereka.
“Cepat! Tinggalkan tempat ini, sebelum hiu-hiu itu menyerang kalian!” perintah
Tato Begananda. Secepat kilat mereka melesat ke perahu kecil dan membiarkan
kapal besar itu terapung-apung.
“Ha ha ha...! Siapa pun yang mencoba menghalangiku, maka kematianlah yang akan
didapat!” teriak Tato Begananda jumawa, sambil bertolak pinggang di perahunya.
Sepasang matanya menyipit dan menatap tajam perahu besar yang semakin jauh
terlihat. Topeng Setan yang tadi dikenakannya, telah diselipkan kembali ke
dalam baju. Bibirnya tak lekang menampakkan senyum sinis yang selalu
menghias.
***
DUA
Pantai itu terletak tak begitu jauh dari Desa Selira. Itu sebabnya, mata
pencaharian utama penduduk desa dari hasil laut, yaitu sebagai nelayan.
Seperti kebanyakan penduduk yang berada di pantai, sudah menjadi tradisi
mengadakan upacara kurban bagi penghuni laut, agar hasil tangkapan ikan mereka
lebih banyak dan penguasa laut bermurah hati.
Pada tahun ini, upacara jatuh pada minggu pertama bulan kelima. Penduduk
kelihatan sudah ramai berkumpul di tepi pantai. Beberapa perahu nelayan
dihiasi dengan rumbai-rumbai berwarna-warni. Sebuah perahu besar berada paling
depan dari barisan perahu lain. Di dalamnya terdapat banyak orang yang
masing-masing membawa bunga, kepala kerbau, dan segala macam penganan. Seorang
laki-laki berbaju indah dan berikat kepala lebar, berdiri di ujung perahu dan
berteriak keras.
“Upacara sesaat lagi dilaksanakan! Dimulai dari perahu ini, lalu yang lain
mengikuti dengan tertib. Tabuh-tabuhan dibunyikan dengan suara yang pelan
serta khidmat!”
Lalu, beberapa perahu bergerak perlahan. Dari salah satu perahu terdengar
irama gending, perlahan dan bergaung bagai pengiring tembang yang semakin lama
semakin mengiris hati. Orang-orang di pantai tampak berdoa sambil menundukkan
kepala.
“Berhenti...!” teriak lelaki berikat kepala tadi. Kemudian, laki-laki itu
memberi perintah agar setiap orang yang berada di perahu mengikuti bacaan doa
yang dikumandangkannya sambil menurunkan sesajian mereka. Suara doanya bagai
gerendengan ratusan tawon yang menggema. Ditingkahi irama gending yang tak
putus berbunyi. Dan seseorang mengiringi bacaan doa dengan nyanyian yang
melengking tinggi.
“Sang Hyang Jagad Dewa Batara, berkahilah sesajian kami. Berikanlah hasil ikan
yang berlimpah pada kami. Berikanlah keselamatan pada seluruh penduduk desa
kami yang melaut....”
Ketika semua sesaji telah diceburkan ke laut, mereka bersiap mengakhiri
upacara. Tapi saat itu pula, salah seorang dari mereka menunjuk sebuah kapal
berukuran sedang yang mendekat perlahan ke arah mereka.
“Perintahkan kapal itu untuk memutar haluan!” kata laki-laki berikat kepala
lebar. Agaknya dialah pemimpin upacara ini. Salah seorang langsung berteriak
memperingatkan. Tapi kapal itu terus bergerak perlahan ke arah mereka. Tentu
saja membuat sebagian penduduk desa itu kesal bukan main. Upacara ini harus
dilakukan khidmat, tak boleh ada yang mengganggu. Namun orang-orang yang
berada di kapal itu seperti tak peduli dengan peringatan mereka.
“Perintahkan sekali lagi, dan bila mereka tak mau menurut, kalian boleh
mengambil tindakan!” kata si pemimpin upacara.
Sebuah perahu berisi lima orang pemuda penduduk Desa Selira, mendekat dan
berteriak keras memberi peringatan pada penghuni kapal. Namun hasilnya tetap
nihil. Kapal itu terus bergerak pelan. Dengan gemas, dua orang di antara
mereka melempar tambang dan naik ke atas kapal.
“Kosong! Tak ada penghuninya!” teriak seseorang dari atas kapal.
“Ada bercak darah berceceran di sini!” desis kawannya. Tak terasa bulu kuduk
kedua pemuda itu bangun. Sepasang mata mereka melotot garang, memandang tak
berkedip ke dek kapal yang penuh bercak-bercak darah.
“Hm.... Agaknya penghuni kapal ini telah dibantai habis-habisan. Siapa yang
melakukan perbuatan keji ini?” gumam pemuda yang mengenakan ikat kepala merah.
“Siapa pun yang melakukannya, pastilah mereka gerombolan orang-orang yang tak
berperikemanusiaan...,” sahut kawannya yang bermata juling.
“Lihat! Di atas tiang paling tinggi terdapat bendera!”
Kedua pemuda itu memperhatikan bendera hijau bertambang sebilah pedang dan di
atasnya tergambar seekor burung bangau putih tengah mengepakkan sayap.
“Apa pikiranmu? Bukankah ini kapal sebuah perguruan silat?” tanya pemuda
berikat kepala merah.
“Hm.... Aku jadi teringat. Perguruan Batu Kumala sedang mengadakan perayaan.
Banyak perguruan silat yang mereka undang. Mungkin penghuni kapal ini salah
satu perguruan silat yang mereka undang.”
“Tak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Kita harus memutar kapal ini agar tak
mengganggu upacara. Nanti, setelah upacara selesai kita beri tahu orang-orang
Perguruan Batu Kumala,” kata pemuda yang berikat kepala merah.
Kedua pemuda itu mengendalikan kapal setelah terdengar teriakan peringatan
pada mereka. Sementara tiga orang kawannya yang menunggu di perahu, kembali
bergabung dengan para pengikut upacara lainnya.
***
Halaman depan Perguruan Batu Kumala ramai oleh umbul-umbul berwarna-warni.
Bangku-bangku panjang berjejer di setiap sudut halaman. Pada bagian depan
bangunan terdapat beberapa buah kursi mewah yang berjajar. Dan pada jarak tiga
tombak di depannya, terdapat sebuah panggung seluas dua kali tiga tombak
dengan tinggi kira-kira sepuluh jengkal dari permukaan tanah. Tampak lebih
dari dua puluh orang murid-murid Perguruan Batu Kumala mondar-mondir di setiap
sudut menyiapkan segala sesuatunya.
Besok adalah hari ulang tahun Ki Satya Dharma, Ketua Perguruan Batu Kumala.
Orang tua yang disegani semua kalangan persilatan itu genap berusia tujuh
puluh tahun. Mulanya beliau tak setuju dengan perayaan itu. Namun beberapa
orang murid berhasil meyakinkannya, bahwa tujuan terpenting dari perayaan itu
untuk meningkatkan hubungan persahabatan di antara sesama perguruan.
Sore ini segalanya telah siap. Beberapa perguruan silat yang diundang, telah
berdatangan. Umumnya mereka berasal dari tempat yang jauh. Tapi Perguruan Batu
Kumala memiliki bangunan yang cukup besar dan menyediakan beberapa ruangan
bagi para undangan, sehingga semua tamu dapat bermalam di tempat itu.
Sementara itu di sebuah ruangan di bagian utama bangunan Perguruan Batu
Kumala, Ki Satya Dharma tengah menerima dua orang tamu. Wajah orang tua itu
tampak terkejut setelah mendengar cerita dua orang pemuda Desa Selira yang
berkunjung ke tempatnya. Demikian pula para murid utama yang hadir di ruangan
itu.
“Apakah Eyang menduga kalau kapal itu milik Perguruan Bangau Sakti dari negeri
seberang?” tanya salah seorang muridnya dengan suara pelan. Ki Satya Dharma
tidak menjawab. Bahkan kepalanya menoleh pada salah seorang murid yang duduk
di sampingnya.
“Jagakarsa, bersediakah kau menolongku memeriksa isi kapal?”
“Bersedia, Eyang. Aku akan berangkat sekarang juga bersama beberapa orang
kawan,” jawab seorang laki-laki berbadan tegap dan berkumis tipis seraya
memberi hormat pada orang tua itu.
“Kisanak, beribu terima kasih kuucapkan kepada kalian yang telah
memberitahukan berita ini kepada kami. Sudilah kalian mengantarkan
murid-muridku ke kapal itu, untuk memeriksa isinya dan mencari tahu siapa
pelaku semua ini,” ujar Ki Satya Dharma dengan suara lunak.
“Ah! Kami hanya sekadar menjalan kewajiban, Eyang. Kau dan murid-muridmu telah
berbuat banyak bagi desa kami. Kalau tak ada kalian, entah apa jadinya kami
saat diserang kawanan bajak laut beberapa bulan lalu,” sahut salah seorang
pemuda Desa Selira itu.
“Sudahlah. Jangan terlalu membebani pikiran kalian atas pertolongan kami yang
tak seberapa.”
“Kalau begitu kami mohon pamit, Eyang.”
Ki Satya Dharma mengangguk sambil tersenyum ramah. Setelah memohon diri,
Jagakarsa beserta lima orang kawannya mengikuti kedua pemuda Desa Selira.
“Eyang, siapa kira-kira pelaku kebiadaban itu?” tanya seorang muridnya dengan
nada geram setelah orang-orang tadi berlalu dari ruangan.
“Hm.... Aku sendiri tak bisa memastikan. Mungkinkah dari kawanan bajak laut
yang pernah kita tumpas dahulu? Tapi tak mungkin. Berdasarkan cerita kedua
pemuda itu, aku percaya kalau kapal itu membawa rombongan Perguruan Bangau
Sakti. Mereka orang hebat dan ketuanya sendiri adalah tokoh yang sulit
dikalahkan oleh orang-orang sembarangan.”
“Apakah itu perbuatan suatu kelompok yang tak ingin persahabatan antara kita
dan negeri seberang terjalin akrab?” tanya murid yang lain.
“Bila ada orang yang berbuat demikian dengan alasan yang tak kita ketahui
untungnya, rasanya hal itu tak masuk akal. Apa perlunya kelompok itu
menghalangi persahabatan yang kita jalin?” timpal seorang murid yang lain.
“Apa yang kalian duga tidak salah. Tapi kita tidak tahu, apa yang mereka mau
dengan perbuatan biadab itu. Yang jelas, mereka tak bekerja sendiri. Mustahil
rombongan itu dapat dihabisi oleh seorang tokoh, mengingat mereka bukan orang-
orang sembarangan,” ujar Ki Satya Dharma, menengahi perdebatan kedua muridnya.
“Apa yang akan kita lakukan, Eyang? Apakah tak mungkin kalau kelompok itu
mulai mengintai kita?” tanya seorang muridnya menduga-duga.
Ki Satya Dharma mulai berpikir setelah mendengar prasangka muridnya. Tapi apa
urusannya bila ada suatu kelompok hendak mengacaukan mereka? Dan apa untungnya
bagi mereka mengganggu pesta perayaannya? Orang tua itu baru saja ingin
memerintahkan beberapa muridnya untuk lebih berjaga-jaga, ketika terdengar
keributan di halaman depan.
Bersamaan dengan murid-muridnya yang berada di ruangan itu, dia langsung
bangkit menuju halaman depan. Beberapa murid Perguruan Batu Kumala tampak
sedang bertempur dengan orang-orang liar yang mengenakan cawat terbuat dari
kulit binatang. Wajah mereka penuh coreng-moreng, dan di tangan masing-masing
tergenggam sebilah parang panjang dan tajam.
Beberapa orang menggunakan senjata sumpritan. Di antara yang bertempur tampak
juga murid-murid Perguruan Merak Emas dan Perguruan Gunung Tidar yang membantu
menghalau orang-orang liar itu. Kedua perguruan itu memang telah tiba pagi
tadi untuk menghadiri perayaan ulang tahun Ki Satya Dharma.
“Apa yang terjadi di sini?! Hentikan pertarungan!” bentak Ki Satya Dharma
dengan suara keras.
Mendengar suara yang keras itu, murid-murid Perguruan Batu Kumala dan dua
perguruan lain serentak menghentikan serangan. Tapi lawan-lawan mereka tak
peduli. Kalau saja tak ada seseorang dari mereka yang memberi isyarat, niscaya
mereka akan terus menggempur lawan-lawannya.
“Kaukah ketua perguruan ini?”
Ki Satya Dharma menyipitkan mata. Yang bertanya adalah seorang laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun dengan rambut digelung ke belakang. Berbeda
dengan yang lainnya, orang ini mengenakan baju yang cukup rapi, terbuat dari
kulit binatang. Wajahnya tampan namun sorot matanya tajam penuh sinar
kebencian. Tak ada senyum sedikit pun menghiasi bibirnya. Di tangannya
tergenggam sebilah parang panjang seperti yang dipakai kawan-kawannya. Sekilas
saja, Ki Satya Dharma dapat menduga kalau laki-laki ini ketua gerombolan itu.
“Betul. Siapa kau, Kisanak? Barangkali aku lupa mengundang kawan sendiri dalam
pestaku ini. Maafkanlah atas kealpaanku. Tapi, bukankah soal itu dapat
dibicarakan baik-baik dengan cara yang lebih terhormat?” suara Ki Satya Dharma
terdengar lunak dengan sedikit senyum dan sikap hormat pada tamunya.
“Aku Tato Begananda, penguasa daratan dan lautan. Kuperintahkan kalian semua
berlutut!” kata orang itu dengan sikap angkuh dan menuding telunjuknya ke
bawah.
“Kurang ajar!” salah seorang murid tertua Perguruan Batu Kumala langsung
memaki.
“Huh! Anak muda besar kepala!” dengus Ki Patih Meluwa, Ketua Perguruan Merak
Emas yang berdiri di sebelah kiri Ki Satya Dharma.
“Ki Satya Dharma, biarlah anak tak tahu adat ini ku urus!” geram Ki Danur
Brata, Ketua Perguruan Gunung Tidar, yang langsung melangkah lebar.
Tapi Ki Satya Dharma memberi isyarat pada orang tua berusia sekitar lima puluh
tahun lebih itu agar bersabar. Dia sendiri kemudian memandang Tato Begananda
dengan bibir tersenyum.
“Kisanak, aku Satya Dharma. Selamanya selalu menghormati setiap tamu yang
hadir di tempat ini. Begitu juga dengan kalian. Tapi penghormatan itu bukan
berarti kami harus berlutut kepadamu. Harap kalian maklum kalau kami tak bisa
melakukannya, dan menjadi tersinggung karenanya,” katanya lunak.
“Hm, begitukah! Baiklah, kalau demikian kami harus memaksa kalian untuk
melakukannya!”
“Bocah keparat! Kau pikir dirimu siap, mau besar kepala di hadapan kami?!” Ki
Danur Brata yang agaknya sudah tak sabar lagi, langsung berkelebat dan
menyerang Tato Begananda dengan hati penuh rasa geram.
“Yeaaa...!”
Wukkk!
“Uts...!”
Tapi sebelum gerakan orang tua itu mendekat ke arah lawan, belasan orang-orang
liar yang mukanya penuh coreng-moreng langsung mengayunkan parang mereka,
menghadang Ki Danur Brata. Tentu saja orang tua itu terkejut dan jungkir balik
menghindari serangan lawan-lawannya.
“Keparat! Manusia-manusia terkutuk, mampuslah kalian kalau berani
menghalangiku!” dengus Ki Danur Brata sambil mencabut kerisnya.
Trak! Wuuut!
Orang tua itu mengamuk hebat. Hatinya geram bukan main. Dalam keadaan begitu,
ingin rasanya menghabisi lawan secepatnya. Tak heran kalau seluruh
kemampuannya langsung dikeluarkan. Tapi alangkah terkejutnya Ki Danur Brata
ketika melihat kenyataan kalau lawan-lawannya bukanlah orang sembarangan.
Bahkan perlahan-lahan orang tua itu terlihat mulai terdesak. Ki Danur Brata
bersungut-sungut sambil mendengus geram.
Sementara, Ki Satya Dharma dan yang lain bukan tidak tahu gelagat itu. Dia
yang tadi mendiamkan perbuatan tamunya, kini mulai merasa khawatir dan memberi
isyarat pada murid-muridnya untuk membantu orang tua itu.
“Diamlah di tempat kalian! Jangan mempermalukan diriku dengan bantuan konyol
itu!” bentak Ki Danur Brata.
Murid-murid Perguruan Batu Kumala jadi serba salah. Orang tua itu berkeras tak
mau dibantu. Tapi kalau mereka tak membantu, bisa dipastikan kurang dari lima
jurus lagi orang tua itu akan dapat dirobohkan lawan-lawannya.
“Eyang Danur Brata adatnya keras, tak suka dibantu bila sedang bertarung,”
bisik seorang murid Perguruan Gunung Tidar dengan suara lirih.
Mendengar penjelasan itu, tak heran ketika melihat ketuanya mulai terdesak,
tak seorang pun di antara mereka yang bergerak membantu. Padahal kalau melihat
wajah-wajah mereka, terbias kegeraman yang amat sangat melihat gurunya
dikeroyok begitu rupa. Dan salah seorang dengan berani berteriak pada gurunya.
“Eyang, biarkan kami membantumu. Mereka bukan orang-orang sembarangan!”
“Sial kau! Apa kau pikir aku tak mampu menghadapi mereka?! Kau hanya
mengecilkan gurumu saja!”
Murid itu mendengus kesal. Sementara gurunya makin terdesak. Beberapa goresan
luka senjata lawan mulai menghajar dirinya. Bahkan dalam suatu kesempatan Ki
Danur Brata terpekik, saat parang lawan menghajar perutnya sampai robek. Dan
orang tua yang keras hati itu melompat ke belakang dengan telapak kiri
mendekap perut. Tangan kanannya terkepal di pinggang. Dengan muka geram,
kepalan tangan kanannya disorongkan ke depan. Maka, saat itu pula menderu
selarik sinar kuning menyilaukan mata ke arah lawan-lawannya. Itulah pukulan
andalannya yang bernama 'Lahar Gunung Tidar'. Siapa pun yang terkena pukulan
itu, tubuhnya akan lumer seperti daging terbakar!
“Hiyaaat...!”
Tato Begananda yang sejak tadi memperhatikan sepak terjang anak buahnya,
tiba-tiba melompat dengan satu teriakan nyaring. Telapak kirinya didorong, dan
seketika melesatlah secercah sinar ungu yang menghadang pukulan lawan.
Glarrr...!
Terdengar ledakan keras, disusul asap hitam mengepul ke udara akibat benturan
dua pukulan dahsyat tadi.
“Aaa...!” Ki Danur Brata terpekik. Tubuhnya terlempar persis di kaki Ki Satya
Dharma dalam keadaan tak bernyawa lagi. Muka dan tubuhnya rusak berat,
lehernya nyaris putus tersabet senjata lawan. Tak jauh dari situ, Tato
Begananda dengan wajah keras dan garang mendengus sinis, berdiri tegak
memandang mereka.
“Eyang...!”
Murid-murid Perguruan Gunung Tidar menjerit keras dan mengerumuni mayat Ki
Danur Brata. Salah seorang malah langsung bergerak cepat menyerang Tato
Begananda.
“Jahanam keparat! Kau harus membayar kematian guruku dengan pembalasan yang
setimpal!”
“Huh! Kecoa busuk! Kau hanya mengantar nyawa kepadaku!” dengus Tato Begananda.
Wuuut!
“Yeaaat...!"
Trak.... Breeet!
“Aaa...!”
***
TIGA
Ki Satya Dharma dan yang lainnya tersentak ketika melihat seorang murid
Perguruan Gunung Tidar kembali tewas dalam keadaan yang nyaris mirip gurunya.
Melihat keadaan semakin panas dan tamu-tamu tak diundang itu makin liar, darah
orang tua itu mulai bergolak.
“Kisanak, sudikah kau membantuku menghalau orang-orang liar itu, sementara aku
akan menggebuk ketuanya?” ucap Ki Satya Dharma kepada Ki Patih Meluwa.
“Jangan khawatir, Ki!”
“Syukurlah.... Hati-hati, mereka bukan orang sembarangan. Jangan terlalu keras
kepala. Kalau memang tak mampu menghadapinya seorang diri, biarkan murid-murid
membantumu.”
“Baiklah, Ki.”
Setelah itu, Ki Satya Dharma melangkah mendekati lawan dan berhenti setelah
jarak mereka terpaut kurang lebih sepuluh jengkal. Matanya tajam memandang
Tato Begananda.
“Kisanak, sikapmu sungguh keterlaluan. Datang tanpa diundang, kemudian
mengacau dan membunuh tamu-tamuku. Sebagai tuan rumah, aku tak bisa membiarkan
kau berbuat sesuka hatimu. Suka atau tidak, kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu!” kata Ki Satya Dharma dengan suara tegas.
“Ha ha ha...!
Orang tua busuk, bisa berbuat apa kau padaku? Berlututlah, atau sebentar lagi
kau tak akan melihat dunia ini!”
“Anak muda sombong! Perlihatkan padaku bahwa kau memang pantas bersikap
seperti malaikat maut!” dengus Ki Satya Dharma seraya membuka jurus.
Hal seperti itu jarang dilakukannya, memulai lebih dulu suatu pertarungan.
Tapi sikap Tato Begananda dianggapnya sudah keterlaluan sekali, dan tak
mungkin baginya menghindar dari lawan, cepat atau lambat. Anak buah Tato
Begananda bersiap hendak menyerang orang tua itu, namun saat itu juga Ki Patih
Meluwa bergerak cepat menghadang. Wajah-wajah lawan tampak beringas dan siap
menyerang.
“Hm ... Bagus. Rupanya kau telah menyiapkan segalanya. Tapi jangan harap akan
mampu mengalahkan kami! Majulah kau, Tua Bangka!” dengus Tato Begananda sambil
mengayunkan parangnya.
Ki Satya Dharma memandang tajam. Ujung pedangnya digerakkan lurus dengan siku,
menghadap ke belakang. Tubuhnya sedikit miring ke kanan. Meskipun tadi Tato
Begananda memerintahkan orang tua itu untuk bergerak lebih dulu, tapi ternyata
dialah yang lebih dulu menyerang.
“Yeaaat...!”
Trak! Trang!
Kedua senjata mereka beradu cepat dengan pengerahan tenaga dalam kuat, hingga
menimbulkan percikan bunga api. Beberapa kali keduanya berusaha menyambar
bagian tubuh lawan yang kelihatan terbuka, tapi saat itu pula senjata lawan
menangkis dan kembali berbalik menyerang. Pertarungan itu berlangsung cepat,
sulit diikuti pandangan mata orang yang ilmunya rendah.
Sementara itu, anak buah Tato Begananda telah bergerak mengurung Ki Patih
Meluwa. Dengan mengeluarkan teriakan dahsyat, mereka menyerbu orang tua itu
seperti kawanan serigala mengeroyok mangsa. Ki Patih Meluwa sejak tadi telah
bersiap dengan senjata ruyung mautnya yang terbuat dari baja pilihan.
“Yeaaa...!”
“Hiyaaat...!”
Trak! Trak!
Meskipun orang tua itu berusaha mendesak ingin menghabisi lawan-lawannya,
namun hal itu tak mudah dilakukan. Ki Patih Meluwa sendiri terkejut dan baru
menyadari kalau lawan-lawan yang sedang dihadapinya bukan orang-orang
sembarangan. Walau telah mengerahkan segenap kemampuannya, tapi orang-orang
itu sedikit pun tak mengalami kesulitan mem-bendung serangannya. Bahkan kalau
tak hati-hati menghindar, senjata lawan akan menyambar dan melukai dirinya.
Trak! Cras!
“Akh...!”
Ki Patih Meluwa mengeluh kesakitan, ketika bahu kirinya disambar ujung senjata
salah seorang lawan. Beruntung dia cepat melompat dan menghindar dari serangan
berikutnya. Kalau tidak, pasti kepalanya akan terpisah dari tubuh. Orang tua
itu menggeram dan wajahnya terlihat kaku. Dan sambil berteriak keras, dia
melompat dengan ruyung berputar-putar menyambar ke sana kemari. Pada saat yang
bersamaan, salah seorang muridnya berteriak.
“Eyang, biarkan kami membantumu...!”
Ki Patih Meluwa hanya diam saja. Agaknya, muridnya itu tak ingin peristiwa
yang menimpa Ki Danur Brata terulang kembali. Tanpa mempedulikan persetujuan
gurunya, dia langsung ikut menyerang lawan-lawan Ki Patih Meluwa. Melihat
orang tua itu tak berusaha mencegah, murid-muridnya yang lain satu persatu
menyerbu orang-orang liar yang hanya mengenakan cawat itu. Kini, keadaan
pertarungan menjadi terbalik. Bukan saja mereka berhasil menyamakan kedudukan,
tapi perlahan-lahan dapat mendesak lawan- lawannya.
“Hiyaaat...!”
“Mampus!”
“Yeaaat..!”
Cras! Bret!
“Aaa...!”
Terdengar pekik kesakitan dari orang-orang liar dengan muka penuh
coreng-moreng itu. Beberapa orang di antaranya terjungkal bermandikan darah.
Sementara gabungan murid ketiga perguruan itu mengamuk seperti kerasukan
setan, dan korban di pihak lawan terus berjatuhan. Kedudukan memang tak
seimbang. Meski lawan memiliki kemampuan ilmu silat yang cukup tinggi, namun
jumlah ketiga perguruan silat itu sangat banyak, sehingga satu orang paling
sedikit menghadapi tiga orang lawan. Maka tak heran bila Tato Begananda tak
berteriak nyaring untuk menghentikan pertarungan, anak buahnya pasti akan
tersapu bersih.
“Keparat laknat! Hadapilah aku...!”
Ki Satya Dharma tercekat. Tiba-tiba saja lawan berjumpalitan beberapa kali di
udara dan bergerak menghindarinya. Ketika dia bermaksud mengejar, lawan
berbalik dengan cepat. Wajah Tato Begananda kini telah ditutupi sebuah topeng
yang amat aneh. Sepasang mata lebar memancarkan pengaruh kuat dengan
coreng-moreng warna-warni. Dari gigi tengah bagian bawah, mencuat sebuah
taring yang kuat dan panjang hingga ke dahi.
“Yeaaa...!”
Ki Satya Dharma merasa tenaganya seperti tersedot ke arah lawan dan tubuhnya
lemas bukan, main. Lelaki itu membuang diri ke tanah ketika Tato Begananda
mengayunkan parang ke arah lehernya.
Crak! Crak!
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, orang tua itu terus berguling-guling di
tanah menghindari bacokan lawan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Dengan
satu sapuan cepat, Ki Satya Dharma menjerit kesakitan ketika tulang keringnya
dihantam kaki lawan. Orang tua itu heran. Dalam keadaan, biasa, tendangan itu
tak akan berakibat apa-apa. Tapi kali ini terdengar bunyi berderak, menandakan
tulang kakinya patah!
Belum lagi sempat menguasai diri, saat itu juga terlihat sekilas cahaya
berkilat menimpa matanya. Ki Satya Dharma tercekat, dan hanya sempat mengeluh
pendek. Kepalanya menggelinding jauh, dan dari pangkal leher mengucur darah
segar seperti tiada henti.
“Eyang...!”
Murid-murid Perguruan Batu Kumala seperti tersihir. Mereka hanya dapat
berteriak lemah. Begitu juga dengan yang lain. Tenaga mereka seperti terkuras
habis ketika menatap Tato Begananda yang mengenakan topeng kayu. Tapi meskipun
begitu, beberapa orang bergerak dengan sisa tenaga yang ada untuk menyerang
laki-laki itu. Termasuk di antara orang-orang itu adalah Ki Patih Meluwa.
“Yeaaa...!”
Cras! Breeet!
“Akh...!”
Sekali Tato Begananda bergerak, terdengar keluh kesakitan. Mereka ambruk
dengan nyawa melayang dan tubuh penuh luka. Bersamaan dengan itu, anak buahnya
kembali menyerang sisa- sisa murid ketiga perguruan. Dengan sadis dan tak
berperikemanusiaan mereka membasminya satu persatu. Sungguh aneh! Mereka
merasakan tenaganya menurun cepat, sehingga seperti berhadapan dengan belasan
tokoh berilmu tingkat tinggi tiada bandingan.
“Ayo, habiskan mereka! Tak seorang pun boleh menghinaku!” teriak Tato
Begananda memberi semangat.
Namun sebelum semua murid ketiga perguruan itu mereka tumpas habis, tiba-tiba
melesat sesosok bayangan yang langsung mengamuk dan menghajar orang-orang liar
tersebut
“Yeaaat..!”
Desss! Dukkk!
“Aaakh...!”
“Setan...!” dengus Tato Begananda geram. Beberapa orang anak buahnya terpental
saling menjerit kesakitan, terkena hajaran orang yang baru datang. Dengan satu
lompatan ringan, orang itu langsung dihadangnya.
“Setan keparat! Hadapilah aku! Yeaaat..!”
“Hup!"
Plak! Plak!
“Hih!”
Tato Begananda tak perlu menunggu lama, sebab orang itu langsung menyerangnya
dengan kekuatan penuh. Tato Begananda cepat menyambut dan memapaki serangan
lawan, kemudian terlihat tubuhnya berputar dua kali sambil mengayunkan
tendangan. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya dengan cepat
berkelit dan melompat beberapa kali sebelum tegak berdiri di depan lawan.
Kini orang itu dapat terlihat jelas. Dia adalah seorang laki-laki tua
berjenggot seperti kambing dengan pancaran mata tajam menusuk. Bajunya
berwarna merah kembang-kembang dengan dasar putih, terlihat kebesaran untuk
ukuran tubuhnya yang sedikit kurus. Rambutnya yang telah memutih dan panjang
dibiarkan tergerai ke belakang.
“Manusia laknat bertopeng kayu, siapa kau sebenarnya dan ada urusan apa
membuat kekacauan di sini?!” bentak orang itu garang.
“Aku Tato Begananda, penguasa seluruh jagat. Siapa kau, berani berkata lancang
kepadaku?!”
“Huh! Manusia busuk sepertimu memang tak bisa diberi hati. Biarlah aku si tua
Sembiring, yang akan mengajarimu bersikap sopan pada orang lain!”
Dengan geram orang tua bernama Ki Sembiring itu kembali melompat cepat, dengan
kedua tangan siap menghantam lawan. Nama tokoh itu sangat dikenal dalam rimba
persilatan. Dia adalah seorang tokoh kosen yang ilmu silat tangan kosongnya
sangat hebat. Tak heran bila kalangan persilatan menjulukinya, Tangan Kilat
Penguasa Jagat. Tapi ketika berhadapan pada jarak dekat, orang tua itu
merasakan keanehan melanda tubuhnya. Tenaganya seperti tersedot dan pikirannya
menerawang tak menentu. Itu terlihat dari serangan-serangannya yang mulai
kacau dan tak bertenaga.
“Ha ha ha...! Apakah kau pikir mengandalkan nama besarmu mampu mengalahkanku?
Orang tua busuk, ajalmu sebentar lagi tiba!”
Tato Begananda memang tak main-main dengan kata-katanya. Parangnya berkelebat
cepat menyambar lawan. Ki Sembiring terperangah. Dan berusaha sekuat tenaga
menghindar. Sementara keringat dingin mulai mengucur deras dari pori-pori
tubuhnya. Orang tua itu semakin heran merasakan perubahan hebat dalam
tubuhnya. Dia seperti tak berdaya sedikit pun menghadapi lawan yang semakin
bernafsu menghabisi nyawanya.
“Yeaaah...!”
Plak! Crasss!
“Akh...!”
Ki Sembiring hanya bisa mengeluh pelan. Perutnya kena disodok dengan keras,
ketika sebelah tangannya menangkis pukulan lawan. Isi perutnya seperti
diaduk-aduk tak karuan. Belum lagi menyadari apa yang terjadi, senjata lawan
dengan cepat menyambar dadanya. Terdengar suara bergemeretak ketika tulang
dadanya patah. Ki Sembiring terkulai dengan tubuh bermandikan darah. Napasnya
putus seketika. Bersamaan dengan itu, anak buah Tato Begananda pun telah
selesai menghabisi lawan-lawannya. Tokoh sesat ini tertawa nyaring sebelum
meninggalkan tempat itu.
“Ha ha ha...! Siapa pun yang berani menghalangi niatku menjadi penguasa jagat,
maka mampuslah akibatnya!”
***
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tengah duduk mematung
memandangi dua orang gadis yang tengah bertarung sengit. Kedua gadis itu
sama-sama tangguh, dan sama-sama bernafsu menjatuhkan lawan. Mulanya pemuda
berompi putih itu tak begitu memperhatikan pertarungan itu. Tapi ketika
seorang pemuda berusia sebaya dengannya hadir di tempat itu dan berusaha
melerai perkelahian, dia mulai mengerti bahwa ketiga muda-mudi itu tak lain
saudara-saudara seperguruan.
“Sudahlah Ganatri! Dewi! Apa yang kalian perebutkan sampai berkelahi seperti
ini?!”
“Diam kau, Kakang Wangsa! Jangan campuri urusan kami!” sahut gadis berbaju
putih.
“Tapi Dewi, tak baik kalian berbuat begini. Apalagi kalau guru sampai
mengetahuinya. Beliau pasti akan menghukum kalian!”
“Huh! Anak centil ini harus diberi pelajaran dulu, baru aku mau menyudahinya!”
dengus gadis berbaju putih yang dipanggil Dewi.
“Siapa yang centil? Kaulah yang mulai mencari gara-gara!” sahut gadis berbaju
hijau sengit.
“Ganatri, sudahlah! Untuk apa kalian teruskan perkelahian ini?!”
“Bukan aku yang memulai, Kakang Wangsa! Tapi Kak Dewi yang mulai menyerangku
tanpa sebab.”
“Diam kau! Semua ini gara-garamu. Kalau bukan kau yang memulai lebih dulu,
mana mungkin aku memulainya!”
“Sudah..., sudah! Hentikan pertarungan ini atau aku akan bertindak keras?!”
Tapi ancaman Wangsa sama sekali tidak digubris. Pemuda berbaju kuning yang
bernama Wangsa itu uring-uringan sendiri. Agaknya kedua gadis itu mengerti
betul, kalau pemuda itu tak akan berani bertindak keras kepada mereka. Kedua
gadis itu kembali bertempur dengan sengit seperti hendak saling berbunuhan.
Apalagi ketika keduanya sudah saling menggunakan pedang. Wangsa hanya bisa
berteriak-teriak melerai, namun tak sedikit pun kedua gadis itu mau
mengurungkan niatnya untuk terus bertarung.
“Murid-murid goblok! Apa yang kalian perebutkan sampai bertarung
mati-matian?!”
Trang! Trang!
“Heh?!”
“Eyang Guru...!”
Ketiga muda-mudi itu cepat berlutut ketika seorang perempuan tua dengan rambut
panjang memutih, tiba-tiba melesat dan menghantam pedang di tangan kedua gadis
itu hingga terpental. Sepasang matanya memandang tajam. Sementara di tangan
kanannya terdapat sebilah pedang tajam berkilat Meskipun tubuhnya kurus, namun
saat berdiri terlihat gagah dan kokoh.
“Tak malukah kalian, bertarung memperebutkan pepesan kosong? Apa kata orang
jika mengetahui murid-murid Nyai Nipah berkelahi dengan saudara sendiri.
Bukannya membantu mereka yang lemah dan lebih membutuhkan pertolongan atau
membasmi penjahat-penjahat yang sering mengacau!”
“Ampunkan kami, Eyang Guru....”
“Huh! Kau Wangsa, sebagai murid tertua, apa yang bisa kau lakukan untuk
membimbing adik-adik seperguruanmu?!”
“Ampun, Eyang Guru. Aku memang salah dan tak berguna....”
Perempuan tua yang bernama Nyai Nipah itu menyarungkan pedang dan memandang
murid-muridnya satu persatu. “Coba katakan padaku, persoalan apa yang membuat
kalian sampai berkelahi?”
Kedua gadis yang bernama Ganatri dan Dewi diam membisu, tak mampu menjawab.
“Ayo katakan!” bentak Nyai Nipah dengan suara keras.
“Eh! Ng..., tidak ada persoalan yang penting, Eyang...,” Dewi menyahut dengan
pelan sekali.
“Goblok! Kalau tak ada persoalan penting, kenapa kalian sampai berkelahi?!
Ganatri, katakan yang sebenarnya!”
Ganatri hanya menundukkan wajah dalam-dalam.
“Sial! Kalau kalian tak mengatakannya, maka jangan harap bisa lepas dari
hukumanku. Ayo katakan! Sampai pada hitungan ketiga kalian tak mengatakan,
maka bersiaplah menerima hukuman! Satu...!” Nyai Nipah mulai menghitung.
Ketiga muda-mudi itu mulai gelisah. Mereka saling berpandangan dengan wajah
ragu. “Dua...!”
Wajah Ganatri pucat, Dewi gelisah, sedang Wangsa jadi salah tingkah. Mereka
tahu betul, kalau gurunya berkata begitu maka itu pasti akan dilakukannya.
Dulu saja ketika Wangsa berbuat kesalahan, Nyai Nipah menghajarnya
habis-habisan sampai babak-belur. Tapi, apakah mereka harus mengatakan
persoalan yang sebenarnya? Apa nanti Nyai Nipah tidak tambah murka?
“Ti....”
“Ha ha ha...! Nyai Nipah, kenapa matamu buta dan telingamu tuli, sampai tak
tahu persoalan murid-muridmu sendiri?”
“Heh...?!” Hitungan terakhir perempuan tua itu terhenti ketika sesosok tubuh
berkelebat dan berdiri tegak di depan mereka.
Seorang laki-laki tua berambut panjang tergerai dan bertubuh pendek. Dia
memakai baju kembang-kembang yang agak kebesaran. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat kayu yang cukup panjang. Wajah orang tua itu bulat dan selalu
berminyak.
“Selapati, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Nyai Nipah yang agaknya
mengenali laki-laki tua itu.
“Hm.... Sudah lama sekali aku tak mengunjungi kekasihku. Begitukah caramu
menyambut kekasih yang datang dari jauh?” sahut orang tua yang bernama
Selapati itu.
***
EMPAT
“Selapati, aku sedang tak ingin bercanda. Ada keperluan apa kau datang ke
sini?” tanya Nyai Nipah tegas.
“Ha ha ha...! Sifatmu masih seperti dulu, tegas dan garang. Baiklah.... Tapi,
tak sopan rasanya bicara di sini. Apa kau tak mempersilakan aku mampir ke
tempatmu? Atau barangkali kau hendak menyelesaikan persoalan murid-muridmu
lebih dulu? Siapa tahu aku bisa sedikit membantu.”
“Hm.... Apa yang kau ketahui tentang murid- muridku?”
“Aku memang tak tahu banyak. Tapi kalau mengenai mereka berkelahi, aku sempat
mencuri dengar. Kalau tak salah, mereka memperebutkan murid laki-lakimu
itu....”
“Apa...?!” Nyai Nipah melotot garang pada kedua murid perempuannya.
“Nyai Nipah, itulah kau. Sejak muda tak mau tanggap soal-soal begini, jadi
sampai muridmu bertikai karena soal sederhana pun kau tak mengerti.”
“Dewi! Ganatri! Benarkah apa yang dikatakan Ki Selapati, kalau kalian
berkelahi karena memperebutkan Wangsa?!” bentak Nyai Nipah garang.
Ganatri dan Dewi hanya diam membisu.
“Katakan atau kedua telinga kalian ku potong saat ini juga!”
Tetap tak ada jawaban dari kedua gadis itu. Bahkan mereka tampak menggigil
ketakutan.
“Sudahlah, Nyai. Kenapa susah-susah segala. Bukankah kau memiliki dua murid
laki-laki dan dua wanita. Jodohkan saja mereka buru-buru,” kata Ki Selapati.
Nyai Nipah mendelik garang. “Bicara apa kau? Murid laki-lakiku hanya seorang!”
“Hm.... Jadi, siapa pemuda berbaju rompi putih itu?” tunjuk Ki Selapati ke
satu arah.
Nyai Nipah mengikuti arah telunjuk Ki Selapati dan melihat seorang pemuda
tampan berbaju rompi putih, tengah bermalas-malasan di bawah sebatang pohon
yang cukup rindang. Nyai Nipah melangkah lebar mendekati pemuda yang tak lain
Rangga, atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian, berdiri
tepat di mukanya. Sepasang matanya menatap tajam dengan wajah menunjukkan
ketidaksenangan.
“Siapa kau?! Dan apa yang dikerjakan di sini?”
“Eh! Ng..., maaf! Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini...,” sahut Rangga
seraya bangkit dan memberi penghormatan kepada perempuan tua itu.
Nyai Nipah diam tak memberikan tanggapan. Diamatinya pemuda itu dari ujung
rambut sampai ke kaki. “Kulihat kau membawa pedang di punggungmu, paling tidak
kau bukan orang biasa. Mustahil kalau hanya kesasar ke sini, tanpa
maksud-maksud lain yang licik,” ujar Nyai Nipah curiga.
“Nisanak, maksud licik apakah yang kau maksudkan? Apakah kau ingin mengatakan
bahwa aku ke sini karena mengetahui kau memiliki harta karun yang berlimpah?
Atau barangkali kau memiliki benda pusaka yang langka? Kalau kau menuduhku
begitu, kau salah alamat. Jangankan namamu dan daerah ini, bahkan aku sendiri
tadinya tak tahu bahwa di tempat ini ada penghuninya. Sampai kedua muridmu itu
datang dan tiba-tiba saja berkelahi. Kalau memang kau tak suka dan curiga
dengan kehadiranku, baiklah. Aku tak ingin memperpanjang persoalan. Biarlah
aku pergi saja,” ujar Rangga sambil melangkah pelan.
“Tunggu!”
“Ada apa lagi, Nisanak?”
“Huh! Tak akan kubiarkan kau seenaknya berlalu dari tempatku ini, sebelum aku
yakin betul bahwa kau tak mempunyai maksud-maksud buruk di sini!”
“Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan. Dengan cara apa aku bisa
meyakinkanmu, bahwa kedatanganku ke tempat ini hanya kebetulan dan tak membawa
maksud buruk seperti dugaanmu.”
“Bagus! Buktikanlah dengan caraku!”
Sring...!
Rangga menggeleng lemah ketika melihat perempuan tua itu mencabut pedang dan
memasang jurus, siap untuk menyerang. “Nisanak, tak bisakah kita bicara
baik-baik tanpa menggunakan kekerasan?”
“Justru aku telah bicara baik-baik, tapi kau malah menyulitkanku dengan
berpura-pura bodoh!”
“Apakah aku harus mengakui apa yang sebenarnya tak kulakukan?”
“Tutup mulutmu! Buktikanlah sekarang juga bahwa kata-katamu benar!” bentak
Nyai Nipah sambil menyambar leher Rangga dengan ayunan pedangnya.
“Uts! Nisanak, sabarlah sedikit....”
“Yeaaa...!” Tanpa mempedulikan kata-kata Rangga, Nyai Nipah kembali menyerang
dengan sengit ketika serangan per-tamanya dapat dielakkan Pendekar Rajawali
Sakti dengan mudah.
“Nisanak, aku tak ingin memperpanjang urusan. Tidakkah kau bisa mengerti?”
Tapi ucapan Pendekar Rajawali Sakti hanya ditanggapi dengan serangan-serangan
yang semakin ganas. Rangga jadi kesal dibuatnya. Serangan perempuan tua itu
tampak hebat dan mematikan, seperti menghadapi musuh besar saja layaknya.
Rangga percaya, kalau terus-terusan mengelak pasti ujung pedang lawan akan
melukainya. Dengan menggeram hebat, pemuda itu melompat ke belakang. Tapi Nyai
Nipah terus menyusul dengan ringan. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar
tubuh lawan, menimbulkan desir angin kencang. Saat itu Rangga memainkan jurus
pertahanannya yang hebat, 'Sembilan Lang-kah Ajaib'. Kedua kakinya bergerak
lincah, dan tubuhnya meliuk-liuk seperti orang menari saat menghindari
sambaran pedang lawan.
“Bagus! Agaknya dugaanku tak meleset. Kau ternyata bukan orang sembarangan.
Dugaanku semakin kuat bahwa kehadiranmu di sini pasti bermaksud buruk!” dengus
Nyai Nipah.
“Kau terlalu memaksa dan menginginkan nyawaku, Nisanak. Maka, sudah sepatutnya
aku mempertahankan diri.”
“Bagus! Jagalah jiwamu baik-baik, sebab kali ini aku tak akan memberi hati
lagi padamu. Tahanlah jurus pedang yang kuberi nama ‘Kincir Setan Meranggas
Lalang’.”
Rangga sudah menduga, perempuan tua itu pasti akan memainkan jurus pedang
andalannya. Maka segera disambutnya dengan mengeluarkan rangkaian lima jurus
‘Rajawali Sakti’. Ternyata dugaannya tidak keliru. Kelebatan pedang Nyai Nipah
sungguh dahsyat. Sulit diikuti pandangan mata biasa. Bukan itu saja!
Pengerahan tenaga dalam yang hebat, membuat kulit tubuhnya seperti dihantam
deru angin kencang.
“Yeaaa...!” “Hiyaaat...!”
“Heh! Rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’?!” Ki Selapati terperangah melihat
jurus silat yang dimainkan pemuda berbaju rompi putih itu. Kejadian itu begitu
cepat terjadi. Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang dan sinar biru
yang menyilaukan mata langsung menerangi tempat itu.
Trasss! Plak! Tuk!
“Akh...!” Nyai Nipah mengeluh pelan. Tubuhnya ambruk ke tanah dalam keadaan
tertotok. Pedang di tangannya terpotong menjadi dua bagian. Sementara Pendekar
Rajawali Sakti berdiri tegak di depannya dengan pedang telah kembali tersarung
dalam warangka.
“Eyang Guru...!” teriak ketiga murid Nyai Nipah sambil menyerbu ke arah
perempuan tua itu.
“Pemuda keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!” bentak Ganatri sambil
mencabut pedang dan menyerang pemuda yang telah mencelakakan gurunya.
“Bocah, tahan pedangmu!” Ki Selapati membentak sambil berkelebat dan menyambar
pedang di tangan Ganatri dengan tongkatnya, hingga terlepas dari tangan.
“Orang tua busuk! Apakah kau bersekongkol dengan pemuda keparat ini?”
“Tenanglah, Cah Ayu. Gurumu tak apa-apa. Dia hanya salah tangan ingin
mencelakai orang. Kalau saja pemuda itu berhati kejam, tentu saat ini gurumu
tak bernyawa lagi,” jelas Ki Selapati.
Ganatri diam mematung dan memandang gurunya seperti ingin minta penjelasan.
Tapi Nyai Nipah menundukkan kepala dengan wajah sedih. Baru kali ini dia
menelan pil pahit, dikalahkan seorang pemuda yang sama sekali tidak
dikenalnya. Padahal namanya di dunia persilatan termasuk dalam jajaran tokoh
yang disegani, karena kehebatan ilmu silatnya.
“Maaf, Nisanak. Aku tak bermaksud berbuat lancang padamu. Tapi kau begitu
telengas dan ingin mencabut nyawaku tanpa sebab. Sudah sepatutnya aku
mempertahankan diri,” ujar Rangga, sopan.
“Sudahlah, Nyai Nipah. Kau tak perlu berkecil hati dengan kekalahanmu, sebab
orang yang mengalahkanmu bukan tokoh sembarangan. Hm.... Siapa yang mampu
mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti? Aku sendiri pun mungkin tak mampu
menghadapinya lebih dari sepuluh jurus,” hibur Ki Selapati.
“Pendekar Rajawali Sakti? Apakah yang kau maksudkan pemuda ini?” tanya Nyai
Nipah seperti tak percaya.
“Siapa lagi kalau bukan dia?” jawab Ki Selapati, sambil tersenyum kecil. Nyai
Nipah memperhatikan Rangga dengan seksama. Kemudian, kepalanya menggeleng
lemah.
“Hm.... Rupanya aku terlalu lama bersembunyi di tempat ini, sampai tak tahu
kalau pendekar tersohor sepertinya berdiri di depanku....”
“Sudahlah, Nisanak. Tak perlu dipersoalkan. Aku sama sekali tak sehebat apa
yang kalian kira. Maaf....”
Tuk!
Tangan Rangga cepat bergerak membebaskan totokan Nyai Nipah. Kemudian kembali
memberi salam penghormatan pada kedua orang tua itu.
“Maafkan atas sikap kasar ku tadi. Rasanya persoalan di antara kita tak perlu
diperpanjang lagi. Aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan....”
“Tunggu dulu, Pendekar Rajawali Sakti!”
“Hm.... Ada apa? Apakah aku berbuat salah lagi?” Ki Selapati tertawa kecil,
kemudian berjalan mendekati pemuda berbaju rompi putih itu.
“Kebetulan sekali kau berada di sini, Pendekar Rajawali Sakti! Nyai Nipah
pasti tak keberatan mengundangmu ke tempatnya untuk membicarakan persoalan
penting yang akan kusampaikan.”
“Dari tadi kau membicarakan persoalan terus. Apa sebenarnya yang akan kau
bicarakan, Selapati?” tanya Nyai Nipah.
“Tak inginkah kau mengundang kami ke tempatmu?” Nyai Nipah bangkit dan
mengajak mereka ke tempatnya.
Sementara ketiga muridnya mengikuti dari belakang. Mereka tiba di suatu tempat
yang agak rendah, dikelilingi pohon-pohon lebat Di dekat kolam yang cukup
luas, terdapat sebuah pondok yang cukup besar. Nyai Nipah mengajak kedua
tamunya ke dalam, dan bersama ketiga muridnya, mereka duduk bersila di ruang
tengah.
“Maaf! Di antara kami guru dan murid tidak ada yang disembunyikan. Aku selalu
mengajari mereka akan hal itu. Jadi kalau ada suatu rahasia yang ingin
dibicarakan, bicaralah di depan kami berempat,” jelas Nyai Nipah.
“Tak apa. Cerita ini perlu juga mereka ketahui,” sahut Ki Selapati.
“Nah, katakanlah! Berita apa yang kau bawa?”
“Begini. Tahukah kau, beberapa hari lalu Perguruan Batu Kumala tertimpa
malapetaka? Banyak murid-muridnya yang binasa. Bahkan ketuanya sendiri, Ki
Satya Dharma, didapati tewas. Dan dua orang tamunya yaitu Ki Patih Meluwa dan
Ki Danur Brata pun tewas di tempat itu....”
“Apa...?!” Nyai Nipah tampak terkejut mendengar berita itu.
“Bukan hanya mereka, tapi serombongan murid-murid dari Perguruan Bangau Sakti
yang berasal dari seberang, binasa semua tanpa ketahuan siapa yang melakukan.
Tapi berat dugaan, pembantaian itu ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi
di Perguruan Batu Kumala.”
“Siapa yang melakukan semua kebiadaban itu?”
“Katanya seseorang yang bernama Tato Begananda.”
“Tato Begananda? Siapa orang berhati iblis itu?” Nyai Nipah mengerutkan dahi.
“Entahlah! Aku pun belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Hanya menurut
beberapa orang yang pernah menyaksikan sepak terjangnya, dia banyak memiliki
anak buah yang cukup tangguh. Selain itu, dia pun memiliki kepandaian tinggi
dan sulit dikalahkan. Orang itu tidak waras, karena ingin menguasai rimba
persilatan dengan cara paksa. Harus ada yang menghentikan kegilaannya, kalau
tak ingin kembali timbul korban,” ujar Ki Selapati.
“Paman, apakah tokoh-tokoh persilatan tak ada yang memikirkan hal ini, dan
bersatu mencegah per-buatannya lebih lanjut?” tanya Rangga.
Ki Selapati tersenyum getir. “Orang bernama Tato Begananda itu cepat atau
lambat akan mendatangi semua tokoh persilatan, dan memerintahkan mereka untuk
mengakuinya sebagai penguasa seluruh jagat. Siapa yang berani menolak, maka
kematianlah yang akan diderita tokoh itu,” jawab Ki Selapati.
“Hm.... Sungguh sadis orang itu!” dengus Rangga geram.
“Guru, orang seperti itu tak perlu diberi hati. Izinkanlah aku menemuinya dan
memberi pelajaran,” kata Wangsa menimpali.
Nyai Nipah mengeluarkan suara tawa di hidung. “Wangsa, tahukah kau bagaimana
kehebatan Ki Satya Dharma, Ki Patih Meluwa dan Ki Danur Brata? Mereka bukan
tokoh sembarangan. Bahkan aku sendiri tak yakin bisa menang, seandainya timbul
pertarungan antara kami. Dengan cara apa kau memberi pelajaran pada orang
bernama Tato Begananda?”
“Eyang Guru, aku memang tak memiliki kepandaian yang hebat, tapi harus ada
orang yang menghentikan sepak terjangnya yang biadab. Kalau tidak, akan
semakin banyak korban yang jatuh. Dan orang itu pun semakin besar kepala.”
“Apa yang kau katakan memang benar, tapi bertindak tanpa memikirkan kemampuan
sendiri, sama artinya dengan perbuatan yang bodoh!”
“Lalu apa yang bisa kita lakukan sekarang?” tanya Dewi seraya memandang
gurunya.
“Ki Selapati, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan lagi?” tanya Nyai
Nipah kepada Ki Selapati, tanpa mempedulikan pertanyaan muridnya.
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi sebagai tokoh golongan lurus, kita
berkewajiban membereskan persoalan ini. Kalau tidak, orang itu akan terus
merajalela. Aku sendiri tak yakin mampu mengalahkannya. Menurut cerita
terakhir yang kudengar, Tato Begananda telah mengobrak-abrik Padepokan
Suryalaga dan membunuh Ki Suratman beserta seluruh murid-muridnya.”
“Apa? Dia pun membunuh tokoh yang jarang mencampuri urusan orang lain itu?!”
Ki Selapati mengangguk.
“Keterlaluan! Orang itu betul-betul tak bisa dibiarkan!” geram Nyai Nipah.
“Tato Begananda tak ingin ada orang lain yang menyainginya. Begitu mendengar
Ki Suratman termasuk salah satu tokoh persilatan yang disegani, dia langsung
mendatanginya.”
“Hm.... Orang itu benar-benar berhati iblis. Aku jadi ingin melihat, bagaimana
tampangnya!” geram Rangga.
“Apakah kau bermaksud turun tangan...?” tanya Ki Selapati.
“Kemampuan yang kumiliki memang tak seberapa, Ki. Tapi, biarlah ku coba
menghadapinya!”
“Syukurlah bila kau bermaksud demikian. Hm.... Bila Pendekar Rajawali Sakti
yang akan menghadapinya, dia bisa berbuat apa?!”
“Jangan memujiku begitu rupa, Ki Selapati. Aku sama dengan kalian, yang masih
memiliki banyak kekurangan.”
“Tapi selama ini, siapa yang meragukan kemampuan yang kau miliki? Banyak sudah
tokoh-tokoh sesat berilmu tinggi jatuh di tanganmu. Dan sekarang banyak tokoh
persilatan yang menyandarkan harapan di tanganmu untuk membereskan Tato
Begananda.”
“Ah, aku hanya berusaha. Kalaupun nanti orang itu sadar, itu karena
kesadarannya sendiri dan bukan paksaan dari siapa pun,” sahut Rangga merendah.
“Jangan berharap terlalu banyak, Pendekar Rajawali Sakti. Orang gila seperti
Tato Begananda tak akan pernah berpikir soal itu. Yang ada dalam benaknya,
setiap orang harus menghormati dan mengakuinya sebagai penguasa jagat yang tak
terkalahkan!”
Nyai Nipah baru saja akan menimpali ketika terdengar suara menggelegar dari
luar.
“Orang-orang yang berada di dalam pondok, keluarlah kalian!”
“Heh...?!” Ketiga murid Nyai Nipah cepat bangkit, disusul perempuan tua itu,
Ki Selapati, lalu Pendekar Rajawali Sakti.
Pada jarak sepuluh tombak di muka rumah, terlihat lebih dari dua puluh orang
mengepung tempat ini. Orang-orang itu hanya mengenakan cawat yang terbuat dari
kulit binatang. Seluruh muka dan tubuh mereka penuh coreng-moreng
berwarna-warni dengan rambut acak-acakan. Sorot mata mereka tajam dan liar.
Mulai dari ikat kepala dan seluruh tubuh mereka digantungi kalung yang terbuat
dari tulang-belulang manusia. Dan pada setiap tangan mereka tergenggam sebilah
parang panjang yang tajam berkilat.
Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh
tahun. Dia berbeda dengan yang lain. Wajahnya tampan, namun sorot matanya amat
menakutkan. Rambutnya panjang digelung ke belakang, dan memakai baju yang
terbuat dari kulit binatang. Di pinggang dan lehernya terdapat banyak
tulang-belulang manusia yang diuntai menjadi kalung. Orang itu pun memiliki
sebilah parang panjang yang terselip di pinggangnya. Melihat gerak-geriknya,
agaknya orang ini adalah pemimpin gerombolan itu.
“Siapa di antara kalian yang bernama Nyai Nipah? Aku, Tato Begananda,
memerintahkanmu untuk tunduk dan berlutut di hadapanku. Dan mengakuiku sebagai
penguasa jagat dan rimba persilatan!” ujar orang itu tegas sambil menatap
tajam ke arah mereka.
***
Emoticon