SATU
“Hiya! Hiyaaa...!”
Pagi yang seharusnya enak dinikmati, seketika jadi riuh oleh teriakan
seseorang yang menggebah kudanya dengan kecepatan sangat tinggi bagai dikejar
setan. Debu membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat Burung-burung yang tadi berkicauan seketika berhamburan terbang,
terkejut oleh derap kaki kuda yang demikian cepat berpacu.
“Hiyaaa! Yeaaah...!”
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu terus memacu kudanya, melintasi jalan tanah berbatu. Sama sekali
tidak dipedulikan binatang-binatang yang berhamburan ketakutan. Kudanya terus
dipacu dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan kudanya yang sudah
mendengus-dengus kelelahan tidak dipedulikan lagi.
Begitu penunggang kuda itu baru saja menyeberangi sebuah sungai kecil yang
dangkal dan penuh kerikil, mendadak saja...
Wusss!
“Heh...?! Hup!”
Cepat sekali pemuda itu melompat dari punggung kudanya yang masih terus
berlari kencang, begitu matanya menangkap seleret cahaya keperakan berkelebat
begitu cepat menuju ke arahnya. Dan benda bercahaya keperakan itu langsung
menyambar leher kuda yang masih berlari. Binatang itu langsung meringkik keras
sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
“Hieeegkh...!”
Bruk!
Keras sekali kuda berbulu coklat tua itu jatuh menghantam tanah berbatu di
tepian sungai kecil ini. Hanya sebentar saja binatang itu menggelepar dengan
leher terkoyak sangat lebar, hingga hampir membuatnya buntung. Darah langsung
mengucur deras sekali, membasahi bebatuan di tepi sungai ini. Sebentar
kemudian, kuda itu meregang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
Sementara, pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tadi berhasil menghindari
kilatan cahaya keperakan, sudah menjejakkan kakinya di tanah, agak jauh dari
tepi sungai. Kakinya berdiri tegak dengan tangan kanan kini sudah menggenggam
sebilah golok berkilatan yang menandakan ketajamannya. Kedua bola matanya
terlihat nyalang, memandang tajam ke sekitarnya. Tapi, sedikit pun tak
terlihat tanda-tanda ada orang lain di sekitar tepian sungai kecil ini.
“Keparat..!” geram pemuda itu. Wajahnya tampak memerah, melihat kudanya sudah
tewas dengan leher terkoyak hampir buntung.
Beberapa saat pemuda itu masih mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tapi,
tidak juga terlihat tanda-tanda adanya orang lain di sekitar sini. Angin masih
tetap bertiup perlahan, menebarkan dedaunan kering yang jatuh dari dahannya.
Sementara, matahari masih tetap bersinar semakin terik di pagi ini. Perlahan
pemuda berbaju hijau muda yang agak ketat itu menggeser kedua kakinya ke
kanan.
Sedangkan goloknya yang berkilatan tajam, tetap terlintang di depan dada.
“Keluar kau, Pengecut...!” teriak pemuda itu lantang. “Tunjukkan dirimu...!”
Tapi, teriakan pemuda itu tidak mendapat jawaban sedikit pun. Hanya gema
suaranya saja yang terdengar. Sementara, kakinya terus digeser perlahan-lahan
menghampiri kudanya. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja....
Slap!
“Ups...!”
Bettt!
Tring!
“Ikh...!”
Pemuda itu terpekik kecil. Dan begitu goloknya dikebutkan, terlihat secercah
cahaya keperakan berkelebat cepat bagai kilat hendak menyambar tubuhnya. Cepat
dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Tapi, tubuhnya jadi
agak limbung begitu kakinya menjejak tanah berbatu di tepi sungai kecil ini.
“Setan...!” geram pemuda itu dengan bibir meringis.
Pemuda itu mengurut tangan kanannya yang menggenggam golok dengan tangan kiri.
Rasanya goloknya tadi seperti habis menghantam sebuah gada baja yang amat
keras ketika menangkis kilatan cahaya keperakan yang hampir menyambar
tubuhnya. Dan saat itu juga, kedua bola matanya terbeliak lebar. Ternyata
goloknya terpotong menjadi dua bagian!
Entah ke mana terpentalnya ujung potongan golok itu. Dan belum juga dia bisa
berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang begitu
keras menggelegar dan memekakkan telinga. Tawa sangat keras dan menggema
bagaikan datang dari segala penjuru mata angin itu membuat jantung pemuda ini
jadi bergetar seketika.
“Ugkh...!”
Sedikit keluhan terdengar. Dan pemuda berwajah cukup tampan itu segera
membuang goloknya yang sudah patah. Telinganya terasa sakit sekali saat
mendengar tawa keras dan menggelegar ini. Telinganya segera ditutup dengan
telapak tangan, tapi suara tawa itu semakin terdengar keras dan menyakitkan
sekali.
Keringat mulai menitik di seluruh wajah dan tubuhnya. Perlahan namun pasti,
wajah pemuda itu mulai terlihat memucat. Tubuhnya pun mulai menggeletar.
Sementara, dari lubang hidungnya terlihat darah mengalir. Kemudian dari sudut
bibir, dan dari sela-sela jari tangan yang menutup telinga, darah mengalir
semakin banyak.
“Aaakh...!”
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar. Tampak pemuda itu jatuh
menggelepar di atas tanah berbatu kerikil di tepi sungai kecil ini. Tubuhnya
terus menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit, bagaikan tengah dikerubungi
puluhan kala berbisa. Darah tampak semakin banyak mengalir dari hidung, mulut,
dan telinganya. Bahkan, juga dari kedua bola matanya!
“Ha ha ha...!”
Sementara, suara tawa itu terus terdengar semakin keras. Bahkan daun-daun
pepohonan di sekitar tepi sungai itu pun sudah terlihat berguguran. Dan tawa
yang semakin keras itu seakan-akan menghentikan hembusan angin. Sedangkan
pemuda berbaju hijau muda agak ketat itu terus menggelepar, dan menjerit-jerit
kesakitan. Bahkan dari pori-pori di seluruh tubuhnya, sudah mengeluarkan
keringat darah.
“Aaa...!”
Sebuah jeritan sangat panjang dan melengking tinggi, mengakhiri gerakan tubuh
pemuda itu yang menggeliat-geliat Dan tubuhnya seketika mengejang, lalu diam
tak bergerak-gerak lagi. Kaku. Kedua bola matanya tampak terbeliak lebar, dan
mulutnya ternganga. Namun, darah masih terus mengalir dari lubang hidung,
mulut, dan telinganya.
Saat itu juga, suara tawa yang sangat keras dan menggelegar tadi terhenti. Dan
keadaan di tepi sungai ini pun jadi sunyi. Sementara, pemuda itu tetap
tergeletak dengan tubuh meregang kaku. Sedikit pun tak terlihat adanya gerakan
yang menandakan kalau masih hidup. Pemuda itu pasti sudah tewas, akibat
terserang suara tawa yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Cukup lama juga keadaan di tepi sungai itu sunyi senyap, bagai tidak pernah
terjadi apa-apa.
Dan kesunyian itu tiba-tiba saja kembali dipecahkan suara derap kaki kuda yang
dipacu cepat dari arah seberang sungai. Tak berapa lama kemudian, terlihat
tiga penunggang kuda berpacu cepat sekali menyeberangi sungai kecil yang
berair dangkal ini.
“Hooop...!”
“Hup!”
Mereka segera menghentikan kudanya. Langsung mereka berlompatan turun begitu
dekat dengan pemuda berbaju hijau muda yang tergeletak tak bernyawa lagi,
tidak jauh dari kudanya yang juga sudah tewas dengan leher hampir buntung.
“Kakang...!”
Tiba-tiba terdengar salah seorang penunggang kuda. Sebentar kemudian, terlihat
seorang gadis bertubuh kecil yang terbungkus baju ketat warna biru tua tengah
berlari menghampiri pemuda itu setelah turun dari punggung kudanya. Tapi belum
juga mendekat, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar dan berbulu mencekal
pergelangan tangannya.
“Jangan mendekat, Lastri!”
“Tapi, Paman...,” sergah gadis yang ternyata bernama Lastri, hendak
memberontak.
Namun saat sepasang mata merah menyorot tajam milik laki-laki yang dipanggil
paman itu memandanginya, Lastri langsung terdiam. Dan wajahnya langsung
berpaling ke arah pemuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dengan tubuh
meregang kaku. Sementara, dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan
berotot yang mengapit gadis cantik bertubuh kecil bernama Lastri ini, juga
memandangi tubuh pemuda berbaju hijau yang tergeletak tak bernyawa.
“Kalian diam saja di sini dulu. Aku akan memeriksa,” ujar salah seorang
laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot yang terbungkus baju hitam. Dialah
yang tadi mencekal tangan Lastri agar tidak mendekati pemuda yang tergeletak
tak bernyawa itu.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki ini langsung saja mengayunkan kakinya
mendekati pemuda itu. Namun ayunan kakinya terhenti setelah tinggal selangkah
lagi. Sebentar diamatinya mayat itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki,
kemudian tubuhnya bergerak membungkuk dan berjongkok. Beberapa saat,
diperiksanya tubuh mayat pemuda itu, kemudian kepalanya berpaling ke belakang.
“Ke sini kalian...!” seru laki-laki itu memanggil.
Lastri dan seorang laki-laki lainnya yang berbaju merah menyala, bergegas
menghampiri, begitu diperbolehkan. Dan gadis itu langsung menghambur memeluk
mayat pemuda yang tergeletak berlumuran darah di wajahnya itu. Tangisnya
seketika pecah menggerung-gerung. Sementara, dua laki-laki berusia hampir
separuh baya yang tadi mendampinginya hanya bisa berdiri memandangi tanpa bisa
berkatakata.
Agak lama juga Lastri menangisi mayat pemuda itu. Kemudian air matanya diseka
dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kepalanya terangkat ke atas, setelah
tangisannya benar-benar terhenti. Namun sesekali masih juga terdengar isaknya.
Ditatapnya dua orang laki-laki berusia separuh baya yang masih berdiri sekitar
tiga langkah lagi di depannya.
“Aku akan membawa Kakang Barada pulang,” tegas Lastri dengan suara tertahan
dan terisak.
“Lastri..., ingat pesan ayahmu,” ujar laki-laki berbaju warna merah menyala.
“Aku tidak peduli!” sentak Lastri langsung bangkit berdiri. “Kali ini, Paman
tidak bisa menghalangiku lagi. Aku akan membawa pulang Kakang Barada, walaupun
sudah jadi mayat!”
Kedua laki-laki berusia hampir separuh baya itu hanya saling melemparkan
pandangan satu sama lain. Kemudian, mereka sama-sama menatap gadis cantik
bertubuh kecil di depannya. Gadis itu tampak masih terlihat garang, walaupun
sesekali masih terdengar isak tangisnya yang tertahan. Seakan-akan dia tidak
ingin tangisannya dilihat kedua laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga, hatinya
berusaha tegar.
“Paman Gorak...,” panggil Lastri, seraya menatap laki-laki yang berbaju warna
merah menyala.
Tapi, laki-laki berbaju merah yang ternyata bernama Gorak itu hanya membisu
saja. Malah, dibalasnya tatapan itu dengan sinar mata yang sulit diartikan.
Lastri langsung berpaling menatap seorang lagi yang berbaju hitam pekat.
“Paman Andaka...”
Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang dipanggil Paman Andaka hanya mengangkat
bahu sedikit. Matanya malah melirik Paman Gorak yang berada di sebelah
kirinya. Sedangkan yang ditatap, seperti tidak tahu. Malah, dipandanginya
mayat Barada yang masih tergeletak kaku tak bernyawa lagi.
“Kurasa, tidak ada salahnya kita membawa Barada, Kakang Gorak,” kata Paman
Andaka.
“Aku hanya tidak ingin melanggar amanat,” sahut Paman Gorak terdengar pelan
suaranya, seakan ragu-ragu untuk memutuskan.
“Paman berdua tidak perlu ragu dan takut. Biar aku yang bertanggung jawab pada
ayah,” selak Lastri.
“Lastri! Aku hanya mengingatkan pesan ayahmu saja. Kita boleh membawa pulang
Barada, kalau memang masih hidup. Tapi kalau ditemukan sudah meninggal, ayahmu
tidak mengizinkannya membawa pulang,” sanggah Paman Gorak.
“Ayah memang kejam...!” desis Lastri dengan mata merembang berkaca-kaca.
“Sudahlah, Lastri. Relakan saja kepergiannya. Sebaiknya, secepatnya kita
tinggalkan tempat ini. Tidak ada gunanya lagi berlama-lama di sini,” bujuk
Paman Gorak lagi.
“Tidak, Paman...,” desis Lastri seraya menggeleng. “Aku tetap akan membawa
Kakang Barada pulang.”
Tanpa menghiraukan keberatan kedua pamannya, Lastri segera mengangkat tubuh
Barada yang sudah kaku. Tapi tubuhnya yang kecil tentu saja mengalami
kesulitan, karena tubuh Barada dua kali lebih besar dibanding dengannya.
Melihat kegigihan gadis itu, Paman Andaka jadi tidak tega juga. Segera kakinya
melangkah menghampiri. Diangkatnya tubuh Barada, lalu diletakkan di pundaknya.
Sebentar ditatapnya Paman Gorak, kemudian berjalan menghampiri kudanya. Mayat
Barada diletakkan di punggung kuda yang ditungganginya. Sementara, Lastri
sudah naik ke punggung kudanya sendiri. Paman Andaka segera melompat naik ke
punggung kudanya. Dan mayat Barada diletakkan tengkurap di depannya.
Sementara, Paman Gorak masih tetap berdiri memandangi, tanpa dapat berbuat
apa-apa.
Sedikit Paman Gorak mengangkat pundaknya, kemudian melangkah menghampiri
kudanya. Dengan gerakan ringan dan indah, dia melompat naik ke punggung
kudanya. Dan sebentar kemudian, ketiga orang itu sudah bergerak meninggalkan
tempat ini tanpa bicara lagi. Mereka terus menjalankan kudanya perlahan-lahan
meninggalkan tepian sungai kecil yang berair dangkal ini.
***
Di dalam kamarnya yang berukuran luas, Lastri berdiri mematung di depan
jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Saat itu, matahari sudah terlihat
condong ke barat. Sinarnya yang semula garang terasa begitu terik menyengat
kulit, kini terasa begitu lembut. Sejak penguburan Barada, Lastri tidak keluar
dari kamarnya ini. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat itu. Namun,
pandangan matanya terlihat lurus ke depan dan sangat kosong.
Tok, tok, tok...!
“Oh...?!”
Lastri tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dan baru
saja tubuhnya berputar berbalik, pintu kamar itu sudah terbuka. Lalu, muncul
seorang laki-laki berusia hampir separuh baya. Dia mengenakan baju warna merah
menyala yang agak ketat Dan tanpa dipersilakan lagi, kakinya melangkah masuk
ke kamar, dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Sementara, Lastri masih tetap
berdiri membelakangi jendela. Laki-laki yang tak Iain Paman Gorak itu langsung
duduk di kursi kayu, tidak jauh dari jendela.
“Sejak tadi kau tidak keluar dari kamar, Lastri. Kenapa...?” tegur Paman Gorak
dengan suara terdengar dibuat lembut
“Hhh...”
Lastri hanya menghembuskan napasnya saja panjang-panjang. Terasa begitu berat
hembusannya. Dan kini, kakinya melangkah agak gontai mendekati pembaringan.
Lastri kemudian duduk di tepi pembaringan yang berukuran cukup besar ini.
Pandangan matanya kembali tertuju ke luar jendela. Begitu redup sinar matanya,
seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Sementara, Paman Gorak terus
memandangi. Sepertinya, isi hati gadis ini ingin diselaminya.
“Kau masih memikirkan kematian Barada, Lastri..?” tebak Paman Gorak.
Lastri tidak langsung menjawab, tapi malah menatap laki-laki berusia hampir
separuh baya yang masih kelihatan cukup tampan. Rasanya, tidak pantas kalau
usianya sudah berkepala empat
Sementara itu yang dipandangi malah balas menatap dengan sinar mata yang
memancarkan cahaya menyelidik. Hal ini membuat Lastri harus kembali
menghembuskan napas panjang. Matanya kini memandang ke luar jendela lagi.
“Kau tahu, Lastri. Bukan hanya aku dan paman-pamanmu saja yang sudah
memperingatkan, tapi juga ayahmu. Barada itu sudah diperingatkan dengan keras,
tapi tidak pernah mau mendengarkan. Keinginannya yang tidak masuk akal itu
memang tak ingin dirubahnya. Jadi, aku rasa tidak ada gunanya menyesali
kematiannya, Lastri,” kata Paman Gorak.
“Tapi, Paman...,” suara Lastri terputus.
“Aku tahu, Lastri. Aku juga bisa merasakan apa yang sedang kau rasakan
sekarang ini. Tapi, itu bukan alasan untuk terus-menerus memikirkannya. Bahkan
sampai mengurung diri dalam kamar ini. Barada memang baik. Aku juga
menyayanginya. Bahkan ayahmu juga menyayanginya. Tapi sifatnya keras kepala.
Sampai-sampai peringatan kami tidak ada yang masuk ke telinganya. Dia sudah
memilih jalan hidupnya sendiri, Lastri. Kau ingat, apa yang diucapkannya... ?
“
Lastri terdiam.
“Dia rela tidak diakui lagi di sini, asalkan bisa....”
“Sudah, Paman...!” sentak Lastri memutuskan ucapan pamannya.
“Maaf! Aku hanya ingin mengingatkanmu saja, Lastri,” ucap Paman Gorak.
“Terima kasih. Tapi, kuminta Paman tidak menggangguku dulu. Aku ingin
sendiri,” kata Lastri halus.
“Yaaah...!”
Sambil mendesah panjang, Paman Gorak bangkit berdiri. Kemudian, kakinya
melangkah keluar dari kamar ini tanpa berkata-kata lagi sedikit pun juga.
Sempat juga wajahnya berpaling menatap Lastri yang masih duduk di tepi
pembaringan, sebelum menutup pintu kamar kembali. Sementara, Lastri tetap
duduk di tepi pembaringan dengan pandangan kosong, tertuju lurus ke luar
jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar.
“Kakang Barada.... Mengapa kau tidak mau mematuhi kata-kata ayah...? Mengapa
kau malah memilih jalan seperti itu?” desah Lastri menggumam, bertanya-tanya
pada diri sendiri.
Memang di dalam hati kecilnya, Lastri sangat menyayangkan sikap Barada.
padahal, bibit-bibit cinta sudah mulai tumbuh di hatinya. Dan bukan hanya
Paman Gorak saja yang tahu, tapi juga Paman Andaka. Bahkan, ayahnya sendiri
juga sudah tahu. Hanya saja, mereka belum ada yang berbicara tentang hubungan
itu. Sedangkan Lastri sendiri belum bisa membuka penuh pintu hatinya pada
Barada, walaupun sudah sering kali terlihat bersama-sama. Mereka memang
sama-sama belum bisa mengungkapkan isi hati masing-masing.
Tapi kini, semuanya sudah terlambat Barada sekarang sudah mengisi lubang
kuburnya. Kini Lastri hanya bisa menghembuskan napas panjang-panjang. Perlahan
dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan pembaringannya. Namun, ayunan
kakinya langsung terhenti dengan pandangan tertuju lurus ke pintu yang
tertutup rapat.
“Uh...!”
Sedikit gadis itu mengeluh, kemudian kembali menghampiri pembaringan. Tubuhnya
lalu dihempaskan di sana. Lastri terbaring menelentang dengan kedua tangan
terlipat di bawah kepala. Tatapan matanya menerawang jauh ke langit-langit
kamarnya. Bayangan-bayangan saat bersama Barada kembali terlintas di pelupuk
matanya. Terasa begitu manis. Tapi waktu itu dia tidak tahu, dan belum bisa
membedakannya. Dan kini, barulah terasa keindahan dan kemanisannya. Namun
cepat-cepat disadari kalau semua itu tidak akan mungkin bisa terulang kembali,
karena Barada sudah pergi untuk selama-lamanya.
“Huuuh...!”
Kembali gadis itu mengeluh panjang. Gadis itu bangkit dari pembaringannya, dan
terus saja melangkah keluar dari kamar ini. Dibiarkannya pintu tetap terbuka
lebar, dan terus berjalan dengan langkah lebar-lebar tanpa arah tujuan pasti.
***
DUA
Glarrr...! Ledakan keras menggelegar, tiba-tiba saja terdengar begitu dahsyat
mengejutkan. Lastri yang saat itu sedang tertidur lelap di pembaringan
kamarnya, seketika terjaga. Ledakan itu memang sangat dahsyat menggelegar,
sampai menggetarkan seluruh dinding kamarnya. Cepat gadis itu melompat bangkit
dari pembaringan.
“Heh...?! Api...,” desis Lastri begitu terlihat semburan cahaya api dari balik
jendela kamarnya yang tertutup rapat.
Bergegas gadis bertubuh kecil itu melompat menghampiri jendela, dan langsung
dibukanya lebar-lebar. Saat itu terdengar teriakan-teriakan yang bercampur
jeritan-jeritan melengking tinggi, serta denting senjata beradu. Kedua bola
mata gadis itu jadi terbeliak lebar, begitu melihat bangunan di belakang
bangunan rumah yang ditempatinya ini sudah terbakar hampir seluruhnya.
Sementara tidak jauh dari bangunan yang terbakar, terlihat orang-orang tengah
bertarung sengit sekali. Lastri tidak tahu, siapa yang bertarung melawan
murid-murid ayahnya. Pandangan matanya kemudian menangkap kelebatan bayangan
tubuh Paman Gorak dan Paman Andaka. Mereka berlompatan cepat sekali. Tapi,
Lastri sama sekali tidak melihat adanya orang yang sedang dikeroyok. Yang
terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya keperakan yang berkelebat begitu cepat
Dan pada saat itu, tiba-tiba saja secercah cahaya kilat keperakan melesat
begitu cepat ke arah jendela kamar Lastri yang terbuka lebar.
“Heh...?!”
Kedua bola mata Lastri jadi terbeliak lebar. Dan seketika itu juga, jantungnya
terasa seakan jadi berhenti berdetak. Tapi belum juga cahaya kilat keperakan
itu mendekat, dia sudah cepat sekali melompat keluar. Dan tepat di saat itu,
cahaya kilat keperakan tadi menerobos masuk ke dalam. Dan....
Glarrr!
“Oh...?!”
Ledakan dahsyat yang terdengar menggelegar, membuat gadis itu tersentak kaget
setengah mati. Kedua bola matanya jadi semakin lebar terbeliak, melihat
kamarnya hancur berantakan. Dan belum juga rasa terkejutnya hilang, kembali
hatinya dikejutkan oleh sebuah bayangan yang begitu cepat berkelebat bagai
hendak menyambar tubuhnya.
“Hup! Hiyaaat..!”
Cepat sekali Lastri melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali untuk
menghindari terjangan bayangan yang berkelebat bagai kilat. Manis sekali
kakinya menjejak kembali di tanah. Namun belum juga sempat menyeimbangkan
tubuhnya, kembali sebuah bayangan berkelebat begitu cepat ke arahnya. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Lastri tidak sempat lagi berkelit Bayangan itu datang begitu cepat, hingga
tidak ada kesempatan sedikit pun untuk menghindarinya. Tahu-tahu, tubuhnya
sudah terpental jauh ke belakang, setelah merasakan seperti ada sesuatu yang
keras sekali menghantam.
Brakkk!
Sebuah tembok dari batu seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh kecil
gadis itu. Tampak Lastri menggeliat sambil merintih lirih. Dari mulutnya
keluar darah yang agak kental. Namun hanya sedikit saja gerakan tubuhnya
terlihat, karena sebentar kemudian sudah tak bergerak-gerak lagi.
Saat itu juga, suasana malam jadi sunyi senyap. Tak terdengar lagi suara
teriakan-teriakan pertarungan. Juga tidak lagi terdengar jeritan melengking
menyayat hati. Di bawah siraman cahaya rembulan, terlihat tubuh-tubuh
berlumuran darah bergelimpangan saling tumpang tindih. Entah apa yang terjadi,
mereka semua tewas dengan tubuh begitu mengerikan.
Angin yang bertiup cukup kencang malam ini, menyebarkan bau anyir darah
menggenang yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan. Sementara, api
terlihat semakin berkobar membakar bangunan berukuran besar yang dikelilingi
pagar tembok bagai benteng ini. Tak ada seorang pun yang terlihat bergerak
hidup. Mereka semua tergeletak tak bergerak-gerak lagi, dengan tubuh bersimbah
darah.
Dan pada saat itu, tiba-tiba terlihat sebuah cahaya kilat berkelebat begitu
cepat. Namun cahaya itu lalu lenyap dalam sekejap saja, meninggalkan bangunan
yang terbakar dan tubuh-tubuh bergelimpangan bersimbah darah.
***
Pagi ini terasa begitu tenang. Matahari pun bersinar begitu lembut. Cahayanya
membias keperakan begitu indah dipandang, menyembul dari balik sebuah bukit
yang penuh ditumbuhi pepohonan. Dan kabut juga masih terlihat menyelimuti
sekitar bukit itu. Memang, pemandangan di sekitar bukit ini begitu indah,
bagaikan berada di swargaloka. Begitu indahnya, hingga orang-orang yang sering
melintasi bukit itu menamakannya Bukit Merak.
Dari arah sebelah timur Bukit Merak, terlihat dua orang menunggang kuda. Yang
seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Sekilas gagang pedang
berbentuk kepala burung tampak bertengger di punggungnya. Begitu gagahnya,
apalagi sambil menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sementara di
sebelah kanannya terlihat seorang gadis berparas cantik. Bajunya ketat
berwarna biru muda. Begitu ketatnya, hingga membentuk tubuhnya yang ramping
dan indah dipandang. Dia menunggang kuda putih yang cantik dan bersih. Tampak
sebuah gagang pedang bergagang kepala naga berwarna hitam bertengger di
punggungnya. Sedangkan di balik ikat pinggangnya yang berwarna kuning
keemasan, terselip sebuah kipas putih keperakan yang ujung-ujungnya berbentuk
runcing bagai mata anak panah.
Kedua penunggang kuda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu perlahan-lahan
menjalankan kudanya. Seakan-akan mereka tengah menikmati keindahan alam di
sekitar Bukit Merak ini. Mereka adalah para pendekar muda yang dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke depan.
Rangga langsung mengarahkan pandangannya, sejajar dengan jari telunjuk Pandan
Wangi yang menjulur lurus ke depan. Tampak dari pucuk-pucuk pepohonan terlihat
asap hitam mengepul ke angkasa. Sepertinya telah terjadi kebakaran di dalam
hutan Bukit Merak ini. Dan entah kenapa, tanpa disadari kedua pendekar muda
yang julukannya sudah kondang itu menghentikan langkah kuda masing-masing.
Pandangan mereka tetap tertuju lurus ke depan, menatap asap hitam yang terus
mengepul, walaupun tidak begitu banyak.
“Kakang! Bukankah di kaki bukit ini letak Desa Bangkalan...?” kata Pandan
Wangi, seakan-akan ingin memastikan dugaannya.
“Hm..., benar,” sahut Rangga, terdengar menggumam suaranya.
“Jangan-jangan..., telah terjadi sesuatu di sana, kakang,” kata Pandan Wangi
menduga lagi.
Rangga berpaling sedikit, menatap si Kipas Maut sebentar. Kemudian
pandangannya kembali dialihkan ke depan. Memang asap hitam yang mengepul itu
seperti berasal dari Desa Bangkalan yang berada di kaki Bukit Merak ini. Dan
sejak tadi pun, Rangga sudah menduga kalau telah terjadi sesuatu di sana.
“Ayo kita ke sana, Pandan,” ajak Rangga.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Kedua pendekar muda itu segera menggebah kudanya menuju Desa Bangkalan di kaki
Bukit Merak ini. Mereka berpacu cepat, menembus hutan yang tidak begitu lebat
di sekitar Bukit Merak ini
Rangga terus memacu cepat kudanya, hingga membuat Pandan Wangi tertinggal di
belakang. Memang, tidak mungkin bagi kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut
untuk mengimbangi kecepatan lari kuda hitam yang bemama Dewa Bayu. Dan kuda
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu memang bukanlah kuda sembarangan. Tidak
ada seekor kuda pun di dunia ini yang bisa menyamai kecepatan larinya. Maka
tidak heran kalau dalam waktu sebentar saja, Pandan Wangi sudah tertinggal
jauh di belakang.
“Hiyaaa! Hiyaaa...!”
Pandan Wangi terus saja menggebah kuda putihnya agar berlari lebih cepat lagi.
Tapi karena jalan yang mulai menurun dan penuh pepohonan, kudanya tidak bisa
berlari lebih cepat lagi. Sementara, gadis itu semakin sibuk mengendalikan
tali kekang kudanya yang berlapis emas ini. Sesekali terdengar ringkikan kuda,
jika Pandan Wangi menghentikan tali kekangnya.
“Hiyaaa...!”
Sementara itu, Rangga yang berada jauh di depan sudah sampai di kaki Bukit
Merak ini. Dan lari kudanya segera diperlambat begitu sampai di batas sebuah
desa yang dikenal sebagai Desa Bangkalan. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan
kudanya, lalu melompat turun.
“Hup!”
Begitu indah dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat melompat turun
dari punggung kudanya. Dan memang, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah
mencapai tingkat sempurna. Hingga, sedikit pun tidak menimbulkan suara saat
kakinya menjejak tanah yang sedikit ditumbuhi rumput. Rangga berdiri tegak di
depan kudanya. Pandangannya terlihat begitu tajam mengamati sekitarnya yang
begitu sunyi. Hingga desir angin yang halus pun terdengar sangat jelas di
telinganya.
Dan baru saja kaki Pendekar Rajawali Sakti terayun, dari arah belakangnya
terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat Rangga menghentikan
langkah kakinya, dan berpaling ke belakang. Terlihat Pandan Wangi masih memacu
kuda putihnya dengan cepat. Sementara, debu yang mengepul ke udara tampak
seperti mengikutinya.
“Hooop...!”
Kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut itu meringkik keras, begitu tali
kekangnya ditarik ke belakang. Dan begitu kedua kaki depannya hendak terangkat
naik, Pandan Wangi sudah lebih cepat melompat turun. Gadis itu langsung saja
menjejakkan kakinya di samping Pendekar Rajawali Sakti.
“Sepi, Kakang...,” desah Pandan Wangi dengan suara terdengar menggumam pelan.
“Desa ini memang selalu sepi, karena letaknya sangat jauh dari kota. Dan lagi
sangat terpencil,” sahut Rangga.
“Tapi tidak seperti biasanya, Kakang. Tidak ada seorang pun yang terlihat,”
sanggah Pandan Wangi lagi, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit
Dan memang, tidak terlihat seorang pun di desa ini. Rumah-rumah yang berdiri
bagai tidak dihuni lagi. Bahkan semua pintu dan jendelanya juga dalam keadaan
tertutup rapat Kedua pendekar muda itu sama-sama mengarahkan pandangan ke
ujung jalan desa ini. Tampak asap hitam yang terlihat tadi berasal dari dalam
sebuah bangunan yang dikelilingi tembok batu bagai sebuah benteng kecil di
tengah-tengah desa yang terpencil ini.
“Kakang, lihat..!” seru Pandan Wangi tiba-tiba.
Rangga langsung mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pandan Wangi.
“Oh...?!”
Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, begitu matanya menangkap sepasang
kaki menyembul dari dalam parit di sebelah kanan jalan ini. Bergegas dia
menghampiri. Kudanya ditinggalkan bersama Pandan Wangi.
“Oh...?!”
Rangga semakin bertambah terkejut, begitu sampai. Di dalam parit itu tampak
sesosok tubuh tergeletak berlumuran darah tak bernyawa lagi. Hampir seluruh
tubuhnya rusak, seperti terkena sabetan senjata tajam. Saat itu, Pandan Wangi
datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda yang ditinggalkan Pendekar
Rajawali Sakti.
“Pasti telah terjadi sesuatu di sini, Kakang,” ujar Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja. Dikeluarkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu dari
dalam parit diletakkannya di tempat yang agak teduh. Sementara, Pandan Wangi
hanya memperhatikan saja, kemudian beralih pada keadaan sekeliling yang masih
tetap terlihat begitu sunyi. Rangga menghampiri gadis itu kembali, setelah
meletakkan mayat ke tempat yang lebih nyaman. Pandan Wangi hanya melirik
sedikit pada pemuda tampan yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Kita memang tidak mengenal satu orang pun di desa ini, Kakang. Tapi kalau
terjadi sesuatu, rasanya sulit untuk berpangku tangan saja,” tegas Pandan
Wangi lagi, masih terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti di
sebelahnya.
Tapi, Rangga masih saja diam dengan bibir terkatup rapat. Malah kepalanya
terlihat bergerak sedikit ke kiri, lalu agak miring ke kanan. Pandan Wangi
yang sejak tadi memperhatikan, langsung diam tidak bicara lagi. Padahal, tadi
mulutnya sudah dibuka hendak bicara. Namun melihat gerakan-gerakan kecil
kepala Pendekar Rajawali Sakti, gadis itu jadi terdiam. Dia tahu, saat ini
Rangga tengah mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Ilmu yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti memang bisa membedakan dan
memilah-milah suara. Hingga, dia bisa memilih suara yang diinginkan untuk
didengar dengan lebih jelas lagi. Agak lama juga Rangga terdiam mengerahkan
aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Kini perlahan kepalanya berpaling menatap
Pandan Wangi yang sejak tadi tidak lepas memperhatikannya.
“Ada yang kau dapatkan, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.
“Tidak...,” sahut Rangga seraya menggelengkan kepala sedikit
“Tidak ada suara manusia satu pun juga...?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin
memastikan.
Rangga menggelengkan kepala saja, menjawab pertanyaan si Kipas Maut
“Jadi...?” suara Pandan Wangi terdengar terputus.
“Aku tidak tahu, Pandan. Tapi aku tidak menemukan satu kehidupan pun di sini.
Desa Bangkalan ini seperti sudah ditinggalkan seluruh penduduknya,” ujar
Rangga dengan suara pelan dan agak mendesah.
“Aneh.... Kenapa mereka pergi meninggalkan desa ini, Kakang?” tanya Pandan
Wangi, seperti untuk diri sendiri.
Dan Rangga tidak bisa menjawab, kecuali hanya diam membisu. Perlahan kakinya
bergerak terayun menyusuri jalan desa yang berdebu ini Pandan Wangi mengikuti,
dan menjajarkan ayunan kakinya di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka berjalan tanpa berbicara lagi. Jadi mata mereka terus mengamati keadaan
sekeliling.
Dan ayunan langkah kaki kedua pendekar muda itu terhenti setelah sampai di
depan pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tampak
tebal. Mereka mengamati bangunan yang dikelilingi tembok pagar yang cukup
tinggi bagai sebuah benteng ini. Sementara asap yang terlihat masih saja
mengepul, walaupun tidak setebal tadi.
“Kau di sini saja dulu, Pandan,” ujar Rangga.
“Mau ke mana kau, Kakang?” tanya Pandan Wangi cepat-cepat
“Aku ingin lihat ke dalam sebentar,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat ke atas. Gerakannya terlihat
sangat ringan bagai segumpal kapas tertiup angin. Dan dengan manis sekali,
kedua kakinya menjejak bagian atas tembok ini Sementara, Pandan Wangi terus
memandangi sambil memegangi tali kekang kuda-kuda mereka berdua.
Tapi, hanya sebentar saja Rangga berada di atas pagar tembok ini, karena
sebentar kemudian sudah kembali melompat turun. Tanpa menimbulan suara sedikit
pun juga, kakinya kembali menjejak tanah, tepat sekitar dua langkah lagi di
depan Pandan Wangi.
“Ada apa di dalam sana, Kakang?” Pandan Wangi langsung saja menyambut dengan
pertanyaan.
“Bangunan di dalam sudah hancur terbakar. Dan banyak mayat di sana,” sahut
Rangga.
“Oh...?! Apa yang terjadi...?” tanya Pandan Wangi agak terkesiap.
“Entahlah, Pandan,” sahut Rangga seraya mengangkat pundak sedikit. “Kau ingin
melihat ke dalam?”
“Aku rasa tidak ada salahnya, Kakang. Barangkali saja masih ada orang yang
hidup di dalam sana,” sahut Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sedikit Kemudian.... “Hup!”
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas, dan tahu-tahu sudah
kembali hinggap di atas dinding tembok batu ini. Tapi sebentar kemudian pemuda
itu sudah melompat turun ke dalam. Sementara, Pandan Wangi menuntun kudanya
mendekati pintu yang sangat besar dari kayu jati tebal ini. Dan begitu dekat,
pintu itu bergerak terbuka dengan memperdengarkan suara berderit menggiris
hati.
Pandan Wangi terus saja melangkah masuk. Namun ayunan kakinya dihentikan
setelah sampai di samping Rangga. Agak terkesiap juga hati gadis itu melihat
bangunan di dalam tembok bagian benteng ini sudah hangus terbakar. Bahkan
hampir tak tersisa lagi. Sementara di sekitar puing-puing bangunan yang
menghitam hangus itu terlihat puluhan mayat bergelimpangan, dengan tubuh
berlumuran darah kering.
Bau anyir darah langsung menyeruak, merasuk ke dalam hidung. Pandan Wangi
menghampiri salah satu mayat yang tergeletak tidak seberapa jauh darinya.
Sebentar diperhatikannya keadaan tubuh orang itu. Beberapa luka seperti
terbabat pedang, terlihat di tubuhnya yang berlumuran darah mengering. Gadis
itu kembali menghampiri Rangga yang masih saja belum menggerakkan kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, seakan-akan
tengah ada yang dicarinya. Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang
sudah berada kembali di sebelah kanannya.
“Sepertinya sudah cukup lama ini terjadi, Kakang,” ujara Pandan Wangi menduga.
“Darah mereka sudah mengering semua.”
“Apa perkiraanmu, Pandan...?” tanya Rangga, seperti menguji.
“Tempat ini seperti sebuah padepokan, Kakang..,” keluh Pandan Wangi seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Ya, memang ini sebuah padepokan,” sahut Rangga. “Padepokan Merak Sakti. Aku
juga kenal ketuanya, Eyang Banaspati.”
“Kalau kau kenal, kenapa tidak kita cari saja di antara mereka, Kakang...?”
usul Pandan Wangi.
“Aku tidak yakin Eyang Banaspati berada di antara mereka, Pandan. Dia bukan
saja pemimpin padepokan, tapi juga seorang pertapa sakti. Malah ilmu-ilmunya
pun sangat sukar dicari tandingannya.”
“Dan mereka semua muridnya, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku rasa, iya...,” sahut Rangga terdengar ragu-ragu nada suaranya.
Saat itu, pandangan mata Rangga tertuju ke satu arah. Dan tanpa bicara lagi,
kakinya terayun melangkah. Pandan Wangi memperhatikan sebentar, kemudian
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah meninggalkan dua ekor kuda
tunggangan mereka berdua. Sementara, Rangga terus berjalan melewati
tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di sekitar puing-puing yang
sudah menghitam hangus ini.
Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah sampai di dekat
seorang gadis yang tergeletak di antara pecahan batu tembok. Tak ada luka
sedikit pun di tubuhnya, seperti yang lain. Tapi di mulutnya penuh menggumpal
darah yang sudah membeku kering. Rangga berlutut, lalu menyentuhkan ujung jari
tangannya ke bagian leher dekat dagu gadis itu. Sementara, Pandan Wangi sudah
berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku merasakan denyut nadinya, Pandan. Tapi sangat lemah...,” ujar Rangga
pelan, tanpa berpaling sedikit pun.
“Apa itu berarti dia masih hidup, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah panjang.
Pendekar Rajawali Sakti memeriksa beberapa bagian tubuh gadis ini. Sementara,
Pandan Wangi hanya memperhatikan jari-jari tangan Rangga yang bergerak lincah
dan teratur. Tampak beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti memberi totokan pada
beberapa bagian tubuh gadis yang kecil mungil ini. Tapi dari raut wajahnya,
terlihat jelas kalau usianya sekitar delapan belas tahun.
“Hhh...!”
Terdengar berat sekali tarikan napas Rangga. Dia bangkit berdiri lagi, dan
berpaling menatap Pandan Wangi yang tengah memperhatikan gadis muda yang
tergeletak di antara pecahan batu bekas tembok ini.
“Bagaimana? Masih bisa ditolong...?” tanya Pandan Wangi tanpa berpaling
sedikit pun.
“Aku tidak yakin. Dia telah terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, tepat di
bagian pusat peredaran darahnya,” jelas Rangga, perlahan sekali suaranya.
“Oh...,” desah Pandan Wangi panjang.
***
TIGA
Rangga tidak bisa menolak permintaan Pandan Wangi untuk menyembuhkan luka
gadis yang ditemui di antara puing-puing reruntuhan bekas Padepokan Merak
Sakti. Meskipun tidak yakin akan berhasil, tapi sekuat tenaga diusahakan untuk
menyembuhkannya.
Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin kalau gadis itu bisa disembuhkan.
Buktinya, dia mampu bertahan, walaupun habis terkena pukulan bertenaga dalam
sangat tinggi, tepat pada bagian pusat peredaran darahnya. Padahal, biasanya
orang sangat sukar untuk bisa bertahan. Kecuali, telah memiliki kekuatan
tenaga dalam tinggi pula. Dan itu pun masih ditambah penguasaan pengendalian
hawa murni yang sudah terlatih baik.
Tapi, itu juga sangat sulit untuk bisa mengembalikannya seperti sediakala.
Paling tidak, akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam pengerahan
tenaga dalam. Dan yang lebih parah lagi, bisa mengakibatkan kelumpuhan. Tapi,
Pandan Wangi tetap berharap gadis ini bisa pulih kembali seperti semula. Apa
lagi, dia yakin betul kalau Rangga memiliki kesempurnaan dalam pengerahan
tenaga dalam dan hawa murninya.
Sementara, Rangga berusaha menyembuhkan gadis yang ditemuinya. Sedangkan
Pandan Wangi memeriksa keadaan sekeliling. Diperhatikannya satu persatu
mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam lingkungan tembok yang menyerupai
benteng ini. Tapi sampai matahari berada di atas kepala, tetap saja tidak
ditemukan lagi orang yang masih bisa ditolong. Dan kebanyakan dari mereka
menderita luka yang sangat parah, hingga menyebabkan kematian.
Si Kipas Maut itu kini kembali menghampiri Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti
sendiri tampaknya juga sudah menghentikan usahanya dalam menyembuhkan gadis
itu dengan pengerahan hawa murni yang dipadu pengerahan tenaga dalam.
“Bagaimana, Kakang? Ada kemajuan...?” tanya Pandan Wangi, seraya duduk di
samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kita tunggu saja sampai besok. Kalau belum juga sadar...,” Rangga tidak
melanjutkan kata-katanya.
“Tidak ada harapan...?”
Pendekar Rajawali Sakti hanya menganggukkan kepala saja, yang kemudian
disambut hembusan napas panjang Pandan Wangi.
"Kau sudah memeriksa semuanya, Pandan?” tanya Rangga setelah cukup lama
berdiam diri.
“Sudah,” sahut Pandan Wangi singkat
“Kau temukan Eyang Banaspati?” tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi menggeleng. Walaupun belum pernah mengenalnya, tapi dari ciri
yang diberitahukan Rangga, Pandan Wangi tetap mencari. Hanya saja, orang yang
dimaksud Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ditemukan. Dan memang, dia tidak
melihat adanya seorang laki-laki tua yang seperti disebutkan Rangga padanya.
“Ayo, kita cari tempat yang lebih baik,” ajak Rangga seraya bangkit berdiri.
Pandan Wangi ikut berdiri. Sementara, Rangga mengangkat tubuh gadis yang
ditemukan dan meletakkannya secara telungkup di atas punggung kudanya.
Sementara, Pandan Wangi sudah menghampiri kudanya. Tapi gadis itu tidak juga
menaiki kuda putihnya. Sedangkan Rangga sendiri sudah berjalan sambil menuntun
kudanya, kemudian diikuti gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu. Kini mereka
berjalan sejajar berdampingan.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kuda masing-masing, keluar dari
Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Sementara suasana di luar
juga masih tetap sunyi seperti tadi, tanpa mengalami perubahan sedikit pun.
Tapi kesunyian itu sudah tidak lagi membuat khawatir, karena mereka sudah
yakin kalau tidak ada seorang pun yang akan dijumpai lagi.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan Padepokan Merak Sakti, mendadak saja
terlihat sebuah bayangan berkelebat menyeberang jalan ini, tidak jauh di
depannya. Dan kebetulan, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang melihatnya.
“Kau tunggu di sini, Pandan,” ujar Rangga cepat-cepat.
“Heh...?!”
“Hup!”
Belum juga Pandan Wangi bisa mengucapkan sesuatu, Rangga sudah melesat begitu
cepat bagai kilat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap tak terlihat
lagi. Sementara, Pandan Wangi mengambil tali kekang kuda hitam tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu tidak berani melanggar pesan Rangga,
sehingga tetap berada di tengah-tengah jalan sambil memegangi tali kekang
kedua ekor kuda tunggangan mereka.
***
Sementara itu, Rangga sudah bisa melihat seorang laki-laki berlari menuju
hutan di kaki Bukit Merak ini dengan kecepatan tinggi. Seketika, Pendekar
Rajawali Sakti langsung saja menggenjot tubuhnya. Kini, dia bagaikan terbang
saja saat mengejar orang itu. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah cukup dekat dengan orang itu. Dan....
“Hup...!”
Sungguh sangat ringan dan cepat lompatan Rangga, hingga bisa melewati kepala
orang yang dikejarnya. Lalu, begitu manis Pendekar Rajawali Sakti mendarat di
depan buruannya.
“Berhenti...!”
“Oh...?!”
Orang itu tampak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba di depannya
menghadang seorang pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih, dengan sebuah
gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggung. Seketika itu
juga, larinya langsung dihentikan.
“Jangan lari, Kisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu,” ujar Rangga.
“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.
“Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini,”
sahut Rangga menjelaskan. “Dan kau siapa?”
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dengan bola matanya yang bersinar tajam,
diamatinya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Seakan-akan, dia tengah mencari kebenaran dari jawaban Rangga barusan.
Hati-hati sekali sikapnya, ketika kepalanya berpaling ke belakang. Tapi, tidak
ada seorang pun yang dilihatnya. Kemudian kembali dipandanginya Pendekar
Rajawali Sakti yang berdiri sekitar satu batang tombak di depan.
“Kau pasti bukan penduduk Desa Bangkalan ini,” tebak pemuda itu lagi.
“Memang. Aku datang dari jauh, dan kebetulan saja lewat di desa ini. Tapi aku
merasa heran, karena tidak menemui seorang pun di sini. Baru kau saja yang
kutemui, Kisanak,” jelas Rangga, tenang.
“Lalu..., siapa temanmu itu?” tanya pemuda itu lagi.
“Dia teman seperjalananku,” sahut Rangga, langsung teringat Pandan Wangi yang
ditinggalkannya bersama seorang gadis yang masih belum sadarkan diri.
“Dan yang terbaring di punggung kuda...?” tanyanya lagi.
Rangga tersenyum mendengar pertanyaan yang beruntun itu. Disadari kalau pemuda
itu pasti sudah mengamatinya sejak tadi. Tapi, tampaknya dia tidak tahu kalau
gadis yang terbaring pingsan di punggung kuda itu ditemukannya di Padepokan
Merak Sakti yang ada di Desa Bangkalan ini.
“Aku tidak tahu namanya. Dia kutemukan dalam keadaan terluka parah di antara
mayat-mayat yang ada di dalam Padepokan Merak Sakti,” sahut Rangga baru
menjelaskan, setelah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda itu.
“Kau.... Kau sudah masuk ke sana...?” Pemuda itu tampak terkejut mendengar
penjelasan Rangga barusan.
“Benar, kenapa...?”
“Kau pasti salah seorang dari mereka!”
Kali ini suara pemuda itu terdengar bergetar agak tertahan. Bahkan wajahnya
pun jadi memerah, meregang kaku. Kedua bola matanya tampak berkilatan,
bersinar tajam menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti di depannya.
Sedangkan kedua tangannya langsung terkepal, menampakkan urat-urat
kejantanannya yang membiru dan menonjol. Sementara, Rangga agak terkejut juga
melihat perubahan sikap pemuda itu, setelah menjelaskan tentang gadis yang
ditemuinya di dalam Padepokan Merak Sakti yang sudah hancur terbakar. Dan
belum sempat Pendekar Rajawali Sakti berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja....
“Kau harus mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat..!”
“Heh...?! Tunggu...!”
Tapi, pemuda yang belum menyebutkan namanya itu sudah lebih cepat melompat
menyerang. Langsung dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali dengan cepat
sekali. Mendapat serangan mendadak ini, membuat Rangga terpaksa harus melompat
mundur sambil meliukkan tubuhnya untuk menghindari serangan gencar pemuda ini.
“Hap!”
Rangga segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang memang hanya
digunakan untuk menghindar. Dengan jurus ini, tidak mudah bagi lawan untuk
mendesak Pendekar Rajawali Sakti, meskipun gerakan-gerakan yang dilakukan
seperti tidak beraturan sama sekali. Bahkan seperti orang yang kebanyakan
minum arak.
Sampai sejauh ini, serangan-serangan gencar yang dilancarkan pemuda itu tidak
juga berhasil mendapatkan sasaran tepat. Semuanya dapat mudah dimentahkan
Pendekar Rajawali Sakti hanya dengan menggunakan satu jurus saja.
“Tunggu dulu, Kisanak. Kenapa kau menyerangku...?”
Rangga berusaha menghentikan serangan-serangan pemuda itu, tapi sama sekali
tidak dihiraukan. Bahkan pemuda yang tidak dikenalnya itu semakin gencar
melancarkan serangan. Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus
berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang semakin terasa dahsyat saja.
“Ups..!”
Hampir saja satu pukulan yang dilontarkan pemuda itu menghantam dada.
Untungnya, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke kanan. Dan pada saat yang
hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti cepat memberi satu sodokan tangan
kiri ke arah perut. Begitu cepat sodokan yang diberikan, sehingga pemuda itu
tidak sempat lagi menghindar. Dan...
Desss!
“Ugkh...!”
Pemuda itu kontan mengeluh pendek. Dan tubuhnya jadi terbungkuk,
terhuyung-huyung ke belakang. Tangan kanannya langsung mendekap perut yang
terkena sodokan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan belum juga tubuhnya bisa
ditegakkan kembali, Rangga sudah melompat cepat, sukar diikuti pandangan mata
biasa. Lalu, dengan cepat pula dilepaskannya satu totokan yang disertai
pengerahan tenaga dalam ke tubuh pemuda itu.
Tukkk!
“Akh...!”
Pemuda itu sempat terpekik kecil, lalu tubuhnya langsung ambruk begitu jalan
darahnya tertotok. Rangga bergegas menghampiri. Sementara pemuda itu sudah
tergeletak tak bertenaga lagi, begitu jalan darahnya tertotok.
“Maaf, aku terpaksa melumpuhkanmu sementara,” ucap Rangga buru-buru.
“Phuih...!” pemuda itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sinar matanya
menyorot begitu tajam, memancarkan kebencian pada Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun tahu, tapi Rangga tidak membalas sorot mata penuh kebencian itu.
Bahkan diberikannya senyuman yang lembut penuh persahabatan. Sikap lembut
Pendekar Rajawali Sakti ini membuat pemuda itu jadi keheranan juga. Terlebih
lagi pemuda tampan berbaju rompi putih itu tidak membunuhnya, tapi hanya
menotok jalan darahnya saja. Sehingga, seluruh tenaganya lenyap seketika. Dan
kini, tubuhnya bagaikan tidak memiliki tulang lagi. Begitu lemas, sampai sulit
digerakkan.
“Kenapa kau tidak membunuhku...?!” dengus pemuda itu bertanya.
“Aku bukan pembunuh, Kisanak,” sahut Rangga tetap kalem, tanpa ada rasa
tersinggung sedikit pun juga.
Sementara, pemuda itu terus memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot
mata yang kini berubah memancarkan rasa curiga dan penuh selidik. Tapi, Rangga
tetap saja tersenyum.
Saat itu, terdengar suara langkah kaki kuda dan langkah kaki ringan. Rangga
berpaling sedikit ke arah datangnya suara yang didengarnya. Kini, tampaklah
Pandan Wangi datang menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Dan di atas
punggung kuda Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti tampak tertelungkup
seorang gadis bertubuh kecil mungil dengan kulit sangat putih dan halus.
Sangat pas dengan warna pakaian yang dikenakannya, walaupun pakaiannya
tercemar bercak-bercak darah.
Pandan Wangi baru berhenti setelah dekat di belakang Rangga yang berjongkok di
samping kanan pemuda yang dikejarnya tadi. Dan sekarang, pemuda itu tergeletak
lumpuh tak berdaya sama sekali, setelah mendapat totokan yang cukup kuat dari
Pendekar Rajawali Sakti.
“Siapa dia, Kakang?” tanya Pandan Wangi sambil menatap pemuda yang masih
tergeletak tak berdaya di tanah.
Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit “Kau belum memperkenalkan namamu,
Kisanak,” ujar Rangga.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku! Yang penting sekarang, kau harus enyah dari
sini secepatnya!” kasar sekali nada suara pemuda itu.
“Kau masih terus mencurigaiku, Kisanak. Padahal, aku sudah menjelaskan siapa
diriku yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak bermaksud jahat padamu. Bahkan
merasa heran dengan keadaan di desa ini. Ketahuilah, Kisanak. Aku dan Pandan
Wangi selalu berusaha membela yang lemah,” kembali Rangga menjelaskan dengan
gamblang.
“Benar, Kisanak. Kalau kau mau memberi tahu peristiwa yang telah terjadi di
desa ini, barangkali saja kami bisa membantumu. Syukur kalau bisa memulihkan
keadaan seperti sediakala,” selak Pandan Wangi menyambung ucapan Rangga.
“Kalian benar-benar bukan orang jahat..? Bukan salah satu dari mereka?”
Tampaknya pemuda itu masih juga belum percaya. Dan dia masih ingin memastikan
kalau kedua orang yang tidak dikenalnya itu memang benar-benar bukan orang
jahat. Bahkan bisa membantu memulihkan keadaan di Desa Bangkalan yang terasa
begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penghuninya.
Cukup lama juga pemuda itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian,
seakan-akan masih juga diliputi keraguan. Hatinya ingin diyakini, tapi tidak
tahu cara yang benar untuk menunjukkannya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi
saling melemparkan pandangan. Kemudian, terlihat kepala mereka menggeleng
perlahan beberapa kali.
“Aku akan membebaskan totokanmu, Kisanak,” ujar Rangga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung membebaskan
totokannya pada pusat aliran jalan darah pemuda itu. Sebentar saja, pemuda
yang belum diketahui namanya itu sudah bisa menggeliat. Kemudian, dia bergegas
bangkit berdiri. Kakinya lalu ditarik dua langkah ke belakang. Sejenak
ditatapnya Rangga, kemudian beralih pada gadis yang masih tertelungkup di
punggung kuda hitam Dewa Bayu.
“Hm.... Apakah dia Lastri...?” gumam pemuda itu. Nada suaranya sepreti
bertanya pada diri sendiri.
“Aku tidak tahu, Kisanak. Dia kutemukan terluka sangat parah. Bahkan sampai
kini belum juga sadarkan diri,” jelas Rangga, tanpa diminta.
Kembali pemuda itu memandang Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kakinya
melangkah menghampiri gadis yang masih pingsan, tertelungkup di punggung kuda
Dewa Bayu. Memang sulit mengenalinya, karena wajahnya tidak terlihat sedikit
pun juga. Kini diangkatnya sedikit kepala gadis itu, hingga wajahnya dapat
terlihat cukup jelas. Seketika itu juga, matanya terbeliak sambil terpekik
kecil.
“Kenapa kau, Kisanak?” tanya Rangga seraya cepat menghampiri.
“Benar.... Dia Lastri. Putri Eyang Banaspati,” jelas pemuda itu seraya memutar
tubuhnya. Kini dia menghadap langsung pada Pendekar Rajawali Sakti. “Di mana
kalian menemukannya?”
“Di reruntuhan padepokan Eyang Banaspati,” sahut Rangga.
“Di sana juga banyak mayat,” sambung Pandan Wangi.
Tampak jelas kalau wajah pemuda itu langsung memucat mendengar penjelasan
kedua pendekar muda ini. Perlahan kakinya ditarik ke samping, menjauhi Rangga
dan kuda hitam Dewa Bayu.
“Kenapa, Kisanak? Kenapa wajahmu jadi pucat begitu...?” tanya Rangga,
keheranan.
“Kalian akan mendapat celaka bila menolongnya. Sebaiknya, kalian pergi saja
dari sini dan tinggalkan dia...,” terdengar bergetar suara pemuda itu.
“Kisanak! Sejak tadi kau bersikap aneh. Dan kata-katamu juga tidak bisa
kumengerti. Kenapa kau berkata begitu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di
sini, hingga membuatmu tampak begitu ketakutan?” tanya Rangga meminta
penjelasan.
Tapi pemuda itu tidak langsung menjawab. Dipandanginya Rangga beberapa saat,
kemudian beralih pada Pandan Wangi yang berdiri di sebelah kanan Pendekar
Rajawali Sakti. Dan kini, pandangannya pun berganti pada gadis bernama Lastri
yang masih tertelungkup tidak sadarkan diri di punggung kuda hitam Dewa Bayu.
Kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih memandanginya, menunggu
jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Namaku Jalakpati. Aku sebenarnya juga bukan penduduk desa ini. Kedatanganku
ke sini justru untuk menuntut ilmu pada Eyang Banaspati yang mengetuai
Padepokan Merak Sakti. Tapi, Eyang Banaspati tidak langsung menerimaku dan
ingin menguji dulu. Aku diminta menunggu untuk beberapa waktu. Entah untuk
berapa lama harus menunggu, maka kuputuskan untuk tetap berada di desa ini
sampai Eyang Banaspati bersedia menemuiku lagi. Tapi...,” pemuda yang
mengenalkan diri sebagai Jalakpati itu menghentikan kata-katanya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya terdiam saja memandangi. Mereka
menunggu kelanjutan cerita pemuda itu.
***
EMPAT
Lama juga Jalakpati terdiam, tanpa melanjutkan ceritanya tentang Desa
Bangkalan yang kini sudah tak berpenghuni lagi. Sementara, Rangga dan Pandan
Wangi masih sabar menunggu. Sedikit pun kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu tidak mengeluarkan suara. Namun pandangan mata mereka tertuju langsung
pada Jalakpati, dan berharap agar ceritanya dilanjutkan.
“Aku tidak tahu, sudah berapa hari tinggal di Desa Bangkalan ini. Tapi, Eyang
Banaspati belum juga memanggilku. Hingga suatu hari kudengar ada salah seorang
muridnya berusaha membangkang. Dan akhirnya, dia tewas ketika mencoba
melarikan diri,” sambung Jalakpati setelah cukup lama membisu.
“Dibunuh...?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Entahlah. Tapi yang kudengar, dia tewas secara aneh begitu hampir sampai di
Puncak Bukit Merak, Hanya Lastri dan kedua pamannya saja yang menemukan
mayatnya, dan membawanya pulang ke padepokan. Tapi berselang satu hari,
terjadi musibah besar yang menimpa padepokan itu. Seluruh murid Padepokan
Merak Sakti tewas. Bahkan kedua paman Lastri pun ikut tewas juga. Tidak ada
yang tahu, siapa yang membantai mereka semua...,” terdengar menggantung suara
Jalakpati saat memberi keterangan.
“Lalu, kenapa Desa Bangkalan ini ditinggalkan penduduknya?” selak Pandan
Wangi, bertanya.
“Setelah Padepokan Merak Sakti hancur, satu persatu ada saja yang tewas secara
mengerikan. Hingga, penduduk memutuskan untuk pergi dari desa ini. Maka tidak
sampai setengah hari, desa ini sudah kosong sama sekali. Tinggal aku yang
masih tetap bertahan. Dan semua yang terjadi ingin kuselidiki,” sahut
Jalakpati.
Sementara itu Rangga hanya diam saja. Keningnya terlihat berkerut, seakan
tengah memikirkan sesuatu. Atau barangkali sedang menyimak semua yang telah
diceritakan Jalakpati. Memang terasa aneh sekali semua peristiwa yang terjadi
di Desa Bangkalan ini. Begitu cepatnya pembunuhan-pembunuhan itu terjadi,
hingga mengakibatkan Desa Bangkalan ini ditinggalkan penghuninya hanya dalam
waktu kurang dari setengah hari.
Bahkan sebuah padepokan yang sudah terkenal pun ikut hancur dalam waktu
sebentar saja. Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti. Apalagi, dia
tahu betul kalau Eyang Banaspati bukanlah orang sembarangan yang begitu mudah
dapat dikalahkan. Demikian pula murid-muridnya yang rata-rata berkepandaian
cukup tinggi. Rasanya sulit dipercaya kalau sebuah padepokan yang begitu kuat
dan terkenal bisa runtuh hanya dalam waktu sebentar saja.
Saat itu, terdengar derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Mereka langsung
berpaling ke arah suara. Di sana terlihat debu mengepul membubung tinggi ke
angkasa. Tak berapa lama kemudian, terlihat beberapa penunggang kuda yang
berpacu cepat ke arah mereka.
Penunggang-penunggang kuda itu terus saja memacu cepat kudanya. Seakan-akan
tidak melihat ada tiga orang berdiri di tepi jalan. Tanpa berpaling sedikit
pun, mereka terus saja melewati Jalakpati dan kedua pendekar muda dari Karang
Setra itu. Sebentar saja, penunggang-penunggang kuda itu sudah jauh melewati
mereka. Debu terus mengepul mengikuti sepanjang jalan yang dilalui
penunggang-penunggang kuda itu.
“Siapa mereka...?” tanya Pandan Wangi Nada suaranya terdengar menggumam,
seperti bertanya pada diri sendiri.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Sementara Rangga dan Jalakpati terus
memandangi empat orang penunggang kuda yang sudah jauh, dan tidak terlihat
lagi karena tertutup kepulan debu tebal yang tersepak kaki-kaki kuda.
“Kelihatannya mereka hendak ke Bukit Merak...,” ujar Rangga setengah
menggumam.
“Benar! Mereka memang hendak ke sana,” sahut Jalakpati, juga terdengar pelan
suaranya.
Rangga berpaling menatap pemuda itu. Dan yang dipandangi terus mengarahkan
pandangan matanya ke Bukit Merak. Sementara, empat orang penunggang kuda yang
melewati mereka sudah tidak terlihat lagi, namun debu masih terlihat mengepul
di angkasa. Demikian pula suara kaki kuda yang dipacu cepat, juga sudah tidak
terdengar lagi. Jalakpati baru mengalihkan pandangannya setelah debu yang
mengepul sudah tidak terlihat lagi. Dan kini, tatapan matanya langsung bertemu
sorot mata Rangga yang sejak tadi terus memandangi.
“Sejak Padepokan Merak Sakti hancur, dan Desa Bangkalan ini tidak lagi
berpenghuni, sudah ada kira-kira sepuluh orang datang ke Bukit Merak,” jelas
Jalakpati, tanpa diminta lagi.
“Mau apa mereka datang ke sana?” tanya Pandan Wangi.
Jalakpati tidak menjawab, dan hanya mengangkat pundaknya saja sedikit.
Sementara itu, matahari terus merayap turun ke kaki langit sebelah barat. Kini
mereka tidak bicara lagi. Entah apa yang ada di dalam benak kepala merka
masing-masing saat ini. Sedangkan Rangga sudah memeriksa salah sebuah rumah,
lalu membawa masuk Lastri ke dalam rumah itu. Pandan Wangi mengikuti dari
belakang.
Sedangkan Jalakpati mengurus kuda-kuda kedua pendekar muda itu tanpa diminta
lagi. Sebentar lagi, malam akan datang. Dan mereka memang membutuhkan tempat
untuk bermalam yang kebetulan tidak sulit mendapatkannya. Karena, rumah-rumah
di desa ini sudah tidak berpenghuni lagi, sehingga mereka bisa menempatinya
untuk sementara sambil menunggu malam.
***
Sepanjang malam Rangga tidak bisa memejamkan mata sedikit pun, karena tengah
berusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita Lastri. Tapi gadis itu masih
juga belum sadarkan diri. Sementara, Pandan Wangi terus setia menunggu, dan
sesekali membantu kalau diminta. Sedangkan Jalakpati tertidur lelap, seakan
tidak peduli dengan apa yang dilakukan kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu.
Hingga pagi datang menjelang, Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa
memejamkan matanya barang sekejap pun. Sedangkan Pandan Wangi sudah terbaring
tidur di samping pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Ranggga
terus memperhatikan Lastri yang masih terbaring belum sadarkan diri di
depannya.
“Bagaimana...?”
“Oh...?!”
Rangga agak terkejut juga ketika tiba-tiba terdengar suara dari sebelah
kanannya. Cepat mukanya berpaling, dan tersenyum begitu melihat Jalakpati
sudah berada dekat di sebelah kanannya. Saat itu, Pandan Wangi menggeliat dan
membuka matanya. Gadis itu bangkit, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sementara, Jalakpati tetap berdiri di sebelah lain dari Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka sama-sama memandang gadis berwajah cukup cantik dan
bertubuh kecil mungil yang terbaring tidak sadarkan diri di atas balai-balai
bambu beralaskan selembar tikar daun pandan.
“Aliran jalan darahnya sudah mulai seperti biasa kembali. Dan pernapasannya
juga sudah tidak terganggu. Tapi matanya belum juga mau terbuka,” kata Rangga
memberi tahu. Suaranya terdengar perlahan, seakan-akan bicara pada diri
sendiri.
“Sudah kau periksa lagi, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Sudah,” sahut Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
“Mungkin ada kesalahan...,” selak Jalakpati.
“Entahlah...,” sahut Rangga mendesah. “Coba kau yang periksa.”
Rangga menggeser duduknya, memberi tempat pada Jalakpati. Pemuda itu kemudian
duduk di tempat duduk Rangga tadi. Sebentar dipandanginya Lastri yang masih
terbaring diam. Kemudian tangannya bergerak ke atas tubuh gadis itu. Seketika,
jari-jari tangannya lincah sekali bergerak memberi pijatan-pijatan ke tubuh
Lastri.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja memperhatikan. Sedangkan
jari-jari tangan Jalakpati tampak sudah berhenti bergerak di atas perut
Lastri. Kening pemuda itu jadi berkerut Kemudian, wajahnya berpaling menatap
Rangga sambil menarik kembali tangannya dari perut Lastri yang masih tetap
terbaring diam dengan tarikan napas teratur lembut.
“Ada apa?” tanya Rangga.
“Pusat pengerahan hawa murninya tertutup. Dia tidak akan mungkin bisa sadar
kalau belum dibuka,” sahut Jalakpati.
“Oh...?!”
Rangga tersentak kaget. Hal itu benar-benar tidak disadari. Pendekar Rajawali
Sakti sama sekali tidak memeriksa sampai ke sana. Cepat dua ujung jari
tangannya ditekan ke perut Lastri. Keningnya jadi berkerut, lalu perlahan
menarik kembali jari tangannya. Dipandanginya Jalakpati dan Pandan Wangi
bergantian.
“Kenapa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.
“Aku tidak yakin bisa membuka kembali aliran pusat pengerahan hawa murninya.
Sudah terlalu lama tersumbat. Dan...,” Rangga tidak meneruskan.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi, ingin lebih tahu.
“Orang yang melakukannya memiliki tenaga dalam tingkat sempurna. Aku tidak
tahu, apakah pengerahan tenaga dalamku bisa menandinginya,” sahut Rangga lagi,
dengan nada suara terdengar agak mengeluh.
“Coba saja, Kakang,” desak Pandan Wangi.
Gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sangat yakin kalau Rangga bisa
melakukannya. Dia tahu, tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimiliki Pendekar
Rajawali Sakti sudah mencapai tingkat sempurna. Dan dia percaya, Rangga mampu
membukanya kembali.
“Terlalu besar akibatnya, Pandan,” ujar Rangga sedikit mendesah.
“Kenapa?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Kalau memang berhasil, dia akan sembuh seperti semula. Tapi kalau tidak...,
aku tidak bisa lagi menjamin keselamatannya,” sahut Rangga menjelaskan.
Pandan Wangi terdiam. Langsung disadarinya kesulitan yang dihadapi Pendekar
Rajawali Sakti saat ini. Memang tidak mudah membuka kembali pusat pengerahan
hawa mumi jika sudah tersumbat oleh kekuatan tenaga dalam yang sudah sempurna
tingkatannya. Paling tidak harus ada orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam
lebih tinggi lagi untuk bisa memulihkannya. Sedangkan saat ini, mereka tidak
ada yang tahu, sampai di mana orang itu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya
untuk menyumbat pusat pengerahan hawa mumi di tubuh Lastri.
Dan mereka juga belum tahu, siapa orang yang telah berbuat seperti ini.
Padahal Rangga yang tingkat tenaga dalamnya sudah mencapai titik sempurna
saja, masih belum yakin bisa membuka sumbat itu. Sementara, Jalakpati yang
menyadari kekuatan tenaga dalamnya, tidak berani lagi mencoba.
Disadari akan bahaya yang mungkin akan dihadapi. Dan tentu saja, mereka tidak
ingin Lastri tewas hanya karena cara pengobatan yang tidak berhasil. Saat ini,
mereka memerlukan keterangan gadis itu untuk mengetahui latar belakang dari
semua peristiwa yang terjadi di Desa Bangkalan dan Padepokan Merak Sakti.
Dan di sisi lain, mereka juga ingin tahu orang yang telah membantai habis
murid-murid Padepokan Merak Sakti. Bahkan sampai membuat semua orang di Desa
Bangkalan ini meninggalkan desa untuk mencari keselamatan diri. Karena, orang
itu ternyata juga membantai tidak sedikit penduduk desa yang sama sekali tidak
tahu apa-apa.
“Aku akan coba melepaskan sumbatan itu. Tapi, tolong kalian bantu kalau sudah
kuberi tanda,” ujar Rangga.
“Aku siap, Kakang,” sambut Pandan Wangi cepat
“Aku juga,” sambung Jalakpati.
“Cukup...!”
Rangga langsung melepaskan kedua telapak tangannya dari punggung Lastri. Dan
tanpa menggerakkan tubuhnya sedikit pun juga, Pendekar Rajawali Sakti
menggeser duduknya ke samping. Sementara, Lastri langsung jatuh terkulai
begitu telapak tangan Rangga terlepas dari punggungnya. Cepat-cepat Rangga
menyangga, lalu membaringkannya perlahan-lahan.
Pandan Wangi dan Jalakpati yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali
Sakti, juga segera menggeser duduknya. Mereka tetap duduk bersila, mengambil
sikap bersemadi. Mereka memang harus memulihkan kembali kekuatan tenaga
dalamnya, setelah tadi membantu Rangga membuka sumbatan pada aliran penyaluran
hawa murni di tubuh Lastri.
Sementara, Rangga kini juga sudah bersemadi, walaupun hanya sebentar saja.
Pendekar Rajawali Sakti turun dari balai-balai bambu yang hanya beralaskan
selembar tikar daun pandan ini. Dia terus berjalan ke pintu, dan berdiri di
sana sambil memandang ke luar. Sedikit kepalanya berpaling, menatap Pandan
Wangi dan Jalakpati yang masih bersemadi. Kembali pandangannya diarahkan ke
depan, menatap matahari yang saat ini sudah naik cukup tinggi.
“Sudah selesai semadinya...?” tanya Rangga begitu telinganya mendengar suara
dari belakang.
“Sudah,” terdengar suara Pandan Wangi yang menyahuti.
“Kemarilah, Pandan,” pinta Rangga tanpa memalingkan wajah sedikit pun juga.
Pandan Wangi turun dari balai-balai bambu, kemudian melangkah menghampiri
Rangga yang masih tetap berdiri di ambang pintu. Dia berhenti melangkah
setelah sampai di samping sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu,
Jalakpati juga sudah selesai bersemadi. Tapi, pemuda itu masih tetap duduk di
atas balai-balai bambu. Ditunggunya Lastri yang juga belum sadarkan diri.
“Ada apa?” tanya Pandan Wangi.
“Kau lihat di atas Bukit Merak itu...,” sahut Rangga seraya menunjuk ke atas
puncak Bukit Merak.
Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke sana. Beberapa saat, ditatapnya
puncak Bukit Merak yang masih sedikit terselimuti kabut. Perlahan kemudian
kepalanya bergerak berpaling, dan menatap Rangga yang masih memandang ke arah
puncak Bukit Merak.
“Apa yang kau lihat di sana?” tanya Rangga seperti menguji.
“Tidak ada apa-apa di sana, kecuali kabut,” sahut Pandan Wangi.
“Kau merasakan sesuatu?” tanya Rangga lagi.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja, walaupun Rangga tidak
mengalihkan sedikit pun pandangan dari puncak Bukit Merak. Dan sudah pasti
Pendekar Rajawali Sakti tidak melihat gelengan kepala Pandan Wangi. Malah,
perhatiannya begitu lekat sekali ke arah puncak Bukit Merak. Pandan Wangi jadi
mengerutkan keningnya. Malah kelopak matanya jadi menyipit, melihat Rangga
begitu seksama memandang ke arah puncak bukit. Mau tak mau gadis itu harus
kembali mengarahkan pandangan ke sana. Tapi, memang tidak ada apa-apa yang
bisa dilihat, kecuali kabut yang masih sedikit menyelimuti puncak bukit itu.
“Kau tahu, Pandan Wangi... Sejak kemarin, aku sudah merasakan adanya getaran
aneh di hatiku. Dan getaran itu semakin terasa, waktu mencoba mengobati Lastri
tadi, dengan bantuanmu dan Jalakpati. Getaran itu terus terasa dan semakin
kuat. Aku merasakan getaran itu datang dari sana,” kata Rangga sambil menunjuk
puncak Bukit Merak.
“Getaran apa yang kau rasakan, Kakang?” tanya Pandan Wangi jadi tertarik juga.
Gadis itu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah merasakan sesuatu di
hatinya, tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Getaran hati Rangga begitu
kuat. Dan biasanya, merupakan suatu pertanda bagi Pendekar Rajawali Sakti.
Entah pertanda baik, atau buruk. Tapi yang jelas, apa yang dirasakan hati
Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi tidak bisa menganggap remeh.
“Sebuah malapetaka besar akan terjadi tidak lama lagi...,” gumam Rangga
seperti bicara pada diri sendiri.
“Malapetaka apa, Kakang...?” tanya Pandan Wangi agak bergetar.
“Ka....”
Baru saja Rangga hendak membuka suaranya, mendadak saja....
“Khraaagkh...!”
“Oh...?!”
Pandan Wangi jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak
menggelegar yang begitu keras. Begitu kerasnya, hingga rumah yang mereka
tempati jadi bergetar. Bahkan bumi yang dipijak pun jadi bergetar bagai
diguncang gempa. Pandan Wangi langsung mendongakkan kepala ke atas. Dia tahu,
tadi itu suara Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa berbulu putih
keperakan tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itu juga
guru pemuda tampan berbaju rompi putih ini.
Jeritan Rajawali Putih yang terdengar begitu keras tadi, membuat Jalakpati
jadi terlompat turun dari atas balai-balai bambu. Bergegas dihampirinya Rangga
dan Pandan Wangi yang berada di ambang pintu. Pemuda itu berdiri di sebelah
kanan Pendekar Rajawali Sakti.
“Suara apa itu?” tanya Jalakpati.
Pandan Wangi yang baru saja membuka mulutnya hendak menjawab, jadi langsung
terdiam melihat lirikan mata Rangga yang begitu tajam padanya. Dia tahu,
Pendekar Rajawali Sakti tidak mengizinkannya memberi tahu tentang Rajawali
Putih pada sembarang orang. Terlebih lagi, pada orang yang belum begitu
dikenal dengan baik.
“Akan kuperiksa. Kalian tunggu saja di sini sampai aku kembali,” ujar Rangga.
“Kakang....”
Pandan Wangi cepat mencekal tangan Rangga yang sudah melangkah tiga tindak,
keluar dari rumah ini. Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya, dan
berpaling sedikit menatap Pandan Wangi yang masih saja memegangi pergelangan
tangannya. Periahan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu melepaskan
cekalannya pada tangan Rangga.
“Hati-hati...,” hanya itu yang bisa diucapkan Pandan Wangi.
Entah kenapa, mendadak saja Pandan Wangi merasakan hatinya jadi gelisah. Boleh
dibilang begitu khawatir pada Pendekar Rajawali Sakti ini. Padahal selama
mengenal pemuda itu, belum pernah sedikit pun terselip rasa khawatir. Dia
begitu yakin terhadap kemampuan yang dimiliki Rangga. Tapi, kali ini begitu
lain. Hatinya benar-benar mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti.
“Jagalah Lastri. Tidak lama lagi dia akan siuman,” ujar Rangga seraya menepuk
pundak Pandan Wangi.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Pandan Wangi selain menganggukkan kepala.
Sementara, Rangga sudah melangkah lebar-lebar, menghampiri kudanya yang
tertambat di bawah pohon kenanga. Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat
naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu.
“Hiyaaa...!”
Sekali sentak saja, Dewa Bayu sudah melesat begitu cepat, bagaikan anak panah
terlepas dari busurnya. Debu langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak
kaki-kaki kuda yang berpacu secepat kilat. Begitu cepatnya berlari, sehingga
dalam waktu sebentar saja Dewa Bayu sudah tidak terlihat lagi. Hanya debu saja
yang masih terlihat mengepul, membubung tinggi ke angkasa.
***
Emoticon