SATU
MATAHARI baru saja menampakkan diri di ufuk timur, ketika serombongan orang
tengah berjalan beriringan mendaki sebuah bukit yang masih terselimut kabut.
Pakaian mereka semua serba hitam, dengan kerudung yang juga hitam pekat.
Mereka terus berjalan perlahan-lahan, tanpa menghiraukan udara yang begitu
dingin menusuk tulang.
Berjalan paling depan adalah seorang perempuan tua berusia sekitar delapan
puluh tahun. Walaupun tubuhnya sudah bungkuk, tapi ayunan kakinya terlihat
begitu mantap. Sorot matanya juga memancar tajam, memandang lurus ke depan
tanpa berkedip sedikit pun. Sedangkan mereka yang berjalan di belakang,
terdiri dari wanita-wanita muda berusia sekitar delapan belas atau dua puluh
tahun.
Tak seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan dengan wajah tertunduk.
Seakan-akan wajah mereka sengaja disembunyikan dari sengatan cahaya matahari
pagi yang baru saja muncul di balik bukit ini.
Rombongan wanita berpakaian serba hitam itu baru berhenti berjalan, setelah
tiba di puncak bukit. Kabut di atas puncak bukit ini terlihat begitu tebal,
sehingga membuat pandangan mata tidak bisa menjangkau jarak jauh. Tampak
perempuan tua yang berada paling depan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanan
yang memegang tongkat kayu ke atas kepala. Tanpa mendapat perintah lagi,
wanita-wanita muda di belakangnya segera menyebar membentuk lingkaran.
“Hm....” Perempuan tua itu mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil
memperdengarkan gumam pelan. Tapi keadaan yang begitu sunyi, membuat
gumamnya terdengar jelas sekali. Kemudian dia naik ke atas sebongkah batu
berbentuk bundar yang bagian atasnya pipih dan rata, dan bersila di situ.
Tongkat kayunya diletakkan ke atas kedua pahanya yang terlipat.
“Duduk kalian semua...!” Terdengar kering dan agak serak suara perempuan
tua itu.
Dan semua gadis muda yang mengelilinginya segera duduk bersila, tanpa
memperdengarkan suara sedikit pun. Kepala mereka semua tertunduk, tak ada
seorang pun yang berani menatap perempuan tua yang duduk bersila di atas
sebongkah batu pipih itu. Sebentar kemudian perempuan tua itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling.
Puncak bukit ini masih tetap terselimut kabut, meskipun saat ini sudah
tengah hari. Dan semestinya, matahari berada tepat di atas kepala. Tapi
ternyata hanya cahayanya saja yang memancar, karena terhalang kabut yang
sangat tebal. Udara di puncak bukit ini juga terasa begitu dingin. Dan
herannya, wanita-wanita itu seperti tidak peduli. Mereka tetap duduk diam,
tanpa memperdengarkan suara sedikit pun juga.
“Sebentar lagi junjungan kita akan datang. Dan kuminta, jangan ada seorang
pun yang berlaku tidak sopan. Ingat! Sedikit saja kalian berlaku aneh, nyawa
taruhannya,” kembali perempuan tua itu menegasi.
Dan suaranya masih tetap terdengar serak dan kering. Bahkan sedikit pun
tidak terdengar adanya tekanan. Begitu datar nada suaranya. Apalagi disertai
tatapan yang begitu tajam, merayapi gadis-gadis yang duduk bersila di
sekelilingnya.
Gadis-gadis itu hanya menganggukkan kepala saja, tanpa memperdengarkan
suara sedikit pun. Dan mereka tetap tertunduk dengan sikap begitu
patuh.
Perlahan perempuan tua itu bangkit berdiri, sambil menggenggam tongkat
kayunya erat-erat di tangan kanan. Sejenak kepalanya menengadah ke atas
langit yang berselimut awan tebal agak menghitam. Dan perlahan kemudian,
tongkatnya di angkat hingga ke atas kepala. Tampak bibirnya yang keriput
bergerak-gerak, disertai gumaman bagaikan lebah. Saat itu juga....
Clrak! Glaaar...!
Secercah cahaya kilat membelah angkasa, disertai ledakan guntur menggelegar
yang memekakkan telinga. Semua gadis yang berjumlah sekitar dua puluh orang
itu tampak tersentak. Tapi, tak seorang pun yang mengangkat kepalanya. Belum
lagi rasa keterkejutan itu lenyap, tiba- tiba saja mereka kembali dikejutkan
oleh bergetarnya tanah di sekitar puncak bukit ini.
Lalu tidak jauh dari batu pipih tempat perempuan tua itu berdiri tegak
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, mengepul segumpal asap berwarna
kemerahan dari dalam tanah. Asap itu semakin lama semakin menggumpal dan
bergulung-gulung ke angkasa. Dan saat itu juga, angin seakan-akan berhenti
bertiup. Dedaunan pohon yang tumbuh di sekitarnya, sedikit pun tak ada yang
bergerak. Suasana begitu sunyi, bagai berada di tengah-tengah kuburan.
“Datanglah, Gusti Ratu. Kami semua sudah menunggu dan siap menunggu
perintah,” ujar perempuan tua itu, masih dengan suara serak dan kering
sekali.
Clraaas! Glaaar...!
Kembali terdengar ledakan guntur yang keras menggelegar, setelah sebelumnya
didahului sambaran cahaya kilat membelah angkasa. Dan saat itu juga, dari
gumpalan asap kemerahan itu terlihat bayang-bayang sesosok tubuh ramping.
Sebentar kemudian, begitu asap merah itu lenyap bagai tertiup angin, berdiri
sesosok tubuh ramping. Dia adalah seorang wanita berwajah cantik bagai
bidadari.
Wanita cantik itu mengenakan baju warna merah muda yang sangat tipis,
sehingga lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas membayang. Di tangan kanannya
tergenggam sebongkah batu permata sebesar kepalan tangan yang selalu
memancarkan cahaya terang menyilaukan mata. Dia melangkah menghampiri batu
pipih yang permukaannya datar itu, kemudian naik ke atasnya. Dan wanita
cantik itu lalu duduk dengan manis sekali di sana.
Sementara, perempuan tua berubah hitam itu duduk bersila tepat sekitar lima
langkah di depannya. Sikapnya begitu hormat, seakan-akan sedang berhadapan
dengan seorang ratu penguasa jagat.
“Terimalah salam sembah dan penghormatan kami, Gusti Ratu Intan Kumala,”
ucap wanita tua yang kini sudah turun dari atas batu pipih itu.
“Hmmm.... Ada apa kau memanggilku, Nyai Purut? Kau membawa semua
pengikutmu. Apa ada hal yang sangat penting....?” terdengar begitu lembut
dan halus suara wanita cantik berpakaian merah muda yang dipanggil Gusti
Ratu Intan Kumala itu.
“Benar, Gusti Ratu. Begitu penting persoalan yang sedang kuhadapi sekarang
ini. Dan aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Gusti,” sahut perempuan tua
berjubah hitam yang dipanggil Nyai Purut ini.
“Hm.... Katakan apa persoalanmu, Nyai,” pinta Ratu Intan Kumala agak
menggumam nada suaranya.
“Gusti.... Sebenarnya, pengikut yang kumiliki ada tiga kali lipat dari yang
ada sekarang ini. Tapi mereka sudah tewas, dan hanya ini yang tersisa,”
jelas Nyai Purut, sambil memberikan sembah hormat dengan merapatkan kedua
telapak tangan di depan hidung.
“Tewas...?! Apa yang terjadi, Nyai?!” Ratu Intan Kumala terkejut.
“Ceritanya sangat panjang, Gusti Ratu. Beberapa padepokan beraliran putih
telah bergabung dan menyerang tempat tinggalku. Mereka membunuh para
pengikutku dan menghancurkan tempat tinggalku, Gusti Ratu. Bahkan kalau
tidak segera meninggalkan tempat itu bersama mereka ini, pasti kami semua
sudah mati dibantai,” dengan singkat sekali, Nyai Purut mencoba menceritakan
keadaan yang dialami.
“Hmmm...,” Ratu Intan Kumala hanya menggumam kecil.
“Dengan sisa kekuatan yang kumiliki, aku berusaha membalas tindakan mereka,
Gusti Ratu. Satu persatu padepokan mereka kudatangi, dan kuserang secara
mendadak. Beberapa padepokan berhasil kuhancurkan. Tapi, ada tiga padepokan
yang tidak mungkin kuhancurkan, Gusti,” lanjut Nyai Purut.
“Hm, kenapa?” tanya Ratu Intan Kumala.
“Mereka selalu dijaga sepasang pendekar yang sangat sakti dan digdaya.
Kesakitan mereka sangat jauh di atasku, Gusti,” sahut Nyai Purut.
“Siapa mereka?” tanya Ratu Intan Kumala.
“Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka adalah sepasang pendekar
muda dari Karang Setra. Tapi yang paling tangguh adalah Pendekar Rajawali
Sakti. Aku benar-benar tidak sanggup menghadapinya, Gusti.”
Ratu Intan Kumala terdiam, dengan kening berkerut. Matanya juga agak
menyipit. Mungkin sedang berpikir keras, atau sedang menyimak cerita yang
dituturkan Nyai Purut barusan. Dan beberapa saat kemudian, pandangannya
beredar ke sekeliling. Dirayapinya gadis-gadis muda yang masih tetap duduk
bersila mengelilinginya sambil tertunduk dalam. Cukup lama juga keadaan
menjadi sunyi, tanpa ada seorang pun yang bersuara.
Perlahan-lahan Ratu Intan Kumala Bangkit berdiri, lalu melompat turun dari
atas batu pipih itu. Sungguh ringan dan indah gerakannya, pertanda ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat sangat tinggi. Dan sedikit pun
tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah. Dia berdiri tegak, tepat
sekitar tiga langkah lagi di depan Nyai Purut. Sementara, perempuan tua itu
masih tetap duduk bersila dengan sikap sangat sopan.
“Kau tadi mengatakan tinggal tiga padepokan lagi yang masih berdiri...,”
kata Ratu Intan Kumala. Suaranya terdengar agak terputus.
“Benar, Gusti Ratu,” sahut Nyai Purut, seraya memberi sembah.
“Lalu, bagaimana kedua pendekar itu bisa berada di sana dalam waktu yang
bersamaan?” tanya Ratu Intan Kumala lagi.
Nyai Purut tidak langsung menjawab. Sedangkan Ratu Intan Kumala terus
memandangi, seperti menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan. Tapi cukup
lama juga Nyai Purut terdiam, seakan tengah memilih jawaban yang
tepat.
“Kau tahu, Nyai. Bagaimana kedua pendekar itu bisa berada pada tiga
padepokan dalam waktu yang bersamaan?” tanya Ratu Intan Kumala lagi.
“Aku sendiri tidak tahu, Gusti. Mereka selalu saja ada di
padepokan-padepokan itu. Entah bagaimana caranya, mereka selalu saja bisa
mendahuluiku,” sahut Nyai Purut.
Jelas sekali kalau Nyai Purut juga tidak mengerti, kenapa kedua pendekar
muda dari Karang Setra yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut itu bisa selalu ada di padepokan yang didatanginya. Malah kedua
pendekar itu seperti sudah tahu setiap kali ketiga padepokan itu akan
didatangi.
“Kau berkata yang sebenarnya, Nyai?” tanya Ratu Intan Kumala. lagi. Jelas
sekali kalau nada suara Ratu Intan Kumala seakan tidak percaya atas cerita
perempuan tua itu.
Sedangkan Nyai Purut buru-buru memberikan sembah. Dia tahu, Ratu Intan
Kumala yang menjadi junjungannya tidak percaya pada ceritanya tadi. Dan
memang, ceritanya tentang kedua pendekar muda itu sukar dipercaya. Padahal
jarak ketiga padepokan yang menghancurkan tempat tinggalnya sangat
berjauhan.
“Aku berani sumpah, Gusti. Mereka semua menjadi saksi,” tegas Nyai Purut,
seraya menunjuk gadis-gadis pengikutnya.
Dan semua gadis-gadis itu langsung saja merapatkan kedua tangan di depan
hidung. Menegaskan kalau mereka bersedia menjadi saksi dari kebenaran cerita
Nyai Purut tadi.
Ratu Intan Kumala jadi menggumam kecil. Dan sorot matanya begitu tajam,
menatap langsung ke wajah Nyai Purut. Sinar matanya seakan sedang
menyelidik, untuk menyakinkan diri akan kebenaran cerita perempuan tua
itu.
“Baiklah, Nyai. Untuk sementara, kau tetap berada di sini dulu. Aku akan
menyelidiki kebenaran dari ceritamu. Tapi, ingat.... Kalau sampai kau
berdusta, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu,” kata Ratu intan Kumala
dingin.
Nyai Purut cepat-cepat memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak
tangan di depan hidung. Dan belum juga perempuan tua itu bisa mengangkat
kepala lagi, tahu-tahu Ratu Intan Kumala sudah lenyap tanpa sedikit pun
meninggalkan bekas. Entah ke mana perginya. Perempuan cantik itu seperti
lenyap tertelan bumi saja. Sedikit pun tidak terdengar suara saat
kepergiannya tadi.
Dan Nyai Purut sendiri tidak tahu, ke mana arah kepergian wanita berwajah
cantik bagai bi-dadari itu. Dan rasanya, dia tidak mau memikirkannya lagi.
Maka segera diperintahkannya gadis-gadis pengikutnya untuk membuat pondok,
untuk tinggal di puncak bukit ini sementara waktu. Tanpa ada yang membantah,
dua puluh orang gadis muda itu segera melaksanakan perintah Nyai
Purut.
***
Matahari perlahan-lahan mulai bergerak ke arah barat. Sinarnya yang semula
begitu terik membakar kulit, kini terasa begitu lembut dan hangat, Bias-bias
sinarnya yang kemerahan, membuat pemandangan di sekitar kaki Bukit Menjangan
begitu indah dipandang mata. Tidak jauh dari kaki bukit yang selalu
berselimut kabut itu, atau tepatnya di tepi aliran sebuah sungai yang tidak
begitu besar, berdiri sebuah bangunan berukuran cukup besar yang dikelilingi
pagar cukup tinggi dari gelondongan kayu, yang bagian ujung atasnya
berbentuk runcing.
Bangunan itu seakan-akan sebuah benteng pertahanan. Tapi kalau dilihat dari
penghuninya, bangunan itu merupakan padepokan bagi orang-orang yang menuntut
ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan orang-orang menyebutnya dengan
Padepokan Tongkat Perak. Sebuah padepokan yang cukup besar, dipimpin seorang
perempuan berusia setengah baya. Namun, garis-garis kecantikan pada wajahnya
masih terlihat. Wanita itu selalu dipanggil dengan julukan Pendekar Tongkat
Perak. Dan nama yang sebenarnya adalah Nyai Samirah.
Sore yang tenang ini, Padepokan Tongkat Perak kedatangan tamu dua orang
pendekar. Yang seorang adalah pemuda tampan berbaju rompi putih. Dan yang
seorang lagi adalah gadis cantik berbaju biru muda. Dan kedua pendekar itu
memang tidak asing lagi bagi orang-orang kalangan persilatan. Mereka
masing-masing dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Jarang sekali orang memanggil nama mereka yang sebenarnya. Tapi, itu memang
sudah lazim bagi orang-orang persilatan.
“Rasanya keadaan sudah kembali tenang. Dan kami bisa melanjutkan perjalanan
lagi, Nyai Samirah,” ujar Rangga, sopan sekali.
“Kalian buru-buru ingin pergi, Rangga? Kurasa keadaan belum lagi bisa
dikatakan tenang. Bukankah Nyai Purut dan pengikut-pengikutnya belum jelas
nasib dan rimbanya...? Dan itu masih belum bisa dikatakan tenang, Rangga,”
kata Nyai Samirah berusaha mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti dan
Pandan Wangi.
“Aku yakin, mereka tidak akan berani lagi datang ke sini, Nyai,” selak
Pandan Wangi.
“Aku tahu betul watak perempuan iblis itu. Dia tidak akan menyerah begitu
saja, setelah kami berhasil menghancurkan tempat tinggalnya,” kata Nyai
Samirah lagi.
Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandang. Memang dalam dua hari
ini, mereka terpaksa harus tinggal di Padepokan Tongkat Perak. Waktu itu,
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut harus menguras tenaga dan keringat
untuk menghadapi Nyai Purut dan gadis-gadis pengikutnya, dalam menyelamatkan
padepokan ini dari lampiasan pembalasan dendam.
Bukan hanya Padepokan Tongkat Perak ini saja yang menghancurkan tempat
tinggal Nyai Purut. Tapi, masih ada beberapa padepokan lain yang bergabung.
Hanya saja, hampir semua padepokan itu sudah berhasil dibasmi Nyai Purut dan
para pengikutnya, kecuali tiga padepokan yang berhasil selamat. Dan itu juga
berkat Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ikut turun tangan. Ketiga
padepokan itu berhasil selamat dari kehancuran, walaupun harus menderita
kehilangan banyak anggotanya.
“Baiklah, Nyai. Aku dan Pandan Wangi akan tinggal di sini sampai besok
pagi,” kata Rangga akhirnya memutuskan.
“Ah...! Sebenarnya aku ingin kalian berdua ikut bersamaku membasmi Nyai
Purut. Rasanya hati ini belum bisa tenang kalau perempuan iblis itu masih
hidup dan berkeliaran. Dia bisa datang sewaktu-waktu dengan membawa kekuatan
yang lebih besar lagi,” ujar Nyai Samirah pelan, agak mendesah nada
suaranya.
“Aku janji, Nyai. Aku akan berusaha mendahului mereka,” kata Rangga
menyakinkan.
“Terima kasih, Rangga,” ucap Nyai Samirah, merasa sedikit lega.
Sebenarnya, Nyai Samirah bukannya takut menghadapi Nyai Purut. Tapi
disadari betul kalau kekuatan yang dimilikinya tidak mungkin sanggup
menghadapi gempuran perempuan tua itu bersama gadis-gadis pengikutnya yang
rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Dan lagi, mereka sangat
berpengalaman dalam pertempuran, karena sudah terkenal sebagai perompak yang
sangat liar dan kejam. Bahkan mereka tidak segan-segan memenggal kepala
orang yang mencoba melawannya.
Itu sebabnya, mengapa beberapa padepokan beraliran putih bergabung menjadi
satu dan mencoba menghancurkan gerombolan gadis perompak itu. Tapi, memang
akibatnya sangat parah. Gerombolan itu ternyata tidak bisa dihancurkan
keseluruhan. Bahkan sebagian besar padepokan yang ikut bergabung, mendapat
balasan Nyai Purut dan sisa-sisa pengikutnya. Satu persatu, mereka
menghancurkan padepokan-padepokan itu. Dan kini hanya tinggal tiga padepokan
saja yang tersisa, termasuk Padepokan Tongkat Perak ini.
“Kakang, aku akan keluar sebentar melihat- lihat padepokan ini,” kata
Pandan Wangi berpamitan.
“Ah ..! Silakan, Nini Pandan,” ujar Nyai Samirah mempersilakan.
“Tapi jangan sampai keluar dari pagar, Pandan,” pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdiri. Kakinya kemudian
melangkah meninggalkan ruangan berukuran cukup besar ini. Tapi baru saja
berjalan beberapa langkah menuju pintu, tiba-tiba saja....
Wusss...!
“Heh?! Upts...!” Pandan Wangi jadi terbeliak setengah mati, ketika
tiba-tiba sekali terlihat sesosok tubuh melayang begitu cepat ke arahnya,
menerobos pintu yang sejak tadi terbuka lebar. Cepat-cepat gadis cantik
berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu melenting ke samping,
menghindari terjangan sosok tubuh yang melayang sangat deras itu.
Sementara, Rangga dan Nyai Samirah juga cepat melompat bangkit berdiri.
Mereka juga sangat terkejut melihat kejadian itu. Dan belum lagi rasa
terkejut itu lenyap, kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar. Ternyata
sesosok tubuh yang tadi meluncur deras hampir menabrak Pandan Wangi,
langsung menghantam dinding bangunan ini. Dan sosok tubuh itu lalu jatuh
menggeletak, setelah bergulingan beberapa kali.
“Oh...?!” Pandan Wangi cepat-cepat menghampiri Rangga yang berdiri di
samping Nyai Samirah. Mereka begitu terkejut, setelah mengetahui kalau sosok
tubuh itu ternyata salah seorang murid Padepokan Tongkat Perak itu.
“Hup...!” Tiba-tiba saja Rangga melesat keluar dengan gerakan cepat luar
biasa. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga sebelum ada yang
menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di luar bangunan padepokan
yang berukuran cukup besar ini. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun
juga, kedua kakinya menjejak tanah.
Saat itu, Pandan Wangi dan Nyai Samirah juga bergegas keluar. Dan mereka
jadi terkejut sekali, begitu tiba di luar. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan
dengan leher terbabat hampir buntung. Dan sebagian, terlihat masih
mengucurkan darah segar. Itu berarti murid-murid padepokan ini belum lama
dibantai.
“Edan...! Apa-apaan ini...?!” desis Nyai Samirah geram.
***
DUA
Sambil menggerutukkan gerahamnya menahan berang, Nyai Samirah memeriksa
semua muridnya yang sudah tergeletak tak bernyawa dengan leher terbabat
hampir buntung. Bau anyir darah begitu terasa merasuk lubang hidung.
Sementara, Pandan Wangi sudah berdiri di sebelah kanan Pendekar Rajawali
Sakti. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tampak mengedarkan
pandangan, merayapi murid-murid Padepokan Tongkat Perak yang bergelimpangan.
Darah tampak mengucur deras, menggenangi bumi.
Belum juga Nyai Samirah, Rangga, dan Pandan Wangi bisa berbuat sesuatu,
kembali dikejutkan ledakan yang begitu dahsyat menggelegar. Dan seketika
mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba bangunan besar yang
menjadi pusat Padepokan Tongkat Perak hancur berkeping-keping begitu ledakan
dahsyat menggelegar terdengar.
Api langsung berkobar seketika, melahap bangunan yang seluruhnya terbuat
dari kayu. Cepat sekali api kobarannya, membuat bangunan padepokan itu tidak
dapat terselamatkan lagi. Gemeretak suara api melahap kayu-kayu bangunan
padepokan, membuat hati ketiga orang ini jadi mengiris pedih.
“Ha ha ha...!”
Kembali mereka dikejutkan oleh suara tawa keras menggema yang seakan-akan
datang dari segala penjuru mata angin. Sulit sekali dicari sumber datangnya
suara. Saat itu, Rangga sudah dapat memastikan kalau pemilik suara tawa ini
adalah seorang wanita yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi.
Pengerahan tenaga dalamnya begitu sempurna, sehingga suara tawanya menggema.
Sulit sekali menentukan sumbernya.
Dan belum juga ada yang bisa memastikan arah datangnya suara tawa itu,
tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan mengambang di dalam kobaran api yang
membakar bangunan Padepokan Tongkat Perak ini. Sebuah bayangan ramping
seorang wanita. Bukan hanya Pandan Wangi dan Nyai Samirah saja yang
terlongong keheranan, tapi Rangga pun jadi ternganga melihatnya. Belum
pernah mereka melihat keajaiban seperti ini.
“Siapa di antara kalian bertiga yang bernama Pendekar Rajawali Sakti...?”
Terdengar keras sekali suara bayangan wanita yang mengambang di dalam api
itu. Dan suara itu menggema, sulit dicari arah datangnya.
“Aku,” sahut Rangga mantap, seraya mengayunkan kakinya mendekati kobaran
api itu. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti berjalan beberapa langkah,
tiba-tiba saja wanita yang berada dalam kobaran api itu menghentakkan tangan
kanannya. Dan saat itu juga, terlihat bulatan bola api meluncur cepat ke
arah pemuda berbaju rompi putih ini.
“Haiiit...!” Manis sekali Rangga bergerak ke kiri, menghindari terjangan
bola api itu. Dan secepat itu pula kakinya ditarik ke samping. Tapi belum
juga bisa menegakkan tubuhnya, wanita di dalam kobaran api itu kembali
menghentakkan tangannya. Dan kali ini, beberapa kali bulatan-bulatan bola
api dilontarkannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup! Yeaaah...!” Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindari bola-bola
api yang beberapa kali hampir menghantam tubuhnya. Tapi dengan
gerakan-gerakan yang begitu indah dan lentur, semua itu masih bisa
dihindarinya.
Sementara, wanita dalam kobaran api itu terus gencar dan beruntun
melontarkan bola-bola apinya, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hal ini
membuat Pandan Wangi dan Nyai Samirah terpaksa harus menyingkir, menjauhi
tempat sekitar pertarungan yang sangat aneh ini.
Udara malam yang semula terasa dingin membekukkan tulang, kini berubah
menjadi hangat oleh kobaran api yang tersebar di seluruh lingkungan
Padepokan Tongkat Perak ini. Api berkobar di mana-mana, membakar apa saja
yang bisa terbakar.
Sementara, Rangga terus berjumpalitan menghindari serangan-serangan wanita
aneh yang muncul dari dalam koba-ran api itu. Sekitarnya sudah terasa begitu
panas, seakan-akan Pendekar Rajawali Sakti berada di dalam tungku api yang
sewaktu-waktu bisa saja menghanguskan tubuhnya.
“Huh! Napas ku mulai sesak...!” dengus Rangga dalam hati. Memang, napas
Pendekar Rajawali Sakti sudah mulai terasa jadi sesak. Bola-bola api yang
berhamburan di sekitarnya, membuat udara jadi berkurang. Rangga cepat
menyadari kalau tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama lagi bila
terus-menerus mendapat serangan seperti ini. Bagaimanapun juga, paru-parunya
membutuhkan udara segar.
“Hup! Hiyaaa...!” Begitu mendapat kesempatan yang sangat sedikit,
cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan
tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum mendarat di atas cabang sebatang
pohon yang sangat tinggi. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa
bernapas lega, wanita yang masih tetap berada di dalam kobaran api sudah
memberi serangan cepat dan dahsyat. Sebuah bulatan bola api yang sangat
besar, meluncur deras ke arah Rangga yang berada di atas dahan sebatang
pohon.
“Hup! Hiyaaa...!”
Glaaar...!
Tepat di saat Rangga melenting, bola api itu menghantam pohon hingga hancur
berkeping-keping, disertai ledakan dahsyat menggelegar dan memekakkan
telinga. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu
manis sekali menjejakkan kaki kembali di tanah.
Tapi, kali ini Rangga tidak mau lagi didahului. Begitu kakinya menjejak
tanah, cepat dikerahkannya satu aji kesakitan yang dianggapnya bisa
menandingi kedahsyatan kobaran api. Cepat kedua tangannya dirapatkan di
depan dada sambil menahan napas. Dan....
“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke
depan, tepat diarahkan pada kobaran api yang melahap bangunan rumah
Padepokan Tongkat Perak. Dan seketika itu juga, bertiup angin badai yang
sangat dahsyat dan luar biasa. Hempasan angin itu menimbulkan suara
menderu-deru menggetarkan jantung. Api yang berkobar besar, jadi tidak
terkendali lagi. Tampak bayang-bayang wanita yang berada di dalam api itu
berusaha untuk mengendalikan kobaran api di sekitar tubuhnya. Tapi, hempasan
angin badai yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat!
“Hiyaaa...!” Rangga menambah kekuatan hembusan angin badai topan
ciptaannya. Dan saat itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar di
angkasa, disertai percikan kilat tepat yang menyambar kobaran api itu.
Glaaar!
“Akh...!” Tiba-tiba terdengar jeritan agak tertahan, tepat bersamaan dengan
padamnya kobaran api yang melahap bangunan padepokan itu. Tampak seorang
wanita terpental cukup jauh ke belakang.
Sementara, Rangga segera mencabut kembali aji kesaktiannya. Dan dengan
sedikit lompatan, dihampirinya wanita itu. Tapi belum juga dekat, tiba-tiba
saja....
“Hih...!”
Wusss!
“Heh...?! Upts!”
Untung saja Rangga cepat menarik tubuhnya ke belakang. Maka beberapa buah
benda berwarna merah menyala yang dilontarkan wanita itu, tidak sampai
menghantam tubuhnya, dan lewat sedikit saja di atas tubuhnya yang doyong ke
belakang. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menegakkan tubuhnya kembali.
Dan pada saat yang bersamaan, wanita itu sudah bisa bangkit berdiri
kembali.
Kini di depan Pendekar Rajawali Sakti, berdiri seorang wanita yang bertubuh
indah menggiurkan. Wajahnya juga sangat cantik, bagaikan bidadari turun dari
kayangan. Bajunya warna merah muda yang sangat tipis, sehingga membayangkan
keindahan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan itu.
Rangga agak terkesiap juga begitu tahu kalau lawannya ini adalah seorang
wanita yang kecantikannya sempurna sekali. Untuk sesaat dipandanginya wanita
itu sampai tidak berkedip.
“Uh...!” Tapi, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengendalikan dirinya. Kakinya
ditarik ke belakang beberapa langkah, sambil menghembuskan napas
panjang.
Sementara, wanita cantik dan sempurna itu tersenyum manis sekali. Sikap
berdirinya seperti sengaja menantang Pendekar Rajawali Sakti, namun bukan
sikap hendak bertarung. Sikapnya lebih pantas bila disebut menggoda
kelaki-lakiannya, sehingga membuat dada pemuda itu jadi sedikit berdebar.
Betapa tidak...?
Kecantikan wanita ini sungguh sulit dicari bandingannya. Lekuk-lekuk
tubuhnya begitu indah, membuat mata seakan-akan sulit sekali dialihkan ke
arah lain. Malah dari tubuhnya menyebar aroma harum, membuat hati siapa saja
yang menciumnya jadi bergetar. Tapi Rangga tentu saja tidak ingin
terpengaruh. Kembali kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.
“Siapa kau?! Kenapa kau hancurkan padepokan ini?!” tanya Rangga dibuat
ketus nada suaranya. Pendekar Rajawali Sakti sengaja lebih dulu melontarkan
pertanyaan untuk menghilangkan sesuatu perasaan yang tiba-tiba saja
menggayuti hatinya tadi. Suatu perasaan yang sebenarnya wajar bagi
laki-laki, bila melihat wanita cantik seperti ini. Tapi Rangga tidak pernah
mau memanjakan perasaan hatinya. Dan dia selalu saja dapat mengendalikan
diri.
“Aku Ratu Intan Kumala...,” sahut wanita cantik itu lembut.
“Perempuan setan...!” geram Nyai Samirah tiba-tiba. Dan saat itu juga,
sebelum ada yang sempat menyadari, mendadak.... “Hiyaaat...!”
Nyai Samirah langsung saja melompat begitu cepat, sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Dan langsung saja
dikirimkannya beberapa pukulan beruntun dengan kecepatan bagai kilat
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hap...!” Tapi hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya saja, wanita berwajah
cantik yang mengaku bernama Ratu Intan Kumala itu berhasil menghindari
setiap serangan gencar yang dilancarkan wanita Pemimpin Padepokan Tongkat
Perak ini. Bahkan....
“Hih!"
Bet!
“Haiiit...!”
Plak!
Tanpa dapat diduga sama sekali, Ratu Intan Kumala mengebutkan tangan kiri
ke arah lambung Nyai Samirah. Namun gerakan begitu indah, Nyai Samirah
berhasil memapaknya. Akibatnya, tangan mereka berbenturan tepat di depan
lambung wanita Ketua Padepokan Tongkat Perak ini.
“Ugkh...!” Nyai Samirah agak mengeluh sedikit, dan cepat-cepat melompat ke
belakang. Tangannya yang tadi berbenturan dengan tangan Ratu Intan Kumala
langsung dipegangi, karena rasa sakit yang tak terkira. Terasa jelas sekali
kalau tenaga dalam Nyai Samirah masih kalah jauh. Ketua Padepokan Tongkat
Perak ini merasakan tangannya jadi bergetar. Bahkan seakan-akan
tulang-tulang tangannya seperti remuk. Namun Nyai Samirah tidak sempat lebih
lama lagi merasakan nyeri pada tangannya, karena Ratu Intan Kumala sudah
memberi satu pukulan yang begitu keras dan cepat disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi.
“Hiyaaat...!” Saat itu Nyai Samirah benar-benar tidak dalam keadaan yang
menguntungkan. Dan hatinya jadi terhenyak melihat Ratu Intan Kumala sudah
memberi satu serangan yang begitu cepat, tanpa dapat diduga sebelumnya. Dan
rasanya tidak mungkin bisa dielakkan. Tapi begitu pukulan tangan kanan Ratu
Intan Kumala hampir saja menghantam dadanya, tiba-tiba saja....
“Yeaaah...!”
“Heh?! Hap...!” Ratu Intan Kumala jadi tersentak kaget setengah mati,
begitu tiba-tiba Rangga sudah melompat. Langsung Pendekar Rajawali Sakti
memapak pukulan Ratu Intan Kumala yang dilepaskan ke arah dada Nyai Samirah.
Cepat-cepat wanita cantik itu menarik pulang pukulannya. Tapi, gerakannya
sudah terlambat. Akibatnya, satu benturan keras pun tidak dapat dihindari
lagi. Dan....
Plak!
“Ikh...!” Ratu Intan Kumala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat tubuhnya
melenting ke belakang, dengan melakukan putaran dua kali di udara. Dan
begitu kakinya menjejak tanah lagi, Rangga sudah berdiri tegak di depan Nyai
Samirah dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya begitu
tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita berbaju merah muda yang sangat
tipis ini.
“Ukh! Pantas saja semua orang selalu membicarakanmu, Pendekar Rajawali
Sakti. Ternyata kau memang bukan hanya pepesan kosong belaka. Benar-benar
kuakui kalau kau berisi,” terasa dingin sekali nada suara Ratu Intan
Kumala.
“Kau sudah tahu siapa aku, Nisanak. Sebaiknya segera enyah dari sini,
sebelum pikiranku berubah,” ujar Rangga tidak kalah dinginnya.
“Memang belum saatnya kita beradu otot, Pendekar Rajawali Sakti. Aku
sesungguhnya hanya ingin menguji kebenarannya saja. Satu saat nanti, kita
akan bertarung mengadu jiwa,” sambut Ratu Intan Kumala.
“Hmmm....”
Setelah berkata demikian, cepat sekali Ratu Intan Kumala melesat pergi.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata
saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Wanita itu bagaikan lenyap ditelah
bumi, tidak ketahuan arah kepergiannya.
Tapi Rangga tidak lagi mempedulikan. Segera tubuhnya berputar, menghampiri
Nyai Samirah. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengambil tangan Nyai Samirah
yang sejak tadi terus dipegangi. Sementara Pandan Wangi sudah berada di
sampingnya. Rangga memeriksa tangan Nyai Samirah sebentar, kemudian
melepaskannya lagi sambil menghembuskan napas panjang. Sedangkan matanya
melirik sedikit pada Pandan Wangi.
“Tanganmu tidak apa-apa, Nyai. Hanya tulangmu retak sedikit saja,” jelas
Rangga.
“Hhh! Tenaga dalamnya sungguh tinggi. Aku hampir saja tidak kuat
menghadangnya tadi,” dengus Nyai Samirah.
“Hanya saja, lain kali jangan bertindak seperti itu, Nyai. Aku bisa
memaklumi perasaanmu. Tapi tindakanmu tadi, bisa membahayakan keselamatan
dirimu sendiri,” kata Rangga mengingatkan.
”Kau tahu siapa dia itu, Rangga...?”
Rangga hanya diam saja dengan kepalanya sedikit menggeleng. Nyai Samirah
menatap Pandan Wangi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga
menggeleng. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memang tidak tahu,
siapa Ratu Intan Kumala itu. Sedangkan Nyai Samirah tampak menarik napas
dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Perempuan itu bukan manusia, Rangga...,” jelas Nyai Samirah dengan suara
seperti terputus.
“Bukan manusia...? Apa maksudmu, Nyai?” tanya Pandan Wangi agak terkejut
tidak mengerti.
“Dia setengah manusia dan setengah siluman,” Nyai Samirah mencoba
menjelaskan.
Saat itu juga Pandan Wangi dan Rangga saling melemparkan pandangan. Memang
tadi ketika Ratu Intan Kumala muncul saja, seakan-akan sulit diterima akal
biasa. Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan begitu lama berada dalam
kobaran api, walaupun memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali pun.
Dan dari peristiwa itu saja, sudah dapat diduga kalau wanita cantik bagai
bidadari yang mengaku bernama Ratu Intan Kumala bukanlah manusia
biasa.
Paling tidak, di dalam tubuhnya mengalir darah siluman. Rangga yang
sebenarnya sejak tadi sudah menduga begitu, tidak terlalu terkejut seperti
Pandan Wangi. Dan dari pertarungannya yang aneh tadi, sudah bisa diraba
kalau kekuatan yang dimiliki Ratu Intan Kumala bukanlah kekuatan seorang
manusia, melainkan suatu kekuatan yang datangnya dari darah siluman.
“Hhh...! Kemunculannya pasti akan semakin memperburuk keadaan...,” desah
Nyai Samirah bernada mengeluh.
“Apa maksudmu berkata seperti itu, Nyai?” tanya Pandan Wangi.
“Kalian tahu, Ratu Intan Kumala adalah junjungan dan sesembahan Nyai
Purut,” jelas Nyai Samirah. Jelas sekali terdengar kalau nada suara Ketua
Padepokan Tongkat Perak itu ditahan.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melempar pandang lagi.
Mereka benar-benar tak menyangka kalau wanita cantik bagai bidadari itu ada
hubungannya dengan Nyai Purut, pemimpin gerombolan gadis perompak yang sudah
hampir hancur. Dan keterangan yang diberikan Nyai Samirah kali ini
benar-benar sangat mengejutkan. Sungguh tak pernah terpikirkan kalau
kemunculan Ratu Intan Kumala ada hubungannya dengan peristiwa yang belum
lama ini terjadi dan belum bisa hilang dari ingatan. Waktu itu beberapa
padepokan silat beraliran putih telah bergabung untuk menghancurkan
gerombolan gadis perompak yang dipimpin Nyai Purut.
“Pasti Nyai Purut sudah memanggil dan meminta bantuan padanya untuk
menghancurkan kita semua,” kata Nyai Samirah lagi.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Entah apa yang ada dalam
kepala mereka. Sedangkan dari raut wajah Nyai Samirah, terlihat jelas rasa
kecemasan atas munculnya Ratu Intan Kumala tadi. Terlebih lagi, wanita
cantik setengah siluman itu sudah menghancurkan padepokannya dengan
mudah.
***
TIGA
Semalaman penuh, Rangga, Pandan Wangi, dan Nyai Samirah tidak bisa
memicingkan matanya barang sekejap pun. Dan begitu matahari membiaskan
cahayanya di ufuk timur, mereka mulai bergerak meninggalkan padepokan yang
sudah hancur dengan menunggang kuda masing-masing. Kuda-kuda dikendarai
tidak terlalu cepat, dengan tujuan ke utara. Mereka terus berkuda sampai
matahari berada tepat di atas kepala, dan baru berhenti setelah tiba di
lereng Bukit Menjangan. Bukit ini cukup tinggi, dan selalu terselimut kabut
tebal. Mereka turun dari punggung kuda masing-masing. Sedangkan kuda-kuda
itu dibiarkan merumput, tanpa tali kekang terikat. Pandangan mata mereka
kini sama-sama tertuju ke puncak bukit yang tampak putih berselimut
kabut.
“Kalian siap ke sana...?” tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun.
“Nyawa pun akan ku pertaruhkan, asalkan iblis-iblis keparat itu musnah dari
muka bumi,” tegas, Nyai Samirah.
“Bagaimana denganmu, Pandan?” Tanya Rangga seraya berpaling menatap Pandan
Wangi.
“Ke neraka sekali pun, aku tidak akan mundur selangkah pun Kakang,” sahut
Pandan Wangi mantap.
“Tapi kekuatan mereka harus diperhatikan, Nyai. Kita hanya bertiga.
Sedangkan mereka, paling sedikit ada dua puluhan orang jumlahnya,” kata
Rangga lagi.
“Rasanya kita tidak memerlukan bantuan siapa pun juga, Rangga. Kalaupun
perlu, rasanya terlalu berbahaya bila murid-murid padepokan lain
diikutsertakan. Memang, aku sendiri yakin kalau mereka pasti tidak akan
menolak, bila diminta untuk melenyapkan perempuan-perempuan setan itu,” kata
Nyai Samirah lagi.
Rangga terdiam dan pandangannya kembali tertuju pada puncak Bukit Menjangan
yang selalu terselimut kabut tebal. Nyai Samirah dan Pandan Wangi juga
mengarahkan pandangan ke sana. Walaupun hati sudah begitu mantap, tapi
kata-kata Rangga tadi membuat mereka jadi berpikir juga. Dan dari kenyataan
yang ada, memang jumlah kekuatan mereka tidaklah sebanding.
Terlebih lagi, yang jadi tujuan adalah kediaman Ratu Intan Kumala. Sudah
barang tentu, semakin besar pula bahaya yang akan dihadapi di sana nanti.
Tapi bagi Rangga sendiri, bukan jumlah kekuatan orang yang menjadi beban
pikirannya. Dari pertarungannya melawan Ratu Intan Kumala semalam, sudah
bisa diukur kalau Nyai Samirah dan Pandan Wangi tidak akan sanggup untuk
ikut menghadapi. Sedangkan untuk menghadapi Nyai Purut dan gadis-gadis
pengikutnya, sudah cukup berat bagi Nyai Samirah dan Pandan Wangi. Berbagai
macam perhitungan sudah memenuhi benak Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak
mau bertindak gegabah, yang bisa saja dapat merugikan mereka semua.
“Tunggu apa lagi, Kakang...? Ayo kita ke sana,” ajak Pandan Wangi tidak
sabaran.
Rangga tidak menyahuti, dan malah menggumam perlahan. Kepalanya terlihat
bergerak ke kanan sedikit. Pandan Wangi yang melihat gerakan kepala Pendekar
Rajawali Sakti langsung saja menggenggam senjata Kipas Maut, walaupun belum
dicabut dari balik ikat pinggangnya. Sementara, telapak tangan Pendekar
Rajawali Sakti juga sudah terlihat terkepal. Sedangkan Nyai Samirah yang
belum menyadari, tidak tahu gelagat yang sudah dirasakan kedua pendekar muda
itu. Dia jadi heran juga melihat Pandan Wangi sudah mencabut setengah
senjata mautnya yang berbentuk kipas dari baja berwarna putih
keperakan.
“Pandan, kenapa kau....”
Belum lagi selesai pertanyaannya Nyai Samirah, tiba-tiba saja....
“Awas...!” Seruan Rangga yang begitu keras dan sangat tiba-tiba, langsung
mengejutkan Nyai Samirah. Dan belum juga perempuan tua itu bisa menyadari
apa yang terjadi, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat
dari atas pohon ke arah kepalanya. Maka, perempuan tua itu jadi terperangah.
Tapi belum juga bayangan hitam itu mendekat, Pandan Wangi yang sejak tadi
sudah siaga, langsung saja melesat sambil mencabut kipas mautnya.
“Hiyaaat...!” Bet!
Begitu cepat Pandan Wangi mengebutkan senjata mautnya, tapi bayangan hitam
itu juga lebih cepat lagi melenting menghindarinya. Sehingga, kebutan kipas
maut berujung runcing itu tidak sampai mengenainya. Dan pada saat yang
bersamaan, Rangga juga menyambar tubuh Nyai Samirah. Akibatnya, perempuan
tua itu jatuh bergulingan di tanah, tapi cepat melompat bangkit. Sementara,
Pandan Wangi terus melenting mengejar sosok tubuh berpakaian serba hitam
itu. Beberapa kali kipas mautnya dikebutkan, tapi sosok tubuh berbaju serba
hitam itu memang sangat gesit. Tak heran kalau serangan selalu bisa
dihindari gadis berjuluk si Kipas Maut.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Beberapa kali Pandan Wangi mengebutkan senjatanya dengan kecepatan tinggi
sekali. Namun sosok tubuh berpakaian serba hitam itu terus berjumpalitan di
udara untuk menghindarinya. Hingga akhirnya, sosok hitam itu melesat jauh ke
belakang sambil berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kakinya menjejak
tanah, tepat bersamaan dengan Pandan Wangi juga menjejakkan kakinya di
tanah.
“Hap! Yeaaah...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung saja melompat
menyerang sambil mengebutkan kipasnya secara berputaran dari leher ke dada.
Serangan yang dilakukan sungguh cepat, membuat orang berpakaian serba hitam
itu jadi kelabakan menghindarinya. Dan pada saat orang berbaju hitam itu
terus terdesak, tiba-tiba saja dari atas pohon muncul lagi satu sosok tubuh
yang juga berpakaian serba hitam. Bahkan langsung meluruk, menyerang Pandan
Wangi.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat ke belakang sambil berputaran di udara
beberapa kali. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun belum juga
tubuhnya bisa ditegakkan, dua orang berpakaian serba hitam itu sudah
melompat menyerang kembali dengan kecepatan tinggi sekali.
“Cepat mundur, Pandan! Hiyaaa...!”
“Hup!” Begitu Pandan Wangi melompat mundur ke belakang, saat itu juga
Rangga melesat bagai kilat menyongsong dua orang berpakaian serba hitam
tadi. Langsung saja dilepaskannya dua pukulan menggeledek disertai
pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
“Haiiit...!” “Hapts!”
Tapi kedua orang itu cepat sekali berkelit, menghindari serangan Pendekar
Rajawali Sakti dengan berlompatan menyebar ke samping. Sehingga, pukulan itu
sama sekali tidak mengenai sasaran.
Sret! Cring!
“Hmmm....” Rangga menyilangkan tangan kanannya ke depan dada, begitu
melihat dua orang berpakaian serba hitam yang ternyata dua orang gadis
berusia muda mencabut pedangnya. Mereka kini berada di sebelah kanan dan
kiri Pendekar Rajawali Sakti. Kaki mereka bersamaan bergeser. Gerakan mereka
ringan sekali, dengan pedang digerak-gerakkan.
Sementara, Pandan Wangi sudah berada di samping Nyai Samirah lagi.
Sedangkan kaki Rangga juga bergeser mengikuti arah gerakan kaki kedua gadis
muda berpakaian serba hitam itu. Dia tahu, gadis-gadis ini adalah para
pengikut Nyai Purut, dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Kepandaian
mereka memang tidak bisa dikatakan rendah. Bahkan Nyai Samirah yang
mengetuai sebuah padepokan pun, pasti akan mendapat kesulitan
menghadapinya.
Hal ini sudah diketahui ketika Nyai Samirah ikut bersama
padepokan-padepokan lain menggempur tempat kediaman Nyai Purut dan para
pengikutnya. Hal ini membuat Rangga tidak bisa memandang rendah kedua gadis
muda ini. Dengan sinar mata tajam, diamatinya setiap gerakan kaki dua calon
lawannya. Dan keadaan pun jadi terasa sunyi sekali. Sedikit pun tak
terdengar suara keluar dari mulut mereka. Ketegangan begitu terasa merasuk
ke dalam hati.
“Hiyaaa...!” Bet! Wuk!
Bagaikan kilat, kedua gadis berpakaian serba hitam itu melesat cepat sambil
mengebutkan pedang ke arah kepala dan kaki Rangga. Namun, Pendekar Rajawali
Sakti yang memang sejak tadi sudah siap cepat merundukkan kepala, diikuti
tarikan kaki ke atas. Sehingga, serangan kilat dan bersamaan dari kedua
gadis manis sekali itu dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
Rangga melakukan gerakan berputar yang begitu cepat, Sambil melepaskan dua
pukulan sekaligus secara beruntun. Kemudian, disusul sepakan kakinya yang
begitu cepat dan menggeledek. Begitu cepat serangan baliknya, sehingga kedua
gadis itu tidak sempat lagi menyadari. Dan....
Dugkh! Begkh!
“Ukh...!” “Aaakh...!”
Kedua gadis itu seketika terpental ke belakang, sambil memekik keras agak
tertahan. Pukulan dan tendangan yang dilepaskan Rangga, tepat menghantam
tubuh mereka dengan keras sekali. Tapi hanya beberapa kali saja mereka
bergulingan di tanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri.
Sedangkan Rangga sudah berdiri tegak menanti. Memang, pukulan dan tendangan
yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti tadi tidak disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Sehingga, tidak sampai melukai kedua gadis itu. Bahkan mereka
sudah kembali berlompatan menyerang sambil berteriak begitu keras melengking
tinggi.
“Hup! Yeaaah...!” Kembali Rangga melenting ke udara. Dan saat itu juga
jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dikerahkan. Kedua kakinya bergerak
begitu cepat men-garah, langsung ke kepala salah seorang gadis itu. Demikian
cepat serangan itu, sehingga gadis ini tidak dapat lagi menghindar.
Dan...
Des! Prak!
“Aaa...!” Kembali terdengar jeritan panjang menyayat yang melengking
tinggi. Tampak salah seorang gadis yang terkena sepakan kaki Pendekar
Rajawali Sakti berputaran beberapa kali di atas kedua kakinya, lalu ambruk
menggelepar di tanah. Kepalanya kontan pecah, dan menyemburkan darah segar.
Gadis itu mengerang sambil menggeliat-geliat meregang nyawa. Sementara,
gadis lainnya lagi jadi terlongong bengong melihat temannya yang kini
mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi.
“Keparat! Kubunuh kau! Hiyaaat...!” Gadis yang melihat temannya tewas
dengan kepala pecah jadi geram bukan main. Sambil berteriak keras
menggelegar, dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya
dikebutkan beberapa kali, menyerang bagian-bagian tubuh Rangga yang
mematikan.
Tapi dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, manis sekali Pendekar Rajawali
Sakti berhasil menghindari serangan-serangan itu. Meskipun cahaya pedang
berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti, namun tak satu pun
yang bisa menyentuh. Jurus demi jurus pun berlalu cepat. Dan Rangga masih
saja menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Sebuah jurus yang hanya
digunakan untuk menghindari setiap serangan gencar dan beruntun seperti
ini.
“Setan...! Hiyaaat...!” Gadis itu jadi geram setengah mati, melihat
seran-gan-serangan yang dilancarkan tidak mendapat hasil sedikit pun. Sambil
berteriak keras menggelegar, serangannya semakin diperhebat. Pedangnya
berkelebatan cepat sekali, hingga menimbulkan suara angin mencicit mengiris
hati.
Sementara, Rangga masih saja berjumpalitan, sambil meliuk-liukkan tubuhnya
untuk menghindari setiap serangan yang datang. Dan, Pendekar Rajawali Sakti
mulai merasakan kalau serangan-serangan yang dilancarkan gadis ini semakin
bertambah cepat dan berbahaya saja.
“Hup! Hiyaaa...!” Menyadari akan bahayanya serangan-serangan gadis berbaju
serba hitam itu, bagai kilat Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara.
Kemudian beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, sebelum akhirnya
hinggap di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!” Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis
berbaju serba hitam itu menghentakkan cepat tangan kanannya setelah
memindahkan pedangnya ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak
tangan kanannya yang terbuka dan tertuju ke arah Rangga, meluncur secercah
sinar berwarna merah menyala bagai kilatan lidah api.
“Hiyaaa...!” Cepat-cepat Rangga melenting dan langsung meluruk turun dengan
gerakan sangat ringan bagaikan kapas tertiup angin. Maka, serangan gadis
berbaju serba hitam itu tidak menemui sasaran. Dan sinar merah menyala bagai
lidah api itu hanya menghantam pohon yang dinaiki Rangga tadi.
Glaaar...!
Satu ledakan keras dan dahsyat, terdengar menggelegar begitu ujung cahaya
merah itu menghantam pohon. Tampak pohon itu seketika hancur
berkeping-keping, terkena hantaman serangan gadis berbaju serba hitam
ini.
“Gila...!” desis Rangga mendengus, begitu kakinya menjejak tanah lagi.
Memang sangat dahsyat serangan yang dilakukan gadis berbaju serba hitam itu.
Bisa dibayangkan kalau sampai menghantam tubuh manusia. Pasti bisa hancur
Jadi debu! Buktinya pohon yang berukuran sangat besar dan tampak kokoh itu
saja sampai hancur berkeping-keping, disertai percikan bunga api yang
menyebar ke segala arah.
“Hiyaaat...!” Gadis berbaju serba hitam yang cukup ketat itu kembali
melancarkan serangan dahsyatnya. Tangan kanannya dihentakkan dengan
kecepatan tinggi sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang kini sudah
kembali berada di tanah.
“Hap!”
Tapi kali ini Rangga tidak berusaha berkelit sedikit pun juga. Bahkan
pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat itu dinantikannya sampai dekat. Dan
begitu ujung cahaya merah menyala itu dekat, cepat sekali Rangga juga
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung dipapaknya serangan gadis
berwajah cukup cantik ini.
“Hih! Yeaaah...!”
Claaark!
Dari kedua telapak tangan Rangga, juga meluncur cahaya merah. Dan....
Glaaar...! Dua cahaya merah bagai api itu seketika beradu tepat di
tengah-tengah. Dan saat itu juga, tampak bunga api memercik ke segala arah
disertai ledakan yang begitu keras menggelegar dan memekakkan telinga.
Tampak gadis berpakaian serba hitam itu terpental sampai sejauh dua batang
tombak. Sedangkan Rangga hanya terdorong sekitar dua langkah saja. Terlihat
jelas pada sudut bibir dan lubang hidung gadis berbaju serba hitam itu
mengeluarkan darah kental berwarna agak kehitaman. Dan dari kejadian ini
saja, sudah dapat diketahui kalau tingkat tenaga dalam yang dimiliki gadis
itu masih di bawah Pendekar Rajawali Sakti.
“Hih! Hiyaaa...!”
Sambil melompat cepat bagai kilat, Rangga menjumput pedang bekas lawannya
yang telah tewas di tanah. Dan bagaikan kilat pula, pedang itu dikebutkannya
ke arah dada.
“Ukh! Hih...!” Gadis berpakaian ketat serba hitam jadi tersentak kaget
setengah mati. Tapi belum juga bisa melakukan sesuatu, pedang di tangan
Rangga sudah berkelebat begitu cepat menyambar ke arah dadanya. Dan saat
itu, memang tidak ada waktu lagi untuk menghindari. Maka, cepat sekali
pedangnya dikebutkan untuk menyampok pedang yang ada di tangan Pendekar
Rajawali Sakti.
Ting...! Bunga api kembali terlihat memijar, begitu dua bilah pedang beradu
tidak seberapa jauh lagi didepan dada wanita itu.
“Hih! Yaaah...!” Cepat-cepat gadis itu melenting ke belakang, dan menarik
pulang tangannya yang menggenggam pedang. Dua kali tubuhnya berputaran di
udara, lalu manis sekali kembali menjejak tanah. Tapi pada saat itu juga,
Rangga sudah melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan
tenaga dalam tingkat sempurna.
“Haiiit...!” Gadis itu sudah berusaha untuk menghindari, tapi....
Des! “Akh...!”
Kembali gadis itu terpekik, begitu bagian kiri dadanya terkena pukulan
keras menggeledek bertenaga dalam sempurna yang dilepaskan Rangga tadi.
Tampak gadis itu kembali terpental ke belakang, lalu jatuh menghantam tanah
dengan punggung lebih dulu.
“Hoeeekh...!” Segumpal darah kental agak kehitaman terlontar keluar dari
mulut gadis itu, ketika hendak bangkit berdiri. Namun kembali dia jatuh
terduduk di tanah. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali, mencoba
mengusir rasa pening yang menyerang kepala. Pandangannya juga
berkunang-kunang, dan nafasnya jadi sesak tersengal.
Sementara, Rangga sudah menghampiri dengan ayunan kaki begitu mantap. Sorot
matanya terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata gadis
berpakaian serba hitam itu.
Sedangkan Pandan Wangi dan Nyai Samirah juga menghampiri dengan langkah
hati-hati. Mereka tampak tidak ingin bertindak sembarangan menghadapi gadis
pengikut Nyai Purut ini. Pengikut Nyai Purut itu bisa bertindak sekejam
iblis. Dan tingkat kepandaian mereka juga tidak bisa dikatakan rendah. Di
samping itu, rata-rata selalu bertindak licik, tanpa dapat diduga sama
sekali.
Sementara, Rangga sudah begitu dekat dengan gadis itu. Dan langkah baru
berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi. Sorot matanya
masih terlihat begitu tajam, tertuju langsung menusuk ke bola mata gadis
berbaju serba hitam ini.
“Phuih!”
“Hmmm....”
***
EMPAT
“Kenapa kau menyerang kami, Nisanak?” terasa begitu dingin nada suara
Rangga.
“Phuih!” Gadis berbaju serba hitam itu hanya menyemburkan ludahnya saja
menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan sorot matanya tidak
kalah tajam, membalas tatapan pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara,
Pandan Wangi dan Nyai Samirah sudah berada sekitar dua langkah di belakang
Rangga. Mereka juga memandangi gadis berbaju serba hitam yang masih tetap
terduduk di tanah dengan napas terus tersengal akibat terkena serangan
Pendekar Rajawali Sakti tadi.
“Kau pasti pengikut Nyai Purut...,” kata Rangga lagi.
“Huh! Apa pedulimu...?!” sentak gadis itu ketus.
“Jelas aku peduli, Nisanak. Kedatanganku ke sini sengaja untuk bertemu
dengannya,” sahut Rangga masih terdengar datar dan dingin sekali nada
suaranya.
Gadis berbaju serba hitam yang memang pengikut Nyai Purut itu, mengalihkan
pandangan ke arah Nyai Samirah yang berada di belakang sebelah kiri Pendekar
Rajawali Sakti. Sorot matanya begitu tajam, seperti menyimpan dendam yang
mendalam. Mendapat tatapan seperti itu, membuat hati Nyai Samirah jadi agak
bergetar. Tapi cepat dibalasnya sorot mata tajam itu dengan tatapan yang
tidak kalah tajamnya.
Dan gadis berbaju serba hitam ini kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan dicobanya bangkit berdiri, sambil memegangi dadanya yang masih
terasa nyeri dan sesak sekali. Dengan bibir meringis menahan sakit, akhirnya
dia bisa juga berdiri walaupun tubuhnya tidak lagi tegak. Sementara tatapan
matanya masih tetap tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri lima
langkah di depannya.
“Nisanak, kau tahu di mana Nyai Purut kini berada?” tanya Rangga lagi. Nada
suara Pendekar Rajawali Sakti masih terdengar begitu dingin dan datar dengan
pandangan terus tertuju ke bola mata gadis ini. Sementara untuk beberapa
saat, gadis yang berbaju serba hitam itu tidak menjawab sedikit pun juga.
Bahkan tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti dibalas dengan tatapan yang
semakin tajam. Dan baru saja gadis itu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba
saja....
Slap!
“Heh...?”
Bres!
“Akh...!”
“Hup!” Rangga cepat melompat, ketika tiba-tiba saja terlihat sebuah benda
berwarna putih keperakan yang langsung menyambar dada gadis itu. Begitu
cepat lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejapan mata saja
sudah berada di atas pohon, tempat benda berwarna keperakan tadi datang
tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak menemukan apa pun juga di
sana.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, kemudian kembali melesat turun
dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya menjejak
tanah. Rangga langsung menghampiri gadis berbaju serba hitam yang kini sudah
tergeletak dengan dada berlubang mengucurkan darah.
“Huh...!” Pemuda yang selalu berbaju rompi putih ini jadi mendengus kesal,
setelah mengetahui kalau gadis itu sudah tewas. Sebuah benda bulat bagai
besi dari baja berwarna putih keperakan tampak telah bersarang di dalam
dadanya. Kini tidak ada lagi petunjuk bagi Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya,
Nyai Purut lebih memilih kehilangan pengikutnya, daripada tempat
persembunyian sekarang diketahui. Saat itu, Rangga sudah memutar tubuhnya.
Pandangan matanya langsung tertuju pada Pandan Wangi, kemudian beralih pada
Nyai Samirah.
“Aku rasa, kita sudah dekat dengan tempat mereka, Kakang. Dan aku yakin,
mereka pasti ada di sekitar bukit ini. Atau mungkin juga di puncak sana,”
kata Pandan Wangi memecah kebisuan.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja mendengar kata-kata si Kipas Maut itu.
Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti mengarah ke puncak bukit yang
ditunjuk Pandan Wangi tadi.
Sedangkan Nyai Samirah hanya diam saja. Namun matanya juga memandang ke
puncak bukit yang selalu terselimut kabut tebal itu. Kembali mereka semua
terdiam untuk beberapa saat.
“Ayo...,” ajak Rangga tanpa berpaling sedikit pun. Pandan Wangi dan Nyai
Samirah saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian sama-sama mengikuti
ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali melanjutkan perjalanan
mengejar Nyai Purut yang dianggap sebagai manusia paling berbahaya di dunia
ini.
***
Kabut semakin tebal menyelimuti sekitar lereng Bukit Menjangan ini.
Sementara, matahari sudah demikian condong ke arah barat. Sinarnya yang
biasa terik kini tidak lagi terasa, terhalang oleh tebalnya kabut. Saat ini,
Rangga sudah mengumpulkan ranting-ranting kering, dan menumpuknya menjadi
satu. Diputuskannya untuk bermalam di lereng bukit ini. Dan esok paginya,
mereka baru melanjutkan perjalanan kembali menuju puncak bukit. Memang,
perjalanan yang ditempuh kali ini terasa begitu berat. Bahkan mereka tidak
lagi menunggang kuda yang terpaksa ditinggalkan di kaki Bukit
Menjangan.
“Bagaimana, Kakang? Cukup untuk mengisi perut kita malam ini...?”
Rangga berpaling dan mengangkat kepala begitu mendengar suara Pandan Wangi
dari arah kanan. Bibirnya tersenyum melihat gadis itu menenteng empat ekor
kelinci gemuk. Gadis itu menghampiri, dan meletakkan kelinci-kelinci itu di
dekat kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Nyai Samirah mana?” tanya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti ingat kalau tadi
Pandan Wangi pergi bersama Nyai Samirah. Tapi sekarang, gadis itu kembali
hanya seorang diri saja. Sedangkan Nyai Samirah sampai saat ini belum juga
kelihatan.
“Kami berpisah tadi. Dan aku tak tahu, dia akan ke mana,” sahut Pandan
Wangi.
“Seharusnya kalian jangan terpisah. Terlalu berbahaya seorang diri di
tempat seperti ini, Pandan,” kata Rangga menyesalkan.
“Tapi Nyai Samirah sendiri yang menginginkannya, Kakang,” kilah Pandan
Wangi.
“Ya sudahlah...,” desah Rangga tidak ingin memperpanjang.
Mereka kemudian menguliti kelinci-kelinci itu, dan menusuknya dengan
sebatang ranting yang cukup kuat. Rangga kemudian membuat api unggun saat
keadaan mulai gelap. Api tambak menyala cukup besar, menjilat-jilat udara.
Satu persatu dibakarnya kelinci-kelinci perolehan Pandan Wangi. Sedangkan
Pandan Wangi sendiri duduk bersandar di bawah pohon, memperhatikan Rangga
terus sibuk membakar kelinci perolehannya. Pandan Wangi baru menghampiri
lagi setelah keempat kelinci itu sudah matang. Gadis itu duduk di sebelah
kiri Pendekar Rajawali Sakti. Bau harum daging kelinci membuat perut Pandan
Wangi terus berbunyi minta diisi, tapi tidak mau mengambil lebih dulu.
Sementara itu, Nyai Samirah belum juga kelihatan. Padahal hari sudah
benar-benar menjadi gelap.
“Aku merasa tidak enak, Kakang...,” ujar Pandan Wangi, dengan suara
terdengar pelan seperti berbisik.
Rangga berpaling, menatap wajah cantik gadis itu. Di antara kilatan cahaya
api, tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut cukup dalam. Dan kelopak
matanya pun terlihat agak menyipit.
“Aku juga demikian, Pandan. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu pada Nyai
Samirah,” sahut Rangga, setelah beberapa saat terdiam memandangi wajah
cantik si Kipas Maut.
“Apa sebaiknya kita cari saja, Kakang?” usul Pandan Wangi.
“Tunggu saja sebentar lagi,” sahut Rangga. “Mudah-mudahan saja tidak
terjadi apa-apa terhadapnya.”
“Hhh...!” Pandan Wangi menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
Sementara, Rangga mulai mengambil sepotong daging kelinci. Kemudian mulai
dinikmatinya daging kelinci panggang itu. Pandan Wangi juga tidak mau
ketinggalan. Apalagi, perutnya memang sudah sejak tadi minta diisi. Daging
kelinci panggang itu dinikmati tanpa berbicara sedikit pun. Dan sesekali
mereka saling melemparkan pandangan. Jelas sekali terlihat kalau sinar mata
mereka memancarkan rasa kecemasan. Waktu seakan-akan terasa berjalan begitu
lambat.
Sedangkan Nyai Samirah belum juga kelihatan bayangannya sedikit pun juga.
Dan ini membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu semakin terlihat
cemas. Mereka benar-benar khawatir telah terjadi sesuatu pada perempuan tua
Ketua Padepokan Tongkat Perak yang sudah hancur itu. Apalagi tempat ini
sangat berbahaya, sehingga sedikit pun tidak boleh lengah.
“Kau di sini saja, Pandan,” kata Rangga agak mendesah, seraya bangkit
berdiri.
“Mau ke mana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku akan mencari Nyai Samirah,” sahut Rangga.
“Ke mana mencarinya, Kakang? Hutan di lereng bukit ini luas sekali.”
“Aku usahakan tidak jauh-jauh dari sini. Kau jangan ke mana-mana dulu,
Pandan. Tunggu aku kembali.”
Pandan Wangi tidak bisa mencegah, dan hanya menganggukkan kepala saja.
Sementara, Rangga sudah melangkah pergi meninggalkan gadis itu seorang diri.
Dipilihnya jalan yang tadi sore dilalui Pandan Wangi dan Nyai Samirah ketika
hendak mencari makanan untuk pengganjal perut. Sebentar saja, Rangga sudah
tidak kelihatan lagi punggungnya. Tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam
yang begitu pekat menyelimuti sekitar Bukit Menjangan ini.
Sementara, Pandan Wangi kembali duduk di dekat api. Ditatapnya sebentar
sisa-sisa daging kelinci panggang. Masih terlalu banyak, tapi seleranya
sudah tidak ada lagi. Gadis itu hanya diam saja sambil mengedarkan pandangan
ke sekeliling. Dan ketika pandangannya ke sebelah kanan, tiba-tiba
saja....
“Heh...?!”
Pandan Wangi cepat melompat bangkit, begitu tiba-tiba sekilas melihat
sebuah bayangan berkelebat begitu cepat tadi. Hanya sekelebatan saja,
kemudian cepat menghilang bagaikan setan. Kembali pandangannya beredar
berkeliling, sambil membuka pendengarannya tajam-tajam. Ketegangan sangat
terasa menyelimuti tempat ini. Begitu sunyinya, sampai detak jantung Pandan
Wangi terdengar begitu jelas. Dan gadis itu tidak sedikit pun
memperdengarkan suara. Wajahnya terlihat begitu menegang. Dan di saat sedang
memperhatikan keadaan sekelilingnya....
Wusss!
“Heh...?! Upts...?!”
Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba
sekali terlihat sebuah bayangan benda meluruk cepat bagai kilat ke arahnya
diiringi bunyi mendesing yang begitu jelas di telinga. Benda itu lewat hanya
sedikit saja di samping tubuhnya. Dan baru saja tubuhnya bisa ditarik tegak
kembali, sudah terlihat puluhan anak panah berhamburan begitu cepat dari
sekeliling tubuhnya.
“Hiyaaat...!”
Sret! Bet! Wuk!
Bagaikan kilat pula, Pandan Wangi melompat ke atas sambil mencabut Kipas
Maut senjatanya. Dan secepat itu pula dikebutkan secara berputaran. Maka
beberapa batang anak panah yang mendekati tubuhnya, langsung jatuh terhempas
begitu tersampok kipas baja putih itu.
“Hap! Yeaaah...!”
Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan di udara, sambil cepat
mengebutkan kipasnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan panah-panah
yang berjumlah puluhan. Panah-panah itu menyerang bagaikan hujan yang
ditumpahkan dari langit. Berserabutan di sekitar tubuh ramping si Kipas Maut
yang berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
“Hup! Hiyaaat...!”
Begitu kaki pun menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya kembali melesat
tinggi-tinggi ke udara sambil mengebutkan Kipas Maut beberapa kali.
Akibatnya anak-anak panah itu rontok berguguran terkena kebutan kipas baja
putihnya. Setelah berputaran beberapa kali, manis sekali gadis yang dikenal
julukan si Kipas Maut itu hinggap di atas sebatang cabang pohon yang cukup
tinggi dan besar. Saat itu, tidak lagi terlihat anak panah berhamburan
mengancam jiwanya. Kini Pandan Wangi bisa menarik napas lega sedikit.
“Huh! Siapa mereka...?! Mau apa menyerangku?!” dengus Pandan Wangi bertanya
pada diri sendiri dalam hati.
Tapi, pertanyaan si Kipas Maut itu hanya ada di kepalanya saja. Dan belum
lagi bisa terjawab, kembali tubuhnya sudah harus berjumpalitan di udara
untuk menghindari serangan benda-benda yang berhamburan di sekitarnya.
Begitu banyak benda berwarna putih keperakan itu, sehingga bagaikan hujan
datangnya. Pandan Wangi terus berjumpalitan di udara, sambil mengebutkan
senjatanya. Disampoknya setiap serangan yang datang mengancam tubuhnya.
Gerakan-gerakan yang dilakukan si Kipas Maut itu memang sangat indah dan
cepat, sehingga tidak satu pun dari serangan-serangan yang bisa mengenai
tubuhnya.
“Hup! Hiyaaat...!” Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, Pandan Wangi
melenting tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya berputaran cepat, diikuti kebutan
kipas mautnya yang berwarna putih keperakan.
“Hap!” Manis sekali gadis itu hinggap di dahan pohon. Tapi belum juga bisa
menarik napas lega, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat
menyambar ke arahnya. Akibatnya, Pandan Wangi jadi terperangah sesaat.
“Hup! Yeaaah...!” Kembali gadis ini harus melesat dan berjumpalitan di
udara menghindari terjangan bayangan hitam itu. Beberapa kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah.
Namun baru saja telapak kakinya bisa menyentuh tanah, mendadak saja dari
balik semak dan pepohonan bermunculan gadis-gadis berpakaian serba hitam
dengan pedang tergenggam di tangan. Di punggung mereka tampak
kantong-kantong anak panah yang sudah habis isinya. Kemunculan gadis-gadis
itu membuat Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati.
Tidak kurang dari lima belas orang, sudah mengepung si Kipas Maut ini. Dan
pedang mereka semua sudah terhunus di tangan masing-masing. Pandan Wangi
mendongakkan kepala sedikit ke atas. Tampak di atas dahan pohon yang tadi
dipijaknya, berdiri seorang perempuan tua berbaju jubah panjang hitam pekat.
Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat yang bentuknya tidak
beraturan.
“Nyai Purut...,” desis Pandan Wangi langsung bisa mengenali perempuan tua
itu. Agak bergetar juga hati Pandan Wangi, karena menyadari saat ini hanya
seorang diri saja. Sedangkan keadaannya benar-benar tidak menguntungkan. Dia
sudah terkepung rapat oleh gadis-gadis pengikut Nyai Purut. Bahkan mereka
semua sudah siap menyerang dengan pedang terhunus.
“Hik hik hik...! Tidak percuma kau mendapat julukan si Kipas Maut, Pandan
Wangi. Permainan kipasmu memang dahsyat sekali. Tapi aku tidak yakin, apakah
kau sanggup bertahan tanpa adanya kekasihmu,” terasa dingin sekali nada
suara Nyai Purut.
“Hhh! Apa maumu, Nyai Purut?!” sentak Pandan Wangi lantang.
“Hik hik hik...! Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Pandan Wangi.
Untuk apa kau berada di sini?” Nyai Purut malah balik bertanya, disertai
tawanya yang kering dan terkikik.
“Kedatanganku memang sengaja untuk mencarimu, Nyai Purut!” sahut Pandan
Wangi lantang.
“Hik hik hik...! Tidak salahkah pendengaranku...? Apa yang kau andalkan
untuk menantangku, Pandan Wangi?” ejek Nyai Purut, meremehkan.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dia mendengus kecil sambil membuka
kipas mautnya di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju
langsung ke bola mata Nyai Purut yang masih tetap berdiri tegak di atas
dahan pohon yang cukup tinggi.
Sedangkan yang dipandangi hanya terkikik saja, kemudian menghentakkan
tongkatnya satu kali. Dan seketika itu juga...
“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”
Empat orang gadis berpakaian serba hitam yang agak ketat, seketika itu juga
berlompatan cepat untuk menyerang Pandan Wangi.
“Hait! Yeaaah...!”
Wuk! Trang!
“Hup!”
Si Kipas Maut cepat melompat ke belakang dua langkah, begitu kipasnya
berhasil menangkis sabetan pedang salah seorang lawan yang mengarah ke dada.
Tapi pada saat itu juga, dari arah kanan berkelebat sebilah pedang yang
sangat cepat.
“Hapts...!” Cepat-cepat Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya, untuk
melindunginya dari tebasan pedang itu. Tapi pada saat bersamaan, gadis
berbaju serba hitam yang menyerangnya cepat sekali menarik pedang, dan
langsung mengibaskannya ke arah kaki si Kipas Maut.
“Hap! Yeaaah...!”
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menghindari sabetan pedang yang mengarah
ke kakinya. Dan begitu berada di udara, secepat kilat kaki kanannya
dihen-takkan, disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
“Ups...!” Hanya sedikit saja gadis itu merundukkan kepala sehingga
tendangan kaki Pandan Wangi berhasil dihindari. Sementara sambil berputar
satu kali, Pandan Wangi kembali menjejak tanah. Dan saat itu juga, datang
lagi serangan dari depan dan belakang secara bersamaan.
“Haps...!” Manis sekali Pandan Wangi meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari
setiap sabetan pedang yang datang mengincar nyawanya. Bahkan gerakan
tubuhnya semakin diperhebat, diimbangi gerakan kaki begitu lincah untuk
menghindari serangan-serangan gadis-gadis berbaju serba hitam itu dari empat
jurusan.
“Suiiit...!”
Tiba-tiba saja terdengar siulan yang begitu nyaring melengking tinggi. Dan
belum lagi gema siulan itu menghilang dari pendengaran, empat orang berbaju
serba hitam yang menyerang Pandan Wangi langsung cepat berlompatan mundur.
Dan pada saat itu juga, berlompatan enam orang gadis lain yang langsung
melepaskan jaring-jaring berwarna hitam pekat.
“Hah...?!” Pandan Wangi jadi tersentak kaget, melihat enam orang
berlompatan sambil menebarkan jarring hitam kepadanya. Cepat-cepat si Kipas
Maut melompat ke belakang, sambil mengebutkan kipas ke arah jaring yang
datang dari depan. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, satu jaring hitam
lagi meluncur deras ke arahnya, disusui dua orang gadis lagi yang menebarkan
jaring dari arah yang berbeda.
Rrrt!
“Ukh...!” Memang sudah terlambat bagi Pandan Wangi untuk menghindar. Dua
jaring berhasil menjeratnya, setelah berhasil menghindari satu jaring yang
ditebarkan kepadanya. Saat itu juga, empat jaring hitam lain langsung
membelenggu kekasih Pendekar Rajawali Sakti ini.
“Tarik terus...!” Terdengar suara bernada perintah yang begitu lantang dan
kering.
Rrrt...!
Enam buah jaring hitam kini sudah membelenggu seluruh tubuh Pandan Wangi.
Dan enam orang gadis yang memegangi segera menarik ujung-ujung jaring sampai
merapat sehingga membuat gerakan Pandan Wangi jadi menyempit dan sama sekali
tidak berdaya. Sedangkan senjata kipasnya sudah terlepas dari tangannya
tadi, ketika jaring-jaring hitam itu ditebarkan.
“Bawa dia cepat...!” perintah Nyai Purut dengan suara lantang.
“Setan...! Lepaskan aku, Perempuan Iblis!” bentak Pandan Wangi
memaki.
Tapi makian si Kipas Maut itu hanya dibalas tawa terkikik saja. Bahkan
gadis-gadis berpakaian serba hitam itu langsung menyeretnya dengan kasar.
Pandan Wangi sempat terpekik ketika tubuhnya menghantam akar yang menyembul
dari dalam tanah. Gadis itu tidak lagi bersuara. Dan dengan diam-diam,
pedang pusakanya dilepaskan, dan ditinggalkan begitu saja di tanah. Dia
tidak ingin senjata pusakanya jatuh ke tangan manusia berhati iblis seperti
wanita-wanita berpakaian serba hitam ini. Baginya, lebih baik tidak membawa
senjata dalam keadaan seperti ini.
***
Emoticon