SATU
Sorak sorai yang diselingi tepuk tangan dan mulut-mulut usil terdengar riuh
dari orang yang memadati halaman besar sebuah bangunan batu menyerupai puri.
Di tengah tengah lingkaran bergaris putih, terlihat dua orang bertubuh tinggi
kekar dengan otot-otot bersembulan sedang berlaga. Tubuh mereka yang hanya
mengenakan cawat dari kulit binatang, telah kotor oleh tanah berlumpur.
Tampak pada bagian atas undakan bangunan puri itu, duduk seorang laki-laki
berusia sekitar enam puluh tahun di atas kursi berukir. Dia dikawal empat
orang bersenjata tombak dan pedang. Di sampingnya duduk seorang wanita muda
yang wajahnya terlindung cadar tipis dari sutra. Dalam bayang-bayang cadar
tipis itu, masih terlihat seraut wajah cantik yang memiliki mata bening
bercahaya. Namun nampak jelas kalau wanita itu tidak menyenangi acara adu
kekuatan. Dari sikapnya yang selalu gelisah, mencerminkan ketidaktahannya
berlama-lama di situ.
Sementara itu dua orang yang berlaga sudah mencapai puncaknya. Suara sorak
sorai bergemuruh ketika salah seorang terjerembab tewas dengan dada tertembus
golok besar dan panjang. Orang yang memperoleh kemenangan itu mengangkat
tangannya tinggi-tinggi keatas, kemudian membungkuk memberi hormat pada
laki-laki yang dikawal empat orang bersenjata itu.
Seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul mendekatkan
wajahnya pada laki-laki di depannya yang berbaju indah dihiasi manik-manik dan
sulaman benang emas. Dia membisikkan sesuatu.
"Silakan, umumkan saja," kata orang yang duduk di kursi berukir itu.
Orang tua berjubah kuning gading itu kemudian mendekati seorang laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berkumis tebal melintang. Juga dibisikkan sesuatu,
dan laki laki tegap berkumis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
laki-laki berkumis melintang itu melangkah maju tiga tindak, lalu menjura
memberi hormat.
"Ada pengumuman dari Yang Mulia Sura Antaka. Siapa saja boleh maju menantang
Singo Barong. Yang menang akan mendapat hadiah seratus keping emas!" lantang
suara laki-laki berkumis itu.
Pengumuman itu disambut gegap gempita, namun tidak ada seorang pun yang
melompat maju ke arena. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berwajah
beringas, berdiri tegak dengan angkuhnya. Sikapnya menantang siapa saja yang
mau mencoba bertanding dengannya.
"Ayah, boleh aku pergi sebentar?" wanita yang duduk di samping Sura Antaka
memohon lembut.
"Sebentar lagi, anakku. Pertunjukkan belum selesai," kata Sura Antaka.
Wanita bercadar tipis itu langsung diam. Dari sinar matanya dapat ditebak
kalau dia semakin tidak senang dengan semua pertunjukkan ini, tapi tidak
berani untuk meninggalkannya. Dia tahu kalau ayahnya sangat disegani dan
ditakuti di daerah Utara ini. Seorang yang memiliki kekuasaan besar, meskipun
bukan raja. Pengikutnya cukup banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian yang
tidak rendah.
Sementara itu, dari kerumunan penonton yang tidak bisa diam mulutnya, melompat
seorang pemuda ke tengah-tengah arena. Wajahnya cukup tampan. Namun luka codet
di pipi kirinya sangat mengganggu, dan seperti mengurangi ketampanannya. Dia
menjura memberi hormat pada Sura Antaka.
“Yang Mulia, aku minta hadiahnya ditambah. Aku menginginkan Putri Dewi
Mustikaweni menjadi hadiahnya,” kata pemuda itu lantang
"Bocah lancang! Berani benar menghina Putri Dewi Mustikaweni!" bentak
laki-laki tua berjubah dan berkepala gundul itu.
“Pendeta Ajisaka, bagiku seratus keping emas tidak ada artinya. Hanya Putri
Dewi Mustikaweni yang menjadi keinginanku," tegas pemuda itu semakin
berani.
Sementara Singo Barong menggeram marah mendengar kelancangan mulut calon
lawannya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa sebelum mendapat perintah dari
junjungannya. Singo Barong hanya bisa menatap dengan mata merah membara penuh
kemarahan. Saat itu Sura Antaka bangkit dari kursinya. Suasana yang semula
riuh, mendadak sunyi. Semua orang yang berada di tempat itu menjadi berdebar
mendengar kelancangan mulut pemuda codet di pipi kirinya itu.
"Anak muda, siapa namamu? Dari mana kau berasal?" tanya Sura Antaka kalem nada
suaranya.
"Aku Gagak Codet, dan berasal dari Gunung Pitu. Sengaja datang ke sini untuk
mengikuti pertandingan ini. Tapi tujuanku hanya untuk memboyong putrimu!"
lantang jawaban pemuda yang mengaku bernama Gagak Codet
"Kau sudah kenal putriku?" tanya Sura Antaka lagi. Nada suaranya masih
terdengar tenang.
"Belum."
Suara tawa langsung pecah seketika. Tapi suara tawa itu seketika berhenti
ketika Gagak Codet membentak dengan keras. Sedangkan Sura Antaka hanya
tersenyum saja.
"Baiklah, Gagak Codet. Aku terima tawaranmu. Tapi kalahkan dulu Singo Barong.
Setelah itu hadapi Macan Gadak, kemudian Pendeta Ajisaka. Dan yang terakhir
aku sendiri. Bagaimana?"
"Tidak perlu satu-satu. Lebih baik maju semua!" tantang Gagak Codet.
"Sombong!" dengus Singo Barong semakin muak.
"Aku bukan orang yang senang main keroyokan, Gagak Codet Nah! Lawanlah Singo
Barong lebih dahulu," masih terdengar tenang nada suara Sura Antaka.
Belum lagi kata-kata Sura Antaka hilang dari pendengaran, Singo Barong sudah
menggeram keras, lalu secepat kilat melompat menerjang Gagak Codet. Namun
terjangan itu dengan manis sekali dapat dihindarkan. Bahkan Gagak Codet masih
mampu memberikan pukulan keras ke arah kepala manusia bertubuh tinggi tegap
dan kotor berlumpur itu. Sekitar arena pertandingan itu memang becek dan
berlumpur.
Sorak dan tepuk tangan serta celetukan-celetukan memanasi kembali terdengar.
Sura Antaka kembali duduk di kursinya. Bibirnya tetap tersenyum menyaksikan
pertarungan yang sudah berlangsung sengit itu. Nampak sekali kalau Gagak Codet
memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Gerakan-gerakannya lincah, dan setiap
pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Beberapa kali Singo
Barong terkena pukulan pemuda berwajah codet pada pipi kirinya itu. Tapi tubuh
Singo Barong memang kebal, bagai terbuat dari baja. Dia hanya menggerung
setiap terkena pukulan atau tendangan pada tubuhnya.
Hari sudah menjelang senja, tapi pertarungan antara Singo Barong melawan Gagak
Codet masih terus berlangsung sengit. Kini Gagak Codet sudah mengeluarkan
senjatanya yang berupa pedang tipis dan panjang, hampir melebihi panjang
tangannya sendiri. Dan Singo Barong pun sudah menggenggam goloknya yang besar
dan nampak berat itu.
"Modar! Hiyaaat...!" tiba-tiba Gagak Codet berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya cepat, mengarah ke dada Singo
Barong. Namun laki-laki bertubuh tinggi besar penuh lumpur itu malah
menurunkan tangannya, lalu membuka dadanya lebar-lebar. Tak pelak lagi,
tebasan pedang Gagak Codet kontan menghantam dada Singo Barong. Namun yang
terjadi sungguh mengejutkan!
"Akh...!" Gagak Codet malah terpekik, dan langsung melompat mundur.
"Hua ha ha ha...!" Singo Barong tertawa terbahak-bahak.
"Setan...!" geram Gagak Codet sambil meringis. Semua jari-jari tangannya jadi
terasa kaku berdenyut. Sungguh luar biasa sekali tubuh Singo Barong. Padahal
tepat sekali pedang Gagak Codet membelah dadanya. Dan pemuda codet itu malah
merasakan seperti menghantam sebongkah baja yang kuat sekali. Bahkan pedangnya
sampai terpental balik, dan seluruh persendian tangannya bergetar nyeri.
Semua orang yang memadati sekitar arena pertarungan itu bersorak
mengelu-elukan Singo Barong. Beberapa mulut usil mengejek Gagak Codet, dan
memanas-manasinya. Wajah Gagak Codet jadi merah padam. Bergegas
digerak-gerakkan pedangnya membuat satu gerak pembuka jurus.
"Keluarkan semua kemampuanmu, Gagak jelek! Aku beri kesempatan lima jurus!"
kata Singo Barong jumawa.
"Phuih!" Gagak Codet menyemburkan ludahnya. Bagaikan seekor macan lapar, Gagak
Codet melompat cepat sambil membabatkan pedangnya tiga kali ke arah
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Tapi hebatnya Singo Barong tidak bergeming sedikit pun. Bahkan dibiarkan saja
pedang itu menghantam tubuhnya, sambil dia tertawa terbahak-bahak. Gagak Codet
mendengus kesal bercampur geram. Namun dalam hatinya jadi gentar juga
menghadapi kenyataan ini. Kemampuannya sudah semua dikeluarkan, tapi sedikit
pun tidak dapat melukai kulit manusia tambun ini.
"Cukup, Gagak jelek! Sekarang giliranku!" seru Singo Barong keras.
Setelah berkata demikian, Singo Barong mengebutkan tangan. Ditangkapnya pedang
Gagak Codet yang terayun cepat mengarah ke leher. Singo Barong menghentakkan
pedang itu, sehingga Gagak Codet terangkat naik, dan terpental ke udara.
Dengan keras, Gagak Codet jatuh bergelimpangan di tanah berlumpur hitam.
Bajunya yang semula bersih, seketika dipenuhi kotoran lumpur.
Tapi Gagak Codet tidak sempat menghiraukan lumpur yang mengotori tubuh dan
bajunya, karena dia sudah sibuk menghindari serangan golok besar Singo Barong.
Gagak Codet hanya mampu berkelit. Pedangnya sudah patah-patah dirampas manusia
tinggi besar berwajah garang itu.
"Phuih! Aku tidak mau mati konyol di sini!" dengus Gagak Codet
Tepat ketika golok Singo Barong mengarah ke kakinya, Gagak Codet melompat. Dan
dengan ujung jari kakinya dia menotok permukaan golok itu. Dengan meminjam
tenaga Singo Barong, tubuhnya melenting, melewati beberapa kepala, dan hinggap
di atas dahan pohon. Sebelum ada yang menyadari, Gagak Codet cepat melesat
kabur dari tempat itu.
"Jangan biarkan dia lolos! Kejar...!" seru Pendeta Ajisaka keras.
Beberapa orang berseragam membawa pedang dan tombak, langsung bergerak
mengejar. Bahkan tiga puluh orang berkuda segera menggebah kudanya ikut
mengejar Gagak Codet. Sura Antaka sendiri sampai terlonjak berdiri dari
kursinya melihat Gagak Codet kabur. Belum pernah dalam acara pertandingan yang
diadakan setiap tiga bulan ini ada orang yang kabur dalam kekalahannya.
Biasanya yang kalah langsung mati di tempat.
"Paman Ajisaka, cari monyet keparat itu sampai dapat. Bawa dia padaku!" kata
Sura Antaka geram.
"Baik, Yang Mulia," sahut Pendeta Ajisaka seraya menjura hormat
Sura Antaka melangkah menuruni undakan bangunan puri itu. Sedangkan Putri Dewi
Mustikaweni mengikuti di sampingnya. Sebuah kereta ditarik delapan ekor kuda
putih, telah siap di depan undakan batu itu. Seorang berseragam merah membawa
tombak panjang, membuka pintu kereta.
Sura Antaka memberikan kesempatan pada putrinya untuk masuk lebih dahulu,
kemudian baru dia sendiri melangkah masuk. Kereta indah yang ditarik delapan
ekor kuda putih itu bergerak meninggalkan halaman puri ini. Sekitar lima puluh
orang berpakaian seragam merah dan bersenjata tombak, mengikuti dari belakang
dengan kuda-kuda mereka. Sedangkan lima puluh orang lagi berkuda di depan. Di
samping kanan kereta, tampak seorang laki-laki tegap berkumis tebal berkuda
dengan tenangnya. Dialah yang bernama Macan Gadak, salah seorang andalan Sura
Antaka di samping Singo Barong dan Pendeta Ajisaka.
Semua orang yang memadati halaman puri itu segera bubar begitu kereta kuda
yang membawa Sura Antaka dan putrinya meninggalkan halaman puri. Tinggallah di
situ Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan lima puluh orang berseragam dengan
senjata tombak dan pedang. Beberapa ekor kuda pun masih tertambat di bawah
pohon. Mereka juga langsung bergerak pergi, tapi arahnya berbeda. Sepertinya
menuju ke arah Gagak Codet kabur.
***
Suara gamelan mengalun, mengiringi lenggak-lenggok para penari yang memamerkan
keindahan tubuhnya di depan puluhan pasang mata yang tidak berkedip
memandanginya. Malam itu, di tempat kediaman Sura Antaka tengah dilangsungkan
pesta yang sangat meriah. Pesta yang selalu diadakan setelah siang harinya
berlangsung acara adu ketangkasan dan kekuatan di halaman puri.
Bangunan besar dan indah bagai istana itu tampak ramai dipenuhi orang, baik di
halaman maupun di sekitar luar pagar tembok yang tinggi membentengi bangunan
itu. Lampu lampu berhias terpancang di setiap tempat Umbul-umbul dan
hiasan-hiasan lain menambah semaraknya malam ini. Tampak di bagian lain
terlihat beberapa kelompok orang berjudi, minum tuak sambil bermabuk-mabukkan
ditemani wanita-wanita pengobral senyum. Semua orang kelihatan bergembira.
Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis cantik yang mengurung diri
dalam sebuah kamar yang sangat besar dan indah. Dua orang wanita gemuk berusia
sekitar lima puluhan menemaninya.
"Semua orang bergembira di luar. Tapi Gusti Ayu Dewi Mustikaweni malah
mengurung diri di kamar," terdengar gumaman salah seorang wanita gemuk
itu.
"Hus! Ngomong jangan sembarangan!" dengus seorang lagi.
"Lha..., memangnya aku ngomong apa? Memang benar kok kenyataannya. Rugi lho
tidak ikut menikmati pesta."
"Kalau kalian ingin pesta, silakan. Biarkan aku sendirian di sini," sergah
Putri Dewi Mustikaweni seraya menoleh menatap kedua embannya.
"Ah! Tidak kok, Den Ayu."
"Aku tidak apa-apa. Memang sebaiknya kalian ikut bersenang-senang. Pergilah
kalian."
"Tidak ah, Den Ayu. Wong tadi hanya becanda saja kok," kata wanita gemuk
itu.
Putri Dewi Mustikaweni hanya tersenyum saja. Sungguh manis dan memikat sekali
senyumnya itu. Kakinya melangkah gemulai mendekati pembaringan besar
beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Lembut sekali dia
membaringkan tubuhnya. Bola matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya.
Sedangkan dua embannya hanya bersimpuh saja di lantai. Mereka tidak berbicara
lagi.
Sementara di luar sana, keramaian masih terus berlangsung. Semakin larut,
suasana pesta itu semakin meriah. Para nayaga terus menabuh gamelan dengan
irama yang semakin hangat, menambah kesemarakan suasana pesta. Tampak di dalam
ruangan lain yang sangat besar dan indah, Sura Antaka setengah berbaring
dikelilingi wanita cantik berkemben, sehingga menampakkan kulit bahu dan
sebagian dadanya yang membusung.
Pendeta Ajisaka, Macan Gadak, dan Singo Barong di kursi menghadapi meja bundar
beralaskan batu pualam putih berkilat. Beberapa guci arak menggeletak kosong.
Masing-masing ditemani seorang wanita bertubuh sintal yang senyumnya selalu
mengembang.
"Paman Ajisaka, aku belum mendengar laporan tentang Gagak Codet. Bagaimana
usaha pencarianmu?" tanya Sura Antaka.
"Sukar dicari, Yang Mulia Sura Antaka. Tapi sudah kuperintahkan untuk terus
mencari sampai dapat. Mereka orang-orang pilihan yang berkemampuan cukup
tinggi. Aku yakin, dalam waktu yang tidak lama si keparat itu bisa ditemukan,"
sahut Pendeta Ajisaka sambil mencolek dahu wanita yang menemaninya. Wanita itu
manja sekali menggelayutkan tubuhnya, memeluk leher laki-laki tua berkepala
gundul itu.
"Bagus! Aku ingin bocah itu segera ditangkap. Dia sudah berani menghinaku, dan
harus mati!" tegas Sura Antaka.
"Hanya Yang Mulia yang boleh membunuhnya," sambut Pendeta Ajisaka.
"Ha ha ha ha...!" Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.
Laki-laki setengah baya itu menatap pada Macan Gadak yang asyik bersama teman
wanitanya. Suara cekikikan manja terdengar mengusik telinga.
"Macan Gadak...!"
"Oh, hamba.... Yang Mulia," Macan Gadak agak tergagap.
"Sudah ada berita dari kerajaan?" tanya Sura Antaka.
"Dua hari lagi akan datang kiriman dari Kadipaten Galungan. Pihak kerajaan
mengirimkan prajurit-prajuritnya untuk mengawal. Aku tidak tahu pasti, apa
yang mereka bawa. Mungkin juga upeti," sahut Macan Gadak.
"Bagus! Persiapkanlah orang-orang kita, dan aku sendiri yang akan memimpin.
Lewat jalan mana mereka?"
"Seperti biasa. Melalui Bukit Rangkat," sahut Macan Gadak.
"Ha ha ha ha...! Kita rampas upeti mereka. Bunuh semua prajurit kerajaan!"
Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.
"Benar, Yang Mulia. Kalau mereka sudah kekurangan prajurit, maka dengan mudah
kita dapat menguasai Kerajaan Gelang Wesi!" sambut Pendeta Ajisaka.
"Itu sudah menjadi cita-citaku, Paman Ajisaka. Prabu Nayadarma harus turun
tahta. Biar dia tahu, bagaimana rasanya jadi orang terbuang! Biar dia tahu
rasa! Ha ha ha ha...!" kembali Sura Antaka tertawa terbahak-bahak.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Sedangkan yang wanita hanya cekikikan
saja, tidak mempedulikan pembicaraan itu. Bagi mereka, semakin banyak harta
rampasan yang diperoleh, semakin banyak pula penghasilan. Dan tentu saja
mereka bisa hidup tanpa kekurangan lagi. Yang penting bagi mereka adalah tidak
mengecewakan orang-orang berkuasa di daerah Utara ini.
Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau pembicaraan itu didengar seseorang
yang berlindung di balik tembok dekat jendela besar yang terbuka lebar.
Seorang yang memakai kerudung kain berwarna gelap. Orang itu langsung
menyelinap pergi tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Sementara suasana pesta semakin tidak menentu. Para Nayaga tidak lagi menabuh
gamelannya. Mereka sudah mabuk bergelimpangan kebanyakan minum arak.
Tubuh-tubuh lain sudah bergelimpangan tidak menentu di mana-mana. Suara tawa
lepas dan cekikikan manja wanita-wanita pengobral senyum masih mewarnai dari
tempat tertentu. Sedangkan di salah satu kamar, Dewi Mustikaweni tetap
berbaring, dan matanya menerawang jauh ke langit-langit kamarnya. Namun dua
embannya sudah rebah mendengkur di lantai beralaskan permadani bulu yang tebal
dan hangat.
"Hhh...!" Dewi Mustikaweni menghembuskan napas panjang. Pelahan-lahan matanya
terpejam.
Malam terus merayap semakin larut. Suara-suara di luar masih saja terdengar
timbul tenggelam. Angin berhembus kencang menaburkan hawa dingin menusuk
tulang. Namun semua itu tidak dipedulikan lagi. Di mana-mana tercium bau arak
yang keras. Semua yang terjadi di tempat bagai istana itu tidak luput dari
perhatian seseorang yang berkelebat menyelinap dari satu tempat ke tempat
lain. Kemudian sosok tubuh itu lenyap setelah melewati bagian belakang tembok
benteng yang mengelilingi bangunan besar dan indah bagai sebuah istana
itu.
***
DUA
Serombongan orang berpakaian seragam prajurit yang membawa umbul-umbul
bergambar lambang sebuah kerajaan, bergerak melingkari Kaki Bukit Rangkat.
Empat orang bertubuh tegap, menggotong sebuah peti besar dengan tandu. Mereka
berjalan tidak tergesa-gesa. Seorang laki-laki yang berkuda paling depan,
selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tegap, berseragam pakaian
punggawa. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan keras. Seketika itu juga dari arah
samping kanan, kiri, belakang, dan depan berhamburan orang-orang berseragam
merah yang pada dadanya bergambar seekor naga. Mereka semua membawa senjata
pedang, tombak, dan golok. Para prajurit yang berjumlah tidak lebih dari
seratus orang itu langsung berhenti.
"Bertahan...!" seru punggawa yang menunggang kuda putih dengan keras.
Suara gemuruh derap kaki kuda dan teriakan-teriakan gegap gempita memecah
udara di Kaki Bukit Rangkat itu. Tidak berapa lama, terdengar denting senjata
beradu dan jeritan melengking kematian. Pertempuran pecah seketika itu juga.
Orang-orang berbaju merah bergambar naga pada bagian dada, bertempur dengan
sengit. Sebentar saja prajurit dari Kerajaan Gelang Wesi dan prajurit
Kadipaten Kranggan sudah banyak yang tewas. Bau anyir darah langsung menyebar
menyengat hidung.
Belum lagi pertarungan itu berlangsung lama, tiba-tiba dari arah Selatan
muncul prajurit-prajurit Kerajaan Gelang Wesi. Mereka semua mengendarai kuda
yang dipacu cepat. Tampak dari lereng bukit, Sura Antaka begitu geram melihat
kemunculan prajurit Kerajaan Gelang Wesi yang jumlahnya menjadi tiga kali
lipat dari jumlah orang-orangnya.
"Macan Gadak! Perintahkan semuanya mundur!" perintah Sura Antaka.
"Baik Yang Mulia," sahut Macan Gadak.
Sura Antaka melompat naik ke punggung kuda, lalu menggebahnya kencang menuju
Utara, diikuti Pendeta Ajisaka dan Singo Barong. Sedangkan Macan Gadak
bergegas menuruni bukit mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
"Mundur...!" seru Macan Gadak keras. Suara teriakannya disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi.
Seketika itu juga orang-orang berbaju merah bergambar seekor naga pada
dadanya, berlompatan mundur. Sementara yang terlambat, langsung tewas terkena
sambaran senjata para prajurit. Cepat sekali mereka bergerak, sebentar saja
sudah lenyap ke dalam hutan. Seorang yang berpangkat panglima, memerintahkan
prajurit-prajuritnya untuk tidak mengejar.
Macan Gadak mengumpulkan anak buahnya yang tersebar di lerang bukit sebelah
Utara, kemudian sama-sama bergerak kembali ke daerah Utara, tempat mereka
menetap. Sementara itu rombongan prajurit itu melanjutkan perjalanannya.
Mereka meninggalkan mayat-mayat yang tumpang tindih memenuhi jalan melingkar
di Kaki Bukit Rangkat ini.
***
"Setan..!"
Brak!
Sura Antaka menggeram dahsyat. Meja yang terkena pukulannya langsung hancur
berantakan. Wajahnya merah padam, dan matanya liar menyala bagai sepasang bola
api yang siap membakar apa saja. Sedangkan Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan
Macan Gadak hanya menundukkan kepalanya saja.
Peristiwa pahit yang pertama kali ini dialami mereka. Gagal merampas barang
upeti bawaan dari Kadipaten Kranggan. Bahkan hampir saja terjebak, dan
terkurung prajurit prajurit Gelang Wesi. Sura Antaka memandangi satu persatu
orang-orang kepercayaannya yang duduk bersimpuh di lantai sambil tertunduk
dalam.
"Mereka seperti sudah tahu rencana ini. Phuih! Aku mencium ada mata-mata di
antara kita!" dengus Sura Antaka menggeram.
"Akan kucari pengkhianat itu, Yang Mulia," kata Macan Gadak.
"Bukan hanya dicari, tapi temukan dan bunuh!" bentak Sura Antaka.
Macan Gadak kembali diam.
"Aku tidak peduli. Siapa pun orangnya yang mencoba mengkhianatiku, harus
mampus! Kalian dengar itu...!"
Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak serentak mengangguk dan
menyahut. Sura Antaka mendengus, lalu berbalik dan melangkah dengan kaki
menghentak kesal. Laki-laki setengah baya itu membanting dirinya ke kursi
berukir yang hampir menenggelamkan tubuhnya. Sepasang bola matanya masih merah
menyala.
"Kalian geledah seluruh daerah ini. Siapa saja yang mencurigakan, tangkap!
Kalau membangkang, bunuh!" perintah Sura Antaka tegas.
Ketiga orang kepercayaannya itu segera bangkit berdiri dan menjura memberi
hormat. Bergegas mereka meninggalkan ruangan besar itu. Sura Antaka masih
duduk di kursinya dengan wajah memerah. Diambilnya guci arak dan langsung
ditenggaknya sampai tandas, tak tersisa sedikit pun. Dengan kesal, dilemparkan
guci arak itu, tepat menghantam pilar. Guci itu hancur berkeping-keping.
"Ayah...," tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah kanan.
Sura Antaka menoleh.
"Kau ada perlu denganku, Mustikaweni?" nada suara Sura Antaka dibuat lembut,
meskipun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan kegeramannya.
"Ada yang ingin kukatakan, Ayah," kata Dewi Mustikaweni seraya melangkah
mendekati.
Gadis itu duduk di samping ayahnya. Dengan lembut diletakkan tangannya yang
halus berkulit putih di pergelangan tangan Sura Antaka.
"Katakanlah. Apa yang hendak kau katakan," terdengar lembut suara Sura
Antaka.
Di depan anaknya, Sura Antaka tidak pernah berkata kasar. Apa lagi memasang
wajah berang. Laki-laki setengah baya itu terlalu mencintai gadis ini, dan
selalu mengabulkan permintaannya. Pelahan-lahan, wajah berangnya berangsur
sirna melihat senyuman lembut tersungging di bibir yang selalu merah merekah
itu.
"Boleh aku pergi ke danau?" ada nada berharap pada suara Dewi
Mustikaweni.
"Kenapa tidak? Pergilah selagi masih siang."
"Terima kasih, Ayah."
Sura Antaka tersenyum. Dewi Mustikaweni bangkit dan melangkah riang
meninggalkan ruangan itu.
"Dengan siapa kau ke sana?" tanya Sura Antaka sebelum putrinya itu lenyap di
balik pintu.
"Dengan emban," sahut Dewi Mustikaweni.
Sura Antaka memandangi putrinya sampai lenyap di balik pintu pemisah ruangan
depan ini dengan ruangan tengah. Mendadak saja wajahnya berubah mendung, dan
pandangan matanya sayu. Ditariknya napas panjang, lalu bangkit berdiri.
Kakinya melangkah pelahan menuju jendela. Dia berdiri di depan jendela dengan
tangan bertumpu pada balok kayu.
"Kau mirip sekali dengan ibumu, Mustikaweni," desah Sura Antaka lirih.
Pandangan laki-laki setengah baya itu tidak lepas dari putrinya yang berjalan
riang didampingi dua orang emban pengasuhnya. Yang seorang, perempuan gemuk
dan seorang lagi kurus bagai tidak memiliki daging. Kedua emban itu sudah
merawat Dewi Mustikaweni sejak masih bayi. Terlebih lagi setelah ibunya
meninggal. Kedua emban itu seperti pengganti ibunya saja. Ke mana Mustikaweni
pergi, kedua emban itu tidak pernah ketinggalan.
"Hhh.... Kau terlalu agung hidup di sini, Mustikaweni. Tidak pantas kau hidup
di tengah-tengah manusia berlumpur seperti ini. Kau bagai setangkai bunga
tumbuh di tengah danau berlumpur. Hhh...! Semua ini gara-gara...."
Gumaman Antaka terhenti ketika telinganya mendengar suara langkah kaki dari
arah belakang. Dia berbalik, dan tampaklah Pendeta Ajisaka datang bersama
seorang pemuda bertubuh kecil memakai baju lusuh dan bagian dada terbuka.
Pemuda itu langsung jatuh berlutut di depan Sura Antaka.
“Paman Ajisaka, ada apa ini?" tanya Sura Antaka.
"Dia bernama Belung. Seorang perambah hutan yang hidup di sekitar sini, Yang
Mulia. Katanya, semalam dia melihat seseorang menyelinap dengan tingkah
mencurigakan," lapor Pendeta Ajisaka.
"Hm..., benar begitu?" tanya Sura Antaka menatap tajam pemuda yang bernama
Belung itu.
"Benar, Gusti. Hamba melihat sendiri. Orang itu berdiri dekat jendela itu.
Kemudian berpindah-pindah tempat, lalu pergi melalui jalan belakang," kata
Belung dengan sikap hormat.
"Kau kenali wajahnya?" tanya Sura Antaka lagi.
'Tidak, Gusti. Tapi...."
"Tapi, kenapa?"
"Hamba sempat melihat waktu dia berbalik. Ada luka di pipi kirinya."
"Gagak Codet...!" desis Sura Antaka.
"Kau berkata benar, Belung?!" agak membentak suara Pendeta Ajisaka.
"Hamba berkata yang sebenarnya, Gusti Pendeta. Hamba melihat dengan jelas
meskipun waktu itu keadaan gelap. Hamba ada dekat sekali."
"Di mana kau waktu itu?" tanya Pendeta Ajisaka lagi.
"Di balik pohon kenanga itu, Gusti," Belung menunjuk sebatang pohon kenanga
yang tidak begitu jauh dari jendela ruangan ini. "Hamba waktu itu bersama
dengan...."
"Ya, sudah. Kau cukup jelas memberi keterangan," potong Sura Antaka.
"Terima kasih, Gusti," ucap Belung seraya memberi hormat.
“Paman, beri dia hadiah. Keterangannya sangat berharga sekali," kata Sura
Antaka.
"Baik, Yang Mulia."
"Oh, terima kasih.... Terima kasih, Gusti."
"Ya, sudah. Pergi sana!"
Pemuda kurus kerempeng itu berdiri, lalu membungkuk beberapa kali sebelum
melangkah pergi. Pendeta Ajisaka memberinya sekantung uang sebelum pemuda
perambah hutan itu pergi. Tentu saja Belung jadi berbinar matanya, dan
langsung membungkuk beberapa kali memberi hormat sambil mengucapkan puluhan
terima kasih. Pendeta Ajisaka mengantarkannya sampai ke pintu.
***
Sementara itu di tepi sebuah danau yang berair biru bening, Dewi Mustikaweni
merendam tubuhnya. Sedangkan kedua emban pengasuhnya menunggu tidak jauh dari
tepi danau itu. Dewi Mustikaweni bermain-main di dalam danau, dan baru naik ke
tepi setelah puas. Hanya selembar kain tipis menutupi tubuhnya yang ramping
dan indah. Sungguh cantik wajahnya dalam keadaan basah.
Dewi Mustikaweni melangkah menghampiri kedua embannya yang duduk bersandar
pada pohon rindang. Tapi mendadak, gadis itu tertegun melihat kedua embannya
seperti tertidur sambil duduk bersandar. Gadis itu kembali menghampiri dan
membangunkan kedua wanita pengasuhnya itu. Tapi kedua wanita itu tidak
bergerak sedikit pun. Dewi Mustikaweni jadi kebingungan. Buru-buru diambil
pakaiannya, dan dikenakannya dengan tergesa-gesa. Tapi belum juga sempurna
mengenakan pakaian, mendadak muncul seorang laki-laki dengan wajah yang luka
pada pipi kirinya.
"Oh...!" gadis itu terkejut. Buru-buru ditutupi bagian dadanya yang masih
terbuka.
"Kau masih ingat aku, Mustikaweni?" lembut suara laki-laki berwajah codet
itu.
"Kau.... Kau Gagak Codet?" bergetar suara Dewi Mustikaweni.
"Benar. Aku Gagak Codet," pemuda itu tersenyum lebar.
"Mau apa kau ke sini?"
"Membawamu pergi."
"Oh! Tidak...!" Dewi Mustikaweni terkejut bukan main, dan langsung melangkah
mundur dengan wajah pucat pasi. Matanya melirik kedua emban pengasuhnya yang
tampak seperti terlelap tidur.
"Mereka hanya pingsan. Sebentar lagi juga siuman," kata Gagak Codet seperti
mengetahui lirikan gadis itu.
"Jangan dekat!" sentak Dewi Mustikaweni begitu melihat Gagak Codet melangkah
mendekati. "Berani mendekat, aku akan berteriak!"
"Berteriaklah. Tidak ada seorang pun di sini, kecuali kau dan aku," tantang
Gagak Codet.
Putri Dewi Mustikaweni jadi gelagapan. Dia tahu kalau sekitar danau ini tidak
ada seorang pun. Tidak ada seorang pun yang berani ke danau ini kalau dia ada
di sini. Ayahnya bisa memenggal kepala siapa saja yang berani melihat gadis
itu mandi di danau ini. Dewi Musrikaweni beringsut mundur. Tapi sebuah akar
yang menyembul ke tanah membuat tubuhnya limbung.
"Oh...!"
"Hup!" Gagak Codet cepat melompat, dan menangkap tubuh ramping itu. Tentu saja
hal ini membuat gadis itu terkejut setengah mati. Dia memberontak berusaha
melepaskan diri, tapi pelukan Gagak Codet demikian kuat Gadis itu terus
berontak sambil menjerit-jerit minta tolong. Gagak Codet jadi kewalahan,
dan...
"Ah...!" Dewi Musrikaweni memekik kecil. Mereka sama-sama jatuh bergulingan di
tanah. Namun pelukan Gagak Codet tidak juga terlepas, dan malah menindihnya
kuat-kuat. Dewi Mustikaweni mencoba memberontak, memukuli pemuda itu.
"Diam...!" bentak Gagak Codet Pemuda dengan luka menggores pipi kiri itu
mencekal kedua tangan Dewi Musrikaweni, dan menekannya merentang ke samping.
Dengan kedua pahanya dia menjepit pinggang gadis itu.
Dewi Musrikaweni benar-benar tidak berdaya lagi. Air mata mulai menitik keluar
dari sudut matanya yang bulat bening dan indah itu. "Aku mohon, lepaskan...
Jangan sakiti aku, rintih Dewi Musrikaweni meratap.
"Huh!" dengus Gagak Codet.
Sambil bangkit, dengan kasar pemuda itu menyentakkan tangan Dewi Musrikaweni.
Akibatnya gadis itu ikut terangkat bangun. Musrikaweni memekik tertahan.
Pergelangan tangannya terasa sakit karena dicengkeram kuat sekali.
"Jangan banyak tingkah! Ayo, jalan!" bentak Gagak Codet mendorong kasar.
"Mau dibawa ke mana aku?" rintih Dewi Musrikaweni.
"Cerewet! Dasar anak manja! Jalan!"
Dewi Musrikaweni tidak ada pilihan lain. Dia melangkah dengan tangan tertekuk
ke belakang dipegangi kuat-kuat. Air mata semakin banyak berlinang membasahi
pipinya yang putih halus bagai sutra. Gagak Codet terus mendorong agar lebih
cepat. Beberapa kali gadis itu memekik kesakitan.
"Ck ck ck ck... Kasihan sekali, cantik-cantik tersiksa...," tiba-tiba
terdengar suara pelahan.
"Eh!" Gagak Codet tersentak kaget langsung menoleh.
Tampak seorang pemuda berwajah tampan memakai baju dari kulit harimau tengah
duduk di atas pohon tumbang. Sesaat Gagak Codet terpaku, sehingga dia lalai
akan Dewi Mustikaweni. Kesempatan yang sedikit ini, dimanfaatkan gadis itu
untuk melepaskan diri. Dewi Musrikaweni langsung berlari.
"He...!, sentak Gagak Codet terkejut.
"Tolong...! Dia akan menculikku!" teriak Dewi Musrikaweni terus berlari.
Tapi Gagak Codet sudah melompat cepat, dari menghadang gadis itu. Mustikaweni
tersentak, langsung berbalik. Tapi Gagak Codet lebih cepat menangkap tangan
gadis itu. Namun baru saja bisa mencekal, mendadak....
"Akh!" Gagak Codet terpekik tertahan. Cekalannya terlepas, dan mulutnya
meringis kesakitan memegangi pergelangan tangannya. Matanya langsung menatap
pada pemuda berbaju kulit harimau yang memain-mainkan kerikil ditangannya.
Sementara itu, Dewi Mustikaweni kembali berlari menghampiri pemuda itu, lalu
berlindung di balik punggung yang kokoh itu.
"Tolong, dia akan menculikku. Dia jahat...," rintih Dewi Mustikaweni.
"Kisanak, kuharap jangan ikut campur urusanku. Dia istriku!" bentak Gagak
Codet.
"O...," pemuda berbaju kulit harimau itu mengangkat alisnya.
"Bohong! Dia jahat! Dia mau menculikku...!" sergah Dewi Mustikaweni.
"Mana yang benar ini? Kalian suami istri, atau bukan...?" pemuda itu nampak
kebingungan.
"Percaya padaku, Kisanak. Dia istriku yang ingin kabur!" kata Gagak
Codet.
Pemuda itu menoleh menatap wanita cantik yang berlindung padanya. Dan belum
lagi membuka mulut akan bertanya, dari jauh terdengar teriakan dua orang
wanita. Yang satu gemuk, dan satunya lagi kurus kerempeng. Mereka berlari-lari
sambil memanggil-manggil Dewi Mustikaweni.
"Gusti..., Gusti Ayu...!"
"Oh! Itu kedua emban pengasuhku. Kau bisa tanyakan pada mereka, Kisanak." Ada
pengharapan pada nada suara Dewi Mustikaweni melihat kedua emban pengasuhnya
berlari-lari menghampiri.
"Monyet buntung!" geram Gagak Codet kesal melihat dua orang emban itu sudah
sadar dari pingsannya.
Dan sebelum emban itu dekat, Gagak Codet sudah melompat hendak menerjang
pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun hanya sedikit saja mengegoskan
tubuhnya, terjangan Gagak Codet luput dari sasaran. Pemuda berbaju kulit
harimau itu melompat ke samping sambil mendorong tubuh Dewi Mustikaweni,
sehingga gadis itu terdorong jatuh. Untung kedua emban pengasuhnya sudah cepat
menghampiri, sehingga cepat-cepat menolongnya berdiri.
Sementara itu Gagak Codet kembali menyerang dahsyat Dan pemuda berbaju kulit
harimau itu seperti malas-malasan melayaninya. Namun setiap serangan
balasannya, sudah dapat membuat Gagak Codet pontang-panting menghindarinya.
Beberapa jurus berganti cepat Gagak Codet sadar kalau dirinya tidak akan mampu
menundukkan pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
Saat mempunyai kesempatan, dengan cepat tubuhnya melompat kabur. Begitu
cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh berlari. Gagak Codet
kini telah menghilang dalam hutan di pinggir danau ini. Pemuda berbaju kulit
harimau itu memutar tubuhnya menghadap pada Dewi Mustikaweni.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak?" lembut nada pemuda berbaju harimau itu.
"Tidak," sahut Dewi Mustikaweni. "Terima atas pertolonganmu."
"Sebaiknya cepat pulang. Aku khawatir dia akan datang lagi ke sini," kata
pemuda itu.
"Benar, Gusti Ayu. Sebaiknya cepat-cepat pulang," sergah wanita gemuk
itu.
"Sebentar, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni.
"Sudah sore, Gusti Ayu."
Mustikaweni tidak menghiraukan peringatan embannya, dan malah melangkah
menghampiri pemuda berbaju kulit harimau itu. Kedua emban itu nampak cemas.
Mereka melirik ke kanan dan ke kiri. Mereka tahu kalau di sekitar danau ini
tidak ada yang boleh datang kalau ada Dewi Mustikaweni. Terlebih lagi
laki-laki. Kalau ketahuan, bisa celaka nanti.
"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" pinta Dewi Mustikaweni lembut.
"Untuk apa?"
"Kau telah menyelamatkan nyawaku. Sudah sepantasnya kuberi hadiah yang pantas.
Aku akan mengatakan hal ini pada Ayah, dan pasti kau akan memperoleh hadiah
yang besar," ujar Dewi Mustikaweni.
"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi," ucap pemuda itu. Pemuda berbaju
kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi. Kelihatan kakinya melangkah
biasa saja, tapi sebentar saja sudah jauh.
"Kisanak, siapa namamu? teriak Dewi Mustikaweni.
"Bayu!"
***
TIGA
Sejak bertemu pemuda berbaju kulit harimau, Dewi Mustikaweni jadi sering pergi
ke danau. Di tempat itu dia hanya berdiri saja memandangi danau, menghabiskan
waktu hingga senja jatuh dalam pelukan Mayapada. Dewi Mustikaweni yang memang
pendiam, semakin sukar diajak bicara. Gadis itu jadi lebih senang menyendiri,
merenung seorang diri. Kedua emban pengasuhnya bisa menebak apa yang ada dalam
hati junjungannya itu.
"Sudah sore, Gusti Ayu. Sebentar lagi malam datang," ujar seorang emban
bertubuh gemuk.
Dewi Mustikaweni menarik napas panjang. Dua bola matanya yang indah menatap
matahari yang hampir tenggelam di balik permukaan danau. Sinarnya yang
kemerahan tampak lembut dan sedap dipandang. Permukaan danau bagai ditaburi
ribuan butir mutiara berkilauan, menambah keindahan pemandangan di tempat itu.
Tidak salah kalau danau ini dinamakan Danau Mutiara.
"Gusti Sura Antaka pasti sudah menunggu, Gusti Ayu," sambung emban yang
bertubuh kurus.
"Sebentar lagi, Bi Emban," pinta Dewi Mustikaweni.
Kedua emban itu saling berpandangan. Tampak wanita yang bertubuh kurus
tersenyum memandang ke satu arah. Emban pengasuh bertubuh gemuk jadi berkerut
keningnya. Dia menoleh, lalu juga memandang ke arah yang sama. Bibirnya pun
tersenyum begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau melangkah ringan
menghampiri mereka. Pemuda itu berhenti tepat di samping agak ke belakang dari
Dewi Mustikaweni.
"Ehm ehm...!" pemuda berbaju kulit harimau itu mendehem.
"Oh...!" Dewi Mustikaweni terkejut, langsung berbalik. "Bayu...," desisnya
begitu melihat pemuda yang selalu dinantikannya selama tiga hari ini.
"Selamat sore, Gadis Ayu," ucap pemuda itu yang memang bernama Bayu Hanggara
atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. "Aku
mengganggu?"
"Oh, tid..., tidak," Dewi Mustikaweni jadi tergagap.
"Bagaimana suamimu? Sudah tidak kasar lagi?" tanya Bayu.
"Suami...? Suami yang mana?" Dewi Mustikaweni terbeliak.
"Yang memaksamu pulang."
"Enak saja! Itu bukan suamiku. Dia akan menculikku, tahu!"
"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu marah," ucap Bayu.
"Aku tidak marah, hanya tidak suka saja," Dewi Mustikaweni memberengut.
Gadis itu memang manja. Tidak boleh tersinggung sedikit. Tapi itu hanya
sebentar saja. Dan kini wajahnya sudah kembali manis dan semakin cantik
dipandang. Dewi Mustikaweni tertunduk mendapat tatapan yang begitu menusuk
dari pemuda itu. Sementara kedua emban pengasuhnya semakin gelisah.
Sebentar-sebentar menatap ke arah jalan, takut kalau-kalau ada yang melihat
dan mengadukan pada Sura Antaka.
"Gusti Ayu...!" tiba-tiba emban yang kurus tersentak.
"Ada apa?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Ada yang datang...."
"Oh...!"
Terlambat Empat orang laki-laki berseragam baju merah dengan gambar seekor
naga pada bagian dada sudah melihat. Dan mereka bergegas menghampiri, langsung
menatap tajam Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Dewi Mustikaweni tampak pucat
dan kebingungan sekali. Demikian juga dengan kedua emban pengasuhnya. Mereka
sampai bergetar seluruh tubuhnya.
"Gusti Ayu, siapa laki-laki ini?" tanya salah seorang menunjuk pada
Bayu.
"Dia..., eh, dia...," Dewi Mustikaweni tergagap.
"Hei, bangsat! Ke sini!" bentak orang yang bertanya tadi.
Sedangkan Bayu hanya diam saja, meskipun jari telunjuk itu mengarah padanya.
Pendekar Pulau Neraka itu diam sambil menatap tajam menusuk. Gerahamnya
bergerut menahan marah mandapat bentakan penghinaan itu.
"O.... Kau tuli atau menantang, heh?!"
"Kisanak, kenapa datang-datang langsung marah? Apakah wanita ini milikmu?"
agak ditekan nada suara Bayu.
"Keparat! Kau berani kurang ajar pada Gusti Ayu Mustikaweni!" geram orang itu
seraya mencabut goloknya.
Tiga orang yang berada di belakangnya juga langsung mencabut golok. Mereka
menggeser ke samping dengan golok melintang di depan dada. Sedangkan Bayu
hanya memandangi tanpa berkedip.
"Heran..., kenapa orang-orang di sini begitu galak? Apakah biasa makan daging
mentah?" Bayu bergumam seperti bicara dengan dirinya sendiri.
Sementara itu kedua emban pengasuh sudah membawa Dewi Mustikaweni menyingkir.
Mereka sudah merasakan adanya gelagat tidak baik. Sementara gadis itu hanya
bisa memandang Pendekar Pulau Neraka, dengan sinar mata sukar untuk diartikan.
Empat orang berbaju merah yang bergambar naga pada dadanya, sudah bergerak
mengurung dari empat jurusan. Sedangkan Bayu hanya melirik saja memperhatikan
sambil melipat tangannya di depan dada.
“Tidak ada seorang pun yang diijinkan mendekati Gusti Dewi Mustikaweni. Kau
pasti akan dijatuhi hukuman mati, oleh Yang Mulia Sura Antaka, keparat!" geram
orang yang berada di depan Bayu.
"Oh.... Apakah gadis itu terbuat dari emas? Lucu sekali, hanya bicara saja
harus mati," sinis nada suara Bayu.
"Lancang bicaramu!"
"Aku punya mulut dan bicara sendiri. Kenapa kau yang marah?"
"Tutup mulutmu! Hiyaat..!"
Satu terjangan golok yang menusuk ke arah dada terjadi demikian cepat. Dewi
Mustikaweni memekik tertahan dan memejamkan matanya. Rasanya tidak sanggup
melihat serangan yang cepat itu. Tapi hatinya terkejut, karena mendengar satu
benturan keras, diikuti pekikkan tertahan.
Tampak laki-laki yang menyerang, terbanting keras ke tanah. Dan entah
bagaimana, goloknya sudah berpindah ke tangan Pendekar Pulau Neraka yang tidak
bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Dewi Mustikaweni yang langsung
membuka matanya, jadi terbeliak tidak percaya.
"Keparat...!"
Tiga orang lainnya langsung berlompatan menyerang secara bersamaan. Pendekar
Pulau Neraka berlompatan menghindari serangan yang datang dengan cepat dan
sangat mematikan itu. Namun hanya sekali gebrak, tiga orang itu terpekik dan
mental ke belakang. Bayu sendiri tegak sambil menggenggam golok di tangan.
Empat orang itu jadi kelabakan, karena golok mereka sudah berpindah tangan
tanpa diketahui bagaimana kejadiannya. Mereka beringsut bangun, lalu saling
berpandangan.
Trek!
Empat orang berbaju merah bergambar naga itu terbeliak begitu melihat Bayu
yang betapa mudahnya mematahkan golok-golok di tangannya, lalu melemparkan
begitu saja ke tanah. Kembali mereka saling berpandangan, seketika itu wajah
mereka pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa lagi, keempat orang itu segera
melarikan diri.
Bayu hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Dewi Mustikaweni yang berdiri
agak jauh didampingi kedua emban pengasuhnya. Bayu berhenti sekitar dua
langkah lagi jaraknya di depan gadis itu.
"Sebaiknya cepat pergi dari sini. Kau akan dihukum mati nanti," kata Dewi
Mustikaweni agak bergetar nada suaranya.
"Siapa mereka itu?" tanya Bayu tidak mempedulikan peringatan gadis itu.
"Mereka para prajurit ayahku," sahut Dewi Mustikaweni.
"Prajurit...?"
"Sebenarnya memang tidak pantas disebut prajurit. Tapi Ayah selalu berkata
begitu. Ayah menganggap dirinya seorang raja yang menguasai seluruh daerah
Utara ini. Cepatlah pergi, sebelum mereka kembali menangkapmu," ujar Dewi
Mustikaweni gelisah.
"Kau akan datang lagi ke sini?" tanya Bayu.
"Entahlah," desah Dewi Mustikaweni tidak yakin.
"Kalau begitu, aku yang akan mengunjungimu."
"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat.
Tapi belum sempat gadis itu mengatakan sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah
melesat pergi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam
sekejap mata sudah lenyap dari pandangan. Kedua emban pengasuh itu bergegas
meminta Dewi Mustikaweni meninggalkan danau ini.
***
Dewi Mustikaweni hanya tertunduk saja, duduk bersimpuh di lantai kamarnya.
Sedangkan dua emban pengasuhnya lebih dalam lagi tertunduk, tidak berani
mengangkat wajah memandang Sura Antaka yang duduk angkuh dikursi. Tatapan mata
laki-laki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu, demikian tajam
menusuk. Wajahnya memerah dan urat-uratnya menegang.
"Katakan padaku, siapa laki-laki yang kau kunjungi di danau, Mustikaweni?"
dingin dan datar nada suara Sura Antaka.
"Namanya Bayu, Ayah. Aku tidak mengunjunginya. Dia datang sendiri dan
menolongku dari tangan Gagak Codet," sahut Dewi Mustikaweni sambil mengangkat
kepalanya pelahan-lahan.
"Itu tiga hari yang lalu, Weni!"
"Sungguh, Ayah. Aku tidak bermaksud menemuinya. Dia datang sendiri," Dewi
Mustikaweni mencoba meyakinkan ayahnya.
"Dan kedatangannya benar-benar kau harapkan, bukan?" desak Sura Antaka.
Dewi Mustikaweni kembali diam tertunduk. Wajahnya sebentar memerah, dan
sebentar kemudian memucat. Tebakan ayahnya memang tidak dapat disangkal lagi.
Sejak Pendekar Pulau Neraka menolongnya dari cengkeraman tangan Gagak Codet,
dia memang selalu berharap dapat bertemu lagi. Entah kenapa, bayang-bayang
pendekar tampan itu selalu menghantuinya setiap saat.
"Dengar, Weni. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau kau bergaul dengan
sembarang laki-laki. Yang kuinginkan, agar kau mendapat seorang laki-laki yang
gagah dan berkemampuan sangat tinggi, dan dapat melindungimu setiap waktu. Aku
tidak melarangmu memilih calon pendampingmu. Tapi aku harus tahu, apakah
pemuda itu memiliki kemampuan tinggi dan dapat dipercaya untuk melindungimu.
Hanya itu, Weni," terdengar lembut nada suara Sura Antaka.
"Ayah...," kembali Dewi Mustikaweni mengangkat kepalanya. Sudah bisa
dimengerti maksud kata-kata ayahnya barusan.
"Undang dia ke sini, dan aku akan menguji pantas tidaknya dia menjadi
pendampingmu," tegas Sura Antaka.
"Tapi...," suara Dewi Mustikaweni tersekat di tenggorokan.
"Jika kau tidak mengundangnya, itu berarti tidak akan bisa bertemu lagi
dengannya. Kau mengerti, Weni?!"
"Mengerti, Ayah."
"Kapan kau akan menemuinya lagi?" tanya Sura Antaka.
"Aku tidak tahu. Dia muncul tiba-tiba."
"Hm..., kalau begitu pergilah besok ke danau. Paman Ajisaka akan
mendampingimu."
Dewi Mustikaweni tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keputusan ayahnya sukar
untuk dicabut kembali. Gadis itu hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya.
Sementara Sura Antaka bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar putrinya
ini. Seorang emban yang bertubuh gemuk, bergegas mendahului dan membukakan
pintu. Tanpa melirik sedikit pun, Sura Antaka melangkah keluar. Emban bertubuh
gemuk itu bergegas menutup kembali pintunya, dan menghampiri Dewi Mustikaweni
yang sudah terisak sesunggukkan.
"Sudahlah, Gusti Ayu. Mudah-mudahan saja Den Bayu tidak muncul besok," ujar
emban gemuk itu mencoba menghibur.
"Tapi dia sendiri yang akan ke sini, Bi Emban," ucap Dewi Mustikaweni di sela
isaknya yang tertahan.
"Mudah-mudahan saja dia tidak berani," desah emban gemuk itu pelan.
Dewi Mustikaweni beranjak bangkit berdiri. Tapi baru saja mengangkat
kepalanya, mendadak dia tersentak kaget setengah mati. Di depan jendela
kamarnya yang terbuka, kini sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan dan
berbaju dari kulit harimau. Dua orang emban pengasuh itu juga bergegas berdiri
terkejut. Mereka langsung melangkah ke jendela, dan menyeret pemuda itu masuk.
Buru-buru emban gemuk menutup jendela.
"Bayu...," desis Dewi Mustikaweni.
"Aku menepati janji, Gadis Ayu," ucap Bayu lembut.
"Bagaimana bisa masuk ke sini?" tanya Dewi Mustikaweni.
"Mudah saja. Aku menunggu ayahmu pergi dulu," tenang jawaban Pendekar Pulau
Neraka itu.
"Apa...?" bukan main terkejutnya Dewi Mustikaweni mendengar jawaban yang
begitu ringan tanpa ada beban sedikit pun.
Bayu hanya tersenyum saja. Diliriknya dua perempuan pengasuh yang berdiri saja
membelakangi jendela. Kedua emban pengasuh itu bisa mengerti, lalu mereka
melangkah keluar. Pintu kamar itu kembali tertutup setelah kedua wanita
pengasuh itu sampai di luar kamar. Tinggal Pendekar Pulau Neraka dan Dewi
Mustikaweni yang hanya diam beberapa saat dengan mata saling menatap.
"Kau dengar semuanya, Ka...," terputus ucapan gadis itu.
"Aku senang kalau kau memanggilku Kakang, Weni," lembut suara Bayu.
Dewi Mustikaweni tersenyum tersipu. Wajahnya menyemburat merah dadu seketika.
Dibalikkan tubuhnya, dan dilangkahkan kakinya mendekati sebuah kursi. Gadis
itu duduk dengan anggunnya. Sebentar ditatap pemuda tampan yang berdiri saja
di tempatnya, kemudian kepalanya bergerak menunduk kembali. Rasanya tidak
sanggup menatap bola mata yang mengandung daya tarik sangat kuat sekali.
"Aku dengar semua, Weni. Dan akan kutunggu di tepi danau, tempat pertama kali
kita bertemu," kata Bayu kalem.
"Sebaiknya jangan, Kakang. Mereka akan membunuhmu. Aku tidak ingin kau celaka
di tangan mereka," cegah Dewi Mustikaweni.
"Jangan khawatir, Weni. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tidak ada yang akan
celaka. Percayalah," Bayu meyakinkan.
"Tapi...," terputus suara Dewi Mustikaweni.
"Ssst...!" Bayu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan bibirnya
sendiri.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menghampiri, dan berlutut di depan gadis
itu. Dengan lembut diambilnya tangan berjari lentik dengan kuku terawat rapi.
Bergetar seluruh tubuh Dewi Mustikaweni ketika Bayu begitu lembutnya mengecup
jari-jari tangannya. Gadis itu sampai terpejam beberapa saat, menikmati
kecupan lembut yang baru pertama kali dirasakannya.
"Oh...," Dewi Mustikaweni mendesah lirih.
"Besok, saat matahari tepat di atas kepala, aku akan datang ke tepi danau,"
ujar Bayu lembut, namun bernada tegas.
"Kakang..., aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Aku sama sekali tidak
mengharapkan kau mendapat kesulitan," lirih sekali suara Dewi
Mustikaweni.
"Kau cantik sekali, Weni. Hatimu lembut. Rasanya kau tidak pantas berada di
tengah-tengah manusia kasar bergelimang lumpur. Aku akan mengangkatmu dari
lumpur, dan membawamu ke tempat yang lebih cocok untukmu," ujar Bayu.
"Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"
Bayu tidak menjawab, tapi malah bangkit berdiri setengah membungkuk. Begitu
dekat wajahnya dengan wajah gadis itu, sehingga hembusan napasnya terasa
hangat di pipi yang halus memerah saga. Kembali bola mata Dewi Mustikaweni
terpejam, dan bibirnya setengah terbuka agak bergetar. Mendadak seluruh aliran
darahnya serasa berhenti mengalir, saat dirasakan satu kecupan lembut mendarat
di bibirnya.
Dewi Mustikaweni mendesah lirih, dan dia masih terpejam merasakan kecupan
lembut yang pertama kali dari seorang pemuda tampan yang telah mencuri
sekeping hatinya. Agak lama juga gadis itu terpejam dengan tubuh menegang
kaku. Pelahan-lahan dia membuka matanya karena tidak terasa lagi sentuhan
lembut dari Pendekar Pulau Neraka.
"Eh...!" Dewi Mustikaweni terperanjat, karena pemuda itu sudah tidak ada lagi
di kamar ini.
Bergegas gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari ke jendela yang sudah terbuka
lagi. Matanya berkeliling mencari-cari di luar sana, tapi bayangan pemuda itu
sudah lenyap tanpa terlihat lagi bekasnya.
"Ahhh..., Bayu...," desah Dewi Mustikaweni lirih seraya membalikkan
tubuhnya.
Gadis itu berlari menghambur ke pembaringan! Dijatuhkan dirinya ke atas
pembaringan yang empuk beralaskan kain sutra halus berwarna merah muda. Tubuh
yang ramping padat berisi itu bergulir. Pelahan bibirnya menyunggingkan
senyuman, dan jari-jari tangannya meraba bibirnya. Dihayati kembali kecupan
lembut yang hangat dan menggetarkan. Kecupan pertama yang dirasakan dari
seorang pemuda.
Beberapa kali gadis itu menarik napas panjang, dan meng hembuskannya
pelahan-lahan. Matanya menerawang jauh, menatap langit-langit kamarnya.
Sampai-sampai tidak disadari kalau kedua emban pengasuhnya sudah masuk, dan
menghampirinya. Kedua emban pengasuh itu hanya tersenyum saja menyaksikan
putri junjungannya tengah tersenyum-senyum sendirian.
"Gusti Ayu...," tegur emban gemuk pelan.
"Oh!" Dewi Mustikaweni terperanjat kaget.
Gadis itu langsung menggerinjang bangkit. Wajahnya seketika terasa panas,
bersemu merah bagai kepiting rebus. Buru-buru dibalikkan tubuhnya,
menyembunyikan rona merah yang menjalar hangat di seluruh wajahnya.
Seolah-olah malu, dan tidak ingin kedua emban pengasuhnya itu tahu, apa yang
baru dirasakannya tadi.
***
EMPAT
Matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya yang terik membakar kulit
seorang pemuda yang berdiri tegak di tepi danau. Pandangannya tidak terlepas
ke arah jalan tanah berbatu kerikil tidak jauh di depannya. Pemuda itu memakai
baju kulit harimau dengan sebuah benda melingkar bersegi enam di pergelangan
tangannya yang terlipat di depan dada.
"Hm..., kau datang juga akhirnya," gumam pemuda yang tidak lain dari Bayu
Hanggara si Pendekar Pulau Neraka.
Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum melihat kedatangan Dewi Mustikaweni
didampingi dua orang emban pengasuh dan seorang laki-laki tua berjubah kuning
gading dan berkepala gundul. Laki-laki tua itu memegang sebuah untaian kalung
dari batu hitam yang berkilat. Mereka dikawal tidak kurang dari tiga puluh
orang berseragam merah dengan gambar seekor naga pada bagian dadanya.
"Hm...," Bayu bergumam ketika laki-laki tua gundul itu memberi isyarat.
Seketika tiga puluh orang bersenjata tombak dengan pedang menggantung di
pinggang, bergerak cepat membentuk lingkaran mengelilingi Pendekar Pulau
Neraka.
"Namaku Pendeta Ajisaka, utusan dari Yang Mulia Sura Antaka. Apakah kau yang
bernama Bayu Hanggara?" tanya laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
"Tepat sekali," sahut Bayu seraya melirik Dewi Mustikaweni.
Yang dilirik hanya tertunduk saja, seperti tidak sanggup menatap pemuda tampan
yang telah merenggut sekeping hatinya itu. Bahkan juga tidak sanggup untuk
membayangkan apa yang akan terjadi nanti seandainya Pendekar Pulau Neraka itu
dibawa menghadap ayahnya.
“Yang Mulia memintamu untuk datang ke istana sekarang juga," kata Pendeta
Ajisaka kembali.
"O..., untuk apa?" Bayu pura-pura tidak tahu.
"Kau sudah melanggar peraturan yang ditetapkan Yang Mulia Sura Antaka. Kau
harus menerima hukumannya, Kisanak. Yang Mulia sendiri akan menentukan
hukumannya, dan sebaiknya jangan bertingkah. Menurut lebih baik daripada
mencari penyakit!" tegas kata-kata Pendeta Ajisaka.
"Hm.... Bicaramu bernada mengancam, Pendeta," gumam Bayu kurang senang.
"Tergantung dari tingkahmu, Anak Muda," dingin nada suara Pendeta
Ajisaka.
"Kalau begitu, aku tidak akan memenuhi undangan junjunganmu!" tolak Bayu tegas
bernada menantang.
"Kakang,..," desis Dewi Mustikaweni tersentak kaget.
"Bagus! Itu berarti kau memilih jalan kematianmu sendiri, Anak Muda!"
Trik!
Pendeta Ajisaka menjentikkan ujung jarinya, maka empat orang berseragam merah
bergambar seekor naga pada dadanya langsung melompat maju. Tanpa menunggu
perintah dua kali, empat orang itu segera menyerang dengan tombak
terhunus.
"Hup!"
Bayu melompat mundur dua tindak, lalu cepat menarik tubuhnya ke belakang
sedikit. Dua ujung tombak lewat di depan dadanya. Cepat sekali Pendekar Pulau
Neraka itu menghentakkan tangannya, dan....
Trek!
Dua batang tombak itu patah jadi dua terhantam tangan Pendekar Pulau Neraka.
Dan belum lagi dua orang itu bisa menyadari, secepat kilat Bayu melompat
sambil menghentakkan kakinya menendang sekaligus dua orang penyerangnya.
Pekikkan tertahan terdengar bersamaan terjungkalnya dua lawannya itu. Dan
belum lagi semua orang bisa menyadari, Bayu sudah memutar tubuhnya. Dua
pukulan dilayangkan tepat, menghantam dua orang lagi. Raungan keras terdengar
saling sambut, disusul ambruknya dua orang sambil menutupi wajahnya.
"Bagaimana, Pendeta Ajisaka? Jika kau berlaku sopan, aku akan lebih sopan
darimu," kata Bayu kalem seraya melipat tangannya di depan dada.
"Kau terlalu keras kepala, Anak Muda!" geram Pendeta Ajisaka.
"Kepalaku memang lebih keras dari batu."
“Phuih!” Pendeta Ajisaka menyemburkan ludahnya. Kembali laki-laki tua gundul
berjubah kuning gading itu memberi isyarat dengan jarinya. Seketika sepuluh
orang berseragam merah bergambar seekor naga di dada langsung melompat
menyerang.
Kembali Pendekar Pulau Neraka melompat berkelit, menghadapi sepuluh orang
penyerangnya. Pertarungan kembali berlangsung. Tapi baru beberapa gebrak saja,
tiga orang sudah terjungkal roboh memuntahkan darah kental. Dan belum lagi
orang itu mampu bangkit, kembali dua orang terpental ke atas, lalu jatuh keras
ke tanah. Jerit dan pekik pertempuran disertai pekikkan menyayat terdengar
saling sambut. Pendeta Ajisaka semakin geram, melihat orang-orangnya jungkir
balik kewalahan menghadapi Pendekar Pulau Neraka itu. Kembali diberi isyarat.
Maka semua orang berseragam merah bergambar naga di dada berlompatan maju
menyerang.
Semula Bayu hanya bermaksud membuat orang-orang itu jera. Tapi melihat
kesungguhan dan kenekadan orang-orang berseragam merah ini, Pendekar Pulau
Neraka itu jadi gusar juga. Meskipun sudah jatuh bangun kena pukulan dan
tendangan cukup keras, mereka tidak juga jera. Bahkan semakin ganas saja.
Memang pukulan Bayu tidak disertai tenaga dalam.
Lain halnya dengan Pendeta Ajisaka. Dia tahu betul kalau Pendekar Pulau Neraka
itu tidak bertarung sungguh-sungguh. Tapi tiga puluh orang pengikutnya tidak
ada yang mampu meringkusnya. Bahkan tombak serta pedang mereka berpatahan dan
berpentalan ke udara. Mereka jatuh bangun, tidak mampu lagi menandingi pemuda
itu. Sikap Bayu yang hanya main-main, membuat Pendeta Ajisaka berang Pemuda
itu dianggap menghinanya.
"Mundur...!" teriak Pendeta Ajisaka keras menggelegar.
Bentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu membuat orang-orang
berseragam baju merah, serentak berlompatan mundur. Mereka sudah tidak lagi
memiliki senjata, karena telah terampas dan pata-patah oleh Bayu. Sebagian
malah tergeletak di tanah berpasir. Pendeta Ajisaka melangkah maju beberapa
tindak.
"Kau terlalu pongah, bocah!" geram Pendeta Ajisaka.
"Aku ingin tahu, apakah kepala gundulmu juga sekeras batu?" ejek Bayu
sinis.
"Phuih! Keparat...!"
Pendeta Ajisaka menggerakkan tangannya, membuka jurus penyerangan. Sedangkan
Pendekar Pulau Neraka hanya berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.
Matanya sempat mengerling pada Dewi Mustikaweni yang berdiri agak jauh
didampingi kedua orang emban pengasuhnya yang setia. Entah kenapa, gadis itu
tersenyum, seakan merasa yakin kalau Bayu dapat menundukkan Pendeta
Ajisaka.
"Awas serangan! Hiyaaa...!" seru Pendeta Ajisaka lantang.
"Hait...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ketika Pendeta Ajisaka melompat datar dan kakinya
menyampok berputar mengarah ke bagian kaki. Pada saat Bayu berada di udara,
tiba-tiba saja laki-laki tua gundul itu mengebutkan tasbih hitamnya. Kalau
saja Pendekar Pulau Neraka itu tidak memutar tubuhnya, tasbih itu bisa merobek
perutnya.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu mendarat di belakang laki-laki tua gundul berjubah kuning
gading itu. Dan secepat kilat dilayangkan satu tendangan berputar. Pendeta
Ajisaka tersentak kaget, buru-buru ditarik kakinya ke samping sambil
didoyongkan tubuhnya ke depan. Tendangan Bayu luput dari sasaran. Pendeta
Ajisaka langsung memutar tubuhnya sambil mengirimkan satu pukulan keras
bertenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Bayu sengaja tidak menghindar. Bahkan dipapaknya pukulan itu dengan tangan
kiri, disertai kemposan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan
Tak dapat dihindarkan lagi, dua tangan beradu dengan keras.
Trak!
"Akh...!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan.
Buru-buru laki-laki tua gundul itu melompat ke belakang. Mulutnya meringis
merasakan nyeri pada pergelangan tangannya. Namun belum juga Pendeta gundul
itu sempurna menjejak tanah, Bayu sudah lebih cepat melompat sambil
melontarkan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam setengahnya.
Tendangan keras dan cepat itu tidak bisa dihindari lagi, dan mendarat telak di
dada kurus kerempeng tertutup jubah kuning gading.
"Aaakh...!" kembali Pendeta Ajisaka memekik keras.
Tubuh tua kurus itu terpental cukup jauh, dan menabrak sebatang pohon cemara
hingga tumbang. Tapi Pendeta Ajisaka langsung bisa bangkit berdiri. Tampak
dari sudut bibirnya mengucurkan darah kental. Digeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara Bayu berdiri tegak sambil tersenyum. Pendeta Ajisaka mencoba
menggerakkan tangan kanannya, tapi dia jadi terkejut. Ternyata tulang
pergelangan tangannya patah terbentur tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Setan keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.
Laki-laki tua itu langsung menyadari kalau tenaga dalamnya masih berada di
bawah pemuda berbaju kulit harimau itu. Dia menggeram marah, dan menggeser
kakinya mendekati Dewi Mustikaweni.
"Paman..., Paman terluka...?" Dewi Mustikaweni panik juga melihat darah
menetes dari sudut bibir Pendeta Ajisaka.
"Huh!" Pendeta Ajisaka hanya mendengus saja.
Dewi Mustikaweni menyentuh pergelangan laki-laki tua gundul itu. Betapa
terkejutnya dia, karena Pendeta Ajisaka malah terpekik keras. Mulutnya
meringis merasakan nyeri yang amat sangat pada pergelangan tangan
kanannya.
"Oh, maaf..... Maaf, Paman," ucap Dewi Mustikaweni tergagap ketakutan.
"Ayo kita pulang!" dengus Pendeta Ajisaka.
"Pulang...? Tapi...," Dewi Mustikaweni tergagap. Matanya melirik Pendekar
Pulau Neraka yang hanya memperhatikan saja dengan senyum tersungging di
bibir.
"Bawa kambing tua itu pulang, Weni. Katakan pada ayahmu, agar mengirim utusan
yang lebih sopan," ejek Bayu.
"Bocah keparat! Kau akan menanggung sendiri akibatnya!" geram Pendeta
Ajisaka.
"Ha ha ha....'" Bayu malah tertawa terbahak-bahak.
"Ayo, Weni. Pulang...!" dengus Pendeta Ajisaka memberengut gusar.
Dewi Mustikaweni ragu-ragu sejenak. Sebentar diliriknya Bayu. Namun begitu
Pendekar Pulau Neraka itu menganggukkan kepalanya, gadis itu segera melangkah
pergi diiringi kedua emban pengasuhnya. Tiga puluh orang berbaju seragam merah
yang sudah babak belur, bergegas melangkah pergi tertatih-tatih. Bahkan tidak
sedikit yang terpaksa dipapah temannya.
"Ha ha ha...!" Bayu Hanggara tertawa terbahak-bahak.
Pendekar Pulau Neraka itu masih tetap berdiri tegak memandang kepergian
orang-orang itu. Sampai mereka tidak kelihatan lagi, Bayu masih tetap berdiri
sambil melipat tangan di depan dada. Kepalanya menoleh saat telinganya
mendengar suara langkah kaki menghampiri dari arah samping kanan. Pendekar
Pulau Neraka itu memutar tubuhnya, lalu menghampiri seorang laki-laki muda
berwajah tampan dan berpakaian indah berwarna biru. Pemuda itu didampingi
empat orang laki-laki setengah baya dengan pedang menggantung di
pinggang.
"Kau hebat, Kakang. Tidak percuma Ayahanda Prabu meminta bantuanmu," ucap
pemuda tampan yang pedangnya tersampir di punggung.
"Aku rasa mereka baru kroco, Raden Arga Yuda. Masih perlu banyak waktu untuk
melumpuhkannya dari dalam," kata Bayu kalem.
"Aku percaya padamu, Kakang. Aku memang diperintahkan Ayahanda Prabu untuk
selalu mengikuti semua kata-katamu," ujar pemuda yang dipanggil Raden Arga
Yuda itu.
"Ayahmu terlalu berlebihan, Raden," Bayu merendah.
"Tidak. Kau memang patut mendapat penghargaan. kagum akan kepandaianmu," puji
Raden Arga Yuda.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya kita cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada yang
datang ke sini," sergah Bayu yang tidak ingin memperpanjang segala macam
pujian yang terlontar dari bibir putra mahkota Kerajaan Gelang Wesi ini.
Mereka segera melangkah pergi masuk ke dalam hutan kembali. Suasana di sekitar
tepian danau, kembali lengang. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Di tempat
bekas pertempuran tadi, hanya ada tombak dan pedang yang patah berserakan. Tak
ada yang menyadari kalau semua peristiwa itu disaksikan seseorang dari dalam
semak belukar. Dan orang itu juga bergegas pergi ke arah lain setelah tidak
ada lagi yang dapat dilihatnya. Namun tiba-tiba dia berbalik dan melompat
cepat ke arah Pendekar Pulau Neraka, Raden Arga Yuda, dan empat orang
pengiringnya pergi!
***
Serombongan orang berkuda bergerak cepat menuju Danau Mutiara. Terlihat paling
depan adalah Pendeta Ajisaka, Singo Barong, dan Macan Gadak. Pergelangan
tangan Pendeta Ajisaka terbalut kain putih bersih. Di belakang mereka berpacu
sekitar seratus orang berseragam baju merah bergambar naga pada dadanya.
Tiba-tiba saja di depan mereka melesat sebuah bayangan, dan tahu-tahu
seseorang berdiri menghadang. Ternyata dia seorang laki-laki memakai baju
tanpa lengan. Bagian dada dan perut dibiarkan terbuka. Warnanya sudah pudar,
dan celana yang dikenakan hanya sebatas lutut. Sebuah caping bambu berukuran
besar bertengger di kepala, menutupi hampir seluruh wajahnya. Rombongan
berkuda itu langsung berhenti.
"He! Siapa kau? Minggir...!" bentak Pendeta Aji saka.
"Kalian menuju arah yang salah. Orang yang kalian buru tidak ada lagi di
sini," berat terdengar suara orang itu sambil tetap berdiri tegak tanpa
bergeming sedikit pun.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, keparat Minggir...!" bentak Pendeta
Ajisaka menggeram.
"Hmmm….Pakaianmu seperti seorang pendeta, tapi bicaramu tidak lebih dari
bajingan!" gumam orang itu dingin.
"Setan alas! Hiyaaat...!"
Pendeta Ajisaka tidak dapat lagi menahan amarahnya. Secepat kilat dia melompat
dari punggung kudanya, langsung menerjang orang bercaping besar itu. Namun
hanya sedikit mengegoskan tubuhnya, terjangan Pendeta Ajisaka luput dari
sasaran. Bahkan tanpa diduga.sama sekali, orang bercaping itu mengibaskan
tangannya. Akibatnya, kibasan itu telak menghantam punggung laki-laki tua
gundul itu.
"Ughk..!" Pendeta Ajisaka mengeluh tertahan.
Seketika itu juga Pendeta Ajisaka tersuruk jatuh mencium tanah. Namun secepat
kilat mampu bangkit berdiri, dan kembali menyerang diikuti kibasan untaian
tasbih dari batu hitam yang keras. Laki-laki bercaping itu melompat mundur
menghindari kibasan tasbih Pendeta Ajisaka. Namun laki-laki tua gundul itu
tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dirangsek orang bercaping itu
dengan jurus jurus maut yang cepat dan dahsyat luar biasa.
Sebentar saja pertarungan sudah berjalan lebih dari lima jurus. Dan memasuki
jurus ke enam, tampak kalau Pendeta Ajisaka semakin terdesak hebat. Dua
pukulan keras tidak dapat dibendung lagi. Laki-laki gundul itu memekik keras
agak tertahan. Tubuhnya terlontar cukup jauh, hingga menghantam sebongkah batu
besar berlumut. Batu itu hancur berkeping keping.
Pendeta Ajisaka menggerung kesakitan bercampur marah yang meluap. Dia berusaha
bangkit berdiri, tapi laki-laki bercaping itu sudah melompat cepat. Bahkan
kaki kirinya kini telah menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka. Pada saat itu,
Singo Barong dan Macan Badak melompat turun dari punggung kudanya.
"Berani mendekat, tua bangka gundul ini mampus!" ancam orang bercaping
itu.
Singo Barong dan Macan Gadak tidak jadi melangkah mendekati. Sementara Pendeta
Ajisaka tampak tersengal, karena tenggorokannya terganjal kaki orang bercaping
bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya.
"Bawa tikus-tikusmu pulang dan tua bangka botak ini tetap bersamaku!" kata
orang bercaping itu lagi. Nadanya tetap tajam dan terdengar berat.
"Ghrrr...!" Singo Barong menggeram marah. Wajahnya sudah memerah bagai
terbakar. Sepasang bola matanya berkilat membara.
Macan Gadak yang kelihatannya lebih sabar, menarik tangan Singo Barong, lalu
mengajaknya mundur. Dengan terpaksa, Singo Barong bergerak mundur mendekati
kudanya kembali.
"Dengar! Jika kalian menginginkan dia hidup, maka harus ditukar dengan Dewi
Mustikaweni!" kata orang bercaping itu lagi. Lantang sekali nada
suaranya.
"Keparat...!" geram Pendeta Ajisaka.
"Diam, monyet!" bentak orang bercaping itu sambil menekan kakinya yang
menginjak tenggorokan Pendeta Ajisaka.
"Akh!" Pendeta Ajisaka memekik tertahan. Batang tenggorokannya terasa sakit,
seperti akan patah semua tulang-tulang lehernya. Injakan kaki orang bercaping
itu demikian kuat sehingga Pendeta Ajisaka benar-benar tidak berdaya lagi.
Hanya bola matanya saja bersinar penuh kemarahan.
"Kakang Singo...," ujar Macan Gadak seraya menepuk pundak Singo Barong.
“Huh! Phuih...!" Singo Barong menyemburkan ludahnya.
Tidak ada pilihan lain bagi mereka mengingat keselamatan Pendeta Ajisaka.
Sekali tekan saja, leher laki-laki tua berkepala gundul itu bisa remuk. Macan
Gadak dan Singo Barong melompat naik ke punggung kudanya masing-masing,
kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk kembali.
Rombongan berkuda itu bergerak pergi. Orang bercaping itu memandangi sampai
rombongan berkuda itu tidak terlihat lagi. Hanya debu yang masih berkepul
membumbung tinggi ke udara. Dilepaskan injakan kakinya pada leher Pendeta
Ajisaka, lalu dengan cepat ditotok jalan darahnya. Pendeta Ajisaka mengeluh
pendek. Seketika itu juga tubuhnya terasa lumpuh, tidak bisa digerakkan lagi.
Laki-laki tua itu hanya bisa mengumpat, memaki, dan menyumpah dalam
hati.
Orang bercaping itu mengambil sulur pohon yang cukup kuat dan panjang, lalu
mengikat kedua kaki Pendeta Ajisaka. Kemudian dilemparkan ujung satunya ke
atas dahan yang melintang cukup tinggi. Ringan sekali tubuhnya melenting
tinggi ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon itu.
"He...! Apa yang kau lakukan...?" seru Pendeta Ajisaka tersentak kaget.
Tapi belum juga ada jawaban, tubuh laki-laki tua berjubah kuning gading itu
terangkat naik. Kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Pendeta
Ajisaka menyumpah dan memaki-maki dengan berang. Orang bercaping besar itu
meluruk turun. Indah sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, dia mendarat di bawah tubuh tergantung terbalik.
"Keparat! Kubunuh kau!" geram Pendeta Ajisaka berang.
"Bagaimana kau akan membunuhku, Pendeta murtad? Sebentar lagi kau akan terbang
ke neraka," ejek orang bercaping itu seraya melepaskan tudung anyaman bambu
dari kepalanya.
Tampak seraut wajah tampan berkulit kurung langsat terlihat begitu caping
besar terlepas. Caping itu bertengger dipunggungnya. Dengan gerakan yang
lembut dan cepat, dibukanya totokan di tubuh Pendeta Ajisaka. Laki-laki tua
gundul berjubah kuning gading itu kini bisa bergerak lagi. Tapi seluruh
tubuhnya jadi kesemutan, bergetar nyeri.
"Aku yakin, mereka tidak akan mempedulikan dirimu. Nah! Berdoalah agar kau
lancar menuju ke neraka, Pendeta murtad," ujar pemuda itu tersenyum
lebar.
Sambil tertawa berderai, pemuda itu berbalik dan melangkah. Pendeta Ajisaka
mengumpat dan memaki habis-habisan. Sambil berusaha melepaskan diri dari
ikatan di kedua kakinya. Tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, seperti
dikerubuti jutaan semut yang menggigiti seluruh tubuhnya. Sedangkan pemuda
berwajah tampan itu menghenyakkan dirinya duduk di atas batang pohon
tumbang.
Pemuda itu melepaskan capingnya. Dari dalam caping itu dikeluarkan selembar
baju, lalu dikenakannya tanpa membuka baju yang telah dikenakan sebelumnya.
Kemudian dipermak wajahnya, sehingga kelihatan buruk, dan...
"Gagak Codet...!" desis Pendeta Ajisaka begitu! pemuda itu memasang sebentuk
kulit kering pada pipi kirinya, sehingga menyerupai luka memanjang.
"Kau terkejut, Pendeta Ajisaka?" pemuda yang kini sudah berubah wajahnya itu
tersenyum menyeringai.
"Siapa kau sebenarnya?" dengus Pendeta Ajisaka.
"Kau kenali ini, Pendeta murtad?" pemuda yang sudah berganti wajah yang
dikenal bernama Gagak Codet, mengeluarkan seuntai kalung dari balik sabuk yang
melilit pinggangnya.
Kedua mata Pendeta Ajisaka membeliak lebar begitu melihat seuntai kalung
berbentuk kepala naga dengan mata dari batu merah bercahaya. Kalung itu dibuat
dari emas murni berhiaskan butiran intan berlian. Sambil tersenyum
menyeringai, Gagak Codet menyimpan kembali kalung itu ke dalam sabuknya.
"Ha ha ha ha...." pemuda itu tertawa terbahak-bahak, lalu melangkah pergi
dengan tenangnya.
Sedangkan Pendeta Ajisaka jadi terbengong memandangi punggung pemuda itu.
Sebentar wajahnya berubah memerah dan pucat pasi. Tentu saja dia kenal betul
dengan untaian kalung berbentuk kepala naga mata merah itu. Bahkan tidak akan
dilupakan seumur hidupnya. Dan kalung itu kini berada di tangan seorang pemuda
tampan yang menyamar menjadi seorang laki-laki berwajah buruk yang memiliki
luka codet memanjang di pipi kirinya. Pemuda yang lebih dikenal bernama Gagak
Codet.
"Ohhh....," Pendeta Ajisaka mengeluh. panjang. "Dewata Yang Agung..., tidakkah
aku bermimpi...? Apakah dia masih hidup?"
Sebentar Pendeta Ajisaka memejamkan matanya, kemudian kelopak matanya terbuka
kembali. Pemuda yang dikenal bernama Gagak Codet itu sudah tidak terlihat lagi
bayangan tubuhnya. Pendeta Ajisaka kemudian mengerahkan hawa murni yang
terpusat pada tubuhnya. Perlahan-lahan hawa panas mulai menjalar ke dalam
aliran darahnya, dengan cepat dikebutkan untaian tasbihnya ke arah sulur kayu
yang mengikat kakinya.
Tas...! Bruk!
"Heghk!" Pendeta Ajisaka mengeluh pendek begitu tubuhnya terbanting keras ke
tanah. Buru-buru laki-laki tua itu membuka ikatan pada kakinya, kemudian
bangkit berdiri. Dan belum juga berdiri tegak, seekor kuda berpacu cepat ke
arahnya. Tampak Singo Barong memacu cepat kudanya menghampiri. Tampak jauh di
belakang serombongan orang berkuda menyusul. Sedangkan Singo Barong langsung
melompat turun dari punggung kudanya dan menghampiri Pendeta Ajisaka.
"Paman tidak apa-apa?" ujar Singo Barong.
"Gundulmu!" rungut Pendeta Ajisaka.
"Mana kudaku?”
"Ada di belakang!"
"Huh!"
***
Emoticon