LIMA
Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya, bergetar juga hati Nyai Nipah dan
Ki Selapati. Tak disangka, orang yang baru saja dibicarakan tiba-tiba telah
berada di depan mata. Tak sedikit pun terbias sikap bersahabat dari mereka,
dan tak terdengar sedikit pun basa-basi dari ucapannya.
“Manusia keparat! Jaga mulutmu dan jangan sembarangan bicara di tempat ini!”
bentak Dewi jengkel sambil berkacak pinggang.
“Siapa kau, Anak Ingusan?! Menepilah, aku tak punya urusan denganmu!”
“Huh! Dasar manusia sombong! Kau pikir dirimu siapa, berani bicara seperti itu
pada kami?!” timpal Wangsa tak kalah garang. Tato Begananda tampak menyipitkan
mata dan memandang sinis pada keduanya. Kemudian tangannya menuding ke arah
mereka sambil berkata garang.
“Kalian berdua, majulah!” Wangsa dan Dewi saling pandang sesaat, lalu menatap
Nyai Nipah seperti meminta persetujuan.
“Huh! Apakah kau pikir aku takut dengan gertakanmu itu?!” Wangsa lebih dulu
melesat, sebelum Nyai Nipah memberikan jawaban.
“Wangsa, jangan gegabah!” bentak Nyai Nipah terkejut melihat sikap muridnya.
Begitu Wangsa menjejakkan kaki di dekat Tato Begananda, saat itu juga lima
orang anak buahnya langsung menyerang ganas.
“Yeaaa...!”
“Dasar bajingan keparat! Apakah kebisaan kalian hanya main keroyokan?!” geram
Dewi sambil mencelat dan mencabut pedangnya untuk membantu Wangsa. Tapi saat
itu juga melesat lima orang anak buah Tato Begananda. Mereka langsung
menghadang dan menyerang gadis itu dengan garang. Parang di tangan mereka
menderu-deru, seperti hendak mencincang tubuh ramping itu menjadi
potongan-potongan kecil.
“Aku anggap ini jawaban kalian! Hm..., bagus! Kalau begitu, bersiaplah
menerima kematian!” dengus Tato Begananda garang sambil mencabut parang yang
terselip di pinggang.
Tapi sebelum Tato Begananda mencelat menghajar mereka, Rangga telah lebih dulu
berkelebat ke hadapannya dan berdiri tegak pada jarak satu tombak. Sepasang
matanya tajam mengawasi lawan.
“Siapa kau? Apakah kau pantas menghadapi-ku? Hm..., rupanya kedua tua bangka
itu keburu ciut nyalinya. Hingga menghadapkan anak ingusan sepertimu!” kata
Tato Begananda dengan suara sinis dan menganggap remeh.
“Apakah yang sebenarnya kau kehendaki, Kisanak? Kalau ingin pengakuan, maka
kami dengan senang hati mengakui bahwa kau penguasa jagat dan rimba
persilatan. Tapi berlutut menyembahmu, itu sudah keterlaluan!” sahut Rangga
tanpa mempedulikan kata-kata tokoh sesat itu.
“Huh! Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah! Kau kira dirimu siapa, berani
bicara begitu!” Sambil mendengus sinis, tiba-tiba saja senjata Tato Begananda
berkelebat ke arah pinggang Rangga.
“Uts...!” “Hm..., bagus! Agaknya kau memiliki kepandaian juga. Pantas berani
berlagak di hadapanku. Tapi jangan harap kau bisa bertingkah lebih dari ini.
Hih...!”
“Hup!” Tato Begananda agaknya sangat bernafsu untuk membereskan lawan
secepatnya. Tak heran bila senjatanya berkelebat cepat dan kuat,
menyambar-nyambar ke mana saja tubuh Rangga bergerak menghindar. Namun dengan
mantap, Pendekar Rajawali Sakti memainkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk
menghindari serangan lawan.
Sementara itu, Nyai Nipah yang melihat kedua muridnya terdesak hebat, segera
bergerak memberi pertolongan. Tapi, pada saat itu juga lima orang lawan
menghadangnya. Begitu juga ketika Ki Selapati mencoba membantu. Lelaki itu
dihadang lima orang lawan. Ganatri yang merasa tak bisa berpangku tangan,
turut membantu mereka. Tapi sisa anak buah Tato Begananda telah lebih dulu
menghadangnya. Akibatnya, pertarungan itu berjalan tidak seimbang.
Masing-masing dari mereka menghadapi lima anak buah Tato Begananda yang
memiliki kemampuan luar biasa.
“Yeaaa...!”
Cras!
“Aaa...!”
“Kakang Wangsa...!” pekik Dewi, tatkala mendengar jeritan pemuda itu.
Saat itu dilihatnya Wangsa tengah memegangi perutnya yang terobek senjata
lawan. Suara Dewi terdengar cemas. Tak diragukan lagi, gadis itu memang
mencintai Wangsa dan tak ingin pujaan hatinya terluka. Maka tanpa mempedulikan
keadaan dirinya yang terdesak hebat, gadis itu berusaha keluar dari kepungan
lawan untuk membantu Wangsa. Tapi hal itu justru menjadikan pertahanannya
terbuka! Para pengeroyok langsung mengayunkan senjata ke arah tubuhnya.
“Yeaaat..!”
Bret! Cras!
“Akh...!”
Dewi hanya sempat mengeluh pelan. Tubuhnya penuh dengan luka-luka bacokan yang
dalam dan lebar. Ketika ambruk ke tanah, nyawanya pun putus dengan sekujur
tubuh bermandikan darah. Bukan main geram hati Nyai Nipah melihat keadaan itu.
Dengan garang, pedangnya diayunkan dan mengamuk hebat.
“Keparat laknat! Mampuslah kalian semua! Hiyaaat...!”
Trak! Trang!
Desss!
“Aaakh...!”
Salah seorang anak buah Tato Begananda menjerit keras. Tubuhnya ambruk dengan
leher patah, ketika pedang Nyai Nipah menyambarnya dengan cepat Kenyataan itu
membuat kemarahan teman-temannya. Akibatnya, Nyai Nipah dikeroyok lebih dari
lima belas orang lawan yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Sehingga dalam
waktu singkat, perempuan tua itu mulai terdesak hebat.
Meskipun Nyai Nipah telah mengerahkan segenap kemampuannya, tetap saja tak
mampu bertahan lebih lama. Dalam suatu kesempatan, tiga buah senjata lawan
sekaligus menangkis ayunan pedangnya. Orang tua itu mengeluh kesakitan.
Pedangnya terlepas dan telapak tangannya terkelupas. Tubuhnya membungkuk untuk
menghindari sambaran senjata lawan. Namun dari arah belakang, seorang lawan
menghunjamkan parangnya tepat di punggung sebelah kiri.
“Hiyaaa...!”
Blesss!
“Aaa...!”
Cras!
Nyai Nipah memekik nyaring. Tubuhnya menggeletar hebat. Dengan sisa-sisa
tenaga, dia berusaha berbalik untuk menghantam lawan yang membokongnya. Namun
satu ayunan senjata lawan menyambar lehernya, membuat kepala orang tua itu
terkulai. Senjata lawan yang lain menghajar tubuhnya tanpa rasa kemanusiaan
sedikit pun, sampai orang tua itu ambruk dalam keadaan tubuh tak karuan.
“Eyang Guru...!” pekik Ganatri nyaring. Ki Selapati yang mengetahui bahaya
akan menimpa gadis itu, cepat melompat sambil mengayunkan tongkatnya ke arah
seorang penyerang dari arah belakang gadis itu.
Trak! Wuuut!
"Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan dirimu!” bentak Ki Selapati keras.
“Tidak! Aku tak akan pergi sebelum keparat- keparat ini mendapat balasan
setimpal dari tanganku!” bantah Ganatri.
“Jangan membantah! Cepat, tinggalkan tempat ini....” Ucapan Ki Selapati
terputus ketika lawan-lawan Nyai Nipah mengalihkan perhatian kepadanya. Orang
tua itu sibuk memutar tongkat untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Sementara Ganatri sendiri sedang dikeroyok dua orang lawan. Rangga bukan tidak
tahu kalau di pihak mereka telah tewas tiga orang. Hatinya geram bukan main,
dan wajahnya tampak keras membiaskan amarah. Sambil membentak nyaring
dicabutnya Pedang Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika sinar
biru menerangi tempat itu dan menyambar cepat ke arah lawan.
“Heh...?!” Tato Begananda terkejut melihat kehebatan pedang lawan. Belum lagi
habis rasa terkejutnya, tiba-tiba saja sinar biru itu menyambar ke arahnya.
Buru-buru tubuhnya dilindungi dan mencoba memapaki dengan senjatanya.
Tras!
“Yeaaa...!”
“Keparat!”
Bukan main terkejutnya Tato Begananda ketika melihat parangnya terpotong
menjadi dua bagian. Kalau saja tadi tidak melompat ke belakang, pasti tubuhnya
yang akan menjadi korban keganasan pedang lawan.
“Huh! Rasakan pembalasanku!” Tato Begananda mendengus geram. Ketika kakinya
telah menjejak tanah, saat itu juga diambilnya topeng kayu dari balik baju,
dan dengan cepat mengenakannya.
Rangga mengerutkan dahi melihat cara berkelahi lawan yang memakai topeng kayu
berwajah seram itu. Laki-laki berhati iblis itu kini lebih mirip makhluk liar
daripada manusia. Tanpa mempedulikan perbuatan lawan, Rangga terus mendesak
dengan serangan-serangan gencar. Pada mulanya dia tidak merasakan suatu
perubahan apa pun. Tapi, lama kelamaan hal itu mulai dirasakan.
Serangan-serangannya kacau dan tak terarah. Tenaganya cepat terkuras, serta
pikirannya menerawang jauh entah ke mana.
“Yeaaat..!” Rangga membentak keras sambil menggelengkan kepala dengan cepat.
Plak!
Wuuut!
“Heh...?!”
Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir. Bagaimana mungkin permainan pedangnya
bisa kacau balau begini? Bahkan dengan mudahnya lawan menghindar. Dan barusan
tadi, mengirimkan serangan balasan kepadanya. Masih untung tubuhnya dijatuhkan
ke tanah.
Desss!
“Akh...!”
Rangga menjerit keras. Satu tendangan balik yang dilakukan lawan seperti
mengaduk-aduk perutnya. Rasa sakitnya bukan main hebatnya. Tubuhnya
terjerembab dengan darah kental meleleh dari sudut bibirnya. Pendekar Rajawali
Sakti berusaha bangkit dan berdiri tegak. Tapi pada saat itu sebuah kepalan
tangan lawan menderu ke dada, diikuti tendangan kaki kanan ke pelipisnya.
Begkh!
Desss!
“Aaakh...!”
Rangga menjerit keras. Tulang dadanya terasa remuk menerima hantaman bagai
geledek itu. Belum lagi sempat menguasai diri, kepalanya terasa sakit bukan
main dan pandangannya berkunang-kunang. Samar-samar terdengar suara keras
memanggil namanya. Tapi kemudian kembali terdengar pekik kesakitan. Rangga
bertopang pada pedangnya yang ditancapkan di tanah dan berusaha bangkit.
“Hiyaaa...!”
Desss!
“Aaakh...!”
Kembali Rangga menjerit keras. Tubuhnya terlempar dua tombak sambil
memuntahkan darah segar. Pikirannya yang kosong semakin tak mengerti apa yang
telah terjadi, selain rasa sakit yang dideritanya.
“Hm.... Hebat juga daya tahan tubuhmu, Bocah! Tak heran bila kau disegani
semua tokoh persilatan. Tapi hari ini nama Pendekar Rajawali Sakti akan
terhapus selamanya dari muka bumi!” dengus Tato Begananda sambil menyorongkan
telapak tangannya. Bukan main girangnya Tato Begananda ketika mengetahui kalau
lawannya kali ini Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja pemuda itu binasa di
tangannya, maka jalan ke depan untuk menguasai dunia persilatan akan semakin
mudah baginya. Itulah sebabnya, Tato Begananda tak segan-segan menghabisi
pemuda itu secepatnya dengan pukulan saktinya yang bernama Kelabang Ungu.
“Hiyaaa...!” “Khraaagkh...!” Wusss! “Heh?!”
***
Tato Begananda terkejut bukan main. Tiba-tiba saja menderu angin kencang,
diikuti suatu bayangan hitam yang meluncur cepat ke arah mereka. Debu-debu
serta seluruh daun-daun kering di seputar tempat itu beterbangan tak karuan,
seperti dilanda angin topan dahsyat. Cabang-cabang serta ranting pohon
bergoyang-goyang, dan beberapa orang anak buah Tato Begananda terlempar keras,
sementara yang lain langsung mengerahkan tenaga dalam dan berpijak erat-erat.
“Sial! Makhluk apa ini?!” maki Tato Begananda geram. Lelaki itu berusaha
melawan sambil mengerahkan tenaga dalam. Namun deru angin kencang seperti
tiada henti menghantam ke segala arah. Mau tak mau dia lebih memusatkan
pertahanan pada dirinya sendiri, kalau tak ingin terlempar menghantam batang
pohon atau batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu. Beberapa saat
kemudian, angin kencang itu berkurang seiring melesatnya sesosok bayangan yang
membubung tinggi dengan cepat bagai kilat ke angkasa.
“Burung keparat! Awas kau! Lain kali nyawamu tak akan kuampuni!” maki Tato
Begananda geram bukan main. Dengan kesal, dihantamnya burung yang terus
membubung ke angkasa itu dengan pukulan 'Kelabang Ungu' sekuat tenaganya.
“Hiyaaa...!”
“Grhhhk...!”
Wusss...!
“Burung keparat! Awas kau, sekali lagi bertemu denganku!”
Bukan main geram Tato Begananda ketika dengan mudah burung raksasa itu
mengelak. Bahkan ketika kedua sayapnya terkepak, saat itu juga pukulan mautnya
yang mengeluarkan cahaya ungu terhenti dan buyar. Tak tahu harus ke mana
melampiaskan kekesalannya, dihantamnya pondok Nyai Nipah sampai hancur
berantakan.
“Ketua, kedua orang itu hilang...!” salah seorang anak buahnya melapor kepada
Tato Begananda.
“Hilang? Apa maksudmu?!” Tato Begananda yang telah menanggalkan topeng
kayunya, tampak melotot garang pada anak buahnya.
“Pemuda yang kau katakan sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan gadis berbaju
hijau itu.”
“Keparat! Kenapa kalian diam saja?!” Seluruh anak buahnya diam membisu. Mereka
tak tahu harus menjawab apa karena tak seorang pun tahu ke mana kedua orang
itu lenyap. Gadis berbaju hijau mengalami luka yang cukup parah. Begitu juga
Pendekar Rajawali Sakti. Mustahil mereka bisa kabur dengan begitu mudah. Tapi
kenyataannya, kedua orang itu tak terlihat.
“Cari sampai ketemu, dan bunuh mereka!” perintah Tato Begananda dengan suara
menggelegar.
Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung berpencar di seputar tempat
itu. Lelaki itu uring-uringan dan berjalan mondar-mandir sambil sesekali
menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Selang beberapa saat kemudian,
anak buahnya berkumpul. Semua menundukkan kepala dalam-dalam begitu Tato
Begananda memandang mereka dengan tajam.
“Mana kedua orang itu?!”
“Kami telah mencarinya sampai bagian-bagian yang terpelosok sekalipun. Tapi
jejak mereka tak ditemukan. Rasanya mereka tak mungkin melarikan diri tanpa
meninggalkan jejak,” sahut salah seorang anak buahnya.
“Keparat! Jadi, kemana mereka?!”
“Mungkin burung raksasa itu yang membawa mereka, Ketua?” selak salah seorang
anak buahnya.
“Hm.... Benar juga katamu! Burung itu pasti peliharaannya. Menurut kabar yang
kudengar, burung itu sangat penurut serta melindungi keselamatan tuannya.
Pasti tuannya telah dibawa kabur dari cengkeramanku. Huh! Awas kalau sampai
bertemu lagi!”
“Pendekar Rajawali Sakti telah jatuh di tangan Ki Tato Begananda. Dia tentu
tak akan berani berhadapan untuk yang kedua kalinya. Sebentar lagi, seluruh
rimba persilatan akan mengakui kehebatanmu,” kata salah seorang anak buahnya,
menghibur.
“Ya, benar katamu. Kini tak seorang pun bisa menghalangiku. Sekali lagi
Pendekar Rajawali Sakti menunjukkan muka, dia tak akan selamat!” dengus Tato
Begananda garang.
Tak lama kemudian, mereka meninggalkan tempat itu. Satu kegembiraan menyusup
di dada Tato Begananda, membuat kesombongannya semakin memuncak. Dadanya
dibusungkan kedepan, seolah ingin menunjukkan kepada siapa saja kalau dialah
penguasa seluruh rimba persilatan!
***
ENAM
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu diam, sambil duduk bersila di atas
sebuah batu datar yang basah. Di depannya pada jarak tiga jengkal, mengucur
deras air terjun yang menghempas telaga di bawahnya. Pandangannya tajam
menusuk dan wajahnya membiaskan kegeraman yang tiada tara. Sudah hampir
seharian pemuda itu duduk bersila di situ dan tak sedikit pun mau beranjak.
Di belakangnya terdapat sebuah gua yang ruangannya cukup luas. Tempat itu
lebih mirip celah di dalam sebuah bukit yang curam, dengan air terjun melintas
dari atas ke bawah. Lubang gua tidak terlihat dari luar karena terhalang
curahan air terjun.
Seorang gadis berbaju hijau yang tergolek di atas sebuah dipan, tampak
bergerak-gerak lemah sambil merintih lirih. “Ohhh...!”
Namun, pemuda berbaju rompi putih itu tak beranjak dari tempat duduknya,
meskipun telinganya mendengar rintihan. Gadis itu sendiri berusaha bangkit dan
duduk di pinggir dipan, sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Pada
kedua lengan dan bagian punggungnya terlihat balutan luka yang masih terasa
nyeri. Gadis itu menatap ke sekeliling dan melihat pemuda berbaju rompi putih
yang tetap tak menoleh.
“Kisanak, siapa kau dan berada di mana kita?” tanyanya lirih.
Pemuda itu tetap diam membisu. Gadis itu pun beranjak pelan dan mendekati.
Melihat dari samping, tahulah dia siapa pemuda itu sebenarnya.
“Kau?! Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti? Apa yang kau lakukan di sini?
Dan..., oh! Apa yang telah kau lakukan terhadapku?!” seru si gadis mulai
curiga.
Kalau bagian punggungnya yang terluka telah terbalut rapi, pasti pemuda itu
telah membuka pakaiannya untuk membalutnya. Dan berarti dia.... “Oh! Ti...,
tidak...!”
Gadis itu melangkah ke belakang dan mulai mencurigai Rangga. Lalu memeriksa
keadaan dirinya, namun tak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan, selain
balutan luka yang ditoreh ramuan obat. Gadis itu pun mulai berpikir lain. Dan
perlahan-lahan menghilangkan prasangka buruk terhadap Rangga.
“Pendekar Rajawali Sakti! Kenapa kau membawaku ke sini, dan tempat apakah
ini?” tanyanya mencoba ramah.
Tapi Rangga tetap diam membisu. Si gadis yang menyangka suaranya kurang jelas
terdengar karena derasnya air terjun, kembali melangkah mendekati dan berdiri
di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
“Kenapa kau membawaku ke tempat ini, Kisanak?”
Rangga diam membisu. Gadis itu mulai jengkel, tapi tak tahu harus berbuat apa.
Beberapa kali dicobanya untuk menyapa Pendekar Rajawali Sakti, tapi hasilnya
tetap nihil. Rangga diam membisu dan seperti tak ingin berpaling. Gadis itu
kembali ke dalam ruangan gua dan meneliti tempat itu untuk mencari jalan
keluar. Namun tak sedikit pun terdapat celah pintu. Ruangan itu memiliki
dinding-dinding yang rapat. Satu-satunya jalan keluar adalah melompati curahan
air terjun yang ada di depan Rangga. Gadis itu melihat seperiuk nasi dingin
dan sedikit ikan asin serta beberapa potong dendeng. Perutnya yang lapar kini
mulai terasa.
“Kisanak, perutku lapar. Bolehkah aku memakan makanan yang ada di tempat ini?”
tanyanya dengan suara agak keras.
Tapi Rangga tetap membisu. Gadis itu kembali bertanya, namun tetap tak ada
reaksi. Akhirnya setelah lama menunggu, dan pemuda itu tetap membisu sedangkan
perutnya semakin melilit, diambilnya piring dan mulai makan. Sampai si gadis
selesai makan, Pendekar Rajawali Sakti tetap tak beranjak. Gadis itu mulai
gelisah. Dicobanya berbaring di dipan. Karena keletihan, gadis itu akhirnya
tertidur. Agak lama juga dia terlelap. Dan ketika terbangun, di luar terlihat
suram.
Senja baru saja berlalu. Matanya dikucek- kucek dan melihat Rangga masih duduk
di tempatnya semula, tak beranjak sedikit pun. Gadis itu tak tahu, apa yang
harus dilakukannya. Kemudian, kakinya melangkah pelan dan mencoba duduk di
dekat pemuda itu. Terasa hawa dingin menampar tubuhnya, membuat gadis itu
menggigil. Cepat-cepat dia masuk ke dalam.
“Kisanak, apakah kau tidak kedinginan? Aku tak ada kawan bicara di sini. Tak
bisakah kau masuk dan menghentikan sikapmu yang seperti itu?”
Tapi Rangga tetap diam membisu. Pandangannya tajam ke depan seperti menatap
kekosongan hatinya saat ini. Gadis itu tak tahu lagi apa yang harus dilakukan,
agar pemuda itu mau menanggapinya. Di dalam gua mulai pengap dan terasa
dingin. Matanya melihat tumpukan kayu kering dan dua buah batu api. Segera
dibuatnya perapian dan duduk dengan melipat kedua lutut di depan dada.
Sampai jauh malam dia duduk di situ, tak sedikit pun terlihat pemuda itu mau
beranjak dari tempatnya semula. Pikirannya mulai bertanya-tanya, apa yang
sedang dilakukan pemuda itu. Apakah tak tersimpan niat jahat di hati pemuda
itu terhadap dirinya? Gadis itu mulai gelisah. Matanya tak mau terpejam
memikirkan hal itu. Tapi tubuhnya masih terasa lemah dan daya tahannya
berkurang banyak akibat luka yang diderita. Tanpa sadar, gadis itu tertidur
dalam keadaan bersandar di dinding gua.
***
“Heh?!” Gadis itu tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau harum daging
bakar. Seketika pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan gua. Dan
tampaklah Rangga yang sedang duduk sambil membolak-balik beberapa potong ikan
segar yang telah matang, dalam potongan kayu kecil.
“Enak tidurmu semalam...? Cucilah mukamu, dan hangatkan tubuh dengan air
hangat yang telah kumasak tadi,” kata Rangga seraya menatap wajah gadis itu.
Gadis itu tidak segera mengerjakan apa yang diperintah Rangga. Dipandanginya
Rangga dengan seksama. Tapi pemuda itu seperti tak peduli. Matanya tajam
menatap nyala api yang mulai sirna dalam arang kayu, yang semakin habis
menjadi arang dan debu.
“Kalau kau lapar, aku telah membakar beberapa ekor ikan untuk kita...,” kata
Rangga lagi.
“Kita berada di mana...?” tanya gadis itu, pelan.
“Dalam gua....”
“Ini tempat tinggalmu?” Rangga menggeleng. “Tempat ini milik kawanku. Dialah
yang membawa kita ke sini.”
“Kawanmu...?”
“Kawanku yang telah menyelamatkan kita berdua,” lanjut Rangga seraya tersenyum
getir.
Gadis itu terdiam, teringat kembali peristiwa kemarin atau entah kapan. Dia
sendiri tak tahu, berapa hari sudah berada di dalam gua ini. Matanya menangkap
cahaya matahari di antara curahan air terjun di mulut gua. Berarti malam telah
berganti pagi.
“Mereka tewas semua...,” desah gadis itu dengan suara lirih, seperti berkata
pada diri sendiri.
“Maafkan, aku tak mampu menyelamatkan mereka,” ujar Rangga dengan suara yang
semakin getir.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian beranjak keluar dan berdiri di dekat curahan
air terjun. Agak lama juga pemuda berbaju rompi putih itu mematung di situ.
Melihat kelakuannya, si gadis beranjak dan mendekati. Wajahnya dibasuh,
kemudian kembali mendekati pemuda itu sambil membawa dua buah cangkir, dan
mengangsurkan secangkir teh hangat.
“Semalaman kau berada di sini, tubuhmu tentu dingin. Minumlah, mungkin bisa
menghangatkan sedikit”
“Terima kasih....”
Gadis itu duduk di atas sebuah batu di dekat Rangga, sambil memandang curahan
air terjun dan sesekali meneguk teh hangat.
“Aku tak menyalahkanmu atas peristiwa itu....”
“Aku memang orang tak berguna,” desah Rangga.
Gadis itu terpaku. Diusahakannya untuk mencerna ucapan yang terlontar dari
bibir pemuda itu. Melihat wajahnya yang murung, gadis itu mulai menduga-duga
sambil menghubungkan dengan cerita yang pernah didengarnya tentang pemuda ini.
Sepanjang apa yang didengarnya, Pendekar Rajawali Sakti adalah tokoh kosen
yang tak pernah terkalahkan.
Banyak sudah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang tewas di tangannya. Tapi kali
ini, dia harus menelan pil pahit. Kalau saja saat itu tak ada yang
menyelamatkan mereka, pasti pemuda ini hanya tinggal namanya saja. Apakah
Rangga merasa tertekan dengan kekalahannya itu?
“Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi ada kalanya jalan hidup manusia tak
selamanya lurus dan mulus. Kadangkala harus menemui halangan dan rintangan,
yang tak mungkin kita hadapi...,” ujar gadis itu lirih.
Rangga tersenyum pahit sambil berpaling pada gadis itu. Diteguknya teh hangat
dalam cangkir. “Apakah kau pikir, aku sakit hati dikalahkan orang itu?” Gadis
itu terdiam. “Yang kupikirkan saat ini, siapakah orang yang akan menghalangi
Tato Begananda? Orang itu memiliki Ilmu Iblis, yang membuat lawannya tak
berdaya tanpa mengetahui apa sebabnya. Aku sendiri tak tahu kenapa. Tapi
dengan ilmu iblisnya itu, dia akan bebas membuat malapetaka yang akan
menimbulkan korban mengerikan di muka bumi ini....”
“Dunia ini luas dan di dalamnya penuh kejadian yang tak terduga. Siapa berani
mengatakan kalau orang itu akan terus membuat kekacauan tanpa ada yang
menghentikan? Suatu saat, dia pasti akan terbentur juga,” sahut gadis itu.
“Kau benar, dan itu pasti akan terjadi. Tapi, setelah bumi ini banjir oleh
darah orang-orang yang belum tentu bersalah dan merugikan orang lain,” kata
Rangga.
“Setidaknya kau telah berusaha....” Rangga tersenyum pahit. “Kelihatannya kau
penasaran sekali karena dikalahkan orang itu, dan tidak menerima kenyataan
yang telah terjadi.”
“Hm.... Aku yakin betul kalau kepandaian orang itu tak seberapa. Tapi apa yang
menyebabkannya hingga dia mampu membuatku tak berdaya?” gumam Rangga, seperti
bertanya pada diri sendiri.
“Barangkali dia tahu kelemahanmu?” Rangga menggeleng lemah. Tapi tiba-tiba
bola matanya membias cerah, seperti ada yang terlintas dalam benaknya.
“Ya, ya...! Kau benar. Pasti ada kelemahannya! Tapi apa?”
Rangga kembali lesu memikirkan hal itu. Sedang si gadis mulai bingung melihat
perubahan mendadak di wajah pemuda itu.
“Yeaaa...!”
Tiba-tiba Rangga berteriak nyaring ketika tubuhnya berkelebat cepat, menerobos
curahan air terjun di mulut gua. Gadis itu terkesiap dan memburu. Tapi tubuh
Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap ditelan air terjun. Gadis itu mematung
sesaat sebelum menyusuri tepi gua dengan langkah pelan. Curahan air terjun
lebarnya kurang dari dua tombak. Sementara gua itu sendiri tak begitu tinggi
letaknya dari permukaan telaga di bawahnya.
Menyusuri tepi gua yang lebarnya hanya kurang dari tiga jengkal, gadis itu
dapat melihat ke bawah. Rangga tengah mengamuk sendirian sambil mengeluarkan
teriakan-teriakan penuh kemarahan. Dihajarnya curahan air terjun itu
berkali-kali sambil mengerahkan tenaga dalam penuh. Gadis itu tercekat. Jelas
dilihatnya air terjun itu berhenti sesaat sampai mencapai ketinggian lebih
dari lima jengkal dari permukaan air telaga.
“Hiyaaa...!”
Plarrr!
Rangga melompat ke sana kemari dengan lincah, dan tiba-tiba menukik tajam
sambil menghantam batu besar hingga hancur berkeping-keping!
“Hup!”
Rangga berdiri di atas sebuah batu sambil men-gangkat sebelah kaki, kemudian
cepat melompat dan menjejakkan kaki ke tanah.
“Hei, kau! Turunlah ke sini!” teriak Rangga pada gadis itu. Gadis berpakaian
hijau itu pun langsung melenting ringan ke dekat Rangga dengan wajah masam.
“Kenapa kau panggil aku hei? Memangnya aku tak punya nama?!”
“Maaf! Namamu Ganatri, bukan?” Gadis itu masih menunjukkan wajah kesal.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecil.
“Ganatri, yakinkah kau kalau aku mampu mengalahkan Tato Begananda?”
“Kenapa pertanyaan itu kau ajukan kepadaku?”
“Karena aku perlu bantuanmu?”
Ganatri memandang tajam ke arah Rangga.
“Coba dengarkan baik-baik. Aku berhasil mendesaknya dalam pertarungan itu
sebelum dia memakai topeng kayu. Setelah topeng itu dikenakan, aku merasakan
tenagaku lemah dan tak berdaya. Pikiranku kosong dan tak bisa memusatkan
perhatian pada lawan. Jadi, kelebihan dan sekaligus kelemahan orang itu berada
di topengnya,” jelas Rangga.
“Berarti kalau berhasil merebut topeng kayunya itu, kau mampu mengalahkannya?”
“Tepat! Tapi itu tidak mudah. Bukan saja dia akan melindungi topeng itu dengan
ketat, juga bila topeng itu dikenakannya, maka kekuatan gaib yang terpancar
dari topeng itu akan mempengaruhi lawan. Aku pernah mendengar cerita ilmu
sihir seperti itu.”
“Lalu, bagaimana cara merebut topeng itu dari tangannya?”
“Dengan cara menutup mata dan hanya mengandalkan pendengaran belaka.”
“Gila! Itu sama artinya mengorbankan diri dengan percuma!”
Rangga tersenyum kecil. “Ilmu sihir menyerang pandangan mata, dan topeng itu
mengandung sihir. Kalau kita melawan dengan mata terbuka, maka kita akan
terkena pengaruhnya. Tapi pendengaran yang tajam tak akan tertipu.”
“Bagaimana caramu melakukan itu?”
“Kau yang akan membantuku,” kata Rangga mantap. Pemuda itu membuka ikat kepala
dan menutup kedua matanya erat-erat sampai tak terlihat lagi pandangan di
depan.
“Seranglah aku, setelah aku memberi isyarat dengan tangan!” katanya.
Walaupun Ganatri masih belum mengerti betul, tapi melakukan juga apa yang
diperintahkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga memusatkan pikiran sambil
mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Dan ketika dia memberi isyarat,
saat itu juga Ganatri mulai menyerangnya.
“Yeaaa...!”
“Hup!”
Plak!
“Lebih keras dan lebih cepat lagi, Ganatri!” teriak Rangga sambil memasang
jurus.
Selama ini, ilmu itu memang amat jarang digunakan untuk melakukan pertarungan
dengan lawan. Tapi kali ini, Rangga akan menggabungkan keduanya dan melatih
pendengaran untuk mengetahui kedudukan lawan dan mengetahui serangan, untuk
kemudian menghindar sambil balas menyerang. Mula-mula memang sulit, tapi
semangat pemuda itu keras bukan main.
Dengan bantuan Ganatri, Pendekar Rajawali Sakti terus berlatih seperti orang
kesetanan, sehingga perkembangannya cukup meyakinkan. Kalau pada hari pertama
dia masih kena pukulan gadis itu, namun sore harinya dan pada hari kedua,
gadis itu mulai kewalahan menghadapinya.
“Sekarang, ambil sekitar dua puluh kerikil dan lemparkan ke arahku!” kata
Rangga.
“Baiklah. Nah, seperti katamu, aku tak akan memberi aba-aba, tapi langsung
melemparkan ke arahmu secara tak terduga!”
Ganatri mulai menyerang kembali, dan pada pertengahan serangan dilemparkannya
semua kerikil yang ada di tangannya ke arah Rangga. Tapi Pendekar Rajawali
Sakti bergerak cepat menghindar, dan beberapa kerikil tertangkap sehingga tak
sebutir pun mengenai tubuhnya.
“Ganatri, lihat ranting di atas kepalamu! Yeaaa...!”
Tras!
Tras!
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat ke atas sambil mencabut pedang
pusakanya. Saat itu juga terpancar sinar biru menerangi tempat itu, berkelebat
menyambar ranting pohon dan dedaunan yang berada di atas kepala gadis itu.
“Ck, ck, ck...! Hebat bukan main, Kakang Rangga!” puji Ganatri yang telah
memanggil kakang pada Rangga.
Apa yang dilakukan pemuda itu memang sangat mengagumkan. Ranting pohon di atas
kepala Ganatri terpotong menjadi beberapa bagian, dan beberapa helai daun
tampak jatuh terpotong dua. Rangga berdiri tegak di hadapannya dengan pedang
tersimpan kembali ke warangka di punggung. Kemudian membuka kain yang menutup
matanya.
“Hebat, Kakang! Maukah kau mengajariku?”
“Ilmu itu tidak mudah, Ganatri. Kau harus menghabiskan sisa umurmu, agar mampu
membedakan suara dan gerak.”
“Aku rela menghabiskan sisa umurku, asal bisa membinasakan si keparat itu!”
“Dan membuang serta menyia-nyiakan masa mudamu?”
“Setelah guruku tewas, hidupku kini sudah tak berarti lagi,” suara Ganatri
terdengar getir, lalu membuang pandangan ke air terjun.
“Kenapa kau berkata begitu?” Ganatri tidak langsung menjawab. Kakinya
melangkah pelan ke dekat sebatang pohon dan menyandarkan diri di situ.
Pandangannya kosong menatap curahan air terjun. Rangga mengikuti dan memandang
Ganatri dengan heran. Pemuda itu menggeleng lemah, merasakan dirinya terlalu
memikirkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan keadaan gadis itu.
“Apakah kau tidak memiliki keluarga?”
“Ada. Tapi mereka tak mempedulikan aku lagi.”
“Kenapa?”
“Orangtua ku bercerai ketika aku masih kecil. Ayahku tak mau peduli karena
telah kawin lagi, sibuk dengan istri mudanya. Sedangkan ibuku sibuk dengan....
Ah...!” Ganatri tak melanjutkan ceritanya.
“Ibumu kenapa?”
“Kau tentu akan jijik kalau aku mengatakannya....”
“Bagaimanapun buruknya, dia tetap ibumu yang menyebabkan kehadiranmu di dunia
ini.”
“Ibuku..., ibuku seorang..., perempuan nakal,” lirih dan tersendat-sendat saat
gadis itu mengucapkan kata-katanya. Rangga terdiam beberapa lama.
“Kau tentu jijik melihatku sekarang, bukan?”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Karena aku melihat Kakang Wangsa memandangku begitu, dan menganggapku
perempuan murahan....”
“Hm.... Aku sempat mendengar ketika kalian berkelahi beberapa hari lalu.
Bukankah dia menyukaimu, dan.... Tidakkah kau menyukainya juga?”
“Huh! Siapa yang suka dengan pemuda sepertinya? Dia merayuku hanya
menginginkan sesuatu. Kak Dewi amat mencintainya dan rela menyerahkan
kehormatannya. Dan Kakang Wangsa akan melakukan hal itu padaku. Tapi jangan
harap aku akan mudah dirayunya begitu rupa. Setiap hari dia terus mendekati
dan merayuku sampai Kak Dewi cemburu, puncaknya pada hari itu. Dia menuduhku
merebut Kakang Wangsa dari sisinya. Tentu saja tuduhan itu tak bisa kuterima,
dan berusaha menjelaskannya. Tapi Kak Dewi tetap menyalahkanku dengan
mengungkit-ungkit apa yang dilakukan ibuku...,” jelas Ganatri. Sampai di situ
Ganatri tak dapat lagi menahan haru. Gadis itu menangis sambil menundukkan
wajahnya dalam-dalam.
“Sudahlah, Ganatri. Tak semua orang menganggapmu begitu. Harga diri seseorang
tergantung dari sikapnya sendiri, bukan dari apa yang dilakukan
orangtuanya...,” hibur Rangga sambil menepuk-nepuk punggung gadis itu.
Ganatri masih menangis terisak, dan Rangga terus berusaha menghiburnya sampai
isak tangis gadis itu berhenti. Namun wajahnya masih tetap ditundukkan
dalam-dalam. Rangga mengangkat dagunya hingga wajah mereka bertemu.
Dipandanginya gadis itu sambil tersenyum kecil.
“Kau tak boleh larut dalam kesedihan. Masih banyak yang bisa dikerjakan untuk
hari-hari selanjutnya. Ingatlah! Kehormatanmu ada di tanganmu, bukan dari
sikap orangtua mu!”
“Kau tak menganggapku rendah, Kakang Rangga...?”
Rangga menggelengkan kepala.
“Sungguh?”
“Ya!”
“Oh, terima kasih, Kakang...!” Ganatri mendekap tangan pemuda itu erat-erat
dengan kedua telapak tangannya. Senyumnya pun kembali mekar.
“Nah, hapuslah air matamu. Hari ini kita akan berangkat untuk menemui Tato
Begananda.”
“Sekarang, Kakang? Apakah kau yakin bisa mengalahkannya?”
“Kita lihat saja nanti.”
“Tapi kau akan mengajariku ilmu itu, bukan?”
“Ya, tapi tidak sekarang.”
“Kapan pun akan kutunggu saat itu, Kakang.”
Rangga tersenyum dan berjalan pelan meninggalkan tempat itu, dan Ganatri
mengiringi di sebelahnya. Gadis itu agaknya tak menyadari atau memang sengaja,
sebab dia sendiri tak ingin melepaskan genggaman tangannya pada pemuda itu.
Ada kegembiraan di hatinya yang belum pernah dirasakan sebelum saat ini.
Ganatri sendiri tak yakin, perasaan apa itu sebenarnya?
***
TUJUH
Orang tua itu berdiri tegak sambil memegang sebatang pedang yang masih berada
dalam warangka. Tubuhnya tinggi besar dengan kedua tangan kekar. Bajunya
kuning dengan ikat kepala agak tinggi. Melihat caranya berpakaian, terlihat
jelas kalau dia berasal dari seberang. Orang tua itu usianya kurang lebih
tujuh puluh tahun, namun tak sedikit pun terlihat lemah atau tak berdaya.
Bahkan dari sorot matanya yang tajam orang akan segera tahu, kalau dia bukan
orang sembarangan. Tapi orang-orang yang mengelilinginya saat ini seperti tak
melihat hal itu. Mereka hanya mengincar buntalan kecil yang tergenggam di
tangan kirinya.
“Sekali lagi kuperingatkan, Orang Tua. Serahkan buntalan itu, atau nyawamu
melayang sekarang juga!” dengus seseorang yang sebelah matanya picak sambil
menunjukkan goloknya yang tajam berkilat.
“Kisanak, buntalan ini hanya berisi pakaian yang tak berguna bagi kalian.”
“Phuih! Banyak omong! Anak-anak, ayo rencah tua bangka busuk itu!”
“Yeaaa...!” Tujuh orang berwajah seram dan bertubuh besar langsung melompat
sambil mengayunkan golok ke arah orang tua itu.
“Hup!”
“Jangan memaksaku berbuat kasar, Kisanak. Kalian tak mempunyai urusan
denganku!” ujar orang tua itu sambil bergerak lincah menghindari
serangan-serangan lawan.
“Jangan banyak bicara, Tua Bangka! Hari ini kau telah berurusan dengan Begal
Rimba Palung!” sahut orang yang bermata picak, langsung ikut menyerang.
“Hup!”
“Mampus...!”
“Baiklah. Kalau memang kalian tetap berkeras juga, terpaksa Sanjung Lugai akan
memberi pelajaran!”
Setelah berkata demikian, terlihat gerakan orang tua itu berubah cepat. Kali
ini tidak sekadar menghindar, tapi balas menyerang.
Trak! Dukkk!
“Ugkh!”
“Yeaaa...!” br/>
Ketujuh pengeroyoknya tersentak. Dua orang mengeluh kesakitan terkena sodokan
ujung warangka pedang, tepat di lambung. Dan ketika orang tua bernama Ki
Sanjung Lugai itu bergerak, dua orang lawannya kembali terjengkang terkena
hantaman kaki dan sodokan kepalan tangan, masing- masing di perut dan dada.
“Kurang ajar! Kau pikir bisa berbuat seenaknya kepada kami?! Phuih! Terimalah
pembalasanku. Hiyaaat..!”
Laki-laki bermata picak melompat dan mengayunkan golok ke arah Ki Sanjung
Lugai. Gerakannya hebat dan cepat. Agaknya dia betul-betul geram hingga
langsung mengerahkan jurus terhebatnya.
“Yeaaat...!"
“Heh?!”
Trang! Wuuut!
“Keparat! Siapa kau?!”
Pada saat itu juga berkelebat sesosok bayangan memapaki serangan itu. Bukan
main geramnya laki-laki bermata picak itu. Dia melompat menjauh untuk melihat
siapa penyerang gelap itu. Ternyata tempat itu sudah terkepung rapat oleh
sepuluh orang lebih, bersenjatakan payung perak. Penyerangnya tadi rupanya
seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi dan masih
memperlihatkan sisa kecantikan di masa mudanya. Di tangannya tergenggam sebuah
payung perak. Sorot matanya tajam menusuk.
“Huh! Nyi Sri Asih, Ketua Perguruan Payung Perak! Ada urusan apa kalian
menggangguku?!” dengus laki-laki bermata picak ketika mengenali penyerangnya.
“Parto Legowo, kau dan Begal Rimba Palungmu sungguh keterlaluan, aku tak bisa
berpangku tangan melihat kecurangan kalian. Nah, pergilah dari hadapanku
sebelum kesabaranku habis!” sahut perempuan yang dipanggil Nyi Sri Asih itu.
Laki-laki bermata picak yang bernama Parto Legowo bersungut-sungut kesal.
Melihat jumlah lawan lebih banyak dari anak buahnya, ciut juga nyali Ketua
Begal Rimba Palung. Perlahan-lahan mereka berkumpul dan bersiap meninggalkan
tempat itu.
“Nyi Sri Asih, ingatlah peristiwa ini. Aku tak bisa mendiamkan saja. Suatu
saat, rasakan pembalasanku!” ancam Parto Legowo.
“Huh! Menghadapi manusia rendah sepertimu, kapan saja aku siap! Enyahlah dari
mukaku, cepaaat..!” bentak Nyi Sri Asih. Masih dengan wajah bersungut-sungut.
Parto Legowo meninggalkan tempat itu diikuti anak buahnya.
“Nisanak, aku Sanjung Lugai mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian,”
ujar orang tua berbaju kuning seraya memberi salam penghormatan.
“Sudahlah. Ini hanya persoalan biasa. Mereka memang orang-orang yang tak bisa
diberi hati. Ki Sanjung Lugai, kalau boleh ku tahu, akan ke manakah kau
sekarang? Melihat caramu berpakaian, agaknya kau berasal dari negeri
seberang.”
“Benar, Nyi....”
“Ah, maaf! Aku lupa menyebutkan nama. Namaku Sri Asih, dan mereka
murid-muridku. Kami berasal dari Perguruan Payung Perak,” kata perempuan itu
memperkenalkan diri.
“Oh, senang sekali bisa berkenalan dengan kalian. Perguruan Payung Perak
pernah kudengar dari seberang sana. Kalian termasuk orang-orang yang
berkepandaian tinggi. Kedatanganku ke sini karena ada urusan yang harus
diselesaikan, sehubungan dengan beberapa muridku yang tewas dibantai
orang-orang biadab.”
“Muridmu-muridmu tewas?” Nyi Sri Asih terkejut Perempuan berusia hampir
setengah baya itu teringat peristiwa seminggu yang lalu. Dan mulai
menduga-duga hubungannya dengan orang tua ini. “Ki Sanjung Lugai, apakah kau
Ketua Perguruan Bangau Sakti?”
“Ah, ternyata pandanganmu cukup jeli, Nyi Sri Asih. Benar, aku Ketua Perguruan
Bangau Sakti.”
“Ah! Sayang sekali, Ki. Aku turut berduka cita atas kejadian yang menimpa
murid-muridmu....”
“Apakah kau juga mengetahui peristiwa itu?”
Nyi Sri Asih mengangguk. “Saat itu perguruan kami pun diundang Ki Satya
Dharma. Tapi sesampainya di sana, perguruan itu telah porak-poranda. Beberapa
orang muridnya yang selamat sempat memberi tahu kami, siapa yang melakukan
perbuatan biadab itu....”
“Hm, ya.... Kematian Ki Satya Dharma pun telah kudengar. Untuk itulah aku
datang ke sini. Orang yang telah menewaskan murid-muridku sama dengan orang
yang membunuh Ki Satya Dharma.
“Orang itu bernama Tato Begananda. Dia memiliki kepandaian tinggi, dan
kelakuannya belakangan ini semakin meresahkan....”
“Meresahkan bagaimana?”
“Orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan, semata-mata ingin
mendapat pengakuan bahwa dirinya penguasa jagat dan rimba persilatan. Dan
belakangan ini menggembar-gemborkan diri telah mengalahkan Pendekar Rajawali
Sakti,” jelas Nyi Sri Asih.
“Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia?”
“Seorang tokoh yang disegani di negeri ini. Dia adalah seorang pendekar
pembasmi kejahatan yang memiliki ilmu tinggi dan sulit diukur....”
“Hm...,” gumam Ki Sanjung Lugai seraya mengerutkan dahi.
“Kini tokoh-tokoh persilatan akan bergabung untuk menghajar Tato Begananda.”
“Termasuk kalian juga?”
Nyi Sri Asih mengangguk cepat. “Kalau tak keberatan, kau boleh bergabung
dengan kami. Karena kebetulan kita mempunyai urusan yang sama, yaitu
menghadapi Tato Begananda. Saat ini banyak tokoh persilatan yang sudah
menggabungkan diri....”
“Di mana?”
“Di tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua itu seorang tokoh yang disegani,
setelah tewasnya Ki Satya Dharma.”
“Hm.... Baiklah kalau demikian.”
Kemudian, mereka bersama-sama menuju ke tempat kediaman Ki Atmojo. Orang tua
itu memang memiliki pengaruh yang besar, setelah tewasnya Ki Satya Dharma.
Selain memiliki ilmu silat serta ilmu olah kanuragan tinggi, dia juga terkenal
arif dan bijaksana. Saat mereka tiba, di sana telah banyak berkumpul
tokoh-tokoh persilatan dari berbagai golongan. Ki Atmojo menyambut gembira
kehadiran Ki Sanjung Lugai.
“Ah, tak kusangka hari ini aku bertemu pendekar besar dari negeri seberang,”
kata Ki Atmojo yang bertubuh agak pendek dan berkulit hitam.
Ki Sanjung Lugai tersenyum ramah. Apa yang diceritakan Nyi Sri Asih di
sepanjang perjalanan tentang orang tua ini tak salah. Sorot matanya lembut dan
tutur katanya sopan, dan sangat menghargai lawan bicaranya.
“Ah! Kisanak pandai sekali memuji. Aku hanya orang biasa seperti juga para
sahabat yang berada di ruangan ini,” sahut Ki Sanjung Lugai.
Ki Atmojo terkekeh kecil mendengar jawaban itu. Kemudian memandang tokoh-tokoh
persilatan yang ada di ruangan itu, dan berkata dengan suara pelan namun cukup
jelas terdengar.
“Kisanak semua. Tujuan kita berkumpul di tempat ini adalah untuk bersatu, guna
menumpas keangkaramurkaan yang dilakukan Tato Begananda beserta anak buahnya.
Kita semua mengetahui, orang itu banyak menewaskan tokoh-tokoh persilatan
tanpa alasan yang jelas selain menurutkan hawa nafsunya. Perbuatan itu sangat
tidak terpuji, sadis, dan tak berperikemanusiaan. Sudah sepatutnya kita
bersatu untuk menumpasnya!”
“Ki Atmojo, apakah kau yakin kita akan mampu mengalahkan orang itu? Kudengar
dia berilmu tinggi dan memiliki sihir yang hebat. Bahkan terakhir kudengar,
berhasil mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Ki Jumanta, seorang tokoh
persilatan yang berkepandaian cukup tinggi.
“Ki Jumanta, orang itu memang berilmu tinggi, dan sampai saat ini tak seorang
pun mampu menghalangi tindakannya. Kita semua juga mendengar Pendekar Rajawali
Sakti dapat dikalahkannya. Tapi bukan berarti kalau kita harus takut
menghadapinya. Bagaimanapun orang itu harus dihentikan, sebab perbuatan dan
tindakannya selama ini sangat terkutuk dan biadab!” sahut Ki Atmojo tegas.
“Aku setuju dengan sikap Ki Atmojo. Apa pun yang terjadi, kita harus siap
menanggung akibatnya. Kalau tidak ada yang berusaha menghentikan sepak
terjangnya, apa jadinya dunia persilatan? Lagi pula, tak mungkin kita
berpangku tangan saja. Sebab, cepat atau lambat orang itu akan mendatangi kita
satu persatu,” timpal seorang tokoh persilatan bernama Ki Sapto Longko dengan
bersemangat.
“Benar apa yang dikatakan Ki Sapto Longko. Kalau kita sudah sepakat menumpas
keangkaramurkaan, maka kita harus sudah mengetahui apa akibatnya dan
menerimanya dengan lapang dada. Jika memang kita harus tewas, maka kematian
bukan tidak berharga. Mereka yang tewas memerangi kejahatan sangat terhormat
dibanding mereka yang tewas karena berbuat kejahatan, atau tewas karena
kepengecutan,” sambung Ki Sanjung Lugai.
Ruangan itu sepi seperti di pekuburan. Ki Atmojo menatap wajah mereka satu
persatu. Sesaat kemudian, tak juga terdengar sahutan apa-apa. Orang tua itu
kembali berbicara.
“Kisanak semua, kurasa keputusan pertemuan ini telah dicapai. Kita sepakat
memerangi orang bernama Tato Begananda, dan menerima akibat yang akan kita
derita. Bukankah demikian?!”
Semua yang hadir di tempat itu menyetujui keputusan yang diambil Ki Atmojo.
“Nah, kalau demikian. Mari kita berangkat sekarang menemui orang itu,” lanjut
Ki Atmojo, langsung bangkit dari tempat duduknya.
Dengan semangat membara, orang-orang itu bangkit dan berjalan mengikuti Ki
Atmojo.
***
Tempat itu sepi dan jauh dari keramaian manusia. Letaknya persis di dekat
sebuah mulut gua, di tepi hutan yang cukup lebat. Pohon-pohonnya besar hingga
batangnya tak mampu dipeluk orang dewasa. Di mulut gua terhampar halaman yang
cukup luas, ditumbuhi rerumputan pendek. Di sekelilingnya ramai oleh obor-obor
yang menerangi. Hari belum malam, tapi suasananya mencekam dalam kesepian dan
gelapnya tempat itu.
Lebih dari dua puluh lima orang tanpa baju, berkumpul di tempat itu. Wajah
mereka penuh coreng-moreng dan rambut tak terurus. Di dada, leher, dan
pinggang penuh dengan tulang-belulang tengkorak manusia. Orang-orang itu hanya
mengenakan cawat yang terbuat dari kulit binatang. Di tangan mereka tergenggam
sebilah parang. Semua memandang ke tengah tanpa berkedip.
Di situ berdiri sebuah tonggak, terpancang dengan obor di atasnya. Di dekatnya
terdapat sebuah altar batu yang cukup lebar, tingginya sekitar empat jengkal
dari permukaan tanah. Di atasnya tergeletak seorang bayi yang terus menangis
sejak tadi.
Sementara di dekatnya berdiri tegak seorang laki-laki berwajah tampan dengan
sorot mata angker. Baju yang dikenakannya terbuat dari kulit binatang, dan
berhiaskan tulang-belulang tengkorak manusia. Dialah Tato Begananda.
“Hari ini kita kembali mempersembahkan korban, seorang bayi montok yang sehat
dan gemuk,” kata Tato Begananda.
“Hidup, Ketua...!”
“Hidup, Penguasa Rimba Persilatan!”
Semua anak buahnya mengelu-elukan. Tato Begananda tersenyum bangga. Dan ketika
beberapa di antara mereka memainkan bunyi-bunyian, maka dengan serentak mereka
menari-nari mengikuti irama, diiringi suara riuh dari mulut mereka. Setelah
selesai menari, mereka membentuk barisan menghadap Tato Begananda. Orang itu
telah mengeluarkan topeng kayu dari balik baju, dan langsung mengenakannya.
Dicabutnya parang yang terselip di pinggang dan diangkatnya tinggi-tinggi.
“Demi Sang Hyang Kegelapan! Dan demi iblis-iblis penguasa alam semesta!
Berikanlah kekuatanmu kepada kami untuk memerintah jagat ini, dan memusnahkan
orang-orang yang tak mau tunduk kepadamu. Kami persembahkan seorang bayi dan
darah segar kepadamu!” teriak Tato Begananda, yang diikuti anak buahnya.
Setelah semua mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba....
“Yeaaa...!”
Cras!
Darah membanjir di altar, ketika Tato Begananda menghunjamkan parangnya yang
tajam berkilat ke tubuh bayi yang tak berdosa itu. Tangisnya langsung
terhenti. Suasana di tempat itu semakin mencekam ketika kilat membelah angkasa
dan petir menyambar ke segala arah. Angin kencang bertiup menerbangkan
daun-daun serta ranting kering. Anak buahnya langsung bersujud. Tato Begananda
berdiri tegak sambil merasakan tubuhnya yang bergetar hebat.
Perlahan-lahan terlihat keajaiban. Darah bayi itu menguap dan membentuk asap
merah yang bergerak cepat menyambar topeng kayu yang dikenakannya. Kejadian
itu terus berlangsung sampai darah bayi itu habis, dan hanya terlihat tubuh
kecil keriput menampakkan tulang-belulangnya.
“Hari ini Sang Hyang Kegelapan telah memberi restu pada kita. Kalian boleh
menggunakan tulang-belulang bayi ini sebagai tanda kekuasaannya!” kata Tato
Begananda.
Tanpa diperintah dua kali, anak buahnya langsung menyerbu bagai hewan
kelaparan, lalu mempereteli tubuh bayi itu! Mereka memperebutkan
tulang-belulangnya untuk dijadikan perhiasan tubuh. Namun saat itu terdengar
bentakan keras dan nyaring. Disusul gemuruh petir menyambar tempat itu.
Sebatang pohon besar tumbang dan hangus terbakar.m
“Iblis-iblis keparat! Perbuatan kalian sungguh biadab. Hari ini tibalah saat
kematian kalian!”
“Heh...?!”
Serentak mereka berpaling, dan melihat tempat itu telah terkepung rapat oleh
orang-orang bersenjata lengkap. Tato Begananda terkejut sesaat, tapi akhirnya
tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa harus bersusah-payah, kalian
telah menyerahkan diri padaku!”
“Tato Begananda, menyerahlah! Kau harus menerima hukuman atas dosa-dosamu yang
telah melebihi batas!” bentak seorang laki-laki tua bertubuh agak pendek dan
berkulit hitam.
Tato Begananda menatap tajam sambil menyeringai buas. “Orang tua busuk! Siapa
kau! Apa kau ingin mampus lebih dulu! Kemarilah kalau itu maumu!”
“Dasar manusia iblis! Agaknya orang sepertimu memang tak bisa diberi hati.
Baiklah, kalau memang itu keinginanmu. Aku, Ki Atmojo yang akan memberi
pelajaran!” geram orang tua itu sambil mencelat cepat dan mencabut keris yang
terselip di pinggangnya.
“Hup!” “Yeaaa...!”
***
DELAPAN
Bersamaan dengan berkelebatnya Ki Atmojo menyerang Tato Begananda, tokoh-tokoh
persilatan golongan putih lain pun menyerang anak buahnya. Pertarungan
besar-besaran tak bisa dielakkan lagi. Tapi jumlah mereka tak seimbang.
Orang-orang yang datang bersama Ki Atmojo lebih dari tiga puluh orang, dan
rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Termasuk di antaranya Ki Sanjung Lugai,
Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko.
Saat itu, gerimis mulai turun meramaikan suasana di antara suara beradunya
senjata dan teriakan-teriakan yang menggelegar. Ki Atmojo mulai merasakan
pengaruh lawan yang mengenakan topeng kayu di wajahnya. Tenaganya seperti
berkurang dan pikirannya terasa kosong. Berkali-kali lelaki itu
menggeleng-gelengkan kepala, tapi pikirannya tak kunjung sadar.
Serangan-serangannya mulai kacau.
“Yeaaa...!”
Cras!
“Akh!”
“Ha ha ha...! Kau pikir semudah itu mengalahkanku? Kini, terimalah
kematianmu!” ejek Tato Begananda sambil mengayunkan parang ke arah lawan.
Ki Atmojo mendengus garang dengan wajah berkerut sambil memegangi punggungnya
yang terasa perih terkena ujung senjata lawan, hingga menimbulkan luka yang
cukup lebar.
“Hiyaaat..!”
“Ki Atmojoo, awas...!”
“Keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!”
Trak! Trang! Cras!
“Akh...!”
Tato Begananda menggeram. Dadanya terluka terkena ujung pedang Ki Sanjung
Lugai yang mendadak berkelebat menyerang, melindungi Ki Atmojo dari serangan
lawan. Kalau hanya orang tua itu yang menyerang, mungkin Tato Begananda masih
bisa mengelak dan balas menyerang. Tapi yang datang membantu Ki Atmojo empat
orang! Mereka adalah Nyi Sri Asih, Ki Jumanta, dan Ki Sapto Longko, dan Ki
Sanjung Lugai sendiri.
Tentu saja hal itu membuat Tato Begananda bingung dan terkejut setengah mati.
Beruntung bisa menyelamatkan diri sehingga hanya sedikit terluka.
Ki Sanjung Lugai baru akan membuka mulut ketika melihat keanehan yang terjadi
di depan matanya. Seiring dengan geraman lawan, saat itu juga darah dari luka
di dadanya menetes ke tanah dan menjelma menjadi sesosok tubuh kembaran Tato
Begananda! Hal itu terus berlangsung, hingga kembarannya berjumlah sepuluh
orang!
“Keparat! Ilmu iblis apa lagi yang dikeluarkannya?!” maki Ki Atmojo,
bersungut-sungut.
“Ha ha ha...! Kalian kira mudah membinasakanku? Ha ha ha...! Kali ini, rasakan
pembalasanku. Yeaaat...!”
Tato Begananda beserta kembarannya melesat cepat menyerang lawan-lawannya.
Mereka tersentak kaget dan langsung bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Trang!
Cras!
“Aaakh...!”
“Manusia iblis! Tampakkan dirimu yang sebenarnya, kalau memang kau penguasa
rimba persilatan yang tak terkalahkan!” geram Ki Jumanta sambil mendekap
perutnya yang robek terkena senjata lawan.
Hal yang membingungkan mereka adalah sulit menghadapi lawan yang sesungguhnya.
Bila senjata mereka terayun memapas tubuh lawan, maka akan mengenai tempat
kosong menghantam angin saja. Dan dengan cepat Tato Begananda yang asli
mengayunkan parang. Ki Jumanta terkecoh dan menjadi korban yang pertama. Untuk
menghadapi kemungkinan, terpaksa mereka menghadapi dan menangkis setiap
serangan yang datang dari orang-orang yang menyerupai Tato Begananda. Dan hal
itu cukup menguras tenaga, sebab serangan yang datang sangat bertubi-tubi.
Belum lagi pengaruh ilmu iblis yang dikerahkan lawan yang membuat pikiran
menjadi kosong, sehingga serangan-serangan mereka lemah tak bertenaga dan tak
beraturan.
“Hiyaaa...!”
Trak! Breeet!
“Aaa...!”
Ki Jumanta menjerit kesakitan ketika tubuhnya terlempar bermandikan darah
disambar senjata lawan. Ki Jumanta yang telah terluka semakin berkurang
kegesitannya, hingga tak mampu bergerak cepat menghindari setiap serangan yang
datang ke arahnya. Lelaki gagah itu tewas dalam keadaan yang mengerikan.
“Keparat! Manusia iblis!” maki Ki Sapto Longko.
“Hiyaaat..!”
Breeet! Cras!
“Aaakh...!”
Orang tua itu memekik kesakitan. Dan menjadi korban kedua setelah Ki Jumanta.
Kepalanya menggelinding, terpisah dari tubuhnya. Sementara Ki Atmojo, Ki
Sanjung Lugai, dan Nyi Sri Asih masing-masing mendapat luka parah pada bagian
dada mereka. Dalam keadaan lemah tak berdaya dan tenaga terkuras habis, mereka
betul-betul menjadi sasaran empuk lawan. Tak heran kalau Tato Begananda
semakin girang dibuatnya.
“Kali ini terimalah kematian kalian, Orang- orang Dungu! Yeaaa...!”
Trang!
“Heh...?!”
Ketiga orang tua itu sudah pasrah dan memejamkan mata menerima kematian
mereka. Karena untuk menghindar pun rasanya percuma. Tato Begananda bersama
kembarannya yang berjumlah sepuluh orang, mengepung dari segala arah. Siapa
yang asli di antara mereka, tidak diketahui ketiga orang itu.
Saat itulah berkelebat sesosok bayangan yang langsung menangkis senjata Tato
Begananda asli, hingga bergetar. Tokoh sesat itu terkejut dan menghentikan
serangan. Dilihatnya sesosok tubuh berbaju rompi putih tengah membelakanginya.
Tato Begananda langsung mengenali sosok itu. Apalagi saat melihat seorang
gadis berbaju hijau di sebelahnya.
“Pendekar Rajawali Sakti? Hm, bagus! Kali ini kau tak akan selamat dari
kematian!”
Orang yang baru datang itu memang Rangga bersama Ganatri. Pendekar Rajawali
Sakti menyahut dingin tanpa menoleh ke arah lawan.
“Tato Begananda! Kalau kematianku mampu melenyapkan iblis yang bersarang di
hatimu, aku tak akan menyesal sedikit pun. Hari ini biarlah kita tentukan, kau
atau aku yang harus binasa!” sahut Rangga garang.
Melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti, ketiga tokoh persilatan golongan
putih itu menghela napas lega.
“Pendekar Rajawali Sakti! Oh, syukurlah kau cepat datang. Kalau tidak, entah
bagaimana nasib kami,” ujar Nyi Sri Asih.
“Kisanak, hati-hati menghadapi manusia iblis ini. Dia memiliki ilmu sihir yang
ganas!” seru Ki Atmojo.
“Ha ha ha...! Diamlah kalian, Manusia-manusia Dungu! Apa kalian kira bocah
ingusan ini mampu menghentikanku! Huh! Aku bersumpah akan membuatnya jadi
potongan-potongan kecil, untuk makanan anjing-anjing hutan kelaparan!” kata
Tato Begananda, geram.
“Ganatri, bantulah mereka menempur anak buahnya. Biar orang ini bagianku...,”
kata Rangga lirih.
“Baiklah. Hati-hati, Kakang....”
Setelah berkata demikian, Ganatri langsung melompat dan mengamuk bagai singa
betina kehilangan anak. Sementara Rangga membuka ikat kepala untuk menutupi
kedua matanya, lalu memusatkan pikiran guna mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak
dan Suara'. Kemudian, tubuhnya diputar hingga berhadapan dengan lawan.
“Manusia iblis, silakan mulai...!” kata Rangga, mantap.
“Huh! Kau kira dengan cara itu mampu mengalahkanku?! Mari kita buktikan!
Yeaaat...!”
Dua orang kembaran Tato Begananda menyerang ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi ketiga tokoh tua yang menyaksikan kejadian itu jadi tercekat hatinya.
Saat itu mereka melihat Pendekar Rajawali Sakti tak bergerak sama sekali.
Begitu juga ketika kembaran Tato Begananda menyerang. Barulah ketika lima
orang lawan bergerak serentak menyerang dengan senjata terhunus, Rangga
bergerak cepat dan menghantamkan pedang yang masih berada dalam warangka.
Trak! Wuuut!
Tato Begananda terkejut setengah mati. Senjatanya dapat ditangkis dengan
mudah. Kalau saja saat itu tak cepat menghindar, tenggorokannya pasti
tertembus sarung pedang lawan.
“Yeaaa...!” Rangga berteriak keras. Agaknya pemuda berbaju rompi putih ini tak
mau memberi hati pada lawan untuk bernapas barang sesaat. Tubuhnya bergerak
cepat sambil melakukan serangan-serangan gencar.
Sementara, Tato Begananda terlihat mulai kewalahan menghadapi serangan lawan.
Perlahan-lahan tokoh sesat ini mulai tersudut dan tak mampu balas menyerang.
Hatinya geram bukan main karena lawan tak terpengaruh topeng kayu yang
dikenakannya. Pendekar Rajawali Sakti kini seperti memiliki mata yang dapat
mengetahui dirinya yang asli.
“Setan! Mampuslah kau, hihhh...!”
Dalam keadaan terjepit, telapak tangan kiri Tato Begananda disorongkan ke
muka. Dari situ terpancar sinar ungu yang langsung menderu menghantam Pendekar
Rajawali Sakti.
Tapi pemuda digdaya dari Karang Setra itu dapat merasakan dan bergerak
menghindar. Dengan gemas, dibalasnya serangan itu dengan jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'. “Hiyaaat...!” Dari telapak tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti terpancar sinar merah, membalas serangan 'Kelabang Ungu' yang tadi
dilancarkan lawan.
“Uts...! Sial!”
Brakkk!
Tato Begananda yang asli cepat bergerak menghindar, hingga pukulan Pendekar
Rajawali Sakti menderu menghantam mulut gua. Seketika, gua itu pun hancur
berantakan membentuk lubang yang lebih besar.
“Bagus! Tak percuma kau disegani setiap tokoh persilatan, ternyata
kepandaianmu boleh juga diandalkan!”
“Bicaralah sepuasmu, tapi jangan harap kau akan lepas dari tanganku!” dengus
Rangga.
“Huh! Kalau saja saat itu burung sialan itu tak menyelamatkanmu, kau pasti
tinggal nama saja. Tapi kali ini, jangan harap hal itu akan terjadi lagi.
Kaulah yang bersiap-siap menjemput ajalmu!” balas Tato Begananda garang.
Agaknya Tato Begananda benar-benar ingin membuktikan ucapannya. Tokoh sesat
itu kini merubah jurusnya, dan terlihat gerakannya mulai lincah dengan
pengerahan tenaga dalam kuat Pendekar Rajawali Sakti bukan tidak
mengetahuinya.
Kalau saja saat itu matanya terbuka, tentu akan lebih leluasa menyerang lawan.
Tapi kalau hal itu dilakukan, dirinya akan celaka terkena pengaruh ilmu sihir
lawan. Pendekar Rajawali Sakti jadi serba salah. Kali ini semua gerakannya
tergantung pada pendengaran yang tajam. Dan lawan agaknya tahu hal itu,
sehingga menyerangnya dengan suara ribut dan berteriak-teriak mengganggu
pendengarannya.
“Yeaaa...! Hiyaaat...!”
Wuuut! Dukkk!
“Ugkh...!” Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan ketika sebuah tendangan
lawan menghantam perutnya. Cepat-cepat tubuhnya jungkir balik ke belakang.
Samar-samar telinganya merasakan angin serangan lawan menyambar kepalanya,
dengan cepat tubuhnya ditekuk sambil berputar cepat.
“Yeaaa...!”
Crasss!
Pendekar Rajawali Sakti kembali berteriak kesakitan ketika dadanya terkena
ujung senjata lawan. Untung hanya tergores sedikit, tapi dirasakan kalau lawan
terus mengejarnya seperti tiada henti. Terpaksa Rangga jungkir balik
menghindarkan diri sambil berteriak keras.
“Hiyaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut pedang pusakanya. Saat
itu juga, terpancar sinar biru menerangi tempat itu.
Tato Begananda terperangah sesaat. Tokoh sesat berhati iblis ini sudah
menyaksikan kedahsyatan pedang lawan, maka tak heran kini mulai berhati-hati.
Waktu yang sekejap itu sudah cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
mengetahui kedudukan lawan. Tubuhnya berkelebat cepat bagai sapuan angin
kencang menyambar ke arah lawan.
“Yeaaa...!”
“Hup!”
Tras! Tras! Breeet!
“Aaakh!”
“Heh...!?”
Terdengar pekik kesakitan Tato Begananda ketika pedang lawan menggores dadanya
dua kali, menimbulkan luka yang amat dalam. Parang di tangannya yang digunakan
untuk menangkis, terbabat menjadi empat bagian!
Kalau lawan merasa terkejut dan kesakitan, sebaliknya Pendekar Rajawali Sakti
keheranan. Pedangnya bukanlah senjata sembarangan. Tak ada seorang pun yang
mampu menahan sambarannya. Sekali melukai lawan, maka jangan harap akan mampu
bangkit dan kembali menyerangnya. Tapi Tato Begananda dirasakan masih tetap
berdiri sambil menggeram hebat, siap balas menyerang.
“Keparat! Kekuatannya pasti bersumber pada topeng kayu yang dikenakannya. Aku
harus lebih dulu menghancurkan topeng itu, baru kekuatannya akan melemah!”
gumam Pendekar Rajawali Sakti sambil menggeram pelan.
“Bocah keparat, terimalah kematianmu!” ancam Tato Begananda menggeram hebat
seraya langsung menyerang. Kedua tangannya berubah ungu dan angin kencang
menderu ketika tubuhnya berkelebat. Kali ini seluruh tenaga dalamnya
dikerahkan untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bisa merasakan kalau lawan ingin mati bersama. Dengan tenang diusapnya
batang pedang dengan telapak kiri, kemudian cepat melompat memapaki serangan
lawan. “Aji 'Cakra Buana Sukma'...!”
Trasss!
Glarrr!
“Hugkh...!”
Setelah ledakan keras, suasana kembali tenang. Kejadian itu begitu cepat.
Bahkan ketiga tokoh tua yang memperhatikannya, tak tahu apa yang telah
terjadi. Gerimis yang sudah berubah menjadi hujan lebat, mengguyur tubuh
Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak membelakangi lawan yang terkapar di
tanah!
Pendekar Rajawali Sakti menyambar topeng kayu lawan dengan ujung pedangnya,
dan memotongnya menjadi empat bagian yang sempat melukai wajah lawan. Tentu
saja Tato Begananda kelabakan dan menjerit kesakitan. Tapi suaranya tercekat
ketika pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti membungkam dirinya. Meskipun telah
melepaskan pukulan 'Kelabang Ungu', tapi pukulannya tertindih oleh pukulan
Pendekar Rajawali Sakti yang terus menderu menghantam tubuhnya. Akibatnya
sungguh hebat!
Tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu terbungkus sinar biru beberapa saat
sebelum akhirnya gosong laksana arang! Melihat pimpinannya tewas, sisa anak
buah Tato Begananda langsung melarikan diri. Namun beberapa orang tak lepas
dari serangan tokoh golongan putih yang ada di situ. Sehingga yang berhasil
kabur menyelamatkan diri hanya lima orang saja.
Mereka berkumpul mendapati Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan, Ganatri sudah
lebih dulu mendekat dan memandang Rangga dengan wajah cemas.
“Kakang Rangga, kau tak apa-apa...?”
Rangga membuka penutup matanya perlahan-lahan. Lalu sekilas memandang mayat
lawan dan orang-orang di sekelilingnya, kemudian menggeleng lemah sambil
menatap Ganatri.
“Oh, syukurlah. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu...!” Tanpa disadari, Ganatri
melepaskan kegelisahan hatinya dengan memeluk Pendekar Rajawali Sakti
erat-erat.
“Eh, Ganatri. Apa kau tak malu dilihat begitu banyak orang?” ujar Rangga,
jengah dipeluk sedemikian rupa oleh seorang gadis.
Ganatri baru tersadar ketika mendengar kata-kata Rangga. Cepat-cepat
pelukannya dilepaskan, dan kepalanya ditundukkan sambil sesekali memandang
wajah Pendekar Rajawali Sakti dengan tersenyum malu.
“Kisanak, kami semua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak,
entah apa yang terjadi pada kami,” kata Ki Atmojo mewakili yang lain.
“Ah! Jangan berkata begitu, Kisanak. Aku hanya melakukan tugas. Sudah menjadi
kewajiban kita untuk saling tolong-menolong. Apalagi membantu memerangi
kejahatan,” sahut Rangga.
“Ya, ya.... Kau benar. Tapi saat ini kau telah menolong kami. Untuk itu kami
akan mendapat kehormatan besar jika kau sudi mampir ke gubukku, sekadar
menghirup teh hangat pelepas dahaga.”
“Terima kasih, Kisanak. Sebenarnya aku ingin sekali, tapi saat ini masih
banyak tugas yang menanti ku. Mohon kalian sudi memaafkan aku karena tak
sempat mampir. Mudah-mudahan, lain waktu aku dapat bertamu ke rumah kalian,”
tolak Rangga, halus.
Beberapa tokoh lain mencoba menahan pemuda digdaya dari Karang Setra itu. Tapi
Rangga tetap pada pendiriannya. Akhirnya mereka tak mampu menahan Pendekar
Rajawali Sakti untuk berlalu. Diiringi curah hujan dan pandangan kagum, mereka
mematung sesaat menatap kepergian Pendekar Rajawali Sakti yang didampingi
seorang gadis cantik berbaju hijau.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon