SATU
DUA orang terlihat berdiri saling memunggungi, menghadapi lebih dari lima
belas orang laki-laki yang mengepungnya. Dan tampaknya, para pengepung sudah
siap menyerang.
“Karmani! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau dan putramu menyerah.
Kalau tidak, kami akan meringkusmu hidup atau mati!” bentak salah seorang
pengepung. Tubuhnya besar dan berkepala botak. Sebuah senjata berupa bandul
besi berduri tampak tergenggam di tangan kanannya.
“Rancasena! Jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Dan perlu kau
ketahui, aku tidak pernah melakukan kejahatan, seperti yang kalian tuduhkan.
Itu sama sekali tidak beralasan!” sanggah laki-laki berusia empat puluh
tahun. Tubuhnya kurus, dan rambutnya panjang.
“Phuih! Percuma saja dia diajak bicara baik-baik. Lebih baik langsung hajar
saja, dan jangan diberi ampun!” selak seorang bertubuh pendek dan berambut
putih. Tangannya tampak memegang sebatang tongkat panjang.
“Betul kata Ki Wempang! Lebih baik kita hajar saja. Rasanya tak ada gunanya
berlama-lama mendengarkan segala omong kosongnya!” sambut seorang perempuan
berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Namanya, Nyai Selasih.
“Kalau terus mengundur-undur waktu, dia akan berpikir kalau kita takut
padanya. Hari ini matanya harus dibuka agar tidak besar kepala dan merasa
paling jago di kolong langit!” sambung laki-laki setengah baya. Kumisnya
melintang dengan cambang bauk, membuat angker tampangnya. Dia sering
dipanggil dengan nama Ki Sartowo.
“Huh! Kalian mengaku tokoh terhormat di dunia persilatan, tapi ternyata
hanya orang-orang picik yang menuduh secara sembarangan, tanpa memberi bukti
nyata!” dengus laki-laki yang dikepung, dan ternyata bernama Ki
Karmani.
“Keparat! Bukti apa lagi yang perlu kami jelaskan?! Semua orang telah
mengatakan kalau kau adalah pembunuh, pemerkosa dan perampok yang
merajalela!” sentak laki-laki berkepala botak, yang dipanggil Ki
Rancasena.
“Mana buktinya?! Apa kau melihat sendiri kalau aku telah melakukan semua
perbuatan itu?” tanya Ki Karmani gusar.
“Sudahlah, Ki Rancasena. Untuk apa lagi mempersoalkan hal itu? Mana mungkin
semua itu diakuinya!” selak laki-laki bertubuh pendek dan berambut putih.
Dia tadi dipanggil Ki Wempang. Agaknya, tangan Ki Wempang sudah gatal untuk
menghajar lawannya. Kata-kata Ki Wempang itu disambut yang lainnya dengan
penuh amarah dan nafsu meluap-luap, untuk segera meringkus Ki Karmani dan
putranya.
“Katakili! Kalau kau ada kesempatan, pergilah jauh-jauh dari sini untuk
menyelamatkan diri,” bisik Ki Karmani kepada putranya yang baru berusia tiga
belas tahun, dan bernama Katakili.
“Tapi, Ayah. Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian, padahal kau sedang
menghadapi mereka....”
“Jangan membantah! Kau tahu, hanya kaulah satu-satunya putraku. Kalau kau
mati, siapa nanti yang akan membersihkan nama keluarga kita dari tuduhan
kotor ini? Dan Ayah sama sekali tak pernah melakukan apa yang dituduhkan.
Kau harus mempercayainya, Katakili!” ujar Ki Karmani.
Katakili diam tak menjawab. Sedangkan tangannya sudah menggenggam gagang
pedang erat-erat Dia tidak tahu pasti, apakah akan mampu menahan satu atau
dua jurus melawan para tokoh berilmu tinggi yang saat ini tengah
mengepungnya. Pemuda tanggung itu mencoba membesarkan hati sambil
mengingat-ingat bahwa selama ini ayahnya adalah pendekar kondang yang
disegani kalangan rimba persilatan. Karena fitnah keji, nama baik Ki Karmani
tercemar. Dan kini, para tokoh persilatan berbondong-bondong ingin
menangkapnya untuk diadili dengan paksa. Kalau berani, tentu tidak begini
banyak tokoh persilatan yang hendak menangkapnya. Justru karena mereka
merasa gentar, sehingga main keroyokan seperti ini.
“Yeaaah...!”
Disertai teriakan keras, para tokoh persilatan itu sudah melompat dengan
senjata masing-masing menyerang Ki Karmani dan anaknya. Sedangkan Ki Karmani
langsung mengayunkan pedang peraknya untuk menangkis sekaligus bertahan. Dan
sebenarnya, Katakili sendiri sudah siap untuk melindungi dirinya. Walaupun
disadari, orang-orang yang dihadapinya ini sudah tentu bukan
tandingannya.
Ki Karmani yang di kalangan persilatan berjuluk Pedang Angin Selatan,
kepandaiannya memang tak diragukan lagi. Senjatanya bergerak cepat menyambar
lawan-lawannya dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Dalam jurus-jurus
pertama, tampaknya dia masih mampu melindungi diri. Bahkan mampu balas
menyerang dengan gencar.
Hal itu tentu saja membuat para pengeroyoknya semakin penasaran dan geram.
Mereka mencoba menerobos pertahanan Ki Karmani dengan mencecar Katakili.
Tapi pemuda tanggung itu pun agaknya tidak muda dikecoh. Gerakan-gerakan
kaki dan tubuhnya begitu gesit, berusaha mengelak dari setiap serangan.
Pedangnya berkelebat cepat, membalas setiap serangan lawan.
Sementara itu, Ki Karmani selalu tidak lepas mengawasi anaknya. Bila
Katakili terlihat mulai terdesak, dengan cepat perhatian lawan-lawannya
dialihkan. Langsung digempurnya orang-orang yang menyerang putranya
itu.
Tapi meski bagaimanapun, tenaga manusia ada batasnya. Apalagi dikeroyok
sekian banyak orang yang memiliki kepandaian tidak rendah. Dan inilah yang
dialami Ki Karmani dan putranya. Mereka bukannya tak menyadari. Berkali-kali
Ki Karmani mencari peluang, agar putranya mampu meloloskan diri. Namun
niatnya selalu gagal, karena ketatnya kepungan lawan-lawannya.
“Mau coba-coba kabur, heh...! Jangan harap bisa melakukannya, Keparat!”
dengus Ki Rancasena sambil memutar-mutar bandulnya, dan langsung dihantamkan
ke tubuh Katakili.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun dengan gerakan yang sangat cepat, Katakili mengecutkan pedangnya.
Cepat ditangkisnya serangan Ki Rancasena. Dan....
Bet!
Trang!
“Aaakh...!”
Pada saat itu pula, Ki Karmani mencelat sambil mengayunkan pedang untuk
melindungi putranya yang tengah menahan sakit. Tapi pada saat yang
bersamaan, tiga orang tokoh persilatan yang kepandaiannya setingkat Ki
Rancasena bergerak cepat menyerang. Laki-laki bertubuh kurus dan berambut
panjang itu mulai sibuk. Seluruh kecepatan geraknya sudah dikerahkan untuk
menangkis semua serangan yang dilancarkan lawan.
Tapi kali ini nasib sial menimpa Ki Karmani. Dua buah senjata berlainan
jenis beradu keras di udara. Katakili kontan terjajar mundur dua tombak
dengan mulut meringis menahan sakit. Memang, tenaga dalamnya masih di bawah
Ki Rancasena. Maka tak heran kalau laki-laki berkepala botak itu tidak
mengalami apa-apa begitu terjadi benturan.
Ujung trisula Ki Sartowo tak urung berhasil menggores punggungnya. Untung
saja, goresan itu tidak begitu dalam, sehingga darah yang keluar tidak
begitu banyak. Dan kini, Ki Karmani terpaksa harus membuang dirinya, dan
berguling beberapa kali. Dan begitu bangkit berdiri, dia kembali menyerang
ganas, memporak-porandakan para pengeroyoknya.
“Katakili, cepat kau pergi dari sini!” teriak Ki Karmani.
“Tapi, Ayah...,” Katakili mencoba membantah.
“Cepat pergi kataku! Selamatkan dirimu!” bentak Ki Karmani.
Katakili tidak bisa lagi membantah, walaupun melihat ayahnya terluka. Namun
perintah ayahnya memang tidak bisa dibantah lagi. Dengan hati berat,
Katakili berusaha meninggalkan arena pertarungan. Namun baru juga hendak
melesat pergi, tiba-tiba saja....
“Hei! Jangan coba-coba kabur kau...!” dengus Ki Rancasene.
“Yeaaah...!”
“Hup! Hiyaaa...!”
Begitu melihat Ki Rancasena dan Ki Wempang bermaksud menghalangi putranya,
tanpa mempedulikan lukanya lagi, Ki Karmani cepat melesat. Pedang di
tangannya diputar-putar cepat, mendesak kedua orang itu. Namun
serangan-serangan gencar Ki Karmani tidak berlangsung lama, ketika
lawan-lawannya yang lain telah menyerbu. Bahkan salah seorang berhasil
melukai bahunya. Namun lukanya yang terus mengucurkan darah sama sekali tak
dipedulikan. Dia terus bergerak cepat menyerang orang-orang yang menghalangi
putranya melarikan diri dari kepungan lawan-lawannya.
“Cepat, Katakili...!” seru Ki Karmani.
“Hup! Hiyaaat...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili segera melesat begitu mendapat
kesempatan yang hanya sedikit ini. Tak ada lawannya yang mengejar kali ini.
Memang, lawannya lebih memusatkan perhatian untuk melumpuhkan Ki Karmani.
Namun pada saat itu juga...
“Hiyaaat..!”
Cras!
“Aaakh!”
Ki Karmani menjerit keras agak tertahan, begitu salah seorang lawan
berhasil membabatkan pedang ke tubuhnya. Kembali darah muncrat dari dadanya
yang terbelah pedang. Keseimbangan tubuhnya pun jadi goyah. Tubuhnya
terhuyung-huyung sambil mendekap luka di dada yang terus-menerus mengucurkan
darah.
Sementara, Katakili yang sudah berhasil lepas dari kepungan orang-orang itu
sempat juga mendengar teriakan ayahnya. Dia berhenti berlari, dan cepat
memutar tubuhnya. Kedua bola matanya jadi terbeliak, melihat ayahnya
terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terluka.
“Ayah...,” agak tersedak suara Katakili.
“Hiyaaat...!”
Pada saat itu juga, terlihat Ki Rancasena melompat cepat bagai kilat ke
arah Ki Karmani. Senjatanya diayunkan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi sekali. Sementara, Ki Karmani hanya bisa terpaku dengan kedua bola
mata terbeliak lebar. Luka-luka yang diderita memang sudah tidak lagi
memungkinkannya untuk bergerak cepat menghindar. Dan...
Prak!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, saat bandul berduri Ki
Rancasena mengancam batok kepala Ki Karmani. Seketika itu juga, batok kepala
laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hancur berantakan.
Darah kontan muncrat ke segala arah.
Hanya sebentar saja Ki Karmani masih mampu berdiri, sesaat kemudian
tubuhnya ambruk menggelepar, tidak bernyawa lagi di tanah berumput ini.
Sementara di tempat yang cukup jauh, hati Katakili benar-benar menangis
menyaksikan kematian ayahnya yang menggiriskan. Dia hanya mampu memandang
dan menggigit-gigit bibirnya sendiri. Namun, seluruh tubuhnya menggeletar.
Dan napasnya juga terdengar memburu.
“Ayah....” Katakili tidak dapat lagi meratapi kematian ayahnya, karena Ki
Rancasena sudah cepat memutar tubuhnya berbalik ke arahnya berdiri.
“Bunuh bocah itu...!” teriak Ki Rancasena, memberi perintah.
Mendengar teriakan Ki Rancasena, langsung saja orang-orang yang tadi
mengeroyok Ki Karmani berlarian mengejar. Sementara, Katakili sudah lebih
dulu berlari cepat sekuat tenaga.
***
Sementara itu Katakili terus berlari seperti dikejar setan. Di pelupuk
matanya terbayang kematian ayahnya yang begitu menyedihkan. Dan hal itu
membuat semangatnya untuk hidup menjadi berlipat ganda. Dia tidak sudi
tertangkap oleh para pengejarnya. Yang penting, dia harus bisa selamat,
untuk membalaskan perlakuan mereka suatu hari nanti. Itu tekadnya.
Katakili sedikit berpaling ke belakang, ketika mendengar suara-suara para
pengejarnya dari belakang. Jelas sekali terdengar seakan-akan sudah begitu
dekat. Maka seketika jantungnya seperti berhenti berdetak.
“Tangkap bocah itu!”
“Jangan biarkan lolos!”
“Tangkap...!”
“Bunuh...!”
Meski masih muda dan belum banyak pengalaman dalam dunia persilatan, tapi
sejak bocah Katakili telah dididik ayahnya dengan keras dalam menuntut ilmu
olah kanuragan dan kesaktian.
Hingga, tidak heran kalau kemampuannya melebihi anak-anak seusianya. Begitu
pula halnya dalam ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi dan bisa
diandalkan. Tidak percuma Ki Karmani dijuluki Pedang Angin Selatan. Salah
satu keahliannya selain memainkan jurus-jurus ilmu pedang, juga sangat hebat
dalam soal ilmu meringankan tubuh. Dan itu pun diturunkan kepada
anaknya.
Tapi meskipun begitu, kemampuan Katakili ada batasnya juga. Setelah sekian
lama berlari, kelelahan mulai menyergapnya. Tubuhnya terasa penat bukan
main, dan otot-ototnya mulai mengejang. Tiba di sebuah pinggiran hutan dekat
kaki gunung, jarak mereka semakin dekat saja. Dan kini Katakili mulai putus
asa. Keputusasaan Katakili memang harus dibayar mahal. Para pengejarnya kini
benar-benar hampir dekat dengan anak muda tanggung itu. Maka, sebentar saja
Katakili sudah kembali terkepung, ketika larinya berhenti di depan sebuah
lubang dalam yang ditutup semak dan ranting-ranting kecil.
“Ha ha ha...! Mau lari ke mana lagi kau, Bocah? Hari ini kau harus mampus
seperti ayahmu!” kata salah seorang yang berwajah berangasan.
“Huh! Ayahnya penjahat, anaknya pasti lebih jahat lagi kelak. Orang-orang
seperti kalian mestinya cepat-cepat mampus!” dengus yang lain.
“Bunuh saja dia...!” seru seorang lagi dengan suara keras
menggelegar.
“Yeaaah...!” Salah seorang pengejar yang berada paling depan, tiba-tiba
saja melompat sambil berteriak keras. Di tangannya tergenggam sebilah clurit
yang siap menyambar kepala Katakili.
Meski tubuhnya terasa letih dan tenaganya terkuras habis, tapi pemuda
tanggung ini masih mempunyai semangat untuk tidak tewas di tangan lawan.
Dengan untung-untungan kepalanya ditundukkan. Tapi saat itu juga, sebelah
kakinya terkait akar pohon. Dan seketika tubuhnya langsung tersungkur ke
depan. Dan... “Aaa...!”
Orang-orang itu buru-buru melompat ke depan ketika tubuh Katakili
terjerumus ke dalam lubang di depannya. Tak seorang pun mengetahui, tempat
apa itu sesungguhnya. Memang, lubang itu sendiri sama sekali tak terlihat.
Mereka hanya bisa terlongong bengong, sambil mendengar jeritan Katakili yang
menggema panjang.
“Sial! Dia lolos lagi!” dengus salah seorang.
“Kenapa tidak turun saja ke dalam? Siapa tahu lubang ini tidak terlalu
dalam?” usul yang lain.
“Tidak semudah apa yang kau kira,” sahut laki-laki brewok dan bercambang
bauk, yang bernama Gumarang.
Ki Gumarang kemudian menjatuhkan sebuah batu yang cukup besar ke dalam
lubang. Lalu disuruhnya yang lain untuk menajamkan pendengaran.
“Kalian dengar? Suara batu itu sama sekali tak terdengar. Itu membuktikan
kalau lubang ini sangat dalam. Siapa di antara kalian yang mengetahui kalau
dasarnya cukup aman? Siapa tahu batu-batu runcing akan menanti kita. Dan
bocah itu, mana mungkin bisa selamat? Tubuhnya lemah dan tenaganya terkuras
habis. Jatuh pada kedalaman yang tak terukur, tentu tak akan selamat”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya yang lain.
Semua mata kini saling memandang dengan wajah bingung bercampur
geram.
"Tidak ada yang bisa dilakukan di sini. Sebaiknya, kita kembali saja.
Katakan pada yang lainnya, bocah itu sudah mampus di dasar lubang
ini!”
Kini tidak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua mengira kalau
Katakili sudah mati di dalam lubang yang sangat dalam itu. Dan kini mereka
meninggalkan tempat itu disertai gumaman-gumaman tak puas.
***
Benarkah Katakili tewas di dasar lubang itu? Agaknya bila ajal belum
datang, tak seorang pun yang bisa memastikan kematian seseorang. Meski,
bahaya sebesar gunung berada di depan mata.
Begitu juga halnya Katakili. Pemuda tanggung itu merasa kematiannya sudah
di ambang pintu ketika tubuhnya terperosok ke dalam lubang itu. Semangatnya
runtun dan hatinya kecewa bukan main. Dalam kepasrahannya, dia masih
berharap untuk bisa selamat. Entah karena harapannya, atau karena memang
ajalnya belum lagi tiba, tubuhnya terhempas di atas tanah yang berlumpur
empuk dan sedikit berair.
Katakili terkejut bercampur gembira. Ternyata tubuhnya hanya tenggelam
sebatas dada. Diam-diam semangat hidupnya bangkit kembali. Dengan semangat
baru, matanya beredar ke sekeliling. Lalu, ditemukannya sebuah batu runcing
yang terpasak dalam ke tanah. Dengan sekuat tenaga tubuhnya digerakkan,
untuk menggapai batu itu agar keluar dari dalam lumpur ini. Masih untung,
tempat itu hanya sekadar lumpur biasa seperti sebuah telaga kecil yang
airnya kering dan berkumpul di tengah-tengahnya. Sehingga tanpa banyak
mengalami kesulitan, Katakili berhasil mencapai tanah yang lebih
keras.
“Hhh.... Tempat apa ini? Gelap dan terasa sepi?” Katakili bertanya pada
diri sendiri sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di dinding ruangan banyak terdapat batu runcing yang mencuat. Di atas
permukaan tanah pun terdapat batu-batu runcing yang menjulang ke atas.
Persis di tengah-tengahnya, ada bekas sebuah telaga yang airnya telah banyak
berkurang. Katakili kemudian menyusuri dinding-dinding ruangan itu. Ketika
telah melangkah beberapa tindak, dia terkejut melihat banyak lukisan dan
guratan di dinding ruangan itu.
“He, lukisan-lukisan apa ini?”
Katakili mengamatinya sesaat. Dan pada dasarnya, pemuda tanggung itu memang
cerdas. Dia cepat mengerti pada sesuatu yang baru dikenalnya. Dan wajahnya
pun langsung berubah gembira ketika mengetahui kalau gambar-gambar yang
tertera di dinding ruangan itu amat dikenalnya.
“Hm.... Ini adalah suatu pelajaran ilmu silat yang hebat bukan main.
Tulisan yang tertera menyebutkan sebuah nama. Waranswami. Lalu, ada tulisan
Raja Kucing Sakti. Sedangkan tulisan-tulisan lain adalah penjelasan dari
gambar yang ada,” gumam Katakili pelan.
Katakili dengan penuh semangat mencoba mengartikan maksud dari seluruh
gambar dan tulisan yang tertera di dinding. Keningnya terlihat berkerut, dan
kelopak matanya jadi menyipit. Dia berusaha keras untuk bisa
memahaminya.
“Si pembuat gambar ini bernama Waranswami, atau lebih dikenal sebagai Raja
Kucing Sakti. Dan..., he! Jurus-jurus yang terdapat dalam gambar-gambar ini
mirip gerakan-gerakan seekor kucing yang sedang berkelahi,” kembali Katakili
menggumam pelan, kemudian mengangguk-angguk.
Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar-gambar itu terbagi
dalam dua bebas kelompok. Katakili yang berotak cerdas segera mengerti bahwa
tiap kelompok gambar mewakili satu jurus. Jadi kalau dua belas kelompok,
berarti dua belas jurus dengan tingkatan yang makin tinggi. Dan kesemuanya,
memiliki dasar yang sama. Jurus yang meniru gerakan-gerakan kucing!
Ketika pemuda tanggung itu mengamati jurus kedua belas yang berada di ujung
ruangan, matanya menangkap sebuah batu datar yang menyembul dari permukaan
tanah setinggi kira-kira satu jengkal, dan batu itu juga tak begitu luas.
Ketika didekatinya, tampak di atas batu itu terdapat guratan tulisan. Tanpa
ragu lagi, Katakili mulai membacanya dengan suara menggumam pelan.
“Beruntunglah mereka yang tiba di sini dan menemukan warisanku. Hendaknya,
warisanku dipelajari dengan seksama dan diamalkan dengan cara yang baik.
Kucing adalah binatang buas. Sifatnya pendiam dan cerdik. Dia lembut, tapi
juga keras. Seperti lumpur yang menghanyutkan, seperti patung batu yang
memecahkan....”
Katakili berhenti sebentar, mengamati tulisan yang sangat dalam artinya.
“Hm.... Apa maksud kata-kata ini?” tanya Katakili mencoba mencerna. Kemudian
dia melanjutkan sisa tulisan yang tergurat di atas batu itu.
“Sekerasnya batu ini, tapi lebih keras lagi intinya yang mampu memecahkan
kumpulan batu yang paling keras. Dan berada di dekatnya menjadikan kata raja
yang gagah perkasa dan memerintah dengan leluasa.”
Katakili merenung-renung sesaat sambil mengamati permukaan batu itu dengan
seksama. Apa yang dimaksud dengan inti? Kalau pada baris pertama, tentu
sekadar peringatan dan pem-beritahuan. Tapi pada baris kedua ini, seperti
ada rahasia akan sesuatu? Lalu, bagaimana membuktikannya? Apakah diartikan
secara langsung kalau di dalam batu ini terdapat sesuatu yang akan
menjadikan seorang raja?
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Katakili, namun tak semua bisa
dipecahkannya. Lalu diraba-rabanya pinggiran batu datar itu. Dan, dicobanya
untuk mengangkat. Pada mulanya, hal itu sangat sulit dan tak mampu
dilakukannya. Namun secara tak sengaja, Katakili mengangkat sedikit di
bagian atasnya. Maka, terbukalah bagian atas batu datar yang berbentuk segi
empat itu.
Batu itu ternyata seperti kotak. Bagian atasnya ditutup alas yang di
beberapa bagian berbentuk gerigi. Sehingga membuatnya seperti menyatu pada
bagian bawah. Di dalamnya, tampak terdapat sebuah patung kucing dari emas
murni berukuran dua kali kepalan tangan orang dewasa. Dan tanpa ragu lagi
Katakili mengambilnya. Diamat-amatinya sesaat. Alangkah terkejutnya pemuda
tanggung itu ketika seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa bergetar hebat
“Hei?! Apa yang terjadi pada diriku?”
Katakili hanya mendiamkan saja, dan malah menggenggam patung kucing itu
lebih erat lagi. Dan memang, apa yang dirasakannya saat ini sama sekali tak
menyakiti tubuhnya. Malah, membuat tubuhnya terasa segar. Tenaganya seperti
pulih kembali dan peredaran darahnya mengalir lancar.
“Hm.... Patung inikah yang akan membuatku menjadi raja? Tapi bagaimana
caranya?”
Lama pemuda tanggung itu berpikir tentang kata-kata yang tertera di
permukaan batu, namun tak juga menemukan maksudnya. Dan dia hanya bisa
menduga.
“Mungkin hal itu akan terjadi nanti. Tapi barangkali juga, aku harus
membawanya ke mana saja pergi. Baiklah. Setelah kupelajari seluruh ilmu
silat yang tertera pada gambar-gambar itu, aku akan membawanya ke mana saja.
Mudah-mudahan dengan cara ini, aku bisa mengetahui maksudnya.”
***
Sejak itu, Katakili berada di dalam ruangan ini berbulan-bulan. Dan dengan
tekun, dipelajarinya semua jurus ilmu silat yang terdapat dalam
gambar-gambar di dinding ruangan itu dengan penuh semangat, seperti tak
mengenal lelah.
Baginya, tidak ada kesulitan untuk mempelajarinya karena telah memiliki
dasar-dasar ilmu silat sebelumnya. Di tempat itu pun, dia tidak mendapat
kesulitan dalam hal makanan. Selain masih terdapat cukup air, di beberapa
pojok ruangan banyak ditumbuhi jamur yang berukuran besar dan tidak beracun.
Di samping itu, masih terdapat tikus-tikus putih berukuran besar yang dapat
ditangkap untuk disantap.
Semangat Katakili memang menggebu-gebu dan pantang menyerah. Padahal,
pelajaran ilmu silat itu besat dan cukup sulit. Namun dendam di hatinya yang
terus bergejolak seperti tak pernah padam, membuatnya terus memacu
keinginannya untuk menguasai secepatnya. Meski begitu, tak terlalu mudah
baginya. Selain harus memiliki tenaga dalam kuat, maka kecepatan bergeraknya
harus dilatih, agar apa yang dimaksud dalam tulisan-tulisan yang mengiringi
gambar-gambar itu bisa tercapai dengan sempurna. Hingga tak terasa, telah
lima tahun Katakili berada di tempat itu sendiri.
***
DUA
Hari belum lagi terlalu sore ketika seorang pemuda berwajah cukup tampan
tengah melangkahkan kakinya di sebuah desa. Suasana desa ini terlihat sepi.
Malah, beberapa rumah sudah tampak menutup rapat-rapat pintunya. Pemuda itu
menghentikan langkahnya seraya memandang ke sekeliling, seperti ingin
meyakinkan kalau sesuatu yang dicarinya berada di tempat ini.
“Meong...!” Tiba-tiba seekor kucing berbulu hitam keluar dari belakang
sebuah rumah, dan menghampiri pemuda itu. Hewan itu memandang sekilas,
kemudian mengerjapkan matanya yang biru beberapa kali dan duduk tenang di
situ. Sementara pemuda itu diam memperhatikan dari balik tudungnya yang
besar, hingga hampir menutupi sebagian wajahnya yang tampan.
Beberapa saat dia masih diam memandangi kucing hitam di depannya. Dan
ketika kembali melangkah, kucing hitam itu pun bangkit. Lalu diikutinya
pemuda itu dari belakang dengan tenang.
“Meong...! Meong...!”
Belum jauh pemuda itu berjalan, tiga ekor kucing lagi keluar dari beberapa
rumah. Binatang itu bergerak perlahan namun pasti, menatapi pemuda itu dan
terus mengekor di belakangnya. Sementara pemuda itu terus berjalan
perlahan-lahan, seperti tidak mempedulikan kucing-kucing yang mengikutinya
dari belakang. Sudut ekor matanya sedikit melirik pada seorang laki-laki tua
yang tengah duduk menjulurkan kakinya di balai-balai bambu depan rumahnya.
Tapi mendadak saja....
“Heh!”
“Graungrrr...!”
“Bangsat!”
Laki-laki tua itu tersentak kaget ketika tiba-tiba seekor kucing
peliharaannya melompat melewati atas kedua kakinya yang sedang menelonjor di
balai-balai sambil mengeluarkan suara menggeram. Nyaris rokok kawung yang
sedang dihisapnya terlempar. Sambil memaki-maki tak karuan, dia buru-buru
bangkit. Lalu diambilnya sebatang batu dan dikejarnya kucing itu. Tapi
langkah orang tua itu mendadak berhenti, ketika di depannya berdiri tegak
sesosok tubuh mengenakan topi lebar.
“Siapa kau, Kisanak?! Dan apa yang kau lakukan hingga kucing-kucing itu
mengikutimu?” tanya orang tua itu tergagap ketika melihat belasan ekor
kucing mengekor di belakang pemuda itu.
“Aku hanya seorang pengembara kesasar. Namaku Katakili...,” sahut pemuda
itu datar.
“Dan kucing-kucing itu? Setahuku, mereka milik beberapa orang penduduk desa
ini. Dan sebagian, sering berkeliaran tanpa pemilik. Bagaimana kau bisa
mengumpulkannya?”
Pemuda itu tersenyum sinis. “Mereka mengikutiku, karena aku tak
menyakitinya. Begitu mereka disakiti, maka akan lari dari kita, seperti apa
yang hendak kau lakukan pada kucingmu tadi,” sahut pemuda yang tadi mengaku
bernama Katakili.
Laki-laki tua itu terheran-heran melihat kejadian yang dilihatnya. Bukan
itu saja. Selama berdiri di sini, beberapa ekor kucing lagi menghampiri
pemuda itu dan berdiri di dekatnya dengan sikap patuh. Bahkan beberapa orang
pemilik yang amat sayang dengan kucing peliharaannya, telah keluar. Mereka
bermaksud mengejar hewan peliharaannya yang tiba-tiba melompat dan mendekati
Katakili.
“Ki Karta! Siapa orang ini, dan mengapa kucing-kucing di desa ini berlari
menghampirinya?” tanya seseorang pada lelaki tua itu.
“Entahlah. Aku pun tidak tahu....”
Beberapa orang penduduk lain keluar dari rumahnya ketika mendengar
ribut-ribut kecil itu. Dan mereka keheranan ketika melihat banyak sekali
kucing yang berada di dekat Katakili.
“Siapa dia sebenarnya? Apakah dia pawang kucing?”
“Orang ini mengherankan sekali. Bagaimana caranya kucing-kucing ini
dikumpulkan?”
“Kucing-kucing itu tampak patuh padanya!”
Berbagai kata-kata heran para penduduk desa sedikit mengganggu pemuda itu.
Dia menjadi risih, sehingga bermaksud meninggalkan desa ini secepatnya.
Dipandanginya laki-laki tua yang pertama kali ditemuinya tadi.
“Kisanak. Dapatkah kau tunjukkan, di mana tempat kediaman orang yang
bernama Gumarang?” tanya Katakili, seperti tidak mempedulikan omongan
orang-orang desa itu.
“Hm.... Untuk apa kau menanyakan kediaman Juragan Gumarang?” laki-laki tua
yang ternyata bernama Ki Karta malah balik bertanya.
“Dia punya hutang yang belum dibayar padaku,” sahut Katakili kalem.
Ki Karta mengernyitkan dahi. Setahunya, Juragan Gumarang adalah orang
terkaya di desa ini. Jadi, mana mungkin mempunyai hutang dengan pemuda
gembel yang mirip pengemis ini?
“Kudengar dia berdiam di desa ini. Ayahku, dulu adalah teman lamanya. Dan
dia telah menitipkan sesuatu pada Gumarang. Hari ini, aku bermaksud untuk
mengambil barang itu kembali,” jelas Katakili lagi.
Setelah mendengar kata-kata itu, Ki Karta baru mengerti. Maka
ditunjukkannya sebuah rumah yang berada di tengah desa. Sebuah rumah yang
paling besar dan mewah. Halamannya luas berpagar tinggi dengan beberapa
orang centeng yang berjaga di depan pintu gerbang.
Setelah mengucapkan terima kasih, Katakili langsung saja berjalan.
Sedangkan kucing-kucing yang kini berjumlah sekitar dua puluh ekor di
belakangnya, terus mengikuti. Tentu saja hal ini membuat heran dan kagum
orang-orang desa. Tanpa sadar beberapa orang dari mereka mengikuti. Mereka
ingin tahu, apa yang akan dikerjakan pemuda itu di tempat kediaman Juragan
Gumarang.
***
“Berhenti! Mau apa kau ke sini?!” cegat seorang centeng yang bertubuh besar
dan berkumis melintang, ketika pemuda itu akan memasuki pintu gerbang.
“Katakan pada majikanmu, hari ini ada orang yang akan menagih hutang lama
kepadanya,” sahut pemuda itu tenang.
"Tidak bisa! Hari ini Juragan Gumarang tidak bisa diganggu. Lebih baik kau
datang lain hari saja!”
“Hm...!” Pemuda itu bergumam dengan wajah tak acuh. Dipandangnya bangunan
besar di depan matanya, kemudian berpaling ke arah tiga orang centeng yang
tengah berdiri tegak di depannya.
"Tak seorang pun yang boleh menunda kewajibanku untuk menagih hutang kepada
siapa saja yang kukehendaki!” kata Katakili pelan namun mengandung
ketegasan.
“Kurang ajar! Agaknya telingamu sudah tuli sehingga tak mendengar
kata-kataku, heh?!” bentak laki-laki berkumis melintang sambil mencabut
golok dengan sikap mengancam. Kedua kawan laki-laki itu malah telah siap
sejak tadi, seraya mencabut golok masing-masing.
“Buat apa kau banyak omong segala, Sempur? Lebih baik, hajar saja gembel
tak tahu diri ini! Tingkahnya membuatku muak saja!” sahut salah seorang yang
berbaju merah, garang.
“He, Gembel! Kau dengar itu? Nah, pergilah cepat selagi aku masih berbaik
hati tak menghajarmu!” bentak orang yang dipanggil Sempur.
“Menepilah! Kalian tak mempunyai urusan denganku. Jangan membuat persoalan,
sehingga akan menimbulkan celaka!” ujar Katakili, dingin.
“Keparaat! Kau pikir, siapa dirimu sehingga berani berkata begitu padaku?!
Dasar gembel tak tahu diri! Lebih baik kau mampus saja!” dengus Sempur jadi
berang. “Hih!”
Sret! Sempur langsung saja mencabut goloknya. Dan dengan cepat pula
goloknya dibabatkan ke perut Katakili.
“Haiiit...!” Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, sambaran
golok itu hanya lewat di depan perutnya. Dan pada saat itu juga, dengan satu
gerakan yang sangat cepatnya tangan kanan Katakili bergerak cepat.
Lalu....
Plak!
Begkh!
“Aaakh...!” Sempur memekik kesakitan ketika pukulan tangan kanan Katakili
menghantam dadanya.
“Gembel busuk! Pantas saja kau berani bertingkah! Rupanya, kau memiliki
sedikit kepandaian juga. Huh! Di hadapanku kau tak akan bisa sombong!”
bentak salah seorang yang memakai baju hijau, langsung menyerang pemuda itu
dengan golok.
Bersamaan dengan itu seorang kawannya yang berbaju merah sudah ikut-ikutan
mengeroyok. Kini dengan penuh nafsu mereka berusaha mendesak Katakili. Tapi,
pemuda itu tenang sekali menghindarinya. Gerakannya amat gesit, menandakan
kalau ilmu meringankan tubuhnya telah cukup tinggi. Kemudian tanpa membuang
waktu, diserangnya lawan-lawannya. Sangat sulit mengikuti gerakan-gerakannya
dengan pandangan mata biasa, karena dilakukan begitu cepat.
Mendapat serangan yang begitu cepat dan dahsyat dari Katakili, dua orang
pengeroyok itu jadi kalang kabut Serangan pemuda itu benar-benar sulit
diduga datangnya. Dan ketika lawan yang berbaju hijau terlepas dari desakan,
Katakili kembali menekannya dengan sebuah tendangan berputar setengah
lingkaran. Tapi pada saat yang sama, lawan yang berbaju merah berusaha
menebas kakinya.
Cepat-cepat Katakili menarik serangannya. Namun, sambil menghindari tebasan
golok yang mengarah ke kakinya, Katakili langsung membuat lompatan seperti
kucing menyergap tikus. Tangannya menjulur ke depan dengan jari-jari mirip
cakar kucing. Langsung serangannya yang tak terduga itu diarahkan ke
lawannya yang berbaju hijau, yang belum bisa bertindak apa-apa. Dan...
Bret!
“Aaakh...!” Laki-laki berbaju hijau itu kontan tersungkur dengan dada robek
ketika cakar Katakili mendarat di tubuhnya. Darah tampak merembes di
bajunya.
Melihat temannya bisa dirobohkan, laki-laki yang berbaju merah langsung
melancarkan serangannya yang gagal tadi. Tubuhnya langsung melunak, hendak
membokong Katakili yang membelakanginya.
Namun, Katakili cepat menangkap adanya desir angin yang berasal dari
serangan gelap lawannya. Maka cepat-cepat tubuhnya merendah, dan langsung
melepaskan sabetan tangan ke belakang. Ulu hati....
Brettt!
“Aaakh!” Laki-laki berbaju merah itu kontan roboh disertai jerit kesakitan,
ketika cakar kucing Katakili merobek perutnya. Darah tampak merembes di
bajunya. Sama seperti nasib laki-laki yang berbaju hijau, laki-laki berbaju
merah itu pun tewas, setelah menggelepar sesaat.
“Siapa lagi yang ingin mampus lebih cepat?! Majulah sekaligus!” terdengar
dingin suara pemuda itu penuh ancaman.
Namun belum lagi hilang suara Katakili dari pendengaran, tiba-tiba saja
terdengar suara yang cukup keras menggema.
“Hm, hebat! Sungguh hebat! Seorang pendekar tangguh berilmu tinggi telah
memberi pelajaran berharga kepada para pengawalku!”
Katakili cepat menoleh ke samping kanan. Tampak seorang laki-laki bertubuh
tinggi dan berusia sekitar lima puluh tahun lebih, telah berdiri di
tengah-tengah arena pertarungan. Tampangnya tampak seram, karena adanya
cambang bauk dan brewok yang sebagian telah memutih. Di tangan kanannya
tergenggam sebuah clurit besar yang tajam berkilat Pemuda itu segera
menyipitkan mata dan membuka tudung kepalanya.
“Gumarang! Bagus, akhirnya kau keluar juga. Hari ini, aku datang untuk
menagih hutang padamu...,” terdengar dingin sekali nada suara
Katakili.
“Siapa kau?! Dan, apa maksud kata-katamu itu?!” dengus orang tua itu. Dia
ternyata memang Gumarang, orang terkaya di desa ini.
“Lima tahun lalu, kau punya hutang kepadaku. Tidakkah kau ingat?”
“Hutang? Hutang apa?”
“Hutang nyawa Pedang Angin Selatan!”
“Heh? Jadi kau..., kau..., putra Ki Karmani yang terperosok dalam lubang
itu?! Mustahil! Kau pasti bohong!” sentak Gumarang, kaget tak percaya.
“Kau boleh berkata apa saja hari ini. Tapi, jangan harap ampunan dariku.
Perbuatanmu sungguh biadab dan tak mudah kulupakan. Kau binatang liar yang
dengan seenaknya mengadili orang tak bersalah. Hari ini, hari pengadilan
bagimu, Gumarang!”
Wajah orang tua itu yang tadinya pias, perlahan-lahan berubah menjadi
merah. Dia benar-benar geram mendengar kata-kata Katakili yang dingin dan
penuh ancaman. Seperti hendak mengembalikan wibawanya yang jatuh akibat
keterkejutan tadi, wajahnya segera diangkat Dan dengan sikap sinis,
ditunjukkannya keangkuhan dirinya.
“Bocah! Apa kau pikir aku takut melihat kedatanganmu ini? Kau dan
orangtuamu justru sama biadabnya. Maka, sudah sepatutnya orang seperti
kalian mampus!”
“Kau boleh bicara apa saja yang kau suka, Bajingan Busuk! Bersiaplah kau!”
sentak Katakili sengit “Hih! Yeaaah...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Katakili langsung melompat sambil
mengirimkan serangan kilat ke arah Gumarang. Orang tua berwajah penuh brewok
itu terkejut. Sungguh tak disangka kalau lawannya mampu bergerak secepat
itu. Maka senjata clurit yang ada di tangannya langsung diayunkan.
“Yeaaah...!” Wuuut!
“Juragan, kami akan membantumu!” teriak Sempur dan kawan-kawannya yang
masih hidup.
Juragan Gumarang tak menyahut. Sehingga, Sempur dan kawan-kawannya merasa
kalau cara keroyokan sangat diinginkan juragannya. Dan Katakili sudah begitu
kesal. Tubuhnya lalu berbalik cepat sambil memapak serangan ketiga lawan
yang berusaha membokongnya. Tiba-tiba....
“Graungrrr...!” Dari mulut pemuda itu keluar suara melengking seperti
kucing yang sedang marah.
Maka, mendadak saja kucing-kucing yang sejak tadi mengikutinya, berubah
liar dan garang. Bahkan binatang-binatang itu langsung menyerang anak buah
Gumarang dengan buas.
“Heh?!”
“Akh...!”
“Binatang keparat...! Mampuslah kau! Yeaaah...!” bentak Sempur ketika
punggungnya tercakar oleh beberapa ekor kucing.
Dua orang kawannya pun tak luput dari serangan hewan-hewan yang seperti
kerasukan setan itu. Dan justru, yang paling hebat adalah tingkah laku
pemuda bernama Katakili itu. Wajahnya beringas dengan sepasang mata seperti
bersinar garang. Sementara, kedua belah tangannya sudah membentuk cakar.
Dari mulutnya terus memperdengarkan raungan-raungan panjang.
Tentu saja hal ini membuat Gumarang terkejut. Bulu kuduknya kontan
merinding membayangkan kematiannya yang sangat mengerikan. Belum juga
laki-laki tua itu bisa berbuat lebih banyak lagi, tiba-tiba saja Katakili
sudah berkelebat begitu cepat bagai kilat dengan kebutan tangannya.
Juragan Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi,
hanya terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang dahsyat Entah kenapa,
dia seperti tak mampu bergerak. Hanya matanya saja yang melotot menanti
datangnya ancaman lawan. Maka....
“Graungrrr...!”
Gumarang yang sebenarnya memiliki ilmu olah kanuragan cukup tinggi, hanya
terpaku saja memandangi gerakan Katakili yang sangat dahsyat. Entah kenapa
dia seperti tak mampu bergerak! Hanya mematung saja yang melotot menanti
datangnya ancaman lawan. Maka...
Plak!
Breeet!
“Aaakh...!” Gumarang menjerit kesakitan saat kulit dadanya robek lebar
terkena cakaran lawan. Tubuhnya tampak terjajar beberapa langkah sambil
mendekap dadanya yang dirobek cakar Katakili. Darah langsung merembes dari
sela-sela jarinya. Wajahnya juga semakin pucat saat melihat kegarangan
lawan. Rasanya, tak mungkin lagi saat ini bisa menyelamatkan diri. Kecepatan
gerak pemuda itu sungguh dahsyat dan sama sekali tak mampu dibendungnya.
Bahkan tenaganya pun sungguh kuat!
Gumarang kini berusaha bergulingan untuk menyelamatkan diri, ketika
terkaman lawan kembali datang. Sesekali senjatanya diayunkan untuk
menghalangi serangan lawan. Namun tetap saja kedudukannya kian terjepit.
Bahkan ketika dia baru saja bangkit berdiri, pergelangan tangannya terkena
cakar lawan.
Breeet!
“Ukh!” Gumarang hanya bisa mengeluh kecil. Tubuhnya yang kian melemah
akibat banyaknya darah yang keluar, membuat tenaga Gumarang melemah. Tak
heran ketika Katakili mengecutkan tangan kanannya cepat bagai kilat, dia
sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Akibatnya....
Bresss!
“Aaa...!”
“Graungrrr...!”
Pekik kematian Gumarang kontan pecah diiringi raungan melengking pemuda
itu. Sementara itu, para penduduk desa yang menyaksikan pertarungan dari
jarak jauh, melihat Katakili tengah mencabik-cabik seluruh tubuh lawan
hingga hancur tak berbentuk lagi. Dia berdiri tegak dengan kedua belah
tangan berlumuran darah. Sekilas, ditatapnya tubuh lawan yang terkoyak-koyak
bermandikan darah. Kemudian, wajahnya menengadah ke langit.
“Ayah! Satu orang di antara keparat-keparat biadab itu telah membayar
hutangnya. Tenangkanlah arwahmu di akhirat sana...” tiba-tiba terdengar
suara keras dari mulut pemuda itu. Dan baru saja Katakili merapatkan
bibirnya, mendadak....
“Aaa...!”
Pemuda itu tersentak ketika mendengar jeritan panjang. Sinar matanya yang
tajam dan penuh kebencian melihat salah seorang dari ketiga orang centeng
Juragan Gumarang tengah menggelepar dengan tubuh penuh luka-luka cakar.
Sementara, dua orang lagi tengah sibuk melindungi diri dari serbuan
kucing-kucing yang kini berubah semakin liar.
“Terimalah akibat perbuatan kalian yang menghalang-halangi tugasku. Mampus
kau!
Yeaaah...!” Sambil menggeram hebat, Katakili melompat menyerang kedua
centeng itu dengan kedua tangan terpentang membentuk cakar seperti kucing.
Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua tangannya saling susul-menyusul
mencakar-cakar dan sesekali mengibas.
Kedua centeng yang masih sibuk menghindari terjangan kucing-kucing liar
itu, mana mampu menyadari adanya serangan lain. Maka....
Bret! Bret!
“Aaa...!”
“Aaakh...!”
Tidak ampun lagi, kedua centeng itu melolong kesakitan ketika tubuh mereka
dicabik-cabik cakar Katakili yang tajam dan kuat bagai baja runcing.
Keduanya kontan roboh dan menggelepar sesaat Dan akhirnya, tubuh mereka diam
tak bergerak bermandikan darah. Mati!
“Graungrrr...!”
“Ngeong...!”
Katakili menggeram, sesaat masih menunjukkan bias wajahnya yang
menyeramkan. Kucing-kucing yang berada di dekatnya langsung mengerubungi
sambil memandangnya sekilas, kemudian menundukkan kepala dengan sikap hormat
Dan perlahan-lahan, terlihat keadaan pemuda itu kembali seperti semula.
Tenang dan tak banyak bicara. Diperhatikannya kucing-kucing itu dengan
seksama sambil mengingat-ingat sesuatu.
“Hm.... Aku tak sadar mengeluarkan aji 'Kucing Siluman'. Dan ternyata,
pengaruhnya hebat sekali pada kucing-kucing ini. Inikah yang dimaksudkan
tulisan yang berada di atas batu datar itu? Berarti aku menjadi raja, dan
bisa memerintah mereka?”
Sekali lagi, Katakili memandangi kucing-kucing yang kini menjadi sangat
patuh padanya. Sementara, dari tempat yang agak jauh, orang-orang desa terus
memperhatikan.
"Berbarislah kalian di depanku sini!” ujar Katakili pelan sambil menuding
ke depan.
Dan sungguh ajaib...! Seperti mengerti apa yang dimaksudkan pemuda ini,
kucing-kucing yang berjumlah puluhan itu berbaris rapi di depannya. Bibir
Katakili tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Wajahnya kembali
menengadah ke langit, kemudian menoleh sekilas kepada para penduduk desa
yang sejak tadi memperhatikannya dengan wajah takjub. Dan tak berapa lama
kemudian, Katakili meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan keadaan.
Sementara kucing-kucing itu patuh mengikutinya dari belakang.
“Gila! Barangkali dia bukan manusia biasa!” desis salah seorang penduduk
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Menggiriskan dan tak kenal ampun! Siapa dia sebenarnya?”
“Kepandaiannya hebat bagai siluman!”
“Siluman Kucing!” sahut seseorang dengan mata melotot.
“Ya! Siluman Kucing! Barangkali nama itu lebih tepat baginya!” timpal
seorang lagi.
“Aneh! Kenapa dia tak mengganggu kita? Barangkali memang hanya Juragan
Gumarang punya hutang darah kepadanya. Atau, di antara mereka punya dendam
lama. Kau dengar tadi teriakannya? Bulu kudukku sampai meremang
mendengarnya,” kata laki-laki muda berwajah bulat sambil menunjukkan wajah
takut.
“Ya! Aku pun mendengarnya...,” sahut yang lain.
Dan gunjingan itu seperti tak pernah sirna dari mulut mereka. Selama
beberapa hari, pembicaraan tentang pemuda itu mewarnai isi desa ini. Bahkan
terus menyebar ke desa-desa lain dari mulut ke mulut.
***
TIGA
Pagi baru saja melingkupi Desa Kebumi yang berada di bawah kaki Gunung
Kiambang. Udara di sekitar situ cukup sejuk. Belum lagi pemandangannya yang
indah, dengan pohon-pohon beraneka ragam tumbuh di situ.
Di ujung desa itu, terletak sebuah padepokan yang bernama Padepokan
Tritunggal. Padepokannya cukup sederhana, dihuni oleh murid yang berjumlah
lebih dari tiga puluh orang.
Sebenarnya Padepokan Tritunggal belum lama berdiri. Namun, kenyataannya
telah cukup banyak menelurkan manusia-manusia digdaya. Kebanyakan dari
mereka ada yang menjabat sebagai pengawal di kadipaten. Dan ada juga yang
berkelana untuk menegakkan keadilan seperti yang sering dianjurkan Ki
Suminta, ketua perguruan ini.
Laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahun itu sangat rajin
membimbing murid-muridnya. Dan dia dibantu oleh tiga orang murid
tertuanya.
Seperti pagi hari ini, para murid Padepokan Tritunggal berbaris rapi,
terbagi dalam empat kelompok. Kali ini, Ki Suminta akan memberi pelajaran
jurus-jurus tingkat lanjutan. Dan kini mulai diperagakannya jurus demi
jurus. Sementara, murid-muridnya tampak memperhatikan dengan seksama, agar
bisa sempurna menirunya.
“Perhatikan baik-baik. Jurus ini dinamakan 'Menadah Hujan dari Langit' yang
berisi pertahanan diri dari serangan lawan, dan sekaligus menyerang.
Jurus ini banyak digunakan untuk menghadapi serangan yang dilakukan orang
banyak!” kata Ki Suminta yang memiliki mata juling itu.
Orang tua itu kemudian kembali memperagakan jurus itu. Gerakannya tampak
lincah, namun perlahan-lahan agar murid-muridnya mampu menirunya.
“Sekarang, coba kalian lakukan dengan perlahan-lahan. Mulai....!”
“Yeaaah...!”
“Hup!”
“Gerakan tanganmu kurang keras, Suraji!” kata Ki Suminta sambil mengawasi
salah seorang muridnya.
“Hup! Hiyaaat..!”
“Ya! Bagus!”
Kesembilan orang yang berada di kelompoknya itu bergerak bersamaan, meniru
gerakan-gerakan guru mereka. Kadang-kadang Ki Suminta terpaksa
mengulang-ulang gerakan yang dilakukannya, agar murid-muridnya hafal
betul.
“Kuda-kudamu kurang kokoh, Bamawi!” teriak Ki Suminta lagi.
“Begini, Eyang! Hup!”
Baru saja Bamawi memperagakan gerakan yang benar, tiba-tiba saja...
“Graungrrr...!”
“Heh?!”
Semua orang yang berada di halaman depan itu tersentak kaget, ketika
tiba-tiba melihat seekor kucing berada di atas atap padepokan tengah
menggerung seperti macan. Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka,
tiba-tiba saja seekor kucing belang melompat dari dalam rumah sambil
menggeram buas dan terus melompat ke atas atap. Kedua kucing itu
menggerung-gerung, lalu berkejaran menuju halaman depan dan terus keluar
melompati pagar.
“Ayo, perhatian kalian jangan terganggu! Lakukan latihan lagi!” teriak Ki
Suminta mengingatkan.
“Tidak biasanya si Belang berkelakuan begitu. Dia kucing yang baik dan
penurut,” desis salah seorang, agak menggumam.
“Biasa. Barangkali lagi musim kawin...,” sambung yang lain.
“Si Reksa pun kalau ingin kawin pasti meraung seperti tadi!”
Beberapa orang murid tertawa kecil mendengar ocehan-ocehan itu. Tapi mereka
cepat menutup mulut, ketika melihat tatapan mata Ki Suminta yang tajam.
Sambil menundukkan kepala, mereka kembali menirukan gerakan-gerakan yang
dilakukan kawankawannya yang lain. Tapi baru saja melakukan beberapa
gerakan, perhatian mereka kembali pecah ketika mendengar suara-suara halus
yang dikeluarkan puluhan ekor kucing.
“Heh? Suara apa itu...?!”
“Coba lihat! Astaga! Pantas saja kucing itu bertingkah aneh. Rupanya ada
pawangnya yang datang!” tunjuk salah seorang murid perguruan itu ke satu
arah.
Mendengar penuturan itu, yang lainnya pun memalingkan wajah ke arah yang
sama. Dan, tampaklah seseorang mengenakan topi tudung lebar tengah berdiri
diam. sambil memperhatikan seksama dengan tubuh bersandar pada sebatang
pohon. Pada mulanya, hal itu terlihat biasa saja. Tapi ada yang tak lazim
pada pemuda itu. Bukan pakaiannya yang gembel seperti pengemis, melainkan
puluhan ekor kucing yang mengelilinginya dengan sikap patuh.
Ki Suminta menatap sesaat, kemudian mengalihkan perhatian kepada
murid-muridnya kembali, ketika melihat kalau pemuda itu sama sekali tidak
melakukan perbuatan yang mencurigakan. Dia langsung menduga kalau orang itu
adalah gembel penyayang kucing yang tertarik pada perguruannya. Dan bisa
jadi, ingin bergabung menjadi muridnya.
Sampai mereka beristirahat, pemuda itu masih tetap berdiri tegak dan sama
sekali tidak berbuat apa-apa. Ketabahannya sungguh luar biasa. Dan hal itu
membuat Ki Suminta tertarik. Dia lalu berjalan mendekati pemuda itu.
“Orang muda! Siapakah kau, dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ki
Suminta halus.
Pemuda itu membuka tudung lebar yang dikenakannya, kemudian ditatapnya Ki
Suminta dengan seksama.
“Kaukah yang bernama Ki Suminta?”
Sikap pemuda itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya, pertanyaan Ki Suminta
yang lebih dulu dijawabnya. Tapi yang dilakukan malah sebaliknya. Lagi pula,
nada suaranya seperti menyelidik. Namun Ki Suminta adalah orang tua yang
kenyang makan asam garam kehidupan. Maka bisa dimakluminya sikap pemuda
itu.
“Benar! Aku adalah orang yang kau maksud.”
“Bagus. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang kepadamu,” jelas pemuda
itu dingin, dengan sorot mata tajam.
Ki Suminta sedikit terkejut melihat tatapan pemuda itu. Sudah bisa diduga
kalau pemuda itu bukanlah orang sembarangan seperti yang diduga semula.
Meski wajahnya tampan, namun seketika berubah menakutkan. Terlebih-lebih,
sorot matanya yang tajam seperti hendak menusuk jantung. Dan apa yang
dikatakannya tadi sungguh membuat Ki Suminta tak habis pikir. Kenal dengan
pemuda itu pun tidak. Jadi, dari mana pemuda itu begitu yakin kalau harus
menagih hutang kepadanya.
“Kisanak, aku tidak mengerti maksudmu?”
“Maksudku sudah jelas. Lima tahun lalu, kau punya hutang nyawa pada Pedang
Angin Selatan. Hari ini Katakili, putra Pedang Angin Selatan yang akan
menagihnya kepadamu!” kata pemuda itu, dingin.
“Heh? Kau..., kau...?!”
“Kau kaget melihatku, Ki Suminta?” dingin sekali nada suara pemuda itu.
“Aku memang Katakili. Kedatanganku ke sini untuk menagih hutang nyawa
padamu!”
Ki Suminta benar-benar terkejut mendengar kata-kata pemuda berpakaian
seperti gembel yang memang Katakili. Lima tahun lalu, Ki Suminta memang ikut
mengeroyok Pedang Angin Selatan bersama empat belas tokoh persilatan
lainnya. Walaupun namanya tak terkenal seperti Ki Sartowo, Nyi Selasih, Ki
Wempang, dan Ki Rancasena, tapi dia patut pula diperhitungkan. Sehingga,
Katakili merasa kalau laki-laki tua ini patut pula dibunuh.
Dan yang membuat heran Ki Suminta, Katakili waktu itu sudah dinyatakan mati
ketika tercebur ke dalam lubang seperti sumur. Putra Ki Karmani yang dikenal
berjuluk Pedang Angin Selatan itu telah tewas di dalam lubang yang dalam
tidak terukur. Lalu kenapa tiba-tiba akan menuntut balas padanya?
“Kau kelihatan takut, Ki Suminta...,” ejek Katakili sinis.
Ki Suminta tersentak. Harga dirinya tiba-tiba saja menolak tuduhan pemuda
itu. Dan dengan cepat, sikapnya berusaha ditenangkan.
“Hm, Kisanak. Kau datang tiba-tiba, dan mengatakan kalau seolah-olah aku
takut kepadamu. Kalau benar kau putra si Pedang Angin Selatan, maka sudah
sepatutnya menjalani hukuman akibat perbuatan ayahmu,” dengus Ki Suminta
mulai tegas.
“Ha ha ha...!” Katakili tertawa keras, sehingga mengundang perhatian
seluruh murid Ki Suminta yang sejak tadi menyangka kalau antara keduanya
hanya terjadi percakapan biasa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Mengapa aku jadi tertawa? Hari ini, nyawamu ada dalam genggamanku. Dan
tiba-tiba, kau merasa biasa mengancamku. He, Orang Tua! Aku tidak punya
banyak waktu untuk meladeni segala omongan kosongmu. Masih banyak tugasku
untuk menagih hutang nyawa ayahku! Maka, bersiaplah menghadapi
kematianmu!”
Wajah Katakili yang tadi sedikit tersenyum, kini berubah menyeramkan bagai
seekor harimau liar yang siap menerkam mangsa. Ki Suminta sedikit terkejut.
Sorot mata pemuda itu tajam berkilat seperti hendak mengiris-iris
jantungnya. Dan tiba-tiba saja...
“Hiyaaa...!”
“Hup! Hih...!”
Ki Suminta jadi terkejut juga, begitu tiba-tiba Katakili melompat sambil
mengebutkan tangannya ke arah dada. Untung dia cepat berkelit, sambil
menangkis dengan tangan kiri.
Plak!
Sebuah benturan keras terjadi. Akibatnya, Ki Suminta terjajar ke samping
beberapa langkah. Sementara lawan tidak bergeming sedikit pun. Jelas, tenaga
dalam Katakili sedikit di atasnya. Dan belum lagi Ki Suminta memperbaiki
kedudukannya....
“Graungrrr...!”
Wusss!
“Heh?!”
Bukan main terkejutnya orang tua itu menyaksikan kecepatan gerak lawannya.
Karena tiba-tiba saja, topi lebar pemuda itu berkelebat ke arahnya. Maka
buru-buru Ki Suminta menangkis dengan tangannya, sehingga topi itu hancur
berantakan. Namun dengan satu raungan hebat, sebelah tangan Katakili
mengibas, hendak mencakar dada. Maka cepat-cepat Ki Suminta membuang
tubuhnya ke samping sambil jungkir balik. Namun terlambat! Karena....
Breeet!
“Huh...!”
“Eyang...!”
Ki Suminta mengeluh kesakitan begitu lehernya terkena cakaran lawan yang
begitu cepat saat tubuhnya sudah setengah bergerak tadi. Seketika darah
mengalir dari luka yang cukup dalam. Ki Suminta terhuyung-huyung sesaat.
Sementara itu, murid-muridnya yang melihat, jadi terkejut dan cepat-cepat
mengurung halaman padepokan ini.
“Eyang! Kenapa kau tidak mundur? Biar kami saja yang menghadapinya!” teriak
Mongkola, salah seorang murid tertuanya.
“Betul, Eyang. Gembel busuk ini tidak punya derajat untuk menghadapimu!”
sambung Gupala.
“Eyang! Aku tidak peduli kau mengizinkan atau tidak. Yang jelas, gembel
keparat ini telah melukaimu, dan pantas menerima hukuman!” dengus Sampurno
yang sudah langsung melompat untuk menolong gurunya.
Di antara para murid, Sampurno yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu
memang paling setia dan selalu menjaga gurunya. Tak heran karena selain
murid paling pintar, dia juga murid pertama Ki Suminta.
“Mampuslah kau, Gembel Busuk! Hiyaaat..!”
“Graungrrr...!”
Namun begitu Sampurno melompat, Katakili meraung keras. Maka seketika
beberapa ekor kucing yang mengikutinya sejak tadi melompat dan menerkam
Sampurno dengan garang. Binatang-binatang itu tampak liar dan penuh nafsu
membunuh. Tentu saja hal ini membuat yang lainnya merasa terkejut. Beberapa
orang langsung bergerak untuk menghajar kucing-kucing ini.
Namun sebelum niat mereka tersampaikan, kucing-kucing lain telah lebih dulu
menerkam. Bahkan kini semakin liar saja. Dan kini pertarungan di tempat itu
menjadi tidak beraturan. Beberapa orang mengamuk sambil menggunakan senjata
trisula untuk menghajar kucing-kucing yang semakin ganas.
Namun meskipun melihat beberapa ekor kawan-kawan mereka mati, kucing-kucing
lain bukannya menjadi takut, tapi malah semakin ganas saja menerkam lawan.
Dan hal ini membuat murid-murid Padepokan Tritunggal perlahan-lahan ciut
nyalinya. Apalagi, ketika korban mulai jatuh di pihak mereka.
Sementara itu, pertarungan antara Katakili dan Ki Suminta telah kembali
berlangsung. Agaknya pemuda itu tidak suka mengulur-ulur waktu. Lawannya
yang telah terluka dan semakin kepayahan, nampaknya tinggal menunggu waktu
saja untuk dituntaskan. Dan meskipun menggunakan sepasang trisula untuk
menahan dan sekaligus membalas serangan lawan, namun Ki Suminta harus
mengakui kalau hal itu tidak banyak menolong.
"Terimalah kematianmu sekarang, Ki Suminta! Graungrrr...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Katakili melompat cepat bagai kilat.
Dan secepat itu pula, tangannya bergerak mengibas.
“Haiiit..!”
Plak!
Ki Suminta berhasil menangkis kibasan jari-jari tangan yang berkuku runcing
seperti baja dengan tangan kiri. Tapi ketika Katakili kembali mengecutkan
tangannya dengan gerakan berputar, kali ini Ki Suminta tidak dapat lagi
menghindar. Dan....
Breeet! Breeet!
“Aaa...!” Ki Suminta memekik nyaring ketika kedua belah tangan lawan yang
membentuk cakar merobek-robek dada dan perutnya, sampai isi perutnya
terburai keluar. Namun demikian, laki-laki tua itu masih menyabetkan
sepasang trisula di tangannya ke arah kepala Katakili. Namun dengan sekali
papakan kedua senjata itu terlepas. Ki Suminta semakin kepayahan, karena
perhatiannya terbagi dua. Dia harus memegangi dadanya yang mengalirkan
darah, sementara lawan terus mendesaknya dengan sabetan-sabetan
cakarnya.
Dan tampaknya, Ki Suminta kini telah pasrah menanti ajal. Maka dengan
leluasa Katakili menerkam lawan dan mencabik-cabiknya sampai tidak
berbentuk. Tubuh Ki Suminta telah ambruk di tanah, bersimbah darah.
Mati!
“Graungrrr...!”
Katakili langsung meraung keras. Dan tak lama kemudian, tubuhnya melesat
cepat meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, kucing-kucing yang
sedang menghajar lawan-lawannya menghentikan serangan. Dan binatang-binatang
itu cepat bergerak gesit, mengikuti Katakili meninggalkan lawan-lawannya
yang menderita luka cakar cukup hebat.
***
EMPAT
Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah melangkah tenang melalui
jalan yang mulai menyempit. Di kanan dan kirinya adalah tanah yang menjulang
tinggi, banyak ditumbuhi pepohonan kecil maupun besar. Tapi ini adalah
satu-satunya jalan yang menuju desa terdekat. Lagi pula, pemuda yang
rambutnya panjang terurai itu seperti tidak mempedulikan keadaaan di
sekelilingnya. Sesekali kepalanya menekuri tanah berbatu sambil menghela
napas panjang. Kemudian matanya menatap ke depan, pada pepohonan yang lebat.
Namun tiba-tiba saja....
“Berhenti...!”
“Heh!” Pemuda itu terkejut seketika, langkahnya dihentikan begitu sesosok
bayangan kuning tiba-tiba melesat dan berdiri tegak di depannya. Kini,
tampaklah sosok tubuh ramping terselubung kain kuning dengan penutup muka
berwarna kuning juga. Yang terlihat hanya sepasang mata yang bulat dengan
alis tebal dan bulu mata lentik. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan
terkesan kurus. Bukan hanya sekadar dari sorot mata dan suara, tapi dari
bagian dadanya yang sedikit menonjol dan pinggulnya yang besar, bisa diduga
kalau sosok berselubung kain kuning itu seorang gadis belia.
“Kulihat kau membawa-bawa pedang. Hm.... Pasti kau sedikit mengenal ilmu
silat juga. Coba tahan beberapa jurus dariku. Kalau sampai mampu menahan
tujuh jurus, kau boleh melanjutkan perjalananmu dengan aman!” tantang orang
bertopeng itu sambil mengembangkan sebuah selendang pada kedua
tangannya.
“Nisanak..."
“Kurang ajar! Kau pikir aku perempuan, heh?!” sentak orang bertopeng itu,
berang.
Pemuda berbaju rompi putih itu melongo heran. Dari suaranya yang nyaring
dan bentuk tubuhnya yang ramping, jelas orang akan segera tahu kalau dia
seorang wanita. Tapi kenapa hal itu malah disangkal? Tanpa sadar, pemuda
yang tak lain Rangga dan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti itu
tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala.
“Sial! Kenapa kau malah nyengir seperti kuda, heh...?!” dengus orang
bertopeng itu sengit.
“He? Apakah ada yang yang melarang orang tersenyum?”
“Kurang ajar! Kau menganggap remeh aku, ya?”
Selesai membentak keras, tiba-tiba saja orang berselubung kain kuning yang
diyakini Rangga adalah wanita itu mengecutkan selendang kuningnya ke udara.
Dan seketika itu juga....
Ctar...! Ledakan keras seperti lecutan cambuk terdengar memekakkan
telinga.
“Wah, hebat sekali!” puji Rangga kagum.
“Nah, kau baru tahu sekarang kalau aku tidak main-main. Cabut pedangmu
sekarang juga. Tahan tujuh jurus seranganku, kalau tidak mau mampus!” dengus
orang bertopeng itu, angkuh.
“Eee, tunggu dulu. Boleh aku mengajukan usul?”
“Sial! Kau semakin membuatku kesal saja!”
“Maaf! Kalau sampai aku kalah, mana ada kebanggaan bagimu. Aku sama sekali
tidak mengerti apa-apa soal silat. Kalau kau melihat pedang ini dan
menuduhku sedikit banyak mengerti ilmu silat, sesungguhnya kau salah besar.
Pedang ini milik pamanku dan sedikit pun aku tidak mengerti ilmu silat,”
kata Rangga berbohong, mencoba menghindari pertarungan.
“Hm, kau pikir bisa menipuku semudah itu?! Kau harus membuktikan dulu
kata-katamu itu. Setelah kulihat kau tidak mampu sedikit pun menangkis
seranganku dan telah babak belur, barulah aku mempercayai omonganmu. Tapi
kalau tidak, kau akan mampus!”
Rangga pura-pura menunjukkan wajah terkejut dan takut mendengar ancaman
itu. “Kisanak, tolonglah aku. Aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Kalau
dipaksa, tentu aku akan babak belur. Lagi pula apa yang kau cari dengan
menghajar orang sepertiku?” kata Rangga dengan wajah tertunduk dalam.
“Setan...! Terima ini! Hih...!”
Wuttt!
“Uts...!”
Hampir saja kebutan selendang kuning itu menghajar kepala, kalau saja
Rangga tidak cepat-cepat merunduk menghindar. Tapi gerakan yang dilakukan
Pendekar Rajawali Sakti justru membuat orang berselubung kain kuning itu
jadi kelihatan senang.
“Bagus! Sudah kuduga, kau pasti memiliki kepandaian. Nah, sekarang tahan
seranganku! Yeaaa...!”
Ctar!
“Uts...!” Kembali Rangga menghindari serangan dengan liukan tubuh yang
indah sekali. Namun, ujung selendang gadis itu kembali berkelebat cepat
melesat ke dadanya. Dan tentu saja Rangga tahu kalau serangan itu disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau tidak berusaha mengelak, paling tidak
dadanya akan terasa seperti dihantam godam kuat. Dan sudah pasti ini sangat
berbahaya. Maka dengan sedikit memiringkan tubuh, ujung selendang lawan
hanya menyambar sisi tubuhnya pada jarak dua jengkal.
“Hm.... Jangan berpura-pura di depanku, heh? Hari ini terbukalah kedokmu.
Kalau kau tidak mampu menahan tujuh jurus seranganku, kau harus mampus!”
dengus orang bertopeng itu.
“Kalau berhasil?”
“Kau boleh berlalu dengan aman!”
“Hm.... Itu tidak cukup. Kau telah mengganggu perjalananku, maka sudah
sepatutnya aku meminta sedikit imbalan.”
“Setan! Kalau aku sudah mengampunimu, itu sudah yang terbaik bagimu.”
“He! Siapa yang sudi menerima kebaikanmu? Kau bukan memberi kebaikan, tapi
malah memberi kesulitan. Maka sudah sepatutnya perbuatanmu kubalas dengan
kesulitan juga. Dan kau akan mengetahuinya nanti!”
Mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, bukan main kalapnya orang
bertopeng itu. “Jurus kesatu! Tahan serangan! Hiyaaat..!” bentak orang itu,
kalap.
“Hup!”
“Yeaaah...!” Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Rangga
menyambut serangan lawan. Kedua kakinya bergerak lincah mengikuti gerakan
tubuhnya yang meliuk-liuk bagai penari. Kadang-kadang tubuhnya terlihat akan
terkena serangan ujung senjata lawan yang cepat. Kadang pula, bisa berubah
kaku. Tapi sejengkal lagi ujung selendang akan menyentuh tubuhnya, maka saat
itu Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat menghindar. Begitu seterusnya.
Sampai jurus ketiga selesai, tak satu pun yang bisa menyentuh tubuh Rangga.
Tentu saja hal ini membuat orang bertopeng itu semakin kesal saja. Bahkan
sampai saat ini, pemuda itu sama sekali belum balas menyerang.
“Huh! Lumayan juga kepandaianmu. Tapi dengan jurus-jurusku ini, agaknya kau
mesti hati-hati. Karena nyawamulah yang akan jadi taruhannya!” dengus orang
bertopeng yang sudah tegak berdiri pada jarak dua tombak di depan
Rangga.
“Ah! Semua jurusmu hebat dan lihai. Dan hanya kebetulan saja aku bisa
menghindarinya. Barangkali, nasib baik memang sedang menyertaiku. Dan
biasanya, itu akan terus berlangsung sepanjang hari,” sahut Rangga seraya
tersenyum-senyum kecil.
Orang bertopeng itu tidak menanggapi ucapan Rangga. Bahkan telah bersiap
membuka jurus barunya.
“Yeaaah...!”
“Hup!” Tubuh pemuda itu bergerak ke kiri, kemudian melompat ke atas ketika
ujung selendang lawan menghantam bagai sebatang besi. Rangga Jadi mendesah
kagum. Dia tahu kalau tidak sembarang orang yang bisa melakukan serangan
semacam itu bila tak memiliki tenaga dalam tinggi. Dan kelebihan jurus yang
dilancarkan orang bertopeng itu rasanya tidak beda dengan jurus-jurus
sebelumnya. Kalaupun ada peningkatan, itu hanya sebatas dalam pengerahan
tenaga dalam, serta gerakannya yang sedikit gesit dengan jurus-jurus tipuan
yang bagus. Hanya saja, Rangga sudah merasakan kalau jurus-jurus yang
dimainkan orang bertopeng ini belum begitu sempurna. Bahkan masih banyak
kekurangannya. Sehingga walaupun lawannya terlihat menyerang dengan seluruh
daya kemampuan, semuanya masih bisa dihindarinya.
“Hiyaaat..!” Orang bertopeng itu semakin geram melihat lawannya hanya
menghindar saja. Maka, seketika serangannya semakin ditingkatkan. Dan baru
saja Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke kiri, lawannya kembali menyusuli
dengan kebutan selendangnya. Tak ada waktu lagi bagi Rangga untuk
menghindar. Maka langsung dipapaknya serangan itu. Namun...
Pret!
“Mampus kau!” bentak orang bertopeng itu kegirangan, ketika ujung
selendangnya menyambar lengan kanan Rangga dan melibatnya kuat-kuat
Kemudian dengan sentakan keras, orang bertopeng itu mencoba menarik tubuh
Pendekar Rajawali Sakti, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Namun Rangga cepat mencengkeram erat ujung selendang itu dan
menahan sentakan lawan beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja tubuhnya melayang
mengikuti sentakan lawan.
“Rasakan ini! Hiyaaat..!”
Tangan kiri orang bertopeng itu cepat sekali terayun ke wajah Pendekar
Rajawali Sakti. Namun alangkah terkejutnya orang bertopeng itu, ketika cepat
sekali tangan Rangga menangkis pukulannya. Sementara tangan sebelah lagi
bergerak bagai kilat menyambar selubung wajah orang bertopeng itu.
Bret!
“Auh...!”
“Apa kataku! Ternyata tebakanku betul. Kau seorang gadis. Nah, Nisanak.
Cukuplah sudah permainan kita kali ini. Aku tidak banyak waktu untuk
meladenimu,” ujar Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dekat lawannya. Sedangkan orang
bertopeng itu memalingkan mukanya, ketika Rangga berhasil menyingkap
wajahnya tadi. Rangga melemparkan sehelai kain berwarna kuning yang tadi
digunakan sebagai penutup wajah lawannya. Dan kemudian tubuhnya berbalik
perlahan, lalu melangkah tenang. Namun baru dua langkah berjalan,
tiba-tiba....
"Tahan langkahmu...!”
“Heh...?!” Wuuut!
Rangga buru-buru menundukkan kepalanya, ketika pendengarannya yang tajam
mendengar angin mendesir ke arah kepalanya. Ketika mencoba menoleh, terlihat
ujung selendang lawan terus bergerak menyerangnya.
“Nisanak! Jangan terlalu memaksaku!” bentak Rangga mulai kesal.
“Huh! Kau telah berlaku kurang ajar padaku. Maka sudah sepatutnya
kuhajar!”
Rangga mendesah sambil menggelengkan kepala. Namun ketika telah dekat,
ternyata orang bertopeng itu amat cantik, meskipun berkesan galak. Rambutnya
panjang dan tebal sampai ke pinggang. Wajahnya sedikit lonjong dengan dagu
ber-bentuk runcing. Hidungnya kecil dan mancung dengan bibir merah merekah.
Tubuh padat berisi, tumbuh menjadi dewasa. Kalaupun Rangga boleh menaksir,
rasanya usia gadis itu belum lagi mencapai lima belas tahun. Namun,
kepandaian yang dimilikinya sungguh luar biasa.
“Adik kecil, siapa yang berlaku kurang ajar? Kau atau aku...?”
“Kurang ajar...! Kau bilang apa padaku? Adik kecil...? Huh! Memangnya kau
siapa? Berani betul berkata seperti itu!” sentak gadis itu terlihat kalap
mendengar kata-kata Rangga tadi.
“Lalu, aku harus panggil apa? Apakah kau mesti kupanggil nenek cerewet?
Atau barangkali kau lebih suka dipanggil gadis binal saja,” ledek
Rangga.
“Sial! Kuhajar kau! Kuhajar kau...!” teriak gadis itu semakin kalap. Bahkan
langsung menyerang ganas.
Rangga hanya tersenyum sambil bergerak menghindari setiap serangan gadis
tanggung ini. Dan setiap kali serangannya selalu tidak berhasil, gadis itu
semakin murka saja. Agaknya dia penasaran betul, karena tidak mampu melukai
lawan sedikit pun. Dan sepertinya, melihat Rangga yang terus-menerus
menghindar dan tidak berusaha membalas serangan, gadis itu merasa diremehkan
dan dipermainkan.
“Ayo! Balaslah seranganku kalau memang kau mampu!” sentak gadis itu, seraya
menghentikan serangannya sebentar.
“Untuk apa? Bukankah kau yang bermaksud menyerangku? Nah, pergunakanlah
kesempatan ini sebaik-baiknya dan puaskanlah hatimu. Nanti setelah kau
lelah, baru berhenti. Dengan demikian aku bisa pergi dengan tenang,” sahut
Rangga kalem.
“Sombong! Kau pikir dengan kepandaianmu yang seujung kuku itu bisa
bertingkah di hadapanku? Huh! Kau rasakan, sebentar lagi tubuhmu akan kubuat
liancur berkeping-keping.” Kembali gadis itu mengebutkan selendangnya,
menyerang Rangga.
Ctar! Ctar!
“Huh! Yeaaah...! Rangga mulai kesal juga melihat kelakuan gadis tanggung
itu. Sambil mengkertak rahang, dicobanya memapak ujung selendang lawan yang
menyambar-nyambar, menimbulkan ledakan keras. Dan begitu memiliki
kesempatan, cepat sekali tangan kanannya bergerak mengibas. Tapi belum juga
bisa menyambar tubuh gadis itu, tiba-tiba saja....
“Lestari! Sungguh gegabah dan lancang sekali perbuatanmu!”
“Eyang...! Ibu...!” Gadis tanggung itu kontan terkejut ketika tiba-tiba
melesat dua sosok tubuh yang langsung memperingatkannya.
Rangga memperhatikan dengan seksama kedua orang yang baru datang, dan kini
berdiri di samping kanan dan kiri gadis itu. Yang berdiri di sebelah kanan
adalah wanita muda berusia sekitar dua puluh sembilan tahun. Wajahnya masih
terlihat cantik dan ayu, nyaris mirip dengan gadis tanggung yang dipanggil
Lestari. Sedang di sebelah kiri, seorang wanita berusia agak lanjut dengan
rambut yang sebagian telah memutih. Masing-masing, memakai selendang sebagai
ikat pinggang.
“Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?” agak mendengus nada suara
orang tua bermuka masam itu.
Gadis bernama Lestari itu menggeleng, dengan kepala menunduk.
“Dialah Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun seratus orang berkepandaian
sepertimu, mana bisa mengalahkannya!”
Lestari jadi terkejut, begitu mendengar penjelasan orang tua itu. Nama yang
disebutkan itu memang pernah didengarnya dari mulut nenek atau kedua
orangtuanya, sebagai pendekar yang amat menggemparkan rimba persilatan. Tapi
tidak disangka kalau hari ini kebentur dengan pendekar besar itu.
“Kisanak! Maafkan kesalahan cucuku. Dia memang nakal dan suka sekali
mengganggu orang!” ucap perempuan tua itu sambil berpaling kepada Rangga
dengan sikap hormat.
“Ah! Tidak apa-apa. Aku juga salah, karena terus-menerus meladeninya,”
sahut Rangga seraya menjura hormat.
“Aku Selasih. Dan ini, putriku Rupani. Sedangkan cucuku yang bengal itu
bernama Lestari. Adalah suatu kehormatan besar bila kau bersedia mampir ke
gubuk kami,” jelas perempuan tua itu memperkenalkan diri.
“Ah! Kiranya hari ini aku sedang berhadapan dengan Nyi Selasih yang
terkenal sebagai Selendang Maut. Pantas saja kepandaian cucumu sungguh
mengagumkan. Terima kasih atas tawaranmu itu, Nyi Selasih. Sayang, aku masih
punya urusan yang tidak bisa ditunda. Jadi sangat menyesal aku tidak bisa
memenuhi undanganmu itu. Maaf, bukannya menolak. Terima kasih,” sahut Rangga
dengan sikap hormat.
Perempuan tua itu berusaha menawarkan kembali dengan setengah memaksa,
namun Rangga tetap menolaknya. Sehingga, mereka tidak bisa lagi berbuat
apa-apa.
“Baiklah kalau memang hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi...,”
desah Nyi Selasih, halus.
Perempuan tua itu kemudian memandang cucunya. “Lestari! Kau memang nakal
sekali dan susah diatur. Lekas minta maaf padanya, atau kau akan mendapat
hukuman dariku nanti!”
Gadis tanggung itu tampak ragu tanpa berusaha bangkit dari sikapnya.
Wajahnya menunjukkan ketidaksenangannya atas perintah neneknya tadi.
Tapi....
“Cepat lakukan! Atau kau akan kuhukum sekarang juga!” bentak Nyi
Selasih.
“Sudahlah, Nyi Selasih. Tanpa dia meminta maaf, aku pun telah
memaafkan...,” selak Rangga cepat-cepat tidak tega juga melihat gadis
tanggung ini.
Perempuan tua itu menunjukkan wajah berang kepada Lestari. Lalu, bibirnya
tersenyum kecut ketika pemuda itu pergi setelah berbasa-basi sebentar.
Dengan sudut ekor mata, dia memandang sekilas. Lalu ketika pemuda itu telah
lenyap dari pandangan, dihampirinya Lestari. Dan dengan kesal, dijewernya
telinga cucunya itu.
“Dasar anak bengal! Kau telah mempermalukan aku di depan seorang pendekar
besar! Huh!”
Lestari sama sekali tidak mengeluh kesakitan, meski wajahnya meringis. Dia
memandang ke arah ibunya, berharap bisa membelanya. Tapi Rupani hanya
menggelengkan kepala sambil menunjukkan wajah masam. Gadis tanggung itu
merasa kesal bukan main. Dengan sekali tepis, tangan neneknya lepas dari
telinga. Kemudian dengan muka berapi-api penuh kekesalan, telunjuknya
ditudingkan ke arah keduanya.
“Aku tidak sudi meminta maaf pada orang yang telah berbuat kurang ajar
padaku! Kenapa Eyang memaksa juga dan ingin mempermalukan aku di depannya?!
Ibu, kenapa bukannya membelaku dan seperti membenarkan sikap Eyang? Kalau
memang kalian sudah tidak sayang lagi padaku, lebih baik katakan saja terus
terang. Kalau memang tidak suka akan kehadiranku, aku akan pergi sekarang
juga!” Setelah berkata demikian, Lestari berbalik dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
“Lestari! Mau ke mana kau?! Kembali! Ayo, kembali!”
Rupani sudah langsung bergerak, ingin mencegah perbuatan putri satu-satunya
itu. Tapi baru saja bergerak Nyi Selasih keburu mencegahnya.
“Biarkan saja dia bersikap begitu. Kalau kau membujuknya, dia tidak akan
pernah tahu kesalahannya. Anak gadis memang biasa berbuat begitu, seperti
juga kau dulu. Kalau hatinya telah reda, dia tentu akan kembali ke
rumah....”
“Tapi, Bu...”
“Biarlah kataku! Dia harus bisa menyadari kekeliruannya. Dan kau tidak
perlu khawatir akan keselamatannya. Dengan kepandaian yang dimilikinya saat
ini, tidak sembarang orang bisa mengalahkannya!”
Mendengar kata-kata ibunya, Rupani tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski
hatinya cemas, tapi sedikit banyak kata-kata orangtuanya ada benarnya.
Lestari memang salah, dan harus kembali ke rumah dengan pikiran jernih untuk
menyadari kekeliruannya. Dalam keadaan kesal seperti sekarang, rasanya sulit
memberi nasihat pada anak bengal dan keras kepala itu. Dengan langkah lesu
diikutinya langkah ibunya, kembali ke pondok mereka yang tidak begitu jauh
dari tempat itu.
***
Emoticon